TRADISI “MERARIQ” (KAWIN LARI) DALAM …digilib.uin-suka.ac.id/19921/1/Masnun Tahir - TRADISI “MERARIQ... · 36 Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal membahas tentang tradisi merariq

Embed Size (px)

Citation preview

  • 35

    TRADISI MERARIQ(KAWIN LARI) DALAM

    MASYARAKAT SASAK (SebuahTelaah Konsepsi, Responsi

    dan Implikasi)

    Masnun Tahir

    PENGANTAR

    Dalam beberapa suku bangsa di Indonesia, kawin lari dianggapsebagai aib dan merupakan pelanggaran terhadap hukum adat.Seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan, Batak, Lampung, Bali, Bugis,Makasar, Sumbawa, dan Mandar. Berbeda dengan beberapamasyarakat di atas, dalam masyarakat Sasak, kawin lari secara implisitmaupun eksplisit dianggap sebagi bukti nyata kesungguhan sang laki-laki untuk mempersunting sang gadis. Bahkan kawin lari, yang dikenaldengan nama merariq,telah menjadi kearifan lokal masyarakat Sasak.

    Konsep dan praktik kawin lari (merariq) masyarakat Sasakmerupakan salah satu dari entitas budaya tradisional hasil dariasimilasi dan dialektika kebudayaan. Tradisi merariq itu sendirimenimbulkan pro-kontra dalam masyarakat Sasak itu sendiri, adayang tetap ingin melestarikan tradisi turun temurun, tetapi ada jugayang mempersoalkannya karena merariq dianggap sebagai simbolpeneguhan superioritas laki-laki terhadap perempuan. Tulisan ini

  • 36

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    membahas tentang tradisi merariq dalam masyarakat Sasak, diantaranya apa implikasi sosial tradisi merariq dan bagaimana hukumIslam melihat praktik tersebut.. Sebelum membahas lanjut tentangmerariq, terlebih dahulu melihat kontinuitas dan perubahan pola,sistem dan kondisi sosial masyarakat Sasak.

    LATAR BELAKANG GEOGRAFIS MASYARAKAT SASAK

    Administrasi

    Secara administratif, Pulau Lombok merupakan bagian dariProvinsi Nusa Tenggara Barat, tepatnya terletak di sebelah timurPulau Bali dan sebelah barat Pulau Sumbawa. Pada bagian baratterbentang Selat Lombok yang memisahkannya dengan Pulau Bali,sedangkan pada bagian timur terdapat Selat Alas yang membatasinyadengan Sumbawa. Di sebelah utara Lombok terhampar Laut Jawa,dan di sebelah selatannya terdapat Samudera Hindia.

    Dahulu pada zaman Kerajaan Selaparang, Pulau Lombokdisebut pula dengan sebutan Gumi Selapang. Sebuah pulau yangrelatif kecil dengan garis tengah sekitar 64 km (jalan lurus yangmembentang dari barat ke timur, dari pantai Ampenan sampai pantaiLabuhan Haji). Sebagai bagian dari wilayah Provinsi Nusa TenggaraBarat, Pulau Lombok sebelum tahun 2010 terdiri atas empatkabupaten dan kota, yakni Kabupaten Lombok Barat dengan ibukotaGerung, Kotamadya Mataram dengan ibukota Mataram, KabupatenLombok Tengah dengan ibukota Praya, dan Kabupaten LombokTimur dengan ibukota Selong. Mataram di samping sebagaikotamadya, juga merupakan ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat(NTB). Namun, sejak tahun 2010 telah terjadi pemekaran kabupatendi Lombok, masing-masing Kabupaten Lombok Barat danKabupaten Lombok Utara. Kalau sebelumnya terdiri atas empatkabupaten dan kota, sekarang dengan munculnya Kabupaten LombokUtara sebagai kabupaten baru menambah jumlah kabupaten yangada di Lombok menjadi empat kabupaten dan satu kota.

  • 37

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    Secara historis sebelum menjadi wilayah provinsi sendiri, sejakAgustus 1945, Pulau Lombok masuk ke dalam wilayah ProvinsiSunda Kecil, yang meliputi Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Rote,Sumba, dan Sawu dengan pusat ibukotanya Singaraja di Pulau Balidan dipimpin oleh Gubernur I Gusti Ketut Pudja. Pada 14 Agustus1958 Propinsi Sunda Kecil dipisah menjadi tiga provinsi, yaitu Balidengan ibukota Denpasar, Nusa Tenggara Barat (NTB) denganibukota Mataram, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan ibukotaKupang. Konon yang menjadi pertimbangan pemerintah membagiNusa Tenggara menjadi tiga adalah berdasarkan agama: ProvinsiBali beragama Hindu, Provinsi NTB (Lombok dan Sumbawa)beragama Islam dan Provinsi NTT beragama Kristen.1

    Secara administratif, setelah terpisah menjadi Provinsi NTB,maka provinsi terbagi menjadi 10 kabupaten dan kota, yaitu limakabupaten dan kota berada di Pulau Lombok, dan lima kabupatendan kota berada di Pulau Sumbawa. Kabupaten yang berada diLombok adalah Kab. Lombok Barat, Lombok Utara, LombokTengah, Lombok Timur, dan Kota Mataram.2

    Menurut data BPS, penduduk NTB pada tahun 2007 berjumlah4.292.491 jiwa. Kepadatan rata-ratanya 211 jiwa perkilometerpersegi. Tingkat pertumbuhan penduduk 1, 29 persen per tahun.

    1 Lalu Lukman, Pulau Lombok dalam Sejarah (Jakarta: Departemen Pendidikan danKebudayaan, 2005), hlm. 135.

    2 Pemerintah Provinsi NTB, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (Mataram:Provinsi NTB, 2009), hlm. 13.

  • 38

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    Tabel 13Jumlah Penduduk Provinsi NTB Tahun 2007

    Tabel 24Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama

    di Lombok Tahun 2007

    3 Pemerintah Provinsi NTB, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, hlm. 204 Sumber: Data Kanwil Departemen Agama Provinsi NTB, 2007.

  • 39

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    ASAL USUL, BUDAYA, DAN STRATIFIKASI SOSIALMASYARAKAT SASAK

    Wacana tentang budaya Sasak (Lombok) nyaris meninggalkankerumitan berkepanjangan, terutama bila ingin menjelaskan danmenguraikannya dari segi kebudayaan. Ada anggapan bahwakebudayaan Sasak lahir dari rahim budaya yang mengalami kontraksi,meski anggapan ini tidak selalu terdapat di kepala banyak orang Sasak,sebab banyak juga tokoh yang menyembul ke permukaan dengananeka penjelasan yang heroik dan penuh keyakinan. Kelompok inisepertinya ingin meyakinkan siapapun bahwa kebudayaan Sasakmemiliki garis batas, benang merah, muara, dan lorong denganpintu dan ujung yang khas dan eksotik. Akan tetapi, keyakinan itubersimpangan dengan jalan setapak yang berujung pada bukti empirisberupa kemiripan, bahkan kebudayaan dengan budaya lain yangakhirnya melahirkan ambiguitas tafsir bagi generasi sekarang. Sebuahtafsir yang terbangun dari logika biner; asli tidak asli, khas dan epigon,budaya asal dan akulturasi.

    Demikian pula perbedaan pendapat tentang genealogi orangSasak, terjadi perbedaan yang cukup tajam (misalnya) antara LegendaDoyan Nede, Legenda Gunung Pujut, Hikayah Babad Lombok,ataupun pendapat tetua Sasak lainnya. Dari Legenda Doyan Neda,didapatkan suatu informasi adanya dua tingkat perkembangan asal-usul orang sasak. Pada tingkat perkembangan yang pertamadijelaskan bahwa orang-orang yang menjadi penghuni Pulau Lombokpada mulanya merupakan penjelmaan dari empat puluh jin prawangsa(jin bangsawan) yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, yang tinggaldi Gunung Rinjani. Para jin prawangsa ini diperintahkan oleh putriraja jin yang bernama Dewi Anjani untuk turun menghuni PulauLombok dalam bentuk manusia. Merekalah yang dalam per-kembangannya menjadi nenek moyang pertama orang-orang sasak,yang selanjutnya menurunkan tokoh-tokoh pendiri kerajaan-kerajaanyang bertebaran di berbagai penjuru Pulau Lombok, seperti

  • 40

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    Kerajaan Selaparang, Pejanggik, Bayan, dan lain sebagainya.Dalam perkembangannya yang kedua menjelaskan bahwa

    beberapa orang di antara raja-raja yang berkuasa kala itu telah berhasilmengawini putra-putri raja Majapahit, raja Jawa, raja Madura, danlain-lain. Hal ini mendorong para raja tersebut untuk mengirimorang-orang Jawa ke Lombok, tempat tinggal putra-putri atau paramenantu mereka tersebut.

    Dalam versi lain dikatakan bahwa penghuni bumi Sasak datangdari arah barat, yaitu Jawa dan Madura yang dimulai sejak masaMajapahit. Bersama para pendatang lainnya kemudian mereka hidupbersama membangun sebuah kerajaan dengan nama Kerajaan Jerobaru(Jerowaru). Rajanya adalah Datu Jayakusuma. Selanjutnya, Datu Jaya-kusuma memindahkan pusat kerajaannya ke suatu tempat yangkemudian disebut Selaparang, sementara di tempat lain Datu Jaya-kusuma juga menobatkan seorang putranya sebagai Raja KerajaanPejanggik.

    Sementara, dari legenda kedua, yaitu Legenda Gunung Pujutdiperoleh informasi bahwa seorang pangeran dari KerajaanMajapahit telah mengembara ke wilayah sebelah timur. Setelahmempersunting putri Kerajaan Kelungkung di Bali, ia besertarombongan menyeberang ke Pulau Lombok dan membangun negeridi sekitar Gunung Pujut di Lombok Tengah bagian selatan.Kemudian negeri terebut berkembang menjadi Kerajaan Pujut.Merekalah yang lambat laun menjadi nenek moyang suku Sasak.5

    Perbedaan ini banyak menyentuh sisi yang substansial, terutamapada bangunan (fundament) ontologisnya. Ini kemudian menjadikansejarah eksistensi manusia Sasak awal mengalami persimpanganantara fiksi dan fakta. Tentu saja perbedaan ini tidak meruncing men-jadi perdebatan pokok karena muncul argumentasi belakangan yangmenjustifikasi adanya migrasi internal dan eksternal di tengah

    5 Ahmad Abd. Syakur, Islam dan Kebudayaan: Akulturasi Nilai-nilai Islam dalam BudayaSasak (Yogyakarta: Adab Press, 2006), hlm. 12-14.

  • 41

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    masyarakat Indonesia yang menuntut terjadinya penyebaran pen-duduk dari berbagai wilayah. Argumentasi migrasi kemudianmengaburkan klaim eksistensial, karena hal itu (bagi banyaksejarawan) dianggap sebagai kemestian sejarah. Efeknya, eksistensilokalitas menjadi kurang relevan, yang telah muncul kemudian adalahgelembung pembedaan corak kebudayaan yang dianggapsebagai pembatas bagi sebuah komunitas masyarakat. Corakkebudayaan inilah yang menjadi matrial base bagi banyak kajianmutakhir untuk melihat kekhasan sebuah komunitas masyarakat.6

    Adapun asal-usul mengenai nama Sasak menurut H.L. Wacana,ada banyak pendapat yang mengemuka di masyarakat Sasak. Pertama,nama itu diberikan sesuai dengan nama kerajaan tempat tinggalmereka, yaitu wilayah Kerajaan Sasak yang terletak kurang lebih 17km di sebelah tenggara kota Mataram di sekitar kaki Gunung Sasakyang sekarang. Kedua, karena nenek moyang orang Sasak datangpertama kali dengan rakit bambo (sak-sak). Ketiga, karena dataranLombok dahulu ditumbuhi hutan belantara yang penuh sesak (sesek).Sementara Goris, seorang Belanda ahli bahasa berpendapat bahwakata Sasak berasal dari bahasa Sansekerta, Sahsaka. Sah artinya pergi,saka artinya leluhur atau asal. Jadi, sahsaka artinya pergi meninggalkantanah asal dan mengumpul di Lombok. Menurut kenyataannya bahwasemua orang yang nenek moyangnya datang dan menetap di Lomboksebelum abad ke-17 menjadi orang Sasak, mengaku orang Sasak,berbahasa Sasak, bertradisi Sasak, serta menyembah Tuhan yang samadengan sebutan nenek.7 Lalu M. Saleh Salis menambahkan, perubahan

    6 Lalu Bayu Windia, Manusia Sasak Bagaimana Menggaulinya? (Yogyakarta: GentaPress, 2006), hlm. vi.

    7 Lihat dalam H.L. Wacana, Kebudayaan Sasak, Makalah disampaikan dalamParas Kebudayaan Lombok, t.th., hlm 3-4. Lalu Saleh Salis menambahkan, perubahannama Sasak menjadi Lombok disebabkan karena para transmigran yang datang ke pulauini sangat jujur dan polos yang dalam bahasa Sasak disebut lumbuk yang berarti lurus,jujur, atau polos. Namun, lama-kelamaan kata lumbuk berubah menjadi Lombok.Wawancara tanggal 20 Maret 2007.

  • 42

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    nama Sasak menjadi Lombok disebabkan karena para transmigranyang datang ke pulau ini sangat jujur dan polos yang dalam bahasaSasak disebut lumbuk yang berarti lurus, jujur, atau polos. Namun,lama-kelamaan kata lumbuk berubah menjadi Lombok.8

    Lombok adalah potret sebuah mozaik. Ada banyak warnabudaya dan nilai menyeruak di masyarakatnya. Mozaik ini terjadiantara lain karena lombok masa lalu merupakan objek perebutandominasi berbagai budaya dan nilai. Orang Sasak pribumi di-pengaruhi oleh dua budaya, yaitu Hindu Bali yang dominan diLombok Barat dan pengaruh Islam Jawa yang kuat ekspansinya diLombok Tengah dan Lombok Timur.9

    Dari segi geografis, Lombok adalah mozaik dari berbagaikondisi. Lombok Barat (sekarang terbagi menjadi Kab. LombokBarat dan Kotamadya Mataram) adalah daerah yang dikenal palingsubur. Karenanya, di masa lalu Lombok Barat menjadi salah satusasaran Bali (tepatnya Kerajaan Karang Asem) dalam mengembang-kan pengaruhnya. Tak aneh, kalau di daerah ini pura-pura tempatsakral bagi persembahyangan kaum Hindu masih banyak dijumpai.Orang Hindu dari Ampenan, Mataram, dan Cakranegara datang keLombok Barat untuk melakukan ritual keagamaan.

    Dua kawasan lainnya, yakni Lombok Tengah dan Lombok Timurjuga diwarnai kondisi yang berbeda. Lombok Tengah adalah daerahmiskin karena tanahnya kurang subur. Adapun Lombok Timurterhitung sedikit lebih subur jika dibanding Lombok Tengah karenakawasannya terletak di dataran tinggi Gunung Rinjani (gunung yangtergolong aktif di Lombok). Konon dua kawasan inilah yang di masalalu menjadi benteng Islamisasi kerajaan Islam Jawa di kawasan timurNusantara.10

    8 Wawancara tanggal 24 Maret 2007. Menurut penulis, pendapat-pendapat inihanyalah perkiraan belaka dan tidak ada sumber akurat yang dapat membuktikannya.

    9 Balairung No. 26/TH.XII/1997, hlm. 76.10 Solichin Salam, Lombok Pulau Perawan (Jakarta: Kuning Mas, 1992), hlm. 8-12.

  • 43

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    Pengaruh kerajaan inilah yang menyebabkan Islam menjadiagama mayoritas suku asli Lombok sekarang ini. Tetapi klaim inimasih perlu diuji kembali, karena masuknya Islam di Lombok belumdiketahui secara pasti. Akan tetapi, diperkirakan pada abad ke-16yang dibawa oleh Sunan Prapen, putra dari Sunan Giri, salah seorangWali Songo di Jawa.

    Penduduk asli Pulau Lombok disebut suku Sasak. Mereka adalahkelompok etnik mayoritas yang berjumlah tidak kurang dari 89%dari keseluruhan penduduk Lombok. Adapun kelompok-kelompoketnik lainnya seperti Bali, Jawa, Arab, dan Cina adalah pendatang.11Orang-orang Sasak menyebar di hampir seluruh daratan Lombok.Sementara para pendatang biasanya tinggal di daerah-daerah tertentu.Sebagian besar orang Bali misalnya, tinggal di Lombok Barat danLombok Tengah. Orang-orang Sumbawa terutama bermukim diLombok Timur dan orang-orang Arab di Ampenan. Lingkunganpemukiman masyarakat Arab di Ampenan disebut Kampung ArabAmpenan. Orang-orang Cina yang bekerja sebagai pedagang umum-nya tinggal di pusat-pusat kota seperti Cakranegara, Ampenan, danPraya. Demikian juga di Lombok terdapat pemukiman orang Jawayang disebut Kampong Jawa.12

    Masyarakat Sasak sebagian menganut sistem sosial yang sangatkental dengan konsep patron klien antar strata sosial di dalamnya.Sebagian kecil lagi malah tidak mengenal itu, termasuk masyarakaturban di wilayah perkotaan (Mataram). Patron klien itu ada, baik dalamformula murni yang mengakar secara kultural ataupun terbentukakibat otoritas dan kekuasaan. Fenomena ini dipengaruhi olehimperialisasi lokal Kerajaan Bali terhadap kerajaan (dedatuan) diwilayah-wilayah yang menjadi hierarki kuasa di Lombok. Sistem sosialantar strata sosial yang bernuansa patronase adalah bangsawan

    11 Erni Budiwanti, Islam Sasak: Wetu Telu Versus Waktu Lima (Yogyakarta: LKiS,2000), hlm. 6.

    12 Erni Budiwanti, Islam Sasak: Wetu Telu Versus Waktu Lima (Yogyakarta: LKiS, 2000),hlm. 7.

  • 44

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    sebagai kelas elite dan masyarakat jajar karang sebagai masyarakatkelas bawah (grassroot).

    STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT SASAK

    Masyarakat Sasak mengenal sistem stratifikasi sosial, sesuaidengan Asas Triwangsa yang terdiri dari kelas terendah sampai kelastertinggi. Tiap tingkatan ditandai dengan gelar tertentu di awal namamereka. Tingkatan tertinggi adalah golongan utama yang di dalam-nya adalah bangsawan menak atas yang berasal dari keturunan raja-raja Sasak, pembesar kerajaan, dan keluarga raja-raja. Gelar-gelaryang dipergunakan adalah denek bagi putra raja, raden, datu, dan dindabagi putra putri keluarga raja. Mereka ini kalau melangsungkanpernikahan maka kadar nilai ajikrama13 (sejenis tukon kalau di Jawa)lambang adatnya antara 100-200.14

    Tingkatan kedua adalah golongan bangsawan menak menengahyang berasal dari perkawinan campuran antara laki-laki menak atasdengan perempuan jajar karang. Gelar yang dipergunakan adalah lalubagi laki-laki dan lale atau baiq bagi perempuan. Kalau sudah menikah,laki-laki dipanggil mamik, sementara perempuan dipanggil mamiqbini. Mereka ini kalau melangsungkan pernikahan maka kadar nilaiajikrama lambang adatnya antara 66-99.

    Lapisan terakhir adalah golongan jajar karang. Mereka merupa-kan rakyat biasa dan tidak memiliki gelar kecuali setelah memilikianak, yaitu bapak atau amaq bagi laki-laki dan inaq bagi perempuan.Mereka ini kalau melangsungkan pernikahan, maka kadar nilaiajikrama lambang adatnya antara 17-2515 namun menurut Gede

    13 Ajikrama terdiri dari kata aji yang berarti harga atau nilai dan krama yang berartisuci dan terkadang berarti daerah atau kesatuan penduduk dalam suatu wilayah daerahadat. Dengan demikian, ajikrama lambat adat artinya nilai suci dari suatu strata sosial adatSasak berdasarkan wilayah adatnya.

    14 Fathurrahman Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram (Mataram: YayasanSumurmas Al-Hamidy, 1998), hlm. 184.

    15 Lalu Wacana, Kebudayaan Sasak, hlm. 16-17.

  • 45

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    Parman, ada perbedaan ajikrama lambang adat antara satu daerahdengan daerah lain, seperti daerah Praya, Gerung, Kuripan, Sakra,Pujut, Jonggat, Kopang, dan Batujai.

    Nilai ajikrama lambang adat ini akan tampak pada saat upacarapernikahan yang disebut sorong serah (i >ja>b kabu>l menurut adat Sasak).Menurut kebiasaan atau keputusan yang tidak tertulis, nilai itu disama-kan dengan harga uang yang berlaku pada masa itu, disesuaikandengan kondisi dan situasi.

    Di Lombok pada umumnya, lapisan-lapisan sosial tersebutmasih tetap dipertahankan, meskipun untuk lapisan pertama(bangsawan menak) sudah sangat jarang ditemukan. Dari segi kuantitas,golongan bangsawan menak dapat dikatakan sebagai kelompokminoritas. Meski demikian, posisi-posisi penting pemerintahan ter-tentu, seperti bupati, camat, dan bahkan kepala desa, umumnyadijabat oleh golongan ini.

    Sistem dan pola stratifikasi sosial seperti di masyarakat Sasakini lazim terjadi dalam sebuah komunitas. Stratifikasi ini dapat timbuldengan sendirinya sesuai dengan dinamika sosial masyarakat atautimbul karena disusun dengan sengaja untuk mengejar suatu tujuantertentu. Fenomena yang terakhir ini biasanya berkaitan denganpembagian kekuasaan serta wewenang dalam suatu organisasi for-mal, sebagaimana yang terjadi pada birokrasi pemerintahan, partaipolitik, universitas, perusahaan-perusahaan, dan sebagainya.

    Sistem sosial dengan membagi manusia ke dalam beberapakasta itu dapat menimbulkan tata pergaulan yang timpang dalamkehidupan bermasyarakat, baik dalam bertutur kata maupun ber-tindak. Pergaulan antar golongan bangsawan biasanya terikat padaperilaku tertentu dan dengan menggunakan bahasa Sasak halus.Adapun pergaulan antar golongan jajar karang bersifat lebih longgardengan menggunakan bahasa Sasak yang umum. Ada hijab atautembok pemisah yang sangat jelas antara masing-masing stratatersebut. Akibatnya, kaum perempuan sering kali menjadi akarpersoalan yang terkait dengan strata sosial tadi, apakah menjadi tinggi

  • 46

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    16 Survey penulis di berbagai lokasi yang menjadi basis tinggalnya para bangsawan.

    naik ke atas, atau rendah turun ke bawah. Kaum perempuan menjadikaum yang termarjinalkan. Hak-haknya sebagai makhluk yangdimuliakan Tuhan acap kali tidak dapat diperolehnya secara adil danbenar.

    Namun, dengan terjadinya modernisasi dan pemerataan pem-bangunan di berbagai sektor pendidikan bagi seluruh lapisanmasyarakat, jurang pemisah antara orang-orang menak dengan jajarkarang tersebut menjadi semakin menipis. Sekarang ini mereka telahdapat bergaul dan berhubungan secara timbal balik dengan tanpamementingkan ego status golongan mereka. Hanya dalam beberapahal masih tampak perbedaan, seperti dalam perkawinan, belum dapatdikikis habis. Misalnya, laki-laki menak boleh mengawini perempuanjajar karang, tetapi sebaliknya laki-laki jajar karang tidak bolehmengawini perempuan menak. Hal ini tampaknya didasarkan padapandangan bahwa laki-laki jajar karang dengan perempuan menaktidak sepadan. Karena itu, perkawinan semacam ini sedapat mungkinharus dapat dicegah. Jika ini terjadi, kedua belah pihak kemungkinanbesar akan mendapat halangan yang tidak kecil, sebab mempelaiperempuan tidak menutup kemungkinan dibuang dari klan keluargabesarnya. Sebuah praktik, yang bertentangan dengan semangategaliter dalam ajaran Islam. Islam pada dasarnya memberikankebebasan kepada setiap orang dalam menentukan pasangan hidup-nya. Seseorang berhak menentukan pasangannya dari ras, suku, danbangsa manapun, sehingga seorang budak pun dibolehkan menikahdengan seorang khalifah Bani Hasyim sekalipun.16

    Sejak Orde Baru berkuasa, gelar-gelar kebangsawanan inisemakin kehilangan arti. Peranan kaum bangsawan di beberapa desatelah hilang karena erosi adat, yaitu proses penghancuran yang ber-langsung dari lembaga adat. Akibatnya, para bangsawan mempunyaihak yang sama dengan kelas lainnya dalam segala aktivitas kampung,misalnya gotong royong dan tidak lagi menuntut bayaran ekstra jika

  • 47

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    anak gadisnya kawin dengan pria dari kelas yang lebih rendah dantidak lagi memperoleh prioritas utama untuk mendukung jabatanpolitik dalam sebuah desa atau kampung. Umumnya sudah tidakada lagi perbedaan kesempatan dalam menduduki jabatan strategisdi masyarakat.

    Diterapkannya sistem demokrasi dalam pemerintahan negarasampai ke tingkat kampung membawa pengaruh luas ke dalam sistempemilihan pimpinan di setiap instansi dan pejabat lainnya. Penerapansistem ini telah mendobrak dominasi kekuatan lapisan para bangsa-wan yang sebelumnya ada. Di beberapa sektor pemerintahan sekarangini memang masih terdapat kaum bangsawan, tetapi kedudukan itudiperoleh bukan karena kebangsawanannya, melainkan karena ke-cakapan, pendidikan, agama, dan kejujurannya.

    Dalam masyarakat Sasak sekarang, pelapisan sosial didasarkanpada kekuasaan, kekayaan, pendidikan, dan keturunan. Kekuasaanmemegang peranan yang penting. Jika seseorang memegang kekuasa-an (otoritas) maka kepandaiannya dapat mengangkat derajatnya kejenjang yang lebih tinggi dalam masyarakat. Begitu pula dengankekayaan. Keempat dasar lapisan tersebut merupakan satu kesatuanyang tak terpisahkan, yang kalau disertai kejujuran dan modal sosialyang kuat akan mengangkat derajat seseorang ke jenjang yang lebihtinggi dan terhormat.17

    Sementara itu, dilihat dari segi interaksi sosial masyarakatnya,sebagaimana kebanyakan masyarakat agraris, orang Sasak memilikisolidaritas yang tinggi. Kepatuhan terhadap ketentuan adat dijagaagar persatuan dan kesatuan antar sesama tidak ternoda. Konon,hampir semua kegiatan di bidang pertanian dan upacara-upacara adatyang berhubungan dengan daur hidup diselesaikan dengan caragotong royong berdasarkan prinsip timbal balik yang disebut besiru.Besiru adalah tolong-menolong secara bergilir dalam jenis pekerjaan

    17 M. Ahyar Fadly, Islam Lokal Akulturasi Islam di Bumi Sasak (Bagu: STAIIQHPress, 2008), hlm. 83.

  • 48

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    yang sama dalam satu musim pekerjaan, misalnya besiru menanampadi, menyiangi, mengetam, dan lain-lain.18

    SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT SASAK

    Sistem kekerabatan adalah sistem hubungan yang terstruktur,di mana setiap individu terikat satu sama lain dengan suatu keterikatanyang komplek dan ikatan yang bercabang.19 Sistem kekerabatan inilazim ditemukan dalam setiap komunitas termasuk di masyarakatSasak.

    Sistem kekerabatan di masyarakat Sasak adalah berdasarkanhubungan patrilineal dengan pola menetap patrilokal. Kecenderung-an keluarga luas (extended family) masih secara luas ditemukan bahkanmenjadi ciri bagi masyarakat Sasak umumnya. Berbeda dengan pen-duduk Sasak yang menetap di semi perkotaan, warna-warna nuclearfamily atau keluarga batih sangat banyak ditemukan.20 Fenomena initidak terlepas dari pengaruh industrialisasi dan tuntutan modernisasiyang cenderung mengutamakan keluarga inti dalam sistem ke-keluargaannya.

    Pada pola keluarga luas, kelompok masyarakat Sasak mengenal-nya dengan kadang waris yang terdiri dari lebih dari satu keluarga inti

    18 Lalu Wacana, Kebudayaan, hlm. 18.19 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 1986), hlm.

    53-54.20 Dalam kajian antropologi, kelompok kekerabatan terbagai menjadi tiga tipologi;

    pertama adalah keluarga batih (nuclear family) yang merupakan satuan unit kekerabatanyang terdiri dari pasangan suami istri yang menikah dan memiliki keturunan langsungmereka dengan memelihara suatu rumah tangga bersama dan bertindak bersama-samamenjadi suatu kesatuan sosial, kedua adalah keluarga luas (extended family) merupakansatuan kelompok kekerabatan yang terdiri dari beberapa keluarga batih yang berkaitansecara konsaguinitas genetis ataupun hasil afinitas perkawinan dan bertindak sebagaisatu kesatuan, tipologi ketiga adalah persekutuan kelompok keluarga (corporate descentgroups) yaitu satuan jaringan-jaringan individual yang ditelusuri melalui hubunganketurunan atau genealogis yang berasal dari satu nenek moyang yang sama. LihatKoentjaraningrat, Teori Antropologi II (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1990), hlm.144-145.

  • 49

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    atau batih yang terdiri dari keluarga inti senior dan keluarga anak-anaknya. Adanya ketentuan adat kebiasaan menetap dalam satulingkungan dan kebiasaan sistem patrilineal yang mengambil garislaki-laki menyebabkan pola menetap keluarga luas Sasak denganmenganut sistem patrilokal di mana pasangan nikah tinggal dalamrumah tangga ayah si suami. Perkembangan selanjutnya akan menjadikeluarga luas virilokal yang terdiri dari keluarga batih senior danbeberapa keluarga batih yunior akan hidup bersama dalam suatukompleks perumahan yang dalam masyarakat Sasak dikenal dengansuteran, gubuk, atau dasan.21

    Keluarga inti atau batih disebut oleh masyarakat Sasak dengankuren, sedangkan individu-individu di dalamnya disebut person yangterdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak. Tipe keluarga batih di perkotaanmemilih tempat tinggal baru sendiri atau neolokalitas yang berartisebuah pasangan nikah menentukan sendiri suatu tempat tinggal yangbebas sekehendak pasangan (couple) itu.

    Sebuah rumah tangga di suku bangsa Sasak perkotaan biasanyaterdiri dari satu keluarga batih yang bersifat monogami, dan seringditambah dengan anak-anak yang masih kerabat yang tinggal bersamakeluarga itu serta pembantu rumah tangga (Sasak: anak akon). Padakeluarga pedesaan ditemukan juga keluarga batih yang sifatnya poli-gini karena interpretasi terhadap ajaran agama Islam yang memboleh-kannya.

    Masyarakat Sasak di pedesaan ataupun di perkotaan mengenal jugaistilah klen (Sasak: kadang jari) atau dalam istilah sosiologi mirip denganpersekutuan kelompok keturunan (corporate descent groups) yang merupa-kan sekelompok kerabat yang terdiri dari orang-orang yang merasaberasal dari nenek moyang yang sama. Pada masyarakat Sasak, klen ataukadang waris ini terikat melalui garis keturunan laki-laki saja (patrilineal).

    21 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dampak Modernisasi Terhadap HubunganKekerabatan di Nusa Tenggara Barat, hlm. 61. Lihat juga Proyek Pengembangan MediaKebudayaan, Monografi Daerah NTB (Mataram: Departemen P & K, 1977), hlm. 96.

  • 50

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    Secara teoritis, ada dua macam klen di masyarakat dunia, yaituklen besar dan klen kecil. Klen kecil diidentifikasi bahwa setiapindividu atau person saling mengenal satu sama lain dalam klen yangsama dengan sama-sama memelihara sekumpulan harta pusaka,melakukan usaha produktif bersama dan memelihara adat istiadatyang ada dalam klen tersebut. Adapun klen besar tidak lagi salingmengenal dan bergaul secara intensif dan pola interaksi pun tidakberjalan terus, namun mereka masih memiliki tanda-tanda lahir secaragenealogis, memiliki sistem perlambang, dongeng-dongeng, dantetap memelihara adat eksogenitas klen.

    Seperti dijelaskan sebelumnya, suku bangsa Sasak ditinjau daristratifikasi sosial masyarakat terdapat dua golongan, yaitu golonganbangsawan (menak) dan golongan biasa. Dahulu kala masih ditemukanjuga satu golongan yang tidak merdeka seperti budak (Sasak: panjak),tetapi saat ini dan sejak Indonesia merdeka golongan ini tidak adalagi. Golongan bangsawan masih bisa melihatkan garis-garisketurunan secara genealogis dari satu nenek moyang. Dapat diketahuidengan adanya gelar-gelar kebangsawanan yang melekat pada namagaris keturunannya, seperti raden, gede-lale, lalu-baiq.22

    Untuk golongan biasa (non-menak), garis genealogis sebagianbesar tidak diketahui secara pasti, dan tidak ditemukan simbol-simbolatau gelar-gelar khusus dalam garis keturunannya. Maka dalam ke-seharian bahasa dan panggilan nama biasa (nick name) menggunakanbahasa biasa seperti loq bagi laki-laki dan la bagi perempuan yangdibubuhi pada awal nama seseorang. Tetapi, di beberapa kampungdan desa meyakini bahwa mereka tidak memiliki gelar kebangsawananyang bukan berarti tidak dari golongan dan garis genealogis yang jelas.

    Sosiolog Indonesia Soerjono Soekanto mengatakan bahwa adadua asumsi yang melahirkan adanya hierarki kebangsawanan(stratifikasi sosial), yaitu masing-masing lebih sering dilahirkan atas

    22 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dampak Modernisasi Terhadap HubunganKekerabatan di Nusa Tenggara Barat, hlm. 63.

  • 51

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    faktor pengakuan diri sebagai keturunan keluarga raja (ascribed sta-tus), dan archieved status yang merupakan gelar kebangsawanan yangdiperoleh dari pemberian raja karena alasan keahlian (skill), jasa,karier dan pengabdian kepada sang raja.23

    Dari asumsi yang dijelaskan di atas dapat dipahami bahwa ke-mungkinan gelar kebangsawanan bisa lahir karena sebagai pemberianataupun pengakuan sebagai keturunan keluarga raja. Begitu juga yangterjadi pada masyarakat suku Sasak, karena ada yang sengaja me-ninggalkan gelar kebangsawanan sebagai achieved status, ada jugakomunitas yang diasumsikan jajar karang akan tetapi secara genealogismampu membuktikan diri sebagai keturunan keluarga raja, termasukdi beberapa wilayah seperti Pagutan, Presak di wilayah LombokBarat, Kabar-Rumbuk dan Masbagik di Lombok Timur yangmengaku keturunan Raja Selaparang.

    Keunikan dari persoalan stratifikasi sosial pada masyarakat Sasakadalah adanya perdebatan panjang dalam pencarian status ke-bangsawanan masing-masing komunitas bila terjadi perkawinan silangantar strata sosial. Misalkan ada perkawinan seorang laki-laki yangterkatagorisasi sebagai komunitas jajar karang dengan seorangperempuan bangsawan, maka yang pertama diperdebatkan adalahgaris keturunan atau strata sosialnya. Dari pihak perempuan yangmenak akan bersikukuh untuk tidak merestui perkawinan itu danpilihan eksekusi adat terhadap calon mempelai perempuan darigolongannya itu (te teteh: dibuang kegelarannya). Maka, dari pihaklaki-laki yang jajar karang tidak jarang meminta orang yang dituakandari komunitasnya atau keluarga yang memang mengetahui garisgenealogis keluarganya untuk membaca dan membuka babad bersamakeluarga dari perempuan menak. Alhasil, tanpa terduga kadang-kadang hasil pembacaan garis keturunan itu menjelaskan ternyatacalon mempelai laki-laki menurut garis keturuan lebih tinggi derajat

    23 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. VII (Jakarta: RajaGrafindoPersada, 1999).

  • 52

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    kebangsawanannya daripada keluarga mempelai perempuan, walau-pun tidak menggunakan gelar kebangsawanan di awal namanya.24

    Fenomena lain yang menarik pada masyarakat Sasak adalahpopularitas gelar haji yang kedudukannya dipersamakan dengan kaumbangsawan, bahkan lebih tinggi dari kaum bangsawan yang belummenunaikan ibadah haji. Ada kelebihan bagi mereka yang telahmelakukan rukun Islam yang kelima ini dikarenakan mampu meng-angkat status sosialnya.25 Gejala apa yang determinan dalam kasusini tidaklah terlalu jelas, tetapi yang patut diingat adalah kekuatanotopraksi ajaran Islam yang lebih kuat mempengaruhinya.

    Sistem kekerabatan yang lain adalah kindred atau kadang warisdalam bahasa Sasak, yang merupakan kesatuan kerabat secara genea-logis yang melingkari seseorang sehubungan dengan upacara-upacarayang berhubungan dengan daur hidup (life cycle), rembuk, danpertemuan atau upacara-upacara yang lain. Pada masyarakat sukuSasak dan suku lainnya juga di Indonesia mengenal yang kindredberanggotakan individu-individu kerabat, yaitu saudara kandung,saudara sepupu dari pihak ayah dan ibu, saudara orang tua (pamandan bibi dari pihak ayah dan ibu satu tingkat ke atas), saudarakeponakan-keponakan dari pihak ayah dan ibu.

    Survey penulis menghasilkan temuan bahwa hubungan ke-kerabatan satu sama lain masih kuat di Pulau Lombok. Pola interaksiantar anggota kindred masih tetap berlangsung, apalagi bila memangmenetap pada lingkungan desa atau kelurahan yang sama. Hanyasaja untuk kerabat yang tinggal di luar desa tempat tinggal secaraintensitas dan volume berkunjung diatur dikarenakan oleh jaraktempuh yang lumayan jauh.26

    24 Kasus seperti ini banyak ditemukan di beberapa wilayah, di antaranya Desa Sadedi Lombok Tengah. Kesaksian dari hasil wawancara bersama H. Saleh, tetua adat diLombok Tengah.

    25 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dampak Modernisasi Terhadap HubunganKekerabatan di Nusa Tenggara Barat, hlm. 64-65.

    26 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dampak Modernisasi Terhadap HubunganKekerabatan di Nusa Tenggara Barat, hlm. 64-65.

  • 53

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    Guna mempertegas sistem kekerabatan, maka di bawah inidijelaskan istilah-istilah kekerabatan yang ada dan dianut oleh sukubangsa Sasak. Setiap anggota keluarga dalam pola hubungan daninteraksi satu dengan yang lain dipengaruhi oleh istilah-istilah ke-kerabatan yang secara tradisional dikenal oleh komunitas itu. Istilah-istilah kekerabatan itu digunakan, baik dalam menyapa (term of ad-dress) maupun untuk menyebut (term of reference). Adapun setiap istilahdapat memberikan tanda tentang kedudukan seseorang dalamkelompok kerabat itu sendiri dan sekaligus mengandung pesanbagaimana seseorang harus bertingkah laku dalam interaksi denganindividu lainnya (hubungan interpersonal).

    Istilah-istilah kekerabatan secara berurutan dan mirip sepertisilsilah, dicontohkan bahwa ada individu yang bernama ego, makaistilah genealogisnya adalah sebagai berikut:27

    Tabel 3Istilah-istilah Kekerabatan Etnis Sasak di Lombok

    (3) Ego ke sampinga. Semeton, yaitu adik dan atau kakak Ego (derajat: 0)b. Pisa, anak saudara orang tua Ego, misan (derajat: 1)

    27Ibid., hlm. 68-69. Lihat juga Dirjen Kebudayaan Departemen P & K, MonografiDaerah NTB, hlm. 96.

  • 54

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    c. Sampu Sekali (sepupu sekali), anak misan orang tua Ego(derajat: 2)

    d. Sampu dua kali (sepupu dua kali), anak sepupu sekaliorang tua Ego (derajat: 3)

    e. Semeton Tere, anak istri/suami orang tua Ego (saudaratiri).

    (4) Ego ke samping atasa. Tua (atau amaq rari) atau uwa (atau amaq kake), saudara/

    pisa/sampu laki-laki orang tua Egob. Inaq rari (atau sai) atau uwa (inaq kake), adalah saudara/

    pisa/sampu perempuan orang tua Ego.(5) Ego ke samping bawah

    Duwan (atau ruwan atau naken), yaitu anak saudara laki-laki/perempuan atau anak laki-laki/perempuan sampu (sekali ataudua kali) Ego.

    (6) Mentoa, yaitu orang tua istri Ego.(7) Menantu, istri/suami anak laki-laki/perempuan Ego.(8) Sumbah, orang tua menantu Ego.(9) Kadang Waris, ahli waris Ego yang tunggal leluhur asal laki-

    laki.(10) Purusa Kadang, semua orang yang tunggal leluhur dari pihak

    laki-laki/permpuan dengan Ego dan semua yang ada hubungankarena perkawinan dengan ahli waris Ego

    (11) Kadang Warang, semua orang yang ada hubungan dengan Egokarena sahabat atau tunggal leluhur laki-laki/perempuan (yangberani hidup mati dengan Ego).

    (12) Kadang Jari, semua orang yang ada hubungan dengan Egokarena hubungan perkawinan.Kuatnya ikatan kekerabatan pada masyarakat masih didapati di

    wilayah-wilayah pedesaan. Tidak hanya ikatan emosional itu munculketika pada acara-acara seremonial kekeluargaan yang hubungannyadengan daur hidup (life cyrcle) seperti upacara kelahiran yang diikutidengan aqiqah (Sasak: ngurisang), sunatan, perkawinan, dan kematian,

  • 55

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    akan tetapi ikatan itu tetap hadir pada setiap saat bila masing-masinganggota kerabat membutuhkan satu sama lain. Interaksi dan komuni-kasi kerabat secara intensif ditemukan pada masyarakat Sasakpedesaan dalam segala hal. Biasanya kerabat tertua memiliki otoritaslebih untuk mengkomunikasikan dan memberikan solusi pada kerabatlain setelah didialogkan dan menjadi solusi bersama

    MERARIQ: DILEMA ANTARA LIBERASI DAN TRADISI

    Dalam studi antropologi, ada konsep masyhur yang diperkenal-kan oleh Arnold Van Gennep mengenai ritus-ritus perayaan tahapan-tahapan kehidupan manusia. Konsep ini disebut ritus peralihan(rite of passage). Saat-saat perpindahan ini menandai sebuahpemisahan, transisi, dan penggabungan tahapan-tahapan tertentudalam kehidupan manusia. Perkawinan merupakan suatu hal yangsangat penting dalam kehidupan manusia karena dianggap suatuperalihan (rite of passage) dari masa remaja ke masa dewasa.28 Per-kawinan adalah ritus transisi. Ia terjadi pada seorang laki-laki yanghendak mengakhiri masa lajangnya.

    Bagi masyarakat Sasak, perkawinan, bukan hanya peralihandalam arti biologis, tetapi lebih penting ditekankan pada artisosiologis, yaitu adanya tanggung jawab baru bagi kedua orang yangmengikat tali perkawinan terhadap masyarakatnya. Oleh karena itu,perkawinan sebagaimana di masyarakat lain, bagi orang Sasakdianggap sebagai hal yang suci, sehingga dalam pelaksanaannyadilaksanakan dengan penuh hikmat, sakral, dan dengan pesta yangmeriah. Inti dari berbagai upacara perkawinan tersebut dalamkonsepsi masyarakat dinyatakan sebagai slametan, yang bervariasimenurut jenis dan bentuknya.29

    28 Lihat Noorhaidi Hasan, The Basunat Ritual: Islam and Local Culture within theCircumcision Ceremony among the Muslim Banjarese, Kultur, The Indonesian Journal forMuslim Cultures I, 2000, hlm. 69-82.

    29 Nur Syam, Madzhab-madzhab Antropologi (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 136.

  • 56

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    30 Jawahir Thontowi, Hukum, Kekerasan & Kearifan Lokal; Penyelesaian Sengketa diSulawesi Selatan (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2007), hlm. 171. Untuk perkawinan lari disuku Batak, baca J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (Yogyakarta:LKiS, 2004), hlm. 198. Lihat juga Fina Ulya, Relasi Laki-laki dan Perempuan NTB dalamBingkai Tradisi (Yogyakarta: LaBel&KIAS, 2011), hlm. 41.

    Salah satu bentuk perkawinan yang populer di masyarakat Sasakadalah kawin lari. Kawin lari merupakan bagian dari tradisi perk-awinan di Indonesia, tetapi pada umumnya masyarakat menganggapkawin lari sebagai pelanggaran terhadap hukum adat, seperti diSulawesi Selatan, Batak, Lampung, Bali, Bugis, Makasar, Sumbawadan Mandar. Lain halnya dengan di Lombok, kawin lari dianggapsebagai sebuah bentuk protes sosial, yang terjadi ketika pemuda danpemudi hendak dinikahkan.30 Praktik perkawinan dengan kawin lari(Sasak: melarikan) pada komunitas Sasak sampai sekarang masihdilestarikan.

    Kata kawin lari dalam gramatika bahasa Sasak dimaknai perkawin-an atau pernikahan. Masyarakat Sasak secara umum menggunakan katamelarikan sebagai identifikasi bagi status perkawinan itu sendiri. Begitukuat eksistensi budaya kawin lari ini, sehingga sudah menjadi bahasabaku yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat Sasak di seluruhlapisan sosial. Sampai di sini, terlihat dengan jelas seakan-akan lakubudaya kawin lari telah menjadi kearifan lokal bagi komunitas Sasak.

    Seperti penjelasan di atas, konsepsi kawin lari digunakan sebagaikesatuan ritual budaya perkawinan yang dijalankan oleh masyarakatSasak. Dalam varian ritual perkawinan itulah didapatkan adanyakonsep memaling (melarikan gadis) dari pengawasan wali danlingkungan sosial di mana si gadis tinggal. Dalam proses diksi(pemilihan kata) dalam penggunaan kata kawin lari dan memalingtidak jarang kedua terma ini diasumsikan bermakna sama. Akantetapi, secara umum masyarakat Sasak memilah kedua kata ini denganmemaknai melarikan sebagai kesatuan ritual perkawinan, sedangkanmemaling merupakan bagian dari ritual perkawinan itu sendiri.

  • 57

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    Kawin lari dalam pengertian pelarian diri atau mencuri gadisdari pengawasan wali dan lingkungan sosialnya sudah terbentuksebagai warisan budaya turun-temurun bagi masyarakat Sasak secaraumum. Pada sebagian masyarakat meyakini bahwa dengan melarikandiri atau mencuri si gadis dari pengawasan walinya, bajang (pemuda)Sasak secara implisit dan eksplisit memberikan bukti nyata ke-sungguhannya untuk mempersunting si gadis.

    Ada pertanyaan yang tersisa dari respons dan keyakinan masya-rakat Sasak dalam adat perkawinannya ini. Apakah dengan laribersama atau dengan mencuri gadis dari pengawasan walinya untukmembuktikan kelaki-lakian, keberanian, keseriusan untuk menjalan-kan hubungan dan jalinan bahtera rumah tangga? Jawaban bagipertanyaan ini direspons dengan narasi yang cukup humoris dandiplomatis bila dipertanyakan kepada orang Sasak atau kaum tuanya.Kebanyakan mereka akan menjawab bahwa ketersinggungan luarbiasa bagi mereka bila seorang lelaki yang ingin mempersuntinganaknya dengan diminta atau dilamar (Sasak: lako). Merekamenganalogikan perkawinan dengan melamar atau peminangandirasakan sebagai penghinaan karena meminta anak gadisnya samadengan meminta anak ayam atau barang saja.31 Dalam hal ini,Bartholomew menulis sebagai berikut.

    Pelarian diri kadang-kadang dianggap sebagai sebuah intisaripraktik adat Sasak, meskipun sebenarnya praktik ini dipinjam dariorang-orang Bali. Pelarian diri merupakan praktik yang dihormati didaerah-daerah tertentu yang menekankan pelarangan meminta kepadaseorang secara langsung atas anak perempuannya untuk dinikahi karenahal ini akan dianggap sebagai penghinaan terhadapnya, anak wanitanya,dan keluarganya. Seorang laki-laki tua mengatakan kepada saya bahwa

    31 Kebanyakan responden dari wali perempuan beranggapan seperti itu, bahkanmayoritas meyakini bahwa dengan cara melarikan anak gadisnya-lah pilihan yang baikuntuk mengawali prosesi perkawinan pada masyarakat Sasak. Wawancara tanggal 2 Juni2007.

  • 58

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    permintaan semacam itu nadanya sama dengan meminta seekorayam.32

    Walaupun argumen masyarakat Sasak yang meyakini signifikansikawin lari terkesan simplistik, namun keyakinan ini pada laku budayamereka menjadi sangat populer dan dapat ditemukan di keseluruhanwilayah geografis masyarakat Sasak, baik pada masyarakat urbanmaupun pedesaan.

    Fenomena adat perkawinan dengan kawin lari cukup menarikbila ditarik pada ruang dimensi masyarakat Sasak. Sebagai entitaslocal indegenious yang bermuatan kearifan lokal, secara ideal muatanmassif yang harus ada penunjang idealitas sebuah adat adalah insightdari nilai adat-istiadat itu sendiri. Kaitannya dengan budaya kawinlari, sebagian masyarakat penganut sistem perkawinan ini meyakinidengan menjelaskan bahwa pada umumnya secara kultural dapatdianggap sebagai cara yang disetujui laki-laki untuk membuktikankelaki-lakian mereka sebagai sebuah respons terhadap dominasipolitik dan ekonomi oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Argumenseperti ini lebih pada pilihan bagi masyarakat Sasak karena kungkung-an imperialisasi, infiltrasi, dan aneksasi dari kekuatan eksternal.

    Dalam kontinuitas kesejarahan, entitas kebudayaan Sasak se-sungguhnya merupakan artikulasi dari difusi kebudayaan pendudukasli Sasak dengan kebudayaan Jawa, kebudayaan Bali, dan kebudayaanMelayu Islam. Proses asimilasi dan difusi kebudayaan melahirkanbudaya masyarakat Sasak yang komplek secara sistemik. Hal ini tampakjelas pada gaya bahasa, laku adat, nilai, fashion, sistem kepercayaan,beberapa tradisi dan kebiasaan, juga tampak pada nama-nama orangdan tempat, tradisi, kesenian, permainan rakyat, dan lain-lain.33

    32 John Ryan Bartholomew, Alif lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, terj. ImronRosyidi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm. 195.

    33 Djalaluddin Arzaky, Kearifan Budaya Suku Bangsa Sasak, dalam Munzirin(ed.), Nilai-nilai Agama dan Kearifan Budaya Lokal Suku Bangsa Sasak dalam PluralismeKehidupan Bermasyarakat (Sebuah Kajian Antropologis-Sosiologis-Agamis) (Mataram: CV BinaMandiri, 2001), hlm. 8.

  • 59

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    Dari ragam persepsi tentang struktur fundamental kebudayaanSasak di atas, maka yang lebih kuat mendominasi varian-varianbudaya Sasak adalah tradisi dan budaya Hindu Bali. Persepsi inidiperkuat dengan kuantitas unsur-unsur budaya yang ada dan masihberlaku di kalangan masyarakat Sasak, diimbangi dengan normalisasibudaya dari Melayu Islam.

    Budaya kawin lari merupakan salah satu dari entitas budayatradisional bagi suku Sasak dari hasil asimilasi dan dialektika ke-budayaan. Faktor penyebab popularitas tradisi ini terkait denganfakta sejarah aneksasi Bali ke Lombok. Raja-raja Bali yang berkuasadi Lombok saat itu sering mengambil perempuan-perempuan Sasaksebagai gundik. Dengan melihat fenomena waktu itu, antisipasi parakeluarga-keluarga Sasak sering mendorong anak wanitanya untuk laribersama (melarikan) dengan laki-laki Sasak yang dicintainya. Secarapsikologis gerak antisipatif masyarakat Sasak waktu itu tidak jauhdari upaya mempertahankan relasi endogamis ketimbang menjadialat pemuas kekuasaan bagi perempuan Sasak waktu itu.

    Komentar yang sering diperdengarkan oleh pemangku adat ataumasyarakat Sasak umumnya menyatakan bahwa praktik budaya kawinlari merupakan hasil dari adopsi masyarakat dari praktik budayaBali. Bedanya adalah kemampuan suku bangsa Sasak untuk membuatinovasi baru bagi budaya kawin lari itu sendiri menjadi sebentukidentitas baru kebudayaan Sasak berdasar pada liminasi otopraksiajaran Islam. Bila pada masyarakat Bali, prosesi melarikan gadis secaraotomatis menjadi akad perkawinan bagi pasangan, sedangkan padamasyarakat Sasak proses itu hanya menjadi awal rentetan prosesidari perkawinan itu karena pelaksanaan akad nikah ala Islam menjadikeharusan untuk dilaksanakan. Hal itu menjadi alasan masyarakatSasak menyelenggarakan rentetan seremoni perkawinan denganpenuh khidmat dalam bingkai keislaman.34

    34 M. Taisir, Kawin Lari dalam Masyarakat Sasak Perspektif Hukum Islam, Tesis,Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 45.

  • 60

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    Penjelasan standar dari pasangan muda dan atau laki-laki danperempuan Sasak secara umum meyakini bahwa perkawinan dengankawin lari yang harus menjadi pilihan bagi laki-laki untuk melaksana-kan seremoni perkawinannya. Sehingga, sering terdengar selentinganpada perempuan Sasak mengenai pentingnya laki-laki untuk meng-ambil resiko dengan reputasi bahaya perkawinan dengan kawin lariini, khususnya pada prosesi awal pelarian diri (memaling) karenadengan cara ini sajalah lelaki memperlihatkan kejantanan dankeseriusannya untuk melakukan perkawinan tersebut.35

    Pada masyarakat Sasak pedesaan, prosesi pelarian diri merupa-kan momentum yang dinanti-nantikan oleh seorang pemuda Sasakyang hendak menempuh hidup baru dari sebuah perkawinan, sedang-kan bagi perempuan, prosesi itu merupakan pintu gerbang hidupberkeluarga yang sangat mendebar-debarkan dan dinantikan. Sikapitu hadir bagi pemuda dan pemudi Sasak sebagai bukti kedewasaanmereka secara sosial.

    Masyarakat Sasak mengenal juga pola perjodohan sebelummenguatnya popularitas perkawinan dengan kawin lari. Pola per-jodohan ini dilakukan dalam bingkai indogamis di mana perjodohandilaksanakan masih dalam lingkup kerabat komunitas Sasak. Biasanyaperjodohan terjadi antar ego dengan anak saudara ego (sepupu danmisan). Akan tetapi, pola perjodohan ini hampir kehilanganeksistensinya di kalangan masyarakat Sasak, khususnya di kampung-kampung masyarakat pedesaan. Alasannya lebih pada peningkatanotonomisasi anak dalam menentukan sendiri pilihan teman hidupnya

    35 Argumen rata-rata masyarakat Sasak kontemporer khususnya kaum perempuanmenanggapi adat perkawinan dengan kawin lari, di samping telah menjadi kekuatan lakubudaya yang turun-temurun, hal lain yang menjadi argumennya adalah dikarenakan olehalasan-alasan psikologis dari perempuan Sasak yang meyakini bahwa calon pengantinlaki-laki yang tidak melakukan melarikan atau pelarian-diri (memaling) dianggap dan dinilairendah dan lemah baik di mata calon pengantin perempuan ataupun orang-orang lain didesa atau komunitas Sasak tertentu. Wawancara dengan beberapa perempuan Sasak diDesa Barabali tanggal 5-15 Juni 2007.

  • 61

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    dan berdasarkan keyakinan bahwa pilihan perkawinan merupakanhak prerogatif bagi pemuda dan pemudi Sasak secara personal.36

    Kebanyakan pemuda pemudi desa dari rata-rata semua tingkat-an pendidikan menyatakan bahwa perkawinan melalui perjodohanmerupakan masa lalu dan merupakan praktik keterbelakangan karenatidak sesuai dengan kebebasan memilih pasangan, baik pemudamaupun pemudi, yang mempertegas otonomisasi bagi siapa saja.37

    Indikasi popularitas kawin lari masuk pada ruang diskursus diatas tidaklah berlebihan, karena sering kali keyakinan otonomisasianak menjadi alasan kuat untuk melaksanakan perkawinan dengankawin lari. Hilangnya reputasi perjodohan dengan meningkatnyaotonomisasi anak sementara merupakan asumsi bagi meningkatnyapopularitas perkawinan dengan kawin lari.

    Tanpa dipungkiri juga bahwa dalam praktik kawin lari didapat-kan beberapa kemudahan dalam pelaksanaan keinginan untuk mem-persunting seorang gadis Sasak. Hanya dengan sedikit keberaniandan kenekatan, seorang pemuda Sasak dapat melarikan diri bersamaseorang gadis yang dicintai dan diinginkan sebagai teman dan pen-damping hidupnya. Dibandingkan dengan reputasi bahayanya,pilihan perkawinan dengan memaling (lari bersama) sangat tidakberesiko untuk tidak direstui oleh orang tua dari pihak perempuan.Berbeda dengan perkawinan dengan pinangan yang kadang-kadangsecara lugas orang tua perempuan tidak mengizinkan perkawinanitu berlangsung.

    Pada pelaksanaan perkawinan dengan memaling, pihak waliperempuan sepertinya tidak memiliki kekuasaan penuh untuk me-nentukan kebolehan perkawinan putrinya, hal ini dikarenakan kesandan pesan adat yang kental atas keharusan restu wali perempuan.

    36 John Ryan Bartholomew, Alif lam Mim, hlm. 188.37 Pada sebagian muda-mudi Sasak, baik di perkotaan maupun pedesaan lainnya,

    dengan biasa didapatkan pada usia-usia pubertas (empat belas tahunan) rata-rata telahmengenal pacaran dan menjadi indikasi otonomisasi muda-mudi itu untuk mengenaldan mengetahui calon pasangan pilihannya sendiri walaupun terkesan dini.

  • 62

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    Bila perkawinan dengan kawin lari dan pasca lari bersama (memaling),tetapi wali perempuan tidak menyetujui perkawinan tersebut, makaakan menjadi aib bagi keluarga perempuan seluruhnya, apalagi jikatidak adanya persetujuan wali itu perempuan yang dilarikan dikembali-kan oleh pihak laki-laki. Maka, sanksi sosial masyarakat adat menjadibayang-bayang bagi keluarga perempuan itu.

    Secara umum, ada tiga pandangan yang mengemuka tentangkawin lari di tengah masyarakat, yaitu:

    Pertama, pandangan yang setuju terhadap kawin lari (merariq),baik yang berpendidikan SD, SMP, SMA, maupun PT. Adakalanyamereka yang tinggal di pelosok desa ataupun di perkotaan.Masyarakat muslim Sasak yang tersebar di seluruh penjuru PulauLombok pada umumnya bersikap permisif terhadap praktik kawinlari. Ada beberapa alasan yang mendasari persetujuan merekaterhadap praktik kawin lari (merariq), yaitu: (a) kawin lari merupakantradisi dan adat-istiadat, tidak sepenuhnya bertentangan denganajaran Islam, (b) kawin lari merupakan warisan leluhur yang sudahmentradisi, (c) kawin lari bisa membahagiakan pasangan suami istri,(d) kawin lari bisa meningkatkan status sosial suami atau istri, dan (f)kawin lari dianggap sesuatu yang lumrah dan biasa.

    Pandangan yang setuju terhadap praktik kawin lari merupakanpandangan mayoritas masyarakat muslim Sasak, baik yang ada ditengah kota maupun di pelosok desa, baik pejabat maupun rakyat,baik tuan guru (kyai) maupun masyarakat awam, baik laki-lakimaupun perempuan. Khusus untuk perempuan yang setuju kawinlari, umumnya mereka di pinggiran kota, berpendidikan menengahke bawah, dan berumur lanjut.38

    Selain faktor-faktor di atas, sikap kaum perempuan Sasak yangsetuju terhadap praktik kawin lari (merariq) lari juga disebabkan olehsuperioritas kaum laki-laki Sasak terhadap kaum perempuannya.

    38 Diolah dari hasil wawancara penulis, antara lain dengan Syamsuddin, AdnanMuksin, Ustaz Surani, Sadariah, dan survey penulis antara tahun 2007-2008 di Lombok.

  • 63

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    Superioritas kaum lelaki mewarnai seluruh aspek kehidupan, baikdalam lingkup rumah tangga (domestic) maupun dalam konteks kehidup-an sosial kemasyarakatan (public). Keadaan seperti ini yang disadariatau tidak ikut memberikan kontribusi terhadap munculnya inferioritasdi kalangan perempuan Sasak. Ketika inferioritas muncul pada saatitu, hampir semua keinginan lelaki tak ada alasan untuk tidakmemperoleh respons positif dari kaum perempuan, tak terkecualikeinginan kawin lari (merariq). Sehingga, menjadi bisa dipahami jikakemudian banyak kaum perempuan Sasak yang tidak memberikanreaksi atau perlawanan praktik kawin lari (merariq) yang dilakukanpara kaum lelaki.

    Namun, mereka juga merasa melihat secara kritis terhadappraktik kawin lari (merariq) jika yang melakukan kawin lari tersebutberlebihan melakukannya seperti sering berganti pasangan. Karenadalam wawancara penulis dengan berbagai informan, merekamenyebutkan bahwa adanya praktik kawin lari ini menjadi salah satupenyebab tingginya angka perceraian di Lombok. Sebagai contoh,masyarakat akan memandang aib atau sinis terhadap seseorang yangsecara ekonomi tidak atau kurang mapan, namun nekat kawin lari.Terhadap orang yang demikian, masyarakat Sasak memandangsebagai sebuah perbuatan yang seharusnya tidak diakukan karenabisa dipastikan suami yang lemah ekonominya dan kawin lari tidakakan bisa memberikan nafkah lahir kepada istrinya, sehingga akanmemunculkan kemiskinan berkepanjangan. Masyarakat merasakanimbas dari kawin lari yang dilakukan seseorang yang secara ekonomitidak mampu. Kawin lari yang demikian dipandang tidak mendatang-kan kedamaian bagi masyarakat.

    Kedua, pandangan yang tidak setuju terhadap praktik kawin lari(merariq) baik yang dilakukan atas dasar suka sama suka atau tidaksuka antara calon suami dan istri. Pandangan yang tidak setuju inimerupakan pandangan minoritas masyarakat muslim Sasak. Ada duaalasan utama yang mendasari ketidaksetujuan terhadap praktik kawinlari, meliputi: (a) kawin lari dianggap bertentangan dengan ajaran

  • 64

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    39 Hasil wawancara penulis dengan L. Ikroman, L. Tamjidillah, dan Masri dalamberbagai kesempatan selama penelitian ini ditulis.

    40 Hasil wawancara penulis dengan Mujenah, A. Afif, dan Sabar dalam berbagaikesempatan selama penelitian ini ditulis.

    41 Survey di lingkungan Desa Barabali dan desa-desa lain di sekitar desa tempatpenulis dilahirkan.

    Islam, oleh karena itu tidak boleh dilaksanakan, dan (b) kawin laridianggap merendahkan martabat lelaki ataupun perempuan yang me-lakukan, karena memperlakukan wanita sama dengan barang takberharga. Mereka yang tidak setuju terhadap praktik kawin lariberasal dari kalangan yang tinggal di tengah kota ataupun di pedesa-an, baik laki-laki maupun perempuan, baik berpendidkan tinggimaupun menengah, baik yang berstatus sosial tinggi maupun yangbukan.39

    Ketiga, pandangan yang tidak tahu-menahu dengan kawin lari(merariq). Pandangan ini minoritas di kalangan masyarakat muslimSasak. Mereka yang tidak tahu-menahu dengan praktik kawin lariterdiri atas laki-laki ataupun perempuan, dan umumnya masyarakatketurunan dan pendatang, seperti dari Jawa, Banjar, ataupun Arab,karena kalau ada pernikahan di kalangan mereka, mereka lebihbanyak menggunakan prosesi dalam budaya mereka.40

    Pola perkawinan dengan kawin lari pada masyarakat Sasak biasaterjadi antar warga sekampung ataupun luar kampung dan desa diwilayah Lombok. Di atas rata-rata para pelaku perkawinan lebihmemilih cara melarikan-memaling sebagai alternatif model per-kawinannya.41 Fenomena yang jarang ditemukan pada masyarakatSasak adalah perkawinan antar keluarga dekat. Pemuda Sasak lebihmemiliki otoritas untuk memilih pasangan hidupnya baik dari dalamlingkungan ataupun wilayah lain di seluruh daerah Lombok, bahkandi luar etnis Lombok.

    Pada skala mikro, khususnya pada masyarakat Sasak pedesaan,mengalami perubahan fundamental dalam berbagai aspek, tidakketinggalan juga perubahan pada orientasi perkawinan yang dilaku-

  • 65

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    kan. Arus pemahaman Islam secara kaffah dan proses akulturasikadang-kadang secara represif mengharuskan penyesuaian-pe-nyesuaian nilai dan norma dalam masyarakat. Ciri-ciri lokal pun mulaibergeser seiring dengan melebarnya batas-batas interaksi dan limitasipengetahuan penduduk sehingga mampu mengubah posisi dan relasikeluarga dalam masyarakat.42

    Berbeda dengan yang terjadi di pedesaan, di masyarakat Sasakperkotaan muncul juga fenomena seperti di atas, perubahan padaorientasi perkawinan, pola relasi keluarga mulai terintegrasi ke dalamsatu sistem dunia dan sistem relasi di luar keluarga dan teritori budaya.Calon pengantin memiliki hak prerogatif untuk menentukan pilihanhidupnya, bisa dari dalam lingkungannya sendiri ataupun desatetangga bahkan dari wilayah kultur yang berbeda yang tidak harusdicari hanya dalam lingkungan desa sendiri.

    Kekuatan pendorong yang mengangkat reputasi perkawinandengan memaling secara tidak langsung adalah andil arus modernisasiyang memberikan kebebasan terhadap individu untuk menentukanpasangan dalam orientasi perkawinannya. Fenomena ini dalam masya-rakat Sasak perkotaan terkesan ambigu, karena pada satu sisi kekuatanmodernisasi dalam evolusi budaya menawarkan reduksi-reduksi nilai-nilai kultur, akan tetapi di sisi yang lain khususnya pada pola perkawinanSasak malah dipertahankan.

    RESPONSI DAN IMPLIKASI SOSIAL TRADISIMERARIQ

    Popularitas kawin lari dengan pelarian diri terkesan menjadisebentuk pilihan simplifiktif dalam sikap yang menggunakan legalitasadat sebagai instrumen pencapaian keinginan. Kawin lari lebihmenjadi pilihan karena pilihan yang lain seperti perkawinan dengan

    42Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2006), hlm. 155.

  • 66

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    meminang atau belako terkadang cukup memberatkan dan mem-butuhkan modal dan kesiapan psikologis yang harus ditanggung olehcalon mempelai pria. Kemungkinan lamaran ditolak dan tidakdisetujui oleh wali perempuan, perbedaan status sosial (kafa >ah),syarat-syarat persetujuan, dan lainnya yang harus dipenuhi olehpelamar tidak kalah sering terasa memberatkan pihak laki-laki, makalari bersama menjadi pilihan tepat bagi satu pasangan. Di sampingmudah dalam penyelesaian masalah-masalah dalam proses perkawin-an, kawin lari juga mempermudah persetujuan wali (bila tidak adaketentuan adat yang mengikat), karena dalam adat perkawinan Sasakbila dua pasangan sudah melarikan diri akan menjadi keharusan bagipihak wali perempuan untuk menyetujuinya. Bila tidak, maka akanmenjadi aib bagi keluarga yang dikesankan menyalahi adat. Muhietal-Lefaqi memberikan komentar:

    Pengulangan atas praktik yang menekankan ketidaksamaanderajat (kafa >ah) seseorang berdasarkan keturunan seperti yangtampak dalam acara adat sorong serah aji krama merupakan hal yangbertentangan dengan ajaran inti Islam. Hanya Allah yang dapat mem-buat penilaian mengenai status manusia. Oleh karena itu, setiapseremoni yang intinya membedakan orang berdasarkan kriteria,seperti keturunan dengan sendirinya tidak islami, tidak demokratis,dan karena itu harus dibuang jauh-jauh. Demikian juga praktik-praktikIslam yaang mengingkari prinsip-prinsip ketauhidan Allah danmenjauhkan diri dari prinsip itu semestinya dihindari.43

    Yang sering menjadi permasalahan dalam proses panjang kawinlari adalah pada permasalahan sorong serah. Apalagi perkawinan yangterjadi antara pasangan yang tidak sama status sosialnya. Kontoversiacara sorong serah dalam perkawinan antara wanita dari keluargaperwangsa atau bangsawan dengan laki-laki dari keluarga jajar karangpada akhir tahun 2006 terjadi di Desa Aik Darek dan telah meng-undang keterlibatan berbagai tokoh masyarakat untuk menyelesaikan

    43 Wawancara dengan KH. Muhit al-Lefaqi, 5 Mei 2007, di Ampenan Kota Mataram.

  • 67

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    masalah tersebut. Pada kasus ini, A. Turmuzi (35 tahun) sebagai se-orang informan yang juga menjabat anggota BPD Desa Aik Darekmenjelaskan:

    Pada akhir tahun 2006, seorang gadis Desa Aik Darek darikeluarga bangsawan (perwangsa) telah dilarikan (merariq) oleh seorangpemuda yang berasal dari tetangga desa dan kebetulan pihak keluargapemuda tersebut di samping miskin, mereka juga dari golongan jajarkarang. Sebagaimana tradisi yang berlaku di desa ini, oleh karenamereka berasal dari golongan dan status sosial yang berbeda, makadapat diduga hubungan mereka tidak mendapat restu dari pihakorang tua perempuan. Namun, karena alasan suka sama suka merekatetap kawin secara merariq. Menurut tradisi yang berlaku di DesaAik Darek, selang beberapa waktu sesuai dengan kesepakatan keduabelah pihak (paling lambat seminggu setelah merariq), acara sorongserah semestinya sudah dilakukan. Namun, dalam kasus ini setelahlebih dari satu bulan sejak merariq dilakukan, acara adat sorong serahbelum juga dilakukan. Pihak keluarga laki-laki yang seharusnya meng-ambil inisiatif untuk melaksanakan adat itu justru tidak melakukannyakarena alasan mereka sama sekali tidak memiliki uang untuk mem-bayar aji krama dan melaksanakan kegiatan sorong serah sesuai dengankebiasaan yang berlaku. Secara tradisi, jika dalam merariq adat sorongserah tidak dilaksanakan, maka pihak keluarga, baik keluarga wanitamaupun laki-laki akan mendapat aib dan menjadi sorotan negatifdari lingkungannya. Atas dasar itu, pihak keluarga pengantin wanitaberusaha melakukan pendekatan kepada pihak laki-laki agar adatsorong serah segera dilaksanakan. Usaha semacam ini secara tradisitertentu oleh umum sebagai sesuatu yang tidak lazim dan mengundanggosip kontroversial. Namun, usaha itu tidak membuahkan hasilkarena pihak keluarga laki-laki menolak untuk melaksanakan sorongserah akibat kondisi ekonomi mereka sangat miskin. Menghadapisituasi yang demikian, pihak orang tua melaporkan kejadian itukepada pihak pemerintah desa dan sekaligus memohon agar aparatterkait dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Melalui

  • 68

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    44 Wawancara penulis dengan A. Turmuzi, 3 Januari 2008.

    pendekatan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh masyarakat Aik Darekyang terdiri atas aparat desa, tokoh adat, kiai, dan tuan guru kepadapihak keluarga laki-laki dan atas kesepakatan bersama bahwa sebagianbiaya sorong serah menjadi biaya tanggungan pihak keluargaperempuan, akhirnya acara adat sorong serah aji krama yang relatifsederhana untuk pasangan tersebut bisa dilaksanakan. Denganterselenggaranya acara sorong serah tersebut kontroversi dan konflikyang terjadi di seputar adat sorong serah itu untuk sementara waktubisa diredam.44

    Terjadinya penyelesaian sengketa perkawinan secara musyawarahlewat mediasi tokoh agama di lokasi penelitian, menunjukkan telahterjadi perdamaian setelah adanya kawin lari tersebut, untuk meng-hindari konflik yang kerkepanjangan. Oleh karena itu, musyawarahmerupakan hal yang esensial dalam kehidupan manusia, yang dapatmenciptakan dinamika yang sehat, harmonis dan humanis dalamsetiap interaksi antar sesama. Musyawarah atau mediasi ini dilakukanuntuk mencapai keadilan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhiratkelak, dan ini meruapakan inti dari hukum Islam yaitua memperolehkemaslahatan umat. Abu> Ish }aq Asy-Sya>t}ibi > merumuskan lima tujuanhukum Islam, yakni: memelihara (1) agama, 2 (jiwa), (3) akal, (4)keturunan, dan (5) harta. Kelima tujuan hukum Islam ini seringdiistilahkan maqa>s}id asy-syari >ah.

    Dalam kasus ini, fakta bahwa para tuan guru menyelesaikankasus-kasus sengketa kawin lari ini menunjukkan adanya lembagainformal dalam sistem hukum Indonesia. Para tuan guru merupakanpelaku yang tepat dalam menengahi perselisihan antara berbagai pihakakibat perkawinan lari, karena para tuan guru memiliki otonomi lokaldan oleh sebab itu sangat penting dalam mempertahankan ketertibanmasyarakat setempat. Apalagi dalam tradisi kawin lari ini seringmenimbulkan permasalahan.

  • 69

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    Fenomena merariq diasumsikan sebagai puncak etis wujudkearifan lokal (local wisdom) bagi masyarakat Sasak secara eksklusif.Namun, di samping kesan-kesan positif di dalamnya tidak jarangpraktik perkawinan lari ini menyisakan persoalan-persoalan yangmengancam keutuhan keluarga, baik secara sosiologis maupunpsikologis. Salah satu persoalan yang muncul adalah konflik yangterjadi dalam rumah tangga yang pada akhirnya memunculkantindakan kekerasan dan perlakuan yang tidak adil terhadapperempuan di dalam rumah tangga.

    PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIKMERARIQ

    Demikianlah beberapa aspek yang berkaitan dengan adat kawinlari Sasak (dalam midang dan beberayean dan lari untuk kawin).Gambaran di atas memperlihatkan bahwa meskipun dalam beberapahal kawin lari Sasak memperlihatkan adanya kesesuaian denganketentuan syarak, namun dimensi pertentangannya baik dari sudutnormatif maupun kemaslahatan juga tidak sedikit. Kenyataan inibarangkali cukup sebagai pertimbangan untuk menyatakan bahwapraktik kawin lari Sasak tersebut dari perspektif hukum Islamberpotensi tidak baik dan kurang menguntungkan serta mengandungbahaya yang dapat mengancam jiwa dan menimbulkan permusuhan,baik antara pelaku pelarian dengan keluarga perempuan maupundengan para beraye (pacar). Oleh karena itu, keberadaannya juga perludikaji ulang untuk menutup atau sekurang-kurangnya memperkecilpeluang bagi terjadinya berbagai perbuatan yang dapat mengancamkemaslahatan. Dalam perspektif hukum Islam, permasalahan hukumseperti ini disebut sadd az-zari >ah yang biasa diterjemahkan denganmeniadakan atau menutup jalan yang dapat membawa pada perbuatanyang dilarang. Dalam hukum Islam, sadd az-zari >ah dipandang sebagaisalah satu sumber hukum Islam. Di antara imam mazhab hukumIslam yang biasa menggunakan sadd az-zari >ah adalah Imam Malik,

  • 70

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    45 Para ulama sependapat bahwa sadd al-zari>ah merupakan salah satu sumber hukumIslam meskipun kadar pemakaiannya berbeda-beda. Lihat dalam Muhammad AbuZahrah, Us }u >l al-Fikih (t.tp.: Da>r al-Fikr al-Arabi, t.th.), hlm. 217. Lihat juga AbdulWahhab Khallaf, Ilm Us }u>l (Kuwait: Da>r al-Qalam, 1985), hlm. 35.

    46 Ali Ahmad an-Nadwi, al-Qawa>id al-Fiqhiyyah (Beirut: Da>r al-Qalam, 2000), hlm.19. Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuti, al-Asybah wa an-Naz}a>ir fi> al-Furu> (t.tp.: Da>r al-Fikr, t.th.), hlm. 59.

    47 Kaidah ini sebenarnya berasal dari hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan IbnMajah dari ibnu Abbas. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Maja>h (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah,t.th), hlm. 784. Lihat Ali Ahmad an-Nadwi, al-Qawa>id, hlm. 20.

    48 Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyu >t }i, al-Asybah, hlm. 62.

    dan hal ini dapat kita jumpai dalam pemikiran-pemikiran fikihmazhab ini. Oleh karena itu, para pendukung Imam Malik secaraterus-menerus memperkenalkan penggunaan sadd az-zari >ah dalammengambil atau menetapkan hukum, bahkan ada yang beranggapanbahwa sadd az-zari >ah itu hanya dikembangkan oleh ulama Malikiyah.Padahal, pada kenyataannya, selain ulama Malikiyah juga banyak yangmenggunakan dasar sadd az-zari >ah.45 Hal ini sejalan dengan beberapakaidah fiqhiyah, seperti:a. Kemudaratan harus dihilangkan

    46

    Kemudaratan harus dihilangkanb. Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri dan orang

    lain.47

    Janganlah membuat kemudaratan dan dimudaratkanc. Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik ke-

    maslahatan dan apabila berlawanan antara yang mafsadah danmaslahah maka yang didahulukan adalam menolak mafsadahnya.

    48

    Menutup pintu kemudaratan harus didahulukan daripada mengambilmanfaat.

  • 71

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    Pertimbangan ini kadang-kadang yang dijadikan argumen olehpara tuan guru di masyarakat Sasak untuk melarang atau bahkantidak mempraktikkan kawin lari. Sistem ini pernah dihapus ataudilarang, seperti yang terjadi di Desa Bengkel. Pelarangan ini didasarioleh fatwa TGH. Saleh Hambali yang menganggap kawin lari inisebagai manivestasi Hinduisme (Bali), serta tidak sesuai dengan ajaranIslam.49

    Dalam pengamatan dan perbincangan penulis dengan para tuanguru (informan) mereka sepakat menganggap merarik (kawin lari)bukanlah praktik Islam. Sebenarnya, sebagian besar berpendirianbahwa praktik tersebut secara langsung bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Namun, pendefenisian pelarian diri sebagai sesuatuyang tak islami juga menghadapi kesulitan-kesulitan yang luar biasaketika mempertimbangkan skisma keagamaan yang ada di daerahLombok. Para tuan guru atau tokoh dari Muhammadiyah begitukeras menolak praktik merarik ini. Mereka mengatakan bahwa ajaran-ajaran asli Islam yang dibawa Nabi Muhammad secara eksplisitmenyatakan bahwa seorang laki-laki harus melakukan peminangan(khitbah) secara resmi kepada ayah gadis bila ingin menikahinya.50Menurut mereka, karena alasan ini saja merarik adalah tidak islami.

    Senada dengan pendapat tokoh Muhammadiyah, Muhit al-Lefaqy mengungkapkan bahwa dengan tidak meminta izin danmencuri anak perempuan seseorang, berarti laki-laki itu jelas-jelastidak menghargai ayah anak perempuan, yang bisa menimbulkankekacauan sosial. Menurut Muhit, organisasi Muhammadiyah sangat

    49 Ahmad Abd. Syakur, Islam dan Kebudayaan: Akulturasi Nilai-nilai Islam dalam BudayaSasak (Yogyakarta: Adab Press, 2006), hlm. 184.

    50 Karakter penegasan ini merefleksikan sebuah orientasi yang sangat kelaki-lakianyang menyatakan bahwa satu-satunya agensi di sini adalah orang laki-laki. Penulis tidakhendak mengatakan bahwa tuan guru mengatakan hal itu. Dalam banyak hal, idiom-idiom standar muslim untuk mendiskusikan masalah-masalah yang berkaitan denganhubungan antargender sering bersifat androsentris. Sifat pelarian diri para calon pengantindalam merarik mengindikasikan bahwa agensi, apapun luasnya persoalan yang dibicarakan,terletak dalam domain laki-laki dan perempuan.

  • 72

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    jelas dalam upaya-upayanya untuk mengembalikan praktik-praktikyang tidak murni Islam di Indonesia kepada praktik-praktik yangbenar-benar dilakukan Nabi sendiri. Berkaitan dengan hal ini, Muhitmengatakan bahwa Islam adalah sebuah agama yang sangat sederhanadan dia mencoba memprakarsai kebangkitan Islam untuk me-ngembalikan umat Islam kembali kepada sumber-sumber asli danmembedakannya dengan kebanyakan bidah oleh Muhammadiyahdianggap tidak sah. Dari perspektif ini, pelarian diri adalah salahsatu bidah yang tidak dapat diterima.51

    Oleh karena itu, sebagai tradisi yang berkembang luas di tengah-tengah masyarakat muslim, tradisi merarik perlu dikritisi agar lebihbanyak memberikan mas}lah }at daripada mud}arat. Ini tidak berarti harusmembuang tradisi itu secara keseluruhan. Tetapi, dengan memeliharatradisi yang baik dan mengambil cara lain yang lebih baik, sesuaidengan kaidah: al-muh }a >faz }ah ala> al-qadi >m al-s}a>lih } wa al-akhz \u bi al-jadi >d al-as}lah }.

    Dengan demikian, tradisi warisan masa lalu mesti dihargaisekaligus harus dihadapi dengan sikap kritis agar umat menjadikreatif. Barangkali patut dimasyarakatkan istilah taklid yang kritisdan kreatif, istilah yang sesungguhnya berasal dari kaidah al-mukha>faz }ah ala> al-qadi >m al-s}a>lih } wa al-akhz \u bi al-jadi >d al-as}lah } di atas.Kedua sikap ini, antara mempertahankan dan mengambil, harusdipegang secara adil dan seimbang, karena tidak mungkin hanyadipakai salah satu saja.

    Dalam Istilah TGH. Ahmad Taqiuddin, tradisi sudah ada, agamadatang belakangan. Jadi, agama bukan datang untuk memberantastradisi, tetapi menyempurnakan apa yang sudah dimiliki masyarakat,termasuk kawin lari ini. Keberhasilan Walisongo dalam menyebarkanagama Islam karena mereka memahami benar nilai-nilai yang tumbuhdalam masyarakatnya, jelas Taqiuddin. Namun dalam masalah kawin

    51 Wawancara dengan Muhit al-Lefaqy di Ampenan, tanggal 5 Mei 2007.

  • 73

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    lari ini perlu ada rambu-rambu atau awiq-awiq agar tidak membawadampak negatif dalam masyarakat.52

    Dalam pemikiran penulis, adanya praktik kawin lari dan masihterjadi di masyarakat merupakan implikasi dari masih diakuinyapluralisme hukum di Indonesia. Di dalam tradisi dan budaya hukumIndonesia terdapat tiga tradisi normatif: hukum adat pribumi, hukumIslam, dan hukum sipil. Inilah yang dikenal dengan Islam pluralismehukum. Woodman, sebagaimana dikutip Ratno Lukito, mendefinisi-kan pluralisme hukum sebagai kondisi di mana penduduk melihatadanya lebih dari satu sistem hukum. Definisi ini jelas berlaku dalamkasus Indonesia di mana penduduk bisa menggambarkan dirinyamerupakan objek dari dua sistem hukum atau lebih, yaitu hukumnegara dan satu atau lebih tradisi hukum etnik atau agama. Karenaalasan itu, maka bisa dipahami bahwa pluralisme hukum tidakmenghasilkan entitas yang statis, tetapi menciptakan interaksi dinamisdi antara tradisi-tradisi hukum yang berbeda-beda.53

    Dua jenis praktik perkawinan (resmi dan lari) menunjukkanbagaimana situasi hukum pluralistik memberikan lebih banyak pilihanbagi orang Lombok. Dalam pilihan hukum pertama, perkawinanstandar atau resmi menciptakan keharmonisan warga masyarakat,terlepas dari dominasi adat Lombok terhadap hukum Islam danhukum nasional. Dalam perkawinan standar tidak ada kompetisiantara hukum Islam, hukum nasional, dan hukum adat setempat.

    Berbeda dengan perkawinan standar, kawin lari merupakanpilihan praktis yang pada dasarnya diijinkan oleh hukum adatLombok, sekalipun pilihan ini rentan terjadinya percekcokan.54

    52 Wawancara dengan TGH. Ahmad Taqiuddin Mansur, pada tanggal 20 Agustus2007. di Bonder, dan 2 Januari 2008, di Kekalik Mataram.

    53 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik dan Resolusidalam Sistem Hukum Indonesia (Jakarta: Alvabet, 2008), hlm. 9-10.

    54 Jawahir Thontowi, Hukum, Kekerasan & Kearifan Lokal, hlm. 377.

  • 74

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    KESIMPULAN

    Berdasarkan penjelasan di atas, salah satu ajaran normatif yangterkandung dalam praktik merariq adalah rasa bangga terhadapidentitas individu dan identitas keluarga pihak perempuan yang di-tandai adanya keinginan agar gadis yang dinikahi lelaki harus didahuluioleh proses pelarian. Kebanggaan tersebut memiliki kontribusi sosialbagi eksistensi keluarga di tengah komunitas masyarakat setempat.

    DAFTAR PUSTAKA

    Abdullah, Irwan. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2006.

    an-Nadwi, Ali Ahmad. al-Qawa>id al-Fiqhiyyah, Beirut: Da>r al-Qalam,2000

    Arzaky, Djalaluddin. Kearifan Budaya Suku Bangsa Sasak, dalamMunzirin (ed.), Nilai-nilai Agama dan Kearifan Budaya LokalSuku Bangsa Sasak dalam Pluralisme Kehidupan Bermasyarakat(Sebuah Kajian Antropologis-Sosiologis-Agamis), Mataram: CVBina Mandiri, 2001.

    as-Suyuti, Abdurrahman bin Abi Bakr. al-Asybah wa an-Naz }a>ir fi > al-Furu>, t.tp.: Da>r al-Fikr, t.th.

    Bartholomew, John Ryan. Alif lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak,terj. Imron Rosyidi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.

    Budiwanti, Erni. Islam Sasak: Wetu Telu Versus Waktu Lima,Yogyakarta: LKiS, 2000.

    Fadly, M. Ahyar. Islam Lokal Akulturasi Islam di Bumi Sasak, Bagu:STAIIQH Press, 2008.

    Hasan, Noorhaidi. The Basunat Ritual: Islam and Local Culturewithin the Circumcision Ceremony among the MuslimBanjarese, Kultur, The Indonesian Journal for Muslim Cultures I,2000.

    Khallaf, Abdul Wahhab. Ilm Us}u>l, Kuwait: Da>r al-Qalam, 1985.

  • 75

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    Koentjaraningrat, Teori Antropologi II, Jakarta: Universitas IndonesiaPress, 1990.

    Lukito, Ratno. Hukum Sakral dan Hukum Sekuler : Studi Tentang Konflikdan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Alvabet,2008.

    Lukman, Lalu. Pulau Lombok dalam Sejarah, Jakarta: DepartemenPendidikan dan Kebudayaan, 2005.

    Pemerintah Provinsi NTB, Rencana Pembangunan Jangka MenengahDaerah, Mataram: Provinsi NTB, 2009.

    Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Monografi Daerah NTB,Mataram: Departemen P & K, 1977.

    Salam, Solichin. Lombok Pulau Perawan, Jakarta: Kuning Mas, 1992.Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali Press,

    1986. Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. VII, Jakarta: RajaGrafindo

    Persada, 1999.Syakur, Ahmad Abd. Islam dan Kebudayaan: Akulturasi Nilai-nilai Is-

    lam dalam Budaya Sasak, Yogyakarta: Adab Press, 2006.Syam, Nur. Madzhab-madzhab Antropologi, Yogyakarta: LKiS, 2007.Taisir, M. Kawin Lari dalam Masyarakat Sasak Perspektif Hukum

    Islam, Tesis, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogya-karta,2001.

    Thontowi, Jawahir. Hukum, Kekerasan & Kearifan Lokal; PenyelesaianSengketa di Sulawesi Selatan, Yogyakarta: Pustaka Fahima,2007.

    Ulya, Fina. Relasi Laki-laki dan Perempuan NTB dalam Bingkai Tradisi,Yogyakarta: LaBel&KIAS, 2011.

    Vergouwen, J.C. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Yogyakarta:LKiS, 2004.

    Windia, Lalu Bayu. Manusia Sasak Bagaimana Meng gaulinya?,Yogyakarta: Genta Press, 2006.

    Yasin, M. Nur. Hukum Perkawinan Islam Sasak, Malang: UIN MalangPress, 2008.

  • 76

    Harga Diri & Ekspresi Budaya Lokal

    Zahrah, Muhammad Abu. Us}u>l al-Fikih, t.tp.: Da>r al-Fikr al-Arabi,t.th.

    Zakaria, Fathurrahman. Mozaik Budaya Orang Mataram, Mataram:Yayasan Sumurmas Al-Hamidy, 1998.