40
PRESENTASI KASUS EPILEPSI Oleh: Vidi Aditya Pamori Wibowo Putra G99141103

Tugasfarmasi Vidi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kedokteran

Citation preview

Page 1: Tugasfarmasi Vidi

PRESENTASI KASUS

EPILEPSI

Oleh:

Vidi Aditya Pamori Wibowo Putra

G99141103

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI

S U R A K A R T A

2015

Page 2: Tugasfarmasi Vidi

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Epilepsi adalah suatu kondisi neurologik yang mempengaruhi system saraf.

Epilepsi juga dikenal sebagai penyakit kejang. Epilepsi dapat didiagnosis paling tidak

setelah mengalami dua kali kejang yang tidak disebabkan oleh kondisi medis seperti

kecanduan alkhohol atau kadar gula yang sangat rendah (hipoglikemi). Terkadang

menurut International League Against Epilepsy, epilepsi dapat didiagnosis setelah

mengalami satu kali kejang, jika seseorang berada dalam kondisi dimana mereka

memiliki risiko tinggi untuk menderita kejang lagi. Kejang pada epilepsi mungkin

berhubungan dengan trauma otak atau kecenderungan keluarga tetapi kebanyakan

penyebab epilepsi tidak diketahui (Carold,2008).

Lebih dari 5% populasi didunia mungkin mengalami satu kali kejang dalam hidup

mereka. Kurang lebih sebanyak 60 juta orang didunia menderita epilepsi. Anak-anak dan

remaja lebih cenderung menderita epilepsi dengan sebab yang tidak diketahui atau murni

genetik daripada orang dewasa. Epilepsi dapat mulai terjadi pada semua usia. Pada

penelitian terbaru memperlihatkan bahwa 70% kejang yang terjadi pada anak-anak dan

dewasa yang baru terdiagnosis epilepsi dapat dikontrol dengan baik oleh pengobatan dan

30% orang yang mengalami kejang tidak memberikan respon yang baik dengan

pengobatan yang tersedia (steven,2006).

II. Tujuan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme terjadinya epilepsi

sehingga diagnosis dapat ditegakan lebih dini serta mendapat penanganan yang adekuat

dan tepat agar dapat mengontrol gejala dengan baik.

Page 3: Tugasfarmasi Vidi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi

Epilepsi adalah sebuah kondisi dimana terjadi kejang berulang. Kejang diartikan

sebagai adanya gangguan pelepasan muatan listrik abnormal pada sel saraf diotak yang

menyebabkan gangguan sementara pada fungsi motorik, sensorik dan mental

(Stephen,2005).

Ada banyak tipe kejang, tergantung pada bagian utama otak yang terlibat. Syarat

epilepsi tidak dilihat dari tipe kejang atau penyebab kejang, hanya menandakan adanya

kejang yang terjadi lagi dan lagi.

II. Etiologi

Berdasarkan penyebabnya epilepsi dibagi menjadi dua tipe yaitu epilepsi primer dan

epilepsi sekunder (Stephen,2005). Epilepsi primer adalah epilepsi yang penyebabnya

tidak diketahui secara pasti. Epilepsi primer juga disebut dengan idiopatik epilepsi.

Beberapa hal yang berhubungan dengan epilepsi primer yaitu:

Adanya episode aktivitas listrik yang abnormal didalam otak yang menyebabkan

kejang

Ada beberapa area tertentu pada otak yang dipengaruhi oleh aktivitas listrik yang

abnormal yang menyebabkan beberapa tipe kejang

Jika semua area otak dipengaruhi oleh aktivitas listrik yang abnormal maka

kejang menyeluruh mungkin terjadi. Hal ini berarti bahwa kesadaran mungkin

hilang atau berkurang. Seringnya semua tangan dan kaki akan menjadi kaku

kemudian menyentak secara berirama.

Satu tipe kejang mungkin berkembang menjadi kejang tipe lain. Sebagai contoh,

kejang mungkin berawal sebagian meliputi muka atau tangan. Kemudian

aktivitas otot akan menyebar keseluruh tubuh. Pada saat ini, kejang akan menjadi

menyeluruh.

Kejang yang disebabkan oleh demam tinggi pada anak mungkin tidak

dipertimbangkan sebagai epilepsi.

Page 4: Tugasfarmasi Vidi

Epilepsi sekunder adalah kejang yang penyebabnya telah diketahui. Epilepsi

sekunder disebut juga sebagai epilepsi simtomatik. Ada beberapa penyebab yang biasa di

temukan pada epilepsi sekunder yaitu:

Tumor

Ketidakseimbangan metabolism seperti hipoglikemi

Trauma kepala

Penggunaan obat-obatan

Kecanduan alkhohol

Stroke termasuk perdarahan

Trauma persalinan

III. PATOFISIOLOGI

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari

pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,

pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan

menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan

aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang

ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos

membran neuron.

Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks

mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:

1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon

depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi

Ca2+ secara perlahan.

2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang

memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan

aktivitas kejang.

3. Kepadatan komponen dan keutuhan sel-sel piramidal pada daerah tertentu di korteks,

termasuk pada hippocampus, yang bisa dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk

terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang

kemudian memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.

Page 5: Tugasfarmasi Vidi

4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon

NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.

5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren

dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal

mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi

secara tepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian “mengajak”

neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak

apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersamasama

membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak.

Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda

(lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat.

Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang

sangat bervariasi.

Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 katagori yaitu :

1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka

tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya

dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.

2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat

diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya

epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama

SED dan NPF.

3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsy

pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF

dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.

Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.

Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah : Membran

neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion klorida, tetapi

sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang

tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium

ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong

Page 6: Tugasfarmasi Vidi

ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan

ion kalsium.

Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang

tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi

ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori

sinkronisasi ini dapat terjadi.

1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang

optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.

2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat)

berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.

Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA (

gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi

ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi

potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor

GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau

kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama

pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka

semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bisa

menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan.

Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau

seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini

menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2

penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal (GABA) sehingga terjadi

pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron

eksitatorik (Glutamat) berlebihan.

Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan

antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia,

infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan

rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah

timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai.

Page 7: Tugasfarmasi Vidi

Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di

hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan

eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya

menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita

epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu

tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus

temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan

(Rahardjo, 2007)

IV. KLASIFIKASI

Klasifikasi menurut Commission on classification and terminology of the

international Leauge against Epilepsy :

1. Kejang parsial (fokal, lokal)

a. Kejang parsial sederhana (kesadaran tidak terganggu)

1) Dengan gejala motorik

a) Fokal motorik tidak menjalar

b) Fokal motorik menjalar (epilepsy Jackson)

c) Versif

d) Postural

e) Disertai gangguan fonasi

2) Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (halusinasi sederhana)

a) Somatosensoris

b) Visual

c) Auditoris

d) Olfaktoris

e) Gustatoris

f) Vertigo

3) Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat,

berkeringat, memberat, piloereksi, dilatasi pupil)

4) Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)

a) Disfasia

Page 8: Tugasfarmasi Vidi

b) Demensia

c) Kognitif

d) Afektif

e) Ilusi

f) Halusinasi kompleks (berstruktur)

b. Kejang parsial kompleks (disertai gangguan kesadaran)

1) Awitan parsial sederhana diikuti penurunan kesadaran

a) Dengan gejala parsial sederhana

b) Dengan automatisme

2) Dengan penurunan kesadaran sejak awitan

a) Hanya dengan penurunan kesadaran

b) Dengan automatisme

c. Kejang parsial yang berkembang menajdi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik,

klonik)

1) Kejang parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum

2) Kejang parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum

3) Kejang parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu

berkembang menjadi bangkitan umum

2. Kejang umum (konvulsif atau nonkonvulsif)

a. Bangkitan lena (absence)

1) Hanya penurunan kesadaran

2) Dengan komponen klonik ringan

3) Dengan komponen atonik

4) Dengan komponen tonik

5) Dengan automatisme

6) Dengan komponen otonom

b. Lena tidak khas (atypical absence), dapat disertai :

1) Gangguan tonus yang lebih jelas

2) Awitan dan handekan yang tidak mendadak

c. Kejang mioklonik, kejang mioklonik sekali atau berulang

d. Kejang klonik

Page 9: Tugasfarmasi Vidi

e. Kejang tonik

f. Kejang tonik klonik

g. Kejang atonik

3. Kejang tidak tergolongkan (Shih, 2007)

D. DIAGNOSIS

1. Anamnesa

A. Epilepsi umum :

- Major : grand mal (meliputi 75% kasus) meliputi tipe primer dan sekunder. Epilepsi

grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-klonik.

Manifestasi klinik : kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan

terletak pada ada tidaknya aura, yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan

kejang. Pada epilepsi grand mal simptomatik selalu didahului aura yang memberi

manifestasi sesuai letak fokus epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa

perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara

gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala, dan sebagainya. Bangkitan dimulai dengan

hilang kesadaran sehingga aktivitas pasien terhenti. Kemudian pasien mengalami

kejang tonik. Otot berkontraksi sangat hebat, pasien jatuh, lengan fleksi dan tungkai

ekstensi. Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan

yang disebut jeritan epilepsi. Kejang tonik disusul dengan kejang klonik yang seolah-

olah mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh ke tanah. Kejang tonik-

klonik berlangsung 2-3 menit. Selain kejang, telihat aktivitas vegetatif seperti

berkeringat, midriasis pupil, refleks cahaya negatif, mulut berbuih, dan sianosis.

Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan pasien bangun, termenung dan jika tidak

diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai

setahun sekali.

- Minor :

Page 10: Tugasfarmasi Vidi

Epilepsi petit mal : yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum yang

idiopatik, meliputi kira-kira 3-4% kasus. Umumnya timbul pada anak sebelum

pubertas (4-5 tahun).

Manifestasi klinis : bangkitan berupa kehilangan kesadaran yang berlangsung tidak

lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk sering kali masih dapat dipertahankan

kadang-kadang terlihat gerakan alis, kelopak, dan bola mata. Setelah sadar biasanya

pasien dapat melanjutkan aktivitas semula. Bangkitan dapat berlangsung beberapa

ratus kali dalam sehari. Bangkitan petit mal yang tak diatasi 50% akan menjadi grand

mal. Petit mal yang tidak akan timbul lagi pada usia dewasa dapat diramalkan

berdasarkan 4 ciri, yaitu apabila kejang timbul pada usia 4-5 tahun dengan taraf

kecerdasan normal, harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik, mudah

ditanggulangi hanya dengan satu macam obat. Pola EEG khas berupa gelombang

runcing dan lambat dengan frekuensi 3/detik.

- Bangkitan mioklonus : bangkitan berupa gerakan involunter, misalnya anggukan

kepala, fleksi lengan yang terjadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepat

sehingga sulit diketahui adakah kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat

peka terhadap rangsang sensorik.

- Bangkitan akinetik : bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena

menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga pasien jatuh atau mencari

pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali.

Ketiga bangkitan di atas (petit mal, mioklonus, akinetik) dapat terjadi pada seorang

pasien dan disebut trias Lennox-Gastaut.

- Spasme infantil (sindroma West) : timbul pada bayi 3-6 bulan dan lebih sering pada

anak laki-laki. Penyebab yang pasti belum diketahui, tapi selalu dihubungkan dengan

kerusakan otak yang luas seperti degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi, dan

gangguan pertumbuhan. Bangkitan berupa gerakan kepala ke depan atau ke atas,

lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang disertai teriakan atau tangisan, miosis

atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat.

- Bangkitan motorik : fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan kejang

pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran.

Pasien sering dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya dimulai pada ujung jari

Page 11: Tugasfarmasi Vidi

tangan, kemudian ke lengan bawah dan kahirnya seluruh lengan. Manifestasi ini

disebut jacksonian marche.

B. Epilepsi parsial (20% kasus)

- Bangkitan sensorik : bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen

pada korteks sensorik. Bangkitan somatosensorik dengan fokus terletak di gyrus post

sentralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan

posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas listrik

pada bangkitan ini dapat menyebar ke neuron sekitarnya dan mencapai korteks

motorik sehingga terjadi kejang.

- Epilepsi lobus temporalis : jarang terjadi pada usia sebelum 10 tahun; memperlihatkan

gejala fokalitas khas dan kompleks karena fokus terletak di lobus temporalis dan

bagian otak ini meliputi daerah pengecap, pendengar, penghidu, dan asosiatif antara

ketiga indera tersebut dengan daerah penglihatan. Manifestasi yang komples ini

bersifat psikomotorik. Bangkitan psikis berupa halusinasi dan bangkitan motoriknya

berupa automatisme. Manifestasi klinisnya sebagai berikut : kesadaran hilang

sejenak, dalam keadaan hilang kesadaran ini pasien masuk ke alam pikiran antara

sadar dan mimpi (twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang

terdiri atas halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai

beberapa jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul berupa halusinasi

dengan automatisme pengecap, membaca, penglihatan, pendengaran, atau perasaan

aneh.

2. Pemeriksaan Fisik

Page 12: Tugasfarmasi Vidi

a. Pada bayi

Pada pemeriksaan diselidiki apakah ada kelainan bawaan, asimetri pada badan,

ekstremitas, dicacat ukuran dan bentuk kepala dan keadaan fontanel. Auskultasi dan

transluminasi kepala. Kelainan yang mungkin ditemukan : makrosefali, mikrosefali,

hidrosefalus. Fontael akan menonjol bila tekanan dalam rongga kepala meningkat.

Pada pemeriksaan neurologis harus diperiksa refleks moro, hisap, pegang, dan tonik

leher.

b. Pada anak dan dewasa

Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasa; mencari kelainan

bawaan, asimetri kepala, muka, tubuh, ekstremitas. Pada kulit dicari adanya tanda

neurofibromatosis berupa bercak coklat, putih, dan adenoma sebaseum pada muka

pada sklerosi tuberose. Hemangioma pada muka dapat menjadi tanda penyakit Sturge-

Weber. Pada toksoplasmosis, fundus okuli mungkin menunjukkan tanda-tanda korio

renitis.

3. Pemeriksaan Laboratorium

Perlu diperiksa kadar glukosa, K, Ca, Mg, Na, bilirubin, ureum dalam darah.

Yang memudahkan timbul kejang adalah keadaan hipoglikemia, hipokalemia,

hipomagnesemia, hipo/hipernatremia, hiperbilirubinemia, uremia. Penting pula diperiksa

pH darah karena alkalosis mungkin pula disertai kejang. Pemeriksaan LCS dapat

mengungkapkan adanya radang otak atau meningennya, toksoplasmosis SSP, leukemia

yang menyerang otak, metastase Ca, adanya perdarahan otak atau subarakhnoid.

4. Pemeriksaan EEG

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsy dan merupakan

pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis

epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi

struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan

kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.

Rekaman EEG dikatakan abnormal.

Page 13: Tugasfarmasi Vidi

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer

otak.

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya

misal gelombang delta.

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya

gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat

yang timbul secara paroksimal.

Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalny spasme infantile

mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang

paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG

gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak

(sinkron).

V. PENATALAKSANAAN

Tujuan pokok terapi epilepsi adalah membebaskan pasien dari serangan epilepsi, tanpa

mengganggu fungsi normal SSP agar pasien dapat menjalani kehidupannya tanpa gangguan.

Terapi dapat dibagi dalam 2 golongan (Utama dan Gan, 2007):

1. Terapi kausal

Terapi kausal dilakukan pada epilepsi simptomatik yang sebabnya dapat ditemukan

(sekunder), misalnya :

a. Pada meningoensefalitis, diberikan antibiotik

b. Pada neoplasma dan perdarahan intrakranial diperlukan tindakan operatif

c. Pada gangguan vaskularisasi otak diberi oksigen untuk mengatasi hipoksia

2. Terapi medikamentosa antikejang

Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar pada

beberapa faktor, antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi efek

inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi eksitatorik glutamat. Beberapa obat

antiepilepsi yang dikenal sampai sekarang ini antara lain :

a. Golongan hidantoin

Page 14: Tugasfarmasi Vidi

Fenitoin merupakan yang sering dipakai. Fenitoin bekerja menginhibisi

hipereksitabilitas kanal natrium yang berperan dalam memblok loncatan listrik

sehingga mencegah penjalaran ke bagian otak yang lain.

Indikasi : epilepsi umum khusunya grandmal tipe tidur, epilepsi fokal, dan dapat juga

untuk epilepsi lobus temporalis.

Dosis : dewasa 300-600 mg/hari

Anak 4-8 mg/hari, maksimal 300 mg/hari

b. Golongan barbiturat

Fenobarbital merupakan golongan barbiturat yang long acting. Merupakan agonis

reseptor GABA, sehingga meningkatkan transmisi inhibitori dengan mengaktifkan

kerja reseptor GABA.

Indikasi : epilepsi umum khusus epilepsi grand mal tipe sadar, epilepsi fokal.

Dosis : dewasa 200 mg/hari

Anak 3-5 mg/kgBB/hari

c. Golongan benzodiazepin

Diazepam dikenal sebagai obat penenang, tetapi merupakan obat pilihan utama status

epileptik. Memiliki cara kerja yang sama dengan golongan barbiturate.

Dosis : dewasa 2-10 mg im/iv, dapat diulang stiap 4 jam

Anak > 5 tahun 5-10 mg im/iv

Anak 1 bulan-5 tahun 0,2-2 mg im/iv

d. Golongan suksinimid

Etosuksimid

Indikasi : epilepsi petit mal murni

Dosis : 20-30 mg/kgBB/hari

e. Golongan lain

Page 15: Tugasfarmasi Vidi

Sodium valproat

Indikasi : epilepsi petit mal murni, dapat pula untuk epilepsi pada lobus temporalis

yang refrakter, sebagai kombinasi dengan obat lain.

Dosis : dewasa 0,8-1,4 g/hari dimulai dengan 600mg/hari

Anak 20-30 mg/kgBB/hari

Asetazolamid : dikenal sebagai diuretik, tetapi pada pengobatan epilepsi mempunyai

cara kerja menstabilkan keluar masuknya Na pada sel otak.

Indikasi : epilepsi petit mal, grand mal, dimana serangannya sering berhubungan

dengan siklus menstruasi

Dosis : sehari total 8-30 mg/kgBB

f. Karbamazepin

1. Sediaan : 200 mg/tab

2. Indikasi : epilepsi parsial dengan gejala kompleks dan sederhana

3. Farmakokinetik :

a. Kecepatan absorbsi berbeda-beda antar pasien, tetapi umumnya dapat terabsorbsi

secara sempurna. Obat lambat diabsorpsi jika diberikan setelah makan.

b. Kadar puncak tercapai setelah 6-8 jam.

c. Waktu paruh 36 jam untuk pasien dosis tunggal pertama, kemudian turun 20 jam

untuk yang mendapatkan terapi berlanjut.

4. Farmakodinamik :

Pada membran permeabilitas menunjukkan bahwa CBZ menutup saluran Na pada

konsentrasi terapi dan dapat menstabilkan membran neuron yang hiperaktif,

menghalangi kerusakan neuron berulang dan mengurangi perambatan sinaptik

impuls yang berasal dari luar.

5. Efek samping

Efek sedasi, sakit kepala, pusing, mual, muntah dan ataksia, yang bersifat

sementara. Efek samping lainnya seperti anoreksia, demam, dermatitis (perubahan

pigmentasi kulit, eritema multiformis, SJS, TEN, reaksi fotosensitivitas, urtikaria)

dan gangguan psikis. Selain itu, obat ini juga dapat mempengaruhi kardiovaskular,

GIT, hepar, neuromuskular, tulang, mata, dan telinga, menyebabkan gangguan

Page 16: Tugasfarmasi Vidi

darah seperti anemia aplastik dan agranulositosis, hepatitis, dan SLE. Oleh karena

itu, perlu dilakukan pemeriksaan darah setiap minggu atau per bulan.

6. Dosis :

Awal anak : 15-25 mg/kgBB/hari

Dewasa : 1000-2000mg/hari

Maintenance anak 6-12 tahun : 400-800 mg/hari

Dewasa : 800-1000 mg/hari

Berikut adalah pemilihan obat AED berdasarkan jenis epilepsinya :

Jenis Bangkitan Pilihan Pertama Pilihan Kedua

ParsialSederhanaKompleksUmum Sekunder

FenitoinKarbamazepinFenobarbital

Klobazam,Gabapentin, Lamotrigin,Primidon, Tiagabin,Topiramat, Vigabatrin,Valproat

Serangan UmumTonik-klonik

FenitoinFenobarbitalValproatKarbamazepin

Vigabatrin,Klobazam, Gabapentin,Lamotrigin, Primidon,Tiagabin, Topiramat

Absans/Lena Valproat Etosuksimid

Asetazolamid, Klobazam,Felbamat, Lamotrigin,Topiramat

Tonik,atonik,klonik

Valproat Klobazam,Felbamat,Lamotrigin,Topiramat.

Mioklonik Valproat Asetazolamid, klobazam,klonazepam, felbamat,lamotrigin, topiramat.

Juvenile Myoclonic Valproat Topiramat,lamotrigin

Sindrom Lennox-Gestaut

TopiramatFelbamatLamotrigin

Valproat,fenobarbital, BZDs,ZNS

Sindrom West HormonalValproatVigabatrin

Topiramat,lamotrigin, ZNS,BZDs,piridoksin

Page 17: Tugasfarmasi Vidi

(Ropper, 2005)

BAB III

STATUS PASIEN

Page 18: Tugasfarmasi Vidi

A. IDENTITAS

Nama : Tn. Z

Umur : 24 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Kadipiro, RT03/ RW 02, Surakarta

Suku : Jawa

Agama : Islam

Status Perkawinan : Menikah

Pekerjaan : Karyawan

No. RM : 01 89 86 53

B. ANAMNESIS

1. Keluhan utama :

Kejang berulang

2. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke poli saraf RSDM bersama istrinya dengan keluhan kejang

berulang. Pasien telah mendapat serangan kejang untuk yang kelima kalinya dalam

setahun. Kejang terjadi saat pasien sedang bekerja di depan komputer. Pasien mengaku

pusing dan berkeringat dingin sebelum kejang. Kelima serangan kejang tersebut diikuti

dengan tidak sadar selama kira-kira 3 menit. Kemudian pasien sadar kembali dan dapat

beraktivitas seperti biasanya. Pasien tidak menderita demam sebelumnya. Pasien belum

pernah memeriksakan diri ke dokter ataupun minum obat setelah serangan kejang yang

pertama.

Sebelum berumur dua tahun, pasien sering mengalami kejang pada saat badannya

panas. Pada saat SD pasien sering pingsan saat mengikuti upacara atau olahraga.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi : disangkal

Page 19: Tugasfarmasi Vidi

Riwayat sakit jantung : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat alergi/asma : disangkal

Riwayat batuk lama : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat merokok : disangkal

Riwayat minum jamu : disangkal

Riwayat minum minuman keras : disangkal

Riwayat olah raga teratur : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan Umum :

Keadaan umum : Keadaan umum sakit sedang, compos mentis, gizi

cukup.

Derajat kesadaran : compos mentis

2. Tanda vital

Nadi : 80x/menit, reguler, kuat, isi dan tegangan cukup

Respirasi : 18x/menit, reguler

Suhu : afebris

Tensi : 120/80 mmHg

3. Leher : limfonodi tidak membesar, JVP tidak meningkat.

4. Thoraks : retraksi (-), pelebaran sela iga (-)

5. Cor : Bunyi jantung I – II intensitas normal, reguler, ictus cordis di SIC

IV-V, bising (-)

6. Pulmo : pengembangan dada kanan/kiri sama, fremitus taktil kanan/kiri

sama, perkusi sonor/sonor, suara tambahan (-), ronchi (-)

7. Abdomen

Inspeksi : dinding perut // dinding dada, venektasi (-)

Auskultasi : peristaltik (+) normal

Page 20: Tugasfarmasi Vidi

Perkusi : timpani, shifting dullness (-)

Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

8. Ekstremitas :

Akral dingin - - edema - - sianosis - -

- - - - - -

Status Neurologis

Kesadaran : GCS E4V5M6

Fx luhur : dalam batas normal

Fx vegetatif : dalam batas normal

Fx sensorik :

a. N N

N N

Fx motorik

Kekuatan Tonus Ref. Fisiologis Ref. Patologis

Nervus Cranialis

N. II : dbn

N. III : RC (+/+), pupil isokor (3mm/3mm)

N.VII : dbn

N.XII : dbn

Tanda meningeal : (-)

Fx koordinasi : dismetria (-), disdiadokokinesia (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Elektroensefalografi (EEG)

Didapatkan hasil : latar belakang berupa irama alfa 10-11 spd, amplitudo sedang, bereaksi

dengan buka dan tutup mata. Tampak seringkali muncul kompleks paku ombak 3 spd

amplitudo tinggi bilateral sinkron terutama terlihat di daerah frontal kanan depan (Fp2-F4)

N N

N N

- -

- -

5 5

5 5

Page 21: Tugasfarmasi Vidi

dan didahului di kanan depan. Tampak pula gelombang tajam diikuti gelombang lambat

delta-teta 3-4 spd, amplitudo tinggi di daerah frontal kanan depan 9Fp2-f4).

Kesan : EEG abnormal berupa aktivitas epileptiform bilateral sinkron dengan fokus di

frontal kanan depan

E. DIAGNOSIS KERJA

Epilepsi lobus frontal

F. PLANNING

Cek darah rutin, gula darah, kolestrol, ureum, kreatinin, elektrolit

CT scan kepala

G. PENATALAKSANAAN

Terapi

Saat status epileptikus : diazepam 0,2 mg / kg BB dengan kecepatan 5 gr/menit, iv lambat

(2-10 mg selama 2-4 x / hari), ulangi 15 – 20 menit kemudian. Dosis maksimal 20 – 30 mg.

Phenytoin 100 mg 3x1 kapsul

H. RESEP

R/ inj. Diazepam mg 5 amp. No. I

Cum dispsosible syringe cc 3 no I

∫ imm

R/ Fenitoin Na cap mg 100 No. XXI

∫ 3 dd cap I

Pro : Tn. Z (24 tahun)

I. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanam : dubia ad malam

Page 22: Tugasfarmasi Vidi

Ad fungsionam : dubia ad bonam

Page 23: Tugasfarmasi Vidi

BAB IV

PEMBAHASAN OBAT

1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat

minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu

diberi penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut.

2. Terapi dimulai dengan monoterapi

3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap samapai dengan

dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.

4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan,

maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi, maka OAE

pertama dosisnya diturunkan secara perlahan.

5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak

terkontorl dengan pemberian OAE pertama dan kedua.

Obat pilihan utama terdiri dari fenobarbital atau fenitoin. Dua-duanya baik sekali

dan murah harganya. Fenitoin mempunyai sifat-sifat yang unggul, yaitu tidak membuat

orang mengantuk, tidak akan menimbulkan manifestasi overdose yang fatal dan bila

dihentikan tidak akan membangkitkan status epileptikus.

Bila serangan grand mal masih belum dapat diberantas dengan obat-obat tersebut

di atas baik secara kombinasi maupun obat tunggal, dapat digunakan primidone (Sidharta,

2009).Primidone efektif untuk semua bangkitan kecuali bangkitan lena. Efeknya baik

untuk bangkitan tonik klonik yang telah refrakter terhadap terapi yang lazim, dan lebih

efektif lagi dalam kombinasi dengan fenitoin (Utama dan Gan, 2007).Dosis untuk anak

dibawah umur 6 tahun ialah 10-25 mg/kgBB/hari. Sedangkan orang dewasa 300-600

mg/hari. Dosis permulaan harus rendah misalnya 100-150 mg/hari. Efek samping

primidone dapat berupa ngantuk, vertigo, ataksia, dermatitis, dan anemia (Sidharta,

2009).

Di bawah ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai fenobarbital dan

fenitoin:

1. Fenobarbital

Page 24: Tugasfarmasi Vidi

Fenobarbital sebagai antiepilepsi bekerja dengan membatasi penjalaran aktivitas dan

bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital merupakan obat antikonvulsi

pilihan karena cukup efektif dan murah. Dosis efektifnya relatif rendah. Efek samping

yang terjadi adalah efek sedatif.

Fenobarbital merupakan obat pilihan utama untuk terapi kejang dan kejang demam pada

anak. Dosis anak ialah 100-300 mg/hari sedangkan dewasa dua kali 120-250 mg/hari.

(Utama dan Gan, 2007)

2. Fenitoin

Obat yang dipilih sebagai antiepilepsi pada kasus diatas adalah fenitoin. Fenitoin

merupakan golongan hidantoin yang merupakan obat utama untuk hampir semua jenis

epilepsi, kecuali bangkitan lena. Fenitoin diindikasikan terutama untuk bangkitan tonik

klonik dan bangkitan parsial.

Farmakodinamik

Sifat antikonvulsi fenitoin didasarkan pada penghambatan penjalaran rangsang dari fokus

ke bagian lain di otak. Fenitoin juga mempengaruhi perpindahan ion melintasi membran

sel, dalam hal ini, khususnya menggiatkan pompa Na+, K+, Ca2+ neuron dan mengubah

neurotranmitor NEPI, asetilkolin, dan GABA.

Farmakokinetik

Pemberian secara per oral mengalami absorpsi secara lambat dan sesekali tidak lengkap.

Pemberian secara IM menyebabkan fenitoin mengendap ditempat suntikan kira-kira 5

hari dan absorpsi berlangsung lambat. Fenitoin terikat kuat pada jaringan saraf sehingga

kerjanya bertahan lebih lama, tetapi mula kerjanya lebih lambat daripada fenobarbital.

Metabolit fenitoin akan di ekskresi melalui ginjal.

Interaksi obat

Interaksi fenitroin dengan fenobarbital atau karbamazepin akan menyebabkan fenitoin

menurun kadarnya karena fenobarbital atau karbamazepin menginduksi enzim mikrosom

hati, tetapi kadang-kadang kadar fenitoin dapat meningkat akibat inhibisi kompetitif

dalam metabolisme.

Efek samping

Page 25: Tugasfarmasi Vidi

Efek samping yang dapat ditimbulkan dari fenitoin adalah keracunan pada SSP, saluran

cerna, gusi dan kulit, sedangkan yang lebih berat mempengaruhi kulit, hati, dan sumsum

tulang.

Dosis

Kadar plasma untuk terapi fenitoin terdapat antara 10-20µg/ml. Ketika terapi oral sudah

dimulai, dosis dewasa biasanya 300 mg/hari tanpa memperlihatkan berat badan. Jika

kejang berlanjut, dosis yang lebih tinggi biasanya diperlukan untuk mendapatkan kadar

plasma dalam batas-batas terapi yang lebih tinggi. (Utama dan Gan, 2007)

Sedangkan di bawah ini adalah alternatif obat yang digunakan untuk epilepsi tonik klonik

1. Karbamazepin

Karbamazepin efektif terhadap bangkitan parsial kompleks dan bangkitan tonik klonik.

Efek samping karbamazepin cukup sering terjadi. Efek samping yang terjadi setelah

pemberian obat jangka lama berupa pusing, vertigo, ataksia, diplopia, dan penglihatan

kabur. Frekuensi bangkitan dapat meningkat akibat dosis berlebih.

Dosis anak di bawah 6 tahun 100 mg/hari, 6-12 tahun 2x 100 mg/hari, dewasa: dosis awal

2x 200 mg sehari pertama, selanjutnya dosis ditinggkat secara bertahap. Dosis

pemeliharaan 800-1200 mg.hari. (Utama dan Gan, 2007)

2. Asam valproat

Asam valproat terutama untuk terapi epilepsi umum dan kurang efektif terhdap epilepsi

fokal. Efek antikonvulsi valproat didasarkan meningkatnya kadar GABA di dalam otak.

Valproat efektif terhadap epilepsi umum yakni bangkitan lena yang disertai oleh

bangkitan tonik klonik. Sedangkan terhadap epilepsi fokal lain efektivitasnya kurang

memuaskan. Terapi dimulai dengan dosis awal 3x 200 mg/hari dengan dosis harian

berkisar 0,8-1,4 g. Valproat telah diakui efektivitasnya sebagai obat untuk bangkitan lena,

tetapi bukan merupakan obat terpilih karena efek toksiknya terhadap hati. (Utama dan

Gan, 2007)

3. Diazepam

Diazepam digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, misalnya status epileptikus. Untuk

mengatasi bangkitan status epileptikus pada orang dewasa disuntikkan 0,2 mg/kgBB

dengan kecepatan 5 mg/menit diazepam IV secara lambat. Dosis ini dapat diulang

Page 26: Tugasfarmasi Vidi

seperlunya dengan tenggang waktu 15-20 menit sampai beberapa jam. Dosis maksimal

20-30 mg.

Efek samping berat dan berbahaya yang menyertai penggunakan diazepam IV ialah

obstruksi saluran napas oleh lidah akibat relaksasi otot. Disamping itu dapat terjadi

depresi napas sampai henti napas, hipotensi, henti jantung, dan kantuk. (Utama dan Gan,

2007)

Termasuk golongan benzodiazepin. Mekanismenya:

Potensiasi inhibisi neuron dengan GABA sebagai mediatornya diazepam

berikatan dengan reseptor GABA

Pembukaan kanal klorida

Cl- masuk ke dalam sel

meningkatnya potensial elektrik sepanjang membran

sel sukar tereksitasi

Sediaan : 10 mg/ml (injeksi) valium

ampul

5 mg/ml (injeksi) valdimex

Page 27: Tugasfarmasi Vidi

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

1. Epilepsi merupakan suatu manifestasi klinis akibat lepasnya muatan listrik abnormal,

berlebihan, dan sinkron dari SSP, terutama korteks serebri, yang berupa serangan

paroksismal berulang dan timbul tanpa provokasi.

2. Pengobatan epilepsi terdiri atas pengobatan kausatif (terapi penyebab primer) dan

antikonvulsi. Pengobatan dilakukan dalam jangka panjang (tergantung kondisi dan

kepatuhan pasien) dan dihentikan setelah 2-5 tahun pasien bebas kejang. Terapi farmaka

harus dipantau karena efek samping dan reaksi hipersensitivitas obat yand dapat terjadi

pada pasien yang sensitif.

B. Saran

1. Melakukan pemeriksaan laboratorium darah dan CT scan kepala untuk mengetahui

penyebab kejang (menyingkirkan penyebab sekunder karena penyakit lain, misalnya

neoplasma, perdarahan intrakranial, metabolik)

2. Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai penyakit, terapi, dan prognosis

3. Edukasi untuk rutin kontrol dan minum obat secara teratur

4. Melakukan pemeriksaan laboratorium darah dan tes fungsi hepar karena efek samping

pengobatan dapat menyebabkan gangguan hepar dan kelainan darah.

DAFTAR PUSTAKA

Page 28: Tugasfarmasi Vidi

Adrian T. Carbamazepin dalam Terapi Epilepsi Sebagai Penyebab Eritema Multiformis Mayor.

Skripsi. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. 2009.

Budiarto.I. Beberapa Karateristik Kejang Demam Sebagai Faktor Risiko

Terjadinya Epilepsi. Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu

Penyakit Saraf. FK UNDIP, Semarang. 2007

Harsono. Buku Ajar Neurologis Klinis . Edisi pertama. Yogyakarta. Gadjah

Mada University Press. 2006

Ropper AH, Brown RH. Epilepsy and other seizure disorders In Adams and Victor’s principles

of neurology. 8th ed. USA: McGraw-Hill, 2005.

Shih T. Epilepsy and seizures. In: Brust JCM. Current diagnosis and treatment in neurology.

International ed. USA: McGraw-Hill,2007.

Sidharta P. 2009. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat

Sudomo A. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf. Surakarta: BEM FK UNS Press

Utama H. dan Gan V. 2007. Antiepilepsi dan Antikonvulsi. Dalam Farmakologi dan Terapi

Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI

Oktaviana F. Epilepsi : Permasalahan di Reseptor atau Neurotransmitter. Medicinus. 2008.

Vol.21 (4) : 121-2.

World Health Organization. Epidemiology, Prevalence, Incidence, Mortality of

Epilepsy. 2001. Fact Sheet. URL http : // www. who.in/ inf-fs/ en/ fact 165.

html.