Upload
amelia-christiana
View
24
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MODUL ORGAN ENDOKRIN METABOLIK DAN GIZI
SEORANG WANITA YANG MENGELUH KEDUA TUNGKAINYA BENGKAK
KELOMPOK 4
ABDULLAH 030.08.002
ADIWENA SWARDHANI RAHAYU 030.08.007
AGATA NOVITASARI 030.08.009
AHMAD NUGROHO 030.08.013
AKBAR SIDIQ 030.08.014
ALBERTO AFRIAN RUSLI 030.08.015
ALTAMA 030.08.019
AMANDA PRAHASTIANTI 030.08.020
AMELIA CHRISTIANA 030.08.021
ANDRE FERRYANDRI SUSANTIO 030.08.025
ANDREAS KURNIAWAN SUWITO 030.08.026
ANDRIANUS S D 030.08.027
ANINDITA JUWITA P 030.08.283
M AZRI AZMI BIN YAHAYA 030.08.283
MUHAMMAD IKMAL BIN HAZLI 030.08.284
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA, 28 SEPTEMBER 2010
BAB I
PENDAHULUAN
Seperti halnya tutorial sebelumnya, pada tutorial Modul EMG yang ketiga ini jug terbagi dalam dua sesi. Pada sesi pertama diskusi dibimbing oleh dr. Suweino, Sp.Bkm selaku tutor. Diskusi berlangsung pada hari Jumat, 24 September 2010 pukul 08.00-9.50 WIB. Diskusi diikuti oleh 14 peserta, dipimpin oleh Sdr. Amanda Prahastianti selaku ketua dan Anindita Prahastianti selaku sekretaris.
Pada sesi kedua diskusi dibimbing oleh dr. Suweino, Sp.Bkm selaku tutor. Diskusi berlangsung pada hari Senin, 27 September 2010 pukul 13.00-14.50Wib. diskusi diikuti oleh 15 orang peserta, dipimpin oleh Ahmad Nugroho selaku ketua dan Agata Novitasari selaku sekretaris.
BAB II
LAPORAN KASUS
KASUS Ny Ani (81 tahun):
Ibu Ani, 81 tahun datang ke RS tempat saudara bekerja mengeluh bengkak seluruh tubuh terutama pada kedua tungkai bawahnya. Karena masalah keluarga, Ibu Ani akhir-akhir ini sering marah-marah dan 2-3 bulan ini makanya sedikit karena katanya tidak ada keinginan untuk makan. Sejak dua minggu terakhir, ia menyadari bahwa kedua tungkainya benkak bahkan seluruh badannya.
TB:165cm, BB :58kg, TD : 110/80, Nadi : 88x/menit, Pernapasan : 24x/menit
Menurut keluarga, berat badan ibu Ani sekitar 3 bulan yang lalu kira-kira sama, tetapi sekarang tampek lebih kurus namun peri\utnya keliatan besar. Ibu Ani dahulu jarang sakit dan tidak sedang dalam pengobatan apapun.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
Ibu Ani sakit sedang
Wajah agak pucat
Conjugtiva anemis
Kelenjar tiroid tidak membesar
Paru : ronkhi basah halus pada basal kedua paru
Jantung : terdengar bising sistolik dengan PMI di i.c II pada garis sternalis kanan derajat 3
Abdomen : shifting dullness (+), hepar teraba 1 jari di b.a.c, lien tidak teraba
Kedua tungkai bawah : edema, pitting
Hasil pemeriksaan laboratorium :
Hb 10,1gr% , leukosit 6200mm3
Hitung jenis 0/2/5/68/23/2
Albumin 2,1g% , globulin 4,3g%
Ureum 21mg%, kreatinin 1,3mg%
SGOT 43u, SGPT 48i.u
Urin : protein +1, eritosit 0-1, leukosit 5-6, silinder (-)
CXR : jantung dan paru dalam batas normal
PEMBAHASAN KASUS
ANAMNESIS
IDENTITASo Nama : Ny. Ani
o Umur : 81 tahun
o Jenis kelamin : perempuan
o Status : -
o Alamat : -
Keluhan UtamaBengkak Seluruh Tubuh terutama pada kedua tungkainya
Anamnesis Tambahan:Riwayat Penyakit Sekarang:o Adakah pasien merasakan kelemahan tubuh?
o Berapakah berat badan sebelum sakit, adakah peningkatan atau penurunan?
o Bagaimana asupan makan pasien?
Riwayat Pengobatan:
o Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan apapun
Riwayat Penyakit Dahulu:
o Apakah pasien mempunyai riwayat menderita penyakit jantung?
o Apakah Pasien mempunyai riwayat menderita penyakit hati?
o Apakah pasien mempunyai riwayat menderita penyakit ginjal?
o Apakah pasien menderita DM?
Riwayat kebiasaan :
o Kebiasaan minum alkohol?
o Kebiasaan merokok?
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital :
o TD : 110/80
o Nadi : 88x/menit
o Pernapasan : 24x/menit
o Antropometri :
TB : 165 cmBB : 58 kg
Inspeksi
Pada kedua tungkai bawah tampak edema, simetris, pitting, warna kulit biasa, tak tampak kemerahan atau p9ucat, conjungtiva anemis.
Palpasi
Kelenjar tiroid tidak membesar, hepar teraba 1 jari b.a.c, lien tidak teraba, pitting oedem di kedua tungkai.
Perkusi
Shifting dullness (+)
Aukultasi
Ronkhi basah halus di basal kedua paru, bising sistolik dengan PMI di i.c II pada garis sternalis kanan derajat 3.
Interpretasi hasil laboratorium :
Hb 10,1gr% (menurun ) ( 12-16gr%)
Leukosit 6200mm3 (5000-10000mm3
Hitung jenis 0/2/5/68/23/2 (0-1/ 0-3/ 2-6/ 50-70/ 20-40/ 2-8)
Albumin 2,1g% (menurun) (3,8-5g%)
Globulin 4,3g% (meningkat) (2,3-3,2g%)
Ureum 21mg% (15-40mg%)
kreatinin 1,3mg% (0,5-1,5mg%)
SGOT 43u (meningkat) (5-40u)
SGPT 48i.u (meningkat) (5-41i.u)
Urin : protein +1 (0-1) (proteinuri)
eritosit 0-1 (normal: 0-1)
leukosit 5-6 ( 0-5) (meningkat)
silinder (-)
interpretasi hasil pemeriksaan penunjang :
CXR : jantung dan paru dalam batas normal tidak ada cardiomegali
Masalah Dasar pemikiran Hipotesis penyebabKurang asupan gizi Hipoalbuminemia, kurus anoreksia
Gangguan fungsi hepar Hepatomegali, peningkatan enzim hati, ascites
Kompensasi untuk sintesis albumin
Gangguan fungsi jantung Bising sistolik PMI i.c II sternal kanan
Stenosis aorta
Infeksi saluran kemih leukosituria Usia: perubahan Ph vagina, kurang menjaga kebersihan vagina
anemia Hb 10,1g% Asupan gizi yang kurangOedem seluruh tubuh Shifting dullness (+), pitting
oedemhipoalbuminemia
Gangguan paru Ronkhi basah halus pada basal kedua paru
Oedem paru
Patofisiologi :
Pada usia lanjut terjadi atrofi papilla pengecapan, hilangnya opioid endogen dan efek berlebihan kolesistokin menyebabkan timbulnya gejala anoreksia. Hal ini, diperberat dengan faktor psikologis pada pasien. Anoreksia yang berjalan cukup lama menyebabkan kurangnya intake gizi yang berakibat hipoalbuminemia dan anemia. Hipoalbuminemia merangsang hati untuk meningkatkan sintesis albumin hal ini menyebabkan terjadinya hepatomegali dan peningkatan enzim hati. Hipoalbuminemia juga menyebabkan oedem seluruh tubuh, bila terjadi oedem paru pada pemeriksaan fisik akan ditemukan ronkhi basal dibasal kedua paru dan peningkatan laju pernapasan. Pada usia lanjut protein kolagen pada katup dihancurkan dan digantikan dengan kalsium sehingga katup menjadi kaku dan tidak dapat membuka dengan sempurna. Setelah wanita mengalami menopause kadar estrogen akan menurun dengan drastis hal ini mengakibatkan Ph vagina menjadi lebih basa, perubahan pH vagina menyebabkan perubahan flora normal menyebabkan bakteri patogen berkoloni di vagina selain itu dengan bertambahnya usia biasanya wanita akan kurang menjaga kebersihan vagina. Infeksi saluran kemih pada pasien geriatri dapat tanpa gejala dan hanya ditandai dengan leukosituria.
Pemeriksaan tambahan :
Foto thorax untuk melihat keadaan dari paru, ada atau tidaknya oedem paru/efusi pleura
Echocardiogram
Pemeriksaan laju filtrasi glomerulus (GFR)
USG Hepar memastikan gangguan hepar
Rencana tindakan:
Non-medikamentosa :
- Edukasi kepada keluarga untuk menghindarkan pasien dari stress, memperbaiki status gizi pasien dengan gizi seimbang tinggi protein dan tinggi kalori.
- Rujuk ke ahli gizi.
Medikamentosa : Antibiotik untuk menanggulangi Infeksi saluran kemih
Pemberian suplemen vitamin dan preparat besi.
Prognosis :
Ad vitam: dubia ad Bonam
Ad fungtionam: dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam
BAB III PEMBAHASAN
Gizi Pada Geriatri.
I. Perubahan yang Dapat Terjadi
a. Perubahan anatomi dan fisiologi
Menua (aging) meruakan proses normal yang dimulai sejak konsepsi dan
berakhir saat kematian. Selam periode pertumbuhan, proses anabolisma melampaui
proses katabolisma. Pada saat tubuh sudah mencapai tingkat kematangan fisiologik,
kecepatan katabolisma atau proses degenerasi lebih besr daripada kecepatan proses
regenerasi sel (anabolisma). Akibat yang timbul adalah hilangnya sel-sel yang
berdampak dalam bentuk penurunan efisiensi dan gangguan fungsi organ(Whitney,
Catalgo, Rolfes, 1987; Prodrabky, 1992). Dengan demikian menua ditandai dengan
kehilangan secara progresif lean body mass (jaringan aktif tubuh) dan perubahan-
perubahan di semua system di dalam tubuh manusia. Berikut ini adalah perubahan
fisiologik yang berhubungan dan mempengaruhi status gizi lansia.
b. Indera
Indera pengecap, pencium dan penglihatan menurun yang akan secara
langsung dan tak langsung mempengaruhi nafsu makan dan asuapan makanan.
Papila pengecap mulai mengalami atrofi pada usia 50 tahun, dari jumlah 245 pada
anak menjadi hanya 88 pada usia 74-85 tahun. Terjadi penurunan sensitifitas
terhadap rasa manis dan asin. Selain itu muncul glossodyna atau nyeri pada lidah.
c. Saluran cerna/digestif
Terjadi perubahan-perubahan pada kemampuan disgesti dan absorbsi yang
terjadi sebagai akibat hilangnya opioid endogen dan efek berlebihan dari
kolesistokin. Akibat yang muncul adalah anoreksia.
Penyakit periodonsia dan gigi palsu yang tidak tepat akan makin memberikan
rasa sakit dan tak nyaman saat mengunyah. Selain itu sekresi ludah juga menurun
hingga terjadi gangguan pengunyahan dan penelanan.
Hipoklorhidria yang terjadi oleh karena berkurangnya sel-sel parietal mukosa
lambung akan mengakibatkan penurunan absorpsi kalsium dan non-hem-iron.
Terjadi pula overgrowth bakteri yang akan menurunkan bioavailability B12,
malabsorbsi lemak, fungsi asam empedu yang menurun dan diare. Selain itu terjadi
penurunan motilitas usus, hiungga terjadi konstipasi.
d. Metabolisma
Pada lansia dapat terjadi penurunan toleransi glukosa yang akan
mengakibatkan kenaikan glukosa di dalam plasma sekitar 1,5 mg/dl untuk tiap
dekade umur. Hal ini terjadi mungkin karena penurunan produksi insulin atau
karena respon jaringan terhadp insulin yng menurun.
Metabolisma basal (BM) menurun sekitar 20% antara usia 30-90 tahun. Hal
ini terjadi karena berkurangnya lean body mass pada lansia.
e. Ginjal
Fungsi ginjal menurun sekitar 50 % antara usia 30-80 tahun. Reaksi respon
asam basa terhadap perubahan-perubahan metabolik melambat. Pembuangan sisa-
sia metabolisma protein dan elektolit yang harus dilakukan ginjal akan merupakan
beban tersendiri.
f. Fungsi jaringan
Pad usia sekitar 75 tahun, maka prosentsenya fungsi jaringan yang tertinggal adalah
82 % untuk cairan/air tubuh, 56% glomerulus, 63 % serat syaraf, 36 % taste buds
dan 56 % berat otak.
II. Gangguan Gizi
Gangguan gizi yang dapat muncul pada usia lanjut dapat berbentuk gizi kurang
maupun gizi lebih. Gangguan ini dapat menyebabkan munculnya penyakit atau terjadi
sebagi akibat adanya penyakit tertentu. Oleh karena itu langkah pertama yang harus
dilakukan adalah menetukan terlebih dahulu ada tidaknya gangguan gizi, mengevaluasi
faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan gizi serta merencakan bagaimana
gangguan gizi tersebut dapat diperbaiki.
III. Metabolisme Energi
Produksi energi untuk tiap m2 luas tubuh menurun secara progresif dengan
bertambahnya usia. Rata-rata penurunanya dalah 12 kal/m2/jam untuk tiap tahun antara
usia 20 – 90 tahun. Penurunan ini terjadi oleh karena berkurangnya jaringan aktif
(metabolizing tissue) sejalan dengan bertambahnya usia.
Produksi energi ini merupakan produksi untuk metabolisme basal ditambah
dengan energi untuk aktifitas. Kebutuhan energi untuk aktivitas menurun lebih besar
daripada untuk metabolisme basal, terutama pada lansia.
IV. Kecukupan Zat-Zat Gizi
Tiap Negara mempunyai standar /baku untuk kebutuhan zat-zat gizi dengan
menggunakan standar FAO/WHO sebagai acuan utamanya. Indonesia memiliki Daftar
Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (KGA) untuk energi dan zat-zat gizi lainnya yang
diperbaharui tiap 5 tahun melalui Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. Berikut ini
contoh KGA untuk lansia yang dikeluarkan oleh Depkes RI dan Negara Inggris
(Brocklehurst dan Allen, 1987; Van der Cammen, Rai, Exton-Smith, 1991; Muhilal,
Fasli Jalal, Hardinsyah,1997).
Tabel 1. Asupan yang dianjurkan
Laki-laki Perempuan
Inggris Indonesia Inggris Indonesia
75 + 60 + 75 + 60 +
Energi (Kal) 2100 2200 1900 1850
Protein (gram) 53 62 48 54
Zat besi (mgram) 10 13 10 14
Kalsium (mgram) 500 500 500 500
Vit. C (mgram) 30 60 30 60
Apabila dijabarkan dalam porsi makanan/ukuran rumah tangga, maka KGA
lansia untuk Indonesia adalah seperti dalam table 2
Tabel 2. Kecukupan makan satu hari (usia 60 tahun ke atas)
Jenis bahan makan Laki-laki Perempuan
1. Nasi 3 x 200 gram 2 x 200 gram
(3 x 1,5 gls blimbing) (2 x 1,5 gls blimbing)
2. Lauk daging/ikan, 1,5 x 50 gram 2 x 50 gram
tempe 5 x 25 gram ( 1pt kecil ) 4 x 25 gram ( 1 pt kecil )
Kalau tahu 5 x 50 gram 4 x 50 gram
Sumber : Leaflet DepKes RI
V. Keadaan Gizi Lansia
Lansia seperti juga tahapan-tahapan usia yang lain dapat mengalami baik keadaan
gizi lebih maupan kekurangan gizi. Boedhi-Darmoyo (1995) melaporkan bahwa lansia
di Indonesia yang dalam keadaan kurang gizi ada 3,4 %, BB kurang 28,3 %, BB ideal
berjumlah 42,4 %, BB lebih ada 6,7 % dan obesitas sebanyak 3,4 %. Temuan proporsi
lansia yang kurang gizi di Indonesia pada tahun 1994 tersebut tak banyak berbeda
dengan temuan di Inggris pada tahun1972 dan 1979 yakni sebanyak 3 %. Setelah di
follow up ternyata lansia di Inggris yang menjadi kurang gizi meningkat 2 kali lipat
lima tahun kemudian (Brocklehurst dan Allen, 1987; Van der Cammen, Rai, Exton-
Smith, 1991). Selanjutnya Wichaidit (1995) melaporkan bahwa ada 10-60 % lansia di
Thailand yang menderita anemia dan 80-90 % lansia mengkonsumsi kalsium kurang
dari 2/3 dari kecukupan yang dianjurkan.
Terjadi kekurangan gizi pada lansia oleh karena sebab-sebab yang bersifat primer
maupaun sekunder. Sebab-sebab primer meliputi ketidaktahuan isolasi sosial, hidup
seorang diri, baru kehilangan pasangan hidup, gangguan fisik, gangguan indrera,
gangguan mental, kemiskinan dan iatrogenik. Sebab-sebab sekunder meliputi gangguan
nafsu makan/selera, gangguan mengunyah, malabsorpsi, obat-obatan, peningkatan
kebutuhan zat gizi serta alkoholisme. Ketidaktahuan dapat dibawa sejak kecil atau
disebabkan olah pendidikan yang sangat terbatas. Isolasi sosial terjadi pada lansia yang
hidup sendirian, yang kehilangan gairah hidup dan tidak ada keinginan untuk masak.
Gangguan fisik terjai pada lansia yang mengalami hemiparese/hemiplegia, artritis dan
ganggun mata. Gangguan mental terjadi pada lansia yang dement dan mengalami
depresi. Kondisi iatrogenik dapat terjadi pada lansia yang mendapat diet lambung untuk
jangka waktu lama, hingga terjadi kekurangan vitamin C. selanjutnya gangguan selera,
megunyah dan malabsorbsi terjadi sebagi akibat penurunan fungsi alat pencernaan dan
pancaindera, sebagai akibat penyakit berat tertentu, pasca operasi, ikemik dinding perut
dan sensitifitas yang meningkat terhadap bahan makanan tertentu seperti lombok,
santan, lemak dan tepung ber ’gluten’(misalnya ketan). Kebutuhan yang meningkat
terjadi pada lansia yang mengalami keseimbangan nitrogen negatif dan katabolisme
protien yang terjadi pada mereka yang harus berbaring di tempat tidur untuk jangka
waktu lma dan yang mengalami panas yang tinggi.(1)
Kondisi kekurangan gizi pada lansia dapat terbentuk KKP(kurang kalori protein)
kronik, baik ringan sedang maupun berat. Keadaan ini dapat dilihat dengan mudah
melalui penampilanumum, yakni adanya kekurusan dan rendahnya BB seorang lansia
dibanding dengan baku yang ada. Kekurangan zat gizi laing yang banyak muncul
adalah defisiensi besi dalam bentuk anemia gizi, defisiensi B1 dan B12.
Kelebihan gizi pada lansia biasanya berhubungan dengan afluency denga ngaya
hidup pada usia sekitar 50 tahun. Dengan kondisi ekonomi yang membaik dan
tersedianya berbagai makanan siap sji yang enak dan kaya energi. Utamany sumber
lemak, terjadi asupan makan dan zat-zat gizi melebihi kebutuhan tubuh. Keadaan
kelbihan gizi yang dimulai pada awal usia 50 tahun-an ini akan membawa lansia pada
keadaan obesitas dan dapat pula disertai dengan munculnya berbagai penyakit
metabolisme seperti diabetes mellitus dan dislipidemia. Penyakit-penyakit tersebut akan
memerlukan pengelolaan dietetik khusus yang mungkin harus dijalani sepanjang usia
yang masih tersisa.
VI. Penentuan Status Gizi
Status gizi pada lansia dapat dinilai dengan cara – cara yang baku bagi berbagai
tahapan umur yakni penilaian secara langsung dan tak langsung. Penilaian secara
langsungdilakukan melaui pemeriksaan klinik, antropometrik, biokimia dan biofisik.
Di dalam melakukan pemeriksaan klinik perlu dibedakan tiga kelompok gejala
yaitu: (1) tanda-tanda yang dianggap mempunyai nilai dalam pemeriksaan gizi; (2)
gejala-gejala yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut; (3) gejala-gejala yang tidak
berhubungan dengan gizi. Tanda-tanda yang masuk ke tiga kategori dapat ditemukan di
berbagai organ seperti rambut, lidah, konjungtiva, bibir, kulit, hati, limpa dan
sebagainya.
Pemeriksaan antropometrik adalah pengukuran variasi berbagai dimensi fisik dan
komposisi tubuh secara umum pada berbagai tahapan umur dan derajat kesehatan.
Pemgukuran yang dilakukan meliputi berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan
tebal lemak di bawah kulit. Semua hasil pengukuran tersebut harus dikontrol terhadap
umur dan jenis kelami. Dalam melakukan interpretasi, digunakan berbagai bahan baku
(standard) internasional maupun nasional seperti baku WHO, NCHC, Havard, dan
sebagainya. Perlu ditekankan disini bahwa pemeriksaan tinggi badan pada lansia dapat
memberikan nilai kesalahan yang cukup bermakna oleh karena telah terjadinya
osteoporosis pada lansia yang akan berakibat pada kompresi tulang-tulang columna
vertebral. Untuk itu para ahli sepakat bahwa sebagai gantinya tinggi badan dapat
dipakai panjang rentang tangan (armspan) dalam penentuan indeks massa tubuh (BMI)
(Rabe, Thamrin, Gross, Salomons, Schultink,1995). Ternyata korelasi koefisien antara
BMI dengan BMA (body mass-armspan) cukup tinggi yaitu 0,83 dan 0,81 untuk wanita
dan untuk pria dengan nilai p-0,001.
Pemeriksaan biokimia dapat dilakukan terhadap berbagai jaringan tubuh, namun
yang paling lazim, mudah dan praktis adalah darah dan urine. Zat-zat gii tertentu dapat
dievaluasi statusnya melalui pemeriksaan biokimiawi seoerti vitamin A, besi, iodium
protein dan sebagainya.
Pemeriksaan biofisik dilakuakan misalnya terhadap tulang untuk menilai derajat
osteoporosis, jantung untuk kecurigaan beri-beri dan smear terhadap mukosa organ
tertentu.
VII. Nutrisi Enteral dan Parenteral
Pada keadaan tertentu, terkadang diperlukan pemberian makan secara enteral
maupun parenteral bagi lansia, terutama yang mengalami perawatan di rumah sakit.
Aspen (American Society for Parenteral and Enteral Nutrition) Board of Directors telah
membuat pedoman umum pada tahun 1993. Pedomanya adalah sebagai berikut:
NUTRISI ENTERAL
1. Dukungan nutrisi enteral melalui tube feeding hendaknya dipakai pada pasien
yang akan atau telah mengalami malnutrisi, atau pada pasien yang oral feeding-
nya tak dapat memepertahankan status gizinya.
2. Pada pasien yang akan mengalami home care, mereka dan perawat yang
menjagantya harus dididik tentang prosedur yang diperlukan dan diberi tahu
tentang komplikasi yang dapat terjadi.
3. Program nutrisinya harus dengan pemenuhan kebutuhan pola hidup di rumah.
4. Disamping perawat/anggota keluarga yang terlatih, masih diperlukan
pemantauan berkala oleh tenga yang memiliki pengetahuan tentang potensi
resiko infeksi, mekanik, metabolik dari tube feeding.
NURISI PARENTERAL
1. Calon penerima dukungan nutrisi parenteral adalah mereka yang telah
malnutrisi atau berpotensi mengalami malnutrisi namun tidak bisa mencerna
atau tidak dapat menyerap nutrien yang diberikan secara oral.
2. Peripheral parenteral nutrition (PPN) diindikasikan untuk dukunga nitrisi partial
atau total sampai dengan 2 minggu.
3. Total parenteral nutrition (TPN) diberikan bilan nutrisi parenteral
didindikasikan lebih dari 2 minggu atau jalan masuk perifer terbatas.
VIII. Pedoman Umum Gizi Seimbang untuk Lansia
Khusus untuk Indonesia, Departemen Kesehatan telah menerbitkan Pedman
Umum Gizi Seimbang (PUGS) (DepKes, 1995) yang berisi 13 pesan dasar gizi
seimbang bagi lansia dengan dasar PUGS dan dengan memeprtimbangkan pengurangan
berbagai resiko pentyakit degenerasi yang dihadapi para lansia.(3)
1. Makanlah aneka ragam makanan
2. Makanlah sumber karbohidrat kompleks (serealia dan umbi)
3. Batasi minyak dan lemak secar berlebihan
4. Makanlah sumber zat besi secara bergantian antara sumber hewani dan nabati.
5. Minumlah air yang bersih, aman, dan cukup jumlahnya dan telah didihkan.
6. Kurangi konsumsi makanan jajanan dan minuman yang tinggi gula murni dan
lemak.
7. Perbanyak frekuensi makanhewani laut dalam menu harian.
8. Gunakanlah garam berodium, namaun batasilah penggunaan garam secar
berlebihan, kurangi konsumsi makanan dengan pengawaet
ISK pada Geriatri
Terdapat beberapa faktor predisposisi terjadinya ISK pada geriatri. Semakin tua seseorang,
status imunnya akan semakin menurun. Maka, semakin mudah pula orang tersebut
mengalami infeksi. Selain penurunan status imun, bertambahnya usia seseorang khususnya
perempuan akan berdampak pada penurunan kadar hormon estrogen – dikenal dengan masa
menopause. Penurunan estrogen menyebabkan perubahan pH vagina menjadi lebih basa.
Padahal pH vagina asam penting dalam melindungi mukosa vagina.
Kaum geriatri dengan gangguan mood dan penurunan faal kognitif cenderung sulit merawat
diri. Kebersihan tubuh terutama daerah genital kurang terjaga. Akibatnya, kuman mudah
berkoloni di daerah tersebut sehingga terjadilah infeksi.(4)
Gejala Samar-Samar
Tidak mudah menegakkan diagnosis ISK pada lansia karena gejalanya samar-samar. Penyakit
komorbid dan terapi yang didapat bisa menutupi gejala ISK. Gejala klinis klasik ISK seperti
disuri, polakisuri, demam, nyeri tekan daerah suprapubik maupu sakit pinggang jarang sekali
ditemukan tapi dapat saja terjadi.
Hal itu mungkin dikarenakan ekspresi kaum geriatri dalam mengutarakan gejala-gejala klinis
tersebut kurang baik dibandingkan individu dewasa. Ketidakmampuan mengungkapkan
ekspresi tersebut mungkin pula berkaitan dengan sudah terjadinya penurunan faal kognitif.
Gejala klinis awal yang dapat ditemukan adalah penurunan nafsu makan. Penurunan nafsu
makan tidak hanya menjadi gejala klinis awal tetapi juga memberi kontribusi terhadap
progresifitas penyakit. Dengan kurangnya asupan makanan maka status nutrisi terganggu.
Demikian pula dengan status imun.(5)
Gejala lain adalah inkontinensia urin. Penggunaan popok perlu diperhatikan agar segera
diganti bila basah sebab dapat menjadi media berkembangbiaknya mikroorganisme. Kondisi
lebih jauh adalah munculnya gejala perubahan kesadaran, delirium atau perubahan perilaku
yang sering disalahtafsirkan oleh keluarga dan tenaga kesehatan sebagai perubahan
kepribadian atau stroke.
Ditemukannya mikroorganisme di urin merupakan syarat untuk diagnosis ISK. Disinilah
permasalahan itu timbul. Pada geriatri seringkali ditemukan gejala ISK tetapi kultur urinnya
negatif. Sebaliknya, tak jarang pula tidak ada gejala tetapi ditemukan leukosituria pada urin.
Tatalaksana
Secara umum tujuan terapi ISK adalah menghilangkan gejala dengan cepat, mengeradikasi
kuman patogen, meminimalisasi rekurensi dan mengurangi morbiditas serta mortalitas.
Tujuan itu dapat tercapai dengan pemberian antibiotik sambil mencari penyebab.
Penatalaksanaan ISK pada lansia harus dilakukan sedini mungkin agar progresifitasnya tidak
berlanjut. Dalam memilih antibiotik harus diperhatikan beberapa hal yaitu efek samping
(terutama pada ginjal), harga, resistensi, kepatuhan (compliance), dan interaksi obat.
Mengingat adanya penyakit komorbid yang mungkin juga diderita pasien, maka kita perlu
mencari tahu obat-obat apa saja yang sedang dikonsumsi pasien, lalu menganalisis apakah
obat ISK yang kita berikan akan berinteraksi dengan obat-obatan tersebut.
Antibiotik yang umum digunakan untuk mengobati ISK tidak berkomplikasi pada lansia
adalah trimethoprim/sulfamethoxazol (TMP/SMX), fluorokuinolon, fosfomisin, dan
nitrofurantoin
TMP/SMX telah menjadi obat lini pertama pada ISK non komplikata karena mampu
membunuh banyak jenis mikroorganisme, kecuali Enterococcus. Kelebihan lain adalah
TMP/SMX tersedia dalam bentuk sirup sehingga cocok digunakan pada lansia yang
mempunyai kesulitan menelan. Akan tetapi sekarang sudah mulai tampak kecenderungan
resistensi TMP/SMX pada E.coli.(6)
Fluorokuinolon sedikit demi sedikit mulai menggeser TMP/SMX karena tolerabilitas dan
compliance-nya lebih baik. Antibiotik ini bisa digunakan pada Gram negatif dan positif tetapi
lebih efektif pada Gram negatif. Kadar creatinin clearance perlu dipantau bila kita
memutuskan memberi fluorokuinolon. Bila kreatinin klirens kurang dari 0,5 ml/detik, dosis
dikurangi.
Fosfomisin diberikan dalam dosis tunggal sehingga compliance pasien lebih baik. Fosfomisin
efektif pada Gram negatif tetapi kurang pada Gram positif. Harganya cukup mahal.
Nitrofurantoin tidak boleh diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, yaitu
kreatinin klirens kurang dari 0,67 ml/detik. Sayang, sudah tidak tersedia lagi di pasaran.
Kaum lansia lebih rentan terhadap efek samping dan toksisitas antibiotik. Hal itu dikarenakan
menurunnya fungsi metabolisme dan ekskresi. Akibatnya, kadar obat dalam serum tinggi dan
berpotensi menyebabkan kerusakan ginjal. Oleh karena batas keamanan obat pada lansia
sempit, pemilihan antibiotik harus berhati-hati dengan mempertimbangkan kelarutan obat,
perubahan komposisi tubuh, status nutrisi (kadar albumin), dan efek samping.
Di samping obat-obatan, terapi nonfarmakologi harus diterapkan. Sayangnya, langkah itu
sering terlupakan. Terapi nonfarmakologi mencakup nutrisi dan imobilisasi. Asupan makanan
dan cairan perlu disesuaikan hingga optimal sesuai kemampuan penderita. Kita perlu
mengusahakan agar makanan yang diberikan habis dimakan. Pasien tidak boleh diimobilisasi
terlalu lama untuk mencegah dekubitus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rabe B, Thamrine Mt. Gross. Body Mase Index of the elderly derived from
height,and from armspan. Asia Pasific
2. Panduan 13 Dasar GiziSeimbang. Departemen Kesehatan. Jakarta, 2000
3. Silbernagl S, Lang F. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2006.
4. Harrisson. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Ed 13. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2000.
5. Trimetroprim. Available at: http://apps.who.int/emlib/MedicineDisplay.aspx?
Language=EN&MedIDName=331%40trimethoprim. Accessed: Sept, 27, 2010.
6. Aortic Stenosis. Available at :http://www.medicinenet.com/aortic_stenosis/page2.htm
. Accessed : Sept, 27, 2010.
PENUTUP
Pada Kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Tuhan YME, dosen
pembimbing, dan teman-teman diskusi kelompok IV yang telah bersama-sama berpartisipasi
dalam diskusi 2 ini seehingga kami bisa menyusun makalah diskusi ini hingga selesai. Dan
tidak lupa pula kami memohon maaf sebesar-besarnya bila terdapat kesalahan dalam
penulisan makalah ini.