Upload
nurrahmah-azizah
View
158
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kabupaten Maros sebagian dari wilayahnya merupakan ekosistem
karst yang memiliki potensi batu gamping besar. Kawasan ini
diperkirakan memiliki potensi batu gamping yang mencapai
39.131.718.750 ton dan marmer mencapai 8.539.974.500 ton
(Pemerintah Daerah Kab. Maros, 2006). Kualitas batu gamping yang ada
di Kabupaten Maros tergolong baik untuk diolah menjadi marmer karena
memiliki daya tahan yang baik dan corak yang indah. Hal ini
menyebabkan pertambangan batu gamping untuk dijadikan marmer
merupakan salah satu peluang industri yang sangat menjanjikan di
Kabupaten Maros. Salah satu kawasan yang terdapat dalam bentang
alam Karst Maros ialah Hutan Lindung (HL) Bulusaraung. Menurut (Taslim,
2007), sejak tahun 2000 terdapat 13 perusahaan industri penambangan
marmer yang berada di dalam kawasan HL Bulusaraung.
Kawasan karst HL Bulusaraung sejak tahun 1982 ditetapkan
sebagai hutan lindung yang berfungsi sebagai pengatur tata air. Hal ini
sesuai dengan UU No. 41 tahun 1999 mengenai Kehutanan menyatakan
pentingnya menjaga kelestarian hutan lindung, karena memiliki salah
satu fungsi pokok yaitu sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan untuk mengatur tata air dan mencegah banjir. Keberadaan HL
Bulusaraung memiliki arti yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat
sekitar. Masyarakat memanfaatkan air yang berasal dari kawasan HL
Bulusaraung untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti irigasi
pertanian, mencuci maupun air minum.
Kegiatan penambangan, walaupun memberikan dampak positif
berupa penyerapan tenaga kerja dan peningkatan devisa daerah, namun
juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap keberadaan hutan
karst itu sendiri juga terhadap kondisi masyarakat sekitar areal tambang.
Dampak ini terjadi akibat hilangnya pohon dan rusaknya lapisan batu
gamping oleh kegiatan penambangan maupun dari limbah yang
1
dihasilkan. Keberadaan industri dan penambangan marmer di kawasan
karst HL Bulusaraung tentu akan mempengaruhi fungsi lindung baik
secara langsung maupun tidak langsung karena kawasan karst
merupakan kawasan dengan daya dukung yang rendah dan merupakan
sumberdaya yang tidak dapat diperbaiki jika terlanjur rusak. Untuk itu
perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji keberadaan penambangan
marmer di HL Bulusaraung dari segi pengaruh terhadap fungsi hutan
lindung sebagai pengatur tata air bagi masyarakat sekitar serta
menentukan bentuk pengelolan yang tepat untuk HL Bulusaraung.
B. Perumusan Masalah
a. Apakah Hutan Lindung itu?
b. Bagaimanakah Hutan Lindung di Kawasan Gunung Bulusaraung?
c. Bagaimanakah cara pengelolaan yang tepat untuk konservasi Hutan Lindung
Bulusaraung?
C. Tujuan
a. Mengetahui tentang Hutan lindung di Kawasan Gunung Bulusaraung
b. Mengetahui bentuk pengelolaan yang tepat untuk Hutan lindung Bulusaraung
D. Manfaat
Makalah ini dapat berguna untuk menambah pengetahuan dalam pengelolaan
permasalahan kawasan konservasi Hutan Lindung di Bulusaraung.
2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hutan Lindung
Menurut Pedoman Pengelolaan Hutan Lindung (Dephut, 1990),
upaya perlindungan dan perbaikan tata air diarahkan untuk
mempertahankan dan memperbaiki kondisi tata air akibat perubahan
yang terjadi. Secara umum penyebab perubahan tata air dapat
digolongkan sebagai berikut:
1. Faktor klimatis yaitu menurunnya jumlah dan frekuensi hujan, serta
meningkatnya suhu rata-rata dan perubahan aerodinamik suatu daerah.
2. Faktor fisik yaitu terbukanya areal hutan lindung sebagai akibat
penebangan liar, perladangan berpindah, kebakaran hutan,
penambangan dan penyebab alam lainnya.
Sedangkan dalam kegiatan pemanfaatan hutan, pada hutan
lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa
lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu, yang hanya dapat
dilakukan pada blok pemanfaatan. Akan tetapi kawasan hutan lindung
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan
kehutanan, bahkan kegiatan penambangan pun diizinkan untuk
dilaksanakan dengan pola pertambangan tertutup dengan seizin Menteri
Kehutanan (UU No. 41 Tahun 1999 pasal 38 ayat 3 dan 4).
Hutan lindung memiliki peranan yang penting dalam mengatur tata
air bagi masyarakat sekitarnya. Keberadaan kegiatan pertambangan di
hutan lindung tentu dapat menganggu fungsi dan luasan hutan lindung
itu sendiri. Sehingga pada akhirnya tentu diperlukan perhatian khusus
3
baik dari segi kegiatan pengelolaannya maupun dari kebijakan yang
harus dikeluarkan.
B. Potensi dan Penambangan Kawasan Karst
Karst adalah istilah bagi sebuah bentang alam yang secara khusus
berkembang pada batuan karbonat (batu gamping dan dolomit), dimana
bentang alam tersebut dibentuk dan dipengaruhi oleh proses pelarutan
yang derajatnya lebih tinggi dibandingkan kawasan batuan lainnya
(Samodra, 2001).
Fenomena karst terutama terjadi pada daerah yang terbentuk dan
tersusun dari endapan batuan karbonat dengan mineral utama kalsit
(CaCO3), aragonit (CaCO3), dan dolomit (CaMg(CO3))2 tetapi dapat juga
terjadi pada batuan lain yang terbentuk dari mineral-mineral mudah larut
oleh air lainnya seperti gipsum (CaSO42H2O), 5 anhidrit (CaSO4), halit
(NaCl), batuan sedimen klastik dengan semen yang mudah larut, maupun
batuan lain dimana proses pelarutan mineral bisa dan mudah terjadi
(Notosiswoyo, 2006).
Kawasan karst merupakan kawasan dengan sumberdaya yang
besar dan berpotensi untuk dikembangkan antara lain dari sumberdaya
alamnya seperti sumberdaya air, tambang, hayati, wisata, arkeologi dan
lainnya. Potensi tambang di kawasan karst ialah penambangan bahan
galian golongan C (batu gamping) dan bahan mineral (emas, perak,
tembaga dan seng). Batu gamping merupakan batuan sedimen karbonat
yang terdapat di alam dengan penampakan luar berwarna putih, putih
kekuningan, abu-abu hingga hitam. Sebaran batuan karbonat, khususnya
batu gamping di Indonesia diperkirakan mencapai luas lebih dari 15,4 juta
hektar dan diasumsikan cadangan batu gamping tersebut sebanyak 39
trilyun ton (Surono dkk, 1999 diacu dalam Samodra 2001). Hal ini
merupakan aset negara yang menggiurkan untuk dimanfaatkan dalam
sektor pertambangan.
Berdasarkan determinasi bahan tambang, batu gamping
merupakan salah satu bahan galian industri yang potensinya sangat
besar. Batu gamping memiliki manfaat cukup beragam di beberapa
bidang kehidupan. antara lain untuk: 1) pertanian, 2) lingkungan
4
(penjernih air dan obat pembasmi hama), 3) konstruksi (fondasi
bangunan rumah, jalan, jembatan dan pembuatan semen trass atau
semen merah dan marmer) dan 4) industri (keramik, kaca, bahan kimia,
dan bahan pemutih) (Samodra, 2001). Marmer atau batu pualam
merupakan batuan hasil proses metamorfosa atau malihan dari batu
gamping. Marmer akan selalu berasosiasi keberadaannya dengan batu
gamping. Setiap ada batu marmer akan selalu ada batu gamping,
walaupun tidak setiap ada batu gamping akan ada marmer. Selain itu
marmer juga memiliki arti sebagai nama dagang untuk setiap batu
gamping yang setelah digosok (diproses) menjadi mengkilap.
Kegiatan penambangan adalah kegiatan yang pasti merubah
lingkungan yang ada menjadi lingkungan baru yang berbeda, dan
perubahan tersebut tidak akan dapat atau susah untuk dikembalikan ke
keadaan semula. Potensi tambang yang besar dengan manfaat yang
besar pula, membuat kegiatan penambangan di kawasan karst
khususnya tambang batu gamping merupakan salah satu sektor yang
memiliki peluang menjanjikan. Namun, kegiatan ini tentu akan
menimbulkan dampak negatif tidak hanya bagi kondisi kawasan itu
sendiri tetapi juga terhadap masyarakat sekitar.
C. Pengelolaan Kawasan Karst
Berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
No.1456 (2000) tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst, kawasan
karst dibagi menjadi 3 kelas, antara lain:
1) Kawasan Karst Kelas I merupakan kawasan yang memiliki salah
satu, atau lebih kriteria berikut ini: a) berfungsi sebagai penyimpan
air bawah tanah secara tetap (permanen) dalam bentuk akuifer,
sungai bawah tanah, telaga atau danau bawah tanah yang
keberadaannya mencukupi fungsi umum hidrologi; b) mempunyai
gua-gua dan sungai bawah tanah aktif yang kumpulannya
membentuk jaringan baik mendatar maupun tegak yang sistemnya
mencukupi fungsi hidrologi dan ilmu pengetahuan; c) gua-guanya
mempunyai speleotem aktif dan atau peninggalan-peninggalan
sejarah sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi objek
5
wisata dan budaya; d) mempunyai kandungan flora dan fauna khas
yang memenuhi arti dan fungsi sosial, ekonomi, budaya serta
pengembangan ilmu pengetahuan.
2) Kawasan Karst Kelas II merupakan kawasan yang memiliki salah
satu atau semua kriteria berikut ini: a) berfungsi sebagai
pengimbuh air bawah tanah, berupa daerah tangkapan air hujan
yang mempengaruhi naik-turunnya muka air bawah tanah di
kawasan karst, sehingga masih mendukung fungsi umum
hidrologi; b) mempunyai jaringan lorong lorong bawah tanah hasil
bentukan sungai dan gua yang sudah kering, mempunyai
speleotem yang sudah tidak aktif atau rusak, serta sebagai tempat
tinggal tetap fauna yang semuanya memberi nilai dan manfaat
ekonomi.
3) Kawasan Karst Kelas III merupakan kawasan yang tidak memiliki
kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).
Dalam hubungannya dengan kegiatan pengelolaan, pembagian
kelas karst ditujukan untuk menentukan bentuk kegiatan atau bentuk
pemanfaatan yang dapat dilakukan di dalam kawasan tersebut sesuai
dengan kelas karstnya. Kawasan Karst Kelas I merupakan kawasan yang
perlu dikonservasi dan tidak boleh ada kegiatan usaha pertambangan,
kecuali kegiatan yang berkaitan dengan penelitian yang tidak merubah
atau merusak bentuk-bentuk morfologi dan fungsi kawasan karst. Pada
kawasan karst Kelas II, dapat dilakukan kegiatan usaha pertambangan
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan mendapat
rekomendasi teknis dari Menteri yang membidangi kegiatan
pertambangan, setelah dilengkapi dengan studi lingkungan (Andal, UKL
dan UPL). Sedangkan pada kawasan karst Kelas III, dapat dilakukan
kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku, tanpa rekomendasi dari Menteri yang membidangi kegiatan
pertambangan.
6
PEMBAHASAN
A. Keberadaan Penambangan
Kegiatan penambangan di kawasan HL Bulusaraung dilakukan
oleh beberapa perusahaan, yang secara hukum telah melakukan
pertambangan batu gamping di dalam kawasan HL Bulusaraung
sebelum pemberlakuan UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Terdapat 13 perusahaan yang mendapatkan izin untuk melakukan
kegiatan pertambangan di HL Bulusaraung (HL Bulusaraung) namun
hanya 4 perusahaan tambang saja yang aktif melakukan
penambangan.
PT. Bosowa Mining merupakan salah satu perusahaan
penambangan yang berada di dalam kawasan HL Bulusaraung dengan
wilayah tambang seluas 25 ha. Secara administratif letak perusahaan
ini berada di wilayah Kelurahan Leang-Leang, Kecamatan
Bantimurung. Kegiatan penambangan yang dilakukan oleh PT. Bosowa
Marmer Mining ialah penambangan batu gamping sebagai bahan baku
pembuatan marmer. Perusahaan ini telah melakukan kegiatan
penambangan semenjak tahun 1993, dengan kapasitas produksi
tambang batu gamping bulanan sebesar 200-300 m3 yang
menghasilkan produksi marmer bulanan sebesar 4000 m2. Kegiatan
industri pertambangan yang dilakukan PT. Bosowa Mining ialah
7
penambangan batu gamping di dalam kawasan HL Bulusaraung
dengan sistem penambangan terbuka. Kemudian dilakukan
pengolahan untuk menghasilkan marmer dengan buangan sampingan
berupa limbah cair yang mengandung serbuk-serbuk halus batu
gamping. Limbah cair tersebut kemudian dialirkan ke kolam
pengendapan yang berbatasan langsung dengan sungai kecil yang
berasal dari dalam kawasan.
Pelanggaran aturan
Alur pelaksanaan kegiatan pengelolaan penambangan yang
dilakukan oleh PT. Bosowa Marmer Mining dimulai dari kegiatan
perizinan dan perjanjian kemudian kegiatan penambangan dan
terakhir pengolahan. Perizinan yang harus dimiliki suatu perusahaan
tambang untuk melakukan kegiatannya di HL Bulusaraung terbagi
menjadi dua yaitu izin pinjam pakai kawasan hutan lindung dan Surat
Izin Penambangan Daerah (SIPD). Izin pinjam pakai kawasan diatur
berdasarkan Permenhut No.14 tahun 2006 (Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan). Izin ini diberikan kepada perusahaan tambang
dengan persetujuan Menteri Kehutanan dan berlaku dalam jangka
waktu 5 tahun. Perpanjangan izin pinjam pakai harus dilakukan
perusahaan jika tetap ingin melakukan kegiatan di dalam kawasan
hutan lindung, yang jika dilanggar, maka dapat dikenakan sanksi yaitu
pemberhentian sementara atau pencabutan izin.
Beberapa peraturan perundangan yang mengatur kegiatan
penambangan PT. Bosowa Marmer Mining ialah Kpts Presiden No. 32
tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, UU No. 41 tahun
1999 tentang Kehutanan dan PP No.6 tahun 2007 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan
Hutan. Peraturan ini mengatur mengenai bentuk, jenis dan sanksi
kegiatan penambangan di hutan lindung. Sedangkan, aturan yang
berkaitan dengan kegiatan pengelolaan limbah PT. Bosowa Marmer
Mining ialah PP No. 35 tahun 1991 tentang Pengelolaan sungai, PP No.
51 tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan PP
8
No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap kegiatan
pengelolaan (Tabel 12), diketahui bahwa dalam melaksanakan
pengelolaan penambangan PT. Bosowa Marmer telah melanggar
beberapa peraturan dan perundangan yang berlaku. Pelanggaran
tersebut dilakukan secara sadar karena terhadap beberapa
pelanggaran atau tindakan yang belum sesuai dengan aturan ini,
sebagian dari pemerintahan daerah Kabupaten Maros seperti Dinas
Kehutanan dan Bapedalada telah melakukan teguran dan diketahui
oleh pihak perusahaan. Hanya saja untuk kegiatan penindakan belum
dapat diambil karena adanya kecenderungan dari pemerintah daerah
untuk memudahkan perusahaan tambang dalam melakukan kegiatan
penambangan yang berguna untuk peningkatan pendapatan daerah.
Namun kemudahan tersebut tidak diimbangi dengan pengawasan
yang baik dan penegakan aturan yang tegas.
9
Dampak terhadap kualitas air Karst HL Bulusaraung
Keberadaan penambangan dengan semua kegiatan dan
pelanggaran yang dilakukannya tentu akan sangat berpengaruh
terhadap fungsi hidrologis HL Bulusaraung karena kawasan tersebut
merupakan kawasan karst dan hutan lindung. Kawasan karst
merupakan sumberdaya yang sangat rentan mengalami kerusakan
jika terdapat kegiatan yang bersifat merubah bentang alam dan
sangat sulit sekali untuk diperbaharui jika terlanjur rusak. Kawasan
karst memiliki sistem hidrologi yang lebih rumit jika dibandingkan
ekosistem lainnya. Air yang masuk ke karst, mengalir sebagian di
permukaan karst dan sebagian lagi masuk di celah, retakan dan gua
yang ada di antara batuan (Samodra, 2001).
Menurut Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sulawesi
Imran Oemar saat ini di areal penambangan karst HL Bulusaraung
masih banyak gua yang di dalamnya terdapat sungai-sungai bawah
tanah yang menjadi sumber air bagi sejumlah sungai besar.
Penambangan terhadap batu gamping yang dilakukan PT. Bosowa
Marmer Mining di HL Bulusaraung akan membuat daya tampung dan
daya simpan air pada lapisan batuan di karst semakin berkurang.
Sehingga air yang seharusnya dapat ditampung dalam jumlah yang
besar pada saat musim hujan, dengan penambangan batu gamping
yang terus meningkat, menyebabkan kawasan HL Bulusaraung
menampung jumlah air yang terus menurun. Hal ini akan berpengaruh
terhadap kondisi masyarakat Kelurahan Leang-Leang karena hampir
seluruh masyarakat menggantungkan kebutuhan air untuk kehidupan
sehari-hari, menggunakan air yang berasal dari kawasan karst HL
Bulusaraung. Masih banyaknya gua-gua yang berada di kawasan HL
Bulusaraung menimbulkan kekhawatiran bahwa kegiatan
penambangan dapat menghilangkan bukti-bukti sejarah apabila di
gua-gua juga menyimpan artefak-artefak prasejarah, karena di sekitar
kawasan HL Bulusaraung terdapat taman wisata yaitu Taman Wisata
Leang-Leang dengan jarak ± 3 Km, yang didalamnya terdapat
10
beberapa peninggalan prasejarah berupa lukisan masyarakat
prasejarah.
Keberadaan limbah tambang marmer tentu juga akan
mempengaruhi fungsi hidrologi HL Bulusaraung dengan mencemari
perairan yang mengalir dari dalam kawasan. Limbah marmer hasil
produksi PT. Bosowa Marmer Mining dialirkan ke dalam kolam
pengendapan yang berada di sekitar sungai dan bersifat tidak
permanen (tidak dilapisi semen di dasar dan sisinya). Limbah marmer
PT. Bosowa Marmer Mining masuk ke perairan sungai melalui celah-
celah kolam pengendapan serta limbah yang meluap keluar dari
kolam pengendapan akibat hujan yang deras.
11
Pada industri marmer, air limbah dihasilkan dari kegiatan
pemotongan, penghalusan batu gamping serta proses pendinginan
mesin. Sejalan dengan pendapat Wardhana (1995) dan Slamet (1994)
diacu dalam Purwani (2001), bahwa dalam kegiatan industri seringkali
suatu proses disertai dengan timbulnya panas dari suatu mesin. Agar
proses produksi yang menunjang kegiatan tersebut dapat berjalan
baik maka panas yang terjadi harus dihilangkan. Penghilangan panas
dilakukan dengan proses pendinginan. Air pendinginan akan
menyerap panas yang terjadi, air yang panas tersebut kemudian
dibuang ke sungai, maka air tersebut meningkatkan suhunya.
Peningkatan kekeruhan dan total padatan terlarut disebabkan
masuknya bahan limbah berupa butiran-butiran halus batu gamping
ke perairan sehingga terlarut bersama air. Hal ini mempengaruhi
warna air dimana air menjadi keruh dan mengurangi penetrasi cahaya
matahari yang akan mengurangi oksigen terlarut dan penurunan
aktivitas fotosintesis di perairan, sehingga menyebabkan kematian
pada tumbuhan dan hewan perairan. Hasil pengukuran menunjukkan
nilai pHnya adalah 7 dan 8. Peningkatan nilai pH disebabkan karena
limbah marmer yang merupakan batu gamping dengan struktur kimia
berupa kalsium karbonat (CaCO3) masuk ke air (H2O), kemudian
terjadi proses kimia dimana unsur Ca2+ mengikat OH- menjadi
Ca(OH)2. Sehingga meningkatkan pH ke arah basa (pH naik) karena
adanya unsur OH yang merupakan unsur basa. Perubahan pH pada air
buangan, baik ke arah basa (Ph naik) maupun ke arah asam (pH
menurun), akan menggangu kehidupan ikan dan hewan air sekitarnya
12
(Fardiaz, 1992). Rendahnya konsentrasi nitrat dan fosfat pada kedua
titik disebabkan oleh, karena bahan organik serta hara fosfat
ketersediaanya sangat rendah pada kawasan karst. Gejala chlorosis
fosfat merupakan gejala defisiensi yang sering terlihat pada lahan
karst (Siradz, 2004).
Pengukuran pencemaran perairan dengan parameter biologis
dilakukan untuk mengetahui pengaruh perubahan kualitas fisik dan
kimia perairan akibat pembuangan limbah tambang marmer terhadap
komunitas makrozoobenthos. Habitat makrozoobenthos adalah
lingkungan perairan sehingga digunakan sebagai indikator biologis
pada perairan yang dinamis (mengalir). Makrozoobenthos tergolong
biota air yang mudah terpengaruh oleh adanya bahan pencemar, baik
kimiawi, endapan lumpur dan arus air yang kuat. Hewan ini tidak
dapat bergerak cepat dan habitatnya di dasar perairan seringkali
menjadi tempat penumpukan bahan pencemar seperti pasir. Hasil
pengamatan pada dua stasiun tersebut menunjukan sebanyak 3 famili
makrozoobenthos yang ditemukan yaitu Thiaridae, Ampullariidae, dan
Potamididae. Ketiga family tersebut merupakan bagian dari kelas
Gastrophoda (keong-keongan).
Hasil pengamatan yang dilakukan, diperoleh jumlah jenis yang
rendah (jenis tidak berkembang dengan baik). Jumlah jenis yang
rendah pada suatu lokasi, mengindikasikan bahwa lokasi tersebut
telah mendapat tekanan biologis yang berat. Pertumbuhan
makrozoobenthos menjadi terhambat dikarenakan pada perairan
tersebut mendapat tekanan ekologis dari limbah marmer. Perairan
menjadi keruh dan di dasar perairan banyak ditemukan endapan dari
limbah marmer yang menutupi dasar perairan sehingga
makrozoobenthos sedikit yang dapat hidup karena habitatnya di dasar
perairan tertutupi oleh endapan limbah marmer. Pribadi (2005)
menyatakan bahwa biasanya kondisi air yang keruh kurang disukai
oleh benthos. Pengendapan partikel tanah yang berlebihan
menyebabkan penurunan kelimpahan benthos hingga 20 – 50 %.
13
Berdasarkan pengukuran parameter fisika, kimia dan biologi,
dapat dikatakan telah terjadi penurunan kualitas perairan, yang
menunjukan bahwa kegiatan pembuangan limbah marmer yang
dilakukan PT. Bosowa Marmer berkontribusi terhadap menurunnya
kualitas perairan sungai di Kelurahan Leang-Leang. Sungai ini
merupakan aliran air yang berasal dari kawasan HL Bulusaraung,
sehingga akan berpotensi besar mempengaruhi kondisi perekonomian
masyarakat karena sebagian besar masyarakat Kelurahan Leang-
Leang berprofesi sebagai petani dan memanfaatkan sungai untuk
kegiatan pertanian. Jika air sungai yang dimanfaatkan untuk pertanian
kondisinya semakin memburuk akibat masuknya limbah marmer maka
tanah sawah akan mengeras sehingga menyebabkan petani
membutuhkan tenaga lebih untuk mengolah tanah yang keras dan
juga membuat padi sulit untuk berdiri. Kondisi seperti ini membuat
petani membutuhkan biaya yang lebih dalam mengolah sawah mereka
dan dapat menurunkan produksi hasil pertanian masyarakat.
Hal ini diperkuat berdasarkan wawacara terhadap masyarakat
Leang-Leang, yang menyatakan telah terjadi penurunan kualitas
perairan. Sebanyak 80 % masyarakat mengatakan air sungai menjadi
tercemar dan 20 % tercemar ringan. Masyarakat menyatakan akibat
kegiatan industri pertambangan membuat sawah menjadi keras (40
%), sungai menjadi keruh (30 %) dan sawah menjadi keras dan sungai
keruh (30%).
B. Pengelolaan HL Bulusaraung
Pengelolaan kawasan lindung ditujukan untuk mencegah
timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup serta meningkatkan dan
mempertahankan fungsi lindungnya. Penetapan kawasan Karst
Bulusaraung dengan status sebagai hutan lindung sejak tahun 1982,
tentu bertujuan untuk melindungi fungsi kawasan HL Bulusaraung
yang memiliki hamparan karst yang berperan besar dalam pengaturan
tata air bagi masyarakat.
14
Pengelolaan kawasan karst harus memperhatikan jenis dan
kondisi kawasan karst itu sendiri. Kondisi karst di HL Bulusaraung
menunjukan bahwa kawasan tersebut termasuk ke dalam karst kelas I
karena di kawasan tersebut memiliki banyak aliran bawah tanah yang
aktif serta gua yang memiliki tempat bersejarah yang penting bagi
perkembangan ilmu pengetahuan. Selain itu, kawasan ini juga
berfungsi sebagai penyimpan dan penyuplai air bagi kebutuhan
masyarakat sekitar. Berdasarkan tujuan penetapan kawasan sebagai
hutan lindung dan keberadaan karst di dalam HL Bulusaraung, maka
pengelolaan HL Bulusaraung haruslah memperhatikan aspek
kelestarian dan perlindungan agar fungsi kawasan tersebut sebagai
pengatur tata air tetap terjaga. Kegiatan penambangan dengan
pelanggaran dan dampak negatif yang diberikan tentu bukanlah
pilihan yang tepat dalam melaksankan pengelolaan yang
berkelanjutan dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar dengan tetap
memperhatikan aspek kelestarian. Sebaiknya tidak terdapat kegiatan
industri penambangan di dalam kawasan karst HL Bulusaraung karena
akan mengganggu atau mempengaruhi fungsi HL Bulusaraung dalam
mengatur tata air.
Bentuk pengelolaan yang paling tepat dalam hal pemanfaatan
kawasan HL Bulusaraung ialah pemanfaatan jasa lingkungan dengan
kegiatan berupa usaha wisata alam dan usaha pemanfaatan air.
Kondisi karst dengan bukit-bukit batu gamping yang berbangun
menara sangat khas dan indah, terdapatnya situs budaya masa
prasejarah serta akses transportasi yang baik, membuat daya tarik
dan keuntungan tambahan kawasan Karst HL Bulusaraung untuk
dijadikan lokasi wisata. Kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan
dan usaha wisata pada hutan lindung, sesuai PP No.6 tahun 2007
Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
serta Pemanfaatan Hutan, dapat dilakukan dengan ketentuan tidak:
a. mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi
utamanya;
b. mengubah bentang alam; dan
15
c. merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan.
Potensi air dalam jumlah besar yang berasal dari dalam kawasan
karst HL Bulusaraung baik berupa mata air maupun sungai bawah
tanah dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian.
Pemanfaatan air dapat dilakukan dengan usaha penyediaan air bersih
bagi masyarakat Kabupaten Maros. Kegiatan wisata dan pemanfaatan
air di kawasan karst harus tetap memperhatikan aspek kelestarian
dengan tidak merubah bentang alam yang ekstrem serta mengambil
air dalam jumlah yang melebihi ketentuan.
Penyelesaian permasalahan pengelolaan
Terdapat beberapa stakeholder yang berkaitan erat dalam hal
pengelolaan HL Bulusaraung. Masing-masing stakeholder memiliki
peranan dan kepentingan yang berbeda dalam mengelola HL
Bulusaraung (Tabel 17).
16
KESIMPULAN
1. Kegiatan penambangan yang dilakukan PT. Bosowa Mining telah
melanggar beberapa aturan seperti perizinan, penambangan
dan pengelolaan limbah. Selain itu, Keberadaan PT. Bosowa
Mining di HL Bulusaraung akan memberikan dampak terhadap
perubahan tata air kawasan karst dengan menurunkan daya
tampung air dan menurunkan kualitas air (fisika, kimia dan
biologi) yang keluar dari dalam kawasan. Berdasarkan
pengukuran parameter fisika kimia diketahui terdapat
peningkatan nilai parameter pada titik II dibandingkan dengan
titik I, yang menunjukan telah terjadi penurunan kualitas
perairan pada titik II akibat masuknya limbah marmer.
Sedangkan pada parameter biologi, nilai keanekaragaman jenis
Shannon-wiener diketahui titik pertama 1,64 tergolong ke dalam
kondisi tercemar sedang dan titik kedua 0,60 tergolong ke
dalam kondisi tercemar berat. Menurunnya kualitas perairan HL
Bulusaraung akan mempengaruhi kondisi masyarakat karena
sebagian besar masyarakat sangat bergantung pada HL
Bulusaraung dalam memenuhi kebutuhan air.
2. Arah pengelolaan yang tepat untuk HL Bulusaraung ialah
pengelolaan yang berlandaskan prinsip kelestarian tanpa
mengurangi manfaat secara ekonomi. Kegiatan yang tepat di HL
Bulusaraung ialah usaha pemanfaatan air dan usaha potensi
wisata. Keberadaan penambangan di HL Bulusaraung perlu dikaji
kelayakannya karena berpotensi merusak fungsi perlindungan
tata air HL Bulusaraung. Selain itu, perlu penyelesaian
permasalahan pengelolaan yang ada seperti perbedaan
persepsi, konflik kepentingan dan tidak adanya koordinasi antar
stakeholder diselesaikan dengan membentuk suatu sistem
pengelolaan bersama; jumlah SDM instansi pemerintah yang
17
minim diselesaikan dengan cara pengadaan personil dan
perekrutan swadaya masyarakat; dan ketidaklengkapan data
dan informasi diselesaikan dengan melakukan inventarisasi
kawasan secara mandiri maupun bekerjasama dengan LSM serta
lembaga penelitian dan pendidikan. Hal ini dilakukan agar ke
depan arah pengelolaan yang telah ditetapkan dapat berjalan
sesuai dengan rencana.
DAFTAR PUSTAKA
Subchan, Moehd. 2008. Kajian Keberadaan Penambangan Marmer Di Karst Hutan
Lindung Bulusaraung. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
18