30
STROKE A. Definisi Stroke adalah defisit neurologis baik fokal maupun global yang terjadi secara mendadak akibat gangguan vaskular otak, yang pola dan gejalanya berhubungan dengan waktu. Stroke merupakan penyebab paling umum terjadinya kejang pada usia lanjut yang merupakan salah satu sisa gejala neurologis yang paling umum dari stroke. Sekitar 10% dari semua pasien stroke pernah mengalami kejang, dan kejang pasca stroke pada umumnya dimulai beberapa tahun kemudian setelah serangan stroke. B. Klasifikasi dan Patogenesis Kejang pasca stroke diklasifikasikan sebagai kejang dengan onset cepat atau lambat, sesuai waktu setelah terjadinya iskemia serebral, sehingga dapat disamakan dengan kejadian epilepsi pasca trauma. Periode terjadinya kejang pasca stroke diperkirakan sekitar 2 minggu, dalam waktu 2 minggu dapat membedakan antara onset cepat dan onset lambat kejang. Pada onset cepat terjadi dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu dan lebih 2 minggu pada onset lambat. Perbedaan karakteristik dan mekanisme kejang pasca stroke dapat sesuai dengan terjadinya iskemia serebral, tetapi tidak ada dasar yang jelas tentang patofisiologi terjadinya kejang pasca stroke dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar awal kejang terjadi selama 1 sampai 2 hari pertama setelah iskemia. Hampir setengah (43%) dari

Tutorial Kejang Kiko

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tutorial Kejang Kiko

STROKE

A. Definisi

Stroke adalah defisit neurologis baik fokal maupun global yang terjadi secara

mendadak akibat gangguan vaskular otak, yang pola dan gejalanya berhubungan dengan

waktu.

Stroke merupakan penyebab paling umum terjadinya kejang pada usia lanjut yang

merupakan salah satu sisa gejala neurologis yang paling umum dari stroke. Sekitar 10%

dari semua pasien stroke pernah mengalami kejang, dan kejang pasca stroke pada

umumnya dimulai beberapa tahun kemudian setelah serangan stroke.

B. Klasifikasi dan Patogenesis

Kejang pasca stroke diklasifikasikan sebagai kejang dengan onset cepat atau

lambat, sesuai waktu setelah terjadinya iskemia serebral, sehingga dapat disamakan

dengan kejadian epilepsi pasca trauma. Periode terjadinya kejang pasca stroke

diperkirakan sekitar 2 minggu, dalam waktu 2 minggu dapat membedakan antara onset

cepat dan onset lambat kejang. Pada onset cepat terjadi dalam kurun waktu kurang dari 2

minggu dan lebih 2 minggu pada onset lambat. Perbedaan karakteristik dan mekanisme

kejang pasca stroke dapat sesuai dengan terjadinya iskemia serebral, tetapi tidak ada

dasar yang jelas tentang patofisiologi terjadinya kejang pasca stroke dalam kurun waktu

2 minggu.

Sebagian besar awal kejang terjadi selama 1 sampai 2 hari pertama setelah

iskemia. Hampir setengah (43%) dari semua pasien pada penelitian kejang pasca stroke

muncul dalam 24 jam pertama setelah stroke. Kebanyakan kejang yang disebabkan oleh

stroke hemoragik juga terjadi pada 24 jam pertama.

Selama cedera iskemik akut, akumulasi kalsium intraseluler dan natrium dapat

menyebabkan depolarisasi potensial transmembran dan efek kalsium mediasi lainnya.

Perubahan ionik lokal dapat mengurangi ambang terjadinya kejang. Eksitotoxisitas

glutamat adalah mekanisme kematian sel yang ditandai dalam bentuk stroke

eksperimental. Obat Antiglutamatergic mungkin memiliki peranan tersendiri dalam

pengaturan saraf iskemik, selain dari perannya untuk pengobatan kejang.

Selain iskemia fokal, hipoperfusi global dapat menyebabkan terjadinya kejang.

Hipoksia iskemik ensefalopati merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya status

epileptikus dan memiliki prognosis yang buruk.

Page 2: Tutorial Kejang Kiko

Pada kejang onset lambat, terjadi perubahan terus-menerus dalam rangsangan

saraf. Terjadi pergantian parenkim yang sehat dengan sel-sel neuroglia dan sel imun.

Sebuah jaringan parut gliotik telah terlibat sebagai nidus untuk kejang onset lambat,

sama seperti siktarik meningocerebral yang mungkin bertanggung jawab untuk kejadian

onset lambat epilepsi pasca trauma.

Lokasi kortikal merupakan salah satu faktor risiko yang paling dapat

menyebabkan kejang pasca stroke. Kejang pasca stroke lebih mungkin untuk terjadi pada

pasien dengan lesi yang lebih besar yang melibatkan beberapa lobus otak dibandingkan

dengan keterlibatan lobus tunggal. Namun, setiap stroke subkortikal, kadang-kadang

dapat dikaitkan dengan terjadinya kejang. Penelitian sebelumnya, mengandalkan pada

teknik neuroimaging yang masih kurang sensitifitasnya, tidak dapat mendeteksi lesi

kortikal yang kecil yang menyebabkan terjadinya aktivitas iktal. Mekanisme lesi

subkortikal hemisfer otak, paling sering disebabkan oleh penyakit pada pembuluh darah

kecil, oleh karena itu penyebab kejang tidak dapat diketahui.

Dianalogikan dengan keterlibatan kortikal pada stroke iskemik, lokasi yang

dianggap lebih epileptogenik pada pasien dengan perdarahan intraserebral. Pada 123

pasien terjadi peningkatan kejadian kejang yang ditandai dengan perdarahan dalam

struktur kortikal lobar (54%), perdarahan retromamilar basal (19%) dan tidak ada pada

perdarahan thalamus. Keterlibatan ganglia basalis kaudatus dan temporal atau parietal

pada korteks diprediksi akan terjadi kejang. Perdarahan karena trombosis vena serebral

biasanya muncul bersamaan dengan kejang.

Mekanisme kejang oleh karena pendarahan tidak dijelaskan. Produk dari

metabolisme darah seperti hemosiderin, dapat menyebabkan iritasi serebral fokal yang

mengarah pada kejang, mirip dengan model binatang dengan epilepsi fokal yang

diproduksi oleh deposisi besi di korteks serebral. Pada perdarahan subarachnoid, sering

terjadi perdarahan luas di cisterna basalis, yang langsung menghubungkan antara lobus

frontal dan temporal.

Satu-satunya prediktor klinis untuk kejang setelah stroke iskemik adalah tingkat

keparahan dari awal defisit neurologis. Keparahan stroke yang lebih besar atau kecacatan

pada stroke dapat menyebabkan terjadinya kejang. Pasien dengan gangguan neurologis

cenderung memiliki stroke yang lebih besar yang melibatkan daerah kortikal yang lebih

luas.

Page 3: Tutorial Kejang Kiko

Dalam studi retrospektif, faktor risiko kejang setelah perdarahan subarachnoid

termasuk aneurisma arteri serebral media, hematoma intraparenchymal, infark serebral,

riwayat hipertensi dan ketebalan tulang belakang. Sebaliknya, sudah tidak ada prediktor

klinis untuk kejang setelah terjadi perdarahan intraparenchymal.

Lesi vaskuler dapat menyebabkan kejang dengan mekanisme yang lain. Kejang

karena malformasi arteriovenosa dan aneurisma biasanya terjadi ketika pecahnya lesi

tersebut, tetapi lesi vaskuler dapat menyebabkan terjadinya kejang oleh iritasi yang

berdekatan dengan parenkim otak.

Akhirnya, kejang yang berhubungan dengan lesi vaskuler yang secara signifikan

terjadi dalam pengaturan reperfusi setelah prosedur revaskularisasi, paling sering

endarterektomi karotis untuk stenosis karotis kronis ekstrakranial. Sindrom reperfusi,

pertama dijelaskan oleh Sundt dan rekan, termasuk aktivitas kejang fokal transien,

fenomena migrain atipikal, dan perdarahan intraserebral, meskipun triad klinis sering

tidak lengkap. Onset dari sindrom langka ini berkisar dari beberapa hari sampai 3

minggu setelah revaskularisasi dan sering ditandai oleh sakit kepala ipsilateral. Koreksi

bedah malformasi dari arteriovenosa juga dapat menyebabkan intraoperatif atau

hiperemia pasca operasi dengan kejang berikutnya atau perdarahan. Sebaliknya,

malformasi arteriovenosa terletak di area subyek borderzone untuk laju aliran darah yang

relatif rendah memiliki risiko lebih kecil untuk terjadi perdarahan.

Sindrom reperfusi telah dikaitkan dengan gangguan autoregulasi otak. Dalam

pengaturan hipoperfusi kronis akibat stenosis karotis tingkat tinggi, arteriol bertanggung

jawab untuk autoregulasi normal di bagian hilir dari otak dan menjadi dilatasi yang

kronik. Kemudian, ketika perfusi ditingkatkan dengan prosedur revaskularisasi,

pembuluh darah tidak dapat vasokonstriksi dan parenkim otak mengalami peningkatan

besar dalam aliran darah. Pelepasan neuropeptida vasoaktif dari saraf sensorik

perivaskular dapat berkontribusi terhadap perkembangan sindrom reperfusi dalam

oksidan yang berkembang sebelum revaskularisasi dan peradangan untuk

mengembalikan sirkulasi.

Page 4: Tutorial Kejang Kiko

C. Manisfestasi Klinis

Dalam sebuah studi kejang onset cepat pada 90 pasien, kejang parsial sederhana

adalah jenis yang paling sering (61%), diikuti oleh epilepsi umum sekunder (28%).

Dalam penelitian lainnya, kejang onset cepat lebih cenderung bersifat parsial, sedangkan

kejang onset lambat lebih cenderung generalisasi sekunder.

Kebanyakan serangan berulang adalah tipe yang sama dengan episode, dan

cenderung kambuh rata-rata kurang dari satu tahun. Dalam serangkaian besar pasien

dengan kejang pasca stroke, 9% memiliki status epileptikus. Kesimpulan itu hanya

terkait dengan kecacatan fungsional yang lebih besar, status epileptikus tidak dikaitkan

dengan peningkatan mortalitas, jenis stroke (iskemik atau hemoragik), topografi

(keterlibatan kortikal), ukuran lesi atau pola electroencephalographic (EEG).

D. Diagnosis

Holmes menemukan bahwa pasien dengan bentuk gelombang epilepsi periodik

lateralizing dan bentuk gelombang bilateral independen epilepsi periodik lateralizing

pada EEG setelah stroke sangat rentan terhadap terjadinya kejang. Pasien dengan fokus

paku juga memiliki risiko tinggi 78%. Penurunan fokus, menyebar dan temuan normal

pada perlambatan EEG, bagaimanapun, ini dikaitkan dengan risiko yang relatif rendah

masing-masing 20%, 10% dan 5%. Penelitian lain menemukan bahwa keterlibatan

kortikal pada hasil studi pencitraan neuroanatomi epilepsi lebih prediktif daripada

gambaran EEG tunggal.

Perlambatan fokus pada EEG mungkin hanya mencerminkan wilayah yang luas

dari iskemia jaringan atau infark yang melibatkan korteks serebral atau daerah

subkortikal. EEG dapat membantu dalam evaluasi awal gejala neurologis yang buruk

pasca stroke fokal. Pada beberapa pasien, perlambatan fokal dapat mengkonfirmasi kesan

klinis iskemik hemisfer dan berlawanan dengan kejang sebagai penjelasan selama

sindrom neurologis akut. Tidak adanya kelainan EEG tidak mengecualikan pasti iskemia

serebral, terutama dalam struktur subkortikal atau aktivitas kejang subtentorial atau

intermiten.

Lansberg dkk telah menjelaskan beberapa temuan terbaru tentang pencitraan

resonansi magnetik akut pada 3 pasien dengan status epileptikus parsial. Studi-studi

menunjukkan peningkatan intensitasgambaran tahanan difusi yang berat dan urutan T2

yang berat dan area yang sesuai dengan koefisien difusi yang rendah. Namun, hasil-hasil

ini mudah dibedakan dari distribusi tanda iskemik nonvascular dari ipsilateral arteri

Page 5: Tutorial Kejang Kiko

serebral media pada gambaran angiografi resonansi magnetik dan peningkatan

leptomeningeal pada pencitraan resonansi magnetik dengan kontras. Studi lain

menunjukkan terjadi peningkatan intensitas pada gambaran tahanan difusi di bagian

dorsolateral dari thalamus ipsilateral.

E. Penatalaksanaan

Kejang pasca stroke biasanya dikontrol dengan baik dengan antikonvulsan

tunggal. Dalam sebuah penelitian retrospektif, pada 88% dari 90 pasien kejang dapat

dikontrol dengan monoterapi. Mengingat penampilan khas kejang fokal pasca stroke,

pilihan pengobatan yang termasuk lini pertama adalah karbamazepin dan fenitoin

natrium.

Fosphenytoin natrium juga merupakan pilihan yang menonjol pada pasien dengan

stroke karena toksisitas jantung lebih rendah dari fenitoin. Benzodiazepin, khususnya

lorazepam, awalnya harus diberikan kepada pasien dengan kejang yang sedang

berlangsung. Tidak ada data mendukung penggunaan berbagai agen untuk mengobati

kejang onset cepat dan kejang onset lambat.

Obat antiepilepsi yang baru sedang dipertimbangkan sebagai agen lini pertama

untuk pasien tua karena efikasi dan efek samping yang menguntungkan. Sekitar 10% dari

penghuni panti jompo di Amerika Serikat mendapat obat antiepilepsi, paling sering

menggunakan lamotrigin untuk pengobatan gangguan kejang. Dalam uji coba pada

pasien tua dengan diagnosis epilepsi, baru-baru ini menunjukkan toleransi yang lebih

baik dan untuk pemeliharaan pasien yang bebas dari kejang dengan interval yang lebih

panjang dari carbamazepine.

Meskipun banyak dari antikonvulsan baru, misalnya, topiramate dan

levetiracetam, telah diteliti sebagai agen tambahan untuk terapi kejang parsial refrakter,

dalam praktiknya sering digunakan sebagai monoterapi. Gabapentin telah terbukti

berkhasiat sebagai monoterapi untuk kejang parsial. Untuk semua obat antiepilepsi, harus

dibatasi dosis obat yang merugikan seperti sedasi, terutama pada pasien stroke pada usia

lanjut.

Interaksi obat merupakan pertimbangan penting, kebanyakan pasien yang terkena

stroke,sudah banyak memakai obat. Agen antiepilepsi generasi pertama melewati

metabolisme di hati, fenitoin dan asam valproat sangat terikat pada protein. Sebagai

contoh, interaksi fenitoin dan warfarin diakui sulit untuk mempertahankan rentang terapi

yang konsisten dari kedua agen.

Page 6: Tutorial Kejang Kiko

Dalam pedoman yang direkomendasikan oleh Dewan stroke dari American Heart

Association menyatakan bahwa profilaksis kejang seragam dalam periode akut setelah

perdarahan intraserebral dan subarachnoid. Untuk perdarahan intraserebral, aktivitas

kejang dapat menyebabkan cedera saraf dan berkontribusi lebih lanjut untuk menjadi

koma, meskipun tidak ada data klinis untuk mendukung rekomendasi ini. Pasien dengan

lesi pada cerebellar dan subkortikal dalam (misalnya, thalamus) berada pada risiko yang

sangat rendah untuk terjadi kejang dan tidak perlu untuk diobati.

Dalam pedoman yang direkomendasikan oleh Dewan stroke dari AmericanHeart

Association menyatakan bahwa profilaksis kejang seragam dalam periode akut setelah

perdarahan intraserebral dan subarachnoid. Untuk perdarahan intraserebral, aktivitas

kejang dapat menyebabkan cedera saraf dan berkontribusi lebih lanjut untuk menjadi

koma, meskipun tidak ada data klinis untuk mendukung rekomendasi ini. Pasien dengan

lesi pada cerebellar dan subkortikal dalam (misalnya, thalamus) berada pada risiko yang

sangat rendah untuk terjadi kejang dan tidak perlu untuk diobati. Pedoman tersebut

menunjukkan bahwa dosis fenitoin natrium dititrasi dengan tingkatan serologis (14-23

mg / mL), dengan penghentian pengobatan setelah 1 bulan tidak ada serangan kejang

yang terjadi selama pengobatan. Pasien dengan aktivitas lebih dari 2 minggu setelah

presentasi munculnya kejang berada pada risiko yang lebih besar untuk kambuh lagi dan

mungkin memerlukan terapi jangka panjang untuk profilaksis kejang.

Studi retrospektif kecil menunjukkan bahwa tidak ada manfaat dari antikonvulsan

profilaksis setelah perdarahan subarachnoid. Namun, karena risiko yang relatif rendah

yang terkait dengan terapi antiepilepsi dan kekhawatiran yang besar tentang perdarahan

aneurisma ulang, uji klinis tentang masalah ini mungkin tidak pernah terjadi.

Penggunaan jangka panjang agen antiepilepsi tidak dianjurkan untuk pasien dengan

perdarahan subarachnoid yang tidak memiliki kejang, tetapi harus dipertimbangkan

setidaknya ketika ada satu dari beberapa faktor risiko yang muncul.

Page 7: Tutorial Kejang Kiko

TETANUS

A. Definisi

Tetanus adalah penyakit yang ditandai dengan onset akut hypertonia, kontraksi

otot yang menyakitkan (biasanya dari otot-otot rahang dan leher), dan kejang otot umum

tanpa penyebab medis lainnya jelas.

B. Etiologi

C. tetani termasuk dalam bakteri Gram positif, anaerob obligat, dapat membentuk

spora, dan berbentuk drumstick. Spora yang dibentuk oleh C. tetani ini sangat resisten

terhadap panas dan antiseptik. Ia dapat tahan walaupun telah diautoklaf (1210C, 10-15

menit) dan juga resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya.

Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan

hewan peliharaan dan di daerah pertanian. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada

tanah dan saluran penceranaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi,

dan ayam. Ketika bakteri tersebut berada di dalam tubuh, ia akan menghasilkan

neurotoksin (sejenis protein yang bertindak sebagai racun yang menyerang bagian sistem

saraf).

C. tetani menghasilkan dua buah eksotoksin, yaitu tetanolysin dan tetanospasmin.

Fungsi dari tetanolysin tidak diketahui dengan pasti, namun juga dapat menyebabkan

lisis dari sel-sel darah merah. Tetanospasmin merupakan toksin yang cukup kuat.

Tetanospasmin merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air,

labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik

Bentuk vegetative tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptic. Kuman

tetanus tumbuh subur pada suhu 17o C dalam media kaldu daging dan media agar darah.

Demikian pula media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat mengfermentasi

glukosa.

C. Patogenesis

Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel

vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang

rendah. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh

melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada

tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak. Gejala klinis timbul

sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction

Page 8: Tutorial Kejang Kiko

serta syaraf autonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah

masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian

ke kornu anterior sumsum tulang belakang. Akhirnya menyebar ke SSP.

Gejala klinis yang ditimbulkan dari eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan

pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi

kontraksi otot yang tidak terkontrol/ eksitasi terus menerus dan spasme. Neuron ini

menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron, yang melepaskan

gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama, sangat

sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan penghambatan refleks respon

motorik terhadap rangsangan sensoris.

Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada otot masseter (trismus),

pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekakuan yang berat, pada

extremitas, otot-otot bergari pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin

mencapai korteks serebri, menderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan.

Karakteristik dari spasme tetani ialah menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis

dan antagonis. Racun atau neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek

yang berasal dari system saraf kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan punggung

serta kekakuan dari otot leher.

Tetanospasmin pada system saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi

gangguan pernapasan, metabolism, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran

kemih, dan neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama janjung,

hiperflexi, hyperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf ototnom, yang dulu

jarang karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan

diazepam dosis tinggi dan pernapasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan

saraf otonom harus dikenali dan di kelola dengan teliti.

Dampak Toksin

1. Dampak ganglion pre sumsum tulang tulang belakang disebabkan oleh karena

eksotoksin memblok jalur sinaps antagonis, mengubah kesimbangan dan koordinasi

impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku

2. Dampak pada otak diakibatkan oleh toksin yang menempel pada serebral

gangliosodes diduga menyebabkan kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus

Page 9: Tutorial Kejang Kiko

3. Dampak pada saraf autonom, terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan

gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart

block, atau takikardia.

Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System

(ANS) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia,

aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urine. Kerja dari tetanospamin analog

dengan strychninee, dimana ia mengintervensi fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara

menekan neuron spinal dan menginhibisi terhadap batang otak.

Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan

meningkatnya aktifitas dari neuron Yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi

trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin

tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yangkuat,

tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot

yang khas .

Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:

1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa

kekornu anterior susunan syaraf pusat

2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri

kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.

Page 10: Tutorial Kejang Kiko

D. Klasifikasi tetanus

1. Tetanus Generalisata

Tetanus Generalisata merupakan bentuk paling umum dari tetanus yang ditandai

dengan kontraksi otot tetanik dan hiperrefleksi, yang mengakibatkan trismus (rahang

terkunci), spasme glotis, spasme otot umum, opistotonus, spasme respiratoris,

serangan kejang dan paralisis.

2. Tetanus Lokal

Tetanus lokal termasuk jenis tetanus yang ringan dengan kedutan (twitching) otot

lokal dan spasme kelompok otot didekat lokasi cidera, atau dapat memburuk menjadi

bentuk umum (generalisata).

3. Tetanus Sefalik

Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi setelah

trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus dan

disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke-7. Dysphagia

dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi.

4. Tetanus Neonatorum

Tetanus neonatorum adalah suatu bentuk tetanus infeksius yang berat dan terjadi

selama beberapa hari pertama setelah lahir, disebabkan oleh faktor-faktor seperti

tindakan perawatan sisa tali pusat yang tidak higienis atau pada sirkulasi bayi laki-laki

dan kekurangan imunisasi maternal.

E. Manifestasi Klinis

Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa

minggu). Makin lama masa inkubasi, gejala yang ditimbulkan makin ringan.

Karakteristik tetanus :

1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.

2. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya

3. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.

4. Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher.

Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme

otot masetter.

5. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity ).

6. Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas,

sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .

Page 11: Tutorial Kejang Kiko

7. Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai

dengan eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.

Sedangkan Patel dan Joag membagi penyakit tetanus ini dalam tingkatan dengan

berdasarkan gejala klinis yang dibaginya dalam 5 kriteria :

Kriteria 1 : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang belakang

Kriteria 2 : spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya

Kriteria 3 : inkubasi antara 7 hari atau kurang

Kriteria 4 : waktu onset adalah 48 jam atau kurang

Kriteria 5 : kenaikan suhu rektal sampai 100 0 farenheit dan aksila sampai 990 farenheit

Dengan berdasarkan 5 kriteria di atas, maka dibuatlah tingkatan penyakit tetanus sebagai

berikut :

Tingkat I : Ringan, minimal 1 kriteria ( K1 / K2 ) mortalitas 0 %

Tingkat II : Sedang, minimal 2 kriteria ( K1& K2) dengan masa inkubasi lebih dari

7 hari dan onset lebih dari 2 hari, moirtalitas 10 %

Tingkat III : Berat, minimal 3 kriteria dengan masa inkubasi kurang dari 7 hari dan

onset kurang dari 2 hari, mortalitas 32%

Tingkat IV : Sangat berat, minimal ada 4 kriteria dengan mortalitas 60%

Tingat V : Biasanya mortalitas 84 % dengan 5 kriteria, termasuk di dalamnya

adalah tetanus neonatorum maupun puerpurium

F. Diagnosis

Anamnesis yang teliti dan terarah selain membantu menjelaskan gejala klinis yang kita

hadapi juga mempunyai arti doagnostik dan prognostik. Anamnesis pada tetanus yang

dapat membantu diantaranya:

Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka dengan

nanah atau gigitan binatang

Apakah pernah keluar nanah dari telinga

Apakah pernah menderita gigi berlubang

Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang

terakhir

Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme local)

dengan kejang yang pertama.

Pada pemeriksaan fisik tetanus dapat ditemukan:

Page 12: Tutorial Kejang Kiko

Trismus, yaitu kekauan otot mengunyah (otot masseter) sehingga sukar membuka

mulut. Pada neonatus kekauan ini menyebabkan mulut mencucu seperti mulut ikan

sehingga bayi tidak dapat menyusu. Secara klinis untuk menilai kemajuan

kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari

Risus sardonicus, terjadi sebagai akibat kekauan otot mimic, sehingga tampak dahi

mengkerut, mata agak menutup dan sudut mulut tertarik keluar dan kebawah

Opistotonus adalah kekauan otot yang menunjang tubuh seperti otot punggung,

otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang berat dapat menyebabkan

tubuh melengkung seperti busur.

Otot dinding perut kaku seperti papan

Bila kekakuan makin berat dapat timbul kejang umum yang awalnya hanya terjadi

setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena sinar

yang kuat. Lambat laun “masa istirahat” kejang makin pendek sehingga anak jatuh

dalam status konvulsius.

Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan sebagai akibat kejang

yang terus menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan

anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf autonom menyebabkan

gangguan sirkulasi, dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau

berkeringat banyak; kekauan otot sfingter dan otot polos lain sehingga dapat terjadi

retensio alvi, retensio urin, atau spasme laring; patah tulang panjang dan kompresi

tukang belakang.

Pemeriksaan laboratorium :

Hasil pemeriksaan laboratorik tidak khas, likuor serebrospinal normal, jumlah leukosit

normal atau sedikit meningkat. Biakan kuman memerlukan prosedur yang khusus untuk

kuman anaerobic. Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak

mempunyai arti.

G. Pengobatan

Perawatan Umum :

Page 13: Tutorial Kejang Kiko

1. Mencakupi kebutuhan cairan dan nutrisi

Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara iintravena, sekaligus memberikan

obat-obatan dan bila sampai hari ketiga infus belum dapat dilepas sebaiknya

dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral.

2. Menjaga saluran nafas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu dilakukan trakeostomi

3. Memberikan tambahan oksigen dengan sungkup (masker)

4. Mengurangi spasme dan mengatasi kejang

Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal.

Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB dengan interval 2-4

jam sesuai gejala klinis. Bila terjadi kejang harus segera dihentikan dengan pemberian

diazepam rectal 5 mg untuk BB< 10 kgdan 10 mg untuk anak dengan BB> 10 kg atau

dosis diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah kejang berhenti

pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan keadaan klinis

pasien. Alternatif lain, untuk bayi diberikan dosis inisial 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk

menghilangkanspasme akut, diikuti infus kontinu 15-40 mg/kgBB/hr. setelah 5-7 hari

dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa

orogastrik. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai gangguan pernafasan.

5. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port d’ entrée maka diperlukan

konsultasi dengan dokter gigi/THT.

Pengobatan Khusus :

1. Antibiotik

Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus bentuk

vegetatif. Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam termasuk penisilin G,

ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman tersebut juga peka terhadap

klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga.

Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain 1,2

juta 1 kali sehari. Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000

unit/kgBB/hari IV selama 10-14 hari. Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan

kanamisin 15 mg/kgBB/hari digunakan bila diagnosis tetanus belum ditegakkan,

kemudian bila diagnosa sudah ditegakkan diganti Penisilin G.

Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan

tetrasiklin dengan dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis dan

diberikan secara peroral. Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin

Page 14: Tutorial Kejang Kiko

200 mg/kgBB/hari selama 10 hari atau metisilin dengan dosis yang sama ditambah

gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari.

2. Perawatan luka

Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka dibiarkan

terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin dan sedasi. Pada

tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine dan hidrogen peroksida,

bila perlu dapat dilakukan omphalektomi.

3. Anti tetanus serum

Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit, setengah dosis

diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara IV, sebelumnya dilakukan

tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus neonatorum diberikan 10.000 unit

IV.

4. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)

Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus

dengan dosis 3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin.

Kerr dan Spalding (1984) memberikan HTIG pada neonatus sebanyak 500 IU IV dan

800-2000 IU intrathekal. Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24

jam pertama setelah timbul gejala.

Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan

pemberian immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena

kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang bila diberikan secara

intrathekal. Pemberian HTIG 500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang sama.

Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis yang

dapat diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan

HTIG sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM untuk meningkatkan kadar

antitoksin darah sebelum debridemen luka.

5. Menekan efek toksin pada SSP

a. Benzodiazepin

Page 15: Tutorial Kejang Kiko

Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat ini

mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat.

Pada tingkat supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi ketakutan dan

ketegangan fisik serta penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks

polisinaps. Efek samping dapat berupa depresi pernafasan, terutama terjadi bila

diberikan dalam dosis besar. Dosis diazepam yang diberikan pada neonatus adalah

0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Udwadia (1994), pemberian diazepam pada anak

dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3

mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat

diberikan per oral, sedangkan tetanus lain sebaiknya diberikan drip IV lambat

selama 24 jam.

b. Barbiturat

Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk neonatus

dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat

menyebabkan hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital intravena dapat diberikan

segera dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10

menit sampai otot perut relaksasi dan spasme berkurang. Fenobarbital dapat

diberikan bersama-sama diazepam dengan dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis

melalui selang nasogastrik.

c. Fenotiazin

Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM

4 kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin tidak

dibenarkan diberikan secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada

penderita dengan tekanan darah yang labil atau hipotensi.

GANGGUAN ELEKTROLIT

A. HIPONATREMIA

Page 16: Tutorial Kejang Kiko

Hiponatremia didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi natrium dalam serum

sampai level <136 mEq/L.

Ketika natrium serum menurun, akan terjadi aksi yang melawan oedema cerebri

oleh suatu proses adaptif yang dikenal dengan ”regulasi penurunan volume/ regulatory

volume decrease”, dengan perpindahan cairan dari interstisial ke cairan cerebrospinal

dan kemudian ke sirkulasi sistemik. Proses ini dijalankan oleh suatu tekanan hidrostatik.

Setelah itu, untuk mencegah terjadinya pembengkakan otak, elektrolit-elektrolit dalam

sel otak dikeluarkan. Sebuah mekanisme adaptasi selular kedua untuk perubahan

osmolalitas merupakan jalan keluar bagi zat osmolit organik (agen osmotik aktif) dari

sel-sel otak, terutama asam amino, yang hampir sepenuhnya tercapai setelah 48 jam

(adaptasi lambat). Osmolit organik ini, yang sebelumnya dikenal sebagai "idiogenic

osmoles", memainkan peranan penting dalam adaptasi seluler terhadap perubahan

osmolalitas kronis.

Jika penurunan natrium serum lambat dan bertahap (≥ 48 jam), pembengkakan

otak dan gejala neurologis diminimalkan oleh proses adaptif ini, bahkan jika

pengurangan absolut natrium serum cukup besar. Pada hiponatremia akut, penurunan

natrium serum yang cepat dapat mengalahkan mekanisme proteksi ini, dan menyebabkan

pembengkakan otak dan berkembangnya gejala neurologis.

Akhirnya, proses adaptasi oleh otak ini juga merupakan sumber risiko demielinasi

osmotik. Koreksi dari hiponatremia memicu proses "de-adaptasi", selama reakumulasi

elektrolit secara cepat dalam sel otak, tetapi masuknya kembali osmolytes organik terjadi

jauh lebih lambat. Oleh karena itu pada pasien dengan hiponatremia kronis, koreksi

natrium serum yang cepat sebelum penyesuaian kembali konsentrasi osmolytes

intraseluler terjadi mengakibatkan hilangnya cairan dari neuron dan glia; proses ini

disertai dengan bahaya provokasi terjadinya sindrom demielinasi osmotik (osmotic

demyelination syndrome), terkait dengan demielinasi pons dan extrapontine.

Cairan garam hipertonik (3%), merupakan pengobatan yang paling umum untuk

hiponatremia simtomatik akut, yang akan menyebabkan penurunan volume otak secara

cepat, sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial. Pengobatan harus menargetkan

kenaikan natrium serum menjadi lebih dari 120-125 mEq / L.

Berdasarkan data yang tersedia, tampaknya bijaksana untuk mengkoreksi

konsentrasi natrium pada tingkat rata-rata 0,5mEq/L/jam. Namun, pada wanita muda

yang memiliki risiko terjadinya henti nafas, gejala sisa neurologis yang parah, dan

Page 17: Tutorial Kejang Kiko

kematian, rata-rata koreksi yang digunakan adalah 1–2mEq/L/h, dengan tingkat koreksi

lebih tinggi diperkirakan dapat ditoleransi dengan baik pada anak-anak

B. HIPERNATREMIA

Hipernatremia didefinisikan sebagai konsentrasi natrium serum dalam plasma >

145 mEq/L. Sedangkan hiponatremia dapat menyebabkan kejang, hipernatremia lebih

mungkin merupakan hasil dari aktivitas kejang (misalnya kejang tonik-klonik umum).

Glikogen intraseluler dimetabolisme menjadi laktat di otot selama kejang.

Mekanisme adaptif otak yang sama yang merespon perubahan hipoosmotik pada

osmolalitas juga berlaku sama pada kondisi hipernatremia. Dalam beberapa menit setelah

terjadi hipernatremia, hilangnya cairan dari sel-sel otak menyebabkan penyusutan otak

dan peningkatan osmolalitas intraseluler sel otak. Sel segera merespon untuk memerangi

penyusutan ini dan merubah tekanan osmotik dengan menggerakkan elektrolit melintasi

membran sel, menyebabkan restitusi parsial dari volume otak dalam beberapa jam

(adaptasi cepat). Normalisasi volume otak diselesaikan dalam beberapa hari (adaptasi

lambat) sebagai hasil dari akumulasi intraseluler osmolytes.

Pada keadaan hipernatremia akut (dalam hitungan jam), cairan akan hilang dari

otak, dan penyusutan volume otak akut (terutama pada bayi) akan berakibat terjadinya

ensefalopati hipernatremik. Pada kondisi hipernatremia kronis, sel-sel Susunan Saraf

Pusat mengakumulasikan osmolit-osmolit organik, dan penyusutan otak diminimalkan,

sebagai gejala SSP.

Tingkat koreksi pada hipernatremia kronis tidak boleh melebihi

0,5-0,7mEq/L/jam, angka ini dapat mencegah edema serebral dan kejang. Hipernatremia

akut dapat diobati lebih cepat; pada pasien tersebut, dengan pengurangan konsentrasi

natrium serum yang sesuai yaitu 1 mEq/L/h. Pasien dengan hipernatremia dapat diobati

dengan cairan hipotonik (larutan garam hipotonik atau larutan dekstrosa).

C. HIPOKALSEMIA

Hipokalsemia didefinisikan sebagai tingkat kalsium plasma < 8,5mg/dl atau

konsentrasi kalsium terionisasi < 4,0mg/dl.

Hipokalsemia akut terutama akan meningkatkan eksitabilitas neuromuskular dan

terjadinya tetani. Pada SSP, manifestasi hipokalsemia akut yang biasa didapatkan adalah

kejang dan perubahan status mental. Kejang tonik-klonik umum, motorik fokal, dan

(lebih jarang) atipikal atau akinetik dapat terjadi pada hipokalsemia dan mungkin satu-

Page 18: Tutorial Kejang Kiko

satunya gejala yang muncul. Status epileptikus nonkonvulsif yang disebabkan karena

hipokalsemia juga telah dilaporkan.

Akut hipokalsemia adalah kondisi darurat yang membutuhkan perhatian yang

cepat, dan pasien dengan gejala hipokalsemia harus segera diobati karena sangat terkait

dengan tingginya angka morbiditas dan mortalitas. Pengobatan dengan kalsium intravena

adalah terapi yang paling tepat. Dosis 100 sampai 300 mg kalsium elemental harus

diinfus (iv) dalma waktu lebih dari 10 sampai 20 menit. Infus drip kalsium harus dimulai

pada 0,5 mg/kg/jam dan berlangsung selama beberapa jam, dengan pemantauan ketat

kadar kalsium.

D. HIPERKALSEMIA

Hiperkalsemia adalah kadar kalsium serum dari ≥ 10,5 mg/dl). Gejala

hiperkalsemia berat yang paling umum adalah gangguan sistem saraf dan fungsi

pencernaan. Gejala hiperkalsemia tergantung pada penyebab yang mendasari, kecepatan

berkembangnya penyakit yang mendasari, dan kesehatan fisik secara keseluruhan dari

pasien itu sendiri. Sebuah peningkatan pesat sampai hiperkalsemia sedang (12-13,9

mg/dl) sering mengakibatkan disfungsi neurologis yang khas, sedangkan hiperkalsemia

kronis yang berat (≥ 14 mg/dl) dapat menyebabkan gejala neurologis yang minimal.

Perubahan status mental berupa letargia, kebingungan, jarang koma adalah

manifestasi neurologis utama pada hiperkalsemia. Hiperkalsemia dikaitkan dengan

penurunan rangsangan membran saraf, dan dengan demikian jarang menyebabkan

kejang. Namun, hiperkalsemia yang menyebabkan hipertensi ensefalopati dan

vasokonstriksi telah dihipotesiskan dapat menimbulkan kejang. Vasokonstriksi serebral

reversibel pada pasien dengan kejang oleh karena hiperkalsemia telah ditunjukkan oleh

angiografi serebral.

Pengobatan pada hiperkalsemia akut dengan cara koreksi cepat dan terkontrol:

pertama, rehidrasi kuat dengan normal saline harus dimulai, pada tingkat 200-500

ml/jam, dengan monitoring overload cairan. Kemudian 20 -40 mg furosemid diberikan

intravena, setelah rehidrasi telah dicapai. Pertimbangkan pemberian bifosfonat intravena:

pamidronat (60-90 mg iv selama periode 2-jam) atau zoledronate (4 mg iv selama

periode 15-menit). Lini kedua: glukokortikoid, kalsitonin, mithramycin, galium nitrat.

Pengobatan pada hiperkalsemia dengan cara ppemberian bifosfonat oral.

DAFTAR PUSTAKA

Page 19: Tutorial Kejang Kiko

1. Bladin C, Alexandrov A, Bellavance A, et al. Seizures after stroke: a

prospectivemulticenter study. Arch Neurol. 2001;57:1617-1622.

2. Dewanto, George. dkk. Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. 2007. Jakarta :

EGC.

3. Gatot, Ismanoe. llmu Penyakit Dalam, jilid 3, Tetanus. Oleh. Balai Penerbit FK UI,

Jakarta: 2007

4. Ginsberg, Lionel. Lecture Note Neurologi edisi ke-8. 2007. Jakarta : Erlangga.

5. Janz D. Epilepsia dan Obat epilepsi. 2010; 16: 159-169.

6. Sumarmo SPS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan penyakit

Tropis : Tetanus. Edisi 2. IDAI. 2008

7. http://www.who.int/vaccines/globalsummary/immunization/timeseries/

tsincidencente.htm