22
Penerapan Prinsip Kepatutan dan Kesantunan dalam Tuturan Remaja: Sebuah Kajian Sosiopragmatik Nuraidar Agus, S.S., M.Hum. Balai Bahasa Ujung Pandang [email protected] Abstrak Bahasa merupakan cermin budaya yang terefleksi melalui kekhasan aspek-aspek sosial budaya masyarakatnya, termasuk perilaku komunikasi yang turut memengaruhi, memelihara, mengembangkan dan mewariskan budaya yang bersangkutan. Dalam komunikasi sehari-hari tuturan yang digunakan oleh register remaja, di kota Makassar menggunakan seperangkat kode-kode linguistik yang mampu menghasilkan efek komunikasi bernuansa etis atau tidak etis, yang patut atau tidak patut, dan santun atau tidak santun. Untuk merepresentasikan kesantunannya dalam bertutur, remaja di Kota Makassar biasa menggunakan cara bertutur secara tidak langsung, dengan memanfaatkan penggunaan pemarkah kesantunan, seperti bentuk honorifik, kata sapaan, hedges, implikatur. Pemanfaatan bentuk tersebut bertujuan agar mereka dapat dianggap sebagai penutur yang santun, yang lebih mengutamakan penyelamatan muka dan memperkecil ketersinggungan serta berusaha menghindari Face- threatening Act. Kata Kunci: Prinsip kepatutan dan kesantunan, tuturan remaja, sosiopragmatik 1. Pendahuluan Dalam perspektif sosiopragmatik, penggunaan bahasa akan berhubungan dengan norma yang berlaku dalam komunitas atau PRAG

Tugas Membuat Catatan Kaki Dan Kutipan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tugas

Citation preview

PRAGPenerapan Prinsip Kepatutan dan Kesantunan dalam Tuturan Remaja: Sebuah Kajian Sosiopragmatik

Nuraidar Agus, S.S., M.Hum.Balai Bahasa Ujung [email protected]

Abstrak

Bahasa merupakan cermin budaya yang terefleksi melalui kekhasan aspek-aspek sosial budaya masyarakatnya, termasuk perilaku komunikasi yang turut memengaruhi, memelihara, mengembangkan dan mewariskan budaya yang bersangkutan. Dalam komunikasi sehari-hari tuturan yang digunakan oleh register remaja, di kota Makassar menggunakan seperangkat kode-kode linguistik yang mampu menghasilkan efek komunikasi bernuansa etis atau tidak etis, yang patut atau tidak patut, dan santun atau tidak santun. Untuk merepresentasikan kesantunannya dalam bertutur, remaja di Kota Makassar biasa menggunakan cara bertutur secara tidak langsung, dengan memanfaatkan penggunaan pemarkah kesantunan, seperti bentuk honorifik, kata sapaan, hedges, implikatur. Pemanfaatan bentuk tersebut bertujuan agar mereka dapat dianggap sebagai penutur yang santun, yang lebih mengutamakan penyelamatan muka dan memperkecil ketersinggungan serta berusaha menghindari Face-threatening Act. Kata Kunci: Prinsip kepatutan dan kesantunan, tuturan remaja, sosiopragmatik

1. PendahuluanDalam perspektif sosiopragmatik, penggunaan bahasa akan berhubungan dengan norma yang berlaku dalam komunitas atau masyarakat bahasa. Dengan adanya norma tersebut, pengguna bahasa dituntut menggunakan bahasanya dengan patut (proprietary), yaitu dengan memerhatikan status, hubungan dan jarak sosial antara penutur dan mitratutur, baik hubungan secara vertikal maupun secara horisontal. Kepatutan yang dimaksud tidak terlepas dari kaidah atau norma sosial yang telah diatur dalam adat dan kebiasaan masyarakat penutur yang secara tidak langsung terpolakan dalam dalam bentuk tuturan yang dianggap pantas dan tidak pantas atau santun (polite) atau tidak santun (apolite).Tak berbeda dengan budaya masyarakat lain, dalam konteks budaya masyarakat Bugis-Makasaar pun dikenal aturan atau norma pertuturan yang baik yang secara konvensional dipatuhi secara bersama-sama oleh kolektifnya. Melalui norma tersebut, pengguna bahasa disyaratkan menggunakan bahasanya secara patut (propriarty). Kepatutan penggunaan bahasa tersebut terkait erat dengan kesantunan berbahasa yang sangat ditentukan oleh hubungan antara penutur dan mitratutur. Tidak semua pertuturan yang dilakukan oleh X berterima bagi Y dan sebaliknya. Sebuah tuturan mungkin patut atau boleh digunakan pada suatu peristiwa khusus, tetapi tidak patut atau tidak boleh untuk peristiwa lain, sekalipun partisipannya sama. Terciptanya sikap dan perilaku yang patut dalam berbahasa, sangat terkait erat dengan konteks, yakni siapa yang berbicara kepada siapa, di mana pertuturan itu berlangsung, bagaimana situasi pertuturan itu, hal apa yang dipertuturkan, bagaimana dan untuk apa itu dilakukan, dan seterusnya. Konteks yang dimaksud tersebut sesuai dengan akronim yang dinyatakan oleh Hymes, yaitu SPEAKING: setting, participant, act sequence, key, instrument, norms, dan genre. Komponen-komponen tutur inilah yang turut memengaruhi bentuk tuturan, pola-pola, dan strategi bertutur.Berdasarkan komponen penuturnya, faktor usia dianggap potensial mendeskriminasikan bentuk dan corak berbahasa seseorang, termasuk memetakan dialek sosial yang dapat memberikan warna bahasa sesuai usia penutur. Berdasarkan usia, kelompok masyarakat penutur terbagi menjadi penutur kanak-kanak, penutur remaja, dan penutur dewasa.

Buatlah catatan-catatan kaki untuk kutipan di bawah ini!Secara umum, fase remaja ditandai dengan karakteristik fisik yang berbeda dengan fase usia di bawah dan di atasnya. Masa remaja pun dicirikan antara lain senang berpetualang, senang membentuk komunitas secara berkelompok, dan sangat dekat dengan kenakalan. Fenomena-fenomena seperti ini patut dipahami karena kondisi fisik dan psikis mereka berada pada fase transisi. Menurut Soemarsono, bahwa kondisi seperti itu sangat memengaruhi kondisi kebahasaan mereka sebagai komunitas penutur.(2002: 158) [footnoteRef:2] [2: Sumarsono, Sosiolinguistik, (Yogyakarta: Sabda,2002),h.158]

Penutur remaja merupakan kelompok masyarakat penutur yang sangat menarik untuk dikaji. Bukan saja karena usia mereka yang memasuki masa adolesen atau masa peralihan, tetapi dari segi pertuturan dan laras bahasa mereka memiliki ciri khas tersendiri. Umumnya, kelompok penutur remaja ini, memiliki kreativitas yang tinggi dan mampu menciptakan kode dan strategi tersendiri dalam bertutur. Kode dan strategi bertutur tersebut hanya berlaku dalam kelompok mereka. Secara gamblang, dapat dikatakan bahwa prilaku negatif yang dimiliki oleh kaum remaja, yaitu keinginan untuk bebas, tercermin dalam penggunaan bahasanya. Hal itu dapat dilihat pada penggunaan bahasa yang tidak normatif, tetapi mengalami banyak penyimpangan-penyimpangan. Penyimpangan tersebut bukan merupakan bentuk kesalahan berbahasa , tetapi justru merupakan bentuk kreativitas, yang oleh komunitas mereka disebut dengan bahasa gaul, yang hanya trend sekaligus merupakan cap jempol atau style bagi kelompok penutur remaja.Representasi bahasa gaul yang digunakan oleh penutur remaja dianggap sebagai aspek yang melatari kehidupan komunitas tutur di kalangan remaja. Bahasa gaul ini sangat berbeda jauh dengan tatabahasa Indonesia baku. Hal ini disebabkan bahasa gaul merupakan bahasa santai, bahasa sehari, dan bahasa pergaulan bagi kelompok penutur remaja. Dalam persebarannya, bahasa-bahasa yang digunakan oleh penutur remaja tidak memerhatikan aturan konteks yang tepat, sebagaimana yang biasa ditemukan, baik dalam bertutur secara lisan maupun dalam media elektronik, seperti pada penggunaan bahasa melalui media pesan singkat (SMS), blog, face book, dan sebagainya.Dalam kehidupan sehari-hari dapat dicermati betapa kaum remaja mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, termasuk bagaimana mereka mengimplementasikan perilaku berbahasa yang oleh sebagian orang menganggap bahasa remaja dewasa ini telah mengalami pergeseran, jauh dari perilaku-perilaku santun. Banyak yang memahami perubahan yang ada pada diri kaum remaja, namun banyak pula yang meragukan citra remaja sebagai generasi penerus bangsa yang cerdas, santun dan beradab dengan mengutamakan penggunaan bahasa yang bersesuaian,normatif atau sesuai dengan tatakrama pertuturan.Tindak tutur yang digunakan oleh penutur remaja merupakan salah satu gejala bahasa yang menarik untuk dikaji karena merupakan fenomena yang mampu mengimplikasikan perbedaan budaya. Perbedaan itu dapat menjadi masalah jika tidak ada pemahaman atas perbedaan tersebut, karena dapat menimbulkan terjadinya kesalahan dalam berkomunikasi ataupun ketaksepahaman. Terkait dengan hal itu, penulis akan mencoba membatasi permasalahan pada lingkup pemakaian tuturan register remaja yang ada di Kota Makassar. khususnya pada percakapan-percakapan dalam bentuk ungkapan atau tuturan yang dilakukan.

2. Pembahasan2.1 Prinsip Berkomunikasi Berdasarkan fungsinya, setiap bahasa yang digunakan bertujuan untuk berkomunikasi dan bekerja sama. Tanpa bahasa, manusia tidak akan mungkin bekerja sama dan berinteraksi dengan sesamanya. Dalam berbagai keperluan dan berbagai lapangan kehidupan pun bahasa memegang peranan penting. Untuk saling berinteraksi dengan baik, seringkali komunikan menggunakan varian bahasa tertentu. Hal ini dimaksudkan selain untuk memudahkan interaksi atau kerjasama juga untuk mengomunikasikan hal-hal yang dianggap bersifat rahasia, dan bukan untuk umum. Penggunaan varian bahasa seperti ini biasanya ditemui pada bahasa kaum remaja. Terdapat asumsi yang mengungkapkan bahwa budaya sebagai sistem normatif mengatur masyarakat tuturnya dalam penggunaan bahasa. Sifat normatif budaya tersebut terkait dengan aturan-aturan berbahasa yang harus diikuti oleh anggota masyarakat budaya yang bersangkutan, termasuk pada register remaja. Pandangan seperti ini, secara tidak langsung mengimplementasikan bahwa, standar bertindak tutur kaum remaja sesungguhnya tertakluk pada pandangan dunia (worldview) oleh masyarakat tutur. Cara dan bentuk bertindak tutur tersebut lama kelamaan -secara tidak langsung- akan diterapkan dan pada akhirnya menjadi kebiasaan (folkways), kemudian menjadi cara atau kebiasaan berperilaku yang dianggap wajar dan lazim dilakukan oleh penutur remaja dalam merepresentasikan perilaku-perilaku berbahasanya. Pada tingkatan selanjutnya muncullah sistem yang dianggap standar atau konvensional oleh penutur remaja, khususnya masyarakat penutur setempat, termasuk masalah kesantunan berbahasa. Sistem konvensional tersebut kemudian menjelma sebagai sistem normatif yang menentukan standar perilaku seorang remaja, termasuk dalam hal etika berbahasa baik dalam ranah keluarga, ranah pendidikan, ranah pekerjaan, ranah seremonial, dan sebagainya. Prinsip sosiolinguistik dan pragmatik mengatur bahwa di dalam berkomunikasi seorang penutur diharapkan tidak hanya harus mematuhi penggunaan bahasa berdasarkan kaidah bahasa yang bersangkutan, tetapi perlu pula mempertimbangkan apakah penggunaan bentuk bahasa yang digunakan itu sudah patut (appropriate) di dalam peristiwa tutur yang bersangkutan atau belum. Kepatutan, kewajaran, atau kelaziman dalam bertindak tutur menjadi suatu pandangan bersama di dalam masyarakat bersangkutan bahwa ada perilaku yang harus diikuti sebagai tindakan sopan santun dan bertutur santun, sehingga masyarakat dapat menakar pertuturan-pertuturan yang dianggap salah atau tidak wajar/tidak patut dan pertuturan-pertuturan yang benar, patut atau pantas. Prinsip kepatutan dan kepantasan bertindak tutur secara konvensional telah diatur dalam norma yang berlaku pada masyarakat tutur yang bersangkutan. Melalui norma tersebut, pengguna bahasa disyaratkan menggunakan bahasanya secara patut (propriarty). Jadi, pada prinsipnya kepatutan penggunaan bahasa tersebut terkait erat dengan kesantunan berbahasa yang sangat ditentukan oleh hubungan antara penutur dan mitra tutur. Terkait dengan prinsip kepatutan (propiarty), maka dalam bertutur seorang penutur sebaiknya menggunakan cara atau strategi yang tepat. Pemilihan strategi saat bertutur didasarkan pada prinsip untuk mengurangi atau menghindari timbulnya keterancaman muka atau citra kedua partisipan. Berbicara seadanya dan asal bunyi berpotensial mengancam muka dan memicu ketersinggungan mitra tutur. Tentunya hal tersebut akan berakibat pada keretakan hubungan atau disharmonisasi antarpartisipan. Dalam berkomunikasi, setiap penutur berharap agar apa yang diujarkan dapat dipahami oleh mitra tutur. Untuk itu, penutur berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas dan mudah dipahami, padat dan ringkas, dan selalu langsung pada persoalan, sehingga tidak menghabiskan waktu bagi mitratuturnya. Oleh karena itu, dalam suatu peristiwa tutur peserta tutur harus menyadari kaidah-kaidah yang mengatur penggunaan bahasa, artinya peserta tutur harus memahami konteks yang melatarbelakangi penggunaan bahasa tersebut. Jadi, dapat dikatakan bahwa ada semacam prinsip kerja sama (cooperative principles) yang harus dilakukan oleh peserta tutur agar proses komunikasi berjalan lancerBruce Fraser, On Apologizing,dalam Florian Coulmas (Ed.), Conversational Routine. (Tehe Hague: Mouton,1981)George Yule, Pragmatik. Dialih bahasakan oleh Indah Fajar Wahyudi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2006)Konsep utama yang lain dalam pragmatik adalah sopan santun (politeness). Konsep tentang kesantunan telah banyak diungkap oleh beberapa ahli seperti, Fraser (1981), Brown dan Levinson 1987[footnoteRef:3], dan Leech (1980, 1983)[footnoteRef:4]. Mereka menyatakan bahwa sopan santun merupakan tingkat interaksi percakapan yang paling tinggi setelah kaidah prinsip kerja sama. Dalam konsepnya, mereka berusaha mengembangkan model sopan santun berbahasa secara eksplisit yang memiliki validitas antarbudaya. Adapun pengertian sopan menur[footnoteRef:5]ut pandangan pragmatik yang disitir dari pendapat Yule (1996: 40) dipaparkan bahwa kesantunan dapat diartikan sebagai perilaku sopan secara sosial atau etis dalam suatu budaya. Brown dan Levinson (1987), menyatakan bahwa kesantunan merupakan perwujudan dari strategi tindak tutur agar maksud penutur dapat diterima sesuai dengan keinginannya tanpa mengancam muka kedua belah pihak, baik penutur atau mitra tutur. Kecuali itu, kesantunan berbahasa juga merupakan realisasi strategi berkomunikasi. Sementara itu, Geoffrey Leech (1983: 207-240) juga membahas kesantunan berbahasa. Menurutnya, kesantunan berbahasa merupakan penerapan kaidah sosial. Leech mengukur kesantunan berbahasa dengan tiga parameter, yaitu keuntungan, keopsionalan, dan ketidaklangsungan. [3: Penelope Brown dan Stephen Levinson, Universals in Language Usage: Politenessn Phenomena, Qustions and Politeness: Strategies in Social Interaction, (Esther N. Boody (Ed) London: Cambridge University Press,1987)] [4: Geofrey Leech, Prinsip-Prinsip Pragmatik. (Jakarta: University Indonesia, 1993)] [5: ]

2.2 Tindak Tutur pada Register RemajaDalam tinjauan sosiolinguistik, penggunaan bahasa yang digunakan dalam register remaja merupakan salah satu variasi bahasa yang ditentukan berdasarkan usia karena bagaimanapun usia atau umur seseorang telah memolakan bentuk dan strategi yang sering digunakan oleh register tersendiri termasuk bahasa yang digunakan oleh register remaja.Bahasa yang digunakan oleh kaum remaja memang memiliki bentuk dan ciri khas tersendiri. Bahasa kaum remaja dikenal dengan istilah bahasa gaul atau bahasa prokem. Pemakaian bahasa gaul yang digunakan oleh kaum remaja juga mencerminkan sebuah budaya dalam register mereka. Hal itu sangat tampak pada pertuturan yang mereka gunakan baik dalam komunikasi sehari, secara formal maupun secara nonformal.Bentuk pertuturan yang digunakan kaum remaja ini sangat berbeda dengan bentuk pertuturan bahasa Indonesia yang berdasarkan tata bahasa Indonesia baku. Bahasa remaja memiliki kecenderungan memakai bahasa prokem atau slang yang memiliki kesan santai dan tidak baku. Ketidakbakuan tersebut tercermin dalam kosa kata, struktur kalimat, dan intonasi.Dalam berkomunikasi, ada dua hal yang penting diperhatikan oleh penutur remaja, yaitu kaidah dan prinsip penggunaan bahasa pada masyarakat tutur di sekitarnya. Kaidah bersifat konstitutif dan menjadi aturan tentang penggunaan bahasa yang efektif dan tepat, dan sebaliknya sesuai dengan aturan tata bahasanya. Sedangkan prinsip penggunaan bahasa terkait dengan situasi dan peristiwa tutur tertentu.

2.3 Implementasi Prinsip Kepatutan dan Prinsip Kesantunan dalam Tuturan RemajaSecara umum, masyarakat tutur yang ada di Kota Makassar, merepresentasikan perilaku berbahasanya dengan berpedoman pada adeq makkada-ada (adab/norma bertutur), yaitu semacam kaidah atau prinsip berbahasa yang bersifat regulatif. Fungsinya adalah menunjukkan tuturan-tuturan yang baik, patut, dan santun menurut konteks yang diharapkan, yaitu ada-ada malebbi (berbicara santun). Bagi penutur remaja di kota Makassar kaidah dan prinsip berkomunikasi yang sifatnya konvensional tersebut senantiasa dijalani oleh penutur remaja terutama ketika bertutur kepada mitratutur yang memiliki power atau kekuasaan dan solidaritas yang lebih tinggi darinya. Sebagai implementasi sosialnya adalah penutur remaja melakukan perilaku berbahasa dengan modus mabbicara conga. Demikian pula sebaliknya, ketika berbicara kepada mitratutur yang memiliki kekuasaan, dan solidaritas yang lebih rendah darinya, maka penutur remaja mengungkapkan tuturannya dengan modus mabbicara cukuq. Kedua bentuk pertuturan ini bertujuan untuk meminimalisasi pelanggaran dan berusaha menyelamatkan muka mitratuturnya. Ketika berbicara dengan mitratutur yang memiliki kekuasaan solidaritas yang sama dengannya, maka penutur remaja menggunakan modus mabbicara sandra. Fenomena pertuturan dengan mengutamakan prinsip berkomunikasi yang telah diatur dalam budaya Bugis-Makassar tersebut tidak terlepas dari pengutamaan konsep untuk saling menghargai (sipakarja), saling memuliakan (sipakalebbi) dan saling menyangi (sipakamas) antara satu dengan lainnya.Pada dasarnya penutur remaja di Kota Makassar berusaha mere-presentasikan tuturannya sepatut dan sesantun mungkin dengan menggunakan pola dan strategi bertutur tertentu. Selain menggunakan strategi tak langsung, seperti pada tindak tutur memerintah, melarang, memohon, menolak, dan sebagainya, penutur remaja juga menggunakan strategi bertutur secara langsung terutama pada jenis tindak tutur tertentu. Implikasi bentuk kesantunan yang lain, tampak pada penggunaan pemarkah kesantunan baik yang berbentuk kata, frasa, maupun klausa. Penggunaan pemarkah kesantunan yang sering digunakan oleh penutur remaja adalah bentuk honorifik, kata sapaan, deiksis persona, hedges, kata arkais, eufemisme, implikatur, sarkasme, dan sebagainya.Pada dasarnya setiap pertuturan yang terjadi, baik dalam lingkungan formal ataupun tidak normal, diharapkan terjadi komunikasi verbal yang dapat berterima antara komunikan, dengan mengutamakan penyelamatan muka atau citra kedua belah pihak. Fenomena pertuturan yang demikian diharapkan akan terjadi dan terus terjalin dengan tetap mengutamakan prinsip kesantunan. Untuk kepentingankajian ini, penulis akan melihat implementasi prinsip kepatutan dan kesantunan yang digunakan oleh penutur remaja kepada mitratuturnya, baik kepada orang tua, remaja ataupun anak-anak. Untuk mencapai tujuan sebagaimana yang diinginkan oleh penutur remaja melalui tuturannya, biasanya mereka menggunakan cara bertutur yang berbeda ketika bertutur kepada orang yang lebih tua, kepada sesama remaja, atau kepada anak-anak. Berdasarkan analisa bahwa perbedaan bentuk dan konten atau isi tuturan remaja tersebut terletak pada representasi prinsip kepatutan dan kesantunan ujaran yang berusaha dilakukan oleh kaum remaja di kota Makassar. Pada beberapa tuturan yang diungkapkan oleh remaja tampak bahwa mereka senantiasa menggunakan pemarkah linguistik seperti kata sapaan, bentuk honorifik atau kategori fatis sebagai piranti penanda daya ilokusinya tanpa diikuti oleh ungkapan lain, sebagaimana ungkapan berikut;(1) A :Kak Ecy, sudahmakik bayar tagihan teleponta? Hari ini terakhirmi.Kak Ecy, kamu sudah bayar tagihan teleponmu? Hari ini sudah terakhir.

B: Oh, belumpi Ndik. Temanika pale!Oh, belum dik! Kalau begitu temani saya ya!

Ungkapan yang dituturkan oleh seorang remaja kepada tetangganya merupakan ungkapan memerintah secara tidak langsung. Dianggap lebih santun karena mereka menggunakan katakata sapaan ndik adik dan kata yang berkategori fatis kik dan ta. Kik dan ta merupakan bentuk kategori fatis sebagai penanda daya ilokusi dalam bahasa Bugis-Makassar. Kata sapaan dan kata berkategori fatis yang mengikuti verba tersebut dapat berfungsi sebagai pelembut ujaran yang ditujukan kepada mitratutur baik yang memiliki hubungan vertikal ataupun horizontal dan memiliki kekuasaan yang lebih tinggi, seperti usia yang lebih tua, lebih muda, atau usia sama tetapi mempunyai tingkat keakraban yang kurang dengan penutur. Dalam bahasa Bugis-Makassar dikenal beberapa bentuk honorifik sebagai pemarkah kesantunan, seperti kik, -nik, -ko, -no, -ta, ta-. Bentuk honorifik tersebut mengacu pada kata ganti persona. Kik, -ta dan nik, merupakan kata ganti persona pertama biasanya digunakan apabila tuturan ditujukan kepada mitratutur yang dianggap mempunyai kekuasaan dan memiliki solidaritas yang tinggi, sedangkan pemarkah -no dan -komerupakan kata ganti persona kedua yang dianggap memiliki kadar kesantunan yang lebih rendah dari -nik dankik. Bentuk honorifikini biasanya digunakan apabila tuturan ditujukan kepada mitratutur yang tidak mempunyai jarak sosial, yaitu kekuasaan dan memiliki solidaritas yang tinggi atau sedang, mitratutur yang berusia sama atau lebih muda dari penutur dan mempunyai tingkat keakraban yang tinggi.Bentuk ta kita (kamu) dalam budaya Bugis-Makassar merupakan bentuk honorifik yang merupakan kata bermakna penghargaan kepada orang kedua tunggal. Digunakannya kata kita sebagai bentuk persona kedua dan bukan kamu karena penutur remaja menganggap itulah bentuk atau pilihan kata yang sepatutnya dan lebih santun dibandingkan mereka menggunakan kata kamu. Selain penggunanan bentuk honorifik, untuk mengimplementasikan tuturan yang lebih santun, penutur remaja sering menggunakan kata sapaan, seperti Ndik dik, Dang kak, Tante, Om, cappo teman, Pak, Bu, dan kata sapaan kebangsawanan Petta,Puang, Karang dan sebagainya. Kata sapaan tersebut merupakan bentuk kategori fatis yang oleh masyarakat Bugis-Makassar dipercaya sebagai bentuk pemarkah kesantunan. Apabila seorang penutur menggunakan kata sapaan dalam tuturannya, maka ia dianggap sebagai tau makkade pembicara yang santun). Beberapa tuturan remaja yang mengimplementasikan ungkapan kesantunan seperti pada tuturan berikut;(2) A: Dimanamakik Puang? Dari tadi menunggu mamakku.Sudah di mana Puang? Ibuku menunggu dari tadi.

B: Adamaka di jalan, Nak. Macetki lagi.Saya sudah di jalan, Nak. Lagi-lagi macet.

(3) A: Etta, adaji uangta untuk pembayaran lab-ku?Bapak, cukupkah uang Bapak untuk pembayaran lab-ku?.

B: Berapa banyaknya?Berapa jumlahnya?

A: Lima ratus ribumo barangkali, karena mauka juga beli alat.Mungkin sudah cukup kalau lima ratus ribu aja, karena saya juga mau membeli alat.

Selain menggunakan bentuk honorifik, deiksis persona, atau kata sapaan, penutur remaja juga menggunakan bentuk pemarkah kesantunan yang lain, seperti penggunaan hedges. Penggunaan hedges atau pagar diyakini dapat menciptakan nuansa santun pada tuturan yang digunakan oleh remaja. Bentuk hedges ditemukan dalam bentuk, kata seperti maaf, sorry, tabek, yang mereka gunakan pada tindak tutur meminta maaf (4) atau memerintah (5) kelompok kata misalnya mungkin lebih baik, barangkali, saya tidak paham, dan sebagainya, seperti pada tuturan remaja berikut :

(4)Tabek Pak. Saya tidak sengaja. Maaf, Pak. Saya tidak sengaja.

(5) Sorry, barangkali lebih bagus kalau kita duduk di sana. Saya mau cepat turun. Maaf, Barangkali kalau Anda duduk di sana. Saya mau cepat turun.

Ungkapan meminta maaf (4) yang dilakukan oleh seorang remaja yang melakukan pelanggaran dengan menginjak kaki seorang bapak yang berdiri di belakangnya, dianggap sebagai tuturan yang santun. Dengan menggunakan pemarkah meminta maaf, tabek maaf penutur berharap mitratutur dapat segera memahami dan memaafkan pelanggaran yang diperbuatnya. Demikian halnya pada tuturan (5) penggunaan pemarkah meminta maaf, sorry dan bentuk hedges barangkali lebih bagus dalam tuturan remaja dipilih oleh penutur dengan pertimbangan mitratutur dapat bekerjasama dengan baik, dan pernyataan tersebut tidak menyinggung perasaan mitratutur. Dengan menggunakan pemarkah sorry maaf, ungkapan memerintah tersebut semakin berterima karena dianggap sebagai tuturan yang santun dan beretika. Ungkapan memerintah dengan menggunakan kata sorry atau tabq maaf merupakan tuturan yang paling banyak digunakan. Strategi ini dipilih karena penutur bermaksud memperkecil kesalahannya dan memperbesar keuntungan mitratutur dengan jalan penghindaran terhadap keterancaman muka mitratuturSesuai dengan etika bertutur dalam bahasa Bugis-Makassar, seseorang senantiasa diharapkan dapat mengungkapkan tuturannya sehalus dan sesopan mungkin. Dalam artian, jika seorang penutur sedang menyuruh mitratuturnya maka selaiknya ia mengacu pada etika berbahasa yang telah diatur dalam norma masyarakat Bugis. Apabila hal tersebut telah dijalankan oleh penutur, maka secara tidak langsung penutur telah mengutamakan penyelamatan muka terhadap mitratutur melalui tindakan mappakaraja (menghargai) atau mappakalebbi (memuliakan).Pada sisi lain, dalam kondisi kekinian, bentuk pertuturan baik secara lisan maupun tulisan, sudah mengalami pergeseran dari segi tata karma. Terdapat banyak tuturan yang dianggap kurang patut dan kurang santun padahal ditujukan kepada orang yang memiliki usia lebih tua darinya. Tuturan seperti (6) sangat tidak patut apalagi dituturkan kepada orang tua penutur. Demikian pula tuturan (7) yang diungkapkan oleh seorang adik kepada kakaknya sebenarnya bernada biasa-biasa saja, tetapi dianggap tidak patut dituturkan oleh pengirim yang lebih muda, apalagi menggunakan bentuk deiksis persona -mo,-ko dan -mu yang langsung mengacu kepada mitratutur. Penggunaan -ko, dan -mu pada tuturan yang diungkapkan oleh penutur yang lebih muda kepada mitratutur yang lebih tua dianggap tidak santun karena telah menyalahi aturan atau norma bertutur. Tuturan yang dimaksud seperti;(6) Kenapa lama sekali ko ibu, cepat ko pulang kodong ibu.Kenapa lama sekali ibu, cepat pulang ibu.

(7) Akil, berangkatmoko dulu nah, adami pacarmu. Marahki nanti.Akil, kamu berangkatlah, pacarmu sudah datang. Nanti dia marah

Seharusnya bentuk deiksis persona tersebut diganti dengan bentuk persona, -kik atau ta. Yang juga memiliki derajat kesantunan dan kewajaran yang berterima. Tuturan tersebut akan memiliki kadar kesantunan yang tinggi apabila penggunaan pronominal atau kata ganti orang kedua tunggal dan pronominal posesif atau kata ganti milik orang kedua mu- diganti dengan ta-dan pronominal posesif orang ketiga tunggal -ko diganti dengan -kik. Dalam bahasa Bugis ta- memiliki fungsi yang sama dengan mu- dan ko- pun memiliki fungsi yang sama dengan -kik. Kedua kata pertama merupakan kata yang berkategori nomina posesif, sedangkan dua kata kedua merupakan kata tunjuk sekaligus berkategori klitika yang mengacu pada orang pertama dan kedua tunggal atau jamak. Sesungguhnya, pemarkah ta- dan -kik memiliki kadar kesantunan yang lebih tinggi. Penutur bahasa Bugis yang memilih strategi bertutur dengan mengutamakan penggunaan penanda kategori fatis ta- daripada mu- atau -kik daripada -no, dianggap sebagai penutur yang santun, yang lebih mengutamakan penyelamatan muka dan memperkecil ketersinggungan serta telah berusaha menghindari Face-threatening Act (tindakan mengancam muka) pada mitratutur. Rendahnya perhatian remaja pada sikap dan perilaku bertutur secara patut dan santun, tidak terlepas dari sifat egoisme mereka, terkait dengan usia yang berada pada masa adolesen atau transisi. Selain itu, fenomena itu sangat dipengaruhi oleh zaman globalisasi yang turut berperan serta menggerus kebiasaan-kebiasaan remaja dalam bersikap dan berprilaku secara normatif. Tak bisa disangkal, bahwa akibat tidak terkontrolnya sikap dan perilaku berbahasa secara tidak patut, baik kepada mitratutur yang lebih tua ataupun yang sederajat dengannya, membuat potensi ketidak-harmonisan semakin tinggi. Secara sederhana, tradisi ini memandang bahwa suatu tuturan tertentu yang diungkapkan seorang remaja akan menimbulkan efek tertentu pula terhadap perilaku mitratuturnya. Sementara itu berdasarkan tradisi masyarakat berdasar adat dan etnis pada masyarakat tertentu maka ada pemolaan pertuturan yang harus diperhatikan termasuk rambu-rambu berkomunikasi yang sudah diatur oleh masyarakaat setempat.Kondisi ini seperti ini memang berpotensi mengancam kemerosotan moralitas kaum remaja jika tidak dibarengi dengan mengontrolan penggunaan pertuturan yang berada pada koridor yang normatif. Salah satu fenomena yang cukup meresahkan adalah bentuk pertuturan remaja yang dibuat dalam media pesan singkat atau SMS. Tampak, bahwa remaja tidak lagi mengutamakan pembatasan etika bertutur. Yang ada adalah bagaimana mereka bias menekspresikan maksud dan tujuan pertuturan itu secara efektif. Berikut ini adalah tuturan remaja yang dijaring pada beberapa pesan singkat yang dikirimkan oleh seorang remaja kepada pimpinan tempat dia bekerjaa, dan seorang remaja perempuan yang mengirim pesan kepada gurunya yang laki-laki;(8) Pak, dimanaQ? Saya mo ktmY. Ada sy mo bilg.(Pak, dimanakik? Saya mau ketemu. Ada saya mau bilang.)Bapak di mana? Saya ingin bertemu. Ada yang ingin saya sampaikan

(9) Pak, bk apa lg namaX yg ditgska baca. Pusingq de pa. pinjangka sj bukuT na..na..tq.by iin.

(Pak, buku apa lagi namanya yang ditugaskan baca. Pusinku de pa. pinjanka saja bukuta na..na thank you. By iin)Pak, apa namanya judul buku yang ditugaskankami untuk membacanya? Saya pusing deh Pak. Saya pinjam buku bapak, ya..ya..Thank you. By iin.

Terlepas dari santun tidaknya kontent atau isi tuturan yang diungkapkan oleh remaja kepada gurunya, penggunaan istilah-istilah prokem yang digunakan kepada mitratutur yang berusia lebih tua, apalagi memiliki kekuasaan yang tinggi, dianggap tidak patut atau tidak santun bahkan mereka akan digelari sebagai anak yang tidak tahu adat, tidak bermoral, bahkan kurang ajar.Dalam konteks seperti itu, mitratutur akan merasa sangat direndahkan dan berakibat pada keterancaman muka positifnya (positiveface). Salah satu akibat fatal dari situasi pertuturan seperti ini adalah saat mitratutur memutuskan hubungan berkomunikasi dengan penutur. Fenomena seperti ini terjadi, karena keinginan dan kebutuhan untuk dihargai sudah tidak dirasakan lagi oleh mitratutur. Berbeda halnya jika tuturan seperti itu diungkapkan kepada mitratutur yang memiliki usia sama atau lebih muda dari penutur, maka sikap dan perilaku berbahasa seperti itu dianggap patut atau wajar dan tidak menyalahi norma pertuturan.Berdasarkan beberapa tuturan remaja tersebut di atas dapat dikatakan, bahwa dalam menginterpretasikan dan mengapresiasikan keinginan, harapannya kepada mitratutur, remaja senantiasa menggunakan bentuk ungkapan yang bervariasi, bergantung kepada siapa, dalam kondisi bagaimana, tujuannya apa, dan seberapa pentingnya konten atau isi tuturan tersebut. Hal ini dapat dimaknai bahwa remaja yang ada di kota Makassar, termasuk remaja yang sangat apresiatif dalam menerapkan prinsip kesantunan dalam bertutur.

3. PenutupTuturan-tuturan remaja di kota Makassar dianggap masih memiliki nilai kepatutan dan derajat kesantunan yang tinggi. Penilaian tersebut diperkuat oleh data yang menunjukkan tingginya apresiasi tata krama remaja kepada mitratutur yang memiliki usia lebih tua darinya, melalui penggunaan beberapa pemarkah kesantunan, baik pemilihan diksi yang tepat ataupun penggunaan bentuk honorifik, dan penanda bentuk kekerabatan. Dalam teori kepatutan dan kesantunan bertutur (sosiopragmatik) dijelaskan bahwa jarak sosial, kekuasaan, dan kemitraan menjadi penentu kepatutan dan kesantunan pertuturan itu. Jarak sosial (social distances) ditentukan pula oleh perbedaan usia antara dua komunikan, yaitu pengirim pesan dan penerima pesan. Telah menjadi aturan atau norma bertutur bagi masyarakat Bugis-Makassar, bahwa, penutur yang memiliki usia yang lebih muda dari pada mitra tuturnya, diharapkan menggunakan bentuk pertuturan yang patut dan santun, karena kepatutan dan kesantunan itu sendiri mampu menjadi perekat hubungan dan meminimalisasi ketidakharmonisan antarkomunikan. Untuk mempertahankan hal tersebut makaremaja di kota Makassar masih mengutamakan pola-pola pertuturan sesuai norma dan kaidah yang berlaku pada masyarakatnya.

Daftar Pustaka

Agus, Nuraidar. 2005. Bahasa Prokem di Kalangan Remaja Manado. Hasil Penelitian. Manado, Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara.Agus, Nuraidar dan Nasruddin. 2008. Bahasa Prokem: Sebuah Varian Bahasa yang Menunjukkan Identitas Kaum Remaja . Majalah Dunia Pendidikan . Ujung Pandang Depdiknas. Agus, Nuraidar, dkk.2008 Tindak Tutur Direktif Kaum Remaja Dalam Bahasa Bugis: Suatu Kajian Sosiopragmatik. Laporan Penelitian. Balai Bahasa Ujung Pandang.Alwasilah, A. Chaedar, MA, Ph.D. 2000. Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia. Bandung, Andira.Austin, K.L. 1962. How to Do Things With Words. New York: Oxford Universitas Press.Azis, E. Aminuddin. 2000. Usia, Jenis Kelamin, dan Masalah Kesantunan dalam Berbahasa Indonesia dalam A. Chaedar Alwasilah, MA, Ph.D. dan Drs. Kholid A. (ed.) Prosiding Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing. Bandung, AndiraBadudu, J.S. 1996. Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Penutur Asing dalam Ida Sundari Husen dkk. Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing. Depok Fakultas Sastra Universitas Indonesia.Blum-Kluka, Shoshana and E. Olshtain, E,. 1984. Reguest and Apologies: A Cross-Cultural Study of Speech Act Realization Patterns (CCSARP). Aplied Linguistics 5.3: 196-213Brown, Penelope,. Stephen Levinson. 1987. Universals in Language Usage: Politeness Phenomena, Qustions and Politeness: Strategies in Social Interaction. Esther N. Boody (Ed) London: Cambridge University Press..Fraser, Bruce. 1981. On Apologizing. dalam Florian Coulmas (Ed.). Conversational Routine. Tehe Hague: Mouton

__________1990. Perspective on Politeness, Journal of Pragmatics. 14: 219-236

Gunarwan, Asim. 1996. Kepatutan Ujaran di dalam Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing: Implikasinya bagi Pengajar dalam Ida Sundari Husen dkk. Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing. Depok Fakultas Sastra Universitas Indonesia__________. 1997. Strategi Mengkritik di Kalangan Penutur Bahasa Jawa: Kajian Pragmatik. Laporan Penelitian Fakultas Sastra. Universitas Indonesia.Halliday, M.A.K dan Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks. Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotika Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.Hymes, Dell. 1971. On Communicative Competence dalam Pride J.B dan Janet Holmes (ed.), Sociolinguistics. Middlesex, Penguin Books.Ibrahim, Abd. Syukur. 1992. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasiona.Kaswanti Purwo, Bambang. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta: Kanisius. Kridalaksana, Harimurti. 2000. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Leech, Geofrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: University Indonesia. Levinson, Stephen.1983. Pragmatics. London: Cambridge University Press.Lumintaintang, Yayah B. M. 2000. Pemilihan Ragam Bahasa bagi Pengajaran BIPA dalam A. Chaedar Alwasilah, MA, Ph.D. dan Drs. Kholid A. (ed.) Prosiding Konperensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing. Bandung, Andira.Moeliono, Anton M. ed. 1988. Tata Bahasa Baku Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaa. Perum Balai Pustaka.Moeliono, Anton M. 1989. Kembara Bahasa,Kumpulan Karangan Yang Terbesar. Jakarta: PT. Gramedia_______________., 1991. Santun Bahasa. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Departemen Pandidikan dan Kebudayaan.________________1991. Sosiolinguistik: Suatu pengantar. Jakarta: PT. Gramedia, Pustaka UtamaPateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung : AngkasaSahertian, Debby. 1999. Kamus Bahasa Gaul. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.Searle, John. 1969. Speech Acts: An Essay in Philosophy of Language. Cambrige: Cambridge University PressSumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda

Trudgill, Peter. 1984. Sosiolinguistik: Satu Pengenalan; Dialihbahasakan oleh Nik Safiah Karim. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Kementerian Pelajaran Malaysia.Wardhaugh, Ronald. 1989. An Introduction to Sociolinguitics. Oxford: Basil Blackwell.Wijana, Putu dan Muhammad Rohmadi. 2006. Sosiolinguistik. Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka PelajarYudi Cahyono, Bambang. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surakarta: Airlangga University Press.Yule, George. 2006. Pragmatik. Dialihbahasakan oleh Indah Fajar Wahyudi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar