STENOSIS MITRAL
Stenosis mitral merupakan suatu keadaan dimana terjadi gangguan aliran darah
pada tingkat katup mitral oleh karena adanya perubahan pada struktur mitral
leaflets, yang menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul gangguan
pengisian ventrikel kiri saat diastol.
Stenosis mitral merupakan penyebab utama terjadinya gagal jantung kongestif
di negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat, prevalensi dari stenosis mitral
telah menurun seiring dengan penurunan insidensi demam rematik. Pemberian
antibiotik seperti penisilin pada streptococcal pharyngitis turut berperan pada
penurunan insidensi ini. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di berbagai
tempat di Indonesia, penyakit jantung valvular menduduki urutan ke-2 setelah
penyakit jantung koroner dari seluruh jenis penyebab penyakit jantung.
Dari pola etiologi penyakit jantung di poliklinik Rumah Sakit Mohammad
Hoesin Palembang selama 5 tahun (1990-1994) didapatkan angka 13,94% dengan
penyakit katup jantung. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rowe dkk (1925)
terhadap 250 penderita mitral stenosis, setelah sepuluh tahun 39% penderita
meninggal dunia, 22% menjadi semakin sesak dan 16% memiliki setidaknya satu
manifestasi komplikasi tromboemboli. Setelah 20 tahun kemudian, 7% meninggal
dunia, 8% penderita menjadi semakin sesak dan 26% memilki setidaknya satu
manifestasi tromboemboli.
Secara keseluruhan 10-years survival rate dari penderita stenosis mitral tanpa
pengobatan lanjut hanya sekitar 50-60%, tergantung dari keluhan yang timbul saat
itu. Tanpa tindakan pembedahan, 20-years survival rate hanya sekitar 85%.
Penyebab kematian pada penderita yang tidak mendapat pengobatan, yaitu:
Gagal jantung (60-70%),
Emboli sistemik (20-30%) dan emboli paru (10%),
Infeksi (1-5%).
1
Etiologi
Penyebab tersering dari stenosis mitral adalah endokarditis reumatik,
akibat reaksi yang progresif dari demam rematik oleh infeksi
streptokokkus. Diperkirakan 90% stenosis mitral didasarkan atas penyakit
jantung rematik. Penyebab lainnya walaupun jarang yaitu stenosis mitral
kongenital, vegetasi dari systemic lupus eritematosus (SLE), deposit
amiloid, mucopolysaccharhidosis, rheumatoid arthritis (RA), Wipple’s
disease, Fabry disease, akibat obat fenfluramin/phentermin, serta
kalsifikasi annulus maupun daun katup pada usia lanjut akibat proses
degeneratif.
Patologi
Pada stenosis mitral akibat demam rematik akan terjadi proses peradangan
(valvulitis) dan pembentukan nodul tipis di sepanjang garis penutupan
katup. Proses ini akan menimbulkan fibrosis dan penebalan daun katup,
kalsifikasi, fusi komisura serta pemendekan korda atau kombinasi dari
proses tersebut. Keadaan ini akan menimbulkan distorsi dari apparatus
mitral yang normal, mengecilnya area katup mitral menjadi seperti mulut
ikan (fish mouth) atau lubang kancing (button hole). Fusi dari komisura
akan menimbulkan penyempitan dari orifisium, sedangkan fusi korda
mengakibatkan penyempitan dari orifisium sekunder.
Pada endokarditis reumatik, daun katup dan korda akan mengalami
sikatrik dan kontraktur bersamaan dengan pemendekan korda, sehingga
menimbulkan penarikan daun katup menjadi bentuk funnel shape.
Patofisiologi
Pada keadaan normal katup mitral mempunyai ukuran 4-6 cm2, bila area
orifisium katup berkurang sampai 2 cm2, maka diperlukan upaya aktif
atrium kiri berupa peningkatan tekanan atrium kiri agar aliran transmitral
yang normal dapat terjadi. Stenosis mitral kritis terjadi bila pembukaan
katup berkurang hingga menjadi 1 cm2. Pada tahap ini diperlukan suatu
2
tekanan atrium kiri sebesar 25 mmHg untuk mempertahankan cardiac
output yang normal. Peningkatan tekanan atrium kiri akan meningkatkan
tekanan pada vena pulmonalis dan kapiler, sehingga bermanifestasi
sebagai exertional dyspneu. Seiring dengan perkembangan penyakit,
peningkatan tekanan atrium kiri kronik akan menyebabkan terjadinya
hipertensi pulmonal, yang selanjutnya akan menyebabkan kenaikan
tekanan dan volume akhir diatol, regurgitasi trikuspidal dan pulmonal
sekunder dan seterusnya sebagai gagal jantung kanan dan kongesti
sistemik.
Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
stenosis mitral. Pada awalnya hipertensi pulmonal terjadi secara pasif
akibat kenaikan tekanan atrium kiri, terjadi perubahan pada vaskular paru
berupa vasokonstriksi akibat bahan neurohormonal seperti endotelin atau
perubahan anatomi yaitu remodel akibat hipertrofi tunika media dan
penebalan intima (reactive hypertension).
Pelebaran progresif dari atrium kiri akan memicu dua komplikasi lanjut,
yaitu pembentukan trombus mural yang terjadi pada sekitar 20%
penderita, dan terjadinya atrial fibrilasi yang terjadi pada sekitar 40%
penderita.
Derajat berat ringannya stenosis mitral, selain berdasarkan gradien
transmitral, dapat juga ditentukan oleh luasnya area katup mitral, serta
hubungan antara lamanya waktu antara penutupan katup aorta dan
kejadian opening snap.
Berdasarkan luasnya area katup mitral derajat stenosis mitral sebagai
berikut:
Minimal : bila area >2,5 cm2
Ringan : bila area 1,4-2,5 cm2
Sedang : bila area 1-1,4 cm2
Berat : bila area <1,0 cm2
Reaktif : bila area <1,0 cm2
3
Keluhan dan gejala stenosis mitral akan mulai muncul bila luas area katup
mitral menurun sampai seperdua dari normal (<2-2,5 cm2). Hubungan
antara gradien dan luasnya area katup serta waktu pembukaan katup mitral
dapat dilihat pada tabel berikut:
TABEL
Dengan bertambah sempitnya area mitral maka tekanan atrium kiri akan
meningkat bersamaan dengan progresi keluhan. Apabila area mitral <1
cm2 yang berupa stenosis mitral berat maka akan terjadi limitasi dalam
aktifitas.
Manifestasi Klinis
Kebanyakan penderita mitral stenosis bebas keluhan dan biasanya keluhan
utama berupa sesak napas dan dapat juga berupa fatigue. Pada stenosis
mitral yang bermakna dapat mengalami sesak pada aktifitas sehari-hari,
paroksismal nokturnal dispnea, ortopnea atau oedema paru.
Aritmia atrial berupa fibrilasi atrium juga merupakan kejadian yang sering
terjadi pada stenosis mitral, yaitu 30-40%. Sering terjadi pada usia yang
lebih lanjut atau distensi atrium yang akan merubah sifat elektrofisiologi
dari atrium kiri, dan hal ini tidak berhubungan dengan derajat stenosis.
Manifestasi klinis dapat juga berupa komplikasi stenosis mitral seperti
tromboemboli, infektif endokarditis atau simtomatis karena kompresi
akibat besarnya atrium kiri seperti disfagia dan suara serak.
Diagnosis
Diagnosis dari mitral stenosis ditegakkan dari riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti foto thoraks,
elektrokardiografi (EKG) atau ekokardiografi. Dari riwayat penyakit
biasanya didapatkan adanya:
a. Riwayat demam rematik sebelumnya, walaupun sebagian besar
penderita menyangkalnya.
b. Dyspneu d’effort.
c. Paroksismal nokturnal dispnea.
4
d. Aktifitas yang memicu kelelahan.
e. Hemoptisis.
f. Nyeri dada.
g. Palpitasi.
Sedangkan dari pemeriksaan fisik didapatkan:
a. Sianosis perifer dan wajah.
b. Opening snap.
c. Diastolic rumble.
d. Distensi vena jugularis.
e. Respiratory distress.
f. Digital clubbing.
g. Systemic embolization.
h. Tanda-tanda kegagalan jantung kanan seperti asites, hepatomegali
dan edem perifer.
Dari pemeriksaan foto thoraks, didapatkan pembesaran atrium kiri serta
pembesaran arteri pulmonalis, penonjolan vena pulmonalis dan tanda-
tanda bendungan pada lapangan paru.
Dari pemeriksaan EKG dapat terlihat adanya gelombang P mitral berupa
takik pada gelombang P dengan gambaran QRS kompleks yang normal.
Pada tahap lebih lanjut dapat terlihat perubahan aksis frontal yang bergeser
ke kanan dan kemudian akan terlihat gambaran RS pada hantaran
prekordial kanan.
Dari pemeriksaan ekokardiografi akan memperlihatkan:
a. E-F slope mengecil dari anterior leaflets katup mitral, dengan
menghilangnya gelombang a,
b. Berkurangnya permukaan katup mitral,
c. Berubahnya pergerakan katup posterior,
d. Penebalan katup akibat fibrosis dan multiple mitral valve echo
akibat kalsifikasi.
Penatalaksanaan
5
Stenosis mitral merupakan kelainan mekanis, oleh karena itu obat-obatan
hanya bersifat suportif atau simtomatis terhadap gangguan fungsional
jantung, atau pencegahan terhadap infeksi. Beberapa obat-obatan seperti
antibiotik golongan penisilin, eritromisin, sefalosporin sering digunakan
untuk demam rematik atau pencegahan endokardirtis. Obat-obatan
inotropik negatif seperti ßblocker atau Ca-blocker, dapat memberi manfaat
pada pasien dengan irama sinus yang memberi keluhan pada saat frekuensi
jantung meningkat seperti pada latihan.
Fibrilasi atrium pada stenosis mitral muncul akibat hemodinamik yang
bermakna akibat hilangnya kontribusi atrium terhadap pengisian ventrikel
serta frekuensi ventrikel yang cepat. Pada keadaan ini pemakaian digitalis
merupakan indikasi, dapat dikombinasikan dengan penyekat beta atau
antagonis kalsium.
Antikoagulan warfarin sebaiknya digunakan pada stenosis mitral dengan
fibrilasi atrium atau irama sinus dengan kecenderungan pembentukan
trombus untuk mencegah fenomena tromboemboli.
Valvotomi mitral perkutan dengan balon, pertama kali diperkenalkan oleh
Inoue pada tahun 1984 dan pada tahun 1994 diterima sebagai prosedur
klinik.
Mulanya dilakukan dengan dua balon, tetapi akhir-akhir ini dengan
perkembangan
dalam teknik pembuatan balon, prosedur valvotomi cukup memuaskan
dengan
prosedur satu balon.1
Intervensi bedah, reparasi atau ganti katup (komisurotomi) pertama kali
diajukan oleh Brunton pada tahun 1902 dan berhasil pertama kali pada
tahun
1920. Akhir-akhir ini komisurotomi bedah dilakukan secara terbuka
karena
adanya mesin jantung-paru. Dengan cara ini katup terlihat jelas antara
pemisahan
6
komisura, atau korda, otot papilaris, serta pembersihan kalsifikasi dapat
dilakukan
dengan lebih baik. Juga dapat ditentukan tindakan yang akan diambil
apakah itu
reparasi atau penggantian katup mitral dengan protesa.1
Indikasi untuk dilakukannya operasi adalah sebagai berikut:2
Stenosis sedang sampai berat, dilihat dari beratnya stenosis (<1,7 cm2)
dan
keluhan,
Stenosis mitral dengan hipertensi pulmonal,
Stenosis mitral dengan resiko tinggi terhadap timbulnya emboli, seperti:
- Usia tua dengan fibrilasi atrium,
- Pernah mengalami emboli sistemik,
- Pembesaran yang nyata dari appendage atrium kiri.
Jenis operasi yang dapat dilakukan, yaitu:2
1. Closed mitral commissurotomy, yaitu pada pasien tanpa komplikasi, 2.
Open commissurotomy (open mitral valvotomy), dipilih apabila ingin
dilihat dengan jelas keadaan katup mitral dan apabila diduga adanya
trombus di dalam atrium,
3. Mitral valve replacement, biasa dilakukan apabila stenosis mitral
disertai
regurgitasi dan kalsifikasi katup mitral yang jelas.
Sesuai dengan petunjuk dari American Collage of Cardiology/American
Heart Association (ACC/AHA) dipakai klasifikasi indikasi diagnosis
prosedur
terapi sebagai berikut:1
1. Klas I: keadaan dimana terdapat bukti atau kesepakatan umum bahwa
prosedur atau pengobatan itu bermanfaat dan efektif,
2. Klas II: keadaan dimana terdapat perbedaan pendapat tentang manfaat
atau
efikasi dari suatu prosedur atau pengobatan,
7
a. II.a. Bukti atau pendapat lebih ke arah bermanfaat atau efektif,
b. II.b. Kurang/tidak terdapatnya bukti atau pendapat adanya
menfaat atau efikasi.
3. Klas III: keadaan dimana terdapat bukti atau kesepakatan umum bahwa
prosedur atau pengobatan itu tidak bermanfaat bahkan pada beberapa
kasus berbahaya.
Prognosis
Apabila timbul atrium fibrilasi prognosisnya kurang baik (25% angka
harapan hidup 10 tahun) dibandingkan pada kelompok irama sinus (46%
angka
harapan hidup 10 tahun). Hal ini dikarenakan angka resiko terjadinya
emboli
arterial secara bermakna meningkat pada atrium fibrilasi.1
8
REGURGITASI MITRAL
Gejala klinik mitral regurgitasi
· Pasien dengan mitral regurgitasi kronik derajat ringan-sedang biasanya
asimtomatik, hal ini dikarenakan adanya overload darah di ventrikel kiri
ditoleransi
dengan baik.
· Fatigue, dyspnoe d’effort, orthopnea, dan palpitasi merupakan gejala
yang
sering ditemukan pada pasien dengan mitral regurgitasi kronik yang berat.
Palpitasi
dapat merupakan gejala awal dari atrial fibrilasi.
Pemeriksaan Fisik
· Tekanan arteri biasanya normal.
· Pada apex jantung dapat dirasakan adanya systolic thrill.
· Iktus kordis mengalami lateralisasi.
Auskultasi
· S1 secara general tidak terdengar, lembut, ataupun tertutup suara murmur
holosystolic.
· Katup aorta dapat menutup secara prematur yang menyebabkan splitting
yang
lebar pada S2.
· S3 nada rendah terdengar sekitar 0.12-0.17 detik setelah suara katup
aorta
menutup.
· Dapat ditemukan adanya middiastolic murmur.
· Murmur holosistolik sedikitnya pada derajat III/VI adalah karakteristik
utama
9
pada auskutasi mitral regurgitasi kronik yang berat. biasanya paling
terdengar pada
bagian axilla yang menjalar ke arah axilla
Penatalaksanaan
· Medikamentosa
Warfarin dapat diberikan bila terdapat atrial fibrilasi dengan target INR 2-
3.
Kardioversi dapat dilakukan dengan defibrilator ataupun obat-obatan anti
aritmia.
Bila terdapat tanda-tanda kegagalan jantung dapat digunakan diuretik, β-
blockers,
ACE inhibitors ataupun digitalis.
Terapi pembedahan
· Pembedahan pada pasien dengan regurgitasi katup mitral kronik yang
berat
dapat dibedakan antara rekontruksi perbaikan (repair) katup dan
penggantian
(replacement) katup. Rekonstruksi katup menggunakan teknik
valvuloplasti
untuk memperbaiki katup yang bermasalah dengan menginsersikan cincin
annuloplasty, rekontruksi katup memberikan efek samping jangka panjang
seperti tromboemboli dan perdarahan yang lebih kecil jika dibandingkan
dengan penggantian katup.
· Indikasi dilakukannya pembedahan katup mitral adalah adanya NYHA
kelas
III dan IV, atrial fibrilasi yang sering berulang, hipertensi pulmonal
(tekanan
arteri pulmonaris 50 mmHg saat istirahat atau 60 mmHg saat beraktivitas).
Juga pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang progresif dangan
LVEF
kurang dari 60% dan atau end-systolic cavity dimension pada
10
echocardiography meningkat sekitar 40mm. Umumnya valvuloplasty pada
pasien berusia kurang dari 75 tahun tanpa penyakit penyerta berhasil baik,
dengan angka kematian saat operasi kurang dari 1% (Fauci, 2008).
Mitral Regurgitation(www.heart-valve-surgery.com)
11
Terapi regurgitasi mitral
(Fauci, 2008)
Keterangan:
MV : mitral valve HT : hypertension
MVR : mitral valve replacement LV : left ventricular
EF : ejection fraction ESD : end-systolic dimension
Abdullah Siregar. 2008. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik.
http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2008/
ppgb_2008_afif_siregar.pdf
Aru Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus, Marcellus, Siti Setiati. 2006.
Buku Ajar
12
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas
Indonesia
Binotto MA, Guilherme L, Tanaka .2002. Rheumatic Fever.
.http://www.sahha.gov.mt/pages.aspx?page=511
Chin, Thomas K. 2006. Emedicine : Rheumatic Heart Disease.
http://faculty.ksu.edu.sa/Jarallah/Pediatric%20Cardiology/Rheumatic
%20heart
%20diseases.pdf
Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, et al. 2008. Valvular
Heart
Disease in Harrison’s Internal Medicine. 17th edition.
Ganesja Harimurti. 1996. Demam Rematik. Buku Ajar Kardiologi. Balai
penerbit
FKUI: Jakarta
Gray H, Dawkins K, Morgan J, Simpson I.2005. Penyakit Katup Jantung
dalam
Lecture Notes Kardiologi. Edisi Keempat. Jakarta : Erlangga
Meador R., 2009., Acute Rheumatic Fever., Texas Health Science center;
San
Antoniohttp://emedicine.medscape.com/article/333103
Parillo S., 2010., Rheumatic Fever; Philadelphia
http://emedicine.medscape.
com/article/808945
Poestika Sastroamidjojo., Sarodja RM., 1998. Demam Rematik Akut.
Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Balai penerbit FKUI: Jakarta
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Majid A. Penyakit Jantung Koroner: Patofisiologi, Pencegahan dan
Pengobatan Terkini. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara,
2007.
2. Santoso M & Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Ukrida, 2005.
3. Price SA. & Wilson LM. Patofisologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Vol 1. Edisi 6. Alih bahasa : Brahm U. Pendit, dkk. Jakarta: EGC, 2006.
4. Djohan TBA. Penyakit Jantung Koroner dan Hipertensi. Medan: Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatra Utara, 2004.
5. Kabo P. Bagaimana Menggunakan Obat-Obat Kardiovaskular Secara
Rasional. Jakarta: FKUI, 2010.
14
6. Haru S, Alwi I. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST. Di dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007.
7. Kusmana D & Moechtar H. Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner. Di
dalam: Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2004.
8. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi. Ed ke-7. Jakarta:
EGC, 2007.
9. Rahman AM. Angina Pektoris Stabil. Di dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Ed ke-4. Jakarta: FKUI, 2007.
10. Hanafiah A. Angina Pektoris. Di dalam: Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2004.
11. Fox K, Chairperson, Garcia MAA. Guidelines on the management of stable
angina pectoris: The Task Force on the Management of Stable Angina
Pectoris of
the European Society of Cardiology. The European Society of Cardiology. Eur
Heart J doi:10.1093. 2006. Accessed 01 Maret 2012.
12. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of stable angina: A
national clinical guideline. Edinburg: NHS, 2007.
13. Trisnohadi HR. Angina Pektoris Tak Stabil. Di dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007.
14. Hamm C, Bassand JC, Agewall S. ESC Guidelines for the management of
acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-
segment elevation. European Heart Journal (2011) 32, 2999–3054. Accessed
28 January 2012.
15. Idrus A. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Di dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007.
15