IMPLEMENTASI STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR SURVEILLANCEDALAM PENYELIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA
OLEH SATUAN RESERSE NARKOBA POLRESTABANDAR LAMPUNG
(Skripsi)
Oleh
A.M. PRABU C.B.1412011001
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2019
ABSTRAK
IMPLEMENTASI STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR SURVEILLANCEDALAM PENYELIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA
OLEH SATUAN RESERSE NARKOBA POLRESTABANDAR LAMPUNG
OlehA.M. PRABU C.B.
Tindak pidana narkotika pada umumnya dilakukan oleh para pelaku/sindikat yangprofesional dan terorganisir sehingga penyidik menggunakan teknik khusus dalammengungkap tindak pidana narkotika. salah satu teknik yang digunakan adalah tekniksurveilance (pembuntutan secara sistematis). Permasalahan dalam penelitian iniadalah(1) Bagaimanakah implementasi standar operasional prosedur surveillancedalam penyelidikan tindak pidana narkotika oleh Satuan Reserse Narkoba PolrestaBandar Lampung? (2) Bagaimanakah efektivitas surveillance dalam penyelidikantindak pidana narkotika oleh Satuan Reserse Narkoba Polresta Bandar Lampung?
Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.Jenis data menggunakan data sekunder dan data primer. Narasumber penelitian terdiridari Penyidik Satuan Reserse Narkoba Polresta Bandar Lampung dan dosen BagianHukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data menggunakananalisis kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Implementasi standar operasional prosedursurveillance dalam penyelidikan tindak pidana narkotika oleh Satuan Reserse NarkobaPolresta Bandar Lampung sesuai dengan teori penegakan hukum pada tahap aplikasi,yang dilaksanakan berdasarkan kententuan Badan Reserse Kriminal Mabes Polritentang Standar Operasional Prosedur Penyelidikan. Tindakan ini diterapkan denganmembuntuti atau membayangi, dengan cara berjalan kaki (satu orang, dua orang dantiga orang), berkendaraan (terhadap kendaraan subyek dapat dipasang alat penyadap)dengan menggunakan satu kendaraan dan dua kendaraan atau lebih atau gabunganantara jalan kaki dan berkendaraan. (2) Efektivitas surveillance dalam penyelidikantindak pidana narkotika oleh Satuan Reserse Narkoba Polresta Bandar Lampungsesuai dengan teori efektivitas hukum, di mana surveillance berhubungan denganberbagai tindakan penyidik dalam mengungkap tindak pidana narkotika yaitu setelahdilaksanakan surveillance (pembuntutan) dilakukan pembelian terselubung danpenyamaran. Setelah diduga kuat terjadi tindak pidana narkotika maka dilaksanakanpenindakan pemberantasan (raid planning execution) dan dilaksanakan penyidikanterhadap pelaku sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku dan setelahlengkap berkas dilimpahkan kepada Kejaksaan untuk proses hukum selanjutnya.
A.M. Prabu C.B.Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Penyidik disarankan untuk melaksanakan teknikpenyelidikan yang paling efektif dan efisien dalam mengungkap tindak pidananarkotika. (2) Pihak kepolisian disarankan untuk secara konsisten menerapkanberbagai strategi penyelidikan sebagaimana diatur dalam Standar OperasionalProsedur Penyelidikan Badan Reserse Kriminal Mabes Polri.
Kata Kunci: Implementasi, Surveillance, Penyelidikan Narkotika
i
IMPLEMENTASI STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR SURVEILLANCEDALAM PENYELIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA
OLEH SATUAN RESERSE NARKOBA POLRESTABANDAR LAMPUNG
Oleh
A.M. PRABU C.B.
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai GelarSarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum PidanaFakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2019
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama dilahirkan di Kota Bandar Lampung pada
tanggal 13 September 1996, sebagai anak pertama dari tiga
bersaudara, putra dari pasangan Bapak Chandra, S.H dan
Ibu Febriani Mutiawati, S.H.
Riwayat pendidikan formal yang penulis tempuh dan selesaikan adalah pada Sekolah
Dasar (SD) Kartika II-5 Persit Bandar Lampung lulus pada Tahun 2008, Sekolah
Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Bandar Lampung lulus pada Tahun 2011,
Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri 2 Bandar Lampung lulus pada Tahun 2014.
Selanjutnya pada Tahun 2014 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Lampung. Pada bulan Januari 2018, Penulis melaksanakan Kuliah Kerja
Nyata Tematik di Desa Taman Bogo Kecamatan Probolinggo Kabupaten Lampung
Timur.
vi
MOTO
Tuhan tidak akan membawa saya sampai sejauh ini hanya untuk meninggalkan saya.
Dengan Ridha Allah dan Ibu Yakin Usaha Sampai.
(Penulis)
vii
PERSEMBAHAN
Kedua Orang Tuaku TecintaPapa Chandra, S.H dan Mama Febriyeni Mutiawati, S.H..
yang telah sabar mendidik dan mendampingikudalam keseharianku dengan penuh perhatian, cinta kasih
dan ketulusan dan pengorbanan dan selalu memberikan motivasidan doa untuk keberhasilanku.
Adikku tersayang: Karen Shafiyah C.B.Terimakasih atas doanya dan dukungan
yang selama ini diberikan kepadaku
Keluarga Besarkuyang selalu mendoakanku dan selalu memberi semangat
dalam hidupku
AlmamaterkuUniversitas Lampung
viii
SAN WACANA
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sebab
hanya dengan kehendak-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul: “Implementasi Standar Operasional Prosedur Surveillance dalam
Penyelidikan Tindak Pidana Narkotika oleh Satuan Reserse Narkoba Polresta Bandar
Lampung” . Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Skripsi ini banyak mendapatkan
bimbingan dan arahan serta motivasi dari berbagai pihak. Oleh karenanya dalam
kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof Dr. Maroni, S.H., M.H selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung
2. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II, atas
bimbingan dan saran yang diberikan dalam proses penyusunan hingga selesainya
skripsi ini.
3. Ibu Dr. Erna Dewi, S.H., M.H., selaku Pembimbing I, atas bimbingan dan saran
yang diberikan dalam proses penyusunan hingga selesainya skripsi ini.
4. Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H, selaku Penguji Utama, atas masukan dan saran
yang diberikan dalam proses perbaikan skripsi ini.
ix
5. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H, selaku Pembahas II, atas masukan dan saran yang
diberikan dalam proses perbaikan skripsi ini.
6. Para narasumber atas bantuan dan informasi serta kebaikan yang diberikan demi
keberhasilan pelaksanaan penelitian ini.
7. Seluruh dosen dan karyawan/i Fakultas Hukum Universitas Lampung, khususnya
bagian Hukum Pidana yang telah memberikan ilmu kepada penulis.
8. Teman-teman mahasiswa fakultas hukum yang selalu merespon pertanyaan dan
memberi informasi
9. Teman-teman Kios Brother, Himpunan Mahasiswa Islam, Tempoyaxmotorsport
yang telah memberi saya pengalaman hidup yang berlimpah
10. Teman-teman KKN yang telah mewarnai hidup saya selama 40 hari
11. Tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih atas semangat, keladekan, masukan
dan bantuan serta pengalaman pengalaman dari Keluarga Mangce Brother
sahabat sahabat karib dari masa sekolah yang sudah seperti saudara yaitu, Nyoy
Faqih, Balad Robot, Nay Marley, Aditsih, Mas Ji, Papi Algi, Arya Togar, Mbe
Dendi, Derry Jargob, Fahri Ongo, Fekakakdoy, Kuntokuncoro, AtengnyaViki,
Abah Paruk papak mesin, Om Eza Komuk, Ridho Eboyy, Wak Icangg, Deni
Kidaus, Mas Huya, Yogi PB, Yuda Pilus, Zaim Zemi, Ghozy Sungi, Sendy Didi,
AldoKentang, Rio Oirtank, Agung Acun, Danang Eboy, Fahreza Kuda, Aom
MoA, Kahfi Tajati, Brader Odi, Gamapiton, Kak Nay Karson, Putra Akh, Warek
Alpen, Warek Kumis, Warek Wayan, Bang Lay Onyah, Paksu Dika, Andey
Patricia, Mas Nay, Mas Bim, Tum Arman, Muko, Doy Fadel, Kak Eza Palep,
Qolbyonyah, Acongchongky, Ibay Rusdi, Ibay MF, Jodsgreggor, Imam Manusia
Hutan, Yogi si pemegang rahasia, Cubung Joker, Rek Ripa Onyah, Alan baby
x
tatan, Uwk Ewin belok, Nandus gendut, Nopriyan tampan rupawan, Novan Pria
kekar, Ucok Olan, Warek Naim, Boneng Manusia Kaya, Warek Anjas, Warek
Rudi, Yudhi, Amikrek Mikami, Kak Nasuha, Adit Gondrong, Dude Nanda, Eji
Makise, Yogi Igoy, Ical Meifa, Yubi Berniaga, Alip Nigga, Arto Kotak, Bang
Tebe, Bang Jelang, Kak Rendy Predator Vespa, Ais Faiz, Moong, Mistering,
Ridho, Beberacxxx, Ebi Bangor, Bung Juliadi, Ngab Navir, Ngab Satria, Ngab
Diego, NgabAgnar Afifku. Juga kepada sista sista saya: Zakia Agustri Atikah,
Destea Susagiani, Misa M Murfhy(atumisa)
12. Tak lupa juga saya ucapkan terimakasih kepada pensupport pasif kuliah saya, Kak
Ringga, Brader Dimas, Dani Rosadi, WakJoni, Bang Anto, Abid Abon, Habibi,
Edo Pagub, Willy Britaniman, Mase Handoko Waboat, Kak Ireh, Kak Xendro,
Bang Reza Bewok, BayuTewak, Iyay Meifa, dan juga Mak Sari tercinta yang
telah mengisi hari-hari penulis dengan indah secara pasif.
13. Terkhusus penulis ucapkan terima kasih kepada semua keluarga tercinta penulis,
terkhususnya lagi pada Abak, Ndik, Karen, dan adik penulis yang sudah berada di
syurga M.Rozak Ksatria Baradatu
14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu
Semoga kebaikan yang telah diberikan kepada penulis akan mendapatkan balasan
kebaikan yang lebih besar dari Allah SWT, dan akhirnya penulis berharap semoga
Skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya
Bandar Lampung, 15 Januari 2019Penulis
A.M. PRABU C.B.
DAFTAR ISI
I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ................................................... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................................... 7
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual.................................................... 8
E. Sistematika Penulisan ....................................................................... 15
II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 16
A. Pengertian Implementasi ................................................................... 16
B. Pengertian Standar Operasional Prosedur ......................................... 18
C. Penyelidikan dan Penyidikan ............................................................ 20
D. Penegakan Hukum Pidana................................................................. 28
E. Tindak Pidana Narkotika................................................................... 33
III METODE PENELITIAN ..................................................................... 36
A. Pendekatan Masalah.......................................................................... 36
B. Sumber dan Jenis Data ...................................................................... 36
C. Penentuan Narasumber...................................................................... 38
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data .................................. 38
E. Analisis Data ..................................................................................... 39
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................... 40
A. Implementasi Surveillance dalam Penyelidikan Tindak PidanaNarkotika oleh Satuan Reserse Narkoba Polresta BandarLampung .......................................................................................... 40
B. Efektivitas Surveillance dalam Penyelidikan Tindak PidanaNarkotika oleh Satuan Reserse Narkoba Polresta BandarLampung .......................................................................................... 61
V PENUTUP ............................................................................................... 74
A. Simpulan ........................................................................................... 74
B. Saran.................................................................................................. 75
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tindak pidana narkotika yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya
adalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Menurut Pasal 1 Angka (5)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Selanjutnya disebut
UU Narkotika) yang dimaksud dengan penyalahguna narkotika adalah setiap
aktivitas menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Selanjutnya
menurut Pasal 35 UU Narkotika, gelap narkotika adalah setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika, baik dalam rangka
perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pemberlakuan UU Narkotika memiliki tujuan penting, sebagaimana disebutkan
pada Pasal 4, yaitu:
a. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari
penyalahgunaan Narkotika;
c. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah
Guna dan pecandu Narkotika.
Sesuai dengan ketentuan di atas maka diketahui bahwa salah satu tujuan
pemberlakukan UU Narkotika adalah untuk memberantas peredaran gelap
2
narkotika dan prekursor narkotika. Pemberantasan peredaran gelap narkotika
dilaksanakan secara menyeluruh untuk mencapai hasil yang diharapkan, agar
penanggulangan penyalahgunaan narkoba yang dilakukan dapat mencapai sasaran
yang diharapkan.
Institusi penegak hukum yang berada pada garda terdepan dalam pemberantasan
tindak pidana narkotika adalah Kepolisian, dan mengingat peredaran gelap
narkoba bersifat kompleks, maka diperlukan upaya penanggulangan secara
komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan
peran serta masyarakat yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan
konsisten. Penegakan hukum terhadap pelaku peredaran gelap narkotika oleh
Kepolisian memiliki peran yang besar dalam penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara untuk menjamin kepentingan mayoritas masyarakat atau
warga negara, terjaminnya kepastian hukum sehingga berbagai perilaku kriminal
dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan anggota masyarakat terhadap
masyarakat lainnya akan dapat dihindari. Penegakan hukum secara ideal akan
dapat mengantisipasi berbagai penyelewengan pada anggota masyarakat dan
merupakan kepastian bagi masyarakat dalam menaati dan melaksanakan hukum.
Eksistensi hukum memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan
bermasyarakat, karena hukum bukan hanya menjadi parameter untuk keadilan,
keteraturan, ketentraman dan ketertiban, tetapi juga untuk menjamin adanya
kepastian hukum. Pada tataran selanjutnya, hukum semakin diarahkan sebagai
sarana kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.
3
Pentingnya penegakan hukum tindak pidana narkotika oleh Kepolisian berkaitan
dengan tugas yang diemban Kepolisian yaitu menciptakan memelihara keamanan
dalam negeri dengan menyelenggaraan berbagai fungsi Kepolisian yang meliputi
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Mengingat bahwa
perdagangan gelap narkotika merupakan suatu perbuatan melanggar hukum maka
menjadi kewajiban Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui jajaran di
bawahnya untuk menekan tindak pidana narkotika.
Berdasarkan data pada Satuan Reserse Narkoba Polresta Bandar Lampung,
diketahui bahwa terjadi peningkatan tindak pidana narkotika selama 3 tahun
terakhir, sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Data Tindak Pidana Narkotika di Wilayah Hukum Polresta Bandar
Lampung Tahun 2015-2017
No Tahun Jumlah Tindak Pidana Jumlah Tersangka
1 2015 332 466
2 2015 256 354
3 2017 472 646
Jumlah 1.060 1.466
Sumber: Satuan Reserse Narkoba Polresta Bandar Lampung Tahun 2018
Terjadinya peningkatan tindak pidana narkotika dipengaruhi oleh letak strategis
Kota Bandar Lampung sebagai Ibu Kota Provinsi dan merupakan wilayah
perlintasan bagi masyarakat yang akan pergi dari Pulau Sumatera menuju Pulau
Jawa melalui jalur laut (Selat Sunda) atau sebaliknya. Oleh karena itu sehingga
4
diperlukan penegakan hukum yang tegas agar tindak pidana narkotika ini tidak
berdampak secara lebih luas pada masyarakat.
Tindak pidana narkoba telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan
menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih informasi yang
canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak
menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang
membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara. Seiring dengan
perkembangan zaman, kejahatan atau penyalahgunaan narkotika terus terjadi
karena dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, globalisasi dan derasnya arus
informasi. Selain itu adanya keinginan para pelaku untuk memperoleh keuntungan
yang besar dalam jangka waktu cepat dalam situasi ekonomi yang memburuk
seperti sekarang ini, diprediksikan akan mendorong perdagangan gelap narkotika
akan semakin marak.
Pada dasarnya narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat
di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat
merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan
pengawasan yang ketat dan saksama. Penyalahgunaan narkotika tentunya menjadi
keprihatinan dan perhatian semua pihak baik pemerintah, dan seluruh lapisan
masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mencari jalan penyelesaian yang
paling baik guna mengatasi permasalahan narkotika ini sehingga tidak sampai
merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
5
Berkaitan dengan tindak pidana narkotika maka Kepolisian melaksanakan
perannya di bidang penegakan hukum melalui serangkaian prosedur dalam
mengungkapkan kasus melalui tahapan penyelidikan dan penyidikan. Satuan
Reserse Narkoba Polresta Bandar Lampung dituntut untuk melaksanakan strategi
penyelidikan yang tepat dalam rangka mengungkap tindak pidana narkoba.
Pentingnya penggunaan strategi yang tepat ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa sindikat ini termasuk kelompok yang berani melawan petugas yang
dianggap menghalang-halangi kejahatan yang mereka lakukan. Sehubungan
dengan hal tersebut maka diperlukan Standar Operasional Prosedur dalam
penyelidikan tindak pidana narkoba sebagai acuan bagi penyidik dalam
membongkar jaringan narkoba.
Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Bareskrim Mabes Polri) telah memberlakukan Standar Operasional Prosedur
Penyelidikan, yang di antaranya mengatur tentang tindakan surveillance, yaitu
kegiatan pembuntutan secara sistematis terhadap orang, tempat dan benda.
Biasanya pembuntutan dilakukan terhadap orang, sedangkan survelance terhadap
tempat atau benda dilakukan karena ada hubungannya dengan orang yang diamati
/orang tertentu. Kegiatan ini dilaksanakan ekstra hati-hati mengingat potensi
perlawanan pelaku tindak pidana narkoba yang dapat terjadi kapan saja dan di
mana saja terhadap petugas yang melakukan pembuntutan tersebut.
Perencanaan pembuntutan (surveillance) perlu memperhitungkan dan
mempertimbangkan tentang kemungkinan yang dapat menimbulkan hal-hal yang
tak terduga dan resiko-resiko yang akan dihadapi, antara lain tentang informasi
6
yang telah diterima dan telah tersedia, tujuan surveillance yang akan dicapai,
perkiraan tentang kemungkinan yang akan dihadapi, cara bertindak yang
diperlukan serta pemilihan dan penentuan personil dan sarana yang diperlukan.
Persyaratan-persyaratan yang perlu dipenuhi petugas untuk melakukan
surveillance antara lain: bertubuh sedang/biasa, tidak memiliki
kelainan/keistimewaan bentuk badan dan wajah, tidak mempunyai tanda khusus/
cacat diri, dapat cepat menyesuaikan diti dan serasi dengan tempat /lingkungan
dan keadaan sekelilingnya, misalnya menguasai bahasa, paham adat kebiasaan,
cara berpakaian, penampilan serta menguasai tehnik dan taktik penyelidikan.
Demikian pula halnya dengan pelaksanaan Standar Operasional Prosedur
Surveillance dalam penyelidikan tindak pidana narkotika oleh Satuan Reserse
Narkoba (Satresnarkoba) Polresta Bandar Lampung yang bertujuan untuk
menekan tindak pidana narkotika di Kota Bandar Lampung. Satresnarkoba
merupakan satuan dari unsur pelaksana tugas pokok pada Polresta Bandar
Lampung yang bertugas melaksanakan pembinaan fungsi penyelidikan,
penyidikan, pengawasan penyidikan tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkoba berikut prekursornya, serta pembinaan dan penyuluhan dalam
rangka pencegahan dan rehabilitasi korban penyalahgunaan Narkoba.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis akan melaksanakan penelitian
dalam rangka penyusunan skripsi dengan judul: “Implementasi Standar
Operasional Prosedur Surveillance dalam Penyelidikan Tindak Pidana Narkotika
oleh Satuan Reserse Narkoba Polresta Bandar Lampung”
7
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan penelitian ini adalah:
a. Bagaimanakah implementasi standar operasional prosedur surveillance dalam
penyelidikan tindak pidana narkotika oleh Satuan Reserse Narkoba Polresta
Bandar Lampung?
b. Bagaimanakah efektivitas surveillance dalam penyelidikan tindak pidana
narkotika oleh Satuan Reserse Narkoba Polresta Bandar Lampung?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah kajian ilmu hukum pidana, dengan kajian
tentang implementasi standar operasional prosedur surveillance dalam
penyelidikan tindak pidana narkotika oleh Satuan Reserse Narkoba Polresta
Bandar Lampung. Ruang lingkup lokasi penelitian adalah pada Satuan Reserse
Narkoba Polresta Bandar Lampung dan ruang lingkup waktu penelitian adalah
pada tahun 2018.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui implementasi standar operasional prosedur surveillance
dalam penyelidikan tindak pidana narkotika oleh Satuan Reserse Narkoba
Polresta Bandar Lampung
b. Untuk mengetahui efektivitas surveillance dalam penyelidikan tindak pidana
narkotika oleh Satuan Reserse Narkoba Polresta Bandar Lampung
8
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan kajian
hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan implementasi standar
operasional prosedur surveillance dalam penyelidikan tindak pidana narkotika
oleh Satuan Reserse Narkoba Polresta Bandar Lampung.
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara positif bagi pihak
kepolisian dalam melaksanakan peranannya sebagai aparat penegak hukum
menghadapi perkembangan tindak pidana yang semakin kompleks dewasa ini.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar
yang relevan untuk pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya penelitian
hukum.1 Berdasarkan definisi tersebut maka kerangka teoritis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
a. Teori Implementasi
Teori implementasi menurut Mazmanian dan Sebastiar sebagaiman dikutip
Wahab, implementasi adalah pelaksanaan keputusan, kebijakan dasar, biasa dalam
bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau
keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Kebijakan
1 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.103
9
dalam hal ini merupakan suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang
diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu
sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang
untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.2
Sesuai dengan pengertian di atas maka implementasi terdiri dari adanya program
yang dilaksanakan, adanya kelompok masyarakat yang menjadi sasaran, dan
diharapkan dapat menerima manfaat dari program tersebut, perubahan atau
peningkatan dan adanya unsur pelaksana baik organisasi atau perorangan, yang
bertanggungjawab dalam pengelolaan, pelaksanaan, dan pengawasan dari proses
implementasi tersebut. Implementasi merupakan tindakan oleh individu, pejabat,
kelompok badan pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-
tujuan yang telah digariskan dalam suatu keputusan tertentu. Badan-badan
tersebut melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pemerintah yang membawa dampak
pada warganegaranya. Namun dalam praktinya badan-badan pemerintah sering
menghadapi pekerjaan-pekerjaan di bawah mandat dari undang-undang, sehingga
membuat mereka menjadi tidak jelas untuk memutuskan apa yang seharusnya
dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan.
b. Teori Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah upaya aparat penegak hukum untuk menjamin kepastian
hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi
saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu
menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang
2 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi Ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 2004. hlm. 76.
10
didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai proses
kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka
pencapaian tujuan, adalah keharusan melihat penegakan hukum pidana sebagai
sistem peradilan pidana3
Penegakan hukum pidana sebagai pelaksanaan dari politik hukum pidana harus
melalui beberapa tahap kebijakan yaitu:
1. Tahap Formulasi
Yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat
Undang-Undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan
kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini
dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan
perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil Perundang-undangan yang
paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini
disebut Tahap Kebijakan Legislatif.
2. Tahap Aplikasi
Yaitu tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana). Oleh
aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan.
Aparat penegak hukum dalam tahap ini bertugas menegakkan serta
menerapkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh
pembuat Undang-Undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak
hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap
ini dapat dapat disebut sebagai tahap yudikatif.
3. Tahap Eksekusi
Yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) Hukum secara konkret oleh aparat-
aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana
bertugas menegakkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah
dibuat oleh pembuat Undang-Undang melalui Penerapan Pidana yang telah
ditetapkan dalam putusan Pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang
telah ditetapkan dalam Putusan Pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu
dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada Peraturan
Perundang-undangan Pidana yang dibuat oleh pembuat Undang-Undang dan
nilai-nilai keadilan suatu daya guna.4
Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan
hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila
3 Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan
Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta,1994,
hlm.76. 4 Badra Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.
2002. hlm. 12-13.
11
berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan
dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di
dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai
pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan
untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana.
c. Teori Efektivitas Hukum
Menurut Hans Kelsen, Efektivitas hukum berkaitan dengan validitas hukum yaitu
norma-norma hukum itu mengikat, bahwa orang harus berbuat sesuai dengan yang
diharuskan oleh norma-norma hukum., bahwa orang harus mematuhi dan
menerapkan norma-norma hukum. Efektivitas hukum berarti bahwa orang benar-
benar berbuat sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus
berbuat, bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi.5
Efektivitas hukum dalam tindakan atau realita hukum dapat diketahui apabila
seseorang menyatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal mencapai
tujuanya, maka hal itu biasanya diketahui apakah pengaruhnya berhasil mengatur
sikap tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai dengan tujuannya atau tidak.
Efektivitas hukum artinya efektivitas hukum akan disoroti dari tujuan yang ingin
dicapai, yakni efektivitas hukum. Salah satu upaya yang biasanya dilakukan agar
supaya masyarakat mematuhi kaidah hukum adalah dengan mencantumkan
sanksi-sanksinya. Sanksi-sanksi tersebut bisa berupa sanksi negatif atau sanksi
5 Jimly Asshiddiqie dan M. Aly Syafaat. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Konstitusi Press.
Jakarta. 2012.hlm. 11.
12
positif, yang maksudnya adalah menimbulkan rangsangan agar manusia tidak
melakukan tindakan tercela atau melakukan tindakan yang terpuji.6
Efektivitas berfungsinya hukum dalam masyarakat, erat kaitannya dengan
kesadaran hukum dari warga masyarakat itu sendiri. Ide tentang kesadaran warga
masyarakat sebagai dasar sahnya hukum positif tertulis yang dapat ketahui dari
ajaran tentang Rechysgeful atau Rechtsbewustzijn, di mana intinya adalah tidak
ada hukum yang mengikat warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukum.
Hal tersebut merupakan suatu aspek dari kesadaran hukum, aspek lainnya adalah
bahwa kesadaran hukum sering kali di kaitkan dengan penataan hukum,
pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Aspek ini erat kaitannya dengan
anggapan bahwa hukum itu tumbuh bersama dengan tumbuhnya masyarakat, dan
menjadi kuat bersamaan dengan kuatnya masyarakat, dan akhirnya berangsur-
angsur lenyap manakala suatu bangsa kehilangan kepribadian nasionalnya.7
Wiliam J. Chambliss dalam Soerjono Soekanto, membahas masalah pokok
mengenai hukuman. Tujuannya adalah memperlihatkan sampai sejauh manakah
sanksi-sanksi tersebut akan dapat membatasi terjadinya kejahatan. Pembahasan
masalah hukum, Roescoe Pound sebagaimana di kutip dalam Otje Salman,
sebagai salah satu tokoh dari aliran Sociological Jurisprudence, pokok pikirannya
berkisar pada tema bahwa hukum bukanlah suatu keadaan yang statis melainkan
suatu proses, suatu pembentukan hukum. Efektivitas hukum, menjadi relevan
memanfaatkan teori aksi (action theory), dengan karakteristik sebagai berikut:
6 Ibid. hlm. 12.
7 Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.
hlm.11.
13
1) Adanya individu sebagai aktor
2) Aktor dipandang sebagai pemburu tujuan-tujuan
3) Aktor memilih cara, alat dan teknik untuk mencapai tujuan
4) Aktor berhubungan dengan sejumlah kondisi-kondisi situasional yang
membatasi tindakan dalam mencapai tujuan. Kendala tersebut ber upa situasi
dan kondisi sebagian ada yang tidak dapat kendalikan oleh individu.
5) Aktor berada di bawah kendala, norma-norma dan berbagai ide abstrak yang
mempengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan.8
Efektivitas berfungsinya hukum dalam masyarakat, erat kaitannya dengan
kesadaran hukum dari warga masyarakat itu sendiri. Kesadaran masyarakat
merupakan dasar sahnya hukum positif dan tidak ada hukum yang mengikat
masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukum. Hal tersebut merupakan aspek
dari kesadaran hukum, aspek lainnya adalah bahwa kesadaran hukum sering kali
di kaitkan dengan penataan hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum.
2. Konseptual
Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan
dalam melaksanakan penelitian.9 Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan
pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Implementasi adalah pelaksanaan rencana kegiatan dalam rangka mencapai
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.10
b. Standar operasional prosedur adalah pedoman penyelidikan terhadap tindak
pidana yang diberlakukan oleh Badan Reserse Kriminal Markas Besar
Kepolisian Negara Republik Indonesia.11
8 Soerjono Soekanto. Effectiveness of Legal Sanction dalam Wisconsun Law Review Nomor 703,
1967. hlm.3. 9 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.103
10 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Penerbit Balai Pustaka. Jakarta. 2002. hlm. 251
11 Standar Operasional Prosedur Penyelidikan Tindak Pidana. Badan Reserse Kriminal Markas
Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Tahun 2012.
14
c. Surveillance menurut Standar Operasional Prosedur Penyelidikan adalah
kegiatan pembuntutan secara sistematis terhadap orang, tempat dan benda.
Biasanya pembuntutan dilakukan terhadap orang, sedangkan survelance
terhadap tempat atau benda dilakukan karena ada hubungannya dengan orang
yang diamati /orang tertentu.12
d. Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga
polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 Ayat 1 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia). Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 2).
e. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu
bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.13
f. Narkotika menurut Pasal 1 Angka (1) UU Narkotika adalah zat atau obat yang
berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis,
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan.
12
Ibid 13
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara,
Jakarta. 1993. hlm. 46.
15
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
I PENDAHULUAN
Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang,
Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian,
Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.
II TINJAUAN PUSTAKA
Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan
dengan penyusunan skripsi dan diambil dari berbagai referensi atau bahan
pustaka yang berkaitan dengan implementasi standar operasional prosedur
surveillance dalam penyelidikan tindak pidana narkotika.
III METODE PENELITIAN
Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan
Masalah, Sumber Data, Penentuan Narasumber, Prosedur Pengumpulan
dan Pengolahan Data serta Analisis Data.
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi penyajian hasil penelitian dan pembahasan mengenai implementasi
standar operasional prosedur surveillance dalam penyelidikan tindak
pidana narkotika dan efektivitas surveillance dalam penyelidikan tindak
pidana narkotika oleh Satuan Reserse Narkoba Polresta Bandar Lampung.
V PENUTUP
Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan
pembahasan penelitian dan saran yang ditujukan kepada pihak-pihak yang
terkait dengan penelitian demi perbaikan di masa yang akan datang.
16
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Implementasi
Implementasi adalah proses umum tindakan yang dapat diteliti pada tingkat
program tertentu dan sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta
baik secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai
tujuan. Proses implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah
ditetapkan, program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan telah
disalurkan untuk mencapai sasaran.14
Implementasi adalah upaya memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu
program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian
implementasi kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang
timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang
mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk
menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atas berbagai kejadian dalam
kehidupan. 15
Teori implementasi menurut Mazmanian dan Sebastiar sebagaiman dikutip
Wahab, implementasi adalah pelaksanaan keputusan, kebijakan dasar, biasa dalam
14
Solichin Abdul Wahab, Op.Cit, Bumi Aksara, Jakarta, 2004. hlm. 76. 15
Fadillah Putra. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
2011. hlm. 87.
17
bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau
keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Kebijakan
dalam hal ini merupakan suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang
diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu
sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang
untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.16
Sesuai dengan pengertian di atas maka implementasi terdiri dari adanya program
yang dilaksanakan, adanya kelompok masyarakat yang menjadi sasaran, dan
diharapkan dapat menerima manfaat dari program tersebut, perubahan atau
peningkatan dan adanya unsur pelaksana baik organisasi atau perorangan, yang
bertanggungjawab dalam pengelolaan, pelaksanaan, dan pengawasan dari proses
implementasi tersebut.
Implementasi merupakan tindakan oleh individu, pejabat, kelompok badan
pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah
digariskan dalam suatu keputusan tertentu. Badan-badan tersebut melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan pemerintah yang membawa dampak pada warganegaranya.
Namun dalam praktinya badan-badan pemerintah sering menghadapi pekerjaan-
pekerjaan di bawah mandat dari undang-undang, sehingga membuat mereka
menjadi tidak jelas untuk memutuskan apa yang seharusnya dilakukan dan apa
yang seharusnya tidak dilakukan.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka implementasi yang dimaksud
dalam penelitian ini merupakan proses untuk memastikan terlaksananya suatu
16
Ibid, hlm. 68.
18
program dan tercapainya program tersebut. Impelementasi juga dimaksudkan
menyediakan sarana untuk membuat sesuatu dan memberikan hasil yang
bermanfaat bagi penerimanya.
B. Pengertian Standar Operasional Prosedur
Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah dokumen yang berkaitan dengan
prosedur yang dilakukan secara kronologis untuk menyelesaikan suatu pekerjaan
yang bertujuan untuk memperoleh hasil kerja yang paling efektif dan efesien. SOP
disusun untuk memudahkan, merapihkan dan menertibkan pekerjaan. Sistem ini
berisi urutan proses melakukan pekerjaan dari awal sampai akhir.17
Pengertian lain tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah sistem yang
disusun untuk memudahkan, merapikan,dan menertibkan pekerjaan. sistem ini
merupakan suatu proses yang berurutan untuk melakukan pekerjaan dari awal
sampai akhir. SOP berisi prosedur-prosedur operasional standar yang ada di dalam
suatu organisasi yang digunakan untuk memastikan bahwa semua keputusan dan
tindakan, serta penggunaan fasilitas-fasilitas proses yang dilakukan oleh orang-
orang di dalam organisasi yang merupakan anggota organisasi agar berjalan
efektif dan efisien, konsisten, standar dan sistematis.18
Standar Operasional Prosedur (SOP) sebagai panduan yang digunakan untuk
memastikan kegiatan operasional organisasi berjalan dengan lancar. SOP berisi
urutan langkah-langkah atau pelaksanaan-pelaksanaan pekerjaan, di mana
pekerjaan tersebut dilakukan, berhubungan dengan apa yang dilakukan,
17
Fuad Laksmi dan Budiantoro. Manajemen Perkantoran Modern. Penerbit Pernaka, Jakarta,
2008. hlm. 28 18
Malayu S.P. Hasibuan, Organisasi dan Manajemen.Rajawali Press, 2012. hlm. 76
19
bagaimana melakukannya, bilamana melakukannya, di mana melakukannya, dan
siapa yang melakukannya.
Tujuan Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah sebagai berikut:
1) Untuk menjaga konsistensi tingkat penampilan kinerja atau kondisi tertentu
dan kemana petugas dan lingkungan dalam melaksanakan sesuatu tugas atau
pekerjaan tertentu
2) Sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan tertentu bagi sesama pekerja, dan
supervisor
3) Untuk menghindari kegagalan atau kesalahan (dengan demikian menghindari
dan mengurangi konflik), keraguan, duplikasi serta pemborosan dalam proses
pelaksanaan kegiatan.
4) Merupakan parameter untuk menilai mutu pelayanan.
5) Untuk lebih menjamin penggunaan tenaga dan sumber daya secara efisien dan
efektif.
6) Untuk menjelaskan alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari petugas
yang terkait.
7) Sebagai dokumen yang akan menjelaskan dan menilai pelaksanaan proses
kerja bila terjadi suatu kesalahan atau dugaan mal praktek dan kesalahan
administratif lainnya, sehingga sifatnya melindungi rumah sakit dan petugas.
8) Sebagai dokumen yang digunakan untuk pelatihan.
9) Sebagai dokumen sejarah bila telah di buat revisi SOP yang baru.19
Standar Operasional Prosedur (SOP) disebut juga sebagai prosedur tetap (protap)
adalah penetapan tertulis mengenai apa yang harus dilakukan, kapan, di mana dan
oleh siapa dan dibuat untuk menghindari terjadinya variasi dalam proses
pelaksanaan kegiatan oleh pegawai yang akan mengganggu kinerja organisasi)
secara keseluruhan. Adapun fungsi SOP adalah sebagai berikut:
1) Memperlancar tugas petugas/pegawai atau tim/unit kerja.
2) Sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan.
3) Mengetahui dengan jelas hambatan-hambatannya dan mudah dilacak.
4) Mengarahkan petugas/pegawai untuk sama-sama disiplin dalam bekerja.
5) Sebagai pedoman dalam melaksanakan pekerjaan rutin. 20
19
Fuad Laksmi dan Budiantoro. Op.Cit. hlm. 30 20
Ibid. hlm. 31
20
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat dinyatakan bahwa Standar
Operasional Prosedur (SOP) merupakan suatu pedoman atau acuan untuk
melaksanakan tugas pekerjaan sesuai denga fungsi dan alat penilaian kinerja
instansi pemerintah berdasarkan indikator-indikator teknis, administratif dan
prosedural sesuai tata kerja, prosedur kerja dan sistem kerja pada unit kerja yang
bersangkutan. SOP yang baik adalah yang mampu menjadikan arus kerja yang
lebih baik, menjadi panduan, penghematan biaya, memudahkan pengawasan, dan
koordinasi yang baik antara bagian-bagian yang berlainan dalam organisasi.
C. Penyelidikan dan Penyidikan
Penyelidikan menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah serangkaian
tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Sesuai dengan pengertian tersebut terlihat bahwa penyelidikan merupakan
tindakan tahap pertama permulaan penyidikan, namun pada tahap penyelidikan
penekanan diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan” suatu “peristiwa”
yang dianggap atau diduga sebagai suatu tindak pidana. Dapat disimpulkan bahwa
sebenarnya penyelidikan itu adalah penentuan suatu perbuatan dapat dikatakan
suatu tindak pidana atau tidak. Ketika suatu perbuatan tersebut dianggap sebagai
suatu tindak pidana, baru dapat dilakukan proses penyidikan.21
21
Sutarto. Menuju Profesionalisme Kinerja Kepolisian. PTIK. Jakarta. 2002. hlm.73
21
Penjelasan mengenai siapa yang melakukan penyelidikan tersebut dijelaskan pada
butir 4, Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan, maka tampak
jelas bahwa penyelidikan mutlak merupakan wewenang pihak Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Penyelidik yang karena kewajibannya mempunyai wewenang untuk menerima
laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; mencari
keterangan dan barang bukti; menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan
menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; dan mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggung jawab.22
Beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar penyelidikan tersebut dapat berjalan
secara efektif. Kriteria tersebut terdiri dari fisik, mental dan kemampuan.23
Secara
fisik anggota Polri dalam melakukan penyelidikan harus memiliki badan yang
sehat jasmani dan rohani, memiliki daya tahan yang kuat, mobilitas tinggi, dan
cekatan. Secara mental seorang anggota Polri untuk dapat melakukan
penyelidikan yang baik harus memiliki disiplin, motivasi, dan dedikasi yang
tinggi, memiliki kesetiaan dan kejujuran, percaya diri, dapat memegang teguh
rahasia, rajin, tekun, dan ulet, memiliki keberanian dan ketabahan dalam
menghadapi resiko, cermat, teliti, dan tanggap dalam menilai keadaan/situasi,
serta penuh inisiatif dan pandai menyesuaikan diri dengan keadaan yang
berkembang atau terjadi dalam kehidupan masyarakat.
22
Thomas Hutasoit dkk, Menjadi Polisi Yang Dipercaya Rakyat, Gema Insani, Jakarta, 2004.
hlm. 54 23
Ibid. hlm. 55
22
Secara Kemampuan, anggota Polri antara lain harus mampu melakukan teknik dan
taktik penyelidikan, menguasai KUHAP, KUHP, dan peraturan perundang-
undangan lainnya, memiliki pengetahuan umum yang luas, dapat mengetahui
situasi dan karakteristik lingkungan dan sasaran penyelidikan, memiliki
kemampuan bela diri dan kemampuan menggunakan senjata, mampu
menggunakan peralatan yang menjadi kelengkapan tugasnya, mampu beradaptasi,
memahami kasus yang ditangani, mengetahui motif dan latar belakang
peneyelidikan, serta mampu membuat perkiraan sementara tentang informasi yang
didapat tanpa memberikan sugesti. Oleh karena itulah dapat dikatakan untuk dapat
melakukan suatu penyelidikan yang efektif tidaklah mudah.
Anggota Polri dalam melakukan penyelidikan diharapkan dapat membina jaringan
informasi yaitu jaringan yang dibentuk oleh penyelidik yang terdiri dari orang-
orang tertentu yang dapat dipercaya untuk dapat mencari, mengumpulkan, dan
memberikan informasi/data tentang segala sesuatu yang diinginkan penyelidik.
Dalam melakukan penyelidikan, penyelidik juga harus dapat memilih teknik,
taktik dan cara yang tepat guna mencapai keberhasilan pelaksanaan tugas.
Beberapa teknik penyelidikan yang dikenal secara umum adalah: 1) pengamatan/
observasi; 2) wawancara/interview; 3) pembuntutan/surveillance; 4) penyamaran/
Undercover. Sasaran dari penyelidikan tersebut dapat berupa orang, benda/barang,
tempat serta kejadian atau peristiwa. Untuk itulah penulis mengatakan bahwa
melakukan penyelidikan juga tidak murah dalam hal pembiayaan.24
24
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan
Penuntutan. Sinar Grafika Jakarta. 2006. hlm.101
23
Tugas polisi dalam rangka sistem peradilan pidana yang utama adalah sebagai
penyidik tercantum dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Sebagai petugas penyidik, polisi bertugas untuk menanggulangi pelanggaran
ketentuan peraturan pidana, baik yang tercantum dalam maupun di luar ketentuan
KUHP. Inilah antara lain tugas polisi sebagai alat negara penegak hukum.
Ketentuan tentang pengertian penyidikan tercantum dalam Pasal 1 butir (2)
KUHAP bahwa: “penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”
Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Ayat (1) KUHAP bahwa penyidik adalah pejabat
polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Tujuan penyidikan secara konkrit
dapat diperinci sebagai tindakan penyidik untuk mendapatkan keterangan tentang:
a. Tindak pidana apa yang dilakukan.
b. Kapan tindak pidana dilakukan.
c. Dengan apa tindak pidana dilakukan.
d. Bagaimana tindak pidana dilakukan.
e. Mengapa tindak pidana dilakukan.
f. Siapa pembuatnya atau yang melakukan tindak pidana tersebut25
Penyidikan ini dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti
yang pada tahap pertama harus dapat memberikan keyakinan, walaupun sifatnya
masih sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi
atau tentang tindak pidana yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya. Apabila
25
Abdussalam, H. R. Hukum Kepolisian Sebagai Hukum Positif dalam Disiplin Hukum.
Restu Agung, Jakarta. 2009. hlm. 86.
24
berdasarkan keyakinan tersebut penuntut umum berpendapat cukup adanya alasan
untuk mengajukan tersangka kedepan sidang pengadilan untuk segera
disidangkan. Di sini dapat terlihat bahwa penyidikan suatu pekerjaan yang
dilakukan untuk membuat terang suatu perkara, yang selanjutnya dapat dipakai
oleh penuntut umum sebagai dasar untuk mengajukan tersangka beserta bukti-
bukti yang ada kedepan persidangan. Bila diperhatikan pekerjaan ini mempunyai
segi-segi yuridis, oleh karena keseluruhan pekerjaan ini ditujukan pada pekerjaan
disidang pengadilan. Penyidikan dilakukan untuk kepentingan peradilan,
khususnya untuk kepentingan penuntutan, yaitu untuk menentukan dapat tidaknya
suatu tindakan atau perbuatan dilakukan penuntutan.
Hal menyelidik dan hal menyidik secara bersama-sama termasuk tugas kepolisian
yustisiil, akan tetapi ditinjau pejabatnya maka kedua tugas tersebut merupakan
dua jabatan yang berbeda-beda, karena jika tugas menyelidik diserahkan hanya
kepada pejabat polisi negara, maka hal menyidik selain kepada pejabat tersebut
juga kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu. Pengertian mulai melakukan
penyidikan adalah jika dalam kegiatan penyidikan tersebut sudah dilakukan upaya
paksa dari penyidik, seperti pemanggilan pro yustisia, penangkapan, penahanan,
pemeriksaan, penyitaan dan sebagainya.
Persangkaan atau pengetahuan adanya tindak pidana dapat diperoleh dari empat
kemungkinan, yaitu:
a. Kedapatan tertangkap tangan.
b. Karena adanya laporan.
c. Karena adanya pengaduan.
d. Diketahui sendiri oleh penyidik26
26
Sutarto. Menuju Profesionalisme Kinerja Kepolisian. PTIK. Jakarta. 2002. hlm.73
25
Penyidikan menurut Moeljatno dilakukan setelah dilakukannnya penyelidikan,
sehingga penyidikan tersebut mempunyai landasan atau dasar untuk
melakukannya. Dengan kata lain penyidikan dilakukan bukan atas praduga
terhadap seseorang menurut penyidik bahwa ia bersalah. Penyidikan dilaksanakan
bukan sekedar didasarkan pada dugaan belaka, tetapi suatu asas dipergunakan
adalah bahwa penyidikan bertujuan untuk membuat suatu perkara menjadi terang
dengan menghimpun pembuktian mengenai terjadinya suatu perkara pidana.
Penyidikan dilakukan bila telah cukup petunjuk-petunjuk bahwa seorang atau para
tersangka telah melakukan peristiwa yang dapat dihukum. 27
Penyidikan memerlukan beberapa upaya agar pengungkapan perkara dapat
diperoleh secara cepat dan tepat. Upaya–upaya penyidikan tersebut mulai dari
surat panggilan, penggeledahan, hingga penangkapan dan penyitaan. Dalam hal
penyidik telah mulai melakukan penyidikan sesuatu peristiwa yang merupakan
tindak pidana, penyidik membertahukan hal itu kepada Penuntut Umum (sehari-
hari dikenal dengan SPDP atau Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) hal
ini sesuai dengan KUHAP Pasal 109 Ayat (1). Setelah bukti-bukti dikumpulkan
dan yang diduga tersangka telah ditemukan maka penyidik menilai dengan
cermat, apakah cukup bukti untuk dilimpahkan kepada Penuntut Umum
(kejaksaan) atau ternyata bukan tindak pidana. Jika penyidik berpendapat bahwa
peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana maka penyidikan dihentikan
demi hukum. Pemberhentian penyidikan ini dibertahukan kepada Penuntut Umum
dan kepada tersangka atau keluarganya.
27
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara,
Jakarta. 1993. hlm.105
26
Berdasarkan pemberhentian penyidikan tersebut, jika Penuntut Umum atau pihak
ketiga yang berkepentingan, dapat mengajukan praperadilan kepada Pengadilan
Negeri yang akan memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan.
Jika Pengadilan Negeri sependapat dengan penyidik maka penghentian
penyidikan sah, tetapi jika Pengadilan Negeri tidak sependapat dengan
penyidikan, maka penyidikan wajib dilanjutkan. Setelah selesai penyidikan,
berkas diserahkan pada penuntut Umum (KUHAP Pasal 8 Ayat (2)). Penyerahan
ini dilakukan dua tahap:
(1). Tahap pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas perkara.
(2). Dalam hal penyidik sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung
jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum.
Apabila pada penyerahan tahap pertama, Penuntut Umum berpendapat bahwa
berkas kurang lengkap maka ia dapat mengembalikan berkas perkara kepada
penyidik untuk dilengkapi disertai petunjuk dan yang kedua melengkapi sendiri.
Menurut sistem KUHAP, penyidikan selesai atau dianggap selesai dalam hal:
(a).Dalam batas waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas
perkara, atau apabila sebelum berakhirnya batas waktu tersebut penuntut
umum memberitahukan pada penyidik bahwa hasil penyidikan sudah lengkap.
(b).Sesuai dengan ketentuan Pasal 110 Ayat (4) KUHAP Jo Pasal 8 Ayat (3)
huruf (b), dengan penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti
dari penyidik kepada penuntut umum.
(c). Dalam hal penyidikan dihentikan sesuai dengan ketentuan Pasal 109 Ayat (2),
yakni karena tidak terdapatnya cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan
merupakan suatu tindak pidana, atau penyidikan dihentikan demi hukum.
27
Selesainya penyidikan dalam artian ini adalah bersifat sementara, karena bila
disuatu saat ditemukan bukti-bukti baru, maka penyidikan yang telah dihentikan
harus dibuka kembali. Pembukaan kembali penyidikan yang telah dihentikan itu,
dapat pula terjadalam putusan praperadilan menyatakan bahwa penghentian
penyidikan itu tidak sah dan memerintahkan penyidik untuk menyidik kembali
peristiwa itu. Berdasarkan Pasal 110 Ayat (4) KUHAP, jika dalam waktu 14 hari
Penuntut Umum tidak mengembalikan berkas (hasil penyidikan) maka penyidikan
dianggap telah selesai.
Tugas utama penyidik sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat
(2) KUHAP, maka untuk tugas utama tersebut penyidik diberi kewenangan
sebagaimana diatur oleh Pasal 7 KUHAP untuk melaksanakan kewajibannya,
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana, penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf (a)
karena kewajibannya mempunyai wewenang:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana.
b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian.
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka.
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
h. Mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara.
i. Mengadakan penghentian penyidikan.
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pokok Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 14 Ayat (1) huruf (g) menyatakan bahwa
28
wewenang penyidik adalah melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 pada Pasal 15 Ayat (1),
menyatakan bahwa wewenang penyidik adalah:
1). Menerima laporan atau pengaduan.
2). Melakukan tindakan pertama pada tempat kejadian.
3). Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang.
4). Menerima dan menyimpan barang temuan sementara waktu.
D. Penegakan Hukum Pidana
Penegakan hukum pidana menurut Badra Nawawi Arief adalah: (a) keseluruhan
rangkaian kegiatan penyelenggara/pemeliharaan keseimbangan hak dan kewajiban
warga masyarakat sesuai harkat dan martabat manusia serta pertanggungjawaban
masing-masing sesuai dengan fungsinya secara adil dan merata, dengan aturan
hukum dan peraturan hukum dan perundang-undangan yang merupakan
perwujudan Pancasilan dan Undang-Undang Dasar 1945; (b) keseluruhan
kegiatan dari para pelaksana penegak hukum ke arah tegaknya hukum, keadilan
dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman
dan kepastian hukum sesuai dengan UUD 1945.28
Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya
guna (utility) bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga
mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan.
28
Badra Nawawi Arif, Op. Cit., 2008. hlm.25
29
Kendatipun demikian tidak dapat kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna
(secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan
adil (secara filosofis), belum tentu berguna bagi masyarakat.
Masyarakat dalam kondisi yang demikian ini, menginginkan adanya suatu
kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang dapat mengisi kekosongan
hukum tanpa menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak. Kenyataan sosial
seperti ini memaksa pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis
dan pragmatis, mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan
tuntutan masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga melahirkan peraturan-
peraturan yang bersifat tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan lama.
Akibatnya kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam
masyarakat.29
Mekanisme dan prosedur untuk menentukan prioritas revisi atau
pembentukan undang-undang baru, masyarakat harus mengetahui sedini mungkin
dan tidak memancing adanya resistensi dari masyarakat, maka setidak-tidaknya
dilakukan dua macam pendekatan yaitu pendekatan sistem dan pendekatan
kultural politis.30
Melalui pendekatan sistem prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru,
harus dilihat secara konstekstual dan konseptual yang bertalian erat dengan
dimensi-dimensi geopolitik, ekopolitik, demopolitik, sosiopolitik dan kratopolitik.
Dengan kata lain politik hukum tidak berdiri sendiri, lepas dari dimensi politik
lainnya, apalagi jika hukum diharapkan mampu berperan sebagai sarana rekayasa
sosial. Kepicikan pandangan yang hanya melihat hukum sebagai alat pengatur dan
29
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung, 1996, hlm. 32. 30
Ibid, hlm. 33.
30
penertib saja, tanpa menyadari keserasian hubungannya dengan dimensi-dimensi
lain, akan melahirkan produk dan konsep yang kaku tanpa cakrawala wawasan
dan pandangan sistemik yang lebih luas dalam menerjemahkan perasaan keadilan
hukum masyarakat.31
Substansi undang-undang sebaiknya disusun secara taat asas, harmoni dan sinkron
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Untuk itu harus dilakukan dengan mengabstraksikan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 kemudian
menderivasi, yakni menurunkan sejumlah asas-asas untuk dijadikan landasan
pembentukan undang-undang. Semua peraturan-peraturan hukum yang
dikeluarkan secara sektoral oleh departemen-departemen yang bersangkutan harus
serasi dan sinkron dengan ketentuan undang-undang.32
Hal yang perlu dipahami bahwa banyak peraturan undang-undang sering tidak
berpijak pada dasar moral yang dikukuhi rakyat, bahkan sering bertentangan. Pada
taraf dan situasi seperti ini, kesadaran moral warga masyarakat tentu saja tidak
akan lagi selalu sama dan sebangun dengan kesadaran hukum rakyat. Hukum
yang dikembangkan dari cita pembaharuan dan pembangunan negara-negara
nasional pun karenanya akan memerlukan dasar legitimasi lain, yang tak
selamanya dipungut begitu saja dari legitimasi moral rakyat yang telah ada selama
ini. Hukum-hukum ekonomi, lalu lintas dan tata kota yang mendasarkan diri
31
M. Solly Lubis, Serba-serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung 1989, hlm. 48. 32
Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan
Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta,1994,
hlm.76.
31
maksud-maksud pragmatis jelaslah kalau terlepas dari kesadaran moral
tradisional.33
Keadilan dalam pelaksanaan penegakan hukum, harus diperhatikan, namun
hukum itu tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat
setiap orang, bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum
tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat
subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan. Adil bagi seseorang belum
tentu dirasakan adil bagi orang lain. 34
Aristoteles dalam buah pikirannya “Ethica Nicomacea” dan “Rhetorica”
mengatakan, hukum mempunyai tugas yang suci, yakni memberikan pada setiap
orang apa yang berhak ia terima. Anggapan ini berdasarkan etika dan berpendapat
bahwa hukum bertugas hanya membuat adanya keadilan saja (Ethische theorie).
Tetapi anggapan semacam ini tidak mudah dipraktekkan, maklum tidak mungkin
orang membuat peraturan hukum sendiri bagi tiap-tiap manusia, sebab apabila itu
dilakukan maka tentu tak akan habis-habisnya. Sebab itu pula hukum harus
membuat peraturan umum, kaedah hukum tidak diadakan untuk menyelesaikan
suatu perkara tertentu. Kaedah hukum tidak menyebut suatu nama seseorang
tertentu, kaedah hukum hanya membuat suatu kualifikasi tertentu. Kualifikasi
tertentu itu sesuatu yang abstrak. Pertimbangan tentang hal-hal yang konkrit
diserahkan pada hakim.35
33
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Cetakan
Pertama, ELSAM, Jakarta, 2002, hlm. 380. 34
Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1993, hlm. 2. 35
E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1962, hlm. 24
32
Hakim wajib mengikuti keputusan hakim yang kedudukannya menurut hirarki
pengadilan lebih tinggi, wajib mengikuti keputusan hakim yang lain yang
kedudukannya sederajat, tetapi telah lebih dahulu membuat penyelesaian suatu
perkara semacam, bahkan wajib mengikuti keputusan sendiri yang dibuatnya lebih
dahulu dalam perkara semacam (stare desicis). Fungsi hakim yang bebas untuk
mencari dan merumuskan nilai hukum adat dalam masyarakat, diharapkan dapat
memfungsikan hukum untuk merekayasa masyarakat dalam seluruh aspek
kehidupan dengan memenuhi rasa keadilan, kegunaan dan kepastian hukum
secara serasi, seimbang dan selaras. Dewasa ini di Indonesia telah berkembang
faham untuk mengfungsikan hukum sebagai rekayasa sosial (law as a tool of
social engineering) terutama dalam bidang hukum privat adat menjadi hukum
privat nasional.36
Salah satu aspek dalam kehidupan hukum adalah kepastian, artinya, hukum
berkehendak untuk menciptakan kepastian dalam hubungan antar orang dalam
masyarakat. Salah satu yang berhubungan erat dengan masalah kepastian tersebut
adalah masalah dari mana hukum itu berasal. Kepastian mengenai asal atau
sumber hukum menjadi penting sejak hukum menjadi lembaga semakin formal.
tentang masalah dari mana hukum itu berasal atau bersumber yang dapat dianggap
sah, dalam ilmu hukum hal ini dapat ditinjau dari dalam arti kata formil dan dalam
arti kata material.37
Sumber hukum dalam arti kata formil adalah dapat dilihat dari
cara dan bentuk terjadinya hukum positif yang mempunyai daya laku yang
36
Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,Bandung, 1986, hlm.7. 37
Satjipto Rahardjo, OpcCit, hal. 111.
33
mengikat para hakim dan penduduk warga masyarakat, dengan tidak
mempersoalkan asal-usul isi dari peraturan hukum tersebut. 38
Penegakan hukum ditinjau dari sudut subjeknya, dapat dilakukan oleh subjek
yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek
dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu
melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang
menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti
dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi
subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur
penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan
hukum berjalan sebagaimana seharusnya.39
E. Tindak Pidana Narkotika
Menurut Pasal 1 Angka (1) UU Narkotika, narkoba adalah zat atau obat yang
berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang
dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan.
Pasal 1 Ayat (5) UU Narkotika menjelaskan bahwa peredaran adalah setiap atau
serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkoba, baik dalam rangka
perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan. Pasal 1 Ayat (6)
38
Romli Atmasasmita. Op. Cit. hlm. 28 39
Ibid, hlm. 33.
34
UU Narkotika menjelaskan bahwa perdagangan adalah setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan dalam rangka pembelian dan/atau penjualan, termasuk
penawaran untuk menjual narkoba, dan kegiatan lain berkenaan dengan
pemindahtanganan narkoba dengan memperoleh imbalan
Narkotika adalah bahan/zat/obat yang umumnya digunakan oleh sektor pelayanan
kesehatan, yang menitikberatkan pada upaya penanggulangan dari sudut
kesehatan fisik, psikis, dan sosial. napza sering disebut juga sebagai zat
psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan
perilaku, perasaan, dan pikiran pada orang yang mengkonsumsinya40
Narkotika adalah bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan
mempengaruhi tubuh terutama otak/ susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan
gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosial karena terjadi kebiasaan,
ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi).41
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat dianalisis bahwa narkotika
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semisintetis yang pada satu sisi merupakan obat atau bahan yang
bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan
ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang
sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan
pengawasan yang ketat dan saksama
40
Erwin Mappaseng. Pemberantasan dan Pencegahan Narkoba yang Dilakukan oleh Polri dalam
Aspek Hukum dan Pelaksanaannya. Buana Ilmu. Surakarta. 2002. hlm.2 41
Dharana Lastarya. Narkoba, Perlukah Mengenalnya. Pakarkarya. Jakarta. 2006. hlm.15.
35
Beberapa jenis narkotika yang sering disalahgunakan adalah sebagai berikut:
a. Narkotika Golongan I
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan
tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi
menimbulkan ketergantungan, (Contoh: heroin/putauw, kokain, ganja).
b. Narkotika Golongan II
Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan
dapat digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan (Contoh:
morfin, petidin).
c. Narkotika Golongan III
Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi
atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan (Contoh: kodein) 42
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Narkotika diketahui bahwa pelaku
tindak pidana narkoba diancam dengan pidana yang tinggi dan berat dengan
dimungkinkannya terdakwa divonis maksimal yakni pidana mati selain pidana
penjara dan pidana denda. Mengingat tindak pidana narkotika termasuk dalam
jenis tindak pidana khusus maka ancaman pidana terhadapnya dapat dijatuhkan
secara kumulatif dengan menjatuhkan 2 (dua) jenis pidana pokok sekaligus,
misalnya pidana penjara dan pidana denda atau pidana mati dan pidana denda.
42
Ibid. hlm.3
36
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yurdis
normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif
dimaksudkan sebagai upaya memahami persoalan dengan tetap berada atau
bersandarkan pada lapangan hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris
dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan
dalam penelitian berdasarkan realitas yang ada.43
B. Sumber dan Jenis Data
Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah:
1. Data Primer
Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan
penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan pihak Satuan Reserse
Narkoba Polresta Bandar Lampung untuk mendapatkan data yang diperlukan
dalam penelitian.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber
hukum yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
43
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.55
37
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer bersumber dari:
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 73
Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
5) Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang mendukung bahan
hukum primer yang terdiri dari berbagai produk hukum, dokumen atau
arsip yang berhubungan dengan penelitian
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti teori atau pendapat para ahli yang tercantum dalam berbagai
referensi atau literatur buku-buku hukum serta dokumen-dokumen yang
berhubungan dengan masalah penelitian.
38
C. Penentuan Narasumber
Narasumber penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penyidik Satuan Reserse Narkoba Polresta Bandar Lampung : 2 orang
2. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung : 1 orang +
Jumlah : 3 orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
a. Studi pustaka (library research)
Dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan
mengutip dari literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan.
b. Studi lapangan (field research)
Dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden
sebagai usaha mengumpulkan data yang berkaitan dengan permasalahan
dalam penelitian.
2. Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah
diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Adapun pengolahan data
yang dimaksud meliputi tahapan sebagai berikut:
39
a. Seleksi data
Merupakan kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data
selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
b. Klasifikasi data
Merupakan kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang
telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar
diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.
c. Penyusunan data
Merupakan kegiatan penempatan dan menyusun data yang saling
berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada
subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.
E. Analisis Data
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif.
Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun
secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk
memperoleh suatu kesimpulan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan
metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik
kesimpulan yang bersifat umum.
74
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka simpulan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Implementasi standar operasional prosedur surveillance dalam penyelidikan
tindak pidana narkotika oleh Satuan Reserse Narkoba Polresta Bandar
Lampung sesuai dengan teori penegakan hukum yang sudah terlaksana pada
tahap aplikasi, yang dilaksanakan berdasarkan kententuan Badan Reserse
Kriminal Mabes Polri tentang Standar Operasional Prosedur Penyelidikan.
Tindakan ini diterapkan dengan membuntuti atau membayangi, dengan cara
berjalan kaki (satu orang, dua orang dan tiga orang), berkendaraan (terhadap
kendaraan subyek dapat dipasang alat penyadap) dengan menggunakan satu
kendaraan dan dua kendaraan atau lebih atau gabungan antara jalan kaki dan
berkendaraan.
2. Efektivitas surveillance dalam penyelidikan tindak pidana narkotika oleh
Satuan Reserse Narkoba Polresta Bandar Lampung sesuai dengan teori
efektivitas hukum, di mana surveillance berhubungan dengan berbagai
tindakan penyidik dalam mengungkap tindak pidana narkotika yaitu setelah
dilaksanakan surveillance (pembuntutan) dilakukan pembelian terselubung
dan penyamaran. Setelah diduga kuat terjadi tindak pidana narkotika maka
dilaksanakan penindakan pemberantasan (raid planning execution).
75
Selanjutnya dilaksanakan penyidikan terhadap pelaku sesuai dengan ketentuan
hukum acara yang berlaku dan setelah lengkap berkas dilimpahkan kepada
Kejaksaan untuk proses hukum selanjutnya.
B. Saran
Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penyidik disarankan untuk melaksanakan teknik penyelidikan yang paling
efektif dan efisien dalam mengungkap tindak pidana narkotika. Hal ini
diperlukan guna mengantisipasi semakin berkembangnya perdagangan gelap
narkoba di wilayah hukum Polresta Bandar Lampung pada khususnya dan di
Indonesia pada umumnya.
2. Tindak pidana narkoba pada umumnya dilakukan oleh para pelaku yang
memiliki jaringan yang luas dan cara kerja yang rapih sehingga berpotensi
merusak generasi bangsa apabila tidak ditanggulangi secara komprehensif.
Oleh karena itu kepada pihak kepolisian disarankan untuk secara konsisten
menerapkan berbagai strategi penyelidikan sebagaimana diatur dalam Standar
Operasional Prosedur Penyelidikan Badan Reserse Kriminal Mabes Polri.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdussalam, H. R. 2009. Hukum Kepolisian Sebagai Hukum Positif dalam
Disiplin Hukum. Restu Agung, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly dan M. Aly Syafaat. 2012. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.
Konstitusi Press. Jakarta.
Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung
Bintoro, Nugroho Eko. 2006. Pengantar Manajemen Modern. Rajawali Press.
Jakarta
Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Penyidikan dan Penuntutan. Sinar Grafika Jakarta.
Hasibuyan, Malayu S.P. 2012. Organisasi dan Manajemen.Rajawali Press,
Jakarta.
Hutasoit, Thomas dkk. 2004 Menjadi Polisi Yang Dipercaya Rakyat, Gema
Insani, Jakarta.
Laksmi, Fuad dan Budiantoro. 2008. Manajemen Perkantoran Modern. Penerbit
Pernaka, Jakarta
Lastarya, Dharana. 2006. Narkoba, Perlukah Mengenalnya. Pakarkarya. Jakarta.
Lubis, M. Solly. 1989. Serba-serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung
Mappaseng, Erwin. 2002. Pemberantasan dan Pencegahan Narkoba yang
Dilakukan oleh Polri dalam Aspek Hukum dan Pelaksanaannya. Buana
Ilmu. Surakarta
Mertokusumo, Sudikno. 1993. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Moeljatno. 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum
Pidana, Bina Aksara, Jakarta.
Putra, Fadillah. 2011. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta. 2011.
Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat
Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat
Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta.
Sailendra, Annie. 2015. Langkah-Langkah Praktis Membuat SOP. Cetakan
Pertama. Trans Idea Publishing, Yogyakarta
Rasjidi, Lili. 1990. Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung
Soekanto, Soerjono. 1967. Effectiveness of Legal Sanction dalam Wisconsun Law
Review Nomor 703,
--------- 1983. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka
Cipta. Jakarta.
---------. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta
Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,Bandung.
Sutarto. 2002. Menuju Profesionalisme Kinerja Kepolisian. PTIK. Jakarta. 2002.
Utrecht, E. 1962. Pengantar dalam Hukum Indonesia, Balai Buku Ichtiar, Jakarta
Wahab, Solichin Abdul. 2004. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi Ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta
Wignjosoebroto, Soetandyo. 2002. Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya, Cetakan Pertama, ELSAM, Jakarta.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun
1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
C. Sumber Lain
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Penerbit Balai Pustaka. Jakarta. 2002.
Standar Operasional Prosedur Penyelidikan Tindak Pidana. Badan Reserse
Kriminal Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Tahun
2012.