23

Click here to load reader

XKH0 Identifikasi Nilai Ekonomi Hutan Lindung

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: XKH0 Identifikasi Nilai Ekonomi Hutan Lindung

AGRITEK VOL. 17 NO. 4 JULI 2009 ISSN. 0852-5426

IDENTIFIKASI NILAI EKONOMI HUTAN LINDUNG SUNGAI WAIN (HLSW) DAN KONTRIBUSINYA BAGI PENDAPATAN MASYARAKAT SEKITAR

(Identification of Economic Value of the Sungai Wain Protected Forest (HLSW) and Its Contribution to the Community Income)

R u j e h a nDosen Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, Samarinda

ABSTRACT

Sungai Wain protected forest (HLSW) is one among the protected forests in East Kalimantan. This forest ecosystem have give various economic benefit to support life for Balikpapan’s community generally and specially for local community. Its forest benefit the obtainable suchness of direct exploiting from biological and ecology values, and also from indirect exploiting through farming. Purpose of this research is to identify the benefit values of HLSW ecosystem for local community and how big do economic contribution which give it as supporting of their income. This research is executed in administrative territory of Balikpapan East Kalimantan, specially in sub-district of Karang Joang. Responden as obyek of this research is local community which exploit the area of HLSW. Research result shown, that biological values which exploited by the local community is wood for the firewood, nipah leaf, rattan and bamboo. Whereas from ecology value the exploited is water from well, small river and basin (waduk). Furthermore, farming patterns which have been made such as swidden agriculture (ladang), fruits garden and Agroforestry. Economic contribution to the income of local community given from exploiting of forest and land is equal to 54.17%, so that their social economic backing still depend on ecosystem of HLSW.

Keyword: protected forest, economics benefit value, income contribution, local community

ABSTRAK

Hutan lindung sungai wain (HLSW) adalah satu diantara hutan-hutan lindung yang ada di Kalimantan Timur. Ekosistem hutan ini telah memberikan berbagai manfaat ekonomi untuk menunjang kehidupan dan penghidupan masyarakat Kota Balikpapan umumnya dan khususnya bagi masyarakat setempat. Manfaat-manfaat yang dimaksud dapat diperoleh dari pemanfaatan langsung berupa nilai-nilai biologi dan ekologi, serta dari pemanfaatan tidak langsung melalui usaha tani. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi nilai-nilai manfaat ekosistem HLSW bagi masyarakat setempat dan seberapa besar kontribusi ekonomi yang diberikannya sebagai penunjang pendapatan. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah administratif Kota Balikpapan Propinsi Kalimantan Timur, khususnya di kelurahan Karang Joang Balikpapan Utara. Target responden sebagai obyek penelitiannya adalah masyarakat setempat yang memanfaatkan kawasan HLSW. Hasil penelitian telah menunjukkan, bahwa nilai-nilai biologi yang dimanfaatkan masyarakat setempat adalah kayu untuk kayu bakar, daun nipah, rotan dan bambu. Sementara dari nilai ekologi yang dimanfaatkan adalah air yang bersumber dari sumur, sungai kecil dan waduk. Selanjutnya pola-pola usaha tani yang dilakukan adalah berupa ladang, kebun buah-buahan dan kebun campuran. Kontribusi ekonomi terhadap

717

Page 2: XKH0 Identifikasi Nilai Ekonomi Hutan Lindung

AGRITEK VOL. 17 NO. 4 JULI 2009 ISSN. 0852-5426

pendapatan yang diberikan dari hasil-hasil pemanfaatan hutan dan lahan sangat berarti yaitu sebesar 54,17%, sehingga kehidupan dan penghidupan masyarakat setempat masih tergantung dengan ekosistem HLSW.

Kata kunci: hutan lindung, nilai manfaat ekonomi, kontribusi pendapatan, masyarakat setempat

PENDAHULUAN

Pada dekade terakhir ini telah terbukti bahwa tekanan terhadap hutan disebabkan tidak hanya oleh pertumbuhan penduduk yang memerlukan ruang dan bahan untuk hidup, namun juga oleh perubahan sistem sosial. Perubahan sistem sosial masyarakat tadinya memandang hutan itu sebagai sum-berdaya alam untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif (subsistens) sudah beralih menjadi produktif (komersial). Berubahnya sistem ini sebagai konsekuensi dari meningkatnya akses infomasi di masyarakat sehingga berdampak ber-ubahnya sikap masyarakat yang cenderung menganggap sumberdaya alam merupakan potensi untuk meningkatkan pendapatan.

Demikian halnya terhadap Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) yang terletak di wilayah administratif Kota Balikpapan Propinsi Kalimantan Timur dengan luas 9.783 hektar juga tidak luput dari tekanan penduduk. Tekanan ini melalui dari berbagai bentuk aktivitas yang tentunya berdampak kepada kerusakan ekosistem hutan yang akan menjadi masalah dalam pelestariannya. Manfaat dari kawasan lindung ini seringkali terlupakan bahkan tidak dicerminkan dalam berbagai bentuk timbal balik yang memadai melalui upaya pelestarian ekosistem kawasan, sehingga berpotensi menurunkan nilai-nilai ekosistem yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai ekosistem yang dimaksud dapat berupa nilai-nilai biologi dan ekologi serta melalui usaha tani yang bermanfaat bagi penghidupan dan kehidupan terutama terhadap masyarakat setempat. Nilai-nilai ini memberikan kontribusi yang berharga bagi pendapatan masyarakat tersebut

dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup. Fakta di lapangan, bahwa nilai-nilai tersebut mulai terasa potensi dan kualitasnyanya sudah menurun. Hal ini dikarenakan kurangnya kesadaran berbagai pihak termasuk masyarakat setempat untuk memberikan penghargaan terhadap kawasan lindung. Padahal manfaat-manfaat yang diberikan oleh HLSW tidak hanya diperoleh oleh masyarakat setempat tetapi juga sangat besar dukungannya bagi pembangunan daerah, khususnya dibidang perekonomian. Berbagai manfaat yang dapat langsung dirasakan oleh masyarakat umum maupun industri pengolahan minyak yang ada di kota Balikpapan, misalnya sumberdaya air yang dihasilkan oleh kawasan. Sumberdaya ini ber-kontribusi memasok suplai air sekitar 40% kebutuhan air kota Balikpapan (Harian Kaltim Post, 26 Oktober 2008).

Melalui penelitian ini, maka akan dicoba melakukan identifikasi nilai-nilai manfaat apa saja dari HLSW dan sejauhmana kontribusinya bagi kehidupan dan penghidupan khususnya terhadap masyarakat setempat. Dengan demikian tujuan penelitian ini adalah; (1) mengidentifikasi pemanfaatan hutan dari nilai-nilai biologi dan ekologi langsung, serta bentuk dan hasil usaha tani melalui penggarapan lahan oleh suatu komunitas masyarakat setempat, (2) menghitung nilai kontribusi ekonomi dari masing-masing nilai pemanfaatan hutan dan lahan ekosistem HLSW bagi masyarakat setempat sebagai penunjang pen-dapatannya.

METODE PENELITIAN

718

Page 3: XKH0 Identifikasi Nilai Ekonomi Hutan Lindung

AGRITEK VOL. 17 NO. 4 JULI 2009 ISSN. 0852-5426

Penelitian ini dilaksanakan di ke-lurahan Karang Joang Balikpapan Utara. Sebagai obyek penelitiannya adalah masyarakat setempat yang ada di sekitar HLSW. Sedangkan waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan April 2009 sampai dengan bulan Oktober 2009 (± 7 bulan).

Sampel dalam penelitian ini ialah berupa sampel responden dari masyarakat setempat (yang memiliki akses ke hutan). Pengambilan sampel tersebut dilakukan secara terpilih (purposive sampling). Pertimbangan penggunaan cara ini dikarenakan tidak semua masyarakat setempat yang memanfaatkan kawasan hutan sebagai penunjang pendapatannya. Dari jumlah populasi yang ada sebanyak 1.392 KK, hanya 462 KK saja yang terlibat memanfaatkan kawasan tersebut atau sekitar 33 % dari pupolasi tersebut.

Tentang besarnya sampel, Soekartawi (1995) menyatakan tergantung dari tingkat homogenitas populasi. Jika kondisi populasi homogin, maka masalah jumlah sampel tidak menjadi persoalan. Tetapi jika kondisi populasi heterogin, maka jumlah sampel harus cermat dan tepat. Sementara Parel et al. (1973) menyatakan bahwa jumlah sampel (n) dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan: n = jumlah sampel s2 = ragam; N = populasi; d2 = galat yang diinginkan; Z = nilai Z dari tabel Z .

Berdasarkan hasil perhitungan jumlah sampel dengan menggunakan rumus tersebut, maka telah didapatkan hasil sebanyak 174 sampel responden dari komunitas masyarakat setempat. Sehingga diharapkan dari jumlah sampel tersebut

menjadi refresentasi masyarakat setempat khususnya bagi yang memanfaatkan kawasan HLSW.

Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini ialah data primer dan data sekunder. Data primer atau data utama dapat dikumpulkan dari para responden terpilih baik dari masyarakat setempat maupun parapihak lain, melalui teknik wawancara langsung yang dipandu kuesioner yang dirancang dengan format terstruktur dan semi-terstruktur (structured interview and semi-structured interview). Disamping itu data utama juga dikumpulkan melalui observasi langsung ke lapangan (field observation) dengan cara dokumentasi atau mencatat kondisi biofisik ekosistem kawasan sesuai tujuan penelitian. Sedangkan data sekunder atau data penunjang dikumpulkan dari berbagai lembaga yang telah diidentifikasi, yaitu Unit Pelaksana Badan Pengelola HLSW dan Kelurahan Karang Joang. Untuk melengkapi data penunjang yang dimaksud juga telah dikumpulkan melalui studi kepustakaan, informasi yang bersumber dari jurnal/laporan penelitian (media cetak dan elektronik/internet).

Data hasil identifikasi dan inventarisasi nilai-nilai biologi dan ekologi serta nilai hasil usaha tani masyarakat setempat di analisis secara deskriptif kuantitatif. Upaya analisis disini untuk melihat seberapa banyak pemanfaatan nilai-nilai tersebut untuk menunjang kebutuhan hidupnya. Selanjutnya, kontribusi ekonomi pemanfaatan ekosistem HLSW terhadap pendapatan masyarakat setempat dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Kontribusi Ekonomi Hutan = (Total Pendapatan dari Unsur Pemanfaatan Hutan Total)/ (Pendapatan dari Semua Unsur Pendapatan) X 100%

HASIL DAN PEMBAHASAN

719

n = NZ2 s2

Nd2 + Z2s2

Page 4: XKH0 Identifikasi Nilai Ekonomi Hutan Lindung

AGRITEK VOL. 17 NO. 4 JULI 2009 ISSN. 0852-5426

Identifikasi Nilai-nilai HLSW yang Termanfaatkan

Hutan sebagai suatu ekosistem dapat memberikan nilai manfaat bagi kehidupan masyarakat setempat. Berdasarkan penelitian nilai-nilai HLSW yang dapat diperoleh terdiri dari; nilai pemanfaatan langsung dan nilai pemanfaatan tidak langsung. Nilai dari pemanfaatan langsung dapat berupa nilai biologi (biologycal benefit) dan nilai ekologi (ecologycal benefit). Sedangkan nilai dari pemanfaatan tidak langsung yaitu melalui penggarapan

lahan dalam bentuk kegiatan usaha tani masyarakat. Dari kedua jenis bentuk pemanfaatan tersebut di atas, ada sejumlah masyarakat yang memanfaatkan nilai-nilai yang ada secara tunggal (single use), misalnya hanya memanfaatkan nilai ekologi saja ataupun nilai yang lain, dan ada pula yang memanfaatkannya secara ganda (multiple use), misalnya nilai biologi dan nilai ekologi maupun sekaligus melakukan usaha tani. Kondisi ini dapat digambarkan dalam bentuk diagram Venn seperti yang tersaji pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Venn Pemanfaatan Nilai-nilai HLSW oleh Masyarakat Setempat

Dari Gambar 1 di atas menunjukkan bahwa nilai-nilai HLSW masih memiliki potensi yang cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat setempat. Berdasarkan dari diagram Venn tersebut terdapat sebesar 30% dari masyarakat setempat memanfaatkan kawasan HLSW secara ganda terhadap ketiga nilai-nilai

yang ada (biologi, ekologi dan usaha tani). Selanjutnya pemanfaatan ganda antara nilai biologi dan nilai ekologi sebesar 23%, sedangkan pemanfaatan ganda antara nilai ekologi dan nilai usaha tani hanya terdapat 9% saja dari masyarakat setempat. Namun ternyata pemanfaatan ganda antara nilai

Nilai Biologi (0%)

Nilai Ekologi (39%)

Nilai Usaha Tani(0%)

30%

0% 9%

23%

720

Page 5: XKH0 Identifikasi Nilai Ekonomi Hutan Lindung

AGRITEK VOL. 17 NO. 4 JULI 2009 ISSN. 0852-5426

biologi dan nilai usaha tani tidak ditemukan di masyarakat setempat HLSW.

Jika dilihat dari pemanfaatan secara tunggal terhadap nilai-nilai yang ada tersebut, hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat setempat yang memanfaatkan nilai ekologi kawasan sangat dominan bahkan mencapai 100%, kemudian diikuti dengan pemanfaatan nilai biologi yaitu sebanyak 52,57%, dan pemanfaatan lahan melalui usaha tani sebanyak 38,29%.

Pemanfaatan Langsung (Nilai-nilai Biologi dan Ekologi)

Nilai biologi yang dimanfaatkan masyarakat setempat diantaranya berupa kayu untuk kayu bakar, daun nipah untuk atap dan rotan serta bambu sebagai barang komplementer pembuatan atap daun tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, jumlah dan nilai masing-masing produk (khususnya kayu bakar dan atap daun) yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dalam setahun terakhir (tahun 2008) adalah rata-rata: (1) kayu bakar sebesar 394 ikat per KK per tahun atau setara dengan pendapatan sebesar Rp.1.958.630,43; dan (2) daun nipah sebanyak 5,6 ikat (1 ikat = 25 kilogram) per KK per tahun atau setara dengan pendapatan sebesar Rp.58.695,65. Kecilnya pendapatan dari daun nipah ini dikarenakan masyarakat yang

mengusahakan hanya sebesar 4% saja. Sedangkan nilai rotan dan bambu sebagai barang komplementer pembuatan atap daun sudah diperhitungkan ke dalam nilai atap tersebut. Sehingga jumlah pendapatan dari nilai biologi keseluruhan produk tersebut adalah sebesar Rp.2.017.326,08,- per KK per tahun.

Pemanfaatan kayu bakar yang telah diperoleh dari hutan oleh masyarakat setempat disamping bertujuan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif atau untuk memasak juga bertujuan produktif atau dijual (lihat Tabel 1). Penjualan kayu bakar hanya pada kalangan terbatas dilingkungan masyarakat tersebut. Demikian juga halnya atap dari daun nipah diproduksi untuk tujuan produktif yang juga dijual hanya pada kalangan terbatas sebagaimana konsumen kayu bakar. Atap daun nipah yang dibeli oleh sebagian masyarakat tersebut pada umumnya digunakan untuk membangun pondok sekaligus sebagai rumah tempat tinggal yang berada di dalam kawasan hutan lindung dan juga untuk para peternak ayam yang digunakan untuk membangun kandang ayamnya. Namun produk rotan dan bambu disamping sebagai barang komplementer atap daun nipah juga dimanfaatkan untuk tujuan lain, yaitu untuk rotan bisa sebagai alat pengusir hama (kera), sedangkan untuk bambu bisa sebagai turus tanaman yang bersifat merambat.

Tabel 1. Jenis-jenis Produk dari Nilai-nilai Biologi yang dipungut/dimanfaatkan oleh Masyarakat Setempat (Sekitar HLSW) Berdasarkan Kategorinya

Jenis ProdukKategori

Produktif Konsumtif

Kayu bakar √ √

Daun nipah √Rotan √ √Bambu √ √

Disamping nilai biologi yang diciptakan oleh kawasan tersebut, maka kawasan ini juga berperan sebagai pencipta

nilai ekologi. Nilai ekologi yang dimanfaatkan langsung oleh masyarakat setempat adalah berupa air. Sumber air

721

Page 6: XKH0 Identifikasi Nilai Ekonomi Hutan Lindung

AGRITEK VOL. 17 NO. 4 JULI 2009 ISSN. 0852-5426

yang diperoleh melalui sumur (gali dan bor), sungai dan waduk. Khusus air dari waduk, penyaluran   ke rumah-rumah penduduk difasilitasi oleh PT. Pertamina. Distribusi jumlah masyarakat tersebut yang memanfaatkan air kawasan jika di lihat dari sumber perolehannya adalah sumur 62,29%, sungai 13,14% dan waduk 36,57%. Disini menunjukkan adanya dominasi pemanfaatan air yang berasal dari sumur, dimana hal ini dikarenakan

disamping belum masuknya air dari PDAM ke wilayah masyarakat setempat, dan sementara sumber air dari waduk yang difasilitasi PT. Pertamina hanya dapat disalurkan ke satu RT saja, yaitu RT. 36. Pemanfaatan sumber-sumber air tersebut sebagian besar masyarakat melakukannya secara kombinasi. Gambar 2 berikut menunjukkan diagram Venn pemanfaatan air kawasan HLSW oleh masyarakat setempat dari sumber yang berbeda.

Gambar 2. Diagram Venn Pemanfaatan Air oleh Masyarakat Setempat Menurut Sumbernya.

Berdasarkan hasil penelitian, bahwa volume pemanfaatan air kawasan HLSW oleh masyarakat setempat adalah rata-rata sebanyak 179,85 meter kubik per KK per tahun atau rata-rata 44,96 meter kubik per orang per tahun (rata-rata 1 KK = 4 orang). Volume air yang termanfaatkan tersebut setara dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 5.817.472,41 per KK per tahun.

Sehingga peran ekologi HLSW sebagai penunjang ekonomi masyarakat setempat dapat dikatakan cukup berarti, dan hal ini baru dilihat dari sisi hutan sebagai penyedia air saja. Padahal perlu diingat bahwa peran ekologi hutan yang lain masih lebih banyak yang belum ternilai.

Sumur(Gali dan Bor)

50,29%

Sungai

1,71%

Waduk

36%

0,57%

0%

11,43%

0%

722

Page 7: XKH0 Identifikasi Nilai Ekonomi Hutan Lindung

AGRITEK VOL. 17 NO. 4 JULI 2009 ISSN. 0852-5426

Nilai-nilai Penggarapan Lahan Kawasan (Usaha Tani)

Kebutuhan konsumsi yang semakin tinggi ini, sementara masyarakat setempat di kawasan HLSW masih mengalami keterbatasan pendapatan, maka upaya dalam bentuk penggarapan lahan hutan menjadi salah satu alternatif untuk menutupi kekurangan pendapatan keluarga. Upaya penggarapan lahan oleh masyarakat setempat melalui 3 (tiga) pola, yaitu pola ladang, pola kebun buah-buahan dan kebun campuran. Pola-pola penggarapan lahan tersebut memiliki pengertian yang berbeda-beda. Ladang adalah lahan kering yang ditanami tanaman musiman dan penggunaannya hanya semusim atau dua musim, kemudian akan ditinggalkan bila sudah tidak subur lagi. Berdasarkan referensi Harjadi (1979) dalam Lestari (2006) mengatakan bahwa sistem ladang merupakan sistem yang paling sederhana, pengelolaan tanah sangat sedikit, produktivitas berdasarkan pada lapisan humus tertentu dari sistem hutan. Sistem ini hanya akan bertahan di daerah yang berpenduduk jarang dengan sumber tanah atau lahan yang tidak terbatas. Tanaman yang diusahakan umumnya adalah tanaman pangan yaitu padi, jagung maupun umbi-umbian. Sementara sistem kebun merupakan bentuk penggarapan lahan yang sedikit berbeda dengan sistem ladang. Tanaman yang ditanami pada sistem kebun adalah tanaman semusim atau tanaman tahunan dan terpisah dengan halaman sekitar rumah serta penggunaannya tidak berpindah-pindah. Dalam sistem kebun di wilayah HLSW terdiri dari kebun buah-buahan dan kebun campuran. Kebun buah-buahan dapat berupa tanaman keras (tahunan) dan atau berupa tanaman semusim. Sedangkan kebun campuran merupakan perpaduan antara tanaman keras dan tanaman semusim dalam sebidang lahan. Hal ini sejalan dengan pendapat Affandi (2002) menyatakan bahwa stratifikasi pada kebun campuran lebih komplek, karena terdiri

dari campuran tanaman keras dan tanaman semusim.

Dari berbagai pola penggarapan lahan di atas sebagaimana dikemukakan terdahulu bahwa setiap keluarga memiliki luasan lahan yang sangat bervariasi. Luasan lahan garapan yang dimiliki berkisar mulai dari kurang dari 1 ha, 1-2 ha dan lebih dari 2 ha. Perbedaan kepemilikan luas lahan tergantung kepada kemampuan anggota masyarakat setempat menggarap lahan yang tersedia. Dari hasil penelitian ternyata 62,69% dari jumlah masyarakat setempat memiliki lahan garapan dengan luasan 1-2 ha. Dominasi masyarakat yang memiliki kisaran luasan tersebut menunjukkan rata-rata kemampuan masyarakat mengelola lahan garapan untuk usaha tani. Kondisi seperti ini didukung dengan hasil penelitian terhadap masyarakat dayak di beberapa wilayah Kabupaten Kutai Barat, bahwa rata-rata kemampuan setiap KK untuk membuka lahan baru usaha tani ladang maksimum 2 ha (Nanang M. and G.S. Devung, 2004). Disamping itu kemampuan masyarakat setempat (sekitar HLSW) juga sangat berkaitan dengan pengaruh munculnya alternatif pekerjaan lain yang dianggap lebih efisien dilakukan, seperti berdagang, sektor jasa, kesempatan pegawai negeri/swasta dan lain-lain.

Ketentuan izin pemanfaatan luasan lahan yang dikeluarkan oleh Badan Pengelola HLSW berdasarkan pada izin yang diajukan oleh masing-masing anggota masyarakat tersebut yang tentunya sesuai dengan kemampuannya menggarap lahan. Demi kelestarian sumberdaya alam dan kemampuan rata-rata setiap KK menggarap lahan, maka Badan Pengelola HLSW membatasi luas lahan yang diajukan tidak boleh lebih dari 2 ha, khususnya untuk pembukaan lahan berupa semak belukar. Jika menginginkan luasannya lebih dari itu maka hanya diberikan izin khusus berupa izin pemungutan hasil hutan dengan syarat bahwa lahan tersebut sudah produktif jadi hanya tinggal merawat dan mengambil

723

Page 8: XKH0 Identifikasi Nilai Ekonomi Hutan Lindung

AGRITEK VOL. 17 NO. 4 JULI 2009 ISSN. 0852-5426

hasilnya serta dilarang memperluas atau membuka lahan baru. Berikut disampaikan perbandingan luasan lahan

pemanfaatan dari kawasan HLSW menurut pola pemanfaatannya seperti yang terlihat pada Gambar 3.

16,54%

28,89%

54,58%

0

10

20

30

40

50

60

Ladang Kebun Buah-buahan Kebun Campuran

Bentuk Pemanfaatan Lahan

Gambar 3. Grafik Distribusi Luasan Pemanfaatan Lahan di dalam Kawasan HLSW Menurut Pola Pemanfaatannya

Dari Gambar 3 di atas menunjukkan bahwa usaha pemanfaatan lahan dalam bentuk kebun campuran ternyata paling dominan jika dibandingkan dengan bentuk pemanfaatan lahan yang lain (ladang dan kebun buah). Kondisi ini mirip dengan hasil penelitian Lestari (2006) di wilayah Hutan Lindung Bontang (HLB) yang menyatakan bahwa pola kebun adalah yang paling dominan dilakukan oleh masyarakat setempat (sekitar HLB) yaitu sebanyak 46,83%, kemudian diikuti pola ladang 34.05% dan sawah 15,87%. Alasan ini berkaitan dengan keinginan masyarakat setempat memperoleh pendapatan dari usaha tani yang dilakukannya secara berkesinambungan, dan pola kebun termasuk kebun campuran sangat memungkinkan untuk itu. Dalam kebun campuran disamping menanam dari jenis-jenis tanaman semusim yang dapat dipanen dalam jangka pendek dan setiap saat, juga menaman dari jenis-jenis tanaman tahunan

seperti buah-buahan yang diharapkan dipanen pada musimnya. Hal ini sebagai konsekuensi adanya pertumbuhan populasi penduduk yang setiap tahun semakin bertambah dan ini terbukti pada tahun 2004 populasi penduduk setempat 1.042 KK dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 1.392 KK (naik 33,6 %). Dengan kondisi luasan lahan yang terbatas sehingga hal tersebut akan mempengaruhi pilihan bentuk pemanfaatan lahan dan jenis tanaman ke arah yang lebih efisien dan efektif. Dengan kata lain mengupayakan pemanfaatan lahan seoptimal mungkin. Disini tentunya pola kebun khususnya kebun campuran bisa diandalkan untuk itu.

Disamping mereka bercocok tanam melalui berbagai pola tersebut juga melakukan usaha ternak pada lokasi lahan yang sama. Namun usaha ternak yang dilakukan ini hanya untuk konsumsi sendiri (konsumtif). Berdasarkan hasil penelitian terhadap masing-masing pola

724

P ro p or

si

Page 9: XKH0 Identifikasi Nilai Ekonomi Hutan Lindung

AGRITEK VOL. 17 NO. 4 JULI 2009 ISSN. 0852-5426

penggarapan lahan (ladang, kebun buah-buahan dan kebun campuran), bahwa komoditas-komoditas yang diusahakan dari kegiatan bercocok tanam tersebut tidak

hanya untuk tujuan produktif tetapi juga untuk tujuan konsumtif. Hal ini secara rinci dapat dilihat dalam Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 2. Jenis Tanaman yang ada di Ladang

Jenis TanamanKategori

Produktif KonsumtifPadi (Oryza sativa) √Kacang panjang (Vigna unguiculata) √Buncis (Phaseolus vulgaris) √Semangka (Citrullus vulgaris Schrad.) √Lombok (bara/acar, keriting) (Capsicum frutescens) √Tomat (Lycopersicum esculenta) √Mentimun (Cucumis sativus) √Terong (Solanum melongena) √Pisang (maulin, ambon, susu, raja, sanggar, palembang, tanduk) (Musa paradisiaca) √Nanas (Ananas comusus Pennel) √Jagung (Zea mays) √Bayam (Amaranthus sp.) √Sawi (Brassica chinensis) √

Dari Tabel 2 di atas terlihat bahwa hampir semua jenis tanaman yang ditanam diarahkan untuk tujuan produktif. Dari jenis-jenis tanaman yang ada, hanya satu jenis tanaman yaitu padi (Oryza sativa) yang ditanam di ladang untuk memenuhi kebutuhan sendiri (bersifat konsumtif). Hal ini dikarenakan bahwa tujuan utama

masyarakat setempat menanam padi adalah dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok keluarga berupa pangan. Sudah merupakan tradisi di masyarakat tradisional di Kalimantan Timur bahwa bila mereka menanam padi selalu hanya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif.

Tabel 3. Jenis Tanaman yang ada di Kebun Buah-buahan

Jenis TanamanKategori

Produktif Konsumtif

Salak (Salacca zalacca) √ √

Semangka (Citrullus vulgaris Schrad.) √Pisang (maulin, ambon, susu, raja, sanggar, palembang, tanduk) (Musa paradisiaca) √ √

Elai (Durio kutejensis) √ √

Jeruk (Citrus aurantifolia) √

Rambutan (Nephelium lappaceum) √ √

725

Page 10: XKH0 Identifikasi Nilai Ekonomi Hutan Lindung

AGRITEK VOL. 17 NO. 4 JULI 2009 ISSN. 0852-5426

Sementara jenis-jenis tanaman yang ditanam di kebun campuran secara rinci tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4. Jenis Tanaman yang ada di Kebun Campuran

Jenis TanamanKategori

Produktif Konsumtif

Tomat (Lycopersicum esculenta) √Lombok (bara/acar, keriting) (Capsicum frutescens) √Buncis (Phaseolus vulgaris) √Kacang panjang (Vigna unguiculata) √Pare (Momordica charantia) √Mentimun (Cucumis sativus) √Gambas (Luffa acutangula) √Durian (Durio zibethinus Mur.) √ √Rambutan (Nephelium lappaceum) √ √Sukun (Arthocarpus communis) √ √Karet (Hevea brasiliensis) √Salak (Salacca zalacca) √ √Kecapi (Sondoricum koetjape (burm.F.) merr) √ √Sagu (Metroxylou sp.) √

Pisang (maulin, ambon, susu, raja, sanggar, palembang, tanduk) (Musa paradisiaca) √ √Cempedak (Arthocarpus integer) √ √Nangka (Arthocarpus integra (Thumb)) √ √Langsat (Lansicum domesticum) √Petai (Parkia speciosa) √Singkong (Monihot utilissima) √ √Daun sop (Apium graveolens) √Kelapa (Cocos nucifera) √ √Sawi (Brassica chinensis) √Kemiri (Aleurites moluccana) √Kopi (Coffea arabica) √ √Elai (Durio kutejenis) √ √Padi (Oryza sativa) √Sahang (Piper ningrum) √Jagung (Zea mays) √Mangga (Mangifera indica) √Laos (Alpinia galanga) √

Serai (Evodia suaveolens) √

Namun demikian halnya usaha di atas, juga masyarakat setempat mengoptimalkan pemanfaatan lahan melalui usaha ternak.

Jenis ternak yang diusahakan masyarakat setempat dalam kawasan lahan usaha tani disajikan dalam Tabel 5.

726

Page 11: XKH0 Identifikasi Nilai Ekonomi Hutan Lindung

AGRITEK VOL. 17 NO. 4 JULI 2009 ISSN. 0852-5426

Tabel 5. Jenis-jenis Ternak yang Diternakkan pada Lahan Usaha Tani berdasarkan Kategori Produktif dan Konsumtif

No. Jenis TernakKategori

Produktif Konsumtif1. Ayam kampung √2. Ayam jantan (pesaung) √3. Kambing √4. Ikan Mas √ √5 Ikan Nila √ √6 Ikan Gurame √ √

Usaha ternak yang dilakukan masyarakat tersebut terdapat di semua pola pemanfaatan lahan (ladang, kebun buah-buahan dan kebun campuran). Dengan melihat kategori tujuan (lihat Tabel 5), maka hampir semua ternak yang diusahakan untuk tujuan produktif. Sehingga tentunya usaha ini memberikan kontribusi untuk menunjang pendapatan masyarakat setempat.

Kontribusi Ekonomi HLSW bagi Masyarakat Setempat

Dari nilai-nilai biologi, ekologi dan penggarapan lahan kawasan telah mem-berikan kontribusi ekonomi yang ber-variasi. Kontribusi ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan nilai biologi tidak terlalu berarti, yaitu hanya 8,38 % saja dari rata-rata total pendapatan masyarakat atau rumah tangga sebesar Rp.39.890.885,87 per tahun. Kecilnya nilai kontribusi ter-sebut dikarenakan jumlah jenis dan volume nilai biologi yang dipungut sedikit, yaitu hanya kayu bakar, daun nipah, rotan dan bambu sebagaimana telah dikemukakan terdahulu. Apalagi hal ini tidak banyak dari individu-individu masyarakat setempat yang memanfaatkannya. Padahal jika dibandingkan dengan wilayah lain seperti Taman Nasional Kayan Mentarang

(TNKM), dimana masyarakat setempat lebih banyak memanfaatkan komponen nilai biologi (HHNK) yang ada di wilayah tersebut. Hasil penelitian Uluk, Sudana dan Wollenberg (2001) menyebutkan di antaranya; sumber makanan, sumber obat-obatan, sumber bahan bangunan, sumber penghasilan uang tunai, untuk upacara dan kebudayaan, dan sumber bahan baku untuk perlengkapan sehari-hari termasuk mem-peroleh kayu bakar. Sehingga jika dinilai kontribusinya tentu akan lebih besar proporsinya jika dibandingkan dengan proporsi kontribusi nilai biologi HLSW yang dimanfaatkan masyarakat setempat. Perbedaan jumlah jenis atau komponen nilai biologi yang dimanfaatkan tersebut tentu ada kaitannya dengan nilai-nilai budaya setempat. Masyarakat sekitar HLSW didominasi oleh masyarakat pen-datang (bugis, jawa, banjar dan lain-lain) yang memiliki latar belakang budaya yang cenderung pudar, sementara masyarakat sekitar TNKM sebagian besar merupakan masyarakat dayak (suku asli kalimantan) yang tentunya memiliki latar belakang budaya yang cenderung masih mengikat.

Individu-individu masyarakat setem-pat sekitar HLSW yang memanfaatkan nilai biologi yang dimaksud cenderung pada kelompok keluarga miskin. Hal ini seperti dikemukakan terdahulu bahwa

727

Page 12: XKH0 Identifikasi Nilai Ekonomi Hutan Lindung

AGRITEK VOL. 17 NO. 4 JULI 2009 ISSN. 0852-5426

rentang pendapatan terendah adalah paling dominan memanfaatkan sumberdaya hayati hutan (nilai biologi), yaitu sebesar 48,91%. Hasil penelitian Nugroho, B.T.A., N.K.E. Undaharta dan M. Siregar (2008) terhadap masyarakat sekitar wilayah Bedugul-Pancasari Bali yang menyatakan bahwa tingkat pendapatan masyarakat dapat mempengaruhi pemanfaatan sumberdaya hayati hutan. Sehingga kondisi tersebut mengindikasikan kemiskinan menjadi alasan untuk memanfaatkan kawasan ter-sebut untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Sementara nilai ekologi langsung berupa air yang dimanfaatkan untuk me-nunjang kebutuhan hidup cukup merata. Dari hasil perhitungan kontribusi total nilai ini telah menunjukkan angka sebesar 20,22% sebagai dukungan ekonomi keluarga. Namun nilai ini belum mem-pertimbangkan nilai ekologi lain yang bersifat tidak langsung seperti nilai karbon (O2) yang dihasilkan hutan, nilai jasa hutan sebagai pengatur tata air, pencegah erosi dan tanah longsor, nilai kesuburan tanah hutan dan sebagainya. Padahal berdasarkan hasil estimasi Greenomics Indonesia dan Tropenbos Indonesia (TBI) untuk nilai guna tak langsung Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) Kalimantan Timur seluas 35.350 hektar dapat mencapai Rp.1,4 triliun per tahun (Anonymous, 2006). Sehingga jika nilai-nilai jasa HLSW juga diperhitungkan, maka tentu akan memberikan nilai kontribusi yang lebih besar lagi, dan bah-kan bukan tidak mungkin akan mem-berikan nilai dukungan yang sangat signifikan bagi penghidupan dan kehi-dupan keluarga atau masyarakat setempat.

Berkenaan dengan hasil kegiatan usaha tani pada tahun 2008, menunjukkan, bahwa pendapatan rata-rata yang diperoleh oleh masyarakat adalah sebesar Rp.56.132.395,52 dengan pendapatan yang tertinggi sebesar Rp.445.255.000,- dan yang terendah sebesar Rp.432.000,-. Na-mun jika varian distribusi pendapatannya sedikit diperkecil, maka ada 2 (dua)

kelompok masyarakat berdasarkan jumlah pendapatan yang diperolehnya, yaitu (1) kelompok masyarakat yang memiliki pendapatan usaha tani di bawah 100 juta rupiah; dan (2) kelompok masyarakat yang memperoleh pendapatan di atas 100 juta rupiah. Untuk kelompok yang pertama telah memberikan pendapatan rata-rata sebesar Rp.25.282.483,-, sementara kelompok yang kedua sebesar Rp.283.650.500,-. Adanya perbedaan distribusi pendapatan ini berkaitan dengan upaya usaha tani yang dilakukan setiap individu masyarakat setempat, yaitu antara lain pengaruh dari luasan lahan yang dimanfaatkan, jenis tanaman yang ditanam, lamanya melakukan usaha tani serta tingkat pengetahuan atau pengalaman sebagian masyarakat yang masih rendah dalam berusaha tani terutama masyarakat yang baru mulai melakukan kegiatan tersebut. Selain itu motivasi bisnis dalam melakukan kegiatan usaha tani juga sebagai faktor yang menentukan besarnya pendapatan. Bahkan hal ini dapat menaikkan pendapatan hingga petani memperoleh pendapatan total dari usaha tani lebih dari 100 juta rupiah. Jumlah petani yang memperoleh pendapatan di atas 100 juta rupiah dari usahanya tersebut memang tidak banyak yaitu sebesar 5% saja dari total masyarakat, namun jika didasarkan pada jumlah petani yang melakukan usaha tani ternyata mencapai 12%. Jenis usaha petani seperti ini tidak hanya bercocok tanam saja tetapi juga mereka melakukan optimalisasi pe-manfaatan lahan kawasan dengan me-lakukan usaha ternak (kambing, ayam kampung dan ikan/tambak). Disamping itu kelompok petani ini memiliki lahan yang cukup luas yaitu dengan rata-rata 3,38 hektar per KK. Sehingga hal tersebut dapat mencerminkan betapa besarnya kontribusi HLSW untuk menunjang pendapatan jika diusahakan secara profesional melalui optimalisasi pe-manfaatan lahan.

Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, maka kontribusi ekonomi yang

728

Page 13: XKH0 Identifikasi Nilai Ekonomi Hutan Lindung

AGRITEK VOL. 17 NO. 4 JULI 2009 ISSN. 0852-5426

diberikan lahan HLSW sebagai penunjang pendapatan masyarakat setempat sangatlah berarti. Secara rinci dan jelas di bawah ini mempertunjukkan perbandingan angka

kontribusi tersebut dari hasil pemanfaatan kawasan yang dimaksud (Gambar 4).

Gambar 4. Grafik Kontribusi Pendapatan Masyarakat Setempat dari Sumber Pemanfaatan Kawasan dan di luar Pemanfaatan Kawasan

Namun nilai kontribusi tersebut di atas akan berbeda hasilnya bila dilihat

berdasarkan penggunanya seperti ditunjukkan sebagai berikut (Gambar 5).

Nilai Biologi8,38%

Nilai Ekologi20,22%

Nilai Usaha Tani60,69%

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

Kontribusi Pendapatan terhadap Penggunanya

Kontribusi Pendapatan Terhadap Masyarakat Setempat

Nilai Biologi2,02% Nilai Ekologi

11,12%

Usaha Tani41,03%

45,83%

Pemanfaatan Kawasan

Di Luar Pemanfaatan Kawasan

729

Page 14: XKH0 Identifikasi Nilai Ekonomi Hutan Lindung

AGRITEK VOL. 17 NO. 4 JULI 2009 ISSN. 0852-5426

Gambar 5. Grafik Nilai Kontribusi Pendapatan dari Pemanfaatan Kawasan terhadap Penggunanya

Rendahnya nilai kontribusi dari nilai biologi bagi masyarakat setempat berkaitan dengan ketentuan dari pihak pengelola HLSW yang membatasi pemungutan hasil hutan non kayu di wilayah tersebut baik untuk tujuan konsumtif maupun untuk tujuan produktif. Sementara dari nilai ekologi ternyata juga telah memberikan nilai yang cukup kecil, dimana hal ini dikarenakan daya serap masyarakat yang hanya memanfaatkan air sebagai pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Padahal masih banyak lagi nilai-nilai ekologi yang mungkin masih bisa dimanfaatkan masyarakat setempat seperti pemanfaatan tanah subur dari hutan dan jasa ekowisata, namun hal ini belum termanfaatkan.

Namun kondisi tersebut di atas berbeda untuk kegiatan usaha tani. Kon-tribusi pendapatan yang dihasilkan melalui kegiatan usaha tani menunjukkan angka yang sangat signifikan (lihat Gambar 14 dan Gambar 15). Hal ini wajar karena frekuensi kegiatan penggarapan lahan kawasan HLSW untuk usaha tani yang dilakukan oleh masyarakat setempat sangat intensif jika dibandingkan dengan upaya pemanfaatan langsung kawasan terhadap nilai-nilai biologi dan ekologi. Peman-faatan nilai-nilai ini hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif atau subsisten saja, sementara upaya usaha tani disamping untuk pe-menuhan kebutuhan yang bersifat kon-sumtif juga ditujukan untuk tujuan produktif atau komersil. Berdasarkan fakta ini membuktikan bahwa ternyata ma-syarakat setempat masih memiliki ke-tergantungan terhadap HLSW dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup.

Dengan demikian, berdasarkan nilai kontribusi kawasan HLSW yang dianggap cukup berarti sebagai penunjang pen-dapatan masyarakat setempat maupun terhadap penggunanya sendiri, maka hal

ini dapat dikatakan keberadaan kawasan tersebut memberikan dampak positif dalam menunjang pertumbuhan ekonomi mereka. Tentunya upaya untuk mempertahankan kawasan sebagai basis ekonomi masyarakat tersebut menjadi perhatian serius Pemerintah Kota Balikpapan. Sehingga fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan dan penghidupan bagi masya-rakat umumnya dan khususnya masyarakat setempat dapat berfungsi secara maksimal dan berkesinambungan.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

1. Nilai biologi yang dimanfaatkan masyarakat setempat adalah kayu bakar, daun nipah, rotan dan bambu, sedangkan nilai ekologi adalah hanya berupa air kawasan yang bersumber dari sumur gali dan bor, sungai dan waduk. Sementara nilai usaha tani melalui penggarapan lahan adalah berupa ladang, kebun buah-buahan dan kebun campuran.

2. Kontribusi ekonomi secara total pemanfaatan HLSW bagi masyarakat setempat sebesar 54,17%, dengan kontribusi masing-masing yang di-berikan yaitu dari nilai biologi sebesar 2,02%, dari nilai ekologi sebesar 11,12% dan dari nilai usaha tani sebesar 41,03%. Namun jika kon-tribusinya dilihat berdasarkan penggu-naanya, maka dari nilai biologi sebesar 8,38%, dari nilai ekologi sebesar 20,22% dan dari nilai usaha tani sebesar 60,96%.

3. Nilai nominal pendapatan rata-rata dari pemanfaatan ekosistem HLSW yang diperoleh masyarakat setempat adalah sebesar Rp. 28.367.326,69, sementara nilai nominal pendapatan total rata-rata

730

Page 15: XKH0 Identifikasi Nilai Ekonomi Hutan Lindung

AGRITEK VOL. 17 NO. 4 JULI 2009 ISSN. 0852-5426

(dari HLSW dan di luar HLSW) yang diperoleh adalah sebesar Rp. 52.371.943,83.

Rekomendasi

Mengingat kontribusi HLSW sangat berarti bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat setempat, maka keberadaan ekosistem HLSW perlu dipertahankan seiring dengan tekanan populasi penduduk yang dari waktu ke waktu semakin meningkat. Oleh karena itu pihak pe-ngelola (UP BPHLSW) agar melakukan pendekatan-pendekatan kepada masyarakat setempat melalui program-program pem-berdayaannya untuk menuju pelestarian hutan.

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, O. 2002. Home Garden: Sebagai Salah Satu Sistem Agroforestry Lokal. Fakultas Pertanian Program Ilmu Kehutanan. Universitas Sumatera Utara. http://library.usu.ac.id/download/fp/hutan-oding2.pdf

Anonymous. 2005. Pengelolaan Kola-boratif (Peraturan Menteri Ke-hutanan No. P. 19/Menhut-II/2004). Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Jakarta. pp. 38

Anonymous. 2006. Nilai Ekonomi Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL). Greenomics Indonesia bekerjasama dengan Tropenbos Indonesia (TBI), Balikpapan. pp. 65

Andayani, W. 2005. Ekonomi Agro-forestri. DEBUT Press Jogjakarta. pp. 113

Indayati. A. 2009. Kontribusi Peman-faatan Hutan Adat Terhadap Pe-ningkatan Kondisi Sosial-ekonomi Masyarakat Desa Umaq Bekuay Ka-bupaten Kutai Kartanegara. Skripsi Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. pp. 89

Junus, H.M. 1984. Dasar Umum Ilmu Kehutanan. Buku I: Hutan dan Fungsi Hutan. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur, Ujung Pandang.

Lestari, W. 2006. Kajian Praktek-praktek Pemanfaatan Lahan oleh Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Lindung Bontang (HLB). Skripsi Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehu-tanan Universitas Mulawarman, Sa-marinda. pp. 83

Nanang M. and G.S. Devung. 2004. Local People in Forest Management and The politics of Participation. Indonesia Country Report. Institute for Global Environmental Strategies (IGES) Kanagawa, Japan. pp. 148

Nugroho, B.T.A., N.K.E. Undaharta dan M. Siregar. 2008. Interaksi Ma-syarakat Sekitar Hutan terhadap Pemanfaatan Keanekaragaman Ha-yati di Kawasan Ekosistem Hutan Alami Bedugul-Pancasari, Bali. UPT. Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indo-nesia (LIPI), Tabanan. pp. 5. http://www.unsjournals.com/D/D0903/D090316.pdf

Uluk A., M. Sudana dan E. Wollenberg. 2001. Ketergantungan Masyarakat Dayak Terhadap Hutan (Di Sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang). Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor. pp. 150

731