Click here to load reader
Upload
judy-trijoga
View
119
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
Policy And Regulation SEMINAR INTERNATIONAL
Supporting Inclusion In Indonesia
Wiwik Setyaningsih, Unit Kajian Aksesibilitas Arsitektur (UKAA) UNS - 2005
1
POLICY AND REGULATION POLICY AND REGULATION POLICY AND REGULATION POLICY AND REGULATION
SUPPORTING INCLUSION IN INDONESIASUPPORTING INCLUSION IN INDONESIASUPPORTING INCLUSION IN INDONESIASUPPORTING INCLUSION IN INDONESIA
Perwujudan Perwujudan Perwujudan Perwujudan Elemen Aksesibilitas Elemen Aksesibilitas Elemen Aksesibilitas Elemen Aksesibilitas
pada pada pada pada Bangunan GedungBangunan GedungBangunan GedungBangunan Gedung dan Lingkungan dan Lingkungan dan Lingkungan dan Lingkungan
Studi kasus Kota SurakartaStudi kasus Kota SurakartaStudi kasus Kota SurakartaStudi kasus Kota Surakarta
Wiwik Setyaningsih1
Abstrac : World Health Organization has projected that 10% of the global population are people with disabilities. Similarly, United Nations projected that 200 million people with disabilities live in the Asia Pacific Region. This research was aimed to identify element accesibility of building condition in Surakarta. The steps were taken to achieve the objectives: 1) to identify element accesibility of building condition in Surakarta; 2) to understand user’s behavior to perception. The results of this research will be recomended to the local, provincial as well as national government in order to create the environment for all people including people with disability. Key word: aware and behavior.
Pendahuluan
Sampai saat ini pembangunan gedung-gedung di Indonesia sebagian besar
cenderung belum mencerminkan keadilan bagi semua orang, dikarenakan belum dapat
digunakan oleh kelompok masyarakat yang memiliki kecacatan atau keterbatasan fisik. Hal
ini tidak sesuai dengan prinsip pembangunan dari PBB bahwa “no part of the built-up
environment should be designed in a manner that excludes certain groups of people on the
basis of their ability and frailty” (United Nations, 1995).
Dalam skala Internasional, perumusan kebijakan dan undang-undang tentang
aksesibilitas telah dikumandangkan dalam UN-ESCAP dengan program dekade penyandang
cacat (1983–1992 dan 1993–2002); Deklarasi Sapporo (2002) dan Biwako Milenium
(2003). Hal ini guna menjamin dan melindungi hak-hak penyandang cacat dan lansia di
dalam mendapatkan kesempatan yang setara untuk menikmati lajunya pembangunan guna
meningkatkan kehidupan dan penghidupannya.
1 Ir. Wiwik Setyaningsih : Dosen Jur. Arsitektur FT.UNS & Ketua Unit Kajian Aksesibilitas Arsitektur (UKAA)
Policy And Regulation SEMINAR INTERNATIONAL
Supporting Inclusion In Indonesia
Wiwik Setyaningsih, Unit Kajian Aksesibilitas Arsitektur (UKAA) UNS - 2005
2
World Health Organization (WHO) memperkirakan 10% penduduk dunia adalah
penyandang cacat (Lysack,1992). PBB memperkirakan bahwa dari jumlah tersebut 200 juta
berada di kawasan Asia Pasifik. Diperkirakan 10% dari 190 juta penduduk Indonesia adalah
penyandang cacat, serta jumlah lansia mengalami peningkatan, yakni dari 5,3 juta pada
tahun 1971 menjadi 17,7 juta pada tahun 2000 (Tabel 1.1 dan 1.2, Depsos. RI.2002)
Tabel 1.1 : Prosentase
Jumlah Penyandang Cacat/Penca di Indonesia
Tabel 1.2 : Perkembangan
Jumlah Lanjut Usia (Lansia)di Indonesia
No Jenis Kecacatan Prosentase Tahun Jumlah Lansia
1. Cacat Mental 0,40 % 1990 12,7 juta
2. Cacat Netra 0,90 % 1995 13,3 juta
3. Cacat Wicara/T. Rungu 0,54 % 2000 17,7 juta
4. Cacat Tubuh 0,85 %
2020 28,8 juta Sumber: Departemen Sosial RI, 2003
Dalam era globalisasi, menuntut terwujudkan bangunan gedung dan lingkungan
yang aksesibel, selaras dengan UU No. 28/2002 tentang Bangunan Gedung (UUBG) yang
telah disahkan sebagai pedoman umum pada tanggal 16 Desember 2002 terdiri dari 10 bab
dan 49 pasal. Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan
teknis, diantaranya pemenuhan persyaratan elemen aksesibilitas. Berdasarkan Surat Edaran
Mensos. No. A/A164/VIII/2002/MS dinyatakan agar penyediaan elemen aksesibilitas
mengacu pada Kepmen PU. No. 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas
pada Bangunan Umum dan Lingkungan.
Sebagai pedoman umum, undang-undang tersebut mengatur tentang ketentuan
bangunan gedung yang meliputi fungsi, persyaratan, penyelenggaraan dan pembinaan serta
sanksi yang dilandasi oleh asas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, dan keserasian
dengan lingkungannya bagi kepentingan masyarakat yang berperi kemanusiaan dan
berkeadilan. Kehadirannya melahirkan berbagai konsekuensi yang harus dilaksanakan lebih
lanjut oleh Pemerintah/ daerah. Hal tersebut perlu ditindaklanjuti dengan mengembangkan
program ke daerah/wilayah/kota lain (Dept, Kimpraswil dalam Wiwik, 2004).
Dalam UUD 1945 tertera persamaan hak bagi setiap warga negara tanpa
membedakan kondisi fisik, serta memberikan perlindungan dan persamaan hak kepada
penyandang cacat dengan menerbitkan berbagai peraturan pengadaan sarana dan
prasarana yang berkaitan dengan penyandang cacat. Dalam UU No. 4/1997 tentang
Policy And Regulation SEMINAR INTERNATIONAL
Supporting Inclusion In Indonesia
Wiwik Setyaningsih, Unit Kajian Aksesibilitas Arsitektur (UKAA) UNS - 2005
3
Penyandang Cacat dan PP No. 43/1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial
Penyandang Cacat dinyatakan bahwa: kesamaan kesempatan penyandang cacat pada aspek
kehidupan dan penghidupan, dilaksanakan melalui penyediaan elemen aksesibilitas untuk
menunjang penyandang cacat agar dapat hidup bermasyarakat secara wajar dan mandiri.
Titik tolak dari perwujudan bangunan gedung dan lingkungan yang berwawasan adil
bagi semua kelompok masyarakat (development for all) berarti memiliki asas kebersamaan
bagi semua warga negara, tidak dibedakan kemampuan dan kepentingan individu atau
kelompok. Semua mendapatkan kesempatan yang sama berperan dalam pembangunan
sekaligus dapat menikmati hasil pembangunan (Ikaputra,2002). Hal ini senada dengan
pengertian “equity“ (persamaan atau keadilan) yang menekankan equity in access atau
dengan kata lain access for all (Kevin Lynch).
Pada 4 Juni 2000 Pemerintah Pusat telah mengawali dengan pencanangan GAUN
2000 berupa penyediaan elemen aksesibilitas di Stasiun Gambir. Tahun 1987 sampai 1996
Center for Universal Design and Diffabilities (CUDD) Jurusan Arsitektur Teknik UGM
mengembangkan Malioboro’s pilot project sebagai kawasan yang aksesibel bagi semua
dengan model prototype guiding block (ubin pengarah untuk tuna netra), tetapi mengkristal
pada penyusunan pedoman teknis. Tahun 2002 HWPCI dengan Usakti dan IAI telah
melakukan pendataan 30 bangunan gedung di DKI Jakarta, hasilnya kurang terpublikasi.
Tahun 2003, Unit Kajian Aksesibilitas Arsitektur (UKAA) UNS bekerjasama dengan Dept
Kimpraswil mengadakan kegiatan TOT dan penelitian aksesibilitas Bangunan Gedung yang
dilanjutkan dengan pilot project iimplementasi 5 (lima) elemen aksesibilitas pada bangunan
gedung di Surakarta (Wiwik, 2003). Dengan kepedulian tersebut, pihak-pihak terkait
semestinya segera menangkap dan menindak lanjuti mengembangkan program tersebut
dengan memberikan kesempatan yang seimbang (equal opportunity) kepada kelompok
masyarakat berkebutuhan khusus.
Surakarta sebagai kota pusat rehabilitasi penyandang cacat terkemuka di Indonesia,
yakni Rehabilitatie Centrum Prof. Dr. Soeharso, penyandang cacat dan lansia belum
mendapatkan perhatian yang memadai, baik dari pemerintah, swasta maupun masyarakat.
Padahal sudah ada Perda No. 8/1988, tentang Bangunan di Kotamadya Surakarta harus
aksesibel guna mendukung pembangunan yang adil dan merata. Dengan demikian sudah
Policy And Regulation SEMINAR INTERNATIONAL
Supporting Inclusion In Indonesia
Wiwik Setyaningsih, Unit Kajian Aksesibilitas Arsitektur (UKAA) UNS - 2005
4
serpantasnya wilayah Surakarta yang seharusnya mendapatkan perhatian prioritas dalam
hal penyediaan elemen aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan yang
memberikan kemudahan kepada penyandang cacat dan lansia.
Landasan Hukum
Perwujudan Elemen Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan sebagai Universa
Design di Surakarta dilandasi oleh:
1. Resolusi PBB No. 48/96 Th.1993 pada peraturan No. 5, tentang Peraturan Aksesibilitas.
2. UUD RI Th. 1945 Pasal 27 ayat 2, bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
3. UUD RI No. 4/1997, tentang Penyandang Cacat.
4. Undang UUD RI No. 13/1998, tentang Kesejahteraan Lansia.
5. Undang UUD RI No. 39/1999, tentang HAM, Kesamaan hak dalam kehidupan.
6. Undang UUD RI No. 28/2002 tentang Bangunan Gedung (UUBG).
7. Perpem. No. 43/1998, Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat.
8. Kepmen. PU. No. 441/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Bangunan Gedung.
9. Kepmen. PU. No 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada
Bangunan Umum dan Lingkungan.
10. Kepmen. Perhubungan No KM. 71 Tahun 1999, tentang Aksesibilitas bagi Penyandang
Cacat dan Orang Sakit pada Sarana dan Prasarana Perhubungan.
METODE PENELITIAN
Observasi Wawancara Mendalam
Pengukuran Survey/
Kuesioner
Data Non Fisik
Pengumpulan Data
Data Fisik
Perwujudan Elemen Aksesibilitas pada Bangunan Gedung sebagai Universal Design
Analisis Data
Policy And Regulation SEMINAR INTERNATIONAL
Supporting Inclusion In Indonesia
Wiwik Setyaningsih, Unit Kajian Aksesibilitas Arsitektur (UKAA) UNS - 2005
5
HASIL PENELITIAN DAN BAHASAN
Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna
mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan
sebagai suatu kemudahan bergerak melalui dan menggunakan bangunan gedung dan
lingkungan dengan memperhatikan kelancaran dan kelayakan, yang berkaitan dengan
masalah sirkulasi, visual dan komponen setting. Sehingga aksesibilitas wajib diterapkan
secara optimal, guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam mencapai segala aspek
kehidupan dan penghidupan, menuntut adanya kemudahan dan keselamatan akses bagi
semua pengguna tanpa terkecuali (accessible for all).
Prinsip-prinsip aksesibilitas wajib diterapkan pada semua bangunan gedung dan
lingkungan, di dalam maupun di luar bangunan. Penerapan prinsip-prinsip aksesibilitas
sebagai berikut:
1. Kemudahan untuk menuju, masuk dan memakai atau menggunakan fasilitas umum
pada bangunan gedung yang ada dengan aman, secara mandiri dan nyaman;
2. Kepedulian pelayanan dengan sikap ramah, sehingga tidak menjadi objek tontonan;
3. Mengurangi ketergantungan pada orang lain untuk menuju pada kemandirian;
4. Merasakan kesamaan hak dan kewajiban untuk menikmati lajunya pembangunan
yang berkelanjutan dalam meningkatkan taraf hidupnya.
Policy And Regulation SEMINAR INTERNATIONAL
Supporting Inclusion In Indonesia
Wiwik Setyaningsih, Unit Kajian Aksesibilitas Arsitektur (UKAA) UNS - 2005
6
Tabel 1.: Standar Aksesibilitas Pada Bangunan Fasilitas Pelayanan Umum
Elemen Standar Minimal Standar yang direkomendasikan
Pintu
Masuk/ Keluar
� Pintu masuk/keluar bangunan harus
cukup lebar minimal 80 cm dan hendaknya dikonstruksi sedemikian
rupa sehingga dapat dilalui oleh
pengguna kursi roda. � Dari pintu masuk/keluar menuju ke
meja penerima tamu (reception) perlu dilengkapi dengan jalur
pemandu (ubin pengarah dan ubin peringatan).
� Pintu bangunan hendaknya dikonstruksi
sedemikian rupa sehingga para pengguna kursi roda dapat melaluinya dengan mudah dan lebar
pintu minimum 90 cm.
� Pintu utama masuk/keluar sebaiknya pintu otomatis, lebar minimal 120 cm, sedangkan pintu
masuk/keluar lainnya hendaknya memiliki lebar minimal 90 cm.
� Pada dasarnya diperlukan jalur pemandu (ubin pengarah dan ubin peringatan) dari pintu
masuk/keluar menuju ke meja penerima tamu.
Koridor � Lebar koridor minimal 120 cm sehingga pengguna kursi roda
dapat melaluinya dan perlu
disediakan ruang yang longgar agar pengguna kursi roda dapat
berputar. � Apabila dalam suatu bangunan terdapat perbedaan ketinggian lantai, perlu dipasang ramp yang dapat menghilangkan perbedaan
ketinggian lantai tersebut
� Lebar koridor sebaiknya 180 cm atau lebih sehingga dua pengguna kursi roda dapat
berpapasan dan merubah arah dengan mudah
dan perlu disediakan ruang yang longgar agar pengguna kursi roda dapat berputar. Jika fasilitas
ini disediakan, lebar koridor dan lainnya minimal 140 cm.
� Apabila dalam suatu bangunan terdapat perbedaan ketinggian lantai, perlu dipasang
alat/sarana seperti ramp yang dapat menghilangkan perbedaan ketinggian lantai.
Tangga � Apabila dalam suatu bangunan
terdapat tangga, perlu dipasang
pegangan tangan (handrail). � Warning blocks atau ubin peringatan dan ubin pengarah perlu dipasang pada bagian atas tangga.
� Apabila dalam suatu bangunan terdapat tangga,
perlu dipasang pegangan tangan (handrail) pada ke dua sisinya.
� Tinggi setiap anak tangga maksimal 16 cm dan
lebar tapak anak tangga minimal 30 cm. � Pada bagian atas tangga perlu dipasang warning blocks atau ubin peringatan.
Ramps/ Slope
ways
� Pada ramp atau slopeway perlu dipasang pegangan tangan
� Lebar ramp minimal 120 cm dengan kemiringannya 70 – 80 atau 1/12
� Warning blocks perlu dipasang pada slopeway.
� Ramp atau slopeway perlu dipasang pegangan tangan (handrail) pada ke dua sisinya.
� Lebar ramp atau slopeway sebaiknya 150 cm atau lebih dan kemiringannya 70 – 80 atau 1/12 atau
kurang.
� Warning blocks perlu dipasang pada bagian atas slopeway.
Kamar
mandi/ KM/WC
� Jika bangunan terdapat kamar
mandi minimal disediakan satu kloset duduk untuk digunakan
pengguna kursi roda, serta satu kloset jongkok untuk umum.
� Pada prinsipnya 2% atau lebih dari jumlah kloset
yang tersedia pada setiap lantai bangunan sebaiknya berupa kloset duduk yang dapat
digunakan oleh pengguna kursi roda.
Area
parkir
� Apabila terdapat area parkir, perlu
disediakan minimal satu tempat parkir untuk pengguna kursi roda
dengan lebar minimal 350 cm. � Tempat parkir bagi pengguna kursi
roda hendaknya terletak di dekat
pintu masuk/keluar area parkir.
� Apabila terdapat area parkir, pada prinsipnya
minimal 2% dari tempat parkir dalam area parkir tersebut sebaiknya diperuntukkan bagi pengguna
kursi roda. Lebar tempat parkir adalah 350 cm. � Tempat parkir bagi pengguna kursi roda terletak
di dekat pintu masuk/keluar area parkir
Sumber: United Nations (1995: 27 – 28), diterjemah ulang oleh UKAA FT UNS, 2003. (Dirangkum pada “bill for the promotion of construction of specific buildings accessible to elderly persons or persons with disabilities”).
Policy And Regulation SEMINAR INTERNATIONAL
Supporting Inclusion In Indonesia
Wiwik Setyaningsih, Unit Kajian Aksesibilitas Arsitektur (UKAA) UNS - 2005
7
Analisa dan Hasil Penelitian Aksesibilitas Bangunan Gedung di Surakarta
Ada 22 variabel guna mengkaji 21 bangunan gedung di Surakarta (N=21):
Diawali dari luar bangunan (out door) sampai ke bangunan (in door). Pertama dari fasilitas
umum halte dan trotoar menuju ke halaman bangunan gedung terdapat perbedaan
ketinggian, belum terpasang ramp. Dari area parkir dan sirkulasi, hanya 5(5/N=21) yang
sudah memfasilitasi parkir khusus penyandang cacat. Selanjutnya dari halaman gedung
menuju ke teras dan main hall, 12 (12/=21) bangunan gedung menggunakan anak tangga
tanpa ramp, hand-rail dan guiding- block, serta peta braile. Hanya sebagian bangunan
gedung 9 (9/N=21) yang menyediakan ramp menuju teras dan main hall. Setelah berada di
main hall belum ditemukan counter rendah khusus bagi pengguna kursi roda. Hampir
semua bangunan gedung 15 (15/N=21) belum menyediakan kloset duduk, dan hanya 1
(RS. Dr. Oen) yang sudah aksesibel dengan luasan dapat untuk berputar kursi roda,
dilengkapi rambu penyandang cacat, serta handrail.
Dari hasil kajian elemen aksesibilitas pada 21 bangunan gedung di Surakarta, dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar bangunan gedung 14(14/N=21) di Surakarta belum
aksesibel. Salah satu Bangunan Gedung yang dirancang sebagai public space yang
cenderung aksesibel adalah Bangunan Pasar Gede. Namun, pemanfaatan, manajemen dan
pemeliharaannya masih sangat kurang karena tidak ada monitoring dan penegakan
hukum/aturan yang tegas. Dengan demikian banyak bangunan gedung fasilitas pelayanan
umum yang belum dapat diakses oleh penyandang cacat. Dari hasil kajian elemen
aksesibilitas pada 21 bangunan gedung di Surakarta dapat ditarik asumsi bahwa, secara
umum bangunan gedung tersebut belum memiliki kualifikasi strandar aksesibilitas (tabel.1)
Guna menganalisis kajian elemen aksesibilitas bangunan gedung di Surakarta
(N=21), ada 22 variabel untuk kriteria skorring penilaian elemen aksesibilitas :
� Rangkuman Standar Aksesibilitas Tabel 2.5.1 (United Nations, 1995) � Persyaratan teknis aksesibilitas pada : Ukuran dasar ruang fungsional, Jalur
pedestrian dan pemandu, Area parkir, Rambu, Ramp, Tangga, Lift, Pintu, KM/WC dan Wastafel, Telepon/ATM dan Perabotan (Kepmen. PU. No. 468/KPTS/1998).
� Faktor Pemberat (Weight Factor), nilai faktor fungsional dan karakter dari setiap elemen ruang.
Jenis Bangunan : ………………………………………. Nama Bangunan : ……………………………………….
Dibangun tahun : ………………………………………. Alamat/Lokasi : ……………………………………….
Tanggal : ………………………………………. Surveyor : ……………………………………….
Policy And Regulation SEMINAR INTERNATIONAL
Supporting Inclusion In Indonesia
Wiwik Setyaningsih, Unit Kajian Aksesibilitas Arsitektur (UKAA) UNS - 2005
8
No Kisaran Skor Kriteria/Score Keterangan
1.
151 - 200 A/ 4 Aksesibilitas Baik Aksesibilitas Baik, Aksesibel sempurna standar
2.
101 - 150 B/ 3 Aksesibilitas Cukup Aksesibilitas Cukup, Aksesibel sebagian standar
3.
51 - 100 C/ 2 Aksesibilitas Kurang Aksesibilitas Kurang, Aksesibel tidak standar
4.
0 - 50 D/1 Tidak Ada Aksesibilitas Aksesibilitas Tidak Ada, Tidak aksesibel
Tabel.2: Penilaian Komponen Aksesibilitas Bangunan Gedung
Fasilitas Pelayanan Umum di Surakarta secara Keseluruhan ( N = 21 bangunan gedung)
No Komponen Keterangan Sco
re
1. Trotoar WF=3
� Lebar trotoar 2-3 m, relatif datar, menggunakan paving block. Beberapa trotoar dipergunakan oleh PKL sehingga penca cacat sulit mengakses.
� Cenderung belum terdapat ramp pada setiap sambungan antar trotoar
6
2. Halte Bus
WF=3 � Halte bus relatif sedikit, semuanya belum terdapat ramp dan guiding block, sehingga penyandang cacat sulit mengakses mencapai halte bus.
3
3. Main entrance WF=1
� Main entrance bangunan gedung sudah jelas berada di bagian depan di tepi jalan, terpasang papan nama sebagai identitas bangunan.
3
4. Halaman
WF=1 � Halaman relatif luas, permukaan datar, sudah terlihat penataan space pembagian fungsi (parkir,taman), belum terdapat guiding block dan ramp.
3
5. Area parkir WF=2
� Memiliki area parkir cukup, Sudah terdapat pembangian tempat kendaraan roda empat dan roda dua, namun belum terdapat jalur khusus dan guiding block serta tempat dan tanda parkir khusus untuk penyandang cacat.
6
6. Kanopi WF=2
� Memiliki kanopi cukup untuk 1 kendaraan roda empat, permukaan datar,. � Cenderung belum ada jalur khusus ramp dan guiding block sehingga pengguna kursi
roda kesulitan untuk mengakses.
4
7. Teras
WF=1 � Memiliki teras lebar 2 -3 m, datar, menggunakan lantai keramik, licin. � Terdapat tangga dan hanya terlihat beberapa bangunan yang telah melengkapi dengan ramp, sudut kemiringan curam sekitar 150, serta belum terdapat guiding block.
2
8. Pintu
WF=2 � Memiliki pintu lebar 2 m (2 pasang), sudah terdapat area bebas ayunan,. � Ketinggian pegangan/handle 1 m, pengguna kursi roda sulit menjangkau, material kaca
semua, berbahaya bagi kursi roda dan stick tuna netra.
6
9. Main hall WF=2
� Memiliki main hall cukup, relatif datar, lantai keramik licin. 6
10. Meja inform. WF=2
� Disediakan meja informasi ketinggian 1 m, pengguna kursi roda sulit menjangkau, belum ada tanda khusus pelayanan untuk penca.
4
11. Tangga WF=3
� Lebar anak tangga/unstrade 40 cm, ketinggian/upstrade 30 cm. Sudah dilengkapi dengan pegangan/hand rail, menggunakan keramik licin. .
6
12. Ramp WF=4
� Belum terdapat ramp, hanya sebagian gedung dipasang ramp pada bagian tangga depan menuju teras yang sifatnya tambahan dengan kemiringan sekedar mencocokkan dengan area yang ada, tanpa pegangan, belum terpasang guiding block, sehingga cenderung tidak aksesibel.
4
13. Ruang lif WF=2
� Rata-rata bangunan gedung di Surakarta tidak memiliki ruang lift, karena hanya 3 lantai, jadi dirasa kurang efisien dan terlalu mahal biayanya.
0
14. Telpun/ ATM WF=4
� Masih sebagian yang menyediakan ruang telpun/ATM, khusus untuk penyandang cacat belum ada, pengguna kursi roda kesulitan menjangkau.
4
15. Area istirahat WF=3
� Belum disediakan tempat duduk untuk istirahat, padahal sebagian besar relatif masih bisa sebagai tempat istirahat jika ada tempat duduknya.
6
Policy And Regulation SEMINAR INTERNATIONAL
Supporting Inclusion In Indonesia
Wiwik Setyaningsih, Unit Kajian Aksesibilitas Arsitektur (UKAA) UNS - 2005
9
16. Jalur sirkulasi WF=2
� Memiliki jalur sirkulasi lebar 2 – 3m, permukaan relatif datar menggunakan lantai keramik licin bagi pengguna kruk. Semua nya belum terpasang guiding block kecuali bangunan pasar gede.
4
17. Ruang Utama/ Ruang Serbaguna
WF=2
� Memiliki luasan mencukupi, permukaan relatif datar, menggunakan lantai keramik licin. Area sirkulasi dan penataan perabot sering kurang diperhatikan, terlihat kurang menjamin kenyamanan dan kemandirian penyandang cacat yaitu pengguna kursi roda
untuk berputar.
6
18. KM/WC WF=4
� Bangunan di Surakarta belum memiliki KM/WC yang aksesibel kecuali bangunan Pasar Gede dan RS. Dr. Oen. Luasannya tidak cukup untuk berputar kursi roda, belum
terpasang closet duduk, tanpa pegangan.
8
19. Mushola WF=2
� Ruang mushola relatif sempit,sudah ada pemisahan hijab. Tempat wudu dan toilet sudah terpisah. Belum ada yang dilengkapi dengan ramp menuju ke area sholat, sehingga pengguna kursi roda kesulitan.
4
20. Kantin WF=1
� Memiliki kantin, tetapi belum ada yang aksesibel 1
21. Pantry WF=1
� Memiliki luasan pantry mencukupi, tetapi hanya diperuntukkan untuk pegawai yang tidak memeliki kecacatan fisik.
1
22. Gudang WF=1
� Memiliki luasan mencukupi, tetapi hanya diperuntukkan untuk pegawai yang tidak memeliki kecacatan fisik.
1
Score Total : 88
Kriteria : C
Keterangan : Kurang aksesibel
Gambar 1 : Guiding block dan ramp dg kemiringan 7 derajat, sehingga pengguna kursi roda bisa mengakses
secara mandiri pada Bangunan Gedung Pasar Gede Surakarta Sumber : Dokumentasi CUDD dan UKAA, 2002
Gambar 2 : Ramp pada Bangunan Gedung Balaikota Surakarta (terpasang pada bagian samping dan bagian depan bangunan utama)
Sumber : Dokumentasi UKAA, 2003
Policy And Regulation SEMINAR INTERNATIONAL
Supporting Inclusion In Indonesia
Wiwik Setyaningsih, Unit Kajian Aksesibilitas Arsitektur (UKAA) UNS - 2005
10
Dari hasil kajian pada 21 Bangunan Gedung di Surakarta (N=21), hanya terdapat 7
(7/N=21) bangunan gedung cukup aksesibel walaupun belum sempurna. Sehingga dapat
dikatakan bahwa sebagian besar bangunan gedung di Surakarta belum aksesibel.
Pengamatan empiris dilapangan menujukkan bahwa beberapa bangunan gedung sudah
memasang ramp berdampingan dengan tangga untuk menuju main hall, tetapi kemiringan
masih curam (melebihi 8o), perlengkapan hand rail belum ada, menggunakan material
keramik licin. Luasan KM/WC belum dapat untuk berputar pengguna kursi roda (luasan
kurang dari 1,80x1,80m2), serta belum terpasang hand rail/pegangan di bagian dalam,
ketinggian closet lebih dari 45-50 cm).
Hasil pengamat wawancara dengan stakeholders, pemahaman tentang rambu tuna
netra guiding block masih sangat kurang. Hal ini terbukti belum ada satu bangunan gedung
pun yang menggunakan rambu guiding block yang memenuhi standar aksesibilitas. Dalam
hal ini tim peneliti harus memberikan penjelasan secara visual kepada pihak perusahaan
tegel dan memberikan contoh bentuk tegel guiding block. Dengan demikian untuk
implementasi pemasangan rambu guiding block memerlukan pemesanan yang memakan
waktu cukup lama, karena bagi pihak perusahaan tegel merupakan hal yang baru, belum
pernah dikerjakan oleh satupun perusahaan tegel di Surakarta.
KESIMPULAN
Beberapa hal yang menjadi kendala dalam mewujudkan bangunan gedung yang aksesibel
(universal design sebagai architectural barrier free) bagi kelompok masyarakat yang
berkebutuhan khusus termasuk penyandang cacat dan lansia dikarenakan beberapa hal
yakni:
� Kurangnya pengetahuan dan pemahaman dari pemilik/pengelola bangunan gedung
mengenai acuan aksesibilitas dan kelompok masyarakat yang berkebutuhan khusus.
Oleh karena itu diperlukan upaya sosialisasi memberikan pengetahuan, pemahaman
serta simulasi untuk kepedulian terhadap penyandang cacat.
� Akibat dari terbatasnya pengetahuan tersebut, pemilik/pengelola bangunan gedung
belum tergerak untuk memberikan perhatian kepada penyandang cacat, sehingga
kebutuhan penyandang cacat terabaikan. Sehingga diperlukan adanya reward system
bagi pemilik dan pengelola bangunan gedung yang sudah memiliki kepedulian terhadap
penyandang cacat dalam mewujudkan bangunan gedung yang aksesibel seperti tertera
dalam UUBG.
Policy And Regulation SEMINAR INTERNATIONAL
Supporting Inclusion In Indonesia
Wiwik Setyaningsih, Unit Kajian Aksesibilitas Arsitektur (UKAA) UNS - 2005
11
REKOMENDASI
Untuk dapat merealisasikan terwujudnya bangunan gedung yang aksesibel, maka
diharapkan dari pihak terkait antara aparat pemerintah, swasta, pengelola/pemilik, penyedia
jasa dan masyarakat pada umumnya, dapat merealisasikannya secara terpadu, sinergis dan
koordinatif agar tercapai target utama yaitu tersosialisasinya UUBG dan menindaklanjuti
program aksi dalam mewujudkan bangunan gedung yang manusiawi, bermartabat dan
dapat diakses oleh semua kelompok masyarakat tanpa terkecuali.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2001, A City For All, Barrier-Free Environment Finland; National Center on Accessibility (NCA); Integrated National Disability Strategy of the Government of National Unity, (CUDD), Dept. of Arhitecture, Gadjah Mada University, Indonesia.
Anonim, 1998, Design an Accessible City, Corporation of London.
Departemen Sosial RI, 2002, Buku Panduan Program Departemen Sosial RI 2002
ESCAP, 1995, Promotion of Non-Handicapping Physical Environments for Disabled Persons: Case-studies, ESCAP, United Nations, New York.
Haryadi, dan B. Setiawan, 1995, Arsitektur Lingkungan dan Perilaku, Suatu Pengantar ke Teori Metodologi dan Aplikasi, PPSL DIRJEN DIKTI DEPDIKBUD RI.
Ikaputra, 2002, The Role of Guiding Blocks to Promote Barrier-Free Environment in Indonesia, Paper presented at International Conference for Universal Design, Yokohama, Japan.
Lynch, K, 1987, Good City Form. The MIT Press.
Lysack, 1992, Community Based Rehabilitation Disability Attitudes, Beliefs, and Behaviour (DABB) Study in North Sulawesi, Indonesia, Queen’s University, Canada.
Miles,M,B & A, Hubberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, (Terjemahan: Tjetjep Rohendi Rohidi), Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Newman,O, 1972, Defensible Space: People and Design in the Violent City, Macmillan, New York.
Rapoport, A, 1987, The Meaning of The built Environment, An Nonverbal Communication Approach, Sage Publication.
Setyaningsih, W, 2000, Identifikasi Setting Perilaku Pengguna pada Area Parkir sebagai Guide Line Perencanaan Kebutuhan Fasilitas Parkir yang Optimal, UGM, Jogja.
Setyaningsih, W, 2003, TOT dan Penelitian Aksesibilitas Bangunan Gedung di Surakarta, UKAA FT
UNS ( Laporan Penelitian) + Kimpraswil.
Setyaningsih, W, 2004, Pendataan Elemen Aksesibilitas pada 40 Bangunan Gedung di DKI Jakarta UKAA FT UNS (Laporan Penelitian) + Kimpraswil.
Tim Penyusun Pedoman Teknis Persyaratan Teknis Bangunan Gedung, 2002, Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, Departemen
Permukiman Dan Prasarana Wilayah, Jakarta.
Zeisel, J, 1981, Inquiry By Design : Tools for Environment-Behavior Research, Cambridge University Press, Cambridge.
Policy And Regulation SEMINAR INTERNATIONAL
Supporting Inclusion In Indonesia
Wiwik Setyaningsih, Unit Kajian Aksesibilitas Arsitektur (UKAA) UNS - 2005
12
Policy And Regulation SEMINAR INTERNATIONAL
Supporting Inclusion In Indonesia
Wiwik Setyaningsih, Unit Kajian Aksesibilitas Arsitektur (UKAA) UNS - 2005
13