BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan
obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/subaraknoid
disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
TURP adalah operasi pada yang dilakukan karena adanya Pembesaran prostat jinak.
Pembesaran Prostat Jinak (PPJ) disebut juga Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
adalah hiperplasia kelenjar periuretral prostat yang akan mendesak jaringan prostat
yang asli ke perifer dan menimbulkan gejala obstruktif dan gejala iritatif. Untuk itu
kasus seperti Hiperplasia Prostat ( Benigna Prostate Hyperplasia (BPH)) harus
segera ditatalaksana agar tidak menyebabkan komplikasi komplikasi lain yang dapat
membahayakan kesehatan pasien, untuk itu Hiperplasia prostat dapat di tatalaksana
dengan beberapa cara yaitu : Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD),Trans
Urethral Needle Ablation (TUNA), Stent Urethra dan Transurethral resection of the
prostate (TURP) . Penatalaksanaan yang di Gunakan pada Pasien di Kasus ini adalah
Transurethral resection of the prostate (TURP) dengan memakai tehnik Spinal Anestesia .
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi BPH
Pembesaran Prostat Jinak (PPJ) disebut juga Benigna Prostate Hyperplasia
(BPH) adalah hiperplasia kelenjar periuretral prostat yang akan mendesak jaringan
prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah.
2. Anatomi Prostat
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul
fibromuskuler, yang terletak di sebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian
proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum.
Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20
gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan
tebal 2,5 cm.
2
Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :
1. lobus medius
2. lobus lateralis (2 lobus)
3. lobus anterior
4. lobus posterior
Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan
menjadi satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius kadang-
kadang tak tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna abu-
abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat.
Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain
adalah: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan
zona periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang
letaknya proksimal dari sfincter eksternus di kedua sisi dari verumontanum dan di zona
periuretral. Kedua zona tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat.
Sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.
Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara di kanan dari
verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Di sebelah depan
didapatkan ligamentum pubo prostatika, di sebelah bawah ligamentum triangulare
inferior dan di sebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers.
Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan
prostat dan vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat secara longgar dengan
fascia pelvis dan memisahkan prostat dengan rektum. Antara fascia endopelvic dan
kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan jaringan peri prostat yang berisi pleksus
prostatovesikal.
3
Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :
1. Kapsul anatomis
Sebagai jaringan ikat yang mengandung otot polos yang membungkus kelenjar prostat.
2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler
3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian:
1. Bagian luar disebut glandula principalis atau kelenjar prostat sebenarnya yang
menghasilkan bahan baku sekret.
2. Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga sebagai
adenomatous zone
3. Di sekitar uretra disebut periurethral gland atau glandula mukosa yang
merupakan bagian terkecil. Bagian ini serinng membesar atau mengalami
hipertrofi pada usia lanjut.
Pada BPH, kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis :
1. kapsul anatomis
2. kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang
sebenarnya (outer zone) sehingga terbentuk kapsul
3. kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam (inner
zone) dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat.
4
BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung
banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior
daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya
perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami
hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan kelenjar.5,6
Secara histologis, prostat terdiri atas kelenjar-kelenjar yang dilapisi epitel thoraks
selapis dan di bagian basal terdapat juga sel-sel kuboid, sehingga keseluruhan epitel
tampak menyerupai epitel berlapis.
Vaskularisasi
Vaskularisasi kelenjar prostat yanng utama berasal dari a. vesikalis inferior (cabang dari
a. iliaca interna), a. hemoroidalis media (cabang dari a. mesenterium inferior), dan a.
pudenda interna (cabang dari a. iliaca interna). Cabang-cabang dari arteri tersebut masuk
lewat basis prostat di Vesico Prostatic Junction. Penyebaran arteri di dalam prostat
dibagi menjadi 2 kelompok , yaitu:
1. Kelompok arteri urethra, menembus kapsul di postero lateral dari vesico prostatic
junction dan memberi perdarahan pada leher buli-buli dan kelompok kelenjar
periurethral.
2. Kelompok arteri kapsule, menembus sebelah lateral dan memberi beberapa cabang yang
memvaskularisasi kelenjar bagian perifer (kelompok kelenjar paraurethral).9
Aliran Limfe
Aliran limfe dari kelenjar prostat membentuk plexus di peri prostat yang kemudian
bersatu untuk membentuk beberapa pembuluh utama, yang menuju ke kelenjar limfe
iliaca interna , iliaca eksterna, obturatoria dan sakral.9
Persarafan
Sekresi dan motor yang mensarafi prostat berasal dari plexus simpatikus dari
Hipogastricus dan medula sakral III-IV dari plexus sakralis.
3. Fisiologi Prostat
5
Prostat adalah kelenjar sex sekunder pada laki-laki yang menghasilkan cairan dan
plasma seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan vesikula
seminalis 46-80% pada waktu ejakulasi. Kelenjar prostat dibawah pengaruh Androgen
Bodies dan dapat dihentikan dengan pemberian Stilbestrol.
4. Etiologi BPH
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat
kaitannya denGan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging
(menjadi tua).
5. Patofisiologi BPH
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan
akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat
guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan
anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,
sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase
kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu
dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam
fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian
buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-
ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.7
Hiperplasi prostat
↓
6
Penyempitan lumen uretra posterior
↓
Tekanan intravesikal ↑
Buli-buli Ginjal dan Ureter
o Hipertrofi otot detrusor - Refluks vesiko-ureter
o Trabekulasi - Hidroureter
o Selula - Hidronefrosis
o Divertikel buli-buli
o Pionefrosis Pilonefritis
o Gagal ginjal
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala
yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan
dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars
prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan
komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan
alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan
kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung
dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh
komponen mekanik.
7. Diagnosis BPH
a. Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter
ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan di
dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :
1. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
2. Adakah asimetris
7
3. Adakah nodul pada prostate
4. Apakah batas atas dapat diraba
5. Sulcus medianus prostate
6. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan prostat teraba membesar,
konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, permukaan rata, lobus kanan
dan kiri simetris, tidak didapatkan nodul, dan menonjol ke dalam rektum. Semakin berat
derajat hiperplasia prostat, batas atas semakin sulit untuk diraba. Sedangkan pada
carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus
prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas
kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pielonefritis akan disertai
sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila
sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui
adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya
kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di
fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di
daerah meatus.
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan
teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri
tekan supra simfisis.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berperan dalam menentukan ada tidaknya komplikasi.
1. Darah : - Ureum dan Kreatinin
Elektrolit
8
Blood urea nitrogen
Prostate Specific Antigen (PSA)
Gula darah
2. Urin : - Kultur urin + sensitifitas test
Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik
Sedimen
Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau
inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urine berguna dalam mencari jenis
kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman
terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
Faal ginjal diperiksa untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang
mengenai saluran kemih bagian atas. Sedangkan gula darah dimaksudkan untuk mencari
kemungkinan adanya penyakit diabetes mellitus yang dapat menimbulkan kelainan
persarafan pada vesica urinaria.
d. Pemeriksaan pencitraan
1. Foto polos abdomen (BNO)
adanya batu opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat dan
kadangkala dapat menunjukkan bayangan vesica urinaria yang penuh terisi urin,
yang merupakan tanda dari suatu retensi urine. Selain itu juga bisa menunjukkan
adanya hidronefrosis, divertikel kandung kemih atau adanya metastasis ke tulang
dari carsinoma prostat.
2. Pielografi Intravena (IVP)
Pemeriksaan IVP dapat menerangkan kemungkinan adanya:
1. kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis
9
2. memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya
indentasi prostat (pendesakan vesica urinaria oleh kelenjar prostat) atau
ureter di sebelah distal yang berbentuk seperti mata kail atau hooked fish
3. penyulit yang terjadi pada vesica urinaria yaitu adanya trabekulasi,
divertikel, atau sakulasi vesica urinaria
4. foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin
3. Sistogram retrograd
Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka
sistogram retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi.
4. USG secara transrektal (Transrectal Ultrasonography = TURS)
Untuk mengetahui besar atau volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan
pembesaran prostat maligna, sebagai petunjuk untuk melakukan biopsi aspirasi
prostat, menentukan volume vesica urinaria dan jumlah residual urine, serta
mencari kelainan lain yang mungkin ada di dalam vesica urinaria seperti batu,
tumor, dan divertikel.
5. Pemeriksaan Sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan
urine ditemukan mikrohematuria. Sistografi dapat memberikan gambaran
kemungkinan tumor di dalam vesica urinaria atau sumber perdarahan dari atas
bila darah datang dari muara ureter, atau batu radiolusen di dalam vesica. Selain
itu juga memberi keterangan mengenai basar prostat dengan mengukur panjang
uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam uretra.
10
6. MRI atau CT jarang dilakukan
Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam – macam
potongan.
e. Pemeriksaan Lain
1. Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan oleh : - daya
kontraksi otot detrusor
tekanan intravesica
resistensi uretra
Angka normal laju pancaran urin ialah 10-12 ml/detik dengan puncak laju pancaran
mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 – 8
ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi
semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan.
2. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)
Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak
dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot
detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan
tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram. Dengan cara ini
maka sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur.
3. Pemeriksaan Volume Residu Urin
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat
sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang
masih tinggal atau ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi, dapat
pula dilakukan dengan membuat foto post voiding pada waktu membuat IVP. Pada
orang normal sisa urin biasanya kosong, sedang pada retensi urin total sisa urin dapat
melebihi kapasitas normal vesika. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai
batas indikasi untuk melakukan intervensi pada penderita prostat hipertrofi.3,6,8,10,11
11
8 Diagnosis Banding
1. Kelemahan detrusor kandung kemih
1. kelainan medula spinalis
2. neuropatia diabetes mellitus
3. pasca bedah radikal di pelvis
4. farmakologik
2. Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh :
1. kelainan neurologik
2. neuropati perifer
3. diabetes mellitus
4. alkoholisme
5. farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik)
3. Obstruksi fungsional :
1. dis-sinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi detrusor
dengan relaksasi sfingter
2. ketidakstabilan detrusor
4. Kekakuan leher kandung kemih :
Fibrosis
5. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh :
12
1. hiperplasia prostat jinak atau ganas
2. kelainan yang menyumbatkan uretra
3. uretralitiasis
4. uretritis akut atau kronik
e. striktur uretra
6. Prostatitis akut atau kronis3,11
10. Komplikasi
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat
menimbulkan komplikasi sebagai berikut :
1. Inkontinensia Paradoks
2. Batu Kandung Kemih
3. Hematuria
4. Sistitis
5. Pielonefritis
6. Retensi Urin Akut Atau Kronik
7. Refluks Vesiko-Ureter
8. Hidroureter
9. Hidronefrosis
10. Gagal Ginjal11
Penatalaksanaan
13
Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan
menyebabkan penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi
empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin, yaitu:
- Derajat satu, apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan
penonjolan prostat, batas atas mudah diraba dan sisa urin kurang dari 50 ml.
- Derajat dua, apabila ditemukan tanda dan gejala sama seperti pada derajat satu, prostat
lebih menonjol, batas atas masih dapat teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang
dari 100 ml.
- Derajat tiga, seperti derajat dua, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin
lebih dari 100 ml
- Derajat empat, apabila sudah terjadi retensi urin total.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat
gangguan miksi yang disebut WHO PSS (WHO Prostate Symptom Score). Skor ini
berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Terapi non
bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan
kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke
atas atau bila timbul obstruksi.3,11
Pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV digunakan untuk
menentukan cara penanganan.
Derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat
diberikan pengobatan secara konservatif.
Derajat dua sebenarnya sudah ada indikasi untuk melakukan intervensi operatif,
dan yang sampai sekarang masih dianggap sebagai cara terpilih ialah trans uretral
resection (TUR). Kadang-kadang derajat dua penderita masih belum mau
dilakukan operasi, dalam keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan
pengobatan konservatif.
Derajat tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi yang cukup
berpengalaman biasanya pada derajat tiga ini besar prostat sudah lebih dari 60
gram. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak
akan selesai dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka.
14
Derajat empat tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah
membebaskan penderita dari retensi urin total, dengan jalan memasang kateter
atau memasang sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
untuk melengkapi diagnostik, kemudian terapi definitif dapat dengan TURP atau
operasi terbuka.3,11
Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala,
meningkatkan kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang
berkepanjangan. Tindakan bedah masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia
prostat (lebih dari 90% kasus). Meskipun demikian pada dekade terakhir dikembangkan
pula beberapa terapi non-bedah yang mempunyai keunggulan kurang invasif
dibandingkan dengan terapi bedah. Mengingat gejala klinik hiperplasia prostat
disebabkan oleh 3 faktor yaitu pembesaran kelenjar periuretral, menurunnya elastisitas
leher vesika, dan berkurangnya kekuatan detrusor, maka pengobatan gejala klinik
ditujukan untuk :
1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat
2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor 7,11
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi pada leher
vesica urinaria. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau
tindakan endourologi yang kurang invasif.
Pilihan Terapi pada Hiperplasi Prostat Benigna7
Observasi Medikamentosa OperasiInvasif Minimal
Watchfull waiting
Penghambat adrenergik α
Prostatektomi terbukaTUMTTUBD
Penghambat reduktase αFitoterapiHormonal
Endourologi1. TUR P2. TUIP
3. TULP (laser)
Strent uretra dengan prostacathTUNA
15
ANESTESI SPINAL PADA TURP
Alasan pemilihan anestesi spinal
TURP dengan menggunakan anestesia regional tanpa sedasi ( Awake TURP ) lebih
dipilih daripada anestesia umum karena hal berikut :
1.Manifestasi awal dari Sindrom TURP lebih bisa dideteksi pada pasien yang
sadar
2.Vasodilatasi periferal berfungsi untuk membantu meminimalisir overload
sirkulasi.
3.Memberikan lebih banyak tingkat analgesia postoperatif
4 .Keh i l angan da rah akan l eb ih s ed ik i t
Ketika dalam pengaruh anastesi regional, maka satu dari empat tanda mayor
ini dapat muncul. :
1. peningkatan tekanan darah sistolik dengan sedikit
peningkatan pada tekanan darah diastolik.
2. denyut yang lambat
3. perubahan aktivitas saraf pusat (seperti
kebingungan, semicoma,ge l i s ah , nye r i kepa l a , mua l ,
mun tah ) .
4. Konges t i f pa ru dengan t anda dyspnea , s i anos i s
dan wheezing. Denyut jantung menurun.Jika tidak diterapi
secara cepat, maka pasien bisa mengalami sianotik dan
hipotensi danmenjadi henti jantung. Beberapa pasien
muncul dengan gejala neurologikal. Pasien menjadilemah
kemudian tidak sadar. Pupil dilatasi dan lambat beraksi
terhadap cahaya. Ini bisa diikutidengan ep i sode
16
s i ngka t da r i ke j ang t on ik - k lon ik s ebaga i awa l
da r i keadaan koma .
Indikasi
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah, panggul,
dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti bedah
endoskopi urologi, bedah rektum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetri, dan
bedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan
dengan anestesi
Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi lumbal,
bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan tekanan
intrakranial. Kontraindikasi relatif meliputi neuropati, prior spine surgery, nyeri
punggung, penggunaan obat-obatan praoperasi golongan AINS (antiinflamasi nonsteroid
seperti aspirin, novalgin, parasetamol), heparin subkutan dosis rendah, dan pasien yang
tidak stabil, dan a resistant surgeon.
Persiapan Pasien
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed concent) meliputi
pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisis dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk
menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga adanya skoliosis
atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah penilaian
hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila
diduga terdapat gangguan pembekuan darah.
17
Kunjungan praoperasi dapat menenangkan pasien. Dapat dipertimbangkan pemberian
obat premedikasi agar tindakan anestesi dan operasi lebih lancar. Namun, premedikasi
tidak berguna bila diberikan pada waktu yang tidak tepat.
Perlengkapan
Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan operasi yang
lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi.
Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang
rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16-G sampai dengan 30-G. Obat
anestetik lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain.
Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah yang
teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis cairan
serebrospinal (hiperbarik), akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gaya gravitasi.
Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila
sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Pada
suhu 37°C cairan serebrospinal memiliki beratjenis 1,003-1,008.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alkohol.
Jenis jarum Spinal
Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti ujung bambu
runcing (jenis Quinke-Babcock atau Greene) dan jenis yang ujungnya seperti ujung
pensil (Whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena jarang menyebabkan nyeri
kepala pasca penyuntikan spinal.
PREMEDIKASI
Obat- Obat yang Dipakai sebagai Obat Premedikasi
Narkotik Analgetik
18
Dosis :
Papaveratum :0,3 mg/Kg
Pethidin : 50-100 mg/Kg
Phentanyl : 100 mcg
Cara Pemberian Obat Premedikasi
Banyak cara pemberian obat dalam premedikasi. Secara IV,IM,Oral maupun
rectal
1. Intramuskular (IM)
Hampir semua obat premedikasi diberikan dengan cara ini.
2. Intra venous (IV)
Biasanya diberikan di kamar operasi, sebelum obat induksi diberikan
Misalnya :
Pasien yg harus dilakukan tindakan emergency dimana pemberian IM tdk mendapat efek
yg baik
Pasien yg dilakukan operasi elektif yg oleh suatu sebab premedikasi belum diberikan
Pasien yg sudah mempunyai intra venous line
Pasien syok, ok absorbsi IM sangat lambat
3. Cara Oral
Hal-hal yang perlu diperhatikan berupa jumlah obat , onset, durasi, tingkah laku selama
penyembuhan, interaksi dengan obat lain, dan efek samping.
INDUKSI
Obat yang dipakai untuk induksi spinal
19
Bupivacain, untuk anestesi spinal, dosis yangdigunakan adalah 7-15 mg (larutan 0,75%).
Teknik Anestesi
Adapun tahapan spinal anestesi adalah :
Teknik untuk melakuakan anestesi spinal yaitu dengan posisi duduk atau posisi tidur
lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering
dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya
diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit
pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral atau
dengan posisi duduk. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang
belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar prosesus spinosus mudah
teraba. Posisi lain ialah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan tulang
punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3, L3-4, atau L4-5.
Tusukan pada L1-2 atau di atasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol.
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan. Untuk mencapai cairan serebrospinalis,
maka jatum suntik akan menembus : kulit à subkutis à ligamentum supraspinosum à
ligamentum interspinosum à ligamentum flavum à ruang epidural à duramater à ruang
subarachnoid.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23 G atau
25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau 29 G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum (introducer) yaitu jarum suntik biasa semprit 10 cc.
Tusukan introducer sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian
masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan
20
jarum tajam irisan jarum haruis sejajar dengan dengan serat duramater untuk
menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca
spinal. Setelah resistensi menghilang, mandarin juarum spinal dicabut dan keluar likuor,
pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0.5 ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Untuk BAB
anelgesi spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6 cm.
Pengawasan selama berlangsungnya operasi
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan selama berlangsungnya TURP adalah gejala-
gejala komplikasi yang dapat terjadi.
Komplikasi mayor yang dapat terjadi pada TURP adalah :
1.Pendarahan
P e r d a r a h a n p a d a T U R P a k a n m e n i m b u l k a n h i p o v o l e m i a ,
m e n y e b a b k a n kehilangan kemampuan mengangkut oksigen secara
signifikan sehingga bisa menuju iskemia myokardial dan infark miokard.
Kehilangan darah berkorelasi dengan ukuran kelenjar prostatyang direseksi,
lamanya pembedahan dan skill dari operator. Rata-rata kehilangan darah saat
TURP adalah 10ml/gram dari reseksi prostat.
2.Sindrom TURP
Reseksi prostat transurethral sering membuka jaringan ekstensif sinus vena
pada prostat danmemungkinkan absorbsi sistemik dari cairan irigasi.
21
Absorbsi dari cairan dalam jumlah yang besar (2 liter atau lebih) menghasilkan
konstelasi gejala dan tanda yang disebut dengan sindromTURP .
Manifestasi dari Sindrom TURP :
1 . H i o p o n a t r e m i a
2 . H i p o o s m o l a r i t a s
3 . O v e r l o a d c a i r a n
4 . G a g a l j a n t u n g k o n g e s t i f
5 . E d e m a p a r u
6 . H i p o t e n s i
7 . H e m o l i s i s
8 . K e r a c u n a n c a i r a n
9 . H i p e r g l i s i n e m i a
10 .H ipe ramonemia
11 .H ipe rg l i kemia
12.Ekspansi volume intravaskular
Sindrom TURP adalah satu dari komplikasi tersering pembedahan endoskopi
urologi. Insidens in d ro m TUR P men capa i 20% dan membawa angk a
mor t a l i t a s yang s i gn i f i kan . Wa laup un terdapat peningkatan di bidang anestesi
2,5%-20 % pasien yang mengalami TURP menunjukkansa t u a t au l eb ih ge j a l a
s i nd ro m TUR P dan 0 ,5 % - 5% d i a n t a r anya men ingga l pada
wak tu perioperatif. Angka mortalitas dari sindrom TURP ini sebesar 0,99%
Reseks i ke l en j a r p ro s t a t e t r ansu re t r a d i l akukan dengan
mempergunakan ca i r an i r i ga s i aga r daerah yang di irigasi tetap terang
dan tidak tertutup oleh darah.
Syarat cairan yang dapat digunakan untuk TURP adalah: isotonik, non-hemolitik,
22
electrically inert , non-toksik, transparan, mudah untuk disterilisasi dan t i d a k
m a h a l . A k a n t e t a p i s a y a n g n y a c a i r a n y a n g m e m e n u h i s y a r a t
s e p e r t i d i a t a s b e l u m ditemukan.Untuk TURP biasanya menggunakan cairan
nonelektrolit hipotonik sebagai cairan irigasi seperti air steril, Glisin 1,5%(230
mOsm/L), atau campuran Sorbitol 2,7% dengan Mannitol 0,54% (230 Osm/L).
Cairan yang boleh juga dipakai tapi jarang digunakan adalah Sorbitol 3,3%,Mannitol
3%, Dekstrosa 2,5-4% dan Urea 1%.1,2,5
A.Air steril / akuades (H2O)
Walaupun air steril memiliki banyak kualitas yang diperlukan sebagai cairan irigasi yang
ideal,ke rug i an da l am penggunaannya ada l ah a i r dapa t menyebabkan
h ipo ton i s i t a s yang eks t r im , h e m o l i s i s , h i p o n a t r e m i a d e l u s i o n a l
d a n g a g a l g i n j a l s e r t a s y o k . A i r / A k u a d e s ( H 2O) menun jukkan
v i s i b i l i t a s yang bagus ka r ena a i r dengan s i f a t h ipo ton i snya me l i s i s
s e l da r ah merah, tetapi absorbsi yang signifikan bisa menghasilkan acute water
intoxication. Penggunaanair sebagai cairan irigasi dilarang hanya pada reseksi
transurethral tumor bladder
. B. Glycine 1.2%, 1.5%. 2.2%
Glycine, asam amino endogen dianjurkan sebagai cairan irigasi yang sesuai, mengingat
beberapakeuntungannya yaitu : harganya murah walaupun tidak semurah air
steril, isotonik dengan plasma hanya pada konsentrasi 2,2% namun efek
samping glisin pada konsentrasi ini lebih banyak. Osmolaritas glisin dengan
konsentrasi 1,5% adalah 230 mOsm/liter bila dibandingkandengan
osmolalitas serum 290 mOsm/liter sehingga toksisitas ginjal dan
kardiovaskular dapat terjadi. Penurunan konsentrasi glisin dapat
menyebabkan komplikasi yang lebih banyak akibathipotonisitasnya sehingga
tidak dapat lagi digunakan sebagai cairan irigasi. Keuntungan glisin1,5% bila
23
dibandingkan dengan air steril adalah tendensitasnya menyebabkan gagal
ginjal danhemolisis yang lebih rendah. Nilai normal glisin pada pria adalah 13-17 mg /
liter. Glycine toxicity jarang pada pasien TURP mungkin karena hampir seluruh
glisin yang diabsorbsi ditahan pada ruang periprostatik dan retroperitoneal yang
tidak memiliki efek sistemik.
Amonia Toxicity
Amonia ada l ah p roduk mayor da r i me t abo l i sme g l i s i n . Konsen t r a s i
ammon ia yang t i ngg i menekan pelepasan norepinefrin dan dopamine dalam otak.
Hal ini menyebabkan encephalopati TURP syndrome. Namun hal ini jarang terjadi pada
manusia. Karakteristik toksisitas yang terjadiada l ah s a tu j am se t e l ah
pembedahan . Pa s i en t i ba - t i ba mua l dan mun tah dan men j ad i
koma . Ammonia darah meningkat menjadi 500 mikromol / liter (nilai normal : 11-35
mikromol / liter).Hyperammonemia dapat bertahan sampai lebih dari 10 jam
paska operasi karena glisin secarakontinu diabsorbsi dari ruang
periprostat.Mekanisme mengapa hiperammonia tidak diderita oleh semua
pasien yang mengalami T U R P m a s i h b e l u m j e l a s . H i p e r a m o n i a
m e n g i m p l i k a s i k a n b a h w a t u b u h t i d a k d a p a t memetabolisme
glisin secara sempurna melalui glisin cleavage system,citric acid cycle dan
konversi glycolic dan glioxylic acid . Mekanisme lain yang dapat menjelaskan
adalah defisiensi arginin. Amonia normalnyadiubah menjdi urea dalam hati
melalui ornithine cycle . Arginin adalah produk intermediet dari siklus ini.
defisiensinya menandakan bahwa ornithine cycle tidak berlangsung
sempurna dan terjadi akumulasi amonia.
C. Hipovolemi, Hipotensi
Tanda hemod inamika k l a s ik da r i S ind rom TURP, ke t i ka g l i s i n
d igunakan s ebaga i c a i r an i r i ga s i , t e rd i r i da r i t r ans i en t a r t e r i a l
h ipe r t ens ion , yang b i s a t i dak muncu l j i ka penda rahan berlebihan,
diikuti dengan perpanjangan hipertensi. Pelepasan substansi jaringan
24
prostatik danendotoksin menuju sirkulasi dan asidosis mtabolik yang bisa
berkontribusi terhadap hipotensi
D. Gangguan Penglihatan
Salah satu komplikasi dari Sindrom TURP adalah kebutaan sementara, pandangan
berkabut, danme l iha t l i ngka ran d i s ek i t a r ob j ek . Pup i l men j ad i d i l a t a s i
dan t i dak mere spons . Lensa ma t a normal. Gejala bisa muncul bersamaan
dengan gejala lain dari Sindom TURP atau bisa jugamenjadi gejala yang
tersembunyi.Peng l i ha t an kemba l i no rma l 8 -48 j am se t e l ah pembedahan .
Kebu t aan TURP disebabkan oleh disfungsi retina yang kemungkinan karena
keracunan glisin. Karena itu persepsidari cahaya dan refleks mengedipkan mata
dipertahankan dan respon pupil terhdap cahaya danakomodasi hilang pada
kebutaan TURP, tidak seperti kebutaan yang disebabkan karena disfungsi
Kortikal serebri
3. Perforasi
Perforasi dari kandung kemih bisa terjadi saat TURP berkaitan dengan instrumen
pembedahan, pada reseksi yang sukar, distensi berlebihan dari kantung kemih
dan letusan didalam kantungkemih. Perforasi instrumen dari kapsul prostatik
telah diestimasi terjadi pada 1% dari pasienyang me lakukan TURP.
Tanda awa l da r i pe r fo r a s i , yang s e r i ng t i dak d ipe rha t i kan
ada l ah penu runan kemba l i nya ca i r an i r i ga s i da r i kan tung kemih .
Dan d i i ku t i o l eh nye r i abdomen , distensi dan nausea. Bradikardi dan
hipotensi arterial juga ditemukan. Juga ada resiko tinggikesalahan diurese
spontan. Pada perforasi intraperitoneal, gejalanya berkembang lebih
cepat. Nyeri alih bahu yang berkaitan dengan iritasi pada diafragma
merupakan gejala khas Pallor ,d i a p h o r e s i s , r i g i d i t a s a b d o m e n ,
n a u s e a , m u n t a h d a n h i p o t e n s i b i s a t e r j a d i .
P e r f o r a s i ekstraperitonial, pergerakan refleks dari ekstemitas bawah bisa
25
terjadi.Letusan didalam kantung kemih jarang terjadi. Kauter dari jaringan prostat
dipercaya bisamembebaskan ga s yang mudah t e rbaka r . Seca ra no rma l ,
t i dak cukup oks igen yang t e rdapa t didalam kantung kemih agar bisa terjadi
letusan. Tetapi jika udara masuk bersama dengan cairanirigasi akan bisa berakibat
timbulnya ledakan.
4. Koagulopati
DIC ( Disseminated Intravasculer Coagulation) bisa terjadi berkaitan dengan pelepasan
partikel prostat yang kaya akan jaringan thrombopalstin menuju sirkulasi yang
menyebabkan fibrinolisissekunder. Dilutional trombositopenia bisa memperbusuk
situasi. DIC bisa dideteksi pada darahdengan timbulnya penurunan jumlah
platelet, FDP ( Fibrin Degradation Products) yang tinggi(FDP > 150 mg/dl) dan
plasma fibrinogen yang rendah (400 mg/dl)
5. Bakteremia, Septisemia dan Toksemia
Sekitar 30% dari semua pasien TURP memiliki urin yang terinfeksi saat
preoperatif. Ketika p ros t a t s i nus vena t e rbuka dan d igunakan i r i ga s i
dengan t ekanan t i ngg i , maka bak t e r i akanmasuk menu ju s i rkua l s i .
Pada 6% pas i en , bak t e r emia men j ad i s ep t i s emia . Abso rbs i
da r i endotoksin bakteri dan produksi toksin dari koagulasi jaringan akan
berakibat keadaan toksik pada pasien postoperatif. Gemetar yang parah, demam,
dilatasi kapiler dan hipertensi bisa terjadisecara temporer pada pasien ini.
6. Hipotermia
Hipotermia merupakan observasi yang selalu dilakukan pada pasien yang akan
dilakukan TURP.Penurunan dari suhu tubuh akan mengubah situasi
hemodinamika, yang mengakibatkan pasienmenggigil dan peningkatan konsumsi
oksigen. Irigasi kandung kemih merupakan sumber utamadari hilangnya panas dan
penggunaan cairan irigasi pada suhu ruangan menghasilkan penurunansuhu tubuh
26
sekitar 1-2oC. Ini diperburuk oleh keadaan ruangan operasi yang bersuhu
dingin.Pasien geriatri diduga akan mengalami hipotermia karena disfungsi otonom.
Vasokonstriksi danasidosis bisa berefek pada jantung dan berkontribusi
terhadap manifestasi sistem saraf pusat.Menggigil juga bisa diperparah oleh
pendarahan dari tempat reseksi.
Tata laksana sindrom TURP
Terapi Sindrom TURP meliputi koreksi berbagai mekanisme patofisiologikal yang
bekerja padahomeostasis tubuh. Idealnya terapi tersebut harus dimulai sebelum tejadi
komplikasi sistem saraf pusa t dan j an tung yang s e r i u s . Ke t i ka S ind rom
TURP d id i agnosa , p ro sedu r pembedahan sebaiknya diakhiri secepatnya.
Kebanyakan pasien bisa dimanajemen dengan restriksi cairan dan diuretic loop
Identifikasi gejala awal sindrom TURP dan pencegahan, penting untuk
mencegah efek yang fatal bagi pasien yang mengalami pembedahan
endoskopik. Hiponatremia yang terjadisebelum operasi harus dikoreksi
terutama pada pasien yang menggunakan obat-obatan diuretic dan diet rendah
garam. Antibiotic profilaksis memiliki peran dalam pensegahan bakterimia
dansep t i s emia . Cen t r a l Venous P re s su re (CVP) mon i to r i ng a t au
ka t e t e r i s a s i a r t e r i pu lmona l i s diperlukan untuk pasien dengan penyakit
jantung. Tinggi ideal cairan irigasi adalah 60 cm. Un tuk mengurang i
t imbu lnya s i nd roma TURP ope ra to r ha rus memba ta s i d i r i un tuk
t i dak me lakukan r e seks i l eb ih da r i 1 j am . D i s amp ing i t u bebe rapa
ope ra to r memasang s i s t o tomi suprapubik terlebih dahulu sebelum reseksi
diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sistemik. Untuk kasus dengan
operasi lebih dari satu jam staging TURP harus dilakukan. Kapsul p r o s t a t h a r u s
d i j a g a d a n d i s t e n s i k a n d u n g k e m i h h a r u s d i c e g a h . C a r a n y a
d e n g a n s e r i n g mengosongkan kandung kemih.K o r e k s i h i p o n a t r e m i a
s e b a i k n y a d i l a k u k a n d e n g a n d i u r e s i s d a n p e m b e r i a n
s a l i n hipertonis 3-5% secara lambat dan tidak lebih dari 0,5 meq/per 1 jam atau tidak
27
lebih cepat dari100 ml/jam. Tepatnya 200 ml salin hipertonis diperlukan untuk
mengkoreksi hiponatremia.P e m b e r i a n s e c a r a c e p a t d a r i s a l i n a k a n
m e n g a k i b a t k a n e d e m a p a r u d a n central pontine myelinolysis. Dua
pertiga dari salin hipertonis mengembalikan serum sodium dan
osmolaritas,sedangkan 1/ 3 meredistribusi air dari sel menuju ruang
ekstraseluler, dimana akan diterapidengan terapi diuretik menggunakan
furosemide.Fu rosemide s eba iknya d ibe r i kan dengan dos i s 1 mg /kg bb
s eca r a i n t r avena . Te t ap i , penggunaan fu rosemide da l am t e r ap i
S ind rom TURP d ipe r t anyakan ka rena men ingka tkan ekskresi natrium.
Oleh sebab itu 15% manitol disarankan sebagai pilihan, dalam kaitan
dengankerjanya yang bebas dari ekskresi natrium dan kecenderungan untuk
meningkatkan osmolaritasekstraseluler. Oksigen harus diberikan dengan
penggunaan nasal kanul. Edema paru sebaiknya dimanajemen dengan intubasi
dan ventilasi dengan penggunaan 100% oksigen.Gas darah, hemoglobin dan serum
sodium dinilai. Kalsium intravena bisa digunakanuntuk merawat gangguan
gangguan jantung akut saat pembedahan. Kejang sebaiknya diterapidengan
diazepam / midazolam / barbiturat / dilantin aau penggunaan pelemas otot
tergantungdari tingkat keparahannya.
Gejala hiponatremia yang bisa berakibat seizure bisa dihubungkan dengan
dos i s kec i l da r i midazolam (2-4mg), diazepam (3-5 mg),thiopental (50-100
mg).
Kehilangan darah diterapi dengan transfusi PRC. Pada kasus dengan DIC, maka
fibrinogen 3-4gram sebaiknya diberikan secara intravena diikuti dengan infus
heparin 2000 unit secara bolus( dan kemudian diberikan 500 unit tiap jam).
Fresh Frozen Plasma (FFP) dan platelet juga bisa digunakan tergantung dari jenis
koagulasinya.Drainase pembedahan dari cairan retroperitoneal pada kasus
perforasi bisa menurunkanmorbiditas dan mortalitas secara signifikan.
Arginin dapat diberikan sebagai tambahan infusglisin untuk menurunkan
efek toksik dari glisin pada jantung. Mekanisme bagaimana arginin
memproteksi jantung belum diketahui.
28
Phenytoin yang diberikan secara intravena (10-20 mg/kg) juga harus
dipertimbangkan untuk memperoleh aktivitas antikonvulsan. Intubasi
endotrakeal secara umum disarankan untuk mencegah aspirasi sampai status mental
pasien menjadi normal.Jumlah dan kadar salin hipertonik (3-5 %) diperlukan untuk
mengkoreksi hiponatremia menjadi ba t a s / l eve l yang aman , yang
d ida sa rkan konsen t r a s i s e rum sod ium pas i en . So lu s i s a l i n hipertonis
harus tidak diberikan dengan kecepatan tidak lebih dari 100 ml/jam sehingga
tidak menimbulkan eksaserbasi overload dari cairan sirkulasi. Hipotermi
dapat dihindari denganmeningkatkan suhu ruang operasi, penggunaan
selimut hangat dan menggunakan cairan irigasidan intravena yang telah
dihangatkan sampai suhu 37oC. Mana j emen pa s i en yang menga l ami koma
ha rus me l i pu t i oks igenas i , s i r ku l a s i yang m e m a d a i , p e n u r u n a n
t e k a n a n i n t r a k r a n i a l , p e n g h e n t i a n k e j a n g , t e r a p i i n f e k s i ,
m e n j a g a keseimbangan asam basa dan elektrolit dan suhu tubuh.
Pemantauan yang dilakukan glukosa,e l e k t r o l i t ( N a , K , C a , C l , C O 3 ,
P O 4 ) , u r e a k r e a t i n i n , o s m o l a r i t a s , g l i s i n , d a n a m o n i a .
Pemeriksaan gas darah dapat melihat PH, PO2, PCO2, dan karbonat. Perlu juga
dilakukan EKG untuk memonitor fungsi kardiovaskular.
Perawatan di Ruang Pemulihan.
Setelah selesai anestesia dan keadaan umum baik, penderita dipindahkan ke ruang
pemulihan.Disini diawasi seperti di kamar bedah, walaupun kurang intensif
dibandingkan dengan pengawasan sebelumnya.Untuk memindahkan penderita ke
ruangan biasa dihitung dulu. Skornya menurut Alderette
29
Tabel skor Aldrette
Yang Dinilai Nilai
Pergerakan
Gerak bertujuan
Gerak tak bertujuan
Diam
2
1
0
Pernafasan
teratur, batuk , menangis
depresi
perlu dibantu
2
1
0
Warna
merah muda
pucat
sianosis
2
1
0
Tekanan Darah
berubah sekitar 20%
berubah 20-30%
berubah lebih dari 30%
2
1
0
Kesadaran
benar-benar sadar
bereaksi
tak bereaksi
2
1
0
30
BAB III
PRESENTASI KASUS
Spinal Anestesi TURP Pada BPH
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn Randy
Usia : 57 th
Berat/ tinggi badan : 70 kg/ 175 cm
Pekerjaan : PNS
Agama : Kristen
Alamat : Jl.Sukun Pondok Ranggon 03/04, Cipayung
No. RM : 77610300
Tanggal Masuk RS : 21 September 2012 pukul 08.40 WIB
Tanggal Operasi : 23 September 2011
II. KEADAAN UMUM
Kesadaran : Compos Mentis,
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 80 x/ menit
Suhu : 360 C
Respirasi : 20 x/ menit
III. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Tidak bisa Kencing
31
Riwayat Penyakit Sekarang
Satu minggu SMRS Pasien merasakan suli untuk buang air kecil, pancaran
kencing lemah, harus menunggu lama untuk mengawali kencing, mengedan saat
buang air kecil. Bahkan pasien mengeluh sering namgun pada malam hari untuk
buang air kecil kurang lebih 5x setiap malam. Pada akhir kencing terasa ada air
kencing yang menetes, warna air kencing kuning, tidak pernah buang air kecil
dengan warnah merah. Pasien mengatakan tidak pernah ngompol, tidak mengeluh
ada rasa nyeri dan panas pada perut bagian bawah dan tidak ada demam. Pada saat
buang air kecil alirannya tidak pernah berhenti tiba tiba, aliran dan jarak kencing
tidak berubah dan tidak mengeluarkan pasir saat buang air kecil, tidak ada nyeri
pada daerah pinggang. Pasien tidak pernah mengalami kecelakaan atau jatuh yang
mengenai kemaluannya maupun jatuh dalam posisi duduk. Pasien sudah berusaha
mengobati keluhanya ke pengobatan alternatif dan puskesmas dan tidak ada
prubahan sehingga pasien memutuskan untuk datang berobat ke RS Tugu.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat dirawat di rumah sakit disangkal
Riwayat batuk lama disangkal
Riwayat asma atau sesak nafas disangkal
Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
Riwayat Hipertensi disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat anggota keluarga yang menderita keluhan serupa disangkal
Riwayat penyakit diabetes melitus atau kencing manis disangkal
Riwayat penyakit hipertensi atau darah tinggi disangkal
32
Anamnesis Sistem
Sistem Cerebrospinal : Demam (-), Nyeri kepala (-), pingsan (-), diplopia
(-), photophobia (-)
Sistem Cardiovascular : Nyeri dada (-), berdebar-debar (-), keringat dingin
(-), sesak (-)
Sistem Respiratorius : Sesak nafas (-), batuk (-)
Sistem Gastrointestinal : Mual (-), muntah (-), nafsu makan menurun (-),
nyeri tekan (-) di seluruh lapangan perut, nyeri ketok di seluruh lapangan perut
(-)
Sistem Urogenital : BAK tidak lancar, nyeri (-), panas (-), hematuria
(-)
Sistem Integumentum : Akral hangat (+), sianotik (-), eritema (-), gatal
(-), tangan basah dingin (-).
Sistem Muskoloskeletal : Nyeri tulang (-), gangguan gerak (-), penurunan
tonus otot (-), pruritus (-).
IV. PEMERIKSAAN FISIK
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), refleks cahaya
(+/+), pupil isokor Ø 3 mm, alis mata simetris (+/+), bulu mata rontok (-/-),
pertumbuhan bulu mata normal (+/+), entropion (-/-), ekstropion (-/-), ptosis (-/-),
kelopak mata bengkak (-/-), sekret (-/-).
Hidung : Bentuk normal, deviasi septum (-), sekret (-)
Telinga : Bentuk daun telinga normal, pendengaran normal, sekret
(-/-)
Mulut : Bibir kering (+), pucat (-), pecah-pecah (-).
Leher : Deformitas (-), tanda inflamasi (-), pembesaran kelenjar
getah bening (-)
33
Thorak : Inspeksi : dinding dada simetris (+), sikatrik (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), vocal fremitus simetris
kana- kiri, krepitasi (-)
Perkusi : sonor kiri-kanan, batas jantung normal
Auskutasi : bunyi napas dasar vesikuler +/+, ronki -/-,
wheezing (–), suara jantung S1 dan S2 normal.
Abdomen : Inspeksi : distensi abdomen (-), Darm contour (-),
Darm steifung (-)
Auskultasi : peristaltik (+), metallic sound (-), Borborygmi (-)
Palpasi : Nyeri Tekan (+),
Perkusi : Timpani
Genital : Nyeri tekan Supra Pubic (+), Pada rectal Toucher : Tonus
sfingter ani cukup, ampula recti tidak kolaps, mucosa rectum
licin, teraba massa di arah jam 12, kenyal, permukaan licin,
simetris, batas atas tidak dapat dirabah.
Ekstremitas : akral hangat, capillary refill <2”, edema
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
HB : 14,4 g/dl
Leukosit : 8,0 ribu/µl
Hematokrit : 45,4 %
Trombosit : 140 ribu/ µl
Natrium : 140 mmol/l
Kalium : 4,5 mmol/l
Clorida : 105 mmol/l
34
(-) (-)
(-) (-)
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto Polos Abdomen (BNO) menunjukkan bayangan vesica urinaria yang penuh
terisi urin, yang merupakan tanda dari suatu retensi urine.
VI. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik serta laboratorium, maka:
Diagnosa pre-operatif : Benigna Prostate Hyperplasia, :
ASA 2
VII. TINDAKAN ANESTESI
Keadaan pre-operatif : Tensi 110/ 70 mmHg, nadi 110 x/ menit, RR 24 x/menit
Jenis Anestesi : Spinal Anestesi
Anestesi dengan : Bupivacain (Bunascan) Spinal 0.5% Heavy
Posisi : Litotomi
Infus : RL 500 ML
Premedikasi : ±5 menit sebelum dilakukan induksi anestesi, diberikan
premedikasi berupa dan Fentanyl 50 mg
Induksi : Lidocain 20 Mg
Medikasi : Ketalar 20 Mg
Bupivacain Spinal 0.5% Heavy
Ranitidin
Jenis Pembedahan : Trans Urethral Resection of the Prostate (TURP)
Lama Operasi : 35 menit
Lama Anestesi : 3 Jam 40 menit
35
Maintenance
Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan nadi senantiasa di
kontrol setiap 5 menit. Tekanan darah sistolik berkisar antara 70-110 mmHg,
dan 45-80 mmHg untuk diastolik, nadi berkisar antara 80-100 x/ menit. Infus
RL diberikan pada penderita sebagai cairan intravena durante op.
Keadaan post operasi
36
Waktu 12.
45
12.
50
12.
55
13.
00
13.
05
13.
10
13.
15
13.
20
13.
25
Cairan
masuk
RL
500
RL
500
Cairan
keluar
Urin=
500cc
Darah=
200cc
Tensi 140/
90
125/
70
130/
80
110/
70
120/
80
120/
80
130/
70
137/
70
120/
80
HR 100 84 88 87 86 82 88 86 83
Operasi berjalan selama 35 menit
Ruang Rumatan
Pasien dipindah ke ruang pemulihan dan diobsevasi mengenai pernafasan, tekanan
darah, nadi. Bila pasien tenang dan Aldrette Score ≥ 8 tanpa nilai nol, dapat
dipindah ke bangsal. Namun, pada kasus ini, pasien langsung dipindahkan ke
ruang ICU untuk mendapatkan pengawasan yang lebih intensif.
Program post operasi
Pasien dikirim ke bangsal dengan catatan:
Setelah pasien sadar, pasien harus tiduran dengan kepala yang ditinggikan
dengan bantal selama 24 jam, pasien belum boleh duduk dan berdiri.
Kontrol tekanan darah, nadi dan pernafasan tiap 15 menit.
Bila pasien kesakitan beri Analgetik (ketorolac) 500 mg IV, boleh diulang tiap
8 jam.
Bila pasien mual-muntah diberi Ondansetron 4 mg IV.
Cairan infus Kaen 3B, beri O2 lewat nasal 3 lpm.
Post operasi, cek Hb. Bila <10 mg/dl tranfusi PRC sampai Hb ≥ 10
Cek H2TL dan elektrolit
Jika pasien sadar penuh dan peristaltik (+), coba makan dan minum
37
BAB IV
KESIMPULAN
Pada kasus ini pasien seorang laki-laki berusia tahun dengan diagnosa BPH dilakukan
tindakan TURP. Jenis anestesi yang digunakan adalah anestesi spinal dengan teknik
subarachnoid block yaitu anestesi pada ruang subarachnoid kanalis spinalis regio antara
vertebra lumbal 4-5. Obat yang digunakan adalah bupivacaine spinal 0,5% heavy.
Pemilihan teknik anestesi berdasarkan pada faktor-faktor seperti usia, status fisik, jenis
dan lokasi operasi, ketrampilan ahli bedah, ketrampilan ahli anestesi dan pendidikan.
Pemeliharaan selama operasi pada pasien ini diberikan O2 dengan nasal canule, dan
dipilih terapi cairan menggunakan kristaloid (RL).
Efek obat yang diberikan bertahan selama 3 jam 40 menit. Pasien dapat dipindahkan ke
ruangan setelah memenuhi criteria Aldrette .
38
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah nyeri saat penyuntikan, nyeri punggung, sakit
kepala, retensio urin, meningitis, cedera pumbuluh darah dan saraf, serta anestesi spinal
total.
Pada TURP komplikasi yang dapat terjadi adalah sindrom TURP yang
disebabkan oleh reseksi prostat transurethral sering membuka jaringan
ekstensif sinus vena pada prostat dan memungkinkan absorbsi sistemik dari
cairan irigasi. Absorbsi dari cairan dalam jumlah yang besar (2 liter atau
lebih) menghasilkan konstelasi gejala dan tanda yang disebut dengan sindrom
TURP.
Ca i r an yang t e r s e r i ng d igunakan s ebaga i c a i r an i r i ga s i ada l ah a i r
s t e r i l dan g l i s i n yang bersifat hipotonik.
.S ind rom TURP d ipenga ruh i bebe rapa ha l d i an t a r anya : t e rbukanya
s i nus p ros t a t s aa t pembedahan, tekanan irigasi, durasi operasi dan cairan irigasi
yang bersifat hipotonik.
4 . M a n i f e s t a s i k l i n i s y a n g m u n c u l d i a k i b a t k a n k a r e n a
p e n i n g k a t a n j u m l a h a i r ( l a r u t a n hipotonik) yang menyebabkan dilutional
hiponatremia, hipoosmolalitas, hiperglisinemia,hiperammonemia.
5.Sindrom TURP ini muncul intraoperatif maupun postoperatif dengan gejala
sakit kepala,kelelahan terus menerus, confusion, sianosis, dispnea, aritmia,
hipotensi dan seizure.Selain itu bisa berakibat lebih parah yaitu bisa
bermanifestasi overload sirkulasi cairan, toksisitas dari cairan yang digunakan
sebagai cairan irigasi.
6 .P r i n s ip penanganan s i nd rom TURP yang u t ama ada l ah
pencegahan , r e s t r i k s i c a i r an , diuretic loop, serta terapi intensif untuk pasien
yang mengalami koma
39
40