Upload
marsha-djajasaputra
View
134
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS AGAMA
Nama : Jason Malcom Usman
NIM : 21100265
Kelas : D
PENDEKATAN FENOMENOLOGIS
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani: phainestai yang berarti
“menunjukkan” dan “menampakkan diri sendiri”. Sebagai ‘aliran’ epistemologi,
fenomenologi diperkenalkan oleh Edmund Husserl. Meskipun sebelum Husserl,
istilah tersebut telah digunakan oleh beberapa filosof. Immanuel Kant menggunakan
kata fenomenon untuk menunjukkan penampakan sesuatu dalam kesadaran,
sedangkan noemena adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di luar
kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya mengenal fenomena-fenomena
yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena yaitu realitas di luar (berupa
benda-benda atau nampak tetap menjadi objek kesadaran kita) yang kita kenal.
Istilah tersebut telah dikenal sejak abad ke-18. Lambert dalam bukunya: neue
Organon (1764) yang memakai nama phenomenologie untuk teori penampakan
fundameental terhadap semua pengetahuan empirik. Immanuel Kant (1724-1804)
menggunakan kata noumenon untuk ujud realitas dan phenomenon untuk
pemahaman terhadap realitas itu pada kesadaran. Hegel (lahir 1770) memberi arti
lain, yakni conversant mind (pengetahuan tentang pikiran). Menurut Hegel, jika kita
menganggap pikiran semata-mata dengan pengamatan dan pengeneralisasian
berbagai fenomena dalam penampakan dirinya, maka kita mempunyai satu bagian
dari pengetahuan mental dan inilah yang disebut phenomenology of mind. Moritz
Lazarus dalam bukunya leben der Seele (1856-1857) membedakan istilah
fenomenologi dengan psikologi. Yang pertama menggambarkan kehidupan mental
dan yang terakhir disebut, mencari penjelasan kausal pada kehidupan mental.
Edmund Husserl (1859-1938) seorang filosof Jerman, pendiri filsafat
fenomemologi mengajukan konsepsi yang berbeda dengan para pendahulunya.
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia
dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan sesuatu yang berbeda pada dirinya
lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri atau menurut
ungkapan Martin Heideger juga seorang fenomenolog: “sifat realitas itu
membutuhkan keberadaan manusia”. Noumena membutuhkan tempat tinggal
(unterkunft) ruang untuk berada, ruang itu adalah manusia.Husserl menggunakan
istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita
dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan kategori
pikiran kita padanya atau menurut ungkapan Husserl: zuruck zu den sachen selbt
(kembalilah kepada realitas itu sendiri). Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan,
bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah
kesadaran kita cair dengan realitas. Fenomenologi Husserl bertujuan mencari yang
essensial atau eidos (esensi) dari fenomena itu.Dalam mencari yang esensial
bermula dari membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan
prasangka (presuppositionlessness), dalam hubungan ini Husserl menjelaskan:
(…yang pertama, kita harus menghilangkan dari tindakan kita semua
keyakinan yang kita miliki sampai sekarang, termasuk semua pengetahuan kita.
Biarkan ide itu menuntun semua meditasi kita pada pertama kalinya menjadi ide
Cartesian mengenai sesuatu ilmu yang akan dikukuhkan secara radikal dan murni
yang pada akhirnya merangkul semua ilmu pengetahuan).
Meskipun Husserl menyebut ide Cartesian sebagai salah satu upaya
memahami realitas, tetapi terdapat perbedaan ide Cartesian dengan Husserl.
Descartes menyangsikan segalanya sebelum memutuskan “ada”nya sesuatu, tetapi
bagi Husserl, epochè bukan menyangsikan “ada” atau “tidak ada” nya sesuatu,
tetapi semacam netralisasi atau sikap tidak memihak, tanpa prasangka akan
keberadaan sesuatu.
Husserl dalam hal ini mengajukan metode epochè. Kata epochè berasal dari
bahasa Yunani, yang berarti: “menunda putusan” atau “mengosongkan diri dari
keyakinan tertentu.” Epochè bisa juga berarti tanda kurung (breaketing) terhadap
setiap keterangan yang diperoleh dari sesuatu fenomena yang tampil, tanpa
memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Dalam hal ini Husserl
mengatakan, bahwa epochè merupakan thesis of the natural standpoint. (tesis
tentang pendirian yang natural), dalam arti bahwa fenomena yang tampil dalam
kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat.
Adapun fenomenologi agama itu sendiri dikembangkan oleh Max Scheler,
Rudolf Otto, Jean Hearing, dan Gerardus Van der Leeuw. Tujuannya adalah
memahami pemikiran-pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan
tanpa mengikuti teori-teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi. Salah satu
cara untuk memahami fenomenologi agama adalah menganggapnya sebagai reaksi
terhadap pendekatan-pendekatan historis, sosiologis, dan psikologis. Kebanyakan
ahli fenomenologi menganggap semua pendekatan semacam itu untuk mereduksi
agama menjadi semata-mata aspek sejarah, atau aspek sosial atau aspek kejiwaan.
Pendekatan fenomenologis berusaha mempelajari dan memahami berbagai
gejala keagamaan sebagaaimana apa adanya dengan cara membiarkan
manifestasi-manifestasi pengalaman agama berbicara bagi dirinya sendiri.
Pendekatan ini muncul pada akhir abad ke-20, terutama karena pengaruh filsafat
yang dikembangkan Edmund Husserl. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang
fenomenologi sebagai disiplin filsafat juga diperlukan agar dapat menerapkan
pendekatan fenomenologis tadi secara baik ketika mempelajari suatu gejala
keagamaan.
Pendekatan fenomenologis merupakan upaya untuk membangun suatu
metodologi yang koheren bagi studi agama. Terdapat beberapa filsafat yang dapat
digunakan sebagai dasar dibangunnya pendekatan in seperti; filsafat Hegel dan
filsafat Edmund Husserl. Filsafat Hegel, dalam karyanya The Phenomenology of
Spirit mempunyai tujuan untuk menunjukkan pada pemahaman bahwa seluruh
fenomena dalam berbagai keragamannya tapi hanya didasarkan pada satu esensi
atau kesatuan dasar. Filsafat Edmund Husserl, terdapat dua konsep yang mendasari
karyanya dan menjadi titik tolak metodologis yang bernilai bagi studi fenomenologis
terhadap agama yaitu; epoch yang terdiri dari pengendalian atau kecurigaan dalam
mengambil keputusan, dan pandangan eidetic yaitu pandangan yang terkait
dengan kemampuan melihat apa yang ada sesungguhnya.
Beberapa figur historis utama yang karyanya patut untuk dipertimbangkan
dalam tradisi fenomenologis seperti Van der Leeuw yang mendasarkan
penelitiannya pada berbagai disiplin ilmu seperti filsafat, psikologi, antropologi,
sejarah, dan teologi dalam mempertautkan antara agama dan seni. Sehingga
pendekatan yang dihasilkan merupakan pendekatan yang kompleks dan sangat luas
tapi mudah untuk dipahami. Pierre Daniel Chantepie de la Saussaye merupakan
seorang yang pertama memahami fenomenologi agama sebagai disiplin ilmiah.
Nathan Soderblom merupakan seorang pelopor terjadinya perubahan arah dalam
sejarah agama karena pandangannya yang teliti, tajam, dan mendalam tentang apa
yang “tampak”. Ia juga mengungkapkan komitmennya tentang agama sebagai
ekspresi kesucian, suatu fenomena sui generis, dan mengungkapkan bahwa tidak
ada agama sejati tanpa suatu pembedaan antara yang suci (holy) dan yang profane.
William Brede Kristensen, melihat fenomenologi agama sebagai pelengkap
pendekatan historis dan filosofis. Tugas fenomenologi adalah melakukan
pengelompokkan secara sistematis tentang karakteristik data untuk menggambarkan
watak keagamaan manusia. Fenomenologi hendak mengungkapkan elemen-elemen
esensial dan tipikal dari agama. Fenomenologi adalah prasyarat bagi filosofis dalam
menentukan esensi agama.
Karakteristik dari pendekatan fenomenologis dapat dikategorikan menjadi
dua, yang pertama yaitu fenomelogi yang concern malaksanakan suatu kajian
agama “deskriptif” dengan tujuan untuk mengukuhkan pengetahuan tentang
berbagai ekspresi fenomena, sehingga dapat membawa pada suatu klasifikasi tipe-
tipe dan tipologi. Gagasan mengenai studi agama secara fenomenologis
sesungguhnya merupakan upaya menjustifikasi studi agama berdasar istilah yang
dimilikinya sendiri daripada berdasar sudut pandang teolog atau ilmuan sosial.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh William James dalam bukunya The Varieties
of Religious Experince: A Study in Human Nature, dia memberi ciri pada suatu
pendekatan yang menggambarkan concern fenomenologis. Berbeda dengan James,
Mircea Eliade memiliki minat untuk mengidentifikasi perbedaan antara sacred dan
profane dalam pengalaman manusia. Bukunya The Sacred and the Profane, dia
menunjukkan bagaimana seorang yang religious berupaya tetap berada dalam suatu
dunia sacred, dan oleh karenanya pengalaman kehidupan totalnya terbukti bila
dibandingkan dengan pengalaman orang tanpa rasa keagamaan yang hidup atau
ingin hidup dalam suatu dunia yang telah terdesakralisasikan.
Menurut pendekatan ini agama adalah sebuah ekspresi simbolik tentang yang
suci, maka tugas pendekatan ini adalah mendeskripsikan, mengintegrasikan atau
menyusun tipologi dari semua data yang diperoleh dari seluruh agama dunia. Sakral
atau Suci, menurut pandangan ini, adalah Suatu Realitas yang transenden dan
metafisik, yang sering disebut sebagai Wholly Other, Ultimate Reality, Absolute,
berada di luar waktu dan sejarah.
Ada tiga tugas yang harus dipikul oleh fenomenologi agama, yakni:
1. Mencari hakikat ketuhanan
2. Menjelaskan teori wahyu
3. Meneliti tingkah laku keagamaan.
Bleeker menguraikan suatu cara kerja ganda yang menjadi karakteristik dari
pendekatan fenomenologi, yaitu: teori epoche, yakni penangguhan sementara dari
semua penelitian terhadap masalah kebenaran, dan eidetio-vision yang dapat
dijelaskan sebagai penelitian terhadap esensi-esensi. Prinsip eidetik menjadikan
eidos sebagai tujuan penelitian, yakni apakah yang menjadi esensi dalam
fenomenologi agama.
Van der Leeuw memberikan catatan tujuh fase penelitian fenomenologis,
yaitu:
1. Memberikan nama gejala
2. Menyisipkan ke dalam kehidupan itu sendiri
3. Memperdalam pengertian-pengertian agamis tentang hakikat di dalam epoche
4. Memberikan pengertian agamis yang telah diperdalam
5. Mengetahui pengertian-pengertian agamis yang telah diperdalam
6. Mengoreksi dengan menyelidiki kebenarannya, pengertian, atau tujuan bahan
fenomenologis yang umum atau yang lazim
7. Memperkenalkan pengertian agamis yang telah diperdalam beserta maksudnya.
Fenomenologi tidak berusaha untuk membandingkan agama-agama sebagai
unit yang luas, tetapi memisahkan diri dari setting historis. Fakata-fakta dalam
fenomena yang sama yang didapati pada berbagai macam agama, dibawanya
bersama, dan dipelajarinya di dalam kelompok-kelompok. Tugas pendekatan ini
adalah mengklasifikasikan data yang sangat banyak dan beragam dengan cara
tertentu sehingga memperoleh gambaran menyeluruh tentang isi keagamaan yang
terkandung di dalamnya. Gambaran yang menyeluruh ini bukanlah merupakan
ringkasan sejarah agama, tetapi survei yang sistematis tentang data-data agama.
Berdasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa fenomenologi tidak boleh membuat
suatu kontradiksi di antara agama yang benar dan yang tidak benar. Dalam keadaan
terpaksa, fenomenologi dapat dengan penuh kewaspadaan membedakan
religiusitas murni dan yang tidak murni. Oleh karena itu, bidang garapan
fenomenologi tidaklah sulit, yakni:
1. Menerangkan apa yang sudah diketahui yang terdapat dalam sejarah agama,
dengan caranya sendiri. Fenomenologi agama tidak membedakan dirinya dengan
macam-macam agama.
2. Menyusun bagian pokok agama atau sifat alamiah agama, yang juga merupakan
faktor penamaan dari semua agama.
3. Tidak mempersoalkan apakah gejala keagamaan itu benar, apakah ia bernilai, dan
bagaimana bisa terjadi demikian, atau menentukan lebih besar atau lebih kecilnya
nilai keagamaan mereka. Sekalipun ia berusaha untuk menentukan nilai
keagamaannya, nilai tersebut yang dimiliki oleh pemeluk-pemeluk agama itu sendiri
dan nilai semacam ini tidak pernah bersifat relatif, tetapi selalu absolute. Oleh
karena itu, titik berat yang dibicarakannya adalah bagaimana kelihatannya dan
dengan cara apa ia menempatkan diri kepada kita.
Berkenaan dengan keterkaitan antara pendekatan historis dan
fenomenologis, Van der Leeuw menyatakan bahwa fenomenologi agama dapat
secara terus menerus menarik sejarah. Fenomenologi adalah interpretasi. Akan
tetapi, hermeneutika fenomenologis ini hanya menjadi seni dan fantasi belaka,
setelah hermeneutika fenomenologis ini dipisahkan dari penilikan hermeneutik-
arkeologis-fenomenologis.
Fenomenologi agama diterima sebagai cabang ilmu agama. Namun
demikian, banyak ahli fenomenologi agama menginterpretasikan istilah
fenomenologi agama dengan cara pribadi. Misalnya wach mendefinisikan
fenomenologi agama sebagai “studi yang sistematis, jadi tidak historis, mengenai
gejala-gejala agama, seperti do’a, imamah, sekte, dan lain-lain”. Menurut Raffaele
Pettazzoni (1883-1959), guru besar sejarah agama pada universitas Roma,
fenomenologi agama adalah ilmu yang bertugas menemukan beberapa struktur di
dalam kebanyakan gejala keagamaan. W. B. Kristenan mendefinisikan fenomenologi
agama sebagai ilmu yang menggunakan pandangan yang membandingkan data-
data keagamaan, supaya mendapat dukungan baru untuk interpretasi mereka.
Dari definisi-definisi tersebut, jelaslah bahwa pada umumnya fenomenologi
agama dianggap sebagai cabang sistematis ilmu agama, sedangkan sejarah agama
dipandang sebagai cabang sejarah ilmu agama. Meskipun hal itu menjelaskan
bahwa fenomenologi agama dapat dipandang identik dengan ilmu perbandingan
agama, pada permulaannya fenomenologi agama merupakan reaksi atas ilmu
perbandingan agama yang terlalu dipengaruhi oleh ide-ide evolusionisme Darwin.
Capaian fenomenologi penting bagi teoritisasi tentang hakekat agama secara
umum, tetapi sedikit banyak membutuhkan konsekuensi metodologis. Banyak
fenomenolog yang memilih pluralism metodologi yang mengkombinasikan
pendekatan apapun dalam studi sejarah, bahasa, dan ilmu-ilmu sosial agar dapat
menyinari fenomena keagamaan dalam penelitian. Khususnya dari koleksi data yang
sangat luas yang disediakan para antropolog sosial, keragaman ekspresi perilaku
keagamaan manusia dipilih dan disaring dalam penelitian tentang pola-pola umum,
bentuk universal keberagaman manusia.
Beberapa figur historis utama yang karyanya patut untuk dipertimbangkan
dalam tradisi fenomenologis seperti Van der Leeuw yang mendasarkan
penelitiannya pada berbagai disiplin ilmu seperti filsafat, psikologi, antropologi,
sejarah, dan teologi dalam mempertautkan antara agama dan seni. Sehingga
pendekatan yang dihasilkan merupakan pendekatan yang kompleks dan sangat luas
tapi mudah untuk dipahami. Pierre Daniel Chantepie de la Saussaye merupakan
seorang yang pertama memahami fenomenologi agama sebagai disiplin ilmiah.
Nathan Soderblom merupakan seorang pelopor terjadinya perubahan arah dalam
sejarah agama karena pandangannya yang teliti, tajam, dan mendalam tentang apa
yang “tampak”. Ia juga mengungkapkan komitmennya tentang agama sebagai
ekspresi kesucian, suatu fenomena sui generis, dan mengungkapkan bahwa tidak
ada agama sejati tanpa suatu pembedaan antara yang suci (holy) dan yang profane.
William Brede Kristensen, melihat fenomenologi agama sebagai pelengkap
pendekatan historis dan filosofis. Tugas fenomenologi adalah melakukan
pengelompokkan secara sistematis tentang karakteristik data untuk menggambarkan
watak keagamaan manusia. Fenomenologi hendak mengungkapkan elemen-elemen
esensial dan tipikal dari agama. Fenomenologi adalah prasyarat bagi filosofis dalam
menentukan esensi agama.
PENDEKATAN SOSIOLOGIS
Sejak akhir abad ke 18, sosiologi merupakan bagian dari satu disiplin ilmu
yang memiliki jangkauan sangat luas. Berbeda dengan disiplin ilmu lainnya,
sosiologi berusaha melihat gejala kehidupan sosial dari analisa-analisa ilmiah dan
sekaligus hasil proses reset pada suatu objek tertentu. Sehingga dalam hal ini,
sosiologi dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni sosiologi murni dan sosiologi
terapan.Sosiologi murni (pure science) merupakan pencarian pengetahuan;
penggunaan praktisnya bukan merupakan perhatian utama. Sementara sosiologi
terapan (applied science) adalah pencarian cara-cara untuk mempergunakan
pengetahuan ilmiah guna memecahkan masalah praktis (Ishomuddin, 1996).
Dari pengertian tersebut, nampaknya pengertian kedua lebih relevan sebagai
sebuah alat analisa dalam mengkaji sebuah objek permasalahan. Atau dalam
bahasa lain, pengertian kedua dapat dijadikan sebagai kerangka analisa terhadap
fenomena agama yang berada di tengah masyarakat. Dan pada kenyataan, banyak
orang memandang sosiologi sebagai ilmu terapan guna memecahkan persoalan
sosial.
Agama sebagai refleksi sosiologis setidaknya dapat ditempatkan sebagai
gejala sosial yang tidak lagi dipandang semata-mata sebagai suatu yang sakral dan
eskatologis. Dalam pandangan Amin Abdullah (1996: 9), agama pada sekarang ini
tidak dapat didekati dan difahami hanya lewat pendekatan teologi-normatif semata-
mata, sebab ada pergeseran paradigma dari pemahaman yang berkisar pada
"doktrin" ke arah entitas "sosiologis", dari diskursus "esensi" ke arah "eksistensi".
Jika ditinjau dari sudut sosiologis, Agama berarti perintah moral yang secara
logis menjadi konsekuensi dari ajaran Tuhan (Aep Kusnawan, 1997). Agama baru
dipandang nyata apabila setelah ia dihadapkan atau dibenturkan pada kenyataan-
kenyataan kehidupan sosial. Hal ini erat kaitannya dengan pesan agama yang
mengajarkan bahwa kehidupan duniawi merupakan salah satu bagian penting dari
mata rantai yang ikut memformat kehidupan (ukhrawi) kelak.
Karena itu, pesan keagamaan perlu disesuaikan dengan proporsisi- proporsisi
duniawi. Suatu penyesuaian di mana persepsi keagamaan mengenai tata alam
semesta dan moralitas kemanusiaan agar selaras dengan kenyataan dan
problematika hidup manusia yang penuh dinamika.
Dari tinjauan sosiologis, agama adalah ciri kehidupan sosial manusia secara
universal, yang berarti semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-
pola perilaku yang memenuhi syarat agama (Ishomuddin, 1996). Dengan demikian,
agama menjadi super struktur yang di dalamnya terdapat simbol, citra, kepercayaan,
dan nilai-nilai spesifik makhluk manusia yang mereka interpretasikan sesuai dengan
keberadaannya. Namun, agama juga mengandung komponen ritual, maka sebagian
agama tergolong juga dalam struktur sosial.
Proses keagamaan yang semacam ini tentu memiliki implikasi sosial yang
tidak hanya bersifat monologis melainkan menimbulkan persoalan jauh lebih
komplek. Karena agama telah terkonstruk menjadi sistem sosial, budaya dan simbol.
Masing-masing agama mempunyai sistem budaya, simbol, serta kepercayaaan dan
keyakinan berbeda. Semuanya berjalan satu arah tetapi jalan yang ditempuh
mungkin berbeda-beda. Apalagi jika titik persinggungan dari setiap agama itu
bertemu pada poros keyakinan, maka secara jelas setiap agama akan saling
mempertahankan keyakinannya secara subjektif-apologis. Refleksi ini perlu kita akui
bahwa memang tidak mudah menaggalkan klaim subyektif itu dihadapan para
pemeluk agama-agama lain. Dari perbedaan cara memahami keyakinan, berubah
menjadi masalah-masalah sosial yang tidak jarang menimbulkan konflik, pertikaian
dan saling menang sendiri.
Dari kenyataan inilah maka diperlukan sebuah pendekatan alternatif yang
dapat mengurangi ketegangan pada satu aras, yakni klaim kebenaran. Pendekatan
yang agaknya bisa menjembatani hal itu adalah pendekatan sosiologis. Karena
pendekatan ini disamping mempunyai watak yang lebih humanis, juga melihatnya
dari kerangka analisa dan gejala sosial.
Manusia sebagai komunitas sosial lebih cenderung dilihat dari tindakan dan
perilakunya daripada kenyataan simbolis yang melekat pada dirinya. Karena itu,
menurut teori fungsional, agama adalah satu sistem keyakinan persoanal yang
melahirkan banyak pengalaman. Sehingga jika kita bertanya kepada satu orang
dengan orang lain, tentu jawabannya berbeda, meski keyakinannya sama, apalagi
hal ini berjalan lintas agama secara logis tentu jauh berbeda tingkat pengalamannya.
Pengalaman transendental akan melahirkan sebuah tindakan yang bisa
berbeda antara satu agama dengan agama lain. Karena pengaruh sosial juga ikut
membentuk kedasaran yang bukan tidak mungkin akan ikut mempegaruhi
kedasaran transendentalnya. Sehingga hasil dari perenungan transendental tersebut
menumbuhkan sikap yang subyektif-apologis dengan menafikan pengalaman yang
lain.
Kemajemukan agama dipandang sebagai kenyataan obyektif yang
merupakan ciri dari kehidupan masyarakat pluralis era modern. Dengan
keberagaman agama, maka diperlukan sebuah "prinsip keteraturan". Pinsip ini
melihat bahwa keberagaman agama memiliki bagian-bagian yang berbeda yang
perlu diharmoniskan. Meminjam pikiran Auguste Comte, prinsip keteraturan sosial di
tengah masyarakat meski ada pranata dan sistem yang bermacam-macam. Dengan
prinsip keteraturan tersebut diharapkan semuanya menjadi sumber stabilitas dan
bukan pertentangan.
Dengan perpegang teguh pada prinsip keteraturan, agama akan lebih
menjadi alat intergratif. Sebab di dalamnya ada sebuah kerjasama yang dibangun
atas kesadaran dan kebersamaan. Dalam istilah Kuntowijoyo (1996) sikap toleransi
atau kerukunan harus diubah menjadi kerjasama atau koperasi demi terjalinnya
sikap komunikatif antar umat beragama. Untuk keperluan itu, umat beragama, yang
sebenarnya berada dalam fron yang sama, dapat membuat agenda bersama.
Agenda nasional misalnya, seperti masalah pembangunan, keadilan, kemiskinan,
keterbelakangan; agenda global, seperti tantangan modernitas, alienasi,
spiritualisme, dan nilai-nilai kemanusiaan pada umumnya. Dengan demikian,
agama-agama merupakan kekayaan bersama, bangsa dan kemanusiaan.
Dalam disiplin Sosiologi Agama, ada tiga perspektif utama sosiologi yang
seringkali digunakan sebagai landasan dalam melihat fenomena keagamaan di
masyarakat, yaitu: perspektif fungsionalis, konflik dan interaksionisme simbolik.
Masing-masing perspektif memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri bahkan bisa jadi
penggunaan perspektif yang berbeda dalam melihat suatu fenomena keagamaan
akan menghasilkan suatu hasil yang saling bertentangan. Pembahsan berikut ini
akan memaparkan bagaimana ketiga perspektif tersebut dalam melihat fenomena
keagamaan yang terjadi di masyarakat.
1. Perspektif Fungsionalis
Perspektif fungsionalis memandang masyarakat sebagai suatu jaringan kelompok
yang bekerjasama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara yang agak
teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh sebagian besar
masyarakat tersebut. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil
dengan suatu kecenderungan untuk mempertahankan sistem kerja yang selaras dan
seimbang.
Secara esensial, prinsip-prinsip pokok perspektif ini adalah sebagai berikut :
1) Masyarakat merupakan sistem yang kompleks yang terdiri dari bagian-bagian
yang saling berhubungan dan saling tergantung, dan setiap bagian-bagian tersebut
berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya.
2) Setiap bagian dari sebuah masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki
fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakat secara
keseluruhan; karena itu, eksistensi dari satu bagian tertentu dari masyarakat dapat
diterangkan apabila fungsinya bagi masyarakat sebagai keseluruhan dapat
diidentifikasi.
3) Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan dirinya, yaitu
mekanisme yang dapat merekatkannya menjadi satu; salah satu bagian penting dari
mekanisme ini adalah komitmen anggota masyarakat kepada serangkaian
kepercayaan dan nilai yang sama.
4) Masyarakat cenderung mengarah pada suatu keadaan ekuilibrium, dan gangguan
pada salah satu bagiannya cenderung menimbulkan penyesuaian pada bagian lain
agar tercapai harmoni atau stabilitas.
5) Perubahan sosial merupakan kejadian yang tidak biasa dalam masyarakat, tetapi
apabila hal tersebut terjadi, maka perubahan itu pada umumnya akan membawa
konsekuensi-konsekuensi yang menguntungkan masyarakat secara keseluruhan.
Sebagai konsekuensi logis dari prinsip-prinsip pokok diatas, perspektif ini
berpandangan bahwa segala hal yang tidak berfungsi akan lenyap dengan
sendirinya.
6) Karena agama dari dulu hingga sekarang masih tetap eksis maka jelas bahwa
agama mempunyai fungsi atau bahkan memainkan sejumlah fungsi di masyarakat.
Oleh karenanya, perspektif fungsionalis lebih memfokuskan perhatian dalam
mengamati fenomena keagamaan pada sumbangan fungsional agama yang
diberikan pada sistem sosial.
Melalui perspektif ini, pembicaraan tentang agama akan berkisar pada
permasalahan tentang fungsi agama dalam meningkatkan kohesi masyarakat dan
kontrol terhadap perilaku individu.
MENURUT JOHAN GALTUNG
Johan Galtung dekan penelitian perdamaian internasional, mendirikan
International Peace Research Institute di Oslo pada 1959. Dia membuat buku
pertamanya, Etika Politik Gandhi, sementara di penjara ia sebagai resister
rancangan, ia telah menerbitkan lebih dari lima puluh buku dan diajarkan di
universitas di seluruh dunia. Esei ini diberikan pada konferensi UNESCO tahun 1994
di Barcelona pada kontribusi agama untuk perdamaian dunia dan dicetak ulang
dengan izin dari cabang Barcelona UNESCO.
Ada banyak cara untuk memberikan beberapa struktur keagamaan. Hanya
satu hal yang pasti: apakah dilakukan melalui taksonomi, atau dengan pemetaan
distribusi geografis yang orang percaya, gambar akan relatif tidak lengkap untuk
kelengkapan subjek. Namun itu harus dilakukan: bagaimana lagi yang bisa kita
diskusikan melalui potensi perdamaian agama-agama? Selain itu, ada beberapa
nilai yang datang melalui taksonomi, dengan asumsi bahwa dua peta, melihat
religio-scape dari sudut yang berbeda, lebih dari dua kali lebih baik sebagai salah
satu peta, seperti rekaman stereoponis atau bilinguism.
Pada Gambar 1 tidak begitu lengkap. Hanya agama besar yang disertakan,
dan mereka terbagi menjadi tiga kelas utama: Occidental agama, yang terinspirasi
oleh Kitab, Perjanjian Lama; agama Hindu, yang disebut Hindu, mengikuti tradisi
lumping pendekatan keagamaan bersama di bawah satu judul, dan agama-agama
Oriental, terinspirasi oleh ajaran-ajaran Sang Buddha.
Beberapa asumsi dasar dari dua ekstrem dalam pengalaman religius,
Protestan dan Buddhisme Mahayana, ditemukan di bagian atas grafik, beberapa
subdivisi berada di tengah, beberapa turunan sekuler di bawah itu lagi, dan di bagian
bawah beberapa indikasi dari distribusi geografis diberikan.
Gambar 1.
Sebuah Peta Agama-agama Dunia
1. Pribadi Allah
2. Singularist
3. Universalis
4. Pribadi Jiwa
5. Hidup Kekal
1. Bukan
Tuhan
2. Pluralis
3.
Particularist
4. Jiwa Tidak
ada
5. Nibbana
Occidental Agama
Kitab - Kitab (PL)
Oriental Agama
Ajaran Sang Buddha
Agam
a
Yahu
di
Kekristenan Islam Hind
u-
aliran
Murni Yg dicampur
Protest
an
Orothod
ox
Katolik
Sun
ni
Syia
h
Utara
Tantra
Lamais
m
Selatan
Hinayan
a
Therava
da
Timur
Mahaya
na
Cina
Taoisme
Konghuc
u-
aliran
Agama
Budha
Jepang
Shintois
me
Konghuc
u-
aliran
Agama
Budha
Sekul
er:
Israel
(AS)
(Liberalis
me)
Amerika
Utara
BL Eropa
(Marxis
me)
S.
America
SW.
Eropa
(Anarkis
me)
Rusia
SE
Eropa
(Gandhi
sm) Tibet
Mong
olia
Sri
Lanka
Borma
Thailand
Malaysia
Vietn
am
Korea
Cina
Jepan
(Maois
me)
Cina
Taiwan
Hong
Kong
Singap
(Japani
sm)
Jepang
Polandi
a
Hongari
a
Filipina
Kampuc
hea
Laos
g ura
Dari tabel ini, dua hal yang dapat dipelajari: bahwa ada variasi ekstrim dalam
pengalaman religius, dan bahwa ada logika geografis untuk variasi ini. Ini bervariasi
dengan bujur daripada dengan lintang. Ketika kita bergerak ke arah timur Allah
meninggal di suatu tempat antara Hindu dan Budha. Sebelum itu, antara Islam dan
Hindu, Setan telah tiada. Dan iman dipilih atau tumbuh menjadi tidak lagi dilihat
sebagai berlaku universal; validitas bagi saya / kami tidak berarti validitas untuk
semua.Jiwa individu secara bertahap perlombaan, dari simpul kepemilikan individu
dalam kehidupan ini, melalui kepemilikan bersama dengan orang lain dalam
serangkaian reinkarnasi, untuk penyebaran kabur dari ego ke jaring dengan orang
lain, jumlah total dari semua hubungan dengan makhluk lain , masa lalu, sekarang
dan masa depan.Tujuan hidup berubah secara dramatis: dari kelanjutan abadi
eksistensi individu, di samping Tuhan, transendensi ke keberadaan yang lebih tinggi
tanpa identitas individu dan permanen, nibbana.
Sekarang kita harus memahami varietas pengalaman religius sebagai bidang
lingkaran, dibagi menjadi sektor, satu untuk setiap wacana agama: Yahudi, Kristen,
dll Ada dapat sejumlah subdivisi dari sektor: jumlah sektor adalah tak terbatas,
terbuka. Agama membagi dan menyatukan; agama baru muncul. Jumlah itu tidak
masalah, untuk citra yang akan dikembangkan tidak tergantung pada wacana
keagamaan spesifik dan jumlah mereka. Jumlah cara pengelompokan 360 derajat
akan selalu tak terbatas. Mereka yang tertarik dalam jumlah yang mungkin membuat
derajat proporsional dengan penganut yang tertentu (sub-, iman subsub-). Dan
mungkin layak dicatat bahwa jika gambar 1 dilipat, Yudaisme dan amalgam Jepang
menjadi tetangga, Rakyat Terpilih agama par excellence.
KERAS LEMBUT
1 Allah adalah transenden, di atas Allah imanen, di dalam
2 Allah telah Dipilih Rakyat Orang-orang Terpilih Dewa
3 Ada Setan, di bawah Tidak ada Setan
4 Setan Dipilih orang Orang-orang Terpilih setan
5 Monoteisme - unitaris Politeisme - trinitarian, quaternarian
6 Dualisme & Monisme Dualisme
7 Universalisme / singularism Partikularisme / pluralisme
8 Negara telah Terpilih Agama Agama tidak memiliki Negara Terpilih
Semua dimensi-dimensi yang bermasalah. Tapi gambaran keseluruhan tetap
dapat memberikan makna konkret untuk keras dan lembut. Dengan demikian, Allah
yang transenden di luar manusia - sebagai Bapa-Sky, misalnya - dan menjadi
metafora untuk jarak vertikal meskipun ada jaminan dari kasih-Nya bagi kita semua.
Jika di samping itu dia adalah pemilih, memilih beberapa orang untuk orang lain
("semua manusia adalah anak-anak-Nya, tetapi beberapa lebih dari yang lain"),
maka tidak ada perpecahan saja, tetapi juga peringkat, hirarki:
manusia atas seluruh alam (speciesism)
pria di atas wanita (seksisme)
orang dewasa terhadap anak-anak (ageism)
kulit putih terhadap nonkulit putih (rasisme)
kelas atas terhadap kelas bawah (classism)
sendiri bangsa terhadap bangsa lain (nasionalisme)
sendiri negara terhadap negara lain (patriotisme)
MENURUT BUSTER G. SMITH
Pluralisme agama telah lama menjadi ciri masyarakat Amerika tetapi tidak
pernah benar-benar terlihat dalam 40 tahun terakhir. Data dari Agama 2000 dan
Survei Politik yang menganalisis untuk menguji apa faktor-faktor sosial yang paling
mungkin menyebabkan penerimaan dan penolakan terhadap tradisi keagamaan
lainnya. Faktor analisis dari delapan pertanyaan mengenai sikap terhadap agama-
agama lain mendefinisikan dua tindakan yang berbeda dari pandangan dunia
pluralistik. Sementara paparan ide-ide keagamaan asing adalah bagian penting dari
sebuah pandangan dunia yang inklusif, denominasi dan kegiatan keagamaan adalah
prediktor kuat dari eksklusivitas. Temuan selanjutnya menunjukkan pentingnya
pandangan dalam mempengaruhi agama, tindakan politik dan sosial.
Ada 3 faktor yang berperan penting dari analisis ini dan dijabarkan sebagai
berikut:
Fak to r per tama me l ipu t i t i ga per tanyaan yang berka i tan dengan
supremas i dan kecukupan Kristen dan klaim kebenarannya.
1. Tiga pernyataan yang dihadirkan adalah "Tuhan telah sepenuhnya
dinyatakan kepada manus ia da lam Yesus Kr is tus" , "
Kekr i s tenan ada lah cara te rba ik un tuk memahamiTuhan" , dan
"A ja ran Gere ja ada lah cara te rba ik yang k i ta m i l i k i un tuk
berhubungandengan Allah".
2. Bagi seseorang yang setuju dengan ketiga klaim ini, kekristenan
berisi semua klaimkebenaran yang diperlukan untuk keselamatan
dan merupakan metode optimal untuk tujuan keselamatan.
3. Bagi seseorang yang tidak setuju terhadap ketiga klaim ini,
Kekristenan mungkin tidak benar, tidak lengkap, atau hanya salah
satu cara yang mungkin untuk dapat memahamidan mengungkapkan
Tuhan.
4. Dengan demikian, skor dari ketiga pertanyaan tersebut dijumlahkan
untuk membuatsebuah ukuran keeksklusifan Kristen dan keinklusifan
dengan skor rendah yang mewakilieksklusif dan skor tinggi yang artinya
responden menunjukkan sikap inklusif terhadaptradisi-tradisi
keagamaan lain.
5. Ukuran ini memiliki nilai Cronbach Alpha 0,74 dengan 5,170 orang
menjawab semuatiga pertanyaan
Faktor kedua melibatkan tiga pertanyaan tentang cara alternatif untuk
mencari tahutentang Tuhan.
1. Tiga pernyataan adalah "Semua agama mengandung beberapa kebenaran
tentang Allah","Semua agama adalah cara yang sama baiknya untuk
mengetahui tentang Tuhan", dan"Tuhan hanya dapa t d ike tahu i
ke t i ka seseorang mengosongkan p ik i ran mereka dan melihat ke
dalam diri mereka".
2. Kese tu juan un tuk per tanyaan per tama merupakan s ikap
re la t i v i s t i k , d imana agama semuanya mengandung kebenaran tetapi
belum tentu semuanya sama. Pertanyaan kedualebih jelas pluralis, secara
eksplisit menyatakan bahwa semua agama adalah sama.
3. Akhirnya, pertanyaan ketiga tampaknya melangkah lebih jauh, menyatakan
bahwa agamadan pengetahuan mengenai Tuhan harus melampaui
agama-agama tertentu dan menjadisebuah kegiatan individu.
4. S e c a r a b e r s a m a - s a m a , k e t i g a p e r t a n y a a n n a m p a k n y a
m e w a k i l i p e n e r i m a a n a t a u pemberhentian terhadap penyamaan
semua agama.
5. Sekali lagi, jumlah dari tiga pertanyaan menciptakan ukuran sikap
terhadap pluralismeagama.
6. Nilai rendah mewakili kesetujuan bahwa semua agama sama-sama sah dan
tidak ada satuagama pun yang lebih unggul, sementara nilai yang
tinggi berarti bahwa baik agamatunggal adalah benar, atau tidak ada
agama yang mengandung kebenaran tentang Allah.
7. A l p h a u n t u k u k u r a n i n i a d a l a h 0 , 6 2 d e n g a n 4 , 9 6 8 o r a n g
m e n j a w a b s e m u a t i g a pertanyaan.
Faktor ketiga hanya melibatkan dua pertanyaan dan dikeluarkan / tidak dipakai
untuk analisa lebih lanjut.
1. W a l a u t i d a k d i p a k a i , m e n a r i k u n t u k d i c a t a t b a h w a d u a
p e r n y a t a a n y a n g t e r l i b a t tampaknya serupa da lam bahwa
mereka berb ica ra dengan k la im ep is temo log is
danketidaklengkapan agama apapun.
2. Pernya taan mengena i "Tuhan ada lah mis te r i dan t idak
pernah dapa t d ipahami o lehmanus ia " dan "Dok t r in Agama
mengha lang i ja lan un tuk benar -benar berhubungan dengan
Allah" menyimpulkan bahwa daripada mengatakan satu agama dapat
memilikisemua Kebenaran, persetujuan atas pernyataan diatas
berarti : Tidak ada agama apapunyang bisa membuat klaim kebenaran
yang akurat tentang Allah.
Agaknya, karakteristik agama, baik dalam institusi dan aktivitas, akan
menjadi penting dalammembentuk baga imana seseorang
memperseps ikan agama-agama la in .Sa tu ca ta tan pen t ing dengan
semua analisis berikutnya adalah bahwa urutan penyebab dapat
dipertanyakan dalam beberapa keadaan.Sebagai contoh, seseorang mungkin
milik suatu denominasi Injili karena mereka percaya bahwaYesus Kr is tus
ada lah sa tu -sa tunya ja lan un tuk mencapa i kese lamatan ,
sedangkan a ja ran denominasi ini seharusnya membantu untuk mempengaruhi
sikap anggota terhadap agama lain.
B e r i k u t a d a l a h h a s i l d a r i a n a l i s a T L E p e r t a m a m e n g e n a i
p e n g a r u h s o s i a l y a n g menyebabkan ke-eksklusivitas Kristen atau inklusivitas.
1 .Mode l 1 men je laskan 18 ,95% dar i va r ians pada ukuran
keeksk lus i fan Kr i s ten . Bukti tampaknya dicampur untuk mengetahui apakah paparan
mengenai berbagaipandangan dunia lebih mengarah ke inklusivitas.
Orang yang lebih terpelajar menghadiri layanan keagamaan non-Kristen
atau memilikiteman yang Yahudi, Hindu, dan Buddha cenderung lebih
menerima klaim kebenarannon-Kristen.Orang yang telah hidup lebih lama
dapat diharapkan telah bertemu orangdari berbagai latar belakang sehingga
lebih menerima.Baik perempuan, tua,kurang berpendidikan,Hispanik, berkulit Putih,
dan belum menikahsemua cenderung membuat o rang leb ih cenderung
mengatakan bahwa semua agama adalah sama.Dengan demikian,
seiring bertambahnya usia, orang tampaknya menjadi leb ih eksk lus i f dan
l eb ih p lu ra l dan d is i s i l a in , men jad i leb ih ink lus i f dan
kurang pluralistik jika mereka semakin lebih terdidik.
2.Model 2 mengganti kategori tradisi-tradisi keagamaan pada Steensland
dkk (2000)sebagai pengganti paparan pluralistik.
Model 3 mengukur langkah agama dengan frekuensi kegiatan daripada tradisi.
Untuk pertemuan, ada enam kategori:
1. lebih dari sekali seminggu,
2. sekali seminggu,
3. hampir setiap minggu,
4. sekali atau dua kali sebulan,
5. beberapa kali setahun, dan
6. tidak pernah.Baik berdoa dan membaca Alkitab, frekuensinya dibagi menjadi
lima pilihan: setiap hari,sekali atau dua kali seminggu, beberapa kali
sebulan, hampir tidak pernah, dan tidak pernah dimana skor yang lebih
tinggi untuk ketiga jenis kegiatan keagamaan tersebut berkaitan
dengan sedikitnya ritual dalam kehidupan seseorang.
Model 4 mencakup semua variabel demografi sebelumnya, paparan
pluralistik,agama, tradisi dan kegiatan keagamaan.
Meskipun eksklusivitas dan inklusivitas merupakan elemen penting dari bagaimana
orangmemahami agama-agama lain, hal ini tidak lengkap. Orang bisa
percaya bahwa agama-agama la in memi l i k i unsur -unsur kebenaran
tanpa me l iha t mereka harus me lakukan ibadah sama dengan
la innya . kedua s ikap te rhadap p lu ra l i sme menentukan
apakah responden melihat semua agama sebagai sama.