i
KESANTUNAN SAPAAN VERBAL GURU KEPADA SISWA
DI SMP ALOYSIUS TURI YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2017/2018
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Oleh:
Clara Wahyu Kurnia Pangestuti
NIM: 131224002
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
SKRIPSI
KESANTUNAI\T SAPAAN YEBBAL GURU I(EPADA SISWA
*i S}€F ATGYSTUS TUFJ YECYAHAR?A
TAITUN AJARAN 2T17 |zffI*
Prof. Dr. Praaowo, M.Pd. Tanggal, 16 Januari 2018
g#5.gr fl"i:lyi:-,\ b
,ing .r r ^-b"".;.enc
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
SKRIPSI
KESAI{TU|'{AJ\ SAFAA|.i }'ERBAL CURiJ KEPADA SiSWA
DI SMP ALOYSIUS TURI YOGYAKARTA
TAiiLT{ AJAPTAi\ 29r,7 i7018
Dipersiapkan dan ditulis oleh:
Clara \Mahyu Kurnia Pangestuti! -11224{!{!?
Telah dipertahankan di depan Panitia Pengujin .'!-- a-.-----"..-.!. "-\(} f.,.-...,,-: an! elr-.iu{i ls.riBH.ai. !; -scii!;s.{i iu.l {;
dan telah diny atakan memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
iiam* i,engkap
Ketua
Sekretaris
t ,--.-.-a-- 1l urFFv!s r
Anggota2
Anggota 3
Rishe Purnama Dewi, S.Pd.. M.Hum.
Dr. R. Kunjana Raharcii, M.Hum.
! ! nl-'i.-.i i i!_ -_iii-.,!!i!'! ,\i l-.f
Dr. Yuliana Setyaningsih. M.Pd.
Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum.
Yogyakarta, 29 Jarnari 20 18
FakLrltas Kegurua-n dar: iimtr Penrlirlika.nt l,^:-.^-,..-;.^^ ('---.^a^ I \l-...-.^-^Lilrli el-irrus -*l!a[a I-,Ilat IilJ
lll
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
MOTO
“ Hidup itu bukan masalah maju atau mundur, tetapi bagaimana caranya tetap
bertahan pada langkah yang akan membawa kita kepada masa depan”.
(Clara Wahyu Kurnia P.)
“ Mengapa kita harus membela diri ketika kita disalahpahami atau dihakimi
dengan keliru? Tinggalkanlah hal itu. Mari kita tidak mengucapkan apapun.
Merupakan hal yang manis untuk membiarkan orang lain menghakimi kita dengan
cara yang mereka suka. Oh keheningan yang terberkati, yang memberi begitu
banyak kedamaianbagi jiwa!”
(St. Therese of Lisieux)
“Kesalahan tidak akan menjadi kebenaran walau berulang kali diumumkan,
sebaliknya, kebenaran tidak akan jadi kesalahan walau tak seorang pun
mengetahuinya”.
(Mahatma Gandhi)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini penulis persembahkan kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria
2. Orang tua tercinta, Ayah Yohanes Agus Budi Santoso dan Ibu Anastasia
Iswahyuni yang selalu mendoakan dan mendukung dalam hal keuangan
serta kasih sayang dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Adik saya satu-satunya Monika Kristiana Agista Putri yang selalu
memberikan semangat dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
4. Alm. Yohanes Agus Iswahyudi dan Arista Kristianto yang selalu menjadi
pendoa sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tempat dimana peneliti menempuh
pendidikan dan menuntut ilmu.
6. Keluarga, sahabat dan teman-teman yang terkasih.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
ABSTRAK
Pangestuti, Clara Wahyu Kurnia. 2018, “Kesantunan Sapaan Verbal Guru
kepada Siswa di SMP Aloysius Turi Yogyakarta.” Skripsi. Yogyakarta:
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini menganalisis tentang kesantunan sapaan verbal guru
kepada siswa di sekolah. Penelitian ini memiliki dua sub rumusan masalah yaitu
bagaimana kesantunan sapaan verbal guru kepada siswa di SMP Aloysius Turi
Yogyakarta tahun ajaran 2017/2018, dengan sub masalah bagaimana wujud dan
ciri penanda spaan verbal guru kepada siswa serta apa maksud sapaan verbal guru
kepada siswa. Tujuan utama yaitu mendeskripsikan kesantunan sapaan verbal
guru kepada siswa di SMP Aloysius Turi Yogyakarta tahun ajaran 2017/2018.
Penelitian ini memiliki dua sub tujuan. Pertama, mendeskripsikan wujud dan ciri
penanda kesantunan sapaan verbal. Kedua, mendeskripsikan maksud sapaan vebal
guru kepada siswa.
Peneliti untuk mengumpulkan data menggunakan teknik merekam dan
mencatat. Data diambil selama bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2017.
Instrumen dalam penelitian ini yaitu peneliti itu sendiri. Analisis data dilakukan
dengan tahapan: (1) mengidentifikasi data yang telah dikumpulkan, (2)
mengklasifikasi hasil temuan berdasarkan prinsip kesantunan milik Leech, faktor
penentu kesantunan serta indikator kesantunan, (3) menginterpretasi maksud dari
data yang diperoleh, (4) mendeskripsikan hasil analisis data tersebut.
Hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, peneliti menemukan
wujud dan ciri penanda kesantunan sapaan verbal guru kepada siswa di SMP
Aloysius Turi Yogyakarta. Wujud kesantunan sapaan verbal adalah tuturan yang
memenuhi prinsip kesantunan, yakni 62 pematuhan terhadap maksim Leech.
Wujud itu sendiri adalah tuturan verbal guru kepada siswa, sedangkan ciri
penanda dalam penelitian ini adalah indikator kesantunan yaitu menjaga suasana
perasaan mitra tutur, mempertemukan perasaan penutur dengan mitra tutur,
menjaga agar tuturan agar dapat diterima oleh mitra tutur, menjaga agar dalam
tuturan terlihat ketidakmampuan penutur, memposisikan lawan tutur dalam posisi
tinggi, menjaga tuturan agar apa yang dikatakan penutur juga dirasakan mitra
tutur serta pemilihan kata atau diksi. Peneliti juga menemukan sepuluh (10)
maksud dalam penelitian ini yaitu maksud menyuruh, mengingatkan, menegur,
memberi candaan, menyapa, menanyakan, meminta, menyindir, memuji,
memberitahu dan mengetahui.
Kata Kunci: Kesantunan berbahasa, Wujud dan Ciri penanda
kesantunan, Fungsi sapaan, dan Maksud.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
ABSTRACT
Pangestuti, Clara Wahyu Kurnia. 2018, “The Politeness of Teacher's
Vocational Greetings to Students in SMP Aloysius Turi Yogyakarta
Academic Years 2017/2018.’’ Thesis. Yogyakarta: Indonesian Language
Education and Literature Study Program, Department of Language
Education and Art, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata
Dharma University.
This study analyzed the politeness of teacher's vocational greetings to
students in SMP Aloysius Turi Yogyakarta. This study has a main goal to describe
teacher's verbal greetings toward students at SMP Aloysius Turi Yogyakarta
academic years 2017/2018. Furthermore, this research has two sub-goals. First,
describing the form and characteristic of teachers’ verbal manners of greeting.
Second, describing ideas of teachers’ verbal manners of greeting toward students.
In this research, the researcher used two methods to collect data namely
recording and taking notes. Meanwhile, the data were taken in July until August
2017. The instrument in this study was the researcher it self. Thus, The data
analysis was done by four steps: (1) Identifying the data that has been collected
before, (2) Classifying the result based on Leech’s manners principal, (3)
Interpreting the meaning of data, (4) describing the result of analysis data.
Based on the findings, the researchers found that the form and
characteristic of teachers’ verbal manners toward students at SMP Aloysius Turi
Yogyakarta. They were fulfilled with Leech’s manners principal, the researcher
also found 62 discipline manners about Leech’ maxim indicators. According to
the analysis data, the researcher found politeness indicators namely diction and
three function of greeting; (1) to attract attentions, (2) to recognize the
messengers, (3) to keep a good relationship among society. The researcher also
analyzed the meaning of greeting in order to observe the politeness of greeting
that used by teacher toward students.
Key word: Politeness of speaking, form and characteristic of speakers, Funtion
and meaning of greeting.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus dan Bunda Maria atas
berkat rahmat serta pertolongannya yang telah dilimpahkan kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Penulisan skripsi
ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma.
Penulis menyadari bahwa skripsi masih jauh dari kata sempurna dan
penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan atas arahan, bantuan serta bimbingan
dari berbagai pihak. Penulis dengan tulus mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada pihak-pihak tersebut sebagai berikut:
1. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan,
pendampingan, dan nasihat kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi
ini.
2. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku Wakil Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia serta triangulator bagi penulis yang
telah memberikan dukungan, pendampingan, dan nasihat kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
3. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., selaku dosen pembimbing yang dengan sabar
memberikan dukung, motivasi, pendampingan, saran, dan pengarahan
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Segenap dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Universitas Sanata Dharma yang telah mendidik penulis dalam mendalami
ilmu bahasa dan sastra Indonesia sebagai bekal dalam dunia pendidikan.
5. Th. Rusmiyanti, selaku staf sekretariat Program Studi Pendidikan Bahasa
Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma yang selalu memberikan
informasi yang berkaitan dengan perkuliahan maupun penyelesaian skripsi
ini.
6. Orang tua tercinta, Ayah Yohanes Agus Budi Santoso dan Mama
Anastasia Iswahyuni yang selalu mendoakan dan mendukung dalam hal
keuangan serta kasih sayang dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Adik saya satu-satunya Monika Kristiana Agista Putri yang selalu
memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Keluarga baru penulis selama berada di Yogyakarta Second Family
(Alexandra Taum, Anggraini Taruk, Tursina Ayun Sundari dan Yohana
Augusta Wokabelolo), serta Keluarga Marmut (Cicilia Kumara Hadiyanti,
Indah Rahayu dan Yohana Augusta Wokabelolo), yang telah memberikan
dukungan, kasih sayang, penghiburan, serta saran ketika penulis sedang
merasa kalut selama penulis berada di Yogyakarta sampai pembuatan
skripsi ini dapat selesai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9. Kepada teman-teman yang memberikan saran terhadap penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini Timotius Tri Yogatama, Riska Safitri dan
Elisabeth Riski Titasari. Sehingga penulis mendapatkan banyak masukan
selama pembuatan skripsi ini.
10. Seluruh teman-teman seperjuangan PBSI angkatan 2013 kelas A dan B
yang selalu memberi dukungan dan doa kepada peneliti dalam
penyelesaian skripsi ini.
11. Kakak-kakak (Brigitta Swaselia Kasita dan Maria Yunita Angelina) yang
senantiasa memberikan dukun gan dan nasihat-nasihat kepada peneliti.
12. Seluruh. pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu dalam
memberikan dukungan, dan doa kepada peneliti dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kdtik dan saran. Penulis juga berharap
agar penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak terutama dalam
bidanh akademis.
Yogyakart a, 29 J anuai 20 I 8
Penulis,
Clara Wahyu Kurnia Pangestuti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAAII KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuatkarya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan di
dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya penulisan karya ilmiah.
Yogyakart a, 29 I arutai 20 I 8
Penulis,
Clara Wahyu Kurnia Pangestuti
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
T]NTUK KEPENTINGAI\ AKADEMIS
Yang betanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
nama : Clara Wahyu Kurnia Pangestuti
NIM :131224002
demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada PerpustakaanUniversitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
KESANTUNAN SAPAAN VERBAL GURU KEPADA
SISWA DI SMP ALOYSIUS TURI YOGYAKARTA TAHT]N
AJARA}I 2OI7 12018 KAJIAN PRAGMATIK.
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata
Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,
mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di intemet atau media
lain untuk kepentingan akadernik tanpa perlu meminta izin dari saya maupun
mernberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Yogyakarta, 29 I arluan 20T8
Penulis
Clard ahyu Kumia Pangestuti
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
HALAMAN MOTO ....................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... v
ABSTRAK ...................................................................................................... vi
ABSTRACT .................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR..................................................................................... viii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA.......................................................... xi
PERNYATAAN PUBLIKASI........................................................................ xii
DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................. 5
1.5 Batasan Istilah ........................................................................................ 6
1.6 Sistematika Penyajian ............................................................................. 7
BAB II LANDASAN TEORI ......................................................................... 9
2.1 Kajian Teori Terdahulu yang Relevan .................................................. 9
2.2 Pragmatik ............................................................................................. 10
2.3 Kesantunan Berbahasa .......................................................................... 12
2.4 Tindak Tutur ......................................................................................... 15
2.5 Prinsip Kesantunan Leech .................................................................... 18
2.6 Faktor Penentu Kesantunan ................................................................. 23
2.7 Indikator Kesantunan Menurut Pranowo ............................................. 24
2.8 Tuturan Sapaan ..................................................................................... 26
2.9 Konteks .................................................................................................. 29
2.10 Maksud ................................................................................................ 31
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
2.11 Kerangka Berpikir ............................................................................... 32
BAB III METODE PENELITIAN ...................................................................... 39
3.1 Jenis Penelitian ......................................................................................... 39
3.2 Sumber Data dan Data ............................................................................. 40
3.3 Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 41
3.4 Instrumen Penelitian ................................................................................. 41
3.5 Teknik Analisis Data ................................................................................ 41
3.6 Triangulasi Data ........................................................................................ 42
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 45
4.1 Deskripsi Data............................................................................................ 45
4.2 Hasil Penelitian........................................................................................... 47
4.2.1 Wujud dan Ciri Penanda Kesantunan Sapaan Verbal Guru kepada
Siswa .............................................................................................
48
4.2.1.1 Wujud dan Ciri Penanda Kesantunan Sapaan Verbal Guru
kepada Siswa berdasarkan Maksim Kebijaksanaan.............
49
4.2.1.2 Wujud dan Ciri Penanda Kesantunan Sapaan Verbal Guru
kepada Siswa berdasarkan Maksim Kedermawanan...........
51
4.2.1.3 Wujud dan Ciri Penanda Kesantunan Sapaan Verbal Guru
kepada Siswa berdasarkan Maksim Penghargaan................
54
4.2.1.4 Wujud dan Ciri Penanda Kesantunan Sapaan Verbal Guru
kepada Siswa berdasarkan Maksim Kesederhanaan............
56
4.2.1.5 Wujud dan Ciri Penanda Kesantunan Sapaan Verbal Guru
kepada Siswa berdasarkan Maksim Permufakatan..............
59
4.2.1.6 Wujud dan Ciri Penanda Kesantunan Sapaan Verbal Guru
kepada Siswa berdasarkan Maksim Kesimpatisan...............
62
4.2.2 Maksud Kesantunan Sapaan Verbal Guru kepada Siswa............... 64
4.2.2.1 Maksud Sapaan Verbal Guru kepada Siswa berdasarkan
Maksim Kebijaksaan...........................................................
64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
4.2.2.2 Maksud Sapaan Verbal Guru kepada Siswa berdasarkan
Maksim Kedermawanan......................................................
66
4.2.2.3 Maksud Sapaan Verbal Guru kepada Siswa berdasarkan
Maksim Penghargaan...........................................................
67
4.2.2.4 Maksud Sapaan Verbal Guru kepada Siswa berdasarkan
Maksim Kesederhanaan.......................................................
65
4.2.2.5 Maksud Sapaan Verbal Guru kepada Siswa berdasarkan
Maksim Permufakatan........................................................
69
4.2.2.6 Maksud Sapaan Verbal Guru kepada Siswa berdasarkan
Maksim Kesimpatisan.........................................................
71
4.3 Pembahasan Hasil Penelitian .................................................................... 73
4.3.1 Wujud dan Ciri Penanda Sapaan Verbal ....................................... 74
4.3.2 Maksud Kesantunan Sapaan Verbal .............................................. 80
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 82
5.1 Simpulan ............................................................................................... 82
5.2 Saran...................................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 85
LAMPIRAN...................................................................................................... 87
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Interaksi menurut KBBI (2008:542) yaitu hal saling melakukan aksi,
berhubungan, memengaruhi; antarhubungan. Sedangkan interaksi sosial itu
sendiri adalah hubungan sosial yang dinamis antara perseorangan dan
perseorangan, antara perseorangan dan kelompok, dan antara kelompok dan
kelompok. Melalui sebuah interaksi sosial itulah, sebuah komunikasi dapat terjadi.
Komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua
orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami (KBBI,
2008:721). Adanya komunikasi akan mempermudah terjadinya interaksi dan
bahasa merupakan salah satu alat yang digunakan untuk berkomunikasi. Budaya
dapat mempengaruhi cara individu maupun kelompok itu dalam berinteraksi dan
berkomunikasi. Kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Bahasa
menentukan harkat, martabat, sikap, dan perilaku seseorang, Sapir dan Whorf
(dalam Pranowo, 2009:7).
Berdasarkan kebudayaan tingkat kesantunan antardaerah dapat dikatakan
berbeda-beda. Santun sendiri dapat diartikan halus dan baik (budi bahasanya,
tingkah lakunya). Kesantunan saat berbahasa merupakan cerminan diri, karena
saat kita berbahasa santun dengan orang lain pun menjadi tertarik dengan
percakapan yang sedang berlangsung. Tingkat kesantunan seseorang juga
tergantung pada mitra tuturnya, maksudnya adalah siapa yang diajak berbicara,
hampir di setiap daerah memiliki kesamaan dalam bertutur. Seorang pemuda akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
berbicara lebih sopan kepada orang yang lebih dewasa atau seseorang yang
memiliki umur lebih tua dari padanya, berbeda dengan ketika pemuda tersebut
berbicara dengan teman sebayanya.
Contoh lainnya adalah tuturan yang terjadi antara pedagang dengan pembeli
akan berbeda dengan tuturan yang dilakukan oleh guru dengan murid. Austin
(dalam Pranowo, 2009:2) mengemukakan bahwa setiap ujaran dalam tindak
komunikasi selalu mengandung tiga unsur yaitu (1) tindak lokusi berupa ujaran
yang dihasilkan oleh penutur, (2) tindak ilokusi berupa maksud yang terkandung
dalam tuturan, dan (3) tindak perlokusi berupa efek yang ditimbulkan oleh
tuturan.
Kasus-kasus seperti itulah yang membuat kesantunan menjadi sangat penting
untuk diteliti terutama kesantunan verbal yang dituturkan guru kepada murid.
Tingkat kesantunan sebuah sapaan dapat dilihat dari cara guru menyapa murid-
muridnya. Santun atau tidaknya sebuah sapaan itu tergantung dari bahasa yang
digunakan oleh guru dan bagaimana cara guru menyampaikannya. Masih banyak
orang yang tidak lagi memperhatikan tingkat kesantunan sebuah bahasa maupun
percakapan yang digunakan. Karena hal-hal kecil seperti itu sudah jarang
mendapatkan perhatian dari masyarakat.
Rahardi (2005:119) mengatakan bahwa semakin panjang tuturan yang
digunakan, akan cenderung semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin
pendek sebuah tuturan, akan cenderung tidak santunlah tuturan itu. Dalam tuturan
bahasa Indonesia, sebuah tuturan itu sendiri dianggap santun apabila penutur
menggunakan kata-kata yang santun, dalam artian tidak mengejek, tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
merendahkan, ataupun tidak mengandung unsur SARA yang dapat menyinggung
perasaan mitra tutur. Kesantunan saat menyapa perlu juga diperhatikan terutama
sapaan yang dilontarkan oleh guru kepada siswanya. Ada saatnya guru merasa
kedudukannya lebih tinggi dari siswanya sehingga dengan mudahnya guru
menyapa siswanya secara tidak sopan misalnya menyapa dengan menggunakan
nama ejekan yang diberikan oleh siswa lain. Hal tersebut tentu akan membuat
siswa malu atau bahkan tersinggung. Guru akan lebih dihormati apabila dapat
menjaga kesantunannya, salah satunya melalui sebuah sapaan.
Meskipun dalam ilmu pragmatik kesantunan berbahasa baru mulai
mendapatkan perhatian, konsep etika berbahasa ini dapat dikatakan menjadi
bagian dalam komunikasi verbal masyarakat manapun sebelum dikenal dalam
pragmatik. Kesantunan berbahasa, secara tradisional telah diatur oleh norma-
norma dan moralitas masyarakat yang diinternalisasikan dalam konteks budaya
dan kearifan lokal. Tata krama berbahasa antara yang muda dan tua, sudah lama
hidup dalam komunikasi verbal. Namun, sangat disayangkan hal itu sudah mulai
sirna mengikuti arus negatif westernisasi yang membawa ideologi liberal.
Tulisan ini akan memberikan pandangan teoretis mengenai kesantunan
berbahasa yang mana dapat dijadikan acuan untuk kembali melakukan refleksi
atas penggunaan bahasa sehari-hari. Refleksi untuk melihat nilai kesantunan
dalam penggunaan bahasa sehari-hari terbilang penting, karena bahasa bukan
hanya sebagai instrumen komunikasi, melainkan juga ajang realisasi diri yang
santun dan beretika. Semakin santun orangnya, semakin baik budi pekertinya.
Hal itulah yang sedang dibutuhkan Indonesia, maka dari itu diperlukan perhatian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
khusus terhadap kesantunan, baik kesantunan dalam bertutur maupun saat
menyapa individu lain, agar tercipta sebuah rasa menghormati antar manusia.
Sebenarnya, rasa menghormati, rasa memiliki dan perasaan peduli terhadap
manusia lain sudah ada sejak zaman dahulu. Karena hal-hal tersebut merupakan
salah satu bagian dari norma-norma yang berlaku di masyarakat. Jika norma-
norma dalam tradisi lokal menanamkan kesantunan dalam berbahasa, mungkin
belum terjadi pemilahan antara kesopanan dan kesantunan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah utama dalam
penelitian ini adalah bagaimana kesantunan sapaan verbal guru kepada siswa di
SMP Aloysius Turi Yogyakarta?
Berdasarkan rumusan masalah utama di atas, penelitian ini juga menemukan
beberapa sub-sub masalah tersebut akan diuraikan di bawah ini.
1. Bagaimana wujud dan ciri penanda kesantunan sapaan verbal guru kepada
siswa di SMP Aloysius Turi Yogyakarta Tahun Ajaran 2017/2018?
2. Apa maksud sapaan verbal guru kepada siswa di SMP Aloysius Turi
Yogyakarta 2017/2018?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas terdapat rumuan masalah utama dan sub-
sub masalah. Tujuan penelitian dari rumusan masalah utama adalah
mendeskripsikan kesantunan sapaan verbal guru kepada murid di SMP Aloysius
Turi Yogyakarta. Pada sub-sub masalah yang telah dipaparkan diatas tujuan
penelitiannya sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
1. Mendeskripsikan wujud dan ciri penanda kesantunan sapaan verbal guru
kepada siswa di SMP Aloysius Turi Yogyakarta Tahun Ajaran 2017/2018.
2. Mendeskripsikan maksud sapaan verbal guru kepada siswa di SMP
Aloysius Turi Yogyakarta Tahun Ajaran 2017/2018.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis dari penelitian ini yaitu diharapkan dapat memberikan
pandangan dan kontribusi mengenai kesantunan yang dapat digunakan oleh
masyarakat, khususnya kesantunan sapaan guru kepada murid.
b. Manfaat Praktis
1. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat digunakan atau dimanfaatkan oleh
guru untuk melihat kesantunan yang digunakan saat menyapa para
murid di sekolah.
2. Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat digunakan oleh para siswa untuk
dapat berkomunikasi secara lebih santun kepada guru.
3. Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pihak sekolah
sebagai evaluasi kesantunan para guru dalam menyapa murid.
4. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan
tentang kesantunan yang digunakan di masyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
1.5 Batasan Istilah
Pembahasan dalam penelitian ini tentu hanya mencakup beberapa hal saja,
1. Pragmatik
Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur
(atau penulis)dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca) (Yule,
2006:3).
2. Konteks
Konteks sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama
dimiliki oleh penutur dan mitra tutur yang membantu mitra tutur untuk
menafsirkan makna tuturan (Leech, 1993 : 20).
3. Kesantunan Berbahasa
Fraser (dalam Gunarwan, 1994:88) mengartikan kesantunan sebagai
properti yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut
pendapat si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak
mengingkari kewajibannya. Definisi di atas dapat diartikan bahwa tingkat
kesantunan dari tuturan adalah penilaian dari oang lain, bukan dari si
penutur.
4. Tuturan Sapaan
Tuturan sapaan adalah hubungan komunikasi langsung antara pembicara
dengan mitra wicaranya. Tuturan sapaan ini akan merujuk kepada mitra
tutur agar perhatiannya tertuju kepada pembicaraan dan digunakan oleh
pembicara untuk saling menyapa atau menegur dalam suatu peristiwa
komunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
5. Maksud
Menurut Chaer (2009:35) maksud dapat dilihat dari segi si pengujar,
orang yang berbicara, atau pihak subjeknya. Di sini orang yang berbicara
itu mengujarkan suatu ujaran entah berupa kalimat maupun frasa, tetapi
yang dimaksudkannya tidak sama dengan makna lahiriah ujaran itu
sendiri.
1.6 Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I adalah bab pendahuluan yang berisi
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
batasan istilah, dan sistematika penyajian.
Bab II berisi landasan teori yang digunakan untuk menganalisis masalah-
masalah yang diteliti, yaitu tentang kesantunan berbahasa secara verbal. Teori-
teori yang dikemukakan dalam bab II ini adalah teori tentang kajian teoretis (1)
pengertian pragmatik, (2) konsep kesantunan berbahasa, (3) ruang lingkup bahasa
verbal, (4) prinsip dan indikator kesantunan berbahasa, (5) konteks, dan (6)
kerangka berpikir.
Bab III berisi metode penelitian yang memuat tentang cara dan prosedur yang
akan digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data. Bab III berisi uraian (1)
jenis penelitian, (2) sumber data dan data, (3) metode dan teknik pengumpulan
data, (4) instrumen penelitian, (5) metode dan teknik analisis data, (6) analisis
data, dan (7) trianggulasi hasil analisis data.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
Bab IV berisi tentang (1) deskripsi data, (2) analisis data, dan (3) pembahasan
hasil penelitian. Bab V berisi tentang simpulan penelitian dan saran untuk
penelitian kesantunan berbahasa verbal dan non verbal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bab ini peneliti menguraikan tentang landasan teori, dan kerangka
berpikir. Penelitian yang relevan berisi tentang tinjauan terhadap topik-topik
sejenis yang dilakukan oleh peneliti lain. Landasan teori berisi tentang teori-teori
yang digunakan sebagai landasan analisis yang terdiri atas teori prinsip
kesantunan, teori fungsi sapaan sebagai penanda kesantunan, dan teori konteks.
Kemudian, kerangka berpikir berisi tentang acuan teori yang digunakan peneliti
berdasarkan pada landasan teori untuk menjawab rumusan masalah.
2.1 Kajian Teori Terdahulu yang Relevan
Ada beberapa tulisan yang masih relevan dengan penelitian ini. Penelitian-
penelitian tersebut menjadi acuan peneliti dalam merumuskan tingkat kesantunan
yang terjadi di masyarakat. Terutama kesantunan sapaan guru kepada murid
melalui penggunaan bahasa.
Penelitian pertama milik Fendi Eko Prabowo (2016) dengan judul
“Kesantunan Berbahasa Dalam Kegiatan Diskusi Kelas Mahasiswa PBSI
Universitas Sanata Sharma Angkatan 2014”. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan pada kondisi yang
alamiah dan lebih menandai akan hasil penelitian sesuai dengan sikap serta
pandangan peneliti terhadap adanya (tidak adanya) penggunaan bahasa daripada
menandai cara penanganan bahasa tahap demi tahap, langkah demi langkah.
Peneliti menemukan persamaan teori yang digunakan oleh Fendi yaitu
penggunaan prinsip kesantunan berbahasa milik Leech. Hasil dari penelitian yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
dilakukan oleh Fendi Eko Prabowo yaitu peneliti menemukan bentuk tuturan
santun dan tidak santun pada saat pengambilan data. Peneliti menemukan dua
puluh dua (22) pematuhan terhadap maksim Leech serta emapt puluh delapan (48)
pelanggaran terhadap maksim Leech.
Penelitian kedua milik Fransisca Dike Desintya Dipta Sasmaya (2014) dengan
judul “Tingkat Kesantunan Berbahasa Pedagang “PERKO” Trotoar Malioboro
Yogyakarta (Suatu Tinjauan Sosiopragmatik). Jenis penelitian yang digunakan
peneliti adalah deskriptif kualitatif dengan metode pengumpulan data observasi
partisipatif dan metode simak-catat. Teknik analisis data deskriptif dan
kontekstual. Peneliti menemukan kesamaan teori dengan peneltian terdahulu milik
Fransisca Dike yaitu penggunaan teori sapaan milik Kridalaksana yang
menyatakan bahwa kata sapaan merujuk pada kata atau ungkapan yang dipakai
untuk menyebut dan memanggil para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa.
Penelitian berjudul “Tingkat Kesantunan Berbahasa Pedagang “PERKO”
Trotoar Malioboro Yogyakarta (Suatu Tinjauan Sosiopragmatik) mendapatkan
temuan bahwa tingkat kesantunan berbahasa penjual dan pembeli sangatlah
rendah. Hal ini dikarenakan mereka menggunakan bahasa sehari-hari atau dapat
dikatakan menggunakan bahasa sesuka nereka dalam bertransaksi jual beli.
2.2 Pragmatik
Pragmatik menurut Thomas dan Yule (dalam Cummings: 2007)
mendefinisikan pragmatik sebagai ilmu yang mempelajari makna yang muncul
dalam interaksi. Hanya saja ada sedikit misunderstanding tentang apa itu
pragmatik. Bermula dari paparan Charles Morris (dalam Cummings, 2007) yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
mengatakan bahwa pragmatik adalah salah satu sistem semiotik selain sintaksis
dan semantik, beberapa orang memiliki pemahaman bahwa pragmatik itu ya
semiotik, sehingga aplikasi konsep pragmatik ini diterapkan seperti layaknya
penerapan konsep semiotik sosial.
Yule (2006:3) mengemukakan bahwa pragmatik adalah studi tentang makna
yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar
(atau pembaca). Oleh karena itu, pragmatik lebih banyak berhubungan dengan
analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-tuturannya dari pada
dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang di gunakan dalam tuturan itu
sendiri. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Levinson (dalam Tarigan,
1986: 33), yang mengartikan pragmatik sebagai telaah mengenai relasi antara
bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan
pemahaman bahasa. Pragmatik linguistik berada di persimpangan antara sejumlah
bidang di dalam dan di luar ilmu pengetahuan kognitif, bukan hanya ilmu
linguistik, psikologikognitif, antropologi kultural, dan filsafat (logika, semantik,
teori tindakan), tetapi juga sosiologi (dinamika interpersonal dan kajian konvensi
social) dan retorika memberikan kontribusi terhadap bidang kajian ini
(Cummings, 2007:1).
Cruise (dalam Cummings, 2007:2), pragmatik dapat dianggap berurusan
dengan aspek-aspek informasi (dalam pengertian yang paling luas) yang
disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak dikodekan oleh konvensi yang
diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, (b) namun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
juga muncul secara alamiah dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan
secara konvensional dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut.
Pragmatik sendiri lebih berkenaan dengan tuturan yang digunakan oleh
penutur dalam interaksi, apa sebenarnya maksud di balik ujaran yang dia
eksekusi, bagaimana penutur bisa menangkap maksud yang bahkan tuturan itu
tidak eksplisit, bagaimana tuturan itu bisa mengakomodasi maksud yang beda
manakala aspek konteks berubah, bagaimana setiap maksud dari sebuah tuturan
itu bisa juga memiliki kekuatan yang membuat lawan bicara itu merespon dengan
sebuah reaksi tertentu. Semua itu memerlukan sistem semion bentuk lain yang
sifatnya kontekstual.
Dalam konteks ini, sebuah ujaran atau tuturan yang digunakan oleh seorang
penutur dalam interaksi itu sebenarnya memiliki tiga dimensi makna, yaitu makna
yang muncul dari satuan-satuan yang dirangkai dengan kaidah struktur klausa atau
yang disebut sebagai makna lokusi yaitu makna yang dikandung oleh tuturan itu
dalam konteks interaksi atau yang dikenal dengan nama makna ilokusi atau daya
pragmatik (pragmatic force) dan daya tuturan yang mampu menggerakkan lawan
bicara.
2.3 Kesantunan Berbahasa
1. Teori Kesantunan Berbahasa menurut Brown dan Levinson
Brown dan Levinson (1987) mengatakan teori kesantunan berbahasa itu
berkisar atas nosi muka (face). Semua orang yang rasional punya muka (dalam
arti kiasan tentunya), dan muka itu harus dijaga, dipelihara, dan sebagainya.
Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Indonesia seperti kehilangan muka,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
menyembunyikan muka, menyelamatkan muka, dan mukanya jatuh, mungkin
lebih bisa menjelaskan konsep muka ini dalam kesantunan berbahasa. Muka ini
harus dijaga, tidak boleh direndahkan orang. Menurut Brown dan Levinson (1987)
sebuah tindak tutur dapat merupakan ancaman terhadap muka. Tindak tutur ini
oleh Brown dan Levinson disebut sebagai Face Threatening Act (FTA). Untuk
mengurangi kekerasan ancaman itulah di dalam berkomunikasi kita tidak harus
selalu menaati.
2. Teori Kesantunan Berbahasa menurut Pranowo
Pranowo tidak memberikan teori mengenai kesantunan berbahasa, melainkan
memberi pedoman bagaimana berbicara secara santun. Menurut Pranowo (dalam
Chaer, 2010:62), suatu tuturan akan terasa santun apabila memperhatikan hal-hal
berikut:
a. Menjaga suasana perasaan lawan tutur sehingga dia berkenan bertutur
dengan kita.
b. Mempertemukan perasaan kita (penutur) dengan perasaan lawan tutur
sehingga isi tuturan sama-sama dikehendaki karena sama-sama
diinginkan.
c. Menjaga agar tuturan dapat diterima oleh lawan tutur karena dia
sedang berkena di hati.
d. Menjaga agar dalam tuturan terlihat ketidakmampuan penutur di
hadapan lawan tutur.
e. Menjaga agar dalam tuturan selalu terlihat posisi lawan tutur selalu
berada pada posisi yang lebih tinggi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
f. Menjaga tuturan selalu terlihat bahwa apa yang dikatakan kepada
lawan tutur juga dirasakan oleh penutur.
Pranowo dalam bukunya Berbahasa secara santun (2009:13) juga
mengemukakan alasan mengapa manusia harus berbahasa secara santun kepada
mitra tutur karena mengeluarkan pernyataan atau mengaktualisasi diri secara
bebas bukan berarti tanpa batas. Dalam berucap dan berperilaku, seseorang tidak
harus melanggar hukum dan pranata sosial maupun pranata budaya. Meskipun
sudah ada pranata sosial dan budaya, janganlah seseorang baru berbuat santun
setelah dikucilkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, perilaku hendaknya selalu
dijaga agar ketika berbicara maupun berperilaku tidak perlu diperingatkan oleh
hukum maupun pranata sosial dan budaya. Setiap orang hendaknya selalu
menjaga diri agar ucapan dan perilakunya tidak melanggar hukum maupun
pranata sosial dan pranata budaya.
Bahasa merupakan alat komunikasi yang dapat menimbulkan interaksi antar
penutur dengan mitra tutur. Ada tiga hal penting ketika penutur berinteraksi
dengan mitra tutur. Pertama, mitra tutur diharapkan dapat memahami maksud
yang disampaikan oleh penutur. Dengan demikian, interaksi antara penutur
dengan mitra tutur dapat komunikatif. Jika mitra tutur tidak mampu memahami
pesan yang disampaikan oleh penutur, komunikasi akan gagal. Sebaliknya, jika
mitra tutur mampu memahami maksud penutur, komunikasi akan berhasil. Kedua,
setelah mitra tutur memahami maksud penutur, mitra tutur akan mencari aspek
tuturan yang lain. Mitra tutur tidak cukup hanya disuguhi dengan maksud. Mereka
juga ingin mendapatkan persepsi mengenai penutur. Persepsi mitra tutur terhadap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
penutur akan diperoleh melalui cara menyampiakna maksud menggunakan
bahasa. Jika cara menyampaikan maksud dilakukan oleh penutur dengan bahsa
yang mudah dipahami, persepsi penutur akan mengatakan bahwa penutur sangat
mahir menjelaskan suatu pokok masalah kepada mitar tutur. Jika penutur
menggunakan kata-kata yang enak dirasakan, mitra tutur akan mempersepsi
penutur sebagai orang yang santun.
Ketiga, tuturan penutur kadang-kadang juga disimak oleh orang lain (orang
ketiga) yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan komunikasi antara
penutur dengan mitra tutur. Pada saat interaksi antara penutur dengan mitra tutur
sedang berlangsung, orang ketiga yang sedang berada di luar pembicaraan pun
sering ikut memersepsi tuturan penutur. Orang ketiga akan mempersepsikan
seberapa tingkat kejelasan maksud tuturan dan seberapa tingkat kesantunan
berbahasa penutur.
Berbahasa dan berperilaku santun merupakan kebutuhan setiap orang, bukan
sekadar kewajiban. Seseorang berbahasa dan berperilaku santun sebenarnya lebih
dimaksudkan sebagai wujud aktualisasi diri. Pada dasarnya aktualisasi diri dengan
berbahasa dan berperilaku santun dapat berkenan bagi mitra tutur hanyalah efek
bukan tujuan. Setiap orang harus menjaga kehormatan dan martabat diri sendiri.
Hal ini dimaksudkan agar orang lain juga mau menghargainya. Inilah hakikat
berbahasa secara santun.
2.4 Tindak Tutur
Tutur atau tuturan yaitu sesuatu yang dituturkan, tidak sengaja menuturkan,
terucapkan, atau terlafalkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:1511).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
Tuturan tersebut dapat berupa kata, frasa, atau kalimat yang diucapkan ketika
sedang berkomunikasi. Ujaran tersebut bisa berbentuk pernyataan untuk
memberikan informasi atau pernyataan untuk menanyakan informasi.
Menurut Searle (dalam Nadar, 2009:12) berpendapat bahwa unsur yang
paling kecil dalam komunikasi adalah tindak tutur seperti menyatakan, membuat
pertanyaan, memberi perintah, menguraikan, menjelaskan, minta maaf, berterima
kasih, mengucapkan selamat, dan lain-lain. Austin dalam bukunya How to Do
Things With Words (1962) mengatakan bahwa secara analitis dapat dipisahkan
tiga macam tindak bahasa yang terjadi secara serentak, yaitu lokusi, ilokusi,
perlokusi (Nababan, 1987:18). Pertama, tindak lokusi (lokutionary act) yang
mengaitkan suatu topik dengan suatu keterangan dalam suatu ungkapan, serupa
hubungan subjek dengan suatu keterangan dalam suatu ungkapan, serupa
hubungan subjek dengan predikat, atau topik dengan penjelasan dalam sintaksis
(Nababan, 1987:18). Tindak tutur lokusi bisa berupa kata, frasa atau kalimat yang
digunakan penutur untuk mengatakan sesuatu. Kedua, tindak ilokusi
(illocutionary act), yaitu pengucapan suatu pernyataan, janji, tawaean, pertanyaan,
dan sebagainya. Tindak ilokusi berarti melakukan suatu tindakan dengan maksud
dan fungsi tertentu. Ketiga, tindak perlokusi adalah tindak membubuhkan
pengaruh kepada diri sang mitra tutur. Perlokusi (perlocutionary act) merupakan
hasil atau efek yang diharapkan timbul pada diri si pendengar sesuai dengan
situasi dan kondisi penuturan tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Yule (2006: 92–94) mengklasifikasikan tindak tutur menjadi 5 jenis fungsi
umum, yaitu deklaratif, representatif, ekspresif, direktif, dan komisif. Berikut ini
adalah penjelasan dari setiap jenis tersebut.
1. Deklarasi adalah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan.
Penutur harus memiliki peran institusional khusus, dalam konteks khusus,
untuk menampilkan suatu deklarasi secara tepat.
2. Representatif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini
penutur kasus atau bukan. Pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan,
dan pendeskripsian tentang sesuatu yang diyakini oleh penutur.
3. Ekspresif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan
oleh penutur. Tindak tutur itu mencerminkan pernyataan-pernyataan
psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan,
kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan.
4. Direktif ialah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh
orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang
menjadi keinginan penutur.
5. Komisif ialah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk
mengaitkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang.
Tindak tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksudkan oleh penutur.
Tindak tutur ini dapat berupa janji, ancaman, penolakan, dan ikrar. Pada
waktu menggunakan komisif, penutur berusaha untuk menyesuaikan dunia
dengan kata-kata (lewat penutur).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
2.5 Prinsip Kesantunan Leech
Dalam menentukan santun atau tidaknya suatu tuturan dapat menggunakan
suatu prinsip tertentu. Leech menyampaikan enam maksim yang menjadi prinsip
kesantunan. Keenam maksim tersebut dapat dirinci sebagai berikut.
a. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa
para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu
mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak
lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan
maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Apabila di
dalam bertutur orang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat
menghindarkan sikap dengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun
terhadap si mitra tutur. Perasaan sakit hati merupakan akibat dari perlakuan yang
tidak menguntungkan pihak lain akan dapat diminimalkan apabila maksim
kebijaksanaan ini dipegang teguh dan dilaksanakan dalam kegiatan bertutur.
Dengan perkataan lain, menurut maksim ini, kesantunan dalam bertutur dapat
dilakukan apabila maksim kebijaksnaan dilaksanakan dengan baik.
b. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)
Maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan
diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain
akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan
memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
c. Maksim Penghargaan (Approbation Maxim)
Maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun
apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak
lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling
mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak yang lain. Peserta tutur
yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan
sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian, karena tindakan mengejek
merupakan tindakan tidak menghargai orang lain. Kerena merupakan perbuatan
tidak baik, perbuatn itu harus dihindari dalam pergaulan sesungguhnya.
d. Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim)
Maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan
dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya
sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam
kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Dalam
masyarakat dan budaya Indonesia, kesederhanaan dan kerendahan hati banyak
digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang.
e. Maksim Permufakatan (Agreement Maxim)
Maksim permufakatan seringkali disebut dengan maksim kecocokan menurut
Wijana (dalam Kunjana, 2006:64). Maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur
dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur.
Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur
dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan
bersikap santun. Di dalam masyarakat tutur Jawa, orang tidak diperbolehkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
memenggal atau bahkan membantah secara langsung apa yang dituturkan oleh
pihak lain.
Hal demikian tampak sangat jelas, terutama, apabila umur, jabatan, dan status
sosial penutur berbeda dengan si mitra tutur. Pada zaman kerajaan-kerajaan di
Pulau Jawa dahulu, orang yang berjenis kelamin wanita tidak di perkenankan
menentang sesuatu yang dikatakan dan diperintahkan sang pria. Kita dapat
mencermati orang bertutur pada zaman sekarang ini, seringkali didapatkan bahwa
dalam memperhatikan dan menanggapi penutur, si mitra tutur menggunakan
anggukan-anggukan tanda setuju, acungan jempol tanda setuju, wajah tanpa
kerutan pada dahi tanda setuju, dan beberapa hal lain yang sifatnya paralinguistik
kinesik untuk menyatakan maksud tertentu.
f. Maksim Kesimpatisan (Sympathic Maxim)
Maksim kesimpatisan yaitu para perserta tutur diharapkan dapat
memaksimalkan sikap simpati anatar pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap
antipati terhadap dalah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak
santun. Masyarakat tutur Indonesia, sangat menjunjung tinggi rasa kesimpatisan
terhadap orang lain ini di dalam komunikasi kesehariannya. Orang yang bersikap
antipati terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain,
akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat.
Kesimpatisan terhadap pihak lain sering ditunjukkan dengan senyuman,
anggukan, gandengan tangan, dan sebagainya.
Berbeda dengan yang disampaikan Leech di atas, didalam model
kesantunan Brown dan Levison (dalam Kunjana, 2006:68) terdapat tiga skala
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan. Ketiga skala
termaksud ditentukan secara kontekstual, sosial, dan kultural yang selengkapnya
mencakup skala-skala berikut.
a. Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social
distance between speaker and hearer)
Skala ini banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis
kelamin, dan latar belakang sosiokultural. Berkenaan dengan perbedaan
umur antara penutur dan mitra tutur, lazimnya didapatkan bahwa semakin
tua umur seseorang, peringkat kesantunan dalam bertuturnya akan menjadi
semakin tinggi. Sebaliknya, orang yang msaih berusia muda lazimnya
cenderung memiliki peringkat kesantunan yang rendah di dalam kegiatan
bertutur. Orang yang berjenis kelamin wanita, lazimnya memiliki peringkat
kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berjenis kelamin
pria.
Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa wanita cenderung lebih
banyak berkenaan dengan sesuatu yang bernilai estetika dalam keseharian
hidupnya. Sebaliknya, pria cenderung jauh dari hal-hal itu karena lazimnya,
ia banyak berkenaan dengan kerja dan pemakaian logika dlama kegiatan
keseharian hidupnya. Latar belakang sosiokultural seseorang memiliki peran
sangat besar dalam menentukan peringkat kesantunan bertutur yang
dimilikinya. Orang yang memiliki jabatan tertentu di dalam masyarakat
cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan
kebanyakan orang, seperti petani, pedagang, kuli perusahaan, buruh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
bangunan, dan pembantu rumah tangga. Demikian pula, orang-orang kota
cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan
masyarakat desa. Pada zaman dahulu, para punggawa kerajaan terkenal
memiliki kesantunan bertutur relatif tinggi dibandingkan dengan orang-
orang kebanyakan, seperti pedagang, buruh perusahaan, petani, dan
sebagainya.
b. Skala peringkat status sosial (the speaker and hearer relative power)
atau seringkali disebut dengan peringkat kekuasaan (power rating)
Skala ini didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan
mitra tutur. Contohnya ketika ada seorang dokter berada dalam ruang
periksa sebuah rumah sakit, kedudukan seorang dokter lebih tinggi dari
pasien. Maka dari itu seorang dokter memiliki peringkat kekuasaan yang
lebih tinggi dari pasien. Sejalan dengan itu di sebuah jalan raya seorang
polisi lalu lintas dianggap memiliki peringkat kekuasaan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan dokter rumah sakit yang pada saat itu kebetulan
melanggar peraturan lalu lintas. Sebaliknya, polisi yang sama akan jauh di
bawah seorang dokter rumah sakit dalam hal peringkat kekuasaannya
apabila sedang berada di sebuah ruang periksa rumah sakit.
c. Skala peringkat tindak tutur atau sering pula disebut dengan rank
rating atau lengkapnya adalah the degree of imposition associated with
the required expenditure of good or service.
Skala ini didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu
dengan tindak tutur lainnya. Sebagai contoh, dalam situasi yang sangat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
khusus, bertamu di rumah seorang wanita dengan melewati batas waktu
bertamu yang wajar akan dikatakan sebagai tidak tahu sopan santun dan
bahkan melanggar norma kesantunan yang berlaku pada masyarakat tutur
itu. Namun demikian, hal yang sama akan dianggap sangat wajar dalam
situasi yang berbeda. Pada saat di suatu kota terjadi kerusuhan dan
pembakaran gedung-gedung dan perumahan, orang berada di rumah orang
lain atau rumah tetangganya bahkan sampai pada waktu yang tidak
ditentukan.
2.6 Faktor Penentu Kesantunan
Faktor penentu kesantunan adalah segala hal yang dapat memengaruhi
pemakaian bahasa menjadi santun atau tidak santun. Faktor penentu kesantunan
dari aspek kebahasaan dapat diidentifikasi sebagai berikut (Pranowo, 2009:76).
Aspek penentu kesantunan dalam bahasa verbal lisan antara lain aspek
intonasi (keras lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara), aspek nada bicara
(berkaitan dengan suasana emosi penutur, nada resmi, nada bercanda atau
bergurau, nada mengejek, nada menyindir), faktor pilihan kata dan faktor struktur
kalimat.
Aspek intonasi dalam bahasa lisan sangat menentukan santun tidaknya
pemakaian bahasa. Ketika penutur menyampaikan maksud kepada mitra tutur
dengan menggunakan intonasi keras, padahal mitra tutur berada pada jarak yang
sangat dekat dengan penutur, sementara mitra tutur tidak tuli, penutur akan dinilai
tidak santun. Sebaliknya, jika penutur menyampaikan maksud dengan intonasi
lembut, penutur akan dinilai sebagai orang yang santun. Namun, intonasi kadang-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
kadang dipengaruhi oleh latar belakang budaya masyarakat. Lembutnya intonasi
orang Jawa berbeda dengan orang Batak.
Aspek nada dalam bertutur lisan mempengaruhi kesantunan berbahasa
seseorang. Nada adalah naik turunnya ujaran yang menggambarkan suasana hati
penutur ketika sedang bertutur. Jika suasana hati sedang senang, nada bicara
penutur menaik dengan ceria sehingga terasa menyenangkan. Jika suasana hati
sedang sedih, nada bicara penutur menurun dengan datar sehingga terasa
menyedihkan. Jika suasana hati sedang marah, emosi, nada bicara penutur menaik
dengan keras, kasar sehingga terasa menakutkan.
Nada bicara tidak dapat disembunyikan dari tuturan. Dengan kata lain, nada
bicara penutur selalu berkaitan dengan suasana hati penuturnya. Namun, bagi
penutur yang ingin bertutur secara santun, hendaknya dapat mengendalikan diri
agar suasana hati yang negatif tidak terbawa dalam bertutur kepada mitra tutur.
Pilihan kata merupkan salah satu penetu kesantunan dalam bahasa lisan
maupun bahasa tulis. Ketika seseorang sedang bertutur, kata-kata yang digunakan
dipilih sesuai topik yang dibicarakan, konteks pembicaraan, suasana mitra tutur,
pesan yang disampaikan, dan sebagainya. Dalam bahasa lisan, kesantunan juga
dipengaruhi oleh faktor bahasa nonverbal, seperti gerak gerik anggota tubuh,
kerlingan mata, gelengan kepala, acungan tangan, kepalan tangan, tangan
berkacak pinggang, dan sebagainya.
2.7 Indikator Kesantunan Pranowo
Selain menggunakan kaidah dan skala kesantunan untuk mengukur suatu
tuturan, pemilihan kata (diksi) juga memengaruhi kesantunan dalam proses
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
komunikasi. Pranowo (2009:103) memberikan saran agar komunikasi dapat terasa
santun, tuturan ditandai dengan hal-hal berikut.
1) Perhatikan suasana perasaan mitra tutur sehinga ketika bertutur dapat
membuat hati mitra tutur berkenan (angon rasa).
2) Pertemukan perasaan Anda dengan perasaan mitra tutur sehingga isi
komunikasi sama-sama dikehendaki karena sama-sama diinginkan (adu
rasa).
3) Jagalah agar tuturan dapat di terima oleh mitra tutur karena mitra tutur
sedang berkenan di hati (empan papan).
4) Jagalah agar tuturan memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur di
hadapan mitra tutur (sifat rendah hati).
5) Jagalah agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa mitra tutur diposisikan
pada tempat yang lebih tinggi (sikap hormat).
6) Jagalah agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan
kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur (sikap tepa selira).
Selain itu, indikator di atas juga dapat dilihat melalui pemakaian kata-kata
tertentu sebagai pilihan kata (diksi) yang dapat mencerminkan rasa santun,
misalnya:
1) Gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan orang lain.
2) Gunakan frasa “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan
orang lain.
3) Gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan dapat menyinggung
perasaan orang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
4) Gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lain melakukan
sesuatu.
5) Gunakan kata “beliau” untuk menyambut orang ketiga yang dinilai lebih
dihormati.
6) Gunakan kata “Bapak/Ibu” untuk menyebut orang kedua dewasa.
Penelitian lanjutan milik Pranowo menemukan indikator kesantunan dapat
mendukung kesantunan, yaitu sikap rendah hati. Sikap rendah hati seseorang
dapat tumbuh dan berkembang jika seseorang mampu memanifestasikan nilai-
nilai lain, seperti tenggang rasa (angon rasa, adu rasa), angon wayah, mau
berkorban, mawas diri, empan papan, dan sebagainya.
2.8 Tuturan Sapaan
Tutur atau tuturan yaitu sesuatu yang dituturkan (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2008:1511). Tuturan tersebut dapat berupa kata, frasa, atau kalimat
yang diucapkan ketika sedang berkomunikasi. Sedangkan sapaan berarti ajakan
untuk bercakap, teguran, ucapan, yang dalam konteks linguistik berarti kata atau
frasa untuk saling merujuk dalam pembicaraan dan yang berbeda-beda menurut
sifat hubungan di antara pembicara itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
2008:1225).
Menurut Kristal (dalam Aslinda, dkk,2000:3) mendefinisikan sapaan sebagai
cara mengacu seseorang di dalam interaksi linguistik yang dilakukan secara
langsung. Pendapat ini sejalan dengan Nababan (1993:40), yang mengatakan
bahwa sistem tutur sapa (sapaan) adalah alat seseorang pembicara untuk
menyatakan sesuatu kepada orang lain. Sapaan ini akan merujuk kepada orang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
yang diajak bicara agar perhatiannya tertuju kepada pembicaraan. Berdasarkan
teori dari Kristal dan Nababan dapat disimpulkan bahwa tuturan sapaan adalah
hubungan komunikasi secara langsung antara pembicara dengan mitra wicaranya.
Tuturan sapaan ini akan merujuk kepada mitra wicara agar perhatiannya tertuju
kepada pembicaraan dan digunakan oleh pembicara untuk saling menyapa atau
menegur salam suatu peristiwa komunikasi.
Menurut Brown dan Gilman, penggunaan sapaan di pengaruhi oleh dua
faktor, yakni faktor kuasa (power) dan solidaritas (solidarity). Kedua faktor ini
mempengaruhi pola sapaan yang digunakan antara penutur dengan mitra bicara.
Di dalam sapaan, terdapat dua pola, yaitu resiprokal dan nonresiprokal. Pola
resiprokal digunakan apabila penutur menyapa mitra bicara dengan bentuk sapaan
yang sama. Pola resiprokal ini menunjukkan hubungan yang simetris. Sebaliknya
,jika nonresiprokal digunakan apabila penutur menyapa mitra bicara dengan
bentuk sapaan yang berbeda dan hubungan yang ditunjukkan adalah hubungan
yang asimetris.
Dalam hubungan kuasa (power), sapaan digunakan secara nonresiprokal .
Hal ini terjadi karena penutur dan mitra bicara memiliki perbedaan kuasa.
Penutur yang memiliki kuasa lebih tinggi (superior) menyapa orang lain dengan
sapaan T dan ia menerima sapaan bentuk V. Sementara itu, orang memiliki kuasa
lebih rendah (inferior) menyapa dengan sapaan V dan di sapa dengan sapaan T.
apabila hubungan kuasa antara penutur dan mitra bicara sama (equal), sapaan
yang digunakan secara respirokal, yaitu saling menyapa dengan sapaan V atau T.
Brown dan Gilman menjelaskan lebih jauh bahwa kekuasaan didasarkan pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
kekuatan fisik, kesejahteraan, usia, jenis kelamin, peran di masyarakat, Negara,
ketentaraan, dan di dalam keluarga.
Dalam hubungan solidaritas (solidarity), sapaan digunakan secara resiprokal.
Solidaritas ini muncul pada hubungan kuasa yang sama (power equal). Solidaritas
menunjukkan kedekatan (closeness) dan keintiman (intimacy) antara penutur dan
mitra bicara. Apabila penutur dan mitra bicara memiliki kekuasaan yang (power
equal) dan memiliki solidaritas, mereka akan saling menyapa dengan sapaan T.
Sebaliknya, apabila mereka tidak memiliki solidaritas, akan saling menyapa
dengan sapaan V. Apabila penutur memiliki kekuasaan yang lebih tinggi
(superior) dan memiliki solidaritas, ia kan menyapa dengan sapaan T dan disapa
dengan sapaan T dan V. Sebaliknya, penutur memiliki kuasa lebih rendah
(inferior) dan memiliki solidaritas, ia akan menyapa dengan sapaan V dan T dan
disapa dengan sapaan T. Apabila penutur memiliki kekuasaan yang lebih tinggi
(superior) tetapi tidak memiliki solidaritas, ia akan menyapa mitra bicara dengan
sapaan V dan T, serta disapa dengan sapaan V. Sebaliknya, penutur memiliki
kuasa lebih rendah (inferior) tetapi tidak memiliki solidaritas, ia akan menyapa
dengan sapaan V dan disapa dengan sapaan V dan T.
2.8.2 Fungsi Sapaan
Bieber (dalam Fitri, 2012:20) membagi fungsi sapaan berdasarkan letak
kemunculannya dalam ujaran. Berdasarkan letaknya tersebut, Bieber et
al.membagi sapaan ke dalam fungsi berikut.
1. Menarik perhatian seseorang,
2. Manandai mitra bicara,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
3. Mempertahankan dan memperkuat hubungan sosial.
Sapaan yang berada di awal ujaran biasanya berfungsi untuk menarik
perhatian seseorang (1) dan memperkenalkan lawan bicara (2). Sementara itu,
sapaan yang terletak di akhir ujaran mempunyai fungsi kombinasi nomor 2 dan 3,
yaitu mengatur dan mempertahankan hubungan sosial antara penutur dan mitra
bicara. Fungsi sapaan untuk menjaga hubungan sosial terlihat dari penggunaan
sapaan berupa panggilan akrab (familiarizers).
2.9 Konteks
Gagasan tentang konteks berada di luar pengejawantahannya yang jelas
seperti latar fisik tempat, dihasilkannya suatu ujaran yang mencakup faktor-faktor
linguistik, sosial dan epistemis. Meskipun peran konteks dalam makna bahasa
telah lama diketahui walau hanya akhir-akhir ini saja diuraikan secara jelas dalam
disiplin ilmu pragmatik yang usianya masih relatif muda baru sekaranglah
kontribusi faktor-faktor konteks terhadap proses argumentasi di selidiki secara
serius oleh para ahli pragmatik (Cummings, 2007:5).
Konteks telah diberi berbagai arti antara lain diartikan sebagai aspek-aspek
yang gayut dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Dalam hal itu dapat
dikatakan bahwa konteks sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-
sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur yang membantu mitra tutur untuk
menafsirkan makna tuturan (Leech, 1993:20).
Pranowo (2014: 65) mendefinikan bahwa konteks adalah teks lain, atau situasi
yang berada di luar teks yang sedang dibicarakan. Mulyana (2005: 21)
menyebutkan bahwa konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan
atau dialog. Segala sesuatu yang behubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan
dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang
melatarbelakangi peristiwa tuturan itu.
Menurut Moeliono dan Samsuri (dalam Mulyana, 2005:23) konteks terdiri
atas beberapa hal, yakni situasi, partisipan, waktu, tempat, adegan, topik,
peristiwa, bentuk, amanat, kode dan saluran. Sedangkan, Syafi’ie (dalam
Mulyana, 2005:24) menambahkan bahwa, apabila dicermati dengan benar,
konteks terjadinya suatu percakapan dapat dipilah menjadi empat macam, yakni
sebagai berikut.
1) Konteks linguistik (linguistic context), yaitu kalimat-kalimat dalam
percakapan.
2) Konteks epistemis (epistemis context), adalah latar belakang
pengetahuanyang sama-sama diketahui oleh partisipan.
3) Konteks fisik (physical context), meliputi tempat terjadinya percakapan,
objek yang disajikan dalam percakapan, dan tindakan para partisipan.
4) Konteks sosial (social context), yaitu relasi sosio-kultural yang melengkapi
hubungan antar pelaku atau partisipan dalam percakapan.
Uraian tentang konteks terjadinya suatu percakapan (wacana) menunjukkan
bahwa konteks memegang peranan penting dalam memberi bantuan untuk
menafsirkan suatu wacana. Kesimpulannya, secara singkat dapat dikatakan in
language, context is everything. Dalam berbahasa (berkomunikasi), konteks
adalah segala-galanya (Mulyana, 2005: 24).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
2.10 Maksud
Berbeda dengan makna dan informasi, makna adalah gejala dalam ujaran dan
informasi yaitu gejla-luar-ujaran. Selain informasi sebagai sesuatu yang luar
ujaran ada lagi istilah yang disebut dengan maksud. Informasi dan maksud sama-
sama sesuatu luar-ujaran. Berbeda dengan informasi yaitu sesuatu luar-ujaran
dilihat dari segi objeknya atau yang dibicarakan. Maksud dapat dilihat dari segi si
pengujar, orang yan berbicara, atau pihak subjeknya (Chaer, 2009:35). Di sini
orang yang berbicara itu mengujarkan seuatu ujaran entah berupa kalimat maupun
frase, tetapi yang dimaksudkannya tidak sama dengan makna lahiriah ujaran itu
sendiri. Contohnya ada beberapa mahasiswa sedang mengerjakan tugas bersama
di dalam rumah saat itu hari mulai petang, kemudian ada seorang mahasiswa yang
berkata “Wah kita mengerjakan tugas ditemani cahaya rembulan”. Maksud dari
tuturan mahasiswa tersebut adalah memerintahkan salah satu temannya untuk
menghidupkan lampu.
Tuturan di atas menjelaskan bahwa maksud banyak digunakan dalam bentuk-
bentuk ujaran yang disebut metafora, ironi, litotes, dan bentuk-bentuk gaya bahasa
lain. Selama masih menyangkut isi bahasa maka maksud itu masih dapat disebut
sebagai persoalan bahasa. Hal tersebut jika dirasa sudah terlalu jauh dan tidak
berkaitan lagi dengan bahasa maka sudah tidak dapat lagi disebut sebagai
persoalan bahasa. Mungkin termasuk persoalan bidang studi lain, entah filsafat,
antropologi, atau psikologi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
2.11 Kerangka Berpikir
Kajian pragmatik kita mengenal istilah kesantunan. Kesantunan merupakan
salah satu fenomena sosial yang sering diabaikan oleh masyarakat. Kesantunan
dalam berbahasa sangatlah penting dalam kehidupan sehari-hari sebagai sarana
komunikasi dimasyarakat. Praktik berbahasa dimasyarakat sendiri memiliki
tingkat kesantunan yang berbeda, hal itu terjadi karena dipengaruhi oleh budaya
yang berbeda pada setiap daerah. Prakti tersebut sangatlah penting untuk menjaga
kesantunan dalam bertutur agar tidak menyinggung pihak lain. Salah satunya
adalah guru sebagai teladan siswa saat di sekolah. Sebagai guru wajib untuk
bertutur secara santun agar tidak menyakiti hati siswa dan dapat memberi
pelajaran kepada siswa terkait berbahasa secara santun.
Penelitian mengenai kesantunan sapaan verbal guru kepada murid si SMP
Aloysius Turi Yogyakarta, memiliki sebuah kerangka berpikir. Kerangka berpikir
digunakan sebagai fondasi suatu pemikiran yang akan digunakan selama proses
penelitian berlangsung. Tujuan dari kerangka berpikir adalah memudahkan
peneliti dalam menjelaskan alur penelitian kesantunan sapaan verbal guru kepada
murid di SMP Aloysius Turi Yogyakarta. Dalam kerangka berpikir ini peneliti
akan membahas permasalahan-permasalahan yang telah diangkat, yakni
kesantunan sapaan, wujud kesantunan sapaan, ciri penanda kesantunan sapaan,
dan maksud dari sapaan tersebut. Pembahasan masalah tersebut alam dijelaskan
dengan konsep, teori, dan metode yang berhubungan dengan masalah penelitian.
Peneliti menggunakan tori pragmatik sebagai pisau analisis dalam penelitian.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah tingkat kesantunan sapaan verbal guru
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
kepada murid, maka peneliti berpikir bahwa teori pragmatik sangat tepat
digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini. Komponen penting dalam
teori pragmatik yang menjadi fokus peneliti adalah teori tentang kesantunan
berbahasa secara verbal atau dalam bentuk tuturan. Peneliti menggunakan metode
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan metode yang menghasilkan
data deskriptif yamg dipaparkan dalam bentuk lisan maupun tertulis. Peneliti
memberi gambarang menyeluruh mengenai data penelitian berdasarkan proses
yang telah dilakukan dalam hal pengumpulan data dan analisis data. Pengumpulan
data dilakukan untuk memperoleh informasi dan mengumpulkan data-data serta
menjawab permasalahan yang diangkat oleh peneliti. Data yang telah tekumpul
dari sumber data akan diproses melalui analisis data. Analisis data merupakan
penelusuran melalui temuan-temuan yang diperoleh peneliti. Analisis data
merupakan cara peneliti untuk mengolah data yang telah terkumpul olahan data
tersebut akan digunakan untuk menjawab permasalah yang diangkat dalam
penelitian ini.
Berdasarkan kegiatan pengumpulan data dan analisis data, peneliti berupaya
untuk menuliskan hasil penelitian tersebut. Hasil penelitian merupakan sasaran
yang ingin dicapai oleh peneliti. Dalam hasil penelitian, peneliti akan
menguraikan secara runtut proses penelitiannya yang kemudia dideskripsikan
secara singkat dalam butir-butir yang spesifik. Alur penelitian tingkat kesantunan
sapaan verbal guru kepada siswa SMP Aloysius Turi Yogyakarta memiliki bagan
kerangka berpikir.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Kerangka Berpikir
HASIL PENELITIAN
KESANTUNAN SAPAAN VERBAL GURU KEPADA
SISWA DI SMP ALOYSIUS YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2017/2018
PENDEKATAN PRAGMATIK
KESANTUNAN BERBAHASA
WUJUD DAN CIRI
KESANTUNAN
VERBAL
INDIKATOR
KESANTUNAN
BERBAHASA
INDONESIA
PRINSIP
KESANTUNAN
LEECH
KAIDAH
KESANTUNAN
BERBAHASA
PENGUMPULAN DATA DAN
ANALISIS DATA
MAKSUD
KESANTUNAN
VERBAL
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam bab ini dipaparkan mengenai metode penelitian. Hal-hal yang
berkaitan dengan metode penelitian meliputi: (1) jenis penelitian, (2) subjek
penelitian (3) metode dan teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian,
(5) teknik analisis data, serta (6) sajian analisis data.
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini mengkaji tentang kesantunan sapaan guru kepada murid di SMP
Aloysius Turi Yogyakarta, bukan mengkaji tentang kegunaan bahasa. Jenis
penelitian yang dilakukan adalah kebahasaan secara khusus pada bidang
pragmatik.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif
yang dimaksud karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah atau
natural setting (Sugiyono,2012:8). Deskriptif yang dimaksud karena lebih
menandai akan hasil penelitian sesuai dengan sikap serta pandangan peneliti
terhadap adanya (tidak adanya) penggunaan bahasa daripada menandai cara
penanganan bahasa tahap demi tahap, langkah demi langkah (Sudaryanto,
1993:60). Selanjutnya, Moleong (2014:6) menyatakan bahwa penelitian kualitatif
adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, dan lain-
lain., secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode ilmiah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Penelitian kesantunan berbahasa verbal guru kepada siswa di SMP Aloysius
Turi Yogyakarta yang termasuk dalam penelitian jenis deskriptif kualitatif ini
hendak menggambarkan secara apa adanya bentuk-bentuk penggunaan
kesantunan berbahasa secara verbal. Penggunaan kesantunan verbal di lingkup
sekolah ini dirinci dengan menggambarkan wujud dan penanda, maksud, serta
kaidah kesantunan verbal. Oleh karena itu, penggunaan kesantunan berbahasa
verbal dianggap sebagai fenomena yang dapat dipahami dan dideskripsikan secara
alamiah.
3.2 Sumber Data dan Data
Sumber data utama dalam penelitian kualitaif ini adalah bahasa verbal, maka
dalam penelitian ini sumber data yang akan digunakan adalah tuturan guru kepada
siswa yang dicurigai mengandung wujud dan maksud tuturan. Data penelitian ini
berupa tuturan verbal yang mengandung unsur kesantunan berbahasa dalam
komunikasi para guru kepada siswa di sekolah.
Pemilihan guru didasari alasan bahwa masih banyak para guru yang kurang
menyadari betapa pentingnya berbahasa secara santun kepada siswa. Guru dapat
memberikan contoh dan pengaruh kepada siswa guna memperkenalkan
pentingnya berbahasa santun kepada siapapun. Para siswa akan lebih mudah
menyerap sesuatu melalui apa yang mereka lihat atau tindakan nyata daripada
teori atau ucapan yang keluar dari mulut semata. Secara tidak sadar mereka akan
melakukan atau meniru sesuatu yang sering mereka lihat, maka dari itu sangat
penting guru berbahasa santun kepada siswa selain untuk menjaga perasaan dan
menghargai siswa juga membantu menciptakan generasi muda berakhlak santun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data simak. Peneliti
mengumpulkan tuturan dari hasil percakapan yang dilakukan oleh guru kepada
murid di sekolah. Tuturan ini diperoleh dengan memperhatikan metode simak,
yaitu menyimak tuturan langsung yang dituturkan oleh guru kepada murid di
sekolah. Teknik yang digunakan terhadap metode tersebut adalah dengan
mencatat dan merekam setiap tuturan yang terjadi, seperti wawancara dan
observasi. Dalam wawancara narasumber yang akan di wawancarai adalah guru
dan murid yang ada di SMP Aloysius Yogyakarta. Peneliti juga menggunakan
teknik observasi dimana adanya proses pengamatan selama penelitian ini
berlangsung. Berfungsi sebagai data penguat agar lebih akurat.
3.4 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan peneliti dalam penelitian kesantunan berbahasa
verbal adalah dengan berbekal pengetahuan pragmatik yang meliputi kesantunan
berbahasa, prinsip, dan indikator kesantunan berbahasa. Bekal pengetahuan dalam
bentuk teori tersebut akan digunakan untuk menganalisis penggunaan bahasa
dalam hal wujud dan penanda kesantunan. Selain itu, peneliti juga akan
melengkapi instrumen penelitian dengan cara melakukan wawancara kepada
informan sebagai bentuk konfirmasi atas data yang didapatkan.
3.5 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini mengacu pada kajian
analisis deskriptif. Analisis deskriptif yang dimaksudkan adalah analisis dengan
merinci dan menjelaskan secara panjang lebar keterkaitan data penelitian dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
bentuk kalimat (Nurastuti, 2007:103). Tujuan dari penelitian deskriptif adalah
untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki.
Penelitian deskriptif ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan
fenomena-fenomena yang ada.
Adapun langkah-langkah untuk menganalisis data dalam penelitian ini
sebagai berikut.
1) Peneliti mengidentifikasi data berdasarakan ciri-ciri penanda yang
ditemukan.
2) Peneliti mengklasifikasikan data bahasa verbal yang mengandung
kesantunan berbahasa.
3) Peneliti menginterpretasi data berdasarkan prinsip dan indikator kesantunan
berbahasa yang menjadi acuan.
4) Peneliti mendeskripsikan data dan melakukan pembahasan berdasarkan
kajian pragmatik.
3.6 Triangulasi Data
Data yang sudah terkumpul merupakan modal awal yang sangat berharga
dalam penelitian, dari data terkumpul akan dilakukan analisis yang digunakan
sebagai bahan masukan untuk penarikan kesimpulan, melihat begitu besarnya
posisi data maka keabsahan data yang terkumpul menjadi sangat vital. Data yang
salah akan menghasilkan kesimpulan yang salah pula, demikian sebaliknya, data
yang sah (valid atau kredibel) akan menghasilkan kesimpulan hasil penelitian
yang benar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Penelitian kualitatif sangat sulit mencari kondisi yang benar-benar sama.
Selain itu, manusia sebagai instrumen, faktor kelelahan dan kejenuhan akan
berpengaruh. Kriteria kepastian (confirmability) berasal dari konsep objektivitas
pada kuantitatif. Kenyataannya sesuatu objektif atau tidak bergantung pada
persetujuan beberapa orang terhadap pandangan, pendapat, atau penemuan
seseorang. Padahal pengalaman seseorang itu sangat subjektif dan dapat dikatakan
subjektif bila disepakati oleh beberapa orang atau banyak orang. Untuk itu kriteria
kepastian atau objektivitas ini supaya menekankan pada orangnya, melainkan
harus menekankan pada datanya. Sebagai alat analisis data perlu menggunakan
trianggulasi data.
Triangulasi data digunakan sebagai proses memantapkan derajat kepercayaan
(kredibilitas atau validitas) dan konsistensi (reliabilitas) data, serta bermanfaat
juga sebagai alat bantu analisis data di lapangan. Kegiatan triangulasi dengan
sendirinya mencakup proses pengujian hipotesis yang dibangun selama
pengumpulan data. Triangulasi mencari dengan cepat pengujian data yang sudah
ada dalam memperkuat tafsir dan meningkatkan kebijakan, serta program yang
akan berbasis pada bukti yang telah tersedia. Triangulasi adalah suatu pendekatan
analisa data yang mensintesa data dari berbagai sumber.
Triangulasi menyatukan informasi dari penelitian kuantitatif dan kualitatif,
menyertakan pencegahan dan kepedulian memprogram data, dan membuat
penggunaan pertimbangan pakar. Triangulasi bisa menjawab pertanyaan terhadap
kelompok risiko, keefektifan, kebijakan dan perencanaan anggaran dan status
epidemik dalam suatu lingkungan berubah. Triangulasi menyediakan satu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
peranghkat kuat ketika satu respon cepat diperlukan atau ketika data ada untuk
menjawab satu pertanyaan sulit. Triangulasi bukan bertujuan mencari kebenaran,
tetapi meningkatkan pemahaman peneliti terhadap data dan fakta yang dimiliknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Data
Data penelitian yang dimaksud peneliti berupa tuturan yang mengandung
kesantunan verbal yang dilakukan oleh guru kepada siswa diperoleh dalam
rentang waktu dua bulan yaitu bulan Juli – Agustus 2017. Jumlah data yang
dianalisis sebanyak enam puluh dua (62) tuturan yang mengandung kesantunan
secara verbal. Data tersebut dianalisis menggunakan teori menggunakan prinsip
kesantunan menurut Leech (dalam Rahardi, 2006), faktor penentu kesantunan
serta indikator kesantunan menurut Pranowo (2009). Kemudian, data tersebut
akan dianalisis dari sudut kesantunan berbahasa secara verbal berdasarkan teori
yang telah dipaparkan diatas.
Para guru di SMP Aloysius Turi Yogyakarta dalam berkomunikasi sehari-
hari dengan para siswa menggunakan bahasa Jawa ngoko bercampur dengan
bahasa Indonesia. Hal ini terjadi karena lingkungan terjadinya komunikasi
berada di Jawa khususnya Yogyakarta, dengan begitu bahasa ibu atau bahasa
pertama mereka adalah bahasa Jawa. Bahasa Jawa akan dituturkan oleh para
guru kepada mitra tutur yang memiliki kesamaan budaya dengan si penutur.
Sedangkan bahasa Indonesia digunakan untuk berkomunikasi dengan mitra tutur
yaitu siswa-siswi yang berasal dari luar Yogyakarta atau pulau Jawa. Bahasa
Indonesia merupakan bahasa pemersatu yang dapat digunakan untuk
berkomunikasi terlepas dari banyaknya budaya di Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Maka dari itu, peneliti menggunakan prinsip kesantunan dari Leech karena
peneliti menemukan kecocokan teori yang dapat digunakan sebagai pedoman
kesantunan ketika bertutur. Kemudian, peneliti juga melengkapi dengan teori
dari Pranowo terkait yaitu faktor penentu kesantunan serta indikator kesantunan
untuk melihat kesantunan dari si penutur. Pada setiap analisis data yang akan
dilakukan, peneliti menggunakan beberapa teori dari beberapa ahli tersebut.
Menurut peneliti teori-teori tersebut telah sesuai dengan data yang diperoleh.
Tabel di bawah ini menjelaskan terkait penggolongan data dalam penelitian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Tabel 4.1 : Jumlah Kesantunan Bahasa Verbal
Peneliti menganalisis sebanyak enam puluh dua (62) tuturan. Berikut
jumlah data yang sudah diklasifikasikan sesuai prinsip kesantunan Leech.
No. Jenis Maksim Jumlah
1. Maksim Kebijaksanaan 10 tuturan
2. Maksim Kedermawanan 6 tuturan
3. Maksim Penghargaan 5 tuturan
4. Maksim Kesederhanaan 13 tuturan
5. Maksim Permufakatan 11 tuturan
6. Maksim Kesimpatisan 17 tuturan
JUMLAH 62 tuturan
4.2 Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini akan dilaporkan dengan model pelaporan sebagai
berikut : (a) jenis temuan, (b) data tuturan, (c) konteks tuturan, (d) wujud dan ciri
penanda tuturan, (f) prinsip kesantunan. Adapun hasil dari analisis data yang
dilakukan sebagai berikut.
a. Terdapat enam jenis prinsip kesantunan berbahasa berdasarkan
maksim Leech (dalam Rahardi 2006) yang ditemukan dalam tuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
para guru di SMP Aloysius Turi. Prinsip-prinsip tersebut adalah
maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan,
maksim kesederhanaan, maksim permufakatan, dan maksim
kesimpatisan.
b. Tuturan yang diucapkan oleh para guru masing-masing memiliki
fungsi sapaan yang berbeda. Peneliti menemukan tiga fungsi sapaan
yang dituturkan para guru kepada siswa yaitu, sebagai panggilan,
pengaturan topik, dan senda gurau. Dalam tuturan, dapat ditemukan
satu penanda kesantunan dan juga dapat ditemukan lebih dari satu
penanda kesantunan. Berdasarkan hasil temuan atau analisis tersebut,
akan dijelaskan secara rinci mengenai masing-masing hal di atas.
4.2.1 Wujud dan Ciri Penanda Kesantunan Sapaan Verbal Guru
kepada Siswa
Berdasarkan hasil analisis terhadap data yang ada, dapat ditemukan enam
jenis prinsip kesantunan berbahasa berdasarkan teori Leech dalam tuturan para
guru di SMP Aloysius Turi Yogyakarta. Keenam pematuhan kesantunan
berbahasa tersebut adalah maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan,
maksim penghargaan, maksim kesederhanaan, maksim permufakatan, dan
maksim kesimpatisan. Di bawah ini akan diuraikan keenam prinsip kesantunan
tersebut berdasarkan Leech.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
4.2.1.1 Wujud dan Ciri Penanda Kesantunan Sapaan Verbal Guru
kepada Siswa berdasarkan Maksim Kebijaksanaan
Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan sebelumnya maksim
kebijaksaan (Tact Maxim) adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya
berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan
memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Peneliti
menemukan pematuhan kesantunan berbahasa berdasarkan maksim kebijaksanaan
dalam beberapa tuturanyang dilengkapi dengan faktor penentu kesantunan, serta
maksud kesantunan dalam tuturan. Contohnya :
(1) Guru : Jamnya siapa dek? Halo.
Siswa : (Terdiam sejenak) jam keterampilan bu. (MK/DT1)
Konteks : Tuturan terjadi pada siang hari di perpustakaan. Ketika seorang
guru yang sedang berada di perpustakaan menanyakan mengapa siswa
tersebut berada di perpustakaan saat jam pelajaran berlangsung. Tuturan
terjadi dalam situasi non formal.
(2) Guru : Saya tahu kamu pakai begitu.
Siswa : (Menundukkan kepala). (MK/DT4)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah. Salah satu
guru melihat ada siswa yang memainkan tongkat pramuka. Tuturan terjadi
dalam situasi non formal.
(3) Guru : Wisnu, ikat pinggangnya untuk apa?
Siswa : (Tersipu malu). (MK/DT5)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di depan kelas. Saat seorang guru
melihat salah satu siswa laki-laki yang memainkan ikat pinggangnya.
Tuturan terjadi dalam situasi non formal.
Data tuturan (1) dituturkan oleh seorang guru pada siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan tuturan terjadi di perpustakaan. Wujud kesantunan verbal
terealisasikan dalam tuturan “Jamnya siapa dek?”. Tuturan tersebut dapat
dikategorikan ke dalam maksim kebijaksanaan milik Leech, karena melalui
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
tuturan tersebut penutur mengingatkan mitra tutur bahwa saat itu jam pelajaran
sedang berlangsung. Data tuturan (1) merupakan tuturan sapaan guru kepada
siswa selain dianggap santun karena mematuhi prinsip kesantunan Leech tuturan
tersebut juga dapat diterima oleh mitra tutur sebab mitra tutur berkenan di hati
terhadap tuturan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari respon mitra tutur yaitu
dengan ia berkenan menjawab pertanyaan dari penutur. Selain itu tuturan tersebut
juga didukung dengan adanya pemilihan kata “dek” untuk menandai mitra tutur
serta berfungsi mempertahankan dan memperkuat hubungan sosial antar penutur
dan mitra tutur agar terlihat lebih akrab.
Selanjutnya, data tuturan (2) dituturkan oleh seorang guru pada pagi hari.
Suasana tuturan non formal, dan tuturan terjadi di halaman sekolah. Wujud
kesantunan verbal terealisasikan dalam tuturan “saya tahu kamu pakai begitu”.
Tuturan tersebut dapat dikategorikan ke dalam maksim kebijaksanaan milik
Leech, karena melalui tuturan tersebut penutur memberikan keuntungan kepada
mitra tutur agar tidak ada hal-hal buruk yang tidak diinginkan terjadi. Tuturan (2)
merupakan tuturan sapaan guru kepada siswa selain dianggap santun karena
mematuhi prinsip kesantunan Leech tuturan tersebut juga memperlihatkan bahwa
apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga dirasakan penutur. Hal tersebut dapat
dilihat dari respon mitra tutur yang terlihat menyadari perkataan dari penutur.
Selain itu tuturan tersebut juga didukung dengan adanya pemilihan kata “kamu”,
hal itu memperjelas bahwa penutur sedang mengajak berkomunikasi mitra tutur
dengan menandai mitra tutur melalui sapaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
Data tuturan (3) dituturkan oleh seorang guru pada pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan tuturan terjadi di depan kelas. Wujud kesantunan verbal
terealisasikan dalam tuturan “Wisnu, ikat pinggangnya untuk apa?”. Tuturan
tersebut dapat dikategorikan ke dalam maksim kebijaksanaan milik Leech, karena
melalui tuturan tersebut penutur memberikan keuntungan kepada mitra tutur agar
tidak ada hal-hal buruk yang tidak diinginkan terjadi. Data tuturan (3) merupakan
tuturan guru kepada siswa selain dianggap santun karena mematuhi prinsip
kesantunan Leech, tuturan tersebut juga memperhatikan perasaan mitra tutur
sehingga ketika bertutur dapat membuat hati mitra tutur berkenan. Hal tersebut
dapat dilihat dari respon mitra tutur dengan tersenyum malu. Selain itu tuturan
juga didukung dengan menggunakan pemilihan kata “wisnu”, hal itu menjelaskan
bahwa penutur mengajak mitra tutur untuk berkomunikasi. Selain untuk menarik
perhatian mitra tutur, juga berfungsi mempertahankan dan memperkuat hubungan
sosial antar penutur dan mitra tutur karena penutur hafal dengan menyebutkan
nama mitra tutur.
Ketiga data tuturan diatas dapat dikatakan santun karena memenuhi
prinsip kesantunan yaitu maksim kebijaksanaan, kemudian telah menggunakan
faktor penentu kesantunan yaitu intonasi lembut dan nada bicara yang tidak
terkesan galak ataupun marah.
4.2.1.2 Wujud dan Ciri Penanda Kesantunan Sapaan Verbal Guru
kepada Siswa berdasarkan Maksim Kedermawanan
(4) Guru : Eh kamu udah salim sama kakak belum mas Egar ki?
Siswa : (Tersenyum) belum bu. (MD/DT3)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah.ketika guru
melihat siswa yang tidak menyalami mahasiswa yang ikut jaga piket.
Tuturan terjadi dalam situasi non formal.
(5) Guru : Itu di bantu itu bapaknya nyari siapa itu. Deron tolong
dibantu bapaknya, bapak mau ngasih ke siapa gitu? Saya bantu.
Siswa : Baik bu. (MD/DT4)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah. Ketika guru
melihat ada wali murid sedang berada di depan sekolah seperti mencari
seseorang. Tuturan terjadi dalam situasi non formal.
(6) Guru : Deron baik lho udah bantu kok Vivine malu.
Siswa : (Tersipu malu). (MD/DT5)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah. Saat guru
melihat salah satu siswi merasa malu saat di beri bantuan oleh siswa putra.
Tuturan terjadi dalam situasi non formal.
Data tuturan (4) dituturkan oleh seorang guru pada pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan tuturan terjadi di halaman sekolah. Wujud kesantunan
verbal terealisasikan dalam tuturan “kamu udah salim sama kakak belum mas
Egar?”. Tuturan tersebut dapat dikategorikan ke dalam maksim kedermawanan
milik Leech, karena melalui tuturan tersebut penutur meminta mitra tutur untuk
menghormati orang lain walaupun bukan seorang guru. Data tuturan (4)
merupakan tuturan guru kepada siswa selain dianggap santun karena mematuhi
prinsip kesantunan Leech juga tuturan tersebut dapat diterima oleh mitra tutur
karenan mitra tutur sedang berkenan hatinya. Hal tersebut dapat dilihat dari
respon mitra tutur yang tersenyum dan menjawab pertanyaan penutur
menandakan bahwa mitra tutur berkenan dengan apa yang disampaikan penutur.
Tuturan tersebut juga didukung dengan menggunakan pemilihan kata “kamu”,
selain untuk menandai mitra tutur juga berfungsi mempertahankan dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
memperkuat hubungan sosial antar penutur dan mitra tutur dengan menggunakan
pemilihan kata “mas Egar” agar terlihat lebih akrab.
Selanjutnya data (5) dituturkan oleh seorang guru pada pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan tuturan terjadi di halaman sekolah. Wujud kesantunan
verbal terealisasikan dalam tuturan “Deron tolong dibantu bapaknya”. Tuturan
tersebut dapat dikategorikan ke dalam maksim kedermawanan milik Leech,
karena melalui tuturan tersebut penutur ingin mengajarkan mitra tutur untuk
menolong orang lain. Tuturan (5) merupakan tuturan guru kepada siswa selain
dianggap santun karena mematuhi prinsip kesantunan Leech namun juga
memperlihatkan ketidakmampuan penutur dihadapan mitra tutur dengan meminta
siswa melakukan sesuatu. Hal tersebut juga dapat dilihat dari respon mitra tutur
yaitu dengan melakukan apa yang dituturkan penutur. Tuturan tersebut juga
didukung oleh pemilihan kata “Deron”, selain untuk menandai mitra tutur juga
berfungsi mempertahankan dan memperkuat hubungan sosial antar penutur dan
mitra tutur agar terlihat lebih akrab.
Data (6) dituturkan oleh seorang guru pada pagi hari. Suasana tuturan non
formal, dan tuturan terjadi di halaman sekolah. Wujud kesantunan verbal
terealisasikan dalam tuturan “Deron baik lho udah bantu kok Vivine malu”.
Tuturan tersebut dapat dikategorikan ke dalam maksim kedermawanan milik
Leech, karena melalui tuturan tersebut penutur ingin mengajarkan mitra tutur
untuk menghargai sesamanya. Data tuturan (6) merupakan tuturan guru kepada
siswa selain dianggap santun karena mematuhi prinsip kesantunan Leech juga
memperhatikan suasana perasaan mitra tutur sehingga ketikan bertutur dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
membuat hati mitra tutur berkenan. Hal tersebut dapat dilihat dari respon mitra
tutur yang terlihat berkenan setelah mendengar tuturan dari penutur. Tuturan
tersebut juga didukung dengan menggunakan pemilihan kata “Deron” sehingga
sapaan itu berfungsi untuk menarik perhatian seseorang.
Ketiga data tuturan diatas dapat dikatakan santun karena memenuhi
prinsip kesantunan yaitu maksim kedermawanan, kemudian telah menggunakan
faktor penentu kesantunan yaitu intonasi lembut dan nada bicara yang tidak
terkesan galak ataupun marah serta adanya nada bercanda.
4.2.1.3 Wujud dan Ciri Penanda Kesantunan Sapaan Verbal Guru
kepada Siswa berdasarkan Maksim Penghargaan
(7) Guru : Wah arlojimu bagus.
Siswa : (Tersenyum). (MP/DT2)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah. Ketika
seorang guru melihat siswa yang memakai arloji dan menarik
perhatiannya. Tuturan terjadi dalam situasi non formal.
(8) Guru : Hari ini kamu kok cantik.
Siswa : (Tersipu malu). (MP/DT3)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah. Saat seorang
guru melihat siswa yang biasanya berpenampilan cuek namun hari itu di
terlihat cantik. Tuturan terjadi dalam situasi non formal.
(9) Guru : Selamat pagi mbak Dira, mbak Dira pinter main
biolanya.
Siswa : Terima kasih bu. (MP/DT4)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah. Ketika guru
menyapa siswa yang pintar bermain biola. Tuturan terjadai dalam situasi
non formal.
Data tuturan (7) dituturkan oleh seorang guru pada pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan tuturan terjadi di halaman sekolah. Wujud kesantunan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
verbal terealisasikan dalam tuturan “Wah arlojimu bagus”. Tuturan tersebut dapat
dikategorikan ke dalam maksim penghargaan milik Leech, karena melalui tuturan
tersebut penutur memberikan pujian kepada siswa agar siswa merasa dihargai.
Data tuturan (7) merupakan tuturan guru kepada siswa selain dianggap santun
karena mematuhi prinsip kesantunan Leech juga memperhatikan suasana perasaan
mitra tutur sehingga ketika bertutur dapat membuat hati mitra tutur berkenan. Hal
tersebut dapat dilihat dari respon siswa yang terlihat tersenyum ketika mendengar
tuturan dari penutur. Tuturan tersebut juga didukung dengan menggunakan
pemilihan kata “mu” yang berfungsi untuk menandai mitra tutur.
Selanjutnya Data tuturan (8) dituturkan oleh seorang guru pada pagi hari.
Suasana tuturan non formal, dan tuturan terjadi di halaman sekolah. Wujud
kesantunan verbal terealisasikan dalam tuturan “Hari ini kamu kok cantik”.
Tuturan tersebut dapat dikategorikan ke dalam maksim penghargaan milik Leech,
karena melalui tuturan tersebut penutur menghargai mitra tutur dengan cara
memuji. Data tuturan (8) merupakan tuturan guru kepada siswa yang dikatakan
santun karena telah mematuhi prinsip kesantunan Leech dan tuturan tersebut
memperlihatkan bahwa mitra tutur diposisikan pada tempat yang lebih tinggi
dengan cara memuji. Hal tersebut juga dapat dilihat dari respon siswa yang
terlihat tersipu malu. Tuturan diatas juga didukung dengan menggunakan
pemilihan kata “kamu” dimana fungsi sapaan tersebut adalah untuk menandai
mitra tutur.
Data tuturan (9) dituturkan oleh seorang guru pada pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan tuturan terjadi di halaman sekolah. Wujud kesantunan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
verbal terealisasikan dalam tuturan “Mbak Dira pinter main biolanya”. Tuturan
tersebut dapat dikategorikan ke dalam maksim penghargaan milik Leech, karena
melalui tuturan tersebut penutur memuji salah satu siswi yang pintar bermain
biola sehingga mitra tutur merasa diberi penghargaan melalui pujian. Data tuturan
(9) turan guru kepada siswa selain dianggap santun karena mematuhi prinsip
kesantunan Leech namun juga memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur
dihadapan mitra tutur, bahwa penutur tidak dapat bermain biola seperti mitra tutur
tersebut. Hal itu juga dapat dilihat dari respon siswa yang mengucapkan rasa
terima kasihnya atas pujian dari penutur. Tuturan tersebut juga didukung dengan
menggunakan pemilihan kata “mbak Dira” yang berfungsi menarik perhatian
seseorang guna memperkenalkan siswi yang pandai bermain biola.
Ketiga data tuturan diatas dapat dikatakan santun karena memenuhi
prinsip kesantunan yaitu maksim penghargaan, kemudian telah menggunakan
faktor penentu kesantunan yaitu intonasi lembut dan nada bicara yang memuji.
4.2.1.4 Wujud dan Ciri Penanda Kesantunan Sapaan Verbal Guru
kepada Siswa berdasarkan Maksim Kesederhanaan
(10) Guru : Kowe nyapo le?(Kamu ngapain nak?)
Siswa : (Bergegas lari). (MS/DT2)
Konteks : Tuturan terjadi pada siang hari di halaman sekolah. Tuturan
disampaikan oleh salah satu guru yang melihat siswa kelas VIII
berkeliaran di luar kelas saat pengarahan oleh wali kelas sedang
berlangsung. Tuturan terjadi dalam situasi non formal.
(11) Guru : Kowe ojo jajan ae, mengko pak de enggak kebagian. (Kamu
jangan jajan aja, nanti pak de tidak kebagian).
Siswa : (Tersipu malu). (MS/DT3)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di kantin sekolah. Ketika jam
istirahat ada seorang guru sedang menjahili siswa yang terlihat membeli
beberapa makanan. Tuturan terjadi dalam situasi non formal.
(12) Guru : Kamu tuh anak nomor satu to?
Siswa : (Menganggukkan kepala). (MS/DT13)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah. Ketika ada
salah satu guru yang menanyakan tentang kebenaran apakah siswi
tersebut anak sulung atau masih memiliki saudara lain. Tuturan terjadi
dalam situasi non formal.
Data tuturan (10) dituturkan oleh seorang guru pada siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan tuturan terjadi di halaman sekolah. Wujud kesantunan
verbal terealisasikan dalam tuturan “Kowe nyapo le?”. Tuturan tersebut dapat
dikategorikan ke dalam maksim kesederhanaan milik Leech, karena melalui
tuturan tersebut penutur menanyakan kepada mitra tutur apa yang dilakukannya di
luar kelas. Data tuturan (10) merupakan tuturan guru kepada siswa selain
dianggap santun karena mematuhi prinsip kesantunan Leech namun juga tuturan
tersebut memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga
dirasakan oleh penutur. Hal tersebut dapat dilihat dari respon mitra tutur bahwa ia
menyadari apa yang dimaksudkan oleh penutur. Tuturan tersebut juga didukung
dengan menggunakan pemilihan kata “kowe” dan “le”, hal itu menandakan
bahwa guru menanyakannya menggunakan kata yang halus.
Selanjutnya data tuturan (11) dituturkan oleh seorang guru pada siang hari.
Situasi tuturan non formal, dan tuturan terjadi di kantin sekolah. Tuturan tersebut
dapat dikategorikan ke dalam maksim kesederhanaan milik leech, karena melalui
tuturan tersebut dapat diketahui bahwa tidak ada kesenjangan status sosial antara
guru dengan siswa, mereka sama-sama membeli makanan di kantin sekolah serta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
saling menyapa satu sama lain. Data tuturan (11) merupakan tuturan guru kepada
siswa selain dianggap santun karena mematuhi prinsip kesantunan Leech, penutur
juga memahami perasaan mitra tutur sehingga isi komunikasi tersebut sama-sama
dikehendaki oleh mitra tutur. Hal tersebut dapat dilihat dari respon mitra tutur
yang terlihat tersipu malu. Tuturan tersebut juga didukung dengan menggunakan
pemilihan kata “kowe”, fungsi sapaan tersebut untuk menandai mitra tutur dan
hal itu menandakan bahwa guru mengajak lawan bicara melalui pemilihan kata
tersebut serta mempertahankan dan memperkuat hubungan sosial.
Data tuturan (12) dituturkan oleh seorang guru pada pagi hari. Situasi
tuturan non formal, dan tuturan terjadi di halaman sekolah. Tuturan tersebut dapat
dikategorikan ke dalam maksim kesederhanaan milik leech, karena melalui
tuturan tersebut dapat diketahui bahwa guru ingin mengetahui lebih rinci tentang
keluarga siswi tersebut. Hal itu diketahui dengan cara guru menanyakan langsung
kepada siswi dalam artian guru peduli terhadap siswa tersebut. Data tuturan (12)
merupakan tuturan guru kepada siswa selain dianggap santun karena mematuhi
prinsip kesantunan Leech, penutur juga mempertemukan perasaannya dengan
mitra tutur sehingga isi komunikasi sama-sama dikehendaki. Hal tersebut dapat
dilihat melalui respon mitra tutur yang bersedia menjawab pertanyaan penutur
dengan cara menganggukan kepala. Tuturan tersebut juga didukung dengan
penggunaan kata “kamu” yang berfungsi untuk menandai mitra tutur.
Ketiga data tuturan diatas dapat dikatakan santun karena memenuhi
prinsip kesantunan yaitu maksim kesederhanaan, kemudian telah menggunakan
faktor penentu kesantunan yaitu intonasi lembut dan nada bicara bercanda.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
4.2.1.5 Wujud dan Ciri Penanda Kesantunan Sapaan Verbal Guru
kepada Siswa berdasarkan Maksim Permufakatan
(13) Guru : Kamu kok piye bangun jam 06.00 WIB? (Kamu gimana kok
bangun jam 06.00 WIB?)
Siswa : (Tertawa). (MM/DT2)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah. Saat salah
seorang siswa yang tinggal di asrama terlambat bangun. Tuturan terjadi
dalam situasi non formal.
(14) Guru : Rambut mu kok enek teyeng-teyeng e le, besok teyeng e diilangi
yo.(Rambut mu kok ada karatnya nak, besok karatnya diilangi ya).
Siswa : (Tersenyum sambil menganggukan kepala). (MM/DT5)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah. Ketika salah
seorang guru melihat ada siswa yang rambut bagian depan berwarna
cokelat. Tuturan terjadi dalam situasi non formal.
(15) Guru : Wo, nek males berarti kowe nanti kalau dikasih poin ojo salahke
bu guru wong koe sik males. (Wo, kalau malas berarti kamu nanti kalau
dikasih poin jangan menyalahkan bu guru orang yang malas kamu).
Siswa : Iya bu, maaf. (MM/DT10)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah. Ketika
guru melihat ada siswa yang tidak membawa tongkat pramuka dengan
berbagai macam alasan. Tuturan terjadi dalam situasi non formal.
Data tuturan (13) dituturkan oleh seorang guru pada pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan tuturan terjadi di halaman sekolah. Wujud kesantunan
verbal terealisasikan dalam tuturan “Kamu kok piye bangun jam 06.00 WIB?”.
Tuturan tersebut dapat dikategorikan ke dalam maksim permufakatan milik
Leech, karena melalui tuturan tersebut penutur menanyakan kepada mitra tutur
mengapa bisa sampai bangun terlambat, karena jika tinggal di asrama seharusnya
sebelum jam enam harus sudah bangun untuk melakukan doa bersama. Data
tuturan (13) merupakan tuturan guru kepada siswa selain dianggap santun karena
mematuhi prinsip kesantunan Leech namun tuturan tersebut juga dapatv diterima
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
oleh mitra tutur karena mitra tutur sedang berkenan dihati. Hal tersebut dapat
dilihat dari respon siswa yaitu tertawa mendengar tuturan dari penutur. Tuturan
tersebut juga didukung dengan menggunakan pemilihan kata “kamu”, serta
berfungsi untuk menandai mitra tutur, hal itu menandakan bahwa guru
menanyakannya menggunakan kata yang halus.
Selanjutnya data tuturan (14) dituturkan oleh seorang guru pada pagi hari.
Suasana tuturan non formal, dan tuturan terjadi di halaman sekolah. Wujud
kesantunan verbal terealisasikan dalam tuturan “Rambut mu kok teyeng-teyeng e
le, besok teyeng e diilangi yo”. Tuturan tersebut dapat dikategorikan ke dalam
maksim permufakatan milik Leech, karena melalui tuturan tersebut penutur sudah
mengingatkan peraturan sekolah kepada mitra tutur bahwa seorang siswa tidak
boleh mencat rambutnya. Data tuturan (14) merupakan tuturan guru kepada siswa
yang dianggap santun karena telah mematuhi prinsip kesantunan Leech selain itu
apa yang dikatakan berkenan di hati mitra tutur. Hal tersebut dapat dilihat dari
respon mitra tutur yaitu tersenyum. Tuturan tersebut juga didukung dengan
menggunakan pemilihan kata “mu” yang berfungsi untuk menandai mitra tutur,
hal itu menandakan bahwa guru menginatkan namun menggunakan kata dan
bahasa yang halus.
Data tuturan (15) dituturkan oleh seorang guru pada pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan tuturan terjadi di halaman sekolah. Wujud kesantunan
verbal terealisasikan dalam tuturan “Wo, nek males berarti kowe nanti kalau
dikasih poin, ojo salahke bu guru wong kowe sik males”. Tuturan tersebut dapat
dikategorikan ke dalam maksim pemufakatan milik Leech, karena melalui tuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
tersebut mitra tutur sudah mengetahui bila melanggar peraturan akan dikenai
sanksi berupa penambahan poin pelanggaran. Data tuturan (15) merupakan
tuturan yang disampaikan guru kepada siswa memiliki ciri penanda yaitu melalui
fungsi sapaan untuk menandai mitra tutur yang didukung dengan menggunakan
pemilihan kata “kowe”, hal itu menandakan bahwa guru mengajak mitra tutur
berkomunikasi agar mitra tutur juga memperhatikan penutur.
Berdasarkan data tuturan diatas peneliti menemukan dua data yang dapat
dikategorikan sebagai tuturan yang santun yaitu data (13) dan data (14), karena
telah memenuhi prinsip kesantunan yaitu maksim permufakatan, kemudian telah
menggunakan faktor penentu kesantunan yaitu intonasi lembut dan nada bicara
bercanda. Kemudian, data pada tuturan (15) dikategorikan sebagai tuturan yang
kurang santun karena guru memperingatkan siswa dengan menggunakan intonasi
yang keras dan nada bicara menyindir. Sehingga dapat menimbulkan kurangnya
kepercayaan diri pada siswa.
4.2.1.6 Wujud dan Ciri Penanda Kesantunan Sapaan Verbal Guru
kepada Siswa berdasarkan Maksim Kesimpatisan
(16) Guru : Piye tuh dek nek make, kok mluntir-mluntir gitu? (Gimana tuh
dek kalau pakai kok terlilit-lilit gitu?)
Siswa : (Melihat ke arah bahu). (MT/DT1)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah. Ketika
seorang guru melihat siswa yang memakai tas dengan tali tas yang tidak
rapi. Tuturan terjadi dalam situasi non formal.
(17) Guru : Itu dibersihkan dulu sayang bibirnya itu.
Siswa : (Tersipu malu sambil mengelap bibir). (MT/DT10)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah. Ketika ada
salah satu siswa yang di bibirnya masih ada sisa-sisa makanan. Tuturan
terjadi dalam situasi non formal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
(18) Guru : Kenapa mbak tangan mu, mbak, kenapa sayang ku?
Siswa : (Menggelengkan kepala lalu menangis). (MT/DT15)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah. Saat guru
melihat ada siswa yang wajahnya terlihat kesakitan dan tangannya lemas.
Tuturan terjadi dalam situasi non formal.
Data tuturan (16) dituturkan oleh seorang guru pada pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan tuturan terjadi di halaman sekolah. Wujud kesantunan
verbal terealisasikan dalam tuturan “Piye tuh dek nek make, kok mluntir-mluntir
gitu?”. Tuturan tersebut dapat dikategorikan ke dalam maksim kesimpatisan milik
Leech, karena melalui tuturan tersebut terlihat perhatian seorang guru kepada
siswanya agar siswa berpenampilan rapi. Data tuturan (16) merupakan tuturan
yang disampaikan guru kepada siswa selain dianggap santun karena telah
mematuhi prinsip kesantunan Leech juga tuturan tersebut dapat diterima oleh
mitra tutur karena mitra tutur sedang berkenan di hati. Hal tersebut dapat dilihat
dari respon siswa dengan mematuhi apa yang dituturkan penutur. Tuturan tersebut
juga didukung dengan menggunakan pemilihan kata “dek” yang berfungsi untuk
menandai mitra tutur serta mempertahankan dan memperkuat hubungan sosial, hal
itu menandakan bahwa guru berusaha mendekatkan diri kepada mitra tutur.
Selanjutnya data tuturan (17) dituturkan oleh seorang guru pada pagi hari.
Suasana tuturan non formal, dan tuturan terjadi di halaman sekolah. Wujud
kesantunan verbal terealisasikan dalam tuturan “Itu dibersihkan dulu sayang
bibirnya itu.”. Tuturan tersebut dapat dikategorikan ke dalam maksim
kesimpatisan milik Leech, karena melalui tuturan tersebut terlihat perhatian
seorang guru kepada siswanya agar siswa tidak diejek oleh temannya karena ada
sisa makanan di bibirnya. Data tuturan (17) merupakan tuturan guru kepada siswa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
yang dianggap santun karena mematuhi prinsip kesantunan Leech dan mitra tutur
menerima tuturan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari respon mitra tutur yaitu
tidak merasa terganggu dan mendengarkan apa yang dikatakan penutur. Tuturan
tersebut juga didukung dengan menggunakan pemilihan kata “sayang” yang
berfungsi untuk menandai mitra tutur serta mempertahankan dan memperkuat
hubungan sosial, hal itu menandakan bahwa guru tidak memberi jarak sosial yang
terlalu jauh kepada mitra tutur .
Data tuturan (18) dituturkan oleh seorang guru pada pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan tuturan terjadi di halaman sekolah. Wujud kesantunan
verbal terealisasikan dalam tuturan “Kenapa mbak tangan mu, mbak, kenapa
sayang ku?”. Tuturan tersebut dapat dikategorikan ke dalam maksim
kesimpatisan milik Leech, karena melalui tuturan tersebut terlihat perhatian
seorang guru kepada siswanya agar siswa tidak diejek oleh temannya karena ada
sisa makanan di bibirnya. Data tuturan (18) merupakan tuturan guru kepada siswa
yang dianggap santun karena mematuhi prinsip kesantunan Leech serta tuturan
tersebut memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan mitra tutur juga dirasakan
oleh penutur. Tuturan tersebut juga didukung dengan menggunakan pemilihan
kata “mbak” dan “sayang” yang berfungsi untuk menandai mitra tutur serta
mempertahankan dan memperkuat hubungan sosial, hal itu menandakan bahwa
guru tidak hanya memposisikan diri sebagai pendidik tetapi juga sebagai orang
tua di sekolah. Dengan begitu siswa merasa diperhatikan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Ketiga data tuturan diatas dapat dikatakan santun karena memenuhi
prinsip kesantunan yaitu maksim kesimpatisan, kemudian telah menggunakan
faktor penentu kesantunan yaitu intonasi lembut dan nada bicara khawatir.
4.2.2 Maksud Kesantunan Sapaan Verbal Guru kepada Siswa
Pada bagian hasil penelitian di atas sudah dijelaskan wujud dan ciri
penanda kesantunan sapaan verbal guru kepada siswa di SMP Aloysius Turi
Yogyakarta berdasarkan kategori pematuhan maksim, wujud verbal, serta ciri
penanda kesantunan sapaan penutur. Dalam sub bab ini akan dipaparkan pula
hasil temuan berupa maksud sapaan verbal terdapat dalam tuturan guru kepada
siswa.
Dari hasil analisis data, peneliti menemukan maksud sapaan verbal yang
dituturkan guru kepada siswa. Hal itu membuktikan, jika dalam bertutur seorang
guru perlu untuk menjaga kesantunan tuturannya dan selalu menjaga muka mitra
tuturnya. Untuk lebih memahami maksud kesantunan sapaan verbal di atas, dapat
diperjelas sebagai berikut.
4.2.2.1 Maksud Sapaan Verbal Guru kepada Siswa berdasarkan Maksim
Kebijaksanaan
Maksim kebijaksanaan itu sendiri memiliki arti bahwa para peserta pertuturan
hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya
sendiri dan memaksimalkan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur
yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan
sebagai orang yang santun menurut Leech.
(19) Guru : Kamu lihat siapa je?
Siswa : (Tersenyum). (MK/DT6)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah. Ketika ada
seorang murid yang sedang berjalan namun melihat ke arah lain. Tuturan
terjadi dalam situasi non formal.
(20) Guru : Itu ditaruh sana, jangan di bawa kemana-mana nanti kalau
pramuka baru diambil.
Siswa : (Membalikkan badan lalu menju ke kelas). (MK/DT7)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di lapangan upacara. Ketika guru
melihat siswa yang membawa tongkat pramuka kesana-kemari. Tuturan
terjadi dalam situasi non formal.
(21) Guru : Eh Sal, itu pake tongkatnya enggak kayak gitu nanti kena kepala
temannya, cetok gitu. Sal,Amsal enggak dengerin mulutnya bu guru ya.
Siswa : (Terus berjalan). (MK/DT9)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah. Ketika guru
melihat salah satu siswa yang masih saja memainkan tongkat pramuka di
atas kepalanya. Tuturan terjadi dalam situasi non formal.
Tuturan pada data (19) yaitu “Kamu lihat siapa je?”, memiliki maksud guru
mengingatkan siswa untuk memperhatikan jalannya agar tidak terjatuh. Maksud
dari tuturan tersebut masuk ke dalam maksim kebijaksanaan karena penutur
mengurangi keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan keuntungan mitra tutur
dengan mengingatkan mitra tutur agar fokus ketika berjalan supaya tidak terjadi
hal-hal buruk. Selanjutnya, tuturan data (20) yaitu Itu ditaruh sana, jangan di
bawa kemana-mana nanti kalau pramuka baru diambil, memiliki maksud guru
menyuruh siswa untuk meletakkan tongkat pramuka di dalam kelas. Maksud dari
tuturan tersebut masuk ke dalam maksim kebijaksanaan karena penutur
mementingkan keuntungan orang lain yaitu dengan menyuruh mitra tutur untuk
menyimpan tongkat tersebut agar tidak hilang atau mengganggu siswa lain.
Tuturan pada data (21) Eh Sal, itu pake tongkatnya enggak kayak gitu nanti kena
kepala temannya, cetok gitu. Sal,Amsal enggak dengerin mulutnya bu guru ya,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
memiliki maksud guru menyuruh siswa untuk berhenti memainkan tongkat
pramukanya. Maksud dari tuturan tersebut masuk ke dalam maksim kebijaksanaan
karena guru khawatir terhadap siswa lain jika tongkat tersebut mengenai salah
satu dari mereka.
Ketiga data tuturan tersebut memenuhi prinsip kesantunan yaitu maksim
kebijaksanaan dan dianggap santun karena sikap guru yang mementingkan
keuntungan orang lain dengan cara mengingatkan dan memberi tahu konsekuensi
bila hal tersebut terus dilakukan oleh siswa sebagai mitra tuturnya.
4.2.2.2 Maksud Sapaan Verbal Guru kepada Siswa berdasarkan Maksim
Kedermawanan
Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta
pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. penghormatan terhadap
orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya
sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.
(22) Guru : Andi kok belum salim bu guru.
Siswa : Oh iya, lupa. (MD/DT1)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah. Saat
seorang guru menyapa siswa yang belum bersalaman dengan guru-guru
piket. Tuturan terjadi dalam situasi non formal.
(23) Guru : Hayo Thomas belum salam sama Bu Lia.
Siswa : (Langsung mengulurkan tangan). (MD/DT2)
Konteks : Ketika guru melihat salah seorang murid yang hanya berjalan
saja tanpa bersalaman dengan guru yang sedang piket. Tuturan terjadi
dalam situasi non formal.
Tuturan pada data (22) yaitu “Andi kok belum salim bu guru, memiliki
maksud guru mengingatkan siswa untuk besalaman dengan guru-guru yang
berada di halaman sekolah. Maksud dari tuturan tersebut masuk ke dalam maksim
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
kedermawanan karena penutur mengingatkan mitra tutur untuk menghormati
orang disekitar apalagi kepada orang yang usianya lebih tua. Selanjutnya tuturan
pada data (23) yaitu “Hayo Thomas belum salam sama Bu Lia”, memiliki maksud
guru mengingatkan siswa untuk bersalaman dengan salah satu guru yang sedang
berada di halaman sekolah. Maksud dari tuturan tersebut masuk ke dalam maksim
kedermawanan karena penutur mengharapkan mitra tutur untuk dapat
menghormati orang disekitarnya.
Kedua data tuturan tersebut memenuhi prinsip kesantunan yaitu maksim
kedermawanan dan dianggap santun karena sikap guru yang mengajarkan siswa
untuk selalu menghormati orang yang berada di sekitarnya dengan cara
mengingatkan bahwa hal itu wajib dilakukan bila dirinya ingin dihormati juga
oleh orang lain.
4.2.2.3 Maksud Sapaan Verbal Guru kepada Siswa berdasarkan Maksim
Penghargaan
Maksim penghargaan menjelaskan bahwa orang akan dapat dianggap
santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada
pihak lain. dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak
saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain.
(24) Guru : Asik enggak telat, enggak macet ya.
Siswa : (Tersenyum). (MP/DT1)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah. Ketika
rombongan siswa yang di jemput dengan mobil sekolah datangnya tidak
terlambat. Tuturan terjadi dalam situasi non formal.
Tuturan pada data (24) memiliki maksud guru memuji rombongan siswa
yang di jemput menggunakan mobil sekolah tidak terlambat datang kesekolah,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
karena macet mereka sering kali datang terlambat. Tuturan tersebut memenuhi
prinsip kesantunan yaitu maksim penghargaan serta dianggap santun karena guru
dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain walau
pun dengan cara yang sederhana.
4.2.2.4 Maksud Sapaan Verbal Guru kepada Siswa berdasarkan Maksim
Kesederhanaan
Maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur
diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap
dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di
dalam kefiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri.
(25) Guru : Selamat pagi anak-anakku, berkah dalem.
Siswa : Selamat pagi bu. (MS/DT1)
Konteks : Tuturan terjadi pada saat pagi hari di lapangan upcara ketika
akan memulai apel pagi. Sapaan wajib yang harus dilontarkan semua
guru ketika akan memulai sebuah kegiatan. Tuturan terjadi dalam situasi
formal.
(26) Guru : Kok kamu enggak jadi potong?
Siswa : (Tersenyum). (MS/DT5)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah. Ketika
salah seorang guru melihat siswa yang masih belum potong rambut
walau sudah sering diingatkan. Tuturan terjadi dalam situasi non
formal.
(27) Guru : Sangu opo kui mbak Tanti kok ketok e minum e segar.
Siswa : (Tersipu malu). (MS/DT11)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah. Ketika
guru tertarik pada minuman yang di bawa oleh salah satu siswi, tuturan
terjadi dalam situasi non formal.
Tuturan data (25) yaitu “selamat pagi anak-anakku, berkah dalem”,
memiliki maksud guru memberikan sapaan kepada siswa agar siap untuk memulai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
kegiatan. Tuturan tersebut masuk ke dalam maksim penghargaan karena guru
sudah menganggap siswanya seperti anaknya sendiri dengan menyebutkan “anak-
anakku” sehingga para siswa merasa senang karenan merasa sayangi. Selanjutnya
tuturan pada data (26) yaitu “Kok kamu enggak jadi potong?”, memiliki maksud
guru mengingatkan siswa agar segera melakukan potong rambut. Tuturan tersebut
masuk ke dalam maksim kesederhanaan karena guru bersikap rendah hati dengan
menanyakan kepada siswa laki-laki mengapa siswa tersebut tidak jadi memotong
rambutnya padahal rambutnya sudah terlihat panjang. Tuturan pada data (27)
yaitu “Sangu opo kui mbak Tanti kok ketok e minum e segar”, memiliki maksud
guru bertanya minuman apa yang di bawa oleh siswi tersebut. Tuturan tersebut
termasuk kedalam maksim kesederhanaan karena penutur menyapa mitra tutur
dengan cara meberikan candaan kepada mitra tutur terkait dengan bekal yang
dibawanya.
Ketiga tuturan memenuhi prinsip kesantunan yaitu maksim kesederhanaan
dan dianggap santun karena terlepas dari status sosialnya yang merupakan seorang
guru, untuk dapat akrab dengan siswa seorang harus guru harus bersikap rendah
hati. Karena guru menjadi panutan bagi siswanya, maka dari itu bersikap rendah
hati sangatlah penting terutama ketika bertutur.
4.2.2.5 Maksud Sapaan Verbal Guru kepada Siswa berdasarkan Maksim
Permufakatan
Maksim permufakatan seringkali disebut sebagai maksim kecocokan
menurut Wijana (dalam Kunjana, 2006:64). Di dalam maksim ini, ditekankan agar
para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri
penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan
dapat dikatakan bersikap santun.
(28) Guru : Rambutmu merah yo mas? Besok disemir lagi ya.
Siswa : (Langsung memegang rambut). (MM/DT3)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah. Ketika
seorang guru melihat siswa yang rambutnya di cat merah. Tuturan
terjadi dalam situasi non formal.
(29) Guru : Kamu dari kemarin udah tak beri tahu.
Siswa : (Tersenyum). (MM/DT9)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah. Ketika ada
siswa yang tidak membawa tongkat pramuka. Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
(30) Guru : Ini bajumu mu mana? lha baju kotak-kotak mu mana?
Siswa : Hilang. (MM/DT11)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah. Ketika
guru melihat siswa yang memakai seragam tidak sesuai dengan aturan
sekolah. Tuturan terjadi dalam situasi non formal.
Tuturan pada data (28) yaitu “Rambutmu merah yo mas? Besok disemir
lagi ya”, memiliki maksud guru mengingatkan siswa agar rambut siswa tidak
berwarna lain selain hitam. Tuturan tersebut masuk kedalam maksim
permufakatan karena penutur dan mitra tutur sudah sama-sama memahami
peraturan yang dibuat sekolah bahwa siswa tidak boleh mengecat rambutnya.
Selanjutnya tuturan data (29) “Kamu dari kemarin udah tak beri tahu”, memiliki
maksud guru menegur siswa agar lebih memperhatikan lagi jika ada pengumuman
terkait kegiatan sekolah. Tuturan tersebut masuk kedalam maksim permufakatan
karena seharusnya setiap ada pengumuman yang disampaikan semua siswa wajib
untuk memperhatikan. Namun, saat itu mitra tutur tidak memperhatikan
pengumuman tersebut sehingga membuat penutur menegur mitra tutur. Tuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
pada data (30) yaitu “Ini bajumu mu mana? lha baju kotak-kotak mu mana?”,
memiliki maksud guru menanyakan mengapa siswa tersebut menggunakan
seragam yang tidak sesuai dengan aturan sekolah. Tuturan tersebut masuk
kedalam maksim permufakatan karena mitra tutur melanggar peraturan sekolah
yang berarti melanggar kesepakatan sehingga penutur menyanyakan mengapa hal
itu bisa terjadi. Ketiga tuturan tersebut memenuhi prinsip kesantunan yaitu
maksim permufakatan dan dapat dianggap santun karena guru hanya
mengingatkan kembali aturan-aturan yang telah disepakati, agar tidak ada yang
melanggar.
4.2.2.6 Maksud Sapaan Verbal Guru kepada Siswa berdasarkan Maksim
Kesimpatisan
Di dalam maksim kesimpatisan, diharapkan agar para peserta tutur dapat
memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap
antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak
santun.
(31) Guru : Ini rambutnya kamu ikat biar rapi.
Siswa : (Langsung megikat rambut). (MT/DT4)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di lingkungan sekolah. Saat guru
melihat seorang siswa perempuan yang rambutnya tidak diikat dengan
rapi. Tuturan terjadi dalam situasi non formal.
(32) Guru : Pagi Silvia, adem po nok?
Siswa : Iya bu. (MT/DT5)
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di lingkungan sekolah. Ketika
guru melihat ada seorang siswa yang masih memakai jaket sedangkan
cuaca tidak terlalu dingin. Tuturan terjadi dalam situasi non formal.
(33) Guru : Kamu istirahat di kelas, kalau sakit nggak usah ikut itu, Thomas.
Siswa : (Tetap berjalan). (MT/DT11)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Konteks : Tuturan terjadi pada pagi hari di halaman sekolah. Ketika ada
siswa yang sedang sakit tidak ingin duduk dengan tenang dan
beristirahat. Tuturan terjadi dalam situasi non formal.
Tuturan pada data (31) yaitu “Ini rambutnya kamu ikat biar rapi”,
memiliki maksud guru mengingatkan siswa perempuan untuk mengikat
rambutnya agar terlihat rapi. Tuturan tersebut masuk kedalam maksim
kesimpatisan karena penutur melihat mitra tutur berjalan dengan rambut terurai
agar tampak lebih rapi penutur mengingatkan agar siswi tersebut mengikat
rambutnya. Selanjutnya tuturan pada data (32) “Pagi Silvia, adem po nok?”,
memiliki maksud guru menegur siswa agar melepas jaket karena sudah berada
dalam lingkungan sekolah. Tuturan tersebut masuk kedalam maksim kesimpatisan
karena penutur menunjukkan rasa simpatinya dengan cara menegur, jika tidak
dingin jaket bisa dilepas namun jika merasa dingin guru akan membiarkan siswi
untuk memakai jaket. Tuturan pada data (33) “Kamu istirahat di kelas, kalau sakit
nggak usah ikut itu, Thomas”, memiliki maksud guru menyuruh siswa untuk
beristirahat di kelas karena ia sedang sakit. Tuturan tersebut masuk kedalam
maksim kesimpatisan melalui tuturan tersebut terlihat guru simpati kepada mitra
tutur dan menyuruhnya untuk beristirahat di kelas serta tidak berkeliaran di luar
kelas agar sakit tidak bertambah parah.
Ketiga tuturan diatas telah memenuhi prinsip kesantunan yaitu maksim
kesimpatisan dan dapat dianggap santun karena guru menunjukkan rasa
simpatinya kepada para siswa. Sehingga siswa merasa diperhatikan dan diurus
oleh para guru di sekolah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
4.3 Pembahasan Hasil Penelitian
Pada sub bab ini, peneliti akan menjelaskan temuan data-data hasil
penelitian yang secara keseluruhan diambil dari proses analisis data sebelumnya.
Penjelasan dalam sub bab ini berhubungan dengan temuan data-data hasil
penelitian yang sudah sesuai dengan teori-teori yang dipaparkan peneliti.
Kesesuaian teori dengan temuan data-data hasil penelitian tersebut berhubungan
dengan pematuhan prinsip kesantunan menurut Leech (dalam Rahardi : 2006).
Kesesuaian teori dengan temuan data-data hasil peneltian tersebut berhubungan
dengan pematuhan prinsip kesantunan menurut Leech (dalam Rahardi, 2006:53-
70), faktor penentu kesantunan menurut (Pranowo, 2009:76), dan fungsi sapaan
(Bieber et.al, 1999:1112) pada tingkat kesantunan sapaan verbal guru kepada
siswa di SMP Aloysius Turi Yogyakarta.
Beberapa teori yang digunakan peneliti dalam sub bab pembahasan ini,
dapat dirinci sebagai berikut. Pertama teori prinsip kesantunan Leech yang
memaparkan enam maksim yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan,
maksim penghargaan, maksim kesederhanaan, maksim permufakatan, dan
maksim kesimpatisan. Kedua, faktor penentu kesantunan menurut Pranowo yaitu
aspek intonasi (keras lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara), aspek nada
bicara (berkaitan dengan suasana emosi penutur:nada resmi, nada bercanda atau
bergurau, nada mengejek, dan nada menyindir), faktor pilihan kata dan faktor
struktur kalimat. Ketiga teori indikator kesantunan milik Pranowo yaitu
memperhatikan suasana perasaan mitra tutur sehingga ketika bertutur dapat
membuat hati mitra tutur berkenan (angon rasa), pertemukan perasaan penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
dengan perasaan mitra tutur sehingga isi komunikasi sama-sama dikehendaki
karena sama-sama diinginkan (adu rasa), jagala tuturan agar dapat diterima oleh
mitra tutur karena mitratutur sedang berkenan hatinya (empan papan), jagalah
agar tuturan memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur dihadapan mitra tutur
(sifat rendah hati), jagalah tuturan agar selalu memperlihatkan bahwa mitra tutur
diposisikan pada tempat yang lebih tinggi (sikap hormat), jagalah agar tuturan
selalu memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga
dirasakan penutur (sikap tepa selira). Keempat teori yang disampaikan oleh
Bieber et al. yaitu (1) Untuk menarik perhatian seseorang, (2) menandai mitra
bicara, (3) mempertahankan dan memperkuat hubungan sosial.
Selanjutnya, pembahasan akan didasarkan pada tiga pokok rumusan masalah
yang diangkat dalam penelitian ini untuk melihat kesesuaian teori yang sudah
dipaparkan di atas dengan hasil temuan data-data hasil penelitian. Ketiga rumusan
masalah tersebut meliputi wujud kesantunan dan ciri penanda kesantunan sapaan
verbal, serta maksud sapaan verbal guru kepada siswa di SMP Aloysius
Yogyakarta. Pembahasan ketiga rumusan tersebut dalam setiap kategori adalah
sebagai berikut.
4.3.1 Wujud dan Ciri Penanda Sapaan Verbal
Peneliti menemukan wujud dan ciri penanda sebagai syarat pematuhan
kesantunan berbahasa verbal berdasarkan prinsip kesantunan Leech (dalam
Rahardi, 2006:53-70) yang terbagi atas enam maksim. Kemudian dilengkapi oleh
teori milik (Pranowo, 2009:76) yaitu faktor penentu kesantunan yang meliputi
aspek intonasi, dan aspek nada bicara, indikator kesantunan milik Pranowo yaitu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
memperhatikan suasana perasaan mitra tutur sehingga ketika bertutur dapat
membuat hati mitra tutur berkenan (angon rasa), pertemukan perasaan penutur
dengan perasaan mitra tutur sehingga isi komunikasi sama-sama dikehendaki
karena sama-sama diinginkan (adu rasa), jagala tuturan agar dapat di terima oleh
mitra tutur karena mitratutur sedang berkenan hatinya (empan papan), jagalah
agar tuturan memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur idhadapan mitra tutur
(sifat rendah hati), jagalah tuturan agar selalu memperlihatkan bahwa mitra tutur
diposisikan pada tempat yang lebih tinggi (sikap hormat), jagalah agar tuturan
selalu memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga
dirasakan penutur (sikap tepa selira). Serta fungsi sapaan (Bieber et.al,
1999:1112) meliputi untuk menarik perhatian seseorang, sebagai penanda mita
tutur, lalu untuk mempertahankan dan memperkuat hubungan sosial, sebagai ciri
penanda kesantunan. Adapun peneliti menemukan pematuhan kesantunan
berbahasa verbal berdasarkan prinsip kesantunan Leech yaitu maksim
kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan, maksim
kesederhanaan, maksim pemufakatan, dan maksim kesimpatisan.
Pematuhan terhadap prinsip kesantunan yang pertama yaitu maksim
kebijaksanaan. Peneliti menemukan sekurang-kurangnya sepuluh (10) wujud dan
ciri penanda kesantunan sapaan verbal guru kepada siswa. Kesepuluh tuturan
tersebut dinyatakan mematuhi maksim kebijaksanaan karena wujud dan ciri
penanda sapaan verbal itu sesuai dengan konsep maksim kebijaksanaan yaitu
penutur hendaknya mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan
keuntungan pihak lain, serta menggunakan ciri penanda yang dapat mendukung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
kesantunan berbahasa verbal. Kesepuluh tuturan tersebut dianggap santun karena
menggunakan intonasi yang lembut dan nada bicara yang sopan, sehingga
melengkapi tingkat kesantunan sapaan verbal guru kepada siswa.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa tingkat kesantunan sapaan yang
dituturkan oleh guru kepada siswa di SMP Aloysius Turi Yogyakarta sudah sesuai
dengan teori-teori yang telah dipaparkan, karena telah mematuhi maksim
kebijaksanaan Leech. Kesantunan sapaan verbal sesuai dengan kategori maksim
kebijaksanaan , yaitu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan
keuntungan pihak lain. jadi data wujud dan ciri penanda sapaan verbal
berdasarkan maksim kebijaksanaan dapat dikatakan santun karena mematuhi
prinsip kesantunan Leech (dalam Rahardi, 2006).
Pematuhan terhadap prinsip kesantunan kedua yaitu maksim kedermawanan.
Peneliti menemukan sekurang-kurangnya enam (6) wujud dan ciri penanda sapaan
verbal guru kepada siswa di SMP Aloysius Turi Yogyakarta. Keenam tuturan
tersebut dinyatakan mematuhi maksim kedermawanan karena sesuai dengan
konsep maksim kedermawanan yaitu para peserta pertuturan diharapkan dapat
menghormati orang lain. Keenam tuturan tersebut dinyatakan mematuhi teori ciri
penanda yang dapat mendukung kesantunan berbahasa verbal keenam tuturan
tersebut dianggap santun. Pematuhan kesantunan sapaan verbal di atas dapat
dijelaskan sebagai berikut. Melalui tuturan guru kepada siswa dimana mitra tutur
diajak berkomunikasi untuk memberikan penghormatan kepada orang lain,
terlepas siapapun orang tersebut. Dengan memberikan tindakan-tindakan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
dapat di contoh oleh siswa, para guru tersebut membagikan ilmunya secara tidak
langsung.
Melalui penjelasan di atas dapat diketahui bahwa tuturan-tuturan tersebut telah
sesuai dengan teori yang telah dipaparkan, karena telah mematuhi maksim
kedermawanan Leech. Kesantunan sapaan verbal sesuai dengan kategori maksim
kedermawanan yaitu penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang
tersebut dapat mengurangu keuntungan bagi dirinya sendiri. Pematuhan terhadap
prinsip kesantunan yang ketiga yaitu maksim penghargaan. Peneliti menemukan
sekurang-kurangnya lima (5) wujud dan ciri penanda kesantunan sapaan verbal
guru kepada siswa di sekolah. Kelima tuturan tersebut dinyatakan memenuhi
maksim penghargaan karena wujud dan ciri penanda tersebut sesuai dengan
konsep maksim penghragaan yaitu orang dapat dianggap santun apabila dalam
bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. tuturan
tersebut juga menggunakan faktor penentu kesantunan yaitu intonasi lembut dan
nada bicara yang memuji. Pematuhan kesantunan sapaan verbal di atas dapat
dijelaskan sebagai berikut. Melalui tuturan guru kepada siswa dimana penutur
memberikan penghargaan melalui pujian-pujian kecil namun membuat mitra tutur
merasa di hargai.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa tuturan-tuturan tersebut telah
sesuai dengan teori yang telah dipaparkan, karena telah mematuhi maksim
penghargaan milik Leech. Kesantunan sapaan verbal sesuai dengan kategori
maksim penghargaan yaitu diharapkan melalui maksim ini para peserta tutur tidak
saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak yang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Pematuhan terhadap prinsip kesantunan yang keempat yaitu maksim
kesederhanaan. Peneliti menemukan sekurang-kurangnya tiga belas (13) wujud
dan ciri penanda kesantunan sapaan verbal. Ketiga belas tuturan tersebut
dinyatakan mematuhi maksim kesederhanaan karena wujud dan ciri penanda
sapaan verbal itu sesuai dengan konsep maksim kesederhanaan yaitu penutur
diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangu pujian terhadap
dirinya sendiri, serta menggunakan ciri penanda yang dapat mendukung
kesantunan berbahasa verbal. Ketigabelas tuturan tersebut dianggap santun karena
sesuai dengan faktor penentu kesantunan menggunakan intonasi yang lembut dan
nada bicara yang sopan, sehingga melengkapi tingkat kesantunan sapaan verbal
guru kepada siswa.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa tingkat kesantunan sapaan yang
dituturkan oleh guru kepada siswa di SMP Aloysius Turi Yogyakarta sudah sesuai
dengan teori-teori yang telah dipaparkan, karena telah mematuhi maksim
kesederhanaan Leech. Kesantunan sapaan verbal sesuai dengan kategori maksim
kesederhanaan, yaitu mengurangi pujian terhadap dirinya. Jadi data wujud dan ciri
penanda sapaan verbal berdasarkan maksim kesederhanaan dapat dikatakan
santun karena mematuhi prinsip kesederhanaan milik Leech.
Pematuhan terhadap prinsip kesantunan yang kelima yaitu maksim
permufakatan. Peneliti menemukan sekurang-kurangnya sebelas (11) wujud dan
ciri penanda kesantunan sapaan verbal gur kepada siswa. Kesepuluh tuturan
tersebut dinyatakan memenuhi maksim permufakatan karena wujud tuturan
sapaan verbal tersebut sesuai dengan konsep maksim permufakatan yaitu para
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam
kegiatan bertutur. Satu tuturan dikategorikan sebagai tuturan yang kurang santun
karena guru memperingatkan siswa dengan menggunakan intonasi yang keras dan
nada bicara menyindir. Sehingga dapat menimbulkan kurangnya kepercayaan diri
pada siswa.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa tingkat kesantunan sapaan yang
dituturkan oleh guru kepada siswa di SMP Aloysius Turi Yogyakarta sudah sesuai
dengan teori-teori yang telah dipaparkan, karena telah mematuhi maksim
kebijaksanaan Leech. Hanya satu data tuturan yang melanggar maksim
permufakatan. Kesantunan sapaan verbal sesuai dengan kategori maksim
permufakatan, yaitu apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri
penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan
dianggap santun.
Pematuhan terhadap prinsip kesantuanan yang keenam yaitu maksim
kesimpatisan. Peniliti menemukan sekurang-kurangnya tujuh belas (17) wujud
dan ciri penanda kesantunan sapaan verbal guru kepada murid. Kesepuluh tuturan
tersebut dinyatakan mematuhi maksim kesimpatisan karena wujud dan ciri
penanda sapaan verbal itu sesuai dengan konsep maksim kesimpatisan yaitu para
peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antar pihak yang satu dengan
pihak lainnya, serta menggunakan ciri penanda yang dapat mendukung
kesantunan berbahasa verbal. Ketujuhbelas tuturan tersebut dianggap santun
karena menggunakan intonasi yang lembut dan nada bicara yang santun, sehingga
melengkapi tingkat kesantunan sapaan verbal guru kepada siswa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa tingkat kesantunan sapaan yang
dituturkan oleh guru kepada siswa di SMP Aloysius Turi Yogyakarta sudah sesuai
dengan teori-teori yang telah dipaparkan, karena telah mematuhi maksim
kesimpatisan Leech. Jadi data wujud dan ciri penanda sapaan verbal berdasarkan
maksim kebijaksanaan dapat dikatakan santun karena mematuhi prinsip
kesantunan Leech (dalam Rahardi, 2006).
4.3.2 Maksud Kesantunan Sapaan Verbal
Dari hasil analisis data-data tuturan, peneliti menemukan maksud dari
masing-masing tuturan yang diujarkan oleh guru kepada siswa. Maksud disini
memiliki arti berbeda dengan makna dan informasi, makna adalah gejala dalam
ujaran dan informasi yaitu gejala-luar-ujaran. Selain informasi sebagai sesuatu
yang luar ujaran ada lagi istilah yang disebut dengan maksud. Informasi dan
maksud sama-sama sesuatu luar-ujaran. Hanya bedanya kalau informasi itu
merupakan sesuatu luar-ujaran dilihat dari segi objeknya atau yang dibicarakan.
Sedangkan maksud dilihat dari segi si pengujar, orang yan berbicara, atau pihak
subjeknya (Chaer, 2009:35). Di sini orang yang berbicara itu mengujarkan sesuatu
ujaran entah berupa kalimat maupun frase, tetapi yang dimaksudkannya tidak
sama dengan makna lahiriah ujaran itu sendiri.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti menemukan
sepuluh (10) macam maksud yaitu maksud menyuruh, maksud mengingatkan,
maksud menegur, maksud memberi candaan, maksud menyapa, maksud
menanyakan, maksud meminta, maksud menyindir, maksud memuji, maksud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
memberitahu dan mengetahui. Kesepuluh maksud tersebut terkandung dalam
tuturan sapaan verbal guru kepada siswa di SMP Aloysius Turi Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
BAB V
PENUTUP
Bab ini terdiri dari dua pokok, yaitu simpulan dan saran. Simpulan berisi
mengenai penjabaran seluruh penelitian ini. Saran berisi tentang hal-hal yang
relevan yang perlu diperhatikan untuk penelitian selanjutnya, baik dari kalangan
mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia maupun peneliti lain. Berikut
pemaparan dari kedua hal tersebut.
5.1 Simpulan
Berdasarkan uraian bab IV yang sudah dianalisis dan dibahas oleh peneliti
mengenai kesantunan sapaan verbal guru kepada siswa di SMP Aloysius Turi
Yogyakarta, peneliti menemukan adanya penggunaan ciri penanda verbal sebagai
penanda kesantunan sapaan verbal guru kepada siswa. Hal tersebut dapat
disimpulkan seperti berikut, peneliti menemukan wujud dan ciri penanda
kesantunan sapaan verbal dalam komunikasi antar guru dengan siswa. Wujud dan
ciri penanda adalah tuturan yang mematuhi prinsip kesantunan, yaitu 62
pematuhan terhadap maksim milik Leech, antara lain 10 tuturan maksim
kebijaksanaan, 6 tuturan maksim kedermawanan, 5 tuturan maksim penghargaan,
13 tuturan maksim kesederhanaan, 10 tuturan maksim permufakatan dan 1
pelanggaran maksim permufakatan, 17 tuturan maksim kesimpatisan.
Ciri penanda yang ditemukan adalah memperhatikan suasana perasaan
mitra tutur sehingga ketika bertutur dapat membuat hati mitra tutur berkenan
(angon rasa), pertemukan perasaan penutur dengan perasaan mitra tutur sehingga
isi komunikasi sama-sama dikehendaki karena sama-sama diinginkan (adu rasa),
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
jagala tuturan agar dapat di terima oleh mitra tutur karena mitratutur sedang
berkenan hatinya (empan papan), jagalah agar tuturan memperlihatkan rasa
ketidakmampuan penutur idhadapan mitra tutur (sifat rendah hati), jagalah
tuturan agar selalu memperlihatkan bahwa mitra tutur diposisikan pada tempat
yang lebih tinggi (sikap hormat), jagalah agar tuturan selalu memperlihatkan
bahwa apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga dirasakan penutur (sikap tepa
selira), serta pemilihan kata atau diksi. Peneliti juga menemukan sepuluh maksud
yang terkandung dalam tuturan guru kepada siswa yaitu maksud menyuruh,
maksud mengingatkan, maksud menegur, maksud memberi candaan, maksud
menyapa, maksud menanyakan, maksud meminta, maksud menyindir, maksud
memuji, maksud memberitahu dan mengetahui.
5.2 Saran
Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki banyak
kekurangan. Penelitian ini hanya berfokus pada wujud dan ciri serta maksud
kesantunan berbahasa yang dituturkan oleh guru kepada siswa di lingkungan
sekolah. Oleh karena itu peneliti berharap bagi peneliti lain atau mahasiswa
Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia yang ingin melakukan penelitian
sejenis, agar dalam penelitian selanjutnya dapat lebih mengembangkan materi
penelitian sehingga tujuan penelitian dapat tercapai. Peneliti juga berharap
penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi untuk peneliti lainnya, sehingga
akan lebih banyak temuan-temuan baru terkait dengan kesantunan berbahasa.
Peneliti berharap dengan adanya penelitian ini guru dapat lebih menyadari
betapa pentingnya sebuah kesantunan dalam bertutur, terutama saat menyapa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
siswa. Karena sekecil apapun tuturan itu jika tidak santun akan diingat siswa dan
dicontoh. Dengan begitu guru–guru dapat lebih berhati-hati ketika bertutur
terutama ketika berada di lingkungan sekolah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
Daftar Pustaka
Aslinda, dkk. 2000. Kata Sapaan Bahasa Minangkabau di Kabupaten Agam.
Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.
Braun, F. 1988. Terms of Address: Problems of Patterns and Usage in Various
Languages and Cultures (Edited by Joshua A. Fishman). Berlin: Mouten
de Gruyter.
Brown, R. dan Albert, G.1960. The Pronoun of Power and Solidarity. Dalam
Chritina Bratt Paulston dan G. Richard Tucker. Sociolinguistcs. The
Essential Reading. 2003. Oxford: Blackwell Publishing.
Chaer, A. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Chaer, A. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
Cummings, L. 2007. Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner. \
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fitri, E. N. 2012. Skripsi “Penggunaan Kata Sapaan Bahasa Jerman Dalam
Novel Remaja UND WENN SCHON. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Program Studi Jerman.
Gunawan, I. 2013. Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik. Jakarta:
Bumi Aksara.
Kridalaksana, H. 1982. Fungsi dan Sikap Bahasa.Jakarta: Penerbit Nusa Indah.
Moleong, L. J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Nurastuti, W. 2007. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Ardana Media.
Nababan, P.W.J. 1993. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Nadar. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu
Pateda, M. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
Pranowo. 2009. Berbahasa Secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pranowo. 2009. Kesantunan Berbahasa Tokoh Masyarakat. Yogyakarta: USD.
Rahardi, K. 2006. Prgagmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.
Jakarta: Erlangga
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Wardaugh, R. 1992. An introduction to Sociolinguistics. Sixth edition. Oxford:
Blackwell
Yule, G. 1996. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
TRIANGULASI HASIL PENELITIAN
TINGKAT KESANTUNAN SAPAAN VERBAL GURU KEPADA SISWA DI SMP ALOYSIUS TURI YOGYAKARTA
(Kajian Pragmatik)
Triangulator dimohon untuk memeriksa kembali data yang diperoleh peneliti untuk keperluan keabsahan data. Triangulator yang dipercaya
untuk memeriksa data penelitian adalah penyidik yang memiliki kemampuan dalam bidang pragmatik.
Petunjuk pengisian:
1. Triangulator dimohon untuk memberikan tanda centang () pada kolom setuju, apabila triangulator setuju bahwa data wujud verbal
sudah sesuai dengan teori yang ada. Berilah tanda silang () pada kolom tidak setuju, apabila triangulator tidak setuju terhadap data
wujud verbal yang tidak sesuai dengan teori.
2. Triangulator dimohon untuk memberikan catatan pada kolom keterangan berupa kritik ataupun saran.
No
Wujud
(Tuturan)
Konteks
Maksud
Ciri Penanda
Kesesuaian
dengan Teori
(Triangulator)
Keterangan Ya Tidak
1. Guru : Ea,ea,ea, terlambat.
Siswa : (Tersipu malu).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah,
saat bel sekolah sudah
berbunyi dan seorang
guru piket melihat ada
siswa yang datang
terlambat. Tuturan ini
terjadi dalam situasi non
formal.
Guru menyuruh siswa
yang terlambat agar
bisa lebih
mempercepat
langkahnya agar tidak
terlambat masuk ke
dalam kelas.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
elipsis (adanya suatu
makna kata tanpa
disertai bentuk kata).
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
2. Guru : Halo-halo semua,
hai.
Siswa : (Seketika terdiam).
Tuturan terjadi pada
siang hari di aula sekolah
ketika masa pengenalan
lingkungan sekolah.
Seorang guru yang
sedang menjadi
pembicara melihat siswa
kelas VII sangat ramai
karena saat itu pembicara
sedang menyampaikan
tata tertib sekolah.
Tuturan terjadi dalam
situasi formal.
Guru mengingatkan
siswa agar tetap fokus
pada kegiatan dan
tidak berbicara
sendiri.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan
(pemilihan kata halo-
halo).
√
3. Guru : Selamat pagi anak-
anakku, berkah dalem.
Siswa : Selamat pagi bu.
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari di lapangan
upcara ketika akan
memulai apel pagi.
Sapaan wajib yang harus
dilontarkan semua guru
ketika akan memulai
sebuah kegiatan. Tuturan
terjadi dalam situasi
formal.
Guru memberikan
sapaan kepada siswa
agar siap untuk
memulai apel.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan yaitu
berupa kata ganti
bentuk nominal+ku
(pemilihan anak-
anakku).
√
4. Guru : Kelas VIII osis
cowok, woey.
Siswa : (Menghampiri guru
tersebut).
Tuturan terjadi pada
siang hari di lapangan
upacara sekolah. Seorang
guru memanggil anggota
osis kelas VIII laki-laki.
Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
Guru menyuruh
anggota osis kelas
VIII terutama yang
laki-laki untuk segera
datang
menghampirinya.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata cowok).
√
5. Guru : Kowe nyapo le? Tururan terjadi pada Guru menegur siswa Pemakaian diksi √
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
Siswa : (Bergegas lari). siang hari di halaman
sekolah. Tuturan
disampaikan oleh salah
satu guru yang melihat
siswa kelas VIII
berkeliaran di luar kelas
saat pengarahan oleh
wali kelas sedang
berlangsung. Tuturan
terjadi dalam situasi non
formal.
yang sedang berada di
luar kelas untuk
segera masu kelas
guna mendengarkan
pengarahan dari wali
kelas.
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata kowe dan le).
6. Guru : Kowe ojo jajan ae
mengko pak dhe enggak
kebagian.
Siswa : Tersipu malu.
Tuturan terjadi pada pagi
hari di kantin sekolah.
Ketika jam istirahat ada
seorang guru sedang
menjahili siswa yang
terlihat membeli
beberapa makanan.
Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
Guru memberikan
candaan kepada siswa
yang sedang membeli
beberapa makanan di
kantin.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata kowe dan pak
dhe).
√
7. Guru : Jamnya siapa dek?
Halo.
Siswa : (Terdiam sejenak),
jam keterampilan bu.
Tuturan terjadi pada
siang hari di perpustkaan.
Ketika seorang guru yang
sedang berada di
perpustakaan mnanyakan
mengapa siswa tersebut
berada di perpustakaan
saat jam pelajaran
berlangsung. Tuturan
terjadi dalam situasi non
formal.
Guru menanyakan
sedang apa berada di
perpustakaan saat
ketika jam pelajaran
sedang berlangsung.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata dek).
√
8. Guru : Hayo, salam dulu. Tuturan terjadi pada pagi Guru mengingatkan Pemakaian diksi √
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Siswa : (Langsung
mengulurkan tangan).
hari di halaman sekolah.
Seorang guru piket
menyapa siswa yang
hanya berlalu saja tanpa
menyapa para guru di
area tersebut. Tuturan
terjadi dalam situasi non
formal.
siswa agar senantiasa
menyapa dan
bersalaman dengan
guru yang ditemuinya
sebagai tanda
menghormati.
sebagai penanda
kesantunan berupa
elipsis (adanya suatu
makna kata tanpa
disertai bentuk kata
).
9. Guru: Kamu itu anak nomor
satu to?
Siswa : (Menganggukkan
kepala).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ibu kepala sekolah
menyapa siswa dengan
cara bertanya apakah
benar dia anak nomor 1
(anak sulung). Tuturan
terjadi dalam situasi non
formal.
Guru menanyakan
apakah siswa tersebut
merupakan anak
sulung.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata kamu).
√
10. Guru : Piye tuh dek nek
make, kok mluntir-mluntir
gitu.
Siswa : (Melihat ke arah
bahu).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika seorang guru
melihat siswa yang
memakai tas dengan tali
tas yang tidak rapi.
Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
Guru meminta siswa
untuk merapikan
tasnya terlebih dahulu
sebelum masuk ke
dalam kelas.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata dik).
√
11. Guru : Kamu kok piye
bangun jam 06.00 WIB.
Siswa : (Tersenyum).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Saat salah seorang siswa
yang tinggal di asrama
terlambat bangun.
Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
Guru mengingatkan
siswa jangan karena
dia tinggal di asrama
bisa bangun siang dan
harus bangun lebih
pagi lagi.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata kamu).
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
12. Guru : Kamu pagi banget,
tumben.
Siswa : (Diam saja).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika salah seorang
guru menyapa murid
yang biasanya datang
terlambat namun hari itu
datang lebih awal.
Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
Guru menyindir siswa
yang biasanya datang
terlambat sekaligus
memuji karena
sebenarnya siswa
tersebut dapat datang
tepat waktu.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata kamu).
√
13. Guru : Asik enggak telat,
enggak macet ya.
Siswa : (Tersenyum).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika rombongan siswa
yang di jemput dengan
mobil sekolah datangnya
tidak terlambat. Tuturan
terjadi dalam situasi non
formal.
Guru memuji
rombongan siswa
yang di jemput
menggunakan mobil
sekolah tidak
terlambat datang
kesekolah karena
macet mereka sering
kali terlambat.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
ciri zero atau nol
(adanya suatu makna
kata tanpa disertai
bentuk kata).
√
14. Guru : Ayo mas Brian.
Siswa : (Segera berlari).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika guru piket melihat
seorang siswa yang
terlihat berjalan lambat
dan tidak bersemangat.
Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
Guru menyuruh siswa
agar berjalan lebih
cepat dan semangat.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
nama diri (pemilihan
kata mas Brian).
√
15. Guru : Rambutmu merah yo
mas? Besok disemir lagi ya!
Siswa : (Langsung
memegang rambut).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika seorang guru
melihat siswa yang
rambutnya di cat merah.
Guru mengingatkan
siswa agar rambut
siswa tidak berwarna
lain selain hitam.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata mas).
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
16. Guru : Kok kamu enggak
jadi potong?
Siswa : (Tersenyum).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika salah seorang
guru melihat siswa yang
masih belum potong
rambut walau sudah
sering diingatkan.
Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
Guru mengingatkan
siswa agar segera
melakukan potong
rambut.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata kamu).
√
17. Guru : Kowe wes potong
durung le?
Siswa : (Tersenyum).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Saat seorang siswa
berusaha untuk
bersembunyi dari guru
karena belum potong
rambut namun akhirnya
ketahuan juga. Tuturan
terjadi dalam situasi non
formal.
Guru mengingatkan
siswa untuk
memotong rambutnya
yang terlihat panjang.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata kowe dan le).
√
18. Guru : Rambut mu kok enek
teyeng-teyeng e le, besok
teyeng e diilangi yo.
Siswa : (Tersenyum sambil
menganggukkan kepala).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika salah seorang
guru melihat ada siswa
yang rambut bagian
depan berwarna cokelat.
Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
Guru menegur dan
mengingatkan siswa
agar rambutnya
segera di cat hitam.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata le).
√
19. Guru : Andi kok belum
salim bu guru.
Siswa : Oh iya, lupa.
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Saat seorang guru
Guru mengingatkan
siswa untuk
besalaman dengan
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
menyapa siswa yang
belum bersalaman
dengan guru-guru piket.
Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
guru-guru yang
berada di halaman
sekolah.
nama diri dan gelar
(pemilihan kata Andi
dan bu guru).
20. Guru :
Thomas,thomas,thomas.
Siswa : Yes.
Tuturan terjadi pada
siang hari di depan ruang
kepala sekolah. Ketika
seorang guru menyapa
siswa yang sedang
melintas di depan
ruangan. Tuturan terjadi
dalam situasi non formal.
Guru menyapa siswa
yang sedang berjalan
di depan ruang kepala
sekolah, karena siswa
tersebut lucu dan
menggemaskan.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
nama diri (pemilihan
kata Thomas).
√
21. Guru : Ini baju olahraganya
bersih atau kotor, jangan-
jangan bau pesing.
Siswa : (Tersenyum).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di lingkungan
sekolah. Ketika salah
satu guru melihat baju
olahraga siswa yang
terlihat kotor.Tuturan
terjadi dalam situasi non
formal.
Guru menyindir siswa
yang bajunya terlihat
lusuh dan kotor.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
elipsis (adanya suatu
makna kata tanpa
disertai bentuk kata).
√
22. Guru : Pagi puterinya
kepala dukuh.
Siswa : Pagi.
Tuturan terjadi pada pagi
hari di lingkungan
sekolah. Ketika seorang
guru sedang menyapa
siswa yang merupakan
anak dari kepala dukuh
di Turi. Tutran terjadi
dalam situasi non formal.
Guru menyapa siswa
yang merupakan putri
seorang kepala dukuh
di Turi.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
pangkat (pemilihan
kata puteri kepala
dukuh).
√
23. Guru : Ini rambutnya kamu
ikat biar rapi.
Siswa : (Langsung mengikat
Tuturan terjadi pada pagi
hari di lingkungan
sekolah. Saat guru
Guru mengingatkan
siswa perempuan
untuk mengikat
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
rambut). melihat seorang siswa
perempuan yang
rambutnya tidak diikat
dengan rapi. Tuturan
terjadi dalam situasi non
formal.
rambutnya agar
terlihat rapi.
kata ganti (pemilihan
kata kamu).
24. Guru : Pagi Silvia, adem po
nok?
Siswa : Iya bu.
Tuturan terjadi pada pagi
hari di lingkungan
sekolah. Ketika guru
melihat ada seorang
siswa yang masih
memakai jaket
sedangkan cuaca tidak
terlalu dingin. Tuturan
terjadi dalam situasi non
formal.
Guru menegur siswa
agar melepas jaket
karena sudah berada
dalam lingkungan
sekolah.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
nama diri dan kata
ganti (pemilihan kata
Silvia dan nok).
√
25. Guru : Ini Bagus atau
Bagas?
Siswa : (Tersenyum)
Tuturan terjadi pada
siang hari di lingkungan
sekolah. Ketika guru
menanyakan nama siswa
karena beliau lupa pada
namanya. Tuturan terjadi
dalam situasi non formal.
Guru menanyakan
nama salah satu siswa
karena lupa.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
nama diri (pemilihan
kata Bagus dan
Bagas).
√
26. Guru : Celanamu kok sudah
ngepres?
Siswa : (Tersipu malu).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di lingkungan
sekolah. Saat guru
mengetahui ada salah
satu siswa yang
celananya terlihat sempit.
Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
Guru memberitahu
siswa bahwa
celananya sudah
terlihat sempit.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata mu).
√
27. Guru : Hayo Thomas belum Tuturan terjadi pada pagi Guru mengingatkan Pemakaian diksi √
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
salam sama Bu Lia.
Siswa : (Langsung
mengulurkan tangan).
hari di lingkungan
sekolah. Ketika guru
melihat salah seorang
murid yang hanya
berjalan saja tanpa
bersalaman dengan guru
yang sedang piket.
Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
siswa untuk
bersalaman dengan
guru yang sedang
berada di sekitarnya.
sebagai penanda
kesantunan berupa
nama diri dan istilah
kekerabatan
(pemilihan kata
Thomas dan bu Lia).
28. Guru : Kamu namanya
siapa?
Siswa : Dita bu.
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Saat seorang guru lupa
pada nama siswa yang
disapanya. Tuturan
terjadi dalam situasi non
formal.
Guru menanyakan
nama dari siswa
tersebut karena beliau
lupa.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata kamu).
√
29. Guru : Sini,sini,sini, hoy,
Girda,Girda.
Siswa : (Berlari).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di lingkungan
sekolah. Ketika guru
melihat siswa laki-laki
yang berusaha
bersenbunyi karena tidak
memakai sabuk sesuai
aturan. Tuturan terjadi
dalam situasi non formal.
Guru menyuruh siswa
untuk datang
kepadanya karena
siswa tersebut telah
melanggar peraturan
sekolah.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
nama deiksis dan
nama diri (pemilihan
kata sini dan Girda).
√
30. Guru :
Coba,coba,sini,Pande, logo
tunas kelapanya dimana,
didepan atau disamping.
Siswa : (Melihat posisi kaos
kaki).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di lingkungan
sekolah. Ketika seorang
guru melihat siswa
memakai kaos kaki yang
tidak rapi. Tuturan terjadi
dalam situasi non formal.
Guru mengingatkan
siswa untuk memakai
kaos kaki yang rapi
sesuai ketentuan.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
nama deiksis dan
nama diri (pemilihan
kata sini dan Pande).
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
31. Guru : Wah jaketnya pink.
Siswa : (Tersipu malu).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di lingkungan
sekolah. Saat seorang
guru tertarik akan warna
jaket seorang siswa laki-
laki. Tuturan terjadi
dalam situasi non formal.
Guru menyindir siswa
laki-laki yang
mengenakan jaket
berwarna pink.
Karena warna pink
identik dengan
perempuan.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata jaketnya).
√
32. Guru : Hey Okta kelasmu
bukan?
Siswa :Bukan.
Tuturan terjadi pada saat
pelajaran olahraga di
lapangan basket. Ketika
seorang guru
menanyakan apakah
murid yang bernama
Okta satu kelas dengan
murid tersebut. Tuturan
terjadi dalam situasi
formal.
Guru menanyakan
siswa bernama Okta
pada salah satu siwa
yang sedang berjalan
karena ada sesuatu
yang ingin deberikan
oleh guru olahraga
tersebut.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
elipsis (adanya suatu
makna kata tanpa
disertai bentuk kata,
pemilihan kata hey).
√
33. Guru : Hayo kalau
ngomong kotor apa
sanksinya?
Siswa : (Terdiam).
Tuturan terjadi saat
pelajaran olahraga di
lapangan basket. Saat
guru mendengar salah
satu muridnya berbicara
kotor atau jorok. Tuturan
terjadi dalam situasi
formal.
Guru menyuruh
siswa untuk
menjalankan sanksi
karena sudah
melanggar peraturan.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
elipsis (adanya suatu
makna kata tanpa
disertai bentuk kata
pemilihan kata hayo).
√
34. Guru : Mario kamu ini bikin
berat saja.
Siswa : (Tersenyum).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di lingkungan
sekolah. Ketika seorang
guru sedang bercanda
dengan salah satu siswa
yang menaiki mobil
sekolah. Tuturan terjadi
Guru memberikan
candaan kepada salah
satu siswa ketika dia
menaiki mobil
sekolah yang akan di
parkir.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
nama diri dan kata
ganti (pemilihan kata
Mario dan kamu).
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
dalam situasi non formal.
35. Guru : Kamu bilang dulu
tangan kanan atau kiri.
Siswa : Iya pak.
Tuturan terjadi pada saat
pelajaran olahraga di
lapangan basket. Ketika
guru olahraga meminta
muridnya untuk
memimpin pemanasan
dengan benar. Tuturan
terjadi dalam situasi
formal.
Guru mengingatkan
siswa yang
memimpin
pemanasan untuk
melakukan dengan
benar.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata kamu).
√
36. Guru : Piye to le leh
masang kok enggak
nggenah?
Siswa : (Langsung
membetulkan).
Tuturan terjadi pada
siang hari di lapangan
basket. ketika jam
pelajaran olahraga
seorang guru menyuruh
siswa laki-laki untuk
memasang net voli.
Tuturan terjadi dalam
situasi formal.
Guru menegur siswa
laki-laki agar
memasang net voli
dengan benar.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata le).
√
37. Guru : Tanganmu tuh piye,
jari-jarinya yang bener.
Siswa : (Tersenyum).
Tuturan terjadi pada saat
jam pelajaran olahraga di
lapangan basket. Ketika
ada seorang siswa yang
tidak melakukan
pemanasan dengan benar.
Tuturan terjadi dalam
situasi formal.
Guru menegur siswa
yang memimpin
pemanasan agar
melakukannya
dengan benar.
Pemakaian kata diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata mu).
√
38. Guru : Kamu Rastra disana,
ngarep dewe kok ora ngerti.
Siswa : (Diam).
Tuturan terjadi pada saat
jam pelajaran olahraga di
lapangan basket. Guru
olahraga memanggil
murid yang berdiri di
Guru menegur salah
satu siswa yang
berada di barisan
depan agar lebih
memerhatikan
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti, nama diri,
dan kata deiksis
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
barisan paling depan
untuk pindah posisi.
Tuturan terjadi dalam
situasi formal.
instruksi dari guru. (pemilihan kata
kamu, Rastra, dan
disana).
39. Guru : Kamu tuh lho
diomongi kok malah jorok-
jorokan.
Siswa : (Tersenyum).
Tuturan terjadi pada saat
jam pelajaran olahraga di
lapangan basket. Ketika
ada siswa yang bercanda
saat guru sedang
memberi arahan. Tuturan
terjadi dalam situasi
formal.
Guru menegur siswa
yang bercanda pada
saat terjadi
pengarahan.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata kamu).
√
40. Guru : Ayo yang mau ambil
selang siapa?
Siswa : Ketua kelas.
Tuturan terjadi pada saat
jam pelajaran olahraga di
lapangan sepak bola,
Ketika guru menyuruh
siswa mengambil selang
untuk membasahi tanah
di lapangan. Tuturan
terjadi dalam situasi
formal.
Guru menyuruh siswa
untuk segera
mengambil selang
agar pelajaran dapat
di mulai.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
elipsis (adanya suatu
makna kata tanpa
disertai bentuk kata).
√
41. Guru : Itu lho, apa itu
namanya, logo tunas
kelapanya dibenerin masak
merot gitu.
Siswa : (Langsung
membetulkan).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika salah satu guru
melihat ada siswa yang
memakai kaos kaki
secara tidak rapi. Tuturan
terjadi dalam situasi non
formal.
Guru menyuruh siswa
untuk memperbaiki
posisi logo dari kaos
kaki yang di
pakainya.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata deiksis atau
penunjuk (pemilihan
kata itu).
√
42. Guru : Erlan,Erlan.
Siswa : (Tetap berlari).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di lapangan upacara.
Ketika salah satu guru
Guru mengingatkan
siswa untuk tidak
berlarian di sekolah
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
memanggil siswa yang
sedang berlarian. Tuturan
terjadi dalam situasi non
formal.
agar tidak terjadi hal-
hal yang tidak
diinginkan.
nama diri (pemilihan
kata Erlan).
43. Guru : Kamu enggak
jemputan? Kenapa?
Siswa : Ada yang antar bu.
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika guru melihat
siswa yang biasanya
menaiki mobil jemputan
sekolah tetapi hari itu ia
diantar oleh orang
tuanya, tuturan terjadi
dalam situasi non formal.
Guru ingin
mengetahu mengapa
siswa tersebut tidak
berangkat
menggunakan mobil
jemputan dari
sekolah.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata kamu).
x
44. Guru : Saya tahu kamu
pakai begitu.
Siswa : (Menundukkan
kepala).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Salah satu guru melihat
ada siswa yang
memainkan tongkat
pramuka. Tuturan terjadi
dalam situasi non formal.
Guru mengingatkan
siswa agar tidak
memainkan tongkat
pramuka karena nanti
bisa mengenai orang
lain.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata saya dan kamu).
x
45. Guru : Itu dibersihkan dulu
sayang bibirnya itu.
Siswa : (Tersipu malu
sambil mengelap bibir).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika ada salah satu
siswa yang di bibirnya
masih ada sisa-sisa
makanan. Tuturan terjadi
dalam situasi non formal.
Guru menyuruh siswa
untuk membersihkan
sisa-sisa makanan
yang ada di bibirnya.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata deiksis atau
penunjuk dan kata
ganti (pemilihan kata
itu dan sayang).
√
46. Guru : Kamu istirahat di
kelas, kalau sakit nggak
usah ikut itu, Thomas.
Siswa : (Tetap berjalan).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika ada siswa yang
sedang sakit tidak ingin
duduk dengan tenang dan
Guru menyuruh siswa
untuk beristirahat di
kelas karena ia
sedang sakit.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti dan nama
diri (pemilihan kata
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
beristirahat. Tuturan
terjadi dalam situasi non
formal.
kamu dan Thomas).
47. Guru : Wah arlojimu bagus.
Siswa : (Tersenyum).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika seorang guru
melihat siswa yang
memakai arloji dan
menarik perhatiannya.
Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
Guru memuji arloji
siswa yang
menurutnya bagus.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
elipsis (adanya suatu
makna kata tanpa
disertai bentuk kata).
√
48. Guru : Hai Pius.
Siswa : (Tersipu malu).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Seorang guru menyapa
siswa yang sedang
melintas di depannya.
Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
Guru menyapa siswa
yang menarik
perhatiannya.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
nama diri (pemilihan
kata Pius).
√
49. Guru : Hari ini kamu kok
cantik.
Siswa : (Tersipu malu).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Saat seorang guru
melihat siswa yang
biasanya berpenampilan
cuek namun hari itu di
terlihat cantik. Tuturan
terjadi dalam situasi non
formal.
Guru memuji
penampilah salah satu
siswi yang terlihat
rapi dan cantik.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata kamu).
x
50. Guru : Wisnu, ikat
pinggangnya untuk apa.
Siswa : (Tersipu malu).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di depan kelas. Saat
seorang guru melihat
salah satu siswa laki-laki
yang memainkan ikat
Guru mengingatkan
siswa agar tidak
memainkan ikat
pinggang karena hal
itu dapat
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
nama diri(pemilihan
kata Wisnu).
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
pinggangnya. Tuturan
terjadi dalam situasi non
formal.
membahayakan orang
lain.
51. Guru : Pelan-pelan hayo
pelan-pelan nanti kamu
jatuh.
Siswa : (Langsung
berjalan).
Tuturaan terjadi pada
pagi hari di halaman
sekolah. Ketika ada
seorang siswa yang
datang terlambat dan
berlari. Tuturan terjadi
dalam situasi non formal.
Guru mengingatkan
siswa agar tidak
berlari namun
berjalan pelan saja.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata kamu).
x
52. Guru : Kamu dari kemarin
udah tak beri tahu.
Siswa : (Diam saja).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika ada siswa yang
tidak membawa tongkat
pramuka. Tuturan terjadi
dalam situasi non formal.
Guru menegur siswa
agar lebih
memperhatikan lagi
jika ada pengumuman
terkait kegiatan
sekolah.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kamu).
x
53. Guru : Kau lihat siapa je?
Siswa : (Tersenyum).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika ada seorang murid
yang sedang berjalan
namun melihat ke arah
lain. Tuturan terjadi
dalam situasi non formal.
Guru mengingatkan
siswa untuk
memperhatikan
jalannya agar tidak
terjatuh.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata kau).
√
54. Guru : Itu ditaruh sana
jangan di bawa kemana-
mana nanti kalau pramuka
baru diambil.
Siswa : (Membalikkan
badan lalu menuju ke
kelas).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di lapangan upacara.
Ketika guru melihat
siswa yang membawa
tongkat pramuka kesana-
kemari. Tuturan terjadi
dalam situasi non formal.
Guru menyuruh siswa
untuk meletakkan
tongkat pramuka di
kelas.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata deiksis atau
penunjuk (pemilihan
kata itu dan sana).
√
55. Guru : Wah tongkatmu ijo.
Siswa : (Tersipu malu)
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Guru merasa tertarik
dengan warna tongkat
Pemakaian diksi
sebagai penanda
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
Saat guru melihat siswa
yang membawa tongkat
pramuka berwarna hijau,
berbeda dengan tongkat-
tongkat pada umumnya.
Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
pramuka siswa
tersebut.
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata mu dari kata
kamu).
56. Guru : Sangu opo kui mbak
Tanti kok ketok e minum e
segar.
Siswa : (Tersipu malu).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika guru tertarik pada
minuman yang di bawa
oleh salah satu siswi,
tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
Guru bertanya
minuman apa yang di
bawa oleh siswi
tersebut.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
nama diri (pemilihan
kata Tanti).
√
57. Guru : Selamat pagi mbak
Dira, mbak Dira pinter
main biolanya.
Siswa : Terima kasih bu.
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika guru menyapa
siswa yang pintar
bermain biola. Tuturan
terjadai dalam situasi non
formal.
Guru memuji siswa
yang memiliki
ketrampilan bermain
biola.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
nama diri (pemilihan
kata mbak Dira).
√
58. Guru : Wo, nek males
berarti kowe nanti kalau
dikasih poin ojo salahke bu
guru wong koe sik males.
Siswa : Iya bu, maaf.
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika guru melihat ada
siswa yang tidak
membawa tongkat
pramuka dengan
berbagai macam alasan.
Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
Guru menegur siswa
agar selalu mentaati
peraturan sekolah
agar tidak mendapat
teguran keras dari
sekolah.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti dan gelar
(pemilihan kata kowe
dan bu guru).
√
59. Guru : Jangan buat mainan,
ndak nanti kena temen e le.
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Guru menegur siswa
agar tidak memainkan
Pemakaian diksi
sebagai penanda
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
Siswa : (Bergegas
meletakkan tongkat
pramuka).
Ketika guru melihat
siswa yang sedang
memainkan tongkat
pramuka di atas kepala.
Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
tongkat pramuka agar
tidak melukai orang
lain.
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata le).
60. Guru : Eh Yoan terus kamu
bekalnya gimana? sangunya
buat beli tongkat. Masih
punya uang saku gak?
Siswa : (Menganggukkan
kepala).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika guru melihat ada
siswa yang membeli
tongkat pramuka
sebelum bel masuk
sekolah di bunyikan.
Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
Guru menanyakan
apakah murid tersebut
masih memiliki uang
saku atau tidak.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
nama diri (pemilihan
kata Yoan).
√
61. Guru : Kamu udah ada
tongkat belum?
Siswa : Sudah bu.
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika guru melihat salah
satu siswa yang tidak
membawa tongkat
pramuka. Tuturan terjadi
dalam situasi non formal.
Guru menyuruh siswa
untuk segera mencari
tongkat pramuka
yang tersedia di
perpus.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata kamu).
x
62. Guru : Eh kamu udah salim
sama kakak belum mas Egar
ki?
Siswa : (Tersenyum), belum
bu.
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman
sekolah.ketika guru
melihat siswa yang tidak
menyalami mahasiswa
yang ikut jaga piket.
Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
Guru mengingatkan
siswa untuk menyapa
dan bersalaman
dengan guru maupun
mahasiswa yang
sedang berada di
sekolah.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti dan nama
diri (pemilihan kata
kamu dan Egar).
√
63. Guru : Itu di bantu itu
bapaknya nyari siapa itu.
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Guru menyuruh siswa
untuk menghampiri
Pemakaian diksi
sebagai penanda
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Deron tolong dibantu
bapaknya, bapak mau
ngasih ke siapa gitu? Saya
bantu.
Siswa : Baik bu.
Ketika guru melihat ada
wali murid sedang berada
di depan sekolah seperti
mencari seseorang.
Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
wali murid yang
berada di depan
sekolah dan
menanyakan
keperluannya.
kesantunan berupa
kata deiksis atau
penunjuk dan nama
diri (pemilihan kata
itu dan Deron).
64. Guru : Deron baik lho udah
bantu kok Vivine malu.
Siswa : (Tersipu malu).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Saat guru melihat salah
satu siswi merasa malu
saat di beri bantuan oleh
siswa putra. Tuturan
terjadi dalam situasi non
formal.
Guru menyuruh siswi
untuk emngucapkan
terima kasih kepada
Deron yang telah
membantu.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
nama diri (pemilihan
kata Deron dan Vivi).
√
65. Guru : Eh Sal, itu pake
tongkatnya gak kayak gitu
nanti kena temannya
kepalanya cetok, Sal,Amsal,
gak dengerin mulutnya bu
guru ya.
Siswa : (Terus berjalan).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika guru melihat salah
satu siswa yang masih
saja memainkan tongkat
pramuka di atas
kepalanya. Tuturan
terjadi dalam situasi non
formal.
Guru menyuruh siswa
untuk berhenti
memainkan tongkat
pramukanya.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
nama diri (pemilihan
kata Amsal).
√
66. Guru : Kenapa mbak tangan
mu, mbak, kenapa sayang
ku?
Siswa : (Menggelengkan
kepala lalu menangis).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Saat guru melihat ada
siswa yang wajahnya
terlihat kesakitan dan
tangannya lemas.
Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
Guru menanyakan
apa yang terjadi
dengan siswan
tersebut dan
bagaimana
kondisinya.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata mbak dan
sayang).
√
67. Guru : Selamat pagi, wah Tuturan terjadi pada pagi Guru mengingatkan Pemakaian diksi √
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
tumben gak telat, biasanya
kamu lari-lari e.
Siswa : (Tersipu malu).
hari di halaman sekolah.
Ketika guru menyapa
salah satu siswa yang
biasanya datang
terlambat tetapi hari itu
datang tepat
waktu.Tuturan terjadi
dalam situasi non formal.
siswa agar jangan
datang terlambat lagi.
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata sapaan dan kata
ganti (pemilihan kata
selamat pagi dan
kamu).
68. Guru : Pagi Git kok
jerawatmu banyak, enggak
mandi ya?
Siswa : (Tersenyum).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika guru melihat salah
satu siswa yang memilik
banyak jerawat di
wajahnya. Tuturan terjadi
dalam situasi non formal.
Guru memberikan
candaan kepada siswa
yang dikenalnya,
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
nama diri (pemilihan
kata Git dari kata
Gita).
√
69. Guru : Nova, Erik sudah
sembuh belum?
Siswa : Saya, nggak tau.
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Saat guru bertanya
kepada salah satu siswi
tentang siswa laki-laki
yang kemarin sempat
sakit. Karena mereka
berdua sering di jodoh-
jodohkan oleh teman-
temannya. Tuturan
terjadi dalam situasi non
formal.
Guru memberikan
candaan kepada siswa
tersebut.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
nama diri (pemilihan
kata Nova dan Erik).
√
70. Guru : Gimana udah
suntik? sakit ra?
Siswa : (Tersenyum).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika guru bertanya
kepada siswa apakah dia
sudah menjalankan
Guru menanyakan
keadaan siswa
tersebut setelah suntik
vaksin.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
elipsis (adanya suatu
makna kata tanpa
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
suntik vaksin campak
dan rubella yang di
selanggarakan oleh
sekolah. Tuturan terjadi
dalam situasi non formal.
disertai bentuk kata).
71. Guru : Apalagi kau salam
terus.
Siswa : (Tersenyum).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika ada salah satu
siswa yang bolak-balik
bersalaman dengan guru-
guru piket. Tuturan
terjadi dalam situasi non
formal.
Guru menyuruh siswa
tersebut untuk tidak
bermain-main dan
segera masuk ke
dalam kelas.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata kau).
√
72. Guru : Yo ketinggalan mesti
kui, ketinggalan angkot
kowe?ketinggalan
jemputan?
Siswa : (Terus berlari).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika ada salah satu
siswa yang sedang lari-
lari karena datang
terlambat. Tuturan terjadi
Dalam situasi non
formal.
Guru mengingatkan
siswa agar dapat
bangun tidur lebih
awal lagi.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata kowe).
√
73. Guru : Hey kamu duduk
depan aja.
Siswa : (Langsung
berpindah).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di aula sekolah. Saat
sedang terjadi
pembekalan untuk acara
pembentukan karakter
siswa di luar sekolah.
Ketika ada salah satu
siswa kelas VII yang
berbicara sendiri.
Tuturan terjadi dalam
situasi formal.
Guru menegur salah
satu siswa agar
memperhatikan
pengarahan yang
sedang diberikan.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata kamu).
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
74. Guru : Kok ha? Alay kamu,
wong kamu di asrama kok.
Siswa : (Tersenyum).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di aula sekolah. Saat
sedang terjadi
pembekalan untuk acara
pembentukan karakter
siswa di luar sekolah.
Ketika guru menjelaskan
seberapa jauh tempat
yang akan mereka
gunakan besok. Tuturan
terjadi dalam situasi
formal.
Guru mengingtkan
siswa agar tidak
merespon dengan
berlebihan apalagi dia
adalah anak asrama di
sekolah tersebut.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata kamu).
x
75. Guru : Amsal, duduk depan
saja rame aja.
Siswa : (Langsung diam).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di aula sekolah. Saat
sedang terjadi
pembekalan untuk acara
pembentukan karakter
siswa di luar sekolah.
Ketika ada salah satu
siswa yang ramai saja
dan tidak memperhatikan
pengarahan. Tuturan
terjadi dalam situasi
formal.
Guru menegur siswa
yang ramai untuk
pindah duduk di
depan agar tidak
mengganggu siswa
lain.
Pemakaian diksi
sebagia penanda
kesantunan berupa
nama diri (pemilihan
kata Amsal).
√
76. Guru : Kui sopo kui kelas
VII rame ae. Deron siapa
itu yang rame, itu lo yang
gundul.
Siswa : (Langsung melihat
kebelakang).
Tuturan terjadi pada pagi
hari di lapangan upacara.
Saat sedang terjadi apel
pagi. Ketika guru melihat
di barisan kelas VII ada
yang mengganggu
temannya. Tuturan
terjadi dalam situasi
Guru menegur siswa
yang ramai agar
memperhatikan dan
bersikap tenang
selama apel pagi
berlangsung.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
nama diri dan kata
deiksis atau penunjuk
(pemilihan kata
Deron dan itu).
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
formal.
77. Guru : Kowe ki salah, wong
minjam buku kok gak
dibaca.
Siswa : (Diam saja).
Tuturan terjadi pada
siang hari di
perpustakaan sekolah.
Ketika ada siswa yang
meminjam buku tetapi
tidak dibaca namun di
pakai untuk kipas-kipas.
Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
Guru menegur siswa
agar menggunakan
buku sesuai dengan
fungsinya.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata kowe).
√
78. Guru : Ini bajumu mu
mana? lha baju kotak-kotak
mu mana?
Siswa : Hilang.
Tuturan terjadi pada pagi
hari di halaman sekolah.
Ketika guru melihat
siswa yang memakai
seragam tidak sesuai
dengan aturan sekolah.
Tuturan terjadi dalam
situasi non formal.
Guru menanyakan
mengapa siswa
tersebut
menggunakan
seragam yang tidak
sesuai dengan aturan
sekolah.
Pemakaian diksi
sebagai penanda
kesantunan berupa
kata ganti (pemilihan
kata mu dari kata
kamu).
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BIODATA PENULIS
Clara Wahyu Kurnia Pangestuti lahir di Madiun pada
tanggal 6 April 1995. Ia menyelesaikan pendidikan
tingkat sekolah dasar di SD Santo Yusuf Madiun pada
tahun 2007. Kemudian, ia melanjutkan studinya di
SMP Santo Yusuf Madiun dan tamat pada tahun 2010.
Pendidikan tingkat menengah atas ditempuhnya di
SMA Negeri 5 Madiun dan tamat pada tahun 2013. Setelah menyelesaikan
sekolah tingkat menengah atas, ia melanjutkan studi S1 Pendidikan Bahasa Sastra
Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta. Masa pendidikan S1 tersebut berakhir pada tahun 2018 dengan
menyelesaikan skripsi dengan judul “Kesantunan Sapaan Verbal Guru kepada
Siswa di SMP Aloysius Turi Yogyakarta Tahun Ajaran 2017/2018.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI