100
Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009 PERAN PPNS DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Rangka Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh : OBRIKA SIMBOLON NIM. 030200151 BAGIAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007

Skripsi Fakultas Hukum

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Skripsi Hukum Kehutanan

Citation preview

Page 1: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

PERAN PPNS DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA

ILLEGAL LOGGING (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-Tugas

Dalam Rangka Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

OBRIKA SIMBOLON

NIM. 030200151 BAGIAN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2007

Page 2: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

PERAN PPNS DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA

ILLEGAL LOGGING (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-Tugas

Dalam Rangka Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

OBRIKA SIMBOLON

NIM. 030200151 BAGIAN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh :

Ketua Bagian Hukum Pidana

NIP. 131 842 854 (Abul Khair, SH, Mhum)

Pembimbing I Pembimbing II

(Tambah Sembiring SH.) (Berlin Nainggolan SH.,M.Hum.)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 20007

Page 3: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Dia yang punya kuasa atas

segala hidup manusia di bumi, Tuhan Yesus Kristus, atas segala berkat dan

penyertaannya kepada penulis sehingga di dalam penyelesaian skripsi ini penulis

dalam keadaan sehat.

Skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana

hukum pada Fakultas hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi

ini, penulis menyadari terdapatnya kekurangan, namun dengan lapang dada penulis

menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang

menaruh perhatian terhadap skripsi ini.

Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis

mengucapkan terima kasuh yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah

banyak memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang dirlukan dalam

penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih yanh sebesar-

besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., MHum., sebagai dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH., sebagai Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai dosen wali.

Page 4: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., MH., sebagai Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Bapak M. Husni, SH., MH., sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Abul Khair, SH., MHum., sebagai ketua bagian departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

6. Ibu Nurmalawaty, SH., MHum., sebagai sekretaris Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

7. Bapak Tambah Sembiring, SH., sebagai Dosen Pembingbing I yang telah

bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan

pembuatan skripsi.

8. Bapak Berlin Nainggolan, SH., MHum., sebagai Dosen Pembimbing II yang

telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan

pembuatan skripsi.

9. Seluruh Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

telah mengajari dan memberikan ilmunya kepada penulis selama duduk di

bangku perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

10. Bapak Pudja, SH. selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil di kantor Dinas

Kehutanan Provinsi Sumatera Utara.

11. Teristimewa kepada Ayahanda Drs. Osmar Simbolon dan Ibunda R. br.

Sitepu, SPd., dengan segala kerendahan hati ku presembahkan karya

sederhana ini. Treima kasih buat doa, kasih saying,erta dukungannya, baik

moril maupun materil yang tiada hentinya mengalir dicurahkan kepada

penulis. Tak lupa buat adik-adik ku, Florikana br. Simbolon, Yulisriana br.

Page 5: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Simbolon dan Michael Simbolon, terima kasih buat doa dan kasih sayangnya

selama ini.

12. Teman-teman stambuk 2003, terima kasih buat dukungannya selama ini.

13. Trima kasih buat adik-adik stambuk 2004, 2005, 2006, dan 2007, terima

kasih buat dukungannya.

14. Buat kawan-kawan GmnI komisariat Fakultas Hukum USU, KMK St.

Fidelis Fakultas Hukum, dan PERMAHI Cabang Medan.

15. Pada pihak-pihak lain yang telah memberkan bantuan kepada penulis untuk

Menyusun skripsi ini, namun tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari apa yang penulis sajikan dalam skripsi ini masih jauh dari

sempurna, kaena masih banyak ditemui tutur kata yang tidak pada tempatnya

serta bobot ilmiah yang masih jauh dari yang diharapkan karena keterbatasan

ilmu yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis mengharapkan petunjuk dan

saran dari pembaca semua.

Akhir kata penulis berharap semoga karya sederhana ini dapat berguna bagi kita

semua. Serta dapat memberikan gambaran dan menambah wawasan tentang

permasalahan yang penulis bahas serta dapat menambah refrensi bagi pihak-

pihak yang berkepentingan dalam mengatasi permasalahan yang penulis angkat

dalam penelitian ini.

Medan, 1 September 2007

Penulis

OBRIKA SIMBOLON

Page 6: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... iv

ABSTRAKSI..................................................................................................................... vi

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1

B. Perumusan Masalah ............................................................................................... 4

C. Tujuan Penulisan.................................................................................................... 4

D. Manfaat Penuisan ................................................................................................... 5

E. Keaslian Penulisan ................................................................................................. 6

F. Tinjauan kepustakaan ............................................................................................. 6

G. Metode penelitian................................................................................................... 24

H. Sistematika Penulisan............................................................................................. 26

BAB II : PERSPEKTIF HUKUM INDONESIA TENTANG TINDAK PIDANA

ILLEGAL LOGGING

A. Peraturan mengenai Tindak Pidana Illegal Logging di Indonesia ........................... 28

B. Proses Penyidikan Tindak Pidana Illegal Logging ................................................. 42

C. Faktor-ni yang mempengaruhi Tindak Pidana Illegal Logging ............................. 48

BAB III : PERAN PPNS DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA

ILLEGAL LOGGING

A. Peran PPNS dalam Tindak Pidana Illegal Logging ................................................. 57

B. Hubungan antara PPNS dan Penyidik Polri ............................................................ 66

Page 7: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

C. Pelaku dan modus perandi tindak pidana llegal logging .......................................... 71

BAB IV : KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI PPNS

A. Kendala yang dihadapi PPNS dalam penanggulangan Tindak Pidana Illegal

Logging ................................................................................................................. 75

B. Upaya-upaya yang dilakukan ................................................................................ 84

BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan. ........................................................................................................... 92

B. Saran . .................................................................................................................... 95

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 8: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

ABSTRAK

Pembalakan hutan di Indonesia menjadi salah satu kejahatan yang berat dan sulit di berantas. Hutan yang berfungsi sebagai sakah satu penentu penentu system penyangga kehidupan. Keadaannya sekarang cenderung menurun kelestariannya. Oleh karena itu pemerintah berusaha mengadakan pengaturan-pengaturan hukum terhadap penebangan liar (illegal logging) yang dilakukan orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Untuk itu diperlukan adanya pengawasan hutan secara terpadu sehingga dapat meminimalkan kerusakan yang terjadi. Dalam skripsi ini penulis mengangkat persoalan bagaimana peran Penyidik Pegawai Negri Sipil dalam pemberantasantindak pidana illegal logging, dan apa-pa saja kendala yang dihadapi oleh Penyidik Pegawai Negri SIpil dalam usaha pemberantasan tindak pidana illegal logging, serta upaya-upaya yang dilakukan untuk pemberantasan tindak pidana illegal logging. Penelitian ini dilakukandengan cara penelitian lapangan dengan studi kepustakaan, yaitu dengan melakukan penelusuran terhadap buku-buku literature-literatur yang berkaitan dengan tindak pidana llegal logging juga melakkan wawancara secara langsung dngan pihk-pihak yang terkait dengan pihak-pihak yang terkait dengan penyidik PNS dengan menggunakan data di atas pada Bab Pembahasan dijelaskan dan diuraikan hasil-hasil penelitian melalui data primer dan sekunder yang kemudian di seleksi serta dianalisa sedangkan data yang diperoleh di lapangan di edit sehingga diperoleh suatu kesimpulan sebagai jawaban dari permaslahan yang dibahas yaiu mengenai peran Penyidik PNS. UU No. 41 Tahun 1999 merupakan upaya untuk menanggulangi tindak pidana illegal logging akan tetapi perkembangan selanjutnya menunjukkan bagaimana variatifnya modus operandi tindak pidana illegal logging. Dalam proses penyidikan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana illegal logging maka tunduk kepada UU No.41 Tahun yang tidak terlepas dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHAP Peran Penyidik PNS bidang kehutanan dalam tindak pidana illegal logging lebih efektif dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana illegal loging hal ini disebabkan karena keterbatasan yang selalu dihadapi Polri Khususnya keterbatasan personil di bidang penyidik dan keterbatasan di bidang pengetahuan di bidang tertentu yang menyebabkan Polri tidak mampu menangani semua tindak pidana yang terjadi. Dan berdasarkan penelitian yang penulis lakukan dapat disimpulkan bahwa. Kendala-kendala yang dihadapi Penyidik PNS dalam penanggulangan tindak pidana illegal logging secara umum adalah : lemahnya koordinasi antar penegak hukum, pelaku utama (actor intelektual) yang sulit ditembus oleh hukum, adanya otonomi daerah, kurangnya sarana dan sarana dan prasarana, dan keterbatasan dana. Bahwa supaya peangulangan tindak pidana illegal logging adalah dengan mningkatkan pemberantasan illegal logging di seluruh Indonesia, mempersiapkan aparatur penegak hukum baik dari segi kualitas maupun kuantitas dan memberlakukan peraturan tentang hutan sebaik-baiknya.

Page 9: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Negara Indonesia merupakan negara yang subur akan kekayaan alam yamg

terkandung di dalamnya. Di Indonesia hutan terancam kekayaan alamnya baik itu

dari alam ataupun dari tangan manusia itu sendiri. Untuk itu pemerintah melakukan

pengelolaan sumber daya hutan sebagai ekosistem secara adil, demokratis, efisien,

dan profesional guna menjamin keterlanjutan fungsi dan manfaatnya untuk

kesejahteraan bagi masyarakat.

Kerusakan hutan di berbagai belahan bumi sudah terjadi sejak pecahnya

perang Dunia I memasuki abad teknologi industri di Prancis dan Inggris. Di Negara

berkembang, kersakan hutan tampak makin mencemaska dengan pesatnya daya

pengelolaan hutan yang tidak diikuti dengan norma-norma yang tela ditetapkan

secara yuridis.1

Persoalan yang paling mencolok di bidang kehutanan adalah marakanya

praktek pembalakan liar atau illegal logging. Penebangan liar (illegal logging)

nyatanya hingga saat ini masih hampir terjadi di seluruh dunia, namun yang paling

parah justru banyak dilakukan di kawasan Asia pasifik, khususnya di Negara-negara

Amerika latin, Benua Afrika, dan ASEAN yang keadaanya makin hari semakin

mengkhawatirkan. Diduga illegal logging yang menghancurkan jutaan hektare hutan

hujan tropis ini, diatur oleh semacam sindikat yang terkoordinasi rapi hingga pihak

berwajib pun sulit untuk membongkarnya.

1 Zain,Alam Setia, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan. Penerbit Rineka cipta, 1997, hal 14

Page 10: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Menghadapi kenyataan seperti ini diperlukan langkah-langkah pengamanan

yang efisien dan sefektif mungkin, dengan cara pengamanan hutan oleh Polri dan

masyarakat serta seluruh komponen bangsa Indonesia memiliki tanggung jawab

bersama dalam menjaga dan memelihara keamanan dalam negri termasuk keamanan

hutan

Lahirnya Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai

dasar penegakan hukum terhadap aksi illegal logging di Indonesia memang

dirasakan belum maksimal. Polri sebagai institusi yang bertugas melakukan

penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu tindak pidana masih banyak mengalami

hambatan dan keterbatasan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya.

Penyidikan tindak pidana di bidang kehutanan merupakan salah satu bentuk

penyidikan yang dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negri Sipil. Penyidikan ini

dimaksudkan untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau yang

berkenaan laporan atau keterangan berkenaan tindak pidana di bidang illegal

logging.

Dalam melakukan tugasnya penyidik di bidang tindak pidana kehutanan

selaku penyidik Pegawai Negri Sipil harus berlandaskan kepada Undang-Undang

No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan dan KUHAP. Selanjutnya berdasarkan pasal 7

ayat (2) KUHAp dinyatakan adanya koordinasi dan pengawasan oleh penyidik Polri.

Pada hakekatnya penyidikan tindak pidana di bidang kehutanan merupakan

salah satu upaya untuk menegakkan ketentuan peraturan perundang-undangan

kehutanan. Penyidikan merupakan tindak lanjut dari pemeriksaan bukti permulaan

yang diinstruksikan untuk disidik.

Page 11: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Penyidik menurut pasal 1 huruf 1 KUHAP adalah Polisi NegaraRepublik

Indonesia Atau Pejabat Pegawai Negri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus

oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan. Keberadaan Penyidik Pegawai

Negri Sipil didorong oleh suatu kebutuhan akan aparat penegak hukum di bidang

tertentu yang disebabkan perkembanagan dewasa ini. Keberadaan Penyidik Pegawai

Negri Sipil secara implisit diatur di dalam pasal 6 ayat 1 huruf b KUHAP dengan

wewenang sesuai yang ditetapkan dalam Undang-Undang yang menjadi dasar

hukumnya.

Keberadaan Penyidik Pegawai Negri Sipil dalam sistem peradilan pidana

berada dalam satu komponen yang sama dengan Polri sehingga oleh karenanya

KUHAP mengatur pula bahwa di dalam pelaksanaan tugas penyidikan Pegawai

Negri Sipil berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri. Hal ini

sesuai denganm ketentuan Pasal 6 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan bahwa

penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat(1) huruf b mempunyai

wewenang sesuai dengan Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya masing-

masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan

pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.

Hal ini disebabkan karena keterbatasan yang selalu dihadapi Polri khususnya

keterbatasan personil di bidang penyidik, dan keterbatasan pengetahuan di bidang

tertentu menyebabkan Polri tidak mampu menangani semua tindak pidana yang

terjadi. Meskipun kewenangannya selaku penyidik umum memungkinkan Polri

menjangkau semua jenis tindak pidana.

Dengan keberadaan Penyidik Pegawai Negri Sipil tersebut, maka tindak

pidana tertentu yang terjadi di luar KUHP telah ada organ yang menanganinya,

Page 12: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

termasuk tindak pidana di bidang kehutanan yang penyidikannya dan

penanganannya dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negri Sipil.

B. PERMASALAHAN

Tindak pidana di bidang kehutanan seperti yang tercantum dalam Undang-

Undang 41 tahun 1999 bukan merupakan delik aduan. Oleh sebab itu Penyidik

dalam bidang kehutanan baik Polisi maupun Penyidik Pegawai Negri Sipil dapat

melakukan penyidikan baik setelah menerima laporan atau pengaduan maupun

belum menerima laporan dari masyarakat dan orang yang dirugikan.

Adapun permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini, sebagai berikut :

1. bagaimana kinerja Penyidik Pegawai Negri Sipil dalam penanggulangan

tindak pidana illegal logging?

2. Bagaimana kendala-kendala Penyidik Pegawai Negri Sipil dalam

menanagani Tindak pidana illegal logging serta upaya yang dilakukan?

C. TUJUAN PENULISAN

Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui peran Penyidik Pegawai Negri Sipil dalam

penanggulangan tindak pidana di bidang kehutanan khususnya illegal

logging.

2. untuk mengetahui kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh Peyidik

Pegawai Negri Sipil dalam penanggulangan tindak pidana Illegal

logging.

Page 13: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

3. Untuk mengetahui upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk

menanggulangi tindak pidana di bidang illegal logging.

D. MANFAAT PENULISAN

Adapun yang menjadi manfaat dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. secara toritis

diharapkan menjadi bahan untuk pengembangan wawasan dan untuk

memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi

perbendaharaan dan koleksi ilmiah serta memberikan kontribusi

pemikiran yang menyoroti dan membahas mengenai peran Penyidik

Pegawai Negri Sipil, yang diharapkan dapat memberikan sumbangan

bagi perkembanagan hukum pidana Indonesia.

2. Secara praktis

a. sebagai masukan atau pedoaman bagi aparat penegak hukum

maupun praktisi hukum dalam menentukan kebijakan untuk

menangani dan menyelesaikan perkara-perkara tindak pidana illegal

logging khususnya

b. Memberikan sumbangan pikiran dan kajian tentang peran Penyidik,

terutama Penyidik Pegawai Negri Sipil di bidang kehutanan.

c. Memberikan sumbangan pemikian bagi masyarakat khususnya

memberikan informasi ilmiah mengenai wewenang penyidik di

bidang tindak pidana kehutanan.

E. KEASLIAN PENULISAN

Page 14: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Skripsi ini berjudul “ Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana

Illegal Logging”

Penulisan ini dilakukan oleh peneliti dimulai dengan mengumpulkan bahan-

bahan yang berkaitan dengan tindak pidana illegal logging, baik melalui literatur

yang diperoleh dari perpustakaan maupun media cetak maupun elektronik dan di

samping itu juga diadakan penelitian. Dan sehubungan degan keaslian judul skripsi

ini, pada saat penulis menulis skripsi ini belum ada judul yang sama, walaupun ada

judul yang berbicara tentang “illegal logging” namun judul dan objek pembahasan

yang dibicarakan tidak sama.

Bila di kemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis

oleh orang lain dalam bentuk skripsi, maka hal itu menjadi tanggung jawab penulis

sepenuhnya.

F. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

1. Peyidikan

1.1 Pengertian Penyidikan

Sebelum sampai pada tahap Penyidikan terhadap suatu peristiwa yang

daianggap sebagai tindak pidana terlebih dahulu harus dilakukan suatu proses yang

disebut penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk

mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam

Undang-Undang ini (Pasal 1 angka 5 KUHAP).

Dengan kata lain penyelidikan tersebut dilakukan untuk menentukan dapat atau

tidaknya dilakukan penyidikan terhadap suatu peristiwa yang dianggap sebagai

tindak pidana. Sedangkan yang berwenang melakukan penyelidikan adalah setiap

Page 15: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) seperti yang termuat dlam pasal

4 KUHAP.

Pada tahap penyelidikan ini penyelidik berusaha atas inisiatif sendiri

menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana adalah benar merupakan

tindak pidana sehingga dapat diproses lebih lanjut. Berita Acara Penyelidikan dan

melaporkannya kepada Penyidik untuk diproses lebih lanjut. Berita Acara

Penyelidikan ini akan dijadikan Penyidik sebagai dasar dalam rangka proses

Penyidikan. Terutama dalam menentukan tindakan-tindakan apa yang diperlukan

untuk mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan sehingga menjadi

jelas tindak pidananya (criminal act) dan siapa pelaku yang akan bertanggung jawab

terhadap tindak pidana yang terjadi tersebut.(criminal responsibility)2

1) Penyidik adalah :

.

Dalam pasal 1 angka1 KUHAP dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyidik

adalah Pejabat Polisi Negara atau Pejabat Pegawai Negri Sipil tertentu yang diberi

wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan. Dalam

pelaksanaanya lebih lanjut pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun

1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menentukan

bahwa:

a. pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertenti sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi.

b. Pejabat Pegawai Negri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu.

2) dalam hal di suatu tempat sektor Kepolisian tidak ada Pejabat Penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a, maka Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi karena jabatannya adalah Penyidik

2 Djoko Prakoso,Eksistensi Jaksa Di Tengah-Tengah Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, 1985,hal 48

Page 16: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, ditunjuk oleh kepala Kepolisian Republik Indonesia sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

4) Wewenang peunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dilimpahkan kepada Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

5) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, diangkat oleh mentri atas usul dari Departemen yang membawahkan Pegawai Negri tersebut. Mentri sebelum melaksanakan pengangkatan terlebih dahulu mendengar pertimbangan Jaksa Agung dan Kepolisian Republik Indonesia.

6) Wewenang Pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dapat dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Mentri3

Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) jo Pasal 1 angka 1 KUHAP ada dua badan yang

berhak dan berwenang melakukan penyidikan yaitu:

.

a. Pejabat Polisi Negara republik Indonesia

b. Pejabat Pegawai Negri Sipil tertentu yang diberi wewenang

khusus oleh Undang-Undang.

Namun selain kedua penyidik di atas ada dikenal juga penyidik perwira TNI-

AL dan kewenangan melakukan penyidikan oleh Kejaksaan terhadap tindak pidana

khusus sepertiTindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Subversi, dan Tindak Pidana

Korupsi. Hal ini didasarkan pada Pasal 284 ayat (2) KUHAP yang menyatkan bahwa

dalam dua tahunsetelah berlakunya KUHAP masih diberi wewenang untuk

melakukan penyidikan.4

Dari uraian di atas dapat kita lihat bahwa Polisi memiliki tugas ganda yaitu

selain dibebanitugas sebagai Penyidik, polisi juga dibebani tugas sebagai seorang

penyidik. Dari Pengertian Penyelidikan dan Peyidikan yang tercantum dalam

KUHAP menunjukkan bahwa antara Penyelidikan dan Penyidikan adalah

merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dan saling menunjang

3 M.Yahya Harahap,Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal 97 4 IGM Nurjana,dkk,Korupsi dan Illegal Logging DAlam Sistem Desentralisasi, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2005,cetakan I,hal 131.

Page 17: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

antara satu dengan yang lain. Proses Penyelidikan yang baik dan benar sesuai

dengan ketentuan yang berlaku akan memperlancar proses Penyidikan terhadap

suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana.

Di samping pejabat Penyidik sebagaimana dimaksud Pasal 6 KUHAP, dalam

Pasal 10 KUHAP ditentukan pula tentang pejabat Penyidik pembantu. Sesuai

dengan ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983, ditentukan

penyidik pembantu adalah :

1) Penyidik Pembantu adalah: a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya

berpangkat Sersan Dua Polisi. (Serda). b. Pejabat Pegawai Negri Sipil tertentu dalam Lingkungan Kepolisian Negara

Republik Indonesia atas usul Komandan atau Pimpinan Kesatuan Masing-masing.

c. Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilimpahkan kepada Pejabat Kepolisian Negara Reublik Indonesia sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.5

Dengan demikian istilah “Kepolisian Sebagai Penyidik Tunggal” tidaklah tepat

dan idak lebih tepat lagi bila istilah tersebut dihubungkan dengan ketentuan Pasal 17

Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 yang menyatakan : “ Penyidikan

menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat

2 KUHAP dilaksanakan oleh penyidik yang berwenang lainnya”6

1.2 kewenanagan penyidikan

Dari pengertian penyidikan yang tercantum dalam pasal 1 angka 2 KUHAP:

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya” Dari rumusan pengertian penyidikan di atas maka tugas utama penyidik adalah :

5 M. Yahya Harahap, Op.Cit,hal.98 6 Ibid, hal.102

Page 18: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

a. Mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti-bukti tersebut

membuat terang tindak pidana yang terjadi.

b. Menemukan tersangka

Demi tercapainya tugas utama penyidik diberikan kewenangan-kewenangan dalam

melaksanakan kewajibannya yang diatur dalam pasal 7 KUHAP yaitu:

1) Penyidik sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewjibannya

mempunyai wewenang “ a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya

tindak pidana ; b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian ; c. menyuruh berhenti seorang tersangka atau memeriksa tanda pengenal

diri tersangka; d. melakukan penangkapan,penahanan,penggeledahan,dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g. memanggil orang untuk didengar atau didengar dan diperiksa sebagai

tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubunganya dengan

pemeriksaan perkara; i. mengadakan penghentian penyidikan; j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan Undang-Undang Yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat (1) huruf a.

3) Dealam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

Secara umum hak seorang Penyidik pegawai Negri Sipil dengan Penyidik Polri

itu adalah sama, hanya saja ruang lingkup dan kewenangan masing-masing yang

berbeda. Kewenangan Penyidik Pegawai Negri Sipil itu terbatas pada kejahatan

tertentu dalam ruang lingkup tugas instansi di tempat pejabat tersebut berada.

Ketentuan mengenai penyidikan terhadap kejahatan di bidang kehutanan diatur

secara khusus dalam Pasal 77 UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Dimana dalam pasal 77 ayat (1) UU No. 41 Tahun1999 dinyatakan bahwa:

Page 19: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

“ Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagai penyidik sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”7

a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan ,dan hasil hutan;

Pasal 77 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ini adalah merupakan

penjabaran dari Pasal 6 ayat(1) KUHAP. Dalam penjelasan Pasal 77 ayat (1) UU

No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan

Pejabat Pegawai Negri Sipil tertentu meliputi Pejabat Pegawai Negri Sipil di tingkat

pusat maupun tingkat daerah yag mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam

pengurusan hutan.

Mengenai kewenangan dari PPNS Kehutanan tersebut diatur dalam Pasal 77

ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai bentuk penjabaran dari

Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa wewenang PPNS diatur dalam

Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.

Pasal 77 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan :

Pejabat Penyidik Pegawai Negri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berwenang untuk :

b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

c. Memeriksa tanda pengenal seorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;

d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutansesuai dengan peraturan perundangn yang berlaku;

e. Menerima keterangan dan barang bukti dari orang atau badan huklum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan kawasan hutan,dan hasil hutan;

7 Undang-Undang Kehutanan No.41 Tahun 1999, Penerbit Eko Jaya, Jakarta,2004.hal 92

Page 20: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

f. Menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

g. Membuat dan menendatangani berita acara; h. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti

tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.8

Sedangkan mengenai kewenangan yang lainnya adalah berbeda. Perbedaan-

perbedaan itu ditemukan di dalam melakukan penahanan dan penangkapan.

Penyidik Pegawai Negri Sipil tertentu dikatakan sebagai seorang penyidik apabila

telah memenuhi syarat yang antara lain harus sehat jasmani dan rohani serta

sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (II/b). setelah memenuhi

syarat-syarat tersebut maka penyidik tersebut haruslah mempunyai surat

pengangkatan dari Mentri Kehakiman atas usul Departemen yang membawahi

pejabat tersebut, dengan terlebih dahulu mendengar Jaksa Agung dan Kepala

Kepolisian Republik Indonesia.

Selain PPNS Kehutanan dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

ada juga dikenal Polisi Hutan (polhut) yang bertugas melakukan perlindungan hutan

yang dahuklu dikenal dengan istilah “jagawana”. Mengenai kewenangan Polhut ini

diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu

disebutkan bahwa :

“ Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada

pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaanya diberikan wewenang

kepolisin khusus”.

Kewenangan Polisi Kehutanan (polhut) ini diatur dalam Pasal 51 ayat (2) UU

No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Yaitu:

8 Ibid, hal 92-93

Page 21: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

a. mengadakan Patroli / perondaan di dalam kawasan hutan atau

wilayah hukumnya

b. memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan

pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah

hukumnya;

c. menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang

menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;

d. mencari keterangan dan baranag bukti terjadinya tindak pidana

yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;

e. dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk

diserahkan kepada yang berwenang.

f. Membuat laporan dan menendatangani laporan tentang

terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan

hutan dan hasil hutan.

Bila dibandingkan dengan kewenangan penyidik yang dimuat dalam pasal 7

KUHAP, maka PPNS Kehutanan dan Polisi Hutan (Polhut) tidak mempunyai

kewenangan :

a. melakukan penangkapan dan penahanan

b. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat

c. mengambil sidik jari dan memotret seseorang

d. mendatangi seorang ahli

e. mengadakan tindakan lain yang menurut hukum bertanggungjawab.

Mengenai mekanisme tata kerja PPNS Kehutanan diatur juga secara khusus dalam

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu dimuat dalam Pasal 77 ayat (3) :

Page 22: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

“ Pejabat Pegawai Negri Sipil sebagaimana dimaksud ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikandan menyerahkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum, sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana” Bila kita perhatikan rumusan dari pasal 77 ayat (3) ini agak menyimpang dari apa

yang diatur dalam pasal 7 ayat (2) KUHAP menngenai mekanisme tat kerja PPNS.

Di dalam pasal 7 ayat (2) KUHAP dinyatakan bahwa dalam pelaksanaan tugasnya

PPNS berada di bawah pengawasan dan koordinasi penyidik Polri namun dalam

pasal 77 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 secara tegas memberikan kewenangan

kepada PPNS kehutanan dalam melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus

Kehutanan yang langsung diserahkan berkasnya kepada Penuntut Umum untuk

proses hukum lebih lanjut, ini berarti dapat dilakukan penyidikan tanpa koordinasi

dengan Polri. Tumpang tindihnya kebijakan ini akan membawa dampak negatif

yaitu akan muncul arogansi masing-masing penyidik yang diberi kewenangan oleh

Undang-Undang untuk melakukan perlindungan dan penanggulangan tindak pidana

di bidang kehutanan.

Selain Penyidik Polri dan Penyidik PPNS Kehutanan dan Polisi Hutan

(Polhut) penyidik perwira TNI-AL atas dasar kerjasama dengan departemen

kehutanana juga diberikan kewenangan dalam rangka peyidikan terhadap

penyeludupan kayu illlegal yang merupakan bagian dari kejahatan illegal logging9

2 TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING

.

Kondisi seperti ini tentu memungkinkan sekali terjadi tumpang tindih penyidikan

terhadap satu tersangka tindak pidana illegal loggiong masing-masing berjalan

sendiri-sendiri dan tidak terintegrasi ke dalam suatu lembaga penyidikan yang

terpadu sehingga berpotensi menciptakan konflik antar penyidik tersebut.

9 IGM Nurjana.dkk, Op Cit, hal 11

Page 23: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

2.1 Pengertian tindak pidana

Pidana berasal dari Bahasa Belanda yaitu straf, yang kadang-kadang disebut

dengan istilah hukuman. Walaupun istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman,

karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht.

Pidana dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau

diberikan oleh negara kepada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum

(sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana.

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah asing terdapat di dalam hukum

pidana Belanda (WvS) yang dikenal dengan istilah “stafbaarfeit”, dimana seperti

kita ketahui bahwa WvS Hindia Belanda yangsekarang menjadi KUHP kita adalah

merupakan terjemahan dari WvS Belanda. Tetapi tidak ada penjelasan resmi

mengenai arti dan isi dari istilah tersebut, baik dalam WvS Belanda maupun dalam

WvS Hindia Belanda (KUHP). Tindak pidana adalah prilaku yang ada pada waktu

tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditolerir dan harus

diperbaiki dengan mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum.10

1. Straf diterjemahkan sebagai pidana atau hukuman

Istilah stafbaarfeit ini terdiri dari (3) tiga kata yaitu :

2. Barr diterjemahkan sebagai dapat atau boleh

3. Feit diterjemahkan sebagai perbuatan

Jadi istilah Strafbaar feit secara etiomologi dapat diartikan sebagai perbuatan yang

dapat dipidana atau dihukum.

10 Jan Remelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Undang-Undang Hukum Pidana Belandadan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Pt Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,2003, hal 61

Page 24: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Istilah lain yang sering dipergunakan baik dalam perundang-undangan yang ada

maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strsfbaarfeit

adalah :

a. tindak pidana, yang merupakan istilah resmi dalam perundang-undangan

kita yang sering digunakan.

Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum. Peristiwa tidak

saja menunjuk pada perbuatan manusia, melainkan mencakup pada

seluruh kejadian yang tidak saja disebabkan oleh adanya perbuatan

manusia semata, tetapi juga oleh alam, seperti matinya seorang karena

disambar petir atau tertimbun tanah longsor yang tidak penting dalam

hukum pidana, baru menjadi penting dalam hukum pidana,apabila

kematian orang itu diakibatkan oleh perbuatan manusia baik aktif

maupun pasif. Tindak pidana menunjuk pada hal kelakuan manusia

dalam arti positif atau aktif. Perbuatan aktif maksudnya suatu bentuk

perbuatn untk mewujudkannya diperlukan atau disyaratkan adanya suatu

gerakan atau gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia,

misalnya mengambil yang terdapat dalam Pasal 362 KUHP.

b. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum” juga

digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan

starfbaarfeit.

Delik merupakan perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena

merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana11

c. Pelanggaran Pidana.

.

11 Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa, Erlangga,Jakarta,hal 9

Page 25: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

d. Perbuatan yang boleh dihukum

e. Perbuatn yang dapat dihukum

f. Perbuatan Pidana

Karena tidak adanya penjelasan yang resmi mengenai arti dan isi dari

istilah “straffbaarfeit” tersebut maka beberapa ahli hukum berusaha memberikan

pendapat mereka mengenai defenisi dari istilah “straffbaarfeit” tersebut antara lain:

Pompe, ia merumuskan bahwa strafbaarfeit itu sebenarnya adalah titindak lain dari

pada suatu tindakan yang menurut suatu rumusan undang-undang telah dinyatakan

sebagai tindakan yang dapat dihukum.12 Sedangkan R. Tresna merumuskan bahwa

peristiwa pidana itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang

bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya,

terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.13

1. Harus merupakan suatu perbuatan manusia

Dari rumusan defenisi

strafbaarfeit (tindak pidana) yang dikemukakan oleh beberapa ahli hukum maka

dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan strafbaarfeit (tindak pidana) adalah

perbuatan manusia yang dilarang oleh undang-undang ataupun peraturan perundang-

undangan lainnya yang berlaku dimana perbuatan tersebut diancam dengan

hukuman dan atas perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh pelaku.

Jadi suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi

unsur-unsur sebagai berikut, yaitu:

2. Perbuatan tersebut dilarang dan diberi ancaman hukuman baik oleh

undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya.

12 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 72 13 Ibid

Page 26: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

3. Perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang dapat dipersalahkan

karena melakukan perbuatan tersebut. (Simon)14

Dari sudut undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu

dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-

undangan yang ada. Dalam KUHP terdapat adanya beberapa unsur dari tindak

pidana, yaitu :

a. Unsur tingkah laku

b. Unsur melawan hukum

c. Unsur kesalahan

Di samping itu dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa jenis yindak pidana,

diantaranya adalah:

1. Menurut dari sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan dan pelanggaran.

Kejahatan diatur dalam Buku II KUHP, dimana kejahatan dijatuhkan

terhadap tindak pidana yang berat, misalnya pembunuhan. Pelanggaran

diatur dalam Buku III KUHP, pelanggaran dijatuhkan terhadap tindak

pidana ringan, seperti tidak memakai helm pada waktu berkendaraan di

jalan raya.

2. Menurut cara perumusannya, dibedakan antara tindak pidana formil dan

tindak pidana materil. Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang

perumusannya, dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang, jadi

tindak pidana tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang

dilarang sebagaimana yang dirumuskan dalam peraturan perundang-

undangan pidana. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu perbuatan melarang

14 Satochid K, Hukum Pidana I, Balai Lektur Mahasiswa, hal 65

Page 27: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

untuk mengambil milik orang lain. Tindak pidana materil adalah tindak

pidana yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang dilarang.

Jadi tindak pidana ini baru selesai apabila akibat yang dilarang itu telah

terjadi. Misalnya Pasal 338 KUHP, akibat yang dilarang tersebut adalah

hilangnya nyawa orang lain.

3. Berdasarkan macam perbuatannya dibedakan, antara tindak pidana

komisi dan tindak pidana omisi. Tindak pidana komisi adalah tindak

pidana yang terjadi karena suatu perbuatan seseorang. Tindak pidana

omisi adalah tindak pidana yang terjadi karena seseorang tidak berbuat

sesuatu. Misalnya tidak menghadap sebagai saksi di pengadilan.

4. Berdasarkan bentuk kesalahannya dibedakan antara dolus dan culpa,

dolus adalah tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja sedangkan

culpa adalah tindak pidana yang dilakukan dengan kelalaian atau karena

kealpaan.

5. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, dibedakan

antara tindak pidana aduan (klachtdelict) dan tindak pidana biasa. Tindak

pidana aduan adalah tindak pidana yang dilakukan itu baru dapat

dilakukan penuntutan, apabila ada pengaduan. Misalnya Pasal 284

KUHP, mengenai tindak pidana perzinahan.

Tindak pidana aduan ada dua macam, yaitu tindak pidana aduan mutlak

atau absolut dan tindak pidana aduan relatif. Tindak pidana aduan

mutlak, yaitu tindak pidana aduan yang setiap kejadian syarat pengaduan

itu harus ada. Sedangkan tindak pidana aduan relatif adalah sebaliknya,

Page 28: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

ialah hanya dalam keadaan tertentu atau jika memenuhi syarat maka

tindak pidana itu menjadi aduan.

Tindak pidana biasa maksudnya tindak pidana yang untuk dilakukannya

penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan adanya

pengaduan dari yang berhak.

6. Berdasarkan sumbernya, tindak pidana dibagi dua, yaitu tindak pidana

umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana umum adalah semua

tindak pidana yang dimuat dalam KUHP, yaitu yang terdapat dalam

Buku II dan Buku III KUHP, sedangkan tindak pidana khusus adalah

semua tindak pidana yang pengaturannya terdapat di luar KUHP, seperti

Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Walupun sudah

ada kodifikasi tetapi adanya tindak pidana di luar KUHP adalah suatu

keharusan yang tidak dapat dihindari. Karena perbuatan-perbuatan

tertentu yang dinilai merugikan masyarakat dan patut diancam dengan

pidana itu terus berkembang, sesuai dengan perkembangan teknologi dan

kemajuan ilmu pengetahuan.

7. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya. Tindak pidana yang

terjadi seketika, bahwa untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu

seketika atau dalam waktu singkat. Tindak pidana yang berlangsung

lama,. Yakni setelah perbuatan dilakukan. Tindak pidana itu masih

berlangsung terus, tindak pidana itu dapat disebut sebagai tindak pidana

yang menciptakan keadaan terlarang.

Pengertian illegal logging

Page 29: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Dalam peraturan Perundang-undangan yang berlakau tidak ada yang secara eksplisiy

menyebutkan defenisi dari istilah illegal logging secara tegas. Bahkan di dalam

peraturan perundang-undangan yang ada tidak pernah ada di temukan istilah illegal

looging, istilah illegal logging ini pernah digunakandalam Inpres RI No. 5 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Illegal (illegal logging ) dan

Peredaran Hasil huutan ilegal di kawasan ekosis tem Leuser dan Taman Nasional

Tanjung Putting dimana istilah Illegal logging ini disamakan dengan Penebangan

Kayu Illegal tetapi dengan berlakunya Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang

Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di kawasan hutan dan peredarannya

di seluruh wilayah Republik Indonesia maka Inpres No. 5 Tahun 2001 tidak berlaku

lagi. Dalam Inpres No. 4 tahun 2005 tersebut tidak ada menggunakan istilah “

Penebangan Kayu Secara Illegal” begitu pula halnya sdengan UU No. 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan juga tidak ada menggunakan istilah “illegal logging”

Secara terminologi istilah illegal logging yang merupakan bahasa Inggris terdiri

dari 2 kata :

1. illegal, yang artinya tidak sah, dilarang arau bertentangan dengan

hukum, haram.

2. Log, yang artinya batang kayu, kayu bundar dan gelondongan.

Sehingga kata logging berarti menebang kayu dan membawa ke

tempat gergajian.15

Dari pengertian “Illegal logging” tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa

pengertian dari illegal logging adalah menebang kayu dan kemudian membawa ke

15 Jhon M Echols, An English-Indonesian Dictionary, Cetakan XXIII, Gramedia, Jakarta,1996, hal 363

Page 30: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

tempat gergajian yang bertentangan dengan hukum atau menebang kayu secara tidak

sah menurut hukum.

Forest Wacth Indonesia (FWI) dan Global Forest Wacth (GFW) menggunakan

istilah :Pembalakan Illegal” sebagai sinonim dari “illegal logging”. Pembalakan

kayu adalah semua praktek atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan

pemanenan, pengelolaan dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum

yang berlaku di Indonesia. Sementara menurut Drs. IGM. Nurdjana Illegal logging

adalah rangkaian kegiatan dalam bidang kehutanan dalam rangka pemanfatan dan

pengelolaan hasil hutan hingga kegiatan ekspor kayu yang tidak mempunyai izin

dari pihak yang berwenang sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan

hukum yang berlaku oleh karena dipandang sebagai suatu perbuatan yang merusak

hutan. Sedangkan Riza Suarga megatakan bahwa illegal logging adalah sebuah

praktek eksploitasi hasil hutan berupa kyu dari kawasan hutan negara melalui

aktifitas penebangan pohon atau pemanfaatan dan peredaran kayu atau olahannya

yang berasal dari hasil tebanagn yang tidak sah.16

Terkait dengan pengrusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang

menimbulkan perubahan langsung terhadap sifat fisik dan atau hayatinya yang

Esensi yang penting dalam praktek Illegal logging ini adalah perusakan hutan

yang akan berdampak pada kerugian baik dari aspek ekonomi, ekologi dan sosial

budaya. Oleh karena kegiatan itu tidak melalui perencanaan secara komprehensif,

maka illegal logging mempunyai potensi merusak hutan yang kemudian berdampak

pada pengrusakan lingkungan.

16 Riza Suarga, Pemberantasan Illegal Logging I, Wana Aksara, Jakarta, 2005,hal 7

Page 31: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang

Pembangunan berkelanjutan.

Dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam penjelasan Pasal 50 ayat

(1) yaitu bahwa “Yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya

perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya yang menyebabkan hutan tersebut

terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya”.

Dari pengertian illegal logging di atas maka dapat dilihat bahwa kejahatan

illegal logging tersebut bukan hanya sebatas menebang kayu secara illegal tetapi

lebih luas lagi. Selain penebangan kayu, mengangkut kayu, pengelolaan kayu

penjualan kayu, pembelian kayu yang tidak dilengkapi dengan surat izin dari pihak

yag berwenang adalah merupakan bagian dari kejahatn illegal logging.

G. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan adlah metode penelitian

yuridis empiris (sosiologis yang deskriptif. Dalam hal penelitian hukum yang

sosiologis menggunakan Peraturan Perundang-undangan yang berhubungan

dengan judul skripsi ini yang berjudul “ PERAN PPNS DALAM

MENANGGULANGI TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING” dan juga

melekukan penelitian mengenai kendala-kendala apa saja yang di hadapi

PPNS dalam Penanggulangan tindak pidana Illegal logging.

2. Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi lokasi penelitian yang akan Penulis laksanakan adlah

di Dina Kehutanan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.

3. Sumber data

Page 32: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Data yang didapat dalam penulisan ini adalah bersumber dari :

a. Data Primer, yang merupakan data pokok yang bersumber dari

responden yang ada terkait dengan permasalahn dalam penulisan

skripsi ini.

b. Data Sekunder, data yang diperileh dari bahan baku pennjang

yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun

penjelasan terhadap data Primer dan data yang diperoleh dari

Peraturan PerUndang-Undangan yang berlaku. Yang berkaitan

dengan Permasalahan dalam skripsi ini.

4. Metode Pengumpulan data

Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data adlah

a. Studi Kepustakaan, yaitu dengan membaca dan mempelajari berbagai

literatur yang berhubengan dengan judul skripsi ini.

b. Wawancara Langsung, melakukan penelitian langsung ke lapangan

dalam hal ini Penulis langsung mengadakan penelitian ke Kantor

Dinas Kehutanan Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara dengan

menggunakan teknik wawancra secara lisan.

5. Analisis Data

Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, yaitu suatu

analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat tanpa

menggunakan rumus-rumus statistik sehingga diperoleh gambatan yang jelas

dan menyeluruh mengenai Peranan Penyidik PNS dalam menanggulangi

tindak pidana Illegal logging.

Page 33: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

H. Sistematika Penulisan

Dalam rangka memberukan gambaran yang jelas dari maksud dan tujuan

serta hubungan antara bagian yang terpenting dalam tuisan ini, maka sistematika

penulisan skripsi ini dibagi dalam Bab-Bab dan masing-masing Bab dibagi ke

dalam Sub Bab yabg secara garis besar terdi dari:

1. BAB I : Pendahuluan

Yang menjadi sub Bab terdiri dari, yaitu Latar Belakang Penelitian, Identifikasi

Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan

Kepustakaan Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

2. BAB II : Perspektif Hukum Indonesia Tentang Illegal logging

tang terdiri dari sub bab : Peraturan menegenai tindak pidana Illegal logging di

Indonesia, Proses Penyidikan Tindak Pidana ILLegal Logging, Faktor-faktor

yang mempengaruhi illegal logging.

3. BAB III : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal

Logging

yang terdiri dari sub bab, Peran PPNS Dalam Tindak Pidana Illegal Logging,

Hubungan antara PPNS dan Penyidik Polri, Pelaku dan Modus Operandi Tindak

Pidana Illegal Logging

4. BAB IV : Kendala-Kendala Yang dihadapi PPNS

yang terdiri dari sub bab, Kendala Yang Dihadapi PPNS Dalam Penanggulangan

Tindak Pidana Illegal Logging, Upaya- upaya yang dilakukan.

5. BAB V : Penutup

Page 34: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

dalam bab ini penulis membuat satu Kesimpulan dan juga saran-saran yang

menjadi bahan masukan untuk penelitian mengenai masalah ini dan dalam

skripsi ini akan turut pula dimasukkan daftar bacaan dan lampiran-lampiran.

Page 35: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

BAB II PERPEKTIF HUKUM INDONESIA

TENTANG TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING

A. Peraturan mengenai tindak Pidana Illegal logging

A.1 ketentuan pidana di bidang kehutanan

Sejak bangsa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 sampai sekarang

ternyata Pemerintah dengan persetujuan DPR telah berhasil menetapkan peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dalam bidang Kehutanan. Pada

saat diberlakukannya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maka berdasarkan

ketentuan Penutup Undang-Undang tersebut, Pasal 83 mencabut Undang-Undang

No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan

Semakin berkembang dan kompleksnya kejahatan di bidang kehutanan

dirasakan tidak lagi memenuhi rasa keadilan masyarakat atau dengan kata lain UU

No. 5 Tahun 1967 tidak efektif lagi untuk di pertahankan. Melihat keadaan ini maka

Pemerintah (Presiden bersama DPR) memberlakukan UU No.. 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan.

Dalam UU No. 5 tahun 1967 tidak diatur tentang sanksi pidana terhadap kejahatan

di bidang Kehutanan namun diatur dalam Peraturan Pelaksananya berdasarkan Pasal

15 UU No. 5 tahun 1967 tersebut. Namun demikian dalam Pasal 82 Undang-Undang

No. 41 Tahun 199 disebutkan bahwa: “ Semua peraturan pelaksana dari peraturan

perundang-undangan di bidang kehutanan yang telah ada, sepanjang tidak

bertentangan dengan dikeluarkannya Peratuaran Pelaksana yang berdasarkan

undang-undang ini”.

Page 36: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Untuk menegakkan hukum pidana terhadap kejahatan di bidang Kehutanan

pada umumnya dan kejahatan Illegal logging pada khususnya maka ketentuan

pidana yang dapat diterapkan pada kejahatan illegal logging antara lain pasal 78

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan untuk menerapkan sanksi

pidana. Ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 78 UU. No. 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan adalah merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan

dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari.

Dalam penjelasan umum paragraf ke 18 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

dikatakan, diberikannya sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang

melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera

bagi pelanggar hukum di bidang Kehutanan. Efek jera yang dimaksud bukan hanya

kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana di bidang kehutanan akan tetapi

juga kepada orang lain, yang mempunyai kegiatan di dalam bidang kehutanan

menjadi enggan melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidananya

berat.

Ada tiga jenis sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan yaitu;

1. Pidana Penjara

2. Pidana denda

3. Pidana Perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan

pidana.

Ketiga jenis pidana ini dapat dijatuhkan secara kumulatif. Hal ini dapat dilihat dalam

rumusan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999. jenis

Page 37: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

pidana itu merupakan sanksi yang diberikan kepada pelaku yangmelakukan

kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU No. 41 Tahun 1999.

Adapun dasar dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia

bersumber dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945 (Pasal 33 ayat 3), yang berbunyi:

“ Bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

Dari penjelasan UUPA mengenai hal ini dinyatakan bahwa wewenang Hak

Menguasai dari Negara ini dalam tingkatan tertinggi :

a. mengatur dan meyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,

dan pemeliharaannya.

b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang mempunyai atas (bagian dari)

bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antar orang-

orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.17

Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka dibentuklah berbagai peraturan

perundang-undangn yang berlaku di Indonesiayang mengatur mengenai Illegal

logging, yang akan di uraikan satu persatu di bawah ini:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok

Agraria (UUPA)

Pada dasarnya undang-undang ini tidak secara tegas mengatur secara khusus

tentang Kehutanan, tetapi yang diatur hanyalah hubungan-hubungan hukum yang

17 Ap. Parlindungan, Komentar Undang-Undang Pokok Agraria,Mandar Maju, Bandung, 1998, hal 43

Page 38: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

berkaitan dengan hasil hutan, yaitu yang tercantum dalam Pasal 46 UUPA, yang

berbunyi:

1. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia dan diatur dengan peraturan Pemerintah

2. Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara tidak sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.

Ketentuan ini memberikan kesempatan kepada Warga Negara Indonesia

(terutama yang memenuhi syarat ) untuk memungut hasil hutan, seperti kayu, rotan,

getah dan lain-lain. Kepada pemungut hasil hutan hanya diberikan hak untuk

memungut hasil hutan semata-mata, sedangkan tanahnya tetap dikuasai oleh negara

sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kehutanan

Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) terdiri dari 8 Bab dan 22 pasal.

Hal-hal yang ditur dalam UUPK, adalah : (1) pengertian hutan, hasil

hutan,kehutanan, hutan menurut pemilikannya, dan fungsinya; (2) perencanaan

hutan; (3) pengurusan hutan; (4) pengusahaan hutan ; (5) perlindungan hutan; dan

(6) ketentuan pidana dan penutup.

UUPK dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan lainnya.

Peraturan perundang-undangan yang dimaksud, seperti :

a. PP Nomor 22 Thun 1967 tentang Hak Penguasaan Hutan dan Iuran Hasil

Hutan

b. PP Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Penguasaan Hutan dan Hak

Pemungutan Hasil Hutan.

c. PP Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan.

Page 39: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

d. PP Nomor 18 Tahun !975 tentang Perubahan Pasal 9 PP No. 21 tahun 1970

tentang hak Penguasaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan.

e. PP Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan

f. PP Nomor 7 tahun 1990 tentang Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri

g. Kepres Nomor 66 tahun 1971 tentang Peningkatan Prasarana Pengusahaan

Hutan

h. Kepres Nomor 20 Tahun 1975 tentang Kebijaksanaan di Bidang Pemberian

Hak Pengusahaan Hutan

i. Kepres Nomor 19 Tahun 1974 Tentang berlakunya Kepres Nomor 66 Tahun

1971 tentang Peningkatan Prasarana Pengusahaan Hutan Untuk Seluruh

Wilayah RI.

j. Kepres Nomor 48 tahun 1977 tentang Simpanan Wajib Pemegang

Pengusahaan Hutan dan Eksportir Kayu.

k. Kepres Nomor 20 Tahun 1979 tentang Penggunaan Dana Simpanan Wajib

Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dan Eksportir Kayu.

l. Kepres Nomor 39 Tahun 1979 tentang Perubahan atas Kepres Nomor 48

Tahun 1977 tentang Simpanan Wajib Pemegang Hak Pengusahaan Hutan

dan Eksportir Kayu

m. Kepres Nomor 3 Tahun 1985 tentang Pembangunan Taman Wisata Curug

Dago sebagai Taman Hutan Rakyat Ir. H. Djuanda.

n. Kepres Nomor 25 Tahun 1990 tentang Perubahan Kepres Nomor 15 tahun

1984 tentang Susunan Organisasi Departemen.

o. Kepres Nomor 29 Tahun 1990 tentang Dana Reboisasi

Page 40: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

p. Kepres Nomor 30 Tahun 1990 tentangt Pengelolaan Kawasan Hutan

Lindung

q. Kepres Nomor 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah Bagi

Pembangunan Kawasan Industri.

3. Undang-Undang Nomor 41 Thun 1999 sebagai Pengganti dari

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967.

Ada empat pertimbangan ditetapkannya Undang-Undang ini yaitu:

a. Bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah dari Tuahan Yang Maha Esa yang

dianugrahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai

oleh negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya

wajib disyukuri, diurus dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga

kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi

sekarang maupun generasi mendatang;

b. Bahwa hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan

sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu

keberadaanya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya

secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka,

profsional, serta bertanggung-gugat;

c. Bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia

harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan

budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum

nasional;

d. Bahwa Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kehutanan( Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8)sudah tidak

Page 41: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan

perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti;

hal-hal yang ditur dalam Undang-Undang ini, yaitu ;

a. Ketentuan Umum

b. Status dan Fungsi Hutan (Pasal 5 s/d Pasal 9)

c. Pengurusan Hutan (Pasal 10)

d. Perencanaan Kehutanan (Pasal 11 s/d Pasal 20)

e. Pengelolaan Hutan ( Pasal 21 s/d Pasal 51)

f. Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Latihan serta Penyuluhan

Kehutanan (Pasal 52 s/d Pasal 65)

g. Penyerahan wewenang ( Pasal 66)

h. Masyrakat hukum adat ( Pasal 67)

i. Peran serta masyarakat (Pasal 68 s/d Pasal 69)

j. Gugatan Perwakilan (Pasal 71 s/d Pasal 73)

k. Penyelesaian sengketa Kehutanan ( Pasal 74 s/d Pasal 76)

l. Penyidikan (Pasal 77)

m. Ketentuan Pidana ( Pasal 78 s/d Pasal 79)

n. Ganti rugi dan sanksi adaministratif ( Pasl 80)

o. Ketentuan Peralihan ( Pasal 81 s/d Pasal 82)

p. Ketentuan Penutup ( Pasal 83 s/d Pasal 84)

UU No 41 tahun 1999 merupakan ketentuan yang bersifat menyeluruh karena

telah memuat ketentuan-ketentuan baru, yang belum dikenal dalam UUPK No. 5

Tahun 1967. hal-hal baru itu adalah seperti gugatan perwakilan (class action), yaitu

gugatan yang diajukan oleh masyarakat ke pengadilan dan atau melaporkan ke

Page 42: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupn masyarakat;

penyelesaian sengketa Kehutanan; ketentuan pidana; ganti rugi dan sanksi

administratif.

UU Kehutanan dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perundangan lainnya.

Peraturan Perundangan yang dimaksud seperti :

a. Perpu No 1 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan

b. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota

c. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan

d. Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan

e. Instruksi Presiden No. 4 Athun 2005 tentang Pemberantasan Penebanagn

Kayu secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh

Wilayah Republik Indonesia.

f. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Penebangan Kayu illegal (Illegal logging) dan Peredaran Hasil Hutan

Illegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung

Putting.

4. Undang Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup

Ada lima pertimbangan dikeluarkannya Undang-Undang ini, yaitu;

a. Lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang

Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia yang merupakan ruang

bagi kehidupan dalam aspek kemanusiaan sesuai dengan Wawasan

Nusantara.

Page 43: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

b. Dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan

kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam UUD 1945 dan untuk

mencapai kebahagian hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan

Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup

berdasarkan kebijakan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan

memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa

depan.

c. Dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk

melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang

serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya

pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.

d. Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka

pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkunagn hidup telah

berkembang sedemikian rupa sehingga pokok materi sebagaimana diatur

dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan

Lingkungan Hidup perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan

pembangunan berkelanjutan yang berawasan lingkungan hidup.

Hal-hal yang diatur dalam Undang-undang ini, yaitu;

a. Ketentuan umum (Pasal 1 s/d Pasal 2)

b. Azas, tujuan dan sasaran (Pasal 3 s/d Pasal 4)

c. Hak, Kewajiban dan Peran serta masyarakat (Pasal 5 s/d Pasal 7)

d. Wewenang Pengelolaan lingkungan hidup (Pasl 8 s/d Pasal 13)

e. Pelestarian fungsi lingkungan hidup ( Pasal 14 s/d Pasal 17)

f. Persyaratan penataan lingkungan hidup (Pasal 18 s/d Pasal 29)

Page 44: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

g. Penyelesaian sengketa Lingkungan hidup (Pasal 30 s/d 39)

h. Penyidikan (Pasal 40)

i. Ketentuan pidana (Pasal 41 s/d Pasal 48)

j. Ketentuan Peralihan (Pasal 49)

k. Ketentuan Penutup (Pasal 50 s/d Pasal 52)

5. Undang-undang Nomor 19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2004 tentang

Perubahan atas Undng-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan menjadi Undang-Undang

Ada tiga pertimbanagn Undang-Undang ini di tetapkan, yaitu ;

a. Bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

tidak mengatur kelangsungan perizinan atau perjanjian pertambangan yang

telah ada sebelum berlakunya Undang Undang tersebut;

b. Bahwa hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dalam berusaha di

bidang pertambangan yang di kawasan hutuan terutama bagi investor yang

telah memiliki izin atau perjanjian sebelum berlakunya Undang-Undang

tersebut, sehingga dapat menempatkan pemerintah dalam posisi yang sulit

dalam mengembangkan iklim investasi;

c. Bahwa dalam rangka terciptanya kepastian hukum dalam berusaha di bidang

pertambangan yang berada di kawasan hutan, dan mendorong minat serta

kepercayaan investor untuk berusaha di Indonesia, Pemerintah telah

menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

tentang Kehutanan.

Page 45: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

A.2. Ketentuan pidana lain terkait dengan illegal logging

Tindak pidana di bidang Kehutanan adalah merupakan tindak pidana khusus

yang diatur dengan ketentuan pidana dan hukum acara tersendiri. Kejahatan illegal

logging merupakan tindak pidana khusus yang dalam kategori hukum pidana yang

perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-delik kehutanan yang menyangkut

pengelolaan hasil hutan 18

1. Pengrusakan

Pada dasarnya kejahatn illegal logging, secara umum kaitannya dengan

unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP, dapat dikelompkkan dalam

beberapa bentuk kejahatansecara umum yaitu:

Pengrusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 406 sampai 412 KUHP

terbatas hanya mengatur tentang pengrusakan barang dalam arti barang-barang biasa

yang dimiliki orang. Barang tersebut dapat berupa barang terangkat, namun barang-

barang yang mempunyai fungsi sosial artinya dipergunakan untuk kepentingan

umum.

Unsur Pengrusakan terhadap hutan dalam kejahatan illegal logging berangkat

dari pemikiran tentang konsep perizinan dalam sistem pengelolaan hutan yang

mengandung fungsi pengendalian dan pengawassan terhadap hutan, untuk tetap

menjamin kelestarian fungsi huutan. Ancaman hukuman dalam Pasal 406 sampai

denagn Pasal 412 KUHP paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp.

4500 (empat ribu lima ratus rupiah) yaitu bagi pengrusakan terhadap rumah(gedung)

atau kapal. Hukuman itu di tambah sepertiganya apabila dilakukan bersama-sama.

2. Pencurian

18 IGM Nurjana, Op Cit, hal 119

Page 46: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

pencurian menurut penjelasan Pasal 363 Kitab Undang-Undang hukum Pidana

mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

a. Perbuatan mengambil, yaitu mengambil untuk dikuasai.

b. Sesuatu barang, dalam hal ini barang berupa kayu yang pada waktu

diambil tidak berada dalam penguasaan pelaku.

c. Sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dalam hal ini hutan dapat

merupakan hutan adat dan hutan hak yang termasuk dalam hutan negara

maupun hutan negara yang tidak dibebani hak.

d. Dengan sengaja atau dengan maksud ingin memiliki dengan melawan

hukum. Jelas bahwa kegiatan penebanagn kayu dilakukan dengan sengaja

dan tujuan dari kegiatan itu adalah untuk mengambil manfaat dari hasil

hutan berupa kayu tersebut (untuk dimiliki).

Ancaman hukuman yang paling berat dalam kasus pencurian menurut

KUHP adalah Pasal 362 lima tahun, Pasal 363 Tujuh sampai sembilan

tahun, Pasal 365 lima belas tahun.

3. Pemalsuan

Pemalsuan surat-surat diatur dalam Pasal 263-276, pemalsuan materai dan

merk diatur dalam Pasal 253-262. Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu

menurut penjelasan Pasal 263 KUHP adalah membuat surat yang isinya bukan

semestinya atau membuat surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti

aslinya.

Dalam praktik-praktik kejahatan illegal logging, salah satu modus operandi

yang sering di gunakan oleh pelaku dalam melekukan kegiatannya adalah

Pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), pemalsuan tanda

Page 47: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

tangan, pembuatan stempel palsu, dan keterangan palsu dalam SKSHH. Modus

operandi ini belum diatur secara tegas dalam Undang-Undang Kehutanan.

Ancaman hukuman terhadap terhadap tindak pidana pemalsuan surat ini dalam Pasal

263 KUHP paling lama enam tahun, Pasal 264 paling lama delapan tahun dan Pasal

266 paling lama tujuh tahun. Sedangkan pemalsuan terhadap pemalsuan materai dan

merk dalam Pasal 253 KUHP paling lama tujuh tahun.

4. Penggelapan

Penggelapan dalam KUHP diatur dalam Pasal 372 sampai dengan Pasal 377.

Dalam Penjelasan pasal 372 KUHP, penggelapan artinya mengambil suatu barang

yang sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain yang berada di dalam

kekuasaannya untuk dimiliki dengan melawan hak.

Modus penggelapan dalam kejahatan illegal logging antara lain seperti over cutting

yaitu penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi

target kuota yang ada(over capasity).

Ancaman hukuman yang ada dalam Pasal 372 KUHP adalah paling lama empat

tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900 (sembilan ratus rupiah).

5. Penadahan

Dalam KUHP penadahan, adalah sebutan lain dari perbuatan persekongkolan

atau sekongkol atau pertolongan jahat. Dalam penjelasan Pasal 480 dijelaskan

bahwa perbuatan itu dibagi menjadi; perbuatan membeli atau menyewa barang ytang

diketahui atau patut diduga sebagai hasil dari kejahatan, dan perbuatan menjual ,

menukar atau menggadaikan barang yang diketahui atau patut diduga hasil dari

kejahatan

Page 48: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu illegal baik di dalam

maupun di luar negri, bahkan terhadap kayu-kayu hasil illegal logging yang nyata-

nyata diketahui oleh para pelaku baik penjual maupun pembeli.

Ancaman pidana dalam Pasal 480 ini adalah paling lama empat tahun atau denda

sebanyak-banyaknya Rp. 900 (sembilan ratus rupiah)

B. Penyidikan tindak Pidana Illegal logging

Untuk dimulainya suatu Penyidikan Polisi harus mengetahui terlebih dahulu

adanya suatu peristiwa pidana yang terjadi.

Pasl 106 KUHAP merumuskan sebagi berikut:

“ Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa pidana yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.”

Sebelum suatu penyidikan dimulai dengan konskoensi penggunaan upaya

paksa, terlebih dahulu perlu ditentukan secara cermat berdasarkan data yang

diperoleh dari hasil penyelidikan bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai

sutau tindak pidana adalah benar-benar merupakan tindak pidana.19

19 Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Penerbit Rineka Cipta 1991,hal 87

Dimulainya

penyidikan secara formal prosedural dengan di keluarkannya suatu perintah

penyidikan oleh pejabat yang berwenang di instansi penyidik. Bahwa suatu peristiwa

pidana telah terjadi dapat diketahui dari 4 kemungkinan yaitu : (1) adanya laporan

atau pemberitahuan; (2) pengaduan; (3) tertangkap tangan; (4) media massa.

Page 49: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Tiap-tiap orang terhadap siapa suatu tindak pidana dilakukan atau

mengetahui hal itu berhak mengajukan pengaduan atau memberitahukan kepada

pejabat yang berwenag untuk menindaknya menurut hukum.

Pasal 1 butir 25 KUHAP, yang dimaksud dengan pengaduan adalah

pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat

yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan

tindak pidana aduan yang merugikannya

Laporan berbeda dengan pengaduan, dimana perbedaan tersebut sebagai

berikut:

1. Laporan dilakukan terhadap tindak pidana biasa, sedangkan

pengaduan dilakukan terhadap tindak pidana aduan.

2. Untuk melakukan penentutan suatu delik biasa atau tindak pidana

biasa, laporan tidak merupakan syarat, artinya walau tidak ada

laporan, tetapi diketahui oleh penyidik atau tertangkap basah dapat

dilakukan penentutan.

3. Laporan dapat dilakukan atau diajuakn oleh siapa saja atau setiap

orang, sedangkan pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang yang

berhak mengadu yaitu orang yang dirugikan.

4. Penyampaian laporan tidak terikat pada jangka waktu tetentu,

sedangkan pengaduan hanya dapat disampaikan dalam jangka

waktu tertentu. Menurut Pasal 74 ayat 1 KUHAP ditentukan jangka

waktu pengajuan pengaduan yaitu enam bulan setelah yang

berkepentingan menegetahui tindak pidana itu apabila pengadu

berdiam di Indonesia, sedangkan bagi orang yang berkepentingan

Page 50: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

yang berdiam di luar Indonesia, jangka waktu pengajuan pengaduan

itu adalah sembilan bulan sejak saat diketahuinya tindak pidana itu.

5. laporan yang sudah disampaikan kepada penyelidik atau penyidik

tidak dapat dicabut kembali, sedangkan pengaduan yang telah

disampaikan kepada penyelidik atau penyidik dapat mencaabut

kembali pengaduannya dalam jangka waktu tiga bulan sejak

diajukan pengaduan itu.

6. Dalam laporan tidak perlu ditegaskan bahwa pelapor menghendaki

agar terhadap pelaku diambil tindakan sesuai dengan ketentuan

hukum yang berlaku.

Dalam delik aduan, dengan adanya pengaduan baru dapat dilakukannya

penuntutan terhadap delik tersebutu, karena suatu delik yang merupakan delik aduan

hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.

Tetapi pengaduan dalam delik yang bukan aduan, tidak merupakan syarat

untuk dapat dilakukan penuntutan. Bila hal tersebut mengenai delik aduan, maka

perlu diperhatiakn antara delik aduan absolut atau delik aduan relatif.

Delik aduan absolut adalah peristiwa pidana yang penentutannya hanya dapat

dilakukan bila ada pengaduan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Akan tetapi hal

ini tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyidikan untuk menjaga jangan

sampai hilangnya bukti-bukti jika di kemudian hari ada pengaduan dari pihak yang

dirugikan, misalnya. Sedangkan delik aduan relatif adalah suatu peristiwa pidana

yang biasanya bukan merupakan delik aduan, tetapi dalam keadaan tertentu

merupakan delik aduan.

Page 51: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Dalam ketentuan yang diatur dalam KUHAP maupun dalam peraturan

perundang-undangan hukum acara pidana di luar KUHAP tidak terdapat ketentuan

yang memberikan wewenang kepada penyidik untuk menolak laporan atau

pengaduan dari seseorang atau warga masyarakat tentang terjadinya peristiwa yang

patut diduga merupakan tindak pidana. Laporan atau pengaduan dapat dilakukan

secara lisan maupun secara tulisan oleh setiap orang yang mengalami atau yang

menjadi korban tindak pidana atau mengetahui/melihat/menyaksikan terjadinya

suatu peristiwa yang patut diduga sebagai tindak pidana. Maka merupakan tindakan

yang tidak dapat dibenarkan bahkan dapat dikualifikasikan sebagai tindakan yang

brtentangan dengan tugas dan kewajibannya apabila terjadi ada penyidik yang

bersikap atau bertindak menolak atau tidak bersedia menerima laporan atau

pengaduan dengan berbagai macam alasan, misalnya dengan alasan bahwa materi

laporan atau pengaduan itu bukan merupakan tindak pidana atau perkara itu sudah

kadaluwarsa atau nebis in idem.

Penyidikan terhadap tindak pidana illegal logging, dilakukan oleh pejabat

penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, selain itu pejabat pegawai negri

sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi pengurusan hutan,

diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang No. 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Wewenang pejabat Pegawai Negri sipil kehutanan sebagai penyidik diatur

dalam Pasal 77 ayat (2) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 yaitu:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

Page 52: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

c. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;

d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

e. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

f. menagkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

g. membuat dan menandatangani berita acara; h. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang

adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

Menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku tugas dan kewajiban

penyidik setelah menerima laporan atau pengaduan adalah memberikan “ Surat

Tanda Penerimaan Laporan/Pengaduan” kepada orang yang menyampaikan laporan/

pengaduan penyidik yang bersangkutan wajib segera menindaklanjuti dengan

melakukan penyelidikan dan penyidikan. Menurut Pasal 1 butir 19 KUHAP yang

dimaksud dengan tertangkap tangan adalah:

“Tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau mebantu melakukan tindak pidana itu” Tertangkap tangan disebut juga dengan tertangkap basah, dan menurut HIR

meyebutkan kedapatan tengah berbuat, yaitu bila kejahatan atau tindak pidana

kedapatan sedang dilakukan, atau dengan segera kedapatan sesudah dilakukan, atau

bila dengan segera kedapatan sesudah itu ada orang diserukan oleh suara ramai

sebagi orang yang melakukannya atau bila ada padanya kedapatan barang-barang,

Page 53: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

senjata-senjata alat perkakas atau surat-surat yang menunjukkan bahwa kejahatan

atau pelanggaran itu ia yang melaksanakan atau membantu melakukannya.

Penyidik dalam melakukan penyidikan menurut ketentuan KUHAP kadang-

kadang diawali dengan tindakan penyelidikan oleh seorang penyelidik, dan dalam

hal tertentu dilakukan oleh penyidik pembantu. Namun dalam tahap pertama

sebelum penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum penyempurnaan berita

acara pada tingkat penyidikan sebagai tahap pemeriksaan pendahuluan.

Dalam melakukan penyidikan adakalanya penyidikan ini dihentikan atau tidak

dilanjutkan karena suatu alasan. Pasal 102 ayat (2) KUHAP menetapkan alasan-

alasan penghentian penyidikan yaitu:

1. Tidak terdapat cukup bukti

2. Peristiwa tersebut ternyata bukan peristiwa pidana

3. Penyidikan dihentikan demi hukum

Selanjutnya setelah penyidikan selesai dilakukan maka penyidik dalam hal ini

wajib segera menyerahkan berkas-berkas kepada penuntut umum, dalam hal

penyidikan dilakukan oleh penyidik PNS maka penyerahan berkas harus melalui

Penyidik Polri. Dan penuntut umum juga berhak mengembalikan berkas perkara itu

kepada penyidik apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan

tersebut kurang lengkap, dengan disertai petunjuk-petunjuk untuk dilengkapi. Hal

inilah yang dikatakan penyidikan tambahan oleh Polisi dalam KUHAP.

Setelah penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum maka menurut

Pasal 110 ayat (4) KUHAP bahwa dalam tempo 14 hari setelah penyerahan berkas

tersebut, penuntut umum tidak mengembalikan kepada penyidik atau sebelum 14

Page 54: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

hari penuntut umum telah memberitahukan bahwa hal penyidikan dianggap selesai,

maka barulah penyidikan telah selesai.

Jadi dapat dikatakan bahwa penyidikan dianggap selesai atau tuntas apabila

segala berkas perkara yang diperlukan telah diserahkan kepada penuntut umum oleh

penyidik beserta dengan si tersangka dengan tidak mengandung kekurangan-

kekurangan lagi untuk selanjutnya diajukan penuntutan di depan sidang pengadilan

oleh penuntut umum. Artinya bahwa pada tahap pertama penyidik hanya

menyerahkan berkas perkara saja dan jika penyidikan sudah dianggap selesai oleh

jaksa, maka penyidik menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barang-

barang bukti kepada jaksa atau penuntut umum. (Pasal 8 ayat (3) KUHAP)

C. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana illegal

logging

Dampak pembalakan hutan di Indonesia sungguh luar biasa, banjir longsor,

kebakaran, bahakan hingga kekeringan kerap terjadi di Negara ini. Eksploitasi hutan

yang tidak sah melalui mekanisme praktek illegal logging yang terjadi khususnya di

kawasan hutan yang ada di Propinsi Sumatera Utara yang telah berlangsung cukup

lama telah membawa hutan dalam kondisi yang rusak parah. Praktek illegal logging

yang terjadi telah mengantarkan hutan dalam kondisi ada dan tiada. Hutan tersebut

ada namun tidak lagi sesuai fungsinya seperti apa yang digunakan dan diamanatkan

dalam UU NO. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Maraknya praktek illegal logging yang terjadi disebabkan karena beberapa faktor:

1. Lemahnya sisitem pengawasan hutan dan koordinasi antara aparat penegak

hukum

Page 55: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Pengelolaan hutan merupakan usaha yang meliputi beberapa aspek seperti

perencanaan, organisasi pelaksanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi,

dimana setiap fungsi tersebut saling berkaitan dan menjadi satu kesatuan yang tidak

dapat dipisahkan. Pengelolaan hutan bertujuan untuk menghasilkan suatu hasil hutan

yang dapat dikelola. Akan tetapi harus diperhatikan bahwa dalam melakukan

pengelolaan hutan harus diperhatikan bahwa dalam melakukan pengelolaan hutan

harus diperhatikan berbagai kehidupan ekosistem di dalam hutan yang saling

ketergantungan.

Untuk itu dalam aspek pengelolaan hutan ini diperlukan beberapa ilmu yang

mendukung, seperti ilmu tanah, agronomi, perlindungan tanaman, sosial ekonomi,

dan lingkungan bahkan pada perkembangan globalisasi ini juga diperlukan

komputerisasi, dan ini sangat mendukung melihat pda keadaan semakin banyaknya

tuntutan terhadap fungsi hutan dan memberikan informasi yang akurat.

Mengingat luasnya wilayah hutan di Indonesia tidak sebanding dengan jumlah

petugas jagawana yang secara khusus memang mempunyai tugas melekukan

pengamanan pengamanan hutan, sehingga tidak seluruh hutan dapat

dilakukanpengawasan secara maksimal sampai saat ini, jumlah polisi kehutanan

(polhut) yang telah direkrutsebanyak 7555 personil dengan tugas untuk

mengamankan hutan seluas 149.429.694 Ha. Yang tersebar di seluruh wilayah

Indonesia. Rasio jumlah polhut dengan luas kawasan hutan yang tidak seimbang ini

menjadikan lemahnya pengamanan hutan. Terlebih lagi personil polisi hutan

tersebut tidak dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai,akibatnya

pengamanan hutan semakin lemah, kondisi ini sering dimanfaatkan oleh para pelaku

Page 56: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

illegal logging untuk lebih berani melakukan penebangan liar.20 Kondisi ini

dipengaruhi keadaan dimana mereka mereka sangat gampang lolos dari pengawasan

aparat kehutanan, karena dalam melakukan pengawasan terhadap hutan luas

kawasan hutan dengan jumlah personil yang dibutuhkan masih belum memadai,

sehingga aparat kehutanan sangat sulit untuk menjangkau setiap kawasan hutan.21

20 Hasil Wawancara dengan Puja ( Penyidik PNS Dinas Kehutanan Provinsi SUMUT), 13 Agustus 2007 21 ibid

Lemahnya koordinasi antara aparat penegak hukum yaitu polisi sebagai penyidik,

jaksa sebagai penuntut, dan hakim sebagai eksekutor vonis juga menjadi pemicu

semakin maraknya illegal logging. Fakta di lapangan menunjukkan koordinasi

antara aparat penegak hukum belum berjalan dengan optimal padahal koordinasi

yang optimal akan memberikan pengaruh tegaknya hukum di negara ini. Bahkan

sering kali terjadi perbedaan interprestasi antara penyidik dan penuntut mengenai

pasal-pasal yang ada dalam UU. No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sehingga

seringkali berkas yang sudah dilimpahkan kepada pihak kejaksaan dikembalikan lagi

kepada penyidik dengan alasan berkas belum lengkap dan sempurna. Kenyataan ini

memperlambat terungkapnya kasus tindak pidana illegal logging yang terjadi.

Organisasi penaggulangan illegallogging sekarang ini dinilai kurang berjalan efektif

dalam melakkan koordinasi lintas sektoral, ketidakefektifan ini karena Departemen

Kehutanan merasa merasa bekerja sendirian. Ditinjau dari beberapa kasus illegal

logging yang berhasil diungkap, di daerah hukum Sumatera Utara belum menyentuh

aktor intelektual (dalang utama) pelaku tindak pidana illegal logging. Yang terjaring

hanya sebatas penebang kayu, pengangkut kayu sedangkan dalang utamanya tidak

tersentuh .

Page 57: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Dengan tidak tersentuhnya dalang utama yang kebanyakan adalah pemodal

besar yang dekat dengan tampuk kekuasaan mengakibatkan praktek illegal logging

tidak dapat dihentikan bahkan semakin merajalela merusak hutan.

Hakim sebagai eksekutor juga ikut membawa pengaruh semakin maraknya tindak

pidana illegal logging. Karena seringkali kita lihat bahwa vonis yang dijatuhkan

hakim tidak sesuai denagn beratnya pengaruh yang akan dirasakan masyarakat

akibat perbuatan tindak pidana illegal logging. Vonis yang ringan ini tidak

menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana illegal logging. Bila sanksi yang

dijatuhkan berat maka dengan sendirinya akan membawa efek jera bagi pelaku

sendiri sehingga praktek illegal logging dapat dihentikan.

2. Faktor Ekonomi

Krisis ekonomi yang berkepanjangan yang melanda Indonesia sejak tahun

1997 mengakibatkan semakin sulitnya golongan ekonomi lemah untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya mengakibatkan mereka mencari jalan pintas agar tetap dapat

bertahan hidup. Dan salah satu jalan pintas tersebut adalah dengan beralih profesi

antara lain menjadi buruh tebang liar, tenaga angkut, pengumpul maupun menjadi

tangan kanan pemodal dalam praktek illegal logging. Pekerjaan tersebut tidak

memerlukan keahlian profesional hanya dengan mengandalkan tenaga yang kuat

maka uang dapat diperoleh dengan cepat.

Praktek illegal logging yang terjadi terus bertahan bahkan semakin luas

jaringannya manakala praktek ini didukung oleh aparat pemerintah dan aparat

keamanan. Para pemodal memanfaatkan keadaan ekonomi aparat keamanan dan

aparat pemerintah yang terbatas untuk melakukan kerjasama yang menguntungkan

antara mereka. Kerjasama yang menguntungkan tersebut mengakibatkan praktek

Page 58: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

illegal logging melenggang dengan tenang, tanpa ada pihak yang berani melarang.22

3. Faktor sosial

Dengan adanya dukungan dari aparat keamanan dan aparat pemerintahan semakin

memuluskan aksi para pelaku tindak pidana illegal logging membalak hutan tanpa

rasa takut terhadap ketentuan hukum yang berlaku.

Selain itu keuntungan Finansial atau uang yang dihasilkan cukup tinggi,

harga kayu yang tinggi membuat sekelompok orang tergiur untuk melakuakan

eksploitasi hutan secara besar-besaran dan tanpa terkendali sehingga memicu

kerusakan hutan semakin cepat. Keuntungan finansial (uang) yang menggiurkan

tersebut tidak luput dari perhatian para pengusaha kayu (cukong/pemodal) untuk

meningkatkan bisnis dan memperoleh peningkatan laba sekalipun harus memenuhi

jalan illegal demi memenuhi permintaan konsumen yang tinggi.

Bahkan untuk melancarkan aksi dan misinya, para pengusaha kayu tidak

segan-segan merayu pejabat lokal untuk memberikan izin penebangan secara besar-

besaran sekalipun ini tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dalam hal

pengeksploitasian hutan termasuk hasil hutan. Tetapi karena diberi imbalan yang

cukup besar dari pengusaha kayu membuat sebagian pejabat lokal memberikan izin

sesuai dengan permintaan pengusaha kayu tersebut.ini memang ironis namun inilah

terjadi di negara kita pejabat yang seharusnya melindungi rakyat dan menjaga agar

hukum dapat berjalan degan semestinya malah memberikan izin terjadinya

pelanggaran bahkan kejahatan.

Pranata sosial yang bersumber dari kepercayaan maupun adat istiadat yang

khusus mengatur hubungan manusia dalam hal pemanfaatan hutan di sebagian

22 Riza Suarga, Op Cit,hal 10

Page 59: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

daerah yang memiliki kawasan hutan tidak lagi ditemukan, karena saat ini tidak ada

lagi tempat keramat di hutan yang dilarang untuk diganggu atau dimasuki oleh

masyarakat di sekitar kawasan hutan. Akan tetapi walaupun demikian halnya masih

ada juga masyarakat yang mempercayai adanya tempat keramat di dalam hutan, dan

tempat tersebut tidak boleh dilakukan penebangan.

Sejak zaman dahulu sampai sekarang, di kawasan hutan khususnya, hutan

sangat erat hubungannya dengan kehidupan sosial masyrakat desa dimana setiap

aktifitas masyarkat pedesaan banyak dilakukan di sekitar kawasan hutan seperti

berburu dan juga masih dijumpai adanya hak ulayat hutan oleh masayrakat. Khusus

mengenai hak ulayat terhadap hutan, masyarakat desa pada umumnya mengganggap

bahwa hutan adalah milik mereka sehingga bebas untuk memanfaatkan hutan dalam

melakukan aktifitas mereka.

Hutan sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat desa, sehingga

keadaan tersebut membuat rata-rata anggota masyarakat desa sehingga keadaan

tersebut membuat rata-rata anggota masyarakat di pedesaan tidak mengetahui

keberadaan peraturan yang mengatur tentang hutan, dan hal ini disebabkan

kurangnya informasi yang didapat msyarakat mengenai peraturan hutan dalam

perundang-undangan. Dalam perturan perundang-undangan tentang hutan masih

mengakui adanya hutan adat atau hak ulayat atas hutan, akan tetapi ditekankan juga

kepada masyarakat adat tersebut bahwa dilarang adanya penebangan hutan secara

liar.

Pada umumnya masyarakat yang tinggal atau berada di sekitar kawasan

hutan sudah mengetahui manfaat hutan sebagi penyanggah dan juga sebagai sumber

mata air bersih, akan tetapi karena sesuatu hal yang mendesak di dalam memenuhi

Page 60: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

kebutuhannya, maka hutan dapat dijadikan sebagai salah satu sarana untuk mendapat

penghasilan dengan melakukan penebangan terhadap pohon dan juga berburu hewan

hutan yang dimanfaatkan untuk dijual.

4. permintaan kayu yang tinggi

Industri kayu yang berkembang pesat, mangakibatkan permintaan akan

pasokan kayu ikut meningkat. Sementara kemampuan pasokan kayu dan

kemempuan penyediaan industri perkayuan yang legal tidak sebanding dengan

permintaan pasokan kayu dari perindustri yang menggunakan kayu sebagai bahan

bakunya. Kurangnya pasokan kayu membuat para pengusaha kayu

(cukong/pemodal) menempuh jalan illegal dengan melakukan penebangan liar demi

memenuhi permintaan industri kayu.

Permintaan dan persediaan kayu yang tidak seimbang inilah yang menjadi

pemicu semakin maraknya tindak pidana illegal logging di wilayah hukum Sumatera

Utara. Permintaan akan kayu yang meningkat ini akan menimbulkan dampak

permintaan akan tenaga kerja yang akan ikut meningkat, dan lapangan kerja ini

dimanfaatkan oleh masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan tersebut.23

Selain itu harga kayu illegal lebih murah bila dibandingkan dengan haraga kayu

yang legal. Hal ini dikarenakan kayu ilegal tidak membayar pajak kepada negara

misalnya Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH).24

23 IGM Nurajana, Op Cit, hal 97 24 Ibid, hal 14

Keadaan

ini tentu tidak disiasiakan oleh industri kayu yaitu dapat menekan biaya produksi.

Alasan ini membuat industri kayu lebih memilih kayu illegal dari pada kayu yang

Page 61: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

legal karena selain untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu juga harganya lebih

murah.

5. kurangnya pengetahuan dan pendidikan masyarakat yang berada di sekitar

kawasan hutan.

Pada umumnya pelaku illegal logging (penebang kayu) adalah masyarakat

yang tinggal di sekitar hutan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Tingkat

pendidikan yang rendah itu memberi dampak minimnya pengetahuan tentang fungsi

hutan terhadap lingkungan hidup. Bagi mereka hutan adalah merupakan Sumber

Daya Alam yang selalu dapat mereka pergunakan setiap saat. Pandangan ini tentu

berbeda dengan tujuan pebangunan kehutanan di Provinsi Sumatera Utara yaitu

untuk mewujudkan Sumber Daya Huatn yang lestari dan peningkatan kesejahteraan

rakyat melalui mekanisme pengelolaan yang partisipatif, terpadu, transparan dan

bertanggungjawab. Dengan persepsi masyrakat sepeti itu mengakibatkan masyrakat

melakukan kegiatan illegal logging tanpa ada rasa beban.

Persepsi masyarakat yang salah akan fungsi hutan tadi tidak dapat dibiarkan

begitu saja. Apabila hal ini dibiarkan akan membawa pengaruh yang buruk bagi

kondisi hutan kita karena mereka berada dekat dengan kawasan hutan dan mereka

akan terus melakukan praktek illegal logging.

Page 62: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

BAB III

PERAN PPNS DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA

ILLEGAL LOGGING

A. Peran PPNS dalam penanggulangan Tindak Pidana Illegal Logging

Berdasarkan tujuan dari kodifikasi dan unifikasi, maka segala tata cara dari

suatu proses pidana yang akan diperiksakan diadili oleh lingkungan peradilan umum

harus berdasarkan pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Page 63: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

undang Hukum Acara Pidana. Walaupun pada dasarnya baik Undang-Undang No.

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang

Acara Pidana mempunyai kedudukan yang sejajar, tetapi antara kedua Undang-

Undang tersebut mempunyai fungsi yang berbeda karena, Undang-undang No. 41

Tahun 1999 adalah merupakan ketentuan hukum materil yang berfungsi mengatur

dan menetapkan kewajiban, larangan atau sanksi pidanannya, sedangkan Undang-

Undang No. 8 Tahun 1981 adalah ketentuan hukum formil yang berfungsi mengatur

cara-cara menetapkan sansi pidananya secara benar jika terjadi hambatan-hambatan

dalam melaksanakan UU No. 41 Tahun 1999.

Pada Tahun 2000 Departemen kehutan melaporkan bahwa laju deforetasi sebesar 1,6

juta Ha, empat Tahun kemudian (2001-2004) meningkat menjadi sekitar 3,6 juta Ha

per tahun sebagai maraknya penjarahan hutan dan penebangan liar. Sebuah laporan

Pengelolaan Sumber daya Alam (PSDA) menemukan bahwa Illlegal logging

menyumbang 67 juta Km3 kayu tiap tahunnya. Studi lainnya mengungkapkan bahwa

Illegal logging telah mengakibatkan kerugian materil sebesar paling tidak Rp. 30

triliun per Tahun25

Dalam hal melakukan penyidikan, penyidik kehutanan sepenuhnya

berpedoman kepada hukum acara pidana sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8

Tahun 1981, tentang KUHAP.

Di dalam UU No. 41 tahun 1999, penyidikan di bidang Kehutanan adalah

suatu proses yang ditangani oleh pejabat Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia

dan Penyidik Pegawai Negri Sipil (PPNS) Kehutanan, terhadap setiap orang yang

melakukan perbuatan dalam tindak pidana kehutanan.

25 http://www.republika.co.id, Memberantas Illegal Logging, 20 Juni 2004

Page 64: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Dengan demikian penyidik Pegawai Negri Sipil tertentu di lingkungan instansi

pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang Kehutanan diberi

wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana diamaksud dalam Hukum Acara

Pidana yang berlaku.

Kewenangan Penyidik Pegawai Negri Sipil Kehutan dalam melakukan penyidikan

sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutan

terdiri dari:

i. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

j. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

k. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;

l. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

m. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

n. menagkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

o. membuat dan menandatangani berita acara; p. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang

adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

Di dalam penjelasan Pasal 77 UU No. 41 dijelaskan bahwa dalam hal dimulainya

Penyidikan Penyidik PNS harus memberitahukan dimulainya penyidikan kepada

Penyidik POLRI dan hasil penyidikan diserahkan kepada Penuntut Umum melelui

Pejabat Penyidik POLRI, hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan bahwa

hasil penyidikan telah memenuhi ketentuan dan persyaratan. Dan dalam Pasal 39

Page 65: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan dikatakan

bahwa :

“Dalam rangka kegiatan administrasi penyidikan Pejabat Pegawai Negri Sipil dalm hal tertentu dapat secara lengsung menyampaikan Surat Pemberitahuan kepada instansi terkait dan tembusannya kepada Penyidik Polri”

Dalam hal dimulainya Penyidikan penyidik PNS menyampaikan Surat

Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada penyidik Polri.

Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan PPNS Kehutanan dalam menangani

tindak pidana khusus bidang kehutanan antara lain :

a. penyidik melakukan pemeriksaan ke TKP (Tempat Kejadian Perkara)

b. Melacak dan menangkap pelaku dari tindak pidana tersebut.

c. Pelaku tindak pidana diserahkan kepada Polri atau Polres setempat untuk

pengusutan yang lebih lanjut.

Dalam penenganan kasus tindak pidana khusus bidang kehutanan pada satu

ekosistem hutan, ada beberapa tahap-tahap yang harus dilakukan oleh PPNS

kehutanan dan Penyidik Polri yaitu :

Tahap penenganan kasus tindak pidana yang dilakukan oleh PPNS Kehutanan:

a. Penangkapan tersangka pelaku tindak pidana

Penangkapan tersebut dilakukan oleh PPNS Kehutanan di tempat

kejadian perkara pada waktu pelaku tindak pidana tertangkap tangan dan

ketika pelaku ditangkap pada saat hendak melarikan diri. Dalam hal ini

penangkapan dilakukan pada pelaku tindak pidana yang sudah diketahui

orangnya.

Page 66: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

b. Penahanan sementara tersangka di kantor PPNS Kehutanan selama 1

(satu) hari atau 1 X 24 jam. Hal ini dilakukan untuk melakukan

pemeriksaan terhadap pelaku tindak pidana, saksi dan mengumpulkan

barang bukti yang diperoleh PPNS Kehutanan. Dan juga PPNS

Kehutanan membuat keterangan tersebut.

c. Pengumpulan barang bukti

Pengumpulan barang bukti dilakukan PPNS Kehutanan untuk

mengetahui jenis tindak pidana yang dilakuakn oleh PPNS Kehutanan

dan untuk mengetahui status dari pelaku tindak pidana.

d. PPNS Kehutanan melakuakan pemeriksaan terhadap :

1) Tersangka

Sehubungan dengan pemeriksaan tersangka, undang-undang telah

memberikan beberapa hak yang bersifat perlindungan terhadap hak azasi

serta perlindungan terhadap haknya untuk mempertahankan kebenaran dan

pembenaran diri.

2) Saksi-saksi

Pada dasarnya pemeriksaan yang dilakukan oleh PPNS kehutanan terhadap

tersangka hampir sama dengan pemeriksaan yang dilakukan terhadap saksi

yang langsung melihat peristiwa tindak pidana itu dilakukan.

e. Pembuatan Berita Acra Pemeriksaan (BAP)

Hal tersebut perlu dilakukan untuk dapat mengetahui serta membuat laporan

kepada penyidik Polri yang merupakan suatu proses tindak lanjut yang

dilakukan terhadap pelaku tindak pidana bidang kehutanan tersebut.

Page 67: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

f. Penyerahan tersangka beserta surat pengantar dari PPNS kehutanan kepada

Penyidik Polri

Penyerahan tersangka kepada Penyidik Polri adalah untuk dapat melakukan

tindak lanjut dalam pemeriksaan perkara yang dilakukan kepada pelaku

tindak pidana.

Setelah dilakukannya tahap-tahap penangkapan tindak pidana yang

dilakukan PPNS Kehutanan yerhadap pelaku tindak pidana, maka dilakukan

beberapa tahap-tahap yang dilakukan penyidik Polri sebagai tindak lanjut yang

dilakukan, yaitu :

1. setelah PPNS Kehutanan menyerahkan tersangka beserta surat pengantar

kepada Penyidik Polri, maka penyidik Polri melakukan penyidikan lanjut

terhadap : Tersangka, Saksi-saksi,dan Barang bukti yang cukup kuat.

2. Pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP)

Setelah dilakukan proses pemeriksaan, maka penyidik Polri membuat

Berita Acara Pemeriksaan yang berarti ada tindak pidana yang terjadi,

serta merupakan berkas di Kepolisian agar dapat dilaporkan kepada

Kapolda setempat.

3. Pelimpahan ke kantor Pengadilan atau ke kantor kejaksaan

Hal ini dilakukan untuk membela akan kepentingan dari tersangka agar

dapat memperoleh perlindungan hukum hingga menjadi status terdakwa.

Dalam melaksanakan tugas penyidik terhadap suatu tindak pidana khusus

bidang Kehutanan (illegal logging) terdapat ciri-ciri yang khas dalam

penanganannya, yaitu

Page 68: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

1. PPNS Kehutanan menerima laporan dan mengetahui sendiri telah terjadi

suatu tindak pidana bidang kehutanan maka dengan segera PPNS

Kehutanan melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana

tersebut.

2. PPNS Kehutanan kemudian melakukan penahanan selama-lamanya 1-2

hari, bila kemudian ditemukan cukup bukti-bukti yang kuat dari si pelaku

(tersangka) untuk selanjutnya diperiksa untuk dibuat Berita Acara

Pemeriksan(BAP).

3. di dalam proses ini pihak Polri setempat harus diberitahu oleh PPNS

Kehutanan bahwa telah terjadi tindak pidana Khusus bidang kehutanan

dan si tersangka dalam proses pemeriksaan.

4. Untuk kepentingan penyidikan, PPNS Kehutanan diberi petunjuk oleh

Penyidik Polri mengenai proses penyidikan tindak pidana yang terjadi.

5. bila proses pemeriksaan penyidikan dianggap telah cukup oleh PPNS

Kehutanan maka si tersangka diserahkan kepada Penyidik Polri setempat

yang disertai dengan BAP dan surat pelimpahan pemeriksaan. Bila

proses pemeriksaan dianggap lenkap maka pihak Polri berkewajiban

untuk melengkapinya.

6. dalam hal proses penyidikan dianggap telah selesai oleh penyidik PPNS

Kehutanan tersebut, maka PPNS kehutanan segera menyerahkan hasil

penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik Polri.

7. dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan masih

kurang lengkap, penentut umum segera mengembalikan berkas perkara

kepada penyidik Polri disertai petunjuk untuk dilengkapi.

Page 69: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

8. dalam hal Penuntut Umum mengembalikan hasil penyidikan untuk

dilengkapi, Penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan

dengan petunjuk dari penuntut umum.

9. penyidikan dianggap telah selesai dalam waktu 14 hari Penuntut Umum

tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu

tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari Penuntut

Umum kepada Penyidik.

Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum yang mengatur

tingkah laku manusia agar dapat tertib dalam berhubungan dengan sesamanya. UU

41 tahun 1999 merupakan landasan hukum untuk pembinaan dan pengembangan

perlindungan hutan di Indonesia. Dengan adanya ketentuan Pidana di dalam UU 41

Tahun 1999 menanggulangi akibat dari lahirnya suatu tindak pidana di bidang

kehutanan. Luasnya kawasan hutan yang ada di wilayah Hukum Sumatera utara

memang menjadi satu kendala bagi aparat penegak hukum di dalam upaya

penegakan hukum dan perlindungan hutan di Sumatera Utara. Berdasarkan data

yang diperoleh dari Dinas Kehutanan Luas kawasan Hutan di Provinsi Sumatera

Utara sebesar 3.679.338,48 Ha. Yang terdiri dari :

1. Hutan Konservasi → 362.333,69 Ha

2. Hutan Lindung → 1.481.737,69 Ha

3. Hutan Produksi terbatas → 851.159,07 Ha

4. Huatn Produksi tetap → 936.861,12 Ha

5. Hutan Konversi → 47.251,24 Ha

data ini berdasarkan rencana Tata Ruang Propinsi Sumatera Utara 2003-2018 yang

dituangkan dalam Perda No. 7 Tahun 2003.

Page 70: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Luasnya kawasan hutan yang ada di daerah sumatera Utara ini tidak sebanding

dengan jumlah personil pengamanan hutan. Menurut data yang diperoleh jumlah

Polisi Hutan yang ada di Provinsi Sumatera Utara pada Tahun 2006 berjumlah 150

orang. :

1. Tapanuli Selatan 12 orang 2. Deli Serdang 1 orang 3. Serdang Bedagai 7 orang 4. Langkat 15 orang 5 Toba Samosir 15 orang 6. Kabupaten Asahan 15 orang 7. Labuhan Batu 25 orang 8. Mandailing Natal 11 orang 9. Kabupaten Nias 5 orang 10. Tapanuli Tengah 3 orang 11. Dairi 17 orang 12. Tapanuli Utara 24 orang 13. Dinas Kehutanan Provinsi SU 21 orang 14. Wilayah I Medan 30 orang 15. Wilayah II Siantar 12 orang 16. Wilayah III Kisaran 36 orang 17. Wilayah IV P. Sidempuan 25 orang 18. Wilayah V Kabanjahe 26 orang Itu artinya seorang polisi Hutan di Sumatera Utara menjaga +

Sedangkan jumlah Penyidik Pegawai Negri Sipil yang ada di Sumatera Utara

menurut data yang diperoleh, pada Tahun 2006 jumlah Penyidik Pegawai Negri

Sipil 32 orang :

24.548 Ha

hutan. Hal ini akan sangat menyulitkan bagi aparat untuk dapat menjaga hutan dan

hasil hutan yang ada di Sumatera Utara. Selain itu juga kurangnya sarana dan

prasarana turut menyulitkan aparat Polisi Kehutanan dalam melakukan perlindungan

erhadap hutan.

1. Dinas Kehutanan Provinsi SU 13 orang 2. Tapanuli Selatan 2 orang 3. Deli Serdang 1 orang 4. Dairi 1 orang

Page 71: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

5. Tobasa 1 orang 6. Wilayah I Medan 4 orang 7. Wilayah II Siantar 1 orang 8. Wilayah III Kisaran 3 orang 9. Wilayah IV Padang Sidempuan 2 orang 10. Wilayah V Kabanjahe 4 orang Jumlah Penyidik Pegawai Negri Sipil ini dirasa masih sangat kurang

mengingat banyaknya kasus-kasus Kehutanan khususnya Illegal logging di

Sumatera Utara. Dalam hal di daerah tertentu tidak tersedia Penyidik Pegawai Negri

Sipil maka daerah dapat meminta bantuan tenaga Penyidik dari Dinas Kehutanan

Provinsi, atau dapat menyerahkan penanganan kasus tersebut kepada penyidik dari

Kepolisian.26

1. Karena ketrbatasan yang selalu dihadapi Penyidik Polri, khususnya

keterbatasan dalam jumlah personil di bidang penyidikan.

Peran Penyidik PNS Kehutanan seperti yang diatur dalam Undang-Undang

41 Tahun 1999 dirasakan lebih efektif dalam melakukan Penyidikan di didang

Kehutanan disebabkan.

2. Keterbatasan pengetahuan di bidang tertentu menyebabkan Polri tidak

mampu menangani semua tindak pidana yang terjadi.

B Hubungan antara PPNS dan Penyidik Polri

Pasal 1 butir 1 KUHAP yang dimaksud dengan penyidik adalah Pejabat

Polisi Negara Republik Indonesia atau Pegawai Negri Sipil tertentu yang diberi

wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan.

26 Hasil Wawancara, Op Cit

Page 72: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Dalam pasal 6 KUHAP ditentukan bahwa syarat kepangkatan Pejabat Polisi

Negara Republik Indonesia yang berwenang menyidik akan diatur lebih lanjut

dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 6

ayat (2) KUHAP tersebut adalah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 yaitui

tentang pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1983 pada Pasal 2 telah

ditetapkan kepangkatan pejabat Polisi menjadi penyidik atau sekurang-kurangnya

Pembantu Letnan Dua Polisi, sedangkan bagi Pegawai Negri Sipil yang dibebani

wewenag penyidikan adalah sekurang-kurangnya Pengatur Muda Tingkat II (gol

II/b) atau yang disamakan dengan itu.

Suatu pengecualian, jika di suatu tempat tidak ada pejabat penyidik

berpangkat Pembantu Letnan Dua ke atas, maka Komandan sektor Kepolisian yang

berpangkat Bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi karena jabatannya adalah

Penyidik. Penyidik Pejabat Polisi Negara tersebut diangkat oleh Kepala Kepolisian

Republik Indonesia, yang dapat melimpahkan wewenag tersebut kepada pejabat

polisi lain.

Penyidik Pegawai Negri Sipil diangkat oleh Mentri Kehakiman atas usul

departemen yang mebawahi pegawai tersebut. Wewenang kepangkatan tersebut

dapat dilimpahkan pula oleh Mentri Kehakiman. Sebelum kepangkatan, terlebih

dahulu Mentri Kehakiman meminta pertimbangan jJaksa Agung dan Kepala

Kepolisian Republik Indonesia.

Selanjutnya pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983

menentukan bahwa Penyidik pembantu adalah pejabat Polisi Negara Republikl

Indonesia yang berpangkat Sersan Dua Polisi dan Pegawai Negri Sipil tertentu

Page 73: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

dalam lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya

berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a) atau yang disamakan dengan itu.

Kedua macam penyidik yang tersebut di atas diangkat oleh Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia atau usul komandan atau pemimpin kesatuan

masing-masing. Wewenang kepangkatan ini dapat juga dapat dilimpahkan kepada

pejabat Kepolisian yang lain.

Hubungan antara penyidik Polisi Republik Indonesia dengan Pejabat

Pegawai Negri Sipil dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 107 KUHAP, yaitu;

1. untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada Pasla 6 ayat (1) huruf a memberikan petunjuk kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan.

2. Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana sedang dalam penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huruf a.

3. dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huruf b, segera ia menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huru a.

kemudian dalam penjelasan Pasal 107 KUHAP tersebut dinyatakan bahwa:

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a, diminta atau

tidak diminta berdasarkan tanggungjawabnya wajib memberikan bantuan penyidikan

itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huruf a.

Kemudian Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a.

dalam melakukan penyidikan suatu perkara pidana wajib melaporkan hal itu kepada

penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a disertai dengan berita

acara penyidikan yang dikirim kepada penuntut umum.

Page 74: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Penyidik Pegawai negri Sipil diberi wewenang khusus oleh Undang-undang dalam

melakukan penyidikan. Penyidik Pegawai Negri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat 1

huruf b, yaitu Pegawai Negri Sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai

penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada undang-

undang khusus, yang telah menetapkan sendiri mengenai pemberian wewenang

kepada Penyidik Pegawai Negri Sipil pada salah satu Pasal.

Jadi di samping penyidik Polri, dalam undang-undang khusus tersebut

memberi wewenang kepada pejabat Pegawai negri sipil yang bersangkutan dalam

melakukan penyidikan. Misalnya dalam Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang

kehutanan dalam Pasal 77 mengenai penyidikan dalam pasal 2, adapun wewenang

dari Pejabat Penyidik Pegawai Negri Sipil sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1,

berwenang untuk:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang

berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hasil hutan, kawasan

hutan dan hasil hutan.

b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak

pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

c. Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan

atau wilayah hukumnya;

d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana

yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Page 75: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

e. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum

sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan

hutan dan hasil hutan;

f. Menagkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan Penyidik

Kepolisian Negara republik Indonesia ssesuai Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana;

g. Membuat dan menandatangani berita acara;

h. Menghentikan Penyidikan apabila tidak terdapat cukup alat bukti tentang

adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil

hutan.

Wewenang Penyidikan yang dimiliki oleh Pejabat Pegawai Negri Sipil hanya

terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam

undang-undang tertentu. Adapun yang menjadi kedudukan dan wewenang penyidik

pegawai negri sipil dalam melaksanakan tugas penyidikan;

a. penyidik Pegawai Negri Sipil kedudukannya berada di bawah koordinasi penyidik Polri dan di bawah pengawasan Penyidik Polri.

b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negri sipil tertentu, dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan.

c. Penyidik pegawai negri sipil tertentu harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negri sipil ada ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum.

d. Apabila penyidik pegawai negri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahannya kepada penuntut dilakukan penyidik pegawai negri sipil melalui peyidik Polri. Apabila Penyidik Pegawai Negri sipil menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentian penyidikan harus diberitahukan kepad apenyidik Polri dan Penuntut umum.27

27 M. Yahya Harahap, Op Cit, hal 113

Page 76: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

C Pelaku dan modus Operandi Tindak Pidana Illegal Logging

Secara umum dalam suatu tindak pidana yang terjadi biasanya melibatkan

beberapa orang atau lebih dari satu orang. Dimana keterlibatan orang-orang tersebut

dapat berupa:

a. beberapa orang bersama-sama melakukan delik

b. mungkin saja seseorang yang mempunyai kehendak dan merencanakan

delik, tapi delik tersebut tidak dilakukannya sendiri tetapi delik tersebut

tidak dilakukannya sendiri tetapi ia menggunakan orang lain untuk

melaksanakan delik tersebut

c. dapat juga terjadi, hanya seseorang yang melakukan delik sedangkan

orang lain membantu orang lain itu dalam melaksanakan delik.28

Mengenai masalah pelaku diatur juga dalam KUHP, dalam KUHP mengenai siapa

saja yang dapat dipidana sebagai pelaku dari suatu tindak pidana dimuat dalam Pasal

55 KUHP, yaitu :

1. Orang yang melakukan (Pleger)

Dalam hal ini adalah seseorang yang secara sendiri melakukan perbuatan

tindak pidana. Dimana pelakunya adalah tunggal terhadap pelaku tindak

pidana yang tunggal dapat diminta pertanggungjawabannya apabila

memenuhi semua unsur dari yang terdapat dalam rumusan delik. Misalnya

seorang yang secara sengaja mencuri dan menebang kayu di dalam hutan.

2. Orang yang menyuruh melakukan (Doen Pleger)

28 A. Fuad dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, UMM, 2004.edisi pertama, hal 115

Page 77: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Dalam hal ini harus ada setidaknya dua orang, yaitu orang yang menyuruh

melakukan dan orang yang disuruh melakukan. Orang yang menyuruh

melakukan tidak melakukan tindak pidana akan tetapi orang yang disuruhlah

yang melakukan tindak pidana tersebut. Misalnya orang yang menyuruh

orang lain untuk mencuri dan menebang kayu di dalam hutan.

3. Orang yang turut serta melakukan (Medepleger)

Dalam hal ini harus ada dua orang yang secara bersama-sama melakukan

suatu tindak pidana, mereka ini secara sadar bersama-sama melakukan tindak

pidana tertentu. Yang termasuk dalam kategori “turut melakukan adalah :

apabila beberapa orang melakukan suatu perbuatan pidana secara bersama-

sama melakukan perbuatan pidana secara bersama-sama. Jadi perbuatan

pidana tersebut dilakukan dengan kekuatan pelaku sendiri.; antara beberapa

orang yang secara bersama-sama melakukan perbuatan pidana tersebut harus

ada kesadaran bahwa mereka bekerjasama pada waktu melakukan tindak

pidana tersebut. Jadi dalam hal in sebelum melakukan tindak pidana terlebih

dahulu melakukan peundingan /pemufakatan. Misalnya seseorang yang

mengajak orang lain untuk bersama-sama mencuri dan menebang pohon di

hutan.

4. Orang yang membujuk melakukan (Uitloker)

Dalam hal ini membutuhkan setidaknya dua orang, yaitu orang yang

membujuk, yang menggerakkan orang lain untuk melekukan suatu tindak

pidana dan orang yang dibujuk atau digerakkan untuk melakukan tindak

pidana. Misalnya, seoraang pimpinan perusahaan atau seorang lainnya yang

mempunyai pengaruh di perusahaan tersebut membujuk atau menggerakkan

Page 78: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

karyawannya dengan janji akan memberikan upah atau kenaikan gaji, agar

karyawannya tersebut dapat melakukan, misalnya mencuri dan menebang

pohon di dalam hutan. Dengan demikian yang membujuk yaitu direktur dan

yang dibujuk yaitu karyawan dianggap sebagai pelaku.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 55 KUHP dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan maka yang dapat digolongkan sebagai pelaku tindak pidana illegal

logging adalah:

1. Penebang Kayu

Biasanya yang menjadi penebang kayu adalah masyarakat yang berada disekitar

kawasan hutan namun terkadang ada yang sengaja didatangkan dari luar daerah

untuk menjadi penebang kayu bayaran. Mereka melakukan penebangan secara

langsung dengan tujuan untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk dijual pada

pemilik modal. Kegiatan mereka ini tidak berdampak besar terhadap kerusakan

hutan karena sarana atau alat yang mereka gunakan masih sederhana dan minim.

2. pengangkut Kayu

Berdasarkan Pasal 50 ayat (3) huruf h dinyatakan bahwa orang yang

mengangkut hasil hutan tanpa dilengkapi dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil

Hutan (SKSHH) dikategorikan segbagai pelaku tindak pidana. Kenyataanya

dilapangan pengangkut kayu (supir) ini yang paling banyak tertangkap,29

29 Hasil Wawancara, Op Cit

padahal

bila diteliti lebih jauh mereka tidak tahu apa-apa karena mereka hanya mendapat

perintah dari majikannya untuk mengangkut kayu tersebut ke suatu tempat tanpa

tahu asal usul dari kayu yang diangkutnya, namun hukum tidak melihat apa profesi

Page 79: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

dari pelaku tetapi melihat akibat dari perbuatan pelaku yang dapat meresahkan

masyarakat.

3. pemilik modal

Dalam hal ini pelaku berperan sebagai fasilitator atau penadah kayu hasil

kegiatan praktek illegal logging. Bahkan terkadang pemilik modal inilah yang

menjadi dalang utama atau aktor intelektual dari prakti illegal logging itu sendiri

4. pemilik industri kayu atau pemilik Hak Pengelolaan Hutan (HPH)

Di sini pelaku bisa berperan sebagai pelaku praktek illegal logging secara

langsung ataupun bisa berperan sebagai penadah kayu hasil praktek illegal logging.

5. Nahkoda kapal

Dalam praktek illegal logging nahkoda kapal berperan dalam usaha

penyeludupan kayu baik keluar daerah maupun ke luar negri melalui laut karena

seperti kita tahu bahwa kejahatan illegal logging telah menjadi kejahatan lintas

negara. Nahkoda kapal di sini dapat dikategorikan sebagai “turut serta melakukan”

dan dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan “ turut serta melakukan” di

kategorikan sebagai pelaku tindak pidana.

6. Oknum Pejabat pemerintah atau oknum aparat keamanan

Dalam praktek illegal logging oknum pejabat pemerintah dan oknum aparat

kemanan turut ambil bagian yaitu melakukan kerjasama dengan pengusaha/pemilik

modal atau tentunya kerjasama yang saling menguntungkan diantara mereka.

Oknum pejabat pemerintah melakukan manipulasi kebijakan dalam pengelolaan

hutan tau memberikan konsesi penebangan yang melampaui batas izin eksploitasi

hutan kepada pemilik modal untuk melancarkan aksinya dan aparat kemanan

memberikan perlindungan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh pemilik modal

Page 80: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

dimana jelas-jelas kegiatan tersebut merupakan tindak pidana. Pelaku ini terdiri dari

oknum TNI, Oknum POLRI, Jagawana/ Polisi Kehutanan, PNS Bea cukai, Oknum

pemerintah daerah, oknum anggota DPRD, bahkan oknum politisi juga terkadang

turut ambil bagian dalam praktek illegal logging yang marak terjadi. Inilah yang

membuat dalang utama tindak pidana illegal logging sulit ditembus hukum karena

mendapat perlindungan dari aparat pemerintah dan aparat keamanan.

7 Pengusaha Asing

Pengusaha asing ini berperan sebagai pembeli atau penadah dari kayu hasil

praktik illegal logging untuk keperluan atau kepentingan perusahaan atau usaha

mereka.

Kerjasama yang baik antara pelaku pelaku tindak pidana illegal logging di atas akan

membawa dampak semakin kuat dan luasnya jaringan praktek illegal logging yang

terjadi tidak hanya dalam hutan produksi tetapi sudah merambat ke dalam kawasan

hutan lindung

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana beserta penjelasannya tidak

ada di menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan modus

operandi. Sedangkan masalah ini adalah sangat penting dalam hal mengusut dan

menumpas kejahatan, karena kejahatan itu tidak hanya ditumpas dengan peraturan

perundang-undangan saja melainkan juga ditumpas dari sudut diri pelaku kejahatan.

Menurut kamus hukum disebutkan bahwa modus operandi adalah “teknik, atau cara-

caranya beroperasi, atau jalannya perbuatan-perbuatan kejahatan.”

Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa modus operandi itu adalah

merupakan teknik atau cara ataupun metode-metode yang dipergunakan oleh pelaku

Page 81: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

(subjek) tindak pidana itu. Jadi jelaslah bahwa modus operandi ini titik beratnya

adalah terletak pada diri si pelaku dalam mempersiapkan suatu kejahatan.

Adapun modus operandi yang senantiasa digunakan oleh kejahatan yang terorganisir

ini adalah penyandang dana atau cukong melalui sistem sel yang melibatkan anggota

masyarakat untuk melakukan penebangan liar. Jaringan organisasi ini terdiri dari

petugas/ pejabat kehutanan, bea cukai, kepolisian, TNI AD, TNI AL, Pemda

Kejaksaan, Pengadilan, serta Politikus. Berbagai upaaya penanggulangan illegal

logging dan pengamanan hutan, baik berupa operasi pengamanan fungsional,

gabungan dan operasi khusus serta berbagai kerjasama kelihatannya belum optimal,

bahkan cenderung berakibat pada merajalelanya penebangan liar baik di kawasan

hutan lindung maupun kawasan konservasi. FFNN30

a. Modus operandi di daerah hulu adalah:

Untuk lebih jelasnya modus operandi dalam kegiatan illegal logging ini

dibedakan dalam dua (dua) bagian yaitu:

1. melakukan penebangan tanpa izin untuk kepentingan pribadi, dimana

biasanya dilakukan oleh masyarakat yang kemudian hasil tebangan

illegal dijual kepada pengusaha kayu atau kepada industri pengelolaan

kayu.

2. melakukan penebangan diluar izin yang ditentukan konsesinya oleh

pemerintah, biasanya ini dilakukan oleh pemilik Hak Pengelolaan Hutan

(HPH) dan pemegang izin Penebangan kayu (IPK) yang sah dengan

menggunakan tenaga kerja masyarakat setempat seabagai penebang kayu

atau mendatangkan langsung dari luar daerah. Modus ini dilakukan

30 http://www.republika.co.id, Op Cit

Page 82: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

dengan tujuan untuk memenuhi pasokan kayu yang telah disepakati agar

terhindar dari kerugian karena tidak dapat memenuhi permintaan industri

kayu. Selain itu tujuan modus operandi ini adalah untuk mempercepat

tercapainya target produksi perindustrian kayu.

b. Modus operandi di daerah hilir adalah :

1. pengangkutan kayu tanpa dilengkapi Surat Ketrangan Sahnya Hasil

Hutan (SKSHH), dalam modus operandi ini tidak hanya melibatkan

pemilik kayu sebagai pelaku tetapi juga ikut melibatkan pemilik kayu

sebagai pelaku tetapi juga ikut melibatkan pengangkut kayu ( supir) atau

nahkoda kapal.

2. pengangkutan kayu dilengkapi dengan dokumen palsu, dalam hal

pemalsuan kayu ini ada tiga modus yang biasa dilakukan oleh para

pelaku, yakni pemalsuan blanko dan isinya, blankonya asli tetapi isinya

dipalsukan, dan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang

digunakan berasal dari daerah lain.

Dalam hal pengangkutan kayu dengan dokumen palsu selain pemilik

kayu sebagai pelaku, aparat penerbit dokumen palsu stempel dan cap

palsu juga adalah pelaku termasuk pengangkut kayu illegal tersebut.31

3. Volume kayu yang diangkut tidak sesuai dengan data yang ada dalam

SKSHH, dalam modus operandi ini pemilik kayu bekerjasama dengan

penerbit SKSHH. Jadi di sini pelakunya tidak hanya pemilik kayu dan

pengantar kayu tetapi pejabat yang mengeluarkan SKSHH juga terlibat.

31 Hasil Wawancara, Op Cit

Page 83: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Dalam hal ketidaksesuaian volme kayu ini, aparat memberikan toleransi

sebesar 5% dari data yang tercatat dalam dokumen.32

4. Adanya dokomen SKSHH yang digunakan lebih dari satu kali, dalam hal

ini pelaku tidak memperbaharui SKSHH, dan mempergunakan SKSHH

berulangkali.

5. Menggunakan Dokumen pengganti SKSHH, seperti surat tilang di darat

atau dilaut sebagai pengganti SKSHH yang disita, atau faktur kayu

sebagai penggantu SKSHH atau surat-surat lain.

BAB IV

KENDALA-KENDALA DAN UPAYA YANG DILAKUKAN PPNS

A. KENDALA-KENDALA

Masalah illegal logging merupakan masalah utama sektor kehutanan.

Kejahatan ini dapat memberikan dampak yang luar biasa bagi peradaban dan

generasi yang akan datang. Maraknya praktek illegal logging yang terjadi berakibat,

pada rusaknya kondisi hutan saat ini. Hutan yang sebenarnya memberikan manfaat

yang dapat dirasakan lansung oleh msyarakat, dimana masyarakat dapat

menggunakan atau memanfaatkan hasil yang didapat dari hutan, antara lain kayu

yang merupakan hasil utama dari hutan. Serta berbagai hasil hutan seperti, rotan,

getah, buah-buahan dan lain-lain.33

32 ibid 33 Salim HS, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan,Sinar Grafika, Jakarta,2002, hal 46

Selain manfaat yang dapat dirasakan langsung

oleh masyarakat, banyak lagi manfaat yang secara tidak langsung juga dapat

Page 84: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

dirasakan oleh masyarakat seperti, hutan yang dapat mengatur tata air, dapat

mencegah terjadinya erosi sebagi penyebab terjadinya banjir, dapat juga

memberikan manfaat di sektor pariwisata dan lain-lain. Untuk itu perlu perlindungan

yang maksimal terhadap hutan.

Melihat keadaan hutan di Indonesia yang semakin buruk pemerintah

mengambil kebijaksanaan untuk menindak tegas semua pelaku tindak pidana illegal

logging, keseriusan Pemerintah dalam usaha pemberantasan tindak pidana illegal

loging dibuktikan dengan dikeluarkannya Inpres. No. 4 Tahun 2005. tentang

pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan Hutan, dn

Peredarannya di Seluruh Wilayah Indonesia. Dimana dalam Inpres No. 4 Tahun

2005. Presiden Republik Indonesia menginstruksikan kepada 18 instansi untuk

memberantas praktek illegal loggingdi seluruh wilayah Republik Indonesia.

Namun dalam pelaksanaanya di lapangan pemberantasan tindak pidana

illegal logging selalu menemui hambatan-hambatan terutama dalam proses

penyidikannya.

Hambatan-hambatan dalam proses penyidikan tindak pidana illegal loggging ini

antara lain:

1. Lemahnya koordinasi antar penegak hukum

Koordinasi antar penegak hukum memegang peranan penting dalam proses

penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging. Begitu pula halnya dengan

proses penyidikan tindak pidana illegal logging yang tidak hanya melibatkan POLRI

sebagi penyidik tetapi juga melibatkan Penyidik Pegawai Negri Sipil (PPNS)

Kehutanan dan Polisi Hutan (POLHUT) yang diberi kewenangan oleh Undang-

Undang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang kehutanan

Page 85: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

khususnya illegal logging. Selain itu penyidik dari Perwira angkatan Laut juga dapat

melakukan penyidikan dalam hal terjadinya penyeludupan kayu. Keadaan ini

memungkinkan terjadinya tumpang tindih penyidikan terhadap satu tersangka dalam

praktek illegal logging, masing-masing berjalan sendiri-sendiri dan tidak terintegrasi

dalam satu lembaga penyidikan yang terpadu sehingga berpotensi menimbulkan

konflik antar penyidik yang diberi kewenangan oleh undang-undang. Bahkan

terkadang muncul arogansi masing-masing penyidik dalam melakukan penyidikan

terhadap kasus-kasus tindak pidana kehutanan berdasarkan kewenangan masing-

masing yang diberikan oleh undang-undang.

Seharusnya antar penyidik yang diberikan kewenangan masing-masing oleh

undang-undang dapat saling bekerjasama. Misalnya dapat saling tukar menukar data

dan informasi sehingga proses penyidikan dapat berjalan efektif sehingga kasus

illegal logging dapat terungkapdengan tuntas. Ketidakharmonisan antar penyidik

tindak pidana illegal logging dalam rangka penegakan hukum ini justru

dimanfaatkan oleh para pelaku illegal logging untuk lepas dari jerat hukum.

2. Pelaku utama (aktor intelektual) yang sulit ditembus oleh hukum.

Peredaran hasil hutan illegal dan penebangan liar di Indonesia merupakan tindak

kejahatan yang terorganisasi karena melibatkan banyak aktor dengan berbagai

kepentingan dan jaringan, baik di Departemen kehutanan, maupun instansi lainnya

serta jaringan pasar di dalam negri dan di luar negri. Dalam prakteknya di lapangan

sering kali ditemukan bahwa yang tertangkap hanyalah para pekerja lapangan yaitu,

para penebang, pengangkut kayu atau, penadah kayu illegal. Sedangkan otak pelaku

utama dari tindak pidana illegal logging sepertinya tidak dapat tertembus oleh

hukum. Hal ini dikarenakan bisanya para pelaku utama adalah orang-orang yang

Page 86: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

dekat dengan penguasa atau pejabat-pejabat daerah. Sehingga seolah-olah mendapat

perlindungan selain itu sulitnya pelaku utama tertangkap karena pelaku utama telah

mengetahui terlebih dahulu bahwa orang yang bekerja padanya telah tertangkap

tangan dan ia mempunyai banyak kesempatan untuk melarikan diri dan akhirnya

dapat lolos dari jeratan hukum. Dengan tidak tertangkapnya aktor intelektual dari

pelaku illegal logging maka akan semakin menghambat terungkapnya tindak pidana

illegal logging yang terjadi.

3. Adanya otonomi daerah

Penebanagan liar ( illegal logging) mengakibatkan hutan menjadi semakin

gundul. Dengan keluarnya pengaturan mengenai otonomi daerah maka kewenangan

pelaksanaan pengamanan hutan yang terdapat pada suatu wilayah kabupaten /kota

menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Illegal logging dipicu otonomi

daerah yang kebablasan, dimana timbul pemikiran bahwa sumber daya hutan

diminta untuk dipilah-pilah sesuai dengan batasan wilayah administrasi utamanya

pada tingkat kabupaten/kota. Pemikiran dan tuntutan muncul sebagai akibat dari

adanya perbedaan persepsi tentang hutan sebagai ekosistem yang tidak dapat dibagi

menurut batasan administrasi. Dengan adanya kewenangan tersebut maka dalam

penanganan kasus illegal logging yang terjadi di daerah kabupaten/kota menjadi

kendala karena Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara tidak dapat langsung

menangani tindak pidana illegal logging yang terjadi tetapi harus melalui permintaan

kabupaten/ kota tersebut.34

4. Kurangnya sarana dan prasarana

Hal ini tentu akan menghambat proses penegakan hukum

terhadap tindak pidana illegal logging yang terjadi.

34 Hasil Wawancara, Op Cit

Page 87: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Sarana dan prasarana yang cukup dan memadai memegang peranan penting

dalam rangka penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas yang cukup

memadai, maka tidak mungkin penegakan hukum dapat berjalan dengan lancar.

Dimana sarana dan prasarana tersebut dapat berupa tenaga manusia yang

berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,

keuangan yang cukup dan lainnya. Kalau hal hal tersebut diatas tidak dipenuhi,

maka mustahil penegakan hukum dapat tercapai.35

Namun kenyataan di lapangan menunjukkan sarana dan prasarana yang

dimiliki pelaku praktek illegal logging jauh lebih maju diabandingkan sarana dan

prasarana yang dimiliki oleh aparat penegak hukum khususnya di daerah-daerah

yang justru memiliki areal hutan yang luas dan rawan terjadi praktek illegal

logging.

36

5. keterbatasan dana

Keterbatasan sarana dan sarana yang dimiliki aparat penegak hukum

menjadi faktor penghambat dalam proses penyidikan tindak pidana illegal logging.

Dengan terhambatnya proses penyidikan tentu berimbas terhadap semakin maraknya

tindak pidana illegal logging.

Minimnya dana yang juga menjadi slah satu penghambat dalam kelancaran

proses penyidikan tindak pidana illegal logging. Dalam penanganan tindak pidana

illegal logging tidak ada dana khusus, padahal dalam proses penenganan perkara

tindak pidana illegal logging ini memerlukan biaya yang jauh lebih besar dari

penyidikan tindak pidana biasa lainnya. Anggaran biaya penyidikan untuk satu

perkara pidana illegal logging yang di tangani polisi, itu sebesar 2,5 juta, sedangkan

35 Soerjono Soekamto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, hal 27 36 IGM Nurjana, Op Cit, hal 143

Page 88: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

untuk perkara yang ditangani oleh PPNS, tidak ada nominal yang angka yang

ditetapkan untuk menangani perkara tindak pidana illegal logging.37

1. Memberikan himbauan kepada masyarakat

Sebagai contoh apabila terjadi penyeludupan kayu ke daerah lain di luar propinsi

Sumatera Utara maka membutuhkan biaya dalam hal penyidikannya, biaya bongkar

barang bukti dan biaya-biaya lainnya. Dengan terbatasnya dana maka akan semakin

memberikan kesempatan bagi pelaku illegal logging untuk melarikan diri.

B Upaya-upaya dalam penanggulangan illegal logging

B.1. Upaya preventif

Upaya preventif adalah ,merupakan suatu usaha penanggulangan yang lebih

menitikberatkan pada pencegahan/ penanganan atau pengendalian sebelum

terjaddinya tindak pidana illegal logging. Dalam upaya penanggulangan ini, polisi

memang lebih dominan dalam upaya represif sedangkan dalam upaya preventif lebih

cenderung menjadi tanggungjawab dari Departemen Kehutanan dan Dinas

Kehutanan Provinsi Sumatera Utara walaupun tidak tertutup kemungkinan pihak

Kepolisian ikut terlibat dalam usaha-usaha yang berhubungan dengan upaya

preventif dalam rangka pemberantasan tindak pidana illegal logging di wilayah

hukum Sumatera Utara.

Adapun langkah yang ditempuh pihak Dianas Kehutanan Provinsi Sumatera

Utara sebagai upaya Preventif dalam rangka perlindunagn terhadap hutan:

Himbauan- himbauan ini dapat dilakukan melalui media massa seperti media

elektronik ataupun melalui media cetak seperti radio swasta dan surat kabar lokal.

37 Hasil Wawancara, Op Cit

Page 89: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Himbauan-himbauan ini juga dapat dilakukan melelui spanduk-spanduk maupun

pamflet-pamflet yang berisi tentang ajakan masyarakat ikut serta dalam usaha-usaha

perlindungan terhadap hutan dan hasil hutan.

Peran serta masyarakat dalam usaha perlindungan hutan adalah merupakan salah

satu jalan yang efektif dalam usaha pencapaian pembangunan hutan di Provinsi

Sumatera Utara. Hal ini dikarenakan masyarakat adalah orang yang berhubungan

langsung dan hampir setiap hari bersentuhan dengan kawasan sekitar hutan.

2. Mendirikan pos peredaran pengangkutan hasil hutan

Selain dengan melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana illegal

logging usaha-usaha yang dilakukan oleh aparat hukum adalah dengan mendirikan

pos-pos peredaran hasil hutan. Pos ini didirikan di daerah perbatasan dan jalan lintas

Propinsi yang biasanya dilewati oleh para pelaku untuk mengangkut hasil hutan

yang tidak sah.38

3. Meningkatkan kualitas dan kuantitas Polisi Hutan(Polhut)

Pada saat sekarang ini tugas penjagaan, pengamanan dan perlindungan

kawasan hutan serata peredaran hasil hutan ditumpukan kepada polisi hutan.

Sementara gambaran keadaan Polisi Hutan saat ini menunjukkan gambaran yang

ironis dan memprihatinkan bila dibandingkan denagan ratio luas kawasan hutan

yang harus dijaga kemanannya. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor terjadinya

praktik illegal logging karena sebagian kawasan hutan luput dari pengawasan

Polhut. Selain itu kualitas dan kwantitas dari SDM Polhut serta persepsi yang

kurang baik terhadap Polhut yang disebabkan tindakan sebagian oknum Polhut yang

tidak terpuji dalam melaksanakan tugasnya khususnya yang berhubungan dengan

38 ibid

Page 90: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

pengamanan dan pengawasan peredaran kayu termasuk menjadi penentu semakin

maraknya praktik illegal logging.

Melihat keadaan yang seperti ini pemerintah dalam hal ini Departemen

Kehutanan mengambil langkah-langkah pembinaan kemampuan untuk

meningkatkan kuyalitas dan kuantitas SDM Polhut yaitu dengan mengadakan

program pendidikan dan latihan ( diklat). Salah satu Program yang sedang

dikembangkan adalah dengan dibentuknya Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat

(SPORC). Diklat pembentukan SPORC ini bertujuan untuk membentuk gugus

Polhut yang memiliki karakteristik berpikir dan bertindak cepat di dalam

melaksanakan tugas-tugas khusus di bidang Kehutanan.39

39 Majalah Kehutanan Indonesia, hal 10

Selain itu tujuan dari

pembentukan SPORC ini adalah untuk penugasan khusus terhadap adanya eskalasi

ancaman/ gangguan kemanan hutan yang meningkat yaitu ganguan kemanan hutan

yang tidak ditangani secara rutin oleh satuan Polhut.

Dalam pelaksanaan diklat ini Departemen Kehutanan bekerjasama dengan

Mabes Polri karena tugas Polhut dalam hal ini SPORC terkait dengan tugas-tugas di

bidang kehutanan. Program diklat ini dilaksanakan berdasarkan amanat dari

Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah No.

45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan dan Instruksi Presiden No. 4 tahun 2005

tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegaldi Kawasan Hutan Dan

Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.

Upaya-upaya preventif yang dilakukan Polhut dalam rangka penanggulangan

terjadinya tindak pidana illegal logging antara lain adalah:

Page 91: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

a. berpatroli secara rutin, mendadak, periodik ataupun gabungan di dalam

kawasan hutan atau dalam wilayah hukum Polhut yang telah ditentukan

b. memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan

hasil hutan di kawasan atau di wilayah hukum polhut yang telah ditentukan

c. melakukan koordinasi dengan mitra instansi/ lembaga yang terkait dalam

operasi perlindungan dan pengamanan hutan.

4. Memberikan penyuluhan hukum

Penyuluhan hukum dilakukan secara teratur dan terus menerus kepad

masyarakat. Dimana dalam penyuluhan hukum ini diinformasikan kepada

masyarakat tentang bahaya yang akan mengancam bila praktek illegal logging terus

berjalan selain itu dalam penyuluhan hukum juga diberitahukan kepada masyarakat

mengenai sanksi pidana yang akan diterima bila melakukan praktek illegal logging.

Dalam penyuluhan hukum ini tidak hanya melibatkan Dinas Kehutanan tetapi

juga melibatkan aparat penegak hukum lainnya yaitu pihak Kepolisisan, Kejaksaan,

dan Pengadilan. Selain itu pimpinan atau tokoh masyarakat setempat yang disegani

juga dilibatkan dalam program ini. Keikutsertaan tokoh masyarakat ini sangat

membantu dan berpengaruh kepada masyarakat, hal ini dikarenakan masyarakat

lebih percaya kepada pimpinan atau tokoh masyarakat dibandingkan dengan orang

luar. Dengan keikutsertaan pimpinan atau tokoh masyarakat setempat diharapkan

masyarakat menjadi ikut merasa memiliki hutan sehingga timbul keinginan untuk

menjaga kelestarian hutan. Guna kelangsungan hidup di masa yang akan datang.

Dengan dilakukannya penyuluhan ini maka diharapkan masyarakat dapat

meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan serta mengubah sikap dan perilaku

masyarakat agar mau dan mampu mendukung pembangunan kehutanan atas dasar

Page 92: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta sadar akan pentingnya sumber

daya hutan bagi kehidupan manusia. Dengan penyuluhan juga diharapkan

masyarakat menyadari bahwa dalam proses penegakan hukum bukan hanya

tanggungjawab aparat penegak hukum, akan tetapi juga menjadi tanggungjawab kita

bersama.

B.2. Upaya represif

Kelestarian dan fungsi hutan adalah salah satu sumber kehidupan seluruh

masyarakat maka perlindungan untuk mencapai tujuan tersebut pada hakekatnya

bukan saja menjadi tanggungjawab pemerintah aparat penegak hukum melainkan

tanggungjawab seluruh aspek kehidupan masyarakat. Khususnya yang

berkepentingan langsung dengan hutan. Oleh karena itu masyarakat diikutsertakan

dalam upaya perlindungan hutan.

Dan untuk itu pemerintah dan aparat penegak hukum juga mengusahakan

perlindungan terhadap kelestarian fungsi hutan tersebut yang salah satunya

dilakukan dengan usaha represif.

Usaha represif merupakan suatu usaha yang lebih bersifat pada

penindasan/pemberantasan atau penumpasan setelah tindak pidana illegal logging

terjadi. Usaha yang bersifat represif ini lebih dominan dilakukan oleh pihak

kepolisian.

Dalam terjaddi suatu peristiwa hukum yaitu laporan, pengaduan atau

tertangkap tangan yang mengarah kepada dugaan telah terjadi tindak pidana illegal

logging, yang kemudian oleh pihak yang berwenang akan dilakukan penyidikan

terhadap orang yang diketahui sedang atau telah melakukan tindak pidana illegal

Page 93: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

logging, bila nantinya terbukti melakukan tindak pidana illegal logging pelaku

ditangkap untuk diproses lebih lanjut.

Dengan ditangkapnya pelaku illegal logging tersebut diharapkan memberikan efek

jera khususnya bagi pelaku sendiri dan dan memberikan rasa takut bagi masyarakat

agar tidak mau lagi melakukan praktek illegal logging namun yang terjadi di

lapangan dalam pemeberantasan tidak pidana illegal logging ini seringkali pihak

aparat menemui kendala dalam mengangkap pelaku yaitu ada kalanya yang ditemui

kayu truk beserta dengan kayu yang diduga adalah hasil praktik illegal logging,

namun yang membawa kayu tersebut ( supir truk) tidak ada karena telah lari terlebih

dahulu.40

Selain itu pelaku yang menjadi otak pelaku dari praktek illegal logging ini

masih banyak yang belum tersentuh hukum hal ini dikarenakan pelaku yang adalah

orang-orang yang dekat dengan tampuk kekuasaan, dan mempunyai modal besar

untuk bisa lari dan lolos dari hukum.

41

1. Operasi Wanalaga III

Inilah yang merupakan kendala sehingga

pelaku illegal logging lolos darri jerat hukum.

Selain dengan melakukan penangkapan dengan melakukan operasi secara rutin.

Operasi yang dilakukan bekerjasama dengan aparat kepolisian.

Operasi yaang pernah dilakukan di Dinas Kehutanan Sumatera Utara:

2. Operasi Hutan Lestari I

Dengan dilakukannya operasi ini maka diharapkan pelanggaran hukum

dalam bentuk pencurian dan penyeludupan kayu dapat ditumpas.

40 Hasil Wawancara, Op Cit 41 ibid

Page 94: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Dalam rangka pengamanan hutan khususnya pemeberantasan praktek illegal logging

pemerintahan propinsi Sumatera Utara juga mengambil kebijakan-kebijakan, hal ini

didasarkan pada Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Provinsi Sebagai

Daerah otonom, diamana kewenanagn pelaksanaan penagamanan hutan yang

terdapat dalam suatu wilayah kabupaten atau kota. Kebijakan pemerintah provinsi

Sumatera Utara dalam upaya melaksanakan pengamanan hutan khususnya untuk

menangani kegiaan illegal logging telah menetapkan :

a. Pembentukan Tim Operasi Gabungan Hutan dan Hasil Hutan Provinsi

Sumatera Utara dengan Keputusan Gubernur Sumatera Utara No.

522.05/073 K/2001 tanggal 23 Maret 2001 dan Keputusan Gubernur

Sumatera Utara No. 522.5/1821/K/2003 tanggal 25 September 2003.

b. Penunjukan lokasi Pos Pengawasan Peredaran Hasil Hutan Provinsi

Sumatera Utara ddengan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara No.

522/.816.K/2002 tanggal 25 Juli 2002.

c. Operasi Wanalaga yang dilaksanakan oleh Polda Sumatera Utara dan

Operasi Wanabahari yang dilaksanakan oleh jajaran Angkatan Laut.

d. Melaksanakan operasi fungsional oleh aparat Kehutanan, dan Operasi

gabungan dengan aparat Keamanan dan unsur trerkait lainnya.42

42 Dinas Kehutanan Propinsai SUMUT, Penebangan Kayu dan Illegal Logging, Makalah, Seminar Sehari, Pengurus GMKI, Medan,2005, hal 4

Page 95: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN Di akhir penulisan ini, penulis akan merangkum seluruh hasil penbahasan menjadi

kesimpulan. Adapun kesimpulan penulis adalah:

1. Dalam proses penyidikan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana

di bidang kehutanan khususnya illegal logging harus tunduk pada Undang-

Undang No. 41 Tahun 1999 yang juga tidak terlepas dari pasal-pasal dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang penyidikan

kemudian menerapkan hukum acara yang berpedoman kepada KUHAP.

Penyidik Pegawai Negri Sipil berperan lebih aktif dalam melakukan

penyidikan terhadp tindak pidana illegal logging hal ini disebabkan oleh

keterbatasan yang selalu dihadapi oleh penyidik Polri, khususnya

keterbatasan personil di bidang penyidik. Selain itu keterbatasan

pengetahuan di bidang tertentu menyebabkan Polri tidak mampu menangani

semua tindak pidana yang terjadi.

2. Dalam menangani semakin maraknya tindak pidana illegal logging

khususnya di Sumatera Utara aparat penegak hukum selalu berusaha,

terutama dalam dalam hal penyidikan terhadap dugaan terjadinya tindak

pidana illegal logging. Dimana dalam melakukan penyidikan penyidik

memulai tugasnya melalui salah satu proses hukum yaitu dengan adanya

laporan atau aduan maupun tertangkap tangan, namun dalam melakukan

Page 96: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

penyidikan Penyidik Pegawai Negri Sipil (PPNS) sering menemui hambatan-

hambatan yaitu antara lain:

a. Lemahnya koordinasi antar penegak hukum

Kewenangan melakukan penyidikan dalam tindak pidana illegal logging

yang tidak hanya melibatkan Polri sebagai penyidik tetapi juga PPNS

Kehutanan dan polhut yang diberi kewenanagn oleh undang-undang, hal ini

yang sering menyebabkan seringnya terjadi tumpang tindih kewenangan.

b. Pelaku utama yang sulit tertembus hukum

Pelaku utama atau aktor intelektual dari tindak pidana illegal logging adalah

orang-orang yang dekat dengan penguasa, sehingga sulit tertembus oleh

aparat penegak hukum.

c. Adanya otonomi daerah

Dimana dalam penanganan illegal logging sudah menjadi hak dari

kabupaten/kota, sehingga Dinas Kehutanan tidak dapat langsung menangani

perkara tanpa adanya permintaan dari daerah.

d. Keterbatasan sarana dan prasarana

Kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki aparat penegak hukum

menjadi faktor penghambat dari pemberantasan tindak pidana illegal logging.

e. Keterbatasan dana

Minimnya dana juga merupakan salah satu penghambat dalam kelancaran

proses penyidikan tindak pidana illegal logging.

3. Pemerintah dan aparat hukum juga telah melakukan upaya-upaya dalam

melakukan pencegahan dan penaggulangan terhadap tindak pidana illegal

logging yang terjadi. Upaya-upaya yang dilakukan:

Page 97: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

a. Memberikan himbauan kepada masyarakat

Himbauan ini dilakukan melalui media massa seperti media elektronik

ataupun media cetak. Bisa juga melalui spanduk dan pamflet yang berisi

ajakan masyarakat untuk ikut serta dalam usaha-usaha perlindungan terhadap

hutan dan hasil hutan.

b. Mendirikan pos peredaran pengangkutan hasil hutan

Pos ini didirikan di daerah perbatasan dan jalan lintas yang biasa dilewati

dalam mengangkut hasil hutan yang tidak sah.

c. Meningkatkan kualitas dan kuantutas Polisi Hutan

hal ini dilakukan dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas Sumber Daya

Manusia dan Polhut itu sendiri.

d. Memberikan penyuluhan hukum

Penyuluhan hukum ini tidak hanya melibatkan Dinas Kehutanan tetapi juga

melibatkan aparat penegak hukum yang lain yaitu kepolisian, Kejaksaan dan

pengadilan, serta mengikut sertakan tokoh-tokoh masyarakat.

B. SARAN

Saran-saran yang dapat penulis berikan :

1. Ketentuan peraturan per undang-undangan terhadap tindak pidana illegal

logging di Indonesia belum dapat dilakukan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku untuk itu pemerintah pusat harus

memberikan pendidikan dan pelatihan kepada aparatur pemerintah daerah

dengan harapan agar setiap pemerintah daerah dapat mempersiapkan

aparatur (kualitas dan kuantitas) guna menangani terjadinya tindak pidana

illegal loging. Dengan adanya aparatur yang baik (kualitas dan

Page 98: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

kuantitas)maka diaharapkan penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal

logging akan semakin meningkat.

2. Dalam menangani tindak pidana illegal logging diperlukan peran aktif

masyarakat sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Untuk itu diharapkan kepada masyarakat lebih berperan aktif untuk

melakukan pengawasan dan perlindungan terhadap hutan dan hasil hutan di

sekitarnya dan melaporkan kepada pihak yang berwajib setiap kejadian yang

mencurigakan. Pemerintah juga diharapkan untuk lebih memperhatikan

keadaan ekonomi masyarakat terutama yang yang tinggal di sekitar daerah

hutan yang umumnya tergantung pada hasil hutan. Sehingga tidak terdorong

untuk melakukan praktek illegal logging baik untuk kepentingan sendiri

maupun atas perintah atau suruhan dari masyarakat luar. Selain itu juga

pemerintah harus m,eningkatkan kegiatan penyuluhan hukum sehingga

meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan arti dan fungsi

hutan.

3. Agar penyidik di bidang Kehutanan dapat lebih menunjukkan eksistensinya

maka harus diberikan otoritas dan wewenang yang lebih besar lagi. Hal ini

berdasarkan pertimbangan bahwa penyidik PNS khususnya di bidang

Kehutanan sebagai penyidik Pegawai Negri Sipil yang mempunyai

kewenangan yang relatif sempit.

Page 99: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

DAFTAR PUSTAKA

Chazawi, Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada,

Jakarta

Echols, M, Jhon, dan Shandly, Hasan,1996, An English-Indnesian Dictionary,

Cetakan XXIII, Gramedia, Jakarta

H. SAlim ,S, Dasar-dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika,Jakarta,2002

Harahap, M, Yahya 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta

Husin, M, Harun, 1991, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Rineka

Cipta, Jakarta

K, Satochid, Hukum Pidana Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa

Marpaung, Leden, 1995, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa,

Erlangga, Jakarta

Nurjana, IGM, dkk, 2005, Korupsi dan Illegal Logging Dalam Sistem

Desentralisasi, Pustaka Pelajar, Jakarta

Parlindungan, AP 1998, Komentar Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju,

Bandung,

Prakoso, Djoko, 1985,Eksistensi Jaksa Ditengah-tengah Masyarakat, Ghalia

Remelink, Jan, 2003 Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari

Undang- Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam

Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta

Suarga, Riza, 2005, Pemberantasan Illegal Logging, Ctakan I, WWana Aksara,

Jakarta

Page 100: Skripsi Fakultas Hukum

Obrika Simbolon : Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara), 2007. USU Repository © 2009

Soekamto,Sojono,2002,Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

cetakan IV,Grafindo, Jakarta

Usfa, Fuad, A, & Tongat, 2004, Pengantar Hukum Pidana, Edisi Pertama,

Universitas Muhamadiyah Malang Press, Malang

Zain, S, A, 1996, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, Rineka Cipta, Jakarta

Indonesia, Jakarta Timur

Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, 2004,Eko Jaya,Jakarta

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta komentar-komentar lengkap Pasal demi

Pasal, 1994, Politeia Bogor

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, 1997, Departemen Kehakiman RI,

Jakarta

Praturan Pemrintah Nomor 45 Tahun 2204 tentang Perlindungan Hutan.

Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu

secara Illegal Di kawasan Hutan dan Peredarannya di seluruh Wilayah

Republik Indonesia.