136
AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA PADANGSIDIMPUAN 印尼帕当西登普安华裔习俗的研究 (Yìnní pà dāng xī dēng pǔ ān huáyì xísú de yánjiū) SKRIPSI SARJANA OLEH : MUHAMMAD SOFWAN NASUTION 140710004 PROGRAM STUDI SASTRA CINA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

1

AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT

TIONGHOA DI KOTA PADANGSIDIMPUAN

印尼帕当西登普安华裔习俗的研究

(Yìnní pà dāng xī dēng pǔ ān huáyì xísú de yánjiū)

SKRIPSI SARJANA

OLEH :

MUHAMMAD SOFWAN NASUTION

140710004

PROGRAM STUDI SASTRA CINA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 2: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

2

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 3: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

3

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan

Tinggi dan sepanjang pengetahun saya juga tidak terdapat karya atau pendapat

yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis

diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 23 November 2018

Muhammad Sofwan Nasution

140710004

Materai

6000

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 4: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

i

AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT

TIONGHOA DI KOTA PADANGSIDIMPUAN

印尼帕当西登普安华裔习俗的研究

(Yìnní pà dāng xī dēng pǔ ān huáyì xísú de yánjiū)

MUHAMMAD SOFWAN NASUTION

140710004

ABSTRAK Skripsi sarjana ini berjudul “Akulturasi Budaya Pada Masyarakat Tionghoa Di

Kota Padangsidimpuan”. Tujuan penelitian dalam menulis skripsi ini adalah

Menjelaskan unsur budaya yang terdapat pada masyarakat Tionghoa di kota

Padangsidimpuan dan mendeskripsikan unsur akulturasi budaya pada masyarakat

Tionghoa di kota Padangsidimpuan. Metode yang dipakai dalam penelitian ini

adalah metode deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif. Teknik

pengumpulan data dalam penelitian ini berdasarkan studi lapangan, yaitu

observasi, wawancara, dan dokumentasi. Penelitian ini menggunakan teori

akulturasi dari John Widdup Berry, yaitu mengenai penelusurannya di dalam

aspek budaya. Hasil yang penulis dapat dari penelitian ini adalah : (1) unsur

akulturasi budaya pada masyarakat Tionghoa di kota Padangsidimpuan yaitu

unsur akulturasi budaya Batak Angkola, yang mana penulis menganalisis

mengenai bahasa, perkawinan, dan penabalan marga antara masyarakat Tionghoa

dengan masyarakat Batak Angkola. (2)dari analisis yang penulis lakukan tentang

akulturasi budaya masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Batak Angkola

mengenai bahasa, perkawinan, dan penabalan marga dapat dinyatakan berjalan

dengan baik.

Kata Kunci: Akulturasi Budaya; MasyarakatTionghoa; Kota Padangsidimpuan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 5: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

ii

AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT

TIONGHOA DI KOTA PADANGSIDIMPUAN

印尼帕当西登普安华裔习俗的研究

(Yìnní pà dāng xī dēng pǔ ān huáyì xísú de yánjiū)

MUHAMMAD SOFWAN NASUTION

140710004

ABSTRACT

This thesis title is " The Acculturation of Chinese Communities in

Padangsidimpuan City". The purpose of the research in writing this thesis is to

explain the cultural elements found in the Chinese community in the city of

Padangsidimpuan and describe the elements of cultural acculturation in the

Chinese community in the city of Padangsidimpuan. The method used in this

study is a descriptive analysis method with a qualitative approach. Data collection

techniques in this study are based on field studies, namely observation, interviews,

and documentation. This study uses the acculturation theory of John Widdup

Berry, which is about his search in cultural aspects. The results that the authors

obtained from this study are: (1) the element of cultural acculturation in the

Chinese community in the city of Padangsidimpuan namely the element of

acculturation of Angkola Batak culture, in which the authors analyze the

language, marriage, and clan sowing between the Chinese community and the

Angkola Batak community. (2) from the analysis that the author did about the

cultural acculturation of the Chinese community with the Batola Angkola

community regarding the language, marriage, and surname of the clan can be

declared to work well.

Keywords: Acculturation; Chinese society; Padangsidimpuan City

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 6: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhana Wataala, yang telah melimpahkan

rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat meyelesaikan

skripsi yang berjudul “Akulturasi Budaya pada Masyarakat Tionghoa di Kota

Padangsidimpuan”. Skripsi ini disusun sebagai persyaratan untuk memperoleh

gelar Sarjana dari Program Studi Sastra Cina, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Sumatera Utara.

Dalam penyelesaian skripsi ini, tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak

yang telah memberikan dukungan, semangat, waktu, nasehat, dan doa kepada

penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis dengan segenap hati ingin

mengucapkan terima kasih kepada semua yang telah membantu penulis sehingga

skripsi ini dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih ini penulis tujukan kepada:

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Mhd. Pujiono, M.Hum., Ph.D, selaku Ketua Program Studi Sastra

Cina Universitas Sumatera Utara, sekaligus Dosen Penguji dan Dosen

Pembimbing Akademik penulis yang telah memberikan masukan dan

kritikan yang membangun selama proses penyempurnaan penulisan skripsi

ini.

3. Ibu Niza Ayuningtias, S.S., MTCSOL, selaku Sekretaris Program Studi

Sastra Cina Universitas Sumatera Utara, sekaligus dosen penguji yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 7: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

iv

telah memberikan masukan dan kritikan yang membangun selama proses

penyempurnaan penulisan skripsi ini.

4. Ibu Juliana B.A., MTCSOL, dan Bapak Rudiansyah S.S., M.Hum, selaku

Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, masukan yang

membangun kepada penulis selama proses penyempurnaan skripsi ini,

sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

5. Seluruh staf pengajar di Fakultas Ilmu Budaya khususnya Program Studi

Sastra Cina, Universitas Sumatera Utara.

6. Kedua orang tua saya yang sangat luar biasa, Bapak Binu Hajar Nasution

dan Ibu Rosmaini Hasibuan, yang tidak pernah jenuh-jenuhnya dalam

mendoakan, menasehati serta mendidik penulis dengan setulus hati.

7. Saudara penulis Rafsanjani Nasution, Iryah Yanti Nasution, Muhammad

Safii Nasution yang selalu member semangat, serta mendoakan.

8. Abang saya Ali Marwan Nasution juga kakak ipar saya Sunita Dewi yang

telah banyak membantu, menasehati, serta mendidik saya dengan baik

sampai sejauh ini, sehingga penulis sampai pada tahap ini.

9. Informan yang telah berkenan untuk di wawancarai serta memberikan

waktu dan kesempatan dan juga pengetahuan kepada penulis, yaitu Ibu

Juliana dan Bapak Olly Japar Siregar sebagai informan kunci yang

memberikan penjelasan akulturasi budaya masyarakat Tionghoa di kota

Padangsidimpuan serta semua informan yang tidak bisa penulis sebutkan

satu persatu, terima kasih atas semua informasi, saran-masukan yang

bersifat membangun serta kerja sama yang baik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 8: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

v

10. Sahabat yang selalu bisa memberikan saran, dan motivasi kepada penulis,

sahabat terbaik yang selalu mendengar suka-duka dan candatawa penulis,

Ahmad Bahari Nasution, Rudi Paisal Nasution, Zul Parwis Hasibuan,

Amirul Tanjung, Indra Syaputra Lubis, dan Ahmad Mustomi Nasution,

yang member semangat, dan selalu mengingatkan penulis dalam

pengerjaan skripsi ini.

11. Seluruh teman-teman sastra cina 2014 yang tidak bisa penulis sebutkan

satu persatu, teman yang memberikan warna-warni selama perkuliahan.

Semoga kita tetap kompak dan sukses.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tulisan ini

belum bisa dikatakan sebagai penelitian yang sempurna. Oleh sebab itu, penulis

sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan

skripsi ini. Akhirnya penulis mengharapkan agar nantinya skripsi ini bermanfaat

bagi semua pihak di kemudian hari.

Medan, 23 November 2018

Penulis

Muhammad Sofwan Nasution

140710004

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 9: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

vi

DAFTAR ISI

ABSTRAK ................................................................................................................. i

ABSTRACT ................................................................................................................. ii

KATA PENGANTAR ................................................................................................ iii

DAFTAR ISI .............................................................................................................. vi

DAFTAR TABEL ...................................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. ix

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 8

1.3 Batasan Penelitian ..................................................................................... 8

1.4 Tujuan Penelitian....................................................................................... 9

1.5 Manfaat Penelitian..................................................................................... 9

1.5.1 Manfaat Teoritis ................................................................... 9

1.5.2 Manfaat Praktis ................................................................... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep ............................................................................................. 11

2.1.1 Kebudayaan ......................................................................... 11

2.1.2 Akulturasi Budaya ............................................................... 12

2.1.3 Inkulturasi Budaya ............................................................... 13

2.1.4 Enkulturasi Budaya .............................................................. 14

2.1.5 Sistem Kepercayaan ............................................................. 15

2.1.5.1 Buddhisme ............................................................... 18

2.2 Landasan Teori .......................................................................................... 20

2.2.1 Teori Akulturasi ................................................................... 26

2.3 Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 26

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 10: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

vii

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian ............................................................................ 36

3.2 Lokasi Penelitian.............................................................................. 37

3.3 Data dan Sumber Data .............................................................................. 37

3.4 Persyaratan Informan ................................................................................ 38

3.5 Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 39

3.5.1 Observasi ............................................................................. 39

3.5.2 Wawancara........................................................................... 40

3.5.3 Dokumentasi ........................................................................ 41

3.6 Metode Analisis Data ............................................................................... 42

3.7 Metode Penyajian Analisis Data .............................................................. 43

BAB IV GAMBARAN UMUM

4.1 Letak Geografis ............................................................................... 44

4.2 Demografis Lokasi Penelitian ......................................................... 45

4.2.1 Etnis (Suku Bangsa) ............................................................ 47

4.2.2 Sistem Kepercayaan ............................................................. 49

4.2.3 Mata Pencaharian ................................................................ 52

BAB V AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT

TIONGHOA DI PADANGSIDIMPUAN

5.1 Unsur Budaya pada Masyarakat Tionghoa

di Kota Padangsidimpuan ............................................................... 55

5.1.1 Budaya Batak Angkola ........................................................ 60

5.2 Unsur Akulturasi Budaya Masyarakat Tionghoa

di Kota Padangsidimpuan ............................................................... 63

5.2.1 Bahasa ................................................................................ 64

5.2.2 Pernikahan ......................................................................... 68

` 5.2.2.1 Penentuan Hari Baik .............................................. 69

5.2.2.2 Prosesi Sangjit (Lamaran) ...................................... 69

5.2.2.3 Menghias Kamar Pengantin ................................... 73

5.2.2.4 Upacara Pesta Pernikahan ..................................... 74

5.2.3 Penabalan Marga ............................................................... 81

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 11: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

viii

BAB VI PENUTUP

6.1 Simpulan ......................................................................................... 85

6.2 Saran ............................................................................................... 87

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 88

LAMPIRAN ................................................................................................................ 91

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 12: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 2.3 Matriks Penelitian Sejenis ........................................................................... 31

Tabel 4.1 Statistik Geografi dan Iklim Kecamatan Padangsidimpuan Utara............... 44

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan ....................................................... 46

Tabel 4.2.1 Jumlah Penduduk Menurut Wilayah Administrasi dan

Suku Bangsa ................................................................................................ 47

Tabel 4.2.1 Jumlah Penduduk Tionghoa Berdasarkan Kepala Keluarga,

Jenis Kelamin/Sex, Usia/Umur Dan Kelurahan .......................................... 48

Tabel 4.2.2 Persentase Penduduk Menurut Agama dan Kepercayaan ......................... 50

Tabel 4.2.3 Penduduk Padangsidimpuan Utara Menurut Mata Pencaharian .............. 53

Tabel 4.2.3 Penduduk Etnis Tionghoa Menurut Mata Pencaharian............................ 54

Tabel 5.2.1 Bahasa Percakapan dalam Rumah Tangga Masyarakat

Tionghoa di Padangsidimpuan ................................................................. 65

Tabel 5.2.1 Bahasa Percakapan dalam Kelompok Etnis

Tionghoa di Padangsidimpuan ................................................................... 66

Tabel 5.2.1 Bahasa Percakapan dalam Pergaulan Sehari-Hari

dengan Masyarakat Padangsidimpuan...................................................... 66

Tabel 5.2.1 Tingkat Penguasaan Bahasa Etnis Tionghoa

di Padangsidimpuan .................................................................................. 67

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 13: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.2 Peta Kota Padangsidimpuan ............................................................... 37

Gambar 5.2.2.4 Pengantin Wanita yang Sedang di Rias Orang Tuanya...................... 75

Gambar 5.2.2.4 Pengantin Tionghoa Sedang Memohon Doa Restu

Kepada Kedua Orang Tuanya............................................................. 75

Gambar 5.2.2.4 Kedua Orang Tua Menyelempangkan Ulos Batak Angkola

Atau Parompa Sadung Kepada Kedua Pengantin............................... 79

Gambar5.2.2.4 Pengantin Etnis Tionghoa Sedang Melangsungkan

Adat Mangupa Batak Angkola ........................................................... 80

Gambar 5.2.3 Gambar Pengetua Adat Menaburkan Beras Kuning Diatas

Kepala Fung Fa Lie (Ali Surya Siregar) ........................................... 82

Gambar 5.2.3 Acara Tarian Manortor Etnis Batak Angkola ................................... 83

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 14: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah dikenal sangat heterogen dalam

berbagai aspek, seperti adanya keberagaman suku bangsa, agama, adat istiadat,

dan sebagainya. Dilain pihak, perkembangan dunia yang sangat pesat saat ini

dengan mobilitas dinamika yang sangat tinggi telah menyebabkan dunia menuju

kearah Desa dunia “global village” yang hampir tidak memiliki batas-batas lagi

sebagai akibat dari perkembangan teknologi modern. Oleh karena nya masyarakat

(dalam arti luas) harus siap menghadapi situasi-situasi baru dalam konteks

keberagaman budaya (Lubis,2002:1).

Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa memiliki warisan budaya

yang sangat kaya. Berbagai macam tradisi dan adat-istiadat yang dimiliki

Indonesia menjadi kebanggaan tersendiri bagi indonesia. Indonesia menjadi kaya

karena budayanya. Kekayaan budaya itu ditambah lagi dengan masuknya unsur

kebudayaan asing kedalam Indonesia melalui proses asimilasi dan akulturasi.

Akulturasi adalah proses bercampurnya dua budaya atau lebih yang mana

unsur-unsur dari kebudayaan asli masih terlihat dan tidak hilang. Menurut

Koentjaraningrat (2009:202) Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul

apabila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan

dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa,

sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke

dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 15: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

2

itu sendiri. Jadi, akulturasi artinya menerima, mengelola kebudayaan asing dan

mengkombinasikannya dengan kebudayaan asli pribumi tanpa merusak atau

menghilangkan unsur-unsur keaslian budaya pribumi.

Akulturasi dapat dideskripsikan sebagai suatu tingkat dimana seorang

individu mengadopsi nilai, kepercayaan, budaya dan praktek-praktek tertentu

dalam budaya tamu (Diaz &Greiner,1998: 219). Akulturasi juga dapat dipandang

sebagai suatu proses dimana individu, keluarga, atau masyarakat dengan latar

belakang tertentu memulai menerapkan berbagai macam aspek dalam budaya

kedua (Orshan,1996: 461).

Dari penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwa ketika seseorang

memasuki suatu kelompok (dalam hal ini yang dimaksud adalah etnis Tionghoa

yang melakukan perkawinan campur), tidak mungkin baginya untuk menghindari

kontak dengan anggota kelompok tersebut (keluarga pasangan).Sebab perkawinan

bukanlah semata-mata penyatuan antara dua individu, melainkan dua keluarga.

Kontak dengan keluarga pasangan kemudian akan mempengaruhi pemikiran dan

perilakunya.

Indonesia melakukan hubungan dengan Tiongkok telah terbina sejak abad

ke-13. Selanjutnya pedagang Tionghoa datang ke Indonesia khususnya ke

Sumatera Utara. Kedatangan penduduk Tionghoa ke Sumatera Utara di mulai

sejak Tiongkok di perintah oleh Dinasti Ming (1368-1644). Pada tahun 1412

sebuah armada Tiongkok di bawah pimpinan Cheng Hoo datang di pulau Bangka

Belitung, Kepulauan Karimata, pulau Jawa di Semarang dan di Madura (Hidayat,

1997:74).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 16: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

3

Imigran besar-besaran pertama terjadi pada tahun 1860-1890 berjumlah

sekitar 318000 orang, 40% diantaranya bertempat di jawa dan 60% sisanya

(190.000) memperbesar jumlah populasi Tiongkok di pulau-pulau luar Jawa,

terutama di Pesisir Timur Sumatera, Bangka Belitung (Twang Pech Yang,

2004:27).

Migrasi spontan etnis Tionghoa mungkin sudah berlangsung berabad-abad

sebelum pembukaan perkebunan di Sumatera Timur. Karena daerah ini sudah

dikenal oleh pelaut-pelaut Tionghoa, antara lain yang dipimpin oleh Laksamana

Cheng Hoo yang menjelajah ke Pulau Jawa, Laksamana Cheng Hoo juga telah

menyusuri Pantai Timur Sumatera dan juga singgah di Nakur yaitu wilayah

budaya batak di Pantai Timur (Basyral, 2003:203). Etnis Tionghoa yang datang

berimigrasi ke Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa. Etnis Tionghoa yang

suka merantau adalah suku Hokien namun ada juga suku Hakka (Khek), Teochiu

dan Hailam (Hainan). Suku inilah yang paling banyak melakukan migrasi ke

Indonesia. Kebanyakan mereka ini adalah para pedagang yang melakukan

mobilitas untuk mencari daerah-daerah lain yang membutuhkan barang

dagangannya dan mereka menetap di daerah tersebut, misalnya di Medan, Tebing

Tinggi, Pematang Siantar, Tarutung, dan Padangsidimpuan.

Padangsidimpuan merupakan kota administratif yang berasal dari sebagian

Kabupaten Tapanuli Selatan. Dimana Kabupaten Tapanuli Selatan ini terdiri dari

Kecamatan Padangsidimpuan Utara, Kecamatan Padangsidimpuan Selatan,

Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua, Kecamatan Padangsidimpuan

Hutaimbaru, dan Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara. Kota Padangsidimpuan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 17: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

4

tergolong ke dalam daerah yang beriklim sedang dengan suhu 20-30 0C yang

dilalui beberapa sungai dan anak sungai. Sebagaimana Kabupaten/kota lainnya,

kota Padangsidimpuan mempunyai dua musim , yaitu musim panas (kemarau),

musim ini terjadi pada bulan Maret sampai dengan bulan Agustus dan musim

penghujan yang terjadi pada bulan September sampai dengan bulan Februari.

Menurut Ahmad Rivai Harahap selaku Lurah Kelurahan Wek II, kota

Padangsidimpuan juga memiliki banyak pahlawan, salah satu diantaranya adalah

Sersan Mayor (Serma) Lian Kosong. Namanya kini ditabalkan menjadi nama

jalan di tengah kota Padangsidimpuan. Serma Lian Kosong telah turut aktif

berjuang melawan tentara/pasukan Belanda pada masa agresi militer kedua. Pada

saat itu komandannya adalah Kapten Koima Hasiboean.

Adapun penyebab migrasinya etnis Tionghoa ke kota Padangsidimpuan

dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor pendorong adalah faktor yang timbul dari

daerah asal dan faktor penarik merupakan faktor yang barasal dari daerah yang di

tuju. Faktor pendorong kegiatan migrasi sebenarnya timbul karena dirasakan

bahwa, daerah dimana penduduk Tionghoa tinggal dalam kondisi kurang

rnenguntungkan misalnya karena mulai berkurang nya sumberdaya alam,

menyempitnya lapangan kerja, tekanan-tekanan politik, sosial ekonomi (dengan

makin padatnya penduduk serta makin sempitnya dalam usaha ekonomi

pertaniannya), bencana alam, perang dan sebagainya sehingga atas kesadaran

sendiri atau pengarahan dari luar, etnis Tionghoa meninggalkan daerah asal.

Sedangkan faktor penarik kegiatan migrasi yang timbul karena adanya daerah-

daerah yang mempunyai kondisi lebih menguntungkan dari pada daerah asal.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 18: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

5

Misalnya daerah yang dituju tersebut memiliki tanah yang subur, kedudukan

sosial ekonomi yang lebih baik, serta menjanjikan perluasan usaha dalam bidang

perdagangan.

Tan, Sofyan (2003:69) menyebutkan bahwa orang Hokien pada umumnya

melakukan kegiatan dalam bidang perdagangan, orang Kanton bekerja dalam

bidang pertukangan, sedangkan Khek bekerja dalam bidang bisnis obat-obatan

dan Teochiu ini berdiam di pinggiran kota Medan seperti Sunggal, Pulo Brayan

bahkan sampai Stabat,Pematang Siantar dan kota-kota di luar Medan. Tetapi Etnis

Tionghoa yang datang berimigrasi ke kota Padangsidimpuan pada umumnya

rnerupakan orang Hokien dan Kanton.

Kemapanan mereka dalam mencari nafkah pasti didasari pergaulan yang

erat antara kelompok masyarakat setempat yang berupa kerja sama etnis Tionghoa

dengan pengusaha tradisional pemilik tanah atau menjalin hubungan melalui

perkawinan laki-laki pendatang Tionghoa dengan perempuan setempat (Basyral,

2003:205).

Keberadaan berbagai ragam etnis Tionghoa di Indonesia adalah

merupakan akibat dari lamanya mereka tinggal di Indonesia di tempat-tempat

yang berbeda. Etnis Tionghoa yang berimigrasi ke Indonesia lamban laun mereka

akan beradaptasi dengan masyarakat setempat sehingga bukan menjadi suatu hal

yang asing bagi kita jika ada laki-laki Tionghoa yang mengawini wanita setempat

dalam arti luas (masyarakat setempat). Mereka dan keturunannya membentuk

komunitas etnis Tionghoa atau etnis baru yang lebih dikenal sebagai peranakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 19: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

6

(Tionghoa peranakan). Begitu juga yang dilakukan oleh Lie Kak yang menikahi

Soun boru siregar dari desa Tinjoman, Angkola Julu.

Masyarakat Tionghoa di kota Padangsidimpuan dipimpin oleh Lie Kak

kelahiran Tiongkok, Lie Kak dijodohkan dan sudah dikawinkan sebelum dia

merantau. Lie Kak berangkat meninggalkan negeri leluhurnya sendirian, tanpa

istri, ini merupakan tradisi Tiongkok antara kerabat sehingga menjodohkan anak-

anak mereka. Tradisi memperkuat ikatan hubungan dengan kerabat dari negeri

Tiongkok sendiri. Keadaan ini penting bagi perantau agar kecintaan terhadap

negeri leluhur tetap terpelihara. Para suami muda merantau kelak setelah berhasil

akan datang menjemput istrinya. Lie Kak bahkan disebut sebagai salah satu

seorang pendiri kota Padangsidimpuan. Lie Kak pandai bergaul, karena itu ia

berhasil menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh pengusaha tradisional khususnya

Baginda Saif, salah seorang raja Losung Batu yang menguasai tanah-tanah di

Padangsidimpuan. Lie Kak juga berasimilasi dengan masyarakat setempat

(Basyral, 2003:207). Hubungan sangat baik terjadi antara bumi putera (penduduk

Padangsidimpuan) dengan masyarakat Tionghoa di kota Padangsidimpuan,

misalnya dalam bidang hubungan politik dan bidang perniagaan, kaum bumi

putera dan kalangan Tionghoa memiliki kesamaan persepsi terhadap penolakan

kehadiran penjajah Belanda di kota Padangsidimpuan.

Hampir semua etnis Tionghoa di Sumatera Utara umumnya dan di kota

Padangsidimpuan khususnya berusaha dalam bidang perdagangan sebagai mata

pencaharian mereka. Hal ini sesuai dengan jiwa dagang mereka yang telah

mendarah daging. Di kota Padangsidimpuan etnis Tionghoa membuka lokasi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 20: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

7

pertokoan, pusat-pusat pertokoan tersebut juga dipakai sebagai tempat tinggal.

Berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan dilakukan oleh etnis Tionghoa di

kota Padangsidimpuan, antara lain di bidang industri (PT. Kirana Sapta, PT.

Virgo, PT. Sihitang Raya Baru), perbengkelan (Toko Honda Surya Lestari, Toko

Suzuki), Toko Emas, Toko Mebel, dan Toko Besi. Ada juga yang melibatkan diri

sebagai pedagang kelontong (berdagang bermacam-macam barang), perdagangan

grosir dan sebagai distributor.

Setelah etnis Tionghoa masuk ke kota Padangsidimpuan, perkembangan

perdagangan semakin meningkat. Sejarah mencatat bahwa masyarakat Tionghoa

menjadi salah satu motor penggerak perekonomian di kota Padangsidimpuan.

Mereka sebagai anggota masyarakat telah mengambil peranan yang penting di

dalam roda perekonomian kota Padangsidimpuan. Sikap toleransi serta semangat

kerja yang tinggi dapat menjadi nilai baik sekaligus contoh tauladan bagi

masyarakat Padangsidimpuan lainnya.

Di kota Padangsidimpuan masyarakat Tionghoa beradaptasi yaitu dengan

dengan cara bersikap ramah –tamah, dan berkomunikasi dengan masyarakat

setempat dengan menggunakan bahasa Batak Angkola. Masyarakat Tionghoa juga

berasimilasi dengan masyarakat setempat yaitu dengantidak menciptakan

pemukiman Tionghoa (pecinan), sehingga masyarakat Tionghoa di tempat ini

membaur satu sama lain dengan masyarakat setempat.

Kemudian di tempat ini masyarakat Tionghoa juga menggunakan marga-

marga yang ada di kota Padangsidimpuan yaitu dengan melaksanakan upacara

adat (ritual adat) yang dihadiri oleh tetua adat Batak Angkola, serta melengkapi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 21: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

8

persyaratan yang telah ditetapkan oleh pimpinan adat untuk mendapatkan sebuah

marga yang diinginkan. Selain melalui proses perkawinan sebuah marga juga bisa

dimilki oleh seseorang atas dasar keinginannya sendiri. Disini masyarakat

Tionghoa juga melakukan kawin campur (amalgamasi) dengan masyarakat

Padangsidimpuan yaitu dengan memakai adat kedua belah pihak yakni adat Batak

Angkola adat etnis Tionghoa. Dengan demikian diharapkan dapat terciptanya

kerukunan antar etnis Tionghoa dengan Batak Angkola dan etnis lainnya yang ada

di kota Padangsdimpuan.

Dari latar belakang permasalahan diatas maka peneliti tertarik untuk

meneliti tentang “Akulturasi Budaya Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota

Padangsidimpuan”.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Unsur budaya apa yang terdapat pada masyarakat Tionghoa di kota

Padangsidimpuan?

2. Bagaimana unsur akulturasi budaya pada masyarakat Tionghoa di kota

Padangsidimpuan?

1.3 Batasan Penelitian

Supaya penulisan dan pembahasan skripsi ini dapat berjalan dengan baik

serta tidak terjadi kesimpangsiuran dalam menafsirkannya, maka penulis

membatasi permasalahan yang dipaparkan sesuai dengan judul skripsi akulturasi

budaya pada masyarakat Tionghoa di kota Padangsidimpuan. Maka batasan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 22: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

9

masalah yang menjadi subtansi dalam studi ini adalah menjelaskan unsur budaya

yang terdapat pada masyarakat Tionghoa di Kota Padangsidimpuan juga

mendeskripsikan unsur akulturasi budaya pada masyarakat Tionghoa di Kota

Padangsidimpuan. Lingkup wilayah penelitian meliputi daerah kawasan Jalan

Baginda Oloan, Kelurahan Wek II, Kecamatan Padangsidimpuan Utara, Kota

Padangsidimpuan.

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka dapat disimpulkan tujuan dari

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan unsur budaya yang terdapat pada masyarakat Tionghoa di

kota Padangsidimpuan.

2. Mendeskripsikan unsur akulturasi budaya pada masyarakat Tionghoa di

kota Padangsidimpuan.

1.5 Manfaat penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1.5.1 Manfaat Teoritis

Memberikan pengetahuan bagi pembaca dalam memahami unsur budaya

yang terdapat pada masyarakat Tionghoa di kota Padangsidimpuan.Menambah

wawasan penulis dan pembaca tentang bagaimana unsur akulturasi budaya pada

masyarakat Tionghoa di kota Padangsidimpuan.Serta dapat dijadikan sebagai

bahan referensi bagi peneliti lain yang ingin meneliti masalah yang sama di

tempat dan waktu yang berbeda.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 23: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

10

1.5.2 Manfaat Praktis

Melalui Penelitian ini diharapkan masyarakat Tionghoa secara umum,

maupun bagi pemerintah kota Padangsidimpuan kiranya dapat menjadikan skripsi

ini sebagai pedoman serta masukan sebagai bahan pertimbangan aspek maupun

elemen yang perlu dipertahankan dan harus dikembangkan mengenai akulturasi

budaya dari berbagai unsur budaya yang ada di kota Padangsidimpuan. Secara

praktis penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan kepustakaan,

perbandingan penelitian yang akan datang serta dapat menjadi sumber referensi

pada penulisan proposal, skripsi dan jurnal di Program Studi Sastra Cina, Fakultas

Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 24: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Aristoteles dalam “the classical theory of concepts” menyatakan bahwa

konsep merupakan penyusunan utama dalam pembentukan pengetahuan ilmiah

dan filsafat pemikiran manusia. Konsep merupakan abstraksi suatu ide atau

gambaran mental yang dinyatakan dalam suatu kata atau simbol (Brownislaw,

1944: 182).

Dalam hal ini defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang

digunakan secara mendasar. Selain itu juga sebagai penyamaan persepsi tentang

apa yang akan diteliti serta menghindari kesalahan pada penelitian.

2.1.1 Kebudayaan

Dalam kehidupan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal

kebudayaan, juga dalam kehidupan sehari-hari, orang tak mungkin tidak

berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Setiap hari orang melihat,

mempergunakan dan bahkan kadang-kadang merusak hasil kebudayaan. Masalah

kebudayaan, sebenarnya secara khusus dan lebih teliti dipelajari oleh antropologi

budaya. Para antropologi mengatakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan

kompleks yang didalamnya meliputi pengetahuan, seni moral, hukum, adat

istiadat, dan setiap kemampuan atau kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang

sebagai anggota suatu masyarakat. Untuk mempermudah menjelaskan

kebudayaan yaitu dengan mendeskripsikan rincian pengetahuan, seni, moral,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 25: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

12

hukum, adat istiadat, dan setiap kemampuan atau kebiasaan yang dilakukan oleh

sekelompok masyarakat dari kebudayaan tertentu (Alo,2003:10).

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dimiliki bersama oleh

sebuah masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk

dari bayak unsur yang rumit, termasuk sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa,

perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa dan budaya merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari diri manusia, sehingga banyak orang

cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha

berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan

perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya

adalah suatu pola hidup menyeluruh, bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak

aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosiobudaya

tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia (Mulyana, 2006:25).

Setiap manusia dilahirkan kedalam suatu kebudayaan yang bersifat

kompleks. Kebudayaan sangat berpengaruh terhadap cara hidup serta cara

berprilaku yang akan diikuti selama manusia itu hidup.

2.1.2 Akulturasi Budaya

Akulturasi budaya merupakan perpaduan antara dua budaya atau lebih

akibat interaksi yang terjadi antara sekelompok masyarakat yang memiliki

kebudayaan tertentu, dengan kelompok masyarakat lain yang memiliki

kebudayaan yang berbeda. Dari sanalah terjadi perubahan pola kebudayaan yang

original, tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan tersebut (Suryanto,

1996:117).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 26: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

13

Akulturasi mengacu pada proses dimana kultur seseorang dimodifikasi

melalui kontak atau pemaparan langsung dengan kultur lain (misalnya, melalui

media massa). Sebagai contoh, bila sekelompok imigran kemudian berdiam di

Indonesia (kultur tuan rumah), kultur mereka sendiri akan akan dipengaruhi oleh

kultur tuan rumah ini. Berangsur-angsur, nilai-nilai, cara berprilaku, serta

kepercayaan dari kultur tuan rumah semakin menjadi bagian dari kultur kelompok

imigran itu. Pada waktu yang sama, tentu saja kultur tuan rumah berubah juga.

Tetapi, pada umumnya, kultur imigran lah yang lebih banyak berubah (Joseph A

Devito, 1997:479). Adapun penyebab terjadinya akulturasi dapat beraneka ragam,

antara lain yaitu:

1. Bertambah dan berkurangnya jumlah penduduk

2. Adanya revolusi yang terlalu cepat

3. Masalah yang timbul antar masyarakat

4. Adanya perubahan alam atau siklus

5. Adanya peperangan/konflik

6. Adanya pengaruh dari kebudayaan asing

2.1.3 Inkulturasi Budaya

Inkulturasi adalah sebuah integrasi pengalaman suatu kelompok lokal

kedalam kebudayaan setempat sedemikian rupa sehingga pengalaman tersebut

tidak hanya mengungkapkan diri di dalam unsur-unsur kebudayaan bersangkutan,

melainkan juga menjadi kekuatan yang menjiwai, mengarahkan, dan

memperbaharui kebudayaan bersangkutan, dengan demikian akan menciptakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 27: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

14

suatu kesatuan dan komunikasi baru, tidak hanya dalam kebudayaan tersebut,

melainkan juga sebagai unsur yang memperkaya kelompok besar.

Secara garis besar, inkulturasi yang akan dibahas dalam studi ini adalah

suatu interaksi yang sedemikian, sehingga budaya lama maupun budaya baru

mengalami suatu transformasi (Prier, 1999:7).

2.1.4 Enkulturasi Budaya

Berbicara tentang enkulturasi kebudayaan berarti membicarakan seluk

beluk antropologi yaitu membicarakan tentang kontak-kontak kebudayaan

(culture contact). Penelitian terhadap studi enkulturasi, bermula dari reaksi

terhadap suatu upaya rekonstruksi (memory culture). Kajian enkulturasi

kebudayaan berawal dari Inggris, Perancis, dan Belanda untuk memecahkan

masalah-masalah praktis di daerah penjajahan, juga faktor utama yang

menyebabkan semakin populernya kajian ini. Sementara di Amerika

perkermbangan pesat dari studi enkulturasi adalah lebih berkaitan dengan

berbagai masalah sosial yang timbul sebagai akibat masa depresi ekonomi

(Poerwanto, 1997:56).

Dalam salah satu tulisan Thurnwald (1932:92), mengatakan bahwa

enkulturasi “acculturation is a process, not an isolated enent”, sebagai implikasi

dari pernyataannya itu, ia lebih menekankan suatu proses yang terjadi pada tingkat

individual, karenanya “suatu proses adaptasi terhadap kondisi kehidupan baru”

itulah yang disebut enkulturasi. Selain itu Thurnwald juga berpendapat bahwa

“suatu hubungan bukan hanya peristiwa tuggal semata, tapi secara tidak langsung

dapat diputar dari kedudukan tombolnya yang hampir menyerupai serangkaian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 28: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

15

gerakan-gerakan yang hampir selesai terjadi, sehingga keseluruhan dari dari hal

itu adalah sebagai suatu proses dengan perbedaan tahapan”.

2.1.5 Sistem Kepercayaan

Agama didefenisikan sebagai adat dan kebiasaan yang digunakan oleh

orang hidup untuk berkomunikasi dengan roh-roh. Karena itu agama adalah

sebagian dari budaya. Budaya Tionghoa yang asli terdapat dalam empat kitab suci

Su Si yang merupakan ajaran Konghucu. Hal ini meliputi empat pasal sebagai

berikut:

1. Kitab Thay Hak (Pengajaran Tinggi)

2. Kitab Tong Yong (Pengajaran Menengah)

3. Kitab Lun Gie (Kitab Perundingan)

4. Kitab Beng Cu (Kitab Filsafat Demokrasi)

Budaya berkembang, begitu juga agama. Konghucuisme kemudian

bergabung dengan unsur-unsur keagamaan lain yaitu Taoisme dan Buddhisme

(Leo Suryadinata, 1988:46).

Pada dasarnya pandangan berpikir masyarakat Tionghoa selalu

mengembalikan hakekat keharmonisan kehidupan langit (alam gaib) dan

kehidupan di bumi (alam dunia nyata). Mereka percaya bahwa alam semesta ini

sebagai akibat dari inkarnasi kekuatan alam. Alam dikuasai oleh spirit-spirit yang

kekuatannya luar biasa. Alam semesta semata-mata hanyalah ekspresi dari

kekuatan alam yang dipengaruhi oleh spirit-spirit yang mendiami alam. Beberapa

spirit itu berada dan hidup di dalam fenomena-fenomena alam seperti langit,

matahari, tanah, air, tumbuh-tumbuhan, gunung, serta fenomena-fenomena alam

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 29: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

16

lainnya. Di antara spirit-spirit alam itu ada spirit yang berasal dari arwah leluhur

dan kekuatan hidupnya sangat besar serta sebuah keluarga dapat melanjutkan

kekekalan hidupnya setelah jasad jasmaniahnya mati (Kwek, 2006:81).

Menurut dasar pikiran masyarakat Tionghoa, seluruh fenomena alam itu

dapat dibagi dua klasifikasi yaitu Yin dan Yang. Yin adalah sebuah prinsip yang

digambarkan seperti wanita, bulan, arah utara, dingin, gelap (malam), dan segala

yang bersifat pasif, sedangkan Yang merupakan prinsip dasar untuk seorang laki-

laki, matahari, arah selatan, panasnya cahaya (siang), dan segala sesuatu yang

termasuk keaktifan. Masyarakat Tionghoa beranggapan bahwa manusia harus

dapat menyesuaikan diri dengan ritme alam semesta. Kehidupan harus harmonis

dengan tiga dasar yaitu, kehidupan langit, bumi, dan kehidupan manusia itu

sendiri. Di samping itu harus disesuaikan pula dengan fengsui yang berarti angin

dan air. Penyesuaian itu berarti hidup manusia itu harus disesuaikan dengan arah

angin dan keadaan air di mana manusia bertempat tinggal. Sebuah bangunan yang

dipergunakan juga harus disesuaikan dengan keadaan fengsui, sehingga akan

terhindar dari segala malapetaka. Kedua prinsip Yin dan Yang ini merupakan

sebuah nafas dan kekuatan yang dilambangkan dalam bentuk lingkaran yang

dibagi kedalam dua bagian, yaitu dengan garis yang saling melingkar yang

memisahkan simbol Yin dan Yang (Liao, 2010:52).

Bulatan melambangkan prinsip alam semesta, dimana alam semesta ini

terwujud oleh karena kedua prinsip kesatuan antara Yin dan Yang. Yin

merupakan daya cipta suatu sifat Tuhan yang memberi gerakan dan kehidupan

kepada sesuatu. Yang bersifat bahan atau zat yang diberi kemampuan menerima,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 30: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

17

sehingga terjadilah hidup dan bergerak. Dengan kata lain, Yin bersifat memberi

dan memperbanyak, sedangkan Yang bersifat menerima dan menyimpan. Adanya

kesatuan hidup ini tergambar oleh sebuah fenomena alam semesta seperti air,

kayu, bumi, dan makhluk hidup di dalamnya. Penciptaan dan pergerakan kesatuan

Yin dan Yang tunduk dan mengikuti hukum tata kehidupan alam semesta,

sehingga dengan demikian bergerak dengan teratur dan berirama. Ritme ini

mengisi dan mengatur setiap ruangan di alam semesta ini seperti jalannya

matahari, bintang, bulan, pergantian musim, dan lain-lain.Ritme ini juga disebut

Tao, yaitu bagaimana sesuatu di dunia itu dijadikan dan jalan bagaimana

seseorang harus mengatur hidupnya. Dasar inilah yang selanjutnya menimbulkan

paham Taoisme (Liao, 2010:76).

Dalam kehidupan masyarakat Tionghoa, ada tiga ajaran yang mereka anut

yaitu Taoisme, Konfusianisme, dan Buddhisme. Ketiga ajaran ini saling menyatu

(sinkretisme) dan dikenal dengan nama San Jiao atau Sam Kauw (dialek Hokkian).

Dalam kehidupannya masyarakat Tionghoa memang sangat toleransi terhadap

masalah agama. Setiap agama di anggap baik dan bermanfaat, begitu pula ajaran

Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme yang mempunyai banyak kesamaan

pandangan dan saling membutuhkan sehingga ajaran ketiga tersebut berpadu

menjadi satu ( Lasiyo, 1995:72). Dari tinjauan lapangan yang dilakukan peneliti,

di kota Padangsidimpuan khususnya di kecamatan Padangsidimpuan Utara

Kelurahan Wek II kebanyakan masyarakat Tionghoa menganut agama Buddhisme.

Oleh karena itu pada sub bab selanjutnya akan dibahas lebih mendalam mengenai

ajaran agama Buddhisme.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 31: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

18

2.1.5.1 Buddhisme

Agama Buddha sudah menjadi bagian dari filosofi Tiongkok selama

hampir 2000 tahun. Meskipun Buddha bukanlah merupakan agama asli,

melainkan pengaruh dari India, tetapi ajaran Buddha mempunyai pengaruh yang

cukup berarti pada kehidupan masyarakat Tionghoa. Tema pokok ajaran agama

Buddha adalah bagaimana menghindarkan manusia dari penderitaan (samsara).

Kejahatan adalah pangkal penderitaan. Manusia yang lemah tidak berpengetahuan

(akan Buddhisme) akan sangat mudah terkena kejahatan dan sulit untuk

membebaskan diri dari penderitaan. Pendiri agama Buddha adalah Sidharta

Gautama. Ia dilahirkan dari keluarga bangsawan di India. Sewaktu kecil, ayahnya

menjauhkan Sidharta dari segala macam bentuk penderitaan dunia, sampai pada

suatu hari tidak sengaja ia melihat orang-orang yang selama ini belum dilihatnya

yaitu orang-orang tua, seorang yang sakit dan yang meninggal. Kenyataan

tersebut membuatnya kemudian meninggalkan istana dan bertapa dibawah pohon

bodhi. Setelah bertapa selama enam tahun akhirnya ia memperoleh pencerahan

dengan menemukan obat penawar bagi penderitaan, jalan keluar dari lingkaran

tanpa akhir yaitu melalui kelahiran kembali kepada suatu jalan menuju Nirwana.

Jalan ini kemudian dikenal juga sebagai inti dari ajaran Buddha.

Buddhisme masuk ke Tionghoa kira-kira abad 3 Masehi, pada masa

pemerintahan dinasti Han. Buddhisme selanjutnya mengalami perkembangan

sendiri di negara tersebut. Ajarannya di Tionghoa mendapat pengaruh dari

kepercayaan yang sudah ada dalam sebelumnya yaitu Taoisme dan

Konfusiansianisme. Hal yang paling kentara dari pencampuran ini ialah dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 32: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

19

munculnya sekte Shan, yang juga muncul di Jepang dengan nama Zen yang

merupakan Buddhisme India bercorak Taoisme Tiongkok. Wujud dari agama ini

adalah timbulnya versi-versi signifikan dari dewata-dewata buddha, seperti

Avolokitecvara, Maitreya, dan sebagainya. Avolokitecvara berubah menjadi Dewi

Welas Asih (Guan Yin atau Kwan Im). Dewi ini sangat populer sekali dikalangan

masyarakat Tionghoa, tempat orang memohon pertolongan dalam kesukaran,

memohon keturunannya, dan lain sebagainya. Kwan Im dalam penampilannya

mempunyai 33 wujud, diantaranya yang paling populer adalah Kwan Im berbaju

putih, Kwan Im membawa botol air suci, dan Kwan Im bertangan seribu. Dalam

Avolokitecvara, Maitreya juga mempunyai wujud lain di Tonghoa yaitu Mi Le Fi,

seorang yang bertubuh gemuk dan raut muka yang selalu tertawa. Dewa ini

dikenal sebagai dewa pengobatan. Selain dewata-dewata Buddhis, di dalam sistem

kepercayaan masyarakat Tionghoa mengenal tiga penggolongan utama dewata,

yaitu:

1. Dewata penguasa alam semesta mempunyai wilayah kekuasaan di langit.

Para dewata golongan ini dipimpin oleh dewata tertinggi yaitu Yu Huang

Da Di, Yuan Shi Tian Sun, dan termasuk di dalamnya antara lain dewa-

dewa bintang, dewa kilat, dan dewa angin

2. Dewata penguasa bumi yang memiliki kekuasaan di bumi, walau

sebetulnya mereka termasuk malaikat langit. Kekuasaan mereka adalah

dunia dan manusia, termasuk akhirat. Mereka dikatakan sebagai para

dewata yang menguasai Wu-Xing (lima unsur), yaitu: (a) kayu (dewa hutan,

dewa kutub, dan lain sebagainya), (b) api (dewa api, dewa dapur), (c)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 33: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

20

logam (dewata penguasa kekayaan dalam bumi), (d) air (dewa sumur,

dewa sungai, dewa laut dewa hujan, dan sebagainya), (e) tanah (dewa

bumi, dewa gunung, dewa penguasa akhirat, dewa pelindung kota, dan lain

sebagainya)

3. Dewata penguasa manusia, yaitu para dewata yang mengurus soal-soal

yang bersangkutan dengan kehidupan manusia seperti kelahiran,

perjodohan, kematian, usia, rezeki, kekayaan, kepangkatan dan lain

sebagainya. Termasuk dalam golongan dewata penguasa manusia ini

adalah para dewata pelindung usaha pertokoan, dewata pengobatan,

dewata pelindung, dan peternakan ulat sutra. Di samping itu dewata-

dewata kedaerahan yang menjadi pelindung masyarakat yang berasal dari

daerah yang sama.

2.2 Landasan Teori

Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, defenisi dan proposisi

untuk menerangkan fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan

hubungan antar variabel. Berdasarkan pada pengertian tersebut, defenisi teori

mengandung tiga hal. Pertama, teori adalah serangkaian proposisi antar konsep-

konsep yang saling berhubungan. Kedua, teori menerangkan secara sistematis

atau fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan antar konsep. Ketiga,

teori menerangkan fenomena-fenomena tertentu dengan cara menentukan konsep

mana yang berhubugan dengan konsep lainnya dan bagaimana bentuk

hubungannya (Aminuddin, 2001:36).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 34: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

21

Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan

teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas

dalam tulisan ini. Pembahasan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah

mengenai akulturasi budaya pada masyarakat Tionghoa di Kota Padangsidimpuan

melalui teori akulturasi. Penulis memilih teori akulturasi, karena dengan teori ini

diharapkan penulis dapat mengetahui akulturasi budaya yang terkandung pada

masyarakat Tionghoa di Kota Padangsidimpuan. Adapun teori yang digunakan

penulis yaitu sebagai berikut:

2.2.1 Teori Akulturasi

Dalam mengkaji mengenai akulturasi budaya pada masyarakat Tionghoa

di Kota Padangsidimpuan secara mendetail, maka pada tinjauan teoritis ini akan

diuraikan lebih lanjut mengenai teori yang melandasi penelitian. Teori yang

digunakan yaitu teori Akulturasi Budaya yang merupakan teori dari John Widdup

Berry, yaitu mengenai penelusurannya di dalam aspek budaya.

Nama lengkap dari tokoh ini adalah John Widdup Berry, tetapi lebih

sering disebut dengan John Berry. Dia adalah seorang Profesor Emeritus pada

Fakultas Psikologi Universitas Queen Kingston, Kanada. Pada tahun 1963, ia

menyelesaikan gelar Bachelor(B.A) nya pada Sir George Williams University,

dan pada tahun 1966, beliaumeraih gelar Ph.D., di University of Edinburgh. Minat

utamanya adalah tentang Cross Cultural Psychology dan Intercultural Relations.

Berry menjelaskan akulturasi sebagai proses perubahan budaya dan

psikologis yang terjadi sebagai akibat kontak antara dua atau lebih kelompok

budaya dan anggota masing-masing kelompok etnik. Ketika mengkaji masalah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 35: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

22

akulturasi, Berry mengambil langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, ia

mencoba untuk melihat kembali semua referensi yang terkait dengan masalah

akulturasi dan kemudian menarik beberapa kesimpulan pokok terkait dengan

masalah tersebut; kedua, dengan menggunakan konsep tentang strategi akulturasi

dia mencoba untuk menggali perbedaan individu dalam berakulturasi; dan ketiga,

dia mencoba menggali konsekuensi-konsekuensi yang akan dialami oleh

seseorang ketika memilih salah satu strategi dalam berakulturasi (Berry,

2005:698).

Terdapat dua pemahaman penting terkait dengan konsep akulturasi.

Pertama adalah konsep akulturasi yang mencoba memahami berbagai fenomena

yang dihasilkan oleh kelompok individu yang memiliki budaya yang berbeda

manakala kelompok individu tersebut memasuki budaya baru, sehingga

mengakibatkan perubahan-perubahan pada pola budayanya yang asli. Kedua,

konsep akulturasi pada level individu melibatkan perubahan dalam perilaku

seseorang (Berry,2005:699).

Kedua pembedaan tersebut diatas akan terkait erat dengan strategi

akulturasi. Setiap individu atau kelompok terlibat dalam akulturasi. Strategi mana

yang akan digunakan dalam akulturasi tersebut sangat tergantung pada variasi dari

faktor-faktor yang ada sebelumnya (budayadan kondisi psikologis) dan variabel-

variabel yang merupakan konsekuensi dari stategi yang berbeda yang sudah

dipilihnya.Strategi akulturasi yang dijelaskan oleh Berry terdiri dari dua

komponen, yaitu attitudes (kecenderungan individu mengenai bagaimana cara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 36: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

23

melakukan akulturasi) dan behavior (aktivitas nyata yang ditunjukkan oleh

individu) (Berry, 2005:704).

Terdapat dua orientasi dalam akulturasi, yaitu memilih untuk memelihara

budaya asli dan memilih untuk memelihara budaya yang dominan, yang mana

merupakan harapan pendatang untuk melakukan kontak dengan kelompok

dominandan berpartisipasi pada budaya yang lebih dominan. Hasil akulturasi

merupakan derajat keberhasilan dari proses akulturasi yang telah dilewati

misalnya psychological well beingataupun pencapaian dalam pekerjaan dan

pendidikan (Arends-toth dan vijver, 2006:143).

Dalam acculturation attitudes Berry mengajukan struktur bidimensional

(ada dua kemungkinan dalam akulturasi yaitu memelihara budaya asli atau

mengadopsi budaya dominan). Struktur multidimensional memiliki arti dalam

jurnal “variations in the assessment of acculturation attitudes: their relationship

with psycological well being”, bahwa yang pertama apa yang paling banyak

dilakukan individu yang berakulturasi untuk mempertahankan budaya asli dan

identitasnya. Kedua, apa yang paling bayak diharapkan individu untuk

berinteraksi dengan individu lain dari kelompok etnik yang berbeda dan

bergabung dengan masyarakat asli (Arends-toth dan Vijver, 2006:144).

Berdasarkan kedua hal tersebut maka Berry mendefenisikan empat macam

strategi dalam akulturasi. Strategi yang dipilih kelompok etnik yang tidak

dominan tersebut merupakan upaya mereka untuk menghadapi perbedaan. Dalam

melakukan upaya mereka dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain siapa yang

merantau, alasan merantau, dukungan dari keluarga, apa yang menjadi harapan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 37: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

24

dan motivasi bagi perantau untuk merantau, gender perantau, karakteristik

masyarakat yang merantau, karakteristik masyarakat di daerah rantauan,

hubungan antara kelompok yang berakulturasi. Faktor-faktor tersebut akan

mempengaruhi bagaimana strategi yang dipilih dalam menghadapi perbedaan

tersebut juga yang memberikan keterangan mengenai pilihan yang dipilih masing-

masing kelompok etnik apakah suka atau tidak suka dengan akulturasi yang

dialaminya (Berry, 2011:706).

Strategi memiliki nama yang berbeda-beda tergantung pada kelompok

etnokulturalnya: apakah kelompok etnokulturalnya dominan atau tidak dominan.

Dari sudut pandang kelompok yang tidak dominan;

a. Asimilation strategy, terjadi manakala seseorang tidak berkeinginan

memelihara identitas kultural mereka dan mencari interaksi harian dengan

budaya lain.

b. Separation strategy, terjadi manakala seseorang menghidupi nilai-nilai

yang ada pada budaya aslinya dan pada waktu yang bersamaan meghindari

berinteraksi dengan yang lain.

c. Integration strategy, terwujud ketika seseorang memiliki ketertarikan

untuk memelihara budaya aslinya selama membangun interaksi harian

dengan kelompok lain. Menurut Jhon W. Berry, integritas kultural yang

telah terwujud memiliki beberapa kualitas (kualitasnya tidak sama). Orang

yang berada pada strategi ini mencoba untuk mencari (sebagai anggota

dari suatu kelompok etnokultural tertentu) dan juga mencoba untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 38: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

25

berpartisipasi (sebagai bagian integral dari jaringan kelompok sosial yang

lebih besar).

d. Marginalization strategy, terjadi ketika kemungkinan untuk memelihara

budaya aslinya dan kemungkina untuk berinteraksi dengan kelompok lain

sangat kecil. Menurut Jhon W. Berry, strategi marginalisasi bisa terjadi

karena hal itu merupakan pilihan yang secara sadar dibuat oleh seseorang

dan hal itu juga bisa terjadi sebagai akibat dari kegagalannya mencoba

strategi asimilasi.

Semua strategi yang dijabarkan oleh Jhon W. Berry tersebut memiliki

beberapa asumsi. Asumsi pertama adalah kelompok yang tidak dominandan

anggota-anggotanya memiliki kebebasan untuk memilih cara berakulturasi.

Integrasi terjadi jika ada pilihan bebas atau bisa juga terjadi jika kelompok yang

dominan memiliki keterbukaan dan orientasi inklusif pada keragaman budaya

sedemikian rupa sehingga kelompok yang tidak dominan dapat berperan. Asumsi

yang kedua adalah kelompok yang tidak dominan melakukan adopsi niali-nilai

dasar yang ada pada kelompok sosial yang lebih besar, dan pada waktu yang

bersamaan kelompok yang dominan melakukan adaptasi atas institusi internalnya

sehingga dapat memenuhi kebutuhan semua anggota kelompoknya yang sekarang

hidup dalam situasi masyarakat yang plural. Dengan kata lain, semua strategi

tersebut terjadi jika suatu masyarakat bersifat multikultur dan memiliki prakondisi

psikologis yang dipersyaratkan, seperti halnya tingkat penerimaan yang besar,

taraf prasangka yang rendah, terhadap berpikran positif terhadap kelompok

etnokultural lain, dan memiliki kedekatan pada kelompok sosial yang lebih besar.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 39: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

26

Penelitian ini menyebutkan bahwa penting terjadinya kontak antar

masyarakat untuk menentukan perbedaan antara kelompok yang berada dalam

proses akulturasi. Karakteristik budaya tersebut digunakan sebagai dasar tolak

ukur pada unsur budaya tersebut. Melalui konsep akulturasi, maka dihasilkan

penemuan empiris yang memungkinkan terlahirnya unsur budaya baru terkait

dengan akulturasi budaya yang terkandung pada masyarakat Tionghoa di Kota

Padangsidimpuan.

2.3 Tinjauan Pustaka

Membuat Tinjauan Pustaka yang baik tidak lah mudah dan memerlukan

keterampilan dan usaha dari kita. Perlu diketahui bahwa Tinjauan Pustaka bukan

hanya sekedar daftar hasil penelitian sebelumnya yang sudah diterbitkan. Lebih

dari pada itu, kita harus melakukan evaluasi dan sintesis sehingga sebuah

Tinjauan Pustaka yang kita hasilkan memiliki nilai akademik yang tinggi. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) tinjauan adalah hasil meninjau,

pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki, mempelajari, dan sebagainya).

Sedangkan pustaka adalah kitab, buku, primbon (KBBI, 2008).

Dalam menyelesaikan penelitian ini dibutuhkan kepustakaan yang relevan

karena hasil dari suatu karya harus memiliki data-data yang kuat dan memiliki

hubungan dengan yang diteliti. Penulis menemukan beberapa buku, jurnal, skripsi

maupun tesis yang isinya relevan dengan judul penelitian ini. Adapun sumber

refrensinya yaitu :

Akbar (2016), dalam skrispsinya yang berjudul “Aktivitas Komunikasi

dalam Upacara Adat Pernikahan Tionghoa (Studi Etnografi KomunikasiMengenai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 40: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

27

Aktivitas Komunikasi dalam Upacara Adat Pernikahan Tionghoa di Kota

Bandung)”. Dalam skripsi ini penulis menjelaskan tentang Bagaimana Aktivitas

Komunikasi Dalam Upacara Adat Pernikahan Tionghoa. Hasil penelitian yang

diperoleh bahwa pada situasi komunikatif Upacara Adat Pernikahan dilaksanakan

di rumah, gereja dan gedung , dimana dalam proses tersebut terdapat tahapan yang

harus dilakukan. Pada peristiwa komunikasi Upacara Adat Pernikahan terdapat

beberapa komponen. Genre yaitu warisan tradisi secara turun-temurun, topik yaitu

menghormati garis keturunan tionghoa, fungsi dan tujuan yaitu menghargai dan

menghormati leluhur dan keluarga garis keturunan tionghoa, partisipan yaitu garis

keturunan tionghoa dan tamu undangan, bentuk pesan yaitu bahasa indonesia, isi

pesannya harus tetap memakai budaya pernikahan Tionghoa, urutan tindakan

yaitu lamaran, sanjit, teapai, pemberkatan, pesta pernikahan, kaidah interaksi yaitu

aturan tradisi kegiatan terdahulu, norma interpretasi yaitu prosesi upacara menjadi

keharusan. Pada tindakan komunikasi Upacara Adat Pernikahan yaitu

berkomunikasi menggunakan komunikasi verbal dan simbol secara non verbal.

Astrini (2013), dalam jurnalnya yang berjudul “Akulturasi Budaya Cina

dan Betawi dalam Busana Pengantin Wanita Betawi”. Dalam jurnal ini penulis

menjelaskan tentang Bagaimana unsur akulturasi Budaya Tionghoa dan Budaya

Betawi dalam busana pernikahan pengantin wanita Betawi. Dari hasil penelitian

yang dilakukannya dijelaskan bahwa adanya pengaruh budaya Cina terhadap

budaya betawi, khususnya dalam pakaian adat pengantin wanita betawi.

Masyarakat betawi sendiri memahami dengan jelas tentang arti dari simbol simbol

yang mereka pakai dalam busana pengantinwanita betawi. Dalam pakaian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 41: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

28

pengantin wanita juga menggunakan simbol-simbol hewan yang terdapat simbol

khas kekaisaran Cina,yaitu naga dan burung phoenix. Masyarakat betawi

mempunyai pandangan dan kebanggan tersendiri terhadap busana pengantin

mereka,khususnya pada busana pengantin wanita betawi. Mereka mempunyai

pandangan bahwa seseorang yang memakai busana pengantin dengan simbol

burung phoenix dan naga,akan menambah kewibawaan pada orang yang

memakainya.

Rodzik (2008), dalam skripsinya yang berjudul “Akulturasi Budaya

Betawi Dengan Tionghoa (Studi Komunikasi Antar Budaya Pada Kesenian

Gambang Kromong Diperkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng

Sawah).” Dalam skripsi ini penulis menjelaskan mengenai proses akulturasi

budaya yang terjadi pada Etnis Betawi dengan Tionghoa melalui beberapa

variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi. Dalam pelaksanaan nya proses

komunikasi sosial orang-orang Tionghoa terbukti mampu berpartisipasi dalam

kehidupan sosio-budaya Betawi dan mulai mengetahui lebih jauh lagi tentang

berbagai unsur dalam sistem sosio-budaya Betawi. Dan hasil pembauran kedua

etnis tersebut tercermin dari kehadiran kesenian Gambang Kromong.

Rudiansyah (2017), dalam Tesisnya yang berjudul “Unsur Akulturasi

Budaya pada Rumah Tjong A Fie di Kota Medan.” Dalam Tesis ini penulis

menjelaskan bagaimana arsitektur rumah Tiongkok di Kota Medan secara umum

dan menjelaskan unsur-unsur budaya apa saja yang terkandung pada rumah Tjong

A Fie. Dari hasil analisa yang dilakukan nya, terdapat unsur-unsur arsitektur

budaya Melayu dan Eropa pada bangunan rumah Tjong A Fie. Unsur arsitektur

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 42: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

29

Melayu mendominasi pada bangunan berupa ornamen, sedangkan unsur arsitektur

Eropa mendominasi banguanan rumah Tjong A Fie secara struktural.

Silalahi (2015), dalam jurnalnya yang berjudul “Proses Akulturasi Antar

Etnis Jawa Dan Etnis Batak Di Desa Malasori Kecamatan Dolok Masihul

Kebupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatra Utara.” Dalam jurnal ini penulis

menjelaskan tentang proses Akulturasi antara Etnis Jawa dan etnis Batak yang

terjadi di Desa Malasori berjalan dengan sangat baik. Baik dalam bidang sosial

ekonomi, dan budaya. Peroses akulturasi yang terjadi antar etnis Jawa dan etnis

Batak ini juga menjadi pertambahan pengetahuan bagi kedua etnis ini karena

kedua etnis ini dapat belajar kebudayaan dari masing-masing etnis. Selain dari

pada itu agar proses akulturasi Desa Malasori berjalan dengan baik dan tidak

terjadinya konflik maka masyarakat Desa Malasori memperkecil hal-hal yang

dapat mengakibatkan terjadinya konflik antar masing-masing etnis.

Oleh sebab itu, penelitian terhadap akulturasi budaya sangat perlu di

lakukan, karena masih banyak informasi di dalamnya yang belum digali secara

mendalam. Dengan semakin banyaknya penelitian terhadap seni dan budaya yang

salah satunya adalah mengenai akulturasi budaya yang terjadi pada masyarakat

Tionghoa di Kota Padangsidimpuan, diharapkan dapat memperkaya informasi

mengenai data akulturasi budaya pada masyarakat Tionghoa yang ada di

Indonesia khususnya di kota Padangsidimpuan. Adapun manfaat tinjauan pustaka

ini yaitu, dapat membantu penulis di dalam menjelaskan akulturasi budaya yang

terjadi pada masyarakat Tionghoa terhadap masyarakat Batak Angkola di kota

Padangsidimpuan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 43: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

30

Judul Akulturasi Budaya

Betawi Dengan Tionghoa

(Studi Komunikasi Antar

Budaya Pada Kesenian

Gambang Kromong

Diperkampungan Budaya

Betawi, Kelurahan

Srengseng Sawah)

Akulturasi

Budaya Cina dan

Betawi dalam

Busana Pengantin

Wanita Betawi

Proses Akulturasi

Antar Etnis Jawa

Dan Etnis Batak

Di Desa Malasori

Kecamatan Dolok

Masihul

Kebupaten

Serdang Bedagai

Provinsi Sumatra

Utara

Aktivitas

Komunikasi

dalam Upacara

Adat Pernikahan

Tionghoa (Studi

Etnografi

Komunikasi

Mengenai

Aktivitas

Komunikasi

dalam Upacara

Adat Pernikahan

Tionghoa di Kota

Bandung)

Unsur Akulturasi

Budaya pada

Rumah Tjong A

Fie di Kota

Medan.

Nama penulis Ali Abdul Rodzik Astrini Lisdawani Silalahi Mochamad

Giraldy Akbar

Rudiansyah

Lembaga/kota/tahun Universitas Islam Negeri

Syarif

Hidayatullah/Jak

arta/2008

Binus University/

Jakarta

Barat/2013

Universitas Riau/

Pekan Baru/2015

Program Studi

Ilmu

Komunikasi,

Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu

Politik,

Universitas

Komputer

Indonesia

/Bandung/2016

Universitas

Padjadjaran/

Jatinangor/2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 44: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

31

Fokus penelitian Bagaimana akulturasi

budaya antara etnik

betawi dan tionghoa

terbentuk melalui

komunikasi persona dan

sosial dalam kesenian

gambang kromong di

perkampungan budaya

betawi kelurahan

srengseng sawah

Bagaimana unsur

akulturasi budaya

tionghoa dan

budaya betawi

dalam busana

pernikahan

pengantin wanita

betawi

Bagaimana proses

terjadinya

akulturasi yang

terjadi antar etnis

jawa dan batak di

desa molosari

kecamatan dolok

masihul kabupaten

serdang bedagai

Bagaimana

situasi

komunikatif

dalam upacara

adat pernikahan

tionghoa

Bagaimana unsur

akulturasi

budaya pada

rumah tjong A

Fie

Teori Teori akulturasi,

koentjaraningrat

Teori akulturasi,

John widdup

berry

Metode Kualitatif, deskriptif

analisis

Studi pustaka Kualitatif

deskriptif

Kualitatif, studi

etnografi

komunikasi

Kulitatif, analisis

deskriptif

Hasil penelitian Dalam skripsi ini penulis

menjelaskan mengenai

proses akulturasi budaya

yang terjadi pada Etnis

Betawi dengan Tionghoa

melalui beberapa

variabel-variabel

komunikasi dalam

akulturasi. Dalam

pelaksanaan nya proses

komunikasi sosial orang-

orang Tionghoa terbukti

Dalam jurnal ini

penulis

menjelaskan

tentang

Bagaimana unsur

akulturasi Budaya

Tionghoa dan

Budaya Betawi

dalam busana

pernikahan

pengantin wanita

Betawi. Dari hasil

Dalam jurnal ini

penulis

menjelaskan

tentang proses

Akulturasi antara

Etnis Jawa dan

etnis Batak yang

terjadi di Desa

Malasori berjalan

dengan sangat

baik. Baik dalam

bidang sosial

Dalam skripsi ini

penulis

menjelaskan

tentang

Bagaimana

Aktivitas

Komunikasi

Dalam Upacara

Adat Pernikahan

Tionghoa. Hasil

penelitian yang

diperoleh bahwa

Dalam Tesis ini

penulis

menjelaskan

bagaimana

arsitektur rumah

Tiongkok di

Kota Medan

secara umum

dan menjelaskan

unsur-unsur

budaya apa saja

yang terkandung

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 45: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

32

mampu berpartisipasi

dalam kehidupan sosio-

budaya Betawi dan mulai

mengetahui lebih jauh

lagi tentang berbagai

unsur dalam sistem sosio-

budaya Betawi. Dan hasil

pembauran kedua etnis

tersebut tercermin dari

kehadiran kesenian

Gambang Kromong.

penelitian yang

dilakukannya

dijelaskan bahwa

adanya pengaruh

budaya Cina

terhadap budaya

betawi, khususnya

dalam pakaian

adat pengantin

wanita betawi.

Masyarakat

betawi sendiri

memahami

dengan jelas

tentang arti dari

simbol simbol

yang mereka

pakai dalam

busana

pengantinwanita

betawi. Dalam

pakaian pengantin

wanita juga

menggunakan

simbol-simbol

hewan yang

terdapat simbol

khas kekaisaran

ekonomi, dan

budaya. Peroses

akulturasi yang

terjadi antar etnis

Jawa dan etnis

Batak ini juga

menjadi

pertambahan

pengetahuan bagi

kedua etnis ini

karena kedua etnis

ini dapat belajar

kebudayaan dari

masing-masing

etnis. Selain dari

pada itu agar

proses akulturasi

Desa Malasori

berjalan dengan

baik dan tidak

terjadinya konflik

maka masyarakat

Desa Malasori

memperkecil hal-

hal yang dapat

mengakibatkan

terjadinya konflik

antar masing-

pada situasi

komunikatif

Upacara Adat

Pernikahan

dilaksanakan di

rumah, gereja dan

gedung , dimana

dalam proses

tersebut terdapat

tahapan yang

harus dilakukan.

Pada peristiwa

komunikasi

Upacara Adat

Pernikahan

terdapat beberapa

komponen. Genre

yaitu warisan

tradisi secara

turun-temurun,

topik yaitu

menghormati

garis keturunan

tionghoa, fungsi

dan tujuan yaitu

menghargai dan

menghormati

leluhur dan

pada rumah

Tjong A Fie.

Dari hasil analisa

yang dilakukan

nya, terdapat

unsur-unsur

arsitektur budaya

Melayu dan

Eropa pada

bangunan rumah

Tjong A Fie.

Unsur arsitektur

Melayu

mendominasi

pada bangunan

berupa ornamen,

sedangkan unsur

arsitektur Eropa

mendominasi

banguanan

rumah Tjong A

Fie secara

struktural.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 46: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

33

Cina, yaitu naga

dan burung

phoenix.

Masyarakat

betawi

mempunyai

pandangan dan

kebanggan

tersendiri

terhadap busana

pengantin

mereka,khususnya

pada busana

pengantin wanita

betawi. Mereka

mempunyai

pandangan bahwa

seseorang yang

memakai busana

pengantin dengan

simbol burung

phoenix dan

naga,akan

menambah

kewibawaan pada

orang yang

memakainya.

masing etnis. keluarga garis

keturunan

tionghoa,

partisipan yaitu

garis keturunan

tionghoa dan

tamu undangan,

bentuk pesan

yaitu bahasa

indonesia, isi

pesannya harus

tetap memakai

budaya

pernikahan

Tionghoa, urutan

tindakan yaitu

lamaran, sanjit,

teapai,

pemberkatan,

pesta pernikahan,

kaidah interaksi

yaitu aturan

tradisi kegiatan

terdahulu, norma

interpretasi yaitu

prosesi upacara

menjadi

keharusan. Pada

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 47: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

34

tindakan

komunikasi

Upacara Adat

Pernikahan yaitu

berkomunikasi

menggunakan

komunikasi

verbal dan simbol

secara non

verbal.

Tabel 2.3 Matriks Penelitian Sejenis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 48: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

35

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan alat bedah yang dipergunakan dalam

penelitian sebagai cara untuk memperoleh jawaban dari permasalahan penelitian.

Pemilihan metode yang digunakan haruslah dapat mencerminkan relevansi

paradigma teori kepada metode yang digunakan dalam penelitian agar berjalan

beriringan.

Dalam penelitian ini penulis meggunakan pendekatan kualitatif, dengan

menggunakan metode deskriptif analisis. Dimana data-data yang telah diperoleh

di deskripsikan terlebih dahulu dan kemudian di analisis. Hanyalah memaparkan

situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan,

tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. Metode deskriptif ialah

menitikberatkan pada observasi dan suasana ilmiah (naturalistis setting). Dengan

suasana ilimiah dimaksudkan bahwa peneliti terjun langsung kelapangan

(Rakhmat, 2000:24).

Dengan pendekatan metode penelitian yang dilakukan diharapkan dapat

mempermudah penulis dalam mengungkap atau memahami akulturasi budaya

pada masyarakat Tionghoa di kota Padangsidimpuan. Kemudian

menginterpretasikan kegiatan tersebut berdasarkan etika penelitian oleh multi

disiplin ilmu. Dalam hal ini ilmu yang digunakan adalah mencakup ilmu budaya.

Dengan demikian, diharapkan penelitian ini akan mengungkap kebenaran realita

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 49: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

36

tentang unsur-unsur akulturasi budaya pada masyarakat Tionghoa di kota

Padangsidimpuan.

3.2 Lokasi Penelitian

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini maka

penulis menetapkan lokasi penelitian ini di Kota Padangsidimpuan, lebih tepatnya

di Jalan Baginda Oloan, Kelurahan Wek II, Kecamatan Padangsidimpuan Utara,

Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.

Gambar 3.2 Peta Kota Padangsidimpuan

Sumber: Tapanuli pos – WordPress.Com

3.3 Data dan Sumber Data

Kuntowijiyo menyatakan “sumber sejarah sering kali disebut juga data

sejarah, perkataan data merupakan bentuk jamak dari kata tunggal datum yaitu

bahasa latin yang berarti pemberitaan”, (Kutowijoyo, 1995:94). Jadi sumber

sejarah merupakan sesuatu yang menceritakan kepada kita tentang kenyataan

kegiatan manusia pada masa lalu.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 50: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

37

Adapun sumber menurut penyampaiannya dibagi menjadi dua bagian yaitu

sumber primer dan sumber skunder. Untuk memungkinkan hasil yang diharapkan

dan data yang yang diperoleh benar-benar memang akurat, maka data yang

diguanakan dalam penelitian ini adalah:

1. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden berupa

hasil temuan penelitian observasi serta wawancara dengan informan yang

berkompeten (mengetahui) tentang akulturasi budaya masyarakat

Tionghoa di kota Padangsidimpuan.

2. Data Skunder diperoleh dari sumber-sumber tertulis yang terdapat dalam

buku, jurnal, skripsi, tesis, dokumentasi atau arsip-arsip (kelurahan)

3.4 Persyaratan Informan

Informan adalah narasumber yang dapat memberikan informasi yang

dibutuhkan dalam kegiatan penelitian. Informan dalam penelitian adalah orang

atau pelaku yamg benar-benar dan menguasai masalah, serta terlibat langsung

dalam masalah penelitian. Informan sangat penting bagi peneliti karena akan

memberikan informasi secara mendalam yang berkaitan dengan masalah yang

diteliti.

Pemilihan informan sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah

berdasarkan pada asas subjek yang mengusai permasalahan, memiliki data, dan

bersedia memberikan informasi lengkap dan akurat. Informan yang bertindak

sebagai sumber data dan informasi harus memenuhi syarat yaitu informan yang

mengetahui tentang akulturasi budaya yang terjadi pada masyarakat Tionghoa di

kota Padangsidimpuan. Oleh sebab itu, yang akan menjadi informan narasumber

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 51: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

38

(key informan) dalam penelitian iniadalah bapak Ahmad Rivai Harahap selaku

Lurah dari Kelurahan Wek II, bapak Olly Japar Siregar (Lim Pao Oei) selaku

tetua adat etnis Tionghoa, dan Juliana (Yinni Shangye Nianjian) salah satu etnis

Tionghoa yang bekerja di pemerintahan yakni di kantor Kelurahan Wek II.

Kemudian ada juga beberapa informan pendukung lainnya seperti bapak Ampera

Jaya Alam (Meng Tji Lai), Sin Pin, Hasitahari Harahap, Ali Surya Siregar (Fung

Fa Lie), Hendra Gunawan Siregar (Min Jih Pao), Jei Sitorus (Tjeng Tjang Tjiang),

Iwan Siregar (Coan), dan Asun Siregar (Lim Tjwan Ling).

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dari seorang informan yaitu

sebagai berikut:

1. Bersedia menjadi informan

2. Berjenis kelamin perempuan/laki-laki

3. Berkompeten dalam masalah yang ingin ditanyakan

3.5 Metode Pengumpulan Data

Langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam melakukan pengumpulan

data adalah sebagai berikut:

3.5.1 Observasi

Observasi yaitu pengamatan atau peninjauan secara langsung ke lapangan

yang dilakukan peneliti untuk mendapatkan data-data yanag dibutuhkan dalam

permasalahan yang diteliti, seperti observasi pada kehidupan masyarakat etnis

Tionghoa di kelurahan Wek II. Observasi juga dilakukan ke kantor Lurah Wek II

dan kantor Camat Padangsidimpuan Utara untuk menambah referensi mengenai

data yang mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 52: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

39

3.5.2 Wawancara

Untuk mengambil data dilakukan wawancara, penulis menggunakan

metode pengambilan sampel yang tidak acak yaitu purposive sampling (sampel

yang dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu). Sedangkan

pertimbangan yang di ambil itu berdasarkan penelitian . Cara pengambilan sampel

seperti ini ialah penulis memilih informan kunci (sampel) dari populasi

sedemikian rupa sehingga sampel yang dipilih mempunyai sifat yang sesuai

dengan sifat-sifat populasi. Jadi dalam hal ini kita harus mengetahui terlebih

dahulu sifat-sifat populasi tersebut dan sampel yang akan di tarik di usahakan

supaya mempunyai sifat-sifat seperti populasi tersebut (Masri

Singarimbun,1985:122).

Jadi dari keterangan di atas penulis memilih orang-orang yang

berkompeten (mengetahui) untuk ditetapkan sebagai informan kunci (key

informan) dalam memberi data tentang akulturasi budaya etnis Tionghoa di

Padangsidimpuan antra lain : Lurah dari Kelurahan Wek II (Ahmad Rivai

Harahap) karena dialah yang paling mengetahui tentang keberadaan etnis

Tionghoa di Kota Padangsidimpuan khususnya di Kelurahan Wek II. Dari etnis

Tionghoa sendiri penulis memilih bapak Olly Zapar Siregar (Lim Pao Oei) karena

dialah yang paling banyak mengetahui seperti apa kebudayaan etnis tionghoa di

kota Padangsidimpuan selain itu dia merupakan cucu dari Lie Kak yang

merupakan salah satu etnis Tionghoa yang pertama kali berimigrasi ke kota

Padangsidimpuan. Danibu Juliana (Yinni Shangye Nianjian) salah seorang yang

bekerja di kantor pemerintahan yakni di kantor Kelurahan Wek II. Kemudian ada

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 53: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

40

juga beberapa informan pendukung etnis Tionghoa lainnya yang berkompeten di

Padangsidimpuan untuk memperoleh data sekunderyaitu bapak Ampera Jaya

Alam (Meng Tji Lai), Sin Pin, Hasitahari Harahap, Ali Surya Siregar (Fung Fa

Lie), Hendra Gunawan Siregar (Min Jih Pao), Jei Sitorus (Tjeng Tjang Tjiang),

Iwan Siregar (Coan), dan Asun Siregar (Lim Tjwan Ling).

3.5.3 Dokumentasi

Dokumentasi adalah sebuah cara yang dilakukan untuk menyediakan

dokumen-dokumen dengan menggunakan bukti yang akurat dari pencatatan

sumber-sumber informasi khusus dari sebuah tulisan, wasiat, arsip, buku, foto,

dan sebagainya. Dalam pengertian umum dokumentasi merupakan sebuah

pencarian, penyelidikan, pengumpulan, penguasaan, pemakaian, dan penyediaan

dokumen. Dokumentasi digunakan untuk mendapatkan keterangan dan

penerangan pengetahuan serta bukti penelitian ( I Gusti, 1997:73).

Dengan demikian penulis menghimpun data-data yang terkumpul berupa:

dokumen, foto-foto, catatan formal, jurnal, skripsi, tesis, internet, dan sebagainya

yang berhubungan dengan masalah penelitian sebagai bahan penunjang penelitian.

Kemudian penulis menggunakan analisa deskriptif, artinya dari data yang

terkumpul penulis menjabarkan dengan memberikan analisa-analisa untuk

kemudian diambil kesimpulan akhir.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 54: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

41

3.6 Metode Analisis Data

Adapun proses dan langkah-langkah yang dilakukan penulis untuk

menganalisis data adalah sebagai berikut:

1. Mewawancarai bapak Ahmad Rivai Harahap selaku Lurah dari Kelurahan

Wek II, Olly Japar Siregar (Lim Pao Oei) dan Juliana (Yinni Shangye

Nianjian) sebagai informan kunci (key informan) dan beberapa masyarakat

etnis Tionghoa lainnya sebagai informan pendukung untuk mempermudah

penulis dalam mengerjakan penelitian ini serta mendapatkan informasi

tentang akulturasi budaya masyarakat Tionghoa di Kota Padangsidimpuan

yaitu bapak Ampera Jaya Alam (Meng Tji Lai), Sin Pin, Hasitahari

Harahap, Ali Surya Siregar (Fung Fa Lie), Hendra Gunawan Siregar (Min

Jih Pao), Jei Sitorus (Tjeng Tjang Tjiang), Iwan Siregar (Coan), dan Asun

Siregar (Lim Tjwan Ling).

2. Mengumpulkan buku, tesis, skripsi, dan jurnal yang berkaitan dengan

akulturasi budaya Tionghoa yang diharapkan dapat mendukung tulisan ini

kemudian memilih data yang dianggap paling tepat dan menyusunnya

secara sistematis.

3. Berdasarkan data-data yang diambil, kemudian penulis merangkum

kesimpulan dari hasil penelitian.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 55: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

42

3.7 Metode Penyajian Analisis Data

Dalam hal ini peneliti menginterpretasikan dari data hasil pengamatan dan

wawancara lapangan demi memberikan tafsiran dan gambaran jelas mengenai

akulturasi budaya yang terjadi pada etnis Tionghoa terhadap etnis Batak Angkola

di Padangsidimpuan. Kemudian dari data-data yang sudah peneliti peroleh, maka

peneliti mempelajari atau memilah-milah data-data yang telah terkumpul untuk

selanjutnya dilakukan proses editing sehingga keseluruhan data itu dapat

diketahui dan dapat dinyatakan baik agar dapat dipersiapkan ke tahap proses

selanjutnya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 56: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

43

BAB IV

GAMBARAN UMUM

4.1 Letak Geografis

Kecamatan Padangsidimpuan utara adalah salah satu kecamatan dari enam

kecamatan dikota Padangsidimpuan dan berjarak 0,2 Km dari ibu kota

Padangsidimpuan. secara administratif kecamatan Padangsidimpuan Utara

berbatasan dengan kecamatan Padangsidimpuan Hutaimbaru di sebelah utara,

kecamatan Padangsidimpuan Selatan disebelah selatan, Kabupaten Tapanuli

Selatan disebelah barat dan kecamatan Padangsidimpuan Batunadua di sebelah

timur. Letak astronomi kecamatan Padangsidimpuan Utara berada pada 10 21’30

’’-

10 21’20’’ Lintang Utara dan 99

0 14’30’’- 99

0 16’10” Bujur Timur (Yusri,

2014:1).

Tabel 4.1

Statistik Geografi dan Iklim Kecamatan Padangsidimpuan Utara

Uraian Satuan 2018

Luas wilayah Km2

14,09

Letak geografis Lu 01021’30’’-0121’20’’

Bt 99014’30’’-9916’10’’

Ketinggian Mdpl 260-1100

Suhu Udara 0C 24

0C-30

0C

Batas Wilayah

Utara

Kec.PSP Hutaimbaru

Selatan

Kec.PSP Selatan

Barat

Kab. Tapanuli Selatan

Timur

Kec.PSP Batunadua

Sumber : Kec. Padangsidimpuan Utara

Luas wilayah kota Padangsidimpuan adalah 134.399 Ha dan luas daratan

kota Padangsidimpuan adalah 139.39 Km. Wilayah kota pemerintahan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 57: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

44

Padangsidimpuan terdapat banyak anak-anak sungai yang bersumber dari gugusan

Bukit Barisan yang sebagian bermuara ke Batang Ayumi yang mengalir di tengah

kota Padangsidimpuan. Adapun sungai-sungai yang bermuara ke Batang Ayumi

sebagai berikut: Aek Silangkitang, Aek Ratta, Batang Alundi, dan banyak anak-

anak sungai lainnya yang menyatu dengan Batang Ayumi. Batang Ayumi

sungguh menambah keindahan kota ini dan merupakan pendukung utama bagi

pertumbuhan kota Padangsidimpuan menjadi pusat perekonomian.

4.2 Demografis Lokasi Penelitian

Salah satu ciri yang diperlihatkan olehkota Padangsidimpuan sebagai

sebuah kawasan kotadi daerah Tapanuli Selatan adalah bahwa sekarang kota

tersebut telah tumbuh dan berkembang menjadi pusat untuk berbagai aktivitas,

seperti pendidikan, administrasi, perdagangan dan industri. Padangsidimpuan

dihuni oleh penduduk yang berasal dari berbagai etnis dengan berbagai latar

belakang sosial, budaya, dan ekonomi yang berbeda. Di samping etnis Batak

Angkola sebagai penduduk asli di Padangsidimpuan, ada juga terdapat berbagai

etnis lainnya, yaitu mereka yaitu mereka yang hadir sebagai perantau, seperti

orang-orang yang berasal dari sub etnis Batak lainnya (Batak Toba, Batak

Mandailing) dan etnis Minangkabau, Jawa, Nias, serta minoritas etnis Tionghoa.

Menurut perhitungan tahun 2018 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) kota

Padangsidimpuan dalam angka, diterangkan bahwa jumlah penduduk kota

Padangsidimpuan pada pertengahan Mei 2018 diperkirakan berjumlah 177.499

jiwa. Mengenai jumlah penduduk kota Padangsidimpuan secara keseluruhan dapat

dilihat dari tabel berikut:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 58: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

45

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan

No Nama Kecamatan Jumlah Penduduk

1 Padangsidimpuan Tenggara 27075

2 Padangsidimpuan Selatan 57205

3 Padangsidimpuan Batu Nadua 15983

4 Padangsidimpuan Utara 55080

5 Padangsidimpuan Hutaimbaru 15121

6 Padangsidimpuan Angkola Julu 7035

Jumlah 177499

Sumber: BPS Kota Padangsidimpuan

Dari keterangan tabel diatas dapat diketahui bahwa penduduk di kecamatan

Padangsidimpuan Tenggara dengan ibu kota kecamatan Pijorkoling berjumlah

27075 orang. Diantaranya terdapat berbagai besar penduduknya etnis Batak

Angkola dan sebagian besar etnis jawa, penduduk di kecamatan Padangsimpuan

Selatan dengan ibu kota kecamatan Padangsimpuan berjumlah 57205 orang.

Diantaranya terdapat sebagian besar penduduknya adalah etnis Minangkabau, dan

sebagian kecil etnis Batak Mandailing. Penduduk di kecamatan Padangsimpuan

Batu Nadua dengan ibu kota kecamatan Batu Nadua berjumlah 15983 orang.

Diantaranya terdapat sebagian besar penduduknya etnis Batak Angkola dan

sebagian kecil etnis Jawa, Mandailing, Batak, Toba, Nias, penduduk di kecamatan

Padangsidimpuan Utara dengan ibu kota kecamatan Padangsidimpuan berjumlah

55080 orang. Diantaranya terdapat sebagian besar penduduk etnis Batak Angkola,

dan sebagian kecil etnis Mandailing, Batak Toba, Jawa, Minangkabau, Nias dan

minoritas etnis Tionghoa. Penduduk di kecamatan Padangsimpuan Hutaimbaru

dengan ibu kota kecamatan Hutaimbaru berjumlah 15121 orang. Diantaranya

terdapat sebagian besar etnis Batak Angkola dan sebagian kecil etnis Batak Toba,

Mandailing, Jawa.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 59: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

46

4.2.1 Etnis (Suku Bangsa)

Tabel 4.2.1

Jumlah Penduduk Menurut Wilayah Administrasi dan Suku Bangsa

No Suku Bangsa Jumlah

1 Batak Angkola 18843

2 Batak Mandailing 12080

3 Batak Toba 8873

4 Jawa 6558

5 Minangkabau 6810

6 Nias 321

7 Tionghoa 951

8 Lainnya 644

Jumlah 55080

Sumber: kec. Padangsidimpuan Utara

Dari tabel di atas dijelaskan bahwa jumlah penduduk di Kecamatan

Padangsidimpuan Utara 55080 orang. Diantaranya terdapat sebagian besar etnis

Batak Angkola berjumlah 18843 orang, Batak Mandailing 12080 orang, Batak

Toba berjumlah 18843. Diantara tiga etnis Batak ini yang paling banyak adalah

Batak Angkola dan etnis inilah yang merupakan etnis mayoritas penduduk

Padangsidimpuan. Etnis Jawa berjumlah 6558 orang, etnis Minangkabau

berjumlah 6810 orang, etnis Nias 321 orang, etnis Tionghoa berjumlah 951 orang

yang menyebar di kecamatan Padangsidimpuan Utara/kelurahan Wek I, Wek II,

dan Wek III. Serta etnis lainnya berjumlah 644 orang.

Tabel 4.2.1

Jumlah Penduduk Tionghoa Berdasarkan Kepala Keluarga, Jenis Kelamin/Sex, Usia/Umur

Dan Kelurahan

No

Nama

Kelurahan

Jlh Per

KK

Jlh Penduduk Menurut Jenis

Kelamin/Sex

Jlh Penduduk

Menurut Usia

Total

L % P % 0-24

Thn

25-80

Thn

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 60: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

47

1 Kelurahan

Wek I

25 45 36 80 64 40 85 125

2 Kelurahan

Wek II

181 328 42,43 445 57,57 258 515 773

3 Kelurahan

Wek III

20 36 67,92 17 32,07 17 36 53

Jumlah 226 409 146,35 542 153,64 315 636 951

Sumber: Kec. Padangsidimpuan Utara

Dari data kependudukan kantor camat Kecamatan Padangsidimpuan Utara,

Kelurahan Wek I Jl. Merdeka Gang Abdul Jalil tahun 2018 memperlihatkan

bahwa etnis Tionghoa di daerah tersebut terdiri dari 25 kepala keluarga dengan

jumlah keseluruhan adalah kira-kira 125 jiwa. Perbandingan jumlah jiwa

berdasarkan jenis kelamin dapat dapat di lihat, laki-laki 45 orang (36%) dan

perempuan 80 orang (64%). Menurut kelompok usia dapat diketahui bahwa

seluruh populasi etnis Tionghoa yang ada di Kelurahan Wek I dari usia 0-24 tahun

atau usia anak-anak sampai dewasa 40 orang dan usia antara 25-80 tahun berkisar

85 orang.

Data kependudukan kantor camat Kecamatan Padangsidimpuan Utara,

Kelurahan Wek II Jl. Merdeka Gang Surau tahun 2018 memperlihatkan bahwa

etnis Tionghoa di daerah tersebut terdiri dari 181 kepala keluarga dengan jumlah

keseluruhan adalah 773 jiwa. Perbandingan jumlah jiwa berdasarkan jenis

kelamin dapat di lihat, laki-laki 328 orang (42,43%) dan perempuan 445 orang

(57,57%). Menurut kelompok usia dapat diketahui bahwa seluruh populasi etnis

Tionghoa yang ada di Kelurahan Wek II dari usia antara 0-24 tahun 258 orang dan

usia antara 25-80 tahun berkisar 515 orang.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 61: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

48

Data kependudukan kantor camat Kecamatan Padangsidimpuan Utara,

Kelurahan Wek III Jl. Selamat Riadi tahun 2018 memperlihatkan bahwa etnis

Tionghoa di daerah tersebut terdiri dari 20 kepala keluarga dengan jumlah

keseluruhan adalah 53 jiwa. Perbandingan jumlah jiwa berdasarkan jenis kelamin

dapat dilihat, laki-laki 36 orang (67,92%) dan perempuan 17 orang (32,07%).

Menurut kelompok usia dapat diketahui bahwa seluruh populasi etnis Tionghoa

yang ada di kelurahan Wek III dari usia 0-24 tahun 17 orang dan usia antara 25-80

tahun berkisar 36 orang.

Dari penjelasan di atas dapat di dilihat bahwa etnis Tionghoa lebih banyak

mendiami daerah Kelurahan Wek II karena memang daerah ini merupakan pusat

dari segala aktivitas di kota Padangsidimpuan dan inilah alasan mengapa penulis

memilih lokasi penelitian di kelurahan wek II karena daerah ini merupakan basis

etnis Tionghoa di kota Padangsidimpuan.

4.2.2 Sistem Kepercayaan

Agama islam disiarkan oleh orang Minangkabau yang datang ke Tapanuli

Selatan pada tahun 1810 seperti Mandailing dan Angkola. Namun agama Kristen

juga ada di Tapanuli Selatan. Padangsidimpuan merupakan ibu kota Tapanuli

Selatan, namun agama yang dominan dianut oleh kalangan penduduk

Padangsidimpuan adalah agama islam. Sebagai gambaran kehidupan beragama di

daerah ini, dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 4.2.2

Persentase Penduduk Menurut Agama dan Kepercayaan

N

o

Kecamatan Agama

Islam Khatolik Kristen Budha

1 Padangsidimpuan tenggara 90,13 0,67 9,15 0,04

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 62: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

49

2 Padangsidimpuan selatan 82,54 0,93 16,35 0,16

3 Padangsidimpuan batunadua 97,87 0,28 1,82 -

4 Padangsidimpuan utara 94,43 0,60 3,76 1,21

5 Pada Padangsidimpuan hutaimbaru 95,43 0,13 4,12 -

6 Padangsidimpuan angkola julu 96,05 0,06 3,88 -

Sumber: BPS kota Padangsidimpuan

Dari tabel di atas dapat juga diketahui bahwa agama yang paling

mendominasi di Padangsidimpuan adalah agama Islam, dan yang paling banyak

menganut agama Budha di Padangsidimpuan adalah di Kecamatan

Padangsidimpuan Utara khususnya Kelurahan Wek II, karena disini merupakan

pusat dari kota Padangsidimpuan yang merupakan banyaknya etnis Tionghoa

bertempat tinggal dan membuka usaha dalam bidang perdagangan. Agama Budha

merupakan agama dominan yang dianut etnis Tionghoa di Padangsidimpuan.

Namun ada juga etnis Tionghoa yang menganut agama lain yaitu agama Kristen

Protestan, Khatolik, dan agama Islam. Alasan dari beberapa etnis Tionghoa untuk

berpindah ke agama lain disebabkan oleh beberapa hal, seperti di karenakan

adanya kawin campur yang dilakukan dengan masyarakat Padangsidimpuan yang

memeluk agama Islam atau Kristen sehingga mendorong etnis Tionghoa untuk

berpindah agama sesuai dengan yang dianut pasangannya (Hasil wawancara

dengan Ampere Jaya Alam).

Alasan yang paling utama yang menyebabkan etnis Tionghoa memeluk

diantara ke enam agama yang ada di Indonesia adalah dikarenakan sesudah tahun

1965 pemerintah Indonesia secara resmi mengakui enam (enam) agama : Islam,

Khatolik, Protestan, Hindu-Bali (Hinduisme Bali), Budha dan Konghucu. Namun

beberapa tahun terakhir ini pemerintah tidak lagi mengakui Konghucu sebagai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 63: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

50

sebuah agama.Walaupun Majelis Tertinggi Konghucu Indonesia meminta

Departemen Agama mengakui Konghucuisme sebagai sebuah agama.Tetapi,

siding kabinet pada tanggal 27 Januari 1979 secara tegas menyatakan bahwa

Konghucuisme bukanlah agama. Kemudian ada anggapan bahwa dalam

hubungannya dengan identitas nasional, etnis Tionghoa Indonesia yang tidak

beragama Konghucu ini dianggap pribumi lebih “Indonesia” daripada etnis

Tionghoa lainnya, Leo Suryadinata (1999:182,184).

Sehingga memunculkan adanya motivasi penganutan agama dari etnis

Tionghoa dan menjadi suatu keharusan untuk memilih salah satu agama yang sah

diakui oleh pemerintahan Republik Indonesia berhubungan dengan status

Kewarganegaraan menjadi WNI.Mengenai pemelukan suatu agama dari salah

seorang anggota keluarga etnis Tionghoa di Padangsidimpuan tidak ada unsur

pemaksaan dari pihak keluarga, keluarga hanya dapat memberikan pengarahan

terhadap agama yang akan di yakininya.Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa

etnis Tionghoa yang ada di Padangsidimpuan, yang memeluk agama Budha

adalah mereka yang masih totok, sedangkan yang berpindah memeluk agama lain

yang dianut oleh penduduk setempat adalah mereka yang terutama sudah

peranakan.

4.2.3 Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk di Padangsidimpuan itu terlihat pada berbagai

bidang seperti bidang pertanian, peternakan, perdagangan, perindustrian, pegawai

negeri, dan pertukangan.Dalam bertani tanaman yang di tanam oleh penduduk

Padangsidimpuan adalah tanaman palawija (padi, jagung, ubi-ubian, cabe,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 64: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

51

bawang, tomat, sayuran), buah-buahan seperti buah salak yang merupakan hasil

yang paling menonjol yang menjadikan Padangsidimpuan sebagai Kota Salak di

Sumatera Utara. Kemudian ada juga tanaman keras seperti : karet, kemiri, kelapa,

kelapa sawit, kopi, coklat, cengkeh, kulit manis, dan pinang. Dalam bidang

peternakan seperti : kambing, kerbau, sapi, ayam, itik, dan ikan. Dalam bidang

perdagangan (pedagang grosir, pedagang elektronik, dan lain-lain).Dalam bidang

pertukangan seperti tukang kayu (panglong), servis Honda dan mobil, tukang gigi,

tukang foto dan lain-lain. Dalam bidang industry ada PT. Kirana Sapta, PT.

Sihitang Raya Baru, dan PT. virgo). Mengenai warga masyarakat

Padangsidimpuan Utara menurut mata pencaharian dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 4.2.3

Penduduk Padangsidimpuan Utara Menurut Mata Pencaharian

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah %

1 Buruh/Swasta 8707 41,33

2 Pegawai Negeri Sipil 2957 14,04

3 Pengrajin 414 1,97

4 Pedagang 3200 15,18

5 Tukang Batu 395 1,87

6 Tukang Kayu 157 0,75

7 Peternak 37 0,18

8 Petani 2352 11,16

9 Montir 155 0,74

10 Dokter 34 0,16

11 Sopir 606 2,88

12 Penarik Becak 1115 5,29

13 Tni/Polri 356 1,69

14 Pengusaha 298 1,41

15 Penjahit 285 1,35

Jumlah 21068 100

Sumber: Kec. Padangsidimpuan Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 65: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

52

Sebanyak 2352 orang yang ber mata pencaharian sebagai petani adalah

penduduk pribumi (etnis Batak Angkola).Mereka tampak masih bisa bertahan

sebagai petani, walaupun disekitar mereka terdapat aneka ragam

industri.Sedangkan sektor swasta atau pedagang kelas tinggi (contohnya pedagang

grosir, distributor) pada umumya didominasi oleh etnis Tionghoa.

Tabel 4.2.3

Penduduk Etnis Tionghoa Menurut Mata Pencaharian

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah %

1 Pegawai Pemerintahan 2 0,22

2 Pegawai Swasta 142 15,88

3 Padagang/Wiraswasta 397 44,41

4 Bidang Jasa 4 0,45

5 Tidak/Belum Bekerja 349 39,04

Jumlah 894 100

Sumber: Kec. Padangsidimpuan Utara

Pada umumnya etnis Tionghoa di kota Padangsidimpuan mempunyai mata

pencaharian di sektor perdagangan 44,41%, dan juga sebagai pegawai swasta

sebanyak 15,88%. Mereka yang bekerja di bidang jasa 0,45%, sebagai pegawai

pemerintahan 0,22% dan selebihnya sebanyak 39,04% merupakan penduduk yang

belum bekerja yakni mereka yang dikategorikan sebagai anak-anak, pelajar,

mahasiswa maupun yang termasuk kaum lanjut usia.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 66: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

53

BAB V

AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA

DI KOTA PADANGSIDIMPUAN

5.1 Unsur Budaya pada Masyarakat Tionghoa di Kota Padangsidimpuan

Pada zaman dahulu ketika etnis Tionghoa datang dan menginjakkan kaki di

Indonesia, mereka terpesona akan keindahan alam serta keramahan penduduk

pribuminya. Mereka jatuh cinta sehingga pada akhirnya memutuskan untuk

beranak cucu dan mati di daerah baru mereka. Semenjak itulah mereka mulai

menyesuaikan diri serta membaur dengan penduduk pribumi yang ada

disekitarnya termasuk dalam pembauran adat dan tradisi atau yang disebut dengan

akulturasi budaya.

Dalam wawancara dengan bapak Olly Japar Siregar (Lim Pao Oei) sebagai

salah satu tetua adat dari etnis Tionghoa di kota Padangsidimpuan beliau

menjelaskan bahwa setelah etnis Tionghoa sampai di Padangsidimpuan mereka

diterima dengan baik oleh masyarakat Padangsidimpuan karena masyarakat

Padangsidimpuan memiliki sifat yang terbuka terhadap berbagai etnis yang datang

ke di Padangsidimpuan. Hal ini bisa dilihat dengan banyaknya etnis-etnis yang

bertempat tinggal di Padangsidimpuan seperti: etnis Batak Mandailing, Batak

Toba, Minagkabau, Jawa, Nias, Aceh, dan etnis Batak Angkola yang merupakan

penduduk asli serta penduduk yang mayoritas di Padangsidimpuan. Setelah etnis

Tionghoa sampai di Padangsidimpuan misalnya Lie Kak, yang merupakan

pemimpin kelompok masyarakat Tionghoa di Padangsidimpuan beliau

menunjukkan berbagai keterampilan yang dia miliki seperti berdagang serta

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 67: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

54

menjalin hubungan yang baik dalam bergaul dan bersilap ramah-tamah kepada

masyarakat Padangsidimpuan. Lie Kak juga menjalin hubungan melalui

perkawinan antara laki-laki Tionghoa dengan perempuan setempat (masyarakat

pribumi Padangsidimpuan).

Mengenai adat dan tradisi etnis Tionghoa mereka memakainya dalam

lingkaran kehidupan di Padangsidimpuan. Contohnya pada upacara kematian,

melahirkan, pernikahan, pebalan marga , serta masih banyak upacara lainnya.

Tapi keadaan sekarang lebih bersifat gabungan antara adat Tionghoa dengan adat

–istiadat yang berlaku bagi masyarakat setempat terutama dari segi

penyelenggaraan, pakaian dan prosedur pelaksanaannya.

Dalam upacara kematian penganut agama Budha, etnis Tionghoa

menyediakan sarana makanan lengkap di depan peti jenazah, serta sarana

perlengkapan mandi setiap harinya selama jenazah masih disemanyamkan di

rumah (belum di makamkan). Selain itu pembakaran uang kertas pun dilakukan

dengan harapan arwah yang bersangkutan tidak menemui kesulitan di akhirat sana.

Kemudian dalam berpakaian pihak keluarga yang berduka cita biasanya

memakai pakaian berkabung putih (biasanya kain kaci) dan dipakai secara terbalik

(jahitan di luar) untuk menandakan bahwa keluarga sedang berduka. Tanda duka

beraneka bentuk sesuai ikatan dengan keluarga yang meninggal, dan kebiasaaan

seperti ini merupakan pemandangan biasa dan telah di mengerti oleh etnis

Tionghoa. Hal-hal tabu selama jenazah masih disemanyamkan di rumah, juga di

laksanakan tanpa protes. Mereka tahu tradisi tersebut adalah turun temurun yang

harus dilakukan bagi etnis Tionghoa. Larangannya tidak boleh menyediakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 68: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

55

bakmi dan buah salak di depan jenazah. Tujuannya agar duka yang ada tidak

berkepanjangan serta masa depan keluarga tidak menemui hambatan onak atau

duri di masa mendatang.

Etnis Tionghoa yang beraganma Budha maupun Kristen Khatolik ada juga

yang masih mengikuti adat serta tradisi mereka sepanjang tidak bertentangan

dengan ajaran agama kecuali etnis Tionghoa yang menganut agama Islam tidak

lagi mengikuti adat serta tradisi nenek monyangnya.Alasan tidak meninggalkan

adat serta tradisi lantaran mereka masih keturunan Tionghoa dan hal itu memang

tidak bisa di ingkari. Misalnya kebiasaan jagong di malam hari pada keluarga

duka tetap dilaksanakan etnis Tionghoa. Saat jagong (melayat) jenazah

merupakan kesempatan para tamu, sanak saudara, serta sahabat memberikan

penghormatan terakhir bagi almarhumah.

Di Padangsidimpuan etnis Tionghoa yang sebagai orang tua, dalam

mencari pasangan hidup anak-anaknya, orang tua tidak memaksakan kehendaknya.

Mereka memberikan kebebasan bagi anaknya untuk menentukan calon

pendamping hidupnya.Sebagai orang tua mereka hanya bisa mengarahkan kearah

yang lebih baik. Pesta pernihan bagi etnis Tionghoa di Padangsidimpuan ada yang

dirayakan secara meriah dengan mengundang keluarga, sanak saudara, serta

orang-orang terdekat. Namun tak sedikit juga yang di rayakan secara sederhana.

Prioritas utama etnis Tionghoa di Padangsidimpuan dalam hal pernikahan adalah

kebahagiaan bagi pasangaan anak-anak nya dalam mengarungi bahtera rumah

tangga.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 69: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

56

Pada acara lamaran yang diteruskan menuju jenjang pernikahan, pihak

keluarga calon pengantin laki-laki memberikan Angpau (uang yang terbungkus

kertas merah) dua bagian. Satu disebut sebagai uang dapur yakni pengganti biaya

yang dikeluarkan pihak wanita, satu lagi diberikan pada ibu calon pengantin

wanita sebagai uang susu.

Kemudian dalam pesta pernikahan etnis Tionghoa, penuh diwarnai adat

dan tradisi. Dimana pada keluarga pengantin laki-laki, kedua orang tua (kalau

keduanya masih lengkap) akan mendan-dani anaknya untuk yang terakhir kalinya.

Mereka menyisir rambut pengantin laki-laki serta memakaikan jas pengantinnya

kemudian menyematkan hiasan bunga pada salah satu kerah jas. Sedangkan

pengantin laki-laki sujud memohon restu ucapan terima kasih kepada kedua orang

tuanya yang telah menjaganya sampai ke jenjang pernikahan. Demikian pula

dengan keluarga pengantin wanita, kedua orang tua sibuk menyiapkan segala

sesuatu bagi anaknya yang akan meninggalkan rumah untuk bersatu dengan

suaminya. Perias pengantin mempercantik pengantin wanita, namun saat

pemakaian mahkota serta cadar penutup, kedua orang tua yang akan

melakukannya. Kedua orang tua pengantin wanita juga menyisir rambut anaknya.

Pada wanita etnis Tionghoa yang sedang hamil atau melahirkan tidak lepas

dari adat dan tradisi kuno. Seorang ibu yang hamil muda akan di jajali berbagai

aturan dan larangan oleh pihak tetua keluarga. Salah satu contoh sang ibu hamil

dilarang berkunjung pada upacara kematian, kalaupun yang meninggal anggota

keluarga maka sang ibu hamil harus di bekali bawang putih pada perutnya serta

sebuah gunting kecil sebagai penangkal sang calon jabang bayi. Namun dalam hal

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 70: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

57

makanan seorang wanita hamil tidak akan membuat heboh keluarga tidak ada

pantangan ataupun keharusan yang harus dilakukannya (semuanya berjalan biasa

saja). Sekalipun hamil, para istri etnis Tionghoa di Padangsidimpuan tetap bekerja

seperti biasanya seperti tidak terjadi sesuatu. Tapi menjelang usia kandungan

Sembilan bulan, barulah para istri istirahat bekerja untuk mempersiapkan

kelahiran sang jabang bayi.

Kemudian dalam hal persiapan untuk menyambut bayi pun tidak boleh di

beli sebelum usia kehamilan mencapai tujuh bulan, kalau hal itu di langgar maka

di yakini akan terjadi hal-hal yang tidak di inginkan pada calon sang jabang bayi.

Selama kehamilan para etnis Tionghoa di Padangsidimpuan sangat

memperhatikan kesehatan sang istri. Periksa serta merawat kehamilan menjadi

prioritas utama. Kunjungan kedokter menjadi rutinitas yang semuanya dilakukan

demi kesehatan sang ibu serta calon jabang bayinya. Kelahiran sang jabang bayi

bagi etnis Tionghoa merupakan harapan akan datangnya hoki (rezeki) baru bagi

keluarganya. Maka pada saat sang jabang bayi di bawa pulang, ada yang

mengadakan upacara penyambutan secara khusus atas kehadiran keluarga baru ini.

Selain itu dalam hal makanan, etnis Tionghoa melakukan adaptasi di

Padangsidimpuan. Daun ubi tumbuk dan gulai ikan Mas Hollat yang merupakan

ciri khas masakan Batak Angkola menjadi makanan yang mereka sukai (hasil

wawancara dengan Juliana)

Jadi dari penjelasan di atas penulis menganalisis bahwa etnis Tionghoa

yang ada di Padangsidimpuan dalam bidang kebudayaan sudah beradaptasi

(berakulturasi) terhadap kebudayaan masyarakat pribumi (Batak Angkola)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 71: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

58

Padangsidimpuan. Mereka sudah menyatu dan membaur dengan masyarakat

pribumi (Batak Angkola) yang ada disekitarnya.

5.1.1 Budaya Batak Angkola

Masyarakat Batak Angkola ialah masyarakat yang sejak dahulu kala

mendiami wilayah Angkola yang terdapat di Kabupaten Tapanulli Selatan.

Kebudayaan masyarakat Batak Angkola dalam banyak hal mempunyai persamaan

dengan kebudayaan masyarakat Padang Bolak dan masyarakat Mandailing. Adat-

istiadat ketiga masyarakat tersebut tidak banyak berbeda, demikian juga dengan

bahasanya. Masyarakat Batak Angkola merupakan masyarakat agraris yang

hidupnya banyak tergantung kepada pertanian, sawah dan perkebunan yang

ditanami dengan karet, kopi, kulit manis, dan lain-lain.

Dalam sistem kekerabatannya, masyarakat Batak Angkola menganut garis

keturunan patrilineal (garis keturunan dari pihak ayah). Berdasarkan garis

keturunan yang patrilineal itu, masyarakat Batak Angkola membentuk kelompok-

kelompok kekerabatan yang disebut marga (clan) sebagai gabungan dari orang-

orang yang merupakan keturunan dari seorang kakek bersama. Oleh karena itu di

dalam masyarakat Batak Angkola terdapat sejumlah marga yang masing-masing

mempunyai namanya sendiri. Seperti marga Siregar, marga Harahap, marga Pane,

marga Huta Suhut, marga Ritonga, marga Rambe, dan lain-lain.Para anggota dari

suatu marga mempunyai hubungan kekerabatan yang disebut markahanggi

(berabang-adik).

Adat masyarakat Batak Angkola lazim disebut adat dalihan natolu, karena

setiap pelaksanaan aktivitas yang didasarkan kepada kaidah-kaidah adat, seperti

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 72: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

59

pelaksanaan berbagai upacara, harus didukung oleh tiga unsur fungsional dari

sistem sosial masyarakat Batak Angkola yang dinamakan dalihan natolu (tiga

tumpuan). Ketiga unsur fungsional dari sistem sosial dalihan natolu itu masing-

masing disebut mora, kahanggi, dan anak boru. Mora merupakan anggota kerabat

yang berstatus sebagai pemberi anak dara dalam perkawinan. Kahanggi adalah

anggota kerabat satu keturunan atau satu klen.Anak boru adalah anggota kerabat

yang berstatus sebagai penerima anak dara dalam perkawinan. Antara para kerabat

yang berstatus sebagai mora dan berstatus sebagai anak boru terdapat hubungan

afinal (perkawinan), dan diantara sesame kerabat yang berstatus sebagai kahanggi

terdapat hubungan konsanguinial atau hubungan darah.

Sistem dalihan natolu yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Batak

Angkola, merupakan suatu mekanisme tradisional yang berfungsi untuk

menjalankan adat sebagai suatu kekuatan penggerak perilaku kehidupan

bermasyarakat. Tiga komponen fungsional yang terdiri dari mora, kahanggi, anak

boru yang masing-masing anggota kerabat yang satu sama lainnya terikat oleh

hubungan perkawinan atau hubungan darah. Ketiga komponen fungsional sdari

sistem sosial itu, dikonsepsikan oleh masyarakat Batak Angkola sebagai suatu

dalihan (tungku) penumpu yang terdiri dari tolu (tiga) memberikan kepada

seseorang hak dan kewajiban tertentu yang satu sama lain berbeda. Hak dan

kewajiban seseorang dalam statusnya sebagai mora berbeda dengan hak dan

kewajiban sebagai orang yang berstatus sebagai kahanggi dan anak boru.

Pelaksanaan hak dan kewajiban yang di tentukan oleh status kekerabatan itu dapat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 73: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

60

dilihat pada waktu seseorang ikut dalam pelaksanaan upacara adat atau pada

waktu orang-orang yang berlainan status kekerabatannya sedang berinteraksi.

Dalam kebudayaan masyarakat Batak Angkola terdapat suatu upacara adat

(ritual adat) yang dinamakan mangupa. Upacara tersebut merupakan bagian dari

serangkaian upacara adat yang penting bagi masyarakat Batak Angkola. Karena

menurut adat dan tradisi masyarakat tersebut upacara mangupa merupakan sarana

utama bagi para kerabat untuk menyampaikan doa dan harapan mereka agar

pengantin yang baru memasuki gerbang perkawinan memperoleh kebahagiaan

dan kesentosaan hidup berumah tangga.

Menurut tradisi masyarakat Batak Angkola, untuk melaksanakan upacara

mangupa disediakan seperangkat perlegkapan upacara yang terdiri dari berbagai

jenis bahan makanan yang ditempatkan pada suatu wadah yang khusus. Masing-

masing bahan perlengkapan upacara itu melambangkan doa dan harapan para

kerabat bagi kebahagiaan dan kesentosaan sepasang pengantin yang akan

menjalani hidup berumah tangga. Di samping itu bahan tersebut sekaligus

melambangkan ajaran atau kebijaksanaan tradisional yang harus dijalankan oleh

kedua pengantin agar mereka memperoleh kebahagiaan hidup berumah

tangga.Kemudian dalam penyelenggaraan upacara mangupa, para pelaksana

upacara yang terdiri dari sejumlah kerabat pengantin laki-laki dan tokoh

pemimpin tradisional setempat untuk menyampaikan pidato adat (mangkobar-

kobar. Pidato-pidato adat disamapikan dengan menggunakan ragam bahasa

tersendiri yang mengandung nilai sastra tradisional dan juga menggunakan sastra

lisan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 74: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

61

5.2 Unsur Akulturasi Budaya pada Masyarakat Tionghoa

di Padangsidimpuan

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pada kerangka konseptual di

atas indikator dari penyesuaian diri antar budaya di arahkan pada masalah

akulturasi budaya etnis Tionghoa di Padangsidimpuan, sehubungan dengan itu

maka peneliti akan membahas tentang akulturasi budaya pada masyarakat

Tionghoa terhadap masyarakat Batak Angkola di Padangsidimpuan. Disini akan

di kupas lebih mendalam mengenai unsur akulturasi budaya masyarakat Tionghoa

yang paling mendominasi di Padangsidimpuan dapat dilihat dari beberapa unsur

budaya yaitu: bahasa, perkawinan, dan penabalan marga.

Maka dari itu peneliti menempatkan bahasa pada urutan pertama karena

menyangkut tentang cara mereka berkomunikasi dengan masyarakat

Padangsidimpuan. Dalam berkomunikasi masyarakat Tionghoa menggunakan

bahasa Batak Angkola dan bahasa Indonesia untuk beradaptasi dengan etnis Batak

Angkola di kota Padangsidimpuan.

5.2.1 Bahasa

Di kalangan etnis Tionghoa di kota Padangsidimpuan terdapat tiga macam

bahasa, yakni bahasa Batak Angkola dan bahasa Indonesia sebagai bahasa

berkomunikasi dengan masyarakat Batak Angkola, kemudian bahasa Tionghoa

sebagai bahasa berkomunikasi antar sesama etnis Tionghoa di kota

Padangsidimpuan. Bahasa Indonesia adalah bahasa Nasional dan bahasa resmidi

Indonesia rata-rata dikuasai oleh masyarakat Tionghoa yang ada di kota

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 75: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

62

Padangsidimpuan baik itu mereka sebagai Tionghoa totok maupun peranakan.

Bahasa daerah setempat yaitu bahasa Batak Angkola jugabanyak diketahui dan

dikuasai oleh etnis Tionghoa yang ada di Padangsidimpuan dengan baik, karena

disamping bahasa Indonesia, bahasa daerah tersebut juga merupakan bahasa

pergaulan sehari-hari masyarakat Tionghoa di kota Padangsidimpuan.

Bahasa Batak Angkola dan bahasa Indonesia sering dipergunakan oleh

masyarakat Tionghoa dalam pergaulan sehari-hari baik ketika berkomunikasi

dengan masyarakat setempat maupun sesama anggota keluarganya. Sedangkan

etnis Tionghoa yang lanjut usialebih banyak menggunakan bahasa Tionghoa

dirumah maupun dalam pergaulan sesama etnis Tionghoa, tetapi mereka mengerti

bahasa Batak Angkola, sedangkan bahasa Indonesia dan bahasa Batak Angkola

mereka gunakan bila berkomunikasi dengan penduduk setempat.

Adapun bahasa yang dipergunakan oleh etnis Tionghoa dalam

berkomunikasi dengan masyarakat setempat dan dengan sesama keluarga mereka

akan dapat diketahui melalui penjelasan berikut. Yang akan dikemukakan di sini

adalah mengenai pemakaian dan penguasaan dari masing-masing bahasa, yaitu

bahasa Tionghoa, bahasa Indonesia, dan bahasa Batak Angkola sebagai bahasa

daerah, baik pemakaian dalam rumah tangga, sesama kelompok maupun dalam

pergaulan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat setempat oleh infornan

Tionghoa.

Tabel 5.2.1

Bahasa Percakapan dalam Rumah Tangga Masyarakat Tionghoa

di Padangsidimpuan

No. Bahasa yang digunakan Jumlah %

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 76: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

63

1. Bahasa Tionghoa 3 30

2. Bahasa Indonesia 5 50

3. Bahasa Batak Angkola (bahasa

daerah)

2 20

Jumlah 10 100

Sumber : Hasil Wawancara dengan Informan Etnis Tionghoa

di Padangsidimpuan.

Data yang diperoleh melalui penelitian ini memperlihatkan bahwa

responden dalam rumah tangga yang mempergunakan bahasa Tionghoa 3 orang

(30%), bahasa Indonesia 5 orang (50%) dan bahasa Batak Angkola 2 orang

(20%).

Dari data diatas peneliti melakukan analisa bahwa proses akulturasi dalam

bidang bahasa dapat dilkasanakan dengan baik, terbukti 50% orang Tionghoa

menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi di dalam rumah tangga.

Dalam berhubungan dengan masyarakat Padangsidimpuan etnis Tionghoa

menggunakan bahasa Batak Angkola ada 20%.

Tabel 5.2.1

Bahasa Percakapan dalam Kelompok Etnis Tionghoa di Padangsidimpuan

No. Bahasa yang digunakan Jumlah %

1. Bahasa Tionghoa 4 40

2. Bahasa Indonesia 5 50

3. Bahasa Batak Angkola 1 10

Jumlah 10 100

Sumber : Hasil Wawancara dengan Informan Etnis Tionghoa

di Padangsidimpuan.

Data diatas menjelaskan bahwa bahasa yang digunakan antar sesama

kelompok etnis Tionghoa mempergunakan bahasa pengantarnya dengan bahasa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 77: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

64

Tionghoa4 orang (40%),berbahasa Indonesia 5 orang (50%), dan bahasa daerah 1

orang (10%).

Tabel 5.2.1

Bahasa Percakapan dalam Pergaulan Sehari-Hari

dengan Masyarakat Padangsidimpuan

No. Bahasa yang digunakan Jumlah %

1. Bahasa Tionghoa - -

2. Bahasa Indonesia 5 50

3. Bahasa Batak Angkola 5 50

Jumlah 10 100

Sumber : Hasil Wawancara dengan Informan Etnis Tionghoa

di Padangsidimpuan.

Data diatas menjelaskan bahwa bahasa yang digunakan informan dalam

pergaulan dengan masyarakat setempat mempergunakan bahasa pengantarnya

dengan bahasa Tionghoa tidak ada, menggunakan bahasa Indonesia 5 orang

(50%). Ini tergantung juga pada orang apa yang dihadapi berkomunikasi apabila

dengan orang tua, mereka lebih banyak mempergunakan bahasa Batak Angkola

dan dengan orang muda mereka lebih sering memperrgunakan bahasa Indonesia,

dan 5 orang (50%) etnis Tionghoa menggunkan bahasa Batak Angkola apabila

bergaul dengan masyarakat padangsidimpuan.

Tabel 5.2.1

Tingkat Penguasaan Bahasa Etnis Tionghoa di Padangsidimpuan

No

Nama bahasa

Tingkat/kwalifikasi Jumlah

Baik % Sedang % Kurang % % orang

1. Tionghoa 2 20 5 50 3 30 100 10

2. Indonesia 7 70 3 30 - - 100 10

3. Batak Angkola 5 50 3 30 2 20 100 10

Sumber : Hasil Wawancara dengan Informan Etnis Tionghoa

di Padangsidimpuan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 78: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

65

Mengenai penguasaan dari masing-masing bahasa yang dikemukakan di

atas, terdapat diantaranya yang menguasai bahasa Tionghoa dengan kualifikasi

baik (tahu arti dan pengucapan bagus) 2 orang (20%), kualifikasi sedang (tahu arti

tapi pengucapan kurang bisa, dialek sedang) 5 orang (50%), dan kualifikasi

kurang (tidak tahu arti dan pengucapan bahasanya) 3 orang (30%). Yang

menguasai bahasa Indonesia dengan kualifikasi baik 7 orang (70%), kulifikasi

sedang 3 orang (30%), dan dengan kualifikasi kurang tidak ada, dan yang tidak

tahu sama sekali tidak ada. Sedangkan responden yang menguasai bahasa Batak

Angkola sebagai bahasa dsaerah setempat dengan kualifikasi baik 5 orang (50%),

kualifikasi sedang 3 orang (30%), dan dengan kualifikasi kurang 2 orang (20%),

dan yang tidak tahu sama sekali tidak ada.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, bahasa Indonesia,

dan bahasa Batak Angkola menjadi bahasa penghubung untuk berkomunikasi

antara etnis Tionghoa dengan etnis Batak Angkola di Padangsidimpuan. Oleh

karena itu faktor penggunaan bahasa dalam proses akulturasi etnis Tionghoa di

Padangsidimpuan bisa dinyatakan berjalan dengan baik.

5.2.2 Pernikahan

Pernikahan campur sering disebut dengan amalgamasi yang berarti

pernikahan antar kelompok etnis, tetapi amalgamasi (amalgamasion)sebenarnya

dapat lebih luas artinya dari sekedar asimilasi. Di Indonesia pernikahan campur

antar etnis di anggap sebagai salah satu faktor yang menguntungkan dalam usaha

mempercepat proses adaptasi dan asimilasi (Soekanto, 1982:220).Pernikahan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 79: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

66

antar etnis yang dimaksud adalah pernikahan antar etnis Tionghoa dengan etnis

Batak Angkola di Padangsidimpuan, yang telah terjadi sejak etnis Tionghoa

datang ke Padangsidimpuan.

Secara umum dapat dilihat gambaran pernikahan yang berlaku di kalangan

masyarakat Tionghoa yang ada di Padangsidimpuan telah mengadakan pernikahan

campuran dengan etnis Batak Angkola.Baik diantara mereka yang masih

tergolong totok maupun peranakan pribumi setempat demikian pula

sebaliknya.Menurut penuturan bapak Olly Japar Siregar mengenai pelaksanaanya

sekarang lebih bersifat gabungan antara adat-istiadat etnis Tionghoa dengan adat-

istiadat etnis Batak Angkola, terutama dari segi penyelenggaraan.Dalam

penelitian ini akan dijelaskan mengenai tahapan upacara pernikahan etnis

Tionghoa dengan etnis Batak Angkola di Padangsidimpuan.

Dalam prosesi pernikahan etnis Tionghoa bila seorang pemuda tertarik

pada seorang pemudi, maka diutus seorang meiren (媒人) atau mak comblang

kerumah pemudi tersebut untuk bertemu dengan orang tua pemudi tersebut. Mak

comblang juga segera menukarkan kartu yang berisi nama, usia dan hal lainnya

sehubungan dengan kedua pemuda pemudi tersebut untuk melihat adanya

kecocokan. Apabila kedua pihak telah sepakat, maka dibuatlah acara pernikahan.

5.2.2.1 Penentuan Hari Baik

Proses penentuan hari baik dilakukan dirumah pihak mempelai wanita.

Apabila mak comblang telah ditanggapi positif, maka selanjutnya kedua pihak

sudah dapat menentukan tanggal baik dan bulan baik untuk acara lamaran dan

pernikahan. Tanggal itu ditentukan setelah melihat kecocokan dari tanggal lahir

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 80: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

67

mempelai pria dan wanita serta apakah pada hari itu bermasalah pada Shio kedua

mempelai. Setelah tidak ada masalah maka akan di lanjutkan pada prosesi

selanjutnya, yaitu Prosesi Sangjit.

Sedangkan menurut tradisi masyarakat Batak Angkola hari yang baik

untuk penyelenggaraan upacara peresmian perkawinan dipilih oleh bayo datu

(dukun). Pada masa sekarang pemilihan hari baik oleh bayo datu sudah jarang

sekali dilakukan karena perbuatan yang demikian itu dianggap perbuatan yang

bersifat tahayul dan bertentangan dengan agama.Jadi tentang penetuan hari pada

upacara perkawinan etnis Batak Angkola ditentukan atau di musyawarahkan oleh

keluarga kedua belah pihak pengantin.

5.2.2.2 Prosesi Sangjit (Lamaran)

Dalam tradisi etnis Tionghoa, Sangjit awal mulanya merupakan acara

penentuan hari, tanggal dan waktu yang baik untuk melaksanakan pernikahan.

Namun seiring berjalannya waktu, acara Sangjit dilaksanakan lebih kepada acara

penyerahan mahar kepada pengantin wanita. Prosesi ini merupakan prosesi

penting dalam upacara pernikahan setiap pasangan pengantin etnis

Tionghoa.Waktu yang tepat untuk melakukan sangjit dapat dikonsultasikan

kepada orang tua yang paham masalah penanggalan.

Sangjit biasanya diadakan antara 1 bulan sampai 1 minggu sebelum acara

resepsi pernikahan dan berlangsung siang hari antara jam 10.00 sampai dengan

13.00 WIB dilanjutkan dengan makan siang.Adat Tionghoa sangat memegang

teguh pentingnya penanggalan yang tepat untuk setiap momen yang sakral.Harus

dipilih jam, hari dan bulan yang baik. Biasanya semuanya serba muda yaitu : jam

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 81: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

68

sebelum matahari tegak lurus; hari tergantung perhitungan bulan Tionghoa, dan

bulan yang baik adalah bulan naik atau menjelang purnama. Masalah ini juga

harus didiskusikan dengan keluarga dari kedua pihak.

Lamaran merupakan pemberian barang dari mempelai pria untuk

mempelai wanita yang nantinya akan digunakan oleh kedua calon mempelai untuk

kehidupan setelah masa pernikahan. Dalam tradisi etnis Tionghoa proses lamaran

dilakukan seminggu sebelum berlangsungnya pernikahan. Pada acara lamaran,

biasanya pihak keluarga calon mempelai pria harus mempersiapkan barang-

barang seserahan diletakkan diatas nampan yang akan diserahkan kepada pihak

keluarga calon mempelai wanita. Barang-barang tersebut adalah antara lain

sebagai berikut:

1. Kosmetik dan perlengkapan mandi.

2. Seperangkat perhiasan untuk mempelai wanita.

3. Pakaian/kain beserta aksesorinya untuk mempelai wanita. Seserahan ini

mempunyai arti bahwa keperluan sandang si wanita akan dipenuhi oleh

pria.

4. Uang susu (ang pao) dan uang pesta (masing-masing di amplop merah).

Pihak mempelai wanita biasanya akan mengambil uang susu (ang pao)

seluruhnya, sedangkan uang pesta hanya akan diambil jumlah belakangnya

saja, sisanya dikembalikan. Misalnya uang pesta yang diberikan adalah

sebesar Rp 14.000.000,00 yang diambil hanya Rp 4.000.000,00 saja.

Kalau keluarga wanita mengambil seluruh uang pesta, maka berarti pesta

pernikahan tersebut dibiayai oleh keluarga wanita

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 82: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

69

5. Nampan berisi 18 buah-buahan

6. Dua pasang lilin merah yang cukup besar diikat dengan pita merah sebagai

simbol perlindungan untuk menghalau pengaruh negatif. Biasanya lilin

yang dipilih adalah yang bermotif naga dan burung hong.

7. Satu nampan berisi kue mangkok berwarna merah sebanyak 18 potong

sebagai lambang kelimpahan dan keberuntungan.

8. Satu nampan berisi dua botol arak atau sampanye

9. Satu nampan berisi gabungan antara uang-uangan dari emas yang

melambangkan hoki atau keberuntungan, dua bundle pita double

happiness yang bermakna agar kedua calon mempelai dapat terus bahagia

sampai tua nanti. Kemudian ada kaca yang bermakna agar kedua calon

mempelai dapat melakukan refleksi pada diri mereka masing-masing

sehingga tidak saling menuntut, lalu ada juga kue satu.

Benda-benda seserahan tersebut diatas ditempatkan di atas nampan atau

boks yang dibawa oleh para pria atau gadis lajang dari pihak calon mempelai pria.

Dalam budaya kalangan peranakan etnis Tionghoa, seserahan tidak diambil

seluruhnya, melainkan diambil hanya separuhnya, sementara sisanya

dikembalikan pada pihak pria. Pihak calon mempelai wanita kemudian akan

memberikan balasan, antara lain berupa permen atau coklat manis dan kue-kue

untuk dibawa pulang pihak pengantin pria sebagai harapan bahwa hubungan

antara kedua pihak akan selalu manis.

Selain itu, ada juga tradisi bagi pihak calon pengantin wanita memberikan

balasan berupa perlengkapan keperluan pria (baju, baju dalam, sapu tangan –

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 83: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

70

tergantung kemampuan pihak calon mempelai wanita).Prosesi ini juga unik,

karena wakil keluarga wanita memberikan ang pao kepada setiap pembawa

seserahan, jumlahnya bervariasi, karena ini hanya sebagai simbolisasi

penghargaan atas peran serta mereka.

Dalam tradisi etnis Batak Angkola acara lamaran dilakukan setelah ada

kesediaan dari pengantin wanita untuk menerima pengantin pria sebagai

pendamping hidupnya ke masa depan. Dalam proses lamaran pihak mempelai pria

datang ke rumah mempelai wanita untuk memberikan tuhor(mahar) yang bisa

berupa uang, emas, seperangkat alat sholat dan lain-lain, sebagai bekal dan untuk

membeli bahan perlengkapan rumah tangga mereka ke depannya. Dan dalam

proses lamaran inilah biasanya akan dimusyawarahkan kapan hari yang baik

untuk melaksanakan upacara pernikahannya.

5.2.2.3 MenghiasKamar Pengantin

Setelah prosesi lamaran dilaksanakan, maka dilaksanakan prosesi menata

kamar pengantin di kediaman pengantin pria. Prosesi ini sebagai simbolisasi

bahwa sang pria telah siap menjadi pemimpin keluarga. Di era modern, menghias

kamar dapat dilakukan oleh para perias pengantin. Namun bagi masyarakat

Tionghoa di Padangsidimpuan, merias kamar menjadi tradisi yang ditungguoleh

para keluarga kedua calon mempelai. Orang yang menghias kamar pengantin

biasanya ialah kerabat yang sudah menikah dan kehidupan pernikahannya terkenal

langgeng misalnya pasangan yang telah menikah kurang lebih 25 tahun lamanya,

ini melambangkan agar dapat menjadi contoh bagi kedua calon mempelai.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 84: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

71

Menghias kamar pengantin dengan warna merah melambangkan

kebahagiaan dan semangat hidup, lampu lentera juga kerap diletakkan di dalam

kamar. Dengan maraknya lampu yang ada, diharapkan pernikahan ini akan

menerangi bagi pasangan dalam melangkah kehidupan bersama. Sebagai simbol

lancarnya keturunan mempelai, sebagaimana layaknya kamar yang sudah rapih

biasanya ditiduri oleh bayi atau balita.

Dari semua arti positif yang terkandung dalam setiap barang dan

perbuatan, ada juga larangan yang tidak boleh dilakukan oleh para mempelai di

dalam kamar ini yaitu salah seorang mempelai, baik itu mempelai pria maupun

wanita, tidak diperkenankan tidur sendiri tanpa pendamping. Secara tidak

langsung hal ini berarti menjauhkan mereka dari kehilangan salah satu pasangan,

entah karena bercerai atau meninggal.

5.2.2.4 Upacara Pesta Pernikahan

Pagi hari sesaat sebelum upacara dilakukan setelah selesai mandi,

mempelai pria diharuskan memakai pakaian putih. Sambil disisir 3 kali dari

kepala hingga ujung rambut oleh kerabat dekat yang masih lengkap keluarganya,

diucapkanlah juga tiga kalimat ini: sisiran pertama “hidup bersama sampai rambut

beruban.” sisiran kedua “diberkahi keturunan.” dan sisiran ketiga “rumah tangga

harmonis.

Setelah melakukan ritual pagi, tibalah saatnya untuk upacara. Upacara

dimulai dengan sembahyang untuk para leluhur demi meminta ijin

berlangsungnya acara, setelah itu keluarga beserta kedua calon mempelai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 85: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

72

menikmati hidangan kue onde, ini melambangkan agar acara yang akan

dilangsungkan berjalan dengan lancar, layaknya bola yang bergelinding.

Dalam pesta pernikahan etnis Tionghoa di Padangsidimpuan cukup

mudah, yang mana pada keluarga pengantin laki-laki (kalau keduanya masih

lengkap) akan mendandani anaknya untuk terakhir kalinya. Mereka menyisir

rambut pengantin laki-laki serta memakaikan jas pengantinnya kemudian

menyematkan hiasan bunga pada salah satu krah jas. Sedangkan pengantin laki-

laki sujud memohon restu dan ucapan terima kasih kepada kedua orang tuanya

yang telah menjaganya sampai ke jenjang pernikahan. Demikian pula dengan

keluarga pengantin wanita, kedua orang tua sibuk menyiapkan segala sesuatu bagi

anaknya yang akan meninggalkan rumah untuk bersatu dengan suaminya. Perias

pengantin mempercantik pengantin wanita, namun saat pemakaian mahkota serta

cadar penutup kedua orang tua yang akan melakukannya. Kedua orang tua

pengantin wanita juga menyisir rambut anaknya.

Gambar 5.2.2.4 Pengantin Wanita Yang Sedang Dirias Orang Tuanya

Dokumentasi: Sofwan, 2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 86: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

73

Pada saat demikianlah seorang pengantin wanita akan meneteskan air mata

haru, menyadari tidak lama lagi dia akan meninggalkan rumah serta kedua orang

tuanya. Sebagaimana pengantin laki-laki pengantin wanita juga sujud memohon

doa restu dan ucapan terima kasih pada kedua orang tuanya.

Gambar 5.2.2.4 Pengantin Tionghoa Sedang Memohon Doa Restu dan Ucapan Terima

Kasih Kepada Kedua Orang Tuanya

Dokumentasi: Sofwan,2018

Etnis Tionghoa di Padangsidimpuan juga melakukan upacara adat Batak

Angkola dalam proses pernikahannya yaitu adat mangupa, yang mana pengertian

mangupa itu sendiri ialah mempersembahkan dengan cara tertentu sesuatu yang

disebut upa-upa kepada orang-orang tertentu melalui suatu upacara adat (ritual

adat) dengan tujuan agar orang yang dipersembahi upa-upaitu memperoleh

berbagai kemaslahatan. Menurut tradisi masyarakat Batak Angkola, upacara

mangupa dalam rangka peresmian perkawinan, diselenggarakan di rumah orang

tua pengantin laki-laki, yakni dalam ruang depan rumah yang bersangkutan.

Ruang depan itu biasanya disebutpantar tonga(lantai bawah).

Pada waktu di pergunakan sebagai tempat upacara, dinding ruang depan

rumah , pada posisi yang disebut juluan dimana kedua pengantin disandingkan,

ditutup dengan kain hiasan yang disebut tabir. Bagian atas dari ruangan itu pada

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 87: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

74

posisi yang sama di tutup pula dengan kain hiasan yang disebut langit-langit.

Sebagian lantai ruangan biasanya dilapisi dengan ambal (permadani) dan tikar

pandan.Untuk tempat duduk tokoh-tokoh harajaon, hatobangon, dan Raja

Panusunan Bulung disediakan tikar adat yang dinamakan lage lapisan atau amak

lapisan yang terbuat dari anyaman daun pandan. Tempat duduk kedua pengantin

juga dilapisi dengan tikar adat yang sama. Tikar adat itu ada yang berlapis tiga

dan ada pula yang berlapis lima. Tikar yang terbanyak lapisannya disediakan

untuk tempat duduk tokoh-tokoh yang paling tinggi kedudukannya menurut

ketentuan adat, seperti Raja Panusunan bulung.

Seluruh peserta dan pemimpin upacara serta kedua pengantin yang akan

dipersembahi upa-upa (pangupa) duduk bersama-sama di atas lantai rumah yang

dilapisi dengan tikar. Disebelah kiri kedua pengantin duduk para perempuan yang

tergolong sebagai anak boru, disebelah kanan keduanya duduk para perempuan

kerabat dekat dari tuan rumah (orang tua pengantin laki-laki) bersama-sama

dengan kerabat mereka yang tergolong sebagai kahanggi. Dalam posisi termuka

yang tergolong sebagai kahanggi. Di hadapan kedua pengantin pada arah pintu

rumah duduk ayah pengantin laki-laki yang berkedudukan sebagai hasuhutun

(tuan rumah). Di sebelah kanannya duduk para kerabatnya yang tergolong sebagai

kahanggi dan disebelah kirinya duduk para kerabatnya yang tergolong sebagai

anak borudan pisang raut. Berhadapan dengan ayah pengantin laki-laki duduk

para tokoh harajaondan hatobangon, dan mora dari tuan rumah serta Raja

Panusunan Bulung dalam satu barisan. Biasanya Raja Panusunan Bulung duduk di

tengah, di sebelah kanannya tokoh harajaon dan di sebelah kirinya para tokoh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 88: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

75

hatobangon dan mora dari ayah pengantin laki-laki yang berkedudukan sebagai

tuan rumah (hasuhuton).

Kegiatan mangupa biasanya dilakukan setelah kedua pengantin selesai

mengikuti upacara patuaekkon tu tapian raya (mengarak kedua pengantin ke

tapian mandi di sungai) yang diselenggarakan pada saat matahari sedang naik.

Setelah kedua pengantin diarak kembali dari tepian mandi yang disebut tapian

raya bangunan di selenggarakanlah upacara mangupa dirumah orang tua

pengantin laki-laki.Upacara itu biasanya dilakukan pada waktu matahari masih

sedang naik atau belum tengah hari, kira-kira pukul 11.00 pagi. Pemilihan waktu

yang demikian itu didasarkan kepada keyakinan yang berisi harapan agar kedua

pengantin meningkat rezekinya seperti naiknya matahari pagi.

Adapun benda-benda yang digunakan dalam upacara adat mangupa dalam

tradisi masyarakat Batak Angkola terdiri dari:

1. Tiga butir telur ayam rebus yang telah dikupas (dinamakan pira manuk

na nihobolan) melambangkan harapan agar jiwa dan raga kedua

pengantin kebal (hobol) terhadap segala sesuatu yang tidak baik.

2. Nasi putih (dinamakan indahan na nidimpu atau indahan ribu-ribu)

melambangkan harapan agar kedua pengantin memperoleh hasil yang

banyak atau bertumpuk-tumpuk (dimpu) dan mendapat keturunan yang

banyak (hombang ratus-hombang ribu).

3. Sejemput garam (dinamakan sira sanjomput) melambangkan harapan

agar kedua pengantin mempunyai mata pencaharian yang baik dan

tidak pernah mengalami kekurangan makan. Juga melambangkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 89: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

76

harapan agar setiap perkataan yang disampaikan oleh keduapengantin

diterima baik oleh kerabat mereka.

4. Beberapa jenis ikan sungai berukuran kecil dan udang sungai serta

sayur daun singkong (yang keseluruhannya dinamakan ihan sayur)

melambangkan harapan agar kedua pengantin sayur matua bulung

atau hidup bahagia sampai tua beranak cucu.

5. Daging ayam (dinamakan manuk hatir atau manuk pogon)

melambangkan harapan agar kelak dikemudian hari kedua pengantin

senantiasa didampingi oleh putra mereka dan didampingi oleh kaum

kerabat mereka.

6. Hidung kerbau melambangkan isarat agar kedua pengantin senantiasa

bertindak dengan teliti dalam menjalani kehidupan.

Dalam pelaksanaannya kedua orang tua akan menyelempangkan Ulos

Batak Angkola atau Parompa sadung kepada kedua pengantin yang tujuannya

supaya kedua pengantin hidupnya sejalan (seiya sekata) dalam menjalani

tantangan kehidupan dalam rumah tangganya dan supaya kedua pengantin cepat

mendapatkan anak atau keturunan.Dapat dilihat pada gambar berikut ketika orang

tua menyelempangkan Ulos Batak Angkola atau Parompa Sadung kepada kepada

keduapengantin.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 90: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

77

Gambar 5.2.2.4 Kedua Orang Tua Menyelempangkan Ulos Batak atau Parompa Sadung

Kepada Kedua Pengantin

Dokumentasi: Sofwan, 2018

Gambar 5.2.2.4 Pengantin Etnis Tionghoa Sedang Melangsungkan

Adat Mangupa Batak Angkola

Dokumentasi: Sofwan, 2018

Melalui rangkaian kegiatan upacara yang dilakukan secara berurutan

seperti yang dikemukakan di atas dapatlah dilihat bahwa kegiatan upacara

mangupa dilakukan setelah selesai pelaksanaan Patuaekkon Boru atau Marpangir

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 91: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

78

Tu Tapian Raya .Dalam rangkaian upacara peresmian perkawinan yang terdiri

dari beberapa bagian, dapatlah dikatakan bahwa kegiatan mangupa merupakan

ritual yang menjadi puncak dari keseluruhan upacara.Karena setelah selesai

upacara mangupa, kegiatan yang dilakukan tinggal berupa penyampaian hata

marhobar-hobar (kata-kata nasihat untuk kedua mempelai) dan ucapan terima

kasih sebagai tahapan terakhir dari keseluruhan upacara meresmikan perkawinan.

5.2.3 Penabalan Marga

Dalam marga, etnis Tionghoa juga melakukan akulturasi dengan marga-

marga yang ada pada masyarakat Batak Angkola di kota Padangsidimpuan.

Mereka menabalkan marga dengan melakukan upacara adat Batak Angkola yang

di ketuai oleh pengetua adat yang ada di daerah tersebut. Dalam menabalkan

marga ini lembu harus dikurbankan (sesuai kesanggupan) dengan jumlah tertentu

oleh etnis Tionghoa yang akan menabalkan marga.

Menurut penelitian dan berdasarkan informasi dari informan (Olly Japar

Siregar, Ali Surya Siregar, Ahmad Rifai Harahap,) bahwa sebagian dari etnis

Tionghoa yang ada di Padangsidimpuan sudah mendapatkan marga, dari marga

Batak Angkola diantaranya adalah pemberian atau penganugerahan oleh

masyarakat setempat berdasarkan permintaan dari etnis Tionghoa. Kemudian ada

juga dalam proses perkawinan dengan etnis Batak Angkola atau umumnya si

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 92: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

79

gadis dari etnis Tionghoa sebelum kawin akan melaksanakan adat pemberian

marga (ditabatalkan) yaitu dengan menyembelih satu kerbau atau lembu (sesuai

kesanggupan yang akan ditabalkan marga). Contohya Fung Fa Lie yang

dibatalkan marganya menjadi Ali Surya Siregar begitu juga dengan Lim Pao Oei

yang ditabalkan menjadi Olly japar Siregar.

Pada waktu Olly Japar mau menikah dia bersama calon isterinya Nyo Lan

Ing mereka sama-sama menabalkan marga, Lim Pao Oei ditabalkan menjadi Olly

Japar Siregar sedangkan isterinya Nyo Lan Ing di tabalkan menjadi Nur Siti

Harahap. Proses penabalan marga dilakukan dengan menyembelih seekor kerbau

atau lembu (bagi yang sanggup) serta mengundang tetua adat, raja, cerdik pandai

untuk pabotohon(sebagai saksi) bahwa telah dilakukan sebuah upacara penabalan

marga terhadap seseorang sebagai suatu ke habsahan atas marga baru nya

tersebut.

Dalam prosesnya pengetua adat akan menyematkan kain ulos kepada

orang yang akan ditabalkan marga untuk menyatakan kesediaan orang tersebut

untuk menjadi etnis Batak Angkolasetelah itu pengetua adat akan menaburkan

beras kuning di atas kepala yang akan ditabalkan marga untuk pengharapan bahwa

jiwa raga yang bersangkutan telah menjadi jiwa etnis Batak Angkola. Setelah

selesai acara menaburkan beras kuning etnis Tionghoa yang ditabalkan marga

akan di arak melakukan tarian tor-tor dengan raja-raja Batak Angkola di daerah

Padangsidimpuan. Setelah selesai acara manortor maka ritual upacara penabalan

marga dinyatakan sah dan akan dilanjutkan dengan acara makan-makan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 93: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

80

Gambar 5.2.3 Gambar Pengetua Adat Menaburkan Beras

Diatas Kepala Fung Fa Lie (Ali Surya Siregar)

Dokumentasi: Sofwan, 2018

Gambar 5.2.3 acara tarian manortor etnis Batak Angkola

Dokumentasi: Sofwan, 2018

Jadi dari keterangan di atas masyarakat Tionghoa sudah menyatu dengan

masyarakat Batak Angkola di Padangsidimpuan dan kerukunan antar sesama etnis

Padangsidimpuan terjalin dengan baik khususnya antar masyarakat Tionghoa

dengan masyarakat Batak Angkola. Setiap menjelang lebaran yaitu hari besar

agama Islam, etnis Tionghia selalu memberikan sumbangan pada masyarakat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 94: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

81

Padangsidimpuan yang ekonominya lemah seperti fakir miskin dan anak-anak

yatim. Mereka selalu memberikan beras dengan jumlah yang cukup besar dan

memberikan makanan-makanan berupa supermi. Pada kejadian gempa yang

terjadi di Muara Sipongi Kabupaten Mandaling Natal (Madina) etnis Tionghoa

juga memberikan bantuan dana berupa uang, sandang dan pangan kepada korban

gempa. Mereka selalu cepat tangkap informasi tentang kejadian-kejadian musibah

yang menimpa masyarakat sekitarnya. Jiwa tolong menolong mereka sangat

besar, dari keterangan ini bisa kita lihat bahwa etnis Tionghoa Padangsidimpuan

sangat peduli pada masyarakat di sekitarnya khususnya masyarakat

Padangsidimpuan. Dari hal tersebut dapat dipastikan mengenai akulturasi budaya

masyarakat Tionghoa di Padangsidimpuan dapat dinyatakan berjalan dengan baik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 95: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

82

BAB VI

PENUTUP

6.1 Simpulan

Setelah penulis mempelajari dan meneliti tentang akulturasi budaya pada

masyarakat Tionghoa di kota Padangsidimpuan (Padangsidimpuan Utara), maka

dapatlah diambil kesimpulan bahwa setelah sampai di Padangsidimpuan

masyarakat Tionghoa dapat melakukan proses akulturasi budaya dengan

masyarakat setempat, yaitu dengan cara bersikap ramah tamah dan berkomunikasi

dengan masyarakat setempat dengan menggunakan bahasa Batak Angkola dan

bahasa Indonesia. Masyarakat Tionghoa di kota Padangsidimpuan juga

berasimilasi dengan masyarakat setempat, yaitu dengan tidak menciptakan

pemukiman Tionghoa (pecinan) sehingga masyarakat Tionghoa di tempat ini

membaur satu sama lain dengan masyarakat Batak Angkola.

Kemudian di tempat ini masyarakat Tionghoa juga menggunakan marga-

marga yang ada di kota Padangsidimpuan yaitu dengan melaksanakan upacara

adat (ritual adat) yang dihadiri oleh raja-raja dan tetua adat Batak Angkola, serta

melengkapi persyaratan yang telah ditetapkan oleh tetua adat untuk mendapatkan

sebuah marga yang diinginkan. Selain melalui proses perkawinan sebuah marga

juga bisa dimilki oleh seseorang atas dasar keinginannya sendiri. Disini

masyarakat Tionghoa juga melakukan kawin campur (amalgamasi) dengan

masyarakat Padangsidimpuan yaitu dengan memakai adat kedua belah pihak

yakni adat Batak Angkola dan adat etnis Tionghoa, tentunya juga dengan

melaksanakan upacara perkawinan sesuai dengan adat kedua pengantin. Dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 96: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

83

demikian diharapkan dapat terciptanya kerukunan antar etnis Tionghoa dengan

Batak Angkola dan etnis lainnya yang ada di kota Padangsdimpuan.

Masyarakat Tionghoa juga melakukan hubungan silaturrahmi dengan

masyarakat Padangsidimpuan misalnya dengan jiran tetangga, menghadiri

undangan pesta, syukuran dan terutama melayat kepala keluarga yang kemalangan

dengan memberikan sumbangan seiklas hati. Mereka juga setiap menjelang

lebaran memberikan sumbangan kepada fakir miskin dan etnis Tionghoa juga

memberikan sumbangan kepada masyarakat yang tertimpa musibah seperti

bencana alam.

Dalam hal makanan masyarakat Tionghoa juga melakukan adaptasi di

Padangsidimpuan. Daun ubi tumbuk yang merupakan ciri khas makanan etnis

Batak Angkola menjadi makanan yang mereka sukai. Ikan Mas yang di panggang

dengan berbagai macam masakan seperti ikan Mas yang “holat” dan lain-lain.

Etnis Tionghoa juga melakukan adaptasi dengan marga yang ada pada masyarakat

Batak Angkola, yang dilakukan berdasarkan upacara adat Batak Angkola di

Padangsidimpuan. Kemudian dalam hal agama pun orang Tionghoa juga

beradaptasi yaitu dengan memasuki/memeluk agama yang ada di

Padangsidimpuan khususnya agama Islam dan Kristen,

Jadi dari hasil penelitian tentang akulturasi budaya Tionghoa yang ada di

padangsidimpuan semuanya mereka sudah membaur dan menyatu dengan

masyarakat Padangsidimpuan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 97: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

84

6.2 Saran

Melalui penelitian ini diharapkan kepada pemerintah setempat agar

kiranya mengupayakan pelestarian terhadap pengembangan unsur-unsur budaya

yang ada di Padangsidimpuan dengan mengangkat nilai-nilai yang terkandung di

dalamnya sehingga dapat menunjukkan identitas dari unsur-unsur budaya yang

ada di Padangsidimpuan. Selain itu perlu kiranya kerja sama yang lebih efektif

berkesinambungan supaya unsur-unsur budaya yang ada di Padangsidimpuan

dapat dilestarikan.

Bagi etnis Batak Angkola sebagai etnis penetap yang telah lama tinggal di

Padangsidimpuan diharapkan mampu menerima dan berinteraksi lebih erat lagi

agar kerukunan kebudayaan terjalin dengan baik. Sebagai etnis pendatang,

diharapkan etnis Tionghoa mampu menerima kebudayaan yang ada di

Padangsidimpuan tanpa harus meninggalkan kebudayaan aslinya dan mampu

mengikuti peraturan yang telah ditetapkan di tempat tersebut. Terakhir

diharapakan pemerintah lebih mensosialisasikan tentang proses akulturasi

kebudayaan, agar kebudayaan-kebudayaan dari setiap etnis tidak luntur, dan tetap

mengenal kebudayaan-kebudayaan setiap etnis.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 98: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

85

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rodzik, Ali. 2008. Akulturasi Budaya Betawi Dengan Tionghoa. Jakarta:

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Aminuddin. 2001. Semantik “Pengantar Studi Tentang Makna”. Bandung: Sinar

Baru Algesindo.

Astrini. 2013. Akulturasi Budaya Cina dan Betawi dalam Busana Pengantin Wanita

Betawi. Jakarta Barat: Binus University.

Basyral, H. 2003. Pemerintah Kota Padangsidimpuan Menghadapi Tantangan

Zaman. Padangsidimpuan: Pemerintah Padangsidimpuan.

Berry, John W. 2011. Variations In The Assessmen Of Acculturation Attitudes:

Their Relationship With Psychological Well Being. Inggris: Cambridge

University Press.

Brownislaw. 1994. “Teori Fungsional Dan Struktutral,” dalam Teori AntopologiI

Koentjraningrat (ed.), 1987. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Devito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antarmanusia. Jakarta: Professional Books.

Dias & Greiner. 1998. Migration and acculturation. Washington, DC: American

Psychological association.

Giraldy Akbar, Muhammad. 2016. Aktivitas Komunikasi dalam Upacara Adat

Pernikahan Tionghoa, Bandung: Universitas Komputer Indonesia.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 99: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

86

Hidayat, Z M. 1977. Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia, Tarsito,

Bandung.

I Gusti.1997.Masalah Budaya dan Pariwisata Dalam Pembangunan. Bali:

Udayanan Press.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta: Rineka Cipta.

Kuntowijoyo. 2006. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Benteng.

Kwek. J.S. 2006. Mitologi China dan Kisah Alkitab. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Lasiyo. 1995. Ajaran Konfusianisme, Tinjauan Sejarah dan Filsafat. Lasiyo

(Editor), dalam Konfusianisme Di Indonesia: Pergulatan Menjadi Jati

Diri. Yogyakarta: Interfidei.

Liao, Sabrina. 2010. Chinese Astrology. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta:

LkiS.

Lubis, Andriani Lusiana. 2002. Penerapan Komunikasi Lintas Budaya Diantara

Perbedaan Kebudayaan. Sumatera Utara: Fisip.

Mulyana. 2006. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan

Orang-Oang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Roskarya.

Orshan.1996. Acculturation, Perceived Sicial Support, And Self-Esteem In

Primigravida Puerto Rican Teenagers. West J Nurs Res.

Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 100: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

87

Rudiansyah. 2017. Unsur Akulturasi Budaya Pada Rumah Tjoong A Fiedi Kota

Medan. Jatinangor: Universitas Padjadjaran.

Silalahi, Lidawani. 2015. Proses Akulturasi Antar Etnis Jawa Dan Etnis Batak Di

Desa Malasori Kecamatan Dolok Masihul Kebupaten Serdang Bedagai

Provinsi Sumatra Utara, Pekan Baru: Universitas Riau.

Singarimbun,M. dan Efendi, S.,(1985), Metode Penelitian Survei. Jakarta:LP3S.

Sofyan, T. 2003. Problem Dan Potensi Masyarakat Tionghoa Dalam Mengelola

Konflik Di Sumatera Utara. Jakarta: PT Raja Grafindo.

Soekanto Soerjono. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo.

Suryadinata, Leo. 1998. Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia. Jakarta:

Gramedia.

Suryanto, Markus. 1996. Mengenal Adat Istiadat Tionghoa. Jakarta:

PELKRINDO.

Twang, P. 2004. Elit Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan

1940-1950, Niaga, Jakarta.

Yusri, Alfian.2014.Statistik Daerah Kecamatan Paangsidimpuan Utara. Jakarta:

Badan Pusat Statistik Kota Padangsidimpuan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 101: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

88

Lampiran

Daftar Informan Etnis Tionghoan di Padangsidimpuan

No Nama L/P T.Tgl Lahir Agama Pekerjaan

1 Olly Japar

Siregar (Lim

Pao Oei)

L Padangsidimpuan, 5

November 1937 Budha Tenaga

Sosial

(Dokter)

2 Juliana (Yinni

Shangye

Nianjian)

P Padangsidimpuan, 3

Mei 1963 Khatolik Pegawai

Pemerintahan

Kantor Lurah

Wek II

3 Ampere Jaya

Alam (Meng

Tji Lai)

L Sibolga, 1 Januari

1966 Khatolik Sidimpuan

Optical

4 Sin Pin P Binjai, 28 Agustus

1966 Khatolik Sidimpuan

Optical

5 Ali Surya

Siregar (Fung

Fa Lie)

L Sipirok, 13 Agustus

1957 Budha Yunion Jaya

Onderdil

6 Hasitahari

Harahap

L Padangsidimpuan,

20 April 1968 Budha Makelar

Pulsa

7 Hendra

Gunawan

Siregar (Min

Jih Pao)

L Padangsidimpuan,

27 Desember 1962 Islam Kepala

Cabang Agen

Indomie

Sidimpuan

8 Jei Sitorus

(Tjeng Tjang

Tjiang)

L Porsea, 31 Agustus

1964 Budha Medan Fhoto

Studio

9 Iwan Siregar

(Coan)

L Padangsidimpuan, 2

Agustus 1977 Islam Elektronik

10 Asun Siregar

(Liem Tjwan

Ling)

L Padangsidimpuan,

27 Desember 1987 Islam Elektronik

Daftar Wawancara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 102: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

89

1. Bagaimana kedatangan Bapak/Ibu (etnis Tionghoa) ke Padangsidimpuan

apakah datang sendiri, di ajak orang, atau memang sudah ada keluarga

terlebih dahulu?

Jawaban: kalau masalah kedatangan saya kemari ya dari kecil saya

memang saya sudah disini kian, karena saya memang lahir disini.

2. Bagaimana sifat masyarakat Padangsidimpuan sewaktu pertama kali

Bapak/Ibu datang ke Padangsidimpuan (terbuka atau tertutup).

Jawaban: masyarakat yang ada di padangsidimpuan itu ramah dan baik ya,

dan itulah yang membuat saya betah tinggal disini.

3. Apakah di Padangsidimpuan ini Tionghoa totok masih ada? Atau mungkin

semuanya sudah peranakan?

Jawaban: saya kira masih ada, Cuma kayaknya sudah payah dicari karena

kebanyakan sudah campuran ataupun peranakan.

4. Bagaimana perasaan Bapak/Ibu selama ada di Padangsidimpuan? Apakah

masih merasa asing atau bagaimana?

Jawaban: oh tidak saya tidak merasa asing lagi disini karena ke ramah

tamahan masyarakat padangsidimpuan saya jadi merasa bagian dari

masyarakat padangsidimpuan dan saya juga sudah mempunyai marga

sama seperti masyarakat yang ada di padangsidimpuan.

5. Bagaimana cara Bapak/Ibu (etnis Tionghoa) beradaptasi terhadap etnis

Batak Angkola di Padangsidimpuan.

Jawaban: saya sering ke kedai kopi untuk bergaul dengan masyarakat yang

ada disini, saya juga sering berinteraksi bertegur sapa dengan masyarakat

yang ada disini.

6. Bahasa apakah yang Bapak/Ibu di rumah ( Cina, Indonesia, Batak

Angkola).

Jawaban: kalau sama anak saya saya lebih sering memakai bahasa

Indonesia dan bahasa Batak Angkola. Sedangkan sama istri saya sekali –

sekali pake bahasa hokien.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 103: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

90

7. Kalau sesama orang Tionghoa bahasa apa yang digunakan bapak/ibu?dan

juga bahasa apa yang digunakan etnis Tionghoa terhadap masyarakat

setempat.

Jawaban: saya melihatnya kadang-kadang tergantung umurnya kalau

misalkan orang nya sudah lanjut usia mereka lebih banyak menggunakan

bahasa hokien tetapi kalau orang nya masih muda paling tua umur 40 lah

mereka lebih banyak menggunakan bahasa batak angkola dan bahasa

Indonesia.

8. Kalau berkomunikasi dengan masyarakat batak angkola bapak /ibu

menggunakan bahasa apa?

Jawaban: ya sudah jelas pake bahasa Indonesia dan bahasa batak angkola

karena memang bahasa itu lah yang berlaku di padangsidimpuan ini.

9. Apakah etnis Tionghoa melakukan perkawinan campur dengan

masyarakat setempat? Kalau ya, adat apa yang dipakai dalam perkawinan

tersebut?

Jawaban: betul, istri saya boru siregar saya termasuk dong orang yang

mrelakukan pernikahan campur. Kalau mengenai adat yang dipakai

sekarang lebih bersifat gabungan ya, maksudnya gabungan antara adat

istiadat batak angkola dan adat istiadat etnis tionghoa, contoh nya dalam

adat istiadat batak angkola ada adat mangupa waktu pesta anak saya pun

ada adat mangupa nya.

10. Apakah Bapak/Ibu sebagai orang tua mengharapkan anak-anak etnis

Tionghoa menikah dengan masyarakat setempat atau harus sesama etnis

Tionghoa saja?

Jawaban: kalau saya pribadi ya tergantung anaknya. Saya tidak member

batasan selagi itu masih keinginan dia dan itu positif untuk dia.

11. Bagaimana proses nya supaya bapak/ibu bisa memiliki marga seperti

marga-marga yang ada di Padangsidimpuan?

Jawaban: tentunya dengan melakukan upacara ritual adat tentang

penabalan marga yang dimana lembu harus di kurban kan sesuai

kesanggupan yang akan ditabalkan marga. Dalam prosesnya tetua adat dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 104: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

91

raja-raja akan di undang untuk meresmikan upacara tersebut. Kemudian

dalam pelaksanaannya pengetua adat akan menyematkan kain ulos kepada

orang yang akan ditabalkan marga untuk menyatakan kesediaan orang

tersebut menjadi etnis batak angkola. Setelah itu pengetua adat akan

menaburkan beras kuning diatas kepala yang akan ditabalkan marga untuk

pengharapan bahwa jiwa raga yang bersangkutan telah menjadi jiwa raga

etnis batak angkola. Setelah itu yang bersangkutan akan di arak untuk

melakukan tarian tor-tor dengan raja-raja yang hadir pada hari itu. Setelah

selesai acara manortor maka ritual upacara penabalan marga dinyatakan

telah selesai dan biasanya akan dilanjutkan dengan acara makan-makan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 105: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

92

DOKUMENTASI

Wawancara dengan bapakHasitahari Harahap

Wawancara dengan bapak Olly Japar Siregar (Lim Pao Oei)

sebagai tetua adat etnis Tionghoa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 106: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

93

Wawancara dengan ibu Juliana (Yinni Shangye Nianjian)

Wawancara dengan Ampera Jaya Alam(Meng Tji Lai)beserta isterinya Sin Pin

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 107: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

94

Kantor Camat Padangsidimpuan utara

Wawancara bersama bapak Ahmad Rivai Harahap

selaku Lurah Kelurahan Wek II

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 108: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

95

Lie Kak pemimpin Etnis Tionghoa di Kota Padangsidimpuan bersama isterinya

Soun Boru Siregar

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 109: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

96

苏北大学

中文系本科生毕业论文

论文题目:印尼帕当西登普安华裔习俗的研究

学生姓名 : 马训湾

学 号 : 140710004

导师姓名 : 叶铧蒂

学 院 : 人文学院

学 系 :中文系

苏北大学中文系

2018 年 11 月 23 日

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 110: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

i

印尼帕当西登普安华裔习俗的研究

Muhammad Sofwan Nasution

140710004

摘要

本科毕业论文题为“印尼帕当西登普安华裔习俗的研究”。撰写本论文

的研究目的是解释在帕当西登普安市华人社区中发现的文化因素,并描述帕

当西登普安华人社区文化适应的要素。本研究中使用的方法是采用定性方法

的描述性分析方法。本研究中的数据收集技术基于实地研究,即观察,访谈

和文档。这项研究使用了 John Widdup Berry 的文化理论,这是关于他在文

化方面的研究。作者从这项研究中得到的结果是:(1)华人社区文化适应

的要素,即马达 Angkola 文化的文化适应因素,作者分析了语言,婚姻和宗

族在华人社区和马达 Angkola 社区之间播种。(2)通过分析,作者对马达

Angkola 社区关于宗族语言,婚姻和姓氏的华人社区文化适应性的分析可以

说是进展顺利。

关键词: 文化适应;华裔社会; 帕当西登普安市

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 111: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

ii

目录

摘要.................................................. i

目录................................................. ii

第一章 绪论.......................................... 1

1.1 选题背景........................................... 1

1.2 研究目的........................................... 2

1.3 研究现状........................................... 3

1.4 研究方法........................................... 4

第二章 概念.......................................... 5

2.1 文化............................................... 5

2.2 文化适应........................................... 7

第三章 在帕当西登普安华裔文化的适应.................. 9

3.1 帕当西登普安市华裔社区的文化因素................... 9

3.1.1 马达 Angkola 文化............................ 11

3.2 在帕当西登普安华裔文化适应的要素................... 12

3.2.1 语言......................................... 12

3.2.2 婚姻......................................... 13

3.2.3 氏族加冕礼................................... 20

第四章 结论与建议.................................... 22

4.1 结论............................................... 22

4.2 建议............................................... 23

参考文献.............................................. 24

致谢.................................................. 25

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 112: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

1

第一章 绪论

1.1 选题背景

众所周知,印度尼西亚社会在许多方面都是异质的,例如种族群体的多

样性、宗教、风俗习惯等等。另一方面,当今世界的快速发展和高度的动态

性使得世界走向了“地球村”的地球村,这是现代技术发展的结果,几乎没

有任何限制。因为社区(在广义上)必须准备好面对文化多样性背景下的新情

况(Lubis, 2002: 1)。

印度尼西亚由不同的民族组成,有着非常丰富的文化遗产。各种各样的

传统和习俗使印度尼西亚成为印度尼西亚的骄傲。印度尼西亚因其文化而富

有。通过同化和文化适应的过程,外国文化元素被纳入印度尼西亚,使这种

文化财富更加丰富。

文化适应是指两种或两种以上的文化相互融合的过程,在这一过程中原

始文化的元素仍然可见,而且不会消失。根据 Koentjaraningrat(2009:202)时

出现的文化适应是一个社会过程与特定文化是一群人面对外国文化的元素,

外国文化的元素逐渐接受并加工成文化本身不会造成损失的文化人格本身。

因此,文化适应意味着在不破坏或消除土著文化元素的情况下接受、管理外

来文化并将其与土著文化相结合。

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 113: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

2

从上面的解释,作者得出结论,当有人进入一个群体(在这种情况下,

中国人正在干涉婚姻),他是不可能避免接触群体成员(夫妇的家庭)。因为

婚姻不仅仅是两个个人之间的结合,而是两个家庭之间的结合。与伴侣家人

的接触会影响他的思维和行为。

在帕当西登普安市,华人社区采用友好的方式进行调整,并使用马达

Angkola 语言与当地社区进行沟通。华人社区也与当地社区同化,没有创建

中国人定居点(唐人街),因此这个地方的华人社区与当地社区相互交融。

然后在这个地方,华人社区还通过执行马达 Angkola 传统长老参加的传统

仪式(传统仪式)在帕当西登普安市使用部族,并完成习惯领导人为获得所

需部族而制定的要求。除了经历婚姻过程之外,一个氏族也可以根据自己的

欲望被某人拥有。在这里,华人社区也介入(合并)与帕当西登普安社区,

即利用双方的习俗,即马达 Angkola 的华人习俗。因此,预计将在帕当西登

普安市创造华人与达 Angkola 和其他民族之间的和谐。

1.2 研究目的

本研究中问题的表述如下:

1.在帕当西登普安市的华人社区中发现了哪些文化元素?

2.帕当西登普安市华人社区文化适应的要素是什么?

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 114: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

3

1.3 研究现状

Astrini (2013), 在他的期刊题为《Akulturasi Budaya Cina dan Betawi

dalam Busana Pengantin Wanita Betawi》在这本期刊中,作者解释了 Betawi

新娘婚纱中的中国文化和 Betawi 文化的文化适应因素。从他的研究成果来

看,它解释了中国文化对 Betawi 文化的影响,尤其是 Betawi 新娘的传统服

饰。Betawi 人自己清楚地理解他们在 Betawi 女性的新娘礼服中使用的符号

符号的含义。在新娘的衣服中也使用动物符号,这是中国帝国的典型象征,

即龙和凤凰。Betawi 人对自己的婚礼服装有自己的看法和自豪感,尤其是

Betawi 新娘的服装。他们认为,穿着带有凤凰和龙符号的婚纱的人会增加佩

戴它的人的权威。

Rodzik (2008), 在他的论文题为《Akulturasi Budaya Betawi dengan

Tionghoa (Studi Komunikasi Antar Budaya pada Kesenian Gambang Kromong di

Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah)》 在这篇论文中,

作者通过文化适应的几个传播变量来描述贝多瓦族与中国人发生的文化适应

过程。在社会交往过程的实施过程中,中国人被证明能够参与 Betawi 社会

文化生活,并开始更多地了解 Betawi 社会文化系统中的各种元素。两个民

族混合的结果反映在 Gambang Kromong 艺术的存在。

Rudiansyah (2017), 在他的论文题目中《Unsur Akulturasi Budaya pada

Rumah Tjong A Fie di Kota Medan》 在他的论文题目中, 在这篇论文中,作者

解释了棉兰城市中国家居建筑的概况,并解释了 Tjong A Fie 家族所包含的

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 115: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

4

文化元素。根据分析结果,在 Tjong A Fie 的房屋建筑中有马来和欧洲文化

建筑的元素。马来建筑的元素以装饰品的形式主宰建筑,而欧洲建筑的元素

在结构上主导了 Tjong A Fie 家的结构。

Silalahi (2015),在他的期刊题为《Proses Akulturasi Antar Etnis Jawa dan

Etnis Batak di Desa Malosari Kecamatan Dolok Masihul Kabupaten Serdang

Bedagai Provinsi Sumatera Utara》在这篇期刊中,作者解释了马拉索里村发

生的爪哇种族和巴塔克族之间的文化适应过程非常顺利。无论是在社会经济

和文化领域。在爪哇和巴塔克族群之间发生的这种文化适应过程也增加了两

个民族的知识,因为这两个民族可以从每个民族文化中学习。除此之外,马

拉索里村的文化适应进程顺利,没有冲突,马拉索里村社区最大限度地减少

了可能导致每个民族之间发生冲突的事情。

1.4 研究方法

在这项研究中,作者使用定性方法,使用描述性分析方法。首先描述

已获得的数据然后进行分析。仅暴露情境或事件。本研究不寻求或解释关系,

不检验假设或做出预测。描述性方法是注重观察和科学氛围(自然主义背

景)。在科学氛围中,研究人员希望直接参与其中(Rakhmat, 2000:24)。

在这项研究中,研究人员使用了数据收集技术,即观察,访谈和记录。

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 116: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

5

第二章 概念

2.1 文化

文化是非常广泛和最具人文意味的概念,简单来说文化就是地区人类

的生活要素形态的统称:即衣、冠、文、物、食、住、行等。给文化下一

个准确或精确的定义,的确是一件非常困难的事情。对文化这个概念的解

读,人类也一直众说不一。但东西方的辞书或百科中却有一个较为共同的

解释和理解:文化是相对于政治、经济而言的人类全部精神活动及其活动

产品。

汉科特・汉默里 Hammerly (1982)把文化分为信息文化、行为文化和

成就文化。信息文化指一般受教育本族语者所掌握的关于社会、地理、历

史、等知识;行为文化指人的生活方式、实际行为、态度、价值等,它是

成功交际最重要的因素;成就文化是指艺术和文学成就,它是传统的文化

概念。斯特恩 H. Stern(1992:208)根据文化的结构和范畴把文化分为广

义和狭义两种概念。广义的文化即大写的文化(Culture with a big C),狭

义的文化即小写的文化(culture with a small c)。

文化的哲学定义

文化的定义:文化是相对于经济、政治而言的人类全部精神活动及其

产品。文化是智慧群族的一切群族社会现象与群族内在精神的既有,传承,

创造,发展的总和。它涵括智慧群族从过去到未来的历史,是群族基于自

然的基础上所有活动内容。是群族所有物质表象与精神内在的整体。具体

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 117: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

6

人类文化内容指群族的历史、地理、风土人情、传统习俗,工具,附属物、

生活方式、宗教信仰,文学艺术、规范,律法,制度、思维方式、价值观

念、审美情趣,精神图腾等等

具体人类文化分为物质文化、哲学思想(制度文化和心理文化)这里

把非人类的智慧群族的文化称之为亚文化比较恰当一些。虽然它们具有人

类文化的共同点,但是一个本质区别是人类的自主价值与自主意志是完全

不同与其他智慧群族的。

文化既包括世界观、人生观、价值观等具有意识形态性质的部分,又

包括自然科学和技术、语言和文字等非意识形态的部分。文化是人类社会

特有的现象。文化是由人所创造、为人所特有的。文化是智慧群族的一切

群族社会现象与群族内在精神的既有,传承,创造,发展的总和。文化包

含着八大艺术和第九艺术其中中国文化烙印着民族与时代的特点,既有传

承又有发展,中国文化的主要内容是新时代的儒学思想。

人类传统的观念认为,文化是一种社会现象,它是由人类长期创造形

成的产物,同时又是一种历史现象,是人类社会与历史的积淀物。确切地

说,文化是凝结在物质之中又游离于物质之外的,能够被传承的国家或民

族的历史、地理、风土人情、传统习俗、生活方式、文学艺术、行为规范、

思维方式、价值观念等,它是人类相互之间进行交流的普遍认可的一种能

够传承的意识形态,是对客观世界感性上的知识与经验的升华。

海洋文化学者李二和早在《舟船的起源》和多篇文章中就曾指出:相

信随着历史的发展和时间推移,随着人类更理性地认识事物和探索世界,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 118: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

7

随着人类在科学文化上的逐步觉醒,人类会把文化辨析的更加清楚,进而

从更宽泛的生命文化谱系中更加的获益。李二和第一次将“文化”这个概

念引入到更开放、更宽容的生命思维高度,从而更真实的思考和解读文化。

作为一种对文化与生命的独特思考现象,已经引起社会各界的普遍关注。

在日常生活中,人们经常谈论文化,在日常生活中,人们无法应对文

化成就。 人们每天都看到它,使用甚至破坏文化结果。 文化问题实际上

是由文化人类学专门和更彻底地研究。 人类学家说文化是一个复杂的整体,

包括知识,道德艺术,法律,风俗以及社会成员的所有能力或习惯。为了

更容易解释文化,它通过描述特定文化中一群人的知识,艺术,道德,法

律,习惯,优势或习惯的细节(Alo,2003:10)。

文化是一种发展的生活方式,由社会共享,代代相传。文化由许多复杂

的元素组成,包括宗教,政 治,习俗,语言,工具,服装,建筑和艺术品

系统。语言和文化是人类不可分割的一部分,因此许多人倾向于认为它们是

遗传上遗传的。当有人试图与不同文化的人交流并调整他们的差异时,要证

明文化是学到的。文化是一种全面,复杂,抽象和广泛的生活方式。文化的

许多方面也决定了交际行为。社会文化因素得到传播,包括许多人类社会活

动(Mulyana, 2006: 25)。

2.2文化适应

文化适应是反映文化特性和文化功能的基本概念。主要指文化对于环

境的适应,有时也指文化的各个部分的相互适应。文化是人类社会特有的

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 119: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

8

现象,是人类为了满足自身的需求而创造出来的物质和非物质产品的总和。

美国文化人类学家 L.A.怀特认为,文化是特定的动物有机体用来调适自身

与外界环境的明确而具体的机制。文化对于环境的适应主要表现为工具和

技术适应、组织适应、思想观念适应这 3 个方面。

Redfiled(1936)定义:当不同文化群体的人们进行持续不断的直接接

触时,一方或双方的原文化类型所产生的变化称为文化适应。Berry (1990)

提出一个 文化适应模型,将文化适应分为四个类型:同化(assimilation),

分离(separation),融合(integration),边缘化(marginalization);并且

在研究文化适应过程中个体所面临的问题时提出了一个双维度文化适应模

型,将少数族群在文化适应过程中的问题归纳为 1)是否保持和发展源文

化的特征特性;2)是否倾向于同主导社会进行跨族群的交流来评估和建立

一个积极的关系。

文化适应是两种或两种以上文化的结合,这是由于一群具有特定文化的

人与具有不同文化的其他人群之间发生的相互作用。 从那里开始,原始文

化模式发生了变化,没有造成这些文化元素的丧失(Suryanto, 1996:117)。

文化适应是指通过接触或直接暴露于其他文化(例如,通过大众媒体)

来改变一个人的文化的过程。例如,如果一群移民然后居住在印度尼西亚

(宿主文化),他们自己的文化将受到该宿主文化的影响。渐渐地,来自寄

宿文化的价值观,行为方式和信仰越来越成为移民群体文化的一部分。与此

同时,宿主文化当然也在发生变化。但是,总的来说,移民文化的变化更大

(Joseph A Devito, 1997:479)。

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 120: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

9

第三章 在帕当西登普安华裔文化的适应

3.1帕当西登普安市华裔社区的文化因素

在接受 Olly Japar Siregar 先生(Lim Pao Oei)作为帕当西登普安市中国

传统长老之一的采访中,他解释说,在中国人到达帕当西登普安后,他们受

到了帕当西登普安社区的欢迎,因为帕当西登普安人有一个开放的性格对各

种族群体。来到帕当西登普安。这可以从居住在帕当西登普安的大量种族中

看出,例如:马达 Mandailing 族,马达 Toba 族群,Minangkabau 族群,爪

哇族,Nias 族,Aceh 族和马达 Angkola 族,他们是土着人民,在帕当西登

普安占多数人口。在华人族群抵达帕当西登普安之后,例如他是帕当西登普

安华人社区团体的领导人 Lie Kak,他展示了他所拥有的各种技能,如交易

和建立良好的关系,为帕当西登普安人民提供社交和闪亮的款待。Lie Kak

还通过中国男人和当地女人(帕当西登普安原住民)之间的婚姻建立了关系。

关于中国民族的习俗和传统,他们帕当西登普安的生活圈中使用它。例

如,在死亡,分娩,婚姻,宗族厚度和许多其他仪式的仪式上。但目前的情

况更多的是中国习俗与习惯传统的结合,适用于当地人民,特别是在行政,

服装和执行程序方面。

在佛教徒死亡的仪式上,华人在棺材前提供完整的食物设施,并且每天

只要尸体放在家里(尚未埋葬)就提供洗漱用品。此外,进行纸币燃烧是希

望有关精神在那里没有遇到困难。然后在穿衣中,悲伤的家庭通常穿着白色

的哀悼衣服(通常是布)并将其颠倒(穿针外)以表明家人正在悲伤。根据

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 121: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

10

与死者家属的关系,各种形式的悲伤,这种习惯是一种普通的景象,并且已

被华人所理解。只要遗体保存在家中,禁忌就很重要,也是在没有抗议的情

况下进行的。他们知道传统是世袭必须为中国人做的。禁止的是禁止在身体

前面提供面条和沙拉水果。目标是悲伤不会延长,家庭的未来在未来不会遇

到荆棘或荆棘的障碍。

在帕当西登普安父母的华人,在为孩子寻找生活伴侣时,父母不会强加

他们的意志。他们让孩子有自由决定他们潜在的伴侣。作为父母,他们只能

走向更好。在帕当西登普安有一个华人派对,邀请家人,亲戚和最亲近的人

一起庆祝。但也有一些人只是简单地庆祝。在婚姻方面,中国人在帕当西登

普安的主要优先事项是他们的孩子穿越家庭方舟的快乐。

在继续结婚的申请中,新郎的家人给了红包(用红纸包着的钱)两部分。

一种被称为厨房用钱,它代替了女性所产生的费用,另一种被称为新娘的母

亲作为牛奶钱。

`然后在一个充满风俗和传统的中国民族婚礼。在新郎家里,父母双方

(如果两人都完整的话)将最后一次帮助他们的孩子。他们梳理新郎的头发,

穿上新娘的衣服,然后在其中一件西装上钉上花朵装饰。当新郎为了感谢他

的父母照顾他的婚姻水平而牺牲了他的祝福。与新娘的家人一样,父母双方

都忙着为孩子准备一切,这些孩子将离开家与丈夫团聚。新娘化妆美化新娘,

但戴上皇冠和面纱时,父母会这样做。新娘的父母也梳理着孩子的头发。

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 122: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

11

3.1.1 马达 Angkola 文化

从上面对话的节选中可以看出,孙中山对中国的褒扬、赞赏、自豪,努

力维护祖国的美名。孙中山在声明中说,中国拥有大量的自然资源,中国银

行提供了新的资本,中国有大量的铁路。孙中山的这句话是对中国的爱的特

征之一,是对自己民族的赞美或骄傲,也是对自然美景的欣赏和维护民族的

美名。据信,中国的财富能够带来现金。这使得孙中山越来越想恢复国家的

尊严,中国曾因清朝的行为而丧失。

马达 Angkola 人的习俗通常被称为 dalihan natolu,因为基于习惯规则

的各种活动的实施,例如各种仪式的实施,必须得到马达 Angkola 社会系统

的三个功能元素的支持,称为 dalihan natolu(三个支持)。社会系统的三个

功能要素是 dalihan natolu 的转移,每个转移称为 mora,kahanggi 和 anak

boru。莫拉是一个在婚姻中具有处女地位的家庭成员。kahanggi 是一个后代

或一个氏族的成员。Anak boru 童是在婚姻中接受童贞的亲属的成员。在具

有 mora 身份且具有 anak boru 身份的亲属之间存在亲缘关系(婚姻),以及

其他具有 kahanggi 身份的亲属存在阴谋或血缘关系。

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 123: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

12

3.2 在帕当西登普安华裔文化适应的要素

正如前面在概念框架中所解释的,跨文化自我调整的指标针对的是帕当

西登普安华裔民族的文化适应问题,研究人员将讨论在马达 Angkola 社区的

华人社区中的文化适应问题帕当西登普安。在这里,将更深入地探讨文化适

应的要素,从几个文化元素,即语言,婚姻和宗族播种。

因此,研究人员将语言置于第一顺序,因为它涉及他们与帕当西登普安

人民交流的方式。 在使用马达 angkola 语言和印度尼西亚语言来沟通华人

社区,以适应帕当西登普安市的马达 Angkola 民族。

3.2.1 语言

在帕当西登普安市的中国人中有三种语言,即马达 Angkola 语言和印度

尼西亚语作为马达 Angkola 社区交流的语言,然后是中国语言作为帕当西登

普安市的华人交流语言。印度尼西亚语是语,的官方语言由帕当西登普安市

的华人社区主导,无论是中国人还是土生华人。当地语言,即马达 Angkola

语言,在帕当西登普安很好地由中国人控制,因为除了印度尼西亚语之外,

当地语言也是帕当西登普安市华人社区日常互动的语言。

马达 Angkola 语言和印尼语通常在与当地社区和其他家庭成员交流时,

在日常互动中使用。 中国老年人在家中和中国的关系中使用更多的中国人,

但他们理解马达 Angkola 语言,而他们在与当地人交流时使用的是印尼语

和马达 Angkola 语言。

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 124: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

13

根据的研究,可以得出结论,在印度尼西亚语言和马达 angkola 语言成

为了帕当西登普安中华人马达 Angkola 之间进行交流的连接语言。因此,可

以宣称,在帕当西登普安的中国文化适应过程中使用语言的因素进展顺利。

3.2.2 婚姻

混合婚姻通常被称为融合,这意味着族群之间的婚姻,但合并实际上可

能比仅仅同化更具广泛意义。在印度尼西亚,种族群体之间的混合婚姻被认

为是加速适应和同化过程的有益因素之一(Soekanto, 1982:220)。 有关

种族间的婚姻是中国族裔的婚姻,其中包括帕当西登普安的马达 Angkola 族,

这是自中国人来到帕当西登普安以来发生的。

婚礼之前的准备事项

1. 聘礼:婚前男方要将娶亲的聘礼送到女方家,每个地方送的种类都不

相同:广东风俗送活鸡、椰子、喜饼和礼金,鸡寓意生机勃勃,椰子

寓意有长有幼,尽享天伦之福,喜饼是用来让女方送亲戚的,礼金则

象征着娶方多金,暗示着新娘嫁过去可以享福,让女方家放心。

2. 回礼:收到聘礼女方要给回礼,有的地方女方家会给订婚戒指,有的

地方会给槟榔,有一郎到尾的意思。

3. 安床:在结婚的前一天晚上,要由女方家出一个家庭和睦、父母双全、

又育有儿子的男丁安装婚房里的婚床,再将寓意早生贵子的四品:核

桃、莲子、红枣、花生铺在新床上面。

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 125: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

14

4. 嫁妆:女方家会给新娘准备带去婆家的嫁妆,全部放在红色的箱子中

交给新娘。

5. 上头:婚礼举行前一晚,要选择一个吉时拜神求平安幸福,而且男方

也要在同一个时间在自家那边拜。

6. 梳头:新娘梳妆打扮的时候,会请一位有福气的长辈来给新娘梳头,

寓意跟安床的道理相似。

7. 吃汤圆:汤圆,寓意团圆美满,祝福新人可以圆满成婚。

婚礼当天的仪式

1. 迎亲:,男方要带着迎亲队伍来女方家接亲。接新娘绝对算得上是整

个婚礼的一大高潮。首先要“入门”。新郎要想顺利接得新娘归,可

不是进门带出那么容易,要通过姊妹群的考验,不光是智力要好,体

力要好,若有要求还得唱情歌,说情话,但这些都不是最重要的,给

红包才有可能打动新娘的姊妹们,这就是所谓的开门红包。婚礼当天

的上午而且新郎还要用花球去迎娶新娘(新娘不可自制花球)。

2. 找红鞋:新郎进门后也不能马上带走新娘,还要在新娘的房间里找到

准备好给新娘的红色婚鞋,帮新娘穿上后才可以带走新娘。

3. 敬茶:两位新人要向双亲跪拜,奉茶直到长辈喝下才能站起来(以前

的习俗是,新人在女方家时要站着奉茶,因为还未到男家拜见翁姑。

不过现在讲究没有这么多了,两边都跪拜以示同样的尊重。

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 126: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

15

4. 撑红伞、撒米:新娘新郎出门的时候,要由伴娘撑红伞陪同,而且要

同时往路旁撒米,意思是不要让鸡啄到新娘。

5. 绕吉祥路:新人上迎亲车后不能直达目的地,必须绕当地所有吉祥路

名的路开一圈。

6. 过门:即指新娘被接到男方家后,拜见翁姑及男家其他长辈的习俗。

7. 婚礼:跟西式婚礼蕾丝,在酒店举行仪式,请司仪主持婚礼仪式。

8. 敬客:婚礼仪式结束后,酒宴正式开始,待到上鱼的时候,新娘要换

上传统的龙凤褂跟新郎一起向每桌客人敬茶,客人都要说些祝福的话。

9. 入洞房:新郎新娘会带要好的朋友一起去新房参观,或者做些闹洞房

的娱乐。小编提醒大家在闹洞房的时候不要太过哦,喜事搞得不愉快

就不好了。

10. 三朝回门:指在结婚后的第三天,新娘由丈夫陪同回娘家,要带上

烧全猪和礼物等回去见女方父母,并且要祭祖。

总的来说,可以看出,在帕当西登普安华人社区的盛行婚姻马达

Angkola 举行了混合婚姻。 那些仍然是土着和当地土着土生华人的人,反

之亦然。 根据 Olly Japar Siregar 先生的说法,现在的实施更多地是中国民

族习俗和马达 Angkola 民族习俗的结合,特别是在组织方面。在这项研究中

将解释中国民族婚礼仪式与帕当西登普安的马达 Angkola 的阶段。

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 127: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

16

3.2.2.1 好日子的确定

确定一天的过程在新娘家完成。如果媒人得到积极回应,那么双方就可

以确定申请和结婚事件的好日期和月份。这个日期是在看到新娘和新郎的出

生日期以及当天是否被新娘的 Shio 困扰后确定的。在没有问题之后,它将

继续进行下一次游行,即 Sangjit 游行。

3.2.2.2 Sangjit 游行

在中国的民族传统中,Sangjit 最初是一个确定婚姻的好日子,日期和时

间的事件。 但随着时间的推移,Sangjit 计划更多地被新娘和新郎投降。 这

对游行是每对中国夫妇在婚礼上的重要游行。 做了 sangjit 的合适时间可以

由了解约会问题的家长咨询。

Sangjit 通常在结婚前 1 个月至 1 周举行,并在白天 10:00 至 13:00 WIB

举行,然后是午餐。 中国习俗在每个神圣时刻都坚持正确日历的重要性。

应选择小时,天和月。 通常一切都很年轻,即:太阳垂直前几小时; 这一

天取决于中国月份的计算,而好月份是满月之前或之前的月份。 还必须与

双方的家属讨论这个问题。

3.2.2.3 婚礼仪式

在洗澡结束后的仪式结束前的早晨,新郎必须穿白色衣服。虽然由一位

仍然满是家人的近亲从头到头梳理了 3 次,但也说了这三句话:先梳“一起

生活直到白发”。第二梳子“有后代祝福”。第三梳“和谐家庭。在完成早

晨的仪式后,是时候举行仪式了。仪式开始时为祖先祈祷,以便请求允许举

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 128: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

17

办活动,之后家人和两个新娘和新郎享用蛋糕盘,这标志着活动将顺利进行,

就像滚球一样。

在帕当西登普安的中国民族婚礼派对中,这很容易,在新郎的家庭(如

果两者仍然完整)将最后一次打扮他们的孩子。他们梳理新郎的头发,穿上

新娘的衣服,然后在其中一件西装上钉上花朵装饰。新郎跪拜他的祝福,并

感谢他的父母照顾他的婚姻水平。与新娘的家人一样,父母双方都忙着为孩

子准备一切,这些孩子将离开家与丈夫团聚。新娘化妆美化新娘,但使用皇

冠和面纱时,父母双方都会这样做。新娘的父母也梳理着孩子的头发。

图 3.1 : 在父母面前的新娘

在这样的时候,新娘会流下情感的泪水,意识到她很快就会离开家和她

的父母。 就像新娘的新郎也为了他的父母而牺牲了他的祝福。

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 129: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

18

图 3.2 :中国新娘呼吁对父母的祷告和感恩

在帕当西登普安的华人也在婚姻过程中表演了马达 Angkola 的传统仪

式,即 mangupa 的习俗,其中 mangupa 本身的意义是以某种方式通过传统

的仪式向某些人提供一种叫做 upa-upa 的东西(习惯仪式)的目的是提供仪

式的人获得各种好处。根据马达 Angkola 人的传统,婚礼开始的 mangupa 仪

式在新郎父母的房子里举行,在有关房屋的前室。前庭通常被称为 pantar

tonga(楼下)。

Mangupa 活动通常是在两位新娘完成之后,在太阳升起时举行的

patuaekkon tu tapian raya 仪式(游行新娘沐浴在河中)之后进行的。两名新

娘从名为 Tapian Raya Bangunan 的浴室边缘游回后,Mangupa 仪式在新郎父

母的家中举行。仪式通常在太阳升起或不在正午时,早上 11 点左右完成。

这种时机基于一种信念,即包含希望新娘和新郎增加收入,例如早晨的太阳

升起。

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 130: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

19

在实践中,父母双方都会将 Ulos 马达 Angkola 或 Parompa sadung 带到

这两位新娘身上,这两位新娘的目的是让两个新娘都能在家中生活,并让新

娘和新郎快速生孩子后代。当父母将 Ulos 马达 Angkola (Parompa Sadung)带

到两个新娘身上时,可以看到下图。

图 3.3 : 两个老人在两个新娘中生存马达 Ulos 或 ParompaSadung

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 131: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

20

3.2.3 氏族加冕礼

在氏族中,中国人也适应马达 Angkola 社区的氏族。 他们通过执行由

该地区土着长老主持的马达 Angkola 传统巴塔克仪式来放置部落(购买一

个氏族)。在铺设这个氏族时,必须由播种该氏族的中国人以一定的数量牺

牲牛(根据能力)。

根据该研究并根据线人(Olly Japar Siregar,Ali Surya Siregar,Ahmad

Rifai Harahap)提供的信息,帕当西登普安的一些华人获得了部族,其中马

达 Angkola 部族正在给予或授予他们。当地社区基于中国人的民族需求。

然后还有与马达 Angkola 族或一般来自华裔的女孩在交配之前的婚姻过程将

执行通过屠宰水牛或牛(根据播种的能力)给予氏族的习俗)。例如,被他

的家族取消的 Fung Fa Lie 成为了 Ali Surya Siregar 以及 Lim Pao Oei(Olly

Japar Siregar)。

在这个过程中,传统的领导人会将溃疡布附在将要由该家族播种的人身

上,以宣布该人愿意成为一名安哥拉族人的巴塔克人,之后传统的长老们将

黄色的米饭撒在该家族为其播种的头上。希望身体的灵魂成为马达 Angkola

的民族灵魂。节目结束后,洒完中国民族黄米,该家族被告知是阿拉克人在

帕当西登普安地区与马达 Angkola 国王共舞。在完成了畜牧业计划后,播

种该族的仪式被宣布为有效,之后将进行一顿饭。

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 132: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

21

图 3.4 : 播种水稻的习俗长者的图像在冯法烈头上方(Ali Surya Siregar)

因此,从以上信息来看,华人社区已经与帕当西登普安的马达 Angkola

社区联合起来,帕当西登普安已经建立起来,特别是华人社区和马达

Angkola 社区之间的和谐。 。每次在开斋节开始之前,中国人总是为像穷

人和孤儿一样经济弱势的帕当西登普安人做出贡献。他们总是提供大量的大

米,并提供超级食物。在 Muara Sipongi 发生的地震中,中国的 Mandaling

Natal 区也向地震灾民提供金钱,衣物和食物等方面的经济援助。他们总能

快速掌握有关周围社区灾难事件的信息。灵魂,请他们帮助他们是非常大的,

从这个信息我们可以看出,中国民族帕当西登普安真正关心周边社区,特别

是社区帕当西登普安。由此可以确定,帕当西登普安的中国文化的文化适应

能够被证明是有效的。

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 133: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

22

第四章结论与建议

4.1 结论

笔者在帕当西登普安市对华人社区的文化适应性进行研究和研究后,可

以得出结论,到达帕当西登普安后,华人社区可以与当地社区进行文化适应

过程,即 友好,并使用马达 Angkola 语言和印度尼西亚语与当地社区沟通。

帕当西登普安市的华人社区也与当地社区同化,即不创建中国定居点,以便

在这个地方的华人社区与马达 Angkola 社区相互交融。

然后在这个地方,华人社区也在帕当西登普安市使用氏族,即进行传统

仪式(传统仪式),由土着马达 Angkola 的国王和长老参加,以及完成习惯

长老的要求 获得所需的氏族。除了经历婚姻过程之外,一个氏族也可以根

据自己的欲望被某人拥有。在这里,华人社区也介入(合并)与帕当西登普

安社区,即利用双方的习俗,即马达 Angkola 传统和中国民族风俗,当然也

可以按照两个新娘的习俗进行婚礼。因此,预计将在帕当西登普安市创造华

人与马达 Angkola 和其他民族之间的和谐。

华人社区也与帕当西登普安 的人民建立了友好关系,例如与周边邻居,

参加聚会邀请,感恩节,特别是悼念悲惨的家长,慷慨捐款。 他们也分别

在 Lebaran 为穷人做出贡献之前,华人也为受自然灾害等灾害影响的人们做

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 134: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

23

出贡献。因此,从他们所有人都存在的中国的文化适应研究结果来看,他们

与帕当西登普安 朋社区融为一体。

4.2 建议

通过这项研究,预计当地政府将通过提高其中所包含的价值,努力保持

帕当西登普安文化元素的发展,使其能够展现出帕当西登普安文化元素的特

征。 此外,有必要进行更有效的可持续合作,以保持帕当西登普安的文化

元素。对于马达 Angkola 人来说,他们是长期居住在帕当西登普安的定居

者,他们希望能够更接近地接触和互动,从而确保文化和谐。作为一个移民

族群,预计中国人将能够接受帕当西登普安的文化,而不必离开原有的文化,

并能够遵守该地区的规定。最后,希望政府更多地关注文化适应过程,使每

个民族的文化不衰落,并保持对各民族文化的熟悉。

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 135: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

24

参考文献

[1] Guāngmíng wǎng(光明网)。质疑《现代汉语词典》对文化、文明的定

义。2015。

[2] Liaokaishun (廖开顺)。印度尼西亚客家的文化生态与文化适应[J]河南科

技大学学报(社会科学版).2014。

[3] Lǐ èr hé(李二和)。《中国水运史-舟船的起源》。北京:新华出版社。

2003。

[4] Luō gāng(罗钢)。文化研究读本:中国社会科学出版社。2000。

[5] Rénmín wǎng(人民网)。人民日报整版文章探讨“当今世界文化发展

趋势及其应对”2015。

[6] Rénmín wǎng(人民网)。人民日报大家手笔:中华文化是个大包容概

念。2015。

[7] Xīnhuá wǎng(新华网)。全面认识传统文化的内涵 。2015。

[8] Yanzhinan (闫志楠).中俄结婚礼仪的异同。[J] 文华中横谈。2012。

[9] 中国社会科学出版社。跨文化传播与适应研究[M]。安然,2011。

[10] Alo. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar budaya. [M].

Yogyakarta: LkiS.

[11] Astrini. 2013. Akulturasi Budaya Cina dan Betawi dalam Busana Pengantin

Wanita Betawi.[S]. Jakarta Barat: Binus University.

[12] Devito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antar manusia. [M]. Jakarta:

Professional Books.

[13] Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. [M].Jakarta: Rineka

Cipta.

[14] Lubis, Andriani Lusiana. 2002. Penerapan Komunikasi Lintas Budaya

diantara Perbedaan Kebudayaan [S]. Sumatera Utara: Fisip.

[13] Mulyana. 2006. Komunikasi Antar budaya: Panduan Berkomunikasi dengan

Orang-Orang Berbeda Budaya. [M]. Bandung: RemajaRoskarya. Abdul

[14] Rodzik, Ali. 2008. Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghoa [S].Jakarta:

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

[15] Rudiansyah. 2017. Unsur Akulturasi Budaya Pada Rumah Tjong A Fie di

Kota Medan.[T]. Jatinangor: UniversitasPadjadjaran.

[16] Silalahi, Lidawani. 2015. Proses Akulturasi Antar Etnis Jawa Dan Etnis

Batak Di Desa Malasori Kecamatan Dolok Masihul Kebupaten Serdang

Bedagai Provinsi Sumatra Utara.[S]. PekanBaru: Universitas Riau.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 136: AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA

25

致谢

首先本文要对耶稣基督感谢给了本人身体健康写好论文,本文的大学生

活也将结束了。写论文的过程中,本人得到了不少新的知识、新的经验。本

人能完成这篇论文得到了很多人的帮助,尤其是老师们的帮助。本文想借此

机会感谢曾经帮过我的人,即:叶铧蒂老师和 Rudiansyah 老师,作为本文

的导师,在百忙之中愿意抽时间来询问论文的情况,给本人建议、思想、细

心指导、开拓研究思路。本人还要感谢苏北大学中文系的老师们。

同时,本人要感谢亲爱的家人一直鼓励并支持。本文还要感谢中文系

2014 级的同学们,亲爱的好朋友,由于你们的鼓励这篇论文会顺利,写完

多谢你们的帮助而支持。最后,还要感谢所有帮助过我和关心过我的人。忠

心的说一声“谢谢”。希望本文会给读者带来帮助。

马训湾

2018 年 11 月 23 日

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA