Upload
ichsani-tamaya
View
118
Download
12
Embed Size (px)
DESCRIPTION
SNH + AF
Citation preview
Laboratorium Ilmu Penyakit Saraf Tutorial KlinikFakultas KedokteranUniversitas Mulawarman
Tutorial KlinikStroke Non Hemoragik dan Atrial Fibrilasi
OlehAnnisa Ichsani Tamaya / 1010015005Hafied Himawan / 09Ira Damayanti / 09
Pembimbingdr. Susilo Siswonoto, Sp. S
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
Laboratorium Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
20131
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Tn.Marki
Usia : 71 tahun
Jenis kelamin : Pria
Agama : Islam
Status marital : Menikah
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jln. Karya Bakti Sindadang Sari RT 09
Anamnesa :
Keluhan utama : kelemahan anggota gerak sebelah kiri
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan lemah pada anggota gerak kiri yang terjadi tiba-tiba 2
jam sebelum masuk rumah sakit pada tanggal 22 oktober 2014. Keluhan ini disertai kesulitan
bicara, dimana pasien merasakan lidahnya pelo. Selain itu pasien mengeluhkan nyeri kepala
dan sesak. Tidak didapatkan gejala muntah, penurunan kesadaran atau kejang pada pasien ini
Riwayat Penyakit Dahulu : riwayat trauma (-), riwayat penyakit jantung (+),
riwayat hipertensi (+) , riwayat kencing manis, riwayat
stroke (+) 2 kali
Riwayat Penyakit Keluarga : (-) tidak ada keluarga yang mengeluhkan sakit yang
serupa
Pemeriksaan Fisik
Status Praesens
Kesadaran Composmentis, Keadaan umum sakit sedang.
GCS : E4 V5 M6
TD : 150/90 mmHg
N : 80x/mnt
RR : 32x/mnt
T : 36,5 °C
Kepala : bentuk normal, simetris
1
Mata : pupil isokor , reflex cahaya +/+, refleks kornea +/+
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax :
Jantung Paru
S1 dan S2 tunggal
Murmur (+)
gallop (–)
Simetris
Vesikuler +/+
Ronki -/-
Whezing-/-
Abdomen :
o Nyeri tekan –
o Hepar / lien tidak teraba
o Bising usus + ( normal)
Ekstremitas : Akral hangat, sianosis (-), tremor (-)
Pemeriksaan Neurologis
Diameter Pupil : Isokor 3mm
Reflek Pupil : +/+
Reflek Kornea : +/+
Status Psychicus
Cara Berfikir : Baik
Tingkah Laku : Baik
Kecerdasan : Baik
Perasaan Hati : Baik
Ingatan : Baik
Status Neurologis
2
Meningeal sign :
Kaku kuduk (-), Brudzinki I (-), Brudzinki II (-), Kernig sign (-)
Cranial Nerves
Jenis Nervus Jenis Pemeriksaan Kanan Kiri
N I
Olfaktorius
Subjektif + +
Objektif + +
N II
Optikus
Tajam penglihatan Jauh + N
Dekat + N
Jauh + N
Dekat +N
Lapangan pandang + N + N
Melihat warna + +
N III
Okulomotorius
Pergerakan bola mata + +
Strabismus - -
Nystagmus + +
Eksoftalmus - -
Diameter pupil 3 mm 3mm
Bentuk pupil Bulat Bulat
Refleks cahaya + +
Diplopia - -
N IV
Trochlearis
Pergerakan bola mata ke
medial bawah
+ +
N V
Trigeminus
Membuka mulut + +
Mengunyah + +
Menggigit + +
Sensibilitas wajah + +
N VI
Abduscens
Pergerakan bola mata ke lateral + +
N VII
Facialis
Mengerutkan dahi + +
Menutup mata + +
Memperlihatkan gigi + +
Perasaan lidah bagian depan + +
N VIIISuara berbisik + +
3
VestibulocochlearisTes Romberg -
N IX
Glossopharyngeus,
N X
Vagus
Pengangkatan arkus faring -
Fungsi menelan +
Menghasilkan suara (fonasi) +
N XI
Accesorius
Mengangkat bahu + +
Memalingkan kepala + +
N XII
Hypoglossus
Deviasi lidah - -
Tremor lidah - -
Badan dan Ekstremitas
Bagian tubuh Pemeriksaan Kanan Kiri
Badan Sensibilitas taktil + +
Sensibilitas nyeri + +
Sensibilitas suhu + +
Ekstremitas superior Pergerakan + -
Kekuatan
Humerus
Antebrachii
Manus
4
4
4
0
0
0
Refleks fisiologis
Refleks biceps
Refleks triceps
+
+
+
+
Refleks patologis
Hoffman tromner - -
Sensibilitas nyeri + + (berkurang)
Sensibilitas taktil + +
Ekstremitas inferior Pergerakan + -
Kekuatan
Femur
Cruris
4
4
0
0
4
Pedis 4 0
Refleks fisiologis
Refleks patella
Refleks achilles
+
+
+
+
Refleks patologis
Refleks babinski
Refleks chaddok
Refleks oppenheim
-
-
-
-
-
-
Sensibilitas nyeri + + (berkurang)
Sensibilitas taktil + +
Laseque - -
Koordinasi dan Keseimbangan
Pada pemeriksaan keseimbangan untuk Romberg test dimana pasien disuruh berdiri,
pada saat membuka dan menutup mata pasien jatuh.
Uji Dix Hallpike Negatif. Dari uji Dix Hallpike, pada pasien ini tidak didapatkan
nystagmus pada pasien ini setelah diprovokasi.
Gerakan-gerakan Abnormal
Gerakan-gerakan abnormal pada pasien tidak dijumpai.
Fungsi Vegetatif
Miksi dapat dilakukan dan masih dalam batas normal.
Pasien sudah tidak defekasi selama
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Tanggal Darah lengkap Kimia darah
22 oktober 2014
Hb 13,5 g/dl
Ht 45,1 %
Leukosit 10.600 /uL
Trombosit 260.000/uL
GDS 117 mg/dl
Ureum 24,7 mg/dl
Kreatinin 1,0 mg/dl
Natrium 139 mmol/L
Kalium 4.8 mmol/L
Chloride 106 mmol/L
5
Elektrokardiografi
I aVr V1 V4
II aVL V2 V5
III aVF V3 V6
Hasil : Atrial Fibrilasi
Head CT-Scan
Diagnosa
- Klinis : Stroke Non Hemoragik + Atrial Fibrilasi
- Topis : Hemisfer cerebri dextra
- Etiologis : Tidak diketahui
- Diagnosa Banding : Myastenia Gravis
Penatalaksanaan
IVFD RL 20 tts/mnt6
Injeksi Citicolin 2 x 500 mg (IV)
Aspilet 80 mg 2 x 1
Bisoprolol 2,5 mg 1 x 1
Prognosis
Dubia at bonam
Follow Up
23/10/2014 24/10/2014 26/10/2014
S
Hemiparese kiri, disarthia, pusing(+), sesak(+)BAB + / BAK+
Hemiparese kiri, disarthia, pusing(-), sesak (+)BAB + / BAK+
Hemiparese kiri, disarthia, pusing(-), sesak (+)BAB + / BAK+
O
KU Skt sedangKes. CM E4Vx M6TD =140/90 mmHgN = 72 x/menitRR = 26 x/menitT = 36,5 ᵒCRho (-), whez (-)S1, S2 tunggal regulerMurmur(+)
Motorik4 04 0
KU Skt sedangKes. CM E4Vx M6TD= 150/100 mmHgN = 63 x/menitRR = 27 x/menitT = 36, 6 ᵒCRho (-), whez (-)S1, S2 tunggal regulerMurmur (+)
Motorik4 04 0
KU Skt sedangKes. CM E4Vx M6TD= 130/90 mmHgN = 82 x/menitRR = 20 x/menitT = 36, 5 ᵒCRho (-), whez (-)S1, S2 tunggal reguler, Murmur (+)
Motorik4 04 0
ASNH 3rd attack onset hari II Perawatan hari 1 + AF
SNH 3rd attack onset hari IIIPerawatan hari 2 + AF
SNH3rd attack onset hari IVPerawatan hari 3 + AF
P IVFD RL 20
tts/mnt
Injeksi Citicolin 2
x 500 mg (IV)
Aspilet 80 mg 2 x
1
Bisoprolol 2,5 mg
1 x 1
IVFD RL 20
tts/mnt
Injeksi Citicolin 2
x 500 mg (IV)
Aspilet 80 mg 2 x
1
Bisoprolol 2,5 mg
1 x 1
IVFD RL 20
tts/mnt
Injeksi Citicolin 2
x 500 mg (IV)
Aspilet 80 mg 2 x
1
Bisoprolol 2,5 mg
1 x 1
7
Na Diclofenax 2 x
1
Consul dr. Sp.
Jantung
Na Diclofenax 2
x 1
Digoxin 2 x 1
27/10/2014 28/10/2014 29/10/2014
S
Hemiparese kiri, disarthia, pusing(-), sesak(+)BAB - / BAK+
Hemiparese kiri, disarthia, pusing(-), sesak (+)BAB - / BAK+
Hemiparese kiri, disarthia, pusing(-), sesak (+)BAB - / BAK+
O
KU Skt sedangKes. CM E4Vx M6TD =130/90 mmHgN = 80 x/menitRR = 27 x/menitT = 36,5 ᵒCRho (-), whez (-)S1, S2 tunggal regulerMurmur(+)
Motorik4 04 0
KU Skt sedangKes. CM E4Vx M6TD= 150/100 mmHgN = 63 x/menitRR = 28 x/menitT = 36, 6 ᵒCRho (-), whez (-)S1, S2 tunggal regulerMurmur (+)
Motorik4 04 0
KU Skt sedangKes. CM E4Vx M6TD= 130/90 mmHgN = 82 x/menitRR = 26 x/menitT = 36, 5 ᵒCRho (-), whez (-)S1, S2 tunggal reguler, Murmur (+)
Motorik4 04 0
ASNH 3rd attack onset hari IVPerawatan hari 3 + AF
SNH3rd attack onset hari VPerawatan hari 4 + AF
SNH3rd attack onset hari VIPerawatan hari 5 + AF
P IVFD RL 20
tts/mnt
Injeksi Citicolin 2
x 500 mg (IV)
Aspilet 80 mg 2 x
1
Bisoprolol 2,5 mg
1 x 1
Na Diclofenax 2 x
1
Digoxin 2 x 1
IVFD RL 20
tts/mnt
Injeksi Citicolin 2
x 500 mg (IV)
Aspilet 80 mg 2 x
1
Bisoprolol 2,5 mg
1 x 1
Na Diclofenax 2 x
1
Digoxin 2 x 1
IVFD RL 20
tts/mnt
Injeksi Citicolin 2
x 500 mg (IV)
Aspilet 80 mg 2 x
1
Bisoprolol 2,5 mg
1 x 1
Na Diclofenax 2
x 1
Digoxin 2 x 1
8
Consul dr. Sp.
Rehab medik
30/10/2014 31/10/2014 1/11`/2014
S
Hemiparese kiri, disarthia, pusing(-), sesak(+)BAB - / BAK+
Hemiparese kiri, disarthia, pusing(-), sesak (+)BAB - / BAK+
Hemiparese kiri, disarthia, pusing(-), sesak (+)BAB - / BAK+
O
KU Skt sedangKes. CM E4Vx M6TD =110/80 mmHgN = 80 x/menitRR = 27 x/menitT = 36,5 ᵒCRho (-), whez (-)S1, S2 tunggal regulerMurmur(+)
Motorik4 04 0
KU Skt sedangKes. CM E4Vx M6TD= 110/80 mmHgN = 62 x/menitRR = 32 x/menitT = 36, 6 ᵒCRho (-), whez (-)S1, S2 tunggal regulerMurmur (+)
Motorik4 04 0
KU Skt sedangKes. CM E4Vx M6TD= 130/70 mmHgN = 68 x/menitRR = 22 x/menitT = 36, 5 ᵒCRho (-), whez (-)S1, S2 tunggal reguler, Murmur (+)
Motorik4 04 0
ASNH 3rd attack onset hari VIIPerawatan hari 6 + AF
SNH3rd attack onset hari VIIIPerawatan hari 7 + AF
SNH3rd attack onset hari IXPerawatan hari 8 + AF
P IVFD RL 20
tts/mnt
Injeksi Citicolin 2
x 500 mg (IV)
Aspilet 80 mg 2 x
1
Bisoprolol 2,5 mg
1 x 1
Na Diclofenax 2 x
1
Digoxin 2 x 1
IVFD RL 20
tts/mnt
Injeksi Citicolin 2
x 500 mg (IV)
Aspilet 80 mg 2 x
1
Bisoprolol 2,5 mg
1 x 1
Na Diclofenax 2 x
1
Digoxin 2 x 1
IVFD RL 20
tts/mnt
Injeksi Citicolin 2
x 500 mg (IV)
Aspilet 80 mg 2 x
1
Bisoprolol 2,5 mg
1 x 1
Na Diclofenax 2
x 1
Digoxin 2 x 1
9
PEMBAHASAN
STROKE NON HEMORAGIK
Definisi
Berdasarkan definisi WHO, stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi
serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat,
berlangsung lebih dari 24 jam, atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab
selain daripada gangguan vaskular. Dari segi klinis, stroke dibagi atas serangan iskemik
sepintas (Transient Ischemic Attack), stroke non hemoragik, stroke hemoragik dan
gangguan peredaran darah otak (GPDO) lainnya (Aliah, Kuswara, & A, 2005).
Epidemiologi
Stroke adalah penyebab kematian utama kedua setelah jantung. Tercatat lebih dari
4,6 juta meninggal karena stroke di seluruh dunia, dua dari tiga kematian terjadi di negara
sedang berkembang. Menurut American Heart Association, diperkirakan terdapat 3 juta
penderita stroke pertahun di negara Amerika. Di Indonesia masih belum terdapat
epidemiologi tentang insidensi dan prevalensi penderita stroke secara nasional. Dari
beberapa data penelitian yang minim pada populasi masyarakat didapatkan angka
prevalensi penyakit stroke pada daerah urban sekitar 0,5% dan angka insidensi penyakit
stroke pada darah rural sekitar 50/100.000 penduduk. Sedangkan dari data survey
Kesehatan Rumah Tangga (1995) DepKes RI, menunjukkan bahwa penyakit vaskuler
merupakan penyebab kematian pertama di Indonesia (Nasution, 2007).
Faktor Risiko
10
Faktor resiko stroke ialah faktor yang dapat menyebabkan seseorang lebih rentan
untuk mengalami stroke baik Stroke Non Hemoragik maupun Stroke Hemoragik. Faktor
resiko yang paling Bering ditemukan adalah hipertensi, selain itu ada atherosklerosis,
hiperlipidemia, merokok, obesitas, usia tua, penyakit jantung, arteritis, hematokrit yang
tinggi, (Aliah, Kuswara, & A, 2005).
Faktor resiko berdasarkan sifatnya dibagi menjadi faktor resiko yang dapat
diubah (modifiable) antara lain hipertensi, diabetes mellitus, merokok, penyalahgunaan
alkohol, hiperkolesterolemia, obesitas, kontrasepsi oral, peningkatan hematokrit,
hiperurisemia, penyakit jantung koroner dan fibrilasi atrium. Faktor resiko yang tidak
dapat diubah (nonmodifiable) antara lain umur, jenis kelamin, ras, dan riwayat penyakit
keluarg (Nasution, 2007).
Pembagian stroke
Berdasarkan etiologinya, stroke dapat dibagi menjadi :
1. Stroke infark : aterotromboli, kardioembolik, lakunar
2. Stroke perdarahan : perdarahan intraserebral, perdarahan subarakhnoid,
perdarahan intrakranial et causa AVM
Berdasarkan lokasinya, stroke dibagi menjadi :
1. Sistem karotis
2. Sistem vertebrobasiler
Patologi Stroke Non Hemoragik
a. Trombosis serebri
Trombosis ditemukan pada 40 % kasus stroke yang dibuktikan oleh ahli patologi.
Biasanya ada kerusakan lokal pembuluh darah akibat aterosklerosis. Proses aterosklerosis
ditandai oleh plak berlemak pada tunika intima arteri besar. Plak cenderung terbentuk
pada percabangan atau tempat yang melengkung. Pembuluh darah yang mempunyai
resiko adalah arteri karotis interna, arteri vertebralis bagian atas. Hilangnya tunika intima
membuat jaringan ikat terpapar. Trombosit akan menempel pada permukaan yang terluka
sehingga permukaan dinding menjadi kasar. Trombosit akan melepaskan enzim adenosin
difosfat yang mengawali proses koagulasi (Aliah, Kuswara, & A, 2005).
Adesi trombosit (platelet) dapat dipicu oleh produk toksik yang dilepaskan
makrofag dan kerusakan moderat pada permukaan intima. Trombosit juga melepaskan
11
growth factors yang menstimulasi migrasi dan proliferasi sel otot polos dan juga berperan
pada pembentukan lesi fibrointimal pada subendotelial (Nasution, 2007).
b. Emboli serebri
Embolisme serebri biasanya terjadi pada orang yang lebih muda., kebanyakan emboli
serebri berasal dari suatu thrombus di jantung sehingga masalah yang dihadapi
sesungguhnya adalah perwujudan penyakit jantung. Selain itu, emboli juga dapat berasal
dari plak ateroma karotikus atau arteri karotis interna. Setiap bagian otak dapat mengalami
emboli, tempat yang paling sering adalah arteri serebri media bagian atas (Aliah,
Kuswara, & A, 2005).
Manifestasi Klinis Stroke Non Hemoragik
Secara umum, stroke ditandai dengan kelemahan atau kesemutan tiba-tiba pada
wajah, tangan dan kaki yang biasanya dialami 1 sisi tubuh. Selain itu terdapat gejala lain
seperti disarthia, kesulitan melihat pada salah satu atau kedua mata, kesulitan berjalan,
vertigo, nyeri kepala dan hilangnya kesadaran(Avezum, et al., 2012).
Gejala utama SNH akibat trombosis serebri ialah, timbulnya defisit neurologik secara
mendadak/sub akut, didahului gejala prodromal, terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi
dan kesadaran biasanya tidak menurun, biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun. Pada
pungsi lumbal, likuor serebrospinalis jernih, tekanan normal, dan eritrosit kurang dari 500.
Sedangkan SNH akibat emboli serebri didapatkan pada usia yang lebih muda,
mendadak dan pada waktu aktif. Sumber emboli berasal dari berbagai tempat yakni kelainan
jantung atau ateroma yang terlepas. Kesadaran dapat menurun bila embolus cukup besar dan
pemeriksaan likuor serebrospinalis normal (Aliah, Kuswara, & A, 2005).
Klasifikasi Stroke Non Hemoragik
Stroke non hemoragik dapat dijumpai dalam 4 bentuk klinis (Aliah, Kuswara, & A,
2005):
1. Serangan iskemik sepintas/Transient lshemic Attack (TIA)
Pada bentuk ini gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak
akan menghilang dalam waktu 24 jam.
2. Defisit neurologik iskemik sepintas/Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND)
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama dari 24 jam,
tapi tidak lebih dari 3 minggu.
3. Stroke progresif (Progresive Stroke/stroke in evolution)
12
Gejala neurologik makin lama makin berat
4. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)
Gejala klinis menetap.
Patofisiologi
Strok non hemoragik sangat erat hubungannya dengan aterosklerosis (terbentuknya
ateroma) dan arteriolosklerosis. Aterosklerosis dapat menimbulkan bermacam-macam
manifestasi klinik dengan cara (Aliah, Kuswara, & A, 2005):
1. Menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi aliran darah
2. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus atau perdarahan ateroma
3. Merupakan terbentuknya trombus yang kemudian terlepas sebagai emboli
Diagnosis
Diagnosis stroke non hemoragik didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik-
neurologis, serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis biasanya didapatkan
keluhan/gejala defisit neurologik yang mendadak setelah istirahat atau bangun tidur, tanpa
trauma kepala dan adanya faktor resiko GPDO. Dari pemeriksaan fisik dapat
ditemukankan adanya defisit neurologik fokal, faktor resiko, bising pada auskultasi atau
kelainan pembuluh darah lainnya. Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan meliputi
darah lengkap dan LED, ureum, elektrolit, glukosa, dan lipid, rontgen dada dan EKG, serta
CT scan kepala. CT scan kepala merupakan pemeriksaan baku emas untuk membedakan
infark dengan perdarahan (Nasution, 2007).
Penatalaksanaan Stroke Iskemik
Terapi SNH dibedakan pada fase akut dan pasca fase akut.
A. Fase Akut (hari ke 0-14 sesudah onset penyakit) (T, 14-22) (Mischbach, 2007)
1. Pengobatan terhadap hipertensi pada stroke akut
Pemberian obat yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah tidak
direkomendasikan diberikan pada kebanyakan pasien stroke iskemik. Pada penderita
dengan tekanan darah diastolik > 140 mmHg (atau >110 mmHg bila akan dilakukan
13
terapi trombolisis) diperlakukan sebagai penderita hipertensi emergensi berupa drip
continyu nicardipin, diltiazem, nimodipin, dan lain-lain.
Jika tekanan darah sistolik >220 mmHg atau diastolic >120 mmHg, berikan
labetalol iv selama 1-2 menit. Dosis labetalol dapat diulang atau digandakan
setiap 10-20 menit sampai penurunan tekanan darah yang memuaskan dapat dicapai
atau sampai dosis kumulatif 300 mg yang diberikan melalui teknik bolus mini.
Setelah dosis awal, labetalol dapat diberikan setiap 6-8 jam bila diperlukan.
Bila tekanan darah sistolik < 220 mmHg dan atau tekanan darah diastolik <
120 mmHg, terapi darurat harus ditunda kecuali adanya bukti perdarahan intraserebral,
gagal jantung ventrikel kiri, infark miokard akut, gagal ginjal akut, edema paru,
diseksi aorta, ensefalopaty hipertensi dan sebagainya. Pada penderita tersebut
diberikan labetalol 200-300 mg 2-3 kali perhari. Batas penurunan tekanan darah 20-
25% dari tekanan darah arterial rerata pada jam pertama.
2. Pengobatan terhadap hipoglikemia dan hiperglikemia.
Hiperglikemia
Pemberian insulin regular berdasarkan skala luncur, sangat bervariasi dan harus disesuaikan
dengan kondisi masing-masing pasien.
Gula darah (mg/dl) Dosis Insulin SC (unit)150 – 200 2201 – 250 4251 – 300 6301 – 350 8351 – 400 10
Monitoring menggunakan fingerstick, mengikuti jadwal berikut :
Diet Frekuensi Monitoring
Puasa Setiap 6 jam : pk 06.00 - 12.00 - 13.00 - 24.00
Diet Peroral Setiap satu jam sebelum makan dan setiap malam
Diet NGT Setiap 6 jam : pk 06.00 - 12.00 - 18.00 - 24.00
Hipoglikemia (glukosa darah < 60 mm/dl)
Berikan dextrose 50% dalam air (D50W) intravena. Bila penderita sadar 25 ml (1/2
ampul). Bila tidak sadar 50 ml (1 ampul). Periksa ulang glukosa tiap 20 menit dan beri
ulang 25 ml dari D50W intravena bila < 60 mm/dl.
14
3. Pemberian antikoagulan
Pemberian antikoagulan (heparin, LMWH atau heparinoid) secara parenteral
meningkatkan komplikasi perdarahan yang serius. Pada beberapa penelitian
menunjukkan dosis tertentu unfractioneed heparin subkutan menurunkan stroke
iskemik ulang secara dini, tetapi dapat meningkatkan resiko perdarahan.
Pemberian heparin. LMWH atau heparinod setelah stroke iskemik tidak
direkomendasikan.
4. Pemberian antiplatelet aggregasi :
a. Pemberian aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam 24-48 jam setelah onset
stroke di anjurkan untuk setiap stroke iskemik akut.
b. Jika direncanakan pemberian trombolitik Aspirin jangan diberikan.
c. Pemberian antiplatelet / aspirin dan antikoagulan untuk mencegah dan
menurunkan resiko stroke kardioemboli.
d. Terapi gabungan antiplatelet aspirin dengan clopidogrel pada pasien yang
terdeteksi mikroemboli lebih baik dalam menurunkan kejadian mikroemboli
berulang di banding dengan aspirin saja.
5. Pemakaian obat-obatan neuroprotektan bertujuan untuk mempertahankan fungsi
jaringan. The Cleveland Clinic telah meneliti pemakaian selimut dingin dan mandi air
es dalam delapan jamdan mempertahankan hipotermia ke suhu 89,6 oF selama 12
sampai 72 jam sementara pasien mendapat bantuan untuk mempertahankan kehidupan
cenderung mengalami lebih sedikit kecacatan (skala Rankin) dan daerah infark lebih
kecil daripada kelompok kontrol. Konsultasi dengan dokter spesialis jantung untuk
mencari kemungkinan sumber emboli dari jantung serta menanggulangi gangguan
jantung terutama gangguan irama jantung.
7. Osmoterapi dan hiperventilasi direkombinasi untuk pasien yang mengalami
kemunduran akibat tekanan tinggi intracranial, termasuk sindroma hernia.
8. Bedah termasuk drainase cairan serebro spinal dapat dilakukan untuk mengatasi
tekanan tinggi intrakarnial akibat hidrosefali.
B. Fase Pasca Akut
Setelah fase akut berlalu, sasaran pengobatan dititik beratkan tindakan rehabilitasi
penderita, dan pencegahan terulangnya stroke.
1. Rehabilitasi
15
Rehabilitasi Medik adalah pemulihan seseorang yang cacat akibat cedera atau
penyakit kepada kemampuan fisik, mental, emosi, sosial, vokasional dan ekonomi
yang sebesar-besarnya dan bila mampu berkarya diberi kemampuan untuk
mendapatkan pekerjaan yang sesuai. RM merupakan terapi secara multidisipliner yang
melihat seorang pasien seutuhnya.
Rehabilitasi pada stroke harus dilakukan sedini mungkin, mobilisasi pada
pasien stroke karena emboli dilakukan segera pada 1 hari setelah stroke, sedangkan
stroke pada perdarahan dilakukan 2 minggu atau 12 hari setelah stroke.
2. Terapi Preventif
Tujuannya, untuk mencegah terulangnya atau timbulnya serangan baru stroke, dengan
jalan antara lain mengobati dan menghindari faktor-faktor resiko stroke:
a) Pengobatan hipertensi
b) Mengobati diabetes mellitus
Menghindari rokok, obesitas, stress, berolah raga teratur.
FIBRILASI ATRIUM
DefinisiFibrilasi atrium (atrial fibrillation/AF) merupakan suatu gangguan irama
jantung yang tidak teratur (irregularly irregular) dan pada rekaman EKG ditandai oleh
perubahan gelombang P menjadi gelombang osilasi cepat atau fibrilasi dengan berbagai
variasi baik bentuk, ukuran dan waktunya (Fuster, et al., 2011; Karo – Karo, et al.,
2008; Firdaus, 2007). Klasifikasi
Klasifikasi AF yang sederhana dan berdasarkan keadaan klinis yang relevan (Firdaus,
2007; Fuster, et al., 2011) :
1. AF paroksismal merupakan AF yang timbul dan hilang secara spontan. Umumnya < 7 hari
(sebagian besar < 24 jam) tanpa intervensi.
2. AF persisten merupakan AF yang tidak dapat terkonversi secara spontan menjadi irama
sinus. Biasanya > 7 hari, sehingga diperlukan intervensi farmakologik ataupun non
farmakologik.
3. AF permanen merupakan AF yang tidak dapat dikonversi menjadi irama sinus meskipun
telah dilakukan terapi farmakologik ataupun direct-current cardioversion.
4. AF rekuren merupakan AF yang terjadi sebanyak 2 kali atau lebih episode. AF
paroksismal dan persisten dapat diklasifikasikan kedalam AF rekuren jika memenuhi
kriteria tersebut.
16
Gambar 2.16. Pola fibrilasi atrium (atrial fibrillation / AF). 1. Episode AF berlangsung selama < 7 hari atau (sebagian besar selama < 24 jam); 2, Episode AF biasanya > 7 hari; 3, Kardioversi gagal untuk menghentikan AF; dan 4, AF paroksismal dan persisten dapat menjadi rekuren. Dikutip dari (Fuster, et al., 2011).
Gambar 2.17. Elektrokardiogram menunjukkan AF dengan kecepatan respon ventrikel terkontrol. Gelombang P digantikan oleh gelombang fibrilasi. Dikutip dari (Fuster, et al., 2011).
1.1.1. Patogenesis
1.1.1.1. Mekanisme Dasar AF
Terjadinya AF sering bersifat kompleks dan diperlukan beberapa syarat untuk dapat
berkembang menjadi AF, seperti pencetus (trigger) dan substrat anatomis. Terdapat beberapa
teori yang menjelaskan mekanisme terjadinya AF yaitu, automatic focus theory (fokus
17
ektopik) dan multiple reentrant wavelets hypotesis. Mekanisme ini pun tidak semata-mata
berlangsung secara terpisah dan mungkin saja dapat terjadi pada pasien yang sama (Fuster, et
al., 2011)
a. Automatic Focus Theory (fokus ektopik)
Teori ini merupakan teori awal yang menjelaskan tentang proses aktivasi atrium yang
cepat dan ireguler selama AF, khususnya pada pasien dengan AF paroksismal (Neubeger,
2006). Teori ini menjelaskan bahwa fokus awal (inisial) terjadinya AF paling sering berada di
regio vena pulmonalis. Selain itu fokus lain juga telah ditemukan yaitu pada vena kava
superior, ligament of Marshall, left posterior free wall, krista terminalis, dan sinus coroner
(Fuster, et al., 2011). Fokus ini bukan hanya mampu menginisiasi tetapi juga mampu untuk
mengubah AF menjadi permanen (Neubeger, 2006). Terdapat 3 mekanisme (gambar 2.13)
yang mendasari terjadinya fokus ektopik, yakni peningkatan automatisitas, early
afterdepolarizations (AEDs) dan delayed afterdepolarizations (DADs).
Gambar 2.18. Mekanisme fibrilasi atrium yang disebabkan oleh fokus ektopik. EADs, early afterdepolarization; DADs, delayed afterdepolarizations; RyR, ryanodine receptor; dan AP, action potential. Dikutip dari (Iwasaki, et al., 2011).
Setelah fase repolarisasi, potensial aksi sel atrium yang normal akan berada pada fase
istirahat (fase 4) oleh karena masuknya ion-ion K+. Sel tersebut sebenarnya mampu bertindak
sebagai pacemaker (pencetus potensial aksi) bahkan saat sel berada pada fase istirahat
(dikenal sebagai automatisitas). Kondisi ini tidak dapat terjadi jika jumlah ion K+ yang masuk
ke dalam sel lebih banyak daripada aktivitas pacemaker sehingga mampu meredam terjadinya
automatisitas. Namun, jika terjadi ketidakseimbangan antara keduanya, seperti meningkatnya
18
kinerja sel atrium sebagai pacemaker dan berkurangnya jumlah ion K+ yang masuk ke dalam
sel atrium menyebabkan meningkatnya automatisitas (Iwasaki, et al., 2011).
Selama fase repolarisasi, tidak terjadi aliran masuk ion Ca2+ ke dalam sel. Namun pada
early afterdepolarizations (EADs), terjadi depolarisasi membran sel abnormal selama fase
repolarisasi. Faktor utama yang menyebabkan EADs adalah memanjangnya durasi potensial
aksi sehingga mengaktivasi kembali arus ion Ca2+ yang sebelumnya inaktif dan selanjutnya
menyebabkan masuknya ion-ion Ca2+ ke dalam sel (Iwasaki, et al., 2011).
Delayed afterdepolarization (DADs) disebabkan oleh pelepasan abnormal ion Ca2+
dari tempat penyimpanannya di retikulum sarkoplasma melalui ryanodine receptors (RyRs) –
kanal khusus ion Ca2+- yang dalam kondisi normal, kanal ini tertutup selama diastol, namun
kanal ini dapat terbuka oleh karena kerusakan ryanodine receptors (RyRs) dan kelebihan
simpanan ion Ca2+ di retikulum sarkoplasma. Ketika 1 ion Ca2+ dilepaskan selama diastol,
maka ion tersebut akan digantikan dengan masuknya 3 ion Na2+ yag berasal dari ekstraseluler
melalui Na+-Ca2+ exchanger sehingga dimulai kembali fase depolarisasi (Iwasaki, et al.,
2011).
b. Reentry
Suatu mekanisme sirkuit yang mampu mempertahankan dirinya sendiri atau yang
dikenal sebagai reentry ini pertama kali dijelaskan oleh Mayer (1906) dan selanjutnya
dikembangkan lebih lanjut oleh Mines, Garrey dan Lewis (Neubeger, 2006). Hypothesis ini
menjelaskan bahwa jumlah wavelets yang muncul pada AF bergantung pada periode refrakter,
massa, dan kecepatan konduksi berbagai tempat yang berbeda di atrium (gambar 2.19). Massa
atrium yang besar dengan periode refrakter pendek serta lambatnya konduksi impuls akan
meningkatkan jumlah wavelets (Fuster, et al., 2011).
Gambar 2.19. Prinsip mekanisme elektrofisiologi AF. A, Aktivasi fokal. Fokus pencetus (ditandai dengan gambar bintang) sering terletak di regio vena-vena pulmonalis. Wavelets yang dihasilkan
19
menggambarkan konduksi fibrilasi seperti pada multiple-wavelets reentry. B, Multiple-wavelets reentry (ditandai dengan tanda panah) secara acak masuk kembali (reenter) ke dalam jaringan yang sebelumnya diaktivasi oleh wavelets yang sama atau wavelets lain. Rute perjalanan wavelets bervariasi. LA, Left atrium; PV, Pulmonary vein; ICV, Inferior vena cava; SCV, Superior vena cava; RA, Right atrium. Dikutip dari (Fuster, et al., 2011).
1.1.2. Etiologi dan Faktor Predisposisi (Fuster, et al., 2011).
1. Abnormalitas elektrofisiologi
a. Peningkatan automatisitas (focal AF)
b. Abnormalitas system konduksi (reentry)
2. Peningkatan tekanan atrium
a. Penyakit katup mitral atau trikuspid
b. Penyakit miokardium (primer atau sekunder, menimbulkan disfungsi sistolik
atau diastolik)
c. Abnormalitas katup semilunar (menyebabkan hipertrofi ventrikel)
d. Hipertensi pulmonal atau sistemik
e. Tumor atau trombus intrakardiak
3. Iskemia Atrium
a. Coronary artery disease (CAD)
4. Penyakit atrium infiltratif atau inflamasi
a. Perikarditis
b. Amyloidosis
c. Myocarditis
d. Perubahan fibrotik atrium yang diinduksi usia
5. Obat-obatan
a. Alkohol
b. kafein
6. Gangguan endokrin
a. Hyperthyroidism
b. Pheochromocytoma
7. Perubahan pada tonus otonom
a. Peningkatan aktivitas parasimpatis
b. Peningkatan aktivitas simpatis
8. Penyakit metastatik atau primer pada atau berdekatan dengan dinding atrium
9. Postoperatif
20
a. Jantung, paru atau esofagus
10. Penyakit jantung bawaan
11. Neurogenik
a. Perdarahan subarachnoid
b. Nonhemorrhagic, major stroke
12. Idiopatik (lone AF)
1.1.3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang ditimbulkan AF berbeda-beda, dan dapat terjadi dengan ada
atau tidak adanya penyakit jantung yang ditemukan. Episode AF dapat sembuh dengan
sendirinya (self-limited) atau memerlukan intervensi untuk menghentikannya. Dari waktu ke
waktu, pola AF dapat didefinisikan dalam istilah jumlah episode, durasi, frekuensi, onset,
pemicu, dan respon terhadap terapi, tetapi gambaran ini tidak mungkin dilihat ketika AF
pertama kalinya ditemui pada pasien (Fuster, et al., 2011).
AF dapat dikenali dengan seketika sebagai suatu perasaan palpitasi (berdebar-debar)
atau sebagai konsekuensi tromboembolik ataupun hemodinamiknya. Namun dapat juga
mengalami periode asimtomatik yang durasinya tidak diketahui. Sehingga diperlukan
rekamanan EKG portabel (ambulatory ECG recordings). Pasien dengan AF yang telah
menjadi permanen sering memperhatikan bahwa palpitasi berkurang seiring dengan
berjalannya waktu dan dapat menjadi asimtomatik. Hal ini sering terjadi pada usia lanjut.
Beberapa pasien mengalami gejala hanya selama terjadi AF paroksismal atau hanya sebentar
– sebentar saja selama AF berlangsung (Fuster, et al., 2011).
Sebagian besar pasien mengeluh palpitasi, nyeri dada, sesak napas, rasa lelah
(fatigue), lightheadedness, atau pingsan (syncope). Polyuria dapat dihubungkan dengan
pelepasan atrial natriuretic peptide (ANP). AF yang dihubungkan dengan respon ventrikel
cepat yang berkelanjutan dapat menimbulkan kardiomiopati yang diperantarai oleh takikardi
(tachycardia-mediated cardiomyopathy), terutama pada pasien yang tidak sadar terhadap AF
yang dialaminya (Fuster, et al., 2011).
Secara umum telah diketahui bahwa AF merupakan suatu faktor predisposisi
terjadinya komplikasi tromboemboli yang biasanya disebabkan oleh statis aliran darah dan
kontraksi atrium yang lemah. Meskipun konsep ini hampir pasti benar, resiko tromboemboli
pada pasien MS juga dipengaruhi oleh hiperkoagulasi yang statis. Hiperkoagulasi yang statis
ini membaik setelah tindakan BMV dan juga dengan mengontrol denyut jantung (Carabello,
2005). Stroke merupakan salah satu gangguan fungsional yang berhubungan dengan AF, data
21
menyatakan bahwa kualitas hidup akan terganggu pada pasien AF dibandingkan dengan
pasien yang berusia sama namun tanpa disertai fibrilasi atrium (Fuster, et al., 2011) .
1.1.4. Diagnosis
Evaluasi klinis pada pasien AF berdasarkan ACC/AHA/ESC Practice Guidelines for the Management of Patients With Atrial Fibrillation, 2006.
Evaluasi minimal
1. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik, untuk menentukan :
a. Adanya AF dan gejala alami yang berhubungan dengan AF
b. Tipe AF (episode pertama, paroksismal, persisten, atau permanen)
c. Onset serangan gejala awal atau tanggal ditemukannya AF
d. Frekuensi, durasi, faktor presipitasi, dan cara AF berhenti
e. Respon terhadap agen farmakologi yang telah diberikan
f. Adanya penyakit jantung yang mendasari atau kondisi yang bersifat reversible lain
(hyperthyroidism atau konsumsi alkohol)
2. Elektrokardiogram (EKG), untuk mengidentifikasi :
a. Irama (membuktikan AF)
b. Hipertrofi ventrikel kiri
c. Durasi dan morfologi gelombang P atau gelombang fibrilasi
d. Aritmia atrium yang lain
e. Untuk mengukur R-R, QRS, dan QT intervals.
3. Transthoracic echocardiogram, untuk mengidentifikasi :
a. Penyakit jantung katup
b. Ukuran atrium kiri dan atrium
c. Ukuran dan fungsi ventrikel kiri
d. Tekanan ventrikel kanan puncak (hipertensi pulmonal)
e. Hipertrofi ventrikel kiri
f. Trombus atrium kiri (sensitivitas rendah)
g. Penyakit perikardial
4. Tes darah, untuk mengetahui fungsi thyroid, ginjal, dan hati
Tes tambahan
Satu atau beberapa tes dapat diperlukan. 22
1. Tes berjalan 6 menit (Six-minute walk test)
a. Jika kecukupan rate control masih diragukan
2. Tes latihan (exercise test)
a. Jika kecukupan rate control masih diragukan (AF permanen)
b. Untuk menyingkirkan iskemia sebelum pengobatan pada pasien dengan obat
antiaritmia tipe IC
3. Holter monitoring or event recording
a. Jika tipe aritmia masih belum pasti
b. Untuk mengevaluasi rate control
4. Transesophageal echocardiography
a. Untuk mengidentifikasi thrombus atrium kiri) di LA appendage
b. Untuk memandu kardioversi
5. Mempelajari elektrofisiologi
a. Untuk mengklarifikasi mekanisme takikardi kompleks QRS lebar
b. Untuk mencari tempat pengobatan dengan ablasi atau modifikasi/blok konduksi AV
6. Radiografi dada, untuk mengevaluasi :
a. Parenkim paru, ketika penemuan klinis menyatakan abnormalitas
b. Vaskulatur pulmonal, ketika penemuan klinis dinyatakan abnormal
1.1.5. Penatalaksanaan
Berdasarkan ACC/AHA/ESC: Practice Guidelines for the Management of Patients
With Atrial Fibrillation, 2006 menyatakan bahwa penatalaksanan AF memerlukan
pengetahuan tentang pola AF (paroksismal, persisten atau permanen), kondisi yang mendasari
dan keputusan untuk memperbaiki serta mempertahankan irama sinus (sinus rhythm),
mengendalikan laju denyut ventrikel (rate control) dan terapi antitrombotik (Fuster, et al.,
2011). Berikunya akan dibahas tentang algoritma tatalaksana pada masing – masing tipe AF.
23
a. Fibrilasi atrium yang terdeteksi pertama kali
Gambar 2.22. Manajemen farmakologis pasien dengan fibrilasi atrium yang terdeteksi pertama kali. *Lihat gambar 2.24. HF, Heart Failure. Dikutip dari (Fuster, et al., 2011)
b. Fibrilasi Atrium Paroksismal Rekuren
Gambar 2.23. Manajemen farmakologis pada pasien dengan AF paroksismal rekuren. *Lihat Gambar 2.24. AAD, antiaarrhythmic drug. Dikutip dari (Fuster, et al., 2011).
c. Fibrilasi Atrium Persisten Rekuren
24
Gambar 2.24. Terapi obat antiaritmia untuk mempertahankan irama sinus (sinus rhythm) pada pasien dengan AF paroksismal dan persiten rekuren. Didalam tiap kotak, obat didaftar secara alfabetik dan bukan diurut sesuai penggunaan yang diusulkan. Aliran kebawah mengindikasikan urutan pilihan terapi sesuai kondisi masing-masing. Dari kiri ke kanan, penyakit jantung semakin serius, dan pemilihan terapi pada pasien dengan kondisi multipel bergantung pada kondsi yang paling serius. LVH, left ventricular hypertrophy. Dikutip dari (Fuster, et al., 2011).
Gambar 2.25. Manajemen farmakologi pada pasien dengan AF persisten dan permanen rekuren. Awali terapi pengobatan sebelum kardioversi untuk mengurangi kemungkinan terjadinya AF rekuren. *Lihat Gambar 2.24. Dikutip dari (Fuster, et al., 2011).
25
HUBUNGAN STROKE NON HEMORAGIK DAN ATRIAL FIBRILASI
Stroke non hemoragik merupakan penyakit serebrovaskular yang dapat terjadi ketika
pembuluh darah tersumbar dan suplai darah ke otak berkurang. Hal ini dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan otak akibat kurangnya suplai oksigen dan nutrisi. . Secara umum,
stroke ditandai dengan kelemahan atau kesemutan tiba-tiba pada wajah, tangan dan kaki
yang biasanya dialami 1 sisi tubuh. Selain itu terdapat gejala lain seperti disarthia, kesulitan
melihat pada salah satu atau kedua mata, kesulitan berjalan, vertigo, nyeri kepala dan
hilangnya kesadaran(Avezum, et al., 2012).
Terdapat beberapa factor yang meningkatkan terjadinya stroke seperti obesitas,
diabetes mellitus, merokok dan penyakit kardiovaskular. Salah satu penyakit kardiovaskular
yang dapat meningkatkan resiko stroke secara signifikan adalah atrial fibrilasi yaitu suatu
kelainan irama jantung (Pfizer, 2014). Sekitar 15 % stroke berkaitan dengan atril fibrilasi.
Atrial fibrilasi meningkatkan resiko terjadinya stroke non hemoragik lima kali lebih tinggi
dibandingkan dengan irama jantung yang normal (Avezum, et al., 2012). Stroke yang
berkaitan dengan atrial fibrilasi lebih berat dibandingkan dengan stroke tanpa atrial fibrilasi
(Goto, et al., 2012).
Atrial fibrilasi dapat menyebabkan stroke non hemoragik karena irama jantung
abnormal menyebabkan aliran darah yang statis pada atrium kiri sehingga mudah terjadi
pembentukkan thromboemboli. Umumnya thromboemboli yang timbul pada keadaan ini lebih
besar sehingga perfusi jaringan ke otak akan lebih terganggu. Hal ini akan mengakibatkan
resiko kematian lebih tinggi, perawatan di rumah sakit yang lebih lama, kecacatan yang lebih
besar dan meningkatnya resiko rekurensi stroke (Takashi, 2006).
Prinsip terapi pada stroke non hemoragik dengan atrial fibrilasi adalah mencegah terjadinya
pembentukkan emboli dan memperbaiki irama jantung (Pfizer, 2014). Obat tambahan yang
sering diresepkan umumnya adalah obat untuk menurunkan viskositas darah seperti
antikoagulan atau antiplatelet. Selain obat-obat neuroprotektan seperti citicolin dan anti
aritmia seperti Beta blocker, Calcium Channel Blocker, digitalis, amiodaron dan propafenon.
(Avezum, et al., 2012).
Pemberian antikoagulan, antiplatelet atau trombolitik bertujuan untuk menghilangkan emboli
dan juga mencegah pembentukkannya kembali. Antikoagulan yang biasa digunakan seperti e ,
heparin, ximelagatran dan dabigatran. Sedangkan antiplatelet yang biasa digunakan adalah
clopidogrel, dipyridamole, indobufen, dan trifusal. Trombolitik yang biasa digunakan adalah
26
recombinant tissue plasminogen activator, streptokinase, urokinase dan alteplase(Lindsay,
Gubitz, & Phillips, 2013).
27
Daftar Pustaka
Aliah, A., Kuswara, F., & A, L. (2005). Gambaran Umum tentang gangguan peredaran
darah otak (GPDO). Yogyakarta: Gajah mada University press.
Avezum, Á., Csiba, L., -Zuelgaray, J. G., Hankey, G. J., Tichy, T. H., Hu, D., et al. (2012).
Atrial Fibrillation-Related Stroke: An Avoidable Burden . II.
Firdaus, I. (2007). Fibrilasi Atrium Pada Penyakit Hipertiroidisme: Patogenesis dan
Tatalaksana. Jurnal Kardiologi Indonesia, 28:357-386.
Fuster, V., Ryden, L. E., Cannom, D. S., Crijns, H. J., Curtis, A. B., Ellenbogen, K. A., et al.
(2011). 2011 ACCF/AHA/HRS Focused Updates Incorporated Into the
ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the Management of patients With Atrial
Fibrillation. Journal of the American College of Cardiology, e101-e198.
Goto, S., Hu, H. -H., Quek, D., Sim, K. i.-H., Tse, H. F., Zhang, S., et al. (2012). Atrial
Fibrillation-Related Stroke across the Asia-Pacific Region: A Preventable Problem .
united state: Bayer HealthCare Pharmaceuticals.
Iwasaki, Y.-k., Nishida, K., Kato, T., & Nattel, S. (2011). Atrial Fibrillation
Pathophysiology : Implications for Management. Circulation, 124: 2264-2274.
Karo - Karo, S., Rahajoe, S., & Sulistyo, d. S. (2008). Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia ( PERKI ).
Lindsay, M., Gubitz, G., & Phillips, B. M. (2013). CANADIAN BEST PRACTICE
RECOMMENDATIONS FOR STROKE CARE . Canadian Stroke Network , 31-38.
Mischbach, J. (2007). Guideline Stroke2007 (Edisi Revisi). PERDOSI .Neuberger, H.-R.
(2006). The Effects of Chronic Atrial Dilatation on Atrial Electrophysiology and
Contractility. Netherland: Universiteit Maastricht.
Nasution, A. (2007). Strategi Pencegahan Stroke Primer. Universitas Sumatera Utara .
Nattel, S., Burstein, B., & Dobrev, D. (2008). Atrial Remodeling and Atrial Fibrillation :
Mechanisms and Implication. Circulation: Arrhythmia and Electrophysiology, 1: 62-
73.
Neubeger, H.-R. (2006). The Effects of Chronic Atrial Dilatation on Atrial Electrophysiology
and Contractility. Netherland: Universiteit Maastricht.
28
Pfizer. (2014). VALUE OF MEDICINES: Stroke and Atrial Fibrillation. United State: Global
Policy and International Public Affairs.
T, R. (14-22). Pedoman Penatalaksanaa Stroke Bagi Dokter Umum. Updates in
Neuroemergencies , 2002.
Takashi, S. (2006). Non valvular atrial fibrilation and Stroke. JMAJ , 119-124.
29