31
BAB I PENDAHULUAN Kebebasan berpendapat melalui pers dan forum ilmiah yang telah diatur didalam perundang-undangan ternyata memperlihatkan pertentangan baik secara horizontal maupun vertical, serta masih memperlihatkan adanya isi peraturan peundang-undangan yang masih kabur. Kepustakaan hukum yang membahas teori kebebasan pers selain jumlahnya yang terbatas, ternyata juga sudut pengkajiannya terfokus dari sudut hukum pidana saja, sehingga kajian dari sudut hukum tata Negara dipandang perlu. Alasan lainnya adalah kebebasan berpendapat yang merupakan hak asasi manusia merupakan materi kajian penting dalam hukum dogmatik maupun filsafat hukum, oleh karena hak asasi manusia bersifat mendasar dan selalu aktual dalam dinamika kehidupan manusia. Pelaksanaan kebebasan berpendapat di Indonesia yang dijamin dalam UUD 1945 yang implementasinya diatur dalam Undang-Undang Pokok Pers No. 21 Tahun 1982 jo Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, P.P No. 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi dan Undang-Undang lain yang terkait yaitu Undang-Undang No. 5 PNPS tahun 1963 tentang Kegiatan Politik, Pasal 510 KUHP dan Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 jo Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara. Penerapan Undang-Undang tersebut tidak jarang menimbulkan permasalahaan dalam pelaksanaannya. Secara yuridis Pemerintah melindungi kebebasan berpendapat melalui pers berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 1982. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa terhadap pers Nasional tidak dikenakan sensor dan pembreidelan, tetapi dalam pelaksanaannya Pemerintah telah beberapa kali melakukan pelanggaran pers dengan cara membreidel sejumlah surat kabar dan majalah. Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen) RI No. 01/Per/Menpen/1998 sebagai pengganti Permenpen No.01/Per/Menpen/1984 masih juga tetap memberlakukan pengenaan sanksi administrasi berupa pembekuan sementara 1

Tugas Ringkasan Ham

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Persamaan pasal-pasal UU Ham dgn Kovenan Internasional

Citation preview

BAB I

BAB IPENDAHULUAN

Kebebasan berpendapat melalui pers dan forum ilmiah yang telah diatur didalam perundang-undangan ternyata memperlihatkan pertentangan baik secara horizontal maupun vertical, serta masih memperlihatkan adanya isi peraturan peundang-undangan yang masih kabur. Kepustakaan hukum yang membahas teori kebebasan pers selain jumlahnya yang terbatas, ternyata juga sudut pengkajiannya terfokus dari sudut hukum pidana saja, sehingga kajian dari sudut hukum tata Negara dipandang perlu.

Alasan lainnya adalah kebebasan berpendapat yang merupakan hak asasi manusia merupakan materi kajian penting dalam hukum dogmatik maupun filsafat hukum, oleh karena hak asasi manusia bersifat mendasar dan selalu aktual dalam dinamika kehidupan manusia. Pelaksanaan kebebasan berpendapat di Indonesia yang dijamin dalam UUD 1945 yang implementasinya diatur dalam Undang-Undang Pokok Pers No. 21 Tahun 1982 jo Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, P.P No. 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi dan Undang-Undang lain yang terkait yaitu Undang-Undang No. 5 PNPS tahun 1963 tentang Kegiatan Politik, Pasal 510 KUHP dan Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 jo Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara.

Penerapan Undang-Undang tersebut tidak jarang menimbulkan permasalahaan dalam pelaksanaannya. Secara yuridis Pemerintah melindungi kebebasan berpendapat melalui pers berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 1982. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa terhadap pers Nasional tidak dikenakan sensor dan pembreidelan, tetapi dalam pelaksanaannya Pemerintah telah beberapa kali melakukan pelanggaran pers dengan cara membreidel sejumlah surat kabar dan majalah. Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen) RI No. 01/Per/Menpen/1998 sebagai pengganti Permenpen No.01/Per/Menpen/1984 masih juga tetap memberlakukan pengenaan sanksi administrasi berupa pembekuan sementara surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) sebagaimana diatur dalam pasal 23 ayat (2) huruf b. Pasal tersebut mirip dengan pasal 33 huruf h. Permenpen 01/Per/Menpen/1984 tentang pembatalan SIUPP.

Berdasarkan Permenpen 01/1998 pasal 23 ayat (2) huruf c, pelanggaran pers penyelesaiannya dapat ditempuh melalui pengadilan. Akan tetapi tidak jelas ditentukan mengenai mekanisme pembatalan atau pembekuan SIUPP dapat dilakukan oleh Pengadilan atau tidak. Apabila hal ini terjadi akan tetap bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Pers yang melarang adanya pembredelan.

Antara Undang-Undang Pers dengan Permenpen terdapat pertentangan dimana UU pers menjamin adanya kebebasan pers, sedangkan Permenpen yang mengatur perizinan surat kabar justru memperbolehkan adanya pembekuan SIUPP. Dengan demikian dapat dilihat bahwa pengaturan antara UU Pokok Pers dengan Permenpen ternyata belum sinkron sehingga terdapat kekacauan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di bidang Pers Indonesia.

Berdasarkan atas uraian ini maka terdapat beberapa pertanyaan yang mucul, antara lain :

1. Manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara memiliki hak-hak untuk dapat mengembangkan diri pribadi dan perannya demi kepentingan masyarakat dan negara dalam hubungan inia. Apakah yang menjadi dasar pembenar perlunya jaminan kebebasan berpendapat, dan

b. Bagaimana jaminan kebebasan tersebut di Indonesia?

2. Kebebasan berpendapat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara berperan sebagai alat partisipasi dalam menyampaikan pemikiran-pemikiran yang obyektif , edukatif, maupun dalam bentuk penyampaian kritik. Dalam hubungan ini bagaimana pengaturan dan penggunaan kebebasan berpendapat melalui pers di Indonesia dan dijamin secara konstitusional berdasarkan UUD 1945?

3. Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hal yang dapat dipergunakan dalam melakukan kontrol sosial terhadap kebijaksanaan maupun keputusan yang diambil pemerintah maupun dalam rangka membela kepentingan rakyat dari tindakan-tindakan penguasa yang melanggar hak-hak asasi. Salah satu sarana untuk melakukan kontrol sosial itu antara lain melalui forum ilmiah. Sehubungan dengan itu bagaimana pengaturan dan penggunaan kebebasan berpendapat melalui forum ilmiah berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hakekat kebebasan berpendapat sebagai hak dasar yang harus dijamin secara konstitusional?BAB II

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN FILOSOFIS TENTANG KEBEBASAN BERPENDAPAT2.1 Peristilahan

Dalam kepustakaan Hukum Tata Negara (HTN), hukum administrasi, hukum pidana, hukum politik, dan filsafat hukum istilah-istilah seperti freedom, liberty, independence, licence, dan privelige sering sekali dijumpai, dan tidak jarang istilah-istilah ini diartikan begitu saja dengan kebebasan atau kemerdekaan.

2.1.1 Liberty

Manusia dalam keadaan alamih ( sejak dilahirkan) telah dikaruniai hak-hak alamiah (fundamental) yaitu hak untuk hidup, kemerdekaan, dan hak milik. Yang kemudian dapat kita pahami bahwa pada hakekatnya istilah liberty berkaitan dengan penindasan, penjajahan, maupun dalam kaitannya dengan perbudakan.

Istilah liberty seringkali diterjemahkan begitu saja dengan istilah kebebasan. Padahal istilah ini lebih tepat diterjemahkan sebagai kemerdekaan. Menurut John Echols dan Hasan Shadily dalam kamus Inggris Indonesia. Istilah liberty artinya suatu kemerdekaan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Louis O Kattsoff bahwa liberty artinya kemerdekaan yang merupakan genus sedangkan freedom sebagai species. Kemerdekaan dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai kebebasan dari perhambaan, penjajahan, penindasan. Istilah liberty secara hakiki lebih luas apabila dibandingkan dengan istilah freedom, karena melalui suatu kemerdekaan baru kemudian orang dapat menikmati kebebasan-kebebasannya.2.1.2 Independence

Imanuel Kant mengatakan the independence of each member of commonwealth as a citizen. Independence pada dasarnya memiliki arti ketidaktergantungan suatu pihak kepada pihak lainnya. Dalam Blacks Law Dictionary istilah independence artinya suatu kondisi yang bebas dari ketergantungan. Dengan demikian arti istilah independence sesungguhnya berhubungan dengan kemandirian atau otonomi untuk bertindak. Istilah mandiri artinya menunjukkan kemampuan untuk berdiri sendiri, swapraja, swasembada. J.C.T Simorangkir menyebut otonomi sebagai hak dari suatu daerah untuk mengurus sendiri rumah tangganya dalam batas-batas tertentu. Dengan demikian makna istilah independence berhubungan dengan pengaruh campur tangan atau bantuan pihak lain.2.1.3 License, Privilige

Lili Rasjidi mengatakan Salah satu hak dalam arti luas dikenal dengan istilah licence (lisensi) atau hak istimewa (privilege). Kebebasan ini merupakan suatu keistimewaan yang bersumber dari tidak diperlakukannya suatu perbuatan untuk memenuhi kewajiban tertentu terhadap pemegang hak. Pendapat ini menyamakan begitu saja istilah lisensi atau izin dengan kebebasan. Atau menyamakan istilah license dan privilege dengan istilah freedom, meskipun secara substansial kedua istilah ini memiliki arti berbeda. Lisensi secara hakiki berbeda dengan istilah kebebasan (freedom) maupun dengan istilah kemerdekaan (liberty). Oleh karena itu lisensi berkaitan dengan suatu permohonan.

Privilege merupak hak istimewa yang diberikan kepada seseorang atau badan hukum untuk menikmati suatu keuntungan atau hak tertentu. Hak istimewa ini pada dasarnya dimiliki Negara misalnya untuk memelihara angkatan bersenjata. Privilage merupakan suatu hak yang memberikan keuntungan, pembebasan, hak monopoli (franchise) yang diberikan kepada seseorang atau kepada suatu lembaga.2.1.4 Freedom

Bertitik tolak dari pemikiran-pemikiran maupun rumusan menurut peraturan perundang-undangan, konstitusi dan pengertian dan kebebasan menurut Blacks Law Dictionary dan Kamus Umum Bahasa Indonesia, maka dapat dibangun konsep bahwa kebebasan berpendapat penggunaanya sehari-hari lebih tepat mengingat istilah kebebasan merupakan suatu hak (sarana) partisipasi warga negara dalam rangka mengisi kemerdekaan yang telah dicapainya. Artinya kemerdekaan dicapai hanya satu kali seperti halnya Indonesia meraih kemerdekaannya dari Belanda pada tanggal 17 Agustus 1945, dan selanjutnya dalam mengisi kemerdekaan itulah bangsa Indonesia melaksanakan berbagai aktivitas termasuk kebebasan berpendapat. Bebas artinya lepas dari segala ikatan , Raymond Aron mengemukakan kebebasan dapat dipahami dari sifatnya yang negatif maupun positif. Dengan demikian dalam sifatnya yang negatif kebebasan itu diungkapkan sebebas-bebasnya. Kebebasan yang berifat positif pada dasarnya dalam hubungan dengan orang lain atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah freedom from atau freedom of speech dan kebebasan pers (freedom press) yaitu kebebasan untuk mengemukakan pandangan pendapat melalui pers.2.2 Pemikiran-Pemikiran Filosofis Sebagai Jastifikasi Penggunaan Kebebasan Berpendapat 2.2.1 Pemikiran-Pemikiran Tentang Kebebasan Berpendapata. Zaman Yunani Kuno

Pemikiran mengenai kebebasan berpendapat secara historis berkembang mengikuti pemikiran awal tentang negara dan hukum semenjak zaman Yunani Kuno. Dalam zaman itu dapat ditelusuri perkembangan kebebasan berpendapat dalam konteks pembicaraan-pembicaraan mengenai negara dan hukum seperti yang dikemukakan Socrates, Plato, dan Aristoteles. Plato murid Aristoteles menulis buku tentang kehidupan bernegara yaitu Politeia dan Nomoi. Dalam buku Politeia, Plato menuliskan suatu model negara yang adil, yaitu negara harus diatur secara seimbang menurut bagian-bagiannya yang adil. Negara yang adil menurut konsep ini tentunya dalam kaitan antara penguasa dengan rakyat. Artinya penguasa dalam menjalankan tugas harus memperhatikan hak-hak dasar termasuk kebebasan berpendapat yang dimiliki rakyat agar tercipta keadilan.

b. Zaman Romawi Kuno

Dari segi hukum, apabila pada zaman Yunani warga negara merupakan bagian dari negara sehingga tidak menggugat negara, maka pada zaman Romawi Kuno warga negara dipisahkan dari negara yang keadaannya diatur oleh jenis hukum yang berlainan. Hubungan antara warga negara diatur berdasarkan hukum publik. Bangunan hukum romawi yang memisahkan antara hukum privat dan hukum publik, memperlihaktkan secara jelas adanya upaya perlindungan hak dan kebebasan warga negara (termasuk kebebasan berpendapat) pada zaman ini.c. Zaman Abad PertengahanDalam zaman ini Thomas Aquinas pun membagi hukum menjadi empat golongan, yaitu :

Lex Aeterna (Hukum Abadi) merupakan rasio : Tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan merupakan sumber dari segala hukum. Ratio ini tak dapat ditangkap panca indra manusia. Lex Divina (Lex Divina Positiva) : Bagian dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap manusia berdasarkan waktu yang diterimanya. Lex Divina tercantu, dalam kitab suci. Lex Naturalis (Hukum Alam). Lex Positive (Lex Humana Positiva) : Ketentuan hukum yang berlaku yang merupakan pelaksanaan.d. Zaman Renaisance (Abad ke XVI)

Dalam zaman ini muncul istilah Monarkomakan dalam pengertian umum artinya anti raja atau menentang raja. Dengan demikian tujuan kaum monarkomakan untuk membatasi kekuasaan raja absolut. Aliran ini berusaha membatasi kekuatan yang bersifat mutlak agar hak dan kebebasan asasi warga negara dapat terjamin dengan baik. Calvin, seorang sarjana hukum kebangsaan Swiss yang kemudian ajarannya dikenal dengan Calvinisme memperjuangkan kebebasan-kebebasan politik setiap warga (rakyat), kemerdekaan negara dan perjuangan untuk menegakkan demokrasi.e. Zaman Perkembangan Teori Hukum Alam Abad XVII1. Hakekat dan Fungsi Hukum Alam

Dalam sejarah perkembangan hukum alam menurut Friedman berfungsi : Berfungsi sebagai instrumen utama pada saat hukum perdata romawi kuno ditransformasikan menjadi suatu istem internasional yang luas; Hukum alam dijadikan sebagai senjata antara pihak gereja dan kerajaan dalam pergulatan antara keduanya; Berdasarkan hukum alam kesalahan hukum internasional dapat ditegakkaan; Hukum alam menjadi tumpuan pada saat orang memancarkan perjuangan menegakkan kebebasan individu berhadapan dengan absolutisme; Prinsip-prinsip hukum alam telah dijadikan senjata oleh para hakim Amerika, pada waktu mereka menasfirkan konstitusi Amerika dengan menuolak campur tangan negara melalui perundang-undangan yang ditujukan untuk membatasi kemerdekaan ekonomi.

Hukum alam sesungguhnya merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori di dalamnya. Dengan demikian hukum alam tidak mengandung norma-norma sendiri, melainkan memberi ilham tentang bagaimana membuat peraturan yang baik.

2. Hukum Alam Sebagai Jastifikasi Pengakuan dan Perlindungan Kebebasan BerpendapatKebebasan politik merupakan suatu hak politik dari setiap orang untuk berperan serta baik secara individu maupun secara bersama orang lain dalam hubungannya dengan proses pengambilan keputusan. Jenis-jenis hak politik menurut Antonio Cassesse, adalah :

Hak untuk berserikat, hak untuk mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan, hak untuk membentuk partai politik, hak untuk ikut serta dalam pemilihan umum, hak untuk dipilih menduduki jabatan dalam pemerintahan.

Kebebasan berpendapat pada hakekatnya dimaksudkan untuk memberikan gagasan-gagasan dalam mengkoreksi suatu kebijaksanaan penguasa yang kemungkinan dinilai dapat menimbulkan kerugian. Atau juga memberikan masukan kepada pemerintah sehubungan dengan proses pengambilan keputusan.2.2.2 Pemikiran-pemikiran Yang Dipergunakan Sebagai Pegangan

Konsep-konsep utama yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat yang dipergunakan sebagai landasan pemikiran konseptual dalam mengkaji pelaksanaan kebebasan berpendapat antara lain adalah konsep :

1. Negara hukum

Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum (Rechtsstaat) menurut Burkens apabila memenuhi syarat-sayarat sebagai berikut :

a. Asas legalitas, setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan (wettelijke gronslag). Dengan landsan ini, undang-undang dalam arti formil dan UUD sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini, pembentuka Undang-Undang merupakan bagian penting negara hukum.

b. Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan nega tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.

c. Hak-hak dasar (grondrechten), merupakan sasaran perlindungan dari pemerintah terhadap rakyat sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan Undang-Undang.d. Pengawasan Pengadilan bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindak pemerintah (rechtmaticgeheid stoetsing).Selain itu sebagai langkah untuk menghindari kemungkinan terjadi pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat secara bebas, kiranya produk hukum nasional sebagaimana dikemukakan Abdoel Gani haruslah memiliki karakter sebagai berikut :

a. Ketanggapan sosial

b. Kepekaan terhadap kebijaksanaan (policy) negara yang dijadikan dasar/landasan bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia.

c. Tangguh menghadapi setiap penyalahgunaan kekuasaan yang lazim dilakukan aparat birokrasi.

d. Siap melindungi hak-hak dasar dan hak-hak manusia warga negara Indonesia.

2. Asas-asas perundang-undangan yang baik

Suatu undang-undang dapat berfungsi secara optimal sebagai salah satu instrumen negara hukum sangat tergantung dari politik perundang-undangan yang mengoptimalkan undang-undang sebagai instrumen negara hukum hendaknya ditunjang oleh asas-asas perundang-undangan yang baik. Di Belanda berkembang asas-asas umum perundang-undangan yang baik melalui lima sumber, yaitu : (a) Raad Van State, (b) bahan-bahan tertulis tentang rancangan peraturan perundang-undangan, (3) putusan-putusan hakim, (4) petunjuk teknik perundang-undangan, (5) hasil akhir komisi pengurangan serta penyederhanaan peraturan perundang-undangan.Asas-asas tersebut oleh para ahli dikumpulkan dan disistimatisir seperti dalam buku I.C Van der Viles het wetsbegrip-en beginselen van behoorlijkr regelgeving 1984 dan dalam bukunya yang kemudian Handboek wetgeving 1987 dan telah dicetak ulang tahun 1991, disebutkan asas-asas umum perundang-undangan yang baik adalah : Asas formal meliputi :

a. Het beginsel van duidelijke doelstelling (asas tujuan yang jelas)

b. Het beginsel van juite orgaan (asas lembaga yang tepat)

c. Het noodzakelijheidsbeginsel (asas perlunya pengaturan)

d. Het beginsel van de uitoorbaarheid (asas bahwa perundang

undangan dapat dilaksanakan)

e. Het beginsel van de consensus (asas konsensus)

Asas material meliputi :

a. Het beginsel van de duiddelijke terminologi en duidelijke systematik (asas kejelasan terminologi dan sistematika)b. Het beginsel van de kenbaarheid (asas bahwa perundang-undangan mudah dikenali)

c. Het rechtsgelijk heis beginsel (asas persamaan)

d. Het rechtszker heids beginsel (asas kepastian hukum)

e. Beginsel van de individual rechtsbedeling (asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual)

f. Het beginsel dat gerechtvaardigde verwachtingen gehonoreerd moeten worden (asas harus menghormati harapan yang wajar)3. Demokrasi

Penggunaan kebebasan berpendapat sebagaimana dicatat G. Kartasapoetro dalam buku demokrasi dan hak asasi manusia pada dasarnya berkaitan dengan alasan-alasan sebagai berikut : (1) Tidak setuju dengan kebijakan penguasa; (2) Tidak setuju dengan peraturan-peraturan yang merugikan masyarakat; (3) untuk membantu pemerintah dalam menyelenggarakan kegiatan pembangunan; (4) Untuk membela kepentingan rakyat. Alasan-alasan tersebut menunjukkan bahwa hakekat kebebasan berpendapat yaitu sebagai wujud konkret keikutsertaan setiap warga negara dalam kegiatan pembangunan berupa penyampaian pendapat, saran-saran, keberatan, maupun kritik. Robert Dahl mengemukakan demokrasi mengimplikasikan adanya kebebasan sipil dan politik yaitu kebebasan untuk berbicara, pers berkumpul dan berorganisasi. Robert A. Dahl, mengemukakan tiga teori demokrasi sebagai berikut : (1) Teori demokrasi populis; (2) teori demokrasi poliarchy (poliarchal); (3) teori demokrasi madisonian.

4. Hak asasi manusia

Jeremy Betham mengatakan hak-hak asasi manusia pada hakekatnya merupakan anak dari hukum (rights is the child of law).BAB III

PENGATURAN DAN PENGGUNAAN KEBEBASAN BERPENDAPAT MELALUI PERS

3.1 Pengaturan dan Penggunaan Kebebasan Berpendapat Melalui Pers Menurut

Undang-Undang

Negara hukum menurut Aristoteles ialah negara yang berdasarkan atas hukum (berdiri diatas hukum) dan menjamin keadilan kepada warga negaranya. Peraturan hukum yang sebenarnya adalah peraturan yang mencerminkan keadilan. Pemikiran ini menunjukkan dua hal penting yaitu negara yang berdasarkan atas hukum dan negara yang menjamin keadilan. Negara yang berdasarkan atas hukum mengandung arti penguasa dalam mengambil tindakannya harus berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Burkens mengatakan suatu negara dapat dikatakan negara hukum apabila memenuhi syarat sebagai berikut : (1) asas legalitas; (2) pembagian kekuasaan; (3) pengakuan hak asasi manusia; (3) pengawasan pengadilan (peradilan administrasi). Asas yang paling relevan dengan pengkajian pengaturan kebebasan berpendapat ini yaitu asas legalitas. Asas ini mensyaratkan agar stiap tindakan pemerintah harus berdasarkan atas peraturan perundang-undangan. Dengan landasan ini, undang-undang dalam arti formil dan Undang-Undang Dasar sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintah. Oleh karena itu pembentuk Undang-Undang merupakan bagian penting dari keberadaan suatu negara hukum.

Artinya pembentukan Undang-Undang untuk mengatur hal-hal pokok yang didelegasikan oleh UUD 1945. Denga demikian pengaturan terhadap kebebasan berpendapat melalui pers harus didasarkan pada undang-undang, termasuk dalam hal pembekuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

3.1.1 Pemikiran-pemikiran Tentang Materi Muatan Undang-Undang

Joeniarto mengatakan secara substansiil isi dari suatu hukum positif harus mencerminkan nilai filosofis, yuridis, dan sosiologis. Isi hukum positif harus mencerminkan nilai filosofis, artinya peraturan perundang-undangan isinya harus mencerminkan keadilan dan kepastian. Nilai yuridis artinya suatu peraturan perundang-undangan isinya harus sesuai dengan aturan-aturan yang lebih tinggi. Hukum positif harus memuat aspek sosiologis artinya peraturan yang dikeluarkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Dikaitkan dengan Peraturan Menteri Penerangan Nomor : 01/Per/Menpen/1998 kiranya jelas bahwa sanksi pembekuan SIUPP bertentangan dengan tiga syarat yang dijelaskan diatas. Dari segi filosofis, pencabutan/pembekuan SIUPP bertentangan dengan rasa keadilan dan kepastian hukum. Dari segi yuridis seharusnya pembekuan/pencabutan SIUPP tidak perlu dilakukan karena ordonansi tentang pemberedelan pers sudah dicabut. Dari segi sosiologis pembekua/ pencabutan SIUPP bententangan dengan keinginan masyarakat karena berdampak negatif bagi para karyawan sebuah penerbitan pers berupa penutupan lapangan pekerjaan dan pemenuhan kebutuhan hidup. Agar tetap menjamin kebebasan pers tanpa pemberedelan seharusnya Undang-Undang Pokok Pers menentukan bahwa ketentuan mengenai SIUPP diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang atau apabila harus menyerahkan pengaturan SIUPP itu kepada pemerintah seharusnya ditegaskan bahwa sanksi perdata dan pidana yang harus diutamakan dalam hal terjadi pelanggaran. Dengan demikian didalam suatu perundang-undangan haruslah memiliki materi muatan sebagai berikut : (1) Hal-hal yang tegas-tegas diatur/diperintahkan oleh UUD 1945 dan Tap MPR; (2) Hal yang mengatur lebih lanjut tentang ketentuan Undang-Undang Dasar; (3) Hal yang mengatur pembatasan dan pengurangan hak asasi manusia; (4) Hal yang mengatur hak dan kewajiban warga negara; (5) hal yang mengatur pembagian kekuasaan negara di tingkat pusat; (6) hal yang mengatur organisasi pokok lembaga-lembaga tertinggi/tinggi negara; (7) hal yang mengatur pembagian wilayah/daerah negara; (8) Hal yang mengatur dan menetapkan siapa warga negara dan cara memperoleh/kehilangan kewarganegaraan; (9) Hal yang oleh suatu Undang-Undang dinyatakan untuk diatur dengan Undang-Undang.3.1.2 Delegasi Wewenang Membentuk Peraturan

a. Konsep-konsep Tentang Delegasi Wewenang Membentuk Peraturan

Delegasi dalam bidang perundang-undangan artinya pemindahan/penyerahan kewenangan untuk membentuk peraturan dari pemegang kewenangan asal yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegataris) dengan tanggung jawab pelaksanaan kewenangan tersebut pada delegataris itu sendiri. Pemindahan/penyerahan kewenangan tersebut dapat dibatalkan apabila tidak dilaksanakan dengan baik. Pendelegasian wewenang haruslah berdasarkan pada kaidah hukum yang berlaku. Dalam hubungan ini J.J Bruggink mengemukakan bahwa kaidah kewenangan adalah kaidah yang menetapkan oleh siapa dan dengan melalui prosedur yang mana kaidah perilaku harus diterapkan, jika dalam suatu kejadian terdapat ketidakjelasan. H.M Koesnoe mengatakan isis suatu undang-undang harus sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Jika tidak, hal itu merupakan ketentuan hukum yang tidak berlaku. Pengaturan SIUPP sebagaimana disyaratkan dalam Undang-Undang Pokok Pers No. 21 Tahun 1982, pasal 13 ayat (5) seharusnya diatur dengan Undang-undang. Akan tetapi kelemahan ketentuan ini yaitu tidak memberikan delegasi wewenang agar pengaturan SIUPP dalam undang-undang. Kecuali ditentukan akan diatur oleh pemerintah setelah mendengan Dewan Pers.

Formulasi ketentuan SIUPP akan diatur lebih lanjut oleh pemerintah setelah mendengan delegasi wewenang kepada Menteri Penerangan hanya sebatas pengaturan tata cara memperoleh SIUPP. Dengan demikian pengenaan sanksi pembekuan SIUPP harus tetap dihindari mengingat hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Pers. Dengan demikian Undang-undang Pokok Pers tida memberikan wewenang kepada Menteri Penenrangan untuk membekukan SIUPP sesuai Pasal 23 Permenpen 01/1998.b. Pengaturan SIUPP Tidak Dapat Didelegasikan Kepada Peraturan Menteri

Kelemahan lain yang dapat ditelusuri dalam Undang-Undang Pokok Pers No. 21 Tahun 1982 perihal pengaturan lebih lanjut SIUPP. Sesuai dengan hakekat materi muatan suatu Undang-Undang yang harus mengatur lebih lanjut apa yang diperintahkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 terutama yang bertalian dengan hak dasar manusia dan hal-hal prinsipiil lainnya, maka jelas SIUPP tidak bisa diserahkan pengaturannya lebih lanjut berdasarkan Peraturan Menteri. Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pokok Pers menentukan ketentuan-ketentuan tentang SIUPP akan diatur oleh pemerintah setelah mendengan pertimbangan dewan pers. Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan pengaturan lebih lanjut isi pasal ini dalam suatu undang-undang. Dengan menggunakan interpretasi ekstensif ataupun interpretasi analogi, menurut Scholten dan Roling maka pengaturan SIUPP harus ditempatkan dalam Undang-Undang.

Dengan demikian, pasal 28 UUD 1945 menghendaki agar peraturan SIUPP dalam undang-undang, karena menyangkut hak dasar yang dijamin secara konstitusional. Atas dasar itu, UUD 1945 tidak mendelegasikan pengaturan SIUPP kepada Peraturan Menteri Penerangan.

3.1.3 Pengaturan Surat Izin Usaha Pnerbitan Pers (SIUPP)

Hans Kelsen dalam Stufenbautheorie menyebutkan : Hirarki norma-norma berjenjang menentukan bahwa norma yang dibawah adalah absah atau mempunyai daya lau (valid) apabila dibentuk oleh dan berdasar serta bersumber pada norma hukum yang lebih tinggi. Perjenjangan norma tersebut sampai mencapai pada jenjang norma yang tertinggi yang disebut norma dasar (grundnorm). Kesesuaian norma hukum yang lebih rendah dengan yang lebih tinggi juga nampak dalam sejumlah asas yang dikenal dalam ilmu hukum. P.W. Brouwer et.al mnyebutkan asas-asas penyelesaian konflik ilmu hukum antara lain :1. Asas Lex Superior (Lex Superior Derogat Legi Inferiori) : Undang-undang yang lebih tinggi mengalahkan Undang-undang yang lebih rendah.2. Asas Lex Specialis (Lex Spesialis Derogat Legi Generali) : Undang-undang khusus mengalahkan yang umum.

3. Asas Lex Posterior (Lex Posterior Derogat Legi Priori) : Undang-undang yang kemudian mengalahkan undang-undang terdahulu.

Dalam memahami kedudukan Undang-Undang Pokok Pers khususnya pasal yang mengatur tentang larangan pembredelan dan Peraturan Menteri Penerangan yang mengatur pembekuan SIUPP asas yang relevan digunakan adalah asas Lex Superior. Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 menyebut peraturan Menteri sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Dalam praktek selain dikenal peraturan menteri, juga ada yang menyebut dengan keputusan menteri. Bagir Manan mencatatnPeraturan Menteri adalah keputusan (besluit) yang bersifat mengatur (regelen) sedangkan keputusan menteri adalah keputusan yang bersifat ketetapan (beschikking). Dengan demikian peraturan menteri penerangan tidak dapat digolongkan kedalam pengertian peraturan perundang-undangan karena peraturan tersebut merupakan produk badan/pejabat Tata Usaha Negara (Menteri Penerangan) yang memiliki kewenangan legislatif sehingga tidak bisa dipergunakan sebagai dasar hukum untuk melakukan pembekuan SIUPP.3.1.4 Istilah Pencabutan SIUPP dan Istilah Pembredelana. Istilah Pencabutan SIUPP

Pencabutan, pembatalan, maupun penarikan kembali izin merupakan istilah-istilah yang biasanya dikenal dalam sanksi hukum administrasi. Artinya penggunaan istilah-istilah tersebut selalu dikaitkan dengan suatu perizinan yang dikenal dalam hukum administrasi. Pencabutan/penarikan kembali izin merupakan salah satu sanksi administratif, menurut van Wijk/W. Konijnenbelt sebagai sarana kekuatan menurut hukum publik yang dapat diterapkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai reaksi terhadap mereka yang tidak mentaati norma-norma administrasi. Penyebab penarikan kembali suatu keputusan/ketetapan sebagai salah satu sanksi dalam hukum administrasi menurut Philipus M. Hadjon antara lain : 1. Yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasan atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikaitkan pada izim, subsidi atau pembayaran;2. Yang berkepentingan pada waktu mengajukan permohonan untuk mendapat izin, subsidi atau pembayaran telah memberikan data yang sedemikian tidak benar atau tidak lengkap, sehingga apabila data itu diberikan secara benar atau lengkap, maka keputusan akan berlainan (misalnya menolak izin dan sebagainya).

Alasan pertama pencabutan izin dikarenakan pemegang izin tidak mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan maupun syarat-syarat yang dikaitkan pada izin. Dengan dasar itu, Badan atau Pejabat TUN dapat bereaksi dengan penarikan kembali. Dengan demikian pembekuan izin secara hakiki sebagai suatu keputusan yang menyatakan tidak berlaku lagi keputusan tertentu karena dinilai menyimpang dari keputusan yang disyaratkan. Oleh karena itu sifat pencabutan, pembatalan/pembekuan maupun penarikan SIUPP ini bertentangan dengan larangan pembredelan.

b. Istiah Pembredelan

Konsep pemberedelan secara yuridis dipergunakan dalam Undang-Undang Pokok Pers No. 21 Tahun 1982 Pasal 4 yang menyebutkan terhadap pers Nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan. Konsep pembredelan dipergunakan Oemar Seno Adji dan Ignatius Haryanto dalam buku pembredelan pers di Indonesia disebutkan pembredelan surat kabar artinya untuk seterusnya (selama-lamanya) surat kabar yang bersangkutan ditutup. Konsep pembredelan sering disebut pemberangusan surat kabar yang biasanya dipergunakan Oemar Seno Adji. Konsep pembredelan diambil dari bahasa Belanda artinya mengekang, memberangus. Kata mengekang bisa berati menahan, mencegah, mengontrol, maupun melarang. Dalam hubungan ini, pembredelan lebih tepat diartikan sebagai suatu larangan terbit suatu surat kabar/majalah. Menurut Oemar Seno Adji pembredelan diartikan sebagai larangan terbit sementara maupun seterusnya. Ada dua hal yang perlu dibahas berdasarkan pengertian pemberedelan ini yaitu :1. Larangan terbit sementara tidak bersifat limitatif artinya tidak ditentukan batas waktu secara jelas sehingga pengertian sementara kemungkinan bisa hanya beberapa bulan atau satu tahun atau beberapa tahun. Penerbitan kembali surat kabar yang bersangkutan bergantung kepada penguasa dan pengelola surat kabar/majalah yang memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditentukan.2. Pembredelan dalam pengertian larangan terbit untuk seterusnya (selama-lamanya) , mengakibatkan surat kabar yang bersangkutan untuk selama-lamanya tidak akan terbit lagi. Dalam Undang-Undang Pokok Pers disebutkan pers dilarang terbit apabila kegiatan-kegiatannya bertentangan dengan Pancasila karena menganut paham komunisme /marxisme /leninisme (Pasal 11).

Sesuai dengan sifat pelanggaran terhadap pasal 11 Undang-Undang Pokok Pers kiranya dapat dibenarkan bahwa apabila ada surat kabar maupun majalah yang penerbitannya mencerminkan ajaran komunisme yang membahayakan keselamatan negara dan bangsa, pemerintah dapat melarang surat kabar/majalah yang bersangkutan terbit selama-lamanya melalui pembuktian di pengadilan. Kecuali itu tidak dibenarkan pencabutan SIUPP hanya karena alasan-alasan demi kepentingan umum, keamanan nasional, dan sebagainya tanpa kriteria yang jelas. Atas dasar itu, dipandang perlu diatur lebih lanjut kriteria pemberitaan/tulisan yang dianggap membahayakan stabilitas Nasional. Artinya, peraturan perundang-undangan yang dibentuk harus merumuskan secara transparan kapan kriteria suatu tulisan dinilai membahayakan keamanan negara dan tingkatan-tingkatan bahaya yang ditimbulkan dari suatu pemberitaan.3.2 SIUPP Sebagai Sarana Pengendalian Preventif SIUPP sebagai sarana pengendalian preventif artinya melalui SIUPP diharapkan dapat mencegah sanksi pembredelan atau pencabutan SIUPP. SIUPP adalah surat izin yang diberikan oleh menteri penerangan kepada perusahaan / penerbitan pers untuk menyelenggarakan penerbitan pers. Perusahaan / penerbit pers sesuai ketentuan perundang-undangan yang ada meliputi badan usaha swasta nasional berbentuk badan hukum, koperasi atau bentuk badan usaha milik negara yang menyelenggarakan penerbitan pers.

1. Pemikiran-pemikiran Yang Harus dipenuhi dalam SIUPP

Izin SIUPP merupakam keputusan yang dikeluarkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam hubungan ini SIUPP yang dikeluarkan Menteri Penerangan adalah dalam kapasitasnya sebagai badan atau pejabat tata usaha negara sehingga SIUPP dapat digolongkan sebagai krputusan yang bersifat individual abstrak.2. Sanksi Administratif yang Tepat di dalam SIUPP

Dalam UU Pokok Pers Pasal 13 ayat (5) menentukan setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan SIUPP.. dst. Berdasarkan ketentuan tersebut pemerintah mengeluarkan peraturan menteri penerangan No.01/Per/MenPen/1998 tentang SIUPP. Pasal 23 ayat (2) huruf b peraturan ini lebih terfokus pada jenis sanksi administrasi yang cocok dengan UU Pokok Pers.

Menurut Philipus M Hadjon terdapat sanksi-sanksi hukum administrasi yang khas yaitu :

1. Bestuursdwang (paksaan pemerintah)

2. Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (izin, pembayaran, subsidi)

3. Pengenaan denda admisnistratif

4. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah

3.3 Pengendalian Represif 3.3.1 Alasan Alasan Yang Berkaitan Dengan Perlunya Sanksi Uang Paksa (Dwangsom) dalam SIUPP

Sanksi uang paksa oleh pemerintah selain untuk mengamankan pers dari pemberdelan, maka secara preventif juga menghindari dampak ekonomi berupa hilangnya pekerjaan para wartawan dan karyawan. Dapat diterima bahwa wewenang mencabut ijin ada ditangan pejabat TUN yang menerbitkan izin (meskipun tidak diatur secara khusus) sesuai asas contraries actus. Tetapi dalam hubungannya dengan SIUPP kiranya asas ini dapat dikesampingkan mengingat adanya jaminan kebebasan pers sesuai UU pokok pers dan UUD 1945.a Fungsi Control Pers

Kritik dalam Undang-Undang pokok pers dipahami sebagai salah satu hak pers dalam menjalankan fungsi control pers sesuai Pasal 3 guna mengungkapkan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi baik dikalangan lembaga pemerintahan maupun yang terjadi dimasyarakat.

Dalam hubungannya dengan fungsi pendidikan, maka pers harus memberikan informasi yang mendukung keberhasilan pendidikan. Masyarakat perlu dididik dengan informasi-informasi agar lebih mengutamakan rasa persatuan dan kesatuan dalam dalam kehidupan berbangsa.

Dalam hubungan ini Oemar Seno Adji menyebutkan fungsi pers sebagai berikut : (a). menyampaikan kritik dan koreksi. (b) sebagai barometer. (c) sebagai petunjuk . (d) sebagai pengontrol.b. Tanggung Jawab Pers.

1. Tugas dan kewajiban pers antara lain meliputi

- memperjuangkan kebenran dan keadilan

- menggelorakan semanngat persatuan dan kesatuan

- meningkatkan kecerdasan bangsa

- mendorong partisipasi rakyat dalam pembangunan

2. sebagai penyebar informasi yang objektif

3. melakukan kontrol sosial

4. bebas bertanggung jawab.

c. Pengawasan Pers

Pengawasan terhadap pers perlu dilakukan secara baik, mengingat lembaga pers merupakan salah satu kekuatan berpengaruh dan dalam hal-hal tertentu pers sangat ditakuti. Oleh karena itu apabila kebebasan pers tidak dibatasi melalui prinsip pers yang bertanggung jawab maka dikhawatirkan lembaga pers dalam hal dapat bertinda sewenang-wenang menyiarkan tulisan yang tidak didasari fakta objektif.

d. Hak Jawab dan Hak Koreksi

Hak jawab dan hak koreksi merupakan hak yang dimiliki seseorang, sekelompok orang, badan hukum perdata dan pejabat pemerintah untuk menjawab maupun mengoreksi suatu tulisan dalam surat kabar atau majalah yang kemungkinan merugikan. Penggunaan hak tersebut bertujuan agar meluruskan pemberitaan/tulisan yang kemungkinan tendensius dan subjektif sehingga menimbulkan kerugian.

Secara yuridis jaminan hak tersebut diatur dalam undang-undang pokok pers Nomor 21 Tahun 1982. Peraturan Menteri Penerangan No 01/Pers/Menpen/1998 tentang SIUPP. Peraturan Menteri Penerangan Nomor 02/Per/Menpen/1998 tentang ketentuan mengenai wartawan dan Kode Etik Jurnalistik

2. sanksi pidana

Salah satu pengawasan represif dalam hubungan dengan penerbitan pers yaitu pengenaan sanksi pidana dari perspektif hukum pers sanksi pidana bias dikatakan lebih tepat dan proporsional daripada menggunakan sanksi pencabutan SIUPP

Dalam KUHP dapat dijumpai beberapa pasal yang mengatur kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai delik pers antara lain :

1. Delik penghinaan : a. penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, b. penghinaan terhadap raja atau kepala Negara sahabat, c. penghinaan terhadap aparat pemerintah.2. Delik penyebar kebencian : a. delik yang merupakan penghinaan terhadap pemerintah, b. delik yang merupakan penghinaan terhadap golongan, c. delik penghinaan, d. delik yang merupakan pennodaan terhadap agama, e. delik yang merupakan penghasutan.BAB IV

PENGATURAN DAN PENGGUNAAN

KEBEBASAN BERPENDAPAT MELALUI FORUM ILMIAH4.1 Pengaturan dan Penggunaan Kebebasan Berpendapat Melalui Forum Ilmiah Menurut Hukum Positif

Pengkajian pengaturan kebebasan berpendapat melalui forum ilmiah dititikberatkan pada UUD 1945sebagai landasan konstitusional yang memberikan perlindungan kebebsan berpendapat sebagaimana disebutkan dalam pasal 28 UUD 194. Selain itu dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan yang bertalian dengan kebebasan ilmiah konsep rechtside serta konsep rechtstaat.4.1.1 Pemikiran-Pemikiran Tentang Kebebasan Berpendapat Melalui Forum Ilmiah Istilah forum ilmiah identik dengan forum ilmiah sebagaimana dipergunakan dalam pasal 18 PP Nomor Tahun 1990. Penjelasan ketentuan ini menyebutkan pertemuan ilmiah meliputi seminar, ceramah, symposium, diskusi panel dan ujian dalam rangka pelaksanaan pendidikan akademik dan atau professional

Oleh karena itu konsep-konsep yang dikaji antara lain :

a. Kebebasan akademik

b. Kebebasan mimbar akademik

c. Otonomi keilmuan

d. Tanggung jawab ilmiah

1. Pengaturan Forum Ilmiah Menurut (SKB) No 153Tahun 1995 dan No Kep/12/XII/1995

Dari sudut pandang pemerintah, keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan Keamanan (SKB) Nomor 153 Tahun 1995 dan Nomor : Kep 12/XII/1995 tertanggal 26 Desember 199, sebagai petunjuk pelaksanaan perizina. Dalam keputusan bersama tersebut pada bagian pendahulunya menyebutkan perizinandan pemberitahuan sebagai pranata hukumyang lazim diletakan pada penyelenggaraan suatu pertemuan dalam waktu-waktu terakhir banyak mendapat perhatian. Lahirnya keputusan bersama mendagri dan menhankam telah menimbukan perbedaan pandangan dan persepsi mengenai pemahaman dan penerapan pranata perizinan dan pemberitahuan tersebut.

2. pengaturan izin kegiatan menurut pasal 510 KUHP yang berkenaan dengan kebebasan berpendapat melalui forum ilmiah

Pasal 510 KUHP yang menyangkutizin keramaian umum telah banyak disalahgunakan sebagai dasar hukum untuk membubarkan diskusi seminar atau lokakarya. Meski secara formal ini masih berlaku, tapi karena bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan, seharusnya tidak lagi diberlakukan. Keputusan Bersama Menhankam dan Mendagri merupakan petunjuk pelaksanaan pasal 510 KUHP dan UU No 5 PNPS Tahun 1963. Konsideran hueuf c SKB tersebut menyebutkan untuk menjamin kesamaan pemahaman dan sekaligus untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat maupun instansi atau pemerintah yang terkait.

Dengan menggunakan pemikiran Donner sebagai titik tolak dan UU kepolisian tentang tugas dan fungsi kepolisian, maka secara jelas memperlihatkan bahwa tugas utama kepolisian yakni menjaga ketertuabn umum dan keamanan masyarakat. Dengan dasar pemikiran seperti ini kiranya kewenangan mengeluarkan izin keramaian dan pemeberitahuan semestinya diserahkan kepada badan lainnya sehingga tugas penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian dapat diserahkan sepenuhnya kepada tugas penegakan hukum dan pemeliharaan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat. Meskipun secara formal wewenang kepolisian menurut Undang-Undang meliputi juga wewenang mengeluarkan ijin keramaian yang berhubungan dengan kebebasan berkumpul dan berpendapat sebagai salah satu hak dasar tetapi kiranya izin dari kepolisian kurang tepat.

3. Pengaturan Izin Kegiatan Menurut Undang-Undang Nomor 5 PNPS tahun 1963, Yang Berkenaan Dengan Kebebasan Berpendapat Melalui Forum Ilmiah

Pertemuan keilmuan atau pertemuan ilmiah dapat diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan, maupun lembaga-lembaga non pendidikan. Dengan menggunakan penalaran analogi, maka lembaga non pendidikan ini termasuk juga lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi kemasyarakatan. Bentuk-bentuk pertemuan keilmuan tersebut bertujuan membahas masalah kehidupan masayarakat berbangsa dan bernegara.4. Undang-Undang No 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum

Penggunaan istilah kemerdekaan dalam UU ini dalam kaitannya dengan penyampaian pendapat di muka umum kurang tepat mengingat istilah kemerdekaan hanya berkaitan dengan perbudakan, penindasan, dan penjajahan. Penggunaan istilah ini mengesankan seakan-akan bangsa Indonesia belum mencapai kemerdekaannya dari kaum penjajah Belanda. Padahal dalam rangka mengisi kemerdekaan yang telah kita rebut dari penjajah Belanda seyogyanya menggunakan istilah kemerdekaan.

Pasal 3 menentukan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan berdasarkan pada : asas, keseimbanagan, asas musyawarah dan mufakat, asas kepastian hukum dan keadilan, asas proporsionalitas, asas manfaat. Dari semuanya asas kepastian hukum dan keadilan yang paling relevan dengan asas-asas umum perundang-undangan yang baik.

4.1.2 Tindakan Pemerintahan Berkenaan dengan Kegiatan Dalam Forum Ilmiaha. Tindakan Pembubaran Kegiatan Dalam Forum Ilmiah Sebagai Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Penguasa

Dengan menggunakan penafsiran hukum, maka perbuatan melanggar hukum dalam pasal 1365 KUH Perdata dapat diperluas artinya sehingga mencakup perbuatan melanggar hukum oleh penguasa. Pasal 1365 KUH Perdata menentukan tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.

Siapapun yang karena perbuatan menimulkan kerugian bagi orang lain diharuskan menurut hukum untuk mengganti kerugian. Dengan berpatokan pada interpretasi tadi, maka perbuatan pejabat TUN atau pihak kepolisian yang membubarkan atau melarang sesuatu kegiatan ilmiah digolongkan sebagai perbuatan melanggar hukum yang menimulkan kerugian bagi pihak penyelenggara.

b. Tindakan Pembubaran Kegiatan Dalam Forum Ilmiah Sebagai Penyalahgunaan wewenang

Tindakan Kepolisian sebagai badan / Pejabat tata Usaha Negara maupun pejabat lainnya dalam hal membubarkan kegiatan dalam forum ilmiah yang berkaitan dengan pelaksanaan kebebasan berpendapat, dapat dikategorikan sebagai perbuatan / tindakan sewenang-wenang oleh penguasa. Konsep yang dikaji yaitu

1. Tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

Suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dapat diketahui dalam UU No 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Pasal 53 ayat (2) huruf a UU tersebut anatara lain menentukan keputusan tata usaha Negara yang dapat digugat yaitu yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam ketentuan ini dijelaskan pengertian tentang tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu :

Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat procedural/substansial

Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat Material /substansial

Dikeluarkan oleh lembaga yang tidak berwenang

2. Tindakan penyalahgunaan wewenang

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN pasal 53 ayat (2) huruf b antara lain menentukan alas an gugatan yang dapat diajukan sehubungan dengan adanya keputusan TUN yang menimbulkan kerugian bagi seseorang atau badan hukum perdata karena dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikan wewenang tersebut.3. Tindakan Sewenang-Wenang

Tindakan Pencekalan bagi seorang yang akan tampil sebagai pembicara, penghentian ataupun pembubaran suatu kegiatan yang berkenaan dengan forum ilmiah yang dalam istilah SKB mendagri dan menhankam disebut sebagai pertemuan keilmuan yang dapat dikategirikan sebagai tindakan sewenang-wenang. Istilah sewenang-wenang yang dalam istilah bahasa Belanda disebut wilekeur diartikan sebagai tindakan yang menyimpang dari nalar yang sehat.

4.1.3 Pembatasan Kebebasan Berpendapat Melalui Forum Ilmiah

Meskipun kebebasan berpendapat melalui forum ilmiah harus dilindungi namun tidak berarti terhadap kebebasan tersebut tidak ada pembatasannya. Oleh Karena itu perlu pembentukan Undang-Undang untuk membatasinya sehingga tidak menganggu keamanan Negara dan ketertiban umum

Selain itu perlu adanya perlindungan hukum terhadap penggunaan kebebasan ini dari kemungkinan tindakan pihak kepolisian maupun badan / pejabat TUN lainnya dalam hal membubarkan seminar atau mencekal pembicara secara sewenang-wenang, kajiannya meliputi :

1. Ketertiban Umum dan Keamanan Negara Sebagai Pembatasan Kebebasan Berpendapat Melalui Forum Ilmiah

Pengkajian dalam bagian ini bertitik tolak dari dalam kebebasan terkandung unsure pembatasannya yaitu tanggung jawab agar tidak mengganggu ketertiban dan keamanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara penggunaan kebebasan berpendapat harus tetap dibatasi agar tidak sampai menimbulkan gangguan ketertiban dan keamanan Negara

2. Undang-Undang Tentang Izin Keramaian dan Kebebasan Akademik

a. Analisis Hukum Positif Tentang Perlunya Pengaturan Izin Kegiatan Dalam Undang-Undang

izin keramaian yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat sebagaiamana disebutkan dalam pasal 28 UUD 1945 sejauh ini pengaturannya ditempatkan dalam SKB Mendagri dan Menhankam Nomor 153 Tahun 1995 dan Nomor Kep/12/XII/1995 tertanggal 26 Desember 195. SKB tersebut sebagai petunjuk pelaksanaan perizinan sebagaimana diatur dalam pasal 510 KUHP dan pemberitahuan menurut UU No 5 PNPS Tahun 1995 tentang Kegiatan Politik.

b. Analisis Hukum Positif Tentang perlunya pengaturan Kebebasan Akademik Dalam Undang-Undang

Hakekat kebebasan akademik yaitu suatu kebebasan yang dimiliki ilmuwan maupun civitas akademika dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknolog. Pelaksanaan kebebasan akademik berkaitan dengan kebebasan melakukan penelitian dalam mencapai kebenaran yang hakiki. Dalam rumusan Tap MPR terdapat beberapa hal yang mendasar yang berkaitan dengan perlunya pemikiran untuk mengatur kebebasan akademik dalam suatu undang-undang. Pertama, jaminan kebebasan akademik diarahkan untuk peningkatan kecerdasan bagsa dan kemampuan dalam menunjang keberhasilan pembangunan di berbagai aspek. Kedua, pengembangan kebebasan akademik diarahkan agar menyiapkan SDM yang memilki profesiolanitas tinggi. Ketiga Kebebasan akademik berkaitan dengan suasana kehidupan kampus sebagai lingkungan alamiah yang dinamis. Keempat, perlunya pengembangan iklim yang demokratis dalam mendukung kebebasan akademik dan otonomi perguruan tinggi sebagai keilmuan, agar civitas akademika secara bertanggung jawab mengambangkan pemikiran-pemikiran yang konstruktif.4.1.4 Pembatasan Menurut Norma Keilmuan

Pembatasan kebebasan berpendapat dalam forum ilmiah dapat dilakukan melalui norma-norma keilmuan yang merupakan etika keilmuan. Tugas seorang ilmuan adalah memperthankan kebenaran ilmiah dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tetap mengacu pada norma-norma keilmuan sebagai suatu pembatasan.1. Pemikiran Tentang Ilmu Dan Norma Keilmuan

Penyebutan istilah ilmu pengetahuan yang sudah menjadi kelaziman di masyarakat terutama di dunia perguruan tinggi secara hakuki merupakan suatu penyebutan yang kurang cermat. Ilmu ditambah pengetahuan sehingga menjadi ilmu pengetahuan merupakan suatu penyebutan yang berlebihan karena menggunakan kedua istilah yang sama artinya. The liang gie menyebut dua arti ilmu yaitu :

a. Ilmu merupakan sebuah istilah umum yang dipergunakan untuk menyebut segenap pengetahuan yang dipandang sebagai suatu kebulatan. Dalam arti ini ilmu mengacu pada ilmu seumumnya.

b. Ilmu menunjuk kepada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari sesuatu pokok soal tertentu. Dalam arti, ilmu sebagai suatu cabang ilmu khusus seperti misalnya antropologi, biologi, geografi, dan sosiologi Dengan demikian ilmu artinya semua pengetahuan yang dihimpun dengan perantaran metode ilmiah, kalangan ilmuan senduiri ada kesepakatan bahwa ilmu terdiri atas pengetahua.

4.1.5 Perlindungan Hukum Terhadap Tindakan Pemerintah Dalam Hal Pembubaran dan Pencekalan Dalam Forum Ilmiah1. Perlindungan Hukum Terhadap Tindakan Pemerintah melalui Peradilan Umum.

Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai perkara perdata dan pidana (penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No 14 Tahun 1970). Selain menangani perkara perdata dan pidana juga masih diberikan kewenangan menangani perkara / sengketa TUN. Kompetensi ini secara jelas diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

a. Keputusan yang bersifat umum yang dapat digugat diperadilan umum

Tindakan pembubbaran maupun tindakan mencekal seseorang sebagai pembicara dalam forum ilmiah berdasarkan surat peritah dapat dikategorikan sebagai KTUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum. UU No 5 Thun 1986 tentang PTUN, pada penjelasan pasal 2 menentukan, yang dimaksud dengan KTUN yang membuat pengaturan yang bersifat umum adalah pengaturan yang memuat norma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan yang kekuasaan berlakunya mengikat semua orang

b. Tindakan Hukum Perdata dan Tindakan Nyata Yang Dapat Digugat di Peradilan Umum

Tindakan pemerintah dalam hal pembubarab dan pencejalan terhadap pakar dalam pertemuan ilmiah oleh kepolisian atau badan / pejabat TUN lainnya dapat digolongkan sebagai perbuatan nyata sehingga dapat digugat diperadilan umum. Istilah lain dari perbuatan nyata adalah perbuatan materiil atau yang dalam istilah Belanda disebut feitelijke handeling.

2. Perlindungan Hukum Terhadap Terhadap Tindakan Pemerintah Melalui Peradilan Tata Usaha Negara

Tindakan kepolisian maupun badan / pejabat TUN yang membubarkan ataupun mencekal seseorang atau sejumlah pembicara dalam pertemuan ilmiah dapat disengketakan di peradilan TUN. Namun dibutuhkan beberapa syarat tertulis untuk memudahkan segi pembuktian yaitu :

a. Badan atau pejabat TUN mana yang mengeluarkan

b. Maksud serta menganai hal apa isi tulisan itu

c. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya

Dengan demikian tindakan pembubaran maupun pencekalan forum ilmiah dapat memenuhi ketentuan tersebut bila kepolisian atau pejabat lain mengeluarkan penetapan tertulis. John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, Cetakan XX, 1992, h.356.

LouisKatsoff, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, Cetakan IV, 1989, h.426.

W.J.S.Purwadaminta, Kamus Bahasa Indonesia, h.84.

Immanuel Kant, dalam Laquer and Barry Rubin, The Human Rights Reader, New American Library, 1979, p.83.

Harimurti Kridalaksana, Kamus Sinonim Bahasa Indonesia, Nusa Indah, Ende Flores, 1983, h.89.

J.C.S Simorangkir, cs., Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1983, h.23.

Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Apakah Hukum itu? , PT. Ramajaya Rosdakarya, Bandung, 1993, h.69.

Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, h.110.

Raymond Aron, Kebebasan dan Martabat Manusia, Obor Indonesia, Jakarta,1993, h.5.

Antonio Cassesse, Hak Asasi Manusia di Dunia Yang Berubah, Penyunting Abdoel Hakim G.Nusantara, Yayasan Obor Indonesia, 1994, h.49.

BurkenM.C.,et.al., Beginselen van de Democratiche Rechtstaat, Tjeenk Willink Zwole, 1990, p.29.

Abdoel Gani, Hubungan Antara Politik Hak Asasi dan Pembangunan Hukum Indonesia, Makalah dalam Simposium Politik, Hak Asasi dan Pembangunan Hukum, Surabaya, 3 November 1991, h.11.

A.Hamid Attamimi, Peran Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara, 1990, h.322.

Ibid., h.380.

G.Kartasapoetra, Demokrasi dan Hak-Hak Asasi Manusia, Armico, Bandung, 1982, h.55.

Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengeritikannya, Jilid I, 1992, h.174.

Tatu van Hanen, The Process Of Democration, A Comperative Study of 14 State 1968-1988, New York, 1990, p.8.

J.J.H Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa Arief Sidharta, Citra Aditya Bhakti, h.104.

D.H.M.Meuwissen, Grondrechten, Aula-Uitgeverij Het Spectrum Utrecht/Antwerpen,1984, p.30.

P.W.Brower,er.al., Grondrechten and Conflict in Law, Serie Rechtsfilosofi en Rechtsteorie 7, Tjeenk Willink, Zwolle, 1992, p.218-223.

Oemar Seno Adji, Pembredelan Surat Kabar Sebagai Kasus, artikel dalam kumpulan tulisan menyambut 25 tahun Harian Umum Sinar Harapan, Sinar Harapan, Jakarta, 1986, h.253.

Ignatius Haryanto, Pembredelan Pers di Indonesia Kasus Koran Indonesia Raya, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, 1996, h. 41.

Oemar Seno Adji, Pers Aspek Aspek Hukum, Erlangga, Jakarta, 1974, h.44.

PAGE 7