47
UNIVERSITAS INDONESIA PENATALAKSANAAN OKUPASI TERAPI PADA NY. DS USIA 61 TAHUN DENGAN KASUS TRIPLEGIA et causa MULTIPLE SCLEROSIS TIPE PROGRESIF DI UNIT RAWAT JALAN DI RSUPN DR. CIPTO MANGUNKUSUMO LAPORAN KASUS diajukan sebagai salah satu pemenuhan syarat praktek klinik II periode I oleh Restu Suwandari 1206281335 PROGRAM VOKASI

Makalah Individu Multiple Sklerosis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

multiple sclerosis

Citation preview

UNIVERSITAS INDONESIA

PENATALAKSANAAN OKUPASI TERAPI PADA NY. DS USIA 61 TAHUN DENGAN KASUS TRIPLEGIA

et causa MULTIPLE SCLEROSIS TIPE PROGRESIF DI UNIT RAWAT JALAN DI RSUPN DR. CIPTO

MANGUNKUSUMO

LAPORAN KASUS

diajukan sebagai salah satu pemenuhan syarat praktek klinik II periode I

oleh

Restu Suwandari 1206281335

PROGRAM VOKASIRUMPUN KESEHATAN

PROGRAM STUDI OKUPASI TERAPI

DepokOktober 2014

UNIVERSITAS INDONESIA

PROGRAM VOKASI

BIDANG STUDI KEDOKTERAN

PROGRAM STUDI OKUPASI TERAPI

LEMBAR PENGESAHAN

Telah diperiksa dengan seksama makalah :

“Penatalaksanaan Okupasi Terapi pada Ny. DS Usia 61 Tahun dengan

Kasus …. et causa Multiple Sclerosis di Unit Rawat Jalan RSUPN dr. Cipto

Mangunkusumo ”

Pada kegiatan Praktik Klinik II Mahasiswa Program Vokasi

Universitas Indonesia

Program Studi Okupasi Terapi yang diselenggarakan pada s.d yang bertempat di

RSUP dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), disetujui oleh instruktur dan

pembimbing mahasiswa.

Disusun Oleh:

Restu Suwandari 1206281335

Demikianlah makalah Praktik Klinik II disetujui oleh pembimbing dan instruktur :

Tanggal 29 Oktober 2014

Instruktur dan Pembimbing Mahasiswa RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo

M. Syarif H, AMd.OT

NIP.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat

dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan kasus ini.

Shalawat beserta salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada Nabi

Muhammad SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya, hingga kepada umatnya

hingga akhir zaman.

Adapun laporan kasus ini yang berjudul “….” dibuat untuk memenuhi

tugas praktek klinik II studi Okupasi Terapi, Rumpun Kesehatan, Program Vokasi

Universitas Indonesia.

Dalam penulisan Laporan Kasus ini, tidak lepas bantuan dan dorongan

dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Orangtua, kakak, adik dan keluarga, terimakasih untuk doa dan kasih sayang

yang selalu mengiringi setiap langkah penulis, serta dukungannya baik secara

moril maupun materil.

2. Bapak M. Syarif H, AMd.OT., Ibu Endah ,AMd. OT, S.Pd, Ibu Inovasi

Nadhiroh, AMd.OT, Ibu Yuni AMd.OT, selaku pembimbing lahan praktek

klinik II di Rumah Sakit Umum Pusat dr. Cipto Mangunkusumo yang selalu

membimbing, mengarahkan dan mendidik. Terimakasih telah memberikan

ilmu, masukan, pencerahan dan dukungannya sehingga proses pembuatan

Laporan ini dapat berjalan dengan baik dan dapat terselesaikan.

3. Segenap Dosen dan Instruktur Lapangan Praktek Klinik Okupasi Terapi

(Bapak dr. Tri Gunadi Amd.OT, S.Psi, Bapak Hermito Gideon, Amd.OT ,

Bapak Mahrus As’ari, Amd. OT, Ibu Ririn Chairul J, Amd.OT , Bapak Nasron

Azizan, Amd.OT, serta seluruh dokter dan dosen yang tidak bisa disebutkan

satu per satu) yang telah memberikan ilmu yang begitu besar dan

bimbingannya kepada penulis.

4. Ny.DS dan keluarga, selaku pasien, terimakasih atas kesediaannya dan sikap

kooperatifnya yang sangat membantu dalam pemberian informasi dan

keterangan.

5. Teman-teman kelompok Praktek Klinik II, Putri Dirgantara dan Nurwulan

Salamah. Terima Kasih untuk kerjasama dan dukungan yang begitu besar

selama satu bulan Praktek Klinik di RSUP Persahabatan.

6. Teman-teman Okupasi Terapi UI angkatan 2012, terimakasih atas segala

kerjasamanya, dukungan dan kebersamaannya.

7. Staff dan karyawan-karyawan kampus, terimakasih telah banyak membantu

mengenai segala teknis pendidikan.

8. Orang-orang yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih untuk

segala doa, bantuan dan dukungannya.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini jauh dari sempurna, kepada para

pembaca agar memberi kritik dan saran untuk menyempurnakan laporan ini.

Akhir kata, semoga laporan ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu serta

wawasan pembaca.

Depok, Oktober 2014

Penulis

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Definisi ......................................................................................

B. Prevalensi ...................................................................................

C. Etiologi ......................................................................................

D. Patofisiologi ………………………………………………...…

E. Gejala ..........................................................................................

F. Prognosis ……………………………………………….………

G. Kerangka Acuan

G.1 Pendekatan Biomekanik......................................................

G.2 Prinsip –prinsip Biomekanik...............................................

G.3 Evaluasi …………………………………………………..

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengumpulan Data ....................................................................

B. Kesimpulan Problematik Okupasional.......................................

C. Prioritas Masalah .......................................................................

D. Program Terapi ..........................................................................

E. Intervensi OT .............................................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................

B. Saran ...........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................

LAMPIRAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Definisi

A.1. Okupasi Terapi

Definisi Okupasi Terapi (OT) menurut Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2013 adalah bentuk

pelayanan kesehatan kepada pasien/klien dengan kelainan/kecacatan fisik

dan/atau mental yang mempunyai gangguan pada kinerja okupasional,

dengan menggunakan aktivitas bermakna (okupasi) untuk

mengoptimalkan kemandirian individu pada area aktivitas kehidupan

sehari-hari, produktivitas, dan pemanfaatan waktu luang (Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2013 tentang

Penyelenggaraan Pekerjaan dan Praktik Okupasi Terapis).

Definisi Okupasi Terapi (OT) merupakan ilmu kesehatan berbasis

client centered yang berfokus pada promosi kesehatan dan kesejahteraan

melalui okupasi yang mempunyai tujuan utama untuk memungkinkan

seseorang berpartisipasi dalam aktivitas keseharian yang dicapai melalui

kerjasama dengan orang lain dan masyarakat untuk meningkatkan

kemampuan keikutsertaan okupasi yang diinginkan, dibutuhkan, atau

diharapkan untuk dilakukan, atau melalui modifikasi okupasi maupun

lingkungan yang lebih baik untuk mendukung mereka dalam

keikutsertaan okupasional (World Federation of Occupational Therapist,

2012).

A.3. Multiple sclerosis

Multiple sclerosis adalah suatu penyakit system syaraf pusat (otak

dan jaringan syaraf sumsum tulang belakang) akibat kerusakan myelin.

Myelin adalah materi yang melindungi syaraf, berfungsi seperti lapisan

pelindung pada kabel listrik dan memudahkan syaraf untuk mengirim

impulsnya dengan cepat. Kecepatan dan efisiensi pengiriman impuls inilah

yang memungkinkan sebuah gerakan tubuh yang halus, cepat, dan

terkoordinasi dilakukan hanya dengan sedikit upaya (

http://indonesiamultiplesclerosis.wordpress.com/2012/06/01/semua-

tentang-ms/. Cited on October 27th 10.03 pm).

B. Prevalensi

Prevalensi Multiple Sclerosis di Amerika Serikat berkisar antara 6–

177 per 100.000 orang. Sedangkan di negara-negara Asia dan Afrika

penyakit ini relatif jarang didapatkan. Multiple Sclerosis lebih sering

didapatkan pada perempuan dibandingkan laki-laki (2:1). Penyakit ini

relatif jarang terjadi pada anak-anak dengan usia kurang dari 10 tahun dan

paling sering didapatkan pada usia dewasa muda (25–40 tahun). Pada

mata, Multiple Sclerosis paling sering memberikan gejala neuritis optik

dimana insiden terjadinya mencapai 90%. 3,4,5

Penyakit ini lebih sering ditemukan pada area dengan suhu sedang

dibandingkan daerah iklim tropis. Penyakit ini lebih sering terjadi pada

perempuan daripada laki-laki (1,5:1). Penyakit dapat terjadi pada segala

usia, walaupun onset pertama jarang terjadi pada anak-anak dan orang

usia lanjut. Biasanya usia munculnya gejala antara 20-40 tahun. 6

C. Etiologi

Etiologi penyakit ini diantaranya infeksi virus, bakteri, kelainan

oligodendroglia, diet, genetika, dan lain-lain. Untuk mendiagnosa

penyakit ini masih sulit, diperlukan pengalaman-pengalaman fase awal

penyakit. Pemeriksaan laboratorium akan membantu menunjang

diagnosa. Penyebab MS adalah suatu autoimmun yang menyerang myelin

dan myelin forming sel pada otak dan medula spinalis, akan tetapi pada

MS sebenarnya bukan suatu autoimmun murni oleh karena tidak adanya

antigen respon immun yang abnormal.

Kausa MS terdiri dari:

1. Virus : infeksi retrovirus akan menyebabkan kerusakan

oligodendroglia.

2. Bakteri : reaksi silang sebagai respon perangsangan heat shock

protein sehingga menyebabkan pelepasan sitokin.

3. Defek pada oligodendroglia.

4. Lapisan merujuk pada destruksi myelin, lemak dan material protein

yang menutupi lapisan saraf tertentu dalam otak dan medulla

spinalis dimana Lapisan ini mengakibatkan gangguan transmisi

impuls saraf.

5. Perubahan inflamasi mengakibatkan jaringan parut (scar) yang

berefek terhadap lapisan saraf.

6. Diet : berhubungan dengan komposisi membran, fungsi makrofag,

sintesa prostaglandin.

7. Genetika : penurunan kontrol respon immune.

8. Mekanisme lain : toksin, endokrin, stress.

9. Penyebab tidak diketahui tetapi kemungkinan karena factor

predisposisi yang berhubungan dengan disfungsi autoimun,

kelainan genetik atau proses infeksi oleh virus

Multiple Sclerosis yang pasti sampai saat ini masih belum jelas

penyebabnya. Kemungkinan pemicu serangan Multiple Sclerosis

berhubungan dengan faktor imun, infeksi, trauma, stress, kelelahan,

peningkatan suhu tubuh, reaksi abnormal dari obat atau vaksinasi, dan

factor-faktor herediter. (Lanning B, et al. Basic and Clinical Course,

Section 5: Neuro Ophthalmology; American Academy of

Ophthalmology, San Fransisco. 2010).

D. Patofisiologi

Multiple sclerosis adalah suatu peradangan yang terjadi di otak dan

sumsum tulang belakang yang menyerang daerah substansia alba dan

merupakan penyebab utama kecacatan pada dewasa muda. Penyebabnya

dapat disebabkan oleh banyak faktor, terutama proses autoimun. Focal

lymphocytic infiltration atau sel T bermigrasi keluar dari lymph node ke

dalam sirkulasi menembus sawar darah otak (blood brain barrier) secara

terus-menerus menuju lokasi dan melakukan penyerangan pada antigen

myelin pada sistem saraf pusat seperti yang umum terjadi pada setiap

infeksi. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya inflamasi, kerusakan pada

myelin (demielinisasi), neuroaxonal injury, astrogliosis, dan proses

degenerative. Pada MS, kerusakan myelin menyebabkan gangguan

kemampuan serabut syaraf untuk menghantarkan pesan ke dan dari otak.

Lokasi terjadinya kerusakan myelin (plak atau lesi) tampak seperti area

(parut/luka) yang mengeras: pada MS, parut/ luka ini tampak pada otak

dan tulang belakang

(http://indonesiamultiplesclerosis.wordpress.com/2012/06/01/semua-

tentang-ms/. Cited on October 27th 10.06 pm )

Gambar 1. Multiple sclerosis pathway

Substansi lemak yang dikenal sebagai mielin (mengelilingi dan

membungkus serat saraf dan sebagai fasilitator konduksi dari transmisi

impuls saraf) mengalami kerusakan secara intermiten (demielinisasi).

Demielinisasi menyebabkan ‘scar’ dan mengerasnya (sclerotik=skleros

(Mesir) dari serat saraf pada otak, medulla spinalis, batang otak, dan

nervus optikus, yang menyebabkan hantaran impuls saraf menjadi lambat

dan akibatnya terjadi kelemahan, gangguan sensorik, nyeri dan gangguan

penglihatan.

Akibat demielinisasi neuron menjadi kurang efisien dalam

potensial aksi. (?) Transmisi impuls yang disampaikan oleh neuron yang

terdemyelinisasi akan menjadi buruk. Akibat 'kebocoran' impuls tersebut,

terjadi kelemahan dan kesulitan dalam mengendalikan otot atau kegiatan

sensorik tertentu di berbagai bagian tubuh.

Gambar 2. Demielinasi neuron

Gambar 3. Daerah substansia alba yang mengalami degenerasi

myeln

Gambar 4. Perjalanan penyakit

e.g : proses auto immune merusak myelin demyelinasi

kerusakan pada myelin scar/ parut / sclerosis impuls syaraf buruk

E. Gejala

MS merupakan penyakit demyelinating yang mengenai serebelum,

saraf optikus dan medula spinalis (terutama mengenai traktus

kortikospinalis dan kolumna posterior), secara patologi memberi

gambaran plak multipel di susunan saraf pusat khususnya periventrikuler

subtansia alba (merupakan akson yang bermielin dan oligodendrosit yang

memproduksi myelin).

Variasi gambaran klinis ini menggambarkan banyaknya atau

luasnya daerah system saraf yang rusak (multiple sclerosis plak). Secara

umum seorang dokter mencurigai suatu kasus multiple sclerosis bila

ditemukan gejala :

Pasien mendapat 2 serangan dari gangguan neurologi (tiap serangan

lebih dari 24 jam dan berlangsung lebih dari 1 bulan), atau

Perkembangan gejala yang progresif secara perlahan selama periode

paling sedikit 6 bulan.

Gejala atau simptom yang timbul pada MS dapat berupa:

1. Gangguan penglihatan

Sebagian besar pasien menderita gangguan penglihatan sebagai

gejala-gejala awal. Dapat terjadi kekaburan penglihatan, lapang pandang

yang abnormal dengan bintik buta (skotoma) baik pada satu maupun

pada kedua mata. Salah satu mata mungkin mengalami kebutaan total

selama beberapa jam sampai beberapa hari. Gangguan-gangguan visual

ini mungkin diakibatkan oleh neuritis saraf optikus. Selain itu, juga

ditemukan diplopia akibat lesi pada batang otak yang menyerang nukleus

atau serabut-serabut traktus dari otot-otot ekstraokular dan nistagmus.

Gangguan N Optikus (Neuritis optika) : terutama pada pasien

muda (Reder, 1997) sebanyak 31%, gejala berupa, penurunan ketajaman

penglihatan, skotoma sentral, gangguan persepsi warna, nyeri pada

belakang bola mata, visus akan membaik setelah 2 minggu onset neuritis

optika kemudian sembuh dalam beberapa bulan. Penambahan suhu tubuh

akan memperbesar gejala (Uht holff).

Neuritis optic (retrobulbar) merupakan gangguan visual khas

yang merupakan tada onset MS. Patologi dasarnya adalah demielinasi

inflamasi pada satu atau (jarang) kedua nervus optic

Gangguan visual lainnya saat onset MS meliputi diplopia, yang

sering disertai vertigo dan mual, sehingga merupakan indikasi untuk plak

batang otak. Pemeriksaan pada keadaan ini dapat menunjukkan

oftalmoplegia internuklear. Dapat juga terjadi ataksia cerebellar. 6

2. Gangguan sensorik

Gangguan sensorik merupakan gejala awal yang paling sering

ditemukan pada multiple sclerosis (21-55%) dan berkembang/timbul

hampir pada semua pasien multiple sclerosis. Hipestesi (baal), parestesi

(kesemutan), disestesi (rasa terbakar) dan hiperestesi adalah gejala yang

tersering. Gangguan ini dapat timbul disemua daerah distribusi, satu atau

lebih dari satu anggota gerak,,wajah atau badan (trunkal).Pasien sering

datang dengan keluhan rasa baal atau kesemutan dimulai pada satu kaki

yang merambat keatas (ascending) pada satu sisi kemudian kesisi yang

lain (kontra sisi).

Gangguan sensorik dapat naik keatas dengan suatu level sensorik

dan biasanya diikuti dengan gangguan keseimbangan, kelemahan,

gangguan BAK, konstipasi dan munculnya tanda Lhermitte’s bila kepala

difleksikan secara pasif, timbul parestesi sepanjang bahu, punggung dan

lengan. Hal ini mungkin disebabkan akson yang mengalami

demyelinisasi sensitivitasnya meningkat terhadap tekanan ke spinal yang

diakibatkan fleksi kepala.

Gangguan sensoris : baal, kesemutan, perasaan seperti diikat,

ditusuk jarum, dingin pada tungkai dan tangan, pada pemeriksaan fisik

dengan test lhermitte biasa + (30%) hal ini akibat adanya plek pada

kolumna servikal posterior yang kemudian meiritasi dan menekan

medula spinalis.

3. Gangguan kognitif

Masalah kognitif seperti kesulitan berkonsentrasi, gangguan

memori, dan gangguan mental terdapat pada 40-70 % pasien multiple

sclerosis. Banyak penderita multiple sclerosis meninggalkan

pekerjaannya akibat masalah diatas. Pada ± 10% kasus, disfungsi mental

berat dan demensia dapat tejadi. Gangguan ini mungkin berhubungan

dengan depresi yang dilaporkan ditemukan pada 25-50% kasus multiple

sclerosis.

Ada beberapa penelitian yang mengatakan bahwa depresi pada

multiple sclerosis bukan karena masalah psikologi,umur atau lamanya

menderita penyakit tetapi dipengaruhi oleh jumlah lesi yang ditemukan

pada gambaran MRI (Swirsky-Sacchetti T et al 1992). Atrofi otak,

pembesaran ventrikel dan menipisnya korpus kalosum juga penyebab

gejala gangguan kognitif diatas.

Fungsi luhur umunya masih dalam batas normal, akan tetapi pada

pemeriksaan neuropsikologi didapatkan perlambatan fungsi kognisi

sampai sedang atau kesulitan menemukan kata (Rao, 1991).

4. Gangguan Gerakan Bola Mata

Gangguan gerakan bola mata sering terjadi pada pasien MS

biasanya berhubungan dengan gangguan saraf penggerak bola mata,

Nervus cranial VI,III dan jarang pada nervus VI. Nistagmus adalah gejala

yang paling sering muncul (Dell’Osso, Daroff, Troost, 1990) berupa

“jelly like nystagmus” berupa gerakan cepat dengan amplitudo kecil.

Internuklear ophtalmoplegia (INO) juga sering ditemukan, dan bila

ditemukan bilateral biasanya didapatkan juga adanya nistagmus vertical

dan upward gaze.

5. Gangguan Motorik

Gejala awal motorik ditemukan pada 32-41% kasus multiple

sclerosis dan lebih dari 60% kasus multiple sclerosis mempunyai gejala

motorik. Gangguan motorik terjadi akibat terlibatnya traktus piramidalis

yang menyebabkan kelemahan, spastisitas, gangguan gerakan tangkas,

dan hiperrefleks. Gangguan ini dapat timbul akut atau kronik progresif

dengan kelemahan satu atau lebih anggota gerak, kelemahan otot wajah,

kekakuan tungkai yang dapat menyebabkan gangguan dalam berjalan dan

keseimbangan atau terjadi suatu spastisitas. Latihan atau panas biasanya

menyebabkan gejala memburuk.

Hemiparesis yang diakibatkan lesi kortikospinal dapat terjadi pada

multiple sclerosis meski frekuensinya lebih kecil. Demikian juga lesi di

medula spinalis dapat menyebabkan sindroma Brown-Sequard atau

mielitis transversa yang mengakibatkan paraplegi (umumnya tidak

simetris), level sensorik dan gangguan miksi-defekasi. Refleks patologis

dan/atau hiperrefleksia bilateral dengan atau tanpa kelemahan motorik

merupakan manifestasi yang lebih sering dan merupakan tanda lesi

kortikospinal bilateral. Yang khas, meskipun kelemahan hanya pada satu

sisi, refleks patologis selalu bilateral. Spastisitas dapat menyebabkan

gejala kram otot pada pasien multiple sclerosis. Kelelahan atau fatigue

merupakan gejala non spesifik pada multiple sclerosis dan terjadi pada

hampir 90% pasien multiple sclerosis. Kelelahan dapat merupakan

kelelahan fisik pada waktu exercise berlebihan ataupun pada temperatur

panas maupun kelelahan/kelambatan mental.

6. Gangguan Cerebelum

Gangguan cerebellum menimbulkan gangguan keseimbangan,

gangguan koordinasi dan “slurred speech”. Bisa juga terjadi tremor

intensi pada anggota gerak kepala. Berjalan terganggu karena adanya

ataksia trunkus. Nistagmus, gerakan saccadic, dismetria okuli, scanning

speech dapat terjadi. Gejala cerebellum biasanya bercampur dengan

gejala traktus piramidalis. 50% kasus memberi gejala intension tremor,

ataksia, titubasi kepala, disestesia, dan dikenal sebagai trias dari

Charcott: nistagmus, gangguan bicara, intension tremor.

7. Gangguan Batang Otak.

Lesi pada batang otak akan mengganggu saraf intra aksonal,

nukleus, internuklear, otonom dan motorik, sensorik sepanjang traktus-

traktus.

Lesi N III-IV menyebabkan diplopia, parese otot rektus medial

Yang menyebabkan internuklear ophtalmoplegi (INO)

Patognomonis untuk MS

Lesi N VII menyebabkan Bell’s palsy

Lesi N VIII menyebabkan vertigo (sering), hearing loss (jarang)

8. Gangguan Berkemih, BAB dan disfungsi seksual

Gangguan berkemih merupakan salah satu gejala multiple sclerosis

yang sering ditemukan. Pada saat awal terjadi “urgency dan frekuensi”

kemudian terjadi inkontinensia urin. Konstipasi lebih sering ditemukan

(39-53%) dibandingkan inkontinensia alvi. Hal diatas merupakan

masalah yang serius bagi penderita multiple sclerosis karena dapat

menyebabkan infeksi pada saluran kemih.

Gangguan seksual terjadi pada lebih dari 70% pasien multiple

sclerosis. Disfungsi seksual merupakan gabungan dari berbagai masalah

yang timbul baik masalah motorik dan sensorik maupun masalah

psikologis penderita.

Gangguan Bladder : pada 2/3 kasus MS akan mengalami gangguan

hiperreflek blader oleh karena gangguan spincter, pada fase awal areflek

dan 1/3 hiporelek dengan gejala impoten.

9. Manifestasi lainnya

Nyeri jarang terjadi pada multiple sclerosis, walaupun beberapa

pasien dapat mengalami neuralgia trigeminal tipikal akibat plak di batang

otang dan pada kasus lain dapat terjadi nyeri ekstremitas. Terdapat

peningkatan insidensi epilepsi pada pasien multiple sclerosis.

Multiple sclerosis diklasifikasikan menjadi 2 kategori mayor, Klasifikasi

ini digunakan dalam memperkirakan prognosis pasien dan sebagai

pedoman dalam pemberian terapi :

1. Relaps Remisi (Relapsing remitting)

Jenis ini dapat terjadi beberapa kali kekambuhan yang tidak terduga.

Serangan berlangsung dalam waktu bervariasi. Dapat pulih parsial atau

total.

2. Progresifitas Kronis (Chronic Progressive) multiple sclerosis yang

terbagi menjadi :

Progresifitas primer (Primary progressive)

Progresifitas Sekunder (Secondary Progressive)

Relaps Progresif (Progressive Relapsing)

3. Multiple sclerosis benigna (Benign multiple sclerosis)

Penderita multiple sclerosis lama tetapi tanpa atau dengan sedikit

gangguan neurology. Satu atau dua kali serangan kemudian pulih total.

4. Multiple sclerosis malignan (Malignant multiple sclerosis)

Penderita multiple sclerosis yang sering kambuh dan tidak pernah pulih

sempurna.

Walaupun setiap individu mengalami kombinasi kondisi gejala MS yang berbeda, tetapi kita

dapat mengklasifikasikan MS menjadi beberapa tipe/jenis:

Relapsing-Remitting MS (MS Hilang-Timbul/Kambuhan)

Pada MS jenis ini, terjadi beberapa kali kekambuhan (serangan) yang tidak terduga. Serangan

ini berlangsung dalam waktu yang bervariasi (dalam hitungan hari atau bulan) dan dapat pulih

secara parsial atau total. Jenis ini dapat bersifat ‘tidak aktif’ selama berbulan-bulan atau

bertahun-tahun.

Frekuensi – kurang lebih 25%

Benign MS (MS Jinak)

Setelah satu atau dua kali serangan dan kemudian pulih total, MS jenis ini tidak mengalami

perburukan dan tidak timbul kecacatan permanen. MS jinak hanya dapat diidentifikasi ketika

adanya  ringan yang timbul pada masa 10 – 15 tahun setelah serangan dan pada awalnya dapat

dikategorikan sebagai MS hilang-timbul. MS jinak cenderung berhubungan  dengan gejala-

gejala yang tidak parah ketika terjadinya serangan (contohnya pada sistem sensorik).

Frekuensi – kurang lebih 20%

Secondary Progressive MS (MS Progresif Sekunder)

Bagi beberapa orang yang pada awalnya mengalami MS hilang – timbul, dalam perjalanan

penyakitnya ada bentuk perkembangan lebih lanjut yang mengarah pada ketidakmampuan

yang bersifat progresif, dan seringkali disertai kekambuhan terus menerus.

Frekuensi – kurang lebih 40%

Primary Progressive MS (MS Progresif Primer)

MS jenis ini ditandai dengan tidak adanya serangan yang parah, tetapi ada serangan-serangan

kecil dengan gejala-gejala yang  terus memburuk secara nyata. Terjadi satu akumulasi

perburukan dan ketidakmampuan yang dapat membawa penderita pada tingkat/titik yang

semakin rendah atau terus berlanjut hingga berbulan-bulan atau bertahun-tahun.

Frekuensi – kurang lebih 15%

F. Prognosis

Prognosis untuk seseorang dengan multiple sclerosis tergantung pada

subtipe penyakit; jenis kelamin individu, ras, umur, gejala awal, dan derajat

kerusakan. Secara umum sangatlah sulit untuk meramalkan prognosis multiple

sclerosis. Setiap individu memiliki variasi kelainan, tetapi sebagian besar pasien

dengan multiple sclerosis bisa mengharapkan 95% harapan hidup normal.

Beberapa penelitian telah menunjukankan pasien yang mempunyai sedikit

serangan di tahun pertama setelah diagnosis, interval yang lama antar serangan,

pemulihan sempurna dari serangan, dan serangan yang berhubungan dengan

saraf sensoris (misalnya., baal atau perasaan geli) cenderung untuk memiliki

prognosis yang lebih baik. Pasien yang sejak awal memiliki gejala tremor,

kesukaran dalam berjalan, atau yang mempunyai serangan sering dengan

pemulihan yang tidak sempurna, atau lebih banyak lesi yang terlihat oleh MRI

scan sejak dini, cenderung untuk mempunyai suatu tingkat penyakit yang lebih

progresif. ( )

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengumpulan Data

A.1. Data Identitas Pasien

Nama : Ny. DS

Umur : 61 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Kristen

Alamat/telepon : Tebet

Pekerjaan : IRT

Hobi : Nonton TV

No.Registrasi : 35680682

Diagnosis : Multiple Sclerosis

Kiriman dokter : dr.

Alasan rujukan : Latihan ADL dan Handskill

Tanggal pemeriksaan: 7 Oktober 2014

Nama OT : Mahasiswi Restu Suwandari

Bagian / ruangan : IRM / Okupasi Terapi RSCM

A.2. Pengumpulan Data Riwayat Penyakit

(Bagan riwayat perjalanan penyakit)

Ny. DS,usia 61 th datang ke ruangan Okupasi Terapi

dengan diagnose Multiple Sclerosis. Pasien mengeluh mengalami

kelemahan pada anggota gerak atas dan bawah, kanan dan kiri.

Menurut pasien, pada bulan Februari 2014 pasien mengalami nyeri

kaki kiri seperti kebas, ada baal, dan lemas. Pasien dirawat di RS

Cikini, keluhan sempat membaik. 9 Maret 2012 pasien mengeluh

nyeri tungkai kaki kiri dan kanan, kelemahan tungkai kiri, lengan

kiri dan kaki. Mulai dari perut sampai kaki tidak berasa. Pasien

sering mengompol. BAK terasa namun sulit menahan. Pasien

dirawat di RSCM dan di diagnose multiple sclerosis. Saat ini ADL

parsial dependen, mobilisasi menggunakan wheelchair. Pasien saat

ini menjadi ibu rumah tangga, dan suami bekerja sebagai PNS di

Kemenkes dan mempunyai dua orang anak. Biaya pengobatan

ditanggung oleh Askes. Harapan pasien adalah ingin mampu

melakukan aktifitas sehari – hari secara mandiri seperti mandi dan

berpakaian.

A.3. Pemeriksaan

Penampilan umum : Pasien datang ke unit okupasi terapi dengan

penampilan bersih dan rapi menggunakan kursi roda.

TD : 98/69 mmHg (sebelum terapi)

Nadi : 76 x/menit (sebelum terapi)

TD : 108/69 mmHg (sesudah terapi) 23 Oktober

2014

Nadi : 80 x/menit (sesudah terapi)

Komponen Aset Limitasi

Sensorik Kesadaran sensori : pasien

mampu interpretasi

stimulus sensori.

Proprioceptive: pasien

mampu

menginterpretasikan respon

sensory proprioseptif.

Visual : pasien mampu

mengenali apa yang dia

lihat.

Auditori : pasien mampu

mengenali berbagai

rangsangan pendengaran.

Gustatory : pasien mampu

mengenali berbagai

rangsang pengecapan.

Olfactory : pasien mampu

mengenali berbagai

rangsang pembauan.

Taktil : pasien mengalami

gangguan sensori tactile.

Vestibular : pasien belum

mampu balance

Persepsi Kinestesia : pasien mampu

identifikasi arah gerakan

sisi sakit.

Body scheme: pasien

mampu identifikasi struktur

tubuh.

Diskriminasi kanan-kiri:

pasien mampu

membedakan kanan dan

kiri.

Konstansi bentuk: pasien

mampu paham bentuk.

Position in space: pasien

mampu mengetahui posisi

di dalam ruangan.

Visual Closure: pasien

mampu identifikasi objek

sebagian.

Figure-ground: pasien

mampu membedakan kanan

latar depan dan belakang

Depth perception: pasien

mampu membedakan balok

Stereognosis : pasien belum mampu identifikasi objek.

Tabel

Tabel 1. Asset dan limitasi

Occupational Performance Area:

Aktifitas berhias, makan/minum, hygiene oral, sosialisasi, dan

komunikasi fungsional pasien mampu mandiri. Mandi, berpakaian,

pasien perlu supervise. Rutinitas pengobatan, pemeliharaan

kesehatan, dan respon kedaruratan pasien masih perlu bantuan.

BAB/BAK, mobilitas, perawatan alat bantu, dan penggunaan

transportasi tergantung orang lain. Seluruh produktifitas tergantung

orang lain, dan leisure belum mampu melakukan aktifitas yang

disuka.

Total FIM :

B. Ringkasan Kasus

Ny. DS, usia 61 th dengan diagnose Multiple Sclerosis, datang ke

unit Okupasi Terapi

C. Kesimpulan Problematik Okupasional

1. Pasien belum mampu melakukan aktifitas mandi secara mandiri

dalam posisi duduk menggunakan…. karena kelemahan otot,

koordinasi belum baik, ketahanan tubuh belum baik.

2. Pasien belum mampu melakukan aktifitas berpakaian secara mandiri

dalam posisi duduk menggunakan karena kelemahan otot, koordinasi

yang belum baik, dan kontrol postural yang belum baik.

D. Prioritas Masalah

1. Pasien belum mampu melakukan aktifitas mandi secara mandiri

dalam posisi duduk karena kelemahan otot, koordinasi belum baik,

ketahanan tubuh belum baik.

2. Pasien belum mampu melakukan aktifitas berpakaian secara mandiri

dalam posisi duduk karena kelemahan otot, koordinasi yang belum

baik, dan kontrol postural yang belum baik.

E. Program Terapi

LTG I : Pasien mampu melakukan aktifitas mandi secara mandiri dalam

posisi duduk dalam waktu …… pertemuan.

STG I :

LTG II: Pasien mampu melakukan aktifitas memakai celana secara

mandiri dalam posisi duduk dalam waktu … pertemuan.

STG II :

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ringkasan kasus.:

Setelah mengikuti beberapa program yang dibuat oleh terapis pasien sudah

mulai ada progress meskipun masih belum cukup terlihat secara

signifikan. Tetapi terapis meyakini jika program terapi dan home program

dijalankan dengan baik maka akan semakin membaik juga perkembangan

pada anak dan lebih mudah untuk mencapai goal yang sudah dirancang

oleh terapis.

B. Saran

Untuk mendukung mencapai tujuan proses terapi perlu adanya

kerjasama antara terapis, pasien dan keluarga pasien.

Saran untuk terapis :

1. Memberi motivasi kepada pasien agar mampu mencapai goal yang

sudah dibuat

2. Mengedukasi pasien agar mengulang apa yang sudah dilakukan saat

terapi.

3. Mengedukasi keluarga pasien agar memberikan motivasi pada pasien

supaya mengulang apa yang sudah dilakuakn saat terapi.

4. Memberi instruksi atau arahan yang mudah dimengerti pasien.

5. Memberi aktivitas yang sesuai dengan riwayat penyakitnya, jangan

terlalu berat atau terlalu ringan.

6. Memberi waktu istirahat sesuai kondisi tubuh pasien.

7. Membuat LTG dan STG yang realistis dengan kemampuan pasien.

8. Menciptakan suasana yang kondusif, aman dan nyaman saat

melakukan kegiatan terapi.

Saran untuk pasien :

1. Menjaga kesehatan dan motivasi agar dapat mengikuti kegiatan terapi

dengan baik.

2. Konsisten dalam kegiatan terapi demi tercapainya goa yang sudah di

tentukan.

3. Pasien harus sering-sering melakukan pengulangan aktivitas yang

sudah diberikan saat terapi di rumahnya.

Saran untuk keluarga :

1. Mengingatkan kembali pasien untuk melakukan terapi sesuai petunjuk

terapis.

2. Membantu pasien saat pasien mengulang latihan di rumah.

3. Berikan support yang penuh kepada pasien saat pasien mencoba

mengulang latihan yang telah dilakukan saat terapi.

4. Jangan perlakukan pasien seperti orang sakit yang tidak bisa apa-apa.

Coba motivasi pasien secara perlahan untuk melakukan aktivitasnya

secara mandiri.

DAFTAR PUSTAKA

1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2013

tentang Penyelenggaraan Pekerjaan dan Praktik Okupasi Terapis.

2. World Federation of Occupational Therapist

Websit

e.http://www.wfot.org/aboutus/aboutoccupationaltherapy/definitionofoccupationalthe

rapy.aspx . Diakses pada tanggal 25 Juni 2014 pukul 22.53 WIB

3. Multiple Sclerosis. Available at http://en.wikipedia.org/wiki/

Multiple_Sclerosis. Cited on October 22th, 2014.

4. Lanning B, et al. Basic and Clinical Course, Section 5: Neuro Ophthalmology;

American Academy of Ophthalmology, San Fransisco. 2010.

5. Khurana AK. Comprehensive Ophthalmology, 4th edition; New Age

International, New Delhi. 2007.

6. Ginsberg, Lionel. Lecture Notes Neurologi edisi ke-8. Jakarta: Erlangga Medical

Series.2005.

7. Lanning B, et al. Basic and Clinical Course, Section 5: Neuro Ophthalmology;

American Academy of Ophthalmology, San Fransisco. 2010.

8. Multiple Sclerosis. Available at http://emedicine.medscape.com/

Multiple_Sclerosis. Cited on March 23th, 2011.]