54
KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KEMENTERIAN KESEHATAN DALAM PENYELENGGARAAN KESEHATAN HAJI DI KABUPATEN/KOTA PASCA REFORMASI Disertasi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Agama dan Kesehatan Oleh: EKA JUSUP SINGKA (NIM. 11.3.00.1.28.01.0023) Promotor: Prof. Dr. dr. M.K Tadjuddin, Sp.And. Prof. Dr. Murodi, MA. SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M/1435 H

KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

  • Upload
    lyhanh

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA:

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KEMENTERIAN KESEHATAN

DALAM PENYELENGGARAAN KESEHATAN HAJI

DI KABUPATEN/KOTA PASCA REFORMASI

Disertasi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Doktor dalam Bidang Agama dan Kesehatan

Oleh:

EKA JUSUP SINGKA

(NIM. 11.3.00.1.28.01.0023)

Promotor:

Prof. Dr. dr. M.K Tadjuddin, Sp.And.

Prof. Dr. Murodi, MA.

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2015 M/1435 H

Page 2: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

i

KATA PENGANTAR

Bismillāh al-raḥmān al-raḥīm. Alḥamdu lillāh atas karunia dan pertolongan Allah SWT disertasi

ini telah penulis selesaikan. Salawat dan salam untuk Nabi Muhammad

SAW, keluarga, sahabat dan umatnya hingga akhir masa.

Penulisan mengenai Kesehatan Haji Pemerintah Indonesia:

Implementasi Kebijakan Kementerian Kesehatan dalam Penyelenggaraan

Kesehatan Haji di Kabupaten/Kota merupakan suatu penulisan yang

mencerminkan apa dan bagaimana proses penyelenggaraan kesehatan haji

Indonesia pasca Reformasi. Telah kita ketahui bersama bahwa Ibadah Haji

sudah dilaksanakan oleh kaum Muslimin Indonesia sejak Agama Islam

masuk ke Nusantara. Proses penyelenggaraan haji terus berlangsung dan

sejak kemerdekaan 1945, negara mengambil alih seluruh penyelenggaraan

ibadah haji dengan tujuan agar seluruh masyarakat Muslim Indonesia dapat

menjalankan ibadah haji-nya dengan baik dan sesuai dengan Syariat Islam.

Penyelenggaraan haji termasuk penyelenggaraan kesehatan haji

dilaksanakan penuh dengan prosedur dan dinamika yang cukup tinggi,

sehingga kompleksitasnya merupakan ciri tersendiri dalam mengelola haji

dan kesehatannya.

Dengan selesainya penulisan disertasi ini, penulis mengucapkan

terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi bantuan, bimbingan,

saran, motivasi, dan do’a. Mereka adalah:

1. dr.Ratna Rosita, MPHM selaku Sekretaris Jenderal Kementerian

Kesehatan RI (2010-2012) dan dr. Taufik Tjahjadi, Sp.S selaku Kepala

Pusat Kesehatan Haji Kemkes (2011-2012) yang telah memberikan izin

dan dukungan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3.

2. dr. Untung Suseno Sutardjo, M.Kes. selaku Kepala Badan PPSDM

Kesehatan (2012-2014) dan Suhardjono, SE, MM selaku Sekretaris

Badan PPSDMK (2011-2013) dan Kepala Pusdiklat Aparatur Kesehatan

yang telah memberikan motivasi dan dukungan dalam proses

pembelajaran saat penulis menjalankan pendidikan S3 dan bertugas di

Pusdiklat Aparatur Kesehatan BPPSDMK.

3. Prof. Dr. Dede Rosada, MA., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Page 3: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

ii

4. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Prof. Dr. Suwito, MA., selaku ketua

Program Doktor, dan Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku ketua Program

Magister, yang telah memberikan saran, motivasi, perbaikan dalam

setiap kesempatan dalam meningkatkan kualitas tulisan dalam disertasi

ini.

5. Prof. Dr. MK Tadjuddin, dan Prof. Dr. Murodi, MA sebagai pembimbing

disertasi ini. Pemikiran, saran, dorongan, motivasi, bantuan bahan

pustaka serta bantuan moril sehingga disertasi ini dapat tersusun.

6. Segenap civitas akademika Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta: Bapak dan Ibu dosen yang telah membuka

wawasan intelektual penulis, dan karyawan Sekolah Pascasarjana yang

menciptakan suasana penuh kekeluargaan, keramahan, dan sistem

pelayanan yang optimal.

7. Kepada seluruh staf Pusat Kesehatan Haji, Pusat Perencanaan dan

Pendayagunaan SDMK Luar Negeri dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan

Aparatur Kesehatan, yang telah memberikan bantuan penulis saat

penulis sekolah sambil bekerja di Kementerian Kesehatan RI.

8. Kepada Ayah, (Alm) Djusra dan Ibunda (Alm) Supriyatin yang telah

mendidik dan membesarkan dengan penuh kasih sayang.

9. Istri tercinta: Royaniwati, dan anakanda Muhammad Zaini, Muhammad

Madani dan Siti Adeliani yang selalu tabah dan sabar dalam mendukung

seluruh proses pendidikan dan penyusunan disertasi ini.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga

kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Semoga

tulisan mengenai kesehatan haji pemerintah Inonesia dapat memberikan

manfaat kepada pembangunan kesehatan di Indonesia. Jazākum Allāh khair wa-Aḥsan al-Jazā’.

Jakarta, Januari 2015

Penulis

EKA JUSUP SINGKA

Page 4: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

xx

KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA:

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KEMENTERIAN KESEHATAN

DALAM PENYELENGGARAAN KESEHATAN HAJI DI

KABUPATEN/KOTA PASCA REFORMASI (1999-2012)

Abstrak:

Kesimpulan disertasi ini adalah semakin terlibatnya negara atau

pemerintahan dalam mengurus dan mengatur proses penyelenggaraan

ibadah bagi masyarakatnya, maka kualitas penyelenggaraan ibadah tersebut

akan semakin baik. Keterlibatan negara yang dimaksud adalah adanya

pengaturan dalam bentuk kebijakan dan tindakan yang terstruktur dan

terencana dengan melibatkan segala sumberdaya negara terhadap

penyelenggaraan ibadah tersebut. Ibadah yang dimaksud adalah ibadah haji.

Pengaturan negara dalam penyelenggaraan kesehatan haji merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan ibadah haji, pelaksanaannya

dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang berlaku di setiap orde

Pemerintahan Indonesia. Pasca Reformasi, Indonesia menerapkan sistem

penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota.

Sistem desentralisasi tersebut mempersulit implementasi kebijakan

kesehatan haji yang dibuat oleh pemerintah pusat di tingkat pelaksana

daerah. Implementasi kebijakan pemerintah pusat yang dimaksud adalah

implementasi kebijakan kesehatan haji yang terdapat dalam Pedoman

Penyelenggaraan Kesehatan Haji (Kepmenkes Nomor 442 Tahun 2009).

Dalam konteks penyelenggaraan kesehatan haji yang sangat erat

hubungannya dengan sistem pemerintahan suatu negara, maka disertasi ini

menolak pendapat Mark Turner & David Hulme (2000) dan Ryaas Rasyid

(2005) yang menyatakan bahwa desentralisasi sebagai faktor determinan

dalam mempercepat pembangunan di daerah. Disertasi ini mendukung

pendapat Joel Sammof (1990), Walter Oyugi (2000), Daniel Treisman

(2000), Richard Tambulasi & Happy Kayuni (2007) yang menyatakan

bahwa desentralisasi bukan faktor penentu bagi terlaksananya pembangunan

di daerah, justru desentralisasi menyebabkan semakin kokohnya kekuasaan

di tangan pemerintah daerah yang mengakibatkan lemahnya kerjasama

antara pemerintah pusat dan daerah sehingga menghambat implementasi

kebijakan pemerintah pusat di tingkat pelaksana di daerah. Berdasarkan

hasil penelitian dari 150 kabupaten/kota, hasil wawancara dan FGD, maka

disertasi ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan kesehatan haji

Pemerintah Indonesia di kabupaten/kota pasca Reformasi mengalami

banyak hambatan.

Page 5: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

xxi

Disertasi ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan

menggunakan dua sumber data. Pertama, data primer yang diperoleh dari

studi dokumen, observasi lapangan, Quesioner, In-depth Interview dan

Focus Group Discussion (FGD). Quesioner ditujukan kepada 150 petugas

kesehatan haji kabupaten/kota, In-depth Interview kepada 20 orang yang

terdiri dari tokoh/pejabat pembuat kebijakan kesehatan haji, tokoh

Organisasi Islam dan para petugas kesehatan haji. FGD dilakukan kepada 16

petugas pemeriksa kesehatan jamaah haji di puskesmas dan rumah sakit.

Pemilihan responden/informan menggunakan metode Purposes Sampling Method dimana responden/informan diidentifikasi dan ditentukan sesuai

dengan tema wawancara. Data sekunder adalah data pendukung yang

diperoleh dari buku, jurnal, dan majalah. Untuk menganalisa implementasi

kebijakan, digunakan Teori implementasi kebijakan George Edward III.

Penelitian ini menggunakan pendekatan teori kebijakan kesehatan.

Page 6: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

xxii

THE HAJJ-HEALTH OF INDONESIAN GOVERNMENT:

IMPLEMENTATION OF HAJJ-HEALTH POLICY OF MINISTRY OF

HEALTH (MoH) IN DISTRICT/REGENCY

POST-REFORM (1999-2012)

Abstract:

The conclusion of this disertation is the more involvement of state or

government in managing and regulating on the process of citizent’s

worship, the more qualified worship will be gained by citizent of the state.

The involvement of the state or government in this case is the

presence of regulation or policy including its implementation on hajj which

manages including allocates related resources to the hajj-health service

program. The hajj-health services is part of hajj worship and can not be

separated from generally hajj worship. The implementation of hajj-health

policy is closely related to the system of government.

Post-Reform, Indonesia has decentralization system in district/regent

level. The decentralization has made the policy of hajj-health policy

(Kepmenkes Nomor 442 Tahun 2009) in district/regent level can not be

properly implemented.

In the context and relationship of hajj-health services with the

government system of Indonesia especially post-reform, this disertation

opposites to Mark Turner & David Hulme (2000) dan Ryaas Rasyid (2005)

who stating decentralization as a determinant factor for the success of

development in district/regent level.

This disertation support Joel Sammof (1990), Walter Oyugi (2000),

Daniel Treisman (2000), Richard Tambulasi & Happy Kayuni (2007) who

state decentralization as a factor contributing to the weakness of

relationship between central and district/regent government. Consequently,

the hajj-health policy in the district/regent level facing some barrier and can

not be implemented properly. This study informs that if the system of

goverment is strongly decentralized, this condition will worsen and

contributing a weakness of policy implementation of hajj-health policy in

the implementing area.

This disertation is a qualitative study using primary and secondary

data. Primary data was collected from study document, observation,

questioner, in-depth interview and focus group discussion (FGD).

Quesionaries were designed to 150 hajj health staffs working at 150

selected districts. In-depth interviews were performed to 20 persons consist

of policy makers, hajj managemen staffs and non-government organization

persons relating to hajj-health services. FGD was performed to 16 pilgrim-

health examiners working at primary health centers and hospitals in district

Page 7: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

xxiii

levels. Respondents and informan were selected based on purposed sampling

methods. Respondents and informan were identified based on the theme of

interviews.

Secondary data were collected from textbooks, journals, and academic

literatures. This study used the Theory of George Edward III in analysing

the implementation of the hajj-health policy in district/regent level. In this

cae, this study was using the knowledge and practices of health policy.

Page 8: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

xxiv

الحج للحكومت اإلندونيسيت طبيق قزار الوسارة الصحيتعمليت صحت

الحج لمستوي المنطقت أو المحليت عمليتفي تنفيذ صحت

( 2012-1999)بعد عصز اإلصالح

رائط ز اشساح ار ٠شطذ اثاحس ف١ا أ اضا احىح ف إداسج ذظ١

اضا احىح از ؼ١ ذظ١ . ػ١ح إظشاءاخ اؼثادج عرغ ٠م و١ف١اخ اؼثاداخ

ف حي لشاس ذف١ز ػ حس اخطح امج اؼا١ح رف١ز ف ذه اؼ١اخ اؼثاداخ

ذه ارظ١اخ أ األس ف إظشاءاخ ػ١ح احط ت١ا ذطث١ما . ؼ١ا ػثادج احط

ذطثك ظا اإلداسج احىح اإلذ١س١ح. ٠مرض لشاس احىح اإلذ١س١ا ف و ػظسا

ره احاي ٠ؼمذ ذطث١ك لشاس طحح . ح١حاالشوض٠ح تؼذ ػظش اإلطالغ تى طمح أ

ذف١ز لشاس . حاشوض٠ح ف اسر اإلل١ أ ايحىح ػ١ح احط از لشسذ اداسج ا

احىح اشوض٠ح ف اسؤاي ذف١ز لشاس اظح١ح ااسدج ف اثادا ارظ١ رف١ز

.2009 ف ػا 442 سل Kepmenkesطحح ػ١ح احط

ف س١اق ذف١ز طحح ػ١ح احط ٠شذثظ اسذثاطا ش١ما ظا احى ف تذ ا، فز

از٠ (2005)س٠اط ساشذ (2000)اشساح سفضد سأ اسن ذ١شش د٠ف١ذ

ذذػ ز . ٠أوذ ػ أ االشوض٠ح تاػرثاسا ػاال حاسا ف ار١ح اطم١ح تسشاػا

، 2000))، دا١اي ذش٠سا (2000)، ارش أ٠ظ (1990)اشساح فىشج ظ٠ سف

از٠ ٠أوذ ػ أ االشوض٠ح ١سد ػاال (2007)س٠رشاسد ذثالس حف وا٠

حاسا رف١ز ار١ح ف اطمح، فئ ٠ؤد إ ض٠ذ اسرحضشاخ اسطح ف

احىاخ اح١ح ار ذؤد إ ضؼف ارؼا ت١ احىح اشوض٠ح احىح اح١ح

ز اشساح ذذي . تح١س ذؼق ذف١ز لشاس احىح اشوض٠ح ف اسر ارف١ز ف اطمح

اذ٠ح تؼذ / ػ أ ذف١ز لشاس طح١ح ػ١ح احط حىح اإلذ١س١ح ف طمح

. ػظشاإلطالغ ػذ٠ذ اؼمثاخ

األي، . طش٠ك اثحس اى١ف، ره تاسرخذا ظذس٠اشساحاسرخذد ز

اظذس األساس ار ذ احظي ػ١ا شائك اذساسح، اشالثح، االسرث١ااخ،

ػاي طحح150االسرث١ااخ ظح إ . اماتالخ ارؼمح اماش اعػح ارشوضج

شخظا ٠رى امادج أ 20اذ٠ح، اماتالخ ارؼمح ظح إ / احط تاطمحػ١ح

احط، لادج اظاخ اإلسال١ح اؼا١ ف ػ١حاسؤ١ ااضؼ١ مشاس طحح

افاحض احعاض 16اماش اعػح ارشوضج ظح ا . احط ػ١حعاي طحح

اخر١اس اشاسو١ أ اخثش٠ تاسرخذا طش٠مح . اطث١ح ف اشاوض اظح١ح اسرشف١اخ

اظذس اصا از . أخز اؼ١اخ ار وا اسرطؼ حذدخ فما ضع اماتح

رح١ ذف١ز امشاس ذسرخذ ظش٠ح ذف١ز . ذ احظي ػ١ا اىرة اظحف اعالخ

.اسرخذد ز اشساح اط اظش س١اسح اظح١ح. س١اسح ار١ح ظسض إداسد اصاس

Page 9: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

xxv

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Konsonan

B = ب Z = ص f = ف

T = خ S = ط q = ق

Th = ز Sh = ش k = ن

J = ض ṣ = ص l = ي

ḥ = غ ḍ = ع m =

Kh = خ ṭ = ط n =

D = د ẓ = ظ h =

Dh = ع = ‘ ر w =

R = س Gh = ؽ y =

Vokal Pendek : a = ‘ i = u =

Vokal Panjang : ā = ا ī = ū =

Diftong : ay = ا aw = ا

Page 10: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

xxvi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

SURAT PERNYATAAN iii

BUKTI PENELUSURAN PLAGIARISMA iv

PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN xix

ABSTRAK xx

PEDOMAN TRANSLITERASI xxv

DAFTAR ISI xxvi

DAFTAR TABEL xxx

DAFTAR DIAGRAM xxxi

DAFTAR GRAFIK xxxii

DAFTAR SINGKATAN xxxiii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Permasalahan 18

1. Identifikasi Masalah 18

2. Pembatasan Masalah 24

3. Perumusan Masalah 24

C. Tujuan Penelitian 25

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian 25

E. Kajian Terdahulu yang Relevan 28

F. Kerangka Pikir 32

G. Metodologi Penelitian 35

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian 36

2. Teknik Pengumpulan Data 36

3. Teknik Analisis Data 37

H. Sistimatika Penelitian 37

BAB II SISTEM PEMERINTAHAN DAN PENYELENGGARAAN

KESEHATAN HAJI INDONESIA 39

A. Sistem Pemerintahan Indonesia 40

B. Desentralisasi dan Sentralisasi 52

1. Desentralisasi : Perspektif Positivis 58

2. Desentralisasi : Perspektif Relativis 60

C. Desentralisasi Kesehatan Haji di Kabupaten/Kota 67

1. Penetapan Standar Pelayanan Kesehatan Haji 85

2. Pengembangan Standar Operasional Prosedur (SOP) 86

3. Pengembangan Survey Kepuasan Pelanggan 86

4. Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan 87

Page 11: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

xxvii

BAB III KEBIJAKAN KESEHATAN HAJI

PEMERINTAH INDONESIA 88

A. Perkembangan Kebijakan Kesehatan Haji di Indonesia 88

1. Kesehatan Haji di Masa Orde Lama 95

2. Kesehatan Haji di Masa Orde Baru 96

3. Kesehatan Haji di Masa Reformasi 104

B. Indikator Program Kesehatan Haji Pasca Reformasi 117

1. Indikator Umum 117

2. Indikator Pengerahan Tenaga Kesehatan 118

3. Indikator Bimbingan dan Penyuluhan 118

4. Indikator Pelayanan Kesehatan 118

5. Indikator Pengendalian Penyakit 118

6. Indikator Surveilans 118

7. Indikator Logistik 118

C. Alur Penyelenggaraan Kesehatan Haji Pasca Reformasi 119

D. Strategi Penyelenggaraan Kesehatan Haji Pasca Reformasi 124

1. Pemeriksaan dan Pembinaan Kesehatan Haji 124

a. Pemeriksaan dan Pembinaan Kesehatan di

Kabupaten/Kota

125

b. Pemeriksaan dan Pembinaan Kesehatan di Embarkasi 129

2. Pengendalian Faktor Risiko Kesehatan Haji 131

a. Pengendalian Faktor Risiko Internal 131

b. Pengendalian Faktor Risiko Eksternal 133

3. Komputerisasi Haji Terpadu bidang Kesehatan

(Siskohatkes)

137

4. Pelatihan Petugas Kesehatan Haji 141

a. Pelatihan Petugas Pemeriksa Kesehatan Haji (PKJH) 142

b. Pelatihan Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) 142

c. Pelatihan Panitia Penyelenggara Kesehatan Haji (PPIH) 144

5. Kemitraan dengan Organisasi lainnya 145

6. Evaluasi Penyelenggaraan Kesehatan Haji 146

BAB IV GAMBARAN KESEHATAN HAJI

PASCA REFORMASI 149

A. Gambaran Jamaah Haji dan Pola Penyakitnya 149

1. Jenis Kelamin 150

2. Pendidikan 151

3. Pekerjaan 152

4. Jamaah Haji dengan Risiko Tinggi (Risti) 154

Page 12: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

xxviii

5. Angka Kesakitan Jamaah Haji 156

6. Angka Kematian Jamaah Haji 158

7. Penyebab Kematian Jamaah Haji 162

B. Penyelenggaraan Kesehatan Haji Pasca Reformasi 162

1. Penyelenggaraan Kesehatan Haji di Kabupaten/Kota 162

a. Pemeriksaan Kesehatan Haji Tahap Pertama 167

b. Pemeriksaan Kesehatan Haji Tahap Kedua 170

c. Penetapan Kelayakan Kesehatan Jamaah Haji 174

2. Penyelenggaraan Kesehatan Haji di Provinsi 179

3. Penyelenggaraan Kesehatan Haji di Embarkasi 180

4. Penyelenggaraan Kesehatan Haji di Arab Saudi 188

a. Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) 188

b. Pelayanan Kesehatan di Sektor 190

c. Pelayanan Kesehatan di Kloter 192

d. Pelayanan Kesehatan di Arafah, Musdalifah dan Mina 193

e. Evakuasi Jamaah Haji 195

BAB V IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

KESEHATAN HAJI DI KABUPATEN/KOTA 196

A. Teori Implementasi Kebijakan 197

1. Teori George Edward III 198

2. Teori Meter dan Horn 199

3. Teori Grindle 200

4. Teori Mazmanian dan Sabatier 201

5. Teori Shabbir Cheema dan Rondinelli 201

6. Teori Brian Hoogwood dan Gunn 201

B. Implementasi Kebijakan Kesehatan Haji Kabupaten/Kota 202

1. Gambaran Petugas Kesehatan Haji Kabupaten/Kota 205

a. Latar Belakang Pendidikan 205

b. Unit Kerja Petugas Kesehatan Haji di Kabupaten/Kota 205

2. Implementasi Kebijakan Kesehatan Haji 208

a. Komunikasi 208

b. Sumberdaya 217

c. Disposisi 225

d. Struktur Birokrasi 227

Page 13: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

xxix

BAB VI PROBLEM DAN SOLUSI PENYELENGGARAAN

KESEHATAN HAJI DI KABUPATEN/KOTA 237

A. Problem Penyelenggaraan Kesehatan Haji 237

1. Lemahnya Implementasi Kebijakan Kesehatan Haji 239

2. Bervariasinya Penyelenggaraan Kesehatan Haji 242

3. Tidak Jelasnya Pembagian Kewenangan antara Pemerintah

Pusat dengan Pemerintah Kabupaten/Kota 245

4. Kurangnya Partisipasi Publik 250

5. Tidak adanya Struktur Pelayanan Kesehatan Haji 251

B. Solusi Penyelenggaraan Kesehatan Haji 253

BAB VII PENUTUP 255

A. Kesimpulan 255

B. Saran 259

DAFTAR PUSTAKA 262

GLOSSARI 276

LAMPIRAN 286

INDEKS 360

BIODATA PENULIS 365

Page 14: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Penyakit dan Penyebab Kematian Jamaah Haji di

Masa Kolonial 91

Tabel 3.2. Kebijakan Kesehatan Haji di Masa Kolonial 92

Tabel 3.3. Kebijakan Kesehatan Haji di Masa Orde Baru 99

Tabel 3.4. Satuan Kerja di Kemkes yang Memiliki Tugas dalam

Penyelenggaraan Kesehatan Haji di Masa Orde Baru s/d

Reformasi 101

Tabel 3.5. Dasar Hukum dan Peraturan Tentang Penyelenggaraan

Kesehatan Haji Pasca Reformasi 111

Tabel 3.6. Gambaran Pembagian Tugas Pemerintah dalam

Penyelenggaraan Kesehatan Haji Pasca Reformasi 118

Tabel 3.7. Jenis Sumberdaya Kesehatan Haji Pasca Reformasi 119

Tabel 4.1. Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terkait

Haji 152

Tabel 4.2. Penguatan Program Kesehatan Haji di Kabupaten/Kota 167

Tabel 4.3. Lama Hari Operasional dan Jumlah Tenaga Kesehatan

Haji yang Bertugas di KKP Embarkasi/Debarkasi 2011 181

Tabel 5.1. Gambaran Pendidikan Petugas Kesehatan Haji di

Kabupaten/Kota 199

Tabel 5.2. Unit Kerja Petugas Kesehatan Haji di Kabupaten/Kota 200

Tabel 6.1 Problem dan Solusi Penyelenggaraan Kesehatan Haji di

Kabupaten/Kota 247

Page 15: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

xv

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 1.1. Kerangka Pikir 34

Diagram 3.1. Alur Penyelenggaraan Kesehatan Haji Pasca Reformasi 117

Diagram 4.1. Gambaran Rata-Rata Jamaah Haji Indonesia Berdasarkan

Jenis Kelamin 2006 s/d 2012 146

Diagram 4.2. Gambaran rata-Rata Jamaah Haji berdasarkan Tingkat

Pendidikan 147

Diagram 4.3. Gambaran Rata-Rata Jamaah Haji berdasarkan Jenis

Pekerjaan 2006 s/d 2012 149

Diagram 4.4. Skema Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Keberangkatan 167

Diagram 4.5. Alur Pencatatan Pemeriksaan Kesehatan Haji 168

Diagram 4.6. Struktur Penyelenggaraan Haji di Embarkasi/Debarkasi 177

Diagram 4.7. Program Penyelenggaraan Kesehatan Haji Pemerintah

Indonesia (Pemeriksaan, Pembinaan dan Pengendalian

Faktor Risiko Kesehatan Haji) 179

Diagram 4.8. Alur Rujukan Pelayanan Kesehatan Haji di Arab Saudi 183

Diagram 5.1 Logic Model 196

Diagram 5.2. Model Implementasi Menurut George Edward III 197

Page 16: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

xvi

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1. Gambaran Jamaah Haji Indonesia berdasarkan Jenis

Kelamin 2006 s/d 2012 144

Grafik 4.2. Gambaran Jamaah Haji Indonesia berdasarkan Latar

Belakang Pendidikan 2006 s/d 2012 147

Grafik 4.3. Gambaran Jamaah Haji Indonesia berdasarkan Latar

Belakang Pekerjaan 2006 s/d 2012 148

Grafik 4.4. Gambaran Jamaah Haji dengan Risiko Tinggi 151

Grafik 4.5. Rate Kematian Jamaah Haji Indonesia 1999 s/d 2012 154

Page 17: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Haji1 merupakan ibadah yang diwajibkan bagi Umat Muslim

sekali seumur hidup. Ibadah haji disyariatkan atau diperintahkan untuk

pertama kali kepada Nabi Muhammad dan umatnya pada tahun ke-enam

Hijriah (6H) atau 628 M.2 Secara umum, pengertian haji adalah pergi

mengunjungi Baitullah dengan niat ikhlas untuk melakukan ibadah

kepada Allah pada waktu dan cara tertentu, dalam rangka mengharap

ridho-Nya.3 Yang di maksud dengan Baitullah (Rumah Allah) adalah

Ka’bah yang berada di Makkah, yang merupakan bangunan suci pertama

di muka bumi ini. Alquran mengabadikan bangunan Ka’bah dalam Al-

Quran Surat Ali Imran ayat 96 sebagai berikut;

Artinya: Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk

manusia ialah Baitullah di Makkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk

bagi seluruh alam.

Perjalanan haji umat Islam Nusantara ke Tanah Suci dimulai sejak

awal mula Islam bersentuhan dengan masyarakat di Nusantara dan terus

berlanjut hingga saat ini.4

1 Secara Etimologi, haji berarti “pergi ke suatu tempat”, atau juga dapat

diartikan berkunjung atau ziarah ke suatu tempat.Surat-surat dalam al-Quran yang

berhubungan dengan haji antaralain: QS 3: 97, 22: 27, 2: 196, 9: 2-3, 9: 17, 9: 28, dan 22:

27. Adapun tuntunan yang mesti dilaksanakan adalah Tawaf yang terdapat dalam QS

22: 29 dan 2: 125. Sa’i antara Safa dan Marwa terdapat dalam QS 2: 158, Wukuf dalam

QS 85: 3, 89: 2, dan 2: 198-199, Berkurban dalam QS 89: 2, 22: 28, dan 22: 36 dan

Tahalul atau mencukur rambut terdapat dalam QS 48: 27, 2: 196, dan 22: 29. 2 QS Al-Baqarah (2) ayat 196. Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah

karena Allah.Tetapi jika kamu terkepung, maka sembelihlah Hadyu (hewan yang

disembelih sebagai pengganti Dam) yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur

kepalamu, sebelum Hadyu sampai ditempat penyembelihannya. Jika ada diantara kamu

yang sakit atau ada gangguan dikepalanya (lalu dia bercukur) maka dia wajib berfidyah,

yaitu berpuasa, bersedekah atau berkurban. Apabila kamu dalam keadaan aman maka

barang siapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia wajib menyembelih Hadyu yang

mudah didapat, tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia wajib berpuasa 3 hari

dalam musim haji dan 7 hari setelah kembali. Itu seluruhnya 10 hari. Demikian itu bagi

orang-orang yang keluarganya tidak ada (tinggal) disekitar Masjidil Haram.

Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras hukumannya. 3 Mahbub Marzuki, Istit}a>’ah dalam Ibadah Haji menurut Empat Mazhab

(Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah,2000),12. Lihat Sayyid Sabi, Fiqh as-Sunnah (Beirut:

Dar-al-Fikr,1992),527. 4 Ada dua pendapat mengenai datangnya Islam ke Nusantara. Pendapat pertama

Page 18: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

2

Snouck Hurgronje (1857–1936), menyatakan bahwa sebelum

Kepulauan Nusantara jatuh ke tangan Pemerintahan Kolonial Belanda,

sudah banyak kaum pribumi yang melakukan ibadah haji, bahkan sudah

ada kelompok pribumi Nusantara yang bermukim di Makkah5 dan

jumlahnya kian bertambah. Sebagian dari mereka bermukim disana,

untuk sementara waktu atau untuk sepanjang hidupnya dengan tujuan

mempelajari ilmu agama dan hidup dekat dengan Baitullah.6

Haji merupakan rukun Islam ke-lima yang pelaksanaannya hanya

dapat dilakukan pada waktu dan tempat tertentu setiap tahun, yaitu

antara tanggal 8 sampai 13 Dzulhijjah dengan prosesi ibadah dilakukan di

Makkah, Musdalifah, Mina dan Arafah.7 Kewajiban haji diperuntukkan

bagi mereka yang memiliki kesanggupan (istit}a>’ah), seperti yang

tercantum di dalam Al-Quran Surat Ali Imran Ayat 97, sebagai berikut;

Artinya: Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) Maqam Ibrahim. Barang siapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di

antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah

pada abad ke-7, didasarkan pada adanya kontrak perdagangan dan hubungan diplomatik

tiga kerajaan yaitu Dinasti Tang, Ta-cheh dan Kerajaan Sriwijaya. Pendapat kedua pada

abad ke-12 didasarkan adanya tulisan pada batu nisan Sultan Malik al-Shaleh yang

menyatakan sebagai Sultan Atjeh yang berkuasa di Samudra Pasai. Lihat Dien Madjid,

Berhaji di Masa Kolonial (Jakarta: CV Sejahtera,2008), 35. 5 Jamaah haji Nusantara yang bermukim di Mekkah biasanya menetap di

sebuah komunitas yang disebut “Koloni Jawa”. Ikatan kebangsaan dan keagamaan

mereka di Makkah semakin tertanam untuk mempertahankan Indonesia dari penjajahan

Hindia Belanda.Sekembali dari Makkah, mereka semakin taat beribadah dan sebagai

penyebar Islam serta tidak jarang mengibarkan bendera perjuangan melawan Hindia

Belanda. Lihat Dien Madjid, Berhaji di Masa Kolonial (Jakarta: CV Sejahtera, 2008),

123. 6 Faturahman Yahya, et all (ed), Antara Mekah dan Madinah (Jakarta:

Erlangga, 2009), 202. Baitullah Ka’bah dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, di

masa Kabilah Jurhum. Lihat Ali Husni Al-Kharbuthli, Sejarah Kabah Kisah Rumah Suci yang Tak Lapuk dimakan Zaman (Jakarta: Turos),79. dan Al-Azraqi, Akhbar Makkah Wama Jaa Minha Min Atsar (Beirut: Dar Al-Fikr, 1325H),36.

7 QS Al-Baqarah (2):197: “Musim Haji itu pada bulan-bulan yang dimaklumi.

Barang siapa mengerjakan ibadah haji dalam bulan-bulan itu, maka janganlah berkata

jorok (rafas), berbuat maksiat, dan bertengkar dalam melakukan ibadah haji”.

Page 19: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

3

haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan

perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka

sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh

alam. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu

(bagi) orang yang sanggup (istit}a>’ah) mengadakan perjalanan ke

Baitullah.

QS Ali-Imran ayat 97 menginformasikan kepada kita, bahwa salah

satu kewajiban Umat Islam adalah mengerjakan haji ke Baitullah, bagi

orang yang mampu (istit}a>’ah), baik fisik maupun materi dan aman dalam

perjalanan, sehingga dalam konteks tersebut, yang dimaksud dengan

istit}a>’ah adalah mampu dalam ekonomi, keamanan dan kesehatan.

istit}a>’ah kesehatan bagi jamaah haji sangat penting karena prosesi

kegiatan ibadah haji sebagian besar banyak melibatkan aktifitas fisik.8

Seluruh jamaah haji, termasuk mereka yang berasal dari Indonesia, harus

memperhatikan ketiga aspek istit}a>’ah tersebut.9

Karena dilaksanakan dalam waktu dan tempat yang bersamaan,

maka proses ibadah haji merupakan pengumpulan massa terbesar di dunia

yang datang dari berbagai negara (penjuru dunia) sehingga dapat

menimbulkan resiko terjangkitnya penyakit, baik penyakit menular

maupun penyakit tidak menular diantara jamaah haji.10

Selain merupakan

proses berkumpulnya massa yang sangat padat, prosesi berhaji juga

merupakan ibadah yang melibatkan aktifitas fisik yang cukup berat.11

Aktifitas tersebut antaralain tawaf, sa’i, ma>bit, dan melontar jumrah,

sehingga dalam menjalankankan ibadah haji, jamaah perlu kondisi

kesehatan fisik dan mental yang baik dan perlu persiapan sebelum

keberangkatan.12

8 Masdalina Pane (ed), Pedoman Manasik Kesehatan Haji (Bimbingan Manasik

Haji Untuk Petugas) (Jakarta: Kemkes, 2011), 1. 9 Dalam menunaikan ibadah haji, jamaah haji tidak hanya harus Istit}a>’ah Maliyah

yaitu kemampuan secara finansial saja, tetapi juga harus Istit}a>’ah Badaniyah, yaitu

kemampuan atau ketahanan fisik, dan Istit}a>’ah Amniyah, yaitu aspek keamanan, baik di

dalam negeri tempat jamaah haji bermukim, maupun di luar negeri, terutama tempat

melaksanakan ibadah haji. Lihat Mahbub, (Istit}a>’ah dalam Ibadah Haji Menurut Empat Mazhab),109. Sumuran Harahap, Penyelenggaraan Haji Indonesia Pasca Kemerdekaan 1945: Masalah dan Kebijakan Pemerintah (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2001),1;

Mawari Eddy (ed), Pedoman Teknis Pemeriksaan Kesehatan Jamaah Haji (Jakarta:

Kemkes, 2011),1. 10

Ahmed Q. A, ed., “Health Risks at the Hajj” dalam The Lancet (2006), 367. 11

Alyssa Fetini.“A Brief History of The Hajj.” Time (25 November 2009),

http://content.time.com/time/world/article/0,8599,1864624,00.html(accessed September

8, 2013). 12

Muhammad Alluyam, “Majalatul Hajji al Musimiyah.” Qafilah Alhidayah 6ed

(1422 H), 30.

Page 20: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

4

Muatwalli Asy-sya’rawi (1993) dan Syihabuddin Abi al-Fadil

(1959) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan ibadah haji para jamaah

haji dituntut untuk memiliki kemampuan/kondisi kesehatan yang baik.13

Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia,

yang setiap tahunnya memperoleh kuota haji cukup banyak, selalu

mengirimkan jamaah haji dalam jumlah terbesar di antara jamaah haji

asing lainnya. Untuk melancarkan prosesi ibadah haji, maka jamaah haji

Indonesia harus menjaga dan mempersiapkan kondisi kesehatannya agar

jamaah haji dapat menjalankan ibadahnya sesuai syariat Islam.14

Untuk

itu, setiap muslim yang akan menunaikan ibadah haji disarankan untuk

memeriksakan kondisi kesehatannya sebelum berangkat.15

Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia dan

semakin tingginya minat Umat Muslim Indonesia untuk berhaji,

diperkirakan jumlah jamaah haji Indonesia setiap tahunnya akan semakin

bertambah,16

sehingga masalah dan kendala yang dihadapi dalam

penyelenggaraan haji akan semakin kompleks di masa mendatang.

Pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan haji harus

mengantisipasi kondisi tersebut. Salah satunya adalah dengan

memformulasikan sekaligus menjalankan kebijakan publik (public policy)

tentang penyelenggaraan kesehatan haji yang baik dan professional untuk

13

Mahbub Marzuki, Istit}a>’ah dalam Ibadah Haji menurut Empat Mazhab

(Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2000), 12 dan 108. 14

Menurut Martin Van Bruissen dalam Seeking Knowledge and Merit Indonesia on The Hajj, pada akhir abad ke-19, jumlah jamaah haji asal Nusantara berkisar antara

10-20% dari seluruh jamaah haji. Data yang diperoleh mengenai jumlah jamaah haji

Indonesia pada pertengahan abad ke-18 tercatat sekitar 2.000-5.000 orang setiap

tahunnya. Pada tahun 1890 tercatat ada 7.000 orang jamaah haji, kemudian tahun 1895

dan 1896 mencapai 11.788 orang. Jumlah tersebut meningkat lagi menjadi 14.234 pada

tahun 1910. Lihat Faturahman Yahya, et all (ed), (Antara Mekah dan Madinah), 200. 15

Muhammad Abdul Ali, Sihhatuka fi al-Hajj (Kairo: Dar Akhbar al Yaum,

2001), 17. 16

Pemerintah Arab Saudi menetapkan kuota jamaah haji adalah 1/1,000 dari

jumlah penduduk suatu negara. Hasil sensus 2010, jumlah pendudukIndonesia adalah

237.556.363 orang, berarti kuota haji Indonesia sekitar 230ribu. Angka tersebut, jauh

lebih besar jika dibandingkan dengan kuota negara-negara lain, seperti Malaysia, India,

Pakistan dan Turki yang hanya memperoleh kuota haji berkisar 25,000 s/d 150,000

jamaah. Kenaikan jumlah penduduk setiap tahun menyebabkan bertambahnya kuota

haji. Diplomasi Pemerintah Indonesa kepada Pemerintah Arab Saudi memungkinkan

adanya penambahan kuota haji seperti yang terjadi di tahun 2010 dan 2011, terjadi

penambahan kuota sampai 10,000 jamaah haji. Penambahan kuota diberikan, jika ada

sisa kuota haji dari negara lain karena negara tersebut tidak mengirimkan jamaah

hajinya sesuai kuota yang ditetapkan. Menurut mantan Menteri Agama Mahtuh

Basyumi, jumlah kuota haji Indonesia tahun 2009-2010 berkisar 207,000 s/d 210,000

orang. Lihat Faturahman Yahya, et all (ed), (Antara Mekah dan Madinah), 204.

1

Page 21: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

5

kepentingan masyarakat muslim Indonesia.

Menunaikan ibadah haji bagi masyarakat Muslim Indonesia,

merupakan salah satu cita-cita luhur dalam kehidupan sosial

masyarakat.17

Bagi masyarakat Muslim Indonesia, perjalanan ibadah haji

mengandung dua kepentingan, yaitu kepentingan agama untuk

menjalankan Rukun Islam dan kepentingan sosial18

agar memperoleh

status sosial yang tinggi di lingkungan masyarakatnya.19

Berdasarkan data sejarah yang diperoleh, diketahui bahwa

perjalanan umat Islam Nusantara ke Tanah suci untuk melaksanakan haji

dan umrah berlangsung sejak Agama Islam masuk ke Nusantara,20

dimulai pada abad ke-13,21

berlanjut di zaman Kerajaan Islam

Nusantara22

dan masa Kolonial Hindia Belanda (Abad ke-15 s/d ke-19).23

17 Di Pakistan, menunaikan haji memberikan makna bahwa orang yang berhaji

memiliki pengetahuan Agama Islam yang lebih baik, sehingga memperoleh status sosial

yang cukup tinggi di masyarakat. Lihat Hastings Donnan, “Pilgrimate and Islam in

Rural Pakistan.” Etnofoor, Jaarg.8, No.1 (1995), pp 63-82. 18

Muhammad Amin Akkas, Haji Sosial (Jakarta: Mediacita, 2007), 154.

19

Muhammad Amin Akkas, "Identitas Haji dan Kesalehan Sosial", dalam

Dinamika dan Perspektif Haji Indonesia, ed. (Jakarta: Duta Peraga, 2010), 326. Lihat

juga Danarto, Orang Jawa Naik Haji (Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, 1993),38. 20

Sumber lain menyatakan bahwa perjalanan haji pertama kali dilaksanakan oleh

masyarakat Melayu pada abad ke-13. Lihat Abdul Kadir Haji, “Economic Implication of

Moslem Pilgrimate from Malaysia.” Contemporary Southeast Asia Vol.4. No.1 (June

1982): 58-75. 21

Dikutip oleh Dadan Wildan Anas dalam harian Pedoman Rakjat Bandung 17

April 2006, menyebutkan dalam Naskah Carita Parahyangan dikisahkan bahwa pemeluk

Agama Islam yang pertama di Tanah Sunda adalah Bratalegawa, putra kedua

Prabu Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa Kerajaan Galuh (1357-1371). Ia

kemudian menjadi raja menggantikan kakaknya, Prabu Maharaja (1350-1357) yang

gugur dalam Perang Bubat. Lihat Menengok sejarah perjalanan haji tempo dulu,

http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/006/14.html (diunduh 6 Januari, 2012).

Seorang penulis barat Ludivico Di Varthema berkebangsaan Italia dengan nama

samaran H. Yunus Al-Mishri yang berada di Jeddah pada 1504 M melihat banyaknya

jumlah jamaah haji dari greater India (India Mayor - Anak benua India) dan Lesser India

(India Minor, Insular—Kepulauan Nusantara). Lihat Muhammad Abdul Hamid dan

Muhammad Raja'i Athahlawi, Ka’bah Rahasia Kiblat Dunia (Bandung: Hikmah, 2009),

21. Dan Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Prenada, 2007), xx.

22 Azra, (Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &

XVIII), xx. 23

Hilir mudik pelayaran jamaah haji membuka mata Pemerintah Belanda untuk

mengkoordinir pemberangkatan dan pemulangan jamaah haji melalui sebuah ordonansi

bernama Ordonantie Voor Vilgreemage yang bekerjasama dengan agen travel milik

Hindia Belanda seperti Agen Herklots dan Firms Alsegoff & CO. Lihat Faturahman

Yahya et all (ed), (Antara Mekah dan Madinah), 204 dan Arsip Nasional RI, Biro Perjalanan Haji di Indonesia Masa Kolonial (Jakarta: Adikarya, 2001), 1 dan 96.

Page 22: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

6

Pada abad ke-18 dan awal abad ke-19, telah terjadi perkembangan

yang mendasar dalam pelaksanaan ibadah haji Nusantara, jumlah jamaah

haji setiap tahunnya semakin meningkat.24

Dalam mengurus perjalanan

haji masyarakat muslim Nusantara, Pemerintah Hindia Belanda

melakukan pengecekan berbagai dokumen berupa surat menyurat yang

berhubungan dengan jamaah haji. Pemerintah Hindia Belanda juga

memonitor aktifitas jamaah haji Nusantara di Hijaz melalui kantor

perwakilan atau konsulat di Jeddah yang dibuka pada tahun 1872,25

bahkan Pemerintah Hindia Belanda mengatur penyelenggaraan ibadah

haji dalam suatu Ordonansi Haji.26

Proses pengaturan perjalanan haji masyarakat Muslim Nusantara

kemudian terus berlangsung hingga Indonesia merdeka. Setelah

kemerdekaan 1945, koordinasi dan penyelenggaraan haji dilakukan oleh

Kementerian Agama, bekerja sama dengan kementerian/lembaga terkait

lainnya, termasuk dengan Kementerian Kesehatan.27

Kebijakan yang mengatur penyelenggaraan haji Indonesia, secara

umum terus berkembang dan mengalami perubahan sesuai dengan kondisi

Dibentuknya Ordonantie Voor Vilgreemage karena pihak Hindia Belanda khawatir

dengan semakin banyak Ummat Islam Nusantara yang berhaji, maka akan semakin kuat

gerakan Puritanisme, pemberontakan dan perlawanan terhadap Belanda yang dimotori

oleh para Haji dan Ulama. Dengan Ordonansi, Belanda berusaha agar tidak terjadi

masuknya Pan Islamisme dari luar dan mencegah menyebarnya agitasi anti Belanda ke

Makkah. Dari berbagai dokumen berupa surat menyurat diketahui bahwa antara 1881-

1883M, Belanda mencurigai sejumlah Syekh Haji dan mukimin sebagai musuh yang

berbahaya. Sejumlah orang yang melakukan ibadah haji diawasi dengan ketat.

Muhammad Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2007),

297. 24

Peningkatan jumlah jamaah haji setiap tahun, menunjukkan adaptasi dan

penerimaan masyarakat Nusantara yang baik terhadap Islam. Bahkan saat ini Indonesia

merupakan Negara Muslim yang mengirimkan jamaah haji terbanyak setiap tahunnya

jika dibandingkan dengan Negara Muslim lainnya di dunia. Faturahman Yahya, et all

(ed), (Antara Mekah dan Madinah), 202. 25

Madjid, (Berhaji di Masa Kolonial),120. 26

Pemerintah Hindia Belanda mengatur penyelenggaraaan haji masyarakat

pribumi, dengan maksud untuk menarik perhatian masyarakat Nusantara dan memberi

kesan bahwa Pemerintah Kolonial tidak menghalangi kebebasan umat Islam

melaksanakan ibadah haji. Ordonansi Haji dibuat untuk kepentingan politik Hindia

Belanda. Berdirinya konsulat di Jeddah dimaksudkan untuk mengatur masalah haji dan

hubungannya dengan para haji negara lain, gerakan politik muslim, dan warisan para haji

yang meninggal. Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES,

1985). cet. 1.159. 27

Penyelenggaraan kesehatan haji merupakan bagian tidak terpisahkan dalam

penyelenggaraan ibadah haji. Lihat UU Nomor 13 Tahun 2008 Tentang

Penyelenggaraan Ibadah Haji Pasal 31.

Page 23: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

7

sosial, politik28

dan sistem pemerintahan yang berlaku di setiap orde

pemerintahan.

Dalam hal penyelenggaraan kesehatan bagi jamaah haji Indonesia,

pemerintah mengaturnya dalam suatu kebijakan kesehatan haji.

Kebijakan kesehatan haji Pemerintah Indonesia, merupakan instrumen

pemerintah/negara dalam mengatur penyelenggaraan program kesehatan

haji dan pendistribusian sumberdaya yang berhubungan dengan proses

penyelenggaraan kesehatan haji demi tercapainya kepentingan dan tujuan

kesehatan haji Indonesia yang ditetapkan oleh pemerintah.29

Pemerintah Orde Lama (1945-1966) mengkoordinir

penyelenggaraan haji dan bekerjasama dengan pihak ke-tiga dalam

penyediaan transportasi jamaah haji ke Arab Saudi. Perusahaan angkutan

Arafat (PT. Arafat) merupakan pihak ke-tiga yang diserahi urusan

pemberangkatan haji melalui kapal laut. Berbeda pada masa

Pemerintahan Orde Baru (1966-1998), tepatnya mulai tahun 1969,

melalui Keppres Nomor 22 tahun 1969 Tentang Penyelenggaraan Haji,

Pemerintah Indonesia mengambil alih seluruh penyelenggaraan ibadah

haji tanpa ada pihak ke-tiga yang terlibat.

Dimasa Pemerintahan Orde Baru, pemerintah memonopoli semua

urusan haji.30

Monopoli atau dominasi pemerintah dalam

penyelenggaraan haji terus berlangsung hingga masa Reformasi 1999.

Penyelenggaraan haji di masa Reformasi tetap dikoordinir oleh

pemerintah cq Kementerian Agama yang bekerjasama dengan

kementerian teknis lainnya termasuk Kementerian Kesehatan. Disamping

28

Politik merupakan pengaturan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan,

segala urusan dan tindakan kebijakan, siasat, dan sebagainya mengenai pemerintahan

suatu negara atau terhadap negara lainnya. Politik juga bisa diartikan sebagai segala

sesuatu tentang perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Tiga hal pokok yang

harus dipelajari secara holistik dalam politik kesehatan; 1) Regulasi, kebijakan/peraturan

yang berkaitan dengan kesehatan, 2) Distribusidan alokasi sumberdaya kesehatan, 3)

Ekstraktif, penyerapan sumberdaya dari masyarakat lokalmaupun Internasional untuk

mencapai tujuan kesehatan. Sri Handayani, Ilmu Politik dalam Kebijakan Kesehatan (Yogyakarta: Goysen, 2010), 15-16.

29 Donald L.Patrick & Pennifer Erickson, Health Status and Health Policy,

Quality of Life in Health Care Evaluation and Resources Allocation (Oxford: Oxford

University Press, 1993), 419. 30

Penyelenggaraan ibadah haji dimasa Pemerintahan Orde Lama sampai pasca

Reformasi, dikelola oleh pemerintah pusat cq Kementerian Agama. Tugas pokok dan

fungsi Kementerian Agama salah satunya adalah melakukan penyelenggaraan

urusan haji dan umrah, bahkan di dalam UU No 17 tahun 1999 dan UU No 13 tahun

2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang di maksud dengan "Menteri" adalah

menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang agama (Menteri

Agama).

Page 24: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

8

itu, dasar hukum penyelenggaraan ibadah haji yang sebelumnya hanya

diatur oleh Keputusan Presiden atau Menteri terkait, mulai pada masa

Reformasi (1999), penyelenggaraan haji diatur oleh konstitusi negara

berupa Undang-Undang.31

Undang-Undang yang pertama mengatur khusus Penyelenggaraan

Ibadah Haji lahir pada masa Reformasi, UU tersebut adalah UU Nomor

17 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 13 Tahun

2008. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 menjadi dasar

terbentuknya suatu kebijakan kesehatan haji yang dituangkan dalam

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1394 Tahun 2002 Tentang

Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji Indonesia, dan UU Nomor 13

Tahun 2008 menjadi dasar terbentuknya Kepmenkes Nomor 442 Tahun

2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji, Kepmenkes

tersebut sekaligus merevisi Kepmenkes Nomor 1394 Tahun 2002.

Mengacu pada sistem pemerintahan dan politik yang berkembang di

setiap orde pemerintahan, sebagaimana diketahui, Pemerintah Orde Lama

dan Orde Baru, menganut sistem pemerintahan yang sentralistik dalam

menjalankan urusan pemerintahannya. Sistem sentralistik, menyebabkan

penyelenggaraan kesehatan haji Indonesia dikoordinasikan dan

dilaksanakan secara terpusat. Pemerintah pusat mengendalikan seluruh

proses penyelenggaraan kesehatan haji, sedangkan pemerintah daerah,

baik itu provinsi/kabupaten/kota wajib mengikuti kebijakan yang

ditetapkan oleh pemerintah pusat tanpa ada hambatan yang berarti.

Sistem sentralisasi memungkinkan pemerintah pusat melakukan

intervensi dan koreksi langsung kepada daerah jika terdapat hal-hal yang

tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara nasional. Tidak ada

kepentingan politik lokal bahkan resistensi terhadap kebijakan

pemerintah pusat oleh pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan

kesehatan haji di masa pemerintahan sentralistik. Pemerintahan yang

sentralistik membuat kewenangan pemerintah pusat sebagai pembuat

kebijakan dalam hal pelaksanaan kebijakan di daerah bersifat absolut,32

31

Penyelenggaraan ibadah haji pada masa Pemerintahan Orde Lama dan Orde

Baru hanya diatur oleh kebijakan setingkat Keputusan Presiden dan/atau Menteri

terkait, di masa Reformasi berubah menjadi Undang-Undang yang mengatur

penyelenggaraan ibadah haji yaitu UU Nomor 17 Tahun 1999 yang kemudian pada

tahun 2008 direvisi menjadi UU Nomor 13 Tahun 2008. Lihat Komisi Pengawas

Persaingan Usaha Republik Indonesia, Evaluasi Kebijakan Pemerintah terkait dengan Persaingan Usaha dalam Rancangan Perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Jakarta: KPPU, tt),

http://www.kppu.go.id/docs/Positioning_Paper/haji.pdf (accessed September 7, 2013). 32

Pemerintahan sentralistik di masa Orde Baru dianggap mempersulit dan

memperpanjang proses pelayanan publik, apalagi Indonesia merupakan negara dengan

Page 25: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

9

dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat tidak mengalami

hambatan dalam implementasinya di tingkat pelaksana, yang umumnya

terjadi di tingkat kabupaten/kota.

Berbeda pada masa Reformasi, sistem pemerintahan sentralistik

tidak diterapkan lagi. Pola pemerintahan desentralistik dalam kerangka

otonomi daerah di kabupaten/kota dianggap lebih efektif dan efisien bagi

pelayanan publik dan pembangunan33

termasuk dalam penyelenggaraan

urusan kesehatan haji.

Pada awal berlakunya sistem desentralisasi otonomi daerah setelah

Reformasi 1999, pelaksanaan desentralisasi dilakukan secara radikal

dengan mengalihkan urusan pemerintahan yang seluas-luasnya ke daerah.

Kondisi ini ternyata menimbulkan berbagai masalah, seperti

ketidakjelasan pembagian urusan antar susunan pemerintahan dan tidak

jelasnya hubungan interelasi dan interdepensi antar tingkatan dan

susunan pemerintahan, khususnya antara pemerintahan daerah dengan

pemerintah pusat dan antara pemerintahan daerah provinsi dengan

pemerintahan daerah kabupaten/kota. Pada saat itu, sering timbul situasi

egosektor antar pemerintahan.

Pada masa Reformasi,34

semangat desentralisasi dan otonomi

daerah35

menjadi dasar seluruh pelaksanaan urusan pemerintahan daerah

di Indonesia. Masa Reformasi,36

telah merubah sistem pemerintahan yang

wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk yang besar dan tersebar dibeberapa

wilayah kepulauan. Lihat Lembaga Penelitian Syaikhu Usman Compiller, Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Kasus Tiga Kabupaten di Sulawesi Utara dan Gorontalo (Manado: Lembaga Penelitian SMERU, 2001),1.

33 Krister Andersson and Clark C Gibson, “Decentralization Governance and

Environmental Change: Local Institutional in Bolivia.” Journal of Policy Analysis and Management Vol.26. No.1 (2007):99-123.

34 Orde Reformasi dimulai sejak lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998. Di masa

Reformasi terjadi perkembangan multi partai dan lahirnya UU Nomor 2 tahun 1998

Tentang Otonomi Daerah dan UU Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah

seiring dengan merosotnya kredibilitas pemerintah pusat pada saat itu. Alirman

Hamzah, Kerukunan Antar Umat Beragama (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2007),

37. 35

Otonomi daerah di kabupaten/kota dimaksudkan untuk meningkatkan

pelayanan publik kepada masyarakat di wilayahnya, termasuk dalam pelayanan

kesehatan jamaah haji. Otonomi daerah memiliki nilai atau tujuan "politik" dan

"administrasi". Tujuan politiknya adalah dalam rangka meningkatkan demokratisasi

kehidupan bernegara, sedangkan tujuan administrasinya adalah eflsiensi dan efektifitas

penyelenggaraan negara dalam memberikan pelayanan publik. Lihat Ryaas Rasyid,

“Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya" dalam Desentralisasi dan Otonomi Daerah, ed. Syamsuddin Harris (Jakarta: LIPI Press, 2005), 3.

36 Di Masa Reformasi, lahir UU Nomor 2 tahun 1998 Tentang Otonomi Daerah

dan UU Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah (yang kemudian dirubah

Page 26: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

10

semula sentralistis menjadi desentralisasi dalam kerangka otonomi

daerah.37

Dengan demikian, hubungan antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah yang sebelumnya "sentralistis",38

berubah menjadi

"desentralisasi”.39

Sistem pemerintahan yang ter-desentralisasi di

kabupaten/kota, sering diterjemahkan sebagai legitimasi daerah untuk

kepentingan politik lokal, daripada memikirkan bagaimana pemerintahan

daerah dapat bersinergi dengan pemerintah pusat dalam rangka

meningkatkan pelayanan publik demi kepentingan kesejahteraan

masyarakatnya, akibat lebih mementingkan kepentingan lokal tersebut,

maka banyak kendala dan hambatan yang dihadapi oleh pemerintah pusat

dalam penerapan atau implementasi kebijakan nasional di daerah.

Pola pemerintahan yang terdesentralisasi pasca Reformasi

(desentralisasi politik), menyebabkan adanya tarik menarik kepentingan

dalam penyelenggaraan kesehatan haji, antara pemerintah pusat dengan

pemerintah daerah. Desentralisasi “urusan kesehatan” kepada

pemerintahan daerah, yang terjadi di masa pasca Reformasi tersebut,

menyebabkan penyelenggaraan kesehatan haji40

yang dilaksanakan oleh

menjadi Undang Undang Nomor 32 tahun 2004). Hal tersebut merupakan langkah baru

untuk membenahi penyelenggaraan pemerintahan yang dianggap kurang baik dimasa

Orde Baru. Pada masa Reformasi (1999) lahir pula UU Nomor 17 tahun 1999 Tentang

penyelenggaraan ibadah haji, suatu legislasi baru terhadap kebijakan nasional haji,

sebelumnya penyelenggaraan haji hanya diatur oleh Keputusan Presiden atau Keputusan

Menteri terkait. 37

Hal ini sesuai dengan UU Nomor 2 Tahun 1998 Tentang Otonomi Daerah dan

UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. 38

Pemerintahan Sentralistik lebih efektif dengan sistem komando

penyelenggaraan negara.Kebijakan Pemerintah Pusat dapat langsung dilaksanakan oleh

pemerintah daerah. Pemerintah daerah hanya bagian dari desentralisasi adminsitrasi

saja. Lihat Syarif Hidayat, "Desentralisasi untuk pembangunan daerah, Dialog

Kelompok Positivist dan Relativist "Jentera Jurnal Hukum Edisi 14 Tahun IV” (Oktober

2006), 12. 39

Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke

Pemerintah Daerah. Dalam pelaksanaannya, desentralisasi cenderung diterjemahkan

sebagai legitimasi daerah untuk kepentingan politik lokal. Akibat euforia dan arogansi

politik para penguasa di daerah, banyak peraturan Pemerintah Pusat yang tidak

diimplementasikan dengan baik di daerah. Dengan berlangsungnya desentralisasi maka

pemerintah daerah menjadi kekuatan politik lokal dalam sistem pemerintahan reformasi.

Lihat Syarif Hidayat, Desentralisasi untuk Pembangunan Daerah, Dialog Kelompok Positivist dan Realitivist, 5.

40 Tujuan penyelenggaraan kesehatan haji sesuai Kepmenkes No.

442/Menkes/SK/VI/2009 adalah; 1) Meningkatkan kondisi kesehatan jamaah haji

sebelum keberangkatan, 2) Menjaga agar jamaah haji dalam kondisi sehat selama

menunaikan ibadah,sampai tiba kembali di Tanah Air, 3) Mencegah terjadinya transmisi

penyakit menular yang mungkin terbawa keluar/masuk oleh jamaah haji. Pemeriksaan

awal jamaah haji (Health Assessment) dan program pembinaan kesehatan haji (Health

Page 27: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

11

pemerintah kabupaten/kota, seringkali tidak sejalan dengan pedoman

kesehatan haji yang ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui Kepmenkes

Nomor 442 Tahun 2009.41

Persoalan utama yang ditemukan dalam

penyelenggaraan kesehatan haji adalah lemahnya implementasi keputusan

menteri tersebut di tingkat pelaksanaan di daerah. Proses pemeriksaan

dan pembinaan atau peningkatan kesehatan jamaah haji yang merupakan

kegiatan penting dan strategis serta menjadi dasar untuk peningkatan

status kesehatan jamaah sebelum keberangkatan, seringkali

penyelenggaraannya tidak sesuai dengan standar pelaksanaan yang

ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Sistem pemerintahan yang menganut prinsip desentralisasi otonomi

politik di kabupaten/kota, berkontribusi terhadap timbulnya berbagai

variasi bahkan deviasi terhadap implementasi kebijakan pemerintah pusat

tentang penyelenggaraan kesehatan haji di kabupaten/kota. Sebaik

apapun isi dari suatu kebijakan, tetapi dalam implementasinya lemah,

maka kebijakan yang dibuat tersebut tidak akan memiliki dampak apa-

apa. Variasi dan deviasi penyelenggaraan kesehatan haji di

kabupaten/kota timbul akibat adanya kewenangan kuat pemerintah

daerah, dalam melakukan kompromi terhadap standarisasi yang telah

ditetapkan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah cenderung

melaksanakan suatu kegiatan terkait penyelenggaraan kesehatan haji di

wilayahnya sesuai situasi, kondisi, keinginan dan kepentingan atau

prioritas pemerintah setempat. Penyelenggaraannya, sering tidak

memenuhi standar dan mutu pelayanan yang ditetapkan dalam pedoman

penyelenggaraan kesehatan haji. Kondisi tersebut akan memperburuk

sistem penyelenggaraan kesehatan haji secara menyeluruh.

Otonomi daerah dipastikan dapat mempersulit implementasi

kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji di kabupaten/kota. Lemahnya

implementasi kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji42

di

Improvement) diselenggarakan oleh puskesmas atau rumah sakit yang ditentukan oleh

pemerintah kabupaten/kota. Prosesi ibadah haji jika dilakukan dengan benar, disiplin

dan dengan menjaga kebersihan justru akan memperkuat fisik dan kesehatan rohani.

Prosesi ibadah haji dapat menyembuhkan kegelisahan hati, kerisauan dan penyakit

psikologis. Lihat Abdul Ali, (Sihhatuka fi al-Hajj), 13. 41

Kebijakan Nasional tentang penyelenggaraan kesehatan haji seharusnya ditaati

dan dilaksanakan oleh penyelenggara kesehatan haji disetiap tingkatan pemerintahan

terutama di tingkat pelaksana kabupaten/kota, sesuai dengan kewenangan masing-

masing tingkatan pemerintahan. Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007

Tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan

Pemerintah Kabupaten/Kota. 42

Lemahnya pelayanan dan pemeriksaan kesehatan bagi jamaah haji yang sesuai

standar nasional di kabupaten/kota disebabkan oleh kuatnya fenomena kekuatan politik

Page 28: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

12

kabupaten/kota menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya standar

dan mutu pelayanan kesehatan haji di kabupaten/kota.

Sesuai kebijakan kesehatan haji Pemerintah Indonesia yang

tertuang pedoman penyelenggaraan kesehatan haji, secara umum

penyelenggaraan kesehatan haji di kabupaten/kota terdiri dari;

pemeriksaan dan pembinaan kesehatan haji. Keduanya, merupakan

kegiatan penting dan strategis untuk membentuk jamaah calon haji yang

istit}a>’ah. Namun, dalam pelaksanaannya, pemerintah kabupaten/kota

lebih memprioritaskan proses pemeriksaan kesehatan jamaah haji

daripada pembinaan kesehatan, padahal kegiatan keduanya (pemeriksaan

dan pembinaan kesehatan haji) diatur dalam pedoman penyelenggaraan

kesehatan haji (Kepmenkes Nomor 442 Tahun 2009).

Pemeriksaan kesehatan jamaah haji oleh pemerintah kabupaten/kota

dianggap lebih mudah dilaksanakan dan lebih menguntungkan, jika

dibandingkan dengan proses pembinaan kesehatan jamaah haji.

Pemeriksaan kesehatan terhadap jamaah haji tidak memerlukan waktu

yang lama dan dapat menghasilkan pendapatan keuangan bagi

penyelenggara (Puskesmas dan rumah sakit yang ditunjuk oleh

pemerintah daerah) karena dalam prosesnya, jamaah haji membayar

seluruh komponen biaya pemeriksaan kesehatan sesuai jenis pemeriksaan

dan pengobatan yang diberikan oleh para petugas kesehatan haji, jamaah

haji tidak masuk kedalam sistem kesehatan rutin, misalnya mereka yang

memiliki asuransi kesehatan tidak bisa menggunakan asuransi tersebut

dalam pemeriksaan dan pengobatan dalam penyelenggaraan kesehatan

haji.

Berbeda dengan kegiatan pembinaan kesehatan haji, sesuai

pedoman penyelenggaraannya, pembinaan kesehatan bertujuan untuk

melakukan peningkatan status kesehatan jamaah haji sehingga

memerlukan waktu yang cukup lama dan membutuhkan sistem

pengelolaan dana khusus yang harus diupayakan dan disediakan oleh

pemerintah daerah. Pembinaan kesehatan haji merupakan upaya yang

sangat diperlukan untuk meningkatkan kondisi kesehatan jamaah haji

agar mencapai kondisi istit}a>’ah kesehatan, namun proses pembinaan

lokal otonomi daerah dan lemahnya penerapan PP Nomor 38 Tahun 2007 Tentang

pembagian urusan pemerintahan. Praktik euforia otonomi daerah menyebabkan pedoman

kesehatan haji yang tertulis dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 442 Tahun

2009 kurang mendapat perhatian pemerintah daerah. Aparatur pemerintah

kabupaten/kota lebih mengutamakan keputusan dan kebijakan politik yang berasal dari

bupati/walikota dan/atau DPRD kabupaten/kota. Kondisi ini akibat penerapan

desentralisasi di kabupaten/kota pasca Reformasi sesuai UU Nomor 22 Tahun 1999 yang

kemudian direvisi dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Page 29: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

13

kesehatan jamaah haji di sebagian besar kabupaten/kota kurang

mendapatkan perhatian.43

Selain dilaksanakan secara berjenjang mulai di kabupaten/kota,

penyelenggaraan kesehatan haji Pemerintah Indonesia dilaksanakan

secara menyeluruh meliputi upaya kesehatan promotif,44 preventif,45 kuratif,46 dan rehabilitatif.47

Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah

pusat cq Kemkes harus bekerjasama dengan kementerian/badan/lembaga

terkait lainnya, pemerintahan daerah provinsi/kabupaten/kota, para tokoh

masyarakat, ulama serta organisasi masyarakat lainnya yang berkaitan

dengan penyelenggaraan kesehatan haji.

Keterlibatan para Tokoh Agama/Ulama dan Organisasi Masyarakat

Islam dalam memberikan masukan kepada pihak pemerintah, perlu

dilakukan untuk memperkuat “pemahaman para pembuat dan pelaksana

kebijakan” dalam hal “kesehatan” dan “haji” menurut sudut pandang

Agama Islam, sehingga pemerintah cq Kementerian Kesehatan sebagai

“penanggungjawab” penyelenggaraan kesehatan haji secara nasional

dapat membuat kebijakan kesehatan haji yang tidak bertentangan dengan

Syariat Islam.

Untuk mensukseskan penyelenggaraan kesehatan haji secara

menyeluruh, pemerintah pusat harus bekerjasama dengan pemerintahan

daerah provinsi/kabupaten/kota yang merupakan penyelenggara dan

43

Karena adanya desentralisasi kewenangan dalam urusan kesehatan, keputusan

untuk melakukan/implementasi program pembinaan kesehatan haji berada di pemerintah

kabupaten/kota. Lihat PP Nomor 38 Tahun 2007. 44

Promotif atau promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan

pengetahuan, sikap dan perilaku jamaah haji untuk hidup bersih dan sehat dan mampu

sehat mandiri, melalui pembelajaran dari, oleh dan bersama jamaah haji, sesuai sosial

budaya setempat, dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kebijakan

kesehatan haji. Lihat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 442/Menkes/SK/VI/2009

Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji, 40. 45

Pelayanan promotif adalah upaya meningkatkan kesehatan masyarakat ke arah

yang lebih baik dan mencegah agar masyarakat terhindar dari penyakit. Lihat Juanita,

"Peran Asuransi Kesehatan Dalam Benchmarking Rumah Sakit Dalam Menghadapi

Krisis Ekonomi," (Medan: FKM Universitas Sumatera Utara, 2002), 1; Kamus Besar

Bahasa Indonesia, http://kamusbahasaindonesia.org/ (diunduh pada 2 Februari 2012). 46

Kuratif adalah proses pengobatan, atau pemberian obat terhadap kasus

penyakit pada individu, menolong menyembuhkan penyakit; mempunyai daya untuk

mengobati. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kamusbahasaindonesia.org/

(diunduh pada 2 Februari 2012). 47

Rehabilitatif adalah proses tindakan atau program untuk meniadakan atau

meminimalisasi dampak suatu penyakit dan penyulitnya atau untuk memperkecil efek

dari suatu kelainan atau akibat dari suatu penyakit. Lihat

http://rnskosim.com/2010/03/tindakan-kiiratif-dan-rehabilitatif (diunduh pada 5 Januari

2009).

Page 30: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

14

penanggungjawab pelayanan kesehatan haji di wilayahnya, terlebih lagi

di masa pasca reformasi, “urusan kesehatan” termasuk kesehatan haji

merupakan urusan pemerintahan yang telah didesentralisasikan48

kepada

pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Dalam menyusun kebijakan kesehatan haji, Pemerintah Indonesia

sangat tergantung dengan kondisi dan sistem politik yang berlaku di

dalam negeri dan luar negeri. Kebijakan kesehatan luar negeri yang

menjadi acuan dan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan kesehatan

haji antara lain adalah aturan dan kebijakan politik Kerajaan Arab Saudi

yang biasanya dinyatakan dalam Takli>mat al Hajj49 Kerajaan Arab Saudi.

Selain Takli>mat al Hajj, kebijakan kesehatan haji Pemerintah Indonesia

juga harus memperhatikan rekomendasi kesehatan dari Badan

Internasional Kesehatan Dunia (World Health Organization) tentang

situasi dan kondisi kesehatan masyarakat Internasional yang sedang

berkembang, misalnya saat terjadi epidemi penyakit Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada tahun 2006-2009 dan outbreak Virus flu burung (H5N1) dan flu babi (H1N1) tahun 2008-2010 yang pada saat

itu, WHO dan Kemkes Negara-Negara Arab merekomendasikan agar

anak dibawah 12 tahun dan orang tua diatas 65 tahun tidak diprioritaskan

melakukan ibadah haji, dan seluruh jamaah haji Indonesia harus diberikan

vaksinasi influenza50

sebagai upaya perlindungan terhadap penularan

penyakit SARS dan Flu Burung.

Selain pemberian vaksinasi influenza, keharusan/kewajiban

pemberian vaksin meningitis kepada seluruh jamaah haji Indonesia

merupakan bukti bahwa kebijakan kesehatan haji Pemerintah Indonesia

dipengaruhi oleh Taklimatul Hajj Pemerintah Arab Saudi dan

48

Sesuai Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji bahwa bupati/walikota

adalah penanggungjawab penyelenggaraan program kesehatan haji di kabupaten/kota,

dan gubernur adalah penanggungjawab penyelenggaraan program kesehatan haji di

provinsi. Lihat Kepmenkes Nomor 442 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan

Kesehatan Haji, 34. 49Takli>mat al Hajj adalah petunjuk atau arahan Pemerintah Arab Saudi yang

harus dipatuhi oleh setiap negara yang akan melakukan ibadah haji di Arab Saudi, antara

lain Pemerintah Arab Saudi mewajibkan seluruh jamaah haji di vaksinasi Meningitis Meningokokus sebagai syarat memperoleh visa Haji. Lihat Julitasari, Eka Jusup Singka,

Thafsin Alfarizi, (eds). Petunjuk Teknis Imunisasi Meningitis Meningokokus (Jakarta:

Kemkes RI, 2010),4. 50

Vaksinasi Influenza adalah jenis vaksinasi untuk kekebalan terhadap virus

penyebab Influenza. Pada saat penyakit SARS dan Flu Burung (Avian Flu) mewabah,

Pemerintah Arab Saudi mewajibkan seluruh jamaah haji divaksinasi Influenza. Penyakit

Influenza merupakan penyakit menular yang penularannya sangat cepat dan kerapkali

menyerang jamaah haji, dan dapat melemahkan kondisi fisik jamaah haji. Abdul Ali,

(Sih}h}atuka fi al Hajj),35.

Page 31: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

15

rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO),51

yang menyatakan bahwa

pemberian vaksinasi meningitis merupakan suatu keharusan bagi jamaah

haji yang akan berangkat ke Tanah Suci.52

Menilik sistem penyelenggaraan kesehatan haji yang melibatkan

banyak instansi/organisasi, maka dalam pelaksanaannya penuh dengan

kompleksitas, sehingga menimbulkan banyaknya interaksi kepentingan

antar instansi/organisasi yang terlibat, akibatnya pemerintah sebagai

penyelenggara pelayanan kesehatan haji (implementing) sering menerima

kritik dan tanggapan negatif tentang pelaksanaannya. Kritik dan

tanggapan negatif terhadap pelayanan ibadah haji pada umumnya

disebabkan pelayanan yang diberikan pemerintah kepada jamaah haji53

dianggap belum optimal dan kerapkali, jamaah haji hanya dijadikan

“objek” guna memperoleh keuntungan pihak-pihak tertentu.54

Selain sebagai penyelenggara (implementor), pemerintah Indonesia

juga berperan sebagai penyusun kebijakan kesehatan haji (regulator) bahkan juga bertindak sebagai evaluator terhadap penyelenggaraan

kesehatan haji yang dilaksanakannya sendiri. Peran pemerintah yang

sangat dominan tersebut, menyebabkan lemahnya mekanisme monitoring

dan evaluasi atau pengawasan terhadap penyelenggaraan kesehatan haji

itu sendiri.

Peran pemerintah yang sangat dominan, yaitu sebagai implementor, regulator dan evaluator dalam penyelenggaraan kesehatan haji akan

membuka peluang pemerintah untuk bertindak “subjektif” dalam

membuat regulasi dan evaluasi penyelenggaraan kesehatan haji.

Sehingga, pemerintah Indonesia cenderung melakukan politik

“pencitraan” terkait penyelenggaraan kesehatan haji. Pemerintah akan

mengkondisikan dan membuat image kepada masyarakat bahwa

51

WHO merekomendasikan agar seluruh jamaah haji yang akan masuk ke Tanah

Suci, sebagai tempat pengumpulan massa yang besar di dunia, divaksinasi Meningitis

untuk mencegah terjadinya Pandemi Meningitis. Lihat Memish, ZA. “The Hajj:

Communicable and Non-communicable Health Hazards and Current Guidance for

Pilgrims.” Euro surveilance 15:39. 52

World Health Organization. “Interim Guidance on Public Health Measures for

The Returnee Hajj Pilgrims.” WHO Regional Office for The Eastern Mediterranean (EMRO) (1 December 2009), http://www.emro.who.int/ csr/h1n1/ pdf/interim _guidance

_phc measures_hajj_11_09_pdf. (accessed March 6, 2012). 53

Jamaah haji adalah Warga Negara Indonesia yang beragama Islam yang telah

mendaftarkan diri untuk menunaikan ibadah haji sesuai persyaratan yang ditetapkan.

Lihat UU Nomor 13 tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Kepmenkes

No 442/Menkes/SK/VI/2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji. 54

Mahtuh Basyuni, "Penyelenggaraan Haji Harus Tertib Aturan", dalam Esai-Esai Keagamaan (Jakarta: FDK Press, 2008), 248.

Page 32: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

16

penyelenggaraan kesehatan haji yang dikerjakannya selalu sukses

menurut sisi pandang pemerintah sendiri. Kondisi ini akan menyebabkan

kualitas pelayanan kesehatan haji yang bermutu dan sesuai dengan

keinginan dan kebutuhan masyarakat Muslim Indonesia semakin jauh dari

harapan dan sulit tercapai.

Penyelenggaraan kesehatan haji yang dikoordinir dan dikelola

secara dominan oleh pemerintah, cenderung membuat posisi masyarakat

sebagai “objek” penyelenggaraan bukan “subyek”. Masyarakat sering

tidak berdaya dalam memberikan masukan atau kritik untuk memperbaiki

mutu pelayanan kesehatan haji yang sesuai dengan harapan masyarakat.

Hampir setiap tahun, berita seputar kesehatan haji dan rendahnya

kualitas pelayanan kesehatan haji muncul dan menjadi isu perdebatan

sosial masyarakat Indonesia. Rendahnya kualitas pelayanan kesehatan

bagi jamaah haji Indonesia yang dilakukan oleh para tenaga kesehatan di

berbagai tingkatan pemerintahan,55

dapat dibuktikan dengan masih

tingginya jumlah jamaah haji yang memiliki risiko penyakit yang

berbahaya, angka kesakitan dan angka kematian jamaah haji Indonesia

setiap tahunnya. Selain berhubungan dengan penyelenggaraan dan

manajemen kesehatan haji, rendahnya kualitas pelayanan kesehatan haji

juga berkaitan dengan rendahnya kompetensi yang dimiliki oleh para

tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara langsung

kepada jamaah haji saat di Tanah Air dan di Arab Saudi.

Sebagai bagian dari sistem penyelenggaraan kesehatan haji di

Indonesia, Tenaga Kesehatan Haji Indonesia, secara umum, terdiri dari

tenaga pemeriksa kesehatan haji di puskesmas dan rumah sakit, tenaga

kesehatan pemberi pelayanan di asrama haji embarkasi/debarkasi dan

tenaga kesehatan haji yang menyertai jamaah di kloter dan yang bertugas

di Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) di Arab Saudi.

Tenaga kesehatan haji yang bertugas di embarkasi dan Arab Saudi

dipilih dan ditentukan melalui mekanisme seleksi oleh Kemkes,

sedangkan tenaga pemeriksa kesehatan haji yang bertugas sebagai tim

pemeriksa kesehatan haji di kabupaten/kota dipilih dan ditetapkan oleh

pemerintah daerah cq dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.56

55

Tingkatan pemerintahan kabupaten/kota, provinsi/embarkasi, dan di Arab

Saudi merupakan tingkatan pelaksanaan pelayanan haji Indonesia. Lihat Kepmenkes

Nomor 1394 Tahun 2002 dan Kepmenkes Nomor 442 Tahun 2009 Tentang Pedoman

Penyelenggaraan Kesehatan Haji. 56

Tenaga kesehatan haji berasal dari berbagai unsur pemerintahan di Indonesia,

mereka berasal dari kementerian pusat dan pemerintahan provinsi/kabupaten/kota

termasuk unsur TNI/Polri dan swasta. Lihat Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

706/2011 Tentang Pedoman Rekruitmen Petugas Kesehatan Haji Indonesia.

Page 33: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

17

Rendahnya kualitas pelayanan kesehatan kepada jamaah haji memberikan

kesan bahwa para tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kepada

jamaah haji dianggap tidak profesional dan belum memposisikan jamaah

haji sebagai “client” yang harus diutamakan kebutuhan dan

kepuasannya.57

Menilik sistem penyelenggaraan kesehatan haji Indonesia yang

komprehensif dan berjenjang, dimana seluruh unsur pemerintahan

kabupaten/kota, provinsi dan pusat terlibat. Pemerintah daerah

kabupaten/kota, sebagai bagian dari sistem tersebut, berperan sebagai

penanggungjawab terhadap penyelenggaran pelayanan kesehatan haji di

wilayahnya. Namun, ditataran struktur birokrasi dinas kesehatan

kabupaten/kota, dinas kesehatan kabupaten/kota tidak memiliki struktur

kelembagaan khusus pelayanan kesehatan haji seperti program kesehatan

lainnya. Kondisi tersebut mengakibatkan program penyelenggaraan

kesehatan haji di kabupaten/kota tidak dikelola secara profesional dan

tidak masuk ke dalam sistem pembangunan kesehatan di daerah secara

permanen. Penyelenggaraan kesehatan haji di kabupaten/kota bersifat

temporary/ad hook pada waktu/periode tertentu saja, yang dilaksanakan

pada saat menjelang pendaftaran dan keberangkatan jamaah haji.

Dari masa ke masa penyelenggaraan kesehatan haji banyak

mengalami dinamika yang bermuara pada beberapa persoalan pokok,

antara lain; 1) Masih dirasakan kurang memuaskannya pelayanan

kesehatan haji yang dilakukan oleh para penyelenggara haji disetiap

masa, 2) Masih ditemukan banyaknya jamaah haji yang berangkat ke

Tanah Suci dalam keadaan yang tidak istit}a>’ah kesehatannya, 3) Masih

ditemukan banyaknya persoalan yang dirasakan oleh para jamaah haji

Indonesia selama masa persiapan di Tanah Air dan masa pelaksanaan

prosesi ibadah di Arab Saudi,58

dan 4) Lemahnya implementasi peraturan

atau kebijakan yang dibuat oleh para penyelenggara haji disetiap masa

yang berimplikasi pada kurang optimalnya penyelenggaraan kesehatan

haji Indonesia.59

Pasca reformasi, Kemkes telah mengeluarkan Keputusan Menteri

57 Jamaah haji sebagai Client maksudnya adalah Patient Centered atau Pro-

jamaah. Kepentingan dan keluhan jamaah harus diperhatikan. Jamaah bukan dijadikan

Revenue (untuk meraih keuntungan). 58

Persoalan yang dihadapi oleh jamaah haji di Arab Saudi antaralain disebabkan

oleh adanya perbedaan sosial, budaya, dan cuaca. Perbedaan tersebut dapat

mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis jamaah haji Indonesia di Arab Saudi. Lihat

Umar Fahmi, dkk. Buku Manajemen Resiko Kesehatan Haji (Jakarta: Departemen

Kesehatan, 2006), 20. 59

Achmad Nizam, Alatief Hanan, Manajemen Haji, Studi Kasus dan Telaah Implementasi Knowledge Workers (Jakarta; Zikrul Hakim;2003), 21.

Page 34: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

18

Kesehatan Nomor 1394 Tahun 2002 Tentang Pedoman Penyelenggaraan

Kesehatan Haji yang selanjutnya direvisi menjadi Keputusan Menteri

Kesehatan Nomor 442 tahun 2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan

Kesehatan Haji.60

Kebijakan kesehatan haji Pemerintah Indonesia, selalu

berkembang sesuai situasi dan kondisi, serta cenderung mengalami

perbaikan dari waktu ke waktu. Kebijakan yang dibuat bertujuan untuk

mengatur penyelenggaraan kesehatan haji di Indonesia agar lebih

profesional dan akuntabel, tetapi dalam tatanan pelaksanaannya

(implementasi), terutama di masa Reformasi, masih banyak kendala dan

hambatan yang dihadapi di tingkat kabupaten/kota sebagai konsekuensi

dari sistem desentralisasi otonomi daerah.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Dari uraian latarbelakang, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan

mengenai penyelenggaraan kesehatan haji pasca Reformasi sebagai

berikut;

1) Lemahnya implementasi kebijakan kesehatan haji Pemerintah

Indonesia (Kepmenkes Nomor 442 Tahun 2009) di tingkat pelaksana

kabupaten/kota.61

Kondisi tersebut dianggap sebagai akar

permasalahan terhadap tidak terstandarnya proses pemeriksaan dan

pembinaan kesehatan jamaah calon haji di kabupaten/kota.

Lemahnya implementasi kebijakan kesehatan haji pemerintah pusat di

kabupaten/kota pasca Reformasi, secara prinsip disebabkan oleh

terkotak-kotaknya sistem pemerintahan di Indonesia akibat

berlakunya sistem desentralisasi otonomi menurut UU Nomor 22

Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun

2004.

Selain berimplikasi terhadap lemahnya implementasi kebijakan,

otonomi daerah di kabupaten/kota, juga menyebabkan proses

pembinaan dan pengawasan program kesehatan haji yang menjadi

tugas pemerintah pusat cq Kemkes kepada pemerintahan

kabupaten/kota mengalami banyak persoalan dan hambatan. Sistem

60

Keduanya merupakan tindaklanjut dari UU Nomor 17 Tahun 1999 dan UU

Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. 61

Kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji yang dibuat oleh pemerintah

bertujuan untuk mengatur dan mengatasi berbagai persoalan yang berhubungan dengan

pelaksanaan/pelayanan kesehatan haji di Indonesia di seluruh tingkatan pemerintahan,

termasuk di kabupaten/kota. Kebijakan Kesehatan Haji merupakan tindaklanjut dari

amanah konstitusi Negara dalam UU Nomor 13 Tahun 2008 Pasal 31.

Page 35: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

19

desentralisasi, membuat pemerintah daerah, tidak memiliki

tanggungjawab administratif dan politik serta moril secara langsung

kepada pemerintah pusat. Secara politik dan administratif,

pemerintah daerah berada di bawah kekuasaan gubenur dan

bupati/walikota, akibatnya, Satuan Kerja Pemerintahan Daerah

(SKPD) lebih mementingkan dan memperhatikan kebijakan dan

kepentingan politik lokal daripada memperhatikan aturan dan

kebijakan teknis yang dibuat oleh Kementerian Pemerintah Pusat.

Sehingga, dalam hal penyelenggaraan kesehatan haji di

kabupaten/kota, dinas kesehatan kabupaten/kota yang merupakan

satuan kerja pemerintah daerah, yang juga sebagai pelaksana

kebijakan kesehatan haji menjadi semakin sulit dikendalikan oleh

pemerintah pusat. Akibatnya, pemerintah pusat cq Kemkes

mengalami kesulitan untuk melakukan corective action kepada daerah

jika penyelenggaraan kesehatan haji di wilayahnya tidak sesuai

dengan kebijakan nasional yang telah ditetapkan.

Sistem pemerintahan yang terdesentralisasi, menyebabkan

pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki kewenangan yang luas

dalam menentukan aturan lokal dan cara kerja/mekanisme

penyelenggaraan kesehatan haji di wilayahnya. Sistem

desentralisasi/otonomi daerah menyebabkan pemerintah pusat cq

Kemkes tidak berdaya dalam melakukan kritik, intervensi dan koreksi

terhadap kabupaten/kota,62

jika penyelenggaraan kesehatan haji yang

dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota tidak sesuai dengan

standar nasional yang telah ditetapkan.63

Kesulitan dan hambatan dalam melakukan implementasi kebijakan

kesehatan haji di kabupaten/kota tidak terlepas dengan kuatnya

praktik desentralisasi otonomi “urusan kesehatan haji” di

kabupaten/kota dan adanya anggapan para aparatur kesehatan di

daerah, bahwa desentralisasi sebagai otonomi penuh pemerintah

kabupaten/kota yang tidak bisa diintervensi oleh pemerintah pusat,

padahal Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan

(Unitarian) yang tidak mengenal pembagian kedaulatan. Negara

Kesatuan hanya mengenal adanya pemberian tugas khusus kepada

bagian-bagian pemerintahan yang ada dalam Negara Kesatuan.

62

Dalam nuansa otonomi daerah, justru daerah yang kerapkali melakukan kritik

interaksi dan koreksi kepada pusat demi kepentingan daerahnya masing-masing. Kondisi

tersebut akibat sistem desentralisasi pasca Reformasi yang menganut desentralisasi

politik. 63

Sri Handayani, Ilmu Politik dalam Kebijakan Kesehatan (Yogyakarta: Goysen,

2010), 16.

Page 36: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

20

Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 yang merupakan turunan

dari UU Nomor 32 Tahun 2004, merupakan peraturan pemerintah

yang mengatur tentang pembagian urusan pemerintahan antara

pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah

kabupaten/kota. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur

peran/kewenangan dan tanggungjawab setiap tingkatan pemerintahan

di Indonesia.

Mengacu pada PP Nomor 38 Tahun 2007, "urusan kesehatan" bukan

mutlak urusan pusat, tetapi merupakan "urusan bersama" antara

pemerintahan pusat, pemerintahan provinsi dan pemerintahan

kabupaten/kota. Sesuai peraturan tersebut, pemerintah pusat cq

Kemkes memiliki tugas membuat kebijakan dan peraturan tentang

penyelenggaraan kesehatan haji. Peraturan/kebijakan yang telah

dibuat oleh Kemkes adalah pedoman penyelenggaraan kesehatan haji

yang tertuang dalam Kepmenkes Nomor 442/Menkes/SK/VI/2009.

Dengan memperhatikan PP Nomor 38 tahun 2007, maka pemerintah

provinsi dan kabupaten/kota harus menjalankan kebijakan kesehatan

haji tersebut dalam bentuk pelaksanaan/implementasi kebijakan

kesehatan haji (Kepmenkes Nomor 442 Tahun 2009) di wilayahnya.

Namun dalam praktiknya, banyak pemerintah daerah yang

menyelenggarakan pemeriksaan dan pembinaan kesehatan haji tidak

mengikuti pedoman kebijakan kesehatan haji yang ditetapkan oleh

pemerintah pusat cq Kemkes. Lemahnya implementasi kebijakan

inilah yang berkontribusi terhadap kurang optimalnya

penyelenggaraan kesehatan haji bagi masyarakat Indonesia.64

2) Lemahnya pengendalian mutu (quality control) pelayanan kesehatan

haji yang diselenggarakan oleh pemerintah. Kondisi tersebut

disebabkan oleh sangat dominannya peran Pemerintah Indonesia

dalam penyelenggaraan kesehatan haji.65

Peran pemerintah yang

64

Peraturan daerah yang timbul terkait penyelenggaraan kesehatan haji di

kabupaten/kota terjadi akibat sistem pemerintahan yang terdesentralisasi dalam

kerangka otonomi daerah yang luas (deentralisasi politik) sesuai UU Nomor 22 Tahun

1999 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah. Dalam penyelenggaraan urusan kesehatan haji, pemerintah daerah lebih patuh

terhadap peraturan daerah atau peraturan bupati/walikota daripada peraturan

kementerian teknis tentang penyelenggaran kesehatan haji. Akibat desentralisasi yang

luas, pemerintah daerah dapat mengeluarkan peraturan daerah terkait penyelenggaraan

kesehatan haji di kabupaten/kota, meskipun menurut UU Nomor 13 Tahun 2008

Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji urusan kesehatan haji merupakan urusan

pemerintah pusat cq Kementerian Kesehatan, tetapi harus tetap dikoordinasikan dengan

pemerintahan daerah. 65

Umat Islam Nusantara telah melakukan perjalanan haji sejak Islam masuk ke

Page 37: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

21

sangat dominan tersebut, pada prinsipnya mengacu kepada amanah

konstitusi dan peraturan perundang-undangan tentang

penyelenggaraan ibadah haji. Amanah konstitusi menyatakan bahwa

pemerintah bertanggungjawab dalam penyelenggaraan haji di

Indonesia dan berkewajiban memberikan pelayanan haji kepada

masyarakatnya.

Sebagai institusi yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan

kesehatan haji, pemerintah pusat cq Kemkes mengatur seluruh proses

pelaksanaan kesehatan haji mulai di tingkat kabupaten/kota, provinsi,

embarkasi/debarkasi dan selama di Arab Saudi dalam suatu pedoman

teknis penyelenggaraan kesehatan haji. Kebijakan kesehatan haji telah

mewarnai proses penyelenggaraan kesehatan haji Indonesia, dimasa

Reformasi telah terbit dua kebijakan kesehatan haji yaitu Kepmenkes

Nomor 1394 Tahun 2002 sebagai amanah UU Nomor 17 tahun 1999

dan Kepmenkes Nomor 442 Tahun 2009 sebagai tindaklanjut UU

Nomor 13 tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Dalam

penyelenggaraan haji termasuk penyelenggaraan kesehatan haji,

Pemerintah Indonesia berperan sebagai regulator, implementor bahkan sebagai evaluator terhadap pekerjaannya sendiri sehingga

evaluasi dan pengendalian mutu pelayanan (quality control) terhadap

penyelenggaraan kesehatan haji akan menjadi kurang objektif.

Untuk memperkuat kendali mutu penyelenggraan kesehatan haji,

pelaksanaan pengendalian dan evaluasi harus lebih transparan dan

obyektif, unsur atau lembaga lain di luar pemerintahan seperti

organisasi profesi dan kemasyarakatan perlu dilibatkan secara aktif

sebagai bagian dari partisipasi publik, agar mekanisme kontrol

terhadap penyelenggaraan kesehatan haji berjalan objektif dan

transparan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat

Indonesia.

3) Banyaknya jamaah haji Indonesia yang berangkat ke Tanah Suci

dalam kondisi kesehatan yang memprihatinkan (tidak istit}a>’ah).66

Nusantara dan telah berlangsung sejak lama. Pada masa setelah kemerdekaan 1945,

Negara mengatur dan mengkoordinir penyelenggaraan ibadah haji termasuk

penyelenggaraan kesehatan haji. Pada masa pemerintahan Orde Lama, Orde Baru dan

Reformasi, peran Pemerintah Indonesia dalam penyelenggaraan haji sangat dominan.

Lihat Harahap, (Penyelenggaraan Haji Indonesia Pasca Kemerdekaan 1945: Masalah Kebijakan Pemerintah),39.

66 Istit}a>’ah sebagai syarat wajib menunaikan haji terbagi menjadi 1) Istit}a>’ah

Muba>syarat bi nafsih yaitu mampu mengerjakan sendiri ibadah haji dengan adanya

kemampuan dari segi harta dan keuangan, 2) Istit}a>’ah Bi ghairih yaitu mampu

mengerjakan ibadah haji dengan perantaraan orang lain. Mahbub, (Istit}a>’ah dalam Ibadah Haji menurut Empat Mazhab),64.

Page 38: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

22

Mereka berangkat dalam kondisi kesehatan yang kurang stabil dan

memiliki risiko penyakit yang sangat rentan terhadap

keselamatannya. Jamaah haji dengan kondisi kesehatan yang tidak

optimal menyebabkan terbatasnya aktifitas dan kemampuannya

dalam menunaikan ibadah haji.

Tingginya jumlah jamaah haji dengan kondisi kesehatan yang kurang

optimal tersebut dapat dilihat dengan tingginya angka kesakitan

(Morbiditas) dan angka kematian (Mortalitas) jamaah haji Indonesia

saat pelaksanaan haji di Tanah Suci. Rendahnya status kesehatan

jamaah haji Indonesia berhubungan dengan lemahnya sistem

pelayanan dan manajemen kesehatan haji Indonesia dan kurang

maksimalnya proses pemeriksaan dan pembinaan kesehatan jamaah

haji di kabupaten/kota. Banyaknya jamaah haji Indonesia yang

berangkat ke Tanah Suci dalam keadaan kondisi kesehatan yang

kurang prima, juga disebabkan kurang optimalnya peran organisasi di

luar pemerintahan untuk mendukung program penyuluhan masyarakat

tentang haji. Peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam

memberikan fatwa tentang istit}a>’ah kesehatan haji dapat

dimaksimalkan oleh pemerintah.

4) Banyaknya keluhan masyarakat terhadap penyelenggaraan kesehatan

haji merupakan fenomena yang harus dicari akar permasalahannya.

Keluhan tersebut terjadi hampir setiap tahun. Keluhan masyarakat

merupakan gambaran/fenomena dari kondisi pelayanan kesehatan haji

yang dianggap kurang maksimal dan tidak bermutu. Munculnya

keluhan dan kompleksitas penyelenggaraan kesehatan haji dalam

masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor,

antaralain; faktor sosial-budaya, sistem politik pemerintahan,

ekonomi dan lingkungan eksternal lainnya termasuk kebijakan

Pemerintah Arab Saudi terkait pelaksanaan haji yang kerapkali diluar

kendali Pemerintah Indonesia. Kebijakan dan peran Pemerintah Arab

Saudi menjadi sangat penting dan berpengaruh dalam penyusunan

kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji Indonesia, misalnya dalam

penentuan keharusan jamaah haji untuk memperoleh vaksinasi

meningitis meningokokus dan influenza.67

Di Indonesia, proses

pemberian vaksin meningitis dan infleunza kepada jamaah haji,

sering menjadi polemik tersendiri dan mewarnai dinamika

67

Shibl A, Tufenkeji H, Khalil M, Memish Z. “Consensus recommendation for

Meningococcal Disease Prevention for Hajj and Umra pilgrimage/travel medicine.” In

Meningococcal Leadership Forum (MLF), Dubai (May, 2010),

http://applications.emro.who.int/emhj/v19/04/EMHJ_2013_19_4_389392.pdf (accessed

Oktober 3, 2013).

Page 39: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

23

penyelenggaraan kesehatan haji.

5) Rendahnya mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh petugas

kesehatan haji, merupakan fakta yang harus menjadi perhatian

pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan haji.

Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada jamaah haji oleh para

petugas kesehatan masih dianggap kurang maksimal. Konsep dan

praktik pelayanan prima yang harus diberikan kepada jamaah haji

sebagai client belum dianggap sebagai “nilai-nilai” dalam pelayanan

kesehatan haji. Jamaah haji belum diposisikan sebagai “client” tetapi

masih dianggap sebagai “revenue” oleh penyelenggara. Hal ini terlihat

dari sikap dan praktik pemerintah kabupaten/kota cq dinas kesehatan

kabupaten/kota yang masih membebankan biaya-biaya pemeriksaan

dan pembinaan kesehatan kepada jamaah haji tanpa memperhatikan

kualitas pelayanan kesehatan jamaah, padahal status kesehatan

jamaah haji sebelum berangkat perlu diupayakan secara maksimal

agar jamaah haji dapat mencapai kondisi kesehatan yang optimal (istit}a>’ah).

6) Masih kurangnya pengetahuan para pelaksana kebijakan kesehatan

haji di kabupaten/kota mengenai kebijakan kesehatan haji yang

tertuang dalam pedoman penyelenggaraan kesehatan haji (Kepmenkes

Nomor 442 Tahun 2009). Kurangnya pengetahuan terhadap kebijakan

kesehatan haji mengakibatkan rendahnya komitmen/disposisi para

pengelola kesehatan haji di kabupaten/kota dalam penyelenggaraan

kesehatan haji terutama pada proses pemeriksaan dan pembinaan

kesehatan haji.

7) Belum optimalnya bimbingan dan pengawasan oleh pemerintah

provinsi dan pusat terhadap kualitas kompetensi para tenaga

kesehatan haji yang melakukan pemeriksaan kesehatan tahap pertama

dan tahap kedua di kabupaten/kota. Tidak optimalnya bimbingan dan

pengawasan tersebut antarlain disebabkan kurangnya sumberdaya

dalam menunjang pelaksanaan bimbingan dan pengawasan, serta

berlakunya praktik sistem desentralisasi otonomi urusan kesehatan di

kabupaten/kota, yang menyebabkan pemerintah kabupaten/kota

memiliki otoritas sendiri dalam melakukan pengawasan tenaga

kesehatan di wilayahnya tanpa intervensi pemerintah provinsi dan

pusat.

8) Tidak terkelolanya manajemen program kesehatan haji di

kabupaten/kota secara profesional dan akuntabel, akibat tidak adanya

lembaga dan struktur khusus penyelenggaraan kesehatan haji di dalam

organisasi dinas kesehatan kabupaten/kota, sehingga tidak ada unit

organisasi yang bertanggungjawab dalam program penyelenggaraan

Page 40: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

24

kesehatan haji secara menyeluruh dan permanen. Akibat kondisi

tersebut, manajemen penyelenggaraan kesehatan haji di

kabupaten/kota sangat lemah dan tidak terkelola dengan baik. Tidak

adanya struktur organisasi pelayanan kesehatan haji menyebabkan

sistem pelayanan kesehatan haji tidak masuk ke dalam sistem

pelayanan kesehatan secara baku.68

2. Pembatasan Masalah.

Mengingat banyaknya permasalahan yang berhubungan dengan

penyelenggaraan kesehatan haji di Indonesia, maka penelitian disertasi ini

dibatasi hanya pada implementasi kebijakan kesehatan haji pemerintah

Indonesia di kabupaten/kota dalam nuansa desentralisasi otonomi urusan

kesehatan yang terjadi di masa pasca Reformasi (1999-2012). Kebijakan

kesehatan haji yang dimaksud adalah kebijakan kesehatan haji yang

berlaku di masa pasca Reformasi yaitu Kepmenkes Nomor 442 Tahun

2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji Indonesia.

Kepmenkes Nomor 442 Tahun 2009 merupakan upaya Kemkes dalam

mengkoordinir pelayanan kesehatan haji sesuai amanah UU Nomor 13

Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah haji.

Implementasi kebijakan kesehatan haji yang tidak berjalan

sebagaimana mestinya di tingkat pelaksanaan kabupaten/kota, dianggap

sebagai faktor utama penyebab munculnya berbagai persoalan kesehatan

haji di Indonesia.

3. Perumusan Masalah.

Berdasarkan batasan masalah diatas, maka persoalan utama kajian

ini adalah implementasi kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji

Pemerintah Indonesia di kabupaten/kota pasca reformasi dalam nuansa

desentralisasi urusan kesehatan di kabupaten/kota. Oleh karena itu,

masalah yang dirumuskan pada disertasi ini adalah;

a. Apa kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji di Indonesia di

masa Reformasi?

b. Bagaimana implementasi kebijakan penyelenggaraan kesehatan

haji pemerintah Indonesia di kabupaten/kota dalam nuansa

desentralisasi urusan kesehatan pasca reformasi?;

68

Tidak terlembaganya struktur pelayanan kesehatan haji di kabupaten/kota,

antaralain disebabkan adanya hak otonomi pemerintah daerah dalam menyusun struktur

organisasinya. Selain itu pemerintah daerah tidak memperhatikan kebijakan pemerintah

pusat cq Kemkes Tentang Tentang Pedoman Teknis Pengorganisasian Dinas Kesehatan

Daerah yang tertuang dalam Kepmenkes Nomor 267/Menkes/SK/III/2008.

Page 41: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

25

c. Bagaimana perspektif dan pendapat para pembuat kebijakan,

tenaga kesehatan haji, tokoh masyarakat Islam terhadap

implementasi kebijakan kesehatan haji di kabupaten/kota.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat dan menganalisa; 1)

Kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji Pemerintah Indonesia di masa

pasca Reformasi, 2) Bagaimana implementasi kebijakan kesehatan haji

Pemerintah Indonesia di kabupaten/kota pasca Reformasi? Pasca

Reformasi, pemerintah cq Kemkes telah menindaklanjuti UU Nomor 17

Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang kemudian

direvisi menjadi UU Nomor 13 Tahun 2008, dalam suatu pedoman

penyelenggaraan kesehatan haji, namun dalam implementasinya masih

perlu dikaji dan dilihat sejauhmana hambatan implementasi kebijakan

kesehatan haji yang dibuat oleh pemerintah pusat di tingkat pelaksana

kebijakan. Untuk itu perlu menganalisis beberapa variabel yang

mempengaruhi implementasi kebijakan kesehatan haji, antaralain;

komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi, sesuai dengan

teori analisis implementasi kebijakan menurut George Edward III, dan 3)

Bagaimana perspektif dan pendapat para penyelenggara kesehatan

terhadap implementasi kebijakan kesehatan haji di daerah. Hasil

penelitian diharapkan akan memberikan gambaran penyelenggaraan

kesehatan haji oleh pemerintah pusat dan daerah serta beberapa

rekomendasi kebijakan penyelenggaraan haji di masa mendatang.

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian

Ada beberapa alasan yang mendasari penelitian ini penting untuk

dilakukan;

1) Pemerintah Indonesia memiliki peran yang sangat dominan dan

strategis dalam penyelenggaraan kesehatan haji sesuai amanah

konstitusi yang diberikan. Sejak kemerdekaan, pemerintah

memposisikan diri sebagai penyelenggara sekaligus pembuat regulasi

penyelenggaraan kesehatan haji, dan juga sebagai evaluator terhadap

penyelenggaraan yang dilaksanakannya sendiri. Kondisi ini

menyebabkan pemerintah memiliki dominasi yang sangat kuat

sebagai agen tunggal penyelenggaraan kesehatan haji, sehingga

cenderung tidak objektif dalam menilai keberhasilan penyelenggaraan

kesehatan haji. Pemerintah juga dinilai lemah dalam melakukan

monitoring dan evaluasi penyelenggaraan kesehatan haji akibat terlalu

dominannya peran pemerintah dalam penyelenggaraan kesehatan haji

Indonesia. Dominasi pemerintah dalam penyelenggaraan kesehatan

Page 42: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

26

haji sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dan sistem

penyelenggaraan yang berlaku di setiap orde pemerintahan.

2) Semenjak berakhirnya masa Pemerintahan Orde Baru, periode

Reformasi telah merubah sistem pemerintahan dan ketatanegaraan

Indonesia. Sistem pemerintahan yang berubah, dari “sentralisasi”

menjadi “desentralisasi” akan mempengaruhi kebijakan kesehatan haji

dan penerapannya (implementasinya) di tingkat pelaksana

(kabupaten/kota).

Sistem Pemerintahan Indonesia yang semula bersifat sentralistis

menjadi ter-desentralisasi otonomi di kabupaten/kota, menyebabkan

hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah yang

sebelumnya lebih terstruktur berubah menjadi terkotak-kotak.69

Sistem desentralisasi memberikan kewenangan yang besar bagi

daerah untuk menentukan sendiri program kesehatan dan

pengalokasian dana pembangunan kesehatan di daerahnya, sehingga

sering terjadi variasi atau deviasi metode pelayanan kesehatan haji di

kabupaten/kota yang tidak lagi sesuai dengan standar yang telah

ditetapkan.

3) Penyelenggaraan kesehatan haji merupakan kegiatan yang

dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatur dan

memfasilitasi masyarakat Muslim Indonesia yang berhaji. Sistem

penyelenggaraan kesehatan haji merupakan proses pelayanan

kesehatan yang terintegrasi, dimulai pada tahap pemeriksaan

kesehatan pertama dan pemeriksaan tahap kedua (rujukan),70

yang

dilanjutkan pada proses pembinaan kesehatan. Keseluruhan proses

tersebut, dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota cq dinas

kesehatan kabupaten/kota.

Penyelenggaraan kesehatan haji di kabupaten/kota,71

merupakan

kunci keberhasilan program penyelenggaraan kesehatan haji secara

69

Kelompok Positivis memandang desentralisasi sebagai faktor determinan

dalam mempercepat pembangunan daerah, sedangkan kelompok relativis memandang

pembangunan dapat eksis tanpa desentralisasi, pun sebaliknya desentralisasi dapat

terjadi tanpa pembangunan. Lihat Syarif Hidayat, "Desentralisasi untuk Pembangunan,

Dialog Kelompok Positivis dan Realitivis, 5. 70

Pemeriksaan rujukan adalah merupakan pemeriksaan kesehatan kedua setelah

pemeriksaan kesehatan pertama (pemeriksaan dasar) di Puskesmas.Pemeriksaan

kesehatan kedua merupakan pemeriksaan rujukan bagi jamaah yang dirujuk oleh unit

pelaksana pemeriksa kesehatan pertama sesuai dengan status kesehatan setiap jamaah

haji. Lihat Taufik Tjahjadi (ed), Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Haji (Jakarta:Kemkes,2011),13.

71 Penyelenggaraan kesehatan haji di kabupaten/kota merupakan tanggung jawab

bupati/walikota, sedangkan di provinsi merupakan tanggungjawab gubernur. Lihat

Page 43: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

27

menyeluruh. Program pembinaan dan peningkatan kesehatan haji

diselenggarakan sebagai upaya dasar agar jamaah haji memperoleh

perbaikan kondisi kesehatannya, sehingga saat berada di Tanah Suci

dapat menjalankan ibadahnya dengan baik dan benar menurut ajaran

Islam. Implementasi kebijakan kesehatan haji di kabupaten/kota

dalam sistem pemerintahan yang ter-desentralisasi perlu dikaji dan

dianalisis efektifitasnya termasuk faktor-faktor apa saja yang

mempengaruhi suksesnya implementasi kebijakan kesehatan haji di

kabupaten/kota.

Disertasi ini akan mengidentifikasi atau mendeskripsikan

kebijakan kesehatan haji Pemerintah Indonesia di masa Reformasi (1999-

2012) dan implementasinya yang tentunya akan dipengaruhi oleh pola

pemerintahan di masa Reformasi yang menganut sistem desentralisasi

otonomi daerah di kabupaten/kota. Kajian kebijakan kesehatan haji, akan

bermanfaat dan memperkaya teori dan praktik kebijakan kesehatan

publik72

di Indonesia. Disertasi ini akan menjadi bahan masukan dan

bermanfaat bagi; 1) Para pembuat keputusan dan para pelaksana

kebijakan kesehatan haji di lingkungan pemerintah pusat (Kementerian

Kesehatan, Kementerian Agama), 2) Pemerintahan daerah (Dinas

Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota), 3) Organisasi Massa Islam (NU,

Muhammadiyah, Persis), 4) Lembaga Non Pemerintahan (Kelompok

Bimbingan Ibadah Haji, Asosiasi Kesehatan Haji Indonesia), 5)

Masyarakat Indonesia. Selain itu disertasi ini akan memperkaya teori

analisis kebijakan kesehatan.

Tjahjadi, (Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Haji), 33 dan UU Nomor 13 Tahun 2008

Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Pasal 9. 72

Kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan

oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan barus dilakukan dan apakah manfaat bagi

kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut

mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya

tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang

diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana

dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992; 2-4). Lihat Pengertian

Kebijakan Publik, http://adiproio.blogspot.coni/2010/04/ (diunduh 3 Februari 2012).

Kebijakan publik yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia merupakan konsekuensi

peran negara terhadap masyarakatnya. Negara berkewajiban melindungi segenap tumpah

darah rakyat Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum seperti tertuang dalam

pembukaan Undang Undang Dasar 1945.

Page 44: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

28

E. Kajian Terdahulu yang Relevan.

Kajian tentang kebijakan kesehatan haji pemerintah Indonesia di

masa pasca reformasi masih belum banyak dilakukan. Sumuran Harahap

meneliti tentang penyelenggaraan haji Indonesia pasca kemerdekaan 1945

(masalah dan kebijakan pemerintah). Kajian kebijakan yang dilakukan

oleh Sumuran adalah kajian kebijakan terhadap pelayanan umum dan

pelayanan ibadah yang dilaksanakan dan dikoordinasi oleh Kementerian

Agama. Kajian lebih difokuskan kepada penertiban terhadap

penyimpangan seputar penyelenggaraan haji, pembangunan dan perbaikan

sarana dan prasarana haji baik di dalam negeri maupun di fasilitas milik

Pemerintah Indonesia yang berada di Arab Saudi, serta kebijakan

transportasi haji.

Ada beberapa informasi penting terkait penyelenggaraan kesehatan

haji yang ditulis oleh Sumuran, antara lain tentang perekrutan

Rombongan Kesehatan Haji Indonesia (RKHI)73

di masa pemerintahan

Orde Lama dan Orde Baru. Hal ini menandakan bahwa Pemerintah

Indonesia sudah melakukan upaya pelayanan kesehatan haji sejak

pemerintahan Orde Lama sampai Orde Baru. Syarat-syarat untuk

keberangkatan jamaah haji juga dibahas, antara lain dengan terlibatnya

dokter pemeriksa kesehatan yang merupakan salah satu anggota panitia

ibadah haji di masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Secara

umum, Sumuran menyatakan bahwa permasalahan penyelenggaraan haji

yang terjadi diakibatkan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah

Indonesia dianggap belum representatif dan komprehensif, sehingga

belum mampu menyelesaikan permasalahan seperti permasalahan

transportasi udara, paspor haji, manajemen haji dan masalah teknologi

informasi haji. Walaupun yang dibahas oleh Sumuran lebih ditujukan

kepada pelayanan umum dan ibadah yang merupakan tugas dari

Kementerian Agama.74

Telaah kebijakan penyelenggaraan haji yang

dilakukan Sumuran tidak terfokus pada aspek pelayanan kesehatan haji,

tetapi informasi adanya tenaga kesehatan haji yang dikenal dengan istilah

Rombongan Kesehatan Haji Indonesia (RKHI) pada masa pemerintahan

orde lama dan orde baru sampai tahun 1970 dan terlibatnya dokter

kesehatan pelabuhan dalam memeriksa kesehatan jamaah haji dapat

dijadikan acuan, bahwa penyelenggaraan kesehatan haji di masa

73

Saat ini Petugas kesehatan Haji Indonesia (PKHI) terdiri dari Tenaga

Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) yang menyertai Kloter dan Panitia Penyelenggara

Ibadah Haji (PPIH) yang merupakan petugas kesehatan Non-kloter, yang bertugas di

sektor, dan Balai Pengobatan Haji Indonesia di Jeddah, Mekkah dan Madinah. Pusat

Kesehatan Haji, (Permenkes Nomor 706/Menkes/Per/IV/2010),3. 74

Harahap, (Penyelenggaraan Haji Indonesia Pasca Kemerdekaan 1945), 13.

Page 45: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

29

pemerintahan Orde Lama dan permulaan Orde Baru diselenggarakan oleh

Pemerintah Indonesia.

Kajian kesehatan haji lainnya yang membahas tingginya angka

kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality) jamaah haji

Indonesia dan membahas faktor-faktor yang menjadi penyebab kesakitan

dan kematian jamaah haji telah dilakukan oleh Masdalina Pane75

dan

Hajar Tiya Lestari tentang verbal otopsi penyebab kematian jamaah

haji.76

Tingginya angka kesakitan dan angka kematian jamaah haji

Indonesia menunjukkan bahwa proses penyelenggaraan kesehatan haji

belum dilaksanakan secara proporsional terhadap pentingnya proses

persiapan dan pembinaan kesehatan haji sebelum keberangkatan. Program

pembinaan kesehatan haji di kabupaten/kota belum dijadikan prioritas

oleh pemerintah daerah.

Penelitian yang dilakukan oleh Masdalina dan Hajar menyatakan

bahwa hampir setiap tahun selama pelaksanaan operasional haji, angka

kematian jamaah haji Indonesia berkisar 2,1-3,2 per 1,000 jamaah yang

menunjukkan 2-3 kali lipat lebih besar dibandingkan pada kondisi normal

di Tanah Air. Sedangkan Ali Sakti menulis tentang pola penyakit paru

pada jamaah haji Indonesia yang umumnya dipengaruhi oleh kondisi awal

status kesehatan jamaah haji dan pengaruh lingkungan, baik di Indonesia

maupun di Arab Saudi.77

Tingginya angka kesakitan dan angka kematian jamaah haji sangat

dipengaruhi oleh kondisi kesehatan jamaah haji sebelum keberangkatan78

dan interaksi dengan lingkungan dan faktor-faktor resiko lainnya selama

perjalanan dan selama menjalankan prosesi ibadah haji di Arab Saudi.79

75

Masdalina Pane, Determinan Kematian Jemaah Haji Indonesia berusia 40 tahun keatas di Mekkah Tahun 1427 H (Jakarta: Universitas Indonesia, 2007), 35.

76 Hajar Tiya Lestari, Gambaran Epidemiologi Kematian dan Studi Reliabilitas

Diagnosis Penyebab Kematian yang Tercatat dalam Sertifikat Kematian dibandingkan Verbal Autopsi menurut Dokter Kloter dengan Verbal Autopsi menurut Dokter Spesialis pada Jemaah Haji Indonesia tahun 1431 H atau 2010 M (Jakarta: FKM-UI, 2011),45.

77 Ali Sakti, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Eksaserbasi Penyakit Paru

Obstruksi Kronik pada Jamaah Haji DKI Jakarta Tahun 2011 (Jakarta: FKUI Press,

2011),7. 78

Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh proses penyelenggaraan kesehatan haji di

kabupaten/kota sebagai pemeriksa dan pelayanan kesehatan awal yang bertugas

memberikan program peningkatan kesehatan jamaah haji. Kepmenkes Nomor 442 tahun

2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji (Jakarta: Kemkes, 2009), 17. 79

Jamaah usia lanjut dengan risiko kesehatan, ancaman penularan penyakit,

terbatasnya sarana pelayanan kesehatan dan kurangnya pembinaan kesehatan merupakan

pemicu tingginya angka kesakitan dan angka kematian. Pane, (Determinan Kematian Jamaah Haji Indonesia Berusia 40 Tahun ke Atas di Mekkah Tahun 1427 H), 5-6; Lihat

Lestari, (Gambaran Epidemiologi Kematian dan Studi Reliabilitas Diagnosis Penyebab

Page 46: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

30

Kondisi kesehatan jamaah haji saat menjelang keberangkatan dan saat

melakukan ibadah haji di Arab Saudi sangat dipengaruhi oleh proses

pemeriksaan awal dan pembinaan kesehatan yang dilakukan di puskesmas

dan rumah sakit umum daerah yang merupakan Unit Pelaksana Teknis

(UPT) Pemerintah daerah kabupaten/kota yang merupakan daerah

otonom sebagai konsekuensi dari sistem desentralisasi pemerintahan di

tingkat kabupaten/kota pasca disyahkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 di

masa Reformasi.80

Pertumbuhan otonomi daerah di Indonesia sejak masa

kemerdekaan sampai masa Reformasi telah mengalami perubahan-

perubahan secara dinamik sesuai dengan realitas di lapangan yang dilalui

dengan rezim pemerintahan yang berganti-ganti. Dalam hal pelaksanaan

suatu program pemerintahan dengan sistem desentralisasi, beberapa

penelitian telah mengingatkan mengenai risiko penerapan desentralisasi

dalam pembangunan dan pelayanan publik di negara sedang berkembang.

Rondinelli, menyatakan secara prinsip desentralisasi adalah transfer

tanggung jawab dalam hal perencanaan, manajemen, dan pemunculan

sumberdaya dan alokasinya dari pemerintah pusat kepada unit-unit

lapangan dari; 1). Kementrian pemerintah pusat 2). Unit-unit atau tingkat

pemerintahan yang berada di bawahnya 3). Otoritas atau korporasi publik

semi-otonom 4). Otoritas regional atau fungsional yang berarea luas, atau

5). Organisasi sektor privat dan sukarela.81

Dalam menyikapi dinamika desentralisasi dan sentralisasi, Syarif

Hidayat menyatakan bahwa terdapat dua kelompok tentang pemahaman

dalam desentralisasi. Kelompok Positivis (Mark Turner, David Hulme

dan Ryaas Rasyid) memandang desentralisasi sebagai faktor determinan

dalam mempercepat pembangunan daerah. Bahkan menurut David Hulme

desentralisasi akan mempercepat sistem reformasi pelayanan publik,82

Kematian yang Tercatat dalam Sertifikat Kematian Dibandingkan Verbal Autopsi menurut Dokter Kloter dengan Verbal Autopsi menurut Dokter Spesialis pada Jamaah Haji Indonesia Tahun 1431 H atau 2010 M), 2; Pusat Kesehatan Haji, Laporan Penyelenggaraan Kesehatan Haji Tahun 2009 (Jakarta: Kemkes, 2010),5; Supriyantoro,

Laporan Penyelenggaraan Kesehatan Haji tahun 2010 (Jakarta: Kemkes, 2011), 6. 80

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, kemudian direvisi menjadi UU Nomor

32 tahun 2004. Secara prinsip masih mempertahankan pola desentralisasi politik

sehingga kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan

sangat luas jika dibandingkan dengan sistem desentralisasi administrasi dalam UU

Nomor 5 Tahun 1978. 81

Muhammad Nur, Memahami Desentralisasi di Indonesia

(Yogyakarta:Interpena,2012),10. 82

Charles Polidano and David Hulme, Public Management Reform in Developing Countries (Manchester: Institute for Development Policy and Management University

Page 47: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

31

sedangkan kelompok Relativis (Joel Sammof, Walter Oyugi, Daniel

Treisman, Richard Tambulasi & Happy N Kayumi) memandang bahwa

desentralisasi bukan faktor penentu bagi terlaksananya pembangunan di

daerah, pembangunan dapat eksis tanpa desentralisasi.83

Kelompok

Relativis juga memandang bahwa desentralisasi akan semakin

memperkuat kekuasaan di tangan pemerintah daerah. Bahkan pengalaman

di beberapa negara sedang berkembang di Afrika, menurut Joel Sammof

pelaksanaan desentralisasi menghambat implementasi kebijakan

pemerintah pusat akibat adanya rasa antikolonial terhadap pemerintah

pusat.84

Ryaas Rasyid menyatakan bahwa otonomi daerah di

kabupaten/kota dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik

kepada masyarakat di wilayahnya. Otonomi daerah memiliki nilai dan

tujuan “politik” dan “administrasi”. Tujuan politiknya adalah dalam

rangka meningkatkan demokratisasi kehidupan bernegara, sedangkan

tujuan adminsitrasinya adalah efisiensi dan efekstifitas penyelenggaraan

negara dalam memberikan pelayanan publik.85

Memang pada

kenyataannya, tidak semua negara mengalami kemajuan setelah

melaksanakan desentralisasi. Di beberapa negara desentralisasi justru

telah membuka kesempatan untuk “rent-seeking” dan korupsi.86

Keberhasilan desentralisasi dalam memperbaiki kesejahteraan

rakyat di daerah sangat tergantung pada kesesuaian bentuk, cakupan dan

besaran kewenangan politik yang dialihkan ke daerah, dan cara

pelaksanaan desentralisasi dengan kapasitas pemerintah daerah, dukungan

kementerian dan lembaga sektoral, dan kekuatan masyarakat sipil di

daerah. Oleh sebab itu Mark Turner sangat mendukung proses

desentralisasi terutama bentuk desentralisasi politik.87

Walaupun secara umum desentralisasi dan otonomi daerah mampu

of Manchester, 2007),57. 83

Syarif Hidayat, "Desentralisasi untuk Pembangunan, Dialog Kelompok

Positivis dan Realitivis, 5. 84

Joel Sammof. “Popular Initiatives and Local Government in Tanzania.” The Journal of Developing Areas Vol 24 (October 1989),1-18.

85 Ryaas Rasyid.“Otonomi Daerah: Latar belakang dan Masa Depannya.” Dalam

Desentralisasi dan Otonomi Daerah. ed. Syamsuddin Harris (Jakarta: LIPI Press,

2005),4. 86

Jesse C Ribot, African Decentralization; Local Actors, Powers and Accountability (UNRISD Programme on Democracy, Governance and Human Rights

Paper Number 8, December 2002),4. 87

Mark Turner. “Whatever happened to deconcentration? Recent initiatives in

Cambodia.” Journal of Public Administration and Development Vol 22 (October 2002),

353-364.

Page 48: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

32

mendorong munculnya berbagai inovasi, tetapi menurut Walter Oyugi

desentralisasi juga melahirkan banyak masalah baru dalam

penyelenggaraan pemerintahan di daerah otonom.88

Permasalahan terkait

implementasi kebijakan Kementerian Kesehatan dalam penyelenggaraan

kesehatan haji di kabupaten/kota juga terjadi di masa pasca Reformasi

Indonesia.

F. Kerangka Pikir.

Disertasi ini membahas implementasi kebijakan penyelenggaraan

kesehatan haji Pemerintah Indonesia di kabupaten/kota pada masa pasca

Reformasi, yang sistem pemerintahannya menganut asas “desentralisasi

urusan kesehatan haji”.

Dimasa Reformasi, telah keluar dua buah Undang-Undang yang

mengatur penyelenggaraan haji. Yang pertama adalah UU Nomor 17

Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 13 Tahun 2008.

Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang

Penyelenggaraan Ibadah Haji, dinyatakan bahwa penyelenggaraan ibadah

haji merupakan tanggungjawab pemerintah pusat, karena menjadi

tanggungjawab pemerintah pusat, maka Kementerian Agama ditugaskan

sesuai amanah UU sebagai “penyelenggara” pelayanan ibadah haji,

sedangkan Kementerian Kesehatan bertanggungjawab sebagai

penyelenggara pelayanan kesehatan haji.89

Sebagai instansi yang bertanggungjawab dalam bidang kesehatan

haji, Kemkes membuat kebijakan teknis tentang penyelenggaraan

kesehatan haji Indonesia untuk dilaksanakan di setiap tingkatan

pemerintahan. Kebijakan teknis yang mengatur penyelenggaraan

kesehatan haji dibuat oleh Kemkes sebagai amanah UU Nomor 13 Tahun

2008, Pasal 31 yang menyatakan bahwa Penyelenggaraan kesehatan haji

menjadi tanggungjawab menteri yang menangani masalah kesehatan.

Atas dasar itulah, maka Kemkes membuat pedoman penyelenggaraan

kesehatan haji yang tertulis dalam Keputusan Menteri Kesehatan

(Kepmenkes) Nomor 442 Tahun 2009.

Sesuai kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji tersebut

(Kepmenkes Nomor 442 Tahun 2008), pemerintah daerah berperan

88

Walter Oyugi, Democratic Theory and Practices in Africa (Nairobi:East

African Educational Publisher LTD, 1995),67. 89

Dalam kenyataannya, Pemerintah termasuk Kementerian Agama dan

Kementerian Kesehatan berperan sebagai “perencana, penyelenggara, dan sekaligus

evaluator penyelenggaraan haji secara menyeluruh, baik saat di Indonesia maupun di

Arab Saudi. Saleh, (Penyelenggaraan Haji Era Reformasi: Analisis Internal Kebijakan Publik),44.

Page 49: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

33

sebagai “implementor” terhadap kebijakan yang telah disusun. Dengan

demikian, pemerintah pusat cq Kemkes sebagai pembuat kebijakan, akan

memposisikan dirinya sebagai koorinator dan lembaga superior dalam

pelaksanaan pelayanan kesehatan haji. Dilain pihak, pada masa Reformasi

berlaku sistem pemerintahan desentralisasi otonomi kesehatan di

kabupaten/kota, akibatnya Kemkes akan berupaya semaksimal mungkin

agar kebijakan kesehatan haji yang dibuatnya dilaksanakan dan ditaati di

setiap tingkatan pemerintah, agar tujuan nasional yang dicita-citakan

dalam dokumen kebijakan kesehatan haji dapat dicapai, sedangkan

pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kesehatan haji tetap fokus

pada prinsip-prinsip desentralisasi. Dengan kondisi tersebut maka akan

dipahami jika terjadi hambatan implementasi kebijakan kesehatan haji

pemerintah pusat di tingkat pemerintah daerah di Indonesia.

Penyelenggaraan kesehatan haji merupakan suatu “program”

kesehatan Pemerintah Indonesia yang memiliki kerangka kerja manajerial

yang teratur, mulai dari input, process, output, outcome dan impact,90

yang tercatat dalam suatu dokumen kebijakan.

Input yang dimiliki oleh program kesehatan haji antaralain;1)

Peraturan/kebijakan/Pedoman teknis kesehatan haji, standar operasional

prosedur (SOP), 2) Sumberdaya termasuk sumberdaya manusia/tenaga

kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan haji, anggaran atau dana

yang digunakan untuk kesehatan haji, 3) Cara kerja program (method)

atau mekanisme kerja kesehatan haji yang telah ditetapkan oleh

pemerintah sesuai amanah UU.

Sedangkan proses penyelenggaraan kesehatan haji antaralain

terbagi dalam beberapa tahapan yaitu; 1) Perencanaan (planning), 2)

Pengorganisasian (organizing), 3) Pelaksanaan (actuating), 4) Monitoring

atau kontrol (controlling), 5) Evaluasi (evaluating) penyelenggaraan

kesehatan haji. Output dan outcome program penyelenggaraan kesehatan

haji akan diukur dan dinilai melalui perhitungan kuantitatif yang

merupakan indikator keberhasilan program kesehatan haji. Sesuai

pedoman penyelenggaraan kesehatan haji, tempat pelaksanaannya terbagi

sesuai tingkatan pemerintahan, yaitu di kabupaten/kota, provinsi,

nasional dan di Arab Saudi.

Perspektif atau pendapat terhadap input dan proses

penyelenggaraan kesehatan haji akan digali dari responden/informan yang

berasal dari; 1) Para pengelola atau pelaksana penyelenggaraan kesehatan

haji di kabupaten/kota, 2) Para pembuat kebijakan kesehatan haji di

90

Longest Beaufort, Managing Health Programs and Project (USA: Jossey-Bass,

2004), 35.

Page 50: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

34

pemerintahan pusat, 3) Para pemberi pelayanan (petugas kesehatan), 4)

Para jamaah haji termasuk para Organisasi Massa Islam.

Dalam menganalisis kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji dan

implementasinya di kabupaten/kota, digunakan teori sistem analisis kebijakan David Easton

91 yang kemudian dikembangkan oleh Longest

Beuffort (2004) dalam teori Logic Model,92 dimana analisis kebijakan

terdiri dari input, process serta output. Untuk menganalisis implementasinya digunakan teori

implementasi kebijakan George Edward III (1980),93

yang menyatakan

bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi/ditentukan oleh empat

variabel yaitu Komunikasi (communication), Sumberdaya (resources),

Disposisi (disposition or attitude) dan Struktur Birokrasi (bureucratic structure).

Kerangka pikir disertasi ini dapat dilihat dalam diagram berikut ini;

Diagram 1.1 Kerangka Pikir.

Dalam menganalisis implementasi kebijakan perlu diperhatikan

tahapan input, proses (implementasi), output dan outcome serta impact

91

Kebijakan publik dapat dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari input,

konversi, dan output. Dalam konteks ini ada dua variabel makro yang mempengaruhi

kebijakan publik yakni lingkungan domestik dan lingkungan Internasional. Lihat Meta

Libriani, Analisis Implementasi Kebijakan Rekruitmen Petugas Kesehatan Haji (Jakarta:

UI, 2013), 37. 92

Longest Beuffort, Managing Health Programs and Project (USA: Jossey-Bass,

2004), 9. 93

Menurut George Edwards III ada empat variabel dalam implementasi kebijakan

publik yaitu komunikasi (Communication), Sumberdaya (Resources), sikap (Disposition

atau Attitudes) dan struktur birokrasi (Bureucratic Structure). Ke-empat faktor di atas

harus dilaksanakan secara simultan karena antara satu dengan yang lainnya memiliki

hubungan yang erat.

INPUT PROSES/

IMPLEMENTASI OUTPUT

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN KESEHATAN HAJI DI KABUPATEN/KOTA

KOMUNIKASI SUMBER DAYA DISPOSISI STRUKTUR

BIROKRASI

Page 51: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

35

dari suatu kebijakan yang ada. Penelitian ini hanya berfokus pada proses

implementasi kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji di

kabupaten/kota di masa Reformasi yang menganut sistem pemerintahan

yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota. Kajian implementasi kebijakan

akan menggunakan Teori Implementasi Kebijakan George Edward III.

Menurut Teori Edward III, Implementasi kebijakan dipengaruhi oleh

komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi.

Dalam penelitian ini variabel komunikasi yang akan dinilai

antaralain proses transmisi, kejelasan dan konsistensi pesan-pesan yang

ada dalam dokumen kebijakan kesehatan haji kepada para pelaksana

kebijakan. Penelitian ini diharapkan dapat menggali informasi yang

berasal dari responden bahwa kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji

telah dimengerti dan/atau dipahami oleh para pelaksana kegiatan secara

benar, sehingga para pelaksana dapat menjalankan kebijakan kesehatan

haji dengan sebaik-baiknya.

Dalam variabel/faktor sumberdaya terdapat empat unsur yang

diperhatikan yaitu sumber daya manusia, kewenangan, anggaran dan

fasilitas terkait penyelenggaraan kesehatan haji di tingkat pelaksana yaitu

di kabupaten/kota. Dalam variabel disposisi peneliti hanya mengamati

unsur komitmen para pelaksana atau pengelola program kesehatan haji di

kabupaten/kota dalam menjalankan kebijakan kesehatan haji yang

tertuang dalam Kepmenkes Nomor 442 Tahun 2009 Tentang Pedoman

Penyelenggaraan Kesehatan Haji Indonesia.

Dalam variabel struktur birokrasi maka peneliti memasukkan

unsur mekanisme dan koordinasi antar lembaga dalam penyelenggaraan kesehatan haji di kabupaten/kota. Tujuannya untuk dapat menggali secara

mendalam bagaimana struktur birokrasi dan hubungan antar

lembaga/institusi yang terkait dalam pelaksanaan kebijakan

penyelenggaraan kesehatan haji di kabupaten/kota.

G. Metodologi Penelitian.

Penelitian ini menggunakan desain metode penelitian “kualitatif”.

Penelitian kualitatif digunakan untuk menggali lebih mendalam apa dan

bagaimana pola implementasi kebijakan kesehatan haji di

kabupaten/kota.94

Penelitian ini dilakukan untuk meneliti pelaksanaan atau

implementasi kebijakan Kementerian Kesehatan dalam penyelenggaraan

kesehatan haji di kabupaten/kota pasca reformasi. Kebijakan yang

94

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu sosial lainnya (Jakarta:Kencana,2010), 6.

Page 52: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

36

dimaksud adalah Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor 442

Tahun 2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji

Indonesia. Untuk mengetahui bagaimana implementasi suatu kebijakan,

digunakan teori implementasi kebijakan George Edward III yang

menyatakan bahwa implementasi suatu kebijakan dipengaruhi oleh

komunikasi, sumberdaya, disposisi dan stuktur birokrasi.

Pengumpulan data primer diperoleh melalui wawancara mendalam

(in-depth interview), pengisian kuesioner dan Focus Group Discussion

(FGD) terhadap para responden dan informan terpilih. Pemilihan

responden dan informan dilakukan dengan menggunakan metode

purposes sampling method dimana responden dan informan akan

diidentifikasi dan ditentukan sesuai dengan tema wawancara.

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian.

Jenis penelitian merupakan penelitian kualitatif dengan metode

wawancara (in-depth interview) dan Focus Group Discussion (FGD)

terhadap para responden dan informan yang terpilih. Pendekatan

Disertasi yang berjudul “Kesehatan Haji Pemerintah Indonesia:

Implementasi Kebijakan Kementerian Kesehatan dalam Pelaksanaan

Kesehatan Haji Pasca Reformasi”, merupakan disertasi dengan

pendekatan Ilmu Kebijakan Kesehatan.

2. Teknik Pengumpulan Data.

Sumber data yang akan digunakan adalah sumber data primer yang

berhubungan dengan penyelenggaraan kesehatan haji di kabupaten/kota

yang diperoleh dari 150 responden yang berasal dari 150 kabupaten/kota

terpilih (30% dari jumlah total kabupaten/kota di seluruh Indonesia,

mewakili kawasan Indonesia bagian barat dan timur dan memiliki

jumlah jamaah haji cukup besar).

Untuk memperkuat gambaran situasi implementasi kebijakan

kesehatan haji di kabupaten/kota dilakukan wawancara mendalam (in-depth interview) kepada 20 informan yang berasal dari para pejabat

dan/atau staf di lingkungan Kemkes, Kementerian Agama,

lembaga/Organisasi Masyarakat terkait penyelenggaraan kesehatan haji.

Selanjutnya dilakukan Focus Group Discussion (FGD) terhadap para

petugas pemeriksa kesehatan jamaah haji di kabupaten/kota terpilih.

Teknik pengumpulan data diperoleh melalui study dokumen, quesioner, observasi partisipan, in-depth interview dan FGD. Observasi

partisipan dilakukan dengan menggunakan catatan lapangan atau field notes yang berasal dari peneliti.

Responden dalam penelitian ini adalah para pengelola kesehatan haji

Page 53: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

37

daerah yang berasal dari 150 dinas kesehatan kabupaten/kota terpilih

yang memiliki jumlah jamaah haji cukup besar.

In-depth interview dilakukan terhadap para pengelola program

kesehatan haji di provinsi, pejabat struktural atau staf yang terlibat

dalam penyelenggaraan haji di lingkungan Kementerian Kesehatan,

Kementerian Agama, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota,

serta beberapa tokoh dan pengurus dari lembaga/institusi di luar

pemerintahan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Asosiasi

Kesehatan Haji Indonesia (AKHI).

Focus Group Discussion dilakukan terhadap para petugas kesehatan

haji di puskesmas dan rumah sakit terpilih. Data sekuder diperoleh dari

beberapa arsip atau dokumen terkait subyek penelitian yang berasal dari

Kemkes dan Kementerian Agama serta instansi lainnya terkait

penyelenggaraan kesehatan haji.

3. Teknik Analisis Data.

Analisis data dilakukan dengan secara deskriptif-kualitatif. Data

primer berupa hasil wawancara dan FGD dari para responden dan

informan terpilih kemudian dicatat dalam suatu transkrip. Untuk

menganalisis implementasi kebijakan kesehatan haji dipergunakan teori

implementasi kebijakan George Edward III.

Data sekunder berupa data kuantitatif tentang kesehatan haji pasca

Reformasi diperoleh dari berbagai sumberdata termasuk data yang

berasal dari Kementerian Kesehatan dan Kementerian Agama serta

sumber lainnya pada kurun waktu 1999-2012. Data kemudian

ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik dan diagram.

H. Sistematika Penulisan.

Disertasi ini terdiri dari 7 bab dengan sistematika penulisan

disertasi sebagai berikut; Bab I berisi tentang latarbelakang masalah yang

berkaitan dengan penyelenggaraan kesehatan haji Pemerintah Indonesia

secara umum termasuk di kabupaten/kota, identifikasi permasalahan

seputar penyelenggaraan kesehatan haji Indonesia, rumusan masalah,

metode penelitian, pendekatan dan teknis analisis data serta metode

penelitian yang digunakan.

Selanjutnya pada Bab II berisi tentang sistem pemerintahan dan

penyelenggaraan kesehatan haji Indonesia. Sistem pemerintahan

sentralisasi dan desentralisasi sangat perlu disampaikan pada kajian

disertasi ini. Mengingat sistem pemerintahan suatu negara sangat

mempengaruhi kebijakan yang dibuat dan implementasinya di tingkat

pelaksana. Bab II akan fokus pada sistem pemerintahan yang ter-

Page 54: KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA - …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39714/1/EKA... · penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota

38

desentralisasi di masa Reformasi. Sistem desentralisasi dan sentralisasi

akan mewarnai proses penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Bab

ini juga membahas pandangan/perdebatan antara penganut positivis dan

relativis terhadap penyelenggaraan desentralisasi. Pada bab ini juga akan

dibahas bagaimana desentralisasi penyelenggaraan kesehatan haji di

kabupaten/kota pada masa Reformasi.

Bab III berisi tentang apa dan bagaimana kebijakan kesehatan haji

Pemerintah Indonesia. Dalam bab ini juga dikemukakan berbagai jenis

kebijakan kesehatan haji sejak kemerdekaan sampai pasca Reformasi,

termasuk kendala yang dihadapi dalam implementasi kebijakan kesehatan

haji di masa Reformasi.

Selanjutnya dalam Bab IV, disertasi ini memaparkan secara umum

bagaimana gambaran kesehatan haji Indonesia pasca Reformasi (1999-

2012). Pada Bab ini akan dijelaskan bagaimana gambaran atau

karakteristik jamaah haji Indonesia, pola penyakitnya termasuk gambaran

jamaah haji dengan risiko tinggi, dan penyakit-penyakit penyebab

kematian jamah haji termasuk gambaran atau karakteristik para petugas

kesehatan haji di kabupaten/kota. Selain itu pada Bab IV akan dijelaskan

angka kesakitan dan angka kematian jamaah haji setiap tahunnya. Bab IV

juga akan menjelaskan alur penyelengaraan kesehatan haji, termasuk

indikator penyelenggaraan kesehatan haji pasca Reformasi yang tertulis

dalam Kepmenkes Nomor 442 tahun 2009.

Bab V berisi tentang apa dan bagaimana implementasi kebijakan

penyelenggaraan kesehatan haji pasca Reformasi di kabupaten/kota.

Kajian implementasi kebijakan menggunakan Teori George Edward III

dimana implementasi kebijakan dipengaruhi oleh faktor komunikasi,

sumberdaya, disposisi dan struktur birokrasi. Ke-empat faktor tersebut

akan dijadikan analisis penilaian tentang bagaimana proses implementasi

kebijakan kesehatan haji di kabupaten/kota pasca Reformasi.

Bab VI akan berisi tentang problem dan solusi masalah kesehatan

haji pasca Reformasi dengan menitikberatkan pada input, proses, output dan outcome sesuai Teori analisis kebijakan menurut teori sistem dan

teori logic model. Bab VII berisi tentang kesimpulan, saran dan penutup.