BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Etnis Tionghoa, yang dulu sering disebut Chinese Everseas atau Tionghoa
perantauan, tersebar di mana-mana. Jumlahnya diperkirakan 23 juta jiwa, dan
lebih dari 80% di antaranya berada di Asia Tenggara. Indonesia adalah salah satu
wilayah sebaran migrasi penduduk Cina. Proporsi populasi jumlah suku bangsa di
Indonesia menurut sensus 2000 adalah 7.776.000 jiwa1.
Tionghoa di Indonesia ialah sebuah kelompok etnis yang mempunyai
sejarah tersendiri di Indonesia. Etnis Tionghoa pernah menjadi isu yang besar
ketika pemerintahan Soeharto di mana eksistensi dan ruang gerak etnis Tionghoa
di tekan dan dibatasi pada waktu itu. Setalah berakhirnya rezim Orde Baru
memunculah berbagai perspektif baru mengenai eksistensi Etnis Tionghoa di
Indonesia.
Pascareformasi, salah satu aspek yang fenomenal adalah bangkit dan tumbuh suburnya apa yang disebut oleh peneliti senior Leo Suryadinata (2004) sebagai “Tiga Pilar Ketionghoaan”, yakni (1) organisasi Tionghoa; (2) pers berbahasa Tionghoa dan (3) sekolah berbahasa pengantar Mandarin (poin terakhir ini kurang tepat, karena tidak ada "Sekolah Mandarin", yang ada adalah sekolah Tiga Bahasa/Trilingual). Ketiga pilar tersebut dewasa ini nampak jelas di kota-kota besar Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Pontianak.2
1 http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia – diakses pada 10 Juni 2013, 19.21
2 http://wartaekonomi.co.id/berita6443/changyau-hoon-identitas-tionghoa-pascasoeharto-ranah-budaya-politik-dan-media.html - diakses pada 10 Juni 2013, 19:48
Tumbangnya rezim Soeharto, kebijakan Pemerintah Indonesia juga
berubah. Walaupun diskriminasi etnis belum terkikis habis, namun minoritas etnis
mulai mendapat jaminan, sekurang-kurangnya dari sudut hukum. Hal ini
merupakan perubahan yang baik bagi etnis Tionghoa, apalagi bagi etnis Tionghoa
keturunan yang lahir sudah lama lahir dan menetap di Indonesia. Waktu tinggal
dan domisili yang tetap di Indonesia, dan telah mempunyai bisnis tetap dan
bergerak, menjadikan etnis Tionghoa di Indonesia melebur dan mengikuti aturan
hukum yang ada. Semakin kesini, makin banyak etnis Tionghoa
berkewarganegaraan Indonesia, mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Bangsa China yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan ke
dalam masyarakat Indonesia secara setingkat dan setaraf dengan suku-suku
bangsa yang lain yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Orang-orang Cina di Indonesia dipanggil "Tionghoa", sepatah istilah yang dicipta sendiri oleh orang-orang yang berasal dari China di Indonesia. Istilah "Tionghoa" dan "Tiongkok" lahir daripada sebutan Melayu (Indonesia) dan Hokkien, jadi secara linguistik "Tionghoa" dan "Tiongkok" memang tidak dikenali (disebut atau didengar) di luar masyarakat Indonesia. Oleh sebab "Tionghoa" adalah istilah bahasa Indonesia yang khas, ia juga tidak dikenali di Malaysia dan Thailand. (Suryadinata, 2002:101)
Orang-orang Tionghoa Indonesia merupakan keturunan daripada orang-
orang Cina yang berhijrah dari China secara berkala dan bergelombang sejak
ribuan tahun dahulu. Catatan-catatan kesusasteraan China menyatakan bahwa
kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah mengadakan hubungan yang erat
dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di China. Faktor inilah yang kemudian
menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang-barang maupun manusia dari
China ke Nusantara dan sebaliknya.
Sejak awal masa reformasi etnis China semakin terintegrasi dengan orang
Indonesia (Mulyana,2011:72). Indonesia pernah memiliki pejabat setingkat
menteri yang orang Cina, dan sekarang Wakil Gubernur Ibu Kota Indonesia
adalah seorang keturunan Tionghoa. “Cina akan menguasai dunia”, itulah kata-
kata yang saat ini sering terdengar atau terpampang pada media massa, karena
kekuatan ekonomi yang dikembangkan oleh etnis Tionghoa, telah menjadi
kekuatan masa depan yang tidak dapat dipandang remeh. Namun, betapapun
China telah memasuki abad modern, abad pasar bebas, filosofi serta referensi
perilaku mereka masih tetap mengacu pada literatur-literatur klasik serta ajaran-
ajaran para tokoh China kuno. Strategi perang para Ksatria China sudah menjadi
topik riset ahli ekonomi dan bisnis. Ini bukan sesuatu yang mengherankan,
mengingat etnis Tionghoa memiliki peribahasa bahwa dunia bisnis adalah medan
perang.
Dahlan Iskan, dalam majalah Tempo edisi Maret 2012 mengungkapkan
bahwa sepuluh tahun terakhir ini, peta kekuatan dunia sudah berubah dan beralih
ke Asia, terutama Cina. Selain kekuatan ekonomi baru Cina yang kini menjadi
pesaing Amerika dan Eropa, juga banyak ide perubahan baru ditemukan dengan
segar di Negeri Tirai Bambu itu. Chow (2011:55) menyebutkan setidaknya ada
tiga faktor penyebab ekonomi China tumbuh dengan cepat, atara lain sumber daya
manusia yang berkualitas tinggi, institusi pasar yang berfungsi, dan banyaknya
kesempatan untuk berkembang.
Indonesia sendiri, sebagai negeri yang di dalamnya terdiri dari banyak
etnis, sentimen etnis memang dapat saja bermunculan, tetapi pemicu utamanya
lebih terletak pada kesenjangan sosial dan marginalisasi ekonomi kelompok yang
semakin mengental pada era konglomerasi. Kesadaran sebagai golongan minoritas
mendorong terbentuknya solidaritas yang kuat di kalangan orang China
(Hamdani, 2012:3). Solidaritas golongan ini menjadi faktor penting dalam
hubungan sosial yang penuh prasangka antara etnis Tionghoa dan orang-orang
pribumi. Sebabnya antara lain karena modal, keahlian, sistem informasi ekonomi
dan perdagangan hanya berputar dalam lingkaran golongan etnis Tionghoa.
Keistimewaan perilaku ekonomi etnis Tionghoa yang pertama adalah terletak
pada kuatnya sistem jaringan kerja. Walaupun demikian, sikap kompetitif antara
mereka tetap terpelihara secara sehat. Hal ini semakin memperkuat kinerja bisnis
di kalangan mereka. Bahkan saat terjadi krisis ataupun munculnya tantangan
besar, mereka akan saling bekerjasama. Oleh sebab itu, bisnis keluarga menjadi
salah satu ciri jaringan kerja yang mereka bentuk.
Demikian pula di Indonesia, usaha kecil sampai perusahaan besar China di
Indonesia banyak yang dikelola sebagai usaha keluarga, contohnya Salim Group,
Khong Guan, PT "Cap Orang Tua" perusahaan jamu "Jago", perusahaan jamu
"Air Mancur", dan lain-lain. Sebagai gambaran tokoh konglomerat etnis Cina,
salah satunya adalah Eka Tjipta Widjaja.
Eka Tjipta Widjaja adalah orang Indonesia yang awalnya lahir di Cina. Beliau lahir di Coana Ciu, Fujian, Cina dan mempunyai nama Oei Ek Tjhong. Ia lahir pada tanggal 3 Oktober 1923 dan beliau merupakan pendiri dan pemilik Sinar Mas Group. Ia pindah ke Indonesia saat umurnya masih sangat muda yaitu umur 9 tahun. Tepatnya pada tahun
1932, Eka Tjipta Widjaya yang saat itu masih dipanggil Oei Ek Tjhong akhirnya pindah ke kota Makassar. Di Indonesia, Eka hanya mampu tamat sekolah dasar atau SD. Hal ini dikarenakan kondisi ekonominya yang serba kekurangan. Untuk bisa pindah ke Indonesia saja, ia dan keluarganya harus berhutang ke rentenir dan dengan bunga yang tidak sedikit.3
Dalam hubungan bisnis etnis Tionghoa juga memiliki beberapa pedoman
etika dan perilaku bisnis, baik hubungan bisnis ke dalam maupun ke luar dalam
sebuah perusahaan untuk meningkatkan daya saingnya. Istilah etika berasal dari
bahasa Yunani Kuno, ethos. Bentuk tunggal ethos mempunyai banyak arti:
tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang habitat; kebiasaan, adat;
akhlak, watak; perasaan, sikap, cara befikir. Dalam bentuk jamak berarti adat
kebiasaan. (Bertens, 2011:4). Banyak literatur yang menyebutkan bahwa
kebiasaan-kebiasaan berbisnis orang China sangat baik. Cara-cara bisnis mereka
sangat kuat dan konsisten. Kekuatan dan kosnsistensi mereka tidak lepas dari
kebudayaan-kebudayaan yang mereka anut.
Spradley (2006) mendefinisikan budaya sebagai sistem pengetahuan yang
diperoleh manusia melalui proses belajar, yang mereka gunakan untuk
menginterpretasikan dunia sekeliling mereka, dan sekaligus untuk menyusun
strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka. Kebiasaan China
dalam menjaga budaya dan melakukan pewarisan-pewarisan budaya sangat baik,
hal ini ditunjukan oleh kecintaan mereka terhadap leluhur. Menghargai para
leluhur serta nilai-nilainya diajarkan sejak dini oleh orangtua-orangtua kepada
anaknya. Penghargaan terhadap nilai-nilai leluhur ini dijaga dengan baik oleh
keturunan Tionghoa di belahan dunia manapun. Termasuk Tionghoa yang
3 http://profilpengusahasuksesindonesia.blogspot.com/2012/11/kisah-pengusaha-sukses-dari-nol-eka.html - diakses pada 10 Juni 2013, 20:02
berwarganega Indonesia, selain mereka menjunjung tinggi negara dimana mereka
berada, kekuatan persatuan kekeluargaan etnis Tionghoa serta pemahaman dan
penghargaan terhadap budaya asli China akan terus dipegang teguh dan tidak
pernah hilang. Falsafah-falsafah dan kebiasaan-kebiasaan terus disebarkan dan
diwariskan dengan baik.
Geertz (dalam Pals, 2012,328) menjelaskan jika kita ingin memahami
aktivitas kebudayaan, agama (kepercayaan) merupakan elemen terpenting di
dalamnya. Dalam budaya China, unsur kepercayaan sangat kental sekali. Agama
China bahkan dipandang sebagai bentuk kebudayaan besar namun tetap unik. Hal
ini tentu membingungkan jika kita melihat track record China sebagai Negara
komunis yang cenderung materialistik.
Pada dasarnya, dasar berfikir orang China selalu mengembalikan kepada
hakekat keharmonisan antara kehidupan “langit” (alam gaib) dan kehidupan di
bumi dan manusia (alam dunia nyata) Mereka percaya bahwa alam semesta ini
sebagai akibat dari inkarnasi kekuatan alam (Hidajat, 1993:14). Orang Tionghoa
percaya bahwa alam dikuasai oleh spirit-spirit yang kekuatannya luar biasa.
Wujud alam dianggap semata-mata sebagai ekresi dari spirit-spirit yang mendiami
alam. beberapa spirit ini hidup dalam alam seperti langit, matahari, tanah, air,
tumbuh-tumbuhan dan gunung, serta fenomena alam lainnya.
Orang Tionghoa beranggapan bahwa spirit-spirit alam itu adalah spirit
yang berasal dari arwah-arwah nenek moyang, yang kekuatan hidupnya demikian
kuat, sehingga dapat melanjutkan kekealan hidupnya setelah jasad jasmaninya
mati (Hidajat, 1993:14). Hal ini sangat berkaitan dengan kebudayaan orang China
yang begitu menghargai leluhurnya. Menghargai leluhur berarti ikut menjaga
keseimbangan antara “langit” dan “bumi”, yang gaib dan yang nyata.
Keberhasilan hidup berbisnis masyarakat China, yang bukan hanya di
Indonesia saja, namun di wilayah migrasi masyarakat China lain, menandakan
adanya satu kekuatan yang sama yang membuat mereka, sebagai etnis pendatang
di daerah migrasinya, mampu untuk berhasil. Kekuatan yang sama itu tidak lain
adalah kebiasaan-kebiasaan atau adat istiadat asli mereka yang terus mereka jaga
yang di dalamnya terdapat nilai-nilai, etos-etos, dan cara-cara bagaimana
berbisnis.
Walaupun masyarakat China yang bermigrasi keluar China melakukan
adaptasi terhadap tempatnya yang baru, juga telah terjadinya akulturasi budaya
dengan daerah baru, sebagian budaya asli China masih tetap di pegang teguh.
Namun tidak menutup kemunginan terjadinya sebuah akulturasi kebudayaan,
antara China dan Indonesia. Proses sosial tingkat lanjut ini timbul apabila terdapat
golongan-golongan manusia yang mempunyai latar belakang kebudayaan yang
berbeda-beda, saling berinteraksi dan bergaul secara langsung dan intensif dalam
waktu yang lama, dan kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi dapat
berubah sifatnya yang khas menjadi unsur-unsur kebudayaan yang baru, yang
berbeda dengan aslinya.
Berdasar dari fakta-fakta di atas, penulis tertarik untuk menguraikan
bagaiman etnis Tionghoa di Indonesia mengaplikasikan budayanya, melihat
bagaimana budaya asli China diterapkan di Indonesia, bagaimana budaya-budaya
yang mengalami akulturasi. Untuk mempersempit kajian pengaplikasian tersebut,
penulis akan melihat aplikasi tersebut dari aspek bisnis. Penulis akan menguraikan
bagaimana praktik-praktik bisnis yang dilakukan Orang Tionghoa di Indonesia.
Salah satu pengusaha keturunan Tionghoa adalah Widya Pratama. Beliau
adalah pengusaha di bidang bahan makanan, yaitu kopi. Nama tokonya adalah
“Kopi Aroma”. Nama tersebut mungkin tidak asing lagi bagi masyarakat
Bandung, bahkan untuk Indonesia. Toko yang bertuliskan “AROMA – PABERIK
KOPI” ini terletak di jalan Banceuy No.51 Bandung.
Widya adalah anak tunggal dari pasangan Tan Houw Sian yang kelahiran Indramayu dan Tjia Kiok Eng yang berasal dari Cirebon. Keduanya sudah meninggal dan mewariskan usaha Kopi Aroma kepada anak tunggalnya ini. Selain menjalankan usaha Kopi Aroma, Widya adalah dosen tetap pada Fakultas Ekonomi Unpar dan dikenal dalam menegakan integritas kejujuran kepada para mahasiswanya.4
Kopi aroma pertama kali beroprasi pada tahun 1930 di kota Bandung dan
sudah terkenal bahkan hingga Amerika, Belanda, Perancis. Malahan menurut
rumor, pendiri gerai kopi terbesar di Dunia, Starbucks, sampai menyempatkan
datang untuk mencicipi produk dari Kopi Aroma.
1.2. Fokus Kajian Penelitian
Fokus penelitian ini adalah menguraikan praktik-praktik budaya
komunikasi yang dilakukan etnis Tionghoa di Indonesia dalam berbisnis. Praktik-
praktik budaya komunikasi tersebut termasuk nilai kepercayaan dan nilai sosial
etnis Tionghoa serta kaitan antar keduanya yang diaplikasikan dalam cara-cara
4 http://www.cikopi.com/2011/07/kopi-aroma-widya-pratama/ - Diakses pada 11 Juni 2013, pukul 13.21
berbisnis orang Tionghoa di Indonesia.
Pada uraian mengenai nilai kepercayaan, penulis akan menguraikan nilai
kepercayaan seperti apa yang melandasi perilaku bisnis orang Tionghoa,
anggapan-anggapan terhadap kepercayaan gaib, anggapan mereka terhadap nasib
dan peranan dewa-dewa. Nilai kepercayaan yang sebelumnya bersifat “gaib” dan
bersifat komunikasi dengan Tuhan ini nantinya akan diteruskan kepada uraian
tentang praktik-praktik sosial mereka. Pada uraian nilai-nilai sosial akan diuraikan
tentang cara-cara komunikasi dan perlakuan etnis Tionghoa terhadap objek yang
dikenai budaya komunikasi tersebut, yaitu bisnis.
1.3. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang sebelumnya penulis utarakan, maka
penulis merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: “Bagaimana Perilaku
Bisnis Keluarga Widya Pratama Sebagai Pebisnis Indonesia-Tionghoa di
Bandung?”
Kemudian berdasarkan perumusan masalah tersebut, penulis
mengemukakan pertanyaan penelitian antara lain:
1. Bagaimana peristiwa komunikasi bisnis yang didasari oleh nilai-nilai
kepercayaan dilakukan keluarga Widya Pratama?
2. Bagaimana peristiwa komunikasi bisnis yang didasari oleh nilai-nilai
sosial dilakukan keluarga Widya Pratama?
3. Bagaimana kolaborasi antara nilai-nilai kepercayaan dan nilai-nilai sosial
diterapkan dalam perilaku komunikasi bisnis keluarga Widya Pratama?
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Menjelaskan peristiwa komunikasi bisnis yang didasari oleh nilai-nilai
kepercayaan dilakukan keluarga Widya Pratama?
2. Menjelaskan peristiwa komunikasi bisnis yang didasari oleh nilai-nilai
sosial dilakukan keluarga Widya Pratama?
3. Menjelaskan kolaborasi antara nilai-nilai kepercayaan dan nilai-nilai sosial
diterapkan dalam perilaku komunikasi bisnis keluarga Widya Pratama?
1.5. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini antara lain:
1. Penelitian ini penulis gunakan sebagai tugas akhir dalam menempuh
pendidikan Program Pascasarjana Bidang Kajian Komunikasi Bisnis di
Universitas Islam Bandung.
2. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai pengaya bagi penelitian terdahulu
tentang kebudayaan Tionghoa Indonesia khususnya dalam aspek budaya
bisnis.
3. Penelitian ini melibatkan etnis tertentu dalam berperilaku, karenanya
penelitian ini dapat memberikan kegunaan sebagai pembanding terhadap
perilaku-perilaku etnis lain dalam aspek bisnis.
4. Penelitian ini dapat memberikan gambaran terbaru mengenai perilaku
bisnis yang dilakukan etnis Tionghoa di Indonesia.
5. Penelitian ini berguna dalam memberikan wawasan bagi para pebisnis
sekaligus meniru hal-hal yang dianggap positif dari perilaku-perilaku
bisnis etnis Tionghoa.
1.6. Alasan Penelitian
Alasan peneliti dalam menentukan kajian dalam penelitian ini antara lain:
1. Jurusan yang ditempuh peneliti yaitu komunikasi bisnis, karena itu peneliti
merasa harus menonjolkan aspek komunikasi dan juga aspek bisnis agar
penelitian ini berguna teoritis dan praktis bagi komunikasi bisnis.
2. Jumlah etnis Tionghoa di Indonesia yang bisa dibilang jumlahnya amat
banyak untuk sebuah etnis minoritas dibandingkan dengan negara lain.
3. Adanya anggapan terkenal bahwa etnis Tionghoa di Indonesia lebih
mapan dibandingkan pribumi.
4. Adanya anggapan bahwa orang China mempunyai cara berbisnis yang
khas yang bisa membawa mereka lebih makmur di manapun etnis ini
berada.
1.7. Batasan penelitian
Untuk mencegah pembahasan yang melenceng, memfokuskan uraian dan
memperjelas batasan topik penelitian, maka penulis menetapkan batasan
penelitian, antara lain:
1. Penelitian ini dilakukan di keluarga Widya Pratama yang merupakan
pengusaha keturunan Tionghoa yang berada di Bandung
2. Penelitian bertempat di Jalan Banceuy No. 51 Bandung, Jawa Barat
3. Aspek yang diteliti adalah aspek kebudayaan Tionghoa yang berkaitan
dengan perilaku komunikasi bisnis keluarga Widya Pratama
4. Penelitian ini menguraikan perilaku komunikasi yang dilakukan keluarga
Widya Pratama terhadap objek bisnis mereka, yaitu produk mereka
sendiri, konsumen mereka, dan relasi bisnis mereka. Penelitian ini tidak
membahas bagaimana perlakukan objek bisnis tadi terhadap keluarga
Widya Pratama.
5. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai Desember 2013
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Penelitian Terdahulu
2.1.1.1. Penelitian Erin Kite
Identitas kebudayaan Tionghoa; Kebijaksanaan Suharto dan keberhasilanya
mencapai Pembauran Lengkap (oleh Erin Kite - ACICIS Studi
Lapangan Malang, Universitas Muhammadiyah Malang, 2004)
Penelitian yang dilakukan oleh Erin Kite ini dimaksudkan untuk mencari
tahu bagaimana masyarakat Tionghoa di Indonesia merasa dan memahami
identitas mereka, khususnya identitas kebudayaan yang berasal dari keturunan
Tionghoanya. Dalam penelitian ini Erin Kite melakukan pemeriksaan tentang
hukum-hukum yang dibuat selama periode pemerintahan Suharto, yaitu Orde
Baru.
Penelitian tentang identitas kebudayaan Tionghoa di Indonesia akan selalu
berkaitan dengan hukum-hukum tersebut di atas karena selama 30 tahun silam,
hukum hukum ini sudah mengatur keberadaan identitas masyarakat Tionghoa
dengan mengatur adanya penyelengaraan aspek-aspek yang paling penting untuk
kebudayaan Tionghoa. Penelitian harus mengikut sertakan sebuah penafsiran
mengenai kondisi social dan bersejarah yang bercokol pada zaman dan periode
yang terjadi sebelum Orde Baru, berserta pembauran hukum hukum tersebut
sehingga timbul pemahaman tentang dasar yang tidak resmi untuk hukum-hukum
sejenis ini.
Salah satu faktor yang menghubungkan keturunan Tionghoa dengan
masalah politik di Indonesia adalah, undang undang yang diciptakan oleh
pemerintah Indonesia untuk mengatur identitas dan kebudayaan keturunan
Tionghoa selalu berhubungan dengan politik pemerintahan. Salah satu contohnya
adalah keputusan untuk melarang diselenggarakannya adat istiadat Tionghoa di
Indonesia. Walaupun sikap pemerintah sedikit demi sedikit berubah dalam
penerapan undang-undang ini tetap saja, selama periode lama undang-undang
tersebut dipakai untuk menghilangkan adanya perbedaan kebudayaan antara
pribumi dan Tionghoa. Dan hal ini menyebabkan hilangnya identitas asli orang
Tionghoa di Indonesia tanpa pembicaraan undang-undang tersebut di atas.
Erin Kite menyimpulkan bahwa hukum-hukum dari Orde Baru yang
tersebut di atas mencapai keberhasilan yang terbatas, yaitu kemampuan berbehasa
Tionghoa antara kelompok usia 15 sampai 19 tahun amat berkurang, dan banyak
orang Tionghoa sudah berpindah agama menjadi penganut Kristen atau Katolik.
Akan tetapi, walau ketidakmampuan dan perubahan sesugguhnya tercipta oleh
adanya hukum-hukum tersebut, hukum ini tidak mengurangi kekuatan identitas
Tionghoa antara masyarakat keturunan Tionghoa di Malang. Ini bisa dilihat dari
hasil angket yang memperlihatkan bahwa kebanyakan koresponden (walaupun
tidak banyak) masih merasa lebih seperti seorang Tionghoa daripada seorang
Indonesia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu.
Ada beberapa alasan yang menjelaskan situasi tersebut. Yang pertama
adalah bahwa hukum-hukum ini mencoba memaksa Tiohgoa untuk membaur;
sesuatu yang tidak bisa dipaksa. Yang kedua adalah bahwa hukum-hukum
tersebut memeliki tujuan yang bertolak belakang. Misalnya adanya peraturan yang
melarang penyelengaraan kebudayaan Tionghoa sehingga mendorong pembauran,
tetapi pada sisi yang lain ada hukum yang mengidentifikasi seorang sebagai
seorang Tionghoa, terpisah dari kependudukan lain di Indonesia.
Akibatnya, hukum-hukum ini tidak mencapai tujuan yang sebenarnya,
yaitu pembauran lengkap, seperti yang didefinisikan pemerintah Suharto. Akan
tetapi jikalau pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) menginginkan
adanya pembauran antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat Indonesia yang
lain, mereka hendaknya memusatkan pada usaha untuk memperbaiki hubungan
antara dua kelompok ini, bukannya mencoba untuk men-indonesia-kan
masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia.
2.1.1.2. Sumbangsih Agama Konghuchu terhadap Keberhasilan Bisnis Etning Tionghoa serta Memberi Warna Cantik dalam Bisnis (Js. Drs. Ongky Setio Kuncono, MM., MBA., Universitas 17 Agustus, 2012)
Karakteristik pembangunan ekonomi suatu negara juga amat dipengaruhi
oleh karakter budaya yang berkembang. Budaya Konfusianisme yang
menekankan prinsip-prinsip hubungan kekeluargaan antar sesama manusia telah
menghambat perkembangan kapitalisme di negara-negara Timur yang kental
dengan budaya Konfusius.
Pada tatanan budaya, terdapat banyak komponen pembentuk sebuah
budaya. Dalam sebuah budaya, terkandung unsur nilai-nilai informal, dan norma-
norma yang membentuk karakter dan pola perilaku ekonomi manusia. Menurut
Kuncono budaya mempengaruhi perekonomian. Perilaku-perilaku ekonomi pasti
berlandaskan pada budaya-budaya setempat. Perilaku bisa tercermin dari aktivitas
produksi, pola konsumsi dan produktivitas, enciptaan dan pengendalian sebuah
institusi, dan kemampuan menciptakan jaringan sosial.
Dalam menjalankan bisnis, masyarakat etnis Tionghoa selalu berpegang
pada etos kerja disiplin, pekerja keras, hemat, jujur dan konsisten dalam
pelaksanaan tugasnya. Apabila dikaji, etos-etos kerja ini berakar dari ajaran
Konfusius yang telah menjadi budaya etnis Tionghoa. Tipikal budaya Tionghoa
tercermin dalam etos kerja pekerja-pekerja di negara-negara industri baru.
Sistem manajemen perusahaan etnis Tionghoa juga tidak terlepas dari
nilai-nilai budaya Tionghoa. Nilai-nilai budaya Tionghoa dipandang memiliki
peranan penting dalam menentukan jalannya sebuah organisasi bisnis dan praktek
manajerial perusahaan-perusahaan Tionghoa. Bagi etnis Tionghoa, perusahaan
bisnis merupakan sebuah entitas ekonomi di mana cara-cara menjalankan
perusahaan tersebut amat dipengaruhi oleh nilai-nilai Konfusius. Nilai-nilai
Konfusius yang merupakan sistem etika dan filosofi telah berkembang menjadi
bagian yang tidak dapat terpisahkan dari budaya Tionghoa. Pada hakekatnya,
ajaran Konfusius merupakan sebuah sistem yang mengajarkan tentang moral,
sosial kemasyarakatan, aspek politis, dan filosofis yang menitikberatkan pada
kepentingan komunitas dibandingkan kepentingan individu. Konfusianisme
berkaitan dengan moral dan aturan yang mencakup bagaimana seharusnya seorang
individu berinteraksi terhadap Tuhan dan sesamanya, baik dalam lingkungan kecil
yakni tingkat keluarga, berinteraksi pada masyarakat (pada tatanan organisasi),
dan meluas ke interaksi dalam bernegara (tatanan pemerintahan) bahkan interaksi
dalam kerjasama internasional ( dalam hubungan dengan antar Negara ).
Kalau melihat beberapa kenyataan, baik data statistik maupun pengamatan
pada berbagai kota besar di tepian Asia-Pasifik, termasuk Indonesia, pada
umumnya di sepanjang jalan raya dipenuhi dengan pertokoan, perkantoran,
restoran, dan sebagaian besar dimiliki atau setidaknya dikuasai oleh masayarakat
Tionghoa (WNI atau WNA). Hal ini merurut Wastu Ptagantha Chong dapat
dikatakan salah satu indikator bahwa dewasa ini mereka telah berhasil dalam
menjalankan bisnis.
Khususnya di Indonesia, Confucius atau Konfusius terkenal dengan istilah
Khonghucu (Khong Fu Ze), ada sebagian orang yang menyebut Konfusianisme
adalah penerus Ji Kau (agama kaum lemah lembut) yakni Agama Khonghucu
sebagai tokoh sentralnya adalah Confucius (Khonghucu) itu sendiri. Menurut
Dr.Lasiyo Khonghucu mengarah pada dua istilah Ju Chiao yang mengarah pada
keagamaan sedangkan yang satunya lagi disebut Ju Chia (tanpa “o”) mengarah
pada suatu aliran filsafat. Baik Filsafat maupun keagamaan telah menjadi satu
yang disebut dengan Confucius . Beliau (Confucius) adalah tokoh yang
menyempurnakan kepercayaan dan tradisi yang sudah ada jauh sebelum
kelahirannya. Dari Raja Fuxi sampai sekarang hampir 5000 tahun yang lalu,
sedangkan Konfusius sudah sekitar 2.500 tahun yang lalu. Sejarah yang panjang
itu menjadikan budaya dan etika Ji-kau (Confucius) begitu melekat pada orang
orang Tionghoa sepanjang sejarah yang ada. Ajaran Konfusius juga meringkas
dari beberapa tokoh terdahulu hampir 2.500 tahun sebelum Konfusius sehingga
berjalan serta berkembang hingga kini hampir juga 5.000 tahun. Konfusius
adalah penegak dan pelengkap sekaligus menggenapi ajaran kuno itu sebagai etika
moral dan agama yang begitu kental melekat pada etnis Tionghoa yang masih
menjalankan dan menerapkan ajarannya.
Etika Confucius adalah nilai nilai, aturan, moral yang bersumber pada
ajaran Confucius sendiri yang mempengaruhi tingkah laku dan kehidupan
seseorang atau kempok masyarakat khususnya masyarakat Tionghoa. Umumnya
Etika Confucius diajarkan secara lisan secara turun temurun dari orang tuanya
dan ini berjalan berabad abad tahun lamanya sehingga terbentuk masyarakat
Confucius tradisional. Karakteristik masyarakat Confucius tradisional biasanya
menjalankan tradisi tanpa adanya tata laksana agama yang benar. Namun ada
kalanya Etika Confucius didapat dari kitab kitab Confucius yang dibawa oleh
para pendatang (saudagar) ke Indonesia dan sebagian kaum cendekia dan
mengembangkan di Indonesia . Kitab kitab tersebut digunakan sebagai sumber
ajaran Confucius dan digunakan sebagai dasar dalam berperitingkahlaku dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Etos Confucius atau Etik Confucius (Confucian Ethick) menurut Lin Yu
Tang (1936) dalam bukunya “My Country and My People“ mengatakan bahwa
“Upaya manusia untuk memperoleh Kebajikan di dalam (Inner Sageliness) dan
berpenampilan sebagai Raja (outer kingliness). Artinya bahwa nilai - nilai
Confucius dipelajari ke dalam (Inner Sageliness) sebagai moral kebajikan
sedangkan keluar merupakan wujud perilaku nyata dalam kehidupan sehari - hari.
Etika Confucius mengandung nilai nilai seperti toleransi pada sesama
manusia baik antar kawan, atasan bawahan, antar sesama saudara dan lain lain;
berlaku bakti kepada orang tua serta saudara yang lebih tua ; kesetiaan serta dapat
dipercaya kepada Negara bangsa, hormat kepada yang berusia lanjut dan guru dan
kasih sayang kepada anak dan saudara lebih muda.
Pada principnya etika Confucius mengajarkan akan pentingnya pembinaan
diri (self cultivation) serta nilai nilai moral, baik kepada diri pribadi, keluarga,
masyarakat dan negara bahkan dunia.
2.1.1.3. Penelitian Historis Keberadaan Budaya Keagamaan Khonghucu Di Indonesia (Buanajaya B.S., Laporan Penelitian Setingkat Tesis Untuk Mencapai gelar Xuandaoshi XDS 宣道士 , Matakin Dewan Rohaniawan Agama Khonghucu Indonesia 印尼孔教总会宣道员 , 2009)
Berbagai komunitas agama besar dunia nyaris semuanya ada di Indonesia,
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu dan lain lain. Juga keturunan
India, Arabia, Tionghoa dan Eropa secara genetik maupun sosio kultural ikut pula
memperkaya bangsa ini. Karakter bangsa Indonesia yang multikultural ini
menurut pemahaman Buanajaya, mencerminkan kehendak Tuhan Seru Sekalian
Alam; sehingga negara kebangsaan ini diharap akan menjadi suatu wahana
pemersatu, sekaligus wadah asimilasi dan akulturasi berbagai entitas budaya umat
manusia di muka bumi ini. Indonesia memang nyata merupakan sebuah negeri
dari suatu bangsa yang utuh, berdaulat dan unik; yang merupakan hasil peleburan
berbagai golongan etnis, komunitas agama dan kepercayaan lokal serta akar
bangsa.
Di balik semua kelebihan yang mewariskan manfaat besar bagi anak cucu
bangsa Indonesia di masa depan, keaneka-ragaman yang dimiliki nusa dan bangsa
Indonesia itu mewariskan pula suatu tantangan besar. Secara internal bangsa
Indonesia punya laju pertumbuhan penduduk dan ragam golongan, yang
menyimpan potensi perebutan kepentingan. Disamping itu kesuburan dan
kekayaan hayati yang tersimpan di bumi dan lautan kita menggelitik rasa iri hati
orang luar untuk merebutnya, seperti pernah terjadi berabad lalu dilakukan oleh
VOC dan kompeni Belanda dari Eropa. Tantangan besar itu memerlukan sebuah
solusi yang bijak agar supaya negara kebangsaan ini benar benar mampu menjaga
kekayaan dan kedaulatannya. Dengan begitu, sejarah masa lalu itu perlu dicermati
sebagai bahan kajian bagi tiap warga bangsa, untuk membangun tatanan
kehidupan yang adil dan makmur, aman tenteram kerta raharja secara nyata dan
bukan sekedar ide.
Budaya religius Khonghucu memasuki masa penuh tantangan saat
dijatuhkannya pemerintahan Presiden Ir. Soekarno serta digantikan pejabat
presiden Jenderal Soeharto. Jenderal Soeharto, pada akhir 1967 selaku Pejabat
Presiden mengeluarkan Instruksi no.14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan
dan Adat Istiadat Cina; menegaskan:
‘Tanpamengurangi jaminan keleluasaan memeluk Agama dan menunaikan
ibadahnya, tata cara ibadat Cina yang mempunyai aspek affinitas culturil yang
berpusat pada negeri leluhur nya, pelaksanaannya harus dilaksanakan secara
intern dalam hubungan keluarga dan perorangan.’ Juga sebuah instruksi
Mendagri, mewakili cukup banyak produk peraturan yang memarginalkan hak
beragama waktu itu.
Dengan adanya Inpres.No.14/Tahun 1967 tersebut di atas kemudian
seperti yang sudah diduga bersama diikuti dengan keluarnya produk peraturan
yang mendiskriminasi hak hak sipil masyarakat Indonesia dari etnik Tionghoa dan
beragama Khonghucu. Secara sistematis dan masif dilakukan oleh para menteri
dan pejabat terkait serta penguasa setempat oleh para pelaku dan penerus
kekuasaan pusat di setiap provinsi, kota dan kabupa ten melancarkan praktik
diskriminasi tersebut di atas.
Secara konstitusional hal ini bertentangan dengan Undang Undang Dasar
1945, dan sekaligus melanggar Hak Azasi Manusia. Tantangan terhadap hak
warga bangsa di bidang sosial budaya ini diikuti oleh berbagai peraturan yang
mendiskriminasi kehidupanbudaya keagamaan yang dipeluk bangsa Indonesia
keturunan Tionghoa sehingga berdampak termarginalnya budaya religius
Khonghucu bagi masyarakat Indonesia Tionghoa selama 32 tahun lebih.
Termasuk terpasungnya hak hak sipil masyarakat Indonesia Tionghoa di berbagai
bidang kehidupan budaya keagamaannya; antara lain dianulirnya pencatatan
perkawinan secara agama Khonghucu di kantor Catatan Sipil, dihentikan
pendidikan agama bagi siswa/mahasiswa beragama Khonghucu, secara sistematis
ditiadakannya kolom agama Khonghucu pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan
Kartu Keluarga (KK). Hal ini adalah penggiringan paksa oleh pemerintah dan
pemerintah daerah (sampai Kecamatan, Kelurahan, RW dan RT) terhadap warga
negara Indonesia pemeluk agama Khonghucu. Mereka secara tidak langsung
tetapi sengaja diarahkan untuk berpindah (konversi) ke agama lain yang bukan
diimaninya.
Era pemerintahan Presiden Abdurrachman Wahid semua instruksi ‘orde
baru’ yang bersifat diskriminatif sejak 1967 di atas itu dicabut, yaitu melalui
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6/Th.2000 Tentang Pencabutan
Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan dan Adat
Istiadat Cina. Mendagri th.2000 juga mencabut instruksi Mendagri th.1967. Salah
sebuah budaya religius yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat
Indonesia Tionghoa ialah perayaan Tahun Baru Imlek. Sebagaimana Tahun Baru
Hijriyah, Tahun Baru Saka Hindu, maupun Tahun Baru Masehi semua itu berakar
pada budaya keagamaan.
Tujuan utama penelitian ini ialah, membuktikan adanya transformasi nilai
budaya religius Ru (Khonghucu) membentuk nilai kecintaan dan keterikatan
rohani dengan bang samaupun bumi pertiwi Indonesia, yang wajib dijaga dengan
penuh tanggung-jawab sepanjang hayat dikandung badan. Hal ini menjadi roh
keterikatan kepada tanah-air, dijiwai oleh suatu sistem kepercayaan, kearifan
budaya yang hidup dalam tubuh anak bangsa, sebagai warisan mulia dan luhur
nenekmoyang. Utamanya yang masih eksis dalam budaya Betawi dan budaya
masyarakat daerah pesisir kepulauan Nusantara lainnya.
Munculnya agama tak terlepas dari kehendak Khalik Maha Pencipta,
Tuhan YangMaha Esa. Wahyu Tuhan (Tian Xi 天 锡 ) yang telah menjadi
firmanNya dalam Watak Sejati (Xing 性) manusia bahkan segenap wujud. Dengan
Jalan Suci Nya (Dao 道 ) menjadikan segenap manusia beroleh Iman (Cheng 诚);
agar mampu menempuh Jalan SuciNya manusia dalam kehidupannya memperoleh
bimbingan agama (Jiao 教).
Oleh karenanya tiap tiap agama besar di dunia ini membawakan jalan suci
berupa bimbingan spiritual bagi manusia, memiliki ciri khas masing masing
dalam menyebut Tuhan Yang Maha Esa, melalui para orang suci dan nabi nabi
penerima wahyuNya dalam sejarah dan membawakan wahyuNya itu dalam kitab-
kitab suci serta sistem ibadah, altar dan tempat suci yang disakralkan. Begitu pula
pada latar belakang Rujiao ( 儒 教 ) sebagai sebu ah agama yang eksis
berdampingan dan saling mempengaruhi dengan pertumbuhan per adaban serta
kebudayaan masyarakat sekitarnya. Rujiao sebagai budaya religius yang ke
mudian di tanah air Indonesia lebih dikenal sebagai : agama Khonghucu.
Akulturasi antara budaya Dongson dan sosio kultural Ru (Khonghucu)
ikut terbawa oleh nenek moyang bangsa Indonesia memang nyata terlihat dari
keseharian cara hi dup masyarakat Tionghoa, yang secara sosio kultural menerima
pengaruh ciri ciri budaya bahasa, bahkan kesenian dan selera makanan masyarakat
luas di sekitar mereka tinggal.
Begitu pula di Ibukota Jakarta, masyarakat Tionghoa ‘peranakan’ sudah
lama berintegrasi bahkan berasimilasi dengan seni-budaya, makanan,bahasa
Betawi. Terlihat pula antara kearifan budaya Khonghucu di kalangan Tionghoa itu
saling bertukar sosial budaya Betawi dan pesisir kepulauan Nusantara selama
berabad-abad. Di Jakarta keramaian merayakan hari hari besar keagamaan di
Kelenteng, begitupula dalam pesta perkawinan keluarga Tionghoa Betawi jaman
dahulu, sudah merupakan bagian dari budaya masyarakat; maka sering juga
dipertunjukkan kesenian Betawi, gambang kromong, lenong, kroncong dan lain
lain.
Dari dasar sejarahnya, agama agama yang jelas keberadaannya di
Indonesia berturut turut ialah: budaya keagamaan Hindu Buddha Khonghucu
sejak awal pencatatan sejarah Indonesia (5abad SM-5abad M), budaya keagamaan
Islam semenjak pencatatan intensif kunjungan musafir muslim Tionghoa,
Chenghe dari Ming, Tiongkok (14abad M), kemudian budaya religi Kristen dan
Katolik bersamaan dengan masuknya koloni koloni Eropa (16abad M). Pada
umumnya semua budaya keagamaan tersebut melalui pintu sosio kultural,
beradaptasi dengan nilai kearifan lokal Nusantara ketika itu.
Setiap agama membawa serta nilai sosial budaya yang bersifat universal
dalam kehidupan pemeluk dan lingkungan masyarakat di sekelilingnya. Beberapa
di antaranya mengalami akulturasi dalam tataran sosio kultural dengan adat
kebiasaan, tatacara kehidupan dalam berbagai aspeknya. Perkawinan budaya
antara sosio kultural pemeluk agama Ru (Khonghucu) yang memiliki warna Sino
Melayu (peranakan Tionghoa) mampu mencerap warna sosio kultural Nusantara.
Dalam hal ini terutama dengan budaya pesisir Jakarta Tangerang dan sekitarnya.
Cara berpakaian, bahasa pergaulan, ragam kuliner (menu makan/minum)
pemeluk Khonghucu di pesisir Ibukota dan sekitarnya melahirnya gaya hidup
kaum peranakan yang lintas budaya. Keberadaan Sino Betawi, Sino Jawa Banten
dengan sebutan di kalangan mereka sendiri sebagai Cina Beteng dan bahasa
Melayu Tionghoa. Ini terbukti dari jejak jejak budaya keseharian masyarakat
Ibukota, juga dalam satuan pendidikan (sekolah) yang didirikan masyarakat
Indonesia Tionghoa pada 1901, Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Jakarta.
Sekolah THHK ini menggunakan bahasa Melayu, Tionghoa, Inggris, dan menolak
berbahasa Belanda. Pakaian seragam sekolah mau pun pakaian keseharian anak,
remaja, pria dan wanita Indonesia Tionghoa di Jakarta awal abad ke-20 itu
memiliki ciri pembauran khas Sino Betawi dan Sino Melayu: baju koko dan
celana komprang (remaja, lelaki dewasa), kain kebaya renda dan kebaya encing/
encim (remaja, perempuan dewasa) dan lain lain.
Lebih spesifik lagi ragam pembauran di ibukota Jakarta dan Tangerang
sekitar nya waktu itu berupa: sajian/kurban sembahyang maupun sosio kultural
perayaan hari hari besar keagamaan Khonghucu di kalangan masyarakat Tionghoa
Betawi/Tionghoa Tangerang. Di kalangan mereka ini tercipta ragam sajian/
kurban sembahyang Imlek, Cengbeng, Pehcun, Tangce (pindang bandeng,
kuecang, kue Onde), juga untuk ritual doa arwah nenek moyang di makam leluhur
mereka itu. Disamping itu eksis pula seni pembauran berupa aneka seni musik
kroncong, gambang kromong, tarian Ibing menyertai perayaan tahun baru Imlek,
begitupula dalam upacara pernikahan kaum peranakan Tionghoa Betawi &
Tionghoa Melayu Cina Beteng.
2.1.2. Budaya dan Kebudayaan
Geert Hofstede (dalam Budyatna, 2012:34) medefinisikan budaya secara
luas bahwa budaya itu terdiri dari program mental bersama yang menentukan
respons-respons individu terhadap lingkungannya. Dari definisi yang Hofstede
utarakan menunjukan bahwa selain bentuk dan prilaku yang sifatnya fisik dan
konkrit, di dalamnya terdapat pola-pola dan pertimbangan berfikir, perasaan, serta
pengetahuan. Hal yang bersifat abstrak itu kemudian diapresiasikan melalui
tindakan-tindakan indvidu dalam berhubungan. Hubungan-hubungan tersebut
menciptakan sebuah pola, pengulangan, kebiasaan hingga melekat dan kemudian
munculah sebuah budaya tertentu.
Lebih lanjut, Hofstede menjelaskan bahwa Budaya merupakan fenomena
kolektif dan terdiri dari aturan-aturan yang tidak tertulis (dalam Budyatna,
2012:36). Disebutkan bahwa budaya adalah fenomena kolektif adalah karena
budaya tercipta jika di dalamnya ada hubungan-hubungan antar individu dalam
lingkungan sosial yang sama. Perilaku-perilaku dan respon-respon antar individu
dalam lingkungan bersamaan ini nantinya akan menciptakan apa yang dinamakan
kebudayaan. Kebudayaan inilah yang nantinya akan menjadi ciri khas dan
pembeda suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Kebudayaan mencakup semua hal yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat. Suatu kebudayaan mengandung semua pola kebiasaan-kebiasaan suatu masyarakat, seperti dalam bidang ekonomi, religi, hukum, kesenian, dan lain sebagainya. Kebudayaan sangat berarti banyak bagi masyarakat dan individu-individu di dalamnya, karena kebudayaan mengajarkan manusia untuk hidup selaras dengan alam sekaligus memberikan tuntunan untuk berinteraksi dengan semestanya. Kebudayaan dan religi juga merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan begitu saja, terkadang budaya merefleksikan tata cara beribadah dalam kepercayaan yang dianut oleh manusia (Kuswarno, 2011:8)
Marvin Harris (dalam Spradley, 2007:5) menjelaskan bahwa konsep
kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan
kelompok masyarakat tertentu, seperti adat atau cara hidup masyarakat.
Kresnowati dan Anugrah, dalam bukunya berjudul Komunikasi Antar
Budaya: Konsep dan Aplikasinya, menerangkan bahwa budaya adalah segala
sesuatu yang diperoleh dari hasil pemikiran manusia yang memiliki nilai guna
bagi dirinya dan golongannya. Tubbs (dalam Krenowati & Anugrah, 2008:32)
secara panjang lebar mengartikan budaya sebagai:
Suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok atau orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Cara anda berpakaian, hubungan anda dengan orang orangtua dan teman-temaan anda, apa yang anda harapkan dari perkaeinan dan pekerjaan, makanan yang anda makan, bahasa yang digunakan, semuanya itu dipengaruhi oleh budaya anda. Ini tidak berarti bahwa anda berfikir, percaya, dan bertindak sama persis seperti setiap orang lainnya dalam budaya anda. Tidak semua anggota budaya memiliki sumua unsur budaya secara bersama. Selain itu, sebuah budaya dapat berubah dan berevolusi. Namun, seperangkat karakteristik dimiliki bersama oleh sebuah kelompok secara keseluruhan dan dapat dilacak, meskipun telah berubah banyak, dari generasi ke generasi.
Melalui uraian Tubbs di atas terdapat tiga kata kunci dalam kebudayaan:
pewarisan; perubahan; karakteristik. Pewarisan memungkinan dilakukan melalui
pembelajaran, melalui lembaga-lembaga pendidikan, kisah-kisah, dongeng, dan
praktik hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai dalam suatu budaya akan terjaga
melalui pembelajaran-pembelajaran tersebut, serta memungkinkan untuk
diadakannya penelusuran kebudayaan.
Budaya dimiliki oleh segolongan masyarakat tertentu, artinya ada
golongan masyarakat lain yang mempunyai budayanya sendiri. Di dalam
segolongan masyarakat tersebut terdapat individu-individu yang bertindak sebagai
anggota dari masyarakat tersebut. Baik golongan masyarakat maupun anggota
golongan masyarakat didalamnya masing-masing mempunyai perilaku, termasuk
pergerakannya sendiri. Manusia sebagai pribadi maupun makhluk sosial akan
saling berkomunikasi dan mempengaruhi satu sama lain dalam hubungan yang
beraneka ragam, dengan cara dan gaya yang berbeda pula (Widjaja, 2000:43).
Pergerakan itulah yang memungkinkan terjadinya hubungan-hubungan antara
budaya yang satu dengan budaya lain dari golongan masyarakat yang lain, baik
individunya, maupun golongan masyarakat secara keseluruhan. Selain tindakan
belajar lingkungan dari anggota masyarakat, hubungan-hubungan inilah yang
menyebabkan kenapa budaya itu bergerak dan mengalami perubahan (berevolusi).
Namun perubahan-perubahan yang terjadi pada suatu budaya masih dapat
dilacak dan dicari faktor-faktor pembedanya dari budaya lain. Ini disebabkan
karena tiap-tiap budaya itu mempunyai karakteristik tersendiri. Sifat budaya yang
unik menjadikannya tetap mempunyai kekhasan tersendiri yang walaupun telah
melalui akulturasi dan asimilasi kekhasan itu tidak pernah hilang.
Trenholm dan Jansen (dalam Anugrah & Kresnowati, 2008:33)
mendefinisikan budaya sebagai seperangkat nilai, kepercayaan, norma dan adat
istiadat, aturan dank ode, yang secara sosial mendefinisikan kelompok-kelompok
orang, mengikat mereka satu sama lain dan memberi mereka kesadaran bersama.
Lewis (dalam Anugrah & Kresnowati, 2008:33) mendefinisikan budaya
sebagai pemrograman kolektif atas pikiran yang membedakan anggota-anggota
suatu kategori orang dari kataegori lainnya. Suatu kebudayaan mengandung
semua pola kebiasaan suatu masyarakat, seperti dalam bidang ekonomi, religi,
hukum, kesenian, dan lain sebagainya (Kuswarno, 2011:8). Dari sudut manapun
budaya dilihat dan didefinisikan, menurut Samover (dalam Anugrah &
Kresnowati, 2008:33), budaya memiliki ciri-ciri, sebagai berikut:
1. Budaya bukan bawaan, tapi dipelajari2. Budaya dapat disampaikan dari orang ke orang lain, dari kelompok ke
kelompok lain, dan dari generasi ke generasi lain3. Budaya berdasarkan simbol4. Budaya bersifat dinamis, suatu sistem yang terus berubah sepanjang waktu5. Budaya bersifat selektif, merepresentasikan pola-pola perilaku pengalaman
manusia yang jumlahnya terbatas6. Berbagai unsur budaya saling berkaitan7. Etnosentrik (menganggap budaya sendiri sebagai yang terbaik atau standar
untuk menilai budaya lain.
Kebudayaan memiliki dimensi yang sangat luas, bahkan dapat dikatakan seluas dan sekompleks kehidupan manusia itu sendiri. Tetapi untuk kepentingan ilmiah, kebudayaan dikelompokkan ke dalam tujuh unsur penting, yaitu:
1. Sistem religi (agama) dan upacara keagamaan2. Sistem dan oraganisasi kebudayaan3. Sistem pengetahuan4. Bahasa5. Kesenian6. Sistem mata pencaharian hidup7. Sistem teknologi dan peralatan (Anugrah & Kresnowati, 2008:34)
Baik secara langsung maupun tidak langsung, budaya memberikan
tuntunan untuk berinteraksi.
2.1.3. Komunikasi
Berbicara tentang definisi komunikasi, tidak ada definisi yang benar
maupun salah. Seperti juga model atau teori, definisi harus dilihat dari
kemanfaatannya untuk menjelaskan fenomena yang didefinisikan dan
mengevaluasinya (Mulyana, 2011:46). Kebanyakan definisi komunikasi bersifat
khas, mencerminkan paradigma atau perspektif yang digunakan ahli-ahli
komunikasi tersebut dalam mendekati fenomena komunikasi (Mulyana, 2011:64).
Banyak sekali pemahaman mengenai komunikasi. Paul Watzlawick
memberikan pernyataan yang sangat radikal, yaitu “one can not not
communicate”5. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa setiap perilaku
manusia adalah suatu bentuk komunikasi, apapun yang dilakukan manusia adalah
bentuk komunikasinya. Weaver (dalam Ardianto dan Q-Aness, 2011:17)
memberikan pengertian komunikasi yang terlalu lulas, yaitu sebagai semua
prosedur dimana pikiran seseorang dapat memengaruhi orang lain. Raymon S
Ross (dalam Rakhmat, 2008:3) mendefinisikan komunikasi sebagai proses
transaksional yang meliputi pemisahan, dan pemilihan bersama lambang secara
kognitif, begitu rupa sehingga membantu orang lain untuk mengeluarkan dari
pengalamannya sendiri atau respon yang dimaksud oleh sumber. Miller (dalam
Ardianto dan Q-Aness, 2011:19) menjelaskan bahwa komunikasi mempunyai
pusat perhatian dalam situasi perilaku dimana sumber menyampaikan pesan
kepada penerima secara sadar untuk memengaruhi perilaku. Hovland, Janis, dan
Kelley (dalam dalam Ardianto dan Q-Aness, 2011:18) mendefinisikan
komunikasi sebagai suatu proses dimana individu menyampaikan pesan (biasanya
verbal) untuk mengubah perilaku individu lain.
Dance (dalam Mulyana, 2011:60)
2.1.4. Etika, Bisnis, serta Etika Bisnis
5 http://en.wikipedia.org/wiki/Paul_Watzlawick – diakses pada 16 Juli 2013, pukul 11:41
Bertens (2011) mengemukakan bahwa etika adalah sebuah keilmuan
tersendiri. Etika membahas tentang moralitas atau tentang manusia dan hubungan-
hungannya dengan selain dirinya yang berkaitan dengan moralitas. Bertens
kemudian membagi sekalilgus memaparkan tiga pendekatan dalam mepelajari
etika, antara lain:
1. Etika Deskriptif. Menggambarkan tingkah laku moral dalam arti luas,
misalnya adat kebiasaan, anggapan-anggpan tentang baik dan buruk,
tindakan-tindakan yang dibolehkan dan tidak. (Bertens, 2011:17). Melalui
pendekatan ini, hasil akhir dan praktik pembelajaran mengenai etika hanya
dalam lingkup sebuah penjelasan atau penggambaran. Dengan kata lain,
etika deskriptif tidak memberikan penilaian terhadap moralitas yang
menempel pada individu-individu tertentu dalam lingkaran tertentu pada
masyarakat.
2. Etika Normatif. Lebih lanjut Bertens (2011:20) menjelaskan bahwa etika
normatif itu tidak deskriptif melainkan prespektif (memerintahkan), tidak
melukiskan melainkan menentukan benar atau tidaknya tingkah laku dan
anggapan moral. Peneliti atau pembelajaran etika normatif akan bermain
dengan argumentasi-argumentasi dan melibatkan pertimbangan peribadi
untuk akhirnya memberikan penilaian kepada budaya yang diamati. Dapat
dikatakan bahwa etika normatif bertujuan merumuskan prinsip-prinsip etis
yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat praktikkan
(Bertans, 2011:20). Etika normatif lebih lanjut dapat dibagi menjadi etika
umum dan etika khusus.
a. Etika umum memandang tema-tema umum seperti: Apa itu norma etis? Jika ada banyak norma etis bagaimana hubungannya satu sama lain? Bagaimana norma mengikat kita? Bagaimana hubungan antara tanggungjawab manusia dan kebebasannya? Apa yang dimaksud “hak” dan “kewajiban” dan bagaimana kaitannya satu sama lain? Syarat apa saja yang harus dipenuhi agar manusia dapat dipandang baik dari segi moral?
b. Eika khusus berusah menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah perilaku manusia yang khusus. (Bertens, 2011:21)
3. Metaetika. Jika diartikan secara harfiah metaetika berarti bahasan yang
melebihi etika itu sendiri. Yang dibahas bukanlah etika secara langsung,
melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas (Bertens, 2011:21).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ke-1, 1998) menjelaskan etika ke dalam tiga arti: 1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tenang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar atau salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Merujuk pada definisi etika yang telah dikemukakan di atas, etika
merpakan ciri khas manusia. Makhluk selain manusia tidak memiliki etika. Etika
memainkan peranan di kehidupan manusia dalam golongannya atau
masyarakatnya. Kalimat “golongannya” atau “masyaraktnya” dalam pernyataan
sebelum ini mempunya arti tertentu berkaitan dengan pengertian ketiga dari etika
di dalam KBBI. Arti yang dimaksud adalah bahwa tidak semua golongan
mempunyai pengertian yang sama tentang mana yang baik dan mana yang buruk.
Tidak semua masyarakat, terlebih yang mempunyai budaya yang berbeda,
mempunyai kesepakatan yang sama mengenai benar dan salah.
Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Ruslan, 2011:32), etika ialah illmu
yang mempelajari segala soal kebaikan dan keburukan manusia, teristimewa yang
mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan
perasaan, sampai mengenai tujuan yang dapat merupakan perbuatan.
Bisnis terdiri atas seluruh aktivitas dan usaha untuk mencari keuntungan
dengan menyediaakan barang dan jasa yang dibutuhkan bagi sistem perekonomian
(Bone & Kurtz, 2008:5). Bisnis menurut Bertens (2000) terdapat tiga sudut
pandang antara lain: sudut pandang ekonomis; sudut pandang moral; dan sudut
pandang hukum.
Bisnis memberikan sarana yang mampu meningkatkan standar-standar hidup. Inti dari setiap usaha bisnis adalah adanya pertukaran antara pembeli dan penjual. Pembeli mengakui adanya kebutuhan barang atau jasa, dan menukarkan uang untuk mendapatkan produk tersebut. Penjua ikut berpartisipasi di dalam proses dengan harapan mendapatkan kekuntungan-unsur penting dalam di dalam pencapaian sasaran yang dibutuhkan untuk memepertahankan peningkatan standar hidup secara konstan (Boone & Kurtz, 2007:6).
Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Yang terjadi dalam kegiatan ini adalah
tukar-menukar, jual-beli, memproduksi-memasarkan, bekerja-memperkerjakan,
dan interaksi manusiawi lainnya dengan maksud memperoleh untung (Bertens,
2000:17). Namun memperoleh untung disini bukanlah secara sepihak, dan
merugikan pihak lain. Tiap pihak yang berinteraksi haruslah mendapatkan
keuntungan. Karena itulah, di samping aspek ekonomi dari bisnis, ada aspek lain
dari bisnis, yaitu aspek moral.
Selalu ada kendala etis bagi perilaku kita, termasuk juga perilaku ekonomis. Tidak semuanya bisa kita lakukan untuk mengejar tujuan kita (di bidang bisnis: mencari keuntungan) boleh kita lakukan juga. Kita harus menghormati kepentingan dan hak orang lain. Pantas diperhatikan lagi bahwa dengan itu kita sendiri tidak dirugikan. Sebaliknya, menghormati kepentingan dan hak orang lain harus dilakukan juga demi kepentingan bisnis itu sendiri (Bertens, 2000:20)
Tidak bisa diragukan, bisnis terkait juga dengan hukum. “hukum dagang”
atau “hukum bisnis” merupakan cabang penting dari ilmu modern. Hukum
berlaku umum. Dibandingkan dengan tindakan-tindakan moral, mana yang
bermoral mana yang tidak bermoral, alat ukur hukum lebih jelas dan bisa diukur.
Karena itulah aspek hukum tidak bisa dikesampingkan begitu saja dari masalah
bisnis.
Suatu bisnis yang ingin terus berkembang dalam jangka panjang tidak
akan bisa terwujud tanpa adanya pertimbangan etika bisnis. Etika bisnis menurut
Boone dan Kurtz (2008:54) adalah standar-standar perilaku dan nilai-nilai moral
yang mengatur tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan dalam lingkungan
usaha. Kemudian Nickels, McHugh dan McHugh (2009:117) memberikan
gambaran tentang etika bisnis sebagai standar prilaku bisnis yang diterima oleh
masyarakat debagai benar versus salah. Eika bisnis memainkan peran yang
signifikan dalam bisnis.
2.1.5. Komunikasi Bisnis
2.1.6. Istilah “Cina” dan “Tionghoa”
Penggunaan istilah “Cina” dan “Tionghoa” di Indonesia mempunyai
sejarahnya sendiri. Kesejarahan sering dikatakan sebagai sesuatu yang khas
manusiawi sebab hanya manusia yang mampu menyadari sekaligus mewarnai
kesejarahannya, karena itu sejarah menjadi unsur hakiki manusia (Borgias,
2013:51). Begitupun dengan sejarah istilah “Cina” dan Tionghoa”, melalui
penjelasan istilah ini sekaligus menyinggung sejarah China di Indonesia.
Pemakaian istilah dan ungkapan untuk orang China pernah menjadi
polemik besar di Indonesia, melibatkan aspek politik dan budaya. Sampai akhir
abad ke-19, istilah buku yang digunakan dunia Melayu untuk merujuk kepada
Tiongkok dan orang Tionghoa di Malaya dan Hindia belanda adalah Cina. Sejak
orde baru berdiri, pemerintah Indonesia mulai menggunakan istilah Cina (sebelum
tahun1972, dieja sebagai Tjina) untuk menyebut orang Tionghoa (Chinese) dan
Tiongkok (China) (Suryadinata, 2002:100).
Penggunaan istilah untuk menggambarkan etnis ini disebutkan
sebelumnya telah menimbulkan polemik. Polemik ini disebabkan karena
anggapan etnis Tionghoa/China terhadap sebutan “Cina” yang digunakan untuk
merujuk pada etnisnya. “Cina” dianggap mengandung arti yang merendahkan, dan
dianggap oleh orang yang besangkutan sebagai sebutan yang bersifat menghina
dan meremehkan.
Penggunaan istilah “Tionghoa” untuk pertama kali di Indonesia ditemui
dalam nama perkumpulan yang didirikan pada tahun 1900, yaitu Tiong Hoa Hwee
Koan (THHK) (Suryadinata, 2002:102). THHK dibentuk oleh peranakan
Tionghoa karena merasa mereka mendapat kedudukan yang rendah dan
mengalami diskriminasi dari penguasa Belanda.
Para pemimpin peranakan bergerak serentak untuk mempertinggi kedudukan masyarakat Tionghoa dengan mendirikan perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) dan sekolah-sekolah Tionghoa dengan pengantar bahasa Tionghoa. Di samping itu, sebagian peranakan Tionghoa juga terpengaruh oleh nasionalisme Tionghoa yang menjalar di Tiongkok. Mereka dibakar semangat nasionalisme dan berkiblat ke Tiongkok sekaligus bersikap anti-kolonial. Dapatlah dimengerti jikalau mereka juga menjadi kritis terhadap colonial Belanda. (Suryadinata, 1990:122)
Pada dekade ke-2 abad ke 20, nasionalisme Tionghoa di pulau jawa
semakin bangkit. Kepopuleran penggunaan istilah “Tionghoa”pun semakin
mencuat. Semangat ini didorong oleh rasa solidaritas etnis, di mana istilah
Zhonghua (Tionghoa) dipakai di daratan Tiongkok. Semangat nasionalisme
medorong etnis ini untuk memperjuangkan istilah Tionghoa dimanapun mereka
menetap. Mereka merasa dan terus mendorong istilah yang berbau Tionghoa agar
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dan dimasukan ke dalam tulisan-tulisan
mereka. Pada zaman kolonial Belanda, umumnya kependudukan dibagi atas tiga
bagian: orang Eropa, Freemde Oosterlingen (Orang Timur Asing) dan Inlanders
(pribumi) (Suryadinatam 2008:103).
Nasionalisme Tionghoa di Jawa bukan semata-mata ekspansi dari
nasionalisme di Tiongkok. Ini juga merupakan manifestasi peranakan Tionghoa
tentang ketidakpuasan terhadap kedudukan mereka sebagai penduduk kelas dua di
Hindia Belanda (Suryadinatam 2008:103). Orang Tionghoa pada waktu itu
statusnya disamakan dengan pribumi. Persamaan dengan pribumi ini juga
termasuk dalam hal hukum dan ekonomi. Malahan, orang-orang Tionghoa
diwajibkan tinggal di daerah tersendiri (wijkenstelsel).
Menyikapi diskriminasi tersebut, penggerak nasionalisme Tionghoa mulai
melakukan pergerakan untuk perolehan status persamaan terhadap orang Eropa.
Sebenarnya pemimpin nasionalis Tionghoa di Hindia Belanda tidak menghendaki
pembagian kategori sosial dihapuskan. Kategorisasi itu masih dianggap memiliki
potensi menguntungkan bagi etnis Tionghoa. Yang dijadikan tujuan utama
nasionalis Tionghoa adalah kesamaan status mereka dengan orang Eropa.
Sarana untuk mencapai hal ini melalui diperbanyaknya organisasi-organisasi Tionghoa, seperti THHK dan sekolah-sekolah Tionghoa. Melalui THHK dan sekolah-sekolahnya, serta penyebaran pemakaian istilah “Tionghoa” dalam pers peranakan, peranakan Tionghoa mulai biasa mendengar istilah baru tersebut. Istilah lama, Tjina (Cina) mulai dianggap sebagai istilah yang bersangkutan dengan status rendah dan menjadi target dari gerakan nasionalis Tionghoa (Suryadinata, 2008:104).
Pada tahun 1928, Anggaran Dasar THHK juga mengalami amandemen,
istilah Tjina secara resmi diganti dengan Tionghoa. Pada tahun yang sama,
Gubernur-Jenderal Belanda juga memakai istilah Tionghoa untuk hal-hal yang
resmi. Seiring adanya pengakuan dari Kolonial, orang Tionghoa mulai
mendapatkan kepercayaan diri dan eksistensinya. Kepercayaan diri ini menjadikan
sentimen orang Tionghoa terhadap sebutan “Cina” semakin tajam. Pengakuan
yang lebih ini menjadikan orang Tionghoa seperti diatas angin. Ketersinggungan
mereka terhadap istilah “Cina” menjadi semakin dalam. Perjuangan orang
Tinghoa memperjuangkan istilah “Tionghoa” mengalami kemajuan pesat
semenjak kependudukan Jepang hingga Indonesia merdeka.
Istilah “Tionghoa” menjadi sebutan baku, bukan saja di Jawa, tempat istilah itu berasal, tetapi juga di seluruh Indonesia. Ini bukan saja digunakan oleh kalangan resmi, tetapi juga oleh seluruh pers berbahasa Indonesia. Hingga publikasi Indonesia yang paling anti-Cina juga menyebut orang Tionghoa dengan sebutan “Cina Tionghoa” (Suryadinata, 2008:104).
Meskipun istilah “Tjina” dianggap mengandung penghinaan oleh orang Tionghoa di Indonesia, tetapi pandangan ini rupanya tidak dianggap demikian oleh para penyusun berbagai kamus Indonesia sebelum zaman Orde Baru. Mereka hanya mengatakan bahwa istilah “Tjina” adalah sinonim “Tionghoa” tanpa mengatakan bahwa istilah “Tjina” mengandung arti yang buruk. Pramoedya Ananta Toer, penulis buku yang membela orang Tionghoa di Indonesia (1960), juga tidak mengatakan bahwa “Tjina”
mengandung penghinaan. Ia hanya menulis bahwa istilah “Tionghoa” lebih modern dari “Tjina” (Suryadinata, 2008:105).
Semakin sering eksistensi orang Tionghoa di Indonesia, berikut makin
banyaknya pihak-pihak yang mengakui peningkatan atas peningkatan strata orang
Tionghoa di Indonesia, menyulut semangat orang Tionghoa lain, terutama di
Singapura untuk ikut bangkit. Solidaritas orang-orang Tionghoa Indonesia
terhadap saudaranya di Singapura membuat mereka ikut pergi ke Singapura.
Akhirnya, masih di sekitar tahun 60-an, istilah “Tionghoa” mendapatkan
sedikit kemenangan di Malaya dan Singapura, sementara di Indonesia, istilah ini
ngalami kemunduran, apalagi setelah peristiwa G-30-S (Suryadinata, 2008:106).
Pers Indonesia sendiri, meskipun mengutarakan sentimen anti-Tionghoa dalam
periode yang sama, umumnya masih menggunakan istilah “Tionghoa”, hanya dua
teribtan mingguan yang kecil yang menggunakan istilah “Tjina”. Sampai pada
bulan Agustus 1966, koran yang paling anti-Tionghoa (misalnya Harian Ampera
dan Harian Operasi) masih memakai istilah “Tionghoa”.
Akan tetapi pada awal September 1966, semua surat kabar dan majalah,
terkecuali Merdeka dan Indonesia Raya, menggunakan istilah “Tjina” sebagai
sebutan orang Tinghoa dan Tongkok (Suryadinata, 2008:107). Penggantian istilah
tersebut berhubungan erat dengan keputusan yang diambil dalam Seminar
Angkatan Darat pada tanggal 25 hingga 31 Agustus 1966 di Bandung. Berikut
kutipan keputusan seminar tersebut secara keseluruhan:
“Untuk mengembalikan sebutan umum kepada pemakaian jang telah lazim terdapat dimana-mana, baik di dalam negeri, maupun di luar negeri, dan dalam berbagai bahasa, sebutan bagi Negara dan Warga-Negara jang
bersangkutan, tetapi terutama untuk menghilangkan rasa inferior pada bangsa kita sendiri, sebaliknja menghilangkan rasa superior pada golongan jang bersangkutan di dalam Negara kita, maka patut pula kami laporkakn bahwa hasil seminar telah memutuskan untuk kembali memakan penjebutan bagi Republik Rakjat Tiongkok dan warna-negaranja, dirobah mendjadi REPUBLIK RAKYAT TJINA dan warga Negara TJINA. Hal ini dapat dipertanggung-djawabkan dilihat dari segi histories dan sosiologis.”6
Meskipun keputusan seminar tersebut mendapat sambutan baik dari
banyak pribumi, namun diambilnya keputusan tersebut bukan didasari permintaan
umum dari masyarakat Indonesia.
Orang awam dan militer memandang keputusan Seminar Angkatan Darat ini sebagai keputusan resmi dan menjunjung tinggi keputusan ini. Pers pribumi dan instansi pemerintah semua taat pada keputusan itu. Pemerintah Indonesia dan radio Indonesia dengan konsisten memakai istilah “Tjina”, kecuali Suluh Marhaen (milik PNI) dan El-Bahar (koran yang diterbitkan oleh Angkatan Laut) yang baru terbit pada September 1966. Untuk menghindari pemakaian istilah “Tjina” dan “Tionghoa”, kedua koran ini menggunakan istilah “Hoakiauw” (Suryadinata, 2008:108).
Pada 30 April 1967, terjadi sebuah demostrasi di Jakarta, di mana sekitar
30.000 orang Tionghoa ikut mengantar pemakaman jenazah Ling Siang Yu,
karena telah disangka melakukan spionase yang kemudia meniggal di tahanan
(Suryadinata, 2008:109). Kejadian ini adalah puncak krisis antara RI dan RRT.
Dua hari setelah itu pemuda Indonesia melakukan demonstrasi balasan.
Demonstrasi tersebut dilatarbelakangi oleh tuduhan kedutaan RRT di Jakarta yang
menuduh Ling Siang Yu disiksa dalam tahanan sampai mati, akan tetapi
pemerintah Indonesia mengatakan bahwa Ling bunuh diri. Demosntrasi ini pecah
menjadi bentrokan antara pemuda Indonesia dan orang Tionghoa. Bnetrokan ini
6 Laporan Penutupan Seminar AD Ke-II/1966 Kepada MEN/PAngAD, oleh Letdjen M Panggabean, dalam Amanat/Pidato Pra-saran dalam Seminar AD ke-II/1966.
memakan korban jiwa yang kebanyakan orang Tionghoa.
Menanggapi kejadian ini Mochtar Lubis, seorang penulis Indonesia,
merasa simpati kepada orang Tionghoa. Lubis juga khawatir bentrokan tersebut
akan mengganggu kesetiaan orang Tionghoa tertentu terhadap Indonesia. Rasa
simpatinya kemudia dituangkan dalam surat kabar Kompas, yang isinya sebagai
berikut:
“Pemakaian istilah ‘Tjina’ mungkin sesuai untuk menunjukan kemarahan kita terhadap Peking, tetapi istilah itu digunakan karena itu dirasakan mengandung penghinaan terhadap golongan Tionghoa. Dan pemakaian istilah ‘Tionghoa’ tidak bisa dibatasi padawarga Negara RRT, tetapi paling sedikit ini akan melukai warga Negara Indonesia keturuna Tionghoa”7. Lubis berpendapat bahwa Indonesia adalah satu bangsa yang teralu besar untuk mengambil sikap kekanak-kanakan, yaitu menghina karena merasa terhina (Suryadinata, 2008:109).
Tidak sedikit kalangan, setelah tulisan Lubis di Kompas, membahas
penggunaan istilah “Tjina” tersebut. Termasuk kalangan militer yang menganggap
penggunaan istilah tersebut sebagai bentuk pengucilan etnis dan dapat
mengganggu stabilitas ekonomi. Ada juga anggapan yang menyebutkan bahwa
penggunaan ini tidak tepat sasaran. Maksudnya, jika penggunaan istilah ini
dimaksudkan untuk “menyakiti” orang-orang di daratan Tiongkok pesan itu tidak
sampai, malahan akan menyakiti orang Tionghoa yang sudah setia dan loyal
terhadap Indonesia.
Menanggapi banyaknya pembahasan-pembasan mengenai istilah ini yang
berlalur-larut, serta dikhawatirkan akan berdampak pada perpecahan yang lebih
besar, presidium kabinet, pada 25 Juni 1967, mengambil keputusan memakai
7 Mochtar Lubis, “Surat dari Bangkok”, Kompas, 29 April 1967.
istilah “Tjina” dan menghilangkan sama sekali istilah “Tionghoa”. Keputusan ini
telah menyelesaikan perkara pemakaian istilah secara resmi.
Namun, di kalangan Tionghoa sendiri, di antara teman akrab orang-orang yang mereka kenal, kebanyak tetap menggunakan istilah “Tionghoa” untuk menyebut kelompok mereka. Tetapi jika mereka berbicara dengan orang yang tidak dikenal meraka akan memakai istilah “Tionghoa”. Akan tetap ada juga orang Tionghoa yang akhirnya mau menerima istilah “Tjina” karena, bagi mereka, jalan yang paling efektif untuk membasmi diskriminasi dan penghinaan adalah menerima istilah itu sendiri dan menjadikannya istilah biasa (Suryadinata, 2008:113).
Lama-kelamaan istilah “Tionghoa” yang sebenarnya masih hidup di
kalangannya sendiri mulai dilupakan orang-orang di luar golongannya. Orang
Indonesia mulai melupakan istilah tersebut dan istilah “Tionghoa” mulai populer
kembali pada abad ke-20 setelah lahirnya pergerakan nasionalisme Tionghoa dan
Indonesia.
Yang perlu dicatat di sini ialah istilah “Cina” untuk menyebut Republik Rakyat Tiongkok. Selama hubungan diplomatic antara RI dan RRT putus, RI secara sepihak menggunakan istilah itu untuk menyebut negeri komunis tersebut. Namun pada tahun 1989 hubungan kedua negara ini pulih, dan RRT karena ingin sekali memulihkan hubungan dengan rezim Soeharto tidak memperjuangkan istilah “RRT”. Namun mereka juga tidak menerima istilah “Cina” sebagai sebutan negaranya. Akhirnya diambil jalan kompromi, yaitu “China” (dalam bahasa Inggris) sebagai sebutan negeri tersebut, jadi sebutan resmi dari RRT kini adalah Republik Rakyat CHINA. Kombinasi ini sungguh menarik karena nama tersebut mengandung dua jenis bahasa: Indonesia dan Inggris (Suryadinata, 2008:114).
2.1.7. Tionghoa di Indonesia
Istilah pribumi dan non pribumi sudah semakin jarang didengar. Sejak
reformasi, warga China tampaknya semakin terintegrasi dengan orang-orang
Indonesia lainnya (Mulayana, 2011:72). Melaui sub-bab mengenai istilah “Cina”
dan “Tionghoa” penulis telah menyinggung bagaimana keberadaan Tionghoa di
Indonesia. Etnis Tionghoa melebur di berbagai wilayah Indonesia. Jakarta,
Medan, Pontianak, Palembang, Lampung, Surabaya dan Bali merupakan wilayah
provinsi di Indonesia yang jumlah etnis Tionghoanya terbilang banyak.
Orang Cina pertama yang datang ke Indonesia adalah seorang pendeta agama Budha bernama Fa Hien. Ia singgah di pulau Jawa pada tahun 413. Dalam sejarah Cina lama bahwa pengetahuan orang Cina merantau ke Indonesia terjadi pada masa akhir pemerintahan dinasti Tang. Daerah yang pertama kali didatangi adalah Palembang yang pada masa itu merupakan pusat perdagangan kerajaan Sriwijaya. Kemudian para perantau ini pergi ke pulalu Jawa untuk mencari rempah-rempah, kemudian banyak yang menetap di daerah pelabuhan pantai utara pulau Jawa (Hidajat, 1993:66)
Berdasarkan angka pada bulan Nopember 1920, jumlah orang Cina di
Indonesia seluruhnya ada 809.647 orang, yang terdiri dari 518.355 laki-laki dan
291.292 wanitanya. Pada tabel 1 terdapat jumlah etnis Tionghoa di Asia
Tenggara. Kemudian pada tabel 2 terdapat data mengenai persentase etnis di
Indonesia di mana etnis Tionghoa-Indonesia berada pada urutan ke-3.
Negara Jumlah SeluruhPenduduk
Jumlah PendudukTionghoa
Presentase PendudukTionghoa
Brunei 321.000 51.000 16,0Kambodia 10.846.000 109.000 1,0Indonesia 209.255.000 6.278.000 3,0
Laos 5.297.000 212.000 0,4Malaysia 22.180.000 5.515.000 28,4Myanmar 45.095.000 631.000 1,4Filipina 74.454.000 968.000 1,3Singapura 3.522.000 2.719.000 77,2Thailand 60.856.000 5.234.000 8,6Vietnam 78.705.000 1.181.000 1,5Total 510.595.000 22.898.000 4,5
Tabel 1Jumlah Etnis Tionghoa di Asia Tenggara, 1999
Sumber: Statistik PBB untuk jumlah penduduk, persentase etnis Tionghoa, kecuali untuk Malaysia, diambil dari buku Leo Suryadinata, Ethnic Chinese as Southeast Asians (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1997) hal. 21.
Tabel 2Proporsi populasi jumlah suku bangsa di Indonesia menurut sensus
penduduk tahun 20008
Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang
8 http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia
maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.9
Keberadaan China pada masa kolonial Belanda sebenarnya sudah menjadi
sentimen tersendiri. Makin banyaknya China di Batavia menimbulkan
kekhawatiran dari pihak Belanda. Kekhawatiran inilah yang menyulut konflik
keberadaan China di Indonesia, mulai dari pemakaian istilah “Cina” sampai
tragedy Mei 1998.
Tajamnya usaha Belanda (sebelum kemerdekaan) dan Indonesia (setelah
kemerdekaan) untuk menegimbangi dominasi China dalam hal ekonomi,
menimbulkan usaha diskriminasi dan sikap ekslusif yang mendalam.
Masalah ini menimbulkan kesadaran akan perlunlya kesatua dalam bentuk “group-solidarity”, dan tujuan mereka mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka, terutama dalam ekonomi. Terbentuknya “group-solidarity” ini lebih memperkeruh dan makan kuatnya sikap hidup ekslusif mereka. Sikap inilah yang paling dibenci orang Indonesia, sehingga menjadi rentan dan jika tersulut sedikit saja sumbu kebencian ini, akan menimbulkam suatu ledakan kemarahan hebat. Keadaan seperti ini pernah terjadi di Indonesia seperti pada peristiwa 10 Mei 1963, peristiwa 5 Agustus 1973, peristiwa 15 Januari 1974, dan peristiwa Mei 1998 (Hidajat, 1993:65)
Pasca Orde Baru, hubungan Indonesia-Tionghoa mulai stabil. Masing-
masing pihak mulai melihat kea rah kebaikan bersama. Keturan Tionghoa
generas-generasi baru mulai tumbuh rasa nasionalismenya terhadap Indonesia dan
orang Indonesia mulai menghargai keberadaan dan eksistensi etnis Tionghoa.
Etnis Tionghoa di Indonesia dikategorikan ke dalam dua jenis: China
Totok dan China Peranakan (Peranakan Tionghoa). Peranakan adalah orang
Tionghoa yang sudah lama dan sudah berbaur, berbahasa Indonesia dan
9 http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Tionghoa-Indonesia – Diakses pada 12 Juni 2013, pukul 19.22
bertingkahlaku seperti orang asli Indonesia, totok adalah pendatang baru yang
umumnya baru dua generasi. Mereka disebut juga Singkhe, istilah ini artinya
“tamu baru” (Lan, 2013:23).
Namun sekarang, dengan terhentinya imigrasi dari daratan Tiongkok,
jumlah totok sudah menurun dan keturunan totokpun telah mengalami
peranakanisasi. Karena itu generasi muda Tionghoa di Indonesia sebetulnya sudah
menjadi peranakan, apalagi yang di Pulau Jawa (Suryadinata, 2002:17).
Dalah hal agama, sebagian besar Tionghoa menganut Budha, Tridarma
dan Konghucu. Namun banyak pula yang beragama Katolik dan Kristen.
Belakangan ini jumlah Tionghoa yang memeluk agama Islam pun bertambah
(Suryadinata, 2002:17).
Lembaga keluarga dan lembaga religi bagi orang Tionghoa sangat erat hubungannya. Rumah merupakan pusat melakukan segala praktek lembaga religi. Bagi orang Tionghoa, walaupun ada tiga religi yang paling populer seperti Confucius, Taoisme, dan Budhisme, akan tetapi mereka dalam prakteknya tidak pernah fanatik pada salah satu dari ketiga kepercayaan itu. Bahkan dalam praktek kepercayaan itu ketiganya dicampuradukkan. Kaisar sebagai anal dewa (Son of Heaven) dari Kahiyangan (Hidajat,1993:105)
Budhisme, Konfusianisme, dan Taoisme dipuja secara bersamaan di
Indonesia oleh perkumpulan Sam Kauw Hwee (Perkumpulan Tiga Agama).
Perkumpulan ini merawat beberapa beberapa kuil Tionghoa (Lan, 2013:68).
Orang Tionghoa, dalam hal orientasi politik ada yang pro-Beijing atau pro-
Taipei, tetapi yang terbesar adalah kelompok pro-Jakarta. Dalam hal
kewarganegaraan, ada yang berkewarganegaraan RRT tetapi yang terbanyak
adalah Warga Negara Indonesia (Suryadinata, 2002:17).
Pada bidang Ekonomi ada hal yang bisa dibilang unik. Sebagai minoritas
di perkotaan, orang Tionghoa tergolong kelas menengah. Namun dalam bidang
usaha, yang paling sukses adalah mereka yang belum banyak berbaur. Tinghoa
yang belum berbaur masih memilik etos imigran dan wiraswasta, berbahasa
Tionghoa dan mampu menggunakan jaringan perdagangan etnis yang umumnya
di tangan orang Tionghoa (Suryadinata, 2002:17).
Semakin terintegrasinya etnis Tionghoa dan orang Indonesia, Peranakan
Tionghoa telah menjadi salah satu wujud keberagaman budaya di Indonesia.
Pembauran bukan sebatas kawin campur Tionghoa dan bumiputra kemudian
lantas melupakan asal-ususl golongan, ciri khas tersebut tetap ada. Berbeda tetapi
satu, itulah gagasan luhur sebuah pembauran (Hoay dalam Santosa, 2012:154).
Indonesia merupakan negara dengan multi etnis yang memiliki sekitar 740
suku bangsa. Setiap suku memiliki tradisi, dan pola perilaku yang menjadi
budayanya sendiri. Namun karena etnis tersebut berada di Indonesia maka mereka
adalah bagian dari kekayaan negeri itu sendiri. Etnis Tionghoa yang ada di
Indonesia merupakan salah satu bagian dari kekayaan atas dasar keberagaman itu.
Semakin banyaknya peran etnis Tionghoa di Indonesia menjadikan etnis
ini semakin diterima oleh orang Indonesia Asli, walalupun tidak bisa ditampikkan
bahwa di beberapa daerah terpencil sentimen anti-China masih ada, namun tidak
ekstrim. Banyak Peranakan Tionghoa yang berkiprah untuk Indonesia. Di
kalangan seniman ada Agnes Monica, Daniel Mananta (VJ Daniel), dan Alvin
Adam sebagai penyanyi dan presenter. Kemudian ada Lee Man Fong seorang
pelukis dan Li-yang Lee yang sastrwan. Di kalangan pelaku politik Indonesia
mempunyai Basuki Tjahaja Purnama yang sekarang menjabat sebagai Wakil
Gubernur DKI Jakarta & mantan bupati Belitung Timur, Jusuf Wanandi, politisi
senior, mantan anggota MPR periode 1972-1977, serta Kwik Kian Gie, Lie Kiat
Teng dan Mari Elka Pangestu sebagai Peranakan Tionghoa Indonesia setingkat
Menteri.
Ada juga dari Peranakan Indonesia ini yang mengharumkan nama
Indonesia di kancah dunia, misalnya pebulutangkis Susi Susanti dan Liliana
Natsir dan perenang Felix C. Sutanto yang meraih medali emas dalam Indonesia
Open 2007. Selain itu kita juga pasti tidak asing dengan nama Soe Hok Gie
seorang aktivis mahasiswa yang juga keturunan Tionghoa yang sosoknya pernah
di filmkan di layar lebar Indonesia.
Selanjutnya, di kalangan ahli dan akademisi Indonesia mempunyai Albert
Widjaja (pakar manajemen strategik, akademisi UI) dan handi Irawan (konsultan
pemasaran) sebagai ahli ekonomi, Frans Hendra Winarta (pengacara), Gouw Giok
Siong dan Lie Oen Hock (pakar hukum) sebagai ahli hukum, Handojo
Tjandrakusuma (dokter), Handrawan Nadesul (pakar kesehatan, penulis), dan
Hembing Wijayakusuma (pakar obat tradisional) sebagai ahli kesehatan, pada ahli
pendidikan ada Bernadette N. Setiadi (tokoh pendidikan, psikolog), Dali S. Naga
(Rektor Universitas Tarumanegara), Lee Teng Hui (pendidik), Tjia May On (Guru
Besar fisika ITB), serta ahli sejarah dan sosial Arief Budiman (sosiolog,
budayawan, aktivis politik), Christianto Wibisono (pengamat sosial, politik dan
ekonomi), Christine Susanna Tjhin (peneliti sosial), dan George Junus Aditjondro
(sosiolog).
Sederet nama yang disebutkan di atas adalah contoh dari sekian banyak
keturunan Tionghoa yang berkiprah di Indonesia. Bahkan ada yang memulai
kiprahnya sejah kahun 70-an. Melihat kenyataan ini sudah semestinya pemerintah
mengapresiasi keberadaan Tionghoa selain diskriminasi etnis berlawanan dengan
nilai luhur Pancasila.
Pemerintah makin terbuka dengan kehadiran etnis Tionghoa, sebagai
buktinya di tahun 2003 diadakan perayaan Imlek dan Imlek ditetapkan sebagai
salah satu hari besar Tionghoa serta dijadikan hari libur nasional. Dalam perayaan
Imlek tersebut, etnis Tionghoa bebas mengekspresikan kebudayaannya malalui
berbagai atraksi yang menunjukan identitas budayanya. Selain imlek, juga ada
perayaan Goan Siao, atau yang disebut di Indonesia sebagai Tjap Go Meh. Pada
malam itu orang-orang bergembira. Lampion berjenis bentuk dan beraneka warna,
yang berisikan sebatang lilin atau bahan penerangan lain, merupakan unsur khusus
dari kebudayaan ini (Lan, 2013:210).
Tiga dasawarsa lebih, salah satu produk kebudayaan tertua umat manusia
itu dijadikan barang haram oleh Orde Baru dan semakin hilang gaungnya.
Absennya barongsai adlaah cerita lama, tetapi sekarang, menjelang Imlek,
dimanapun bisa dinikmati hiburan khas Tionghoa tersebut (Santosa, 2012:185).
Kemudian, untuk mengakomodir segala kegiatan Peranakan Tionghoa, pada tahun
2011 didirikanlah sebuah asosiasi bernama ASPERTINA.
Ketika Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia (ASPERTINA) dibentuk pada tanggal 28 Oktober 2011, salah satu kerinduan yang menjadi prigram kerja organisasi ini adalah mendukung dipublikasikannya tulisan-tulisan yang melengkapi pengetahuan masyarakat Indonesia, khususnya dalan
konteks sejarah, seni, dan budaya Peranakan Tionghoa (Santosa, 2012:XVII)
Salah satu alasan yang bisa jadi melandasi berdirinya ASPERTINA adalah
kemajuan sastra Tionghoa-Indonesia. Sebagian sastrawan Indonesia menangkap
adanya hasil-hasil sastra baru. Sastra tersebut, yang disebut sebagai sasra
Tionghoa-Indonesia merupakan karya sastra yang didalmnya terdapat gabungan
dari unsur Tionghoa dan unsur Indonesia.
Orang Tionghoa Peranakan ingin menciptakan suatu riwayat yang berbau Indonesia, yang bernafaskan suasana Indonesia, dengan tokoh-tokoh yang hidup dalam keadaan sebagai mereka dengan persoalan yang sama pula dengan persoalan mereka. Singkatnya: cerita-cerita yang mencerminkan diri mereka sendiri! Inilah hasrat yang kemudian menjadi benih bagi sastra Indonesia-Tionghoa (Lan, 2013:305)
2.2. Kerangka Pikir Penelitian
Bermula dari migrasi bangsa China ke Asia Tenggara, salah satunya
adalah Indonesia. Berdasarkan data pada tabel 1 sebelumnya, dijelaskan bahwa
jumlah etnis Tionghoa di Indonesia pada tahun 1999 adalah 6.278.000 jiwa dari
total jumlah penduduk Indonesia pada saat itu 209.255.000 (3%). Sedangkan pada
tabel 2 dijelaskan bahwa etnis Tionghoa di Indonesi menempati urutan ke-3 untuk
kategori suku bangsa di Indonesia setelah Suku Jawa dan Suku Sunda.
Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang
maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.10
Walaupun sejak jaman kolonial Belanda selalu ada sentimen dan
prasangka negatif terhadap etnis Tionghoa, mereka selalu memperjuangkap
keberadaannya. Seiring berjalannya waktu dan rentang waktu dari masa konflik
semakin menjauh, maka masing-masing pihak, baik orang Indonesia dan Etnis
Tiongha makin saling menerima. Segala unsur budaya yang di dibawa oleh China
semakin bisa diterapkan dan dikombinasikan dengan budaya-budaya asli
Indonesia. Semakin terintegrasinya etnis Tionghoa dan orang Indonesia,
Peranakan Tionghoa telah menjadi salah satu wujud keberagaman budaya di
Indonesia. Pembauran bukan sebatas kawin campur Tionghoa dan bumiputra
kemudian lantas melupakan asal-ususl golongan, ciri khas tersebut tetap ada.
Berbeda tetapi satu, itulah gagasan luhur sebuah pembauran (Hoay dalam Santosa,
2012:154).
Walaupun masyarakat China yang bermigrasi keluar China melakukan
adaptasi terhadap tempatnya yang baru, juga telah terjadinya akulturasi budaya
dengan daerah baru, sebagian budaya asli China masih tetap di pegang teguh.
Namun tidak menutup kemunginan terjadinya sebuah akulturasi kebudayaan,
antara China dan Indonesia. Proses sosial tingkat lanjut ini timbul apabila terdapat
golongan-golongan manusia yang mempunyai latar belakang kebudayaan yang
berbeda-beda, saling berinteraksi dan bergaul secara langsung dan intensif dalam
waktu yang lama, dan kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi dapat
berubah sifatnya yang khas menjadi unsur-unsur kebudayaan yang baru, yang 10 http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Tionghoa-Indonesia - Diakses pada 12 Juni 2013, pukul 19.39
berbeda dengan aslinya.
Tionghoa-Indonesia mempunyai budaya yang bisa dibilang mempunyai
perbedaan dengan orang asli Indonesia. Budaya diterapkan dalam segala aspek
kehidupan individu. Aspek yang ingin penulis angkat adalah aspek bisnis. Penulis
ingin melihat aplikasi budaya Tionghoa dalam perilaku-perilaku bisnis pengusaha
Tionghoa di Indonesia.
Penulis membuat bagan kerangka pemikiran sebagai berikut:
Gambar 1Kerangka Pikir Penelitian
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Paradigma Penelitian dan Metode Penelitian
3.1.1. Pradigma Penelitian
Paradigma yang peneliti gunakan adalah paradigma kualitatif. Paradigma
kualitatif bersifat subjektif. Penulis menggunakan paradigma kualitatif karena
melihat kecenderungan masalah yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu mengenai
kebudayaan Tionghoa yang tercermin dari perilaku-perilaku bisnisnya. Penelitian
Kualitatif bisa dilakukan oleh peneliti di bidang ilmu sosial dan perilaku, juga
para peneliti yang menyoroti masalah yang terkait dengan perilaku dan peranan
manusia (Straus dan Corbin, 2009:6). Pada penelitian ini peneliti berusaha
menjelaskan perilaku manusia agar mudah dipahami.
Subjektivis menjelaskan makna perilaku dengan menafsirkan apa yang orang lakukan. Interpretasi atas ini tidak bersifat kausal, dan tidak bisa juga dijelaskan lewat penemuan hukum atas generalisasi empiris seperti yang dilakukan ilmuan objektif. Fokus perhatian kaum subjektivis adalah bagian perilaku manusia yang disebut tindakan (action), bukan sekedar gerakan tubuh yang mencakup ucapan, bukan dengkuran; melompat, bukan terjatuh; bunuh diri, bukan sekedar kematian (Mulyana, 2010:33).
Penulis menggunakan paradigma kualitatif karena penulis ingin
melakukan sebuah eksplorasi kebudayaan, bukan melakukan prediksi terhadap
tindakan. Merujuk pada penjelasan Deddy Mulyana sebelumnya, penulis ingin
menguraikan mengapa seseorang berbicara seperti itu? mengapa seseorang
melompat? dan mengapa orang harus melakukan bunuh diri?
Alih-alih menyebut tindakan manusia bisa diprediksi, paradigma kualitatif
mempertimbangkan aspek lain dalam diri manusia, seperti rasa, pikiran, nilai,
kepercayaan, niat, atau maksud. Aspek tersebut memberi makna kepada kepada
kehidupan dan tindakan mereka, dan membuat kehidupan dan tindakan tersebut
dapat dijelaskan (Mulyana, 2010:33). Memang betul, setiap masalah bisa dikaji
atau dicari jalan keluarnya melalui paradigma manapun, baik kuantitatif maupun
kualitatif. Namun, ada paradigma yang sebenarnya lebih tepat jika digunakan
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian tertentu, dan melalui
paradigma kualitatif peneliti akan menjelaskan tindakan-tindakan etnis Tionghoa
dalam berbisnis.
Menurut pandangan subjektif, realitas sosial adalah sesuatu kondisi yang cair dan mudah berubah melalui interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena sosial senantiasa bersifat sementara, bahkan bersifat polisemik (multimakna), dan tetap diasumsikan demikian hingga terjadi negosiasi berikutnya untuk menetapkan status realitas sosial tersebut (Mulyana, 2010:35)
Etnis Tionghoa terkenal mempunyai kecintaan tingkat tinggi terhadap
leluhur, keluarga dan golongannya, bahkan ketika beberapa warganya bermigrasi
nilai-nilai daerahnya akan terus dibawa dan dipertahankan sebanyak mungkin.
Namun nilai-nilai yang mereka bawa mau tidak mau akan bersentuhan dengan
nilai-nilainya daerah baru yang mereka datangi, bisa dikatakan akan terjadi
interaksi antarbudaya. Interaksi-interaksi yang terjadi dari individu-individu yang
berbeda budaya tersebut memungkin adanya perubahan pergeseran nilai-nilai
yang dianut oleh etnis Tionghoa, karenanya penulis menggunakan paradigma
kualitatif. Hal ini sejalan dengan penjelasan Deddy Mulyana sebelumnya yang
menyebutkan bahwa realitas bersifat cair.
Pada akhirnya, penulis memilih paradigma kualitatif karena peneliti
menganggap paradigma kualitatiflah yang lebih tepat untuk mengeksplorasi objek
penelitian dan lebih tepat dipakai jika melihat pertanyaan-pertanyaan penelitian
yang penulis utarakan pada BAB I.
3.1.2. Metode Penelitian
Melalui paradigma kualitatif, peneliti menggunakan metode etnografi
untuk menjawab pertanyaan penelitian. Metode bisa dikatakan sebagai sebuah
cara untuk mencapai tujuan tertentu. Studi perilaku manusia secara antarbudaya
akan lebih muskil dilakukan, karena perilaku yang diamati terikat oleh aturan,
norma, atau pemahaman yang unik dalam budaya yang bersangkutan (Mulyana,
2010:43). Dalam penelitian ini, penulis mengangkat unsur budaya tertentu, yaitu
budaya Tionghoa. Budaya yang penulis angkat disini sekaligus menjadi lingkup
penelitian, dimana di dalam budaya tersebut terdapat aturan, norma, atau
pemahaman unik yang cocok jika diteliti menggunakan metode etnografi.
Etnografi pada dasarnya merupakan suatu bangunan pengetahuan yang
meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai macam deskripsi
kebudayaan, dan Creswell memasukan etnografi sebagai salah satu tradisi
penelitian kualitatif (Kuswarno, 2011:32).
Peneliti menggunakan pendekatan etnografi karena topik penelitian ini
sesuai dengan beberapa elemen inti dari penelitian etnografi yang diutarakan
Creswell (dalam Kuswarno, 2011:34), yaitu: menggali tema-tema kultural,
terutama tema-tema yang berhubungan dengan peran (roles) dan perilaku
masyarakat tertentu; dan menjelaskan “everyday life of persons”, bukan peristiwa-
peristiwa khusus yang sudah sering menjadi perhatian.
Kata “etnografi” sendiri berasal dari Yunani yang berarti sebuah deskripsi
mengenai orang-orang, atau secara harfiah “penulisan budaya” (Atkinson dalam
Daymon & Holloway, 2008:201). Arti kata etnografi menurut Atkinson tadi
sesuai dengan kekhasan metode etnografi karena etnografi tidak mengacu pada
proses risetnya saj, tetapi juga dari cara pelaporan, dan pendeskripsian tertulis dari
hasil riset tersebut. Etnografi merupakan deskripsi tertulis mengenai sebuah
budaya berdasarkan temuan-temuan di lapangan (Daymon & Holloway,
2008:202).
Metode etnografi sendiri, jika merujuk ke beberapa literatur, terdiri dari
berbagai macam perspektif. Dari berbagai macam perspektif tersebut, penulis
menggunakan perspektif James P. Spradley. Dalam bukunya, Metode Etnografi,
Spradley menjelaskan bahwa etnografi yang digagasnya adalah tipe yang khas dan
berkembang sejak tahun 1960-an, yang disebut cognitive anthropology, atau
ethnoscience, atau etnografi baru.
Sebelum etnografi baru, ada jenis etnografi lain yaitu etnografi modern
yang muncul pada tahun 1915-1925 dan dipelopori oleh dua ahli antropologi
sosial Inggris A. R. Radcliffe-Brown dan Bronislaw Malinowski.
Dalam etnografi modern, bentuk sosial dan budaya masyarakat dibangun dan dideskripsikan melalui analisis dan nalar sang peneliti. Struktur sosial dan budaya yang dideskripsikan adalah struktur sosial dan budaya masyarakat tertentu menurut interpretasi sang peneliti. Sedangkan dalam etnografi baru, bentuk tersebut dianggap merupakan susunan yang ada dalam pikiran (mind) anggota masyarakat tersebut, dan tugas sang peneliti adalah mengoreknya keluar dari pikiran mereka. Cara mengorek dan mendeskripsikan pola yang ada dalam pikiran manusia itu adalah khas,
yaitu melalui metode folk taxonomy (Spradley, 2007:xii).
Penjelasan di atas menjelaskan perbedaan antara dua perspektif: Radcliffe-
Brown dan Malinowski, dan Spradley. Perspektif etnografi modern terasa lebih
subjektif dibandingkan perspektif etnografi baru, interpretasi peneliti diandalkan
dalam membangun dan mendeskripsikan bentuk sosial dari subjek penelitian.
Namun bagi Spradley tugas peneliti dalam etnografi baru adalah mengorek keluar
bentuk sosial dan budaya yang ada dalam subjek penelitian.
Tahapan-tahapan penelitian yang akan digunakan penelitian adalah “alur
penelitian maju bertahap” yang terdiri dari 12 tahap penelitian etnografi Spradley.
Tahapan-tahapan tersebut termasuk pengumpulan data, analisis data, sampai
menuliskan laporan etnografi. Berikut adalah bagan dari model pengumpulan data
etnografi yang akan penulis lakukan.
Gambar 2Langkah Penelitian
Sumber: Etnografi Spradley dengan Modifikasi oleh Peneliti
3.2. Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang penulis pilih adalah keluarga Widya Pratama.
Widya Pratama adalah salah satu pengusaha keturunan Tionghoa yang berdomisili
dan mempunyai usaha di Bandung. Widya Prataman adalah pengusaha di bidang
bahan makanan, yaitu kopi. Nama tokonya adalah “Kopi Aroma”. Nama tersebut
mungkin tidak asing lagi bagi masyarakat Bandung, bahkan untuk Indonesia.
Toko yang bertuliskan “AROMA – PABERIK KOPI” ini terletak di jalan
Banceuy No.51 Bandung.
Widya adalah anak tunggal dari pasangan Tan Houw Sian yang kelahiran Indramayu dan Tjia Kiok Eng yang berasal dari Cirebon. Keduanya sudah meninggal dan mewariskan usaha Kopi Aroma kepada anak tunggalnya ini. Selain menjalankan usaha Kopi Aroma, Widya adalah dosen tetap pada Fakultas Ekonomi Unpar dan dikenal dalam menegakan integritas kejujuran kepada para mahasiswanya.11
Kopi aroma pertama kali beroprasi pada tahun 1930 di kota Bandung dan
sudah terkenal bahkan hingga Amerika, Belanda, Perancis. Malahan menurut
rumor, pendiri gerai kopi terbesar di Dunia, Starbucks, sampai menyempatkan
datang untuk mencicipi produk dari Kopi Aroma.
Berikut merupakan foto-foto subjek penelitian yang penulis ambil dari sumber internet.12
11 http://www.cikopi.com/2011/07/kopi-aroma-widya-pratama/ - Diakses pada 11 Juni 2013, pukul 13.21
12 http://www.cikopi.com/2011/07/kopi-aroma-widya-pratama/ - Diakses pada 29 Juni 2013, pukul 13.07 dan http://ngiderngiler.com/weblog/jabodetabek/kopi-aroma-sang-legenda-dari-bandung – Diakses pada 29 Juni 2013, pukul 13.12.
3.3. Objek Penelitian
Objek dari penelitian ini adalah perilaku-perilaku keluarga Widya Pratama
dari aspek kepercayaan dan aspek sosial yang berhubungan dengan kegiatan usaha
Kopi Aroma yang ia kelola.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
3.4.1. Wawancara
Moore (dalam Daymon dan Holloway, 2002) mengartikan wawancara
sebagai percakapan dengan suatu tujuan. Bagaimanapun wawancara lebih dari
sekedar percakapan, wawancara mempunyai sebuah derajat dan struktur yang
ditentukan oleh peneliti. Dalam melakukan wawancara, peneliti boleh melakukan
“penjagaan”, peneliti bisa melakukan upaya supaya narasumber dapat fokus dan
jawabannnya tidak melenceng terlalu jauh dari topik atau data-data yang ingin
peneliti dapatkan. Namun peneliti sebaiknya hati-hati, jangan sampai “penjagaan”
ini berubah menjadi “pembatasan”. Pembatasan ini justru menghambat informan
untuk mengeluarkan data-data yang lebih penting, jangan sampai informasi dari
informan menjadi dangkal. Jangan berfkir bahwa data yang peneliti dapatkan
rasanya sudah cukup lantas kita melakukan pembatasan, dengarkan saja dulu, dan
jaga supaya tetap dalam topik, bukan membatasi informan karena merasa data
telah lengkap. Bisa saja ada kejutan-kejutan lain yang ternyata keluar dari
informan.
Berdasarkan langkah penelitian yang ada di gambar 2, maka peneliti
menggunakan empat tipe wawancara antara lain: wawancara percakapan
persahabatan; wawancara dengan mengajaukan pertanyaan deskriptif; wawancara
dengan mengajukan pertanyaan struktural; dan wawancara dengan menggunakan
pertanyaan kontras.
3.4.1.1. Percakapan Persahabatan
Bisa dikatakan bahwa percakapan persahabatan adalah pertemuan-
pertemuan awal antara peneliti dan informan. Wawancara persahabatan yang
cenderung seperti percakapan persahabatan ini bisa dibilang sebagai percakapan
yang krusial. Krusial karena ini menyangkut kesan pertama informan kepada
peneliti. Seperti istilahnya, “percakapan persahabatan” bertujuan untuk
mendekatkan antara informan dan peneliti. Semakin kecil jarak antar keduanya,
atau semakin akrab antara keduanya dapat memperbesar keterbukaan informan.
Jangan sampai wawancara-wawancara setelah ini menimbulakan kesan bahwa
informan sedang diintrogasi dan digali informasinnya secara “membabi buta”,
untuk itulah pertemuan pertama sekaligus wawancara dengan kesan persahabatan
ini harus kuat.
Namun bukan berarti pada wawancara-wawancara berikutnya peneliti
tidak bersikap sahabat. Pnulis akan mempertahankan suasana persahabatan
tersebut namun isi pertanyaan wawancara berikutnya lebih fokus ke pertanyaan-
pertanyaan penelitian. Pada tahap ini penting bagi informan untuk mengetahui
maksud dan tujuan penelitian, karena itu peneliti akan memaparkan maksud dan
tujuan peneliti dengan jelas dan bersahabat. Peniliti tidak akan menimbulkan
kesan bahwa peneliti akan menjadi pihak yang akan merugikan informan.
3.4.1.2. Wawancara Etnografi dengan Pertanyaan Deskriptif
Tipe pertanyaan pada tipe wawancara ini adalah pertanyaan yang
memungkinkan peneliti untuk mengumpulkan satu sampel yang terjadi dalam
bahasa informan (Spradley, 2007:87). Pertanyaan-pertanyaan pada tipe
wawancara ini cenderung mudah, misalnya: “Dapatkan Bapak memberitahu saya
apa yang Bapak lakukan sebelum membuka toko anda setiap hari?”.
3.4.1.3. Wawancara Etnografi dengan Pertanyaan Struktural
Melalui pertanyaan struktural dapat menemukan domain unsur-unsur dasar
dalam pengetahuan budaya sendiri dari seorang informan. Contoh pertanyaannya
adalah: “Ke daerah manakah Bapak biasanya berlibur?”. Pertanyaan struktural
adalah untuk disesuaikan dengan informan, dihubungkan dengan pertanyaan
sebelumnya pada pertanyaan deskriptif.
Pertanyaan struktural hampir selalu mendatangkan daftar istilah-istilah
penduduk asli (Spradley, 2007:186).
3.4.1.4. Wawancara Etnografi dengan Pertanyaan Kontras
Etnografer ingin menemukan berbagai hal yang dimaksudkan oleh informan dengan berbagai istilah yang digunakan dalam bahasa aslinya. Pertanyaan kontras memungkinkan etnografer menemukan dimensi makna yang dipakai oleh informan untuk membedakan berbagai objek dan peristiwa dalam dunia informan (Spradley, 2007:88).
Contoh pertanyaan pada pertanyaan kontras adalah: “Menurut Anda apa
bedanya berlibur ke Garut dan ke Jogja?” atau “Apa perbedaan antara kopi
robusta dan arabika?”.
3.4.2. Observasi
Selain wawancara, penelitian menggunakan metode observasi sebagai
teknik pengumpulan data. Observasi berarti pengamatan. Dalam penelitian ini
metode observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan mengadakan
pengamatan langsung terhadap suatu objek dalam suatu periode tertentu serta
melakukan pencatatan yang sistematis terhadap objek-objek yang diamati
tersebut. Observasi memberi kegunaan penting dalam mengakses dan memahami
cara-cara yang digunakan orang-orang dalam bertindak dan berinteraksi.
Observasi menyaratkan pencatatan dan perekaman sistematis mengenai sebuah peristiwa, artefak-artefak, dan perilaku-perilaku informan yang terjadi dalam situasi tertentu. Observasi menawarkanperspektif menyeluruh (holistic) dan gambaran atau deskripsi grafis mengenai kehidupan sosial. Metode observasi jarang digunakan sendiri, namun sering dikaitkan dengan wawancara (Daymon & Holloway, 2008:321).
Memulai observasi berarti mencapai pemahaman tentang “lapangan” atau
latar penelitian. Paling baik menganggapnya sebagai “latar-latar fisik dan arena
aktivitas sosial dari permasalahan riset” (Daymon & Holloway, 2008:333).
Tipologi Gold (Dalam Daymon & Holloway, 2008:322) membagi derajat
partisipasi dalam observasi kedalam empat peran utama peneliti, antara lain:
partisipan penuh; partisipan sebagai pengamat; pengamat sebagai partisipan; dan
pengamat penuh. Pada penelitian ini peneliti memilih peran pengamat sebagai
partisipan.
Sebagai seorang pengamat yang berpartisipasi hanya dengan berada di sana,
keterlibatan peneliti di lokasi menjadi minimal. Minimal di sini bukan berarti
peneliti tidak melakukan partisipasi, namua lebih didominasi oleh pengamatan.
Peneliti menjadi pihak marginal. Agenda utama peneliti adalah untuk mengamati, bukan untuk berperanserta. Meski demikian peneliti tetap perlu bernegosiasi dengan para gatekeeper subjek penelitian kita untuk meminta akses dan persetujuan dari semua partisipan yang diamati (Daymon & Holloway, 2008:329).
Lebih lanjut, Becker (Dalam Mulyana, 2010:162) menyarankan
bahwapengamatan (observasi) terlibat adalah pengamatan yang dilakukan sambil
sedikit banyak berperan-serta dalam kehidupan orang yang kita teliti. Melakukan
observasi partisipan ibarat bekerja dalam struktur cerobong kerucut, yaitu diawali
dengan pandangan yang luas dan pertanyaan riset yang umum. Ketika peneliti
mulai mengenal orang-orang dan lingkungannya, ide dan pertanyaa riset akan
berkembang semakin fokus (Daymon & Holloway, 2008:335). Karena itu peneliti
tidak sepenuhnya menjadi pengamat, peneliti membutuhkan adanya interaksi dan
partisipasi pada poin-point tertentu untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik
dan jelas.
Daftar Pustaka:
Anugrah Kresnowati, Dadan Winny. 2008. Komunikasi Antar Budaya Konsep dan Aplikasinya. Jakarta: Jala Permata.
Ardianto dan Q-Aness. Elvinaro dan Bambang. 2011. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Bertens, K. 2011. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
______, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius.
Bone & Kurtz, Louis E & David L. Pengantar Bisnis Kontemporer. Jakarta: Salemba Empat.
Bond, Michael Harris. The Psychology of The Chinese People. New York: Oxford University Press.
Borgias M. Fransiskus. 2013. Manusia Pengembara: Refleksi Filosofis tentang Manusia. Yogyakarta: Jalasutra.
Brahm, Laurence J. 2002. Abadnya Tiongkok. Batam: Interaksara
Budyatama, Muhammad. 2012. Komunikasi Bisnis Silang Budaya. Jakarta: Kencana Prenda Media Group.
Chow, Gregory C. 2011. Memahami Dahsyatnya Ekonomi China. Solo: Metagraf.
Daymon & Holloway, Christine & Immy. 2008. MEtode-Metode Riset Kualitatif. Yogyakarta: Bentang.
Hamdani, Nasrul. 2012. Komunitas Cina di Medan dalam Lintasan Riga Kekuasaan 1930-1960. Jakarta: LIPI Press.
Hidajat. 1993. Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia. Bandung: Tarsito.
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius
Kuswarno, Engkus. 2011. Etnografi Komunikasi. Bandung: Widya Padjajaran.
Lan, Nio Joe. 2013. Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Mulyana, Deddy. 2011. Komunikasi Lintas Budaya: Pemikiran, Perjalanan, dan Khayalan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
______________. 2011. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
______________. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Nickels, McHugh dan McHugh, William G, James dan Susan. 2009. Pengantar Bisnis. Jakarta: Salemba Empat.
Pals, Daniel L. 2012. Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif. Jogjakarta: IRCiSoD
Rakhmat, Jalaluddin. 2008. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Santosa, Iwan. 2012. Peranakan Tionghoa di Nusantara. Jakarta: Kompas.
Spradley. James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Strauss & Corbin, Anselm & Juliet. 2009. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suryadinata, Leo. 2002. Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.
______________. 1990. Mencari Identitas Nasional dari Tjoe Bou San sampai Yap Thiam Hien. Jakarta: LP3ES.
Widjaja, H. A. W. 2000. Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Jakarta. PTRineka Cipta.
BUDAYA BISNIS TIONGHOA
Studi Etnografi Komunikasi Mengenai Perilaku Bisnis Keluarga Widya Pratama Sebagai Pebisnis
Indonesia-Tionghoa di Bandung
Sebuah Tesis,oleh
Ahmad Fadhli 20080012001
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
2013