127
GINEKOLOGI YANG RELEVAN DENGAN ANDROLOGI Pendahuluan Perawatan dan penanganan yang berhasil pada pasangan yang infertil membutuhkan suatu pendekatan multidisiplin yang mendukung dan memberikan konseling pada pasangan tersebut sebagai suatu kesatuan. Skema alur di gambar 1 memampukan para dokter non-ginekologi mengapresiasi langkah-langkah diagnostik dan terapeutik utama yang perlu untuk mengevaluasi dan menangani faktor-faktor wanita dari infertilitas suatu pasangan. BAB I Riwayat Medis dan Faktor-faktor Somatis Usia Penurunan dalam fertilitas wanita dengan bertambahnya usia telah diketahui dengan baik; studi-studi inseminasi donor yang memungkinkan untuk suatu faktor pria yang konstan menunjukkan penurunan fertilitas wanita dengan pertambahan usia wanita. Gambar 2 memperlihatkan studi-studi contoh (Schwartz dan Mayaux 1982; Yeh dan Seibel 1987). IVF/ICSI yang dilaporkan dalam Register IVF Jerman (2005) dan dievaluasi secara prospektif menunjukkan suatu angka kehamilan klinis per transfer 39,7% untuk para wanita di bawah 31 tahun (n=1859), 33,5% untuk para wanita yang berada di kelompok rentang usia 31-34 tahun (n=3366); angka

Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat

Citation preview

Page 1: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

GINEKOLOGI YANG RELEVAN DENGAN ANDROLOGI

Pendahuluan

Perawatan dan penanganan yang berhasil pada pasangan yang infertil membutuhkan

suatu pendekatan multidisiplin yang mendukung dan memberikan konseling pada

pasangan tersebut sebagai suatu kesatuan. Skema alur di gambar 1 memampukan para

dokter non-ginekologi mengapresiasi langkah-langkah diagnostik dan terapeutik utama

yang perlu untuk mengevaluasi dan menangani faktor-faktor wanita dari infertilitas

suatu pasangan.

BAB I

Riwayat Medis dan Faktor-faktor Somatis

Usia

Penurunan dalam fertilitas wanita dengan bertambahnya usia telah diketahui dengan

baik; studi-studi inseminasi donor yang memungkinkan untuk suatu faktor pria yang

konstan menunjukkan penurunan fertilitas wanita dengan pertambahan usia wanita.

Gambar 2 memperlihatkan studi-studi contoh (Schwartz dan Mayaux 1982; Yeh dan

Seibel 1987). IVF/ICSI yang dilaporkan dalam Register IVF Jerman (2005) dan

dievaluasi secara prospektif menunjukkan suatu angka kehamilan klinis per transfer

39,7% untuk para wanita di bawah 31 tahun (n=1859), 33,5% untuk para wanita yang

berada di kelompok rentang usia 31-34 tahun (n=3366); angka ini turun menjadi

27,94% pada kelompok umur hingga 40 tahun (n=3923) dan lebih jatuh lagi hingga

12,3% pada pasien-pasien (n=778) yang berusia lebih dari 40 tahun. Fertilitas wanita

yang menurun dianggap berasal dari suatu penurunan yang tergantung-usia dalam

fungsi ovarium. Suatu peningkatan level-level (kadar-kadar) FSH yang paralel dengan

usia wanita mulai pada usia 25 tahun (Ebbiary dkk, 1994).

Level FSH, selain inhibin B pada fase folikuler awal dan juga AMH (Anti

Muller Hormone), terkombinasi dengan estradiol dan progesteron, adalah parameter

yang paling penting untuk mendiagnosis penurunan fungsi ovarium (Gulekli dkk. 1999;

Corson dkk. 1999). Sebaliknya, penelitian-penelitian tentang reproduksi yang dibantu

Page 2: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

(assisted reproduction) pada pasangan-pasangan di mana wanita-wanita yang lebih tua

menerima oosit dari donor-donor yang lebih muda menunjukkan angka-angka fertilitas

yang normal (Gbr. 20.3). Namun demikian, bahkan di sini angka fertilitas menurun

setelah usia 35 tahun.

Bagan 1

Gambar 2

Page 3: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Gambar 3

Wanita yang lebih tua tak dapat disangkal memiliki peningkatan risiko perubahan-

perubahan patologis akan organ-organ reproduksinya. Lagipula, suatu subkelompok

pasien dengan penurunan fertilitas berkembang di antara mereka yang tidak mengalami

konsepsi meskipun telah bertahun-tahun berhubungan badan tanpa pelindung. Pada

kasus-kasus ini usia hanyalah suatu faktor yang nyata untuk penurunan fertilitas. Sebuah

studi retrospektif dengan wawancara terstruktur setelah persalinan menunjukkan bahwa

tidak ada perubahan yang terjadi dalam hal angka latensi hingga konsepsi pada wanita-

wanita fertil yang normal antara usia 26 hingga 35 tahun (Knuth dan Muhlenstedt

1991).

Frekuensi Koitus

Penurunan dalam fertilitas dengan bertambahnya usia dilihat oleh beberapa peneliti

sebagai akibat semata-mata dari suatu penurunan frekuensi koitus per siklus (James

1979). Studi-studi lain telah menunjukkan bahwa faktor ini harus dinilai sebelum

menyebut suatu prognosis dalam terapi pasangan yang infertil (Gbr. 20.4).

Frekuensi koitus yang bertambah meningkatkan probabilitas sperma yang fertil

mencapai tuba-tuba Fallopii pada waktu yang optimal. Orang kemudian dapat

melakukan deduksi bahwa frekuensi koitus yang kurang, mungkin hanya saat ovulasi,

dapat menghasilkan angka konsepsi yang dapat diterima. Namun demikian,

Page 4: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

rekomendasi seperti itu seringkali kontraproduktif. Rekomendasi-rekomendasi untuk

melakukan hubungan badan pada hari-hari tertentu atau bahkan pada suatu waktu

tertentu dari suatu hari menyebabkan cukup stres, seringkali mencegah pasangan untuk

melakukan hubungan seksual normal dengan ejakulasi intravaginal karena disfungsi

ereksi (Agarwal dan Haney 1994).

Dokter yang berpengalaman hanya akan menyarankan hubungan seksual tanpa

pelindung sebelum dan selama “hari-hari subur”. Rekomendasi sehubungan dengan

frekuensi atau waktu dari hari harus ditahan. Studi-studi konsepsi alami telah

memperlihatkan bahwa suatu aksi tunggal hubungan seksual yang terjadi antara 6 hari

sebelum hingga 3 hari sesudah ovulasi menghasilkan kehamilan (France dkk. 1992).

Evaluasi ulang terhadap publikasi-publikasi terdahulu mengungkapkan bahwa angka

tertinggi konsepsi spontan terjadi ketika koitus berlangsung pada hari sebelum ovulasi

(Dunson dkk. 1999).

Lamanya tak memiliki anak

Lamanya tak memiliki anak secara langsung berhubungan dengan probabilitas konsepsi

dan merepresentasikan suatu parameter prognostik yang penting. Sebuah studi klinis

pada 969 pasangan orang Belanda (Eimers dkk. 1994) memperlihatkan penurunan 11%

dalam hal angka fertilitas dengan jumlah tahun hubungan seksual tak memakai

Page 5: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

pelindung. Seorang wanita yang telah menghabiskan waktu 7 tahun tak memiliki anak

secara tak sengaja memiliki hanya 50% peluang untuk hamil dibandingkan dengan

wanita yang 1 tahun mengalami infertilitas. Namun, jika ia pernah hamil sebelumnya,

maka faktor ini meningkatkan peluang untuk probabilitas hamil 74% dibandingkan

dengan populasi yang mengalami infertilitas primer.

Model-model orisinil untuk memprediksi angka fertilitas spontan pada pasien-

pasien subfertil telah diperbaharui lebih lanjut (Hunault dkk. 2005) dan dapat

memberikan bantuan yang berguna bagi perencanaan intensitas terapi selanjutnya pada

kasus-kasus infertilitas idiopatik. Suatu estimasi yang terstandarisasi dapat dengan

mudah dikalkulasi dengan menggunakan parameter-parameter berikut: lamanya tak

memiliki anak yang tak disengaja, usia wanita, infertilitas primer atau sekunder,

persentase sperma yang motil dan penanganan sebelumnya (rujukan oleh ahli

ginekologi atau dokter umum). Termasuk hasil-hasil suatu tes pascakoitus sangat

meningkatkan kualitas prediksi. Fungsi eksponensial ditemukan pada appendix dari

publikasi aslinya.

Risiko Infeksi

Probablitas bahwa infertilitas pasangan adalah terkait dengan faktor tuba meningkat

dengan jumlah pasangan seksual sebelumnya dan juga berkorelasi dengan usia pada saat

hubungan seksual pertama kali.

Faktor-faktor Psikologis

Minat seksual wanita tampaknya berkorelasi dengan fase menstruasi. Meningkatnya

libido pada fase folikuler menghasilkan peningkatan alami dalam frekuensi koitus

selama fase subur (Dennerstein dkk. 1994). Namun, terapi infertilitas dapat sangat

mengganggu seksualitas pasangan, dengan menginterupsi kejadian-kejadian fisiologis

dan mengakibatkan infertilitas fungsional. Selama terapi infertilitas disfungsi seksual

yang inherent seringkali diperbesar. Ini dapat dibagi secara simptomatis ke dalam tiga

kelompok: hilangnya libido, disfungsi orgasme, dan ketidakmampuan untuk hubungan

seksual intravaginal (Herms 1989).

Page 6: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Disfungsi Libido dan Gangguan-gangguan Orgasme

Ketiadaan hasrat seksual primer (alibidinia) adalah sangat jarang. Penurunan atau

hilangnya libido biasanya merupakan suatu perubahan sekunder. Penyebab-penyebab

psikologis, seperti depresi atau ketakutan yang berakar-dalam, dapat berakibat pada

reaksi-reaksi aversions, hilangnya hasrat seksual, atau bahkan penyimpangan-

penyimpangan seksual. Kelompok penyebab-penyebab organik meliputi dispareunia

kronis, ketidakseimbangan endokrin, dan penyakit yang merusak. Obat-obat psikotropik

seperti anti-hipertensi, penenang atau sedatif dapat mengubah libido pasien. Bahkan

keberadaan konstan pasangan seksual dapat berakibat pada apati, hilangnya gairah

seksual dan bahkan aversion seksual. Hal ini tentu saja berakibat pada berkurangnya

frekuensi koitus dan menurunnya fertilitas. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan

libido dapat juga mempengaruhi kemampuan orgasme.

Dispareunia

Berlawanan dengan terhambatnya hasrat seksual dan disfungsi orgasme, yang biasanya

adalah gangguan-gangguan psikologis, faktor utama bagi dispareunia adalah

ketidaknyamanan fisik. Hubungan seksual yang nyeri, yang disebut algopareunia,

dapat memiliki penyebab organik dan juga psikologis, yang dapat terjadi secara

sekuensial. Hubungan seksual berjangka yang direkomendasikan selama suatu program

terapi infertilitas dapat itu sendiri merupakan faktor utama dalam menginisiasi gejala

ini.

Pada beberapa pasien, vaginismus adalah suatu spasme yang nyeri dan tidak

disengaja pada lantai pelvis, menghambat hubungan seksual. Hal ini sering dikombinasi

dengan reaksi defensif dari keseluruhan tubuh dalam bentuk lordosis dan adduksi

ekstremitas bawah. Reaksi ini selalu psikologis sesungguhnya, dan sering bersama

dengan ketakutan seksual atau pengalaman seksual traumatis di masa lalu. Penanganan

pasien harus dalam bentuk psikoterapi, dan tidak pernah dalam bentuk pembedahan.

Hormon-hormon dan Seksualitas Wanita

Pengaruh faktor-faktor hormonal pada seksualitas wanita tidak sejelas seperti pada

seksualitas pria. Estrogen-estrogen diperlukan untuk reaksi vaginal yang normal selama

Page 7: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

bangkitan seksual, namun pengaruh mereka pada hasrat seksual dan orgasme wanita

tidak sejelas yang terjadi pada pria. Suatu peran penting pada libido wanita dianggap

berasal dari testosteron. Pada wanita-wanita dengan defisiensi androgen kehilangan

libido adalah gejala klinisnya yang dominan (Davis 1999a). Kehilangan ini dapat secara

efektif dikompensasi dengan substitusi androgen-androgen yang tepat (tempelan

testosteron) atau prekursor-prekursor androgen seperti dehydroepiandrosterone (Arlt

dkk. 1999; Davis 1999b). Namun, peranan hormon-hormon pada seksualitas wanita

dimodifikasi dengan kuat baik oleh faktor-faktor psikososial atau oleh hasil-hasil pada

suatu reaksi yang jauh lebih terindividualisasi ketika dibandingkan dengan yang pada

pria (Bancroft 1993).

Suatu kajian ulang yang kritis mengenai terapi androgen pada wanita (Clinical

Guidelines of the Endocrine Society) merekomendasikan penahanan dari diagnosis

defisiensi androgen wanita pada saat kini, sebagai kriteria untuk diagnosis dan metode-

metode untuk determinasinya tidak adekuat (Wierman dkk 2006). Dari sudut pandang

klinis posisi ini dapat dipertanyakan (Traish dkk 2007).

Stres

Selama terapi infertilitas stres sering disebut sebagai salah satu penyebab yang mungkin

dari gagalnya konsepsi. Namun, tidak ada definisi yang jelas akan entitas ini yang dapat

digunakan untuk studi eksperimental yang dapat direproduksi. Stres mengimplikasikan

suatu pengumpulan banyak faktor-faktor negatif yang mempengaruhi kondisi sehat,

seperti kelelahan yang berasal dari kekurangan tidur atau istirahat, ketegangan dan

ketidakmampuan menemukan pelepasan dari tekanan yang nyata atau yang

diimajinasikan. Suatu penelitian pada 420 pasangan Denmark yang mencari pengobatan

infertilitas untuk pertama kali menunjukkan penurunan probabilitas konsepsi dari 16,5

—12,8% pada pasangan-pasangan dengan skor stres yang tinggi, yakni >80th persentil

pada General Health Questionaire (Hjollund dkk 1999). Di luar studi-studi sistematis

tersebut, seringkali bukti anekdotal dan kasuistik ditawarkan untuk mendukung thesis

bahwa faktor-faktor stres menurunkan fertilitas wanita. Satu contoh yang seringkali

dikutip adalah angka kehamilan yang dianggap meningkat setelah adopsi. Namun,

sebuah studi sistematis memperlihatkan bahwa angka konsepsi 4,3% adalah sama

dengan pasangan-pasangan yang tidak mengadopsi anak (Banks 1961). Suatu kajian

Page 8: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

sistematik mengenai prevalensi infertilitas psikogenik mempertimbangkan 5% estimasi

yang realistik (Wischmann 2006). Bahwa situasi-situasi stres yang akut tidak perlu

menjadi penghalang bagi kehamilan dapat ditarik dari angka kehamilan yang tinggi

(5%) setelah pemerkosaan (Holmes dkk 1996). Walau demikian, perubahan-perubahan

siklus menstruasi yang disebabkan oleh stres telah terdokumentasi dengan baik dan

dibahas pada Sect. 20.2.4

Modulasi Imunologis dan Stres

Akhir-akhir ini hubungan resiprokal antara stres dan kejadian-kejadian imunologis telah

semakin banyak dicatat. Khususnya pada wanita tampaknya terdapat mekanisme-

mekanisme yang kuat dimana faktor-faktor imunologis menstimulasi faktor-faktor stres

dan mengakibatkan penurunan fertilitas.

Peningkatan sekresi corticotropin-releasing hormone (CRH), dengan akibat

stimulasi ACTH, menyebabkan kenaikan sekresi glukokortikoid. Hal ini memodulasi

sintesis prekursor-prekursor prostaglandin, platelet activating factor, serotonin,

cytokinins, interleukin-1 dan -6 dan tumor necrosis factor (TNF). CRH adalah bagian

dari sistem propriomelanocortin, sehingga meregulasi sekresi α-MSH dan β-endorphin,

yang dengan kombinasi bersama met-encephalin, secara langsung mempengaruhi fungsi

dan aktivitas imunosit-imunosit. Ini dapat disimpulkan bahwa suatu situasi stres dapat

secara negatif mempengaruhi implantasi melalui faktor-faktor otoimun. Interaksi

kompleks ini menjanjikan untuk menjadi area penelitian infertilitas wanita yang utama

di masa mendatang (Negro-Vilar 1993; Chrousos 1995).

Faktor-faktor Lingkungan

Yang disebut “faktor-faktor lingkungan” seringkali dikutip saat mencari penyebab

infertilitas. Namun, hampir tidak pernah mungkin untuk membuat pernyataan yang jelas

sehubungan dengan faktor-faktor lingkungan tertentu pada infertilitas wanita dan

pengaruh mereka terhadap infertilitas pasangan individual.

Definisi-definisi

Beberapa tahun yang lalu WHO menginisiasi sebuah studi tentang faktor-faktor

lingkungan yang relevan dengan fertilitas (Baranski 1993). Untuk mengukur zat-zat

Page 9: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

yang berpotensi bahaya, maka dibutuhkan sebuah parameter yang terukur. Parameter

yang sering dikutip adalah angka infertilitas. Dengan menggunakan parameter ini,

angka infertilitas suatu kelompok pasien-pasien normal dibandingkan dengan angka

infertilitas kelompok pasien yang berada di bawah pengaruh faktor lingkungan eksternal

tertentu. Masalah-masalah metodis muncul kapanpun infertilitas akan didefinisikan,

karena kondisi ini dipengaruhi oleh beragam pra-kondisi:

1. Gagal mengalami konsepsi setelah 1 tahun hubungan seksual yang tak memakai

pelindung

2. Gagal mencapai kehamilan yang dapat di discernable secara klinis setelah 1 tahun

hubungan seksual yang tak memakai pelindung

3. Gagal melahirkan bayi yang sanggup hidup setelah 1 tahun hubungan seksual yang

tak memakai pelindung.

Tiga definisi yang berbeda ini telah menunjukkan bahwa metode-metode

mengkonfirmasi suatu kehamilan sendiri dapat mempengaruhi parameter “angka

infertilitas” dan juga hasil-hasilnya.

Karena organisme tidak pernah terpapar secara eksklusif terhadap satu faktor

lingkungan yang berpotensi bahaya, maka pengaruh kofaktor-kofaktor yang mungkin

seperti penyalahgunaan nikotin, alkohol, kafein, dan substansi/zat lain harus

dipertimbangkan pertama kali. Pola-pola perilaku tertentu juga berkorelasi dengan

faktor-faktor sosioekonomi lain, yang sekali lagi mempengaruhi angka fertilitas.

Epidemiologi

Meskipun daftar-daftar yang luas ada mengenai faktor-faktor lingkungan yang mungkin

mempengaruhi fertilitas wanita (Baranski 1993), mereka biasanya sedikit digunakan

untuk konseling praktis pasangan infertil individual, karena bahkan studi-studi

epidemiologis terbaik hanya menunjukkan sedikit peningkatan risiko bagi suatu

populasi yang terpapar dengan bahaya lingkungan yang potensial secara keseluruhan.

Angka-angka infertilitas pada wanita-wanita meningkat ketika mereka secara kontinu

terpapar akan toksin-toksin seperti zat-zat anestetik, asbestos, pewarna tekstil, dan

bahan-bahan pencuci kering. Risiko infertilitas meningkat oleh suatu faktor 2,4 pada

Page 10: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

wanita-wanita yang terpapar dengan tingkat kebisingan yang tinggi (Rachootin dan

Olsen 1983). Bahkan database-database khusus tidak mampu memberi data yang

bermanfaat mengenai pengaruh-pengaruh toksik terhadap fungsi-fungsi reproduksi

manusia (Scialli 1994). Fakta bahwa kurang dari 1% dari lebih dari 60.000 zat kimia

yang termasuk dalam daftar bahan-bahan toksik telah diinvestigasi, menggambarkan

betapa besarnya masalah ini.

Bahkan studi-studi yang terkontrol baik tidak mampu memberi gambar yang

akurat tentang pengaruh faktor-faktor tertentu pada fertilitas. Sebagai contoh, sebuah

studi pada para asisten dokter gigi yang terpapar dengan uap air raksa menunjukkan

bahwa fertilitas para wanita yang membantu dalam lebih dari 30 proses pengisian per

minggu hanya mencapai 63% dari fertilitas para wanita yang tidak terpapar dengan uap

air raksa. Namun demikian, angka fertilitas para wanita dengan sedikit paparan dengan

uap air raksa adalah lebih baik daripada mereka yang menjadi kelompok kontrol yang

tidak terpapar (Rowland dkk, 1994).

Nikotin

Dibandingkan dengan faktor-faktor lingkungan yang kurang dapat didefinisikan,

paparan terhadap nikotin memiliki peran praktis yang dapat biasanya dihilangkan.

Meskipun efek nikotin terhadap fertilitas tidak secara konsisten digambarkan dalam

literatur, namun sebuah studi yang besar di Inggris dengan jelas menunjukkan efek

negatif nikotin terhadap fertilitas. konsumsi nikotin wanita mengakibatkan kenaikan

12% dalam latensi konsepsi pada 11.407 orang yang terlahir pada tahun 1958 dan

diikuti di Britania Raya. Merokok pada pria tidak menyebabkan efek negatif pada

fertilitas setelah data dikoreksi untuk faktor-faktor sosioekonomis (Joffe dan Li 1994).

Sebuah studi prospektif di Denmark pada 430 pasangan menunjukkan penurunan angka

fertilitas hingga 0,53 pada wanita-wanita yang merokok, dibandingkan dengan non-

perokok (95% confidence interval 0,31-0,91). Sebuah faktor penting adalah apakah para

ibu dari para wanita yang diteliti merokok selama kehamilan (Jensen dkk 1998).

Diketahui pula bahwa hasil-hasil IVF adalah lebih jelek pada para wanita yang merokok

(Zitzmann dkk. 2003), dan bahwa fungsi ovarium juga menurun lebih dini pada

populasi ini. Salah satu langkah awal dalam edukasi dan konseling pasien selama terapi

infertilitas adalah seharusnya meninggalkan konsumsi nikotin.

Page 11: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Sinar-X dan Radioaktivitas

Meskipun efek-efek negatif merokok terhadap fertilitas wanita telah terbukti, namun

kebanyakan wanita-wanita yang terkena tidak menyadari bahwa mereka perlu

mengubah perilaku mereka. Berlawanan dengan hal ini, pengaruh sinar-X dan

radioaktivitas terhadap fertilitas biasanya diestimasi berlebihan oleh populasi awam.

Studi-studi epidemiologis dan analisis yang rinci tentang paparan radioaktif pada

wanita-wanita sebelum konsepsi menunjukkan tidak adanya efek yang jelas (Committee

on the Biological Effect of Ionizing Radiation 1990). Sebuah studi pada 627 wanita

dengan karsinoma tiroid yang ditangani dengan iodine radioaktif (131I) memperlihatkan

tidak adanya perbedaan yang bermakna dalam hal angka fertilitas ketika dibandingkan

dengan kelompok kontrol (Dottorini dkk. 1995). Dosis radioaktif ovarium dalam terapi

demikian ditentukan 1,14 + 0,34 Gy (mean + SEM) (Izembart 1992). Dalam studi ini 12

dari 50 pasien mengalami amenore dan 38 menunjukkan tidak adanya perubahan dalam

fungsi ovarium. Namun demikian, efek usia pada saat onset (awitan) menopause tidak

secara jelas di delineated dalam studi ini. Radiasi seluruh tubuh karena penyakit

neoplastik saat anak-anak menghasilkan secara pasti dosis seluruh tubuh yang lebih

tinggi. Ini mencakup kisaran antara 20 sampai 30 Gy. Para wanita yang telah melalui

dan selamat dari bentuk terapi ini dan meneruskan fungsi ovarium seringkali melahirkan

bayi-bayi yang berberat badan lahir rendah. Hal ini dijelaskan oleh hipoplasia jaringan

uterus dan gangguan vaskularisasi (Critchley dkk. 1992). Data penelitian menunjukkan

pengaruh yang beragam dari radiasi terhadap fertilitas wanita. Ini tidak bisa dideduksi

bahwa kehamilan tidak akan dapat diperoleh pada pasien-pasien ini. Suatu dosis

ovarium 4 Gy dapat menyebabkan sterilitas pada sekitar 30% wanita muda dan pada

100% wanita di atas usia 40 tahun (Ogilvy-Stuart dan Shalet 1993). Hasil-hasil ini

digarisbawahi oleh data yang diperoleh dari pasien-pasien yang ditangani dengan

kemoterapi dan radiasi pada penyakit Hodgkin (Bokemeyer dkk. 1994).

Bidang-bidang Elektromagnetik

Berbeda dengan sedikit jumlah pasien yang terpapar dengan bahan radioaktif atau

sinar-X, hampir setiap pasien yang dilihat untuk konseling infertilitas telah pernah atau

sedang terpapar dengan bidang-bidang elektromagnetik lemah. Beberapa orang

Page 12: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

mempertimbangkan yang disebut “electro-smog” sebagai faktor kausal untuk

infertilitas. Hal ini belum terbukti untuk pasien rerata. Bahkan pada situasi-situasi yang

ekstrim, seperti personel bagian nuclear magnetic resonance imaging, tidak ada

perubahan dalam hal angka fertilitas yang nyata (Kanal dkk. 1993). Tidak bahayanya

ultrasonografi bagi fetus akan dibahas nanti.

Riwayat Medis yang Berhubungan

Fisiologi Kehamilan

Suatu penilaian riwayat medis bagi faktor-faktor wanita dan pria yang mempengaruhi

infertilitas adalah penting dalam konseling infertilitas karena seringkali pilihan-pilihan

terapeutik kausal menjadi mungkin. Notwithstanding, pertimbangan akan penyakit-

penyakit yang dapat memburuk selama kehamilan adalah penting juga, sehingga

pasangan dapat diberi konseling untuk forego terapi lanjut.

Perubahan-perubahan demikian dalam kehamilan dapat disebabkan oleh

adaptasi-adaptasi dalam sistem kardiovaskuler dan juga oleh kejadian-kejadian

imunologis. Sirkulasi ginjal meningkat 50% pada kehamilan awal. Volume darah yang

bersirkulasi bertambah selama kehamilan antara 27% dan 64%. Luaran kardiak

bertambah dari 4,5 menjadi 5,5 l/menit dan laju denyut juga naik dari 70 hingga sekitar

85 denyut/menit pada akhir kehamilan. Tidak ada perubahan besar dalam sistem

respirasi.

Ureter berdilatasi selama kehamilan dan dapat juga menjadi terkompresi. Hal ini

berakibat pada angka infeksi yang lebih tinggi dan/atau hidronefrosis. Motilitas saluran

gastrointestinal menurun. Fungsi liver biasanya tidak berubah. Aktivitas tiroid

distimulasi dengan kenaikan level iodine yang terikat-protein. Metabolisme karbohidrat

biasanya masih konstan, meskipun sedikit glukosuria adalah umum sebagai akibat dari

ambang batas ginjal yang lebih rendah untuk glukosa.

Gangguan-gangguan Medis yang Berhubungan

Penyakit paru. Tuberkulosis paru tidak akan memburuk selama kehamilan.

Kehamilan memiliki pengaruh yang baik terhadap perjalanan sarkoidosis tak

Page 13: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

berkomplikasi dengan penurunan yang mungkin akan limfoma hilus paru. Perjalanan

asma juga biasanya tidak berubah selama kehamilan.

Sistem kardiovaskuler. Penyakit kardiovaskuler yang bermanifestasi dapat memburuk

dikarenakan oleh perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada sistem

kardiovaskuler selama kehamilan. Oleh karena itu seorang pasien dengan penyakit

jantung harus berkonsultasi dengan dokter ahli jantung sebelum memulai terapi

infertilitas. Sekarang ini kehamilan bahkan mungkin setelah transplan jantung (Morini

dkk. 1998).

Penyakit gastrointestinal. Penyakit radang usus biasanya tidak memiliki efek pada

fertilitas. Namun, pada penyakit Crohn berat atau kolitis ulseratif kita sebaiknya

menunggu hingga fase kurang aktif atau tidak aktif untuk merencanakan kehamilan, jika

mungkin.

Hepatitis virus adalah suatu faktor yang jauh lebih bermakna dalam terapi infertilitas.

Sebuah kajian ditemukan dalam buletin: The Practice Committee of the ASRM (2006b).

Pada area-area yang endemis hepatitis A, para wanita biasanya menjadi imun terhadap

hepatitis A sebelum mencapai usia reproduksi. Anak-anak dari para ibu yang menderita

hepatitis A akut saat hamil menunjukkan tidak adanya efek-efek dari penyakit dan

transfer fetal dari virus HA adalah sangat jarang, hepatitis A bukanlah masalah sejati

dalam terapi infertilitas. Sebagai cara proteksi terbaik, vaksinasi dapat dilakukan saat

hamil.

Situasi dengan infeksi hepatitis B adalah lebih serius. Studi-studi pemeriksaan

pranatal di Jerman menunjukkan suatu antigen hepatitis B yang positif pada 0,73-1,73%

dari semua wanita yang diperiksa (Joosten dan Sturner 1980). Antara 20% dan 30% dari

semua ibu yang HBsAg positif menularkan virus ke anak-anaknya jika tidak dilakukan

imunoprofilaksis. Pada wanita-wanita yang seropositif untuk HbsAg dan HbeAg

angkanya meningkat hingga 90%. Namun demikian, transmisi intrauterin infeksi ini ke

fetus adalah jarang. Lebih dari 90% anak-anak yang terinfeksi mungkin disebabkan oleh

kontak langsung bayi baru lahir dengan darah ibu yang infeksius saat kelahiran per

vaginam (artikel kajian ulang oleh Heckers dan Lasch 1986).

Page 14: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Risiko yang relatif rendah akan infeksi hepatitis B intrauterin diperlihatkan saat

situasi yang tidak beruntung dimana 22 wanita terkontaminasi dengan hepatitis B pada

suatu program IVF. Semua wanita ini menderita hepatitis B akut saat trimester pertama.

Namun demikian, DNA-hepatitis B tidak bisa diisolasi dalam serum atau dalam

limfosit-limfosit dari 22 anak yang terpapar (Quint dkk. 1994).

Arti penting Hepatitis C adala lebih imminent daripada hepatitis B, karena

imunisasi pasif tampaknya tidak dimungkinkan pada infeksi ini. Pada penelitian Eropa

utara pada donor-donor darah menunjukkan angka penyakit antara 0,01% dan 0,05%.

Infeksi ini bertahan pada sekitar 80% dari semua kasus dan mengarah pada

hepatitis kronik persisten atau hepatitis aktif kronik, dengan 20-30% berkembang

menjadi sirosis. Imunisasi pasif saat ini tidak tersedia. Terapi standar dengan IFN-α dan

Ribavirin dikontraindikasikan selama kehamilan. Transmisi intrauterin hepatitis C akut

telah ditunjukkan dengan jelas. Follow-up pada 403 wanita pasca melahirkan dengan

antibodi-antibodi virus hepatitis C dan anak-anak mereka menunjukkan infeksi pada 13

dari 403 neonati (3,2%). Hal ini hanya berlaku pada bayi-bayi yang ibu-ibu mereka

positif virus-RNA. Karena enam bayi adalah positif virus RNA segera setelah kelahiran,

maka harus dianggap ada infeksi intrauterin (Resti dkk. 1998). Jika riwayat pasien

melaporkan hepatitis C, atau jika temuan demikian terjadi saat langkah diagnostik rutin

dalam terapi infertilitas, konseling harus mencakup risiko bagi fetus. Potensi terapi

interferon masih harus diklarifikasi pada kasus-kasus tertentu ini.

Risiko penularan hepatitis C kepada pasangan dari pembawa (carriers) belum

jelas (Van der Poel dkk. 1994). Hepatitis B, E, F, dan G lebih kurang arti pentingnya

(lihat detailnya dalam kajian ulang yang dikutip di atas).

Seorang pasien dengan hepatitis kronik tidak perlu mengharapkan progresi

penyakit selama kehamilan. Namun demikian, pada pasien-pasien dengan hepatitis

kronik agresif hanya bentuk otoimun tidak dipengaruhi oleh kehamilan. Prognosis pada

hepatitis B kronik agresif berkurang. Namun demikian, para ahli tidak mampu membuat

rekomendasi umum untuk situasi ini. Pada kasus varicosis esofagus oleh karena sirosis

hati, para ahli merekomendasikan sklerosis profilaksis sebelum kehamilan yang

direncanakan.

Page 15: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Berlawanan dengan berbagai bentuk hepatitis, penyakit ulseratif tidak

merupakan masalah baik sebelum atau selama kehamilan. Serangan awal jarang terjadi

selama kehamilan. Cholecystitis digambarkan lebih sering daripada penyakit ulkus

peptikum. Satu dari 1.300 cholecystectomies dilakukan saat selama kehamilan. namun,

tidak ada kebutuhan khusus akan konseling mengenai topik ini saat terapi infertilitas.

HIV. Berbeda dengan hepatitis, para wanita HIV-positif yang mencari kehamilan

merepresentasikan hanya sekelompok kecil di Jerman. Ketika ibunya seropositif, maka

probabilitas infeksi intrauterin adalah sekitar 20% jika dilakukan seksio sesarea dan jika

ibunya tidak memberi ASI. Jika ibunya diterapi (misalnya dengan azidothymide) selama

kehamilan, maka risiko infeksi bayi dapat dikurangi hingga sekitar 3%. Tidak

tergantung dari infeksi bayi yang mungkin, HIV merepresentasikan empat kali lipat

lebih tinggi risiko aborsi dan bayi lahir mati (Brocklehurst dan French 1998). Para

peneliti yang sama mendokumentasikan efek tambahan meskipun lemah dari kehamilan

terhadap perkembangan lanjut penyakit HIV (French dan Brocklehurst 1998).

Penelitian-penelitian terbaru tidak lagi mengkonfirmasi hal ini (Tai dkk. 2007). Dalam

pandangan perkembangan ini, kemungkinan-kemungkinan terapeutik harus dibahas

secara individual dengan pasangan yang terkena yang tergantung pada konseling

intensif (The Practice Committee of the ASRM 200a). Sebuah kajian tentang

rekomendasi-rekomendasi dari German AIDS Society dan German Society for

Gynecology and Obstetrics baru-baru ini terbit (Tandler-Schneider dkk. 2008).

Saluran kemih. Penyakit-penyakit pra-eksis pada saluran kemih dapat menyebabkan

komplikasi-komplikasi berat pada kehamilan. Pada kasus-kasus tertentu para pasien

harus diberi konseling untuk menolak terapi infertilitas lanjut. Saat penyakit ginjal akut

seperti pyelonephritis atau glomerulonephritis, kehamilan harus dihindari.

Tuberkulosis saluran kemih yang diterapi dengan kontrol-kontrol negatif adalah tidak

ada argumen melawan kehamilan. Riwayat pasien akan batu-batu ginjal atau suatu

hidronefrosis kongenital yang dikoreksi dengan pembedahan tidak memberi

kontraindikasi untuk kehamilan. Degenerasi polikistik ginjal yang progresif dengan

fungsi glomerulus dan tubulus yang terbatas memiliki prognosis buruk pada kehamilan,

dan karenanya juga dalam terapi infertilitas. Glomerulonefritis kronik dan

glomerulonefritis diabetik adalah berisiko tinggi terjadi eklampsia dan intrauterine

Page 16: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

fetal demise. Selama konseling pasien-pasien dengan sindroma nefrotik kita kurang

lebih memberikan nasehat menolak terapi infertilitas lanjut. Namun, setelah

transplantasi ginjal pasien dapat mempertimbangkan kehamilan dengan berkonsultasi

dengan dokter ahli 2-3 tahun setelah pembedahan (Kremling 1986).

Neoplasia-neoplasia. Penyakit-penyakit ginekologis ganas seperti kanker payudara,

kanker serviks dan kanker ovarium berbeda-beda dalam hal efek dari suatu

kehamilan terhadap perjalanan penyakit (Borner 1986). Ringkasnya, kehamilan setelah

kanker payudara tidak akan menstimulasi lanjut penyakitnya atau memperburuk

prognosisnya. Pasien-pasien dengan riwayat carcinoma in situ of the uterine cervix

harus memberikan periode 6-12 bulan berlalu dimana kontrol-kontrol sitologis adalah

negatif sebelum mencoba terapi untuk infertilitas. Para pasien dengan tumor-tumor

ovarium ganas, yang dahulunya diterapi dengan salpingoovarektomi unilateral

konservatif harus diberi konseling untuk mengambil metode kontrasepsi selama

periode 2 tahun, karena kebanyakan kekambuhan terjadi dalam periode ini.

Adalah tidak mungkin untuk mencakup semua penyakit yang mungkin

dipengaruhi oleh kehamilan dalam bab ini. Kebanyakan penyakit-penyakit lain cukup

jarang, sehingga bahkan buku ajar ginekologi obstetri tidak mencukupi untuk memberi

konseling pasien individual. Pencarian literatur akan memberikan informasi yang

bermanfaat dan terkini.

Page 17: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

BAB II Siklus Ovarium dan Ovulasi

Folikel-folikel

Pokok utama fisiologi reproduksi wanita adalah maturasi oosit dalam hubungannya

dengan siklus menstruasi. Evaluasi terhadap folikel ovarium yang mengalami

pematangan, terhadap ovulasi dan terhadap fase luteal adalah titik sentral dalam upaya

diagnosis pasien-pasien infertilitas.

Perkembangan Oosit Awal

Maturasi oosit adalah suatu proses panjang yang mulai saat perkembangan fetus.

Namun demikian, maturasi oosit terlengkapi hanya saat fertilisasi, yang seringkali

berlangsung hingga lebih dari 30 tahun setelah permulaan perkembangan oosit. Selama

kehidupan fetus 6-7 juta sel-sel germ berkembang dalam trimester kedua. Menjelang

waktu kelahiran, banyak sel-sel germ telah mengalami atresia, dan bayi wanita yang

baru lahir memiliki sekitar 2 juta ova. Pada saat ini, oosit primer telah menjalani

bagian pertama dari pembelahan meiosis pertama dan telah mencapai stadium

penangkapan pertama. Fase penangkapan ini berlangsung hingga pubertas, ketika mulai

terjadi ovulasi dari oosit.

Meiosis

Meiosis hanya berlanjut ketika telah terjadi ovulasi. Satu bagian dari kromosom yang

berpasangan terlemparkan dalam polar body I. Oosit kini menjadi haploid. Fase ini

disebut metaphase II dan oositnya adalah oosit sekunder. Ini adalah situasi pada saat

ovulasi. Jika oosit tidak difertilisasi, ia tetap dalam stadium ini. Jika terjadi fertilisasi,

satu bagian dari kromatin sekali lagi terlemparkan dalam bentuk polar body II. Oleh

karenanya, meiosis wanita berbeda dengan spermatogenesis, mulai pada periode fetus

dini dan berakhir pada titik fertilisasi pada wanita dewasa.

Perkembangan Folikel

Perkembangan folikel yang mengitari terjadi secara paralel dengan perkembangan oosit

ovarium. Saat minggu ke-8 kehamilan oosit-oosit primer dikelilingi oleh satu lapisan

Page 18: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

sel-sel yang berbentuk-spindle. Sel-sel ini adalah prekursor dari sel-sel granulosa dan

sel-sel theca. Oosit dan sel-sel granulosa dikelilingi oleh suatu membran basalis yang

memisahkan folikel primordial dari stroma. Folikel dengan sel-sel granulosa yang

melapisi disebut folikel sekunder. Pada bulan ke-7 kehamilan sebuah antrum dapat

berkembang dalam lapisan sel granulosa, dan folikelnya kemudian disebut folikel

tersier atau deGraaf.

Mekanisme-mekanisme Regulasi

Sel-sel granulosa mulai mengekspresikan reseptor-reseptor FSH saat bulan ke-5 ke-6

kehamilan. Jumlah reseptor per sel tetap konstan; namun, jumlah absolut reseptor FSH

per folikel bertambah dengan bertambahnya jumlah sel granulosa. Selama

perkembangan selanjutnya, reseptor-reseptor untuk estradiol, progesteron, testosteron

dan glukokortikoid dapat dideteksi. Untuk perkembangan lanjut folikel dibutuhkan

FSH. Hal ini didukung oleh pengaruh dari estrogen-estrogen. Sehingga suatu umpan

balik positif terjadi dimana bahkan konsentrasi FSH minimal dalam cairan molekuler

dijawab dengan suatu umpan balik positif. Perlu dicatat bahwa FSH hanya dapat

dideteksi dalam cairan folikuler jika rasio estrogen terhadap androgen didominasi oleh

estrogen dan angka quotient adalah di atas 1. Jika androgen meningkat maka FSH tidak

dapat dideteksi.

Selain estradiol dan FSH, faktor-faktor lain mempengaruhi pembelahan mitosis

sel-sel granulosa. Reseptor-reseptor aromatase dan LH diinduksi tergantung pada

konsentrasi FSH dan fase waktunya. Aromatase-aromatase mengkonversi androgen

menjadi estrogen. Perkembangan reseptor-reseptor LH dalam folikel yang

mendominasi mempersiapkannya untuk lonjakan LH pada pertengahan siklus dan

dengan demikian untuk ovulasi. Tambahan pula, reseptor-reseptor LH diperlukan untuk

produksi progesteron yang terjadi kemudian dalam korpus luteum. Selama

perkembangan folikel, estradiol tampaknya bekerja secara sinergis dengan FSH untuk

memfasilitasi perkembangan reseptor-reseptor FSH. Selanjutnya dalam siklus estradiol

menstimulasi densitas reseptor LH dan aktivitas reseptor LH. Ketika sintesis estrogen

diblokade, maka tidak satupun dari folikel-folikel deGraaf akan bertumbuh dengan

diameter di atas 2,2 mm. Jika stimulasi FSH diblokade saat perkembangan folikel, maka

jumlah reseptor FSH dan LH berkurang, dan sel-sel granulosa mati.

Page 19: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Seleksi folikel. Pengetahuan akan perkembangan folikel adalah penting untuk

memahami gangguan maturasi folikel. Kenaikan pra-ovulasi dalam estradiol

menginisiasi suatu umpan balik negatif, dan juga supresi sekresi FSH pituitari. Karena

folikel pra-ovulasi memiliki densitas reseptor yang lebih tinggi daripada folikel-folikel

yang lebih kecil lainnya, maka mungkin terjadi maturasi lanjut, sedangkan folikel-

folikel yang lebih kecil harus berdegenerasi menjadi folikel-folikel yang atretik. Efek

dari FSH dapat dimodulasi oleh prolaktin dan steroid-steroid seksual. Estrogen, insulin

dan faktor-faktor somatotropik lain dapat mempengaruhi aktivitas aromatase dan

perkembangan reseptor-reseptor LH. Stimulasi aromatase, reseptor-reseptor LH dan

reseptor-reseptor prolaktin oleh FSH tampaknya terbatas pada membran sel-sel

granulosa. Dengan demikian ada suatu sistem yang amat rumit mengenai mekanisme-

mekanisme pengaturan parakrin dan endokrin dimana terdapat beragam langkah-

langkah yang mana dapat terjadi gangguan maturasi folikel-folikel selama terjadinya

beragam langkah-langkah ini.

Teori dua-sel. Reseptor-reseptor LH lanjut berkembang dalam sel theca interna dari

folikel deGraaf. Theca interna terdiri atas sel-sel mesenkim yang mengitari keseluruhan

folikel. Di bawah pengaruh LH, sel-sel theca interna berubah menjadi sel-sel epitel yang

mampu memproduksi androgen-androgen, yang darinya paling penting adalah

androstenedione. Androgen ini adalah prekursor utama bagi produksi estradiol

folikuler dan suatu faktor yang signifikan bagi perkembangan folikel selanjutnya.

Produksi androgen yang berlebihan, yang melebihi kapasitas aromatase untuk

mensintesis estrogen, menyebabkan penurunan rasio quotient estrogen/androgen dan

atresia folikel seperti yang telah dijelaskan di atas. Dalam suatu lingkungan yang kaya

androgen, arah konversi androstenedione berubah lagi dari pembentukan estrogen

menjadi produksi androgen tambahan. Sebuah folikel yang optimal hanya dapat

berkembang bila produksi androgen dalam sel-sel theca disertai oleh produksi estrogen

dari androgen-androgen ini dalam sel-sel granulosa. Mekanisme ini disebut teori-dua-

sel tentang produksi estrogen folikuler. Seperti halnya sel-sel granulosa, sel-sel theca

dapat juga dipengaruhi oleh hormon-hormon lain. Regulasi aksis hipotalamus pituitari

ovarium dan organ-organ target disederhanakan dalam Gbr. 20.5.

Page 20: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Regulasi parakrin akan fungsi ovarium. Dari hasil-hasil penelitian terbaru, model

klasik mengenai regulasi ovarium tampaknya tidak adekuat. Seleksi folikel,

pertumbuhan, maturasi dan ovulasi tampaknya diatur oleh mekanisme-mekanisme

intraovarium yang kompleks sehubungan dengan gonadotropin-gonadotropin dan

steroid-steroid seks. Faktor-faktor lokal ini agaknya memiliki efek-efek parakrin

maupun otokrin. Dalam sistem parakrin, zat-zat pembawa pesan (messenger) yang

disekresi secara lokal mempengaruhi sel-sel target sekitar dari organ yang sama,

sedangkan regulasi otokrin mempengaruhi sel-sel sekretoris di dalam organ melalui

reseptor-reseptor permukaan.

Daftar faktor-faktor otokrin/parakrin bertambah dengan cepat. Penelitian kini

dikonsentrasikan pada sistem IGF (insulin-like growth factor). Selain hati, ovarium

merupakan sumber utama insulin-like growth factor 1 (IGF 1). IGF 1 dan IGF 2

diproduksi oleh sel granulosa. IGF 1 meningkatkan efek LH dan FSH serta tampaknya

penting dalam koordinasi antara fungsi-fungsi sel theca dan granulosa. FSH dan LH

meningkatkan jumlah reseptor-reseptor pada sel granulosa dan reaksi ini diintensifkan

secara tambahan oleh estrogen-estrogen. Dalam sel theca, IGF 1 menstimulasi dan

meningkatkan pembentukan steroid. Secara keseluruhan, IGF 1 penting bagi

pembentukan dan peningkatan reseptor-reseptor FSH dan LH, untuk steroidogenesis,

untuk sekresi inhibin dan maturasi oosit.

Bersama dengan reseptor-reseptor IGF 1, sel granulosa memiliki reseptor-

reseptor untuk insulin, yang berikatan secara langsung dengan reseptor-reseptor IGF.

Reaktivitas-silang ini penting bagi banyak kejadian patofisiologis dalam ovarium,

karena insulin menyebabkan suatu modulasi fungsi ovarium. Cascade regulasi

diperumit oleh fakta bahwa molekul-molekul IGF terikat dan dinetralisir oleh protein-

protein pengikat-IGF. Dengan demikian konsentrasi protein-protein pengikat-IGF

secara langsung mempengaruhi regulasi sel. Selain itu, famili TGF (transforming

growth factor) β-gene adalah penting. Istilah ini mencakup zat-zat seperti activin,

inhibin dan “growth and differeniation factor 9” yang memodulasi efek-efek

stimulasi maupun penghambatan dari gonadotropin. “Growth and differentiation factor

9” tampaknya merupakan faktor pertumbuhan yang spesifik-oosit yang penting bagi

perkembangan jauh dari folikel primordial. Selain itu, suatu sistem interleukin-1

Page 21: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

intraovarium tampaknya meregulasi kejadian-kejadian periovulasi secara resiprokal

dengan LH (Udoff dan Adashi 1999).

Selain proses-proses pertumbuhan yang terkoneksi dengan peningkatan jumlah

sel dalam maturasi folikel dan ovulasi, eliminasi sel-sel yang terlalu banyak dalam

ovarium adalah suatu faktor penentu pada fungsi ovarium yang normal. Kematian sel

yang terprogram ini (apoptosis) sedang menjadi minat penelitian utama (Chun dan

Hsueh 1999). Secara klinis, kebanyakan parameter-parameter parakrin yang telah

dibahasa tidak bisa dihitung. Untuk mengevaluasi perkembangan normal atau patologis

akan maturasi folikel, kita masih harus bersandar pada pengukuran klasik steroid-steroid

seksual dan gonadotropin. Gambar 20.6 menunjukkan perjalanan konsentrasi hormon

serum yang digunakan dalam diagnosis klinis rutin.

Anti-Muller hormone. Pada tahun-tahun belakangan ini, anti-Muller hormone, dikenal

juga dengan MIS (Muller-inhibiting substance) telah diidentifikasi sebagai sebuah

petanda penting akan fungsi ovarium (van Rooij dkk. 2002; Al-Qahtani dan Groome

2006). Aslinya glikoprotein homodimerik ini, yang ditemukan pada tahun 1940 oleh

Alfred Jost, dahulu diyakini sebagai suatu produk sekretoris dari sel-sel Sertoli yang

fungsinya adalah menginisiasi regresi duktus Mullerii pada fetus laki-laki (Josso dkk.

2006).

Pada organisme perempuan AMH diproduksi oleh sel-sel granulosa dan

tampaknya sebagai suatu petanda bagi kualitas dan kuantitas cadangan-cadangan folikel

(Visser dkk. 2006). Pada folikel-folikel yang lebih kecil AMH menghambat efek-efek

FSH hingga folikel-folikel mencapai ukuran 6 mm. Setelah itu konsentrasi AMH intra-

folikuler berkurang, membawa pada seleksi folikel yang dominan, yang kemudian tidak

mengandung AMH. Hal ini merepresentasikan satu bagian dari faktor-faktor otokrin

yang bekerja dalam seleksi folikel yang dominan. Banyak penelitian menunjukkan

bahwa level-level AMH basalis adalah petanda tunggal terbaik yang mencerminkan

reaksi ovarium terhadap perlakuan gonadotropin di dalam kerangka cara-cara IVF.

Selama investigasi pada 132 ambilan kembali folikel tunggal sebuah batas yakni

< 1,26 ng/ml AMH (DSL-10-14400, Diagnostic System Laboratories Inc./Beckman-

Coulter) didefinisikan untuk membedakan antara reaksi yang kurang (kurang dari empat

Page 22: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

ova yang diambil kembali) atau reaksi yang normal terhadap terapi IVF. Jika level

AMH adalah di bawah 0,5 ng/ml maka hanya sedikit sel-sel telur yang diambil kembali

meski ada stimulasi yang maksimal. Namun demikian, ditemukan tidak adanya korelasi

antara inisiasi kehamilan dengan level-level AMH yang rendah (Gnoth dkk. 2008).

Aplikasi rutin steroid-steroid seks, berlawanan dengan FSH atau inhibin,

difasilitasi oleh fakta bahwa konsentrasi serum AMH sebagian besar tidak tergantung

dari siklusnya (Hehenkamp dkk. 2006; Streuli dkk. 2008).

Risiko stimulasi berlebihan diberi signal dengan naiknya konsentrasi AMH

(Nakhuda dkk. 2006), agaknya oleh koneksi-koneksi yang rapat antara PCOS dan

naiknya sekresi AMH dalam adanya kenaikan jumlah folikel. Determinasinya dapat

diaplikasi baik untuk menilai awal maturasi folikel atau perkembangan prapubertas dan

juga fungsi ovarium yang menurun perimenopause. Karena saat ini tidak ada standar

yang seragam untuk sistem-sistem assay, metode yang digunakan harus diketahui ketika

menilai hasil-hasil, karena ini dapat bervariasi oleh suatu faktor 2.

Siklus Haid

Variasi-variasi Hormon

Siklus haid normal dapat dibagi menjadi dua fase: fase folikuler dan fase luteal. Hari

pertama haid merepresentasikan hari pertama dari siklus haid. Fase folikuler

berlangsung dari hari pertama haid hingga lonjakan LH pra-ovulasi. Ovulasi terjadi

sekitar 36-38 jam setelah lonjakan LH. Sebagaimana yang dibahas di atas, konsentrasi

estradiol meningkat selama perkembangan folikuler dan menyebabkan pengurangan

FSH selama bagian kedua dari fase folikuler. Sebaliknya, kenaikan estradiol memiliki

efek umpan balik positif terhadap produksi LH, sehingga menyebabkan lonjakan LH

tengah-siklus. Pada praktek klinik kita dapat menduga perkembangan mono-folikuler

peri-ovulasi yang normal dengan suatu konsentrasi estradiol 250 pg/ml di dalam serum.

Jika selama ovulasi ovum dikeluarkan dari folikel deGraaf, maka folikel yang tersisa

berkembang menjadi korpus luteum, yang menghasilkan progesteron, estradiol, dan

17α-hydroxyprogesterone. Produksi hormon-hormon ini distimulasi oleh LH dan

choriogonadotropin. Sekresi progesterone, terkombinasi dengan pelepasan estradiol

Page 23: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

menyebabkan umpan balik negatif terhadap sekresi gonadotropin, sehingga level-level

serum secara bertahap berkurang pada akhir fase luteal.

LH disekresi dalam denyut-denyutan; interval antar puncak selama fase folikuler

berkisar dari 60 sampai 90 menit. Amplitudo dan frekuensi naik secara kontinu dengan

dicapainya tengah-siklus. Setelah ovulasi, dicapai frekuensi yang lebih rendah yakni

100-300 menit. Namun, amplitudonya meningkat dalam fase luteal. Sekresi berdenyut

dari LH disebabkan oleh sekresi berdenyut GnRH. Pelepasan yang tidak terus-menerus

ini sangat penting bagi terapi infertilitas (lihat di bawah).

Fase luteal. Sekresi progesteron setelah ovulasi memiliki efek termogenik sentral pada

hipotalamus. Oleh karena itu representasi grafik dari pengukuran suhu basal (skema

temperatur suhu basal) dapat memberi kesan pertama akan kualitas siklus. Kenaikan

suhu pagi hari biasanya terjadi ketika level progesteron melebihi 3 ng/ml. Namun

demikian, level ini tidak representatif untuk fungsi luteal normal, sehingga bahkan

kurva suhu basal dengan fase hipertermik yang normal tidak harus pasti mengalami

perkembangan folikuler yang normal yang mendasarinya dengan fase luteal yang

nornal. Di lain pihak, beberapa wanita tidak menunjukkan kenaikan suhu basal setelah

menghasilkan the thermogenic pregnen-3 α-ol-20-one sehingga tidak adanya fase

hipertermik tidak pasti menandakan suatu anovulasi. The basal body temperature chart

(BBT chart) dengan demikian tidak lagi menjadi alat diagnostik sentral seperti dahulu

kala saat perkembangan folikel dan ovulasi tidak bisa dilihat secara sonografi.

Kita harus hati-hati khususnya untuk tidak menggunakan BBT chart guna mengatur

waktu untuk inseminasi atau hubungan seksual berjangka, karena level progesteron

yang dijelaskan di atas terjadi 1-2 hari setelah ovulasi. Kurva suhu basal sebaiknya

digunakan hanya dalam upaya menunjukkan variasi kualitas siklus dan/atau

menjadwalkan prosedur-prosedur diagnostik.

Fase siklik kedua, fase luteal, adalah relatif konstan dan berlangsung 13-14 hari pada

kebanyakan wanita. Namun, paruh pertama dari siklus haid bisa sangat bervariasi

sehingga panjang siklus haid antara 21 dan 35 hari dapat dianggap normal, jika fase

luteal tetap konstan.

Page 24: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Ovulasi. Titik tengah dari siklus haid adalah, secara alami, ovulasi, yang harus dicatat

saat evaluasi siklus haid (lihat Gbr. 20.7). Setelah ovulasi, terjadi perubahan-perubahan

siklik dalam serviks uteri dan endometrium. Perubahan-perubahan dalam mukus serviks

bermakna penting dalam evaluasi interaksi-sperma-mukus (lihat Gbr.20.8).

Perubahan-perubahan dalam Serviks Uteri dan dalam Produksi Mukus Serviks

Os serviks adalah jalan masuk ke rongga uterus dan terdiri atas suatu sistem lipatan dan

celah yang disebut kripta servikal atau kelenjar-kelenjar endoservikal. Kelenjar-kelenjar

endoservikal ini memiliki epitel sekretoris yang tergabung dengan epitel bersilia dalam

rasio 10:1. Sel-sel sekretoris menghasilkan mukus servikal dan terletak terutama pada

bagian atas serviks, dekat dengan uterus. Aktivitas sekresi dari epitel servikal

mengalami perubahan-perubahan siklis, sehingga dapat memberikan informasi yang

mudah didapat mengenai stadium siklus haid. Informasi penting dihasilkan oleh jumlah

mukus, lebarnya os servikal eksternal, Spinnbarkeit mukusnya, dan fern-like

pattern yang berkembang ketika mengering. Prognosis yang nyata lebih baik untuk

terapi lanjut diperoleh saat dalam kondisi optimal, sekurang-kurangnya satu

spermatozoon per lapangan ditemukan pasca koitus pada pembesaran 400x dalam

sekurang-kurangnya enam lapangan pandang (Hunault dkk. 2005). Jumlah estrogen

yang diperlukan untuk menstimulasi sekresi mukus servikal bervariasi pada pasien-

pasien individual, dan dapat bervariasi dari siklus ke siklus. Sekresi servikal

dipengaruhi oleh infeksi servikal, atau setelah prosedur pembedahan pada serviks. Pada

beberapa pasien, produksi mukus servikal dapat dilihat beberapa hari sebelum ovulasi;

pada kasus-kasus lain sekresi servikal yang optimal terjadi hanya beberapa jam sebelum

lonjakan LH. Hal ini harus diperhatikan ketika memeriksa interaksi sperma-mukus.

Perkembangan faktor servikal dapat dinilai dengan menggunakan cervical index of

Insler. Teknik diagnosis mukus servikal dijelaskan di WHO 1999.

Serviks uteri dan mukus servikal penting bagi naiknya sperma, karena mereka

memproteksi sperma dari lingkungan vagina yang asam. Serviks uteri menyediakan

substrat yang kaya-energi bagi spermatozoa, memfasilitasi transport sperma dari vagina

ke dalam kavum uteri, menyediakan suatu reservoir bagi sperma dalam kripta-kripta

servikal dan juga bekerja sebagai penyaring yang memisahkan sperma yang dibentuk

Page 25: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

secara formal dari sperma-sperma yang mengalami malformasi. (Untuk kajian ulang

mengenai serviks lihat Joseph dkk. 2006).

Endometrium

Perubahan-perubahan siklik endometrium, seperti perubahan-perubahan faktor servikal,

mencerminkan fungsi ovarium siklik dan sangat penting bagi nidasi oosit yang

terfertilisasi. Endometrium menjadi lebih tebal selama fase folikuler. Kelenjar-kelenjar

uteri tertarik keluar sehingga mereka memanjang. Proliferasi ini telah memberikan

namanya pada paruh pertama dari siklus haid. Setelah ovulasi lengkap, vaskularisasi

endometrium meningkat. Terjadi edema, kelenjar-kelenjar endometrium menjadi

terkonvolusi dan mulai mensekresikan cairan yang jernih. Konsekuensinya, fase siklus

ini adalah yang disebut fase sekretoris atau luteal.

Jika tidak terjadi kehamilan, maka korpus luteum mengalami regresi; stimulasi

hormonal dari endometrium berkurang dan ia menjadi lebih tipis. Hal ini menambah

pada perkelok-kelokannya arteri dan terjadi nekrosis fokal dengan perdarahan lokal,

yang akhirnya confluates dan menyebabkan aliran haid. Penyebab nekrosis vaskuler

belum diketahui. Karena endometrium dan darah haid mengandung konsentrasi yang

tinggi prostaglandin, dan pemberian infus prostaglandin PGF 2α menyebabkan nekrosis

endometrium, maka tampaknya mungkin bahwa pelepasan prostaglandin menyebabkan

kontraksi pembuluh-pembuluh darah.

Tujuh puluh lima persen darah haid berasal dari arteri. Ia mengandung sel-sel

endometrium yang nekrotik, prostaglandin-prostaglandin dan proporsi yang relatif

tinggi akan fibrinolysin. Ini sebabnya mengapa biasanya tidak terjadi koagulasi darah

haid. Aliran darah haid biasanya berlangsung 3-5 hari. Aliran 1-8 hari masih dapat

dianggap normal, kecuali terjadi perubahan mendadak dalam aliran darah reguler

pasien. Darah yang hilang rata-rata sekitar 30 ml per siklus. Ini bervariasi antara bercak-

bercak darah hingga kehilangan darah 80 ml. Jika lebih dari 80 ml darah yang hilang,

maka harus dipertimbangkan penyebab patologis. Setelah haid endometrium sekali lagi

berkembang dari sel-sel yang tertinggal dari lapisan basal.

Page 26: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Epitel Vaginal

Epitel vaginal mengalami perubahan-perubahan siklik di bawah pengaruh sekresi

estrogen sebagaimana endometrium (untuk kajian ulang lihat Schnell 1973). Meskipun

perubahan-perubahan dalam epitel vaginal dapat mengindikasikan fase-fase siklus, ini

masih sangat bervariasi, sehingga tidak ada diagnosis siklik yang jelas yang bisa

didapatkan melalui analisis sitologis dari epitel vaginal.

Evaluasi Diagnostik Siklus

Secara esensial, evaluasi siklus wanita membutuhkan identifikasi maturasi folikel yang

optimal dengan ovulasi, perkembangan sebuah korpus luteum yang berkualitas bagus,

dan juga perkembangan siklik yang fisiologik dari endometrium yang diperlukan untuk

nidasi oosit yang telah terfertilisasi. Adalah penting untuk diingat bahwa semua tes yang

digunakan dalam evaluasi siklus adalah tes-tes tidak langsung yang memiliki

keterbatasan.

Ultrasonografi

Meskipun skema suhu tubuh basal, dan pengukuran konsentrasi hormon dalam serum,

urine dan saliva memberikan informasi tidak langsung mengenai ovulasi dan maturasi

folikel, ultrasonografi memungkin untuk mengikuti maturasi folikel, dan pemastian

ovulasi. Dengan demikian sonografi merupakan komponen utama dalam evaluasi faktor

wanita dalam infertilitas, dan merupakan alat yang tidak bisa dihilangkan.

Sonografi transabdomen yang dahulu digunakan telah digantikan dengan

pemeriksaan vaginal. Satu keuntungan besar adalah bahwa pasien tidak perlu memenuhi

kandung kemihnya supaya memberikan “jendela akustik” yang melaluinya uterus dan

ovarium dapat divisualisasi. Probe vaginal berada dalam aproksimasi yang dekat dengan

struktur-struktur pelvis sehingga dapat digunakan frekuensi yang lebih tinggi, yang

menghasilkan resolusi yang lebih baik. Selain sonografi klasik, mengukur aliran darah

dengan menggunakan sonografi Doppler memberi informasi lanjut. Kerusakan jaringan

karena energi yang dihasilkan oleh gelombang ultrasono belum pernah terlihat selama

penggunaan klinis alat diagnostik ini. Efek-efek negatif yang telah digambarkan pada

Page 27: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

percobaan-percobaan hewan membutuhkan membutuhkan level output yang lebih tinggi

dari yang digunakan dalam sonografi klinis.

Gambaran sonografik sebuah ovarium adalah suatu elipsoid rotasional dengan

volume di bawah 6 ml. Perubahan-perubahan patologis dapat dilihat dengan cukup

jelas. Suatu gambaran patologis yang penting adalah polycistic ovary (PCO), yang

patofisiologinya akan dibahas nanti. Tipikalnya, akan terlihat folikel-folikel kecil di

bawah 1 cm akan diatur seperti seutas mutiara bersama dengan sebuah ovarium yang

lebih besar dari normal dengan stroma yang bertambah (Gbr.20.9). Selain sindroma

PCO, endometriosis dan perubahan-perubahan kistik lainnya dari ovarium dapat kapan-

kapan diidentifikasi dengan ultrasono. Perubahan-perubahan dalam tuba Fallopii seperti

sactosalpinx, dimana penutupan perifer tuba menyebabkan dilatasi tuba oleh cairan-

cairan intratuba, sering dapat didiagnosis secara sonografis. Jika sebuah sactosalpinx

dapat diidentifikasi secara sonografi, maka para wanita yang sedang berusaha hamil bisa

mendapatkan manfaat dari salpinektomi sebelum terapi IVF (Strandell dkk. 1999).

Namun, aspek terpenting dari sonografi pada terapi infertilitas adalah evaluasi

pertumbuhan folikel pada siklus normal dan yang terstimulasi. Selain itu, endometrium

dapat dievaluasi dan prosedur-prosedur invasif dapat dihindari.

Evaluasi endometrium. Secara ultrasonografi, endometrium tampil sebagai echo yang

relatif tipis dan homogen selama fase proliferasi. Selama fase proliferasi akhir ketebalan

meningkat dan ukuran-ukuran sekitar 5 mm pada diameter anterior-posterior. Edema

stroma sering menyebabkan tepian echo-tebal dari rongga uterus, sehingga sebelum

ovulasi terlihat gambaran multilapisan pada endometrium. Pada fase luteal ketebalan

endometrium berada di antara 7 sampai 9 mm.

Evaluasi ovarium-ovarium. Pada kasus-kasus optimal, resolusi ultrasono

mengidentifikasi struktur-struktur ovarium hingga 2 mm. Secepat hari ke-5 dari siklus

haid, folikel yang dominan diseleksi dari folikel-folikel primordial lain. Antara hari ke-8

dan ke-12 ia telah mencapai diameter 14 mm. Selama 4-5 hari terakhir sebelum ovulasi,

diameter folikel yang dominan bertambah antara 2 dan 3 mm per hari. Folikel ini

kemudian mencapai diameter 16-28 mm. Ukuran yang bervariasi ini tidak

memungkinkan prediksi waktu ovulasi berdasarkan hanya pada ultrasono saja, sehingga

diagnosis ultrasono selalu harus dikombinasikan dengan penentuan level estradiol dan

Page 28: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

LH selama fase pra-ovulasi (Queenan dkk. 1980). Prediksi lonjakan LH berdasarkan

ultrasono adalah tidak akurat, serupa dengan memprediksikan lonjakan LH berdasarkan

hari siklus haid (Buttery dkk. 1983). Namun, ultrasonografi transvaginal bersama

dengan metode-metode endokrinologis dapat menggandakan angka fertilitas saat

prosedur-prosedur inseminasi.

Setelah lonjakan LH, jaringan theca menjadi semakin tervaskularisasi dan

lapisan granulosa berpisah dari sel-sel theca. Proses ini dapat divisualisasi secara

sonografi sekitar 24 jam sebelum mulainya ovulasi dan biasanya disertai dengan

kenaikan yang nyata level progesteron plasma. Selain itu, cumulus oophoros, dapat

dilihat secara sonografi pada sekitar satu per lima dari seluruh folikel yang lebih besar

dari 18 mm. Jika suplai vaskuler pada folikel, yang dapat dipastikan dengan sonografi

Doppler berwarna, juga dipertimbangkan, maka kualitas sel telur dapat dievaluasi

bahkan lebih baik dan angka konsepsi dapat diperbaiki (Bhal dkk. 1999).

Sekitar 25% pasien menunjukkan secara ultrasonografi cairan yang dapat terlihat

dalam culdesac setelah ovulasi. Transisi dari folikel ke korpus luteum terlihat dengan

suatu indentasi pada kapsul dan peningkatan densitas-echo intrafolikuler. Namun

kadangkala korpus luteum adalah suatu struktur yang agak padat yang tidak dapat

dengan mudahnya diidentifikasi dengan ultrasono.

Sindroma LUF. Gangguan ovulasi, yang biasanya disebabkan oleh masalah maturasi

folikel, seringkali menjadi penyebab infertilitas. Ini sering didiagnosis dengan

pemeriksaan ultrasono, karena tes-tes objektif lainnya seringkali normal. Suatu

gambaran klinis yang khas adalah sindroma luteinisasi folikel yang tidak ruptur

(sindroma LUF) yang pertama kali dibahas pada tahun 1967 (Kase dkk. 1967). Dalam

entitas klinis ini, profil-profil hormon berada dalam kisaran normal dan meski demikian

tidak terjadi ruptur folikel. Sekitar 5% dari seluruh siklus normal dikatakan terjadi

dalam bentuk ini. Namun demikian, arti pentingnya bagi infertilitas belum terbukti

karena sindroma ini bukanlah salah satu dari anovulasi yang kontinu. Pemeriksaan

ultrasono dapat menghasilkan diagnosis ketika 36 jam setelah lonjakan LH folikel kistik

masih tidak berubah dan tidak ada terlihat penyusutan. Dengan stimulasi clomiphene

maka angka LUF dapat meningkat hingga lebih dari 25% (Qublan dkk. 2006).

Page 29: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Suatu siklus haid dapat saja adalah anovulatoris bahkan jikapun haid terjadi pada

waktu yang tepat. Namun, pada siklus-siklus anovulatoris biasanya ditemukan level

progesteron yang rendah pada fase luteal. Kenaikan level estradiol pada siklus luteal

juga berkurang, sehingga pengukuran progesteron dan estradiol pada paruh kedua dari

siklus haid memberikan informasi penting mengenai ovulasi. Tentu saja suatu

pengecualian adalah sindroma LUF yang disebut di atas.

Selain evaluasi diagnostik akan pertumbuhan folikel dan perkembangan korpus

luteum, ultrasono dapat digunakan pada fase luteal untuk menentukan kualitas

endometrium. Deichert dkk (1986) membandingkan ketebalan endometrium dengan

parameter-parameter hormonal, dan menyimpulkan bahwa ketebalan endometrium di

bawah 10 mm adalah suatu indikasi bagi stimulasi atau substitusi hormonal dalam

upaya mengoptimalkan implantasi blastosit. Pada sebuah studi cohort prospektif yang

terdiri atas 1.186 wanita yang mencari terapi untuk infertilitas, tidak ada korelasi antara

ketebalan endometrium dengan angka kehamilan setelah IVF atau ICSI yang dapat

ditemukan. Sebaliknya, angka kehamilan ditemukan lebih rendah secara bermakna pada

wanita-wanita dengan endometrium yang tipis yang menjalani inseminasi intrauterin

(DeGeyter dkk. 2000).

Biopsi Endometrium

Kebanyakan ahli ginekologi mempertimbangkan pemeriksaan histologi dari suatu biopsi

endometrium sebagai metode utama untuk menilai kualitas luteal. Secara klasik,

pemeriksaan dilakukan tepat sebelum awitan alirah darah haid. Idealny sebuah strip

endometrium diperoleh melalui kuretase pasien rawat jalan pada hari 27 atau 28, atau

pada siklus haid yang lebih panjang, 1-2 hari sebelum mulainya aliran darah haid. Strip

endometrium seharusnya mencakup semua lapisan endometrium hingga ke

miometrium, sehingga lapisan fungsional maupun basal dapat diperiksa. Untuk evaluasi

biopsi endometrium, tanggal periode haid berikut harus diketahui. Tanggal ini diatur

sama dengan hari 28. Jika biopsi didapatkan 2 hari lebih dini, maka endometrium

harusnya menunjukkan gambaran histologis hari ke 26 siklus haid. Jika gambaran

histologis menyimpang lebih dari 2 hari, maka didiagnosis insufisiensi luteal. Walaupun

ini merupakan metode standar, pada beberapa pasien biopsi-biopsi endometrium serial

pada waktu-waktu yang berbeda dalam siklus haid menunjukkan perkembangan

Page 30: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

patologis pada fase luteal awal yang menjadi normal segera sebelum mulainya aliran

darah haid. Ini mengindikasikan bahwa suatu biopsi endometrium yang diperoleh pada

waktu yang lebih dini saat siklus luteal dapat saja memiliki arti penting diagnostik,

karena struktur endometrium pada hari 20-24 dari siklus haid adalah penting bagi

blastosit. Yang sangat penting adalah perkembangan yang sinkron dari kelenjar-kelenjar

dan stroma endometrium (lihat Blasco 1994).

Level Progesteron dan Evaluasi Kualitas Luteal

Biopsi endometrium adalah metode standar untuk evaluasi kualitas luteal dalam

penelitian klinis. Namun tes diagnostik ini tidak biasanya digunakan dalam kondisi

klinis karena karakter invasifnya. Melainkan pengukuran progesteron dan estradiol pada

fase luteal yang biasanya dipakai. Karena sekresi progesteron bersifat denyutan

(pulsatile), metode ini sering dikritik karena memiliki angka diskrepansi yang tinggi.

Namun, level serum progesteron pertengahan-luteal tunggal di bawah 10 ng/ml (31,8

nmol/l) atau jumlah tiga level progesteron di bawah 30 ng/ml (95,4 nmol/l) berkorelasi

lebih baik dengan konsentrasi progesteron yang terintegrasi pada fase luteal daripada

skema suhu tubuh basal, panjangnya fase luteal, atau diameter folikel pra-ovulasi.

Berdasarkan beberapa data, level progesteron serum memprediksi kualitas fase luteal

lebih baik daripada biopsi endometrium (Jordan dkk. 1994).

Progesteron adalah hormon utama dari korpus luteum dan sangat penting bagi

nidasi dan pemeliharaan kehamilan awal. Suatu lutectomy pada minggu ke-7 kehamilan

menyebabkan keguguran (Csapo dkk. 1973). Namun, pengeluaran korpus luteum saat

minggu ke-9 kehamilan hanya menyebabkan penurunan yang sementara level serum

progesteron dan kehamilan terus berlanjut. Jika penurunan dini konsentrasi progesteron

pada minggu ke-7 kehamilan dikompensasi oleh substitusi hormon ini, maka kehamilan

terus berkembang.

Kehamilan pada wanita dengan insufisiensi ovarium yang hamil setelah donasi

oosit dapat disokong oleh substitusi progesteron selama minggu-minggu awal

kehamilan. Level-level serum 20 ng/ml adalah cukup. Level serum ini dicapai dengan

memberikan 50 mg progesteron per hari. Secara fisiologis, produksi progesteron harian

pada fase luteal adalah sekitar 25 mg. Suatu konsentraso progesteron pertengahan-luteal

Page 31: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

yang di bawah 3,1 ng/ml dalam suatu siklus alami memberi tanda akan anovulasi.

Level-level progesteron median pada siklus-siklus konseptif adalah sekitar 17,8 ng/ml,

meskipun pada kasus-kasus ekstrim, konsepsi tunggal juga terjadi pada level yang lebih

rendah sekitar 3,8 ng/ml. Pada praktek klinis, level progesteron pertengahan-luteal 8

hari pasca ovulasi yang lebih besar dari 10 ng/ml menunjukkan fungsi luteal yang cukup

baik (kajian ulang pada Wathen dkk. 1984).

Fluktuasi harian level serum progesteron (terlihat pada Gbr.20.10) menyebabkan

kita untuk menduga bahwa secara statistik sekitar sepertiga dari semua pengukuran

progesteron akan berada di bawah 10 ng/ml, meski terlihat fase luteal yang normal.

Namun, pengukuran progesteron dalam kombinasi dengan estradiol, suatu cara

diagnostik yang relevan secara klinis yang memberi kesan pertama akan maturasi

folikel ketika estradiol dan progesteron ditentukan pada hari ke delapan pasca ovulasi.

Dalam batas-batas yang disebut di atas, maka adalah mungkin untuk menentukan

apakah telah terjadi ovulasi. Beberapa siklus haid harus dimonitor untuk menunjukkan

apakah pasien memiliki restriksi yang kontinu akan kualitas lutealnya ataukah tidak.

Pada kasus demikian, penyebab gangguan maturasi folikel harus diketahui sebelum

menentukan terapi selanjutnya.

Gangguan Maturasi Folikel

Bentuk yang ekstrim dari maturasi folikel yang terganggu adalah anovulasi dengan

amenorea, meskipun kasus-kasus ini adalah sangat jarang daripada yang mana siklus

haidnya masih tak terganggu (Grb. 20.11).

Amenorea

Amenorea adalah suatu gejala yang terjadi pada sebuah kelompok gangguan yang besar,

yang mengakibatkan tidak adanya menstruasi (haid). Amenorea dapat merupakan suatu

akibat dari endometrium yang disfungsional dengan level hormon yang normal atau bisa

dikarenakan gangguan aksis hipotalamo-pituitari-gonad dengan reaks endometrium

normal setelah substitusi hormon eksogen. Untuk tujuan ilmiah, amenorea dapat

diklasifikasi menurut kriteria WHO (Gbr. 20.12).

Page 32: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Amenorea bisa primer maupun sekunder. Klasifikasi ini tidak menceriterakan

apa-apa tentang penyebab amenorea, karena gangguan yang sama dapat berakibat

amenorea primer maupun sekunder. Amenorea primer didefinisikan sebagai tidak

adanya haid hingga usia 16 tahun. Hal ini penting secara klinis, karena pada 35-40%

pasien amenorea primer adalah akibat dari insufisiensi ovarium primer atau disgenesis

urogenital. Amenorea sekunder adalah tidak adanya haid untuk sekurang-kurangnya 4

bulan pada wanita yang telah mengalami sekurang-kurangnya satu kali siklus haid

spontan dalam riwayat hidupnya.

Amenorea primer. Pasien-pasien dengan amenorea primer tidak sering hadir pada

praktek infertilitas, karena kebanyakan penyebabnya adalah genetik dan telah

didiagnosis pada usia pubertas atau dewasa awal. Penyebab utama amenorea primer

adalah sindroma Turner dengan kariotip klasik X0. Pada kasus yang sangat langka,

pasien dengan sindroma Turner mengalami periode haid dan menderita amenorea

sekunder sebagai akibat dari insufisiensi ovarium.

Penyebab kedua yang palin sering untuk amenorea primer adalah Mullerian

dysgenesis, yang dikarakteristik oleh kegagalan kongenital tuba-tuba Fallopii, uterus

dan/atau vagina untuk berkembang. Sebuah contoh adalah sindroma Rokitansky-

Kuster-Hauser, yang merupakan suatu entitas klinis dengan aplasia vagina, uterus yang

rudimenter dan tuba-tuba Fallopii yang normal. Pada Mullerian dysgenesis, fungsi

ovarium adalah intak, sehingga gonadotropin-gonadotropin dan steroid-steroid seksual

menunjukkan level-level yang normal. Diagnosis diperoleh setelah klarifikasi

anatominya melalui pemeriksaan ginekologis, diagnostik pencitraan, histeroskopi, dan

mungkin laparoskopi diagnostik.

Pasien-pasien yang kekurangan berat badan sehubungan dengan tinggi badannya

dapat datang dengan amenorea primer. Arti penting berat badan untuk perkembangan

normal aksis hipotalamus pituitari ovarium terlihat pada hipotesis berat badan kritis,

yang mempostulasi bahwa berat badan tertentu harus dicapai sehubungan dengan tinggi

badannya sebelum haid dapat mulai (untuk kajian ulang lihat Knuth dkk. 1977). Selain

penyebab-penyebab umum amenorea primer ini, sejumlah defek-defek kongenital dan

eksogenik dapat mengganggu aksis hipotalamo-pituitari, yang berakibat pada defek

pengaturan hormon yang analog dengan yang telah dijelaskan pada pria.

Page 33: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Amenorea sekunder. Amenorea sekunder memainkan peran yang jauh lebih penting

dalam praktek infertilitas daripada amenorea primer yang telah digambarkan di atas.

Penyebab utama amenorea sekunder adalah kehamilan. Fakta ini harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang datang dengan gejala ini.

Bahkan jika seorang pasien telah didiagnosis dengan penyebab lain amenorea, harus

diingat bahwa suatu kehamilan berkembang dari suatu fase amenorea, dan bahwa haid

tidak perlu harus telah terjadi. Hal ini sering terlihat pada terapi yang efektif amenorea

hiperprolaktinemik.

Penyebab amenorea yang jarang adalah intrauterine synechia yang dapat

menyebabkan Asherman’s Syndrome dimana telah terjadi kerusakan endometrium

dengan akibat adhesi internal kavum uteri. Hal ini biasanya disebabkan oleh dilatasi dan

kuretase yang rumit seperti aborsi yang terinfeksi, atau kuretase yang sangat berlebihan,

namun sindroma ini dapat juga terjadi setelah endometriosis tak spesifik atau

tuberkulosis. Riwayat pasien adalah penting untuk diagnosis. Kecurigaan Asherman’s

Syndrome dapat diperkuat dengan level-level estradiol dan progesteron yang normal

pada fase luteal, atau melalui amenorea yang terus berlanjut setelah stimulasi hormonal.

Diagnosis diperoleh melalui histeroskopi, atau dengan keterbatasan, melalui

histerosalpingografi. Secara terapeutik, adhesiolisis kavum uteri harus disertai dengan

substitusi estrogen dan progesteron yang sekuensial dalam bentuk suatu pseudo-

pregnancy. Secara simultan, IUD dapat digunakan untuk menunda perkembangan

adhesi baru sambil endometrium berregenerasi.

Jika Asherman syndrome dan histerektomi dapat disingkirkan, maka penyebab

amenorea sekunder pada kasus-kasus sisa yang hadir di praktek infertilitas dapat dibagi

menjadi mereka yang dengan defek-defek hipotalamik dan pituitari, dan mereka yang

dengan kegagalan ovarium.

Amenorea hipotalamik adalah suatu diagnosis of exclusion dan merepresentasi defek

fungsional sekresi gonadotropin yang disebabkan oleh kehilangan berat badan yang

cepat, penambahan berat badan yang cepat, penyakit-penyakit sistemik, aktivitas fisik

yang ekstrim dan/atau situasi-situasi stres yang ekstrim (lihat Sect. 20.1.7). Amenorea

hipotalamik adalah kasus ekstrim dari gangguan maturasi folikel, dimana insufisiensi

Page 34: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

luteal atau anovulasi dengan haid normal terjadi karena penyebab-penyebab yang

disebut di atas sebelum perkembangan amenorea sekunder.

Hiperprolaktinemia sering merupakan penyebab amenorea. Disini sekali lagi

merupakan akibat yang ekstrim dari hiperprolaktinemia; insufisiensi luteal dan

anovulasi dengan haid normal terlihat jauh lebih sering. Pada hiperprolaktinemia kita

harus berpikir akan suatu adenoma pituitari atau hipotiroidisme sebagai faktor

penyebabnya.

Sebuah penyebab penting dari gangguan maturasi folikel, dan amenorea, adalah

sindroma policystic ovarian (PCO syndrome). Utamanya kita memikirkan seorang

pasien yang obese dengan gejala-gejala hiperandrogenik dan gambaran khas pada

diagnosis ultrasono yang dijelaskan di atas. Namun, yang disebut PCO syndrome atau

Stein-Leventhal Syndrome hanyalah titik akhir dari sekelompok gangguan patologis

yang berbeda dan beragam dan merepresentasi gangguan fungsi ovarium siklik dengan

naiknya level androgen/estradiol dan rasio LH/FSH yang tidak seimbang.

Selain tiga penyebab umum amenorea sekunder dan gangguan maturasi folikel

ini, penyebab-penyebab yang jarang akan tumor dan kista hipotalamik dan penyakit-

penyakit infiltratif hipotalamus atau kelenjar pituitari seperti tuberkulosis, sarkoidosis

atau histiocytosis X ada. Namun, ini jarang bahkan di pusat-pusat spesialisasi.

Berbeda dengan disfungsi aksis hipotalamo-pituitari, yang telah dapat ditangani,

diagnosis umum kegagalan ovarium primer biasanya merupakan titik akhir dari upaya

penegakan diagnosis infertilitas di negara-negara dimana donasi oosit dilarang oleh

hukum, karena atresia folikel primordial berakibat pada kehilangan absolut oosit.

Kegagalan ovarium prematur dikarakterisir oleh hilangnya fungsi ovarium sebelu usia

35 tahun. Ini bisa merupakan akibat dari kemoterapi atau terapi radiasi atau juga bisa

memiliki penyebab imunologis.

Hiperprolaktinemia

Hubungan yang ada antara gangguan fungsi reproduksi dengan laktasi telah lama

diketahui. Nama-nama designation ditemukan dalam literatur tua seperti Chiari-

Frommel syndrome (amenorea pascapersalinan dengan laktasi yang tetap ada); Argonz-

Page 35: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Ahumada Castillo syndrome (galaktorea dan menurunnya konsentrasi estrogen urine)

dan Albright-Forbes syndrome (amenorea, berkurangnya konsentrasi FSH urine dan

galaktorea). Setelah 1972, ketika pertama kali dimungkinkan untuk mengukur prolaktin

manusia, semua sindroma-sindroma ini ditemukan memiliki denominator umum, yakni

hiperprolaktinemia.

Berbeda dengan hormon-hormon lain dari kelenjar pituitari, prolaktin terutama

diregulasi melalui suatu faktor inhibitori hipotalamik. Inhibitor utama adalah dopamine.

Pada eksperimen tikus 70% dari sekresi prolaktin dapat dihambat melalui infus

dopamine, jika sisntesis dopamine androgenik telah diblok sebelumnya. Namun, γ-

aminobutyric acid (GABA) adalah faktor inhibitoris lainnya yang mana lebih lemah

efeknya dibandingkan dopamine.

Sejumlah zat-zat yang mengstimulasi juga telah ditemukan yang mana penting

bagi sekresi prolaktin jangka pendek. Zat-zat ini mencakup thyrotropin releasing

hormone (TRH), vasoactive intestinal peptide (VIP) dan angiotensin. Prekursor-

prekursor serotonin menyebabkan kenaikan signifikan dalam hal konsentrasi prolaktin.

Sebaliknya, blokade serotonin menghambat sekresi prolaktin. Opioid-opioid endogen

meningkatkan sekresi prolaktin dengan menghambat sintesis dopamine dan mengurangi

sekresi dopamine. Histamine dan substance P keduanya menstimulasi sekresi prolaktin,

meskipun mekanisme regulasi yang pasti belum diketahui.

Regulasi yang berbeda dari sekresi prolaktin menjelaskan beragam penyebab

hiperprolaktinemia. Kenaikan sedikit dalam konsentrasi prolaktin serum dapat

merupakan gejala disregulasi neurogenik sentral, seperti reaksi stres, dalam bentuk

disregulasi fungsional. Hiperprolaktinemia dapat disebabkan oleh ingesti berbagai

macam obat. Hipotiroidisme primer dapat juga menjadi penyebab hiperprolaktinemia.

Bahkan tumor-tumor yang tidak aktif secara hormonal yang dekat dengan kelenjar

pituitari dapat menyebabkan hiperprolaktinemia melalui perubahan-perubahan dalam

sirkulasi portal. Namun, konsentrasi prolaktin yang sangat tinggi biasanya disebabkan

oleh prolactin secreting tumors (prolactinoma) (untuk kajian ulang lihat Schlechte

2003).

Page 36: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Sekitar sepertiga dari semua pasien dengan amenorea sekunder memiliki

adenoma pituitari. Pada pasien-pasien dengan galaktorea yang terjadi secara simultan,

50% dari wanita-wanita tersebut menunjukkan pandangan kerucut yang abnormal dari

sella tursica. Infertilitas pada pasien-pasien ini terkait lebih erat dengan

hiperprolaktinemia daripada dengan ukuran tumor, kecuali tentu saja pada kasus-kasus

ekstrim.

Sebuah prolaktinoma menyebabkan kenaikan dalam konsentrasi dopamine

hipotalamik, yang pada gilirannya menyebabkan umpan balik negatif terhadap sekresi

GnRH. Ini menyebabkan penurunan sekresi gonadotropin, yang kemudian berakibat

pada anovulasi. Secara terapeutik, kita harus mengeluarkan adenoma ataupun

menurunkan konsentrasi prolaktin dengan memberikan suatu inhibitor spesifik.

Karena tidak semua kasus hiperprolaktinemia mengembangkan gejala-gejala yang tipikal, pemeriksaan konsentrasi serum masuk dalam tata cara penegakan diagnosis rutin pada infertilitas faktor wanita.

Sampel darah paling baik diambil saat kondisi basal di jam-jam pagi hari. Karena ini

biasanya tidak dapat diambil pada rutinitas klinis, maka kita harus mempertimbangkan

ritme sirkadian dan situasi subjektif saat sampel darah diambil ketika mengevaluasi

level serum yang diperoleh. Jika didiagnosis hiperprolaktinemia, maka levelnya perlu

diperiksa pada sampel kedua. Level serum prolaktin menunjukkan fluktuasi besar yang

dapat disebabkan oleh variasi stimuli fisiologis seperti nutrisi dan perilaku tidur, stres

dan aktivitas fisik. Asupan obat-obat pengstimulasi prolaktin harus juga

dipertimbangkan.

Sebelum memulai terapi hiperprolaktinemia ringan hingga medium (lebih

rendah dari 15 ng/ml) dengan suatu obat penghambat prolaktin level TSH (kurang dari 3

µU/l) harus didapatkan dari sampel darah yang sama dalam upaya menyingkirkan

disfungsi tiroid. Dalam kasus ini, terapi tiroid mungkin berhubungan. Jika konsentrasi

prolaktin melebihi 50 ng/ml tanpa stimuli fisiologis yang diketahui, maka kita harus

melakukan MRI scan pada area hipotalamo pituitari.

Probabilitas adenoma pituitari adalah sekitar 1:5 ketika konsentrasi serum

prolaktin adalah di atas 50 ng/ml. Probabilitas meningkat hingga 1:2 jika konsentrasi

serum melebihi 100 ng/ml. Pada kasus-kasus dengan konsentrasi prolaktin yang lebih

Page 37: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

tinggi, maka hampir semua pasien memiliki mikroadenoma. Ketika level meningkat di

atas 1.000 ng/ml maka makroprolaktinoma adalah sangat mungkin.

Adenoma pituitari. Adenoma-adenoma pengsekresi prolaktin adalah tumor yang

paling sering pada kelenjar pituitari. Sekitar 50% dari semua adenoma pituitari yang

ditemukan pada otopsi pria dan wanita masuk dalam kelompok ini. Sembilan sampai

72% dari manusia yang diotopsi memiliki prolaktinoma, dengan insidensi tertinggi

terjadi pada dekade ke-6 kehidupan manusia. Tidak ada perbedaan dalam insidensi

antara pasien pria dan wanita, meskipun gejala-gejala klinis terlihat lebih sering pada

pasien wanita. Hiperprolaktinemia dapat didiagnosis lima kali lebih sering pada wanita

daripada pada pria.

Ketika penyebab-penyebab lain untuk hiperprolaktinemia telah disingkirkan,

maka kecurigaan akan suatu prolaktinoma dapat dikonfirmasi oleh MRI scan.

Mikroadenoma (diameternya <10 mm) terbedakan dari makroadenoma.

MRI scan lebih baik daripada CT scan untuk identifikasi mikroadenoma, da

merupakan tes diagnostik terbaik untuk menyingkirkan suatu adenoma. Pemeriksaan

oftalmologis hanya perlu ketika adenoma lebih besar dari 10 mm dalam diameternya.

Empty-sella syndrome. Sella yang abnormal secara radiologis dapat dilihat pada

empty-sella syndrome. Pada kasus ini diafragma sellae mengalami malformasi

kongenital. Defek ini menyebabkan ekspansi rongga subaraknoid ke dalam fossa

pituitari yang berakibat pada penggeseran bilateral kelenjar pituitari yang menyebabkan

sella tampak kosong. Sindroma ini tidak jarang. Terlihat pada 5% dari semua otopsi,

85% darinya adalah wanita. Empty sella syndrome adalah biasanya sindroma yang

jinak, sedangkan secara radiologis kadangkala terjadi kekeliruan diagnosis sebagai

sebuah tumor. Pada kasus-kasus ini intervensi bedah harus dilarang. Setelah diagnosis

dibuat, pemeriksaan tahunan konsentrasi prolaktin harus dilakukan. Jika ditemukan

hiperprolaktinemia, maka terapi dengan inhibitor prolaktin dapat dimulai (untuk kajian

ulang lihat Speroff dkk. 1994).

Belum lama ini, efek inhibisi langsung dari naiknya level prolaktin terhadap

maturasi folikel telah dicurigai. Atresia folikel, anovulasi, perkembangan korpus luteum

yang tidak memadai, dan lutealisis prematur dahulu tampaknya disebabkan hanya oleh

Page 38: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

kenaikan patologis konsentrasi prolaktin. Mekanisme-mekanisme ini telah ditetapkan

pada model tikus, tetapi belum jelas jika hal yang sama berlaku pada manusia.

Belakangan ini semakin banyak ahli percaya bahwa temuan-temuan yang

digambarkan di atas disebabkan oleh perubahan hipotalamik. Hiprprolaktinemia yang

diukur secara perifer tampaknya sekunder terhadap disregulasi saraf pusat yang

disebabkan terutama oleh suatu perubahan pada pola GnRH pulsatile. Perubahan pada

pola GnRH menunda sekresi gonadotropin normal, dan juga maturasi folikel.

Richardson dkk (1985) menunjukkan bahwa monyet-monyet rhesus dengan lesi-lesi

hipotalamik yang ditangani dengan GnRH pulsatile eksogenik konsentrasi progesteron

plasma pascaovulasi yang normal yang tidak tergantung dari level serum prolaktin.

Suatu korelasi antara level progesteron dengan prolaktin dalam satu kelompok wanita

dengan insufisiensi luteal tidak bisa ditunjukkan ketika dibandingkan dengan kelompok-

kelompok kontrol normal (untuk kajian ulang lihat Soules 1993).

Bahkan jika ini belum jelas secara keseluruhan apakah terdapat efek langsung

dari naiknya konsentrasi prolaktin serum terhadap maturasi folikel, atau jika asal-

muasalnya terletak pada perubahan sekresi gonadotropin, maka hiperprolaktinemia

secara meyakinkan adalah suatu penyebab infertilitas wanita dan makanya harus

diterapi.

Terapi bedah dan radiologis hiperprolaktinemia. Di masa lalu, sebelum agonis

dopamine tersedia untuk terapi hiperprolaktinemia, pasien-pasien dengan adenoma

pituitari dan tumor-tumor serupa lainnya dioperasi atau mendapat terapi radiasi. Data

mengenai pasien-pasien ini menunjukkan bahwa bedah saraf transpenoidal

menghasilkan siklus haid ovulatoris pada 80% dengan mikroadenoma, namun hanya

pada 40% dari mereka dengan makroadenoma. Namun, pada 30% dari pasien dengan

mikroadenoma, sebuah tumor muncul kembali. Angka kekambuhan makroadenoma

adalah sekitar 90%. Efek samping berat seperti panhipopituitarisme dan liquorfistula

terjadi dan membatasi indikasi untuk penanganan bedah saraf.

Hasil-hasil radiasi adalah inferior daripada yang pembedahan, sehingga bentuk

terapi ini hanya harus digunakan untuk penanganan pascaoperasi tumor-tumor besar

yang menunjukkan pertumbuhan baru, dan tidak berespon terhadap terapi farmakologis.

Page 39: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Di masa lalu, ditakutkan bahwa adenoma pituitari yang diterapi dapat

berekspansi selama kehamilan. Hal ini sangat tidak sering pada mikroadenoma (<1%)

dimana bahkan menyusui dapat dimungkinkan tanpa harus takut stimulasi adenoma

pituitari. Risiko pertumbuhan adenoma pituitari selama kehamilan meningkat, tentu

saja, dengan ukuran adenoma. Pada kasus makroadenoma dengan infiltrasi suprasella

kenaikan 15-35% dalam hal ukuran tumor sepertinya selama kehamilan, sehingga jika

diinginkan untuk memilik anak, maka direkomendasikan reduksi tumor. Pada kasus-

kasus ini harus dilakukan pemeriksaan oftalmologi selama kehamilan sekurang-

kurangnya setiap 3 bulan, dikombinasi dengan pengukuran prolaktin serum. Ketika

prolaktinoma meningkat selama perjalanan kehamilan maka harus dipertimbangkan

bromokriptin.

Karena bedah saraf saat kehamilan adalah, seperti waktu lampau, hanya

dilakukan ketika terjadi gejala-gejala akut, rekomendasi lenient yang baru ini

tampaknya konsisten. Namun, monitoring tradisionil dapat menjadi sesuatu yang

meyakinkan bagi pasien maupun dokternya.

Terapi farmakologis. Perkembangan inhibitor-inhibitor prolaktin sintetik

merepresentasikan suatu langkah penting dalam terapi hiperprolaktinemia.

Diperkenalkannya bromokriptine pada tahun 1970an memungkinkan terapi langsung

amenorea hiperprolaktinemik dan infertilitas untuk pertama kalinya.

Bromokriptine adalah sebuah lysergic acid derivative dengan aktivitas agonistik

dopamine, yang menghambat sekresi prolaktin dengan cara pengikatan pada reseptor

dopamine. Ketika kehamilan diinginkan maka ini adalah obat pilihan. Tergantung pada

konsentrasi prolaktin, dosis 0,625 - 2,5 mg di malam hari mungkin cukup untuk

menormalkan level prolaktin. Pada pasien-pasien dengan adenoma pituitari, mungkin

dibutuhkan 10 mg atau lebih sehari.

Meskipun bentuk terapi ini sangat efektif, reaksi-reaksi yang tidak diinginkan dapat

menyebabkan kurangnya kepatuhan. Sakit kepala dan mual sering terjadi selama

permulaan terapi. Pusing disebabkan oleh hipotensi ortostatik, karena transmitter neural

noradrenergik diganggu. Efek-efek ini dapat diminimalkan dengan cara perlahan-lahan

menaikkan dosisnya. Terapi harus selalu mulai dengan 0,625 mg yag diminum malam

Page 40: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

hari. Dosis dapat dinaikkan tiap 3 hari 1,25 mg di pagi hari hingga dosis akhir dicapai.

Aplikasi vaginal tablet bromokriptin yang uncoated dapat secara nyata menurunkan

efek samping obat ini (Ginsburg dkk. 1992). Karena bentuk aplikasi ini menghasilkan

laju resorpsi yang lebih tinggi dan mengeliminasi first pass effect of the liver, maka

dosis harian yang lebih rendah dapat mencapai efek-efek yang sama. Hal ini sering

dipakai di klinis.

Data penelitian menunjukkan bahwa sekitar 80% pasien dengan amenorea

hiperprolaktinemia secara reguler mengalami haid sebagai hasil dari terapi dengan

bromokriptin.

Pada 50-75% pasien dengan adenoma pituitari, terapi dengan agonis-agonis

dopamine memiliki pengaruh yang bermakna pada ukuran tumor. Neoplasia-neoplasia

tidak lagi terdeteksi pada 25-30% kasus-kasus ini yang mendapatkan terapi jangka

panjang. Dalam pandangan aspek ini, terapi farmakologis terhadap adenoma pituitari

harus menjadi metode pilihan. Bedah saraf transphenoidal hanya harus dipertimbangkan

jika terapi bromokriptine tidak mereduksi ukuran tumor. Hal ini juga relevan pada

kasus-kasus dimana level prolaktin kembali ke normal. Pada kasus ini, bukti mengarah

pada tumor non-fungsional yang menyebabkan hiperprolaktinemia yang semata-mata

dengan cara mengganggu suplai dopamine dalam stalk pituitari.

Jika terjadi kehamilan, terapi bromokriptin biasanya dihentikan. Tiga studi berskala

besar telah menunjukkan bahwa bahkan dengan penerusan terapi, tidak ada

konsekuensi negatif bagi fetus yang perlu ditakutkan (Holmgren dkk. 1986).

Sejumlah inhibitor-inhibitor prolaktin baru sekarang ini tersedia. Lisuride memiliki

aktivitas yang lebih tinggi, waktu paruh yang lebih panjang dan lebih baik

ditoleransi oleh beberapa pasien, sehingga pasien-pasien yang tidak mampu

meneruskan terapi bromokriptine dapat berpindah ke Lisuride.

Metagoline adalah suatu zat antiserotinergik yang bekerja melalui suatu

mekanisme non-dopaminergik dan dapat dicoba sebagai produk alternatif (Bohnet

dkk. 1986)

Page 41: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Zat baru adalah Cabergoline, suatu inhibitor prolaktin, yang hanya perlu diminum

satu sampai dua kali per minggu, dan yang tampaknya ditoleransi lebih baik

daripada bromokriptine pada ujicoba klinis awal.

Hiperprolaktinemia yang disebabkan oleh disfungsi tiroid harus ditangani melalui

terapi yang adekuat pada kelenjar tiroid.

Penyakit Polycystic Ovarian

Entitas-entitas berbeda yang terkombinasi di bawah istilah polycystic ovarian disease

adalah, berikut dari hiperprolaktinemia, penyebab yang paling penting dari infertilitas

anovulasi. Sebuah kajian ulang yang baik tentang penyakit kompleks ini baru-baru ini

terbit (Norman dkk. 2007). Gambaran klinis bervariasi dari pasien yang normal secara

fisiologis dengan siklus haid yang anovulasi hingga pasien oligoamenorik, adipose,

hirsutis yang pertama kali digambarkan oleh Stein dan Leventhal.

Tergantung pada sudut pandang penelitinya, tiga elemen kunci diagnostik yang

berbeda ditekankan: hiperandrogenemia, anovulasi kronik dan polycystic ovaries yang

diverifikasi dengan ultrasono. Asalnya perubahan tipikal dari ovarium, namun tidak

mutlak, membawa pada deskripsi penyakit ini. Saat ini dua sistem diagnostik

mendefinisikan PCOS: Definisi tahun 1990 dari National Institutes of Health (NIH)

memerlukan anovulasi kronik ditambah dengan gejala-gejala klinis atau laboratorium

hiperandrogenemia. Sebaliknya, kriteria yang disetujui pada tahun 2003 di Rotterdam

mengspesifikasi dua atau lebih gejala: anovulasi kronik, tanda-tanda klinis atau

biokimiawi hiperandrogenemia dan/atau polycystic ovaries (Rotterdam ESHRE/ASRM

Sponsored PCOS Consensus Workshop Group 2004).

Di masa lalu perubahan ovarium tipikal ini diasumsikan menyebabkan PCOS;

mekanisme patofisiologi yang mendasarinya disalahmengerti. Pada kenyataannya,

situasi anatomis diakibatkan oleh disregulasi hormonal perpetuated and aggravated in

suatu lingkaran setan. Perubahan-perubahan ini dapat disebabkan oleh disfungsi

hipotalamus, hipofisis, ovarium dan/atau adrenal yang semuanya sering dikombinasi

dengan oligo- atau amenorea, hirsutisme dan infertilitas. Polycystic ovaries yang

karakteristik terlihat ketika tidak ada ovulasi yang terjadi selama periode waktu yang

Page 42: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

panjang. “Polycystic ovarian disease” bukanlah sebuah diagnosis, namun suatu bentuk

prototipe dari anovulasi hiperandronemik kronik.

Studi-studi terakhir menunjukkan bahwa gangguan-gangguan yang sedikit

diketahui tentang sekresi androgen dan regulasi yang disfungsional tentang

biosintesis steroid adalah kekeliruan, yang menurut analisis oleh Androgen Excess

Society, terutama disebabkan oleh biosintesis androgen yang berlebihan, asupan

androgen yang meningkat atau metabolisme androgen yang meningkat (Azziz dkk.

2006).

Morfologi ovarium yang tipikal dengan beragam folikel-folikel subkapsular yang kecil

adalah sering, namun tidak adekuat untuk diagnosis. Banyak wanita dengan tidak ada

disfungsi hormonal memiliki lebih dari delapan kista folikuler subkapsular yang

berukuran kurang dari 10 mm. Studi-studi epidemiologis menunjukkan bahwa sekitar

25% dari seluruh wanita pramenopause menunjukkan tanda-tanda tipikal untuk penyakit

ovarium polikistik pada pemeriksaan ultrasono. Bahkan para wanita yang memakai obat

kontrasepsi oral dapat menunjukka gambaran ultrasono yang tipikal pada 14% dari

semua kasus (Clayton dkk. 1992). Prevalensi gangguan yang terkait dengan anovulasi

adalah hanya 5% dan 10%.

Tiga karakteristik esensial dibutuhkan untuk tiba pada suatu diagnosis yang

tepat.

Hiperandrogenemia. Hiperandrogenemia adalah karakteristik predominan dari

sindroma PCO dan terjadi pada kebanyakan kasus. Naiknya androgen dapat didiagnosis

melalui tanda-tanda klinis, parameter-parameter biokimia atau suatu kombinasi dari hal-

hal ini. Hirsutisme ditemukan pada lebih dari 60% dari semua wanita dengan PCOS.

Perbedaan-perbedaan oleh karena etnisitas harus dipertimbangkan.

Parameter-parameter laboratorium biasanya didapatkan dari testosteron serum

total dan level-level SHBG, dalam upaya mengobjektifikasi suatu kenaikan fraksi

androgen. Sekitar 20-40% dari seluruh pasien PCOS menunjukkan tidak adanya tanda

jelas akan hiperandrogenemia (Chang dkk. 2005). Banyak tes (assay) testosteron di lab

rutin tidak mampu berurusan dengan nilai-nilai yang relatif rendah bagi wanita dan

Page 43: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

tidak dapat membedakan antara pasien dengan nilai-nilai yang jelas normal dan mereka

yang dengan gejala-gejala hiperandrogenemik.

Anovulasi kronik. Suatu diagnosis anovulasi adalah kurang arbitrary daripada bukti

akan hiperandrogenemia. Ketika siklus melebihi 35 hari atau haid gagal terjadi selama

lebih dari 3 bulan, maka terdapat oligoamenorea atau amenorea. Namun siklus-siklus

reguler tidak menyingkirkan anovulasi sehingga penentuan progesteron pada paruh

kedua dari siklus adalah wajib untuk diagnosis. Jika terjadi anovulasi kronik, maka

prolaktin, LH atau FSH harus diukur sebagai tambahan.

Polycystic ovaries dikonfirmasi dengan ultrasono. Pada tahun-tahun belakangan

kemajuan teknologi, khususnya dalam resolusi teknologi pencitraan, telah sangat

memperbaiki kemampuan untuk diukurnya perubahan-perubahan ovarium. Standar-

standar sebelumnya yang berdasarkan pada pengukuran abdominal diadaptasi ke situasi

ginekologis. Saat ini lebih dari 12 folikel antara 2 dan 9 mm diameter selama fase

folikuler atau ukuran ovarium yang melebihi 10 ml adalah tanda-tanda suatu polycystic

ovary. Mengukur AMH (Anti-Muller Hormone) dapat memberikan petanda yang

potensial, karena konsentrasinya erat terkait dengan jumlah folikel-folikel antral (Pigny

dkk. 2006).

Meningkatnya produksi androgen berperan penting dalam patogenesis PCOS.

Biosintesis steroid. Dalam ovarium dan dalam korteks adrenal wanita mengikuti

mekanisme yang sama sebagaimana yang dijelaskan untuk laki-laki di Bab 2.

Androstenedione ovarium adalah dasar baik untuk testosteron maupun estrogen. Tidak

seperti pada laki-laki, LH dan ACTH tidak mengontrol produksi androgen melalui

mekanisme umpan balik inhibisi yang spesifik, karena androgen adalah hanya produk

sementara (byproducts) dari sintesis estrogen dan kortison. Agaknya kontrol

intraovarium terhadap produksi androgen memiliki peranan yang kritis. Dalam ovarium

androgen-androgen merepresentasikan suatu “necessary evil” (Rosenfield 1999). Di

satu pihak, mereka perlu untuk produksi estrogen dan mengakselerasi pertumbuhan

folikel-folikel kecil; di lain pihak, ketika sangat berlebihan mereka mencegah seleksi

folikel yang memimpin dan menyebabkan atresia. Pola-pola sekresi steroidal dari

pasien-pasien PCOS menunjukkan suatu disregulasi generalisata produksi androgen,

khususnya yang mempengaruhi level dari aktivitas 17-hydroxylase, dan 17,20 lyase.

Page 44: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Regulasi ini dapat memanifestasikan dirinya sendiri semata-mata sebagai

hiperandrogenemia ovarium, namun dapat juga menuju pada hiperandrogenemia

fungsional dari korteks adrenal. Kombinasi dari dua hal ini bukanlah jarang terjadi.

Dengan demikian PCOS dapat berasal dari produksi androgen patologis dari korteks

adrenal.

Tidak adanya pola ritmik yang benar sekresi gonadotropin dan steroid seksual

menyebabkan anovulasi yang persisten. Sehingga, level serum testosteron,

androstenedione, dyhydroepiandrosterone sulphate, ...7 Hydroxyprogesterone, dan

estrone meningkat. Kenaikan produksi estrogen-estrogen tidak terkait dengan sekresi

ovarium langsung. Produksi harian estradiol pada para wanita dengan penyakit ovarium

polikistik adalah sama dengan pada wanita-wanita normal dalam fase folikuler awal.

Naiknya konsentrasi estrogen serum agaknya berhubungan dengan aromatisasi perifer

androstenedione menjadi estrone di jaringan adiposa.

Tipikalnya, rasio LH terhadap FSH adalah lebih besar dari 3 pada penyakit

ovarium polikistik. Namun, 20 sampai 40% dari semua pasien dengan polycystic

ovaries tidak memiliki perubahan tipikal ini dalam rasio LH terhadap FSH. Analisis

pola denyut LH pada pasien-pasien PCO menunjukkan frekuensi yang identik dengan

para kontrol yang normal. Namun, amplitudo denyut individual, meningkat (12,2 + ..? 7

mU/ml) ketika dibandingkan dengan para kontrol normal pada fase awal atau

pertengahan folikuler (6,2 + 0,8 mU/ml) (Kazer dkk. 1987). Ini tampaknya merupakan

akibat dari suatu perubahan dalam frekuensi denyut GnRH.

Kenaikan dalam amplitudo denyut GnRH dengan frekuensi denyut yang konstan

mengurangi konsentrasi FSH perifer pada adanya pola-pola LH yang normal. Hal ini

menyebabkan pembalikan yang tipikal pada rasio LH terhadap FSH. Sehingga data

penelitian menunjukkan bahwa perubahan dalam sekresi gonadotropin yang sering

terkait dengan penyakit polikistik ovarium (polycystic ovarian disease) adalah karena

malfungsi dalam modulasi frekuensi dan amplitudo produksi GnRH. Namun, gangguan

primer sekresi LH tidak tampak sebagai asal muasal PCOS.

Opiat-opiat endogen mempengaruhi sekresi GnRH hipotalamik. Telah

diperlihatkan bahwa metabolisme endorphin dapat dimodulasi pada penyakit ovarium

Page 45: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

polikistik ketika dibandingkan dengan para kontrol. β-endorphin dan adrenocorticotrope

hormone (ACTH) berasal dari prekursor yang sama yang disebut proopiomelanocortin

(POMC). Diketahui bahwa level β-endorphin meningkat pada situasi-situasi dimana

produksi ACTH meningkat. Konsentrasi ACTH dan kortisol adalah normal pada pasien-

pasien PCO namun ini tidak menyingkirkan laju metabolisme yang lebih tinggi

substansi-substansi ini. Karena level β-endorphin meningkat pada situasi-situasi stres,

dan pasien-pasien dengan PCO menunjukkan angka yang lebih tinggi akan reaksi stres

psikologis, adalah mungkin bahwa ini merupakan satu faktor sentral dalam gangguan

mekanisme pengaturan normal.

Pengaruh hiperprolaktinemia pada regulasi hormon sentral dibahas sebelumnya,

dan menjelaskan hubungan yang tinggi dari hiperprolaktinemia dengan penyakit

ovarium polikistik.

Konsentrasi testosteron yang meningkat mengurangi sex hormone binding

globulin (SHBG) bebas yang dapat diukur sehingga para wanita yang anovulatoris

dengan ovarium polikistik biasanya memiliki level SHBG yang berkurang 50% oleh

karena hiperandrogenemia sekunder. Berkurangnya konsentrasi SHBG menaikkan

konsentrasi estrogen bebas, yang sekali lagi berkorelasi positif dengan kenaikan rasio

LH terhadap FSH. Naiknya konsentrasi estradiol bebas, dan metabolisme perifer

androstenedione menjadi estrogen mengurangi level FSH. Namun, suatu aktivitas

residual dari FSH tetap ada sehingga stimulasi yang berlanjut pada ovarium dengan

terjadinya produksi folikel yang ensuing. Aksis hipotalamus pituitari sepenuhnya intak,

dan bahkan merupakan dasar bagi perkembangan lanjut penyakit ovarium polikistik.

Namun demikian, maturasi folikel pada PCOS tidak berakhir pada ovulasi.

Maturasi folikel-folikel yang lebih kecil meluas selama beberapa bulan sehingga

tipikalnya 2-6 mm kista-kista folikel besar dihasilkan, yang pada gilirannya

memberikan nama pada penyakit ini. Karena folikel-folikel terbungkus dalam suatu

lapisan theca yang hiperplastik, stroma folikuler membesar dan secara konstan

menghasilkan steroid-steroid di bawah stimulasi gonadotropin yang berlanjut. Hal ini

menutup lingkaran setan sehingga penyakit ini diabadikan. Setelah folikel-folikel mati

dan lapisan sel-sel granulosa terdisintegrasi, maka bagian theca menetap sehingga

produksi androstenedione dan testosterone meningkat, sesuai dengan teori dua-sel yang

Page 46: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

dijelaskan di atas. Meningkatnya level testosterone selanjutnya mengurangi SHBG

dengan konsekuensi kenaikan estrogen-estrogen bebas. Secara bersamaan fraksi

testosterone bebas meningkat, dengan efek pada jaringan yang tergantung androgen.

Resistensi insulin. Sekitar 40% pasien dengan penyakit ovarium polikistik

menunjukkan meningkat resistensi insulin. Meskipun obesitas dan usia meningkatkan

probabilitas resistensi insulin, bahkan wanita non-obese dan wanita muda dengan PCOS

mungkin menunjukkan intoleransi glukosa. Pemberian infus glukosa menyebabkan

sekresi insulin yang berlebihan. Diperkirakan bahwa sekitar 10% dari semua kasus

intoleransi glukosa disebabkan oleh resistensi-insulin yang diinduksi-PCOS. Lima belas

persen dari semua kasus diabetes tipe II menunjukkan PCOS dalam riwayatnya.

Meskipun androgen-androgen dapat menginduksi sedikit resistensi insulin,

namun konsentrasi-konsentrasi yang ditemukan pada PCOS tidak mencukupi untuk

menjelaskan gangguan-gangguan metabolisme insulin. Jika produksi androgen

dihambat, maka sensitivitas insulin tidak mampu menormalkan. Sebaliknya, resistensi

insulin meningkat hanya dapat diabaikan ketika androgen diberikan, seperti pada

transeksual wanita-ke-pria. Tidak tergantung dari mekanisme meningkatnya level

insulin sirkulasi, pengikatan insulin pada reseptor IGF-I dalam sel-sel theca terjadi. Ini

meningkatkan produksi androgen thecal melalui stimulasi LH. Naiknya level insulin

sirkulasi meningkatkan produksi androgen pada resistensi insulin. Secara simultan,

level-level insulin yang meningkat menghambat produksi SHBG hepatik dan produksi

IGF binding protein-I. Meskipun terdapat indikasi bahwa hiperandrogenemia dapat

menyebabkan hiperinsulinemia, kebanyakan data percobaan menunjukkan bahwa

gangguan metabolisme insulin mendahului metabolisme androgen yang ireguler (Dunaif

1999).

Obesitas. Karena naiknya berat badan dan jaringan lemak abdomen menyebabkan

hiperinsulinemia dan berkurangnya toleransi glukosa, kita dapat mendeduksi bahwa

obesitas adalah faktor utama pada penyakit ovarium polikistik. Distribusi tipikal dari

distribusi jaringan lemak wanita di area pinggul tidak berperan besar. Sebuah metode

objektif untuk menentukan distribusi jaringan lemak adalah pengukuran rasio lingkar

pinggang-ke-pinggul. Jika rasio lebih besar daripada 0,85, maka mungkin terjadi

distribusi jaringan lemak yang android, dan harus diduga hiperinsulinisme. Jika rasio di

Page 47: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

bawah 0,75 mungkin adalah distribusi gynoid, yang jarang bersama dengan perubahan-

perubahan dalam metabolisme insulin.

Penyebab dan Faktor Risiko

Asal mula PCOS masih kurang jelas. Diduga suatu kombinasi kondisi lingkungan dan

faktor-faktor genetik. Menurut pemahaman baru, faktor-faktor yang mencetuskan

tampaknya berada kurang di dalam ovarium daripada di level hipotalamus-hipofisis da

pada efek-efek insulin yang terganggu. Pewarisan familial telah diketahui bertahun-

tahun dan belum lama ini dikonfirmasi dengan studi kembar pada 79% pasien yang

diwawancarai (Vink dkk. 2006). Suatu asosiasi genetika dengan petanda mikrosatelit

(D19S884) pada kromosom 19p13.2 adalah kontroversial.

Faktor-faktor lingkungan dalam artian “pengganggu endokrin” adalah sulit

untuk dibuktikan pada manusia. Pada eksperimen-eksperimen hewan meningkatnya

paparan terhadap androgen selama kehamilan mengakibatkan gambaran yang mirip

PCOS pada keturunan dari para wanita tersebut (Abbott dkk. 2005).

Diagnosis. Pemeriksaan endokrinologis berperan utama dalam menyingkirkan

kemungkinan suatu PCOS dan wajib bahkan jika pasien menunjukkan tidak ada

stigmata fisiologis namun anovulatoris. Gambaran ultrasono yang tipikal tidak memadai

untuk diagnosis, sebagaimana yang diyakini dahulu (lihat Gbr.20.9). menentukan level

testosterone, androstenedione, DHEAS, estradiol, LH, FSH, dan prolaktin pada paruh

pertama dari siklus haid mungkin membantu dalam menentukan bentuk penanganan

individual. Level kortisol dan 17-OH-progesterone melengkapi langkah-langkah

diagnostik dasar ketika diduga adanya keterlibatan adrenal.

Terapi. Karena penyakit ovarium polikistik biasanya mencakup kenaikan level

androgen, kenaikan kronis level estrogen, dan rasio LH terhadap FSH yang terbalik,

maka terapi harus mengintervensi lingkaran setan ini sebagai upaya untuk

memungkinkan terjadinya ovulasi. Metode-metode terapi adalah sebagai berikut:

1. Anti-estrogen (mis., clomiphen, tamoxifen, aromatase inhibitors)

2. Glukokortikoid (Dexamethasone 0,25-05 )

3. Terapi GnRH pulsatile melalui suatu pompa siklik

Page 48: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

4. Stimulasi HMG/FSH

5. Reduksi dengan pembedahan akan stroma ovarium

6. Medikasi anti-diabetik oral.

Bentuk-bentuk terapi 1-3 masih memungkinkan umpan balik dan mekanisme regulasi

maturasi folikel untuk terjadi. Sebaliknya terapi dengan hMG atau hCG/FSH secara

langsung bekerja pada level ovarium sehingga membawa risiko yang lebih tinggi akan

hiperstimulasi. Namun bahkan terapi clomiphen dikaitkan dengan angka 5% kehamilan

ganda. Reduksi bedah pada stroma ovarium penghasil androgen hanya dicoba bila

bentuk-bentuk terapi lain gagal.

Data penelitian menunjukkan bahwa 63-95% wanita yang infertil dengan

penyakit ovarium polikistik berovulasi setelah terapi clomiphen. Clomiphen adalah anti-

estrogen yang lemah dan menyebabkan kenaikan level gonadotropin. Senyawa ini

efektif secara oral dan mudah diresorbsi. Medikasi terdiri atas enclomiphene dan

zuclomiphene, dimana obat yang kedua ini menyebabkan akumulasi yang kuat setelah

siklus-siklus terapi yang berturut-turut (Young dkk. 1999). Terapi biasanya mulai

dengan 50 mg per hari selama 5 hari, mulai antara mulai antara hari ke-3 dan ke-7 siklus

haid. Dua puluh tujuh sampai 50% wanita berovulasi dengan dosis rendah ini. Pada

beberapa kasus, peningkatan hingga 150 mg per hari harus dipertimbangkan, dimana

26-29% berovulasi. Jika dosis ini tidak menghasilkan ovulasi, kita dapat menambahkan

dexamethasone (0,25-0,5 mg per hari), tergantung pada konsentrasi serum DHEA-

sulphate. Jika maturasi folikel terlihat pada ultrasono dan ditunjukkan dengan

konsentrasi hormone serum dan tidak terjadi ovulasi, maka ovulasi dapat diinduksi

dengan 5.000-10.000 IU hCG i.m. Jika kita mempertimbangkan bahwa normalnya

hanya 50% dari semua pasangan mencapai kehamilan dalam 3 bulan, dan bahwa 80%

membutuhkan waktu 1 tahun untuk terjadinya konsepsi, maka terapi harus dilanjutkan

untukn sekuang-kurangnya 6 bulan atau siklus jika ultrasono dan level-level hormon

menunjukkan fase luteal yang adekuat. Terapi ini memungkinkan angka keberhasilan

hingga 90% untuk terapi clomiphen, jika kofaktor lain untuk infertilitas telah

disingkirkan.

Tamoxifen bekerja serupa dengan clomiphen (Steiner dkk. 2005). Substansi ini

yang digunakan sebagai anti-estrogen sebagai terapi adjuvan untuk kanker payudara,

Page 49: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

belum diberi lisensi untuk infertilitas namun jelas kurang mahal (biaya terapi per siklus

ca. 1 dan dipilih daripada clomiphen untuk pertimbangan farmakologis.

Inhibitor-inhibitor aromatase mis., letrozol telah dicoba untuk terapi stimulasi

karena cara kerja mereka yang mirip (Badawi dkk. 2008). Meskipun mahal namun tidak

ada kelebihan efek terapinya. Namun, efek embriotoksik yang telah dibahas, dapat

disingkirkan pada studi komparatif dengan clomiphen (Tulandi dkk. 2006).

hMG dan FSH. Jika terapi dengan clomiphen tidak menghasilkan ovulasi atau

konsepsi, langkah berikut adalah terapi dengan gonadotropin. pasien-pasien dengan

hiperandrogenemia memiliki angka keberhasilan yang lebih jelek daripada mereka yang

dengan amenorea hipotalamik murni. Karena pasien dengan penyakit ovarium polikistik

adalah sangat sensiti terhadap stimulasi hMG, terapi ini membentuk keberadaan pada

garis batas yang halus antara induksi ovulasi dengan hiperstimulasi dengan risiko

kehamilan ganda. Setelah ditemukannya FSH yang dimurnikan dahulu diharapkan

bahwa rasio LH/FSH dapat dikoreksi dalam upaya mencapai bentuk terapi yang lebih

baik. Namun, hasil-hasil klinis hingga saat ini tidak jelas menunjukkan hasil yang lebih

baik dalam terapi dengan FSH yang dimurnikan (Bairdt dan Howless 1994). Satu

keuntungan dari produk-produk FSH yang baru adalah injeksi subkutan yang mungkin.

Studi-studi yang tidak memiliki kontrol menunjukkan angka konsepsi yang lebih tinggi

dan angka hiperstimulasi yang lebih rendah.

GnRH Down-Regulation. Terapi dengan stimulasi hMG dan hCG murni sering

menghasilkan puncak LH yang prematur dengan luteinisasi folikel. Beberapa ahli

percaya bahwa puncak LH yang prematur ini adalah penyebab utama keguguran di

kemudian hari, yang sering ditemukan pada penyakit ovarium polikistik. Namun, data

klinis tidak jelas sehingga down-regulation tidak harus direkomendasikan pada terapi

penyakit ovarium polikistik dengan hMG dan hCG.

Terapi GnRH pulsatile. Studi-studi berskala besar pada tahun 1980an menunjukkan

bahwa bentuk terapi ini menghasilkan angka kehamilan yang relatif tinggi tanpa risiko

tinggi hiperstimulasi. Pada pasien-pasien yang resisten terhadap clomiphen citrate,

terapi dengan GnRH pulsatil menghasilkan angka konsepsi 26% per siklus. Angka

konsepsi bisa dinaikkan hingga 38% dengan down-regulation yang simultan dan disertai

Page 50: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

dengan terapi GnRH pulsatil. Namun, angka keguguran 38% juga meningkat (untuk

kajian ulang lihat Filicori 1994).

Reseksi baji ovarium (ovarian wedge resection). Jika bentuk-bentuk terapi yang telah

disebut di atas tidak menghasilkan kehamilan, maka dapat dipertimbangkan reseksi baji

ovarium untuk mengurangi produksi androgen dalam stroma ovarium. Hingga 90%

pasien demikian menunjukkan siklus ovulasi normal setelah pembedahan. Namun,

sekitar sepertiga dari para wanita yang berhasil dioperasi mengalami oligoamenorea

dalam tahun berikutnya (Buttram dan Vaquero 1975). Angka konsepsi berkurang

hingga 1,8% per siklus, yang mungkin disebabkan oleh adhesi-adhesi adnexial setelah

operasi tersebut (Adashi dkk. 1981). Teknik bedah mikro dan endoskopik tampaknya

menghindari pembentukan adhesi dengan cara mengganti reseksi baji dengan

termokauterisasi, laser vaporisation dan elektrokoagulasi. Terapi-terapi ini sangat

efektif dan agaknya bertahan lama. Satu keuntungan adalah bahwa tidak ada angka

kehamilan ganda (Farquhar dkk. 2007).

Medikasi anti-diabetik oral. Studi-studi dilakukan dengan metformin dan troglitazone

untuk mengurangi resistensi insulin. Level androgen benar-benar membaik dan siklus-

siklus ovulatoris dicapai. Studi-studi sistematis telah dilakukan khususnya dengan

metformin. Di Jerman medikasi ini tidak diberi lisensi untuk induksi ovulasi pada

PCOS. Namun ini tidak mahal dan tampaknya tidak terkait dengan efek-efek toksik

fetus sehingga “off label use” tidak masalah. Angka ovulasi 46% dicapai dibandingkan

dengan plasebo (24%). Hal ini berkorespondensi dengan keefektifan clomiphen (Lord

dkk. 2003). Terapi komparatif 6 bulan langsung dengan mono-substansi Clomiphen vs.

Metformin menemukan angka kehamilan yang lebih baik secara signifikan (22,5 vs.

7,2% n=208, p< 0,001) pada kelompok clomiphen (Legro dkk. 2007). Kombinasi kedua

substansi tidak meningkatkan angka kehamilan (Moll dkk. 2006; Legro dkk. 2007).

Penurunan berat badan dan maturasi folikel. Tidak tergantung dari modalitas terapi

yang disebutkan di atas, terapi pasien-pasien obese harus berdasarkan pada penurunan

berat badan. Bahkan penurunan berat badan yang relatif kecil 2-5% dapat mencapai

perbaikan nyata dari hiperandrogenemia, resistensi insulin dan fertilitas (Moran

dkk.2006) dan superior dari medikasi antidiabetik oral.

Page 51: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Sedangkan kenaikan berat badan pada banyak pasien dengan penyakit ovarium

polikistik mempropagasi atau bahkan menginduksi disregulasi hormonal, pasien-pasien

yang kurang berat badan juga memiliki faktor risiko utama untuk gangguan maturasi

folikel dan amenorea. Proporsi besar pasien-pasien dengan amenorea hipotalamik

masuk dalam kelompok ini. Entitas klinis ini dikarakterisir oleh sekresi GnRH pulsatil

yang tidak adekuat. Diagnosisnya juga melalui eksklusi, dimana gangguan-gangguan

pituitari lain harus disingkirkan. Selain bukti berat badan yang kurang. Situasi stres

tertentu seperti amenorea pengungsi dapat menginduksi disregulasi hipotalamik. Pasien

demikian menunjukkan level gonadotropin yang sangat rendah atau tak dapat diukur.

Level-level prolaktin berada dalam batasan normal, dan pandangan kerucut pada sella

menunjukkan tidak adanya perubahan patologis. Tes tantangan progesteron dengan

dosis transformasi (seperti MPA gyn 5 mg 2xsehari selama 10 hari) tidak

mengakibatkan perdarahan, sehingga menunjukkan tidak adanya stimulus estrogen pada

endometrium.

Bentuk yang paling ekstrim dari amenorea berat badan rendah adalah anorexia

nervosa. Bentuk murni anoreksia sangat jarang ditemukan di klinik infertilitas. Namun

bentuk-bentuk minor dapat dilihat lebih sering pada pasien-pasien infertilitas.

Berbeda dengan anorexia nervosa, yang dapat memiliki disregulasi saraf pusat,

kehilangan berat badan sederhana mungkin suatu penyebab gangguan maturasi

folikel, dan mungkin mudah diabaikan. Namun, ketidakseimbangan elektrolit adalah

dapat dibandingkan dengan anoreksia. Studi-studi hormon menunjukkan konsentrasi LH

dan FSH yang rendah, naiknya level kortisol, prolaktin normal, level-level TSH dan L-

Thyroxine dengan fT3 normal rendah dan naiknya level-level T3 reverse. Kehilangan

berat badan yang ekstrim menyebabkan hilangnya sekresi LH episodik yang terkait

tidur, yang menunjukkan suatu pola yang biasanya ditemukan pada pubertas awal.

Pertambahan berat badan di dalam 15% dari berat badan ideal dapat menghasilkan

perbaikan gejala.

Selain berat badan rendah, aktivitas fisik dapat menyebabkan disregulasi siklik.

Banyak studi telah menunjukkan disregulasi haid pada para atlit, khususnya pada para

atlit lari jarak jauh dan penari ballet. Persentase amenorea adalah proporsional dengan

lari jarak jauh mingguan, dan terbalik proporsional dengan berat badan. Penurunan berat

Page 52: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

badan berakibat pada insidensi yang lebih tinggi siklus-siklus anovulasi dan penuruan

kualitas fase luteal. Mekanisme teoretik untuk gangguan sekresi GnRH adalah suatu

perubahan dalam metabolisme estrogen, dimana estradiol dikonversi menjadi estrogen-

estrogen catechol yang tampaknya memiliki kandungan anti-estrogenik.

Meningkatnya aktivitas fisik seperti berlari sering mengakibatkan “Runner’s

high”, yang dianggap sebagai akibat dari peningkatan opiat-opiat endogen. Opiat-opiat

endogen ini dapat menyebabkan kenaikan konsentrasi corticotropin releasing hormone

yang pada gilirannya mengurangi produksi gonadotropin. Produksi GnRH hipotalamik

tampaknya disupresi. Pada 49 dari 66 pasien dengan disregulasi hipotalamik maturasi

folikel, terapi dengan naltrexon 25-125 mg sehari menghasilkan siklus haid yang

normal. Angka kehamilan hampir sama dengan yang kontrol-kontrol normal (Wildt dkk.

1993). Alternatifnya, terapi GnRH pulsatil atau stimulasi hMG dan hCG dapat

dipertimbangkan, namun di sini sekali lagi terdapat risiko kehamilan ganda. Walau

demikian, pertama-tama berat badan harus dinormalkan.

Kegagalan Ovarium Primer

Pada pasien-pasien dengan amenorea sekunder, kegagalan ovarium primer harus

disingkirkan. Hal ini harus dilakukan selama pemeriksaan awal dimana level FSH dan

estradiol diukur. Jika seorang pasien dengan riwayat oligoamenorea memiliki level FSH

yang meningkat dan konsentrasi estradiol yang berkurang, maka dapat dibuat diagnosis

kegagalan ovarium primer. Level FSH harus berada sekurang-kurangnya dua standard

deviations di atas mean (rerata) pada fase folikuler, dan harus dikonfirmasi dengan

sampel kedua.

Satu persen dari semua wanita mengalami menopause prekoks dengan

kegagalan ovarium yang mulai sebelum usia 35 tahun. Penyebabnya biasanya tidak

diketahui. Kadangkala asal muasal kromosomnya dapat diidentifikasi; penyebab-

penyebab lainnya meliputi penyakit-penyakit otoimun, infeksi-infeksi virus, kemoterapi

dan/atau terapi radiasi sebelumnya.

Sindroma Turner dengan hilangnya satu kromosom X adalah salah satu dari defek-

defek kromosom manusia yang paling sering, dan terlihat pada satu dari 2.500 kelahiran

hidup. Tipikalnya, pasien-pasien ini menunjukkan perawakan yang pendek dan streak

Page 53: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

gonads. Namun, disfungsi ovarium memperlihatkan variasi-variasi yang ekstrim. Studi

ultrasono pada 104 pasien Turner muda menunjukkan ovarium-ovarium yang dapat

didemonstrasikan secara visual pada sepertiga dari mereka (Massarano dkk. 1989).

Banyak dari wanita-wanita ini mengalami penghilangan yang tidak lengkap dari

kromosom X. Hal ini menjelaskan laporan-laporan kasus kehamilan dan kelahiran hidup

sebelum kegagalan ovarium prematur mulai pada wanita-wanita dengan sindroma X0

dan kehilangan X parsial.

Beragam abnormalitas genetik lainnya terkait dengan hipogonadisme

hipergonadotropik. Namun demikian, mereka sangat jarang di klinik infertilitas normal

yang pemeriksaan diagnostik genetik rutin tampaknya tidak dijamin.

Selain penyakit-penyakit kromosom, beberapa penyakit genetik seperti

galaktosemia, dapat menyebabkan kegagalan ovarium prematur.

Kemoterapi dengan antimetabolit dan terapi radiasi dapat mengganggu fungsi

ovarium, dan harus dapat diidentifikasi pada riwayat pasien.

Belum jelas apakah toksin-toksin eksogen lainnya dapat berperan pada

kegagalan ovarium prematur. Analog dengan orchitis pada pria, diasumsikan bahwa

oophoritis dapat terjadi setelah gondongan. Namun, terdapat hanya sedikit laporan kasus

yang tidak memungkinkan pernyataan yang jelas mengenai isu ini.

Penyakit-penyakit otoimun. Terdapat beberapa bukti bahwa antibodi-antibodi

otoimun dapat menyebabkan kegagalan ovarium prematur. Penyakit-penyakit otoimun

yang tipikal seperti tiroiditis Hashimoto, penyakit Basedow, penyakit Addison,

hipertiroidisme, diabetes juvenil, anemia pernisiosa, alopesia areata, vitiligo dan

miasthenia gravis terkait dengan kegagalan ovarium. Para pasien sering memiliki

beberapa penyakit otoimun secara bersamaan, yang dikenal dengan “polyglandular

failure syndrome”. Asosiasi yang paling sering adalah penyakit tiroid dan penyakit

Addison.

Otoantibodi sirkulasi terhadap stroma ovarium dapat ditemukan dalam serum

pasien-pasien dengan kegagalan ovarium primer. Namun, tidak jelas apakah antibodi-

Page 54: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

antibodi adalah primer atau sekunder sebenarnya. Hal ini juga benar untuk penyakit

otoimun seluler dimana dapat ditemukan infiltrasi limfosit pada ovarium.

Argumen keempat untuk penyebab imunologis untuk kegagalan ovarium

prematur adalah korelasi yang signifikan secara statistik antara human leucocyte

antigens (HLA) dengan beberapa penyakit otoimun (untuk kajian ulang lihat Bakimer

dkk. 1994).

Selain penyebab-penyebab yang disebut di atas untuk hipogonadisme

hipergonadotropik, terdapat kasus-kasus jarang dengan reseptor-reseptor hormon FSH

yang defektif, dan lain-lain dengan gonadotropin-gonadotropin yang tidak aktif secara

biologis. Walau demikian, hal-hal ini tidak relevan dalam rutin klinis (lihat kajian ulang

oleh Themmen 2005).

Terapi. Setelah mendiagnosis kegagalan ovarium prematur, substitusi dengan

kombinasi estrogen dan progesteron harus direkomendasikan. Pada kasus-kasus jarang,

para pasien menunjukkan remisi dan mungkin dapat mengalami konsepsi (Shangold

dkk. 1977). Namun, suatu terapi kausal adalah tidak mungkin pada pasien-pasien

infertilitas dengan hipogonadisme hipergonadotropik. Donasi oosit dan embrio dilarang

secara hukum di Jerman. Di USA angka keberhasilan antara 22% sampai 50% dicapai

dengan prosedur-prosedur ini.

Page 55: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

BAB III

Infertilitas karena Gangguan-gangguan Migrasi Gamet

Setelah memeriksa fungsi ovulasi pada infertilitas wanita, kita harus

mempertimbangkan suatu gangguan dalam perjalanan oosit dan sperma (lihat gambar

20.13 untuk pembahasan ringkas) Perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dalam

vagina, serviks, uterus dan tuba Fallopii, dan juga pelviperitoneum.

Vagina dan Serviks

Variasi-variasi anatomis vagina, seperti septae transversa dan longitudinal, atau bahkan

aplasia vagina, adalah nyata. Perubahan-perubahan dalam lingkungan vaginal dapat

merupakan penyebab lain untuk infertilitas. Produksi asam laktat melalui glikogenolisis

memberi vagina pH 4-4,5, sehingga merepresentasikan lingkungan yang tidak

bersahabat bagi sperma. Produksi mukus serviks fisiologis pada waktu ovulasi

menciptakan prasyarat pertama bagi perjalanan sperma ke dalam saluran genital.

Infeksi-infeksi vaginal dengan meningkatnya duh tubuh, perubahan pH, dan

transudasi leukosit adalah mengganggu bagi motilitas dan naiknya sperma. Pemeriksaan

klinis pertama pada pasien seharusnya mencakup a wet mount of a vaginal smear dalam

upaya untuk menyingkirkan adanya bakteri patogenik dan leukosit. Infeksi vagina harus

juga disingkirkan bila jika tes pascakoitus patologis telah terdiagnosis karena mukus

yang jelek meski terdapat estrogenisasi yang baik. Infeksi bakteri, virus, dan jamur, dan

juga trichomadiasis harus dipertimbangkan. Patogen-patogen yang paling sering adalah

gardnerella vaginalis, neisserria gonorhoeae, chlamydia, mycoplasma, dan ureaplasma.

Infeksi-infeksi virus mungkin terkait dengan infeksi herpes dan cytomegaly. Candida

albicans adalah infeksi jamur yang paling sering.

Semua bentuk vaginitis dapat meliputi servisitis, yang menyebabkan perubahan

dalam pH mukus serviks, dan dapat merepresentasikan suatu penyebab infertilitas.

Terapi dapat lokal atau sistemik tergantung pada patogen yang terisolasi. Perubahan-

perubahan pasca infeksi di dalam serviks dapat mengakibatkan stenosis atau kerusakan

pada kripta servikal dengan produksi mukus yang jelek. Apusan serviks pada pasangan

yang infertil menunjukkan infeksi mycoplasma pada 12%, dan bakteri aerobik

Page 56: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

patogenik pada 31% dari pasien-pasien yang diperiksa (Eggert-Kruse dkk. 1992).

Operasi-operasi serviks seperti elektrokoagulasi, cryotherapy, laser vaporization, atau

conization mungkin suatu indikasi untuk inseminasi uterine, jika perjalanan servikal

dari sperma tidaklah mungkin.

Anomali Saluran Genitalia Wanita

Asal usul embrionik dari sistem urogenital adalah kompleks dan menjelaskan banyak

anomali kongenital yang ditemukan. Gangguan pada satu dari banyak langkah fusi

dapat berakibat pada agenesis parsial atau komplit dari duktud-duktus tertentu.

Anomali-anomali kongenital sering mencakup sistem urinarius.

Uterus

Agenesis atau aplasia unilateral dari duktus Mullerii mengakibatkan suatu uterus yang

unicornis. 0,1-3% dari semua wanita memiliki anomali uteri yang bervariasi oleh karena

fusi Mullerii yang terganggu. Ini bervariasi dari uterus subseptus unicollis hingga

uterus, serviks, dan vagina yang ganda. Terapi bedah seharusnya hanya

direkomendasikan setelah dengan mempertimbangkan semua kemungkinan penyebab-

penyebab lain untuk infertilitas. Karena ko-eksistensi infertilitas dengan, sebagai

contoh, suatu uterus septate, tidak seharusnya jadi penyebab.

Anomali-anomali uteri yang didapat meliputi fibroid dan adhesi. Leiomyomata

uterina ditemukan pada 20-25% dari seluruh wanita yang berusia reproduksi. Mereka

biasanya asimptomatik. Fibroid-fibroid ini dapat saja subserosa, atau lebih penting lagi,

intramural, submukosa, dan/atau pedunculated, yang dapat menjadi penyebab

infertilitas. Sebuah kajian ulang terhadap 27 studi dari 1982 hingga 1996 yang

melaporkan angka kehamilan setelah myectomy. Sembilan studi adalah prospektif

(Vercellini dkk. 1998) angka kehamilan terkombinasi mereka adalah 57% (95%

confidence interval 48-65%). Interval median dari pembedahan sampai kehamilan

bervariasi antara 8 sampai 20 bulan. Sayangnya tidak ada studi yang membandingkan

hasil-hasil dari pembedahan dengan non-intervensi (hanya menunggu), sehingga

perbaikan apapun dalam probabilitas konsepsi setelah myectomy tidak bisa secara

dijamin secara pasti.

Page 57: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Tuba-tuba Fallopii

Defek-defek kongenital tuba Fallopii adalah sangat jarang, khususnya jika organ-organ

yang sisa adalah normal. Pada kasus-kasus yang jarang, aplasia satu sisi dari ovarium

dan anomali uteri dapat terkombinasi dengan aplasia satu sisi dari tuba Fallopii.

Penyebab untuk kasus langka bagian yang hilang dari tuba Fallopii belum diketahui.

Tuba Fallopii dapat dibagi secara morfologis ke dalam empat segmen:

Segmen interstisial adalah bagian dari tuba Fallopii yang melewati dinding uterus dan

dikelilingi dengan miometrium. Endosalpinx terdiri atas sel-sel sekretoris dan

bersilia yang membentuk lipatan-lipatan longitudinal dalam bentuk sebuah bintang.

Diameternya sekitar 400 µm.

2. Bagian isthmus dari tuba berada pada bagian ketiga proksimal dari tuba Fallopii.

Endosalphinx di sini memiliki lebih banyak sel-sel sekretoris daripada sel-sel

bersilia.

3. Ampulla terdiri atas dua pertiga lainnya dari lateral tuba Fallopii. Silia bergerak ke

arah uterus dan lebih penting untuk transport oosit dan embrio. Prosedur-prosedur

bedah pada bagian isthmus tuba Fallopii masih memungkinkan angka kehamilan

sekitar 80%. Namun, reseksi ampula menghasilkan angka kehamilan yang jelas lebih

rendah. Bagian besar dari kehamilan ektopik ditemukan di ampulla, karena fertilisasi

dan perkembangan embrio awal terjadi pada segmen tuba ini.

4. Infundibulum dikelilingi oleh fimbriae, yang memiliki kontak erat dengan ovarium.

Ostium menerima oosit saat ovulasi melalui mekanisme yang belum diketahui.

Perubahan-perubahan patologis karena penyakit infeksi, adhesi atau operasi

mengakibatkan angka infertilitas yang tinggi, dan sulit untuk diterapi dengan

pembedahan.

Fisiologi Fungsi Tuba

Motilitas tuba, sekresi, dan aktivitas siliaris adalah prasyarat bagi proses kompleks

transport sperma, kapasitasi, pengambilan kembali oosit, fertilisasi, perkembangan

zigot, dan transport oosit dan zigot (juga lihat Bab 3). Tuba Fallopii menunjukkan suatu

Page 58: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

pola kontinu dan kompleks akan kontraksi spontan. Hubungan antara kontraksi dan

transport gamet belum jelas. Berbeda dengan saluran gastrointestinal, tidak ada gerakan

peristaltik reguler yang terjadi melebihi jarak yang lebih besar. Segmen-segmen

individual secara simultan berkontraksi dengan arah yang berlawanan dan jarak-jarak

yang pendek. Sehingga transport oosit menjadi diskontinu dengan gerakan yang menuju

dan menjauhi uterus. Karena gerakan terutama menuju uterus, maka oosit akhirnya

berakhir di endometrium kavum uteri.

Arti penting dari kontraktilitas tuba untuk transport sperma masih belum jelas.

Kita akan berasumsi bahwa perjalanan tubal adalah hasil dari motilitas sperma. Namun,

setelah inseminasi, sperma dapat ditemukan 5 menit kemudian dalam kavum peritoneal,

sehingga kontraksi tuba pasti memiliki peran besar dalam transport primer sperma.

Asumsi lanjut adalah bahwa kontraksi-kontraksi uterus dan tuba-tuba saat hubungan

seksual berperan dalam transport sperma yang cepat. Namun demikian sperma yang

mencapai tuba Fallopii dengan cara ini tampaknya tidak penting dalam fertilisasi.

Pergerakan siliaris tuba diarahkan menuju uterus, sehingga transport sperma

pada arah lain pasti karena mekanisme-mekanisme lain. Aktivitas sekretoris dari tuba

Fallopii mungkin berperan dalam transport sperma. Sekresi tuba terbanyak pada saat

ovulasi, dan glikoprotein-glikoprotein kental ini tampaknya melemahkan gerakan

siliaris dengan cara demikian sperma-sperma dapat melewati tuba Fallopii dengan

upayanya sendiri, seperti yang mereka lakukan pada mukus servikal pertengahan-siklus.

Setelah sekresi mukus berkurang, gerakan siliaris menuju uterus direaktivasi sehingga

oosit yang terfertilisasi dapat ditransportasikan dengan arah yang benar.

Produksi mukus tuba distimulasi oleh estrogen dan dihambat oleh progestin.

Sejumlah protein yang ditemukan dalam sekresi tuba, yang tidak dapat ditemukan

dalam serum, tampaknya penting bagi fungsi reproduksi.

Berbeda dengan testis, gamet-gamet wanita ditransportasikan melalui suatu

sistem terbuka. Setelah meninggalkan permukaan ovarium, oosit harus melalui kavum

peritoneum dalam upaya mencapai tuba Fallopii. Studi-studi mikroskopis pada manusia

telah menunjukkan bahwa pada waktu ovulasi fimbriae dan ostium tuba adalah

berkontak secara langsung dengan ovarium. Hal ini berhubungan dengan kontraksi-

Page 59: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

kontraksi tuba Fallopii, mesosalpinx, dan fimbriae. Menariknya, kehamilan adalah

mungkin dengan hanya satu ovarium dan satu tuba Fallopii kontralateral.

Salpingostomi bedah pada kasus adhesi fimbriae menghasilkan hanya sedikit

angka kehamilan, yang menunjukkan arti penting dari mekanisme penjemputan ini.

Hanya bagian yang sangat kecil dari begitu banyaknya sperma yang

didepositkan secara intravagina saat hubungan seksual mencapai tuba Fallopii (lihat

Gbr. 20.14). Hanya sperma yang terbentuk optimal dan motil yang mampu melalui

mekanisme filtrasi dan seleksi saluran wanita untuk mencapai ampulla dan lokasi

fertilisasi.

Fertilisasi mungkin terjadi pada distal ampulla. Sperma tampaknya dapat

bertahan 24-48 jam dalam saluran genitalia wanita, dengan beberapa laporan

kemampuan bertahan hidup hingga 96 jam. Namun, oosit hanya dapat difertilisasi

selama 24 jam. Oosit yang terfertilisasi mulai pembelahan dalam tuba Fallopii. Zigot

manusia tidak memiliki sumber nutrisi ataupun kontak sel yang konstan saat

transportasi. Sehingga zigot yang sedang berkembang harus dipertahankan oleh sekresi

tuba hingga ia terimplantasi dalam kavum uteri setelah sekitar 1 minggu.

Penyakit-penyakit Tuba Fallopii

Proses-proses kompleks perjalanan tubal menunjukkan bahwa gangguan-gangguan pada

area ini dapat menyebabkan infertilitas. Anomali-anomali kongenital tidak sepenting

anomali yang didapat, seperti adhesi yang disebabkan oleh endometriosis atau infeksi.

Infeksi Chlamydia adalah yang paling penting.

Salpingitis

Sembilan belas persen dari semua wanita dengan salpingitis menunjukkan adanya

infeksi dengan chlamydia (Hoyme dkk. 1988). Empat persen dari pasien yang menjalani

laparoskopi oleh karena infertilitas tuba memperlihatkan kultur-positif chlamydia.

Karena banyak infeksi pelvis tidak memiliki gejala atau hanya gejala-gejala yang tidak

spesifik, maka perjalanan tubal harus diperiksa pada semua pasien yang tidak mencapai

kehamilan setelah 6 bulan, meskipun fungsi luteal baik.

Page 60: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Probabilitas infertilitas tuba pada pasangan-pasangan dengan sterilitas sekunder

meningkat dengan suatu faktor 7,5 dengan riwayat penyakit kelamin. Seorang pasien

dengan appendektomi memiliki risiko 4,7 untuk infertilitas faktor tuba ketika

dibandingkan dengan kontrol. Riwayat kehamilan ekstrauteri sebelumnya meningkatkan

risiko 21 kali lipat, dan riwayat penyakit radang panggul sebelumnya meningkatkan

risiko dengan suatu faktor 32 (Thonneau dkk. 1993).

Suatu oklusi tuba pada bagian fimbriae dapat menyebabkan pembengkakan yang

mirip sosis pada tuba dengan pengurangan struktur dinding (sactosalpinx).

Salpingectomy bilateral sebelum IVF yang direncanakan akan menggandakan

probabilitas kehamilan. Apakah obstruksi satu sisi juga harus dikoreksi tidak bisa

disimpulkan dengan pasti pada saat ini (Johnson dkk. 2004).

Tes-tes diagnostik untuk Patensi Uterus dan Tuba

Tes-tes yang ada untuk patensi tuba adalah

1. Insuflation tuba Fallopii dengan CO2

2. Histerosalpingografi

3. Chromopertubation dan laparoskopi diagnostik

Insuflasi Tuba

Metode ini pertama kali digambarkan pada tahun 1920an dan tidak dapat dihandalkan.

Tidak ada informasi jelas yang bisa didapatkan apakah obstuksi tuba terletak pada satu

atau kedua sisi. Perbandingan langsung dengan laparoskopi menunjukkan diskrepansi

yang besar pada hasil-hasilnya. Metode ini bahkan tidak seharusnya dipakai untuk

prosedur skrining.

Histerosalpingografi

Histerosalpingografi (HSG) adalah prosedur yang jauh lebih penting. Ini dapat

dilakukan pada pasien rawat jalan setelah memberikan analgesik seperti indomethacin

1-2 jam sebelumnya. Pemeriksaan tuba dilakukan dengan suatu fluoroscope. Pada

kasus-kasus jarang, spasme tuba dapat mengarahkan ke diagnosis yang keliru akan

Page 61: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

oklusi tuba. Obat-obat spasmolitik seperti butylscopolaminebromide 1-2 ml i.v harus

dicoba.

Dosis radiasi ovarium bervariasi antara 1,7 mGy untuk 100 mm film

fluoroscopic dan 2,8 mGy untuk 24 x 30 cm spot film. Prosedur ini biasanya

dijadwalkan 2-5 hari setelah perdarahan haid untuk meminimalkan gangguan kehamilan

awal yang mungkin.

Risiko prosedur diagnostik radiografik ini adalah infeksi yang memiliki

probabilitas 1%. Identifikasi pasien yang berisiko telah diupayakan melalui sampel

darah yakni leukosit, c-reactive protein, dan laju sedimentasi. Namun, studi-studi kami

sendiri telah memperlihatkan bahwa ini memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang

kurang baik (Knuth dkk. 1982).

Beberapa penulis merekomendasikan antibiotik profilaksis seperti doksisiklin

200 mg dua hari sebelum prosedur yang diikuti dengan 5 hari yang 100 mg. Tidak ada

rekomendasi yang seragam, dan kami tidak menggunakan antibiotik profilaksis.

Selama histerosalpingografi kavum uteri dengan mudah dapat digambarkan da

septae, polip, dan fibroid submukosa mudah terlihat. Dalam upaya mengevaluasi arti

penting dari prosedur diagnostik ini, angka kehamilan yang merupakan konsekuensinya

harus dikorelasikan dengan hasil-hasil sebelumnya. Histerosalpingografi normal diikuti

dengan kehamilan pada 46% kasus dengan inseminasi donor. Anomali atau defek uterus

dengan patensi tuba bilateral menghasilkan angka kehamilan 34%. Anomali uterus

normal dengan oklusi tuba unilateral menghasilkan angka kehamilan 40% setelah

inseminasi donor (Stovall dkk. 1992).

Angka konsepsi yang relatif tinggi meski pemeriksaan histerosalpingografi yang

patologis mungkin terkait dengan faktor-faktor pria yang optimal saat inseminasi donor.

Hal ini harus dipertimbangkan jika faktor pria pada pasangan infertil juga terganggu.

Ketika membandingkan histerosalpingografi dengan laparoskopi dan

chromopertubation ditemukan diskrepansi yang lebih besar. Sehingga prediksi-prediksi

dari HSG tampaknya tidak optimal. Korelasi positif dari data ditemukan pada 62% dari

104 pasien yang diperiksa (Adelusi dkk. 1995). Jika hasil histerosalpingografi normal,

Page 62: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

pada 96% kasus laparoskopi dan chromopertubation adalah juga normal. Jika hasil HSG

tidak jelas, dan diduga adanya lesi, maka laparoskopi hanya berkorelasi pada 63%

kasus. Lesi-lesi mencurigakan pada tuba-tuba Fallopii hanya berkorelasi pada 54%,

sehingga Opsahl dkk (1993) melakukan deduksi bahwa para wanita dengan HSG

normal yang tidak mengalami konsepsi harus menjalani laparoskopi diagnostik.

Interpretasi HSG dapat dioptimalisasi melalui suatu sistem kateter khusus yang

memperfusi tiap tuba Fallopii secara individual. Pada prosedur ini, adalah mungkin

untuk mengukur tekanan yang diperlukan untuk mencapai patensi pada tiap tuba

individual. Tuba normal membutuhkan tekanan 429 + 376 mmHg, tuba patologis

membutuhkan tekanan 957 + 445 mmHg (Gleicher dkk. 1992). Prosedur serupa dapat

dilakukan secara kurang invasif dengan sonografi dupleks (Allahbadia 1992). Zat-zat

kontras sonografik yang barusan dikembangkan memungkinkan HSG dilakukan secara

keseluruhan dengan ultrasono (Degenhardt dkk. 1995). Teknik baru ini dapat

menyediakan dapat menyediakan prosedur skrining sederhana di klinik infertilitas,

meskipun kita harus mempertimbangkan batas-batasnya dalam evaluasi patensi tuba.

Jika HSG dilakukan dengan cara klasik maka sebaiknya digunakan medium

kontras suspensi minyak karena ini memberi hasil suatu angka kehamilan yang lebih

tinggi dibandingkan dengan kasus-kasus dimana digunakan bahan hidrofilik (Watson

dkk. 1994). Namun, harus dipertimbangkan risiko kecil pembentukan granuloma yang

menyertai media berminyak.

Sebagai kesimpulan, sono-histerosalpingografi dapat direkomendasikan sebagai

suatu prosedur skrining untuk patensi tuba pada wanita-wanita dengan riwayat

sebelumnya yang uneventful, tes-tes chlamydia negatif, dan periode non-konsepsi

kurang dari 1 tahun. Jika persyaratan ini tidak dipenuhi, harus dilakukan laparoskopi

dan chromoperturbation.

Histeroskopi dan Laparoskopi

Metode standar untuk diagnosis kondisi pelvis dan patensi tuba adalah laparoskopi

dikombinasi dengan chromoperturbation dan histeroskopi. Berbeda dengan

histerosalpingografi, adhesi-adhesi endometriosis, penipisan tuba Fallopii, dan

Page 63: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

perubahan-perubahan ovarium dapat didiagnosis secara optimal oleh seorang dokter ahli

bedah yang berpengalaman.

Histeroskopi. Prosedur ini dapat dilakukan tanpa anestesia umum bila tidak

direncanakan laparoskopi berikutnya. Sebuah endoskop yang kaku atau fleksibel

dilewatkan melalui os servikal ke dalam kavum uterus yang, karena biasanya ia kolaps,

harus diregangkan dengan sebuah medium. Dapat digunakan dextrin molekuler tinggi,

CO2 atau dextrosa 5% dalam air. Dapat digunakan channel instrumen yang terpisah,

yang melaluinya forseps, alat elektrokauter atau alat laser dapat dilewatkan.

Laparoskopi. Laparoskopi biasanya dilakukan dengan anestesi umum dan intubasi.

Setelah insisi sub umbilikus, dan insuflasi kavum peritoneal dengan CO2, dimasukkan

trocar laparoskopik dan laparoskop. Risiko prosedur ini adalah perforasi gastrointestinal

atau pembuluh besar. Ini terjadi pada sekitar 0,1% dari semua pemeriksaan. Setelah satu

atau dua insisi tambahan dibuat untuk memasukkan alat-alat lain, maka zat warna dapat

diinjeksikan melalui kanula intrauteri. Observasi langsung membuktikan patensi tuba

jika zat warna meluap dari ostium.

Karena adhesi-adhesi intrabdomen dapat diasosiasikan dengan patologi intratuba

tanpa gangguan jelas akan patensi tuba, maka telah diimplementasikan cara-cara

diagnostik baru. Falloskopi dilakukan dengan endoskop-endoskop yang sangat halus

yang mana melaluinya tuba Fallopii internal dapat diinspeksi saat histeroskopi atau

laparoskopi. Endoskop-endoskop ini memiliki sistem optik khusus dalam upaya

mencegah kerusakan pada mukosa Fallopii (Venezia dkk. 1993).

Terapi

Tergantung pada patologi tuba Fallopii baik itu adhesiolisis, fimbrioplasti,

salpingostomi atau anastomosis dapat dipertimbangkan. Adhesiolisis meliputi semua

prosedur bedah mikro yang dilakukan untuk mendapatkan kembali mobilitas tuba

Fallopii dan ovarium. Fimbriolisis dilakukan dalam upaya memobilisasi fimbriae,

defek-defek peritoneal dijahit dengan hati-hati. Fimbrioplasti adalah rekonstruksi

fimbriae yang ada pada suatu oviduct yang teroklusi parsial atau total pada kasus oklusi

total, ostium dibuka dan serosa di everted untuk membuat sebuah fimbriostium. Jika

Page 64: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

oklusi ampularis membutuhkan reseksi sebagian dari tuba, maka dilakukan suatu

salpingoneostomi. Anastomosis dapat dilakukan pada setiap segmen dari tuba Fallopii.

Saat ini hasil-hasil prosedur-prosedur bedah mikro harus dibandingkan dengan

mereka yang program IVF. Namun, kita harus mempertimbangkan bahwa bedahmikro

mungkin merupakan bentuk terapi kuratif bagi seorang pasien, sedangkan IVF hanyalah

suatu bentuk terapi yang temporer. Angka-angka kehamilan setelah salpingolisis,

fimbriolisis, dan ovarialisis dengan pembedahan berada antara 39-69%. Pada statistik

ringkas, angka kehamilan median 40% telah dihitung setelah teknik-teknik

konvensional.

Namun demikian, penyakit-penyakit tuba pasca-inflamasi yang memerlukan

fimbrioplasti dan salpingostomi memiliki hasil-hasil yang lebih jelek. Sebuah penelitian

di University of Munster menunjukkan angka kehamilan hanya 25% pada pasien-pasien

demikian (untuk pembahasan ringkas lihat Schneider dan Karbowski, 1989). Ketika

memutuskan bentuk terapi, harus dipertimbangkan ketersediaan dokter ahli bedah yang

berpengalaman. Pasien harus dirujuk ke bagian bedah mikro khusus, jika tidak akan

direkomendasikan prosedur IVF yang segera.

Page 65: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

BAB IV

Endometriosis

Meskipun dapat dipertanyakan apakah histerosalpingografi atau laparoskopi adalah tes

diagnostik yang lebih baik untuk mengecek patensi tuba, laparoskopi mutlak diperlukan

untuk mendiagnosis endometriosis peritoneal.

Patogenesis dan Epidemiologi

Endometriosis adalah suatu gangguan dimana endometrium atau jaringan mirip

endometrium ditemukan di lokasi-lokasi selain dari kavum uteri. Jaringan-jaringan

ektopik mungkin terlibat dalam perubahan-perubahan siklik yang patologis dan normal

pada endometrium. Penyebab sebenarnya endometriosis, yang dapat menyebabkan

infertilitas, adalah belum diketahui dan banyak teori telah dibahas. Hingga saat ini, teori

yang diterima adalah bahwa endometriosis terjadi melalui implantasi sel-sel

endometrium individual dan fragmen-fragmen endometrium yang dilewatkan melalui

tuba-tuba Fallopii ke dalam kavum peritoneum secara retrograde selama menstruasi.

Diasumsikan bahwa sel-sel ini kemudian berimplantasi pada permukaan peritoneum dan

tumbuh menjadi lesi-lesi endometrium. Setelah proliferasi lanjut partikel-partikel

jaringan ini bertumbuh sehingga memungkinkan visualisasi makroskopik. Sebuah

kajian ulang mengenai penyakit yang sering ini ditemukan dalam Giudice dan Kao

(2004).

Endometriosis ditemukan pada 5-10% dari semua wanita usia reproduksi.

Namun, prevalensinya jauh lebih tinggi pada wanita dengan masalah-masalah

infertilitas.

Gejala-gejala

Gejala-gejala utama dari endometriosis adalah nyeri pelvis, perdarahan disfungsional,

dan infertilitas. Patofisiologi bagaimana endometriosis menyebabkan infertilitas adalah

multifaktorial. Ini mencakup faktor-faktor mekanis, derivatif toksik dalam cairan

peritoneum, dan juga gangguan-gangguan imunologis dan hormonal.

Page 66: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Namun, penyebab utama infertilitas berada pada adhesi-adhesi yang ditemukan

pada tahap-tahap progresif endometriosis. Adhesi-adhesi perituba dan periovarium

menghambat interaksi antara tuba uterina dengan ovarium, yang penting pada waktu

ovulasi. Oklusi tuba proksimal sering ditemukan. Meskipun endometriosis sering ada

pada ovarium, lesi-lesi kecil tampaknya tidak memiliki peran dalam fertilitas.

Endometriosis yang lebih besar, atau endometrioma, dapat menginvasi stroma ovarium,

menghancurkan jaringan normal. Ini disebut “kista coklat”.

Patofisiologi

Secara fisiologi, ovarium-ovarium dan tuba-tuba dikelilingi oleh cairan peritoneum,

yang volumenya naik hingga sekitar 20 ml pada waktu ovulasi. Pengaturan volume

cairan peritoneum terganggu pada wanita-wanita dengan endometriosis. Zat-zat

embriotoksik juga ditemukan dalam cairan peritoneum dari wanita-wanita ini. Setelah

menginkubasi sperma dengan cairan peritoneum pasien-pasien endometriosis, kita

melihat penurunan motilitas pada analisis terkomputerisasi ketika dibandingkan dengan

kontrol. Agaknya, prostaglandin dan makrofag menghambat motilitas sperma.

Peningkatan konsentrasi prostaglandin dalam cairan peritoneum mungkin

mengubah kontraktilitas tuba, sehingga transport sperma, oosit dan zigot dimodifikasi.

Namun, antiphlogistics non-steroid tidak mampu memperbaiki infertilitas. Normalnya,

cairan peritoneum mengandung 0,5 - 2 juta leukosit per ml, porsi terbesar darinya

adalah makrofag. Jika endometriosis ditemukan pada peritoneum, maka terdapat

kenaikan proporsional dalam makrofag. Walau demikian, kita tidak bisa melihat apakah

perubahan-perubahan dalam cairan peritoneum ini adalah akibat atau penyebab

endometriosis.

Pasien-pasien dengan endometriosis memiliki level-level IgM, IgG dan IgA

yang meningkat bila dibanding dengan kontrol-kontrol normal. Namun, ditemukan

korelasi terbalik dari imunoglobulin dengan derajat keparahan endometriosis. Beberapa

penulis menduga bahwa endometriosis adalah penyakit otoimun, namun ini masih harus

dibuktikan.

Diagnosis endometriosis mungkin melalui observasi visual langsung atau

pemeriksaan histologis saat laparoskopi atau laparotomi. Kita harus teliti untuk

Page 67: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

memeriksa seluruh peritoneum pelvis secara sistematis dalam upaya menemukan lesi-

lesi endometriotik yang diskret. Tidak cukup untuk hanya melakukan satu pandangan

diagnostik yang cepat melalui endoskop dan membiarkan pasien pulang ke rumah

dengan diagnosis endometriosis setelah melihat beberapa lesi coklat-hitam topikal.

Seringkali hanya pemeriksaan histologis akan menunjukkan perubahan-perubahan

endometriotik yang khas.

Penentuan Stadium Endometriosis

Setelah dibuat diagnosis endometriosis, maka harus dilakukan klasifikasi stadium. Hal

ini biasanya dilakukan dengan bantuan klasifikasi American Fertility Society yang

direvisi (Tabel 20.1)

Di Jerman kita sering menggunakan klasifikasi endoskopik untuk endometriosis

menurut Semm, yang dibagi ke dalam empat grup.

Grup I: Tuba yang paten dan normal dengan lesi-lesi endometriotik pada epitel

dengan diameter di bawah 5 mm

Grup II: Lesi-lesi endometriotik dengan diameter lebih dari 5 mm yang mungkin

melibatkan adhesi-adhesi periovarium, perituba, kandung kemih, dan/atau stenosis

atau fimosis tuba-tuba uterina.

Grup III: Adenomyomata dalam uterus atau dalam bagian intramural tuba uterina,

kista-kista coklat, lesi-lesi pada ligamen-ligamen sakrouterina atau suatu

sactosalpinx.

Grup IV: Endometriosis ekstragenital

Karena laparoskopi adalah tes invasif, metode skrining lain untuk endometriosis telah

dicari di masa lalu. Parameter yang paling banyak digunakan adalah petanda tumor Ca

12-5, yang merupakan antigen membran yang berasal dari epitel yang dapat diukur

dalam serum. Level-level Ca 12-5 meningkat pada wanita-wanita kanker ovarium

epitelial dan neoplasia-neoplasia lain pada pelvis. Kenaikan-kenaikan sedikit juga

ditemukan pada wanita-wanita dengan endometriosis. Namun, sensitivitas dan

Page 68: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

spesifisitas parameter ini adalah sangat rendah sehingga wanita dengan endometriosis

ringan mungkin memiliki level yang normal.

Terapi

Karena patofisiologi penyakit ini belum sepenuhnya jelas, maka tidak ada terapi yang

ideal. Jika pembentukan adhesi dengan gangguan fungsi tuba, endometrioma-

endometrioma besar, atau tuba-tuba Fallopii yang teroklusi dapat didiagnosis, pilihan

utama terapi adalah bedah mikro, pada beberapa kasus setelah terapi obat sebelumnya.

Pada kasus-kasus lain belum jelas apakah terapi spesifik endometriosis bahkan

diperlukan. Bentuk terapi yang direkomendasikan harus disesuaikan dengan situasi

individual dari pasangan infertil.

Bentuk-bentuk terapi farmakologis tipikal mencakup

Progestin-progestin

Danazol

Analog-analog GnRH

Inhibitor-inhibitor aromatase

Kombinasi estrogen dan progestin, yang telah digunakan di masa lalu untuk mencapai

pseudo-pregnancy (kehamilan semu), hanya digunakan pada kasus-ksus jarang

(Schweppe 1995).

Danazol

Sebelum analog-analog GnRH diperkenalkan, danazol merupakan pilihan utama

setelah ditemukan pada tahun 1971. Bersama dengan agonis-agonis GnRH the Food

and Drug Administration (FDA) secara formal melisensi danazol untuk terapi

endometriosis. Namun, studi-studi buta-ganda terkontrol tidak pernah tampaknya

menunjukkan keefektifan yang lebih baik terapi danazol dibandingkan dengan terapi

progestin murni (misalnya, medroxyprogesterone acetate 20-30 mg/die selama 6

bulan). Dalam upaya memahami mekanisme kerja, kita harus berasumsi bahwa

reseptor-reseptor untuk estrogen dan progestin terkandung di dalam lesi-lesi

endometriotik, dan bahwa neutralisasi ligan-ligan akan menyebabkan atrofi lesi-lesi. Ini

adalah prinsip utama terapi farmakologis untuk endometriosis.

Page 69: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Walau demikian, pada wanita-wanita pramenopause, situasi hipogonadotropik

yang ekstrim tidak diproduksi, meskipun puncak-puncak LH dan FSH tengah-siklus

tertekan. Lebih penting lagi, danazol tampaknya mengganggu pengikatan hormon-

hormon seks dengan reseptor-reseptornya. Danazol terutama berikatan dengan

reseptor-reseptor progestin dan androgen, dan cukup menarik, tidak dengan reseptor

estrogen. Danazol menyingkirkan testosterone dan estradiol dari SHBG, dan

progesterone dan kortisol dari globulin pengikat kortikosteroid. Konsekuensinya,

kenaikan fraksi-fraksi bebas dari hormon-hormon ini dengan gejala-gejala klinis

masing-masing, seperti hiperandrogenemia, terjadi. Selain itu, danazol mengurangi

sintesis SHBG hepatik sehingga konsentrasi-konsentrasi serum androgen bebas naik

lebih lanjut. Danazol secara langsung menghambat enzim-enzim yang mensintesis

estrogen-estrogen.

Danazol tersedia secara internasional dalam tablet 200 mg; dosis harian adalah

sekitar 800 mg yang dibagi empat dosis. Tidak ada kehamilan yang bisa terjadi selama

terapi ini, yang biasanya dilakukan selama 6 bulan. Upaya untuk menurunkan dosis

mengurangi gejala-gejala klinis yang merugikan, namun tidak menunjukkan efek-efek

yang equivalen pada laparoskopi kontrol. Pada setiap kasus tujuan terapi seharusnya

amenorea. Level-level serum estradiol harus di bawah 40 µg/ml pada endometriosis

minimal, dan di bawah 20 µg/ml pada kasus-kasus yang lebih berat.

Angka kehamilan setelah terapi danazol berada antara 28-72%. Jika

endometrioma yang diameternya lebih besar dari 1 cm telah divisualisasi, maka harus

dilakukan terapi bedah. Satu studi menunjukkan bahwa pasien-pasien dengan

endometriosis minimal yang diterapi selama 6 bulan dengan danazol mencapai angka

kehamilan 37% setelah fase kontrol 12 bulan. Namun, kelompok kontrol yang tidak

diterapi memiliki angka kehamilan 57% (Seibel dkk. 1982). Ini memberi keraguan

pada aturan bahwa endometriosis perlu terapi pada semua kasus. Dengan mendapatkan

gambaran klinis keseluruhan dengan deskripsi laparoskopik yang optimal dan diagnosis

penyakit adalah esensial sebelum menentukan suatu bentuk terapi.

Terapi endometriosis dengan danazol tidaklah kuratif, karena bahkan lesi-lesi

atrofik dapat lagi berproliferasi setelah penutupan terapi. Angka kekambuhan berada

antara 33% dan 39%. Kebanyakan kehamilan terjadi pada bulan ke-7 setelah terapi.

Page 70: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Jika tidak terjadi konsepsi selama waktu ini, maka kita harus pertimbangkan bentuk

terapi lainnya.

Kenaikan konsentrasi androgen menyebabkan virilisasi pada beberapa pasien.

Efek-efek samping terapi danazol mencakup penambahan berat badan, jerawat,

hirsutisme dan pengurangan volume payudara. Pada kasus-kasus jarang, suara menjadi

lebih dalam, yang mana harus dipertimbangkan bagi orang yang profesinya penting

untuk penggunaan suaranya. Efek-efek samping ini tampaknya ireversibel.

Analog-analog GnRH

Analog-analog GnRH adalah pilihan yang bagus untuk induksi pseudo-menopause yang

reversibel dimana kondisi hipogonadotropik dan hipoestrogenik yang equivalen dengan

kastrasi sementara dicapai. Prinsip bentuk terapi ini telah dibahas di bab lain buku ini.

Mekanisme pada wanita serupa dengan pada pria, dimana down-regulation

mengakibatkan konsentrasi estradiol rendah yang diinginkan. Keberhasilan terapi secara

langsung proporsional dengan besarnya pengurangan estradiol.

Agonis-agonis GnRH mungkin tidak memiliki efek langsung pada ovarium.

Terapi yang berhasil dikarenakan semata-mata oleh defisiensi estrogen. Evaluasi angka

kehamilan setelah terapi GnRH dan danazol memperlihatkan hasil-hasil yang serupa.

Karena efek samping hiperandrogenemik dari terapi danazol, maka tampaknya bahwa

terapi GnRH akan direkomendasikan.

Efek samping utama dari terapi agonis GnRH adalah hipoestrogenemia

profunda meliputi flushes, kekeringan vagina, libido berkurang, dan kadangkala depresi.

Tidak ada pengaruh pada lipoprotein plasma. Selama perjalanan terapi 6 bulan,

penurunan massa tulang dapat reversibel setelah penutupan terapi.

Inhibitor-inhibitor Aromatase

Studi-studi oleh Zeitoun dan Bulun (1999) menunjukkan ekspresi abnormal aromatase

dalam lesi-lesi endometrial, sehingga suatu pengurangan sistemik suplai estrogen akan

memberi sedikit efek. Di sini inhibitor-inhibitor aromatase dapat memberi kemungkinan

terapeutik yang inovatif (Shippen dan West 2004).

Page 71: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Terapi Bedah

Terapi bedah diindikasikan pada pasien-pasien infertil dengan pembentukan adhesi

yang ekstrim, ovarium-ovarium yang membesar, dan nyeri yang tidak berkurang setelah

terapi farmakologis dan pada pasien-pasien lanjut usia yang pada mereka terapi medis

yang berkepanjangan tidaklah tepat. Individualisasi terapi adalah penting karena

sebagaimana pada terapi bedah mikro, pengalaman dokter ahli bedah yang tersedia

memiliki arti penting untuk terapi yang berhasil.

IVF

In vitro fertilization dapat menawarkan kemungkinan satu-satunya bagi pasien-pasien

dengan endometriosis ekstrim, meskipun hasilnya buruk pada kelompok pasien ini

(Simon dkk. 1994). Namun, studi lainnya menunjukkan angka kehamilan 29% per

transfer pada pasien-pasien endometriosis dibandingkan dengan 25% pada kontrol

(Dmowski dkk. 1995).

Page 72: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

BAB V

Antibodi-antibodi Sperma

Jika faktor-faktor hormonal dan klinis infertilitas wanita telah disingkirkan, maka

dipertimbangkan kemudian penyebab-penyebab imunologis.

Sistem imun mukosal merepresentasikan struktur imunokompeten terbesar pada tubuh

manusia, dan mencakup mayoritas sel-sel plasma yang memproduksi-antibodi endogen.

Antibodi-antibodi yang terdeteksi dalam sampel darah atau limfe biasanya merupakan

kelompok IgG, sedangkan antibodi-antibodi yang ditemukan dalam sekresi seperti

mukus servikal biasanya kelompok IgA.

Patofisiologi

Meskipun seorang wanita yang aktif secara seksual terpapar dengan sejumlah besar

antigen-antigen potensial dalam bentuk spermatozoa, sistem imun wanita dapat

biasanya tidak diaktivasi dengan cara ini. Faktor-faktor yang berbeda dapat memainkan

peran dalam mekanisme ini (Jones 1994). Sebagai contoh, antibodi-antibodi non-

spesifik yang mengitari sperma dengan cara protektif, yang menghalangi respon

imunologis, telah dibahas (untuk kajian ulang lihat Marshburn dan Kutteh 1994).

Tes Antibodi

Tes-tes antibodi sperma biasanya tergantung pada agglutinasi sperma dan immobilisasi

sperma oleh antibodi-antibodi serum. Namun demikian, pengukuran antibodi-antibodi

serum terhadap spermatozoa adalah tanpa arti penting klinis, karena level-levelnya tidak

berkorelasi dengan yang sekresi genital. Pengukuran ELISA memberi hasil yang sangat

bervariasi, tergantung pada antigen mana yang digunakan dari rentang protein-protein

spermatozoa yang lebar. Hal ini menjelaskan mengapa data penelitian sangat

kontradiktif.

Metode terbaik untuk menentukan antibodi-antibodi pada wanita tampaknya

adalah indirect immunobead test. Sperma donor diinkubasi dengan cairan tubuh yang

akan diperiksa, kemudian menjalani berbagai pencucian dengan sebuah buffer.

Antibodi-antibodi terhadap IgA, IgG, dan pada beberapa kasus IgM, yang terikat pada

Page 73: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

partikel-partikel lateks kecil, ditambahkan dan kemudian jumlah spermatozoa donor

dengan immunobeads yang terlekat dihitung (WHO 2009).

Antibodi-antibodi spermatozoa ditemukan pada sekitar 2-3% dari populasi

umum. Kemungkinan menyebabkan suatu respon imunologis yang teramplifikasi

terhadap inseminasi intrauteri dengan menggunakan banyak sekali spermatozoa tidak

bisa dikonfirmasi dari beberapa studi (Marshburn dan Kutteh 1994).

Antibodi-antibodi sperma dalam mukus servikal berkorelasi terbalik dengan

jumlah sperma hidup selama tes pasca sanggama. Namun, korelasi yang positif antara

antibodi-antibodi sirkulasi dengan angka kehamilan tidak dapat dibuktikan (Eggert-

Kruse dkk. 1989). Sebagai kesimpulan, arti penting antibodi-antibodi wanita masih

harus ditentukan. Pemeriksaan antibodi serum jelas bukan merupakan bagian integral

dari skrining rutin pasangan infertil. Jika tes pasca sanggama patologis ditemukan

meskipun faktor-faktor serviks yang baik, maka sekresi serviks harus diperiksa untuk

antibodi-antibodi. Hal ini juga berlaku bagi kasus-kasus infertilitas yang tak terjelaskan

lainnya.

Terapi

Deteksi antibodi-antibodi sperma dalam kombinasi dengan keadaan tak memiliki anak

yang berlarut-larut dan tak disengaja hanya mengindikasikan subfertilitas, karena studi-

studi telah memperlihatkan bahwa antibodi-antibodi ini tidak mutlak menghalangi

kehamilan spontan. Strategi-strategi yang berbeda-beda telah direkomendasikan untuk

mengoptimalkan probabilitas konsepsi.

Pemakaian kondom untuk beberapa bulan telah direkomendasikan di masa lalu

dalam upaya menghambat boostering (pendorongan) respons imunologis. Namun,

angka kehamilan yang lebih tinggi tidak dicapai dengan metode ini.

Hasil-hasil dari terapi imunosupresif dengan glukokortikoid bervariasi. Karena

arti penting dari antibodi-antibodi wanita belum jelas, dan efek samping dari terapi

ini dapat saja berat, maka ini seharusnya tidak direkomendasikan.

Demikian pula inseminasi intrauteri tidak tampak menaikkan angka kehamilan

secara signifikan. Studi-studi klinis menunjukkan bahwa setelah 6 bulan inseminasi

Page 74: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

intrauteri, angka kehamilan adalah sama dengan pasien-pasien yang tanpa antibodi-

antibodi sperma yang juga memiliki tes-tes pasca sanggama yang jelek (42,4% vs.

40,5%) (Check dkk. 1994). Hal ini menunjukkan bahwa antibodi-antibodi ini tidak

memainkan peran yang sangat besar dalam infertilitas.

Tidak jelas apakah luaran IVF dipengaruhi oleh antibodi-antibodi sperma wanita.

Beberapa penelitian memperlihatkan hasil fertilisasi yang lebih buruk pada kasus-kasus

ini. Pada sebuah studi dengan 2.363 pasien, tidak ada perbedaan dalam angka

kehamilan yang dapat ditemukan antara wanita-wanita yang dengan atau tanpa antibodi

sperma (Check dkk. 1995).

BAB VI

Abnormalitas Kehamilan Awal

Implantasi

Setelah terjadi fertilisasi di ampulla tuba Fallopii, maka mulailah pembelahan sel yang

cepat. Rincian perkembangan ini dijelaskan dalam Sect. 4.7. Sekitar 6-8 hari setelah

konsepsi, blastosit diimplantasi dalam kavum uterus, dan produksi hCG dapat diukur

sebagai tanda implantasi. Setelah kehamilan ditetapkan, ahli ginekologi akan

menghitung umur kehamilan, perlu untuk memonitor kehamilan, dan taksiran tanggal

persalinan. Dengan menggunakan aturan Nagele, tanggal kelahiran dapat ditentukan

dengan mengurangi 3 bulan dari tanggal periode haid terakhir dan menambahkan 7 hari

ke hari pertama haid terakhir. Aturan ini didasarkan pada siklus normal 28 hari, dan

jika ovulasi terjadi sebelum atau sesudah hari ke 14, maka taksiran tanggal partus harus

dikoreksi sesuai dengan perubahan itu. Penyimpangan dari konvensi yang sudah

diterima untuk mengkalkulasi umur kehamilan dapat menyebabkan kesalahpahaman

dan evaluasi yang tidak benar akan awal kehamilan.

Page 75: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Kehilangan Kehamilan

Konsepsi dan implantasi tidak mencukupi untuk mempertimbangkan terapi infertilitas

sebagai sesuatu yang telah berhasil karena banyak pasangan mengalami kehilangan

kehamilan.

Jika berat badan fetus di bawah 500 gr saat lahir, maka telah terjadi aborsi atau

keguguran. Berat fetus di atas 500 gr dari bayi yang lahir mati disebut stillbirth (lahir

mati). Sekitar 15% dari semua kehamilan berakhir dengan aborsi, dengan kehilangan

fetus yang diketahui secara klinis antara usia kehamilan minggu ke-4 dan ke-20.

Gambaran yang lebih akurat adalah sekitar 50% dari semua kehamilan yang berakhir

dengan aborsi karena banyak pasien mengalami aborsi antara minggu ke-2 dan ke-4

sebelum kehamilan menjadi terbukti secara klinis, di waktu mana pengukuran β-hCG

awal tidak dilakukan secara rutin.

Delapan puluh persen dari aborsi spontan terjadi dalam 12 minggu pertama

kehamilan. Tujuh puluh persen dari aborsi ini karena defek-defek kromosom.

Sedangkan wanita-wanita muda pada usia 20 tahun memiliki frekuensi aborsi sekitar

12%, wanita yang lebih tua pada akhir dari kehidupan reproduksi mereka memiliki

frekuensi aborsi 26%. Probabilitas aborsi meningkat secara signifikan ketika implantasi

tertunda (Wilcox dkk. 1999). Jika embrio normal dapat dideteksi dengan ultrasono,

maka probabilitas aborsi di kemudian waktu tenggelam hingga sekitar 5%. Namun, jika

terdapat riwayat lalu beberapa kali aborsi, angka ini meningkat oleh suatu faktor 4-5

(van Leeuwen dkk. 1993).

Epidemiologi

Satu keguguran adalah, seperti yang dapat dilihat di atas, bukan tidak biasa,

kenyataannya satu keguguran nyaris merupakan suatu pengalaman normal dari

kehidupan reproduksi wanita. Kehilangan kehamilan yang berulang adalah patologis

dan didefinisikan sebagai sekurang-kurangnya tiga keguguran berturut-turut.

Berdasarkan pada beberapa studi klinis, risiko keguguran selanjutnya berada di antara

30% dan 45% dan tidak, seperti yang dahulu diduga, naik lebih lanjut. Untuk kajian

ulang tentang penyebab-penyebab yang mungkin dan terapi lihat Rai dan Regan (2006).

Page 76: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

Faktor-faktor Etiologi

Sebuah penelitian pada 500 pasien dengan kehilangan kehamilan yang berulang

memberi indikasi akan frekuensi beragam faktor yang mungkin (Clifford dkk. 1994).

Tujuh puluh enam persen dari para wanita yang diperiksa mengalami keguguran

sebelum usia kehamilan minggu ke-13. Hanya 3% yang mengalami aborsi klinis setelah

waktu ini.

Pada 3,6% dari semua pasangan yang diperiksa suatu defek kromosom dapat

ditemukan, dimana translokasi berimbang merupakan diagnosis yang paling sering.

Lima puluh enam persen dari para wanita memiliki tanda-tanda morfologis

polycystic ovarian disease. Dua belas persen dari wanita-wanita ini memiliki level

LH pertengahan-folikel lebih besar dari 10 IU/l

Analisis lanjut akan konsentrasi LH dengan menggunakan analisis urine pagi hari

setiap hari menunjukkan hipersekresi LH pada 57% wanita.

Dalam kelompok 372 wanita dengan keguguran dini, 14% memiliki antibodi anti-

fosfolipid yang dapat diukur.

Sembilan wanita menunjukkan anomali uterus dimana enam orang memiliki

uterus berseptae, dan tiga orang uterus bicornis. Penggolongan tipe HLA tidak

dilakukan pada pasien-pasien ini.

Riwayat kemoterapi atau riwayat radiasi pria meningkatkan potensi defek-defek

kromosom, sehingga selain anomali fetus, juga mungkin terjadi peningkatan angka

keguguran (Meistrich 1993).

Faktor-faktor lingkungan dan toksin-toksin lain seperti merokok, asupan kafein yang

tinggi, dan alkohol telah dibahas sebagai zat-zat penyebab keguguran. Zat-zat anestetik

dan pelarut-pelarut pembersih telah dibahas sebagai bahaya yang tipikal dari lingkungan

kerja. Penjelasan penyebab-penyebab biasanya tidak mungkin pada kasus individual.

Jika defek-defek kromosom dapat disingkirkan maka faktor-faktor endokrin

harus dipertimbangkan. Disfungsi tiroid, penyakit-penyakit otoimun, dan diabetes

Page 77: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

melitus yang tidak terkontrol baik telah dikaitkan dengan keguguran, namun mungkin

tidak memiliki penyebab utama pada pasien-pasien infertilitas.

Makna penting dari suatu fase luteal yang tidak memadai dan polycystic

ovarian disease telah dibahas. Belum jelas apakah support pada fase luteal oleh

progesteron atau terapi hCG dapat memperbaiki angka kehamilan. Suatu efek yang

signifikan dari terapi hCG pada siklus-siklus IVF dengan analog GnRH dapat dilihat

pada fungsi luteal. Namun demikian, hasil-hasil ini adalah kontroversial pada situasi-

situasi klinis lainnya. Pada salah satu dari studi-studi klinis terakhir dapat diperlihatkan

bahwa pada pasien-pasien dengan down-regulation yang cukup oleh analog GnRH,

maka substitusi dengan hCG atau progesteron menghasilkan angka kehamilan yang

serupa (Soliman dkk. 1994).

Anomali-anomali uterus. Sekitar 12-15% dari semua wanita dengan kehilangan

kehamilan yang berulang memiliki anomali uterus yang dapat dikonfirmasi dengan

pemeriksaan ultrasono vaginal dan/atau histerosalpingografi. Pada 1.200 pemeriksaan

HSG ditemukan 188 anomali uterus kongenital (Makino dkk. 1992). Angka keguguran

tidak berbeda antara mereka yang dengan anomali ringan atau mereka dengan variasi

yang lebih ekstrim. Setelah koreksi bedah dengan metroplasti, 84% dari kehamilan yang

dihasilkannya dapat dilanjutkan hingga aterm. Pada 74 wanita yang belum mendapatkan

terapi bedah dan digunakan sebagai kontrol, 94% dari kehamilan berakhir dengan aborsi

spontan sebelum usia kehamilan minggu ke-12. Data ini menunjukkan arti penting

pemeriksaan anomali uterus pada pasien-pasien dengan kehilangan kehamilan yang

berulang-ulang.

Infeksi-infeksi. Pentingnya penyakit infeksi khususnya pada aborsi yang terjadi setelah

usia kehamilan minggu ke-12 adalah perlu untuk diperhatikan. Sampel-sampel

mikrobial harus diperiksa untuk Chlamydia, ureaplasma, toxoplasmosis dan Listeria

monocytogenis dan juga Mycoplasma hominis.

Otoimun. Sepuluh sampai 16% dari para wanita dengan kehilangan kehamilan yang

berulang memiliki antibodi anti-fosfolipid (Plouffe dkk. 1992). Antibodi ini memblok

sintesis prostasiklin, dan menghasilkan aktivitas tromboksan yang tinggi dengan

vasokonstriksi dan trombosis. Hal ini pada gilirannya menyebabkan retardasi

Page 78: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

pertumbuhan fetus atau kematian fetus, sering dalam bentuk keguguran yang berulang.

Prothrombine time dan partial thromboplastin time dinaikkan oleh antibodi-antibodi

anti-fosfolipid, dan dapat digunakan sebagai tes-tes skrining. Jika antibodi-antibodi

antifosfolipid diduga sebagai penyebab kehilangan kehamilan yang berulang, maka

terapi dalam bentuk aspirin dosis rendah dikombinasikan dengan heparin dapat dimulai

segera setelah didiagnosisnya kehamilan. Terapi dengan glukokortikoid dengan titrasi

dosis hingga tes-tes koagulasi menjadi normal juga telah direkomendasikan.

Alloimunitas. Sebuah teori yang diterima secara luas menyatakan bahwa sistem imun

maternal mengembangkan suatu toleransi tertentu terhadap trophoblast oleh karena

antibodi-antibodi protektif atau faktor-faktor pemblok. Faktor-faktor hipotetis ini

mungkin memblok penolakan embrio yang otoallogenik. Namun, mekanismenya belum

jelas. Suatu penolakan kehamilan diduga terjadi jika faktor-faktor pemblok gagal

diproduksi. Satu penjelasan yang memungkinkan telah dikemukakan oleh temuan-

temuan dalam pengukuran HLA, karena pasangan-pasangan dengan kehilangan

kehamilan yang berulang sering memiliki antigen-antigen HLA yang kompatibel.

Berdasarkan pada teori ini, pasien-pasien dengan keguguran yang berulang

diimunisasi dengan limfosit pasangan. Hasil-hasil pertama sangat mengesankan dengan

angka kehamilan 70-80%. Namun, ujicoba klinis, sangat berkonflik, dan tidak mampu

mengkonfirmasi hasil-hasil dari studi-studi awal yang tak berkontrol. Keadaan ini

menyebabkan penolakan bentuk terapi ini (Fraser dkk. 1993), namun, yang pada

gilirannya dikontradiksi oleh peneliti-peneliti lain (Cowchock dan Smith 1994). Jika

terdapat suatu efek imunisasi, ini sangat kecil dan memiliki keberhasilan kausal kurang

dari 5% dari mereka yang diterapi. Karena terapi imunisasi bukanlah tanpa risiko, maka

setiap kasus individual harus diputuskan dengan dokter yang bertanggung jawab.

Sebagai suatu bentuk terapi alternatif bagi imunisasi aktif beberapa ahli telah

merekomendasikan terapi dengan imunoglobulin yang tidak spesifik. Namun, sebuah

studi multisenter besar mendapat kesimpulan bahwa nilai diagnostik dan prognostik dari

penentuan tipe HLA telah diperkirakan secara berlebihan (Mueller-Eckhardt 1994).

Terapi intravena dengan imunoglobulin-imunoglobulin dan albumin terlihat sama

dengan yang memakai plasebo (Mueller-Eckhardt 1994). Sebuah meta-analisis yang

terkini mengenai terapi imun pada keguguran habitual sehubungan dengan angka

Page 79: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

kelahiran hidup menunjukkan bahwa tidak ada efek imunisasi dengan sel-sel paternal,

leukosit donor, material trophoblast atau imunoglobulin i.v. dibandingkan dengan

plasebo (Porter dkk. 2006).

BAB VII

Infertilitas Idiopatik

Jika semua tes yang dijelaskan di atas menunjukkan hasil normal, dan tidak ada

penyebab infertilitas yang dapat ditemukan, maka ini disebut “infertilitas idiopatik”. Ini

harus dibedakan dari yang disebut infertilitas idiopatik pria, yang dikarakterisir oleh

reduksi yang tak terjelaskan dari kualitas semen. Pada 10-15% pasangan yang infertil

tidak ada penyebab jelas yang dapat didefinisikan (Crosignani dkk. 1993). Prognosis

kondisi ini berkorelasi dengan usia pasangan dan lamanya infertilitas (lihat di atas).

Berbeda dengan angka fecundity bulanan yang normal ...%, pasangan-pasangan

dengan infertilitas idiopatik memiliki angka konsepsi 1,5-3% per siklus. Kesabaran dan

waktu sendiri akan menghasilkan kehamilan pada sekitar 60% pasangan dengan

infertilitas idiopatik (Verkauf 1983). Sebagai aturan, tidak ada terapi yang harus

dilakukan jika diagnosis tidak bisa ditegakkan. Namun, studi-studi empiris

menunjukkan bahwa metode-metode reproduksi yang dibantu menghasilkan angka

kehamilan yang lebih tinggi pada pasangan-pasangan dengan infertilitas yang tak

terjelaskan. Jika pasangan dengan infertilitas idiopatik tidak mencapai kehamilan dalam

3 tahun, maka stimulasi dengan hMG dikombinasi dengan inseminasi intrauteri dapat

dipertimbangkan. Jika konsepsi tidak dicapai dalam 4-6 bulan, dapat dilakukan IVF.

Hasil dari terapi ini dapat juga bersifat diagnostik. Jika terjadi fertilisasi dan tidak

disertai kehamilan, maka ujicoba terapi konservatif lain dengan stimulasi hMG dapat

dijustifikasi. Dengan mengikuti strategi ini, angka kehamilan kumulatif 40% dicapai

setelah enam siklus dengan superovulasi atau setelah tiga siklus IVF (Simon dan Laufer

1993).

Page 80: Tugas Ginekologi Yang Relevan Dengan Androogi, EKO

BAB VIII

Prospek dan Kesimpulan

Jika, walau semua upaya terapeutik, tidak bisa dicapai kelahiran seorang bayi, maka

terapi penutup adalah langkah utama. Dengan menentukan untuk mengakhiri terapi

menandakan kegagalan bagi pasangan dan juga dokternya, dan merepresentasikan

beban psikologis bagi semua orang yang terlibat. Dalam keputusasaan mereka, banyak

pasangan mungkin mencari terapi dengan dokter lain dan menjalani keseluruhan

prosedur untuk kedua kalinya. Pasangan harus diberi konseling sehingga mereka dapat

merencanakan sisa waktu dalam hidup mereka sesuai dengan keinginan mereka.

Konseling psikologis harus menjadi bagian integral tidak hanya selama terapi, namun

juga pada penutupannya. Kemungkinan-kemungkinan lanjut seperti inseminasi

heterolog atau adopsi harus dibahas secara hati-hati dan dengan empati pada pasangan.