26
1 PENDAHULUAN Tuberous sklerosis kompleks adalah kelainan genetik multisistem dengan ekspresi fenotipik bervariasi yang memiliki karakteristik adanya pembentukan tumor jinak non invasif, yang sangat jarang berkembang menjadi lesi metastatik, pada berbagai organ seperti otak, paru-paru, kulit, jantung dan ginjal. 1  Hasil dari mutasi pada gen TSC1 di wilayah kromosom 9q34 atau gen TSC2 di daerah kromosom 16p13, diwariskan dalam pola autosomal dominan, meskipun sampai dua pertiga kasus merupakan hasil dari mutasi genetik spontan. 1-4  Manifestasi neurologis utama tuberous sklerosis kompleks adalah kejang, autisme, keterlambatan perkembangan, termasuk keterbelakangan mental dan perilaku, serta gangguan kejiwaan. 1,2,3,5  Epilepsi adalah gejala yang paling umum pada tuberous sklerosis kompleks dan juga merupakan gangguan kesehatan yang paling umum pada tuberous sklerosis kompleks. Sampai dengan 80 sampai 90% dari individu dengan tuberous sklerosis kompleks akan mengembangkan epilepsi selama hidup mereka, dengan onset biasanya dalam masa kanak- kanak. 1,3  Mayoritas anak-anak dengan tuberous sklerosis kompleks memiliki onset kejang selama tahun pertama kehidupan, dan sampai sepertiga dari anak-anak dengan tuberous sklerosis kompleks akan mengembangkan spasme infantil. 1,4,6 Epilepsi, terutama dengan onset selama masa bayi dan spasme infantil dianggap faktor risiko untuk gangguan neurokognitif dan keterbelakangan mental pada anak-anak dengan tuberous sklerosis kompleks. 1,7  Studi menunjukkan insiden autisme yang lebih tinggi pada anak-anak dengan tuberous sklerosis kompleks yang memiliki epilepsi intraktabel awitan dini dan spasme infantil. 1,6  Bolton et al . menemukan bahwa peningkatan risiko autisme dikaitkan dengan epilepsi anak, termasuk keberadaan discharge epileptiform lobus temporal pada EEG, usia yang lebih muda saat onset aktivitas kejang, dan riwayat spasme infantil. 1,7 Evolusi klinis dan gambaran EEG awal pada anak-anak yang kemudian berkembang menjadi TSK dibahas dengan penekanan khusus pada variabilitas individu terhadap manifestasi epileptik,  perubahan kulit, dan kecacatan mental. Abnormalitas EEG cenderung masih merupakan gambaran kasar selama 2 tahun pertama kehidupan, namun pada evolus berikutnya terdapat  perubahan multifokal pada beberapa area yang relatif menggambarkan suatu aktivitas ritmik yang bertahan lama. 8

Tuberous Sklerosis Kompleks

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat CDC-EEG

Citation preview

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    1/26

    1

    PENDAHULUAN

    Tuberous sklerosis kompleks adalah kelainan genetik multisistem dengan ekspresi

    fenotipik bervariasi yang memiliki karakteristik adanya pembentukan tumor jinak non

    invasif, yang sangat jarang berkembang menjadi lesi metastatik, pada berbagai organ seperti

    otak, paru-paru, kulit, jantung dan ginjal.1 Hasil dari mutasi pada gen TSC1 di wilayah

    kromosom 9q34 atau gen TSC2 di daerah kromosom 16p13, diwariskan dalam pola

    autosomal dominan, meskipun sampai dua pertiga kasus merupakan hasil dari mutasi genetik

    spontan.1-4Manifestasi neurologis utama tuberous sklerosis kompleks adalah kejang, autisme,

    keterlambatan perkembangan, termasuk keterbelakangan mental dan perilaku, serta gangguan

    kejiwaan.1,2,3,5

    Epilepsi adalah gejala yang paling umum pada tuberous sklerosis kompleks dan juga

    merupakan gangguan kesehatan yang paling umum pada tuberous sklerosis kompleks.

    Sampai dengan 80 sampai 90% dari individu dengan tuberous sklerosis kompleks akan

    mengembangkan epilepsi selama hidup mereka, dengan onset biasanya dalam masa kanak-

    kanak.1,3 Mayoritas anak-anak dengan tuberous sklerosis kompleks memiliki onset kejang

    selama tahun pertama kehidupan, dan sampai sepertiga dari anak-anak dengan tuberous

    sklerosis kompleks akan mengembangkan spasme infantil.1,4,6 Epilepsi, terutama dengan

    onset selama masa bayi dan spasme infantil dianggap faktor risiko untuk gangguan

    neurokognitif dan keterbelakangan mental pada anak-anak dengan tuberous sklerosis

    kompleks.1,7

    Studi menunjukkan insiden autisme yang lebih tinggi pada anak-anak dengan

    tuberous sklerosis kompleks yang memiliki epilepsi intraktabel awitan dini dan spasme

    infantil.1,6 Bolton et al. menemukan bahwa peningkatan risiko autisme dikaitkan dengan

    epilepsi anak, termasuk keberadaan discharge epileptiform lobus temporal pada EEG, usia

    yang lebih muda saat onset aktivitas kejang, dan riwayat spasme infantil.1,7 Evolusi klinis dan

    gambaran EEG awal pada anak-anak yang kemudian berkembang menjadi TSK dibahas

    dengan penekanan khusus pada variabilitas individu terhadap manifestasi epileptik,

    perubahan kulit, dan kecacatan mental. Abnormalitas EEG cenderung masih merupakan

    gambaran kasar selama 2 tahun pertama kehidupan, namun pada evolus berikutnya terdapat

    perubahan multifokal pada beberapa area yang relatif menggambarkan suatu aktivitas ritmik

    yang bertahan lama.8

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    2/26

    2

    TINJAUAN PUSTAKA

    TUBEROUS SKLEROSIS KOMPLEKS

    DEFINISI

    Tuberous sklerosis kompleks (TSK) adalah kelainan genetik multisistem dengan

    ekspresi fenotipik yang bervariasi, dapat menyebabkan pertumbuhan tumor jinak pada otak

    dan organ vital lainnya seperti ginjal, jantung, mata, paru, dan kulit. TSK biasanya mengenai

    sistem saraf pusat dan menghasilkan kombinasi gejala termasuk seizure, developmental

    delay, masalah perilaku, kelainan kulit, dan penyakit ginjal.1,2

    Nama tuberous sklerosis berasal dari karakteristik tuber atau nodul potato-like di

    otak, yang mengkalsifikasi sejalan dengan usia dan mengeras atau sklerotik. Kelainan ini,

    dulu dikenal sebagai epiloia atau Bournevilles disease, pertama kali diidentifikasi oleh

    ilmuwan Perancis lebih dari 100 tahun yang lalu.2

    EPIDEMIOLOGI

    Tuberous sklerosis kompleks merupakan penyakit genetik yang jarang terjadi dengan

    angka kejadian sekitar 1 dalam 6800 kelahiran hidup di seluruh dunia. Sebuah studi berbasis

    populasi di Inggris melaporkan frekuensi TSC berkisar 1/12.000 sampai 1/14.000 pada anak

    berusia di bawah 10 tahun. Penyakit ini mengenai sebanyak 25.000 sampai 40.000 orang di

    Amerika Serikat dan sekitar 1 sampai 2 juta orang di seluruh dunia. TSK dapat terjadi pada

    semua kelompok ras dan suku, dan pada kedua jenis kelamin.1,2,5

    PATOFISIOLOGI

    TSK disebabkan oleh defek atau mutasi, pada dua gen yaitu TSC1 dan TSC2. Hanya

    satu dari gen yang harus terkena untuk bisa terjadi TSK. Gen TSC1, ditemukan pada tahun

    1997, yaitu gen pada kromosom 9 dan menghasilkan protein yang disebut hamartin. Gen

    TSC2, ditemukan pada tahun 1993, adalah gen pada kromosom 16 dan menghasilkan protein

    tuberin. Protein ini bekerja dalam kompleks sebagai penekan pertumbuhan dengan

    menghambat aktivasi kinase disebut mTOR. Hilangnya regulasi mTOR terjadi pada sel yang

    kekurangan baik hamartin atau tuberin, dan ini menyebabkan diferensiasi dan perkembangan

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    3/26

    3

    abnormal, dan pada pertumbuhan sel yang membesar, seperti terlihat pada lesi otak TSK.

    TSK diwariskan dalam pola autosomal dominan, meskipun dua pertiga kasus dihasilkan dari

    mutasi genetik spontan.2

    Gambar 1. Interaksi kompleks TSC1-TSC2 dengan jalur seluler multipel2

    GAMBARAN KLINIS

    Banyak pasien TSK menunjukkan bukti gangguan pada tahun pertama kehidupannya.

    Namun, gambaran klinis dapat samar pada awalnya, dan banyak tanda-tanda dan gejala

    membutuhkan beberapa tahun untuk berkembang. Akibatnya, TSC dapat tidak dikenali atau

    salah didiagnosis selama bertahun-tahun. TSK memiliki spektrum klinis yang luas, dan

    banyak pasien memiliki tanda dan gejala yang minimal tanpa defisit neurologis. Wanita

    dikatakan cenderung terdapat gejala yang lebih ringan dibandingkan laki-laki. Semua sistem

    organ dapat terkena pada TSK.1

    Gejala klinis yang paling sering muncul adalah kejang pada saat bayi atau awal masa

    kanak-kanak, dimana yang paling sering adalah spasme infantil.3Kejang parsial dan umum,

    atonik (drop attack), dan myoklonik sering pula ditemukan selama masa kanak-kanak.3

    Sebuah studi berbasis populasi memperkirakan sekitar 80% anak-anak dengan TSC

    menderita epilepsi.3Studi yang sama mengemukakan prevalensi retardasi mental adalah 44%

    dimana duapertiga kasus sangat berat dengan IQ

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    4/26

    4

    pasien tanpa riwayat kejang. Faktor risiko untuk retardasi mental meliputi onset kejang

    sebelum 12 bulan, kontrol epilepsi yang buruk, dan spasme infantil. Masalah perilaku juga

    sangat umum dijumpai pada penderita TCS, terutama autism, autistic spectrum disorder dan

    attention deficit hyperactivity disorder (ADHD).Gangguan tidur juga masalah yang sering

    muncul pada anak-anak.3

    Kulit. Seseorang dengan TSK 100% kulitnya akan terkena. Lesi kulit termasuk: makula

    hipomelanotik (87%-100%), angiofibroma fasial (47%-90%), shagreen patches (20%-80%),

    plak fibrosa fasial, dan fibroma ungual (17%-87%). Di antara kelainan kulit tersebut,

    angiofibroma fasial adalah yang terberat. Tak satupun lesi kulit tersebut menimbulkan

    masalah medis yang serius.7

    B.

    C.

    A.

    D. Gambar 2. A. makula hypomelanotic dan

    poliosis (dalam hal ini, daerah hipopigmentasi

    dan poliosis luar biasa besar; lebih khas pada

    makula hypomelanotic lesi kanan bawahnya); B.

    angiofibroma facial (adenoma sebasea); C.

    Ungual fibroma; D. Shagreen patch.7

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    5/26

    5

    Tabel 1. Manifestasi kulit TSK8

    Mata. Lesi retina pada TSK adalah hamartoma (elevated mulberry lesions atauplaque-like

    lesions) dan achromic patches (mirip dengan lesi kulit hipopigmentasi). Salah satu atau lebih

    kelainan ini dapat muncul pada lebih dari 75% individu yang terkena TSK. Meskipun lesi ini

    biasanya asimtomatik, hanya sedikit pasien dengan TSK terdapat hamartoma astrositik retinal

    yang membesar secara progresif dengan lepasnya retina total yang eksudatif dan glaukoma

    neovaskuler.8

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    6/26

    6

    Gambar 3. Retina hamartoma dan retina acromic patch

    Sistem saraf pusat. Tumor di SSP adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada

    TSK. Kelainan otak dapat berupa subependymal nodules (SEN), cortical tubers, and

    subependymal giant cell astrocytomas (SEGA), dapat dibedakan dengan studi neuroimajing.

    SEN terjadi pada 90% kasus dan tuber kortikal atau subkortikal pada 70% kasus. SEGA

    dapat membesar, menyebabkan tekanan dan obstruksi dan mengakibatkan morbiditas dan

    mortalitas yang signifikan.9,10

    Displasia kortikal adalah kelainan bawaan yang disebabkan, setidaknya sebagian,

    ketika sekelompok neuron gagal untuk bermigrasi ke daerah yang tepat dari otak selama

    perkembangan. Tuber kortikal diamati pada 90% pasien TSK dan temuan patologis pada

    gangguan tersebut tipe focal displasia kortikal. Migrasi radial grisea alba serebri timbul dari

    proses patologis yang sama seperti tuber kortikal dan bentuk lain dari displasia kortikal dan

    di TSK bukan hal yang biasa untuk menemukan kelainan migrasi tuber dan grisea alba

    secara bersama-sama. Kedua jenis displasia kortikal di TSK umumnya dikaitkan dengan

    epilepsi dan kesulitan belajar di TSK. Patologis dan klinis tumpang tindih antara "tuber

    kortikal" sebagai gambaran utama dan "garis migrasi radial grisea alba otak"sebagai

    gambaran minor di kriteria diagnostik tahun 1998 yang dirasakan tidak lagi mewakili prosesyang terpisah dan diganti dengan fitur utama tunggal dalam klasifikasi baru "Displasia

    kortikal." Namun, daerah tunggal fokal kortikal dysplasia atau bahkan dua dapat terdapat

    pada individu yang tidak memiliki TSK, dengan demikian, di kriteria diagnostik baru, daerah

    multiple kortikal fokal dysplasia dianggap hanya sebagai salah satu fitur utama dan

    tambahan gambaran klinis yang diperlukan untuk menegakkan diagnosa pasti TSK.9

    Nodul Subependymal (SEN) dan subependymal giant cell astrocytoma (SEGA)

    mewakili dua gambaran utama yang terpisah. Kedua lesi ini juga termasuk dalam Kriteria

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    7/26

    7

    Konferensi Konsensus tahun 1998 sebagai gambaran utama. Secara histologi, kedua lesi

    mirip dan keduanya relatif spesifik pada TSK. Nodul Subependymal adalah pertumbuhan

    jinak yang berkembang di sepanjang garis dinding lapisan ependymal dari ventrikel lateral

    dan ventrikel ketiga. Terdapat pada 80% dari pasien TSK dan sering terdeteksi sebelum lahir

    atau setelah lahir. Pada TSK insiden SEGA 5-15% dan juga dapat dideteksi prenatal atau saat

    lahir, meskipun lebih sering muncul selama masa kanak-kanak atau remaja dan bukan hal

    yang biasa untuk seseorang muncul setelah usia 20 tahun jika sebelumnya belum ada. Hal

    ini dapat diterima secara luas bahwa SEGA biasanya muncul dari SEN, terutama di dekat

    foramen Monro. Meskipun jinak dan biasanya tumbuh lambat, dapat menyebabkan masalah

    neurologis serius termasuk hidrosefalus obstruktif. SEN dan SEGA keduanya mengalami

    kalsifikasi dari waktu ke waktu. Walaupun karakteristik dari giant cell merupakan campuran

    dari turunan sel-sel glia, namun SEGA diklasifikasikan dalam astrositoma. Secara histologis

    jinak, meskipun lokasinya diventrikel 4 dan di level foramen Monro seringkali menyebabkan

    hidrosefalus.10

    Manifestasi neurologis utama tuberous sklerosis kompleks adalah kejang, autisme,

    keterlambatan perkembangan, termasuk keterbelakangan mental dan perilaku dan gangguan

    kejiwaan.10

    Gambar 4. Gambaran tuber kortikal dengan MRI

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    8/26

    8

    Gambar 6. Subependymal Giant Cell Astrocytoma

    Epilepsi

    Epilepsi adalah gejala yang paling umum pada TSK. Individu dengan TSK sekitar 80

    - 90% akan mengembangkan epilepsi selama hidup mereka, dengan onset biasanya dalam

    masa kanak-kanak.1,3Mayoritas anak-anak dengan TSK memiliki onset kejang selama tahun

    pertama kehidupan, dan sampai sepertiga dari anak-anak dengan TSK akan mengembangkan

    spasme infantil.1,4,6

    Epilepsi pada TSK diduga berkaitan dengan keberadaan tuber kortikal dan fiturneuropatologis lainnya, meskipun hubungan ini tidak dipahami dengan baik.1 Tuber kortikal

    terdiri dari neuron displastik dan sel raksasa, serta komponen glial, dan terdapat hipotesis

    bahwa aktivitas abnormal pada sel-sel menyebabkan epileptogenesis.1,7,8 Meskipun

    mekanisme molekuler epileptogenesis tidak diketahui, kelainan pada reseptor sub-unit

    glutamatergik dan asam -aminobutyric (GABA) telah diidentifikasi dalam sampel tuber

    kortikal, dan transportasi glutamatergik abnormal pada astrosit telah diamati pada model tikus

    TSK.

    1

    Beberapa studi telah menandai adanya aktivitas neurofisiologis tuber kortikal pada saatoperasi epilepsi, dengan beberapa penelitian yang menemukan tuber kortikal secara elektrik

    Gambar 5. Tuber subependimal

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    9/26

    9

    diam tetapi yang lain menemukan aktivitas epileptiform sering dikaitkan dengan tuber atau

    wilayah sekitar tuber-nya.1 Penelitian menunjukkan bahwa jumlah tuber kortikal, seperti

    yang diidentifikasi oleh MRI, lebih tinggi pada individu dengan TSK dengan penyakit

    berat.1,2

    Gangguan Perilaku dan Psikiatri

    Individu dengan TSK berada dalam risiko yang signifikan untuk terjadi gangguan

    neurodevelopmental dan behavioral. Gangguan behavioral dan psikiatrik yang sering terlihat

    adalah bagian dari gangguan spektrum autisme. Ehninger dan Silva (2011) melaporkan

    bahwa 20%-60% pasien dengan TSK terdapat gangguan spektrum autisme. Hiperaktivitas

    atau ADHD (Attention deficit hyperactivity disorder) dan agresi juga biasanya dijumpai padaindividu dengan TSK. Sistem otak bagian frontal disebutkan paling terganggu berkaitan

    neuropatologi TSK yang menimbulkan abnormalitas pada pengaturan dan perilaku

    berorientasi tujuan.2

    Zaroff et al. melaporkan bahwa bangkitan awitan dini dan peningkatan jumlah tuber

    adalah factor risiko untuk gangguan kognitif, dan penilaian behavioral secara dini dan

    intervensi terapetik, termasuk kendali bangkitan, akan meningkatkan keluaran

    neurobehavioral yang lebih baik.1

    Ginjal. Penyakit ginjal adalah penyebab kedua terbanyak terjadinya kematian dini (27.5%)

    pasien dengan TSK. Sekitar 80% anak dengan TSK terdapat gangguan ginjal yang dapat

    diidentifikasi pada rata-rata usia 10.5 tahun. Kelainan ginjal yang dapat terjadi pada TSK:

    angiomyolipoma benigna (70%); kista epithelial (20%-30%); oncocytoma (adenomatous

    hamartoma benigna) (

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    10/26

    10

    Jantung. Rhabdomyomas kardiak adalah tumor jinak jantung yang jarang diamati di individu

    non - TSC. Lesi ini biasanya tidak menyebabkan masalah medis yang serius, tetapi sangat

    spesifik untuk TSC dan sering manifestasi pertama yang tercatat pada penyakit ini, dan oleh

    karena itu tetap menjadi gambaran utama . Tumor yang paling sering terletak di ventrikel, di

    mana dapat membahayakan fungsi ventrikel dan akhirnya dapat mengganggu fungsi katup

    atau mengakibatkan obstruksi outflow. Rhabdomyoma kardiak terdapat pada 47%-67%

    individu dengan TSK. Tumor ini disebutkan dapat beregresi sejalan waktu dan bahkan

    menghilang.5

    Paru. Lymphangiomyomatosis (LAM) paru yang sering mengenai wanita diperkirakan

    terjadi sekitar 30% individu dengan TSK. Rata-rata usia didiagnosis LAM pada TSK adalah

    28 tahun dibandingkan LAM yang sporadic pada usia 35 tahun. LAM berkaitan TSK

    klinisnya lebih ringan dibandingkan LAM sporadik. Namun, pasien TSK dengan LAM yang

    terdapat kista paru, klinisnya lebih berat dibandingkan LAM sporadik.1

    DIAGNOSIS

    Gambar 7. AML renal

    Gambar 8. High-res CTmenunjukkan gambaran paru dari

    pasien TSK dengan LAM. Catatan

    beberapa ruang cyst-like pada kedua

    paru.

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    11/26

    11

    Diagnosis TSK didasarkan pada temuan klinis. Mutasi dapat diidentifikasi pada

    sekitar 85% dari individu yang memenuhi kriteria diagnostik untuk TSK. Di antara mereka

    yang mutasinya dapat diidentifikasi, mutasi pada TSC1 ditemukan sebanyak 31% dan TSC2

    69%. Pengujian genetik molekuler untuk kedua gen tersedia secara klinis.1

    Kriteria diagnostik untuk TSK telah direvisi (Roach dan Sparagana 2004). Dengan kriteria:

    Kenali individu dengan isolated lymphangioleiomyomatosis (LAM) yang juga

    bersamaan memiliki renal angiomyolipomabukanlah TSK.

    Telah mengeliminasi gambaran non spesifik (misal: spasme infantile dan mioklonik,

    bangkitan tonik atau atonik) dan dan telah membuat gambaran klinis tertentu lebih

    spesifik (misal: fibroma ungula atau periungual nontraumatik; tiga atau lebih macula

    hipomelanotik).

    Namun kini terdapat kriteria diagnostik terdepan untuk TSK secara temuan klinis dan

    radiologis.

    Tabel 2.Kriteria diagnostik untuk TSC (Rekomendasi dari the 2012 International Tuberous SclerosisComplex Consensus Conference)

    6

    A. Genetic diagnost ic criteriaThe identification of either a TSC1 or TSC2 pathogenic mutation in DNA from normal tissue is sufficient to make adefinite diagnosis of tuberous sclerosis complex (TSC). A pathogenic mutation is defined as a mutation that

    clearly inactivates the function of the TSC1 or TSC2 proteins (e.g.,out-of-frame indel or nonsense mutation),prevents protein synthesis (e.g., large genomic deletion), or is a missense mutation whose effect on proteinfunction has been established by functional assessment (www.lovd.nl/TSC1, www.lovd/TSC2, and Hoogeveen-Westerveld et al., 2012 and 2013). Other TSC1 or TSC2 variants whose effect on function is less certain do notmeet these criteria, and are not sufficient to make a definite diagnosis of TSC. Note that 10% to 25% of TSCpatients have no mutation identified by conventional genetic testing, and a normal result does not exclude TSC, orhave any effect on the use of clinical diagnostic criteria to diagnose TSC.

    B. Clinical diagnostic criteriaMajor features1. Hypomelanotic macules (>3, at least 5-mm diameter)2. Angiofibromas (>3) or fibrous cephalic plaque3. Ungual fibromas (>2)

    4. Shagreen patch5. Multiple retinal hamartomas6. Cortical dysplasias*7. Subependymal nodules8. Subependymal giant cell astrocytoma9. Cardiac rhabdomyoma10. Lymphangioleiomyomatosis (LAM)11. Angiomyolipomas (>2)Minor features1. Confetti skin lesions2. Dental enamel pits (>3)3. Intraoral fibromas (>2)4. Retinal achromic patch5. Multiple renal cysts6. Nonrenal hamartomas

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    12/26

    12

    Definite diagnosis: Two major features or one major feature with >2 minor featuresPossible diagnosis: Either one major feature or >2 minor features* Includes tubers and cerebral white matter radial migration lines.A combination of the two major clinical features (LAM and angiomyolipomas) without other features does notmeet criteria for a definite diagnosis.

    PENATALAKSANAAN

    Evaluasi Setelah Diagnosis Awal

    Untuk menentukan luasnya penyakit pada individu didiagnosis dengan TSK, evaluasi

    berikut direkomendasikan oleh Clinical Issues Panel di Konsensus Konferensi Tuberous

    Sclerosis pada bulan Juli 1998 (revisi Roach & Sparagana [2004]:

    Riwayat medis, terutama untuk tanda klinis TSK

    Riwayat keluarga, terutama untuk tanda klinis TSK

    Pemeriksaan fisik dengan penggunaan lampu Woods (sinar ultraviolet) di ruang yang

    gelap dan perhatian khusus untuk temuan dermatologi

    CT / MRI cranial

    Ultrasonografi ginjal

    Pemeriksaan Oftalmologis

    Elektrokardiografi dan ekokardiografi jika menunjukkan gejala jantung

    Electroencephalography Jika terdapat masalah kejang

    Evaluasi neurodevelopmental dan perilaku

    CT thoraks untuk wanita dewasa

    Konsultasi genetika medis

    Pengobatan bangkitan pada TSK mirip dengan epilepsi dari penyebab lain, dan obat

    antikonvulsan adalah pilihan utama pengobatan.2,3,6,10Adanya peningkatan penggunaan obat

    antikonvulsan baru, terutama pada populasi anak, sedang dikembangkan dalam pengobatan

    epilepsi karena TSK dan penyebab lainnya.1,6 Beberapa laporan menunjukkan kemanjuran

    obat antikonvulsan tertentu dalam pengobatan jenis bangkitan yang berhubungan dengan

    TSK. Topiramate, lamotrigin, oxcarbazepine, dan levetiracetam semuanya telah ditemukan

    efektif dan ditoleransi dengan baik pada populasi kecil dari individu dengan TSK dan

    epilepsi. Karena kecilnya ukuran studi, belum memungkinkan untuk diidentifikasi obat

    antikonvulsan tertentu sebagai "obat pilihan" pada bangkitan yang berhubungan dengan TSK

    selain spasme infantil.1,11

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    13/26

    13

    Kendali bangkitan yang dini dapat mencegah terjadinya ensefalopati epileptic dan

    mengurangi konsekuensi gangguan kognitif dan perilaku. Efikasi berbagai pengobatan untuk

    infantile spasme bervariasi antara individu. Review retrospektif terkini menemukan bahwa

    vigabatrin dapat mengendalikan spasme infantile pada 73% anak-anak dengan TSK.

    Bangkitan pada TSK dapat resisten terhadap politerapi dengan antikonvulsan. Salah satu

    mekanisme epilepsi refrakter pada TSK mungkin berhubungan dengan mekanisme seluler

    resistensi obat baik karena multidrug resistance transporterMDR1 dan multidrug resistance

    terkait protein 1 telah ditunjukkan diekspresikan dalam beberapa tuber kortikal.1 Pengobatan

    alternatif selain obat antikonvulsan harus dipertimbangkan pada pasien dengan TSK ketika

    kejang tidak dapat dikontrol secara efektif. Perawatan nonfarmakologis saat ini termasuk

    stimulator saraf vagus, diet ketogenik, dan bedah epilepsi resektif.11 Sejumlah studi kecil telah

    melaporkan hasil yang memuaskan dengan operasi epilepsi.1

    Surveilans aktif dengan neuroimaging serial dianjurkan bahkan pada pasien tanpa

    gejala, karena SEGA memiliki potensi untuk tumbuh seiring dengan berjalannya waktu.

    Reseksi bedah telah menjadi pilihan pengobatan standar untuk gejala SEGA. Morbiditas

    pascaoperasi bervariasi dan dapat terjadi pada ~ 50 % pasien. Komplikasi meliputi

    peningkatan prevalensi kejang, hidrosefalus, gangguan penglihatan, sakit kepala, stroke,

    hemiparesis, dan autism.

    Kekambuhan tumor selalu dijumpai apabila tidak dilakukan reseksi total. Dapat

    terjadi pertumbuhan tumor yang sangat besar, invasif secara lokal, atau lesi bilateral. Waktu

    intervensi bedah untuk SEGA masih kontroversial, beberapa ahli bedah menganjurkan

    operasi awal, sementara ahli lain menunggu lesi simptomatik atau pengembangan

    hidrosefalus, sehingga dapat memfasilitasi pendekatan transcortical terhadap lesi. Jika operasi

    yang dipilih, pembentukan bertahap koridor operasi menggunakan teknik dilatasi balon

    adalah contoh dari teknik minimal invasive. Pendekatan ini telah menghasilkan total reseksidengan resolusi ventrikel dilatasi dan disrupsi kortikal minimal. Rekomendasi klinis yang

    dibuat oleh sebuah diskusi panel para ahli Eropa yang bertemu di Roma, pada bulan Maret

    2012, mendukung operasi pada pasien bergejala dan pasien asimtomatik dengan pertumbuhan

    tumor yang terdokumentasi. Panel juga merekomendasikan everolimus (Afinitor , Novartis,

    East Hanover, NJ, USA) untuk pengobatan orang dewasa dan anak-anak > 3 tahun dengan

    SEGA terkait dengan TSK yang memerlukan intervensi terapeutik tetapi tidak setuju untuk

    operasi. Kontraindikasi operasi meliputi ketidakmampuan untuk mentolerir anestesi dankasus-kasus di mana risiko operasi lebih besar daripada manfaat (reseksi total tidak dapat

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    14/26

    14

    tercapai atau menimbulkan risiko yang signifikan untuk pasien). Prosedur Endoskopi

    berhubungan dengan morbiditas yang lebih rendah , tetapi mereka terbatas pada lesi dengan

    diameter < 2 cm. Gamma Knife radiosurgery stereotactic telah digunakan, namun perannya

    dalam mengobati SEGA belum jelas karena data efikasi dan keamanan yang belum cukup.

    Kemoterapi standard tidak dianjurkan, terkait fakta bahwa data terapeutik sedikit dan risiko

    jarak jauh dari kemoterapi, peningkatan malignansi sekunder.12

    Manajemen angiomyolipomas yang tepat ditentukan oleh ukuran dan gejala lesi.

    Hubungan antara ukuran angiomyolipoma (> 4 cm), ukuran aneurisma (> 5 mm), dan risiko

    perdarahan telah dicatat. Embolisasi lebih disukai dalam kasus perdarahan baru atau aktif,

    atau ketika dijumpai aneurismayang besar atau beberapa aneurisma. Embolisasi mungkin

    memerlukan beberapa prosedur dari waktu ke waktu dan berhubungan dengan pengurangan

    yang tidak terlalu signifikan dari ukuran tumor. komplikasi embolisasi termasuk kondisi yang

    disebut sindrom postembolisasi, yang ditandai dengan nyeri, demam, dan malaise yang

    dihasilkan akibat adanya jaringan nekrotik di retroperitoneum. Hal ini dapat dicegah dengan

    penggunaan steroid profilaksis.11

    Saat ini, pengobatan untuk lesi kulit seperti angiofibroma wajah termasuk dermabrasi,

    cryosurgery, kuretase, chemical peeling, electrodesiccation, eksisi, dan terapi laser. Namun,

    terapi ulangan seringkali dibutuhkan karena lesi dapat muncul kembali.

    Bronkodilator digunakan untuk membantu mengendalikan gejala pada pasien dengan

    obstruksi aliran udara reversible akibat LAM paru. Pendekatan pengobatan lainnya termasuk

    dukungan oksigen dan pengobatan dengan antagonis estrogen. Namun, pilihan pengobatan

    yang efektif untuk kondisi ini masih kurang.12

    Tabel 3. Penatalaksanaan umum SEGA, angiomyolipoma, lesi kulit dan LAM

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    15/26

    15

    Peran penting dari jalur mTOR dalam etiologi TSK dan kondisi terkait memberikan

    alasan yang kuat untuk penggunaan inhibisi mTOR sebagai terapi yang ditargetkan. Inhibitor

    dari jalur mTOR , seperti rapamycin, memiliki sifat imunosupresif dan tindakan. Mereka

    bertanggung jawab untuk normalisasi fungsi jalur ini dalam sel yang kekurangan TSK1 atau

    TSK2.

    Everolimus merupakan turunan rapamycin yang menghambat jalur mTOR dengan

    bertindak pada mTORC1. Everolimus mengikat FKBP-12, membentuk kompleks dengan

    penghambatan mTORC1, sehingga menghambat aktivitas kinase mTOR dan jalur di

    bawahnya. Everolimus mengurangi fosforilasi efektor hilir mTOR, seperti translasi represor

    eukariotik faktor elongasi protein 4E dan S6 protein ribosom kinase 1, yang terlibat dalam

    translasi protein.2,10

    Obat ini efektif dalam mengurangi volume tumor pada pasien dengan TSK, seperti

    angiomyolipoma ginjal, SEGA dan LAM sporadik.2

    Gambar 9. Target kerja Everolimus

    PROGNOSIS

    Prognosis untuk individu dengan TSK sangat bervariasi dan tergantung pada

    keparahan gejala. Orang-orang dengan gejala ringan biasanya baik dan memiliki harapan

    hidup normal, dengan memperhatikan permasalahan spesifik TSK. Individu yang terkena

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    16/26

    16

    dampak parah bisa menderita keterbelakangan mental yang berat dan epilepsi persisten.

    Semua individu dengan TSK beresiko untuk kondisi yang mengancam jiwa yang

    berhubungan dengan tumor otak, lesi ginjal, atau LAM (lymphangioleiomyomatosis).

    Pemantauan lebih lanjut oleh dokter berpengalaman dengan TSK adalah penting. Dengan

    perawatan medis yang tepat, sebagian besar individu dengan gangguan tersebut dapat

    berharap untuk harapan hidup normal.13

    GAMBARAN ELECTROENCEPHALOGRAM PADA TUBEROUS SKLEROSIS

    KOMPLEKS

    Electroencephalogram (EEG) harus dilakukan pada individu dengan TSK saat

    didapatkan adanya kejang. EEG secara berkala dilakukan sesuai dengan indikasi klinis.Beberapa individu dengan TSK memiliki keadaan yang koeksisten dengan sindrom epilepsi

    tertentu yang kita kenal seperti sindrom West (WS) (yaitu, pada spasme infantil) atau

    sindrom Lennox-Gastaut (LGS). Jika demikian, EEG long-term mungkin berguna untuk

    membantu:14

    Mendeteksi temuan EEG untuk sindrom spesifik

    Menangkapdan mengklasifikasikan setiap beberapa tipe kejang

    Mendidik orang tua mengenai kapan suatu peristiwa dinyatakan sebagai kejang dan kapan

    suatu peristiwa merupakan perilaku non-epilepsi

    Telah diketahui bahwa spasme tonik merupakan kejang tipe general, dan pada EEG

    iktalnya menunjukkan perubahan pola EEG secara general, seperti atenuasi general dengan

    atau tanpa superimposed aktivitas gelombang cepat, gelombang lambat general, dan sharp

    wave dengan gelombang lambat yang general, dan seterusnya. Pada kesempatan lainnya

    Gaily et al melaporkan adanya spikefokal, sharp wavesfokal, dan aktivitas cepat unilateral

    atau asinkron sebagai EEG iktal dari spasme tonik. Selain itu Gobbi et al juga melaporkan

    adanya spasme periodik yang mirip dengan spasme tonik pada WS namun juga ditemukan

    pada pasien dengan epilepsi terlokalisasi. Pola fokal sering ditemukan pada periode awal atau

    setelahnya, juga dapat ditemukan di kala pengawasan ketat terhadap terapi dengan ACTH

    sintetik atau VPA dosis tinggi. Temuan ini menyarankan bahwa pola iktal fokal muncul di

    bawah kondisi dimana terdapat interaksi yang kurang ketat dari kortikal dan subkortikal.14,15

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    17/26

    17

    Belakangan banyak perhatian dikerahkan pada mekanisme kortikal pasien WS karena

    pd pasien ini memiliki kejang baik yang partial maupun yang simultan. Selain itu, spasme

    infantiltelah disupresi oleh operasi pengangkatan dari lesi kortikal dimana dideteksi adanya

    hipometabolisme fokal oleh PET. Karena adanya hubungan antara mekanisme kortikal dan

    subkortikal pada WS, Dulac et al mengemukakan bahwa spasme tonik dan kejang parsial

    muncul dari dua lokasi penghasil kejang yang berbeda karena kejadian dari spasme tonik

    tidak dimodifikasi oleh kejang parsial sebagai kejang yang simultan. Sedangkan Gaily et al

    mengatakan bahwa regio epileptogenik kortikal yang melibatkan area sensorimotor primer

    dapat berfungsi sebagai penghasil primer untuk spasme infantil dikarenakan lesi patologik

    fokal pada area tersebut yang terdeteksi oleh MRI dan PET scan, dan spasme asimetris dan

    asinkron yang terjadi secara signogenik seiring ifikan berasosiasi dengan discharge

    kontralateral pada EEG iktal. Chugani et al menyatakan bahwa pada studi PET didapatkan

    spasme tonik yang disebabkan adanya discharge dari batang otak dan nukleus lentiformis

    bilateral, yang dipicu oleh discharge kortikal dari lesi kortikal. Pada kasus dimana spasme

    tonik diikuti atau diselingi dengan kejang parsial, kemungkinan yang terjadi adalah discharge

    yang terjadi dari batang otak memfasilitasi lesi kortikal epileptogenik dan pada akhirnya

    menimbulkan kejang parsial.

    Kejang parsial pada TSK dinyatakan memiliki karakteristik berikut:

    a. Beberapa pasien mengalami perubahan fokus epileptogenik seiring bertambahnya usia

    b. Beberapa tipe yang berbeda dari kejang parsial dapat berada pada periode yang sama

    pada satu individu

    c. Kejang parsial yang berbeda dapat terjadi beriringan pada kejadian di waktu

    bangkitan yang sama

    d. Jumlah dari fokus epileptogenik dapat meningkat selama perjalanan klinis.

    Walaupun masih belum jelas tuber yang mana yang menyebabkan epileptogenik,

    namun dilaporkan bahwa kortikal displasia secara intrinsik epileptogenik karena discharge

    epileptogenik seringkali terekam dari lesinya. Diketahui pula bahwa perubahan patologis

    pada TSK sesuai dengan lesi kortikal displasianya, sehingga semua kortikal tuber terdapat

    kemungkinan untuk menjadi epileptogenik. Diungkapkan bahwa besar ukuran dari tuber

    berkaitan dengan epileptogenisitas. Masih diteliti apakah banyaknya tuber kortikal

    merupakan marker terbaik untuk memprediksi outcome epilepsi dari pasien TSK.

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    18/26

    18

    Pada pasien dengan epilepsi parsial berat, reseksi awal pada lesi kortikal

    epileptogenik akan menghentikan perkembangan dari fokal epileptogenik sekunder.

    Keputusan untuk reseksi kortikal pada pasien TSK tetap harus diambil secara hati-hati karena

    tuber yang tersisa dapat menjadi epileptogenik beberapa tahun setelah operasi.15

    Epileptogenisitas luas yang tidak terbatas pada kelainan struktural yang terlihat pada

    MRI mungkin terkait dengan sulitnya menemukan wilayah yang layak operasi. Studi

    neuroimaging fungsional memberikan bukti bahwa epileptogenisitas tidak terbatas pada tuber

    kortikal tetapi juga dapat mempengaruhi area fungsional terkait (Perreson et al, 1998; Asano

    et al, 2000.). Rekaman EEG intrakranial mengungkapkan bahwa, khususnya, jaringan di

    sekitar dan di perbatasan tuber mungkin sangat epileptogenik (Otsubo et al., 2005).

    EEG-fMRI simultan adalah alat noninvasif untuk mengevaluasi jaringan

    epileptogenik di otak. Metode ini memungkinkan identifikasi daerah dengan perubahan

    sinyal Blood Oxigenation Level Dependent (BOLD) berkorelasi dengan interictal epileptic

    discharge(IED). Respon BOLD positif maupun respon BOLD negatif dapat menggambarkan

    zona iritasi (Gotman et al., 2006). Pada studi di Kanada, dievaluasi pertama kali untuk anak-

    anak dengan TSK menggunakan EEG-fMRI. Didapatkan hipotesis bahwa jaringan

    epileptogenik pada pasien dengan TSK lebih tersebar luas dibandingkan dengan keberadaan

    tuber yang digambarkan pada MRI, dan bahwa jaringan ini dapat diidentifikasi melalui

    respon BOLD pada saat IED.16

    Tabel 4. Pola EEG iktal yang berkaitan dengan spasme tonik

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    19/26

    19

    Gambar 10. EEG iktal yang menunjukkan fase awal dari spasme tonik asimetris serial pada anakperempuan berusia 5 tahun dengan WS. Sisi kanan yang dominan spasme diikuti dengan aktivitas

    gelombang fokal yang cepat di regio oksipital kiri.Pada pasien ini, kejang parsial yang berasal dari regiooksipital kiri terkadang didahului spasme serial, atau spasme tersebut diselingi dengan kejang parsial.15

    Tabel 5. Model tampilan pada kejang parsial

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    20/26

    20

    Gambar 11. A: Tipe A: Spikefokal pada regio oksipital kiri yang diikuti dengan spasme asimetrik(seperti gambar 10). B: Tipe B: Aktivitas fokal theta pada regio frontal kiri yang didahului dengan

    spasme simetris. Pasien ini anak wanita berusia 6 bulan dengan WS yang juga mengalami kejangparsial yang berasal dari regio posterior kanan dalam periode waktu yang sama.

    15

    Tabel 6. Ukuran tuber kortikal pada MRI

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    21/26

    21

    Gambar 12. Anak perempuan usia 3 th 4 bulan dengan epilepsi terkait lokasi. Kiri: Saat onsetkejang parsial, 6-7 siklus aktivitas theta terlihat pada regio frontosentral kiri. Anak itu tampak

    linglung, dan didapatkan spasme pada wajah kiri. Tengah: Dua puluh enam detik kemudian,tampak 5 siklus aktivitas theta pada regio frontal kiri. Ia menarik ekstremitas atas kanannya danmemutar tangan kanannya ke segala arah. Spasme yang dominan di kanan mulai muncul saat

    kejang parsial berikutnya. Kanan: Seratus dua puluh detik kemudian, spasme dominan kanankontinyu berseri setelah dua tipe dari kejang parsial menghilang.

    15

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    22/26

    22

    Gambar 13. Evolusi gambaran EEG pada anak perempuandengan spasme infantil di usia 3 bulandan yang meningkat juga dengan tipe kejang lainnya. A. Pada usia 20 bulan terdapat gelombangaktivitas perlambatan dengan amplitudo besar iregular dan multifokal, yang lebih sedikit pada obusfrontal (kalibrasi 180 v). B. Saat usia 2 tahun terdapat sejumlah komponen lambat yang iregularlebih nampak pada posterior, dan elemen sharp muncul fokal di regio temporooksipital kiri (kalibrasi

    100 v). C. Di usia 2,5 tahun terdapat lebih banyak lagi gelombang iregular yang lebih lambatdengan elemen sharp tidak teratur pada regio posterior temporal kiri (kalibrasi 180 v). D. Ssaat usia

    3 tahun semakin banyak aktivitas perlambata iregular pada area frontosentral kanan dantemporooksipital kiri (kalibrasi 100 v). Pada anak ini subnormalitas mental sudah nampakpadaonset usia awal, begitu juga tampaknya area hipopigmentasi pada ekstremitas dan badan.Tampak juga kalsifikasi intrasereblar multipel pada radiografi tengkorak saat usia 19 bulan.

    9

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    23/26

    23

    Gambar 14. Figur ini menunjukkan semua respon positif dan negatif BOLD dari seorang anak usia1 tahun. Fokus pada temporooksipital kiri tampak pada scannerEEG. Topografi dari spiketerlihatdengan peta voltase rata-rata dari spike (BESA software). Didapatkan respon positif BOLD padaoksipital bilateral yang berkorelasi dengan fokus EEG, namun bukan yang berasal dari tuber. Tigatuber yang berbeda merupakan bagian dari zona iritatif pasien ini, berada pada area yang agak jauhdari fokus EEG. Respon BOLD negatif yang kuat terdapat dari tuber frontal bilateral. Kejang yangdimulai dari lobus frontal kanan berkorelasi baik dengan respon BOLD negatif ini. Batas-batas darituber kortikal ditandai dengan warna hijau terang dan SEGA ditandai dengan warna ungu. Panah

    merah menandai respon positif dan negatif BOLD dengan t-valuetertinggi dari studi ini.16

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    24/26

    24

    Gambar 15. Figur ini menunjukkan semua respon positif dan negatif BOLD. T-value maksimaluntuk respon positif nampak pada tuber di parietal kanan dan nilai maksimum t-valueuntuk responnegatif BOLD pada tuber di oksipital kanan. Satu respon positif ditemukan di dalam SEGA.Totalnya, terdapat enam lesi yang berbeda yang terlibat dengan jaringan epileptogenik pada pasien

    ini. Respon BOLD dari tuber di lobus oksipital kanan, lobus parietal kanan, dan lobus frontal kananyang mengikuti dischargeinteriktal merupakan asal dari kejang pada pasien ini, dimana dimulai dari

    oksipital kanan, parietal kanan dan kemudian area frontal bilateral. Hasil ini dikonfirmasi oleh

    adanya IED multifokal dan onset kejang pada telemetri long-termpasien ini.16

  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    25/26

    25

    DAFTAR PUSTAKA

    1.

    Thiele EA. Managing Epilepsy in Tuberous Sclerosis Complex. J Child

    Neurology. 2004;19(9):680-686.

    2. Inoki K, Guan KL. Tuberous sclerosis complex, implication from a rare genetic

    disease to common cancer treatment. Human Molecular Genetics. 2009;18(1).

    3.

    Pagon RA, Bird TD, Dolan CR, et al. Tuberous Sclerosis Complex. Last Update:

    November 23, 2011. NCBI Bookshelf. A service of the National Library of Medicine,

    National Institutes of Health.

    4.

    Petrova LD. Tuberous sclerosis and epilepsy. Am J Electroneurodiagnostic Technol.2011 Mar;51(1):5-15.

    5. Curatolo P,D'Argenzio L,Cerminara C,Bombardieri R.Management of epilepsy in

    tuberous sclerosis complex. Expert Rev Neurother. 2008 Mar;8(3):457-67.

    6. Northrup H, Krueger DA. Tuberous Sclerosis Complex Diagnostic Criteria Update:

    Recommendations of the 2012 International Tuberous Sclerosis Complex Consensus

    Conference. Pediatric Neurology. 2012;49:243-54.

    7. Crino PB, Nathansan KL, Henske EP. The Tuberous Sclerosis Complex. N Engl J

    Med. 2006; 355: 1345-56.

    8. Yeung RS. Tuberous sclerosis as an underlying basis for infantile spasm. IntRev

    neurobiol2002;49:315-32.

    9.

    Pampiglione G, Moynahan EJ. The Tuberous Sclerosis Syndrome: Clinical and EEG

    Studies in 100 Children. Journal of Neurology, Neurosurgery, and Psychiatry.

    1976;39:666-73.

    10.

    Umeoka S, Koyama T, Miki Y, Akai M, Tsutsui K, Togashi K. Pictorial Review of

    Tuberous Sclerosis in Various Organs. Radiographic; 2008.

    11.Holmes GL, Stafstrom CE. Tuberous sclerosis complex and epilepsy: recent

    developments and future challenges. Epilepsia; 2007 Apr;48(4):617-30.

    12.

    Connolly MB,Hendson G,Steinbok P.Tuberous sclerosis complex: a review of the

    management of epilepsy with emphasis on surgical aspects. Chids Nerv Syst; 2006

    Aug;22(8):896-908.

    13.Muzykewicz DA,Costello DJ,Halpern EF,Thiele EA. Infantile spasms in tuberous

    sclerosis complex: prognostic utility of EEG. Epilepsia 2009 Feb;50(2):290-6.

    http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Curatolo%20P%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18345974http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=D%27Argenzio%20L%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18345974http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Cerminara%20C%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18345974http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Bombardieri%20R%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18345974http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Bombardieri%20R%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18345974http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Yeung%20RS%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=12040899http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Holmes%20GL%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=17386056http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Holmes%20GL%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=17386056http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Stafstrom%20CE%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=17386056http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Stafstrom%20CE%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=17386056http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Connolly%20MB%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=16770618http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Connolly%20MB%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=16770618http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Hendson%20G%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=16770618http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Steinbok%20P%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=16770618http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Steinbok%20P%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=16770618http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Muzykewicz%20DA%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18801034http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Muzykewicz%20DA%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18801034http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Costello%20DJ%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18801034http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Halpern%20EF%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18801034http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Thiele%20EA%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18801034http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Thiele%20EA%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18801034http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Thiele%20EA%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18801034http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Halpern%20EF%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18801034http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Costello%20DJ%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18801034http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Muzykewicz%20DA%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18801034http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Steinbok%20P%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=16770618http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Hendson%20G%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=16770618http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Connolly%20MB%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=16770618http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Stafstrom%20CE%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=17386056http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Holmes%20GL%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=17386056http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Yeung%20RS%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=12040899http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Bombardieri%20R%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18345974http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Cerminara%20C%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18345974http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=D%27Argenzio%20L%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18345974http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Curatolo%20P%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18345974
  • 5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks

    26/26

    26

    14.Roach ES, Whittemore VH. Diagnosis, Screening, and Clinical Care of Indiiduals

    with Tuberous Sclerosis Complex. Tuberous Sclerosis Alliance. 2011.

    15.

    Ohmori I, Ohtsuka Y, Ohno S, Oka E. Analysis of Ictal EEGs of Epilepsy Association

    with Tuberous Sclerosis. Department of Child Neurology, Okayama University

    Medical School. Japan 1998;39(12):1277-83.

    16.

    Jacobs J, Rohr A, Moeller F, Boor R, Kobayashi E, Meng PLV, et al. Evaluation of

    epileptogenic networks in children with tuberous sclerosis complex using EEG-fMRI.

    Neuropediatric Department, McGill University. Canada 2008;10:1111.