Upload
dany-achmad
View
1.424
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
http://donxsaturniev.blogspot.com
BAB II PEMBAHASAN
A. PENGANTAR ILMU HUKUM
1. Pengertian Pengantar Ilmu Hukum
Pengantar Ilmu Hukum (PIH) kerapkali oleh dunia studi hukum dinamakan
“Encyclopedia Hukum”, yaitu mata kuliah dasar yang merupakan pengantar
(introduction atau inleiding) dalam mempelajari ilmu hukum. Dapat pula dikatakan
bahwa PIH merupakan dasar untuk pelajaran lebih lanjut dalam studi hukum yang
mempelajari pengertian-pengertian dasar, gambaran dasar tentang sendi-sendi utama
ilmu hukum.
2. Tujuan dan Kegunaan Pengantar Ilmu Hukum
Tujuan Pengantar Imu Hukum adalah menjelaskan tentang keadaan, inti dan
maksud tujuan dari bagian-bagian penting dari hukum, serta pertalian antara berbagai
bagian tersebut dengan ilmu pengetahuan hukum. Adapun kegunaannya adalah untuk
dapat memahami bagian-bagian atau jenis-jenis ilmu hukum lainnya.
3. Kedudukan dan Fungsi Pengantar Ilmu Hukum
Kedudukan Pengantar Ilmu Hukum merupakan dasar bagi pelajaran lanjutan
tentang ilmu pengetahuan dari berbagai bidang hukum. Sedangkan kedudukan dalam
kurikulum fakultas hukum adalah sebagai mata kuliah keahlian dan keilmuan. Oleh
karena itu pengantar ilmu hukum berfungsi memberikan pengertian-pengertian dasar
baik secara garis besar maupun secara mendalam mengenai segala sesuatu yang
berkaitan dengan hukum. Selain itu juga pengantar ilmu hukum juga berfungsi
pedagogis yakni menumbuhkan sikap adil dan membangkitkan minat untuk denagan
penuh kesungguhan mempelajari hukum.
4. Ilmu Bantu Pengantar Ilmu Hukum
Sejarah hukum, yaitu suatu disiplin hukum yang mempelajari asal usul
terbentuknya dan perkembangan suatu sistem hukum dalam suatu masyarakat
tertentu dan memperbanding antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh
perbedaan waktu
Sosiologi hukum, yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan
analitis mempelajari hubungan timbal balik antara hukum sebagai gejala sosial
dengan gejala sosial lain (Soerjono Soekanto)
Antropologi hukum, yakni suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari pola-
pola sengketa dan penyelesaiannya pada masyarakat sederhana, maupun
masyarakat yang sedang mengalami proses perkembangan dan pembangunan /
proses modernisasi (Charles Winick).
Perbandingan hukum, yakni suatu metode studi hukum yang mempelajari
perbedaan sistem hukum antara negara yang satu dengan yang lain. Atau
membanding-bandingkan sistem hukum positif dari bangsa yang satu dengan
bangsa yang lain
Psikologi hukum, yakni suatu cabang pengetahuan yang mempelajari hukum
sebagai suatu perwujudan perkembangan jiwa manusia (Purnadi Purbacaraka).
5. Metode Pendekatan Mempelajari Hukum
Metode Idealis; bertitik tolak dari pandangan bahwa hukum sebagai perwujudan
dari nilai-nilai tertentu dalam masyarakat.
Metode Normatif Analitis; metode yg melihat hukum sebagai aturan yg abstrak
yaitu metode melihat hukum sebagai lembaga otonom dan dapat dibicarakan
sebagai subjek tersendiri terlepas dari hal-hal lain yang berkaitan dengan
peraturan-peraturan. Bersifat abstrak artinya kata-kata yang digunakan di dalam
setiap kalimat tidak mudah dipahami dan untuk dapat mengetahuinya perlu
peraturan-peraturan hukum itu diwujudkan. Perwujudan ini dapat berupa
perbuatan-perbuatan atau tulisan. Apabila ditulis, maka sangat penting adalah
pilihan dan susunan kata-kata.
Metode Sosiologis; metode yang bertitik tolak dari pandangan bahwa hukum
sebagai alat untuk mengatur masyarakat.
Metode Historis; metode yang mempelajari hukum dengan melihat sejarah
hukumnya.
Metode sistematis; metode yang melihat hukum sebagai suatu sistem.
Metode Komparatif; metode yang mempelajari hukum dengan membandingkan
tata hukum dalam berbagai sistem hukum dan perbandingan hukum di berbagai
negara.
B. PENGERTIAN HUKUM
1. Berbagai Definisi Hukum:
Begitu banyak definisi hukum dikemukakan oleh ilmuwan hukum yang tentu
saja sangat berguna untuk mengkaji ilmu hukum lebih lanjut. Beberapa manfaatnya
adalah sebagai pegangan awal bagi orang yang ingin mempelajari hukum, khususnya
bagi kalangan pemula. Berguna juga bagi kalangan yang ingin lebih jauh
memperdalam teori hukum, ilmu hukum, filsafat hukum dan sebagainya.
Immanuel Khant pernah menulis pernyataan “Noch suchen die Juristen eine
Definition zu ihrem Begriffe von Recht” yang dapat diartikan, “Masih juga para
sarjana hukum mencari-cari suatu definisi tentang hukum”.
Menurut Prof. Mr. L.J van Apeldoorn dalam bukunya yang berjudul “Inleiding
tot de studie van Het Nederlandse Recht”, tidak mungkin memberikan suatu definisi
tentang apa yang disebut hukum itu.
Arnold salah seorang sosiolog, mengakui bahwa dalam kenyataan hukum
memang tidak akan pernah dapat didefinisikan secara lengkap, jelas dan tegas.
Sehingga sampai sekarang ini tidak ada kesepakatan bersama tentang definisi hukum.
(Achmad Ali, 1996: 27).
Namun Arnold juga menyadari bahwa bagaimanapun para juris tetap akan terus
berjuang mencari bagaimana hukum didefinisikan, sebab definisi hukum merupakan
bagian yang substansial dalam memberi arti keberadaan hukum sebagai ilmu.
Hukum juga merupakan sesuatu yang rasional dan dimungkinkan untuk
dibuatkan definisi sebagai penghormatan para juris terhadap eksistensi hukum.
2. Pengertian Hukum Secara Umum
Kumpulan aturan, perundang-undangan atau hukum kebiasaan, di mana suatu
negara atau masyarakat mengakuinya sebagai sesuatu yang mempunya kekuatan
mengikat terhadap warganya. (Oxford English Dictionary).
Hukum adalah keseluruhan norma yang oleh penguasa masyarakat yang
berwenang menetapkan hukum, dinyatakan atau dianggap sebagai peraturan yang
mengikat bagi sebagian atau seluruh anggota masyarakat tertentu, dengan tujuan
untuk mengadakan suatu tata yang dikehendaki oleh penguasa tersebut.
Adanya kecenderungan stigma dalam masyarakat:
1) Dengan memberikan suatu pengertian tentang hukum dapat
menimbulkan kesan yang keliru terutama sekali bagi seorang yang baru
belajar ilmu hukum, sehingga pada saat perkenalan pertama dengan
hukum telah timbul suatu kesalah pahaman, sebab ide atau gambaran
tentang hukum tidak sama dengan kenyataan yang diharapkan. Dengan
kata lain, hukum yang seharusnya berlaku tidak sama dengan hukum
yang senyatanya berlaku.
2) Selain itu pendapat para ahli hukum mengenai pengertian hukum selalu
berbeda-beda. Adanya perbedaan ini dapat kita pahami karena hukum itu
mempunyai banyak segi dan bermacam-macam masalah sehingga tidak
mungkin tercakup dalam suatu pengertian yang memuaskan.
3. Pengertian Hukum menurut pendapat para ahli
Prof. Soedirman Kartohardiprodjo, S.H., menulis “...Jikalau kita menayakan
apakah yang dinamakan hukum, maka kita akan menjumpai tidak adanya persesuain
pendapat. Berbagai permasalahan perumusan yang dikemukakan”
Berikut beberapa definisi hukum yang dikemukakan para ahli hukum (juris)
berdasarkan aliran atau paham yang dianutnya:
1) Van Apeldoorn,
Hukum itu banyak seginya dan demikian luasnya sehingga tidak mungkin
menyatakanya dalam (satu) rumusan yang memuaskan.
2) I Kisch,
Oleh karena hukum itu tidak dapat ditangkap oleh panca indera maka
sukarlah untuk membuat definisi tentang hukum yang memuaskan.
3) Dr. W.L.G Lemaire (Mantan guru besar Universiteit van Indonesia),
Dalam bukunya “Het Rech in Indonesia” menyatakan “... De veelzijdigheid
en veelomavaendheid van het recht brengen niet aen met zich, dat het
onmogelijk is in een enkele definitie aan te geven wat recht is”
Banyaknya segi dan luasnya hukum itu tidak memungkinkan perumusan
hukum dalam suatu definisi tentang apakah sebenarrnya hukum itu. Hukum
yang banyak seginya dan meliputi segala macam hal itu menyebabkan tak
mungkin orang membuat suatu definisi apapun hukum itu sebenarnya.
4) Grotius,
“Law is a rule of moral action obliging to that which is right” hukum
adalah aturan-aturan tingkah laku yang dibuat menjadi kewajiban melalui
sanksi-sanksi yang djatuhkan terhadap setiap pelanggaran dan kejahatan
melalui suatu otoritas pengendalian.
5) Aristoteles,
“Particular law is that which each community lays down and alies to its
own members. Universal law is the law of nature” hukum adalah sesuatu
yang berbeda daripada sekadar mengatur dan mengekpresikan bentuk dari
kontitusi dan hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku hakim dan
putusannya di pengadilan untk menjatuhkan hukuman terhadap pelangggar.
6) Schapera,
Hukum adalah setiap aturan tingkah laku yang mungkin diselenggarakan
oleh pengadilan.
7) Paul Bohannan,
Hukum adalah merupakan himpunan kewajiban yang telah dilembagakan
kembali dalam pranata hukum.
8) Pospisil,
Hukum adalah aturan-aturan tingkah laku yang dibuat menjadi kewajiban
melalui sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap setiap pelanggaran dan
kejahatan melalui suatuotoritas pengendalian.
9) Karl von savigny,
Hukum adalah aturan yang tebentuk melalui kebiasaan dan perasaan
kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam.
Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh
kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga masyarakat.
10) Marxist,
Hukum adalah suatu pencerminan dari hubungan umum ekonomis dalam
masyarakat pada suatu tahap perkembangan tertentu.
11) John Austin,
Melihat hukum sebagai perangkat perintah, baik langsung maupun tidak
langsung dari pihak yang berkuasa kepada warga rakyatnya yang
merupakan masyarakat politik yang independen, dimana otoritasnya (pihak
yang berkuasa) meruipakan otoritas tertinggi.
Kelemahan pandangan John Austin sebagai berikut :
Hukum dilihat semata-mata sebagai kaidah bersanksi yang dibuat
dan diberlakukan oleh negara, padahal di dalam kenyataannya
kaidah tersebut belum tentu berlaku.
Undang-undang yang dibuat oleh negara, hanya salah satu sumber-
sumber hukum
Hanya warga masyarakat yang dilihat sebagai subjek hukum,
padahal dalam kenyataannya dikenal pula adanya hukum tata
negara, hukum administrasi negara, dsb.
12) Hans Kelsen,
Hukum adalah suatu perintah terhadap tingkah laku manusia. Hukum
adalah kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi.
13) Paul Scholten,
Hukum adalah suatu petunjuk tentang apa yang layak dilakukan dan apa
yang tidak layak untuk dilakukan yang bersifat perintah.
14) Van Kan,
Hukum adalah keseluruhan aturan hidup yang bersifat memaksa untuk
melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat.
15) Eugen Ehrlich (Jerman),
Sesuatu yang berkaitan denagan fungsi kemasyarakatan dan memandang
sumber hukum hanya dari legal history and jurisprudence dan living law
(hukum yang hidup didalam masyarakat).
16) Bellefroid,
Hukum adalah kaidah hukum yang berlaku dimasyarakat yang mengatur
tata tertib masyarakat dan didasarkan atas kekuasaan yang ada di dalam
masyarakat.
17) Salmond,
Hukum adalah kumpulan-kumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan
oleh negara di dalam pengadilan.
18) Roscoe Pound,
Hukum itu dibedakan dalam arti :
a. Hukum dalam arti sebagai tata hukum, mempunyai pokok bahasan:
1. Hubungan antara manusia denagan individu lainnya
2. Tingkah laku para individu yang mempengaruhi individu
lainnya.
b. Hukum dalam arti kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-
putusan pengadilan dan tindakan administrasi. Pandangan Roscoe
Pound tergolong dalam aliran sosiologis dan realis.
19) Liwellyn,
Hukum adalah apa yang diputuskan oleh seorang hakim tentang suatu
persengketaan adalah hukum itu sendiri.
20) Drs. E. Utrecht, SH,
Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan
larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena
itu harus ditaati oleh masyarakat itu.
21) J.C.T. Simorangkir, SH & Woerjono Sastroparnoto,
Dalam buku ”Pelajaran Hukum Indonesia”. Hukum adalah peraturan-
peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia
dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan resmi yang berwajib,
pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya
tindakan yaitu hukuman tertentu
22) M.H. Tirtaatmidjaja, SH
Dalam buku ”Pokok-pokok Hukum Perjuangan”. Hukum adalah semua
aturan (norma) yang harus dituruti dalam tingkah laku tindakan-tindakan
dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika
melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta,
umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, di denda dsb.
23) Prof. Mr. Dr. C. Van Vollenhoven
(Het adatrecht van Nederlandsche Indie), Hukum adalah suatu gejala dalam
pergaulan hidup yang bergejolak terus menerus dalam keadaan bentur
membentur tanpa henti-hentinya dengan gejala lainnya.
24) Wirjono Prodjodikoro,
Hukum adalah rangkaian peraturan2 mengenai tingkah laku orang-orang
sebagai anggota suatu masyarakat.
25) Soerojo Wignjodipoero,
Hukum adalah himpunan peraturan2 hidup yang bersifat memaksa,
berisikan suatu perintah, larangan atau perizinan untuk bebruat tidak
bebruat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam
kehidupan masyarakat.
26) Hobbes
“Where as law, property is the word of him, that by right command over
others”
27) Philip S. James, Ma
“Law is body of rule for the guidance of human conduct which are imposed
upon and enforced among the members of a given State”
28) Prof. Mr. E.M. Meyers
Dalam bukunya “De Algemene begriffen van het Burgerlijk Recht”,
menyatakan hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan
kesusilaan ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan
yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan
tugasnya.
29) Leon Duguit
Hukum ialah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang
daya penggunanya pada saat tertentu diindahkan oleh masyarakat sebagai
jaminan dari kepentingan bersama dan jika dilanggar menimbulkan reaksi
bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.
30) Immanuel Kant
Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas
dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari
orang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan”
C. SEGI-SEGI PENINJAUAN HUKUM
1. HUKUM DITINJAU DARI SEGI WUJUDNYA
a. Hukum Tertulis (Statute Law, Written Law)
Hukum tertulis atau hukum undang-undang adalah hukum yang
disusun tatkala dalam masyarakat itu telah terbentuk suatu bangsa dan negara
sehingga perlunya susunan perundang-undangan yang dibentuk pada suatu
simtem pemerintahan sebagai tatanan untuk mengatur kehidupan pada suatu
bangsa dan negara yang dicantumkan dalam bentuk peraturan perundang-
undangan. Hukum tertulis ini dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
1) Hukum tertulis yang dikodifikasikan.
Kodifikasi hukum adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu
dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap. Contoh:
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang
Undang Hukum Perdata (KUHPdt), Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (KUHD);
Unsur-unsur dari suatu kodifikasi:
a) Jenis-jenis hukum tertentu
b) Sistematis
c) Lengkap
Tujuan Kodifikasi Hukum tertulis untuk memperoleh:
a) Kepastian hukum
b) Penyederhanaan hukum
c) Kesatuan hukum
Contoh kodifikasi hukum:
a) Di Eropa :
i. Corpus Iuris Civilis, yang diusahakan oleh Kaisar
Justinianus dari kerajaan Romawi Timur dalam tahun
527-565.
ii. Code Civil, yang diusahakan oleh Kaisar Napoleon di
Prancis dalam tahun 1604.
b) Di Indonesia :
i. Kitab Undang-undang Hukum Sipil (1 Mei 1848)
ii. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (1 Mei 1848)
iii. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (1 Jan 1918)
iv. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (31 Des
1981)
2) Hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan. Contoh: Undang-undang
(UU), Peraturan Pemerintah ( PP ), Keputusan Presiden (Kepres).
Hukum tertulis sendiri lahir pada saat manusia sudah mulai pandai
menulis, membaca dan mengenal peradaban tatkala dalam masyarakat tersebut
terbentuk suatu negara dan disusun badan perundang-undangannya walaupun
masih bersifat sederhana sekali. Hukum tertulis sendiri untuk pertama kalinya
yang dikenal dalam sejarah adalah Undang-Undang Hamurabi, pada zaman
kerajaan Babilonia, pada sekitar tahun 1950 SM. Jadi undang-undang pertama
kali bukan lahir di Eropa. Tetapi ada juga pendapat yang mengatakan bahwa
mula-mula ahli-ahli hukum Romawilah yang menghendaki bahwa peraturan-
peraturan hukum itu hendaknya dituliskan. Bukan itu saja, malahan lebih jauh
himpunan peraturan-peraturan hukum itu ditetapkan dengan pasti dalam
Kitab-kitab Undang-Undang (kodifikasi) dan hanya himpunan undang-
undanglah yang hendaknya dianggap satu-satunya sumber hukum.
b. Hukum Tidak Tertulis (Unstatutery Law, Unwritten Law)
Hukum tidak terlulis adalah hukum yang tidak dibentuk oleh sebuah
badan legislatif yaitu hukum yang hidup sebagai konvensi di badan –badan
hukum negara (DPR, DPRD, dsb), hukum yang timbul karena putusan-
putusan hakim dan hukum kebiasaan yang hidup dalam keyakinan masyarakat,
tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan
perundangan (hukum kebiasaan).
Hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis sudah lama dikenal,
terhitung sejak orang-orang belum mengenal tulis baca sama sekali, asal
orang-orang itu sudah hidup bermasyarakat. Hukum kebiasaan ini sumbernya
ialah kebiasaan sehari-hari, yang didasarkan pada pandangan dan kesadaran
orang-orang dalam masyarakat yang bersangkutan, bahwa kebiasaan itu
adalah memang seharusnya ditaati. Secara tradisionil, penguasa-penguasa
dahulu hanya mendasarkan cara-cara pemerintahannya kepada pertimbangan
penilaian-penilaiannya sendiri saja. Sebelum tahun 1800 SM, sebagian besar
hukum yang digunakan pada saat itu adalah hukum kebiasaan.
Sebagai contoh sanksi yang ditimbulkan akibat hukum kebiasaan
adalah ketika ada seorang yang melakukan perbuatan mesum pada suatu
kelompok masyarakat yang memberlakukan hukum kebiasaan kemudian
orang tersebut diusir, dikucilkan atau bahkan dirajam dikarenakan adanya
aturan-aturan hukum kebiasaan yang turun-temurun di kelompok masyarakat
tersebut yang tidak memperbolehkan perbuatan mesum.
2. HUKUM DITINJAU DARI SEGI PENGATURAN
a. Hukum Material (Materiele Wederrechtlijkheid)
Hukum material, yaitu segala kaidah yang menjadi patokan manusia
untuk bersikap tindak, misalnya tidak boleh membunuh, harus melunasi
hutang dan lain sebagainya.
Sebagai contoh undang-undang dalam arti materiil merupakan
keputusan penguasa yang dilihat dari segi isinya mempunyai kekuatan
mengikat umum misalnya UU Terorisme dan UU Pailit.
Faktor-faktor kemasyarakatan yang mempengaruhi hukum material
yaitu:
1) Stuktural ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat antara lain:
kekayaan alam, susunan geologi, perkembangan-perkembangan
perusahaan dan pembagian kerja.
2) Kebiasaan yang telah membaku dalam masyarakat yang telah
berkembang dan pada tingkat tertentu ditaati sebagai aturan tingkah
laku yang tetap.
3) Hukum yang berlaku
4) Tata hukum negara-negara lain
5) Keyakinan tentang agama dan kesusilaan
6) Kesadaran hukum
b. Hukum Formal (Formele Wederrechtelijkheid)
Hukum formil, yaitu aturan main penegakkan hukum materiil tersebut,
misalnya dalam mengajukan gugatan seorang penggugat (orang yang
menggugat) harus mengajukan surat gugatan ke pengadilan tempat kediaman
tergugat (orang yang digugat) sesuai asas actor sequitur forum rei, atau dalam
menanggapi surat gugatan penggugat tergugat harus membuat surat jawaban
dan lain sebagainya.
Sebagai contoh undang-undang dalam arti formal merupakan
keputusan penguasa yang diberi nama undang-undang disebabkan bentuk yang
menjadikannya undang-undang, misalnya UU APBN.
3. HUKUM DITINJAU DARI SEGI SUMBERNYA
a. Undang-undang (UU)
Undang-undang (bahasa Inggris: Legislation - dari bahasa Latin lex,
legis yang berarti hukum) berarti sumber hukum, semua dokumen yang
dikeluarkan oleh otoritas yang lebih tinggi, yang dibuat dengan mengikuti
prosedur tertulis.
Undang-undang (atau disingkat UU) adalah Peraturan Perundang-
undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan
bersama Presiden. Undang-undang memiliki kedudukan sebagai aturan main
bagi rakyat untuk konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur
kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk Negara.
Undang-undang dapat pula dikatakan sebagai kumpulan-kumpulan prinsip
yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak rakyat, dan hubungan diantara
keduanya.
Konsep hukum yang didefinisikan oleh sebuah laporan dari kontrak
dan Perjanjian (yang hasil dari negosiasi antara sama (dalam hal hukum)),
kedua dalam hubungan dengan sumber-sumber hukum lainnya: tradisi (dan
kebiasaan), kasus hukum, undang-undang dasar (Konstitusi, "Piagam Besar",
dsb.), dan peraturan-peraturan dan tindakan tertulis lainnya dari eksekutif,
sementara undang-undang adalah karya legislatif, sering diwujudkan dalam
parlemen yang mewakili rakyat. Untuk membentuk suatu rancangan undang-
undang maka diperlukan materi dan mekanisme pembentukan undang-undang
yaitu sebagai berikut:
1) Materi Undang-Undang
a) Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi: hak-
hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara,
pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian
kekuasaan negara, wilayah dan pembagian daerah,
kewarganegaraan dan kependudukan, serta keuangan negara.
b) Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan
Undang-Undang.
2) Mekanisme Pembentukan Undang-undang
a) Persiapan
Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat diajukan oleh DPR
atau Presiden.
b) RUU yang diajukan oleh Presiden
RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau
pimpinan LPND sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung
jawabnya. RUU ini kemudian diajukan dengan surat Presiden
kepada DPR, dengan ditegaskan menteri yang ditugaskan
mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU di
DPR. DPR kemudian mulai membahas RUU dalam jangka
waktu paling lambat 60 hari sejak surat Presiden diterima.
c) RUU yang diajukan oleh DPR
RUU yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat
pimpinan DPR kepada Presiden. Presiden kemudian menugasi
menteri yang mewakili untuk membahas RUU bersama DPR
dalam jangka waktu 60 hari sejak surat Pimpinan DPR
diterima.
d) Peran DPD dalam Persiapan Pembentukan Undang-Undang
DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR mengenai hal yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah.
e) Pembahasan
Pembahasan RUU di DPR dilakukan oleh DPR bersama
Presiden atau menteri yang ditugasi, melalui tingkat-tingkat
pembicaraan, dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPR
yang khusus menangani legislasi, dan dalam rapat paripurna.
DPD diikutsertakan dalam Pembahasan RUU yang sesuai
dengan kewenangannya pada rapat komisi/panitia/alat
kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
DPD juga memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU
tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama.
f) Pengesahan
Apabila RUU tidak mendapat persetujuan bersama, RUU
tersebut tidak boleh diajukanlagi dalam persidangan masa itu.
RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden
disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk
disahkan menjadi UU, dalam jangka waktu paling lambat 7 hari
sejak tanggal persetujuan bersama.
RUU tersebut disahkan oleh Presiden dengan menandatangani
dalam jangka waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui oleh
DPR dan Presiden. Jika dalam waktu 30 hari sejak RUU
tersebut disetujui bersama tidak ditandatangani oleh Presiden,
maka RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
3) Bentuk peraturan perundangan RI
a) Tap MPRS No.XX/MPRS/1966 Tata urutan prundangan RI
menurut UUD 1945:
Undang-undang Dasar 1945
Tap MPR
Undang-undang/Perpu
Peraturan Pemerintah
Keputusan Presiden
Peraturahn Menteri
Instruksi Mentri
Dan lain-lain
b) Pasal 2 Tap MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum
dan Tata Urutan Peraturan Perundang- undangan:
1. UUD 1945;
2. Tap MPR RI.
3. Undang-Undang,
4. Peperpu;
5. Peraturan Pemerintah,
6. Keputusan Presiden;
7. Peraturan Daerah.
b. Kebiasaan
Dapat diartikan sebagai sumber hukum dalam arti formal yang tidak
tertulis.
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-
ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh
masyarakat dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikan
rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan
sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbullah suatu
kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
Merupakan sumber hukum yang ada dalam kehidupan sosial
masyarakat dan dipatuhi sebagai nilai-nilai hidup yang positif. Namun tidak
semua kebiasaan itu mengandung hukum yang adil dan mengatur tata
kehidupan masyarakat sehingga tidak semua kebiasaan dijadikan sumber
hukum.
Selain kebiasaan dikenal pula adat istiadat yang mengatur tata
pergaulan masyarakat. Adat istiadat adalah himpunan kaidah sosial yang
sudah sejak lama ada dan merupakan tradisi yang umumnya bersifat sakral,
mengatur tata kehidupan sosial masyarakat tertentu.
Kebiasaan dan Adat istiadat hidup dan berkembang di masyarakat
tertentu sehingga kekuatan berlakunya terbatas pada masyarakat tersebut. Adat
istiadat dapat menjadi hukum adat jika mendapat dukungan sanksi hukum.
Menurut Mr. J.H.P. Bellefroid, hukum kebiasaan disebut “kebiasaan”
saja, meliputi semua peraturan-peraturan yang walaupun tidak ditetapkan
pemerintah, tetapi ditaati oleh seluruh rakyat, karena mereka yakin bahwa
peraturan itu berlaku sebagai hukum.
Prof. Soepomo dalam catatan mengenai pasal 32 UUD 1950
berpendapat bahwa “ Hukum adat adalah synonim dengan hukum tidak tertulis
dan hukum tidak tertulis berarti hukum yang tidak dibentuk oleh sebuah badan
legislatif yaitu hukum yang hidup sebagai konvensi di badan–badan hukum
negara (DPR, DPRD, dsb), hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim
dan hukum kebiasaan yang hidup dalam masyarakat.”
Perbedaan prinsipil antara hukum kebiasaan dan hokum adat yaitu,
1) Hukum kebiasaan seluruhnya tidak tertulis sedangkan hukum adat,
ada yang tertulis dan ada yang tidak
2) Hukum kebiasaan berasal dari kontrak sosial sedangkan hukum adat
berasal dari kehendak nenek moyang agama dan tradisi masyrakat.
Namun demikian tdk semua kebiasaan itu pasti mengandung hukum yg
baik dan adil oleh sebab itu belum tentu kebiasaan atau adat istiadat itu pasti
menjadi sumber hukum formal.
Adat kebiasaan tertentu di daerah hukum adat tertentu yg justru
sekarang ini dilarang untuk diberlakukan karena dirasakan tidak adil dan tidak
berperikemanusiaan sehingga bertentangan denagan Pancasila yang
merupakan sumber dari segala sumber hukum, misalnya jika berbuat
susila/zinah, perlakunya ditelanjangi kekeliling kampung.
Selanjutnya kebiasaan akan menjadi hukum kebiasaan karena
kebiasaan tersebut dirumuskan hakim dalam putusannya. Selanjutnya berarti
kebiasaan adalah sumber hukum.
Kebiasaan adalah bukan hukum apabila UU tidak menunjuknya (pasal
15 AB) = Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia = ketentuan2
umum tentang peraturan per UU an untuk Indonesia
Suatu adat istiadat dan kebiasaan dapat menjadi hokum kebiasaan atau
hokum tidak tertulis apabila telah memenuhi syarat-syarat yaitu :
1) Syarat materiil, kebiasaan itu berlangsung terus menerus, dilakukan
berulang-ulang di dalam masyarakat tertentu dan dilakukan dengan
tetap.
2) Syarat psikologis, ada keyakinan warga masyarakat bahwa
perbuatan atau kebiasaan itu masuk akal sebagai suatu kewajiban
(opinio necessitatis = bahwa perbuatan tersebut merupakan
kewajiban hukum atau demikianlah seharusnya) adalah syarat
intelektual.
Keyakinan hukum itu memili 2 arti, yaitu:
a) Keyakinan hukum dalam arti materiil (isinya baik).
b) Keyakinan hukum dalam arti formil (tidak dilihat isinya tetapi
ditaati).
3) Syarat sanksi, adanya sanksi apabila kebiasaan itu dilanggar atau
tidak ditaati oleh warga masyarakat.
Menurut Pasal 15 AB: “Kebiasaan tidaklah menimbulkan hukum,
hanya kalau undang-undang menunjuk pada kebiasaan untuk diperlakukan”.
Contoh: Pasal 1339 KUHS/KUHPdt.
“Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk apa yang telah
ditetapkan dengan tegas oleh persetujuan-persetujuan itu, tetapi juga untuk
segala sesuatu menurut sifat persetujuan-persetujuan itu didiwajibkan oleh
kebiasaan”.
c. Traktat
Traktat merupakan perjanjian tertulis yang dibentuk oleh dua atau lebih
negara berdaulat atau oleh satu negara dan satu organisasi internasional.
Kekuasaan untuk mengikuti hubungan dalam traktat merupakan atribut
penting dari kedaulatan.
1) Traktat adalah perjanjian yang dibuat antara negara, 2 negara atau lebih.
2) Merupakan perjanjian internasional yang dituangkan dalam bentuk tertentu.
3) Perjanjian terjadi karena adanya kata sepakat dari kedua belah pihak
(negara) yang mengakibatkan pihak-pihak tersebut terikat pada isi
perjanjian yang dibuat.
4) Trakat ini juga mengikat warganegara-warganegara dari negara-negara
yang bersangkutan.
5) Dapat dijadikan hukum formal jika memenuhi syarat formal tertentu,
misalnya dengan proses ratifikasi.
6) Asas Perjanjian “Pacta Sun Servanda” (perjanjian harus dihormati dan
ditaati).
Macam-macam Traktat:
1) Traktat bilateral,
Yaitu traktat yang diadakan hanya oleh 2 negara, misalnya
perjanjian internasional yang diadakan diadakan antara pemerintah
RI dengan pemerintah RRC tentang “Dwikewarganegaraan”.
2) Traktat multilateral,
Yaitu perjanjian internaisonal yang diikuti oleh beberapa negara,
misalnya perjanjian tentang pertahanan negara bersama negara-
negara Eropa (NATO) yang diikuti oleh beberapa negara Eropa
3) Traktat Kolektif / Traktat terbuka,
Adalah traktat multilateral yang memberikan kesempatan kepada
negara-negara yang pada permulaannya tidak turut mengadakannya,
tetapi kemudian juga ikut menjadi pihak yang menyepakatinya.
Misalnya, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Taktat dalam hukum Internasional juga dibedakan menjadi :
1) Treaty, yaitu perjanjian yang harus disampaikan kepada DPR unutk
disetujui sebelum diratifikasi oleh kepala negara.
2) Agreement, perjanjian yang diratifikasi terlebih dahulu oleh kepala
negara baru disampaikan kepada DPR untuk diketahui.
Menurut E. Utrecht ada empat fase pembuatan perjanjian antar negara,
yaitu:
1) Penetapan (sluiting) oleh delegasi
2) Persetujuan oleh DPR
3) Ratifikasi / pengesahan oleh Presiden
4) Pelantikan / pengumuman (afkondiging)
d. Doktrin
Pendapat sarjana hukum (doktrin) adalah pendapat seseorang atau
beberapa orang sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum.
Doktrin ini dapat menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
putusannya.
Misalnya hakim dalam memeriksa perkara atau dalam pertimbangan
putusannya dapat menyebut doktrin dari ahli hukum tertentu. Dengan
demikian hakim dianggap telah menemukan hukumnya melalui sumber
hukum yang berupa doktrin tersebut.
Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional (Statue of The
International Court of Justice), mengakui dan menetapkan bahwa dalam
menimbang dan memutus suatu perselisihan dapat menggunakan beberapa
pedoman, antara lain:
1) Perjanjian-perjanjian Internasional (International Conventions).
2) Kebiasaan-Kebiasaan International (International customs).
3) Asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab
(The general principles of law recognized by civilsed nations).
4) Keputusan Hakim (Judicial decisions) dan pendapat-pendapat
sarjana hukum.
Namun doktrin tidak mengikat seperti UU, kebiasaan traktat dan
yurispudensi. Doktrin hanya memiliki wibawa yang dipandang bersifat
obyektif dan dapat dijadikan sumber penemuan hokum bagi hakim.
Menurut Sudikno Mertokusumo, (dalam buku Sejarah Peradilan
halaman 110), Pendapat para sarjana hukum yang merupakan doktrin adalah
sumber hukum. Ilmu hukum itu sebagai sumber hukum tapi bukan hukum
karena tidak langsung mempunyai kekuatan mengikat sebagaimana undang-
undang.
Ilmu hukum baru mengikat dan mempunyai kekuatan hukum bila
dijadikan pertimbangan hukum dalam putusan pengadilan. Disamping itu juga
dikenal adagium dimana orang tidak boleh menyimpangi dari ”communis
opinion doctorum” (pendapat umum para sarjana).
e. Yurisprudensi (Jurisprudence)
Yurisprudensi disebut juga Keputusan Hakim atau keputusan
pengadilan. Istilah yurisprudensi berasal dari kata Jurisprudentia (Bahasa
Latin), yang berarti pengetahuan hukum (Rechts geleerheid). Yurispudensi
biasa juga disebut “judge made law” (hIkum yang dibuat pengadilan).
Kata yurisprudensi sebagai istilah teknis Indonesia, sama artinya
dengan kata “Jurisprudentia” (Bahasa Belanda) dan “Jurisprudence” dalam
bahasa Perancis yaitu, Peradilan tetap atau hukum peradilan.
Lain halnya dengan istilah Yurisprudence dalam bahasa Inggris,
mempunyai arti Teori Ilmu Hukum = Algemene Rechtsleer = Generale Theory
of Law. Dalam bhs Inggris istilah yang digunakan untuk menyebut pengertian
yurisprudensi adalah case law atau judge made law.
Pada negara yang menganut sistem common law / anglo saxon,
yurispiudensi diartikan sebagai Ilmu hukum
Pendapat tentang Yurisprudensi
Apeldoorn: yurisprudensi, doktrin dan perjanjian merupakan faktor-faktor
yang membantu pembentukan hukum.
Sedangkan Lemaire: yurisprudensi, ilmu hukum (doktrin) dan kesadaran
hukum sebagai determinan pembentukan hukum.
Sukdino M: Yurisprudensi sebagai peradilan pada umumnya (judicature,
rechtspraak) yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit terjadi tuntutan hak
yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh
negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan
putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa. (Sudikno Mertokusumo,
Sejarah Peradilan.hal.179).
Ada 2 jenis yurisprudensi:
1) Yurisprudensi tetap keputusan hakim yg terjadi karena rangkaian
keputusan yang serupa dan dijadikan dasar atau patokan untuk
memutuskan suatu perkara (standart arresten).
2) Yurisprudensi tidak tetap, ialah keputusan hakim terdahulu yang bukan
menjadi dasar bagi pengadilan (standart arresten).
Dasar Hukum Yurisprudensi di Indonesia
1) 30 April 1847 dikeluarkan Algemene Bepalingen van wetgeping voor
Indonesia. yang disingkat A.B. yang termuat dalam Staatsblad 1847
No.23 Diartikan sebagai Ketentuan-ketentuan Umum Tentang
Peraturan Perundangan.
2) Pasal 22 A.B (Algemene Bepalingen Van Wetgeving voor Indonesie)
berbunyi: “Bilamana seorang hakim menolak menyelesaikan suatu
perkara dengan alasan bahwa peraturan undang-undang yang
bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas, atau tidak lengkap, maka
ia dapat dituntut karena menolak mengadili”.
3) Pasal 16 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
berbunyi: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya”.
4) Dengan kata lain, hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan.
Berdasarkan ketentuan pasal-paasal ini, terlihat jelas bahwa apabila
undang-undang atau kebiasaan tidak memberi peraturan yang dapat di pakai
untukj menyelesaikan perkara, seorang hakim mempunyai hak untuk membuat
peraturan sendiri untuk menyelesaikan perkara terrsebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa yurispudensi adalah putusan hakim
yang memuat peraturan tersendiri dan telah berkekuatan hukum yang
kemudian diikuti oleh hakim yang lain dalam peristiwa yang sama.
Hakim bisa menciptakan hukum sendiri, sehingga hakim mempunyai
kedudukan tersendiri sebagai pembentuk undang-undang selain Lembaga
Pembuat Undang-undang.
Keputusan hakim yang terdahulu dijadikan dasar pada keputusan
hakim lain sehingga kemudian keputusan ini menjelma menjadi keputusan
hakim yang tetap terhadap persoalan/peristiwa hukum tertentu.
Seorang hakim mengkuti keputusan hakim yang terdahulu itu karena ia
sependapat dengan isi keputusan tersebut dan lagi pula hanya dipakai sebagai
pedoman dalam mengambil sesuatu keputusan mengenai suatu perkara yang
sama.
Pembuat Undang-undang adalah hukum “inabstrakto” (secara umum)
Hakim adalah hukum “in concreto” (secara khas).
4. HUKUM DITINJAU DARI SEGI SIFATNYA
Menurut sifatnya, hukum terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:
a. Hukum yang memaksa (dwingen), yaitu hukum yang dalam keadaan
bagaimanapun juga harus dan mempunyai paksaan mutlak dan memberikan
kewenangan bagi pemerintah untuk menjatuhkan sanksi atas pelanggaran
yang dilakukan. Bentuk campur tangan pemerintah itu antara lain adanya
penerapan sanksi terhadap pelanggaran atau tindak pidana badi pihak yang
melanggar.
b. Hukum yang mengatur (Regeld), yaitu hukum yang dapat dikesampingkan
apabila pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri
dalam suatu perjanjian. Ciri utama dari Hukum yang sifatnya mengatur
ditandai dengan adanya aturan yang jika tidak dilaksanakan maka tidak
menimbulkan sanksi.
Beberapa contoh hukum yang bersifat mengatur:
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, mengenai pembuatan penjanjian kerja bisa tertulis dan
tidak tertulis. Dikategorikan sebagai Pasal yang sifatnya mengatur oleh
karena tidak harus / wajib perjanjian kerja itu dalam bentuk tertulis dapat
juga lisan, tidak ada sanksi bagi mereka yang membuat perjanjian secara
lisan sehingga perjanjian kerja dalam bentuk tertulis bukanlah hal yang
imperative / memaksa kecuali Pasal 57 ayat 1;
Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, mengenai perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat
mensyaratkan masa percobaan 3 (tiga) bulan. Ketentuan ini juga bersifat
mengatur oleh karena pengusaha bebas untuk menjalankan masa
percobaan atau tidak ketika melakukan hubungan kerja waktu tidak
tertentu / permanen.
Pasal 10 ayat(1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, bagi pengusaha berhak membentuk dan menjadi
anggota organisasi pengusaha. Merupakan ketentuan hukum mengatur
oleh karena ketentuan ini dapat dijalankan (merupakan hak) dan dapat
pula tidak dilaksanakan oleh pengusaha.
5. HUKUM DITINJAU DARI SEGI ISI DAN TINGKATANNYA