202
Tirto Jiwo, Sekolah Pemulihan Gangguan Jiwa Oleh: Gunawan Setiadi Buku ini mengisahkan kegiatan pemulihan gangguan jiwa yang ditulis dalam bentuk cerita fiktif agar lebih menarik dan mudah dipahami. Layak dibaca oleh siapa saja yang tertarik dengan pemulihan gangguan jiwa, khususnya bagi mereka yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan di bidang psikologi maupun kesehatan jiwa.

Tirto Jiwo, Sekolah Pemulihan Gangguan Jiwatirtojiwo.org/wp-content/uploads/2014/01/TirtoJiwo.pdf1 eBook ini diterbitkan pada th 2014 oleh Tirto jiwo. Hak cipta ada pada penulis dan

Embed Size (px)

Citation preview

Tirto Jiwo, Sekolah Pemulihan Gangguan Jiwa Oleh: Gunawan Setiadi

Buku ini mengisahkan kegiatan pemulihan gangguan jiwa yang ditulis dalam bentuk cerita

fiktif agar lebih menarik dan mudah dipahami. Layak dibaca oleh siapa saja yang tertarik

dengan pemulihan gangguan jiwa, khususnya bagi mereka yang tidak mempunyai latar

belakang pendidikan di bidang psikologi maupun kesehatan jiwa.

1

eBook ini diterbitkan pada th 2014 oleh Tirto jiwo.

Hak cipta ada pada penulis dan dilindungi undang undang. Siapa saja diperbolehkan

memperbanyak maupun menyebar luaskan tulisan ini, asalkan bukan untuk tujuan

komersial serta tidak mengubah isinya.

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun

cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Buku ini tidak menggambarkan keadaan sesungguhnya dari Tirto Jiwo, Pusat pemulihan

dan Pelatihan Gangguan Jiwa. Ketika buku ini diterbitkan pada 15 Januari 2014,

pembangunan gedung Tirto Jiwo masih dalam tahap penyelesaian. Gambaran sekolah

pemulihan jiwa dalam tulisan ini merupakan visi atau gambaran kedepan yang ingin kami

realisasikan.

Meskipun uraian dan pernyataan di dalam tulisan ini didasarkan pada rujukan ilmiah yang

dapat dipercaya, namun tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai pengganti nasihat dokter

ataupun tenaga professional lainnya.

Tirto Jiwo

www.tirtojiwo.org

2

Untuk penderita gangguan jiwa diseluruh Indonesia

3

Daftar isi

1. Prolog 4

2. Saat untuk mengembalikan 11

3. Mereka bisa pulih 22

4. Sekolah pemulihan jiwa 36

5. Guru menjemput murid 52

6. Kebutuhan belajar 63

7. Mengapa anakku 73

8. Suara suara yang membuat cemas 81

9. Nasi bercampur butiran kaca 101

10. Gadis manis berkumis 114

11. Rencana kerja studi 124

12. Terapi keluarga 153

13. Rumah kost pemulihan jiwa 160

14. Life skills 168

15. Gerakan pemulihan gangguan jiwa 188

16. Epilog 195

4

Prolog

aat itu, empat tahun sebelum memasuki pensiun, dalam waktu kurang dari

seminggu, kuterima 5 berita buruk. Pak Samsul Bahri, seniorku yang dua

tahun lalu pensiun, usahanya bangkrut , terlilit hutang dan kini sedang

mencari pekerjaan agar bisa membayar hutangnya. Pak Zainal Abidin, juga seniorku

di Kemenkes yang baru setahun lalu pensiun, meninggal karena stroke. Sebelum

meninggal, dia sering gelisah dan gampang marah. Sejak tidak lagi memegang

jabatan, hampir tidak ada orang yang menyapa dan menghormatinya lagi. Pak Surya

Alam, saudaraku yang sudah 3 tahun pensiun sebagai pegawai negeri sipil di daerah,

terpaksa mendatangi saudara saudara dan teman temannya yang masih aktif bekerja

untuk meminta bantuan bagi biaya anaknya yang akan masuk perguruan tinggi. Dr.

Agus Suryanto, MPH, ditangkap KPK karena didakwa korupsi alat kesehatan senilai

Rp 25 miliar ketika masih menjabat sebagai kepala Direktorat Pelayanan Kesehatan

Dasar, Kemenkes. Rumah mewah yang dibanggakannya ikut disita. Pak Zakaria,

pensiunan PNS di kemenkeu, Jakarta, gagal menjadi bupati di daerahnya. Rumah

dan mobilnya telah dijual untuk menutup biaya kampanye. Kudengar, dia masih

mempunyai hutang kepada beberapa rentenir sebesar Rp 1 milyar lebih.

Lima berita buruk, datang hampir bersamaan, semuanya tentang nasib

kenalanku yang telah pensiun, pastilah bukan suatu kebetulan semata. Ini sesuatu

yang jarang terjadi dan pasti ada hikmahnya. Kuyakini ini merupakan suatu

peringatan dini. Tanda akan datangnya bahaya bila seorang pegawai seperti diriku

tidak mau mempersiapkan pensiunnya dengan baik. Nasibku akan serupa dengan

salah satu dari mereka.

Peringatan dini itu menumbuhkan kesadaranku akan perlunya

mempersiapkan diri menghadapi masa pensiun. Hingga saat itu, aku belum punya

rencana dan persiapan kearah pensiun. Belum ada sedikitpun gambaran tentang

rencana kegiatan diusia pensiun nanti.

Kulemparkan kerisauanku tersebut melalui Face Book. Tanggapan teman

temanku tidak terlalu menggembirakan..

S

5

“Pak Bambang, mengapa harus memikirkan pensiun dari sekarang? Bikin

pusing saja. Jalani dan nikmati hidup ini. Jangan terlalu banyak dipikir. Hidup hanya

sekali, jangan dirusak dengan pikiran yang tidak tidak,’’tanggapan salah satu

temanku.

‘’Gaji saya jauh lebih kecil dari gaji anda. Bisa bertahan hidup tanpa hutang

saja sudah hebat. Ibarat orang kebanjiran, airnya sudah setinggi leher. Kesalahan

kecilpun sudah akan membuat tenggelam. Saya tidak ingin tambah pusing dengan

memikirkan pensiun.”

“Meski dipikir sampai botakpun, tidak akan ada gunanya. Apa yang bisa

dilakukan untuk persiapan pensiun? Menabung? Makan sehari-hari saja susah, boro

boro bisa menabung. Bikin usaha? Selama ini , saya hanya jadi pegawai, mana bisa

tiba tiba bikin usaha? Kemungkinan bangkrut besar sekali. Dari pada pusing, lebih

baik tidak usah diambil pusing, jalani saja hidup ini,”

Sebagian besar teman temanku tidak siap ketika tiba masanya untuk pensiun.

Mereka gamang, tidak tahu harus berbuat apa. Sebagian tidak siap karena alasan

keuangan. Mereka tidak punya cukup tabungan atau penghasilan tambahan untuk

menunjang uang pensiun pegawai negeri sipil yang sangat kecil dan tidak cukup

untuk hidup sederhana sekalipun. Sebagian lainnya tidak siap karena tidak tahu

bagaimana mengisi hari harinya. Selama ini mereka hanya tahu bahwa setiap pagi

harus berangkat ke kantor dan pulang sore hari. Ketika tiba waktu pensiun, mereka

tidak tahu cara mengisi waktu antara jam 8 pagi hingga jam 5 sore.

Kebanyakan teman-temanku tidak mau mempersiapkan masa pensiunnya.

Mereka tidak mau pusing memikirkan sesuatu yang besar, sulit, dan penuh ketidak

pastian. Mereka merasa tidak berdaya karena permasalahan di masa pensiun diluar

kemampuan mereka untuk mengatasinya. Akhirnya, mereka hanya pasrah.

Prinsipnya, apa yang akan terjadi, terjadilah. Sebagian yang lain tidak

mempersiapkan pensiun karena terlalu sibuk bekerja. Tidak ada lagi waktu dan

tenaga tersisa untuk merencanakan dan mempersiapkan pensiun.

6

Pak Totok, tetanggaku di Purworejo, mempunyai pendapat berbeda.

Menurutnya masa pensiun yang bisa berlangsung hingga 20 -25 tahun, tidak akan

bisa dipersiapkan hanya dalam waktu 1-2 bulan saja. Uang tabungan untuk masa tua

, tidak bisa dikumpulkan hanya dalam waktu 1-2 tahun menjelang pensiun. Usaha

bisnis untuk mengisi masa pensiun, juga tidak bisa dibuat dalam waktu singkat.

Mendirikan usaha tanpa persiapan matang sama saja dengan membuang uang sia sia.

Menurutnya, masa pensiun harus dipersiapkan jauh jauh hari. Namun dengan hati

yang tetap jernih, tidak perlu sampai membuat gelisah. Sejak muda dia sudah

membeli tanah pertanian. Sejak pensiun dua tahun lalu, dia menikmati hidupnya

dengan menjadi petani, membuka kolam pemancingan dan membagikan bibit

tanaman buah dalam pot dengan gratis. Aku setuju dengan pendapatnya.

Aku beruntung, bila hanya untuk hidup sederhana, uang pensiunku yang

berasal dari 2 sumber cukup untuk membiayai hidupku dan istriku. Sumber pertama

dari hasil kerjaku selama 25 tahun di Kementrian Kesehatan dan yang kedua dari

hasil kerjaku selama 10 tahun di Badan Kesehatan Dunia atau WHO. Aku

mengambil pensiun dini dari Kemenkes dan melamar kerja di WHO. Dengan 2 uang

pensiun tersebut, kegiatan yang semata-mata hanya untuk mengejar uang, bisa

kucoret dari daftar calon kegiatan selama pensiun. Kegiatan pasca pensiun yang

kuperlukan adalah kegiatan yang akan bisa membuatku tetap bersemangat, bisa

menghindarkan diriku dari kepikunan, depresi, namun tidak menyebabkan stress.

Lebih baik lagi bila kegiatan tersebut bisa membuat hidupku lebih sehat, lebih

berarti dan panjang umur. Tentunya, semua kegiatan tersebut harus tetap terjangkau

dari segi biaya.

Hingga saat itu, aku belum punya gambaran sama sekali tentang jenis

kegiatan yang memenuhi kriteria itu. Tidak ada hobi atau kegiatan sosial yang

selama ini kukerjakan yang bisa dikembangkan lebih lanjut. Hal ini terjadi mungkin

karena sejak usia muda hari hariku selalu penuh kesibukan. Di SMA aku sibuk

belajar agar bisa diterima di Fakultas Kedokteran. Orang tuaku sangat ingin agar aku

menjadi dokter. Itu bisa kumaklumi karena ayahku adalah seorang perawat. Perawat

dengan pendidikan setingkat SMA, bukan perawat bergelar sarjana. Seingatku,

banyak perawat seangkatan ayahku yang berangan-angan agar salah satu anaknya

7

bisa menjadi dokter. Di Fakultas Kedokteran aku sibuk belajar. Otakku yang pas-

pasan mengharuskanku belajar lebih rajin dari teman teman yang lain. Aku sangat

takut kalau sampai dikeluarkan dan gagal menjadi dokter. Setelah bekerja keadaan

tetap tidak berubah. Setiap hari berangkat sebelum matahari terbit dan sampai

dirumah ketika matahari sudah lama terbenam. Tidak ada waktu dan tenaga yang

tersisa yang bisa kupakai mempersiapkan pensiunku.

Sejak munculnya peringatan dini tersebut, sedikit demi sedikit, persiapan

menghadapi masa pensiun mulai kulakukan. Aku mulai dengan menanyakan

rencana teman-temanku mengisi masa pensiunnya. Sebagian temanku punya

rencana untuk masa pensiunnya.

‘’Mas Johan, apa kabarnya ? sibuk sekali kelihatannya ?”, tanyaku pada Mas

Johan yang usianya sudah mendekati 60 tahun.

‘’Ya harus begitu Dik Bambang, saya ini punya usaha sendiri, walau kecil-

kecilan. Saya harus rajin bekerja dan tidak akan pensiun sampai benar benar tidak

bisa kerja’’jawab Mas Johan.

Aku hanya seorang pegawai. Bila memasuki usia pensiun, harus berhenti

kerja. Meskipun ada gelar dokter didepan namaku, hanya selama 3 tahun kupakai

untuk buka praktek pribadi. Itupun sudah 30 tahun lalu, ketika bekerja sebagai

dokter Inpres di sebuah puskesmas di Kalimantan Barat. Sepertinya hampir mustahil

untuk bisa buka praktek dokter lagi. Ilmu kedokteran klinis sudah banyak

kulupakan. Aku memang lebih cocok sebagai dokter ahli kesehatan masyarakat.

Dokter kantoran, kata anakku. Bukan dokter yang bekerja di rumah sakit. Selama 3

tahun di Puskesmas, aku juga buka praktek pribadi diluar jam kerja. Jumlah pasien

yang datang ke praktek pribadiku selalu bisa dihitung dengan jari tangan.

Ketika ketemu dengan Pak Wisnu, aku juga menanyakan rencananya di masa

pensiun.

“Pak Wisnu, apa rencananya setelah memasuki usia pensiun ?’’ tanyaku

pada seniorku di Kementrian Kesehatan. Aku tahu, sebentar lagi dia akan memasuki

usia pensiun.

8

“Tetap kerja Pak, hanya belum tahu dimana. Saya masih pikir pikir, mau

pilih jadi dosen di Universitas Swasta atau sebagai konsultan’’ jawab Pak Wisnu

mantap. Rupanya temanku tersebut akan memanfaatkan gelar doktornya untuk tetap

kerja. Aku tidak punya gelar S3. Aku juga tidak punya bakat jadi dosen. Beberapa

temanku yang sudah memasuki pensiun bekerja sebagai konsultan. Jumlahnya hanya

beberapa orang saja, karena memang lowongan pekerjaan sebagai konsultan sangat

terbatas. Beberapa temanku meloncat ke Politeknik Kesehatan milik Kementrian

Kesehatan. Sebagai dosen mereka bisa pensiun di usia 65 tahun. Lumayan, ada

bonus tambahan 5 tahun.

Kutanyakan hal yang sama ke Bu Lista. Aku perlu mendapat gambaran

kegiatan para ibu dimasa pensiun.

“Bu Lista, apa kesibukannya setelah pensiun?’’ tanyaku pada Bu Lista,

temanku SMA yang sudah lama tidak ketemu. Bu Lista mantan pegawai negeri di

daerah dan pensiun diumur 56 tahun.

‘’Biasa Mas Bambang, jalan jalan dan momong cucu’’ jawab Bu Lista.

Aku ingin usia pensiunku nanti bisa kuisi dengan kegiatan yang lebih berarti

dibanding hanya momong cucu atau jalan jalan ke berbagai daerah tujuan wisata.

Momong cucu memang kegiatan yang menyenangkan dan bermanfaat, namun tidak

perlu sampai menyita seluruh waktuku nanti. Semua benua, mulai dari Australia

hingga Amerika, sudah pernah kukunjungi tanpa keluar biaya. Semuanya dalam

rangka perjalanan dinas, dibiayai kantor, plus ada uang sakunya juga. Kupikir, itu

sudah lebih dari cukup.

Selain Mas Johan, Pak Wisnu dan Bu Lista, banyak teman lain yang

kutanyai. Namun, belum kudapatkan jawaban yang cocok dengan jiwaku. Hingga

pada suatu malam, tanpa sengaja, kutemukan ceramah Ustadz Yusuf Mansur di You

Tube. Iseng iseng kusimak ceramahnya. Ceramah Ustadz muda yang mengupas

makna Hari Raya Kurban itu benar benar merasuk kedalam hatiku.

“Haruskah kutiru langkah Nabi Ibrahim a.s.?” tanyaku dalam hati.

9

Nabi Ibrahim berdoa kepada Tuhannya agar dikarunia anak. Aku berdoa

kepada Tuhan agar bisa menjadi dokter, punya rumah dan mobil. Setelah melalui

penantian yang panjang, Nabi Ibrahim dikarunia anak bernama Ismail. Setelah

melalui masa panjang, Tuhan mengabulkan permintaanku. Aku menjadi dokter,

mendapat bea siswa kuliah S2 di di Amerika, bekerja di badan internasional di luar

negeri, punya rumah dan mobil, serta menginjakkan kaki di lima benua.

Tuhan meminta Nabi Ibrahim agar menyembelih anaknya yang sangat

dicintainya, yang kehadirannya dulu sangat dinantikannya. Tuhan meminta Nabi

Ibrahim untuk mengembalikan sebagian karunia-Nya, yang paling dicintai Nabi

Ibrahim, yaitu anaknya yang bernama Ismail. Nabi Ibrahim menuruti perintah

Tuhannya. Namun kemudian Tuhan mengganti Ismail dengan seekor domba,

menganugerahkan seorang anak, bernama Ishak, dan menjadikan Nabi Ibrahim

sebagai buah tutur yang baik bagi orang orang sesudahnya.

Hingga saat itu, sebagian besar penghasilanku terpakai untuk kebutuhan

duniawi. Tidak lebih dari 5 % penghasilanku yang kupakai di jalan Tuhan. Dalam

sehari, paling paling hanya 1-2 jam waktuku yang terpakai untuk beribadah.

Akhirnya, 3 tahun sebelum usia pensiun, kuputusakan untuk meniru langkah

Nabi Ibrahim. Bukan dengan menyembelih atau mengorbankan anak anakku, namun

dengan mengembalikan semua karunia-Nya. Karunia yang kudapatkan setelah

melalui perjuangan dan penantian yang panjang. Aku ungkapkan niat tersebut dalam

bentuk doa.

“Ya Allah, akan kutiru langkah Nabi Ibrahim, meskipun dalam skala yang

jauh lebih kecil. Akan kukembalikan karuniaMu yang aku cintai. Akan

kusedekahkan semua yang telah Engkau anugerahkan kepadaku untuk menolong

orang orang yang kesulitan. Akan kumanfaatkan rumahku, mobilku, keahlianku,

tabunganku dan sisa hidupku untuk mencari ridloMu. Ya Allah, jadikanlah aku

sebutan yang baik bagi orang orang sesudahku.”

Aku ingin masa pensiunku tidak berlalu begitu saja. Masa pensiun adalah

saat yang tepat untuk mengembalikan Karunia-Nya, sebelumnya diminta kembali.

10

Bukankah ketika mati, aku tidak bisa membawa apa apa ? Setelah mati, semua harta

kekayaanku akan jadi milik ahli waris, tidak ada gunanya lagi bagiku. Bila sepertiga

kekayaan kusedekahkan, sisa hidupku selama pensiun kupakai untuk kerja sosial,

kesemua itu akan jadi bekalku diakhirat. Masa pensiun juga saat untuk belajar

mengurangi kecintaan kepada dunia, agar tidak takut mati.

11

Saat untuk mengembalikan

iga tahun menjelang pensiun dari WHO, sudah kuambil keputusan untuk

menjadikan masa pensiunku menjadi lebih hidup. Rumahku, tabunganku,

keahlianku, tenagaku dan waktuku akan kumanfaatkan untuk kegiatan

sosial. Akan kuhidupkan usia pensiunku dengan kegiatan yang penuh arti, jelas

manfaatnya, dan menantang. Resiko yang dulu tidak pernah berani kuambil akan

bisa kuhadapi. Akan kuhilangkan gengsi, cinta dunia, takut miskin dan takut mati.

Ketakutan ketakutan tersebut selama ini telah menghalangiku dari melakukan hal hal

besar. Dimasa pensiun nanti, akan kutiru langkah orang orang besar yang kukagumi,

yaitu para pejuang kemanusiaan.

Di usia pensiun, keputusan keputusan besar yang beresiko, bisa kuputuskan

dengan lebih mudah. Saat itu, kedua anakku sudah akan selesai kuliahnya. Uang

pensiunku cukup untuk membiayai kehidupan sederhana di Purworejo, kota

kelahiranku. Kota dimana aku akan tinggal setelah pensiun. Kegelisahanku kini

jauh berkurang. Aku mulai bersemangat menyongsong masa pensiunku.

Kerja sosial tidak bisa dilakukan sendiri. Aku perlu beberapa teman dengan

ide yang sama. Kucoba menjual ide tentang kerja sosial dimasa pensiun kepada

teman temanku.

“Pak Prianto, kita ini termasuk lapisan menengah yang diuntungkan oleh

kemerdekaan dan pembangunan ekonomi. Meskipun tidak kaya, kehidupan kita jauh

diatas rata rata penduduk Indonesia. Kita ini lebih kaya dibandingkan dengan 150

juta orang Indonesia lainnya. Saya kira, tidak pada tempatnya hidup bersenang-

senang, padahal sebagian besar masyarakat masih sulit hidupnya.”

Pak Prianto berteman denganku sejak sekolah menengah atas. Setelah

menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum, Universitas Satya Wacana di Salatiga,

dia bekerja di Purworejo hingga pensiun di usia 56 tahun. Sebelum pensiun jabatan

terakhirnya kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten

Purworejo. Di usia pensiun, Pak Prianto menyibukkan diri dengan kegiatan politik

T

12

sebagai ketua cabang sebuah partai politik dan berbisnis mini market untuk

menambah uang pensiunnya.

“Saya sangat bersyukur, kehidupan saya sekarang jauh lebih baik

dibandingkan keadaan orang tua maupun kehidupan masyarakat Purworejo lainnya.

Saya setuju dengan pendapat Pak Bambang. Kita perlu ungkapkan rasa syukur

tersebut dengan menolong mereka yang masih tertinggal. Tapi, apa yang bisa

dilakukan? Saya sudah pensiun, tidak ada lagi kekuasaan. Malu kalau harus datang

ke bekas anak buah dan mengemis proyek. Meskipun ini untuk kegiatan sosial,

bukan untuk kepentingan sendiri, saya tetap merasa tidak enak”

“Saya juga tidak ingin melakukan hal itu. Maksud saya, kebutuhan setelah

pensiun kan tidak besar. Kita bisa hidup sederhana, ambil uang tabungan dan

sisihkan separuh pendapatan dari hasil kerja untuk kegiatan sosial”

“Terus, untuk hidup sehari-hari bagaimana?”

“Kita tetap kerja dan cari uang, hanya separuh hasilnya untuk membiayai

kerja sosial. Bukan untuk diri sendiri lagi. Bila perlu, hidup sederhana saja. Terlalu

banyak makan enak, hanya membuat kita gemuk dan penyakitan”

“Ini ide menarik, lain dari yang lain. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Tapi maaf Pak Bambang, bukankah masalah sosial itu tanggung jawab

pemerintah?’’

“Menurut saya sih, itu tanggung jawab bersama. Memang penanggung jawab

utamanya pemerintah. Namun kita yang mempunyai kelebihan sudah sewajarnya

bila membantu yang kekurangan. Selain itu, kemampuan pemerintah sangat terbatas.

Terlalu banyak hutangnya. Tidak mungkin pemerintah mampu menyelesaikan

semua permasalahan sosial”

“Iya ya, selama ini masyarakat hanya menjadi penonton dan komentator.

Mereka pintar mengkritik dan mengeluh, tapi tidak mau turun tangan. Waktu masih

menjabat dulu, saya sering mengeluhkan kurangnya partisipasi masyarakat. Kini,

setelah pensiun dan menjadi anggota masyarakat biasa, ternyata saya melakukan hal

13

yang sama. Payah juga saya ini” gerutu Pak Prianto sambil tersenyum. Setelah

terdiam sejenak, dia mengajukan pendapatnya lagi kepadaku.

“Sebenarnya, para pensiunan terdiri dari 2 kategori juga, kategori perlu

ditolong dan kategori mampu menolong. Sebagian dari kelompok yang mampu

menolong, mereka hanya mau jadi penonton atau komentator. Dengan berbagai

alasan, mereka tidak mau turun tangan. Kita ini masuk dalam kategori kedua,

pensiunan yang mampu menolong, mampu melakukan kerja sosial.”

“Pak Bambang, badan kita kan tidak sekuat dulu lagi. Kerja sosial apa yang

bisa dilakukan? Jadi relawan bencana pasti kita tidak bisa lagi. Bisa bisa kita malah

merepotkan, bukan menolong,” tanya Pak Prianto.

“Pastinya saya juga belum tahu. Kita bisa pikirkan bersama. Tentunya kerja

sosial yang cocok untuk para pensiunan adalah yang pakai otak, bukan otot. Ini

sekalian untuk mencegah kita dari kepikunan. Kita juga punya beberapa kelebihan

lain, seperti banyak pengalaman, kematangan jiwa, tidak perlu bayaran”

“Saya lihat kerja sosial dimasa pensiun itu bukan suatu pengorbanan, tapi

suatu kehormatan. Tidak semua orang mampu kerja sosial tanpa pamrih.”

“Kerja sosial dan hidup sederhana juga akan mengurangi kecintaan pada

dunia, membuat kita tidak takut mati.”

Pak Prianto menyambut baik ajakanku untuk melakukan kerja sosial diusia

pensiun. Aku masih perlu mencarai 2-3 teman lagi. Kupikir, 5 orang sudah cukup

untuk memulai sebuah kerja sosial. Cukup kecil kecilan saja, asalkan sudah bisa

memberi dampak yang nyata. Cukup sebagai bahan buah tutur yang baik bagi

generasi berikutnya.

----0000----

Niat baikku melakukan kerja sosial untuk mengurangi kecintaan pada dunia,

ternyata harus melewati berbagai godaan. Di Bandara Soekarno Hata, Cengkareng,

Jakarta aku ketemu Pak Joko Iswanto, temanku di Kemenkes yang sebentar lagi juga

14

akan pensiun. Sambil menunggu keberangkat pesawat, kami berdua mengobrol

santai.

“Pak Bambang, biasanya pensiunan dari WHO mobil apa yang mereka

kendarai?” Tanya Pak Joko Iswanto kepadaku.

“Setahu saya kebanyakan mereka memakai mobil sedan Mercedes, BMW

atau Audi. Ya, mobil mobil sekelas itulah” jawabku.

“Wow keren, kalau begitu nanti mobil Pak Bambang setelah pensiun juga

akan memakai mobil sekelas itu ya?

“Ah tidak lah, saya akan tinggal di Purworejo, kota kecil. Cukup pakai

sepeda motor saja. Kalau takut masuk angin, paling nanti beli mobil setingkat

Toyota Kijang. Yang penting tidak kehujanan dan kepanasan” jawabku.

“Ha ha jangan begitu, gengsi Pak. Sudah jauh jauh kerja di WHO, mobilnya

cuman sekelas itu. Toyota Kijang itu kelasnya pegawai negeri. Tunjukkan kalau

selama ini Pak Bambang sudah sukses. Pakai BMW atau Mercedes keluaran terbaru.

Mobil itu kini dipakai untuk menunjukkan bahwa pemiliknya adalah orang yang

sukses.” Kata Pak Joko memberi saran.

“Ha ha bisa saja Pak Joko ini. Bagi saya mobil itu saya lihat dari fungsinya

saja. Saya tidak perlu gengsi-gengsian. Gengsi tidak bisa bikin saya kenyang’’

“Pak Bambang, kalau cuman pakai Kijang buat apa jauh jauh kerja ke India.

Saya saja yang pegawai negeri punya mobil Toyota Altis. Cuman kalau ke kantor

saya pakai mobil dinas. Tidak enak, nanti dikira hasil korupsi” lanjut Pak Joko.

“Terus duitnya mau dipakai untuk apa? Buat bangun istana? Satu di

Purworejo, satu di Jakarta dan 2 rumah untuk anak anak ya?” Tanya Pak Joko lagi.

“Ah tidak lah, anak sudah saya sekolahkan sampai S1. Saya kira itu cukup.

Biar saja mereka berusaha sendiri” jawabku. Aku memang tidak punya niat, dan

juga uang, untuk membuat rumah mewah bagi kedua anakku.

15

“Oh saya tahu sekarang, pasti duit Pak Bambang mau dipakai untuk kegiatan

sosial ya? Saya salut dengan Pak Bambang yang sudah mewakafkan rumah untuk

mendirikan Panti Asuhan. Saya juga dengar kalau Pak Bambang sudah mendirikan

klinik untuk orang miskin. Saya kira itu sudah lebih dari cukup. Jangan terlalu

memaksa diri dalam beramal. Kasihanlah diri sendiri. Kasihanilah istri dan anak

anak. Saya kira mereka berhak menikmati hidup dan sedikit bersenang-senang.

Selama ini kan Pak Bambang sudah kerja keras. Pensiun adalah waktu untuk santai

dan bersenang-senang. Hidup ini tidak lama Pak. Setidaknya kita perlu jalan jalan ke

Eropa atau Amerika setahun sekali atau dua kali. Semua itu perlu uang Pak. Kalau

mengandalkan uang pensiun tidak akan cukup. Selain itu, Pak Bambang tidak akan

buka praktek lagi. Mau cari duit dari mana kalau bukan dari tabungan selama kerja.

Jangan semuanya dihabiskan untuk kegiatan sosial” Pak Joko mencoba memberi

nasihat padaku.

Aku diam saja. Omongannya tidak lagi kutanggapi. Kurasa tidak ada

gunanya berdebat dengan dia soal penggunaan uangku setelah pensiun nanti. Itu

bukan urusan dia. Hanya saja pembicaraan tersebut mengingatkanku kembali bahwa

saat ini segala sesuatunya memang diukur dari materi. Kesuksesan seseorang juga

diukur dari materi yang dipunyainya. Sebagian besar teman temanku sesama dokter

juga mengukur keberhasilan temannya dari rumah dan mobil yang dipunyainya, dan

dari berapa kali setahun berlibur ke luar negeri. Bukan dari berapa banyak karya

ilmiah yang dipublikasikan atau pasien miskin yang berhasil ditolongnya.

Di saat pensiun nanti, rumahku hanya akan berupa sebuah rumah kecil dan

sederhana. Mobilku juga paling hanya sebuah kijang bekas, bukan mobil kijang

keluaran terbaru. Sebagian besar teman temanku dan orang orang di Purworejo akan

memandang sebelah mata kepadaku. Mereka akan berkata bahwa diriku adalah salah

satu contoh perantau dari kotaku yang gagal. Ketika pensiun harus hidup sederhana

dan kembali ke kampung halamannya.

Masyarakat Indonesia memang bisa menghargai orang yang hidup

sederhana, tapi hanya jika mereka benar benar berprestasi tinggi, seperti Pak

Hugeng, mantan Kapolri. Sedangkan aku akan hidup sederhana, tapi tanpa prestasi

16

yang bisa dibanggakan. Gambaran kehidupan sederhana dan tanpa prestasi, sempat

membuatku gelisah.

Namun segera kutepis pikiran negatif dan mematahkan semangat tersebut

dengan pikiran yang lebih positif. Di masa pensiun, memang hidupku sederhana,

bukan karena aku melarat dan tidak punya tabungan, tapi karena uangku akan

kupakai untuk membiayai kegiatan sosial. Tabunganku akan kupakai untuk

membiayai sesuatu yang berarti. Sesuatu yang bernilai. Hidup sederhana bagiku

adalah sebuah pilihan, bukan keterpaksaan. Aku memang belum berprestasi, tapi

akan kuciptakan sebuah prestasi diusia pensiun. Di usia ketika kebanyakan orang

lain beristirahat dan menikmati hidup.

Terpaksa hidup sederhana karena tidak punya uang, berbeda rasanya dengan

hidup sederhana dengan sengaja sebagai suatu pilihan yang diambil secara sadar

karena ada keinginan luhur dibalik pilihan itu. Banyak orang terpaksa hidup

sederhana. Bagi mereka hidup sederhana adalah suatu beban dan aib yang harus

ditutupi, bila perlu dengan berhutang. Penampilan harus dipoles dan gengsi harus

tetap tinggi, meski uang dikantong hampir kosong.

Meskipun demikian, juga tidak boleh riya, mengharapkan penghargaan atau

pujian dari masyarakat. Tidak boleh berangan-angan bahwa kegiatan sosialku nanti

akan diliput media masa atau membuatku dipanggil sebagai nara sumber di acara

Kick Andy. Publikasi memang perlu, untuk menyebarkan inspirasi, bukan untuk

alasan popularitas atau pujian.

----0000----

Hampir semua teman temanku selalu mengadakan pesta perkawinan secara

besar besaran, penuh kemegahan. Mereka rela mengeluarkan uang miliaran rupiah

untuk pesta pernikahan anak anaknya. Bila aku terjun sebagai pekerja sosia dan

memakai tabungan untuk membiayai kegiatan itu, pasti tidak akan ada lagi uang

tersisa untuk mengadakan pesta pernikahan secara besar besaran. Aku hanya bisa

mengadakan pesta pernikahan secara sederhana. Pesta pernikahan anak anakku

mungkin akan lebih sederhana dibandingkan dengan pesta pernikahan ayahnya.

17

“Bapak seperti apa aku ini? Bagaimana perasaan anak anakku bila mereka

tahu bahwa pesta pernikahan orang tuanya lebih mewah dibandingkan pesta

pernikahannya?” Kataku dalam hati.

Agar semuanya jadi jelas, kusempatkan bicara dengan anak anakku lewat

telpon internet. Anakku yang pertama sedang mengambil S2 diYokohama, Jepang

dan anakku yang kedua sedang mengambil S1 di York, Inggris.

Setelah sedikit menanyakan kabar dan kemajuan kuliahnya, aku sampaikan

keinginanku untuk bergerak di kegiatan sosial setelah pensiun nanti.

“Mbak Anisa, bapak akan kerja sosial setelah pensiun, tabungan bapak akan

bapak pakai untuk kegiatan sosial. Bagaimana menurut kamu?”

“Aku tidak apa apa. Bapak sudah menyekolahkan aku sampai S2, itu cukup

bagiku. Insya Allah aku bisa hidup mandiri”

“Syukurlah kalau begitu. Satu lagi, kalau kamu nikah, pestanya tidak bisa

besar-besaran. Bapak sudah tidak punya tabungan lagi”

“Ya tidak apa apa. Aku kan disini kuliah sambil kerja. Uangnya aku tabung,

buat sangu nikah nantinya. Kalau nikah, nanti pestanya di Purworejo, biayanya kan

tidak terlalu mahal”

“Alhamdulillah, bapak akan semakin rajin mendoakan kamu dan adikmu.

Jangan lupa sholat dan sedekah ya” kataku menutup pembicaraan dengan anakku

yang pertama.

Aku telpon anakku yang kedua, Alika. Aku biasa memanggilnya adik.

Setelah ngobrol sejenak, kusampaikan niatku kepada anakku.

“Adik, bapak akan kerja sosial setelah pensiun, tabungannya akan bapak

pakai untuk kegiatan sosial. Bagaimana menurut kamu?”

“Bapak kan masih tiga tahun lagi pensiunnya. Aku masih bisa kuliah S2

disini, bapak yang bayar, kecuali kalau aku bisa dapat bea siswa.”

18

“Ya insya Allah, bapak akan biayai kuliahmu sampai S2. Nanti kalau kamu

nikah pestanya sederhana saja. Bapak juga tidak akan bisa memberi bekal uang

kepadamu”

“Ya tidak apa apa, insya Allah aku bisa cari duit sendiri nanti. Kalau perlu,

aku nanti support bapak dan ibu kalau bapak sudah pensiun. Jangan takut Pak’’ kata

anakku.

Jawaban kedua anakku benar benar membuatku tenang. Aku sangat

bersyukur punya anak anak yang sholeh dan berbakti kepada kedua orang tuanya.

Tidak terasa air mataku meleleh. Ternyata tidak percuma aku bangun setiap malam

untuk sholat malam dan mendoakan kebaikan buat kedua anakku.

Mulai saat itu, aku juga harus semakin rajin mendoakan anak anakku agar

mereka jadi anak sholehah, punya rezeki yang berlimpah, sehat jasmani dan rohani,

serta mempunyai kedudukan yang terhormat di masyarakat. Sholat sunatku perlu

kutambah dengan sholat hajat. Doa harus semakin banyak kupanjatkan agar anak

anakku bisa mandiri secara moril dan materiil. Tidak tergantung kepada orang

tuanya. Bila sampai mereka masih tergantung kepadaku di masa pensiunku nanti,

akan lebih sulit bagiku menerapkan ide ide itu. Anak anakku juga harus kudidik

dengan lebih baik. Itu artinya, aku harus terlebih dahulu mendidik diriku sendiri agar

jadi ayah yang baik.

----0000----

Ketika pulang ke Purworejo, sekitar 2 tahun sebelum pensiun, aku kebetulan

bertemu dengan Pak Sarwono, adik kelasku semasa di SMA. Setamat SMA dia

melanjutkan kuliah di Fakultas Teknik Sipil UGM dan bekerja di Dinas Pekerjaan

Umum Kabupaten Purworejo sambil menjalankan bisnis sebagai pengembang

rumah bersubsidi yang dikelola istrinya.

“Pak Bambang, kebetulan sekali kita ketemu. Sudah lama sebenarnya saya

kepingin ketemu anda” kata Pak Sarwono memulai pembicaraan.

19

“Bagaimana kabar Pak Sarwono? Saya denga bisnisnya semakin maju”

kataku

“Ya Alhamdulillah Pak Bambang, saya ini hanya pegawai negeri sipil, gaji

kecil. Dari pada korupsi yang sudah jelas dosanya, lebih baik saya bikin bisnis kecil-

kecilan. Buat tambahan uang dapur” jawab Pak Sarwono.

“Bisnis dibidang apa sekarang?” tanyaku pura pura tidak tahu jenis

usahanya.

“Bisnis bikin rumah kecil bersubsidi. Saya ingin berbisnis sambil menolong

orang. Saya amati, saat ini cukup banyak keluarga muda di Purworejo yang belum

punya rumah. Untuk menolong mereka, saya coba bikin rumah tipe kecil. Mereka

bisa mencicilnya lewat kredit pemilikan rumah bank BTN. Bunganya disubsidi

pemerintah. Ternyata untungnya lumayan Pak, bisa ditabung buat bekal pensiun

nanti.” Jawab Pak Sarwono.

“Wah bagus sekali Pak, berbisnis sambil menolong”

“Nah kebetulan Pak Bambang bertanya soal bisnis saya. Bagaimana kalau

Pak Bambang investasi di perusahaan saya. Kebetulan saya lagi perlu duit untuk

membebaskan tanah. Selama bekerja di WHO, pasti banyak duitnya. Jangan

disimpan saja Pak. Bunganya kecil. Kalau mau kerja sama dengan saya, saya bisa

berikan bagi hasil yang bagus. Pokoknya, jauh lebih gede dari pada bunga bank”

kata Pak Sarwono

Aku hanya senyum saja, tidak mengiyakan atau menolak. Tawaran iming

iming keuntungan dari suatu bisnis memang selalu menarik. Apalagi sebagai orang

Islam, bunga bank itu haram hukumnya. Pembagian keuntungan dari suatu bisnis

merupakan tawaran yang menarik dan halal. Namun aku juga tahu Pak Sarwono

hanya menyampaikan sisi manis dari suatu bisnis. Dia tidak menyampaikan bahwa

suatu bisnis bisa rugi, uang hilang dan bahkan meninggalkan hutang.

Suatu bisnis paling hanya akan bisa memberikan keuntungan 20-30% saja.

Padahal, bila diinvestasikan di jalan Tuhan, keuntungannya bisa 10 kali lipat,

20

bahkan bisa sampai 700 kali lipat. Kuingat selalu ilmu tersebut. Guru agamaku di

sekolah sering mengulang-ulang pesan tersebut kepada murid-muridnya. Aku harus

tetap pada keyakinanku dan menginvestaikan tabunganku untuk kegiatan sosial.

Insya Allah, hasilnya akan lebih besar dibandingkan bila ditanam di bisnis Pak

Sarwono.

----0000----

Dalam suatu pertemuan yang diselenggarakan WHO, aku bertemu Dr

Sutopo, kepala Badan Litbang, Kemenkes Indonesia. Secara tidak sengaja, aku

mendapat tambahan bukti nyata yang mendukung kebenaran gagasanku.

“Pak Bambang, saya baru saja membaca sebuah artikel tentang manfaat kerja

sosial di usia pensiun. Judulnya The Health Benefits of Volunteering: A Review of

Recent Research yang ditulis oleh Robert Grimm dan kawan kawannya dari

Corporation for National and Community Services, Amerika terbitan tahun 2007”

kata Dr Sutopo.

“Oh ya, kedengarannya menarik. Selama ini, kalau orang bicara tentang

kerja sosial, maka yang terlintas di pikirannya adalah suatu kerja keras yang hanya

menguntungkan satu pihak saja. Pak Topo, apa manfaatnya?”

“Ternyata banyak juga manfaat kerja sosial terhadap kesehatan pekerja

sosial itu sendiri. Di penelitian itu yang dimaksud pekerja sosial adalah relawan

sosial atau voluntir, bukan pegawai dinas sosial” kata Dr Sutopo.

Ketika melihatku tetap diam dan hanya memperhatikan kata katanya, Dr

Sutopo kemudian melanjutkan penjelasannya.

“Ada beberapa yang menarik, contohnya: para pensiunan yang mengisi

waktunya dengan bekerja sosial cenderung lebih panjang umurnya, lebih jarang

mengeluh sakit, lebih bahagia dan terhindar dari depresi. Mereka merasa hidupnya

lebih bermanfaat, lebih berarti, merasa ada pencapaian pribadi, dan hidupnya terasa

memuaskan. Kalau Pak Bambang berminat ketik saja di google ‘helath benefits of

volunteering’. artikelnya gratis kok” Dr Sutopo melanjutkan.

21

“Ha ha ha gratis itu penting Pak Topo, terima kasih atas informasinya. Saya

akan sampaikan ke teman teman yang sudah atau mau pensiun, biar mereka semua

jadi pekerja sosial”

“Pak Bambang, sebagian besar orang Indonesia pensiun di usia 56 tahun.

Kebanyakan mereka masih sehat dan produktif. Sayang kalau waktunya hanya

dilewatkan begitu saja”

“Benar Pak Topo, sekarang ini banyak pensiunan bisa tetap sehat hingga usia

diatas 80 tahun. Artinya, mereka setidaknya bisa bekerja sosial selama 20 tahun.

Banyak hal bisa dikerjakan selama 20 tahun. Kalau hanya diisi dengan momong

cucu, sang cucu pasti sudah bosan” jawabku sambil setengah bergurau.

Kelihatannya bukan gurauan yang tepat karena Dr Sutopo tidak tersenyum oleh

gurauanku tadi.

Pertemuanku dengan Pak Sutopo semakin memantapkan niatku untuk

mengisi waktu pensiunku dengan kerja sosial. Banyak masalah sosial di Indonesia

yang tidak akan bisa diselesaikan bila hanya diserahkan sepenuhnya kepada

pemerintah. Kurasa bila digarap bersama oleh para pensiunan, banyak permasalahan

sosial di Indonesia akan bisa terselesaikan. Bukan dengan pendekatan proyek yang

hanya mendorong tumbuhnya korupsi, tapi digarap dengan pendekatan

kesukarelaan, tanpa pamrih, tanpa mengharapkan imbalan. Pendekatan model baru

yang, insya Allah, akan dapat mendatangkan keberkahan dari langit.

22

Mereka Bisa Pulih

iga puluh bulan menjelang pensiun, sudah tumbuh tekad didadaku untuk

mengisi masa pensiunku dengan kerja sosial. Namun, hingga saat itu,

belum ada gambaran yang jelas tentang jenis masalah sosial yang bisa

kugarap. Gambaran masa depan tersebut mulai terkuak ketika aku bertemu dr.

Tantri, dokter spesialis kesehatan jiwa, teman seangkatanku di FK UGM. Kami

bertemu ketika sama sama menghadiri dies natalis Fakultas Kedokteran UGM di

Yogyakarta. Kami sempat diskusi tentang beberapa isu penting di bidang kesehatan

jiwa di Indonesia. Pada kesempatan tersebut sempat kusampaikan keinginanku

untuk mengembangkan kegiatan sosial di masa pensiunku nanti.

“Pak Bambang, kenapa tidak menolong penderita gangguan jiwa saja” usul

dr. Tantri.

“Bukan bikin klinik jiwa seperti Puri Nirmala, tapi bikin pusat rehabilitasi

gangguan jiwa berbasis masyarakat. Bangunannya didalam kampung, kegiatannya

berbaur dengan masyarakat” kata dr Tantri melanjutkan.

Rupanya, dr. Tantri tertarik dengan psikiatri sosial. Sejak mahasiswa dia

memang terkenal pintar, berhati mulia dan tidak mata duitan.

“Terima kasih dr Tantri atas sarannya. Akan saya pelajari dan renungkan

dulu” Kala itu, di otakku belum ada gambaran sedikitpun tentang pemulihan

gangguan jiwa berbasis masyarakat.

Sejak saat itu, aku mulai memanfaatkan waktu luangku dengan mempelajari

permasalahan gangguan jiwa. Internet sangat membantuku mendapatkan ilmu dan

informasi yang diperlukan. Banyak ilmu pengetahuan bisa kudapat secara gratis.

WHO memperkirakan, setiap saat jumlah penderita gangguan jiwa berat sekitar 3%

dari penduduk dewasa. Dengan kata lain, ada sekitar 4 juta penduduk Indonesia

yang menderita gangguan jiwa berat. Dilain pihak, jumlah psikiater yang ada di

Indonesia masih sangat terbatas, jauh dari mencukupi untuk bisa menangani semua

T

23

penderita gangguan jiwa, khususnya yang berasal dari kalangan bawah dan yang

tinggal jauh di desa desa.

Semakin kudalami, semakin aku tertantang. Ada beberapa hal baru yang

sangat menarik perhatianku. Menurut National Empowerment Center, sebuah

lembaga advokasi pemulihan gangguan jiwa di Amerika Serikat, seberat apapun

penderita gangguan jiwa, asalkan mendapat pengobatan dan dukungan sosial yang

dibutuhkannya, mereka akan bisa pulih dan hidup produktif secara sosial dan

ekonomis di masyarakat. Ini benar benar hal baru bagiku. Sepengetahuanku dulu,

sebagian besar penderita gangguan jiwa akan jadi kronis, cacat, dan hanya jadi

beban masyarakat. Ternyata, penderita gangguan jiwa bisa pulih. Berbagai

penelitian telah membuktikannya. Beberapa organisasi sosial yang bergerak dalam

pemulihan gangguan jiwa di negara negara barat telah melaporkannya. Bahkan

mereka telah memanfaatkan penderita gangguan jiwa yang sudah pulih untuk

membantu pemulihan penderita gangguan jiwa lainnya.

Sebagian besar masyarakat Indonesia belum memahami hal ini. Masyarakat

Indonesia menganggap bahwa penderita harus dirawat di rumah sakit jiwa. Bila

membaik, mereka harus kontrol ke dokter dan minum obat secara teratur. Mereka

tidak mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk membantu

aggota keluarganya yang sakit agar bisa pulih dari gangguan jiwanya. Peran

penderita dan keluarganya hanya pasif. Tidak ada pemberdayaan masyarakat di

bidang pemulihan gangguan jiwa. Mereka hanya perlu mengikuti perintah dokter

dengan mengontrol penderita minum obat secara teratur. Penanganan penderita

model begini terbukti kurang efektif. Sebagian besar penderita menjadi kronis, cacat

dan tidak bisa hidup secara normal di masyarakat. Akibatnya, keluarga menganggap

gangguan jiwa adalah suatu beban dan aib yang harus ditutup rapat rapat. Bila perlu

mereka dipasung saja agar tidak menganggu masyarakat sekitar.

Pengalaman Bagaswoto, temanku semasa SMA, menunjukkan bahwa

pemahaman masyarakat tentang gangguan jiwa masih sangat terbatas. Setelah 8

tahun, Bagaswoto baru menyadari bahwa adiknya, Bima, menderita skizofrenia,

salah satu jenis gangguan jiwa berat. Tahun 1989, Bima mulai memperlihatkan

24

perilaku aneh. Bima yang ketika itu berusia 22 tahun mulai tidak mau bergaul,

seharian inginnya menyendiri di kamar, sulit tidur, dan gelisah. Beberapa bulan

kemudian, Bima mulai menunjukkan gejala gangguan jiwa seperti bicara dan

tertawa.

”Kami membawanya berobat dan dokter hanya memberikan obat tanpa

pernah menjelaskan apa yang harus kami lakukan untuk membantu

penyembuhannya,” ujar Bagaswoto.

Setelah minum obat, keadaan Bima membaik. Namun, perilaku anehnya

kadang kambuh. Dia mulai curiga dengan semua orang, merasa ada orang yang akan

berbuat jahat padanya. Kadang Bima tidak tidur, berteriak dan menangis sepanjang

malam. Perilaku itu berulang selama 8 tahun.

”Selama itu pula kami tidak bisa hidup dengan tenang. Kami tidak tahu apa

yang harus dilakukan terhadap dik Bima.,” cerita Bagaswoto.

Pemahaman masyarakat yang rendah terhadap gangguan jiwa itu merupakan

suatu masalah. Namun di Indonesia, ada masalah lain yang tidak kalah besarnya.

Sebagian besar tenaga kesehatan, selain yang bekerja di rumah sakit jiwa, sedikit

atau tidak tahu sama sekali cara penanganan penderita gangguan jiwa. Dokter umum

tidak diberi kewenangan meresepkan obat anti gangguan jiwa, namun mereka juga

tidak diberi kemampuan menerapkan terapi psikososial seperti cognitive behavior

therapy yang relatif sederhana dan mudah dipelajari. Akibatnya, dokter umum malas

menangani penderita gangguan jiwa berat. Semua kasus gangguan jiwa langsung

mereka rujuk ke psikiater atau langsung ke rumah sakit jiwa (RSJ).

Departemen Kesehatan telah mengeluarkan pedoman pengobatan dasar di

puskesmas yang mencakup pengobatan skizofrenia dan gangguan psikotik kronik

lain. Dokter puskesmas bisa memberikan chlorpromazine, untuk mengobati mereka.

Meskipun demikian, tidak banyak pemakaian obat tersebut di puskesmas. Terapi

psikososial juga hampir tidak pernah mereka lakukan. Tidak ada pedoman dan

pelatihan terapi psikososial bagi petugas puskesmas.

25

Ketika masih aktif kerja di WHO, aku pernah ditugaskan di Negara Nepal

selama 3 tahun. Sebuah Negara kecil yang dikenal karena pegunungan

Himalayanya. Salah satu tugasku disana adalah memgang program kesehatan jiwa.

Di Nepal, WHO memberi dukungan kepada Matrika Devkota yang 3 tahun

sebelumnya mendirikan sebuah organisasi non-pemerintah bernama Koshish. Dalam

bahasa Nepal, koshish berarti perjuangan. Koshish bergerak dalam bidang advokasi

dan kampanye untuk menghilangkan stigma bagi penderita gangguan jiwa.

Matrika Devkota sendiri pernah menderita depresi selama 19 tahun. Dia

harus berhenti kuliah karena penyakitnya. Hari hari dilaluinya dengan mengurung

diri di kamar, hingga akhirnya seorang misionaris membawanya berobat. Matrika

Devkota akhirnya bisa pulih, kembali ke bangku kuliah dan meraih gelar sarjana di

bidang keejahteraan sosial. Ketika sudah bekerja dan mengunjungi berbagai wilayah

di Nepal, dia melihat banyak penderita gangguan jiwa yang dipasung atau dikurung

di dalam ruangan sempit. Hal tersebut mendorongnya untuk keluar dari

pekerjaannya dan mendirikan LSM di bidang kesehatan jiwa. Pencapaian Matrika

bersama Koshish diakui dunia. Dia mendapat penghargaan ‘’Dr Guslan Award”

dari Belgia dan hadiah uang sebesar Rp 550 juta yang harus digunakannya untuk

meningkatkan kegiatan memulihkan penderita gangguan jiwa di Nepal.

Matrika Devkota berani melepaskan pekerjaannya untuk mendirikan dan

bekerja secara penuh di Koshish. Keterlaluan sekali kalau sampai diriku tidak berani

melakukan kerja sosial secara penuh di usia pensiunku nanti. Aku tidak boleh terus

menerus mencari uang hanya agar bisa hidup bermegah-megahan. Harta itu

layaknya air laut. Semakin banyak minum air laut semakin haus jadinya. Keinginan

akan harta tidak akan pernah terpuaskan. Harta juga ibarat darah, harus selalu

mengalir. Bila darah atau harta mengumpul disuatu tempat, hanya akan

menimbulkan penyakit. Serangan jantung maupun stroke terjadi karena aliran darah

tersumbat. Harta tidak boleh hanya disimpan saja di tabungan atau dibawah bantal,

harta harus ditanamkan atau disedekahkan.

Hal menarik lainnya, permasalahan gangguan jiwa berat tidak bisa

diselesaikan hanya dengan menyuruh mereka minum obat. Diperlukan dukungan

26

psikososial dari keluarga, teman dan masyarakat agar penderita gangguan jiwa bisa

pulih kembali dan bisa hidup produktif secara sosial dan ekonomi di masyarakat.

Memberikan dukungan psikososial untuk memulihkan gangguan jiwa adalah sebuah

tugas yang menantang, tidak mudah, rumit, dan perlu kesabaran serta kematangan

jiwa. Aku rasa melakukan kerja sosial di bidang pemulihan kesehatan akan bisa

membuat hidupku bergairah, terasa benar benar hidup.

Dari pengkajian terhadap permasalah pemulihan gangguan jiwa, kusadari

adanya sebuah ladang amal yang terbuka luas yang menunggu diriku dan teman-

temanku untuk menggarapnya. Ladang amal yang tidak hanya bisa digarap oleh

tenaga kesehatan, tapi sebuah ladang yang harus dikerjakan bersama dari berbagai

disiplin ilmu. Aku pikir, dengan kematangan jiwa yang dipunyai oleh para

pensiunan, pemulihan gangguan jiwa merupakan lahan ideal bagi pengabdian

mereka. Ilmu psikologi klinis yang praktis tidak terlalu sulit dipelajari dan

bahannya tersedia secara gratis di internet. Tidak hanya berupa tulisan, tapi juga

dalam bentuk audio visual. Berbagai kursus on-line maupun workshop jangka

pendek juga ada. Aku percaya, bila dipakai untuk menolong penderita gangguan

jiwa tanpa motif komersial, meskipun tidak dilakukan oleh psikolog atau dokter,

tidak akan ada yang protes. Bukankah selama ini, jarang ada yang peduli dan mau

berkorban untuk menolong penderita gangguan jiwa? Aku akan melakukan hal itu

tanpa motif komersial. .

Aku percaya, pemulihan gangguan jiwa merupakan ladang amal luas yang

hasilnya, insya Allah, bisa dipanen di dunia dan di akhirat.

----0000----

Saat itu, sekitar dua tahun sebelum mencapai usia pensiun, aku berhasil

mengajak 4 temanku: Prianto, Wibowo, Hardi dan Amir, seuntuk mendirikan sebuah

sekolah pemulihan jiwa yang kami beri nama Sekolah Pemulihan Jiwa Tirto Jiwo.

Ibuku yang punya gagasan nama Tirto Jiwo. Ibuku mengharapkan agar sekolah itu

nantinya bisa berfungsi seperti air, tirto dalam bahasa Jawa, yang membawa

kesegaran dan kejernihan jiwa.

27

Pak Wibowo teman seangkatan adikku ketika di SMA. Dia dulu kuliah di

UGM mengambil jurusan ekonomi. Setelah lulus dari UGM, Pak Wibowo menjadi

pengusaha yang bergerak dibidang otomotif. Sejak itu toko onderdil dan bengkel

kendaraan bermotornya terus berkembang dan tersebar di beberapa kota di Jawa

Tengah selatan.

Pak Hardi 2 tahun lebih tua dari aku. Pak Hardi sarjana pertanian dari UGM

dan mendapat gelar S2 di bidang pertanian dari Keio University, Jepang. Istri Pak

Hardi adalah temanku sekelas sewaktu SMA. Pak Hardi juga berkarir di Pemda

Purworejo. Jabatan terakhir sebelum pensiun adalah Sekretaris Daerah, jabatan karir

tertinggi di pemda. Sejak pensiun Pak Hardi menghabiskan waktu luangnya dengan

mendalami ilmu agama. Dia berjanji akan mengisi sebagian waktu luangnya di Tirto

Jiwo. Dia sangat tekun mempelajari seluk beluk gangguan jiwa. Dengan kecerdasan

otaknya dan kematangan jiwanya, Pak Hardi kini menjadi andalan Tirto Jiwo dalam

memberikan bimbingan kejiwaan.

Pak Amir juga temanku semasa di SMA. Setelah lulus dari SMA di

Purworejo, Dia melanjutkan kuliahnya di Akademi Metereologi Klimatologi dan

Geofisika (AMKG) di Jakarta. Dia sebenarnya ingin menjadi psikolog, namun

karena orang tuanya tidak punya uang untuk membiayai kuliahnya, Pak Amir

memilih kuliah di AMKG yang menyediakan bea siswa. Ia pindah ke Purworejo

setelah pensiun.

Kami berlima sepakat untuk ikut mensukseskan ‘’Indonesia Bebas Pasung’’.

Kami menilai memasung penderita gangguan jiwa adalah suatu perbuatan yang

sangat tidak manusiawi. Ada cara yang jauh lebih baik dalam menangani gangguan

jiwa, yaitu dengan mengirimkannya bersekolah di Sekolah Pemulihan Jiwa Tirto

Jiwo.

----0000----

Di suatu hari sekitar setahun sebelum pensiun, aku ngobrol dengan istriku.

Seperti biasa, dia melaporkan semua kegiatannya pagi itu

28

“Pak tadi ibu telpon ke Bu Hardi. Sudah lama tidak ngobrol”kata istriku. Dia

membahasakan dirinya sebagai ibu dan memanggilku dengan sebutan bapak.

“Oh ya, bagaimana kabar Pak Hardi sekeluarga?”

“Kabar baik, sehat sehat saja. Cuman tadi Bu Hardi cerita kalau dia marah

sama suaminya”

“Lho kenapa mesti marah? Suaminya kawin lagi?”

“Bukan !, kok ngomongnya soal kawin lagi sih. Suaminya tidak jadi

membelikan istrinya mobil Honda CRV model terbaru karena uangnya mau

disumbangkan untuk pembangunan gedung Tirto Jiwo. Aku tahu pasti bapak yang

mengajak Pak Hardi untuk ikut bergabung bikin Tirto Jiwo” kata istriku.

“Terus apa tanggapan ibu terhadap curhat Bu Hardi?”

“Ya ibu diam saja. Aku tidak mau campur tangan urusan internal mereka”

jelas istriku.

Sejenak istriku diam saja. Rupanya dia sedang menyusun kalimat agar bisa

efektif, tepat mengenai sasaran.

“Tapi, rumah kita yang di Purworejo tetap jadi direnovasi kan Pak? Rumah

kita itu kecil sekali. Semua kamarnya kecil, dapur sempit dan jelek. Apalagi kamar

mandinya. Menurut ibu, sebaiknya kita bikin rumah baru dibelakang bangunan yang

ada sekarang. Ibu ingin rumah model kuno yang fotonya pernah ibu tunjukkan ke

bapak” kata istriku melanjutkan.

Aku diam saja, tidak bereaksi. Aku kalah pintar berdebat dengan istriku. Jadi

lebih baik diam saja.

“Rumah lama bisa kita pakai untuk kegiatan sosial. Kita bisa manfaatkan

untuk tempat pengajian dan tempat memasak nasi bungkus untuk sedekah setiap

Jumat seperti yang kita rencanakan” kata istriku melanjutkan.

29

“Ya nanti lihat kondisi keuangan kita. Bapak sudah berniat untuk mendirikan

Tirto Jiwo. Orang tua Pak Wibowo sudah bersedia mewakafkan tanahnya seluas

2500 meter persegi di desa Kalinongko. Lokasinya bagus. Terasa adem kalau tinggal

disana. Cocok untuk penderita gangguan jiwa. Pak Drajad juga sudah berjanji untuk

mewakafkan tanah sawah di Kalinongko yang baru saja dibelinya. Katanya luasnya

hampir 900 m persegi” kataku menjelaskan.

“Bapak kok begitu, jangan lupa kita sudah sepakat untuk membangun rumah

buat pensiun di Purworejo. Ingat Pak, anak kita dua-duanya perempuan. Kalau

waktu mantu rumah kita sempit dan jelek, terus bagaimana?” jawab istriku.

Aku diam saja. Aku pura pura sibuk membaca Koran.

“Yang malu itu bapak juga. Aku sih nggak apa apa punya rumah seperti itu”

kata istriku lagi.

Saat itu aku terus ingat nasehat ustadz Daud Yusuf. Tidak ada gunanya

berdebat soal seperti itu. Lebih baik nanti malam bangun untuk sholat tahajud.

Berdoa saja kepada Tuhan agar memberi hidayah kepada istriku dan juga istri semua

teman temanku. Aku sudah lebih dari 25 tahun hidup bersama istriku. Setelah tenang

dan berpikir jernih, istriku pasti akan mendukung ideku. Buktinya, istriku rela

mewakafkan 2 rumah BTN di Pamulang untuk panti asuhan. Istriku juga rajin

memotong 10% pendapatan keluarga untuk sedekah.

----0000----

Sore menjelang Maghrib, 18 bulan sebelum pensiun, aku dan Pak Hardi

berkunjung ke rumah Bu Diana. Dia teman istri Pak Hardi. Dia seorang psikolog

yang menyibukkan dirinya dengan kegiatan dakwah. Kuingin menjajagi

kemungkinan mengajak Bu Diana bergabung dengan Sekolah Gangguan Jiwa.

Meskipun bukan keharusan, adanya dukungan psikolog yang punya visi dan misi

sejalan akan sangat membantu.

Kami mengobrol soal pemulihan gangguan jiwa.

30

“Di Indonesia, psikologi klinis sulit berkembang. Para psikolog klinis sulit

buka klinik sendiri, paling mereka bekerja di klinik atau rumah sakit jiwa. Tentu saja

lowongan kerjanya dan perananannya jadi terbatas.” kata Bu Diana.

“Bagaimana bisa berkembang. Asuransi kesehatan, seperti askes, jamkesmas

dan jamkesda tidak mau membayar terapi psikososial. Mereka hanya mau

membayar biaya konsultasi dokter, biaya obat dan biaya rawat inap. Tidak ada

komponen terapi psikososialnya. Biaya terapi psikososial, bila ada, harus dibayar

langsung oleh pasien atau keluarganya. Orang miskin mana sanggup bayar

konsultasi psikososial” kataku menimpali.

“Padahal sebenarnya, kebutuhan psikologi klinis di Indonesia sangat besar.

Paling tidak diperlukan setidaknya 28.500 psikolog klinis di Indonesia. Itu belum

termasuk kebutuhan psikolog klinis untuk melayani gangguan kepribadian,

psikosomatis dan gangguan psikologi klinis ringan dan sedang lainnya.” Kata Bu

Diana melanjutkan.

“Bagaimana pendapat Bu Diana, bila kita ajari masyarakat awam atau

keluarga penderita gangguan jiwa berat dengan terapi kognisi perilaku, maksud saya

cognitive behavioral therapy atau CBT? Saya lihat di negara negara maju, CBT

banyak diajarkan lewat kursus, program D1, bahkan beberapa universitas

menawarkan program D1 secara on-line”tanyaku meminta pendapat Bu Diana.

“Pak Bambang, untuk program D1 berarti harus ada lapangan kerja

formalnya, baru mahasiswa mau mendaftar. Tanpa ada lapangan kerja yang jelas,

tidak akan ada mahasiswa yang mau mendaftar. Buang buang uang dan waktu saja.

Paling paling kita bisa bikin kursus beberapa hari untuk keluarga penderita

gangguan jiwa berat, tapi dengan keterbatasan jumlah psikolog klinis di Indonesia,

berapa banyak keluarga yang bisa kita kursus? Belum lagi bicara soal keterbatasan

dana, ruwet pokoknya, banyak sekali hambatannya” jawab Bu Diana.

“Sepertinya, kalau mau mengembangkan pelayanan psikologi klinis di

Indonesia, kita juga harus menggarap sisi kebijakannya juga. Kita harus bisa

31

meyakinkan pejabat di Kemenkes dan asuransi kesehatan” kataku setengah

menggumam.

“Bagaimana pendapat Bu Diana kalau kita mulai dengan upaya rintisan

kecil-kecilan, tentunya sifatnya juga kegiatan amal, karena duitnya juga tidak ada”

kataku menjajagi kemungkinan Bu Diana mau membantu melaksanakan ideku

“Wah maaf Pak Bambang, saya sudah sangat sibuk. Selain kegiatan dakwah,

saya juga harus merawat ibu yang sudah sepuh dan perlu pendampingan. Coba cari

psikolog lain yang masih baru lulus, siapa tahu mereka mau dan ada waktu” jawab

Bu Diana.

Aku tidak terkejut dengan jawabannya. Hari gini, siapa yang mau kerja tanpa

imbalan yang jelas. Semuanya ingin cash and carry, ada uang ada barang. Tanpa

motivasi kemanusiaan yang kuat, tidak akan ada yang mau mengikuti ideku. Ideku

adalah ide yang tidak masuk akal. Bila hanya untuk mengadakan bakti sosial

setahun sekali atau dua kali, itu masih bisa diterima. Mengisi semua hari hari di

masa pensiun dengan membantu pemulihan gangguan jiwa tanpa bayaran adalah ide

orang yang kurang kerjaan. Mungkin mereka pikir aku sudah ikut ikutan terkena

gangguan jiwa, hanya mereka sungkan mengatakannya secara terus terang di

depanku.

----0000----

Masyarakat Indonesia sangat bervariasi, baik dari segi fisik maupun

kebudayaannya. Ternyata, begitu juga dengan dokter spesialis jiwa. Pendapat

mereka tentang pemulihan gangguan jiwa juga berbeda-beda. Dokter Purwoko,

spesialis jiwa yang bekerja di salah satu Klinik Psikiatri swasta di Jakarta sangat

percaya bahwa gangguan jiwa seperti skizofrenia disebabkan oleh kelainan di otak

dan tidak ada tempat bagi terapi psikososial. Dia termasuk pengagum berat

neuroscience, ilmu yang mendalami anatomi dan kerja otak.

Suatu siang, ketika kebetulan sama sama pulang kampung ke Purworejo,

kutemui dia dirumah orang tuanya di kampung Ngupasan.

32

“Dokter Purwoko, menurut saya, setiap orang itu juga punya daya tahan

menghadapi penyakit. Di kalangan ahli kesehatan masyarakat, kita tahu bahwa

jumlah penderita penyakit menular seperti TBC sudah berkurang sebelum

ditemukan antibitotika. Penurunan jumlah penderita TBC tersebut terjadi karena

perbaikan kesehatan lingkungan dan juga perbaikan gizi. Dilain pihak, karena terlalu

mengandalkan obat, saat ini TBC jadi masalah besar karena kuman TBC banyak

yang mulai kebal terhadap obat anti TBC yang ada. Contoh lain, pada anak anak

cacat yang lahir tanpa tangan, kaki mereka bisa dilatih untuk menggantikan sebagian

fungsi tangan. Mereka bisa makan dan minum pakai kaki. Ini artinya, selain otot

kaki, otak mereka juga bisa diubah melalui latihan” kataku pada dr Purwoko.

“dr. Bambang, situ kan dokter ahli kesehatan masyarakat, saya ini asli dokter

spesialis jiwa, percayalah dengan saya. Gangguan jiwa seperti skizofrenia itu

penyakit otak. Dr. Jonathan R. Kinsel, Direktur National Institute of Mental Health,

Amerika saja sudah tegas tegas bilang begitu. Sebagai penyakit otak, jelas

penanganannya pakai obat. Mereka harus minum obat seumur hidupnya. Terapi

psikososial itu sangat sedikit manfaatnya. Coba tanya saja ke seluruh psikiater di

Indonesia. Berapa banyak pasiennya yang bisa pulih. ”

Aku tidak ingin menanggapi pernyataan dr Purwoko tentang manfaat terapi

psikososial karena bagiku hal tersebut sudah jelas. National Institute for Health and

Care Excellence, NICE, Inggris, sebuah badan yang dihormati dan diakui

integritasnya dalam penentuan standard pengobatan penyakit, sudah

merekomendasikan penggunaan terapi psikososial seperti terapi perilaku kognisi

(cognitive behavior therapy) dan terapi keluarga bagi penderita skizofrenia. Selain

itu, hingga sekarang, bagaimana sebuah gangguan keseimbangan kimia diotak bisa

menghasilkan gejala yang berbeda, juga belum bisa dijelaskan.

“Bagaimana dengan efek samping obat? Kita semua tahu bahwa obat

gangguan jiwa itu sangat kuat dan punya efek samping juga. Walau ini masih

kontroversial, pasti dr. Purwoko pernah dengar bahwa dalam jangka panjang, obat

gangguan jiwa bisa menyebabkan volume otak mengecil, kegemukan dan efek

samping lainnya”

33

“dr. Bambang, jangan bicara begitu. Apa dr. Bambang berani bertanggung

jawab kalau semua penderita gangguan jiwa tidak mau minum obat dan kemudian

membuat kerusakan di masyarakat”

“Bukan begitu, bukannya saya tidak percaya dengan obat. Maksud saya, kita

juga harus memperkuat otak, jiwa dan memperbaiki lingkungan penderita gangguan

jiwa. Tidak hanya dengan memberi obat. Nah masalahnya, selama penderita

gangguan jiwa mendapat obat gangguan jiwa dosis tinggi, mereka akan sulit diberi

motivasi. Menurut makalah ilmiah yang saya baca, penderita gangguan jiwa harus

didukung agar mereka bisa dan mau secara aktif mengupayakan kesembuhan

dirinya. Tidak hanya pasif dengan minum obat sesuai resep dokter. Padahal, kita

tahu, kewenangan menentukan dosis dan jenis obat kan ditangan dokter ahli jiwa.

Psikolog tidak bisa berbuat banyak selama penderita diberi obat dosis tinggi”

“Apa Pak Bambang menyuarakan kebijakan WHO?

“Bukan, ini pendapat pribadi. Semua pemikiran yang saya sampaikan tidak

mewakili pendapat WHO”

“Saya kira psikiater tahu apa yang harus dilakukannya. Mereka kuliah

selama 4 tahun hanya untuk memperdalam ilmu kesehatan jiwa. Saya takut kalau

pendekatan seperti itu yang akan dr. Bambang lakukan, banyak psikiater yang akan

memboikot upaya dr Bambang. Paling paling nanti dr Bambang hanya bisa

menangani pasien pasien yang memang tidak mau minum obat dan pasien miskin

yang tidak punya uang untuk berobat ke dokter” kata dr Purwoko mengakhiri

disuksinya.

Aku percaya pemikiran dr Purwoko tidak mewakili arus utama pemikiran

masalah kesehatan jiwa di Indonesia. Banyak psikiater yang kukenal sangat

mendukung pentingnya terapi psikososial, hanya mereka tidak punya waktu untuk

menerapkannya.

----0000----

34

Hambatan ketika berusaha mewujudkan ide membantu pemulihan gangguan

jiwa muncul dari berbagai arah. Mulai dari sulitnya mencari tanah untuk bangunan

pusat pemulihan, terbatasnya dana, pengusaha traktor yang main kayu, hingga

sistem pembiayaan kesehatan yang kurang mendukung.

Sebagian masyarakat desa Kalinongko memandang orang yang mau berbuat

sosial, seperti diriku yang mau bikin sekolah pemulihan jiwa, sebagai orang yang

sudah kelebihan uang. Mereka bukannya terus mendukung dan ikut

menyumbangkan tenaganya secara sukarela, mereka malahan tanpa segan segan

memanfaatkan proyek kemanusiaan tersebut sebagai sumber penghasilan tambahan

yang empuk.

“Akankah aku harus mundur dan membuang ideku yang ‘kurang kerjaan’ ,

atau hanya ‘cari cari kerjaan’ tersebut?” tanyaku dalam hati

Di sisi yang lain, aku juga melihat bahwa kebanyakan masyarakat sekarang

baru pada tingkat sedekah baju bekas atau uang receh. Mereka akan dengan mudah

dan senang hati menyumbangkan baju atau barang bekas, juga uang recehan. Namun

hanya segelintir orang yang tergerak bila diminta menyumbangkan materi dalam

jumlah yang lebih besar. Mereka mau bersedekah selama tanpa pengorbanan, atau

pengorbanannya hanya minimal. Mereka belum bisa berkorban, misalnya: tidak beli

baju baru, tidak makan di restaurant, tidak jalan jalan ke luar negeri, selama 6 bulan,

agar ada uang lebih untuk bersedekah.

Masyarakat Indonesia jarang bersedia memotong sebagian penghasilannya di

awal bulan untuk sedekah. Mereka hanya mau bersedekah bila diambil dari sisa

uang belanja bulanan. Maka ketika penghasilan mereka pas-pasan, tidak ada lagi

uang yang tersisa di akhir bulan, mereka jadi punya alasan kuat untuk tidak

bersedekah. Kondisi seperti itu jelas bukan lingkungan yang bisa menyuburkan

kegiatan sosial.

Padahal, bila mereka mau memotong uang sedekah di depan, menyisihkan

sebagian pendapatan untuk sedekah, bukan dari sisa di akhir bulan, insya Allah,

mereka akan mendapat keberkahan. Penghasilan yang terbatas akan menjadi cukup.

35

Bahkan sering kali, akan ada penghasilan tambahan dari arah yang tidak terduga. Ini

bukanlah pendapatku pribadi. Ini adalah ilmu hikmah yang kudapatkan dari

beberapa orang yang sukses hidupnya. Ilmu hikmah ini tidak hanya monopoli

agama Islam. Ilmu ini juga sudah diterapkan oleh para penganut agama lain yang

taat beribadah.

Sebagian besar orang setuju bila kukatakan bahwa saat ini lingkungan sosial

yang berkembang di Indonesia bukanlah lingkungan yang subur bagi tumbuhnya

kegiatan kemanusiaan.

“Haruskah aku menunda kegiatan sosialku menunggu kondisi lingkungan

yang cocok?” tanyaku dalam hati.

Kemungkinan besar, sampai matipun, kondisi masyarakat Indonesia akan

tetap masih seperti ini. Artinya, menunda hingga kondisinya cocok bukan pilihan

yang baik. Aku harus melakukannya sekarang, tidak bisa ditunda-nunda lagi.

Waktuku tinggal terbatas, aku akan segera memasuki usia pensiun.

Tiba tiba pikiran positif melintas di otakku.

“Siapa tahu, kegiatan kemanusiaanku ini akan bisa menginspirasi orang

lain?”

Bila ada 10 orang saja ikut terinspirasi, itu sudah sangat bagus. Dari 10 orang

yang terinspirasi olehku, nantinya mereka akan bisa menginspirasi 100 orang lain.

Begitu seterusnya hingga semua penderita gangguan jiwa di Indonesia akan bisa

mendapat dukungan psikososial yang dibutuhkannya. Bila ini terjadi, ini benar benar

suatu kemenangan yang nyata.

36

Sekolah Tirto Jiwo

antor Dinas Sosial Transmigrasi dan Tenaga Kerja (Dinsostranaker)

Kabupaten Purworejo terletak di jalan ke arah Magelang. Bangunannya

terlihat asri, bersih dan tertata rapi. Pagi itu, sekitar setahun sebelum

pensiun, aku berkunjung ke kantor Dinsostransnaker. Di halaman depan kantor

kulihat 3 mobil dinas terpakir berjajar di samping tempat parkir sepeda motor yang

memenuhi tempat parkir. Sebagian besar pegawai negeri sipil di Purworejo memang

hanya mampu membeli sepeda motor. Jarang yang mampu membeli kendaraan roda

empat.

Pagi itu aku menghadap Ibu Tari, seorang pejabat yang menangani masalah

kesejahteraan sosial. Ketika ketemu dengannya pagi itu, beliau memakai baju

seragam dengan jilbab menutup rambutnya. Kutaksir, Ibu Tari masih berusia 40an

tahun, jauh dibawah umurku. Kami berdiskusi tentang pemulihan gangguan jiwa dan

konsep sekolah pemulihan jiwa.

“Pak Bambang, tolong dijelaskan secara sederhana, apa arti pemulihan dari

gangguan jiwa itu? Menurut pengamatan saya, sangat sedikit penderita gangguan

jiwa yang bisa kembali ke masyarakat. Setelah keluar dari RSJ, kebanyakan mereka

tidak bisa bekerja dan menjadi tanggungan Dinas Sosial” Kata Bu Tari,

“Pulih dari gangguan jiwa artinya seseorang bisa kembali hidup produktif di

masyarakat secara sosial ekonomi. Yang bersangkutan bisa lepas dari obat, atau

mungkin juga masih harus minum obat. Bisa juga masih mempunyai gejala, seperti

kadang kadang mendengar suara suara, namun yang bersangkutan bisa

mengendalikannya. Gejala gangguan jiwa yang masih dipunyai tidak menganggunya

untuk bekerja dan hidup di masyarakat” jawabku.

Bu Tari terlihat diam. Kelihatannya dia sedang mencerna penjelasanku.

Kucoba memberinya penjelasan tambahan.

K

37

“Bu Tari, pulihnya seorang penderita gangguan jiwa itu seperti orang punya

penyakit gula darah atau diabetes. Mereka tetap harus minum obat seumur hidupnya,

kadang juga bisa kambuh sakitnya. Penderita tekanan darah tinggi juga kebanyakan

harus minum obat seumur hidupnya. Begitu pula dengan penderita gangguan jiwa.

Mereka bisa hidup produktif di masyarakat meskipun tetap minum obat setiap

harinya.”

“OK, saya baru mengerti sekarang. Pak Bambang, sekarang ini ada banyak

panti rehabilitasi jiwa, apa mereka juga bisa dikatakan memberikan pelayanan

pemulihan gangguan jiwa? Saya amati, kebanyakan penghuni panti menjadi kronis

dan tinggal disana seumur hidupnya” rupanya Bu Tari mulai tertarik dengan konsep

pemulihan gangguan jiwa.

“Contoh kongkritnya seperti apa? biar jelas begitu lho Pak. Saya tidak suka

kalau hanya permainan kata kata” Bu Tari melanjutkan.

Pertanyaan yang tajam dan mendasar. Aku mencoba menjelaskan

semampuku. Aku sering merasa kesulitan ketika harus menjelaskan suatu konsep

canggih dengan memakai bahasa sederhana.

“Kalau kita bawa seorang pasien ke dokter spesialis jiwa, terus ditanya

apakah masih suka mendengar suara suara, kemudian diberi obat untuk

menghilangkan atau menekan halusinasinya tersebut. Itu artinya, pendekatannya

masih berorientasi pada menghilangkan gejala. Kegiatannya masih bersifat

rehabilitasi. Di panti rehabilitasi pasien bersifat pasif, hanya menerima obat, dan

fokusnya pada gejala penyakitnya. Pada pelayanan berorientasi pemulihan jiwa,

maka pelayanan yang diberikan dititik beratkan pada menggali potensi penderita

tersebut dan mengenalkannya dengan berbagai teknik untuk mengendalikan

halusinasi. Disini sikap penderita tidak lagi pasif. Mereka harus bersikap aktif, yaitu

mengupayakan agar dirinya bisa mengendalikan halusinasi, dengan memakai teknik

yang telah dipelajari. Hanya saja, pada beberapa penderita, kadang kadang obat

masih tetap diperlukan” jelasku.

38

“Perbedaan prinsip kedua, pada pelayanan berorientasi pada pemulihan,

pemberi pelayanan tidak hanya para professional, namun juga bekas penderita

gangguan jiwa yang telah pulih dan dilatih untuk jadi pembimbing. Sebagai bekas

penderita gangguan jiwa, mereka mempunyai empati yang tinggi karena mereka

pernah merasakannya sendiri. Selain itu, mereka juga bisa menjadi contoh nyata

bahwa penderita gangguan jiwa bisa pulih. Mereka bisa menjadi motivator yang

efektif. Di Pusat pemulihan gangguan jiwa, semua komunikasi yang disampaikan

harus mendorong tumbuhnya harapan bahwa hari depan para penderita akan lebih

baik dibanding keadaan mereka sekarang. Tanpa adanya harapan yang tertanam

dihati penderita, tidak akan ada pemulihan gangguan jiwa”

Di sebagian masyarakat Indonesia, penderita gangguan jiwa masih sering

jadi bahan olok olok. Mereka diperlakukan sebagai setengah manusia setengah

hewan. Perlakuan yang diterima penderita gangguan jiwa dari masyarakatnya sering

membuat sakitnya semakin parah. Perlakuan masyarakat sering berlawanan dengan

prinsip pemulihan gangguan jiwa. Di Tirto Jiwo, bekas penderita gangguan jiwa

yang sudah lulus, akan ditarik jadi guru juga. Di Indonesia, hal ini benar benar suatu

lompatan. Padahal, di Amerika dan Inggris, ide memanfaatkan bekas penderita

sebagai motivator tersebut sudah diterapkan setidaknya sejak 5 tahun yang lalu.”

“Terima kasih Pak Bambang, cukup jelas. Saya kira nanti setelah melihat

sendiri bentuk pelayanannya, pemahaman saya akan semakin baik. Pertanyaan

terakhir Pak Bambang, apa maksudnya Sekolah Pemulihan Jiwa itu, apa bedanya

dengan pusat pemulihan jiwa”

“Waduh, Bu Tari kok tanyanya yang sulit sulit. Begini Bu, pusat pemulihan

jiwa fungsi utamanya adalah memberikan terapi pemulihan, sedangkan sekolah

pemulihan jiwa fungsi utamanya adalah sekolah, tempat belajar. Di pusat pemulihan

semua aktivitas diarahkan agar berfungsi penyembuhan, seperti terapi berkebun,

terapi kerja. Di sekolah pemulihan jiwa aktivitasnya diarahkan untuk

mengembangkan kemampuan, menjajaki kemungkinan dan mendukung murid

mencapai tujuan hidupnya. Di Sekolah Pemulihan Jiwa muridnya tidak hanya para

penderita gangguan jiwa, tapi juga anggota keluarga yang merawat dan siapa saja

39

yang tertarik dengan pemulihan gangguan jiwa. Hanya saja, di Tirto Jiwo, bagi

murid yang menderita gangguan jiwa, akan ada bimbingan selama proses

pemulihannya juga. Murid dibimbing agar bisa memahami pengalaman mereka

ketika sedang mengalami gangguan jiwa. Mereka dididik agar mampu menerapkan

berbagai ilmu dan ketrampilan yang didapatnya. Singkatnya, Sekolah Pemulihan

Jiwa Tirto Jiwo adalah pusat pemulihan plus sekolah pemulihan” Kataku

menjelaskan secara panjang lebar.

“Bu Tari, silahkan ketik recovery college di google. Kita bisa dapatkan

informasi tentang sekolah pemulihan. Di Inggris, recovery college baru mulai ada

setelah tahun 2011” kataku menambahkan..

“Wah, jadi sekolah pemulihan ini masih barang baru ya Pak? Moga moga

tidak hanya musiman siftanya” kata Bu Tari

“Ha ha ha Bu Tari, jangan terlalu skeptis. Pemulihan gangguan jiwa itu

bukan barang baru. Sebenarnya di Inggris, pada tahun 1883, John Thomas Perceval

sudah menuliskan pengalamannya pulih dari gangguan jiwa. Hanya saja, konsep

tentang sekolah pemulihan memang masih baru. Kita lihat saja apa konsep tersebut

bisa diterapkan di Indonesia atau tidak. Saya mohon dukungan Bu Tari dan

jajarannya lho” kataku sambil mengakhiri diskusi tersebut.

Bila hanya memusatkan diri pada proses pemulihan individu penderita

gangguan jiwa, Tirto Jiwo hanya akan bisa menjangkau sedikit orang. Tirto Jiwo

hanya bisa menampung 10 penderita gangguan jiwa dalam suatu saat. Dengan

mengadakan berbagai pelatihan bagi para anggota keluarga yang merawat anggota

keluarganya yang terkena gangguan jiwa, jangkauan pelayanan Tirto Jiwo

diharapkan bisa semakin luas.

----0000----

Setahun sebelum pensiun, pagi itu aku menengok pembangunan gedung

Tirto Jiwo. Bangunan gedung Tirto Jiwo, yang masih dalam tahap penyelesaian,

terlihat sederhana, namun asri, bersih dan nyaman. Bangunan tersebut berdiri

dilereng bukit Menoreh, di desa Kalinongko, Purworejo. Bangunan utamanya

40

menghadap ke hamparan sawah yang terhampar luas. Di halaman depan bangunan

utama akan dibangun kandang rusa untuk menambah ke asriannya.

Tirto Jiwo akan menjadi markas bagi gerakan pemulihan gangguan jiwa

yang digerakkan oleh lima laki laki yang telah beruban: aku, Wibowo, Hardi,

Prianto dan Amir. Tirto Jiwo juga berfungsi sebagai “sekolah pemulihan jiwa”

sebuah istilah yang sangat kusukai, yang kucontek dari Inggris, Recovery College.

Kepada teman teman dan siapa saja yang mau mendengarkan, aku selalu

mencoba menjual konsep sekolah pemulihan jiwa itu. Dalam konsep yang kami

susun, para penderita gangguan jiwa akan kami sebut sebagai murid. Mereka akan

mendapat tambahan ilmu praktis tentang gangguan jiwa, bimbingan dan pelatihan

ketrampilan agar bisa mengatasi permasalahan akibat penyakit yang dideritanya.

Proses belajar mengajarnya tidak hanya didalam gedung, tapi juga di halaman, di

kebun, di pasar dan juga di rumah penderita gangguan jiwa. Tidak hanya murid yang

mendatangi guru, guru juga kadang datang ke rumah murid. Sebagai murid, mereka

tidak dirujuk oleh RSJ atau dokter spesialis jiwa, tapi mereka mendaftar untuk

menjadi murid.

Dalam pemulihan gangguan jiwa, keterlibatan dan dukungan keluarga sangat

penting. Prinsip tersebut juga kami terapkan di Tirto Jiwo. Kami berlima sadar

bahwa tanpa keterlibatan dan dukungan keluarga, atau dukungan dari jaringan

kekerabatan sosial lainnya, proses pembelajaran menuju pemulihan gangguan jiwa

akan berlangsung lebih lama karena “mata pelajaran” yang dicakup menjadi lebih

banyak dan lebih rumit. Selama bersekolah di Tirto Jiwo, diharapkan secara berkala,

orang tua murid atau keluarganya bisa datang berkunjung. Tujuan kunjungan

tersebut tidak hanya untuk menengok saja. Kunjungan tadi akan dimanfaatkan untuk

terapi keluarga. Selain secara berkala menengok, di rumah masing masing, setiap

keluarga juga harus mengerjakan “pekerjaan rumah” yang diberikan oleh pihak

sekolah, yaitu sholat malam, dzikir dan sedekah. Bagi yang bukan beragama Islam,

mereka diminta mengerjakan kebajikan kebajikan yang setara. Diharapkan dengan

mendapat keberkahan dari amal kebajikan tadi, proses pemulihan gangguan jiwa

para murid menjadi lebih cepat dan lancar.

41

Kami memahami bahwa penderita gangguan jiwa yang masih akut, gelisah

dan gaduh, tidak akan bisa menerima pelajaran. Dalam konsep kami, bila calon

murid datang pada kondisi seperti itu, mereka akan dirujuk ke rumah sakit jiwa atau

psikiater terlebih dahulu hingga mereka mempunyai cukup kesadaran untuk bisa

menerima pelajaran.

Para calon murid yang sudah terlanjur mengidap gangguan jiwa dalam waktu

lama, telah menjadi kronis dan menarik diri kedalam dunianya sendiri, biasanya

proses pemulihannya akan memerlukan waktu yang lebih panjang, bisa sampai 3-4

tahun. Dalam konsep sekolah Tirto Jiwo, mereka perlu kost di “rumah pemulihan”,

dalam arti mereka akan tinggal bersama dengan sebuah keluarga yang bersedia

menampung dan mendukung proses pemulihan. Di rumah pemulihan, pelajaran

diberikan oleh guru dari Tirto Jiwo, sedangkan “bapak dan ibu kost” akan

membimbing “anak kost” mengerjakan tugas tugas pekerjaan rumah yang diberikan

oleh sekolah Tirto Jiwo. Melalui pendekatan ini, fungsi Tirto Jiwo tidak akan

berubah menjadi sebuah panti rehabilitasi. Di lain pihak, murid juga akan lebih

kerasan karena mereka tetap tinggal di sebuah keluarga biasa, bukan di rumah sakit

jiwa atau di panti rehabilitasi.

Dalam kosep kami, guru di Sekolah Pemulihan Jiwa Tirto Jiwo tidak dibayar

oleh yayasan. Guru dibayar langsung oleh Tuhan lewat jalan yang tidak terduga.

Sebagian honor, insya Allah, akan dibayar Tuhan melalui keuntungan bisnis yang

mereka kelola, atau akan dibayarkan dalam bentuk anak keturunan yang sehat,

sholeh dan hidup berkecukupan. Sebagian besarnya, insya Allah, honor mengajar

akan dibayarkan di akherat kelak berupa kehidupan yang abadi di surga.

Kami juga sadar bahwa tidak semua orang yang bekerja di Tirto Jiwo

percaya bahwa Tuhan bisa memberi gaji dari arah yang tidak terduga. Bagi mereka

yang hanya percaya kepada sesuatu yang nyata, kongkrit dan kasat mata. Mereka

akan digaji oleh yayasan sepenuhnya. Gaji mereka hanya pas-pasan, sesuai dengan

Upah Minimum Kabupaten yang berlaku. Kami juga tahu bahwa sebagian karyawan

akan berada ditengah, dalam arti mereka minta gaji dari dua sumber, dari Tuhan dan

dari yayasan.

42

Dalam hal pembiayaan Sekolah Pemulihan Tirto Jiwo , aku terinspirasi oleh

rumah sakit Mata Aravind, India. Disana, sejak awal pendiriannya, rumus yang

dipakai adalah 6 tempat tidur untuk pasien gratis, termasuk gratis biaya operasi,

rawat inap dan biaya kacamatanya. Sedangkan, 5 tempat tidur untuk pasien yang

membayar. Tarif rumah sakit mata Aravind tetap bersaing dibandingkan tarif rumah

sakit mata lain di India. RS Mata Aravind berkembang pesat. Dimulai dari sebuah

klinik mata dengan 11 tempat tidur, kini menjadi 6 rumah sakit mata modern dengan

kapasitas total sekitar 3500 tempat tidur. Menurut Dr Dr. G. Venkataswamy atau

lebih dikenal sebagai “Dr V”, pendiri RS Mata Aravind, ada campur tangan Tuhan

disana. Hingga kini, RS Mata Aravind sering jadi bahan studi kasus oleh berbagai

sekolah bisnis terkemuka, seperti Harvard Business School, Amerika.Aku juga

mengharapkan ada campur tangan Tuhan dalam pengelolaan Tirto Jiwo nantinya.

Dalam kosep kami, biaya operasional dan biaya investasi di Tirto Jiwo

diharapkan berasal dari sumbangan para dermawan, pengurus yayasan, royalty buku

buku yang kutulis dan dari para orang tua murid yang bersekolah. Orang tua murid

membayar biaya sekolah dan akomodasi sesuai kemampuan masing masing.Tidak

akan ada murid yang ditolak hanya karena masalah biaya.

----0000----

Hingga beberapa bulan sebelum mulai operasional, konsep Sekolah

Pemulihan Jiwa Tirto Jiwo masih terus didiskusikan.

“Mas Bambang, apa konsep seperti itu bisa jalan?” tanya Pak Amir.

Ketika itu, pembangunan gedung Tirto Jiwo masih berjalan. Kami berlima

tengah berdiskusi mematangkan konsep Sekolah Pemulihan Tirto Jiwo.

“Dari sisi apanya Pak Amir, dari sisi ekonomi bisnis atau dari sisi

teknisnya?’’, tanyaku meminta penjelasan.

“Dua-duanya”

“Untuk sisi bisnisnya saya yakin bisa Pak Amir”, Pak Wibowo tiba tiba

menyahut.

43

“Pak Amir pasti sudah mendengar tentang Klinik Umiyah, itu lho klinik

rawat inap khusus untuk masyarakat tidak mampu yang ada di desa Lugosobo.

Klinik itu saya dan Pak Bambang pendirinya. Pasien yang berobat ke Klinik

Umiyah, baik rawat inap maupun rawat jalan, cukup memasukkan uang ke kotak

infaq yang tersedia di dekat ruang pendaftaran. Memang uang dari pasien tidak

cukup untuk biaya operasional. Kekurangan biaya operasionalnya selama ini ditutup

dari sedekah para dermawan. Klinik Umiyah kini sudah berjalan lebih dari 3 tahun”

Pak Wibowo menjelaskan.

“Kuncinya ada di keterbukaan” kataku menambahkan, “Setiap bulan,

pengurus Yayasan membuat laporan keuangan dan mempublikasikan laporan

tersebut di website Klinik Umiyah dan juga dipasang di papan pengumuman.

Silahkan Pak Amir kunjungi websitenya di www.klinik-umiyah.com”

“Kunci kedua Pak Amir, pengurus Yayasan juga ikut menyumbang.

Logikanya sederhana. Kita tidak bisa mengharapkan orang lain menyumbang ke

Klinik Umiyah kalau kita sendiri sebagai pengelola tidak mau menyumbang. Selain

itu, sesuai dengan ketentuan pemerintah, pengurus Yayasan memang tidak boleh

mengambil untung dari Klinik Umiyah. Pengurus Yayasan benar benar hanya

mengharapkan berkah dari kegiatan tersebut. Alhamdulillah, karena berkah dari

Klinik Umiyah, hingga bisnis otomotif saya tetap lancar. Saya kira itu karena saya

dapat berkah dari mendirikan Klinik Umiyah” Pak Wibowo melanjutkan

penjelasannya.

Selain masalah sumber dana, soal gaji karyawan juga masih kami diskusikan.

Topik utamanya adalah seberapa besar gaji untuk karyawan nantinya mengingat

sumber utama pemasukan Tirto Jiwo berasal dari sedekah para dermawan.

“Soal gaji karyawan ini yang mungkin akan jadi ganjalan. Kebanyakan

karyawan di Indonesia inginnya mendapat gaji tinggi tapi tidak tidak mau bekerja

keras. Padahal, bila mereka mau bekerja keras dan pintar, kita berani menggaji dua

kali lipat dari rata rata gaji di Purworejo” kata Pak Amir

44

“Betul sekali pernyataan Pak Amir. Dalam kaitannya dengan gaji, saya ingin

cerita tentang pengamatan terhadap 2 teman saya. Prof. Sintawati dan Prof. Dodi

Rahardian namanya. Meskipun gajinya sebagai dosen hanya pas-pasan, mereka tetap

bekerja keras dan sepenuh hati. Kini mereka sering diminta jadi konsultan di

lembaga internasional. Penghasilan tambahan mereka tidak kurang dari Rp 300 juta

setiap tahunnya” kataku

“Saya amati hal yang sebaliknya juga terjadi. Banyak pegawai negeri yang

karena gajinya pas-pasan, terus kerjanya juga seenaknya. Akhirnya, sampai tua

mereka hanya berpenghasilan pas-pasan” kata Pak Hardi menimpali.

“Saya percaya kalau hukum kekekalan energi yang kita pelajari dalam mata

pelajaran ilmu alam, juga berlaku di masalah gaji atau penghasilan. Bila kita kerja

keras dan profesional, dimana hasil kerja kita tersebut lebih besar dibanding dengan

gaji yang kita terima saat itu, maka ‘selisih’ itu akan ditabung oleh Yang Maha

Kuasa dan suatu saat akan diberikan kepada kita, plus bonusnya, bila saatnya tiba”

kata Pak Prianto menambahkan.

‘’Dengan kata lain, nanti para karyawan harus diberi motivasi dengan

sungguh sungguh sehingga mereka betul betul paham dengan visi dan misi Tirto

Jiwo” lanjut Pak Prianto.

“OK kalau begitu, saya percaya seratus persen sekarang kalau Sekolah Tirto

Jiwo tidak akan bangkrut” kata Pak Amir setelah mendengar penjelasanku dan

penjelasan Pak Wibowo.

“Bagaimana dari sisi teknisnya? Kita kan tidak bisa berbuat sesuatu tanpa

didasari ilmu dan ketrampilan yang memadai?”

“Ini penjelasan sisi teknisnya, Pak Amir, maaf agak panjang. Pertama,

penderita gangguan jiwa seberat apapun akan bisa pulih bila mendapat perawatan

medis dan dukungan psikososial yang tepat sesuai kebutuhannya. Mereka sulit pulih

bila hanya disuruh minum obat. Mereka perlu dukungan psikososial dari keluarga

dan masyarakat. Itu yang selama ini kurang atau bahkan tidak mereka dapatkan

sama sekali” jelasku

45

Ketika semuanya terdiam, kulanjutkan penjelasanku.

‘’Kedua, ilmu dan ketrampilan untuk membantu pemulihan gangguan jiwa

bisa dipelajari dan tersedia gratis di internet. Kita juga bisa pelajari dengan

mengikuti kursus atau lokakarya yang banyak ditawarkan di luar negeri. Saya

percaya, dengan kematangan jiwa dan kemampuan yang kita miliki, kita akan bisa

menguasai ilmu dan ketrampilan dasar untuk membantu penderita gangguan jiwa.

Ketiga, kita tidak akan menginjak wilayah medis, kita akan fokus di dukungan

psikososial” kataku menjelaskan’’

‘’Bagaimana dengan perijinannya ?’’

‘’Ijin akan kita dapatkan dari Dinas Sosial, saya sudah menghubungi pejabat

di Dinas Sosial. Katanya, mereka tidak hanya mengijinkan, mereka bahkan bersedia

mendukung. Selama ini mereka kesulitan mengatasi masalah kesejahteraan sosial

para penderita gangguan jiwa” kataku. “Dengan konsep serta visi seperti itu, insya

Allah, Tuhan tidak akan membiarkan Tirto Jiwo berjalan sendiri. Tuhan akan selalu

setia ikut campur tangan, membimbing dan memberikan pertolongan serta

kemudahan’’

----0000----

Sekitar setahun sebelum aku pensiun, ketika aku pulang kampung, kami

berlima beberapa kali mengadakan rapat untuk mengoperasionalkan konsep proses

belajar mengajar kedalam kegiatan sehari-hari di sekolah pemulihan jiwa.

Komunikasi juga terus dijalin melalui email dan telpon. Untung sekarang ini sudah

ada telpon internet yang bisa gratis.

“Dasar utama yang harus kita yakini dan kita pegang teguh adalah bahwa

penderita gangguan jiwa, asalkan mendapat pengobatan dan dukungan psikososial

yang dibutuhkan, akan bisa pulih dan hidup produktif di masyarakat” kataku

“Beberapa minggu yang lalu saya nonton film berjudul Beautiful Mind yang

menceritakan kisah kehidupan Dr John Forbes Nash yang meskipun menderita

skizofrenia, bisa pulih kembali bekerja dan bahkan menerima hadiah Nobel. Kalau

46

ada yang mau nonton, saya bisa pinjamkan CD-nya. Bagus sekali filmnya” kata Pak

Hardi.

“Saya juga baca sebuah artikel Recovery and the conspiracy of Hope yang

ditulis oleh Dr. Patricia Deegan. Bisa diakses di website Mind Australia. Tulisannya

sangat bagus. Patricia bisa menulis artikel sebagus itu karena dia sendiri pernah

dirawat di RSJ karena skizofrenia ketika remaja. Setelah pulih, Patricia kembali ke

sekolah dan akhirnya bisa menyelesaikan S3-nya di bidang psikologi klinis.Tulisan

tersebut harus jadi salah satu referensi kita dalam menyusun konsep sekolah

pemulihan” kata Pak Wibowo.

Aku sangat senang mendengar kata kata kedua temanku tersebut. Ternyata

teman temanku sudah aktif mencari referensi, tidak hanya pasif menerima apa yang

kukatakan.

Sambil ngobrol yang diselingi dengan gurauan dan makan tempe goreng

serta minum teh manis hangat itu, diskusi berjalan produktif. Aku sampaikan

beberapa prinsip dasar proses pemulihan gangguuan jiwa.

“Maaf, sebelumnya, bukannya mau menggurui, tapi yang akan saya

sampaikan ini penting, yaitu prinsip prinsip dasar pemulihan gangguan jiwa. Prinsip

pertama, pemulihan adalah suatu proses membangun suatu kehidupan yang berarti

dan memuaskan. Kata kuncinya disini adalah proses, bukan hasil. Pemulihan adalah

suatu proses yang berlansung seumur hidup. Beda dengan sakit malaria, setelah

minum obat langsung sembuh” Kataku memulai penjelasan prinsip pemulihan

gangguan jiwa.

Dari sorot matanya, mereka terlihat bisa memahami penjelasanku.

‘’Prinsip kedua, pemulihan merupakan suatu proses menjauh dari kelainan,

penyakit dan gejala menuju kearah sehat, kuat dan sejahtera. Disini, bila hanya

berkurang halusinasinya namun penderita tidak bisa bekerja dan diam saja seperti

robot, itu bukan pemulihan namanya’’

47

‘’Maaf Pak Bambang, ada dua pertanyaan. Apa itu halusinasi dan mengapa

mereka jadi seperti robot’’ tanya Pak Amir

‘’Penderita gangguan jiwa sering mendengar suara atau melihat sesuatu yang

sebenarnya tidak ada. Suara atau penglihatan itu bersumber dari pikirannya sendiri.

Itu yang disebut halusinasi. Mereka sering terlibat seperti robot karena fungsi

otaknya ditekan oleh obat penghilang halusinasi tersebut. Obat tersebut mempunyai

efek samping menekan fungsi otak lainnya. Bila mereka minum obat dosis tinggi,

halusinasinya memang hilang atau berkurang, tapi mereka tidak bisa bekerja dan

bergaul. Itu bukan pemulihan namanya. Dalam pemulihan, dosis obat dibuat

minimal, namun penderita dilatih agar bisa mengendalikan halusinasinya”

“OK, prinsip yang kedua jelas bagi saya” kata Pak Amir.

Ketika teman yang lain diam saja, kulanjutkan penjelasanku.

“Prinsip ketiga, harapan adalah titik pusat dari proses pemulihan. Tanpa

adanya harapan didalam hatinya bahwa hari esok akan lebih baik dari sekarang,

maka penderita gangguan jiwa tidak akan punya cukup motivasi untuk beraktivitas

dan berinteraksi dengan orang lain. Bagi mereka yang merasa dirinya tidak punya

harapan, setiap hari akan duduk dikursi, merokok dan melamun sepanjang hari.

Sebuah kegiatan sekecil apapun akan terasa berat. Kunjungan atau tegur sapa dari

kawan tidak akan mereka tanggapi”

“Seperti orang yang akan dihukum mati, hidup tanpa harapan. Mereka jadi

apatis” kata Pak Hardi yang pernah menyaksikan seseorang yang dihukum pancung

dimuka umum di Arab Saudi. Penjahat tersebut berjalan tanpa semangat. Pak Hardi

tidak bisa melihat wajahnya karena ditutupi dengan kain hitam.

“Prinsip keempat, dalam membantu proses pemulihan, yang penting bukan

kualifikasi pendidikan dari para tenaga profesional yang memberikan pelayanan,

tetapi yang diperlukan adalah orang orang yang mempunyai kemampuan memberi

semangat dan memperkuat harapan, penuh perhatian, kreatif, dan tidak mudah patah

semangat. Prinsip kelima, keluarga dan teman teman penderita berperanan penting

48

dalam proses pemulihan, mereka perlu dilibatkan dalam proses pemulihan.” Kataku

mengakhiri penjelasanku.

Setelah menyampaikan kelima prinsip tadi, aku takut kalau teman temanku

tertidur. Kelima prinsip tadi terdengar sangat abstrak. Ternyata keliru, mereka tetap

antusias membahas konsep dasar sekolah pemulihan jiwa tersebut.

“Menurut pengamatan saya, pada saat ini, sebagian besar penderita gangguan

jiwa di Indonesia tidak mendapat dukungan yang memadai. Mereka hanya minum

obat dan kontrol ke dokter ahli jiwa sekali atau dua kali dalam sebulannya. Selepas

itu, proses pemulihan hanya ditangan keluarganya, yang sering tidak mempunyai

pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk mendukung proses pemulihan”

kata Pak Hardi.

Aku setuju dengan pengamatan Pak Hardi. Dalam obrolan yang berlangsung

hingga larut malam itu, kami juga berdiskusi tentang bagaimana

mengoperasionalkan 4 komponen dari proses pemulihan.

“Saya kira mengoperasionalkan komponen pertama dari proses pemulihan

gangguan jiwa, yaitu ‘menemukan dan memupuk harapan’ tidaklah terlalu sulit. Kita

latih dan biasakan agar semua staf di Tirto Jiwo berkata-kata dan berperilaku yang

mendorong tumbuhnya harapan. Jangan sampai kita mengucapkan kata kata yang

mematikan harapan. Untuk itu, semua staf harus yakin bahwa memang pemulihan

gangguan jiwa itu bisa tercapai. Tindakan dan kata kata yang diskriminatif,

memandang rendah dan tidak menghargai penderita gangguan jiwa tidak boleh

etrjadi sekolah pemulihan jiwa” kata Pak Prianto.

“Bagaimana contohnya Pak Pri?” kata Pak Amir.

“Saya berikan beberapa contoh perilaku yang merendahkan penderita

gangguan jiwa. Misalnya: kita tidak mau mendengarkan kata kata mereka. Bila

mereka bicara, kita potong ucapan mereka. Bila mereka minta sesuatu, kita selalu

abaikan permintaannya. Dilain pihak, kita selalu meminta mereka agar menuruti

semua permintaan kita” jawab Pak Prianto.

49

“Betul sekali Pak Prianto, saya amati banyak sekali kata kata dan perbuatan

para perawat dan karyawan RSJ yang tidak memanusiakan para penderita gangguan

jiwa. Para karyawan tersebut memandang para penderita bukan sebagai manusia

yang mempunyai kedudukan setingkat dengan mereka. Tidak ada RSJ di Indonesia

yang karyawannya mau memakai WC dan kamar mandi bersama antara karyawan

dan pasien” kata Pak Amir.

Diskusi semakin hangat. Aku senang sekali bahwa teman temanku semakin

memahami permasalahan dan solusi gangguan jiwa. Maklum, diantara kami berlima,

hanya aku yang mempunyai latar belakang pendidikan kesehatan.

“Mengenai komponen kedua, yaitu membentuk kembali ‘identitas positif’,

menurut saya, kita bisa lakukan dengan menekankan bahwa selain murid di Sekolah

Pemulihan Jiwa, mereka juga mempunyai identitas positif lainnya, seperti: pelajar,

mahasiswa, pegawai, pengusaha,sebagai ayah atau sebagai ibu. Kita harus

mengupayakan agar mereka tidak selamanya hidup sepanjang hari didalam rumah

sakit atau panti rehabilitasi gangguan jiwa. Bila mereka tinggal dirumah, mereka

perlu dibantu agar bisa melakukan kegiatan positif yang membuat mereka

mempunyai identitas diri positif” usul Pak Wibowo.

“Yang agak sulit adalah menerapkan komponen ketiga, yaitu membangun

kehidupan yang berarti. Ini artinya kita harus membantu penderita gangguan jiwa

agar bisa mempunyai pekerjaan dan penghasilan. Di budaya kita, khususnya bagi

laki laki, mempunyai pekerjaan dan penghasilan merupakan sesuatu yang penting

yang ternyata sangat penting juga peranannya dalam mendukung proses pemulihan.

Di saat sekarang ini, dimana banyak pengangguran, mencari atau menciptakan

lapangan kerja bukan pekerjaan gampang” kata Pak Hardi.

“Kita tidak boleh lupa bahwa ada Tuhan Yang Maha Pengasih, Tuhan yang

mengatur rezeki. Kita harus selalu menyandarkan semuanya kepada Yang Maha

Kuasa. Kalau hanya mengandalkan kemampuan sendiri, pastilah sangat sulit

menciptakan lapangan kerja bagi penderita gangguan jiwa. Di Amerika atau Inggris

saja, sekitar 80% penderita gangguan jiwa itu menganggur dan hidup dengan

mendapat jaminan sosial dari pemerintah” kataku.

50

“Kita harus latih mereka untuk sholat, banyak berdoa dan berbuat kebaikan,

insya Allah, rezeki akan lancar” kata Pak Wibowo menimpali.

“Operasionalisasi komponen keempat dari proses pemulihan, yaitu

‘mengambil tanggung jawab dan kendali’ bisa kita laksanakan dengan mengajak

penderita gangguan jiwa agar tidak hanya menggantungkan diri pada dokter dan

orang lain, tapi secara aktif dan bertanggung jawab mengusahakan pemulihan

dirinya.Kasarnya, jangan hanya minum obat terus sudah, selesai, mereka harus

didukung agar aktif mengupayakan pemulihan kesehatan jiwanya” Kata Pak Hardi

Jam telah menunjukkan pukul 1 malam ketika pertemuan tersebut berakhir.

Aku bergegas pulang. Udara Purworejo terasa sejuk ditengah malam itu. Udara yang

bisa membuat kita tidur pulas tanpa harus menyalakan AC.

----0000----

Sejak munculnya keinginan untuk mendirikan Sekolah Pemulihan, kira kira

2 tahun sebelum pensiun dari WHO, aku mulai belajar dan mengumpulkan artikel

artikel ilmiah, ilmiah popular dan berbagai tulisan lain yang terkait dengan

pemulihan gangguan jiwa. Untungnya sebagian besar artikel bisa diakses gratis.

Hanya beberapa buku referensi yang sangat penting saja, seperti buku tentang

Cognitive Behavior Therapy karangan Dr Aron Beck yang harus dibeli. Berbagai

artikel tersebut, hampir semuanya dalam bahasa Inggris, aku terjemahkan dan

kuringkas. Agar bisa dibaca oleh banyak orang, tulisan tulisan tersebut kuupload di

website Tirto Jiwo.

Ternyata sambutan masyarakat cukup menggemberikan. Setiap hari, lebih

dari 200 orang mengunjungi website Tirto Jiwo. Kelihatannya masyarakat haus akan

informasi tentang pemulihan gangguan jiwa. Boleh dibilang, tidak ada informasi

tentang pemulihan gangguan jiwa dalam bahasa Indonesia. Beberapa artikel yang

kutulis, telah dicopy dan beredar di dunia maya.

Pak Wibowo sering menerima pesan pendek lewat hp dari para penderita

gangguan jiwa yang berkosultasi. Aku juga cukup banyak menerima email,

kebanyakan menanyakan cara membantu penderita gangguan jiwa yang tinggal

51

serumah agar bisa pulih. Sebagian menanyakan biaya sekolah di Tirto Jiwo. Aku

selalu mencoba menjawab secepatnya dan semampuku. Ini semua merupakan ladang

amal. Tdak ada niat komersialisasi sedikitpun.

Alhamdulillah, Sekolah Pemulihan Tirto Jiwo sebentar lagi akan terwujud.

Murid yang sudah pesan untuk tinggal di asrama tidak hanya datang dari Purworejo.

Beberapa calon murid yang sudah mendaftar berasal dari Aceh, Lampung, Jakarta,

Bali, dan Jawa Timur. Beberapa calon murid yang bukan penderita gangguan jiwa,

kebanyakan mereka adalah para orang tua yang salah satu anaknya menderita

gangguan jiwa. Mereka ingin menimba ilmu agar bisa membantu anggota

keluarganya untuk bisa segera pulih dari gangguan jiwa. Mereka juga ingin agar

ilmu yang mereka dapatkan nantinya dapat untuk membantu teman atau tetangganya

yang menderita gangguan jiwa. Kepada mereka kami informasikan agar mereka

datang selama jam kerja Tirto Jiwo dan mengikuti kursus sesuai peminatan dan

kebutuhannya. Bila perlu perlu tinggal selama beberapa hari, mereka bisa menginap

di hotel yang ada di Purworejo.

52

Guru menjemput murid

enin pagi, 6 September 2010. Kuingat terus sampai sekarang, karena hari itu

adalah hari Senin pertama sejak pensiun dari WHO, Badan Kesehatan

Dunia. Enam hari sejak pensiun, aku sudah mempunyai rencana untuk

mengunjungi Choirul, seorang penderita gangguan jiwa yang dipasung. Dia tinggal

bersama ibunya, mbok Hasanah yang sudah janda. Aku mendapat berita bahwa dia

dipasung, sejak 3 tahun lalu, karena sering mengganggu tetangga, khususnya

tetangganya yang perempuan. Aku ingin melepaskan dia dari pasungnya dan

membantunya memulihkan jiwanya.

Pagi itu cuaca di Purworejo agak mendung. Di bulan September, hujan sudah

jarang mengguyur kotaku. Menurut ramalan cuaca dari Balai Meterologi dan

Geofisika, musim kemarau sudah datang. Dengan berboncengan sepeda motor

Honda 100 cc, aku dan Pak Prianto pergi ke rumah Choirul. Dia merupakan

penderita gangguan jiwa pertama yang kami tangani. Dia tinggal bersama ibunya,

yang menopang hidupnya dari mencari kayu bakar di hutan. Merawat anaknya yang

menderita gangguan jiwa, sambil mencari makan dengan mencari kayu bakar di

hutan, pastilah sebuah kehidupan yang sangat keras. Kami membayangkan

kehidupan mereka sangat sederhana. Karena itu, kami sengaja membawa sebuah

kardus kecil berisi mie instant, telor, beras dan sedikit uang.

Ketika kami sampai, rumah mbok Hasanah terlihat sangat sederhana,

berdinding papan yang sudah mulai keropos dan berlantai tanah.

‘’Assalamu’alaikum’’, ucapku sambil mengetuk pintu.

“Walaikum salam”, jawab mbok Hasanah dari dalam rumah sambil

membukakan pintu. Mbok Hasanah terlihat kurus, wajahnya penuh keriput. Pakaian

yang dikenakannya sudah terlihat lusuh. Meskipun demikian, air mukanya terlihat

tenang. Menurut cerita yang kudengar, keimanannya yang tinggi kepada Allah

membuatnya tahan menghadapi cobaan dan penderitaan yang menderanya. Mbok

Hasanah tidak henti-hentinya berdoa bagi kesehatan anaknya. Hampir setiap malam,

S

53

ketika tetangganya tertidur lelap, dia bangun untuk sholat malam. Puasa Senin dan

Kamis selalu dilakukannya.

“Mbok Hasanah, saya Bambang. Ini Pak Prianto. Kami berkunjung karena

ingin menengok Choirul”

Kami dipersilahkan masuk. Di ruang tamunya, terlihat seorang laki laki

separuh baya tidur di tempat tidur kayu tanpa kasur. Kuduga, pasti dialah Choirul

yang kini sudah tidak lagi dipasung. Tubuhnya tergolek lemah di tempat tidur.

Rambutnya panjang acak acakan. Kumis dan jenggot juga panjang tidak terawat.

Bajunya lusuh dan dekil. Tubuhnya agak bengkak. Aku menduga Choirul menderita

kekurangan kalori protein akibat kurang makan.

“Sejak kapan Choirul begini mbok?”

“Sudah seminggu lebih Pak, anak saya diam saja tiduran”

Mbok Hasanah bercerita bahwa sejak sebulan yang lalu, rantai besi yang

mengikat Choirul ketiang di ruangan tamu telah dilepas. Choirul sudah tidak pernah

mengamuk lagi. Aku duga gejala depresi mulai menyerang Choirul. Depresi

membuatnya sedih, lemah dan tidak bertenaga. Salah satu gejala penderita depresi

adalah inginnya tiduran di kamar sepanjang hari. Bisa juga tubuhnya menjadi lemah

akibat kekurangan makan. Tubuh yang lemah membuatnya tidak lagi bisa marah

marah. Mungkin juga bisa dua duanya, Choirul terkena depresi dan sekaligus

terkena kekurangan kalori protein akibat kurang makan. Dengan kondisi demikian,

rantai pasung tidak lagi diperlukan.

Aku dekati Choirul. Dia tetap saja tiduran tidak bergerak dan tidak peduli

dengan apa yang terjadi disekitarnya. Kulihat tangan dan kakinya sedikit bengkak.

Ketika aku pencet, bekas lekukan yang terjadi tidak segera kembali. Tangan dan

kakinya dingin. Kata mbok Hasanah, sebelum selemah keadaan sekarang, anaknya

sering mengeluh kesemutan, badannya lemah dan sering terjatuh bila mencoba

berjalan. Aku semakin percaya bahwa Choirul menderita kekurangan kalori protein.

54

Sambil berlinang air mata, mbok Hasanah bercerita tentang keadaan anaknya

tersebut. Sebelum sakit, Choirul bekerja di Jakarta. Dia sukses bekerja di perusahaan

mie instant sebagai kepala gudang. Di Jakarta anak pertamanya tersebut menikah

dengan gadis desa dari Wonosobo. Mereka dikarunia satu anak laki laki. Dia juga

mampu membeli sebuah sepeda motor, membangun sebuah rumah di desa asal

istrinya. Choirul jarang menengok orang tuanya dan tidak pernah memberi bantuan

keuangan kepada kedua orang tuanya. Orang tuanya yang telah membesarkannya

yang kini hidup sederhana. Kisah kehidupannya adalah tipikal kisah anak durhaka

jaman modern. Meskipun tidak ada kaitan antara gangguan jiwa dengan durhaka

kepada orang tuanya, namun masyarakat sekitar mengatakan bahwa Choirul telah

durhaka kepada orang tuanya hingga dia terkena gangguan jiwa.

Mbok Hasanah tidak bercerita tentang pemicu gangguan jiwa anaknya. Dia

hanya tahu bahwa setelah terkena gangguan jiwa, anaknya dibawa pulang ke

rumahnya. Istrinya mengembalikan suaminya seperti membuang barang yang sudah

rongsok. Istrinya minta cerai dan membawa anak laki satu satunya dalam

asuhannya. Kini, kondisi Choirul serupa dengan kondisi sepeda motor yang

dipunyainya. Mogok, tidak bisa dihidupkan dengan STNK kadaluarsa.

Bila sedang kambuh, Choirul terlihat gelisah, tidak bisa diam. Kadang dia

mengejar-ngejar perempuan di desanya. Kondisi tersebut membuat masyarakat

sekitar sepakat untuk merantai Choirul agar tidak mengganggu perempuan di

desanya lagi.

Tak lama setelah kedatangan Choirul, suami mbok Hasanah meninggal

dunia. Sepertinya, suaminya tidak kuat menanggung beban derita. Tinggalah janda

tua itu seorang diri merawat anaknya yang menderita gangguan jiwa. Untuk

menyambung hidupnya, mbok Hasanah mencari kayu bakar untuk dijual. Kadang

dia pergi ke pasar menjual beberapa buah kelapa dari kebunnya yang tidak seberapa

luas itu. Untuk pergi ke pasar di kecamatan, dia harus berjalan kaki sekitar 2 jam.

Sebenarnya jaraknya tidak terlalu jauh, hanya saja jalannya naik turun karena

kondisi tanah yang berbukit bukit telah menguras tenaganya yang mulai berkurang

dimakan usia.

55

Melihat kondisi Choirul saat itu, kami sepakat untuk membawanya ke rumah

sakit umum daerah Purworejo. Pak RT yang tinggal tidak jauh dari rumah Choirul,

kebetulan juga masih bersaudara, bersedia mengantar mereka ke RSUD. Pak Prianto

menyerahkan bingkisan dan uang untuk biaya transportasi membawa Choirul ke

rumah sakit. Besok pagi aku akan menunggu mereka di rumah sakit.

“Terima kasih sekali Pak Bambang dan Pak Prianto, atas segala bantuannya.

Kami orang tidak punya, tidak bisa membalas kebaikan Bapak. Semoga Gusti Allah

yang membalasnya”

“Amin amin ya Robbal alamin. Sama sama mbok Hasanah, sudah kewajiban

kita semua untuk saling tolong menolong”

Aku lihat mata mbok Hasanah berkaca-kaca. Tapi dari raut wajah dan

tatapan matanya, terlihat bahwa didalam dadanya telah tumbuh sebuah harapan. Dia

yakin tidak lama lagi Choirul akan bisa pulih seperti sedia kala. Sorot mata dan

tatapan wajahnya menyiratkan bahwa dia tidak ingin mati sebelum anaknya yang

sakit bisa sembuh dan mampu hidup mandiri tanpa perlindungan darinya. Harapan

itu tumbuh karena kedatangan dan kesediaan kami untuk menolong mereka. Tatapan

wajahnya membuatku terharu sekaligus juga menebalkan tekadku untuk menolong

sebanyak mungkin penderita gangguan jiwa. Tanpa kusadari sebuah doa telah

kupanjatakan.

“Ya Allah berilah hamba-Mu ini kekuatan dan kemudahan untuk bisa

menolong mereka. Jadikanlah ini sebagai amal ibadah kepada Mu. Aku lakukan ini

semua untuk mencari ridlo dan karunia-Mu semata. Amin”.

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, doa itu berkali kali terucap dalam

hatiku. Seingatku, sangat jarang sebuah doa bisa kupanjatkan sekhusyuk itu.

--------0000--------

Keluarga Mukti Raharjo tidak bisa digolongkan miskin, meskipun juga tidak

bisa dibilang kaya. Bangunan rumahnya terbuat dari tembok dengan lantai keramik.

Halamannya bersih dan rapi. Di pinggir halaman sebelah kanan terlihat sebuah

56

gudang dari papan yang berukuran 3x3 meter, berlantai tanah. Ada sebuah jendela

kecil disampingnya. Gudang itu dulu dipakai oleh Pak Mukti Raharjo untuk

memasung adiknya, Ahmad, yang menderita gangguan jiwa.

Ahmad anak bungsu dari 3 bersaudara: Mukti Raharjo, Sri Rahayu dan

Ahmad Dhani. Kedua orang tua mereka sudah meninggal. Ahmad mulai terlihat

menderita gangguan jiwa setelah lulus STM. Dia ingin melanjutkan kuliah ke

Yogyakarta, namun kakak-kaknya tidak mampu membiayainya. Sejak saat itu

Ahmad sering gelisah, marah marah dan mengamuk. Akhirnya dia dipasung.

Tetangga Pak Mukti yang membuka warung kebutuhan sehari-hari juga mendukung

pemasungan tersebut karena Ahmad kadang mengambil barang barang jualan di

warung tersebut tanpa mau membayar.

Setahun yang lalu petugas Dinas Sosial membawa Ahmad ke rumah sakit

jiwa (RSJ) di Magelang. Dia dirawat selama 2 bulan. Sepulangnya dari RSJ, dia

kembali tinggal dengan keluarga Pak Mukti Raharjo. Beberapa hari yang lalu

kudengar kabar Ahmad dipasung lagi.

Sehabis sholat ashar aku bersama Pak Wibowo mengunjungi rumah Pak

Mukti Raharjo untuk mengetahui keadaan Ahmad.

“Pak Mukti, bagaimana ceritanya sampai Ahmad kembali dipasung?”

“Begini Pak Bambang dan Pak Wibowo, ketika kembali dari RSJ, keadaan

Ahmad sudah baik. Namun karena tidak mau minum obat, beberapa bulan kemudian

dia kambuh kembali. Ahmad kembali mengamuk dan mengganggu tetangga.

Akhirnya, kita sepakat memasungnya lagi”

“Apa tidak ada yang mengingatkannya untk minum obat?”

“Sudah Pak, setiap minum obat, kami awasi dia. Ternyata Ahmad

mengelabuhi kami. Dia sisipkan obat tadi disela sela lidahnya dan dia buang ketika

kami tidak melihatnya.”

“Kenapa tidak dibawa ke RSUD, biar disuntik?”

57

“Susah Pak, kami semua sibuk disini. Tidak ada yang bisa mengantarnya

berobat”

“Bagaimana kalau Ahmad kami bawa berobat ke RSJ lagi? Kami akan

kontak Dinas Sosial agar dapat keringan biaya” kataku

“Bagaimana ya? Bukannya kita tidak kasihan dengan Ahmad, tapi kalau

pulang dari RSJ, dia pasti akan kambuh lagi. Jadi percuma saja. Biar sajalah Ahmad

seperti sekarang”

Aku sudah bernadzar akan mengabdikan sisa hidupku setelah pensiun untuk

membantu para penderita gangguan jiwa agar bisa pulih kembali. Aku sadar sejak

awal bahwa ini bukan pekerjaan yang mudah. Ibarat jalan, ini adalah jalan yang

mendaki lagi sulit. Hanya bisa dilalui oleh orang orang yang kuat, teguh dan pantang

menyerah. Jalan untuk orang orang yang bersedia berkorban untuk orang lain,

bukan jalan yang mudah dan menyenangkan, jauh dari tepuk tangan dan taburan

bunga. Jalan yang sepi, tidak diminati banyak orang. Menolong penderita gangguan

jiwa adalah ibarat jalan mendaki lagi sulit. Aku tidak boleh menyerah dan harus

berani berkorban untuk Ahmad.

“Pak Mukti!, Ahmad akan kami bawa ke RSJ, setelah keluar dari RSJ, akan

kami rawat sampai benar benar pulih. Bagaimana kalau begitu?”

“Kalau Pak Bambang berkenan, ya silahkan saja. Kalau tetap tinggal disini

sehabis keluar dari RSJ, pasti Ahmad akan kambuh kembali. Jadi percuma saja”.

Aku meminta ijin untuk menegok Ahmad.

Di gudang itu, aku lihat Ahmad sangat kurus, rambutnya gondrong dan

acak-acakan. Kedua tangannya dirantai ke tiang yang ada disebelah kiri dan

kanannya. Kedua rantainya tidak cukup panjang sehingga Ahmad tidak bisa

menggaruk tubuhnya bila terasa gatal. Ahmad hanya mengenakan sarung. Aroma

tak sedap diruangan itu menunjukkan bahwa Ahmad kencing dan buang air besar

disitu.

58

Waktu kecil, karena nakal, aku pernah diikat ke pohon oleh ayah selama

beberapa jam. Rasanya sangat menyakitkan. Aku tidak bisa membayangkan

bagaimana rasanya dirantai seperti itu sampai berbulan-bulan lamanya. Mungkin

dirantai seminggu saja banyak orang sudah tidak akan kuat. Seorang yang punya

jiwa sehatpun pasti akan jadi sakit bila diperlakukan seperti itu.

Dr Patricia Deegan, seorang psikolog klinis yang diwaktu mudanya pernah

dirawat di RSJ karena skizofrenia, mengatakan kalau seseorang diperlakukan seperti

itu maka hatinya akan membatu. Mereka tidak akan lagi peduli kepada lingkungan

sekitarnya. Bahkan juga tidak peduli lagi kepada dirinya sendiri. Hati mereka

mengeras sehingga mampu berak dan kencing di celana.

“Apa yang akan dilakukan bila seseorang tidak bisa menggaruk badan yang

gatal, terpaksa kencing dan berak di celana karena kedua tangannya

dirantai?”tanyaku dalam hati

Bila orang tersebut tidak mengeras hatinya dan menjadi tidak peduli, tidak

lebih dari seminggu orang tersebut akan mati. Bersikap tidak peduli dan hidup

dalam alamnya sendiri merupakan mekanisme pertahanan diri agar bisa tetap hidup.

Ahmad memilih mekanisme pertahanan diri seperti itu. Menarik diri dari

lingkungannya dan hidup dalam alamnya sendiri.

Kini kedua kakak Ahmad sudah angkat tangan. Mereka sudah menyerah.

Mereka hanya bisa merawat Ahmad dengan memasungnya. Tidak lebih dari itu.

Mereka sudah lelah dan bosan merawat Ahmad.

Aku sangat kasihan kepada Ahmad. Dalam hati aku berdoa

“Ya Allah, anugerahkan kepadaku segala yang telah Engkau berikan kepada

orang orang yang shaleh agar aku bisa membantu Ahmad pulih dari sakitnya.

Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pengabul doa”

Ketika aku menemui Ahmad, kondisi kejiwaannya sedang dalam keadaan

baik.

59

“Halo Mas Ahmad, bagaimana kabarnya? masih suka dengar suara suara

atau melihat sesuatu?”

“Iya Pak, saya sering lihat Pak Presiden Soekarno bersama seorang anak

kecil”

“Dimana lihatnya?, sekarang ada?”

“Itu, sedang berdiri di dekat bapak”

‘’Mas Ahmad, kalau rantainya dilepas dan tinggal sama saya mau ? ‘’

‘’Mau sekali Pak’’

‘’Tapi Mas Ahmad harus berobat dulu ke RSJ. Setelah dari RSJ, tinggal

dirumah saya dulu sampai benar benar sehat. Bisa kerja dan punya uang. Baru balik

kesini lagi’

Ahmad perlu pertolongan segera. Semakin lama dipasung, semakin sakit

jiwanya. Hatinya bisa penuh kemarahan, dendam dan kebencian. Namun bisa juga

hatinya menjadi hancur, merasa tidak ada harga lagi, hidup tanpa harapan. Ketika

kuamati, tidak terlihat dendam dan kemarahan dimatanya. Namun, jelas hatinya

telah hancur. Dia hidup tanpa harapan. Hari hari dibiarkannya mengalir begitu saja.

Baginya tidak ada lagi perbedaan antara hari Minggu dengan Senin, antara bulan

Januari dengan Februari, bahkan antara bulan puasa dengan bulan Syawal.

Semuanya sama.

Aku tidak bisa membayangkan betapa beratnya menjalani hidup seperti itu,

pasti tidak akan kuat. Meskipun demikian, Aku juga tidak bisa menyalahkan sikap

Pak Mukti Raharjo dan tetangganya. Mereka sudah lelah dan kehabisan akal dalam

menangani Ahmad. Mereka sudah berusaha secara maksimal, namun tidak ada

hasilnya. Mereka tidak tahu jalan pikiran penderita gangguan jiwa. Pengetahuan

mereka tentang gangguan jiwa sangat sedikit, sebagiannya juga tidak benar. Oleh

karena itu, upaya mereka tidak berhasil.

60

Aku ambil kejadian ini dari positifnya saja. Ini berarti ada ladang amal yang

bisa digarap. Ada kesempatan untuk menolong Ahmad yang teraniaya sekaligus

melepaskan beban keluarga Pak Mukti Raharjo dan tetangganya.

----0000----

“Pak Bambang, apakah kita akan begini terus?”Tanya Pak Wibowo

kepadaku.

“Apa maksud Pak Bowo?”

“Apakah kita akan mencari-cari murid dan membawanya ke Tirto Jiwo?”

“Ya tidak Pak Bowo. Sekarang ini Tirto Jiwo hanya dikenal oleh kalangan

terdidik yang membaca website Tirto jiwo. Banyak mmasyarakat Purworejo yang

tidak punya akses ke internet. Kita tahu, masih ada beberapa penderita gangguan

jiwa di Purworejo ini yang dibiarkan saja atau malah di pasung dirumahnya. Saya

merasa kasihan dengan mereka” jawabku.

`Oh begitu, ya sudah. Saya pikir kita akan melakukan hal sama, pergi ke

rumah rumah penderita yang di pasung yang ada di kota kota lain juga”

“Pasti tidak. Pak Bowo kan tahu, di Kabupaten Purworejo saja paling tidak

ada 50 orang yang pernah dipasung. Target pertama kita adalah membebaskan

penderita gangguan jiwa dari pasungan.” Kataku menjelaskan alasanku menjemput

para murid.

“Pak Bambang, penderita gangguan jiwa kan banyak sekali. Dilain pihak

kemampuan kita terbatas. Apakah kita perlu menseleksi murid yang akan kita

terima?”

“Saya kira wajar kalau ada seleksi murid yang akan kita terima belajar di

Tirto Jiwo. Tapi kita tidak boleh memakai kriteria ekonomi, kalau miskin kita tolak

dan kalau mampu bayar kita terima.”

61

“Saya kira sejak awal kita sudah bicarakan masalah ekonomi tersebut.

Maksud saya, dari sisi kondisi kesehatan jiwa calon murid, sebaiknya murid yang

seperti apa yang kita terima Pak Bambang?”

“Begini Pak Bowo, selama murid siap belajar, kita harus siap memberi

pelajaran. Artinya, penderita gangguan jiwa yang masih dalam fase akut, gelisah dan

gaduh, kita bawa ke RSJ dulu. Sepulangnya dari RSJ baru kita terima”

“Itu kan juga sudah pernah kita bicarakan dan sudah kita sepakati. Maksud

saya bagaimana dengan calon urid yang kondisinya sudah sangat parah. Calon murid

yang tidak bisa mengurus dirinya sendiri, kencing dan buang air besar di celana”

kata pak Wibowo.

“Ini yang dilematis Pak Bowo. Di satu sisi, sebenarnya mereka yang sangat

membutuhkan pertolongan dari kita. Namun waktu untuk membantu pemulihannya

akan memakan waktu yang lama. Dilain pihak, dalam kurun waktu yang sama, kita

bisa membantu pemulihan lebih banyak murid. Nah kita mau pilih yang mana.

Kalau fasilitas yang tersedia, memang kita tbantu mereka semua. Dalam kondisi

seperti sekarang, jumlah tempat tidur hanya 10 buah, ini memang sebuah keputusan

yang tidak gampang.’

‘Pak Bambang, kita serahkan saja kepada Tuhan. Caranya begini. Kalau ada

calon murid yang datang, selama ada tempat tidur, kita terima saja. Jangan sampai

ditolak. Tidak peduli apakah kasusnya gampang atau kasus sulit. Dengan begini kita

bisa terhindar dari dilema tadi. Kita serahkan kepada Tuhan. Pokoknya bila ada

murid mendaftar, selama ada tempat, kita terima’ usul Pak Wibowo.

‘ Pak Bowo, saya kira itu usul yang bagus sekali. Kita terapkan saja hal

tersebut sebagai kriteria’ jawabku.

“Pak Bambang, bagaimana dengan penderita gangguan jiwa dari kota kota

lain? Bagaimana kalau kita tangani mereka juga?”

“Ha ha jangan berpikir muluk muluk Pak Bowo. Orang bisa bilang kita

punya waham kebesaran. Kita lakukan apa yang bisa saja”

62

“Lho kita harus berani berpikir besar. Menurut saya, itu bukan sesuatu yang

mustahil. Tentunya tidak bisa kita kerjakan sendiri. Kita perlu galang kerja sama

dengan semua pihak yang prihatin dengan masalah ini.”

“Baik, sekarang kita kerjakan apa yang bisa kita kerjakan saat ini. Sambil

jalan, setelah kita punya cukup pengalaman dan telah terbukti manfaatnya, baru kita

kembangkan agar bisa mencapai sasaran yang lebih besar” kataku melanjutkan.

63

Kebutuhan Belajar

agi itu di Tirto Jiwo suasana terlihat tenteram. Tidak ada kegaduhan atau

teriakan yang bisa membuat stress orang yang mendengarnya. Udara di

lereng bukit Menoreh pagi itu terasa sejuk. Pagi itu aku kedatangan seorang

ibu yang ingin berkonsultasi soal anaknya. Bu Sasmita, pensiunan guru Sekolah

Menengah Kejuruan. Suaminya sudah meninggal 4 tahun yang lalu. Dia sangat

prihatin karena seorang putrinya, Anita, terkena gangguan jiwa. Dia tidak bisa

membayangkan bagaimana nasib anak perempuannya tersebut bila ia sampai

meninggal nanti. Anita, kini 37 tahun sering bicara, menangis dan tertawa sendiri.

‘’Pak Bambang, Anita tidak merasa kalau dirinya sakit. Dia tidak mau kalau

saya ajak ke dokter atau ke psikolog”.

“Bu Sasmita, cobalah dibujuk atau dipaksa sedikit”

‘’Sudah saya coba Pak, susah sekali. Kalau saya paksa nanti juga percumah

karena obatnya pasti tidak akan diminum’’

‘’OK, kalau begitu. Bu Sasmita tahu mengapa Anita bicara dan tertawa

sendiri?

“Pak Bambang, anak saya tertawa dan bicara sendiri karena terkena

gangguan jiwa”

“Iya, semua orang juga tahu itu. Kalau tertawa dan bicara sendiri berarti

orang tersebut terkena gangguan jiwa. Maksud saya begini. Bu Sasmita tahu apa

tidak kalau sebenarnya Anita berbicara dan tertawa sendiri karena menanggapi suara

suara yang dia dengar. Anak ibu mendengar suara suara yang sebenarnya tidak ada.

Ia mengalami halusinasi.

“Saya tidak tahu kalau soal itu. Apa itu halusinasi Pak Bambang ?’’

P

64

‘’Halusinasi itu mendengar suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak

ada atau tidak bisa dilihat atau didengar orang lain. Dia mendengar suara yang

berasal dari otaknya sendiri.’’

‘Oh jadi Anita itu merasa dirinya berbicara dengan seseorang. Dia memang

pernah cerita kalau ada seseorang yang berbicara kepadanya. Waktu itu saya tidak

menanggapinya karena tidak maksudnya. Pak Bambang, kalau tanpa obat, apakah

halusinasi tidak bisa dihilangkan atau dikurangi ?’

‘Ya tergantung pada berbagai faktor. Untuk sementara, coba nanti ibu pelan

pelan bertanya kepada Anita: apakah dia mendengar suara satu orang atau banyak

orang, suara laki laki atau perempuan, apa yang dikatakan suara tersebut, apakah

Anita percaya dan menuruti apa yang dikatakannya, kapan suara itu muncul,

bagaimana selama ini dia menghadapi suara suara tadi, apakah suara itu muncul

ketika dia sibuk beraktivitas atau ketika sendiri, apakah suara berkurang ketika dia

mendengarkan musik atau menonton TV. Dengan menganalisa halusinasinya, nanti

kita tentukan apa yang bisa kita lakukan untuk membantu Anita mengatasi

halusinasinya”

“Baik Pak Bambang, selama ini Anita saya biarkan saja, kelihatannya dia

sibuk dengan dunianya sendiri ”

“Bu Sasmita, kesadaran Anita kan tidak jelek seterusnya. Jangan Anita

dibiarkan seharian mengurung diri di kamar. Bila kesadaran sedang baik, coba

sekali-sekali diajak bicara. Bimbing Anita agar bisa mengendalikan halusinasinya.

Sebenarnya, bila Anita mampu mengacuhkan atau menganggap enteng

halusinasinya, dalam arti tidak merspon ataupun menanggapi halusinasinya, pelan

pelan halusinasinya akan berkurang. Anita perlu diajari agar bisa mengalihkan

perhatiannya dari halusinasi, misalnya: beri dia tugas untuk mengerjakan pekerjaan

rumah yang gampang, misalnya menata tempat tidurnya sendiri, menyapu kamar.

“Oh begitu ya Pak, saya tidak tahu harus bagaimana menghadapi anak

seperti itu”

65

“Coba ingat ingat apa yang dulu disenanginya sebelum mulai sakit, misalnya

bermain dengan kucing, menggambar atau memelihara tanaman. Bila dia dulu

senang dengan kucing, coba pelihara kucing, atau beli alat menggambar bila dia

senang menggambar. Penting juga ciptakan suasana yang tenang dirumah. Suara TV

jangan terlalu keras. Sedapat mungkin jangan terlalu banyak tamu datang kerumah.

Sebenarnya, Anita kan sudah sangat terganggu dengan suara suara yang

didengarnya. Gangguan kecil saja sudah akan membuat dia semakin terganggu.

Coba ibu pelajari seluk beluk gangguan jiwa dari website Tirto Jiwo di

www.tirtojiow.org. Minggu depan saya akan ke rumah ibu. Kita lihat apa yang bisa

lakukan untuk membantu pemulihan Anita. Sementara itu, ibu perlu banyak sholat

malam dan bersedekah agar doa kita lebih mudah dikabulkannya’’

‘’Baik Pak Bambang, terima kasih atas nasihatnya. Saya benar benar buta

tentang cara membimbing anak yang menderita gangguan jiwa. Saya yakin, hampir

semua keluarga yang mempunyai anggota keluarga terkena gangguan jiwa, mereka

tidak tahu harus bagaimana bersikap dan bertindak. Saya rasa, anggota keluarga

perlu tahu dan paham seluk beluk gangguan jiwa’’

“Betul sekali Bu Sasmita. Nanti kalau ibu sudah punya ilmu dan pengalaman

dalam menangani penderita seperti Anita, Ibu perlu menularkan ilmu tersebut

kepada orang lain yang membutuhkan”

“Insya Allah Pak Bambang.Saya tunggu kedatangannya dirumah saya”kata

Bu Sasmita.

----0000----

Tadi malam aku terima sebuah email dari Ibu Sukmawati Eva.

Yth dr Bambang

Mohon maaf sebelumnya… kami mengenal alamat ini dari web Tirto Jiwo.

Kemudian kami sudah menghubungi Pak Wibowo dan disarankan untuk

berkonsultasi ke dokter langsung.

66

Langsung saja dok. Kami ingin berkonsultasi terkait permasalahan

‘’gangguan jiwa’’ yang sedang dialami salah satu keluarga kami.

Ceritanya begini…

Adik saya ini laki laki berumur 21 tahun, dok …baru saja lulus kuliah bulan

juli kemarin. Dia begitu terobsesi untuk secepatnya mendapatkan pekerjaan,

ditambah lagi dari cerita dia, di kampusnya dia menyukai adik kelasnya akan tetapi

sayangnya tidak mendapatkan respon balik seperti yang dia harapkan.

Selama ini, menurut kami, dia sosok yang baik, penurut sama orang tua dan

ibadahnya juga lumayan baik, tetapi memang dia agak kurang mandiri, dok…karena

dia anak pertama yang dinantikan kelahirannya oleh orang tuanya sehingga mungkin

agak sedikit manja.

Pertengahan bulan kemarin dia menunjukkan tanda tanda yang tidak seperti

biasanya, dok…tidurnya selalu gelisah, terus ngomongnya juga terkadang tidak

biasa. Puncaknya, dia membanting barang barang disekitarnya, teriak teriak tidak

jelas.

Upaya pertama yang kami lakukan saat itu meminta pertolongan kepada

salah sorang ustadz. Alhamdulillah dia bisa tenang…

Akan tetapi sikapnya masih tidak biasa, sehingga karena takut terlambat

penanganannya kami membawanya ke RSJ. Sekarang ini sudah kembali ke rumah.

Beberapa hari setelah dari RSJ dia sudah baik menurut kami tetapi belum stabil

sepenuhnya, gampang terganggu bahkan oleh hal hal sepele, misalnya keadaan

rumah yang kurang rapi.

Yang ingin kami tanyakan dok, bagaimana langkah kami sebaiknya? Apakah

kami perlu membawanya ke rumah rehabilitasi untuk beberapa waktu ini ya dok?

Karena kita dirumah takutnya kondisinya tidak semakin baik, terutama dengan hp

selalu ditangannya ikut memberikan kontribusi yang negative.

Mungkin ini dulu dok yang dapat kami sampaikan. Disela-sela kesibukan dokter,

semoga tersedia waktu luang untuk dapat menanggapi email kami ini.

67

Atas perhatian dokter kami sampaikan terima kasih.

Salam hormat, Sukmawati Evi

----0000----

Pagi itu klinik rawat jalan kesehatan jiwa RSUD Saras Husada, Purworejo

terlihat tidak terlalu ramai. Aku menemani Choirul berobat ke dokter spesialis jiwa.

Rambutnya sudah dicukur dan tersisir rapi. Dia juga memakai pakaian terbaik yang

dipunyainya. Choirul datang bersama ibunya dan Pak RT.

Sejak lulus dokter dari UGM aku tidak pernah menetap di Purworejo. Pulang

kampung paling lama juga hanya seminggu, sehingga tidak banyak silaturahmi yang

bisa dilakukan. Apalagi sejak bekerja di India, aku sangat jarang pulang ke

Purworejo. Paling-paling setahun hanya sekali atau dua kali. Kini kurasakan

kerugiannya, tidak banyak pejabat dan dokter di Purworejo yang kukenal.

Secara pribadi aku juga belum mengenal dr Yoseph Samekto, dokter

spesialis jiwa yang berpraktek di RSUD Saras Husada, Purworejo. Semestinya,

sesuai dengan tekadku untuk melakukan kegiatan sosial di bidang pemulihan

penderita gangguan jiwa, aku perlu bekerja sama dengan dokter spesialis jiwa.

Hanya saja, sepertinya pagi itu bukan waktu yang tepat untuk memperkenalkan diri.

Ketika nama Choirul dipanggil, kami ikut menemaninya masuk ke ruang

pemeriksaan.

“Selamat pagi Dok. Ini Choirul, bekas dipasung’’,

‘’Selamat pagi Pak. Coba ceritakan kenapa sampai Mas Choirul perlu

dipasung’’

Pak RT menjelaskan secara singkat keadaan Choirul sejak pulang dari

Jakarta hingga dipasung. Apa yang disampaikan oleh Pak RT tidak berbeda dengan

yang kudengar ketika berkunjung ke rumah Choirul beberapa hari yang lalu. Kulihat

dr. Yoseph Samekto mengisi kartu rekam medis pasien. Beberapa kali dia

memotong pembicaraan Pak RT dan minta penjelasan tentang awal mula timbulnya

68

penyakit dan proses perkembangannya. Dokter Yoseph juga menggali riwayat

penyakit terdahulu, penyakit yang dapat memicu terjadinya gangguan kejiwaan

seperti demam tinggi, riwayat trauma kepala, mengkonsumsi narkotika dan obat

terlarang.

Dokter Yoseph kemudian mengalihkan pertanyaannya ke Choirul.

‘’Mas Choirul, sekarang ini ada dimana ?

‘’Di rumah sakit dok’’

‘’Apa yang mas Choirul rasakan saat ini ?’’

‘’badan saya lemas, tidak bertenaga, kepala pusing’’

‘’Apa Mas Choirul suka mendengar suara suara atau melihat sesuatu?’’

‘’Tidak Pak Dokter’’

Dokter Yoseph Samekto kemudian menuliskan resep. Obat tersebut harus

diambil di apotik. Proses konsultasi berlangsung tidak sampai 15 menit. Kuamati

proses konsultasi pada pasien lama hanya menghabiskan waktu 5 menit saja. Dia

tidak merasa perlu memeriksa fisiknya dan juga tidak melihat perlunya Choirul

dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam. Aku tidak tahu apa yang ada didalam

pikiran dr Yoseph.

“Apakah karena Choirul pasien gangguan jiwa yang miskin sehingga tidak

perlu diperiksa fisiknya dan dirujuk ke dokter lain?” tanyaku dalam hati.

Akhirnya Choirul kubawa ke Klinik Umiyah untuk mengobati penyakit

fisiknya. Klinik Umiyah merupakan klinik rawat inap khusus untuk masyarakat

miskin. Pasien yang berobat kesana cukup memasukkan sumbangan ke kotak amal

yang tersedia. Tidak ada tarif. Biaya operasionalnya ditutup oleh para donator yang

menyumbang. Sebagian dermawan memberikan sumbangan dalam bentuk materiil

untuk pembangunan gedung dan pengadaan alat kesehatan. Aku percaya bahwa

Klinik Umiyah akan bisa menangani masalah kekurangan kalori protein yang

69

diderita Choirul. Mereka sudah berpengalaman menangani masalah kesehatan orang

orang miskin.

---- 0000---

Malam harinya aku merenung dan mencoba mencari hikmah atas segala

kejadian tadi pagi di RSUD Saras Husada ketika aku mengantar Choirul. Meskipun

saat itu tidak terlalu banyak pasien yang mengantri, dr Yoseph tidak memberikan

penjelasan kepada kami tentang apa itu gangguan jiwa, bagaimana seharusnya

menangani anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa, dan hal hal penting

lainnya yang sebenarnya wajib diketahui oleh keluarga yang salah satu anggotanya

terkena gangguan jiwa. Mungkin dia pikir, hal tersebut bukan pekerjaan dokter

spesialis jiwa. Itu adalah pekerjaan perawat, psikolog atau pekerja sosial.

Bu Sasmita dan Bu Sukmawati Evi tidak mempunyai pengetahuan dan

ketrampilan yang diperlukan untuk bisa membimbing anngota keluarganya yang

terkena gangguan jiwa. Pengetahuan mereka hanya sebatas bahwa seorang penderita

gangguan jiwa perlu dibawa ke dokter dan disuruh minum obat. Bila ada penderita

gangguan jiwa yang tidak mau minum obat, atau tidak mau dibawa ke dokter, maka

semua jalan penyembuhan baginya seperti tertutup rapat.

Aku ingat bahwa di negara maju seperti Inggris dan Amerika, keluarga

penderita gangguan jiwa mendapat informasi lengkap tentang gangguan jiwa, mulai

dari penyebabnya, cara mengatasi gejala seperti halusinasi dan waham, dan cara

mencegah agar tidak kambuh. Keluarga penderita juga mendapat bimbingan dalam

memecahkan berbagai masalah yang terkait dengan pemulihan gangguan jiwa,

seperti mengatasi masalah kecemasan, sulit tidur, mencari pekerjaan, ketrampilan

berinteraksi sosial.

Aku sangat percaya bahwa penderita gangguan jiwa tidak hanya cukup

minum obat. Mereka dan keluarganya perlu diajari berbagai informasi terkait

dengan gangguan jiwanya, dilatih cara mencegah agar tidak kambuh, dibantu

membuat kegiatan yang akan membawanya ke pemulihan jiwa, hidup produktif

70

secara sosial dan ekonomi di masyarakat. Penderita gangguan jiwa juga perlu

mempunyai lingkungan fisik dan sosial yang mendukung pemulihannya.

Dasar dasar ilmu tentang terapi keluarga dan terapi psikososial bagi

penderita gangguan jiwa bisa dipelajari dan diterapkan oleh siapa saja yang mau

mempelajarinya. Menurut pengamatanku, pendidikan dasar setingkat SMA sudah

cukup memadai untuk bisa memahami kedua ilmu tersebut. Tentunya, bila hal

tersebut dilakukan oleh para professional dalam bidang kesehatan jiwa akan bisa

lebih berhasil guna. Sayangnya, jumlah dan waktu mereka terbatas.

Aku melihat keterbatasan yang dipunyai oleh dr Yoseph Samekto dari sisi

positifnya. Keterbatasan dr Yoseph bisa menjadi salah satu ladang amal bagiku dan

bagi teman-temanku yang tertarik untuk membantu para penderita gangguan jiwa

agar bisa pulih kembali.

----0000----

Kegiatan sosial untuk membantu penderita gangguan jiwa agar bisa pulih

telah dimulai. Meskipun demikian, harus diakui bahwa belum semuanya tertata rapi.

Bentuk bentuk pelayanan masih perlu terus dikembangkan. Berbagai kursus masih

harus dikemas dan dikembangkan agar bisa benar benar sesuai dengan kebutuhan

para murid.

Sore itu aku berdiskusi dengan Pak Amir tentang berbagai kursus yang perlu

dikembangkan di Tirto Jiwo.

“Pak Amir, dulu kan anda pernah bekerja di bidang diklat, kalau menurut

Pak Amir bagaimana kebutuhan belajar bagi para penderita gangguan jiwa dan

keluarganya” tanyaku.

“Ah Pak Bambang bisa saja, anda sendiri kan juga pernah kerja di

pusdiklat kemenkes” jawab Pak Amir. Meski berkata begitu, Pak Amir kemudian

melanjutkan jawabannya.

“Menurut saya, baik penderita maupun keluarga yang merawat perlu

pengetahuan yang sama, hanya cara belajar dan menerapkan ilmunya saja yang

71

berbeda. Bagi penderita, ilmu itu untuk diterapkan bagi dirinya sendiri. Proses

penerapan itu akan memerlukan waktu panjang. Mengubah pola pikir, kemampuan

mengendalikan emosi hingga mengubah perilaku tidak bisa diselesaikan dalam

waktu seminggu dua minggu. Sedangkan bagi keluarga yang merawat, mereka tidak

perlu menerapkannya bagi dirinya sendiri. Mereka memerlukan ilmu dan

ketrampilan tersebut untuk membantu seseorang yang menderita gangguan jiwa.

Waktu yang diperlukan untuk menguasainya akan jauh lebih singkat.”

“Maksud Pak Amir bagaimana? Maaf, tolong saya diberi contoh biar tidak

salah tangkap”

“Misalnya ilmu tentang halusinasi dan teknik mengatasinya. Keluarga bisa

mempelajari dan menguasainya hanya dalam waktu beberapa hari saja. Dilain pihak,

penderita gangguan jiwa perlu waktu beberapa minggu hingga berbulan-bulan untuk

bisa menerapkan ilmu tersebut pada dirinya sendiri. Terapi kognisi yang mengubah

pola pikir tidak bisa dikuasai hanya dalam hitungan hari” Pak Amir menjelaskan.

“OK, saya setuju sekali dengan pendapat Pak Amir. Saya rasa, semua

murid, baik penderita, maupun keluarganya, perlu memahami apa itu gangguan jiwa

dan penyebabnya. Pemahaman tentang jenis jenis gangguan jiwa, seperti:

skizofrenia, depresi atau gangguan bipolar, cukup dipelajari oleh murid sesuai

dengan kebutuhannya. Begitu pula dengan teknik teknik mengatasi gejala gangguan

jiwa, penderita depresi cukup belajar teori dan teknik mengatasi depresi, mereka

tidak perlu belajar cara mengatasi waham ataupun halusinasi”.

“Pak Bambang, kelihatannya berbagai mata pelajaran tersebut bisa

dikelompok-kelompokkan. Misalnya, kelompok pemahaman tentang gangguan jiwa

yang mencakup apa itu gangguan jiwa, penyebabnya, jenis jenis gangguan jiwa dan

berbagai terapinya. Kelompok kedua tentang mencegah kambuh yang mencakup

mata ajaran tentang: mengenal tanda awal bila akan kambuh, alat bantu untuk

mencegah kambuh, teknik mengendalikan halusinasi, dan manajemen kemarahan.

Kelompok ketiga tentang membangun kehidupan yang sehat dan sejahtera, yang

antara lain meliputi mata ajaran tentang: pekerjaan, mengelola keuangan,

pemecahan masalah”

72

“Saya kira begitu, kita susun program pembelajaran sesuai dengan

pengelompokan tersebut. Kita ubah nanti bila ilmu dan pengalaman kita semakin

banyak”

‘’Setuju, kita sesuaikan juga dengan kondisi dan kebutuhan murid’’ kataku

menutup diskusi informal tersebut.

73

Mengapa anakku ?

i sebuah bangku dibawah pohon nangka yang rindang, kulihat Pak Hardi

sedang mengobrol dengan Hanafi dan ayahnya, Pak Basuki. Kemarin

sore Hanafi diantar ayahnya datang ke Tirto Jiwo. Mereka ingin agar dia

bisa belajar di ‘’Sekolah Pemulihan’’.

Hanafi sering mendengar suara suara yang mencaci maki dan mengejek

dirinya serta kadang menyuruhnya bunuh diri. Suara suara tersebut mulai muncul

sejak dia masih di SMA. Mula mula hanya berupa bisikan bisikan yang kurang jelas

dan tidak mengganggu. Ketika Hanafi harus kuliah di Jakarta dan kos di dekat

kampus, makin lama suara suara tersebut makin keras dan makin sering. Di semester

pertama, dia masih bisa mengatasi halusinasi suara tersebut sehingga masih bisa

lulus ujian semester dengan nilai baik. Namun sejak semester kedua, dia semakin

sulit berkonsentrasi, sering gelisah dan sulit tidur. Nilai akademisnya mulai

menurun, meskipun masih bisa menyelesaikan semester keduanya. Ketika

menginjak semester ketiga, dia mengalami krisis dan tidak bisa mengendalikan diri

lagi. Hanafi dirawat di rumah sakit jiwa Grogol selama 2 bulan. Keluar dari Grogol,

dia mengambil cuti dari kuliahnya. Kedua orang tuanya kemudian mendaftarkannya

bersekolah di Tirto Jiwo.

‘’Mengapa Mas Hanafi dikirim kesini ?, aku dengar Pak Hardi bertanya

kepada Hanafi.

‘’Saya pengin sembuh dan kembali kuliah PakHardi. Apakah saya bisa

kembali kuliah Pak?’’

‘’Mengapa tidak!’’, aku dengar Pak Hardi menjawab tanpa ragu-

ragu,”Penderita gangguan jiwa bisa pulih, bisa kembali kuliah. Di Amerika, bahkan

ada yang bisa jadi dokter spesialis jiwa, juga ada yang bisa mencapai gelar S3 di

bidang psikologi klinis. ’’

Hanafi belum lama keluar dari rumah sakit jiwa. Untuk menekan

kegelisahannya, dokter masih memberikan obat dalam dosis tinggi. Obat yang dia

D

74

minum telah mengurangi kemampuannya mencerna informasi. Pak Hardi menyadari

hal tersebut. Oleh karena itu, dia sengaja memakai kalimat kalimat pendek.

Bicaranya juga lebih pelan dibanding biasanya.

Pak Hardi mencoba menjelaskan soal penyebab gangguan jiwa kepada Pak

Basuki dan Hanafi.

“Gangguan jiwa itu seperti penyakit hipertensi atau diabetes. Sebagian besar

penderita hipertensi atau diabetes perlu terus minum obat selama hidupnya.

Sebagian penderita gangguan jiwa juga perlu minum obat dan kadang mempunyai

gejala, namun mereka tetap bisa hidup seperti anggota masyarakat lainnya”

‘’Mengapa Mas Hanafi bertanya seperti itu ?’’ Tanya Pak Hardi

“Ketika saya dirawat di rumah sakit jiwa, dokter dan perawat bilang

penderita gangguan jiwa seperti saya tidak bisa pulih. Saya akan cacat seumur

hidup, tidak bisa kuliah, bekerja maupun berkeluarga. Informasi tersebut membuat

saya sedih dan putus asa. Rasanya hidup ini tidak ada lagi gunanya”

“Mas Hanafi, percaya sama saya. Gangguan jiwa bisa pulih. Mas Hanafi

pernah dengar tentang Prof. John F. Nash? Beliau penerima hadiah nobel, padahal

beliau juga menderita skizofrenia paranoid. Prof Nash merasa ada agen Rusia yang

selalu mengikutinya. Contoh lain, Prof Patricia Deegan, ketika remaja didiagnosa

skizofrenia dan dirawat di rumah sakit jiwa. Kni beliau menjadi psikolog klinis

terkenal dan ahli dalam pemulihan gangguan jiwa. Banyak alumni Tirto Jiwo yang

sudah pulih. Mereka sering main kesini dan meberi motivasi kepada teman-teman

yang masih sekolah di Tirto Jiwo. Di Indonesia juga banyak penderita gangguan

jiwa yang telah pulih, tapi karena adanya diskriminasi dari masyarakat terhadap

penderita gangguan jiwa, kebanyakan mereka tidak mau mengakui kalau pernah

menderita gangguan jiwa. ”

“Pak Hardi, saya ingin tahu, mengapa anak saya bisa terkena gangguan jiwa?

Di keluarga saya tidak ada seorangpun yang menderita gangguan jiwa. Keluarga dari

pihak istri, bapak maupun ibu saya tidak ada yang menderita gangguan jiwa. Ketika

75

di rumah sakit, dokter bilang bahwa ada ketidak seimbangan kimia di otak anak

saya”Tanya Pak Basuki..

“Begini Pak Basuki, hingga saat ini, penyebab gangguan jiwa belum

diketahui secara pasti. World Health Organization, WHO atau Badan Kesehatan

Dunia menyatakan bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh interaksi dari 3 faktor,

yaitu faktor biologis, faktor psikologis dan faktor sosial. Dr Lewis dan Dr

Lieberman pada tahun 2000 melaporkan bahwa gangguan dalam memproses

informasi pada penderita skizofrenia disebabkan oleh adanya kelainan pada jaringan

sel sel syaraf otak tertentu. Namun Dr Berke dan Dr Hyman berpendapat gangguan

jiwa bukan disebabkan pada kelainan anatomi sel sel syaraf otak, tapi lebih pada

perbedaan dalam kemampuan jaringan sel sel syaraf tersebut menanggapi

rangsangan. Faktor keturunan juga diduga berpengaruh terhadap munculnya

gangguan jiwa. Anak yang orang tuanya menderita gangguan jiwa lebih besar

kemungkinannya untuk terkena gangguan jiwa. Faktor psikologis berpenanan dalam

pembentukan perilaku seseorang. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh pengalaman

hidupnya sejak kecil. Ada kaitan yang erat antara pengalaman hidup yang traumatis

dimasa kecil, seperti pelecehan seksual dengan munculnya gangguan jiwa ketika

dewasa. Faktor sosial seperti kemiskinan, hidup yang sulit dan terisolasi cenderung

meningkatkan kemungkinan terkena gangguan jiwa.” Pak Hardi mencoba

menjelaskan.

Melihat Pak Basuki diam saja, Pak Hardi kemudian melanjutkan

penjelasannya. Pak Hardi ternyata mencoba menjelaskan dengan kata kata yang

lebih sederhana.

“Menurut saya begini, ketahanan jiwa seseorang, seperti juga ketahanan

fisiknya, berbeda-beda antara satu orang dengan lainnya. Ada orang yang

kedinginan sudah terkena flu, orang lain kehujanan seharian tetap sehat sehat saja.

Berbagai faktor seperti keturunan, kondisi waktu di dalam kandungan, kondisi

ketika dalam proses kelahiran, waktu kanak kanak hingga berbagai pengalaman

hidup yang dialami seseorang hingga dewasa, semuanya berinteraksi dan

menentukan apakah seseorang itu rentan terhadap gangguan jiwa atau tidak”

76

“Pak Hardi, apakah seorang yang rentan terhadap gangguan jiwa pasti

terkena gangguan jiwa?” Tanya Pak Basuki

“Seseorang terkena gangguan jiwa itu bila dirinya rentan terhadap gangguan

jiwa dan adanya stress atau tekanan hidup. Seseorang yang sangat rentan, hanya

dengan diejek atau diputuskan cintanya, sudah akan menderita gangguan jiwa.

Dilain pihak, bila seseorang tidak punya kerentanan terhadap gangguan jiwa,

meskipun ada tekanan hidup yang berat, seperti misalnya menjadi yatim piatu diusia

remaja, tetap saja orang tersebut tidak menderita gangguan jiwa. Jadi harus ada dua-

duanya, yaitu ada kerentanan terhadap gangguan jiwa dan ada stress atau tekanan

hidup”

“Bagaimana caranya agar orang yang rentan tidak terkena gangguan jiwa?

Apakah selama di Tirto Jiwo kami bisa belajar cara mengatasi gangguan jiwa seperti

yang dialami anak saya?”

“Pak Basuki, prinsipnya ada tiga hal agar seseorang yang rentan tidak

terkena gangguan jiwa. Saya akan memakai ilustrasi seorang petinju. Agar dia tidak

jatuh knock out atau kalah ketika bertinju, maka pertama, petinju tersebut harus kuat

menerima pukulan. Kedua, belajar menghindari pukulan lawan. Ketiga, jangan

bertanding bila kondisi sedang tidak prima. Hal yang sama berlaku pada penderita

gangguan jiwa. Pertama kita perlu memperkuat ketahanan jiwanya sehingga

berkurang kerentananannya terhadap gangguan jiwa dalam arti lebih tahan

menghadapi stress. Caranya, misalnya: memperbaiki pola berpikirnya, menerapkan

pola hidup sehat secara fisik dan sosial seperti jangan suka begadang, jangan suka

mabuk, rutin olah raga, dan banyak bergaul serta banyak berkawan. Kedua, belajar

mengatasi atau menghindari stress, caranya antara lain dengan berlatih teknik

relaksasi, mengelola stress, dan memecahkan masalah. Ketiga, mengubah

lingkungan agar menjadi lingkungan yang ramah dan tidak menimbulkan stress atau

pindah ke lingkungan lain yang kurang menimbulkan stress”

“Terima kasih sekali Pak Hardi, sekarang semuanya menjadi lebih jelas.

Saya akan sepenuh hati membantu anak saya untuk bisa kembali pulih. Selama saya

77

di Tirto Jiwo, program pembelajaran apa yang bisa saya dapatkan untuk saya dan

anak saya?”

“Di sekolah Pemulihan Tirto Jiwo, rincian program belajar masing masing

orang berbeda-beda karena kebutuhan belajarnya juga berbeda-beda. Modul pertama

tentang apa itu gangguan jiwa dan cara mengatasi gejala gangguan jiwa seperti

halusinasi, waham,dan gelisah. Modul kedua tentang mencegah agar tidak kambuh.

Modul ketiga tentang pengembangan kemampuan diri. Modul keempat tentang

kembali ke masyarakat, utamanya tentang pekerjaan dan hidup bermasyarakat’’.

‘’Cocok sekali untuk kami Pak Hardi, semoga anak saya bisa lulus dengan

baik. Yang paling penting, anak saya bisa segera pulih dan kembali ke bangku

kuliah.’’

‘’ Ha ha ha…., tapi jangan membayangkan prosesnya akan seperti di sekolah

atau di universitas. OK, saya kira sekian dulu. Kita akan masih sering ketemu’’

‘’Iya Pak Hardi, terima kasih sekali’’

----0000----

Sore itu, di Tirto Jiwo, aku ngobrol santai dengan Pak Amir. Topiknya mulai

dari harga cabai yang melangit, namun kemudian membelok ke permasalahan

pemulihan gangguan jiwa.

‘Pak Bambang masih ingat dengan Dr John Nash, pemenang hadiah nobel di

bidang matematika yang pernah menderita skizofrenia, ternyata anaknya juga

menderita skizofrenia. Meskipun begitu, anaknya masih bisa kuliah hingga meraih

gelar doktor’

‘Iya, saya juga pernah melihat bapak dan anaknya ketika diwawancarai di

suatu acara TV. Kebetulan wawancara tersebut ada yang merekam dan di unggah di

you tube. Orang tua Dr Patricia Deegan dan Dr Mary Ellen Copeland, juga

menderita gangguan bipolar. Penyakit itu diturunkan ke anaknya’ Kataku

78

‘Namun selama di Tirto Jiwo saya belum ketemu penderita gangguan jiwa

karena faktor keturunan. Kebanyakan terkena gangguan jiwa karena trauma, yaitu

tekanan hidup atau pengalaman hidup yang menekan.’

‘Di Indonesia, selain faktor stress, faktor lingkungan juga penting.

Kebanyakan penderita gangguan jiwa di Indonesia berasal dari masyarakat

menengah bawah’

‘Menurut pengamatan saya, sebenarnya, tidak mudah bagi seseorang terkena

gangguan jiwa. Harus ada faktor biologis, psikologis dan faktor lingkungan yang

saling berinteraksi. Bila seseorang punya kerentanan, karena orang tuanya atau

saudaranya ada yang menderita gangguan jiwa, tapi tidak punya riwayat trauma atau

tekanan hidup, maka yang bersangkutan kecil kemungkinannya menderita gangguan

jiwa’ Kata Pak Amir.

‘Betul sekali Pak Amir. Lebih banyak penderita gangguan jiwa yang tidak

punya faktor genetis atau keturunan, dalam arti tidak punya riwayat saudara yang

menderita gangguan jiwa, dibanding penderita yang punya faktor genetis. Anak

kembar, bila salah satu kena gangguan jiwa, tidak otomatis saudara kembarnya juga

terkena gangguan jiwa,’’ Ujarku

‘Tapi ada implikasinya juga Pak Bambang, bila tidak mudah terkena

gangguan jiwa, biasanya juga tidak mudah untuk pulihnya. Tidak mudah memang

bukan berarti tidak mungkin. Saya hanya ingin bilang bahwa memulihkan penderita

gangguan jiwa sering tidak mudah’

‘Kalau penyebabnya hanya faktor biologis, seharusnya dengan minum obat,

penyakitnya akan sembuh. Tapi kenyataannya kan tidak. Faktor psikologis dan

lingkungan sangat penting sebagai penyebab timbulnya gangguan jiwa’

‘Seperti yang dialami Tono, tetangga saya. Ketika masih di SD, ibunya

meninggal dunia dan ayahnya menikah lagi dengan bekas pembantunya. Tono dan

kakak perempuannya diasuh oleh tantenya. Ternyata kakak perempuan Tono

mendapat pelecehan seksual dari pamannya. Kejadian itu sangat memukul jiwanya.

Setamat SMA dia menderita skizofrenia hingga sekarang. Karena dia tidak pernah

79

mendapat terapi bicara yang mengupas pemicu gangguan jiwanya, maka sangat sulit

bagi Tono untuk pulih. Rajin minum obat tidak cukup membuatnya bisa pulih dari

sakitnya.’

‘Sama dengan masalah yang menimpa Choirul dan Ahmad. Choirul hanya

hidup dengan ibunya yang sudah janda tanpa penghasilan yang memadai. Kedua

kakak Ahmad sudah tidak sanggup merawatnya. Kondisi seperti itu membuat proses

pemulihan mereka menjadi lebih sulit.’

‘’Lebih sulit lagi memulihkan penderita gangguan jiwa yang hidup

menggelandang, tidak punya sanak saudara dan penghasilan.’’

‘’Di kota San Diego, Amerika, ada program yang khusus ditujukan kepada

para gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. Mereka secara bertahap dibantu,

pertama ditampung di pusat penampungan, kemudian meningkat dengan disewakan

apartment. Terrnyata banyak yang berhasil dan bisa pulih’’

‘‘Pak Bambang, program di San Diego dibiayai pemerintah. Di India, ada

Yayasan Shraddha yang menggarap masalah gelandangan dengan gangguan jiwa

dan dibiayai dari sedekah masyarakat.’’

‘‘Saya baca di internet, di kota Bangalore saja ada 35 rumah pemulihan.

Hebat juga ya kesadaran masyarakat India terhadap masalah kesehatan jiwa’’

‘‘Penduduk India berjumlah 1 milyar lebih, tidak mungkin semua masalah

sosial ditangani pemerintah’’

‘‘Pak Amir pernah mendengar tentang Soteria Project di Amerika ?’’

Tanyaku

‘‘Belum Pak Bambang, apa itu Soteria Project ?’’

‘‘Soteria Project merupakan sebuah proyek yang kontroversial. Waktu itu,

ada ide untuk mencari alternatif pengobatan gangguan jiwa, selain model

pengobatan di rumah sakit yang ada selama ini. Dalam proyek yang dimulai di tahun

1971 dan dikomandani oleh Dr Loren Mosher, seorang psikiater, dibuat sebuah

80

pusat pemulihan di kota San Jose, California, Amerika, yang menerima penderita

gangguan jiwa yang baru pertama kali menderita gangguan jiwa dan dirawat di RSJ,

belum menikah dan berumur antara 18-30 tahun. Ada beberapa kekhususan

penanganan penderita di rumah Soteria. Seperti tidak ada penderita yang diikat dan

dipaksa minum obat, serta penderita hanya didampingi tenaga pendamping yang

bukan dokter atau tenaga kesehatan. Ternyata, hasilnya, baik jangka pendek maupun

jangka, yaitu 6 minggu maupun jangka menengah, 2 tahun, hasilnya sama atau lebih

baik dibandingkan hasil pengobatan di rumah sakit. Sekitar 40% penderita tidak

minum obat dan tingkat kekambuhan sama atau lebih baik dibandingkan penderita

yang minum obat’’

‘‘Hasilnya sama atau lebih baik, padahal mereka tidak minum obat ?’’

‘‘Iya, ini penting karena dalam jangka panjang, efek samping obat anti

gangguan jiwa bisa menyebabkan kegemukan, diabetes, dan pengecilan volume

otak’’

‘Kalau proyek Soteria itu bagus, kenapa Depkes Amerika menghentikan

proyek tersebut ?’

‘Saya tidak tahu secara pasti. Menurut Dr Loren Mosher karena psikiater

Amerika tidak siap dengan hasil studi itu. Mereka tidak bisa membayangkan

psikiatri tanpa obat.’

‘Lho, kan tetap banyak penderita yang memerlukan obat, terutama kalau

faktor biologisnya yang menonjol’

‘Sekarang beberapa lembaga non-profit kemudian meneruskan prinsip

Soteria Project itu dengan mendirikan Rumah Soteria’

‘’Kita belum cukup ilmu untuk bisa menilai mana yang lebih tepat,

khususnya untuk Indonesia’’ kataku sambil pamit pulang.

Topik obrolan tentang permasalahan gangguan jiwa ternyata sangat luas.

Tidak akan habis meskipun dibicarakan selama seminggu. Sore itu, diskusi santai

harus dihentikan karena waktu sudah mendekati maghrib.

81

Suara suara yang membuat cemas

agi itu suasana di Tirto Jiwo terlihat tenang. Murid yang tinggal di Tirto

yang saat itu berjumlah 10 orang, sesuai kapasitas yang tersedia. Semuanya

laki laki karena memang belum ada bangunan khusus untuk perempuan.

Mereka sedang sibuk dengan kegiatan masing masing. Aku lihat Pak Hardi sedang

ngobrol dengan Hanafi, murid yang bersekolah di Tirto Jiwo karena ingin agar bisa

segera kembali ke bangku kuliahnya.

“Mas Hanafi, sekarang ini apa yang sangat mengganggu?” tanya Pak Hardi

“Saya masih sering cemas, takut dan sulit tidur. Saya belum bisa konsentrasi.

Baca tulisan baru setengah halaman saja sudah sulit sekali.”

“Menurut Mas Hanafi, apa penyebabnya?”

“Ada iblis dan orang jahat mengatakan saya anak goblok, malas dan tidak

berguna. Kadang kadang juga menyuruh saya bunuh diri”

“Coba Mas Hanafi ceritakan secara lebih rinci”

“Saya sudah 4 tahun mendengar suara suara. Awal mulanya, ada rasa was

was karena ada orang yang selalu mengawasi saya. Orang tersebut ingin

menangkap dan membunuh saya. Saya tidak tahu alasannya. Kemudian saya mulai

mendengar suara suara. Mula mula seperti suara orang berbisik. Lama lama makin

keras dan akhirnya mereka kadang berteriak” jawab Hanafi.

Hanafi berbicara pelan. Kata katanya kadang terputus ditengah

jalan.Meskipun demikian aku masih bisa menangkap apa maksudnya. Pak Hardi

perlu menunjukkan kepada Hanafi kalau dia tahu apa yang dirasakannya dengan

menyampaikan hal yang biasa dijumpai pada penderita gangguan jiwa.

“Mas Hanafi, biasanya ada 2 jenis suara, yang ada didalam kepala dan yang

berasal dari luar kepala. Suara yang berada didalam kepala seperti suara orang lain

yang berbicara kepada yang bersangkutan. Suara tersebut berbeda dari suaranya

P

82

sendiri, juga beda dengan apa yang ada dipikirannya. Suara yang berasal dari luar

kepala seperti ketika seseorang mendengar suara radio yang ada dipojok ruangan.

Suara yang ada didalam kepala biasanya yang lebih mengganggu” kata Pak Hardi

menanggapi pernyataan Hanfi.

“Kapan biasanya suara suara itu muncul?” Tanya Pak Hardi

“Mula mula suara suara itu muncul ketika saya capai, mengantuk, juga

ketika pagi hari baru bangun tidur dan malam hari ketika akan tidur. Lama lama

makin sering muncul dan makin keras suaranya. Saya mendengar suara suara itu rata

rata sepuluh kali sehari, masing masing selama sekitar 10 menit ”

“Berapa orang yang suka bicara sama mas Hanafi? Apa yang mereka

katakan?”

“Semuanya ada 7 suara, 1 suara iblis, 1 suara malaikat, 3 suara laki laki dan

2 suara perempuan. Ada yang berkata-kata jahat, mencaci maki saya mengatakan

saya goblok, tidak berguna dan menyuruh saya bunuh diri. Ada yang suara yang

baik, mengajak saya bicara, menasehati saya, mengajak saya bergurau”

“Bagaimana perasaan Mas Hanafi ketika mendengar suara suara tersebut?

“Suara iblis dan suara orang jahat membuat saya takut”

“Apakah Mas Hanafi tidak berusaha melawan, menyuruh mereka berhenti

bicara? Tanya Pak Hardi

“Kalau saya menyuruh berhenti bicara, mereka marah dan semakin keras

teriaknya. Kalau saya tidak mau menuruti perintahnya, mereka akan membunuh

saya.”

“Bagaimana dengan suara orang baik? Siapa saja mereka itu?”

“Suara yang baik itu suaranya malaikat, juga suara dua orang laki laki dan

seorang perempuan yang tidak saya kenal”

“Apakah Mas Hanafi juga takut terhadap mereka?”

83

“Tidak, saya senang. Mereka menasehati saya, mengajak saya menyanyi,

menari dan bergurau. Biasanya saya ikuti nasehat mereka. Saya berkawan dengan

mereka”

Pak Basuki menyampaikan bahwa sebelum dibawa ke rumah sakit anaknya

sering menyendiri dikamar, terlihat ketakutan. Dilain waktu menyanyi , tertawa dan

berkata-kat sendiri. Saat itu Pak Basuki belum tahu bahwa Hanafi berperilaku

seperti itu karena dia menanggapi suara suara akibat halusinasi yang dideritanya.

“Apa yang sudah dilakukan Mas Hanafi untuk mengatasi suara suara

tersebut?”

“Suara yang berasal dari luar kepala, seperti suara dari radio, bisa saya atasi

dengan melakukan kegiatan, seperti main gitar atau mendengarkan musik. Suara

orang berbisik juga hilang setelah minum obat” jelas Hanafi

“Suara dari dalam kepala, baik yang jahat maupun yang baik, tidak hilang

dengan minum obat?” Tanya Pak Hardi

“Tidak Pak, hanya berkurang. Tapi kadang kadang masih muncul”

Menurut keterangan dokter yang merawatnya, halusinasi suara yang diderita

Hanafi memang termasuk jenis yang bandel. Tidak mau hilang hanya dengan minum

obat.

“Apa mereka benar benar akan membunuh Mas Hanafi bila sampai tidak

menuruti perintahnya? Tanya Pak Hardi

“Betul sekali Pak, dulu saya pernah coba menolak perintah mereka, tiba tiba

muncul seekor ular besar siap menggigit saya.Saya takut sekali sama mereka.

Mereka bisa melakukan apa saja terhadap saya.”

“Mas Hanafi, dari berbicara dengan banyak orang yang sering mendengar

suara suara, mereka juga bilang bahwa Iblis atau malaikat itu sepertinya juga tahu

segalanya.” Kata Pak Hardi

84

“Betul Pak, malaikat dan iblis itu tahu semuanya,. Mereka tahu apa yang

saya pikirkan, tahu apa yang akan saya lakukan. Mereka juga tahu apa yang dulu

pernah saya lakukan.” jelas Hanafi.

“Apa Mas Hanafi tidak bisa menyuruh mereka untuk berhenti bicara ketika

Mas Hanafi sudah merasa capai, atau menyuruh mereka jangan bicara kalau lagi

makan? Tanya Pak Hardi

“Tidak bisa Pak, mereka melakukan apa yang mereka maui, tidak mau

diatur” jawab Mas Hanafi.

“Apakah suara suara itu sering muncul dan menjadi sangat mengganggu

ketika mas Hanafi kurang tidur atau lagi banyak pikiran?” Tanya Pak Hardi

“Betul Pak”

“Kenapa kok sampai ada iblis datang ke Mas Hanafi, apa ada yang

menyuruh?”

“Guru olah raga di SMA yang menyuruh iblis itu datang untuk menghukum.

Saya tidak pandai berolah raga. Guru tersebut mengira saya malas berolah raga”

kata Hanafi.

Setelah diam agak lama Hanafi melanjutkan.

“Untung ada malaikat baik hati yang melindungi saya dari iblis tadi.

Malaikat itu baik sekali sama saya, menasehati saya dan mengingatkan saya agar

selalu berdoa” tambah Hanafi.

“OK, Mas Hanaafi kelihatannya sudah capai. Kita berhenti dulu disini, kapan

kapan kita sambung lagi. Oh iya, katanya Mas Hanafi suka sekali makan bakmi

goreng. Ini saya bawakan bakmi goring Bagelen. Enak sekali. Anak saya senang

sekali. Setiap kali datang ke Purworejo, dia selalu minta dibelikan bakmi Bagelen ”

kata Pak Hardi.

“Baik Pak, terima kasih sekali. Saya memang senang sekali makan bakmi

goreng” jawab Hanafi sambil kembali ke ruang tengah untuk menonton TV.

85

Pak Hardi sengaja memberikan buah tangan kepada Hanafi. Dia ingin Hanafi

percaya dan hormat kepadanya. Kepercayaan tersebut sangat penting dalam proses

pemulihannya. Tanpa ada kepercayaan dari Hanafi, maka dia tidak akan mau

menuruti nasehat Pak Hardi. Hanafi tidak akan mau atau berani melawan iblis dan

malaikat yang bersemayam di kepalanya.

Pak Hardi datang menemuiku dan mengajakku berdiskusi tentang cara

membantu Hanafi mengatasi halusinasinya.

“Menurut Pak Bambang, strategi apa yang perlu kita lakukan? Sepertinya

Hanafi sangat percaya dengan halusinasinya. Dia sangat takut kalau iblis di

kepalanya benar benar membunuhnya.” Tanya Pak Hardi meminta pendapatku

“Kalau diberi skore atau nilai antara 0-100, kira kira berapa nilai

kepercayaan hanafi terhadap halusinasinya?”

“Kalau menurut saya sih sekitar 95. Dia sangat percaya, tapi dia juga ada

keinginan untuk bisa kembali kuliah. Artinya, kmasih ada ruang untuk

menggoyahkan kepercayaannya terhadap halusinasinya”

“Kebetulan kemarin saya baru baca artikel lama berjudul The Omnipotence

of voice, A Coginitive Approache to Auditory Hallucinations karangan Dr Paul

Chadwick dan Dr Max Birchwood yang dimuat di British Journal of Psychiatry

terbitan tahun 199. Mereka melakukan studi terhadap penderita halusinasi yang

tidak mempan dengan obat dengan menerapkan pendekatan terapi kognisi terhadap

23 orang yang mengalami halusinasi. Mereka mencoba agar penderita gangguan

jiwa mempertanyakan kepercayaan mereka terhadap halusinasinya dengan

memberikan bukti bukti nyata, baik secara verbal maupun dengan mencoba

mempertanyakan kebenaran suara suara tersebut. Hasilnya ternyata

menggemberikan. Semua yang mendapat terapi kognisi berkurang halusinasinya,

bahkan lebih separuh hilang halusinasinya”

“Pak Bambang, mungkin ada baiknya kita datangkan Pak Sugeng, bos bakso

yang dulu juga menderita halusinasi. Biar dia cerita sama Hanafi bagaimana bisa

mengatasi halusinasinya” kata Pak Hardi.

86

“Wah saya kira itu ide yang bagus sekali Pak Hardi. Saya akan segera kontak

Pak Waluyo agar bisa segera main ke Tirto Jiwo. Kebetulan di Tirto Jiwo lagi ada

beberapa murid dengan gejala halusinasi”

“Kita juga akan ajak Hanafi untuk berinteraksi sosial, ikut kerja bakti

membersihkan rumah nenek Tukiyah agar kepercayaan dirinya mulai tumbuh.”

“Bagus lah Pak Hardi, jangan lupa diperkuat juga sisi keagamaannya, biar

daya tahan jiwanya semakin meningkat.” Kataku mengakhiri diskusi dengan Pak

Hardi.

----0000----

Di ruang pertemuan kantor Dinas Transmigrasi, Sosial dan Tenaga Kerja

(Dintransosnaker) Kabupaten Purworejo, siang itu aku diminta memberi ceramah

tentang cara mengatasi halusinasi. Ada sekitar 20 orang peserta yang hadir.

Sebagian dari mereka adalah para pensiunan, yang ingin ikut kerja sosial bersama

Tirto Jiwo, membantu penderita gangguan jiwa. Sebagian lainnya adalah para orang

tua yang mempunyai anak terkena gangguan jiwa. Kursus tersebut sudah

berlangsung sejak kemarin pagi. Siang itu aku dapat bagian untuk menyampaikan

materi yang aku sukai, cara mengatasi halusinasi.

“Selamat sore bapak dan ibu semua. Kita mulai saja sesi kita siang hari ini.

Topiknya adalah cara mengatasi halusinasi. Saya kira bapak ibu semua sudah

mengenal istilah halusinasi, yaitu adanya rangsangan indra yang tidak bisa dilihat

atau dirasakan oleh orang lain. Dengan kata lain, penderita gangguan jiwa sering

mendengar suara, atau melihat sesuatu, atau merasa seperti ada yang menyentuhnya,

atau merasakan sesuatu dilidah atau mulut yang susah dijelaskan, yang sebenarnya

rangsangan itu berasal dari dalam dirinya sendiri. Mereka mendengar suara yang

didengar oleh dirinya sendiri, melihat sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain, atau

merasa dirambati oleh semut yang tidak kelihatan semutnya.” kataku memulai

pelajaran.

“Agar kita bisa ikut merasakan bagaimana rasanya mengalami halusinasi,

saya minta 3 orang untuk maju kedepan”

87

Aku sudah menyiapkan 3 laptop lengkap dengan headphone-nya yang berisi

rekaman suara meniru suara suara yang sering didengar oleh penderita gangguan

jiwa. Masing masing laptop berisi rekaman suara yang berbeda.

“OK, Pak Santosa berdiri disebelah kanan, ibu Urip berdiri ditengah dan Pak

Kuncoro dipinggir kiri. Saya minta bapak dan ibu mendengarkan dengan seksama

dan menuruti saja perintah yang disampaikan oleh suara suara tersebut. Sudah siap?

Silahkan pasang headphone-nya dan kemudian mulai dengarkan dengan seksama

suara suara tersebut. Yak, mulai!” kataku.

Wajah Pak Santosa terlihat tegang. Tidak lama kemudian, dia terlihat

bergerak kekiri 2 langkah dan kemudian mundur 2 langkah. Maju dua langkah dan

kekiri dua langkah. Gerakan seperti itu dilakukan Pak Santosa berkali-kali. Setelah

itu Pak Santosa terlihat berdiri, diam saja tidak bergerak. Namun badannya terlihat

tegang.

Ibu Urip terlihat santai, senyum senyum dan tertawa. Tak berapa lama, Bu

Urip mulai bicara sendiri. Tak lama kemudian Bu Urip juga mulai kelihatan gelisah.

Pak Kuncoro terlihat tegang, cemas, seperti seorang murid yang sedang kesulitan

mengerjakan tugas yang diberikan oleh gurunya. Pak Kuncoro terlihat mencoba

berkata-kata sesuatu dalam bahasa Inggris. Aku lihat para peserta kursus hanya

senyum senyum saja melihat kelakuan tiga temannya didepan kelas. Tak lama

kemudian simulasi suara halusinasi tersebut berhenti dan mereka bertiga diminta

menceritakan apa yang mereka dengar dan apa reaksi mereka terhadap suara suara

tersebut.

“OK, silahkan dimulai dari Pak Kuncoro terlebih dahulu” kataku

mempersilahkan Pak Kuncoro untuk mulai menceritakan pengalamannya.

“Terima kasih, bapak dan ibu sekalian. Perkenankan saya menceritakan apa

yang saya dengar. Mula mula saya dengar suara radio dari kejauhan, makin lama

suara radio itu makin keras dan makin dekat ketelinga saya. Suara dari radio

terdengar seperti suara seorang laki laki sedang membacakan berita daerah.

Kemudian, bersamaan dengan suara radio, muncul suara orang berbisik-bisik, yang

88

makin lama juga makin keras. Suara itu adalah suara seorang ibu guru Bahasa

Inggris ketika saya masih SMA. Guru tersebut mengajukan beberapa pertanyaan

dalam bahasa Inggris. Bersamaan dengan saat guru mulai mengajukan pertanyaan,

saya mendengar suara siaran berita nasional dari TV RI. Ketika saya sedang

kesulita menjawab pertanyaan tiba tiba muncul suara laki laki membentak-bentak

saya mengatakan saya goblok, malas, dan manusia tidak berguna” kata Pak

Kuncoro.

“Mengapa Pak Kuncoro kesulitan menjawab pertanyaan guru bahasa Inggris

tersebut? Apa pertanyaannya sulit? Tanyaku kepada pak Kuncoro.

“Pertanyaannya tidak sulit, tapi suara orang membaca berita dari radio dan

TV itu sangat mengganggu. Suara orang yang membentak-bentak saya membuat

saya tersinggung dan marah” Jawab Pak Kuncoro.

“Mengapa Pak Kuncoro mengikuti perintah bu guru? Mengapa perintahnya

tidak didiamkan saja?” tanyaku.

“Laki laki yang mengatakan saya goblok itu bilang kalau saya tidak mau

menjawab pertanyaan bu guru, saya akan disambar petir. Saya memang mendengar

suara petir disitu, meskipun tidak sedang ada hujan.” Jawab Pak Kuncoro.

Para peserta kursus tersenyum mendengar jawaban Pak Kuncoro.

“Terima kasih Pak Kuncoro, silahkan tepuk tangan untuk Pak Kuncoro”

kataku. Peserta kursus kemudian bertepuk tangan dengan meriah. Mereka mulai bisa

menangkap pelajaran apa yang bisa ditarik dari simulasi tadi.

“Sekarang silahkan Ibu Urip menceritakan apa yang didengarnya” kataku

sambil mempersilahkan ibu Urip.

“Terima kasih, bapak ibu sekalian. Saya mendengar suara laki laki yang

mengaku sebagai malaikat Jibril. Dia mula mula memberikan nasehat tentang

bagaimana menjadi istri yang baik. Kemudian menceritakan hal hal lucu yang

membuat saya tertawa. Setelah itu malaikat Jibril mengajukan beberapa pertanyaan,

yang saya jawab dengan baik. Malaikat tersebut kemudian berkata bahwa saya telah

89

dipilih untuk memperbaiki masyarakat Purworejo yang sudah mulai rusak. Saya

besok diminta mendatangi kelurahan dan diminta menyuruh Pak Lurah mundur dari

jabatannya. Ketika saya diam saja, tidak mau dia mengerjakan perintahnya, dia

mulai mengancam. Malaikat itu bilang kalau saya akan dimasukkan ke neraka.

Malaikat itu sepertinya tahu semuanya. Dia tahu alamat rumah saya, nama anak

anak saya dan tanggal lahirnya, juga tahu persis seluk beluk rumah saya. Saya jadi

takut.” Kata Bu Urip.

Peserta terlihat terkesima dengan jawaban Bu Urip. Mereka bisa merasakan

apa yang dirasakan oleh Bu Urip. Mereka juga heran, mengapa suara yang mengaku

malaikat itu bisa tahu segalanya tentang Bu Urip.

“Terima kasih Bu Urip. Mari kita tepuk tangan untuk Bu Urip.” Kataku.

Setelah peserta bertepuk tangan dengan meriah, aku kemudian meminta Pak Santosa

untuk menceritakan apa yang dia dengar.

“Bapak ibu sekalian, saya benar benar baru saja mengalami peristiwa yang

tidak mengenakan. Rekaman yang diberikan ke saya adalah suara laki laki yang

mengaku sebagai Genderuwo pohon beringin dari makam Kyai Bagelen yang

angker. Genderuwo itu tahu kalau kemarin anak saya terserempet sepeda motor

sampai lecet lecet. Memang kenyataannya anak saya kemarin baru saja terserempet

sepeda motor. Dia bilang kalau saya tidak mau mengikuti perintahnya maka anak

saya akan tertabrak mobil. Saya kemudian ikuti perintahnya melangkah maju

mundur kanan kiri seperti yang bapak ibu lihat. Setan Genderuwo itu kemudian

menyuruh saya memukul Pak Bambang” cerita Pak Santosa.

Para peserta kursus tertawa terpingkal-pingkal mendengar cerita itu. Mereka

bertanya kenapa Pak Santosa tidak melakukan saja perintah tersebut. Pak Santosa

diam saja, tidak menanggapi gurauan teman temannya.

“Bapak ibu sekalian, rekaman tadi serupa dengan yang didengar oleh

penderita gangguan jiwa yang mengalami halusinasi. Pelajaran apa yang bisa dipetik

dari simulasi tadi?” Tanyaku kepada para peserta.

Para peserta kemudian mulai menyampaikan berbagai pendapatnya.

90

“Suara suara tadi dari mahluk yang bisa mencelakakan kita” kata Pak Broto.

“Mereka tahu segalanya. Saya sampai sekarang masih heran, bagaimana

suara tadi bisa sampai tahu kalau anak Pak Santosa baru saja mengalami

kecelakaan?” Tanya Bu Hamzah.

“Ha ha bapak ibu jangan heran atau bingung, sebelum membuat rekaman,

kita sudah cari informasi dulu. Biar simulasinya lebih meyakinkan. Nah suara suara

halusinasi yang didengar penderita gangguan jiwa, apalagi halusinasi yang

membandel, selalu meyakinkan. Suara itu tahu segalanya dan sangat berkuasa. Bisa

melakukan apa saja.” jelasku

“Perintahnya sepertinya sulit ditolak” Kata Pak Poniman menambahkan.

Beberapa peserta lain juga ikut menyampaikan kesimpulan yang bisa diambil

dari simulasi tadi. Setelah semua peserta menyampaikan pemikirannya, kuminta Pak

Santosa untuk merangkum dan menyimpulkannya.

“Baik, bapak ibu sekalian. Saya akan meminta Pak Santosa untuk

menyimpulkan simulasi tadi?” kataku. Selama ini Pak santosa kulihat sebagai

peserta yang paling pintar dan sangat antusias dengan pelajaran yang aku

sampaikan. Jadi aku berani meminta dia untuk menyimpulkan pelajaran yang bisa

dipetik dari simulasi tadi.

“Sebagian suara itu berasal dari mahluk berkuasa. Mereka bukan orang atau

mahluk sembarangan. Mereka tahu seluk beluk kita dan mengancam kita kalau kita

tidak mau menuruti perintahnya” kata Pak Santosa.

“Terima kasih Pak Santosa. Tepat sekali kesimpulan bapak tadi.” Kataku

“Bapak ibu sekalian, apa yang akan terjadi dengan Bu Urip, Pak Kuncoro

dan Pak Santosa bila mereka tidak mau mengikuti perintah perintah yang mereka

dengar tadi?” tanyaku kepada para peserta

“Tidak akan terjadi apa apa. Itukan hanya rekaman suara saja” Jawab para

peserta serentak.

91

“Nah begitu pula dengan para penderita gangguan jiwa. Bila penderita

gangguan jiwa tidak mendengarkan, menanggapi dan mengikuti apa yang mereka

dengar, mereka tidak akan mengalami apa apa. Tidak ada konsekuensi apa apa.

Bahkan, karena mereka mengikuti dan menanggapi halusinasi, mereka jadi

dikatakan terganggu jiwanya. Sebenarnya, suara suara yang didengar penderita

gangguan jiwa adalah suara yang berasal dari dirinya sendiri. ” kataku.

“Pak Bambang, mengapa suara suara itu bisa muncul?” Tanya salah seorang

peserta.

“Hingga sekarang, dunia kedokteran belum tahu secara pasti penyebab dan

proses kenapa suara suara itu muncul. Banyak ahli yang bilang itu terjadi karena

adanya ketidak seimbangan kimia di otak. Hanya saja sampai sekarang secara rinci

belum bisa dijelaskan. Bagaimana mengukur ketidak seimbangan kimia tersebut,

mengapa pada seseorang ketidak seimbangan kimia menyebabkan munculnya suara

malaikat. Pada penderita lain, keseimbangan kimia di otak menyebabkan munculnya

suara setan atau suara setan dan malaikat. Semua itu belum bisa dijelaskan oleh para

ahli kedokteran secara memuaskan” kataku

Para peserta kursus terlihat diam. Mereka mencoba mencerna pemahaman

baru tersebut. Mereka sekarang tahu apa yang terjadi dengan penderita gangguan

jiwa. Mereka bersimpati dengan para penderita gangguan jiwa. Mereka menyadari

betapa menderitanya para penderita gangguan jiwa karena harus mendengarkan

suara suara seperti tadi hingga 10 kali per hari, masing masing bisa sampai

seperempat jam.

“Pak Bambang, kalau begitu, kalau penderita gangguan jiwa tidak menuruti

suara suara tadi, maka perlahan-lahan suara tersebut akan hilang?” Tanya salah

seorang peserta.

“Betul sekali” jawabku.

“Masalahnya, penderita gangguan jiwa sangat percaya dan menuruti atau

menanggapi suara suara tersebut. Mereka takut akan akibatnya bila sampai tidak

menuruti mereka. Suara suara yang mereka dengar kan suara yang berwibawa, yang

92

memaksa pendengarnya untuk mengikuti perintahnya. Suara suara itu juga berasal

dari mahluk yang tahu segalanya. Penderita gangguan jiwa sangat percaya dan takut

kepada mereka.” Kataku melanjutkan.

“Apakah mereka tidak bisa diyakinkan?” Tanya salah seorang peserta

“Bisa saja. Tergantung apakah penderita lebih percaya dan takut terhadap

suara yang mereka dengar atau lebih percaya kepada orang lain yang ingin

mengubah keyakinan mereka tersebut. Biasanya kalau dengan berdebat, bicara kasar

dan mengejek, tidak akan bisa meyakinkan penderita gangguan jiwa” jawabku.

“Pak Bambang, apa yang bisa kita lakukan untuk membantu penderita

gangguan jiwa tersebut?” Tanya salah seorang peserta. Rupanya peserta tersebu

ingin segera punya teknik yang bisa dipakai untuk membantu anaknya yang terkena

gangguan jiwa dan terlihat sering bicara sendiri.

“OK, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, kita latih agar

penderita bisa mengendalikan suara yang asalnya dari luar kepala, seperti suara

radio, dengan mengalihkan perhatian mereka dari suara suara tersebut. Misalnya:

dengan melakukan kegiatan yang disukai, seperti main gitar, menyapu kamar. Bisa

juga dicoba dengan nonton TV atau kegiatan lainnya. Suara yang tidak jelas asalnya

dan suara orang berbisik biasanya juga bisa diatasi dengan teknik tersebut diatas.”

“Teknik lain adalah mengajari penderita gangguan jiwa untuk berinteraksi

dengan orang lain bila suara suara itu muncul. Dengan berbicara kepada orang lain,

penderita terpaksa konsentrasi kepada lawan bicaranya sehingga perhatiannya

teralihkan dari halusinasinya. Teknik lainnya adalah dengan mengubah suasana,

bila halusinasi muncul ketika sendirian dikamar, segera keluar kamar dan

mendengarkan TV, misalnya. Ada juga penderita yang bisa mengatasi halusinasi

suara dengan menyumpal telinganya. Jadi ada berbagai teknik yang bisa diterapkan

yang sesuai untuk masing masing.” Kataku mencoba menjawab pertanyaan peserta

dengan panjang lebar.

Setelah berhenti sejenak, aku lanjutkan penjelasanku.

93

“Bila halusinasi tetap membandel, kita perlu melakukan upaya untuk

mengubah keyakinan penderita terhadap halusinasi yang dideritanya. Bila penderita

tidak lagi percaya terhadap halusinasinya, maka secara bertahap halusinasi tersebut

akan berkurang, kemudian hilang”

“Selain itu, kita perlu perkuat juga daya tahan kejiwaannya. Penderita

gangguan jiwa tidak selama 24 jam sehari dicekam halusinasi. Bila kesadaran

sedang baik, kita bisa lakukan kegiatan untuk memperkuat jiwanya. Misalnya

dengan kita ajak untuk banyak berdoa, berserah diri kepada Tuhan. Bergaul dengan

orang yang berasal dari strata sosial yang lebih rendah atau menolong orang yang

sedang kesusahan, kegiatan kegiatan tersebut bisa meningkatkan percaya diri dan

ketahanan jiwanya. Penderita dengan halusinasi yang membandel itu biasanya

kurang percaya diri, merasa dirinya kecil atau kurang berharga, sehingga cenderung

akan menuruti perintah orang yang lebih berkuasa darinya. Mereka cenderung

percaya terhadap suara suara yang didengarnya. ” Kataku melanjutkan.

“Keyakinan terhadap halusinasi bisa diubah dengan meminta penderita untuk

tidak menuruti perintah suara suara tersebut dan menerima konsekuensinya. Seperti

pengalaman Pak Suryo, pedagang beras. Dia sering mendengar suara setan yang

mengancam Pak Suryo bila tidak menuruti perintahnya, dia akan ditelan ular. Pak

Suryo nekad tidak mau menuruti perintah setan tersebut. Seketika itu juga muncul

ular besar datang dan mencoba memakannya. Pak Suryo takut sekali. Dia

menguatkan tekadnya dan memasrahkan hidupnya kepada Tuhan. Ternyata, ular itu

hanya bisa menakut-nakuti. Ular itu tidak bisa memakannya. Sejak saat itu,

halusinasi yang diidap Pak Suryo menghilang secara perlahan. Hingga kini, Pak

Suryo tetap sehat.”

“Pak Bambang, apakah cara meyakinkan itu harus sama seperti yang

dilakukan Pak Suryo?” Tanya seorang peserta.

“Tidak harus sama persis seperti yang dilakukan oleh Pak Suryo. Menurut

pengalaman kami di Tirto Jiwo, tidak ada metode baku. Prinsipnya, secara perlahan

dicoba menggoyahkan keyakinan penderita terhadap halusinasinya. Semakin

94

penderita tidak percaya, semakin lemah halusinasi tersebut” kataku mencoba

menjelaskan masalah halusinasi kepada para peserta.

Aku lihat para peserta menyimak dan memahami penjelasanku. Aku

bersyukur. Semoga ceramahku bisa menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Ilmu

praktis yang bisa diterapkan oleh para sukarelawan dan keluarga yang anggotanya

menderita gangguan jiwa.Aku sengaja tidak menjelaskan soal obat. Masalah obat

sebaiknya diserahkan keahlinya, para psikiater.

----0000----

Minggu lalu aku dan Pak Wibowo mengunjungi tiga murid yang mengalami

halusinasi. Ketiga murid tersebut, Mukimin, Karman dan Sutiyah, mempunyai

halusinasi yang berbeda.

Mukimin, umur 43 tahun, yang mengalami halusinasi sejak lebih dari 20

tahun yang lalu, berkata kepadaku bahwa dia sering mendengar suara suara dari

dukun sakti yang dulu pernah menjadi tetangganya. Dia yakin suara suara itu adalah

suara tetangganya. Dia sangat percaya dengan sang dukun sakti karena ternyata bisa

membaca pikirannya dan tahu masa lalunya. Dukun itu sering berteriak

mengingatkan agar dia lebih berhati-hati dan berusaha lebih keras. Mukimin

terpaksa harus mendengarkan perintah sang dukun dan terpaksa menuruti

perintahnya. Kadang dia sampai berteriak balik membalas teriakan sang dukun. Dia

juga berjanji akan mengubah hidupnya karena bila tidak sang dukun akan terus

berteriak-teriak kepadanya. Mukimin yakin bahwa halusinasi yang dideritanya

merupakan hukuman baginya karena ketika remaja sering berbuat onar dan malas

belajar. Suara suara tersebut membuat Mukimin capai, takut dan teraniaya.

Sutiyah, gadis berumur 34 tahun dan telah mempunyai halusinasi selama 10

tahun. Dia sering mendengar 3 suara laki laki. Suara pertama adalah suara pacarnya.

Sang pacar sering memberi perintah seperti ‘buat teh manis’ atau ‘bikin nasi

goreng’. Sang pacar juga sering mengatakan bahwa dia adalah calon pengantin

pilihan Tuhan. Dia yakin bahwa dia diperintah oleh Tuhan untuk menikah dengan

pacarnya. Sutiyah selalu mendengarkan suara pacarnya dengan penuh perhatian dan

95

melakukan semua perintahnya. Suara kedua adalah suara seorang China dan suara

ketiga adalah suara orang India. Orang China bilang bahwa dia telah kemasukan

setan. Orang India memerintahnya untuk membunuh setan tersebut dan juga

menyuruhnya untuk memakan tanah. Suara pacarnya membuatnya tenteram, tapi

suara orang China dan India membuatnya takut.

Karman, yang kini berusia 24 tahun mengalami halusinasi sejak 3 tahun yang

lalu. Dia sering mendengar suara bekas pacarnya. Karman yakin bahwa pacarnya

adalah malaikat perempuan. Pacarnya sering memerintahnya untuk berhenti

merokok, jangan pergi ke masjid, dan kadang menyuruhnya untuk bunuh diri.

Karman tidak selalu menuruti perintah sang pacar karena dia yakin mempunyai

kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan kekuatan malaikat. Meskipun

Karman tidak selalu mendengarkan, dia sering merasa terganggu dengan adanya

suara suara tersebut.

Aku dan Pak Wibowo masih memutar otak dan mencoba mengatur strategi

agar bisa membantu mereka mengatasi halusinasinya. Strategi pertama tentunya

adalah mengajari mereka mengalihkan perhatian mereka dari halusinasinya. Bila

strategi tersebut belum bisa menuntaskan masalah halusinasi, kami akan berusaha

menggoyahkan keyakinan ketiga murid tersebut terhadap suara suara yang

didengarnya. Jelas, ini bukan pekerjaan mudah.

Minggu depan, kami berdua akan kembali mengunjungi rumah Mukimin,

Sutiyah dan Karman. Kami akan berdiskusi dengan keluarga mereka masing masing.

Keluarga biasanya lebih tahu keadaan anggota keluarga yang sakit sehingga dengan

bekerja sama akan bisa disusun cara yang tepat dalam mengatasi halusinasi tersebut.

Kami juga telah meminta mereka untuk banyak berdoa, sholat hajad, dan

sholat malam agar Tuhan berkenan memberi petunjuk dan kemudahan bagi

kesembuhan Mukimin, Sutiyah dan Karman. Bila Tuhan yang Maha Kuasa

menghendaki, segala hal bisa terjadi. Tuhan yang bisa meninggikan langit tanpa

tiang, bisa membelah laut sehingga Nabi Musa bisal melintasinya, bisa menciptakan

lalat dan unta, pasti juga bisa menyembuhkan seseorang yang terkena gangguan

jiwa.

96

Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa penderita gangguan jiwa akan

lebih mudah pulih bila mereka tinggal bersama keluarganya. Dukungan keluarga

serta suasana lingkungan yang aman dan tenang akan memudahkan pemulihan dari

sakitnya. Hanya masalahnya, di Indonesia, pengetahuan keluarga tentang seluk

beluk gangguan jiwa dan cara menanganinya masih sangat terbatas. Pengetahuan

mereka tentang halusinasi dan waham sangat sedikit, boleh dibilang tidak ada.

Pemberian informasi dan ketrampilan tentang cara membantu pemulihan gangguan

jiwa akan membuat mereka mampu menolong saudaranya untuk bisa pulih dari

sakitnya.

Aku tahu pasti semua keluarga semua ingin agar anggota keluarganya yang

terkena gangguan bisa segera pulih. Mereka ingin melakukan sesuatu untuk

menolong. Hanya mereka tidak punya pengetahuan untuk itu. Akibatnya, mereka

sering keliru atau dimanfaatkan oleh orang yang hanya mencari untung. Akhirnya,

mereka kehabisan uang, tenaga dan kesabaran. Jalan terakhir yang mereka pilih

adalah memasung atau mengisolasi penderita gangguan jiwa.

Disisi lain, banyak psikoterapi yang dilakukan dokter atau psikolog kurang

berhasil karena mereka hanya ketemu pasien selama 1 jam sebulan sekali atau dua

kali. Selama dirumah, pasien dan keluarganya tidak mengerjakan ‘pekerjaan rumah’

yang diberikan oleh psikolog atau dokternya. Akibatnya, pemulihan berjalan sangat

lambat. Penderita dan keluarga menjadi bosan dan akhirnya proses pemulihan

menjadi gagal. Padahal, bila keluarga dan penderita mengerjakan pekerjaan rumah

yang diberikan, efektivitas terapi psikososial tersebut cukup tinggi.

Di Indonesia, jangankan keluarga, penderita sendiripun tidak mendapat

pelajaran atau pengetahuan praktis yang berkaitan dengan penyakitnya. Tadi pagi

adikku cerita kalau kemarin malam Mas Gunadi, tetangga yang baru keluar dari

rumah sakit jiwa bertamu kerumah. Adikku bilang kalau kondisi Mas Gunadi kurang

baik, masih terlihat adanya kegelisahan di raut wajah maupun tingkah lakunya. Mas

Gunadi masih sering mengalami halusinasi yang membuatnya cemas dan gelisah.

Kelihatannya dia tidak mendapat pelajaran tentang cara mengatasi halusinasi,

khususnya halusinasi yang membandel. Mungkin juga, Mas Gunadi sudah diajari,

97

tapi dia belum bisa menerapkan ilmunya tersebut. Keluarganya juga tidak tahu apa

apa soal cara membantu mengatasi halusinasi dan waham yang dipunyai anaknya.

----0000----

Pagi itu Pak Waluyo, bos pedagang bakso yang pernah mengalami

halusinasi, menyempatkan diri datang ke Tirto Jiwo. Wajahnya terlihat cerah, tidak

lagi terlihat tanda tanda kecemasan di wajahnya. Pak Waluyo sengaja diundang

untuk bisa berbagi pengalaman deng Hanafi dan murid murid lain yang juga

mengalami halusinasi. Sebelum bertemu dengan para murid, sengaja dia datang

menemui Pak Hardi.

“Selamat pagi Pak Hardi”

“Selamat pagi Pak Waluyo. Bagaimana kabarnya? Baksonya saya dengar

semakin laris saja”

“Alhamdulillah Pak, saya sekeluarga dalam keadaan sehat, tidak kurang

suatu apa. Bisnis juga lancar. Tentunya ini karena berkat doa bapak juga. Saya tahu

Pak Hardi setiap selesai sholat tahajud selalu mendoakan para bekas muridnya”

“Ah, soal tahajud jangan disebut-sebut, nanti bisa membuat saya jadi riya,

suka dipuji. Doa saya jadi kurang mustajab. Bagaimana dengan halusinasinya, sudah

hilang sekarang?”

“Alhamdulillah Pak, saya sudah setahun lebih suara suara itu tidak muncul

lagi. Saya sangat bersyukur.”

“Tentunya Pak Waluyo sudah tahu kenapa kita minta mampir kesini. Nanti

tolong disampaikan ke murid murid yang ada disini pengalamannya dalam

mengatasi halusinasi. Ada 4 murid yang akan belajar cara mengatasi halusinasi dari

Pak Waluyo. Tolong nanti disampaikan secara santai saja. Seperti ngobrol dengan

teman, bukan seperti ceramah atau memberi pelajaran di kelas.”

98

“Baik, siap Pak. Saya juga akan sampaikan nanti teknik yang dipakai teman

teman seangkatan saya juga. Beberapa teman dulu juga mengalami halusinasi dan

teknik yang mereka pakai berbeda dengan teknik yang saya pakai”

“Bagus kalau begitu. Oh, ya saya pengin tahu juga teknik yang dipakai Pak

Waluyo dan teman teman yang lain waktu itu”

“Pak Hardi, ada beberapa teknik yang saya pakai, sering saya kombinasikan

agar lebih efektif. Pertama, biasanya halusinasi suara yang saya alami tidak muncul

tiba tiba. Sering kali didahului dengan jantung yang berdetak lebih cepat atau suara

suara seperti orang berbisik. Bila saya mengalami hal tersebut, saya segera bersiap

menghadapi munculnya suara suara. Saya coba menenangkan diri dengan bernapas

panjang seperti latihan pernapasan yang biasa dialkukan di Tirto jiwo atau

melakukan teknik relaksasi lainnya. Bila lagi mau mendengarkan, saya akan

mendengarkan. Bila tidak ingin mendengarkan, saya coba alihkan perhatian dengan

melakukan kegiatan kegiatan yang saya sukai.

“Apakah teknik itu berhasil?”

“Iya Pak, hampir selalu berhasil. Teman memberi tahu agar mengingat-ingat

tanda tanda kalau suara tersebut akan muncul. Pengalaman saya, paling sering

tandanya berupa jantung berdegup lebih kencang. Setiap jantung berdegup lebih

kencang, segera saya terapkan teknik relaksasi”

“Syukurlah, ini ilmu baru yang perlu disebar luaskan.”

“Kita juga tidak boleh percaya dan mengikuti saja apa yang dikatakan suara

suara tadi. Ini memang tidak gampang, perlu kekuatan mental. Biasanya suara suara

tadi tidak suka dan marah kalau kita menolak atau tidak mau menuruti perintahnya.

Kemarahan itu sebenarnya suatu pertanda kalau mereka akan mulai berkurang atau

hilang.”

“Tadi Pak Waluyo bilang kalau sering mengalihkan perhatian dari suara

suara yang muncul, apa yang dikerjakan?

99

“Ya apa saja, yang penting sibuk dan aktif, tidak diam saja nonton TV.

Kadang saya langsung ambil sapu dan menyapu ruangan atau halaman, kadang saya

sirami tanaman, memberi makan ayam, atau mengajak ngobrol teman.”

“Dulu ada Mas Nugroho, murid disini yang sudah pulang, bila mendengar

suara suara, dia segera menyanyi bersama Mas Iman. Kebetulan dua-duanya sukan

menyanyi lagu ndangdut. Menyanyi bersama memerlukan konsentrasi, jadi lebih

efektif dalam mengalihkan perhatian dari halusinasi.” Kata Pak Hardi

“Iya Pak, kalau saya tekniknya dengan mengajak ngobrol teman. Memang

sebaiknya penderita gangguan jiwa tidak hanya mengisolasi diri di kamar sendirian.

Bisa tambah parah.”

“Bagaimana dengan teknik menuliskan suara suara tersebut, seperti suara

siapa, laki laki atau perempuan, apa yang dikatakannya, kapan munculnya, apa yang

jadi pemicunya. Apa Pak Waluyo memakai teknik tadi juga?

“Saya tidak memakai teknik itu, kurang cocok, sekolah saya kan cuman

sampai SMP. Sulit kalau disuruh nulis. Tapi teknik itu diterapkan Mas Kuwat”

“Oh Mas Kuwat, iya saya masih ingat. Badannya agak gemuk dan berotot.

Bagaimana kabarnya sekarang? Pak Waluyo masih suka kontak Mas Kuwat?”

“Masih Pak, lewat sms. Mas Kuwat baik baik saja, sudah melanjutkan

kuliah. Kalau tidak keliru ambil jurusan psikolgi di Universitas Islam di Yogyakarta.

Kata Mas Kuwat, teknik menuliskan halusinasi itu sangat bermanfaat. Dia bisa

mengenali dan menganalisa dirinya.”

“Betul sekali. Cuman kita tidak bisa mengartikan setiap kata seperti apa

adanya. Kata kata yang menyuruh bunuh diri tidak bisa diartikan begitu saja, dilihat

konteksnya. Saya belum bisa menganalisanya, masih harus banyak belajar. Saya

tahu Mas Kuwat pasti bisa memahaminya dan mengambil pelajaran dari suara suara

tadi.”

“Saya kira begitu, Pak Hardi, mohon ijin, saya mau menemui Mas Hanafi

dan teman teman. Masih ada beberapa teknik lain yang belum saya sampaikan

100

kepada bapak. Nanti saya sampaikan semuanya kepada mereka. Maaf saya mohon

ijin, takut kesiangan. Nanti bisa tidak jualan bakso.” Kata Pak Waluyo.

“Oh ya, silahkan. Maaf, keasyikan ngobrol sampai lupa kalau sudah

ditunggu” jawab Pak Hardi.

Kulihat Pak Waluyo berjalan mendekati Mas Hanafi dan teman yang lain.

Mereka duduk santai dibawah pohon cemara di halaman belakang. Dalam

pertemuan itu, sengaja tidak ada guru yang terlibat agar pembelajaran sesame

mereka bisa berjalan santai dan lancar.

101

Butiran kaca di piring nasi

ku lihat Wibowo sedang asyik duduk di depan desktop komputer.

Matanya terfokus ke layar monitor. Ketika kudekati, ternyata dia sedang

membaca sebuah artikel di internet tentang cara membantu mengatasi

penderita dengan kecurigaan yang berlebihan. Internet memang sangat berguna,

banyak ilmu bisa diambil dari internet.

‘Pak ’Bowo, kok asyik banget. Lagi baca apa?’’

‘’Oh Pak Bambang, maaf tadi sampai tidak melihat, saya lagi baca artikel

tentang cara membantu penderita gangguan jiwa yang curiga berlebihan’’

‘’Oh tentang paranoid! memangnya ada yang menderita paranoid?’’

‘’Iya Pak Bambang, tetangga satu kampung. Dia curiga dengan hampir

semua orang. Anak tersebut sampai kesulitan makan. Setiap kali duduk di meja

makan, dia yakin kalau ada pecahan kaca bercampur dengan nasi di piringnya.’’

Aku duga Iwan mempunyai waham, suatu keyakinan yang tidak berdasar

kenyataan. Penderita gangguan jiwa yang mempunyai waham biasanya sangat yakin

dengan wahamnya.

‘’Coba ceritakan secara lebih detil’’

‘’Anak itu namanya Iwan. Keluarga mereka miskin. Dia dan adik-adiknya

hanya bisa sekolah sampai lulus SMP, kemudian menganggur. Sebenarnya Iwan

anak baik, penurut dan tidak nakal. Dia tidak pernah mabuk atau minum obat

terlarang. Setelah keluar sekolah karena tidak ada biaya, dia kemudian belajar

menyopir. Dia pengin jadi sopir. Sekarang Iwan tidak bisa kerja karena sakitnya.

‘’Kapan gejala gejala seperti itu mulai muncul?’’

‘’Kata ibunya sudah sekitar 6 bulan ini. Menurut ceritanya, dia jatuh cinta

dengan seorang gadis. Sayangnya si gadis tidak membalas cintanya. Sejak saat itu

dia mulai menarik diri, selalu kelihatan cemas, dan takut. Dia mulai curiga dan

A

102

selalu menyalahkan orang lain. Mula mula sulit makan karena katanya di nasi ada

pecahan kaca. Akhir akhir ini kalau tidur, Iwan selalu sedia pisau dan pemukul besi

ditempat tidurnya. Keluarganya jadi sangat takut’’

‘’Hmmm, paranoid yang diderita oleh Iwan ada di tingkat 5, tingkat paling

tinggi, karena dia sudah merasa jiwanya terancam oleh seseorang yang akan berbuat

jahat kepadanya. Tingkat paling ringan adalah bila dia hanya merasa khawatir kalau

ditolak oleh masyarakat atau merasa bahwa dunia diluar rumah tidak aman baginya.

Tingkat kedua, bila seseorang merasa dirinya selalu diawasi atau orang tak dikenal

membicarakan dirinya. Tingkat ketiga bila ada orang lain yang menyebabkan

dirinya merasa terganggu. Tingkat ke-empat bila dia merasa ada yang menyadap

telpon atau emailnya.”

“Ternyata paranoid yang diderita Iwan sudah cukup parah juga. Apa yang

harus saya lakukan Pak Bambang?”

“Coba tanyakan siapa yang membuat dia merasa takut? Biasanya penderita

gangguan jiwa mengkelompokkan orang lain sebagai teman atau lawan. Bila

paranoidnya parah, dia bisa melihat orang lain sebagai setan. Ini penting karena bisa

terjadi hal hal yang tidak diinginkan. Masalahnya, bila yang dia takuti itu salah satu

anggota keluarganya, mungkin dia tidak mau berterus terang menyebutkannya.

Kalau sama mas Bowo , Iwan tidak takut?’’

‘’Alhamdulillah, kalau sama saya Iwan tidak takut. Dia percaya sekali.

Ketika saya tanyakan siapa yang membuat Iwan merasa takut, dia tidak bisa

mengidentifikasi orangnya. Dia merasa bahwa ada orang yang akan berbuat jahat

padanya”

‘’Syukur alhamdulillah kalau Iwan tidak takut kepada Pak Bowo. Berarti Pak

Bowo sudah benar dalam cara membawakan diri dan mendekati Iwan. Banyak

psikoterapi tidak berhasil, penderita mengundurkan diri, karena antara penderita dan

psikolog tidak bisa bekerja sama. Sekarang, coba kita tangani satu persatu dulu.

Pertama soal makan. Apa keluarganya, tetangga atau teman tidak ada yang

menyuruhnya makan?

103

“Iwan tetap tidak mau makan, meskipun sudah dinasehati dan disuruh oleh

orang tua, tetangga ataupun teman. Kalau dipaksa, dia semakin tidak mau makan

dan terlihat ketakutan. Ketika dipaksa makan, Iwan merasa dirinya dihukum mati

dengan memakan kaca yang tercampur dalam nasinya”

‘’Pak Bowo, Kalau dia masak sendiri, apa Iwan juga tidak mau makan ?’’

‘’Iya Pak Bambang. Waktu saya ke rumahnya, kita minta dia menggoreng

telor sendiri. Tetap saja dia tidak mau makan. Akhirnya, telornya kita bagi dua, saya

makan separuh, Iwan mau makan sisanya meskipun masih pelan pelan dan sangat

hati hati’’

‘’Syukurlah, saya kira itu sudah suatu langkah maju. Ini kan masalah

keyakinan yang melekat di otaknya, hanya bisa diubah secara pelan pelan’’

‘’Iya benar Pak Bambang. Rencananya nanti malam saya akan ajak makan di

warung. Kasihan sekali dia. Tubuhnya sampai kurus sekali karena tidak makan.

Ternyata, untuk menolong Iwan, saya harus keluar biaya’’

‘’Ha ha ha…kalau Iwan harus konsultasi ke psikiater atau psikolog pasti dia

yang harus keluar uang banyak. Oleh psikiater paling diajak ngomong selama 10

menit terus dikasih obat yang menekan fungsi otaknya agar hilang pikiran

paranoidnya. Cuman efek sampingnya juga tidak enak, Iwan akan sulit berpikir. Dia

bisa kelihatan seperti robot’’

‘’Konsultasi dengan psikolog biasanya bisa lebih lama, tapi saya kira sulit

sekali cari psikolog yang mau makan bersama Iwan. Kalau hanya konsultasi saja,

tanpa ada tindakan bersama menghadapi ketakutan yang dihadapi oleh Iwan, saya

kira terapinya juga tidak akan efektif’’

‘’Saya kira begitu, padahal kalau tidak segera ditangani, kondisi Iwan bisa

semakin parah. Semakin lama, dia akan semakin sulit membedakan antara kenyataan

dan khayalan. Insya Allah nanti Tuhan Yang Maha Kaya yang akan membalas amal

Pak Bowo di dunia dan akhirat.”

104

“Amin, terima kasih atas doanya. Keluarga Iwan miskin, untuk makan saja

susah. Semoga Tuhan mau membalasnya dengan berlipat ganda” Kata Pak Wibowo.

“Saya kira Pak Bowo sudah dijalur yang benar. Iwan sudah mulai menapaki

perjalanan panjang pemulihan jiwa’’ Kataku.

Beberapa hari kemudian, secara tidak sengaja aku ketemu Pak Wibowo di

sebuah warung makan sederhana di pinggir jalan dekat alun alun. Dia sedang makan

bersama seorang pemuda berumur 20an tahun, berbadan kurus, pendiam dan duduk

dipojokan. Wajahnya terlihat tegang dan gelisah. Aku menduga pasti anak tersebut

adalah Iwan yang menderita paranoid seperti yang diceritakannya kepadaku

beberapa waktu yang lalu.

‘’Pak Bowo, asyik benar makannya, sampai tidak menoleh kanan kiri’’

‘’Oh selamat malam Pak Bambang. Saya lagi makan sama Iwan. Pak

Bambang mau makan disini juga?’’

‘’Ah tidak, lagi jalan jalan saja, ketika lihat Pak Bowo di warung, saya

berhenti sebentar, mau ngobrol kalau Pak Bowo ada waktu’’

Pak Bowo memperkenalkan Iwan kepadaku. Dia hanya tersenyum tanpa

mengeluarkan satu katapun. Selesai mereka makan, aku mencoba mengajak ngobrol

Iwan.

‘’Mas Iwan, saya temannya Pak Bowo. Sama saya takut apa tidak?’’

‘’Ah tidak, saya tidak takut. Semua teman Pak Bowo orang baik’’

‘’Ha ha ha…iya benar, Pak Bowo orang baik. Dia paling suka mentraktir

orang.

“Iya Pak Bambang, saya sering ditraktir makan Pak Bowo” kata Iwan pelan.

“Saya dengar Iwan kalau tidur suka ketakutan ya?’’tanyaku

‘’iya Pak Bambang, ada orang jahat mau mencelakai saya’’

105

‘’Siapa orang jahat tersebut? Coba saya diberi tahu!”

Iwan hanya diam saja tidak mau menjawab pertanyaanku. Mungkin dia

memang tidak bisa mengidentifikasi orang yang ingin mencelakakannya. Namun,

bisa juga dia tidak mau menyebutkan karena orang tersebut ada dilingkungan

keluarganya sendiri. Orang tersebut biasanya ditakuti atau berpengaruh, seperti ayah

atau ibunya.

‘’Mas Iwan, kalau tidur di rumah Pak Bowo, tapi tidak boleh bawa pisau

atau senjata lainnya, mau apa tidak?’’

Iwan diam saja, dia kelihatan berpikir keras. Akhirnya Pak Wibowo yang

dari tadi hanya diam, mulai ikut menyambung pembicaraan.

‘’Ya Wan, dirumah saya kan tidak ada orang jahatnya. Kamu tidak perlu

tidur sambil bawa pisau”

Iwan hanya mengangguk.

Aku tiba tiba merasakan kebahagiaan dan rasa syukur yang sangat dalam.

Mungkin ini yang disebut sebagai ‘’helper’s high’’ didalam ilmu psikologi.

Ternyata, menolong orang tidak hanya membuat bahagia orang yang ditolong, yang

menolong juga tidak kalah rasa bahagianya.

Perjalanan pemulihan Iwan masih akan cukup panjang. Bila Iwan sudah bisa

mengatasi waham curiganya, langkah selanjutnya adalah mencarikan kegiatan yang

berarti baginya. Kegiatan yang bisa meningkatkan percaya dirinya. Kegiatan yang

akan membuat dirinya diterima oleh masyarakatnya. Lebih baik lagi bila kegiatan

tersebut bisa menghasilkan uang. Aku tahu Iwan perlu uang.

Menurut keterangan Pak Wibowo, pemicu timbulnya gangguan jiwa pada

Iwan adalah tekanan dari ibunya. Bapak dan ibunya belum lama bercerai. Dia ikut

ibunya yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Ibunya sangat mengharapkan Iwan

bisa segera bekerja dan mendapat penghasilan tetap. Ibunya ingin agar dia bisa

segera menjadi tulang punggung keluarga.

106

Masalahnya, tidak gampang mencari pekerjaan yang bisa memberikan

penghasilan yang memadai. Sebelum sakit, Iwan bekerja sebagai sopir tembak

sebuah angkutan kota milik tetangganya. Dia hanya membawa mobil bila sopir

tetapnya berhalangan. Sebenarnya, kepribadian Iwan yang pendiam dan pemalu,

lebih cocok bila bekerja sebagai sopir pribadi pada sebuah keluarga, bukan sopir

angkutan kota. Hanya, kebutuhan sopir pribadi di Purworejo sangat terbatas.

Kesulitan keuangan keluarga membuat ibunya sering marah marah. Iwan

sering dicaci-maki. Dia didesak agar segera cari pekerjaan yang bisa menghasilkan

uang untuk menutup kebutuhan keluarga. Tekanan dari ibunya dirasa sangat berat.

Hatinya sangat perasa. Sejak saat itu, Iwan mulai sering memiliki pikiran negatif.

Dia mulai sering melamun. Semakin sering dan lama melamun merupakan ladang

subur bagi tumbuhnya halusinasi dan waham. Dia mulai kesulitan membedakan

Antara khayalan dengan kenyataan.

Beberapa hari kemudian, ketika bertemu lagi, Pak Wibowo melaporkan

kalau kondisi Iwan sekarang sudah jauh lebih baik. Dia sudah bisa makan dan tidur

tanpa membawa pisau lagi. Dia juga sudah bekerja sebagai tukang cat dan kerja

serabutan lainya.

----0000----

Teknik yang dilakukan Pak Bowo dalam membantu Iwan mengatasi waham

yang dideritanya memang efektif. Bila penderita berani menabrak ‘wahamnya’,

maka tak lama kemudian, sedikit demi sedikit, waham tersebut akan menghilang.

Keberanian nya memakan nasi membuat wahamnya melemah. Teknik tersebut

sudah diterapkan sejak lama. Paling tidak hal tersebut sudah disampaikan oleh John

Thomas Perceval yang hidup antara 1803-1876. John Thomas Perceval adalah anak

kelima dari Perdana Menteri Inggris yang dibunuh pada 11 Mei 1812. John Perceval

masih berusia 9 tahun ketika ayahnya dibunuh.

John Thomas Perceval, dalam bukunya Perceval’s Narrative: A Patient’s

Account of His Psychosis 1830-1832 yang diedit oleh John Bateson dan diterbitkan

ulang di tahun 1961 menceritakan pengalamannya mengatasi waham yang

107

dideritanya. John Perceval merasa ada iblis didalam dirinya. Untuk mengusir iblis

tersebut dia sampai pernah membenturkan kepalanya ke dinding. Iblis tersebut juga

menyuruhnya melakukan gerakan yang aneh aneh dan menakut-nakuti bahwa bila

perintahnya tidak dituruti, maka John akan disambar petir. Akhirnya, pada suatu

hari, dia tidak mau menuruti perintah iblis tersebut. Dia beranikan diri untuk

menerima konsekuensi disambar petir. Memang pada saat itu, Joh Perceval merasa

ada petir yang menyambar didekat dirinya. Namun dirinya tetap hidup, tidak kurang

suatu apa. Sejak saat itu, iblis dan suara suara tersebut mulai berkurang dan akhirnya

hilang.

Hal serupa terjadi pada Barbara. Dia merasa ada iblis atau setan didalam

dirinya. Barbara merasa sangat takut dan selalu menuruti perintah iblis tersebut.

Suatu saat, ketika kesadarannya membaik, dia mulai merasa bosan menuruti

permintaan sang iblis. Akhirnya, dia nekat ganti memerintah sang iblis dengan

menyuruhnya untuk memecah piring piring yang ada dimeja makan. Ketika sang

iblis tidak bisa memecah piring piring tersebut, kepercayaan Barbara terhadap

kekuatan sang iblis menjadi berkurang. Dampaknya, sedikit demi sedikit iblis dan

suara suara yang memerintahnya mulai berkurang dan akhirnya menghilang.

Barbara kembali hidup normal seperti sedia kala.

----0000----

Siang hari itu di Tirto Jiwo aku lihat Pak Amir sedang memberikan kursus

kepada 5 keluarga penderita gangguan jiwa. Peserta kursus ada 12 orang,

kebanyakan perempuan. Kulihat mereka tekun mendengarkan penjelasannya. Dia

memang guru yang baik, bisa membawakan topik dengan sangat menarik dan

interaktif. Topik yang dibahas saat itu adalah tentang waham atau delusi.

“Waham atau delusi adalah adalah suatu keyakinan kokoh yang salah dan

tidak sesuai dengan fakta. Keyakinan tersebut dipegang dengan kokoh. Waham

tersebut mungkin aneh , bisa juga tidak aneh. Contoh waham yang aneh, misalnya:

merasa dirinya bisa membunuh 100.000 orang dengan kekuatan pikirannya, atau

yakin bahwa cermin, TV, dan komputer mengawasi dan memata-matainya, bisa juga

mempunyai keyakinan bahwa ada iblis ditubuhnya yang mengontrol otaknya dan

108

menyuruhnya mengontrol dunia. Contoh waham yang tidak aneh, misalnya:

pemerintah Amerika sedang mencari-cari dirinya. Waham ini tidak aneh, karena bisa

saja ada teroris internasional yang dikejar oleh pihak Amerika. Dari segi tema

waham, maka ada beberapa jenis waham yang sering ditemui, misalnya: waham

kebesaran, waham curiga, waham bahwa ada pikiran orang lain yang dimasukkan

kedalam otaknya, waham bahwa banyak orang jatuh cinta padanya, waham bahwa

radio atau TV sedang membicarakan dirinya” kata Pak Amir menjelaskan pengertian

waham.

“Pak Amir, anak saya merasa dirinya nabi yang diperintah Allah untuk

memperbaiki Indonesia yang sudah rusak akibat kebanyakan korupsi” kata Bu

Marliana menimpali penjelasan Pak Amir.

“Anak saya yang laki laki punya keyakinan bahwa bekas pacarnya adalah

seorang malaikat yang selalu melindunginya. Dia tahu hal itu karena anak saya

sekarang yakin sekali bahwa dirinya punya kekuatan dahsyat. Dia yakin bahwa

dirinya merupakan manusia super.” jelas Pak Sukirman.

Ruangan menjadi hidup karena hampir semua peserta kursus ingin berbagi

pengalaman tentang waham yang dipunyai oleh anggota keluarganya yang

menderita gangguan jiwa.

“OK, kita lanjutkan. Biasanya waham muncul pelan pelan dan tersembunyi.

Tidak muncul tiba tiba. Sebelum muncul waham, biasanya mereka mendengar suara

suara atau halusinasi suara. Semakin lama waham tersebut semakin dipercaya,

semakin memenuhi pemikirannya dan semakin aneh. Sejak itu, Kebanyakan

penderita mulai merasa aneh, ketakutan, atau merasa berada dalam bahaya.

Kebanyakan mereka bisa mengidentifikasi hal hal yang memulai timbulnya waham

tersebut, namun sebagian penderita tidak bisa mengetahui kejadian apa yang

menyebabkan mulai timbulnya waham tersebut. Ada seorang penderita

menceritakan kronologi munculnya waham kepada saya. Dia bercerita bahwa

pekerjaannya di kantor adalah mengolah data kependudukan. Dia mulai percaya

bahwa ada intel dari Amerika yang ingin membunuhnya agar dia tidak bisa

109

melaporkan data kependudukan tersebut.” Pak Amir menjelaskan proses tumbuhnya

waham.

“Meskipun waham tersebut tumbuh pelan pelan, hampir semua penderita

tidak ada yang curiga atau mempertanyakan wahamnya tersebut. Mereka sangat

percaya sejak awal dan tidak menaruh kecurigaan. Sepertinya waham tersebut

masuk akal. Bahkan mereka sering mengaitkan fakta yang ada dengan wahamnya

tersebut. Misalnya, ketika badannya terasa lelah, seorang penderita mengaitkan

kelelahan tersebut terjadi skarena ada polisi yang ingin menangkapnya. Mereka

tidak menemukan fakta yang menolak atau bertentangan dengan waham yang

dipunyainya. Hal ini bisa terjadi karena mereka sering mempunyai pola pikir kurang

sehat, yaitu menyaring informasi dengan menolak informasi yang tidak mendukung

waham tersebut. Mereka hanya menerima dan memanfaatkan informasi yang

mendukung wahamnya dan mengabaikan informasi yang bertentangan” Pak Amir

melanjutkan penjelasannya.

“Waham tersebut bisa hilang atau berkurang. Seperti ketika tumbuh,

hilangnya waham juga pelan pelan atau bertahap. Pada masa transisi, penderita

kadang percaya kadang kurang percaya. Bisa juga dia merasa sebagian tubuhnya

percaya dan sebagian lagi mulai tidak percaya terhadap waham tersebut, atau bolak-

balik antara percaya dengan tidak percaya. Ketika waham yang dulunya sangat

dipercayainya mulai berkurang, hal tersebut juga bisa menimbulkan kecemasan atau

ketakutan. Seseorang yang mulanya merasa dirinya jendral atau presiden, kemudian

mulai menyadari bahwa dirinya bukan siapa siapa, maka jelas hal tersebut

menimbulkan kesedihan, ketakutan atau kecemasan.”

“Beberapa fakta menarik dari penderita gangguan jiwa yang telah berhasil

mengatasi wahamnya. Pertama, hanya sebagian kecil penderita gangguan jiwa

melaporkan bahwa wahamnya hilang hanya dengan minum obat. Artinya, untuk

sebagian besar penderita, minum obat saja tidak cukup. Kedua, sebagian besar

penderita melaporkan bahwa waham mulai berkurang karena campuran dari minum

obat dan psikoterapi atau dukungan psikososial dari keluarga, teman, atau pasien

lain. Ketiga, sebagian penderita menyebutkan bahwa lingkungan yang nyaman,

110

aman dan bersahabat sangat membantu pemulihan. Itulah sebabnya sangat sulit bagi

gelandangan untuk bisa pulih, hidup mereka penuh ketidak pastian. Keempat,

sebagian besar penderita melaporkan bahwa faktor psikososial sangat penting dalam

proses pemulihan penderita. Kelima, sebagian kecil bisa mengendalikan wahamnya

dengan usahanya sendiri tanpa dukungan psikososial dari siapapun.”

“Hasil temuan riset tadi menjadi salah satu landasan pendirian Tirto Jiwo.

Kami ingin menyadarkan masyarakat akan perlunya dukungan psikososial bagi

penderita gangguan jiwa dan mengembangkan psikologi klinis di Indonesia. Kami

berangkat dari apa yang bisa kita lakukan, yaitu mendirikan Sekolah Pemulihan Jiwa

Tirto Jiwo”

“Maaf Pak Amir, apa yang bapak sampaikan itu bisa dipercaya? Apa

pernyataan tersebut hasil dari riset ilmiah?” Tanya Bu Fathonah yang dari tadi diam

saja.

“Saya hanya ingin penegasan saja Pak Amir” kata Bu Fathonah

melanjutkan.

“Lho, Bu Fathonah, saya tidak mengarang atau hanya cuap cuap saja. Ibu

bisa baca sendiri artikel yang saya rujuk, yaitu First-person accounts of delusions

oleh Biba Stanton dan Prof. Anthony J. David dari Institute of Psychiatry, London.

Artikel tersebut diterbitkan di Psychiatric Bulletin 2000, 24: 333-336 yang bisa

diakses secara gratis di DOI: 10.1192/pb.24.9.33 “ kata Pak Amir menjawab

keraguan Bu Fathonah dengan meyakinkan. Pak Amir tidak terlihat terganggu

dengan pertanyaan Bu Fathonah.

“Terima kasih Pak Amir atas penjelasannya. Saya tahu sekarang kenapa

penderita gangguan jiwa di Indonesia sering kambuh dan jarang bisa pulih. Setelah

keluar dari RSJ, mereka hanya ketemu dokter sebulan sekali atau dua kali selama 5-

10 menit. Padahal keluarga tidak diberi pelajaran bagaimana caranya membantu

pemulihan gangguan jiwa” kata Bu Fathonah agak emosi.

“Tenang Bu Fathonah, jangan emosi. Kita tidak boleh menyalahkan dokter

atau orang lain. Kemarahan atau kekecewaan kita terhadap situasi saat ini harus kita

111

ubah menjadi sebuah semangat untuk membantu penderita gangguan jiwa. Kita yang

sudah lebih dulu tahu, tidak boleh terus diam saja. Kita harus terapkan dan sebarkan

ilmu tentang pemulihan gangguan jiwa ini ke sebanyak mungkin orang” kata Pak

Sukirman.

Suasana kelas menjadi gaduh. Semua saling berebut bicara mendukung ide

Pak Sukirman dan mengajukan berbagai usul langkah kedepan.

“OK OK, semua tenang. Kita akhiri kursus kita tentang waham sampai disini

dulu. Pihak Tirto Jiwo akan sangat senang bila bapak dan ibu semua mau

menerapkan dan menyebar luaskan ilmu yang sudah didapat. Ingat, salah satu pahala

yang mengalir terus meskipun kita sudah mati adalah pahala dari ilmu yang

bermanfaat. Saya usulkan agar bapak dan ibu tetap tinggal disini sebentar. Silahkan

lanjutkan diskusi tentang langkah ke depan diruangan ini. Hasilnya agar

disampaikan agar kami tahu apa yang dilakukan untuk mendukung usaha mulia dari

bapak ibu sekalian. Bila selesai rapat, silahkan minum teh dan kue yang sudah

tersedia di ruang sebelah” kata Pak Amir mengakhiri kursusnya hari itu.

----0000----

Ketika bertemu dengan dr Bintari, adik kelasku yang menjadi dokter

spesialis jiwa, aku meminta pendapatnya tentang teknik membantu penderita

gangguan jiwa mengatasi halusinasi dan wahamnya.

“Pak Bambang, menurut pengalaman saya, membantu penderita gangguan

jiwa yang mengalami waham tidak cukup hanya dilakukan dengan menggoyahkan

keyakinannya saja. Biasanya penderita yang mengalami gangguan jiwa mempunyai

rasa percaya diri rendah, cemas, gelisah, dan sulit tidur . Penderita juga cenderung

mempunyai pola pikir yang memandang negatif dirinya dan tidak mempercayai

orang lain. Oleh karena itu, terlebih dahulu perlu dilakukan tindakan untuk

meningkatkan harga diri atau self-esteem-nya, mengurangi kecemasan dan

kegelisahannya, mengatasi gangguan tidurnya dan secara bertahap memperbaiki

pola pikirnya. Bila hal hal mendasar ini tidak dilakukan, biasanya penderita tidak

mau atau menolak semua tindakan yang akan menggoyahkan kepercayaannya

112

terhadap waham yang dipunyainya.” Kata dr Bintari, menjelaskan strategi yang

dilakukannya untuk mengatasi halusinasi.

“Berbagai tulisan ilmiah yang saya baca menyatakan bahwa waham biasanya

muncul karena ada faktor pemicunya. Pada diri Iwan, apakah tekanan dari ibunya

untuk segera punya penghasilan tetap atau ditolak cintanya yang jadi pemicu

gangguan jiwanya. Faktor pemicu tersebut perlu dikenali sehingga bisa dipecahkan

akar permasalahannya.” kata dr Bintari melanjutkan.

Sore itu, dr Bintari memberiku ‘kuliah’ tentang pendekatan psikologis untuk

mengatasi halusinasi secara gratis. Mungkin ini terjadi karena aku juga sering

menggratiskan bantuanku kepada keluarga penderita gangguan jiwa.

“Dalam perjalanan terbentuknya waham, ada berbagai fakta atau kejadian

yang dipakai penderita untuk mendukung kebenaran waham tersebut. Pengenalan

fakta dan kejadian pendukung tersebut perlu digali. Penderita waham curiga sering

memakai fakta ada orang tak dikenal yang lewat di depan rumahnya untuk

mendukung keyakinannya bahwa ada orang jahat yang akan menangkap dan

membunuhnya. Oleh karena itu, mereka perlu diajak dan dibimbing agar mau

mengembangkan penilaian atau interpretasi yang berbeda terhadap kejadian atau

fakta tersebut. Orang tak dikenal yang lewat tersebut, misalnya, karena bertempat

tinggal di jalan yang sama dan bukan karena mengawasi penderita. Berbagai fakta

untuk menggoyahkan keyakinan penderita perlu dikembangkan dan disampaikan

pelan pelan”Lanjut dr Bintari.

Menurut dr Bintari, sebuah waham juga sering tersusun dari beberapa

keyakinan. Aku setuju dengan pernyataannya.

“Saya ingat ada 2 keyakinan pada waham yang dimiliki oleh anak Pak

Sukirman. Keyakinan pertama, bekas pacarnya merupakan malaikat yang selalu

melindunginya. Keyakinan kedua bahwa dirinya adalah manusia super yang

mempunyai kekuatan dahsyat” Kataku

“Agar halusinasinya hilang, keyakinan tersebut perlu dilemahkan satu

persatu, dimulai dari keyakinan yang paling lemah terlebih dahulu.” Kata dr Bintari.

113

“Pak Bambang, selain melalui pendekatan kognitif, waham juga bisa

dikurangi dengan pendekatan perilaku, misalnya, dengan memberi kesibukan positif

kepada penderita sehingga perhatiannya terhadap waham berkurang. Penderita perlu

dibuat sibuk di siang hari, sehingga berangkat ke tempat tidur ketika benar benar

sudah mengantuk. Waham dan halusinasi sering muncul ketika penderita setengah

mengantuk”

“Seringkali, waham tidak akan hilang hanya dengan satu metode. Berbagai

teknik dan strategi untuk menghilangkan waham tersebut perlu diterapkan secara

sistematis” lanjut dr Bintari.

Waktu sudah menjelang jam pulang kantor ketika aku minta pamit kepada dr

Bintari. Aku merasa bahwa membantu penderita gangguan jiwa mengatasi

wahamnya adalah suatu tugas yang menarik dan menantang. Aku percaya, selama

aku membantu penderita mengatasi wahamnya, aku tidak akan pikun. Otakku akan

selalu terpakai. Orang pikun kebanyakan karena otaknya dibiarkan menganggur.

Selain kemampuan analitis, kemampuan berkomunikasi yang baik juga sangat

penting. Semua tantangan itu, benar benar membuat hidupku dimasa pensiun

menjadi lebih hidup.

114

Gadis manis berkumis

iang hari itu, panas terik menyengat kota Purworejo. Di suasana tidak

nyaman tersebut, aku sengaja pergi menemui Pak Prianto di toko

swalayannya. Kuperkirakan, ditengah sengatan terik panas begini, tokonya

sepi dari pembeli sehingga akan ada waktu bagikut mengobrol denganya.

Ternyata dugaanku keliru. Ketika sampai, di tempat parkir di depan tokonya

kulihat beberapa buah sepeda motor. Aku bersyukur bahwa bisnis temanku bisa

berjalan dengan lancar. Ternyata rezekinya lapang. Mungkin ini salah satu berkah

karena Pak Prianto banyak menolong orang, khusunya para penderita gangguan

jiwa.

Di dalam ruangan tokonya, kulihat Pak Prianto sedang asyik melayani

pembeli dibantu oleh anak perempuannya. Ketika melihat kedatangan Prianto

menyerahkan pekerjaannya kepada anak perempuannya.

“Selamat siang Pak Pri, mengganggu apa tidak nih ?’’

‘’Selamat siang, tidak apa apa. Kita senang kedatangan tamu. Tamu kan

membawa rezeki. Mari kita ngobrol di halaman belakang saja ‘’

‘’Tokonya maju juga rupanya ? saya pikir kalau datang siang siang begini

akan sepi’’

‘’Alhamdulillah, Pak Bambang, ada saja pembeli datang. Syukur banget,

mungkin ini berkah saya menolong Farida’’

‘’Farida siapa?’’

‘’Farida anak Pak Hasan, Pak Bambang pasti tidak kenal karena dia tinggal

di Banyu Urip’’

Sambil menikmati pemandangan asri dari sawah yang hampir panen, kami

ngobrol soal Farida yang terkena depresi.

S

115

“Farida waktu itu duduk di kelas 1 SMA. Teman-temannya mengejek dia

karena mempunyai kumis. Sebenarnya tidak terlalu kelihatan, tapi namanya anak

anak, hal tersebut dijadikan ejekan. Sejak saat itu, Farida ngambek, tidak mau

sekolah. Kerjanya hanya tidur tiduran di kamarnya. Diam melamun di kamar.Tidak

mau makan. Badannya jadi kurus sekali. Mandi juga jarang’’

“Pak Pri, waktu itu sempat bertanya bagaimana reaksi orang tuanya tahu

anaknya tidak masuk sekolah karena diejek temannya?’’

“Awalnya ketika tidak mau masuk 1-2 hari dibiarkan saja. Mereka pikir

anaknya hanya mengambek biasa karena dari kecil memang suka ngambek. Setelah

tidak masuk selama 3 hari baru dimarah-marahi, tetapi tetap saja Farida tidak mau

ke sekolah”

‘’Apakah teman-temannya tidak ada yang datang menengok dan

mengajaknya pergi ke sekolah?’’

‘’Itulah, Farida dari kecil memang tidak pandai bergaul. Dia tidak punya

sahabat di sekolah’’

‘’Apa bapak atau ibunya tidak mengantarkannya ke sekolah selama beberapa

hari, atau meminta tolong gurunya agar Farida jangan diejek ?’’

‘’Sekolahnya agak jauh, waktu itu bersamaan dengan masa panen sehingga

kedua orang tuanya sibuk. Ketika mereka ada waktu untuk mengantar anaknya,

Farida hampir sebulan tidak masuk sekolah. Dia tidak mau lagi sekolah’’

‘’Setelah tidak mau sekolah, bagaimana reaksi orang tuanya?’’

“Awalnya hampir tiap hari Farida dimarah, di caci maki. Dia dikatakan

sebagai anak tidak berguna, dan hal hal negatif lainnya. Lama lama orang tuanya

bosan, akhirnya didiamkan saja. Dia jarang ditegur’’

‘’Apakah Farida mempunyai pikiran atau keinginan untuk bunuh diri?

Kadang kadang penderita gangguan jiwa mempunyai pikiran untuk mengakhiri

hidupnya saja’’

116

‘’Kelihatannya tidak Pak Bambang, tapi nanti kalau saya kesana lagi akan

saya tanyakan”

‘’Pak Pri, Bagaimana dengan buang airnya?’’

‘’Farida buang air ke kamar mandi. Kesadarannya masih baik. Dia tidak

mengalami halusinasi, waham atau gangguan kesadaran. Hanya saja memang dia

jarang mau mandi. Ketika saya minta agar anaknya dibawa ke RS agar bisa dirawat

inap, kedua orang tua tidak mengijinkannya. Mereka beralasan kasihan kalau Farida

harus dirawat di rumah sakit. Padahal dalam kenyataannya, mungkin mereka tidak

mau bersusah payah’’

“Pak Prianto, kita jangan terlalu menyalahkan orang tuanya dulu. Kita perlu

gali informasi lebih dalam terlebih dahulu sebelum menilai dan mengambil

tindakan. Kita bisa keliru kalau tidak hati hati”

“Ya Pak Bambang. Terima kasih atas kritikannya. Kesan saya memang

orang tuanya kurang peduli dengan kondisi anaknya”

“Pak Prianto, kelihatannya Farida orangnya sensitif, tidak tahan menghadapi

ejekan atau cacian dari lingkungannya. Masing masing orang kan berbeda-beda. Ada

orang yang gampang masuk angin, kehujanan sedikit saja sudah masuk angina. Ada

yang kehujanan seharian tetap sehat. Begitu pula dengan jiwa, ada yang kena stress

sedikit, karena diejek atau dicaci, sudah langsung jatuh sakit jiwanya.

“Kelihatannya begitu Pak Bambang, Farida memang berbeda dengan kakak

atau adik-adiknya. Dia memang sangat sensitif. Dilain pihak, keluarganya

memperlakukannya semua anaknya dengan perlakuan yang sama. Kakak dan adik-

adiknya tahan menghadapi lingkungan seperti itu, tapi Farida tidak tahan”

Keadaan Farida mengingatkanku akan sebuah artikel tentang depresi.

Menurut psikolog Albert Bandura, kepribadian penderita depresi memang

cenderung berbeda dengan orang kebanyakan. Mereka cenderung mempunyai

konsep diri yang salah, yaitu selalu melihat bahwa suatu kejadian buruk yang terjadi

diakibatkan oleh kesalahan dirinya sendiri. Sedangkan suatu keberhasilan selalu

117

disebabkan oleh faktor diluar dirinya. Pola pikir seperti ini tentu saja menyebabkan

mereka gampang terkena depresi. Mereka juga sering menetapkan sasaran terlalu

tinggi sehingga sering gagal. Seringnya gagal menyebabkan orang tersebut mudah

menderita depresi. Mereka juga sering secara otomatis mengabaikan informasi

positif dan melebih-lebihkan informasi yang negatif.

‘’Pak Bambang, kalau begitu, apa yang harus kita lakukan untuk membantu

Farida?”

“Saya belum punya cuckup informasi untuk bisa menentukan langkah

selanjutnya. Saya tidak tahu apakah Farida merespon bila disuruh bangun oleh orang

tuanya? Bila dia diam saja ketika diminta bangun oleh orang tuanya, maka

strateginya adalah dengan mengubah lingkungannya. Orang tuanya perlu

menunjukkan kepada anaknya bahwa mereka sudah berubah. Mereka tidak akan

memperlakukannya seperti dulu lagi. Keluarganya perlu menciptakan lingkungan

dimana bila Farida bangun maka dia akan mendapat umpan balik positif. Kita

ajarkan kepada orang tuanya agar mulai menyapa dan berperilaku lembut dan

membesarkan hatinya.Kamarnya juga dibuat terang dan bersih. Adanya perubahan

fisik dan perilaku kedua orang tua terhadapnya diharapkan akan mampu membuat

Farida untuk mau bangun.’’kataku

Pak Prianto terlihat diam. Sepertinya dia mencoba mencerna omonganku.

“Bila Farida merespon perintah atau ajakan dari orang tuanya, maka yang

perlu dilakukan adalah dengan sedikit demi sedikit mengajaknya untuk tidak tiduran

terus di kamar. Dia perlu keluar kamar dan mendapat udara segar. Ini akan

mengurangi depresinya” kataku melanjutkan.

“Seperti lingkaran setan, Pak Bambang. Orang yang depresi merasa malas

dan tidak mampu bangun dari tempat tidur. Dilain pihak, dengan tetap di tempat

tidur, depresinya menjadi semakin parah”

“Betul sekali Pak Pri. Selain itu, bila Farida bisa diajak komunikasi, coba

tanyakan apa yang dia pikirkan dan rasakan setiap bangun pagi. Apa pemicu

118

depresinya. Dari situ, nanti bisa kita analisa pola pikirnya dan lakukan kegiatan

untuk lebih menyehatkan pola pikirnya”

‘’Saya seratus persen setuju Pak Pri. Setelah Farida mulai merespon karena

telah ada perubahan lingkungannya, kemudian baru dia yang kita garap. Kita

perkuat jiwanya agar lebih tahan menghadapi stres ‘’

“Bila perubahan pada lingkungan fisik dan interaksi sosial tersebut tidak

mampu membangkitkan respon darinya, mungkin kita perlu ajak Farida ke

puskesmas terdekat untuk memperbaiki fisiknya. Kalau dari cerita Pak Pri tadi, saya

punya kesan kalau anak tersebut kurang gizi. Kita perlu sehatkan juga tubuhnya.

Tubuh yang sehat dan kuat akan lebih memudahkan jiwanya untuk bangkit. Bila

intervensi tersebut tetap tidak membawa hasil, itu berarti dia memerlukan bantuan

obat anti depresi”

Diskusi sore itu berlangsung cukup lama. Pak Prianto bertanya banyak hal

tentang aspek psikologis dari depresi. Aku juga sempat berdiskusi soal teori ABC

dan terapi perilaku kognisi kepada Pak Prianto. Kita sepakat untuk menerapkan

pendekatan perilaku dan terapi kognisi untuk membantu Farida agar bisa segera

bangkit dari depresinya.

Pak Prianto berjanji akan segera berkunjung kerumah orang tua Farida dan

menjelaskan hasil diskusi tersebut kepada mereka. Aku kemudian pamit pulang.

Aku merasa kini hari hariku mulai terasa lebih hidup. Ada gairah, harapan

dan perasaan bahwa hidup sebagai pensiunan tetap berguna bagi orang banyak.

Khususnya, bagi sekelompok masyarakat yang selama ini terlupakan, para penderita

gangguan jiwa.

Waktu sudah mendekati jam 3 sore ketika kami berhenti mengobrol. Toko

milik Pak Prianto masih terus didatangi pembeli. Sepertinya, kebaikan yang

dilakukan oleh Pak Prianto terhadap Farida dengan tanpa minta imbalan

serupiahpun, telah dibayar berlipat-ganda oleh Tuhan lewat jalan yang lain. Toko

Pak Prianto selalu ramai didatangi pembeli, meskipun letaknya kurang strategis,

barang-barng jualannya juga kalah lengkap dibandingkan dengan toko swalayan di

119

dekatnya. Mungkin Tuhan telah mengirim malaikat yang tidak kelihatan yang

menggiring para pembeli datang ke toko Pak Prianto tersebut.

----0000----

Sore itu, Tirto Jiwo kedatangan Bu Mardiati dari Kebumen. Bu Mardiati

seorang ibu rumah tangga yang ketika remaja pernah menderita depresi. Dia datang

ke Tirto Jiwo untuk menjajaki kemungkinan bergabung secara paruh waktu di Tirto

Jiwo. Dia merasa bahwa pengalamannya sembuh dari depresi akan bisa membantu

penderita depresi untuk bangkit kembali dari sakitnya. Suami Bu Mardiati seorang

pengusaha yang sukses sehingga dia tidak memperdulikan soal imbalan dari Tirto

Jiwo. Dia ingin kerja sosial, tanpa mengharapkan imbalan dari Tirto Jiwo.

“Selamat sore Bu Mardiati, wah senang sekali ibu bersedia maimpir ke Tirto

Jiwo” kataku

“Selamat sore Pak Bambang. Senang sekali bisa mampir ke Tirto Jiwo.

Sudah agak lama saya mendengar dan tertarik dengan Tirto Jiwo. Saya ingin

bergabung agar bisa membantu penderita depresi. Mungkin Pak Bambang sudah

pernah tahu kalau waktu remaja dulu saya juga pernah terkena depresi.” Kata Bu

Mardiati.

“Ya saya memang pernah dengar, cuman lupa siapa yang memberi tahu.

Maklum umur sudah kepala enam Bu Mar, mulai sering lupa”

“Ah, umur 60 tahun belum tua Pak”

“Bu Mar, apa yang dirasakan waktu itu? Sekarang di internet sudah ada

simulasi tentang halusinasi dan waham, jadi saya bisa merasakan bagaimana rasanya

kalau saya yang mempunyai halusinasi dan waham. Tapi, kalau depresi kan soal

rasa, jadi film susah mengambarkan, apa yang sebenarnya dirasakan oleh seorang

penderita depresi”

“Wah tidak karuan rasanya, Pak Bambang. Waktu itu ada perasaan sedih,

tidak berguna, dan tidak punya harapan. Badan terasa lemas, tidak ada tenaga,

120

maunya tidur saja tapi tidak bisa tidur benar benar. Saya tidak punya keinginan,

melakukan suatu kegiatan kecil saja sudah berat sekali rasanya”

“Apa yang ada dipikiran Bu Mar waktu itu?

“Yang ada dipikiran waktu itu, saya ini anak yang gagal, tidak berguna, tidak

punya masa depan. Saya benci kepada diri sendiri.” Kata Bu Mardiati

Ketika melihatku hanya diam, asyik mendengarkan ceritanya, Bu Mardiati

melanjutkan kata katanya.

“Setahun sebelumnya bapak saya meninggal. Sedih sekali rasanya. Saya

termasuk anak yang sangat dekat dengan bapak. Meninggalnya bapak merupakan

pukulan bagi saya dan membuat saya tidak bisa mengkuti pelajaran disekolah.

Akhirnya tidak naik kelas. Hal itu membuat saya semakin depresi. Saya tidak mau

lagi pergi ke sekolah” lanjut Bu Mardiati.

“Bagaimana reaksi orang tua Bu Mardiati waktu itu?” tanyaku

“Ibu kan juga sedih karena baru saja kehilangan suaminya. Beliau kurang

memperhatikan saya waktu itu. Setelah saya tidak naik kelas, ibu marah marah. Hal

tersebut membuat saya makin depresi. Saya merasa sebagai anak yang gagal, tidak

berguna dan tidak punya masa depan. Pikiran saya dipenuhi dengan hal hal negatif.

Semua kejadian selalu saya pandang dari sisi negatifnya. Akhirnya, saya benar benar

terbenam dalam depresi” Kata Bu Mardiati.

“Bagaimana ceritanya sampai Bu Mardiati bisa sembuh dari depresi?”

“Kakak perempuan saya yang tinggal di Jakarta datang dan tinggal dirumah

ibu selama 3 bulan. Kakak saya tiap hari mengajak bicara, mengajak melakukan

kegiatan dan memberi semangat serta mendorong saya untuk bangkit”

“Dari pengalaman itu, apa yang bisa diambil pelajaran?” tanyaku

“Menurut pengalaman, depresi menyebabkan seseorang kehilangan tenaga,

harapan dan semangat, sehingga mereka biasanya tidak mampu menolong dirinya

sendiri. Mereka perlu pertolongan orang lain. Adanya dukungan dan pertolongan

121

dari orang orang dekatnya merupakan salah satu kunci dalam pemulihan penderita

depresi. Sebaliknya, perasaan terisolasi dan kesepian akan memperburuk depresi

tersebut. Oleh karena itu, penderita depresi perlu menyadari bahwa penyakit

depresinya tersebut yang menyebabkan dirinya malas, letih, tak bertenaga. Mereka

perlu memaksakan diri untuk bergerak mencari dukungan atau bantuan” jawab Bu

Mardiati. Dia kembali diam sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan kata katanya.

“Selama berinteraksi dengan kakak, saya mulai menyadari bahwa

sebenarnya ada yang salah pada pola pikir saya. Saya cenderung melihat sesuatu

kejadian dari sisi negatifnya saja, juga sering takut kalau hal buruk akan terjadi,

gampang sedih dan putus asa. Pola pikir yang kurang sehat tersebut perlu juga

diluruskan agar dimasa mendatang tidak akan terkena depresi lagi” jelas Bu

Mardiati.

‘Menurut Bu Mardiati, nasehat praktis apa yang perlu disampaikan kepada

penderita depresi ?’ tanyaku lagi

‘Saya kira, langkah pertama yang harus mereka lakukan adalah jangan

mengurung diri di kamar, cari teman atau pertolongan dari dokter. Kelihatannya

gampang tapi sebenarnya berat untuk penderita depresi karena pada dasarnya

penderita depresi merasa tidak punya tenaga dan kemauan untuk bangkit dari tempat

tidur” kata Bu Mardiati.

Setelah berhenti sejenak, Bu Mardiati melanjutkan sarannya.

“Langkah kedua adalah meminta mereka memperhatikan apa yang ada

dipkiran mereka masing masing. Minta mereka mengamati, bila perlu minta ditulis,

apa saja yang terlintas dipikiran mereka. Kumpulan catatan pikiran tersebut akan

dapat menunjukkan adanya pola pikir yang kurang sehat. Langkah ketiga, kita perlu

mengajari mereka untuk mengarahkan pikirannya ke hal hal yang positif’’ Lanjut Bu

Mardiati

‘’Saya setuju sekali dengan pendapat Bu Mardiati. Apa yang ada dipikiran

kita akan mempengaruhi perasaan dan tingkah laku kita. Pikiran negatif membuat

sedih dan tidak bertenaga. Pikiran positif akan mendorong kita untuk berani

122

bangkit.” Kataku memberi tekanan terhadap apa yang disampaikan oleh Bu

Mardiati.

Ketika aku terdiam, Bu Mardiati kemudian melanjutkan kata katanya

“Langkah keempat, kita perlu mengajak penderita agar merawat tubuh

mereka. Dalam tubuh yang sehat akan ada jiwa yang sehat. Bila mulai terasa

depresi, minta agar mereka segera bangun dan mandi dengan air hangat, melakukan

olah raga ringan, seperti jalan jalan ke taman, makan yang sehat yang banyak sayur

dan buah-buahan. Kita perlu juga menasehati mereka agar mau mengurangi minum

kopi, mengurangi tidur larut malam.’’

‘’Langkah kelima’’ kata Bu Mariati melanjutkan : ‘’ Ajari mereka agar mau

bersahabat dengan diri sendiri. Artinya, jangan terlalu banyak menuntut kepada diri

sendiri. Terimalah keadaan diri kita apa adanya. Jangan terlalu suka mencela diri,

seperti bodoh, malas, atau tidak berguna. Langkah keenam, ajari penderita depresi

untuk berdoa dan memperdalam agama. Dengan menyadari bahwa ada Allah Yang

Maha Kuasa dan berdoa kepadanya, maka jiwa akan mempunyai daya tahan

terhadap segala goncangan atau stress. Dengan memperbanyak doa, sholat dan

menolong orang yang sedang kesusahan akan bisa menjauhkan diri kita dari

depresi’ kata Bu Mardiati panjang lebar.

‘’Bu Mar, ilmunya tentang depresi kelihatannya tidak kalah dengan psikolog.

Belajar dari mana ?

‘’Pak Bambang, sejak saya mempunyai keinginan untuk bangkit dari depresi,

saya mulai belajar tentang depresi. Saya tahu bahwa kalau saya tidak merubah diri,

suatu saat penyakit depresi tersebut akan datang lagi. Sebagian besar saya pelajari

dari berbagai artikel ilmiah yang ada di internet. Kebetulan sejak SMP, saya senang

bahasa Inggris, sehingga artikel dalam bahasa Inggris bisa saya baca.’’

‘’Wah bagus kalau begitu. Seharusnya setiap orang meniru Bu Mar. Bila

tahu penyakit yang dideritanya, segera mempelajari seluk beluk penyakitnya

tersebut. Jangan hanya pasrah saja pada dokternya. Teman saya di New Delhi sudah

lama menderita hipertensi, tapi dia tidak mau mempelajari soal hipertensi. Ketika

123

minum salah satu obat hipertensi, dia sering batuk di malam hari. Dia tidak tahu

kalau batuk tersebut adalah salah satu efek samping obat yang diminumnya’’

‘Iya Pak Bambang, orang Indonesia memang masih bersikap pasif. Tapi bisa

dimaklumi juga. Di indonesia, kalau pasien mengajak diskusi soal penyakitnya

kepada dokter yang merawatnya, dokter sering kurang berkenan.’’ Jawab Bu

Mardiati

‘Baiklah, saya pastikan kalau dilaksanakan, nasehat Bu Mar tersebut akan

bisa efektif melawan depresi. Terima kasih sekali Bu Mardiati atas berbagi

pengalaman dan ilmunya. Kalau ada waktu, kita akan ajak Bu Mar menemui orang

tua Farida dan mengajarinya cara membantu pemulihan anaknya dari depresi’

‘Dengan senang hati Pak Bambang. Saya ingin membantu anak anak yang

menderita depresi. Jangan sampai mereka tidak mendapat dukungan psikologis yang

dibutuhkannya” kata Bu Mardiati.

124

Rencana kerja studi

i halaman belakang gedung Tirto Jiwo, di dalam pondok kecil tanpa

dinding, kulihat Pak Prianto sedang berdiskusi dengan 7 orang murid.

Pak Susanto dan anaknya Marsudi, Bu Jamilah dengan anaknya

Halimah, dan Pak Marwan, Bu Marwan dan anaknya, Kirana. Hari ini mereka

datang ke Tirto Jiwo untuk belajar membuat rencana kerja pemulihan agar anak

anak mereka terhindar dari kekambuhan. Marsudi saat ini berusia 20 tahun,

mahasiswa sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang. Baru sekitar 3 minggu dia

keluar dari rumah sakit jiwa karena menderita bipolar. Kirana, karyawati swasta

menderita depresi dan Halimah, juga karyawati swasta menderita skizofrenia.

Rencana Kerja Pemulihan (RKP) atau Wellness Recovery Action Plan

(WRAP) merupakan suatu kerangka kerja yang dikembangkan pertama kali oleh Dr

Mary Ellen Copeland beserta teman temannya sesama a penderita gangguan jiwa

yang ingin mengupayakan pemulihan dirinya dari gangguan jiwa. Mereka

menerapkan kerangka kerja tersebut dan berhasil pulih. Berbagai penelitian telah

menunjukkan bahwa Rencana Kerja Pemulihan merupakan suatu pendekatan yang

efektif dalam mengatasi gejala gangguan jiwa yang mengganggu maupun pola

perilaku yang tidak sehat. RKP merupakan suatu alat atau metode dimana seorang

penderita gangguan jiwa akan bisa mengontrol penyakit yang dideritanya.

Menyusun Rencana Kerja Pemulihan (RKP) pemulihan biasanya memang

memerlukan waktu. RKP bisa dikerjakan seorang diri, tapi sebaiknya disusun

bersama dengan satu atau dua eorang yang mereka percayai. RKP akan menjadi

pedoman dan alat bantu penderita belajar mengenal diri sendiri, mengenal apa yang

bisa membantu dan yang mengganggu proses pemulihan, serta menjadi pemandu

sehingga seseorang bisa semakin berkembang kematangan jiwanya.

“Bapak dan ibu sekalian, hari ini kita bersama-sama akan membuat rencana

kerja pemulihan untuk mas Marsudi, mbak Kirana dan mbak Halimah. Tujuan

utamanya ada dua. Pertama, untuk mencegah kekambuhan dan kedua untuk

mengembangkan lebih lanjut agar anak anak kita tersebut bisa kembali hidup

D

125

produktif di masyarakat. Sesi pertama ini kita batasi dulu pada program pencegahan

kekambuhan. Bagaimana, setuju?” tanyaku kepada mereka.

“Setuju sekali Pak Bambang” jawab Pak Susanto. Aku lihat peserta lain juga

mengangguk setuju.

“Kita sekarang buka halaman 3 buku program kerja pemulihan perorangan.

Langkah pertama adalah mengenali dan mencatat keadaan mas Marsudi, mbak

Halimah dan mbak Kirana ketika dalam keadaan baik atau nyaman.” Kataku

“Menurut Mas Marsudi, bagaimana keadaan Mas Marsudi ketika lagi sehat

dan nyaman rasanya?” tanyaku pada Mas Marsudi.

“Saya suka bergaul, banyak ngobrol dengan kawan. Saya bukan orang yang

pendiam” jawab Marsudi.

“Anak saya ini memang banyak temannya. Biasa sibuk, ikut banyak kegiatan

di kampus maupun di kampungnya” tambah Pak Marsudi.

“Bagaimana dengan keadaan mbak Kirana dan mbak Halimah ketika sedang

nyaman dan sehat?” tanyaku.

“Halimah agak pendiam. Dia memang tidak pintar bergaul, temannya di

rumah maupun ditempat kerja tidak banyak. Dia hobi berkebun, merawat tanaman.

Dia juga masak dan menjahit. Kegiatan keputrian begitu.” Kata Bu Jamilah.

“Anak saya Kirana juga pendiam, kesukaannya bermain musik dan

menyanyi. Kirana juga suka membaca novel. ” Kata Pak Marwan.

Halimah dan Kirana hanya diam saja.

“Baik,silahkan mas Marsudi, mbak Halimah dan mbak Kirana, tuliskan

disitu ya!. Masing masing orang kan berbeda-beda, ada yang pendiam ada yang suka

gaul. Kondisi ketika sedang baik ini sebagai pegangan sasaran program pemulihan.

Kita semua perlu terus berupaya agar kondisi seperti itu tercapai dan dijaga. Artinya,

kalau sudah tercapai kondisi normal, jangan terus ngawur karena bisa saja akan

memburuk lagi” kataku

126

“Pak Bambang, jadi walau sudah normal, Marsudi masih bisa kambuh lagi?”

Tanya Pak Marsudi.

“Iya, bisa!. Seperti orang sakit diabetes. Walau sekarang sudah terkontrol

gula darahnya, bila kemudian yang bersangkutan makan seenaknya sendiri dan tidak

mau minum obat, gula darahnya bisa naik lagi” kataku menjelaskan.

Semuanya diam, sepertinya sedang mencerna. Kelihatannya, semua yang

kusampaikan merupakan hal baru bagi mereka.

“Baik, kita lanjutkan. Langkah kedua adalah mengidentifikasi kegiatan apa

dan suasana seperti apa yang bisa membuat nyaman dan sehat tersebut “

“Mohon dijelaskan dan diberi contoh Pak Bambang, saya takut keliru” kata

Pak Marwan.

“Sebenarnya banyak sekali, saya akan beri contoh beberapa saja yang sering

disampaikan oleh para murid yang saya jumpai. Misalnya: berbicara atau curhat

kepada kawan yang dipercaya, saudara, atau konsultasi ke petugas pemulihan jiwa;

melakukan olah raga atau latihan; mengerjakan hobi seperti bermain musik,

menggambar, menyanyi atau menari, memasak masakan kesukaan; mengerjakan

pekerjaan rumah yang gampang hingga selesai, misalnya menata almari pakaian;

membuat daftar tentang sifat sifat baik yang dipunyai, membuat daftar prestasi atau

hal hal kecil yang pernah dicapai, seperti mendapat nilai 8 dalam ulangan

matematika ketika di sekolah; dan masih banyak lainnya. Beberapa contoh suasana

yang mendukung dan membuat jiwa sehat, misalnya: suasana yang tenang, tidak

gaduh, tidak banyak tamu” aktaku mencoba memberi penjelasan.

“Musik membuat saya nyaman, hati jadi tenteram, tidak gelisah. Saya juga

merasa enak ketika membaca novel.” kata Kirana.

“Saya inginnya bisa mengobrol dengan kawan. Bila diam saja dirumah, tidak

ada orang lain yang bisa diajak ngobrol, saya merasa bosan. Olah raga juga

membuat enak hati dan perasaan” Kata Marsudi.

127

“Kalau mbak Halimah bagaimana?” tanyaku pada Halimah yang masih

belum menjawab pertanyaanku tadi.

“Saya suka memasak. Saya merasa senang kalau lagi memasak. Kalau lagi

merasa cemas, dengan memasak rasa cemas jadi hilang.” Jawab Halimah.

‘’Baik, tolong dicacat dan dimasukkan kedalam buku program pemulihan

perorangan ya! Di halaman 5 ada daftar cukup lengkap tentang suasana dan kegiatan

kegiatan yang membuat nyaman dan mendukung pemulihan. Nanti dibaca, apakah

masih ada kegiatan yang perlu dilakukan agar jiwa kita masing masing tetap sehat

dan bertambah sehat” kataku melanjutkan.

“Saya juga merasa nyaman kalau lagi mengaji atau membaca Al Quran.

Sudah agak lama tidak saya lakukan.” Kata Kirana.

“Baik, masing masing coba buat daftar kegiatan yang perlu dilakukan setiap

hari, seminggu sekali atau dua kali, sebulan sekali, dan setahun sekali. Kegiatan

setiap hari yang membuat kita nyaman, misalnya: membaca, mendengarkan musik,

menelpon kawan, berolah raga. Kegiatan seminggu sekali dua kali, misalnya:

mengunjungi saudara satu kota, memasak masakan kesukaan, berenang, mengikuti

pengajian. Kegiatan sebulan sekali, misalnya: mengunjungi saudara yang tinggal di

luar kota, mengunjungi bangsal perawatan kelas 3 di rumah sakit pemerintah.

Kegiatan setahun sekali, misalnya: berlibur selama beberapa hari ketempat saudara

yang agak jauh”

“Coba buat daftar sebisanya dulu. Nanti malam atau besok bisa dilengkapi

daftar tersebut. Nah, berdasar daftar kegiatan tadi, kemudian kita buat jadwalnya.

Misalnya: kita ingin setiap hari membaca Al Quran setiap pagi setelah sholat subuh,

mandi dengan air hangat, dan di sore hari mendengarkan musik. Begitu pula dengan

kegiatan mingguan, bulanan dan tahunan, kita buat jadwalnya. Saya kira sebaiknya

nanti bapak dan ibu bisa membantu anaknya masing masing untuk membuat jadwal

kegiatan tersebut”

128

“Baik Pak Bambang, saya kira ini ide sederhana tapi bagus sekali. Tidak

pernah terpikirkan sebelumnya. Maaf Pak, apa Pak Bambang tahu siapa yang

menciptakan metode ini? Tanya Pak Susianto.

“Saya juga kagum dengan metode sederhana tapi kelihatan jelas manfaatnya

ini. Metode ini diciptakan oleh Dr Mary Ellen Copeland. Beliau pernah menderita

gangguan jiwa bipolar. Ibunya juga pernah dirawat di institusi kesehatan jiwa

selama 8 tahun, antara umur 37 hingga 45 tahun karena gangguan jiwa bipolar yang

dideritanya. Kalau ada yang berminat, silahkan baca buku atau artikelnya di internet.

Ketik saja di google Wellness Recovery Action Plan (WRAP) nanti akan muncul

informasi yang diperlukan. Banyak artikel gratis yang mengupas metode ini”kataku

mencoba menjawab keingin tahuan Pak Susianto.

“Ok, kita lanjutkan pada halaman berikutnya, yaitu membuat daftar kegiatan

yang kira kira akan membuat kita semakin sehat dan tenteram, namun selama ini

belum kita lakukan. Misalnya: mbak Halimah jarang olah raga, mungkin nanti ingin

setiap Minggu pagi jalan keliling alun alun Purworejo ditemani ibunya, atau ingin

menjahit setiap sore.” kataku memberi contoh.

“Pak Bambang, sudah jelas sekali. Apa tugas kita selanjutnya?” Tanya Bu

Marwan.

“Membuat daftar kegiatan harian, mingguan dan bulanan, serta tahunan

yang selama ini belum dilakukan dan kita perkirakan akan membuat anak anak kita

semakin sehat. Contohnya, kalau selama ini Halimah mengaji sebulan sekali, dan

mulai sekarang mau membaca Al Quran 15 menit setiap pagi. Coba bapak ibu dan

anak ankku bisa mengenali kegiatan yang seperti itu dan tuliskan dalam buku RKP

juga” Kataku.

Aku merasa pertemuanku pagi itu sangat produktif. Mereka bisa mengikuti

apa yang aku sampaikan. Sebenarnya, bukan karena penjelasanku yang bagus, tapi

karena memang topiknya sendiri sederhana dan mudah dicerna. Padahal, menurut

pengamatanku, metode ini telah terbukti efektif mencegah kekambuhan diberbagai

belahan dunia, tidak hanya di Indonesia. Aku kagum pada Dr Mary Ellen Copeland,

129

meskipun ketika muda didiagnosa dengan gangguan jiwa bipolar, dia tetap bisa

kuliah S3 dan menjadi doktor dibidang psikologi klinis.

“Baik kalau sudah selesai, sekarang kita lanjutkan dengan mengenali tanda

tanda awal bila akan kambuh. Ini sebagai peringatan dini. Bila muncul tanda tanda

akan kambuh, bapak dan ibu semuanya, khususnya Mas Marsudi, mbak Halimah

dan mbak Kirana, harus segera mengambil tindakan untuk memperbaiki keadaan

agar tidak menjadi semakin memburuk. Tanda atau gejala akan kambuh tersebut kita

manfaatkan sebagai peringatan dini sehingga kita sesegera mungkin bertindak untuk

mencegah jangan sampai keterusan”

“Pak Bambang, mohon dijelaskan lebih rinci agar kita tidak salah tangkap”

kata Pak Susanto

“Baik, bapak, ibu dan anak anakku sekalian. Ada beberapa peringatan dini

yang sering kita jumpai. Kita bisa kita kelompokkan gejala awal tersebut kedalam 3

kelompok. Kelompok pertama, terjadi perubahan perubahan perasaan, seperti

munculnya rasa: cemas, takut, mudah tersinggung dan menjadi agresif, merasa

sangat sedih atau tidak bahagia, merasa terancam atau tidak aman, dan merasa

curiga. Kelompok kedua berupa perubahan pikiran, seperti misalnya: kesulitan

konsentrasi atau kesulitan berfikir, sulit membuat keputusan, banyak pikiran atau

bingung, berpikiran negatif atau pesimis, mendengan suara suara dari dalam dirinya

sendiri atau halusinasi suara, berpikir untuk menyakiti diri sendiri, atau terlalu

banyak memikirkan kejadian masa lalu. Kelompok ketiga adalah perubahan

perilaku, seperti contohnya: menyendiri atau tidak ingin pergi keluar rumah, nafsu

makan naik atau turun, kebanyakan tidur atau susah tidur, minum alkohol atau

narkoba, gampang marah,menangis atau tertawa, diam saja karena tidak bertenaga,

malas mandi atau membersihkan lingkungan” jawabku.

Peringatan dini adalah tanda awal yang menunjukkan kesehatan seorang

penderita gangguan jiwa mungkin akan mulai memburuk. Tanda-tanda tersebut

biasanya mulai muncul sebelum gejala utama mulai berdampak pada kehidupan.

Tujuan mengidentifikasi tanda-tanda peringatan dini adalah untuk membantu

130

penderita dan keluarganya mengambil tindakan dini sehingga bisa terhindar dari

kambuhnya gangguan jiwa.

Tindakan mengidentifikasi tanda-tanda peringatan dini dapat membuat

beberapa orang menjadi gelisah. Selain itu, kadang seseorang penderita tidak mau

mengingat hal hal buruk atau tidak menyenangkan yang mereka alami ketika sedang

mengalami krisis gangguan jiwa. Padahal, mengenal tanda tanda sebelum benar

benar kambuh, dapat memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk

mengendalikan dan mencegah kambuhnya gangguan jiwa. Dengan mengidentifikasi

tanda-tanda peringatan dini, maka penderita mempunyai kesempatan dan

kemampuan untuk menghindari munculnya gangguan jiwa.

Untuk bisa mengidentifikasi tanda-tanda peringatan dini, penderita dan

keluarganya harus mengingat kembali ke saat penderita mulai mengalami gangguan

jiwa. Bagaimana mulainya? Bagaimana prosesnya atau gejalanya berkembang? Apa

yang mereka alami? Pikiran yang mereka miliki saat itu? Adakah perubahan

perilaku ? Apakah hal hal tersebut terjadi dalam urutan tertentu? Informasi tersebut

bisa juga didapatkan dari orang orang dekat disekitar penderita yang melihat

perubahan pada diri kita.

“Coba Pak Susianto dan Mas Marsudi ingat ingat, sebelum sakit kemarin,

apa ada tanda tanda awal yang seperti saya sampaikan tadi”

“2-3 minggu sebelum sakit, saya mulai merasa banyak keinginan, banyak

ide, tidak merasa capai” kata Marsudi

“Saya amati, sebelum sakit, Marsudi kelihatan gelisah, tidak bisa diam, tidur

cuma sebentar” tambah Pak Susianto.

“Apakah Mas Marsudi saat itu tidak merasa jengkel bila teman teman tidak

bisa mengikuti atau mendukung ide Mas Marsudi? Tanyaku

“Ya memang, saat itu saya sering jengkel. Teman teman saya sepertinya

malas dan tidak mau mendukung ide saya yang saya rasa sangat jenius”

131

“Anak saya, yang biasanya hemat, sebelum sakit jadi boros, tidak bisa

pegang uang” Pak Susianto menambahkan.

“Baik, tolong semua dicatat ya mas Marsudi. Sambil jalan nanti kita lengkapi

kalau ada tanda tanda awal penting yang terlewat” kataku

“Bagaimana dengan mbak Halimah dan mbak Kirana ?” tanyaku kepada

mereka berdua, meskipun mataku juga juga memandang orang tua mereka.

‘Saya merasa sedih, gelisah dan takut. Saya sulit tidur. Saya merasa ada

orang yang akan berbuat jahat kepada saya. Beberapa minggu kemudian saya mulai

mendengar suara suara di kepala saya” jawab Kirana pelan.

“Saya merasa lemas, tidak bertenaga, inginnya tiduran saja. Saya merasa

sedih sekali. Saya melihat masa depan saya gelap dan tidak ada harapan.” Jawab

Halimah.

Orang tua Halimah dan Kirana terlihat diam. Mungkin mereka kurang

memperhatikan anaknya ketika itu. Mereka kelihatan merasa bersalah. Bila mereka

tahu bahwa itu gejala awal, pastilah mereka akan segera bertindak.

‘Kita lanjutkan ke topik berikutnya. Dulu, sebelum sakit, ketika gejala gejala

awal itu mulai muncul, apa yang telah dilakukan untuk mengurangi atau mengatasi

masalah tersebut?” tanyaku.

“Dulu saya selalu tidur teratur. Jam 10 saya sudah ditempat tidur dan pagi

sekitar jam 5 saya sudah bangun. Beberapa saat sebelum sakit, saya tidak merasa

ngantuk atau capai. Saya kurang tidur waktu itu. Saya punya banyak keinginan.

Semuanya ingin saya kerjakan” kata Marsudi

“Apa Mas Marsudi tidak berusaha tidur awal seperti biasa ? Atau

mengurangi kegiatan, misalnya?’

‘Tidak, saya pikir, saya tidak apa apa. Saya merasa sangat bersemangat

waktu itu. Jadi saya memang tidak melakukan apa apa’ kata Marsudi

132

‘Saya dan istri juga kebetulan lagi sibuk waktu itu, kami kurang

memperhatikan Marsudi. Saya pikir anak saya cuman lagi sangat bersemangat.

Marsudi selalu aktif dan banyak kegiatan. Saya tidak menyadari kalau waktu itu

lebih dari biasa, sampai tiba tiba semuanya tidak terkontrol’ Pak Susianto

menambahkan.

‘Ketika saya mulai merasa takut, saya coba mengajak bicara teman saya, tapi

teman saya tersebut tidak mau mendengarkan. Dia tidak percaya kalau ada orang

yang akan berbuat jahat kepada saya. Dulu, kalau saya punya perasaan cemas, saya

memang selalu curhat dengan seorang sahabat. Tapi kini, sehabat saya tersebut

sudah pindah ke kota lain” jawab Kirana.

“Biasanya, kalau kelihatan agak gelisah atau cemas, kami selalu mengajak

ngobrol Kartika, kemudian kita ajak olah raga jalan pagi. Kebetulan waktu itu,

sedang musim hujan. Sering hujan di pagi hari, kita tidak mengajaknya jalan pagi”

tambah Bu Marwan.

“Saya senang memasak. Bila pikiran dan perasaan tidak enak, saya biasanya

saya alihkan dengan memasak.” Kata Halimah.

“Berdasar pengalaman kami menyusun program pemulihan,bisa saya

sebutkan bahwa ada beberapa alat bantu atau tool box yang sering dipakai oleh

penderita gangguan jiwa untuk mengurangi gejala awal, misalnya : bicara dengan

seseorang yang mendukung ; tidur 8 jam sehari, jangan berangkat tidur lebih jam 10

malam ; mengurangi kegiatan; melakukan kegiatan ringan diluar rumah; menghadiri

pertemuan sesama penderita atau support group ; menemui dokter atau

psikoterapist; melakukan hal hal yang menyenangkan atau kreatif; melakukan

kegiatan santai; olah raga ringan; menulis buku harian; berbicara dengan orang

dekat; mengurangi minum kopi, gula atau alkohol. Masing masing orang punya

beberapa alat bantu yang mereka laksanakan atau pakai bila gejala awal muncul.

Berbagai jenis alat bantu tersebut bisa dibaca di buku Progranm Pemulihan

Perorangan di halaman 8. Saya kira mas Marsudi, mbak Halimah dan mbak Kirana

bisa mengenali dan mempelajari berbagai alat bantu yang kira kira cocok. Sekarang

133

kotak tentang alat bantu kita isi sebisanya dulu. Nanti dilengkapi belakangan kalau

kalian sudah bisa menemukan alat bantu yang cocok untuk masing masing” jelasku

Pada penderita gangguan jiwa awal, memang tidak banyak yang tahu soal

alat bantu dan gejala awal ini. Bagi mereka, pengenalan gejala awal dan identifikasi

tindakan untuk menekan gejala awal benar benar sesuatu yang baru buat mereka.

‘’Baik, kalau begitu, sudah merasa capai atau masih mau dilanjutkan ?’

tanyaku

‘Kita lanjutkan saja Pak’ kata Marsudi. Aku lihat Halimah dan Kirana juga

mengangguk.

‘Kita masuk ke bab tentang faktor pemicu kekambuhan. Saya beri gambaran

dulu tentang hal hal yang biasa memicu kekambuhan. Biasanya ada dua faktor

utama pemicu terjadinya kekambuhan. Faktor pertama adalah faktor kerentanan,

seperti : berhenti minum obat, meminum alkohol atau memakai narkoba, kurang

tidur, kurangnya dukungan sosial, kesehatan fisik yang rendah.’kataku menjelaskan

faktor pemicu kekambuhan.

‘Maksud Pak Bambang dengan kurangnya dukungan sosial itu seperti apa?’

Tanya pak Susianto. Rupanya, sebagai bapak dia ingin memberikan dukungan

secara optimal bagi pemulihan anaknya.

‘Kurangnya perhatian dari orang tua, saudara atau teman. Jangan sampai

setelah pulang dari rumah sakit jiwa terus dikucilkan, dibiarkan saja sendirian

dikamar tanpa kegiatan. Menurut berbagai penelitian, penderita gangguan jiwa yang

kesepian, tidak ada teman atau tidak punya jaringan pendukung, akan gampang

kambuh.’ Jelasku.

Aku diam sejenak. Setelah tidak ada pertanyaan lagi, kulanjutkan

penjelasanku.

‘Faktor kedua adalah faktor yang menimbulkan stress atau tekanan jiwa,

misalnya: mendengar berita atau kejadian yang menakutkan atau menyedihkan ;

pindah sekolah atau pindah pekerjaan ; merasa tertekan ; adanya konflik atau

134

ketegangan didalam keluarga ; terlalu lama menyendiri, menarik diri dari pergaulan

dan menyendiri di kamar dalam waktu lama ; diejek, disalah-salahkan, dihina atau

diganggu ; mengalami masalah keuangan ; dipermalukan dengan dimaki-maki,

dibentak bentak ; mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan ; sedang

mempunyai masalah yang tidak bisa diatasi sendiri ; hidup bersama dengan

seseorang yang memperlakukan dirinya dengan buruk ; bekerja terlalu keras atau

belajar terlalu berlebihan ; ulang tahun kejadian buruk, misalnya ulang tahun

kematian anak, istri atau suami, ulang tahun kecelakaan mobil.’ Kataku

‘Sebelum sakit kemarin, saya dimarahin atasan. Saya dikatakan sebagai

bodoh dan malas. Atasan saya bilang, dia sangat menyesal sudah memperkerjakan

saya. Kejadian itu benar benar membuat saya shock. Saya merasa sebagai orang

tidak berguna, masa depan saya gelap, tidak ada lagi harapan” jelas Halimah.

“Baik, nanti kita bahas bagaimana caranya kita mengatasi munculnya faktor

pemicu. Tapi sebelumnya, kita perlu mengidentifikasi faktor pemicu pada mbak

Kirana dan mas Marsudi agar kita bisa bahas bersama” kataku.

“Saya tidak tahu apa yang menjadi pemicu sakit saya. Saya sudah agak lama

sering mendengar suara suara. Saya pikir semua orang juga sering mendengar suara

suara yang seperti saya dengar, cuman mereka tidak mau cerita. Makin lama suara

suara itu makin keras. Saya juga mulai merasa tidak nyaman bila melihat cermin dan

layar monitor TV. Saya yakin cermin dan TV itu dipakai polisi untuk mengawasi

saya. Saya semakin lama semakin tidak bisa kerja dengan baik. Ketika menjelang

lebaran, pekerjaan di kantor banyak sekali. Saya tidak bisa mengendalikan diri

waktu itu” kata Kirana.

“Waktu itu mendekati ujian, saya dan teman teman belajar bersama. Teman

teman minum obat yang bisa membuat tidak mengantuk. Saya juga ikut-ikutan.

Setelah itu, saya mulai tidak bisa tidur. Pikiran saya seperti berpacu” jawab Marsudi.

“Baik, kita sudah bisa mengenali faktor pemicu gangguan jiwa. Masing

masing anak biasanya memang memiliki faktor pemicu yang berbeda. Tugas kita

bersama sekarang adalah bagaimana mengelola faktor pemicu tersebut” kataku.

135

“Begini Pak Bambang, saya kebetulan kan konsultan manajemen. Saya tahu

bagaimana caranya mengelola faktor pencetus tersebut dilihat dari manajemen

resiko.” Kata Pak Susianto.

“Silahkan Pak Susianto jelaskan, nanti kita diskusikan bagaimana

penerapannya dalam program pemulihan gangguan jiwa ini” kataku sambil

mempersilahkan Pak Susianto untuk menjelaskan metode mengelola faktor pemicu

gangguan jiwa dengan pendekatan manajemen resiko.

“Baik Pak Bambang. Pada dasarnya, ada 4 strategi mengatasi faktor pemicu

gangguan jiwa. Strategi pertama adalah menghindari faktor pemicu tersebut.

Misalnya, pada kasus anak saya, strateginya adalah menghindari obat yang bisa

menghilangkan kantuk tersebut. Untuk menahan kantuk, minum saja kopi. Atau

kalau memang sudah benar benar mengantuk, ya tidur saja. Sepertinya, strategi

menghindar ini bisa diterapkan untuk semua faktor pemicu. Tapi kan, kita tidak bisa

memilih untuk tidak bekerja. Buka usaha sendiri juga bisa dimarah-marahin oleh

pembeli atau pelanggan” kata Pak Susianto.

“Bagaimana caranya agar tidak dimarahi atasan? Anak saya kan tidak bisa

menghindari atasan” kata Bu Jamilah menyela pembicaraan.

“Betul sekali Bu Jamilah. Kita memang tidak bisa menghindari atasan, tapi

kita bisa mencegah agar tidak dimarahi atasan. Contohnya, agar tidak perlu belajar

sampai larut malam, belajar dilakukan setiap hari. Jangan belajar ditumpuk kalau

sudah dekat ujian.” Kata Pak Susianto.

“Oh ya betul juga ya. Saya akan diskusikan dengan Halimah kenapa

atasannya sampai marah sama dia. Dari situ, saya akan cari cara untuk mencegah

agar tidak dimarahi atasan. Bila penyebab dimarahi atasan karena anak saya kurang

rajin, ya gampang mencegahnya, kedepannya kerja saja lebih rajin.” Kata Bu

Halimah sambil mengangguk-angguk.

“Jadi strategi kedua adalah mencegah munculnya faktor pemicu. Bu Halimah

sudah memberikan sebuah contoh penerapan strategi pencegahan tersebut. Saya

teruskan ke strategi berikutnya. Strategi ketiga adalah meningkatkan kemampuan

136

mengelola stress. Munculnya pemicu akan menimbulkan stress atau tekanan jiwa.

Kalau kita bisa mengelola stress dengan baik, stress tersebut tidak akan sampai

memicu kambuhnya gangguan jiwa. Teknik mengelola stress antara lain dengan

melakukan relaksasi sehingga dampak negatif dari stress bisa diperkecil. Strategi

keempat dengan memperkuat daya tahan kejiwaan, yaitu misalnya dengan

mengembangkan pola hidup sehat, seperti hidup teratur, banyak bergaul,

memperkuat keimanan kepada tuhan” kata Pak Susianto.

“Terima kasih Pak Susianto. Saya kira kita belum bisa menyusun strategi

menghadapi faktor pemicu saat ini. Menyusun rencana kerja menghadapi pemicu

memerlukan waktu dan pemikiran tersendiri. Silahkan bapak dan ibu mendiskusikan

dengan putra atau putrinya bagaimana caranya menghadapi faktor pemicu tersebut.

Bila sudah tersusun, kemudian tuliskan didalam buku Program Pemulihan

Perorangan” kataku.

“Ada pertanyaan? Bila sudah cukup jelas dan tidak ada lagi pertanyaan, kita

akhiri sesi ini sekarang. Kita ketemu lagi setelah makan siang untuk melanjutkan

proses penyusunan RKP. Makan siang kali ini dimasak oleh mas Agus. Dulu mas

Agus seorang juru masak di sebuah restaurant terkenal, tapi diberhentikan karena

menderita gangguan jiwa. Mas Agus sekarang lagi sekolah di Tirto Jiwo agar bisa

bekerja kembali sebagai juru masak” kataku mengakhiri sesi pagi itu.

----0000----

Sore itu, aku ngobrol berbagi ilmu tentang alat bantu pemulihan gangguan

jiwa. Alat bantu pemulihan merupakan sekumpulan kegiatan atau suasana yang

mendukung seseorang sehingga bisa pulih kembali dan hidup mandiri di

masyarakat. Alat alat bantu tersebut biasanya berupa kegiatan yang mendukung

terciptanya beberapa keadaan yang positif, antara lain seperti: jaringan kekerabatan

atau persaudaraan yang kuat; kondisi kehidupan yang tenang; lingkungan yang aman

dan teratur; ditemukannya jalan hidup yang membuat hidupnya berarti atau

memberikan manfaat bagi sesama; mempunyai pemahaman yang baik atas apa yang

sudah terjadi; mempunyai tubuh yang sehat; mempunyai harapan yang realistik bagi

masa depannya.

137

Aku sampaikan kepada Pak Wibowo bahwa jarang seseorang bisa

mempunyai semua komponen yang mendukung pemulihan jiwanya tersebut.

Semakin banyak komponen pendukung dipunyai seorang penderita gangguan jiwa,

semakin cepat proses pemulihannya dan semakin jarang kambuh dari penyakitnya.

“Pak Bambang, kalau menurut pengamatan saya, penderita gangguan jiwa

yang berasal dari keluarga berkecukupan, mempunyai pekerjaan, berpendidikan

tinggi ketika mulai jatuh sakit, kehidupan ekonomi yang mapan, jaringan

kekerabatan yang baik, akan cenderung lebih mudah pulih dari gangguan jiwanya”

Kata Pak Wibowo.

“Betul sekali pengamatan Pak Wibowo. Mereka mempunyai sumber daya

yang diperlukan untuk bisa pulih. Palin sulit bila yang bersangkutan miskin, tidak

punya sanak saudara, tidak punya pekerjaan, pendidikan rendah dan suka minum

minuman keras” kataku.

Setelah diam sejenak, kemudian kulanjutkan penjelasanku tentang alat bantu

tersebut dengan beberapa contohnya.

“Jenis kegiatan dimasing-masing komponen biasanya berbeda antara satu

orang dengan orang lainnya. Dina, putri Pak Broto, bercerita kepada saya tentang

alat bantu yang dia terapkan sehingga bisa membuatnya pulih dan kembali diterima

bekerja di sebuah perusahaan percetakan. Dina bilang kalau dia rajin berolah raga

dan menerapka diet. Dia tidak mau makan sembarangan yang dulu membuatnya

kelebihan berat badan dan menjadi ejekan teman-temannya. Di malam hari sebelum

tidur, Dina rutin mendengarkan musik yang mebuatnya merasa santai. Dia

mengkoleksi banyak rekaman lagu lagu lama yang cocok dengan seleranya dan

membuatnya relaks. Kini Dina juga rajin mendatangi pengajian ibu ibu di kompleks

perumahannya yang diadakan seminggu sekali. Dia merasa bahwa dengan

mempelajari agama dia kini lebih mengenal arti dan tujuan hidup yang baik. Sebulan

sekali, bersama-sama temannya sesama satu majlis taklim, Dina melakukan kerja

sosial seperti mengunjungi panti asuhan atau panti jompo. Kadang, mereka

mendatangi bangsal kelas 3 rumah sakit. Kegiatan kegiatan tersebut membuatnya

merasa hidupnya lebih berarti.” Kataku kepada Pak Wibowo.

138

“Pak Bambang, Lisa, seorang ibu rumah tangga yang menderita bipolar

bercerita kepada saya bahwa ada beberapa alat bantu yang selalu dia pakai untuk

menjaganya dari kambuh. Menurut Bu Lisa, alat bantu pertamanya adalah

menelusuri kumpulan lagu lagu yang dipunyainya dan memilih lagu lagu yang

dikelompokkannya kedalam lagu pemulihan. Lagu lagu tersebut adalah lagu lagu

gembira, lagu berirama rock. Lagu lagu tersebut selalu dia dengarkan ketika ada

tanda tanda awal bahwa perasaannya mulai terganggu” kata Pak Wibowo

‘’Alat bantu lainnya apa ?’’ tanyaku pada Pak Wibowo

‘’ kata Bu Lisa, alat bantu yang kedua adalah dengan membuat daftar hal hal

tentang dirinya yang dia sukai. Daftar tersebut utamanya berisi hal hal yang terkait

dengan sifat dan kepribadiannya yang dia sukai. Beberapa sifat tentang dirinya yang

dia sukai antara lain adalah: gemar menolong teman, setiap hari menata rapi

kamarnya, bisa menjadi pendengar yang baik ketika ada teman yang ‘curhat’.

Menurut Lisa, daftar tersebut sangat penting karena penderita gangguan bipolar

seperti dirinya sering merasa dirinya kurang berharga atau tidak layak mendapat

perhatian atau kasih saying dari orang lain. Dengan membaca daftar sifat atau

kepribadian yang baik tentang diri sendiri tersebut k, maka rasa rendah diri dan rasa

tidak berharga bisa dikurangi.”

Setelah diam sejenak, Pak Wibowo melanjutkan ceritanya.

“Alat bantu ketiga yang dipakai Bu Lisa adalah menonton film yang lucu

atau menggembirakan. Selain itu, dia juga secara disiplin melakukan beberapa

kegiatan yang sering dimanfaatkan oleh banyak orang sebagai alat bantu, seperti:

tidur yang cukup, makan yang sehat, olah raga secara teratur, dan kontrol ke dokter

sesuai jadwal yang telah ditetapkan.” Lanjut Pak Wibowo.

Dalam obrolansantai namun produktif dengan Pak Wibowo tersebut, aku

sampaikan sebuah kisah yang disampaikan oleh dr. Prachanda Serchan, seorang

psikiater kepala rumah sakit jiwa di Kathmandu, Nepal. Dia bercerita kepada saya

bahwa ada seorang pasiennya yang mengisi hari-harinya dengan memelihara seekor

kambing. Bahkan ketika kontrol berobat ke dr Serchan, kambing tersebut juga

139

pernah dibawanya. Karena sesuatu alasan, keluarga penderita tersebut harus pindah

ke Kathmandu. Kambing kesayangan anaknya tidak bisa dibawa karena tidak ada

halaman di rumahnya yang baru. Beberapa lama kemudian dr Serchan mendengar

kabar bahwa penderita tersebut meninggal dunia akibat bunuh diri. Ternyata

kepindahannya ke Kathmandu telah memisahkan pasien tersebut dengan alat bantu

utamanya, memelihara kambing.

Aku masih ingat terus cerita tersebut sampai sekarang. Cerita itu ternyata

sangat membekas dihatiku.

----0000----

Rencana Kerja Pemulihan tidak hanya berhenti pada bagaimana mencegah

agar tidak kambuh lagi, tapi juga membuat rencana pengembangan diri agar bisa

kembali hidup produktif di masyarakat. Besok sore, aku sudah berjanji untuk

ketemu dengan Martin, seorang bapak dengan 1 anak yang ditinggal pergi istrinya

karena menderita skizofrenia. Dia sudah berhasil mengendalikan waham dan

halusinasinya. Kini dia ingin segera bisa kembali bekerja. Hanya, dia masih

kesulitan bekerja dan bergaul karena belum bisa mengekspresikan emosinya dengan

benar. Orang melihatnya sebagai orang yang tidak berperasaan karena wajahnya

selalu terlihat datar. Dia ingin membuat rencana kerja pemulihan, belajar

mengekspresikan emosinya, hingga nantinya bisa kembali kerja dan kembali

berumah tangga.

Dokter yang merawatnya sudah memastikan bahwa kurangnya kemampuan

Martin dalam mengekspresikan emosinya bukan disebabkan oleh efek samping obat

yang diminumnya. Aku tahu memang ada beberapa jenis obat antidepresi yang bisa

mengakibatkan efek samping obat berupa emosi yang datar, seperti yang dialami

oleh Martin.

Dalam pergaulan dan berinteraksi dengan orang lain, kemampuan

mengekspresikan diri dengan kata kata maupun bahasa tubuh sangat penting. Orang

lain mencoba mengerti pikiran dan perasaan lawan bicaranya dari kata kata yang

diucapkan dan ekspresi wajahnya. Penderita skizofrenia sering mengalami

140

penurunan dalam kemampuan mengekspresikan dirinya lewat kata kata maupun

lewat bahasa tubuhnya.

Ketika seseorang bermain kartu, seperti domino atau kartu remi, orang

tersebut harus bisa menyembunyikan perasaannya dan apa yang ada dipikirannya.

Lawan bermainnya akan selalu berusaha membaca kartu apa yang ada ditangan

lawannya dengan melihat dari raut wajahnya, gerak geriknya dan dari kata kata yang

diucapkannya. Seorang pemain kartu yang baik harus bisa menahan emosinya dan

menyembunyikan perasaannya.

Penderita gangguan jiwa juga melakukan hal yang sama. Mereka menekan

dan mematikan emosinya, karena alasan yang berbeda. Mereka mematikan

emosinya sebagai tanggapan atas perlakuan yang diterima dari lingkungannya.

Penderita gangguan jiwa selama bertahun tahun sering mengalami berbagai hal yang

menyakitikan hatinya, seperti tidak ada orang lain yang mau mendengarkan

omongannya, tidak ada orang mau memahami tingkah lakunya, orang lain selalu

mengabaikan keinginannya, orang lain mengharapkan kemauannya dituruti, orang

lain tidak ada yang menghargai dirinya sebagai manusia, dan merasa bahwa ada

orang lain yang secara rahasia mengawasi dirinya. Bila mengalami kejadian seperti

itu selama bertahun-tahun, kebanyakan orang tidak akan bisa bertahan hidup. Kalau

ingin bertahan hidup, mereka mematikan emosinya. Menekan emosi merupakan

cara penderita gangguan bertahan hidup menghadapi lingkungan yang tidak

bersahabat. Bagi dokter dan orang lain, penderita gangguan jiwa yang mematikan

emosinya merupakan masalah. Namun, bagi mereka, mematikan emosi adalah suatu

solusi, pemecahan masalah yang mereka hadapi agar bisa bertahan hidup.

Aku ingat keluhan beberapa muridku atas perlakuan yang diterimanya.

“Ibuku selalu memotong pembicaraanku. Dia tidak mau mendengarkan

omonganku. Aku harus menuruti apa maunya. Akhirnya aku hanya duduk diam

merokok dikursi seharian, tidak melakukan kegiatan apa apa selama bertahun-tahun”

cerita Hamdan, salah seorang murid Tirto Jiwo kepadaku.

141

“Ayahku membuat suatu keputusan yang tidak adil, aku protes dan marah.

Ayahku mengkaitkan kemarahanku dengan penyakit skizofrenia yang kuderita. Dia

langsung memasukkanku ke RSJ” Sabar menceritakan pengalamannya sebagai

seseorang yang selalu disalah pahami oleh orang lain kepadaku.

Dani, seorang penderita skizofrenia juga bercerita bahwa atasannya selalu

menganggap rendah dirinya. Bila diajak bicara atasannya hanya menjawab ‘ya atau

tidak’. Atasannya tersebut kurang bersahabat dan terlihat tidak menghargai

keberadaannya. Perilaku atasannya membuat hati Dani terluka. Agar tidak

keseringan terluka, dia menjauh dari atasannya dan teman sekantornya. Dia

menekan emosinya.

Perasaan direndahkan juga dirasakan oleh Irwan. Salah satu contohnya

adalah ketika dia sedang makan pagi di rumah kakak perempuannya. Irwan meminta

tambahan sepotong telor dadar untuk tambahan lauk sarapannya. Dia merasa sangat

lapar pagi itu karena kemarin malamnya dia tidak makan. Kakak perempuannya

tidak menanggapi permintaannya dan malahan terus berbicara kepada anak

perempuannya.

Untuk menghindari atau mengurangi kesalah-pahaman serta disakiti hati dan

fisiknya, penderita skizofrenia berusaha menyembunyikan dan menekan emosinya.

Bila proses tersebut berlangsung bertahun-tahun, lama kelamaan kemampuannya

dalam menyusun kata kata dan mengekspresikan emosinya menjadi berkurang. Hal

ini tidak berbeda dengan kemampuan fisik seseorang. Bila seseorang tidak pernah

menekuk lutut selama 1 tahun saja, maka sendi lutut orang tersebut akan kaku dan

tidak bisa ditekuk lagi.

Selain itu, penderita gangguan jiwa kronis, sering telah kehilangan harapan

untuk hidup yang lebih baik. Setiap hari mereka hanya duduk dan merokok. Mereka

hanya menunggu jam makan dan jam untuk tidur. Begitu yang terjadi selama

bertahun tahun. Dampaknya, melakukan kegiatan yang kecilpun menjadi terasa

berat. Mereka tidak lagi ingin melakukan sesuatu. Keadaan tersebut sama dengan

kondisi seseorang yang dihukum mati dan sudah ditetapkan tanggal eksekusinya.

Mereka malas untuk beraktivitas. Penderita skizofrenia kronis sering telah

142

kehilangan harapan untuk mempunyai hidup yang lebih baik dibandingkan dengan

kehidupan yang dijalaninya sekarang. Kehidupan tanpa harapan selama bertahun

tahun tersebut membuat penderita skizofrenia mengalami kesulitan bila diminta

mengerjakan sesuatu tugas, meskipun tugas tersebut hanya suatu tugas kecil dan

mudah.

Hingga sekarang, belum ada obat yang manjur untuk mengobati gejala gejala

tersebut. Akhir akhir ini memang banyak dikembangkan berbagai obat gangguan

jiwa. Sayangnya, hampir semuanya menggarap gejala positif dari skizofrenia, seperti

waham, halusinasi dan agitasi. Tidak banyak perkembangan yang terjadi dalam

pengobatan gejala negatif skizofrenia seperti emosi datar, alogia (bicara yang

monoton, pendek dan langsung ke sasaran), dan avolition (hilangnya keinginan

untuk terlibat dalam kegiatan sehari-hari).

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terapi dengan merangsang emosi

dan kata kata terhadap penderita skizofrenia yang mempunyai gejala negatif tidak

menunjukkan hasil. Mereka coba memberikan pelatihan ‘bermain peran’,

merangsang emosi dengan menonton film atau mendengarkan musik, namun tidak

ada perubahan yang terjadi. Tidak banyak peningkatan dalam kemampuan berkata-

kata maupun dalam mengekspresikan emosinya.

Aku coba mereview berbagai hasil penelitian tersebut. Kulihat bahwa terapi

yang mereka lakukan tidak cukup, baik dalam hal intensitas maupun lamanya. Bila

disamakan dengan obat, maka dosis obat yang diberikan terlalu kecil. Mereka

menerapkan rangsangan tersebut dalam situasi ‘konsultasi’ atau pengobatan yang

lama waktunya sangat terbatas. Menurutku bila dosis rangsangan mencukupi dan

dalam waktu yang cukup, terapi melalui rangsangan emosi akan membawa hasil.

Akan kucoba memberikan rangsangan emosi dan dorongan untuk berkata-kata pada

penderita skizofrenia kronis dalam kehidupan nyata. Rangsangan itu harus

berlangsung dalam jangka lama, dirumah atau dimasyarakat, dan dalam kehidupan

nyata.

Aku akan menyarankan agar Martin mengambil teman yang secara status

sosial dan eknomi berada dibawahnya. Dia perlu mengajak bergaul rapat temannya

143

tersebut. Mereka bersama sama mengerjakan kegiatan sehari-hari seperti bermain

atau beraktivitas lainnya, selama berbulan bulan. Lingkungan tersebut merupakan

lingkungan yang aman yang tidak akan mengakibatkan Martin tersakiti hatinya bila

dia melakukan kesalahan atau kegiatan yang tidal lazim bagi orang normal.

Lingkungan yang aman tersebut akan menumbuhkan kembali kemampuan Martin

dalam menyusun kata-kata. Hal yang serupa juga dilakukan oleh Dr Patricia Deegan

dan berhasil. Ketika baru keluar dari RSJ, Patricia Deegan kemudian bergaul rapat

dengan kelompok hippies dimana mereka bisa menerima perilaku yang aneh aneh.

Patricia Deegan berhasil pulih dari sakitnya, kembali ke bangku kuliah dan menjadi

psikolog klinis terkenal..

Untuk merangsang emosinya yang datar, akan kusarankan agar Martin

bersama temannya sering mengunjungi panti asuhan anak anak cacat ganda. Mereka

tidak hanya berkunjung, tapi juga ikut merawat anak anak cacat tersebut,

membantunya melakukan aktivitas sehari-hari seperti menyuapi makan, membantu

mandi dan mengajak jalan jalan ke taman atau ke pasar. Mereka juga perlu sering

sering datang ke rumah sakit atau rumah singgah bagi para penderita kanker.

Diharapkan, pergaulan yang intensif dan dalam waktu yang cukup lama dengan

orang orang yang kurang beruntung tersebut, akan dapat menumbuhkan kembali

kemampuannya mengekspresikan emosi, termasuk kemampuannya berkata-kata

secara elegan.

Aku percaya, metode tersebut akan efektif mengatasi gejala negatif para

penderita skizofrenia. Bila kegiatan tersebut tidak bisa merangsang emosi penderita

gangguan jiwa secara langsung, insya Allah, keberkahan dari menolong orang lain

akan membuat mereka pulih dari penyakitnya. Aku akan tekankan kepada Martin

bahwa niat utama kerja sosial yang dia akan lakukan adalah untuk berbuat

kebajikan. Perbaikan dalam kemampuan mengekspresikan emosinya dan

kemampuan berkata-kata adalah produk sampingan saja.

Setelah mampu mengatasi gejala negatif skizofrenia yang dideritanya,

Martin masih harus berlatih mengasah kemampuan otaknya agar bisa kembali

bekerja. Martin tidak ingin kembali bekerja dikantornya yang dulu. Dia ingin

144

membuka restaurant. Aku tahu perjalanan pemulihan Martin masih panjang.

Meskipun demikian, peta jalan yang harus dilaui oleh Martin bisa terlihat jelas.

Kartu rencana studi bagi Martin bisa mulai disusun. Ilmu dan ketrampilan yang

diperlukannya tidak bisa dipelajari dikelas, diperpustakaan atau diruang konsultasi.

Martin harus mempelajarinya langsung dengan terjun di masyarakat. Tentunya tetap

dalam kondisi yang terkontrol serta dukungan yang diperlukan bila sampai ujian

atau testing yang dihadapinya melebihi kemampuannya. Implementasinya akan

memerlukan waktu, kesabaran dan dukungan keluarga serta teman teman, termasuk

dukungan dari Sekolah Pemulihan Jiwa Tirto Jiwo.

Tiba tiba aku tercenung. Masihkah aku hidup ketika Martin membuka

restaurantnya? Mungkin seharusnya aku mengoperasikan Sekolah Pemulihan Jiwa

ini sejak dulu, tanpa menunggu aku pensiun, aku bertanya dalam hati.

“Ya Allah mudahkanlah urusanku. Anugerahkanlah kepadaku ilmu yang

bermanfaat. Ilmu tentang segala aspek pemulihan gangguan jiwa. Gerakkanlah

orang orang untuk mau terjun membantu pemulihan gangguan jiwa. Kabulkanlah

permintaanku. Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pengabul doa”. Tak terasa air

mataku berlinang ketika mengucapkan doa tersebut.

145

Terapi keluarga

agi itu aku sudah punya rencana mengunjungi rumah Pak Hasan yang

letaknya tidak terlalu jauh dari rumahku. Di Purworejo, sebuah ibukota

kabupaten kecil, tidak ada jarak yang jauh. Tidak seperti Jakarta yang

memerlukan waktu lebih dari 2 jam untuk bepergian dari ujung selatan ke ujung

utara. Untuk kerumah Pak Hasan aku hanya memerlukan waktu tidak lebih dari

seperempat jam saja.

Anak Pak Hasan, Mahmud, menderita skizofrenia sehingga dia harus

mengambil cuti dari kuliahnya. Aku berkunjung ke rumah Pak Hasan dalam rangka

terapi keluarga. Terapi keluarga atau intervensi keluarga merupakan kegiatan

psikoedukasi kepada sebuah keluarga dimana salah satu anggotanya menderita

gangguan jiwa. Tujuan utamanya adalah membantu keluarga agar mampu

mendukung proses pemulihan anggotanya yang terkena gangguan jiwa.

Keluarga dapat memainkan peran penting dalam membantu seseorang yang

telah mengalami gangguan jiwa untuk pulih dan tetap baik. Berbagai penelitian

secara konsisten menunjukkan bahwa orang dengan skizofrenia yang menjalani

terapi keluarga cenderung jarang kambuh dan jarang perlu dirawat di rumah sakit.

Sayangnya, reaksi keluarga terhadap anggotanya yang menderita gangguan

jiwa kadang keliru. Kekeliruan tersebut sering terjadi terutama bila penderita sudah

tidak dalam fase akut dan tinggal bersama dalam satu keluarga. Mereka bosan, putus

asa, tidak lagi peduli terhadap anggotanya yang menderita gangguan jiwa. Perilaku

tersebut akan memperparah gangguan jiwa. Terapi keluarga akan dapat membantu

anggota keluarga yang lain memahami bagaimana sebaiknya memperlakukan

anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa.

Terapi keluarga biasanya dimulai dengan pemberian penyuluhan tentang

gangguan jiwa dan penyebabnya serta berbagai metode pengobatannya. Sesi sesi

berikutnya dititik beratkan kepada pencegahan kambuh dan pengenalan teknik untuk

mendukung penderita gangguan mengatasi gejalanya seperti kecemasan, halusinasi,

P

146

waham, dan membangun pola hidup sehat. Sesi sesi terakhir lebih kepada penerapan

pemecahan masalah dan mengintegrasikan semua intervensi untuk mendukung

pemulihan gangguan jiwa. Terapi keluarga lebih menekankan pada sis praktis dan

berorientasi pada membantu keluarga memecahkan masalah yang terkait dengan

adanya anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. Terapi keluarga bisa

dilaksanakan di institusi pemberi pelayanan, tidak harus dilakukan di rumah

keluarga yang bersangkutan. Terapi keluarga bisa dilaksanakan terhadap satu

keluarga, tapi bisa juga dilakukan terhadap beberapa keluarga secara bersamaan.

Dalam terapi keluarga yang aku lakukan, biasanya penderita tidak dilibatkan. Terapi

psikososial terhadap penderita dilakukan tersendiri, terpisah dari terapi

keluarga.Menurut informasi yang kudapat belum banyak institusi di Indonesia yang

menyelenggarakan terapi keluarga. Padahal, terapi keluarga merupakan salah satu

terapi standar di Inggris.

Kunjunganku pagi ini kerumah Pak Hasan adalah kunjungan ke kedelapan

kalinya. Mula mula seminggu sekali selama sebulan, kemudian dua kali sebulan dan

setelah itu aku berkunjung ke rumah Pak Hasan sebulan sekali. Dalam setiap

kunjungan aku menghabiskan waktu hampir 2 jam dirumah mereka.

Hari itu kami telah sepakat untuk berdiskusi tentang pikiran negatif dan cara

merubahnya. Hampir semua tahu bahwa pikiran negatif membuat seseorang tidak

bahagia, membuat badan terasa tidak enak dan kadang membuat seseorang tidak jadi

mengerjakan kegiatan yang semula diinginkannya. Hampir semua orang sudah

pernah mendengar nasehat bahwa pikiran negatif harus dibuang jauh jauh dan

diganti dengan pikiran positif. Masalahnya, pikiran negatif biasanya muncul secara

otomatis, mereka datang ke otak tanpa diundang. Pikiran negatif juga gampang

dipercaya. Tidak perlu analisa canggih agar seseorang percaya kepada pikiran

negatif tersebut. Sebenarnya kebalikan yang terjadi, karena kita tidak melakukan

analisa tentang suatu kejadian atau fakta, maka kesimpulan yang otomatis masuk

kedalam otak kita adalah pikiran negatif tersebut. Biasanya pikiran positif tidak

langsung otomatis datang. Pikiran otomatis muncul setelah ada bukti nyata yang

mendukungnya.

147

“Pak Bambang, saya perhatikan memang Mahmud sering punya pikiran

negatif. Bila melihat kolam ikan, yang muncul dipikirannya adalah bila dirinya

tercebur dan tenggelam dikolam tadi. Bila melihat tali, dia membayangkan kalau

dirinya tergantung di tali itu. Bila melihat pisau, pikiran yang muncul diotaknya

adalah akan ada orang yang menyerangnya dengan pisau itu. Mahmud juga sangat

sensitif. Bila melihat berita di TV, dia sering membayangkan kalau hal tersebut

terjadi pada dirinya” kata Yusuf anak pertama Pak Hasan.

“Mas Yusuf, sepertinya Mahmud mempunyai pola pikir kurang sehat. Dia

secara otomatis menyeleksi informasi yang masuk ke otaknya. Sepertinya hanya hal

hal yang negatif saja yang dibiarkan masuk keotaknya. Hal hal positif tidak dia

terima atau diabaikan. Jadilah dia berpikirang seperti itu. Kalau hal hal positif yang

masuk ke otaknya, dia kan bisa membayangkan enaknya makan ikan bakar,

asyiknya memancing di kolam, berapa besar untungnya kalau ikannya dipanen”

kataku melanjutkan.

“Pak Bambang, bagaimana caranya agar Mahmud bisa merubah pola

pikirnya?” Tanya Pak Hasan.

“Merubah pola pikir Mahmud tidak bisa dalam waktu sekejap. Memang

kalau dosis obat Risperidone yang diminum Mahmud dinaikkan dari 4 mg menjadi 6

mg, pikiran pikiran negatif tersebut akan berkurang, tapi obat itu juga biasanya

menekan kemampuan otak untuk berpikir. Ada juga efek samping lainnya. Karena

itu, saya lebih senang untuk secara bertahap memperbaiki pola pikir negatif yang

dimiliki Mahmud dengan pola pikir positif.” Jawabku. Semuanya terdiam, kubiarkan

mereka punya waktu untuk mencerna penjelasanku.

“Untuk menghilangkan pola pikir negatif yang dipunyai, Dr Freeman dan

kawan kawannya menganjurkan agar penderita gangguan jiwa diajari untuk

mempertanyakan pikirannya sendiri dengan mengajukan beberapa seperti

pertanyaan berikut: Apakah ada fakta yang menunjukkan bahwa pikiran saya salah?

Apa kata saudara atau teman bila saya sampaikan pikiran tersebut? Apa yang akan

saya katakana kepada teman yang yang bertanya kepada saya yang punya pikiran

seperti yang saya punya? Hal hal positif apa yang telah terjadi pada diri saya yang

148

bertentangan dengan pikiran negatif saya tadi? Apakah saya mengartikan kejadian

tersebut secara salah karena saya sedang sedih, cemas atau gelisah? Apakah saya

akan mengartikan kejadian tersebut secara berbeda bila saya sedang bahagia atau

senang?” kataku melanjutkan

Pembahasan tentang pola pikir negatif dilanjutkan dengan kesepakatan untuk

membuat catatan semua pikiran negatif yang mucul selama seminggu kedepan. Pak

Hasan dan anak anaknya akan membantu Mahmud membuat catatan semua pikiran

negatif tersebut, dilengkapi dengan keterangan kapan munculnya, kejadian apa yang

menjadi pemicunya, bagaimana perasaan dan reaksi Mahmud terhadap pikiran

negatif tersebut, fakta apa yang mendukung dan tidak mendukung pikiran tersebut.

Catatan tersebut akan menjadi bahan diskusi terapi keluarga berikutnya.

Diskusi tentang cara mengganti pikiran negatif menjadi pikiran positif

tersebut berlangsung santai, diselingi dengan mencicipi pisang goreng dan teh manis

hangat. Hubunganku dengan keluarga Pak Hasan memang lebih bersifat

kekeluargaan. Bukan seperti hubungan antara konselor dengan kliennya. Aku juga

tidak meminta bayaran sepeserpun kepada Pak Hasan. Biaya bensin aku ambil dari

uang pensiunku. Hanya saja belakangan aku dapat informasi kalau Pak Hasan

memberikan sumbangan langsung ke rekening Tirto Jiwo dalam jumlah cukup

besar. Pak Hasan memang tergolong mampu. Sumbangan tersebut kami pergunakan

untuk membiayai kebutuhan murid dari keluarga tidak mampu.

----0000----

Pada waktu yang hampir bersamaan, Pak Amir juga melakukan terapi

keluarga kepada keluarga Pak Sundoro. Bu Rita, istri Pak Sundoro menderita

obsessive compulsive disorder (OCD) atau gangguan obsesif kompulsif. Setiap hari

Bu Rita bisa mandi 10 kali sehari dan mencuci tangan lebih dari 50 kali. Tangan

Rita sampai kasar dan rusak karena terlalu sering digosok dan dibersihkan dengan

sabun mandi. Bu Rita yakin bahwa ditangan dan badannya melekat banyak kuman

yang masuk dai jalanan lewat pintu. Dia harus sering mandi dan mencuci tangan

agar dirinya tidak sakit akibat kuman yang melekat ditubuhnya. Bu Rita juga tidak

ingin menularkan kuman penyakitnya itu kepada suami dan anak anaknya.

149

Aku tidak ingat sudah berapa kali Pak Amir berkunjung ke rumah Pak

Soendoro dalam rangka terapi keluarga. Namun aku tahu bahwa Pak Amir hari ini

juga akan berdiskusi tentang cara mengubah pola pikir penderita OCD. Kemarin

kami bertukar pikiran tentang pola pikir yang kurang sehat yang sering dipunyai

para penderita OCD.

Aku sampaikan kepada Pak Amir bahwa kadang kadang pikiran jelek atau

jahat juga terlintas pada benak orang baik dan normal. Pikiran untuk mendorong

seseorang di depan mobil yang melaju kencang bisa saja muncul sekilas dibenak

orang normal. Bisa saja pikiran untuk memukul istrinya muncul pada diri seorang

suami yang normal. Masalah timbul bila orang tersebut kemudian mengartikan

bahwa karena dia pernah mempunyai pikiran seperti itu berarti dirinya adalah orang

jahat atau jelek. Pikiran bahwa dirinya orang jelek itu terus melekat dalam otaknya.

Dia terobsesi dengan pikiran itu dan membuatnya cemas. Untuk menghilangkan

kecemasannya tersebut dia melakukan sesuatu kegiatan. Sayangnya, kegiatan

tersebut hanya bisa menghilangkan kecemasannya secara sementara. Tidak lama

selesai melakukan tersebut, dia merasa harus melakukan kegiatan itu lagi. Akhirnya,

orang tersebut mengulangi kegiatannya tersebut berulang-ulang dan jadilah dia

seorang penderita OCD.

Dibenak Bu Rita pernah terlintas keinginan untuk membunuh suaminya

dengan racun. Pikiran yang muncul tiba tiba tersebut diartikan olehnya bahwa

dirinya seorang jahat yang tega membunuh seseorang yang dicintainya. Pikiran

bahwa dirinya orang jahat melekat terus pada dirinya. Jadilah dia seorang yang

obsesif. Hal tersebut membuatnya merasa cemas. Untuk menghilangkan

kecemasannya dan meyakinkan bahwa ditangannya tidak ada racun, Bu Rita mandi

dan mencuci tangannya. Sehabis mandi dan mencuci tangan, kecemasan yang

dirasakannya berkurang. Namun hilangnya kecemasan tersebut hanya bersifat

sementara. Ketika kecemasan itu timbul lagi, dia kemudian kembali mandi dan

mencuci tangannya. Akhirnya dia melakukan terpaksa mengulangi kegiatan itu lagi.

Jadilah dirinya mempunyai gangguan kompulsif, yaitu mandi dan cuci tangan

berulang-ulang tanpa bisa dicegahnya. Begitu siklusnya terjadi berulang ulang

sehingga akhirnya Bu Rita menderita OCD atau gangguan obsesif kompulsif.

150

Sore harinya ketika aku ketemu Pak Hardi, dia menceritakan pertemuannya

tadi pagi. Pak Hardi menyampaikan bahwa terapi keluarga yang dilakukannya

terhadap keluarga Pak Sundoro berjalan lancar dan efektif.

“Oh begitu ternyata teori timbulnya OCD pada diri seseorang” Kata Pak

Soendoro.

“Saya juga pernah punya pikiran untuk menabrak saja orang yang

menyeberang jalan secara sembarangan, tidak mau memakai jembatan

penyeberangan yang ada. Untung saja saya tidak ambil pusing pikiran yang tiba tiba

muncul tersebut. Kalau saya merasa bersalah dan cemas dengan munculnya pikiran

tersebut, saya sekarang pasti juga kena OCD” lanjut Pak Sundoro.

“Betul Pak Sundoro. Memang ada penderita OCD yang ketika mengendarai

mobil selalu bolak balik kembali melewati jalan yang sama hanya untuk

meyakinkan bahwa tidak ada orang yang tertabrak mobilnya.” Jawab Pak Hardi

menyahut pernyataan Pak Sundoro.

Pernah saya katakan ke istri agar tidak perlu cuci tangan sesering itu, dia

menuruti nasehat saya, hanya saja sore harinya anak saya sakit flu. Istri saya bilang

kalau flu anak saya terjadi karena tangannya kotor penuh kuman. Akhirnya dia

kembali ke kebiasaannya semula, mencuci tangan berkali-kali. Kalau sudah begini,

bagaimana caranya agar istri saya tidak mandi dan cuci tangan terus-menerus? ”

Tanya Pak Sundoro.

“Biasanya memang tidak bisa tembak langsung begitu. Ada tekniknya

sendiri” kata Pak Hardi.

“Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengenali secara lebih

mendalam OCD yang dipunyainya. Untuk itu Bu Rita perlu mencatat kapan dan

jenis pemicu timbulnya pikiran obsesif. Misalnya: tanggal 14 Desember, ketika

belanja sayuran mendapat uang pecahan ribuan yang sudah kumal dari abang tukang

sayur. Pikiran obsesif yang muncul di otaknya adalah uang itu mengandung kuman

yang bisa ditularkan ke suami dan anaknya dirumah. Bu Rita kemudian merasa takut

dan cemas. Ketakutannya itu perlu dinilai dengan skore antara 0-10. Misalnya untuk

151

kejadian tadi, skorenya 8. Kegiatan kompulsif yang dilakukannya adalah mencuci

tangannya secara seksama selama 3 menit. Setiap terjadi, pikiran obsesif dan

kegiatan kompulsif itu harus dicatat. Lakukan pencatatan pikiran obsesif kompulsif

itu selama seminggu.’’ Kata Pak Hardi melanjutkan.

Ketika tidak ada yang menyela kata katanya, Pak Hardi kemudian

melanjutkan penjelasnnya.

‘’Langkah berikutnya adalah mengurutkan tingkat ketakutan tersebut dari

yang paling menakutkan ke yang paling tidak menakutkan. Misalnya: memakai WC

di mall mendapat skore 10/10, artinya paling menakutkan, membuka pintu mall

skorenya 7/10 , agak menakutkan dan duduk di bangku taman skorenya 4/10 ,

artinya paling kurang menakutkan. Penderita OCD diminta membayangkan

melakukan kegiatan dari yang paling kurang menakutkan dengan sepenuh hati.

Biasanya kegiatan ini akan menimbulkan kecemasan pada diri si penderita. Begitu

seterusnya hingga kegiatan yang paling menakutkan. Kegiatan ini perlu diulang-

ulang hingga perasaan cemas yang timbul sudah jadi separuhnya atau hilang sama

sekali’’

‘’Saya akan menemani istri saya melakukan latihan latihan tadi Pak Hardi’’

‘’Saya kira sebaiknya begitu. Adanya sang suami disampingnya akan

membuat Bu Rita lebih tenang’’ kataku.

‘’Langkah selanjutnya adalah mencegah terjadinya kegiatan kompulsif.

Misalnya setelah duduk dibangku taman dan penderita ingin mencuci tangan, maka

proses mencuci tangan harus hanya boleh sebentar seperti cara orang lain mencuci

tangan. Kegitan ini dilanjutkan dengan pergi dan memakai WC di mall. Kegiatan

mencuci tangan yang dilakukan tidak boleh melebihi cara mencuci tangan yang

dilakukan orang biasa’’

‘’Pak Hardi, kelihatannya caranya sederhana dan masuk akal. Cuman waktu

itu saya tidak bisa meyakinkan istri saya kalau anak yang terkena flu itu bukan

karena tangan istri saya yang kotor. Terima kasih sekali Pak Hardi atas segala

152

masukannya. Insya Allah, setelah istri saya sembuh, kami akan ikut gabung dengan

Tirto Jiwo’’

Sejak pertemuan itu pemahaman Pak Sundoro sekeluarga terhadap OCD

meningkat jauh. Mereka mampu membantu pemulihan OCD yang diderita Bu Rita.

Pak Hardi memberi tahuku bahwa keluarga Pak Sundoro sudah menerapkan metode

tersebut dan melaporkan hasilnya pada pertemuan berikutnya.

153

Fu yung hai Tirto Jiwo

ampir semua orang tahu kalau kebanyakan penderita gangguan jiwa

hanya menganggur, tidak punya pekerjaan, tidak punya penghasilan dan

jadi beban keluarga. Namun tidak banyak yang tahu kalau pekerjaan

sangat penting bagi penderita gangguan jiwa. Pekerjaan merupakan salah satu alat

bantu yang ampuh dalam pemulihan gangguan jiwa. Mempunyai pekerjaan atau

kegiatan yang berarti akan sangat membantu proses pemulihan seseorang yang

menderita gangguan jiwa. Berbagai penelitian telah membuktikan hal tersebut.

Tidak ada seorangpun ahli yang menyangkal pentingnya peranan pekerjaan dalam

proses pemulihan gangguan jiwa. Mempunyai pekerjaan juga merupakan salah satu

tujuan dari pemulihan gangguan jiwa.

Dari penelusuranku di dunia maya, aku tahu kalau di Negara Negara maju

seperti Amerika dan Inggris, hanya sekitar 15% penderita gangguan jiwa yang

bekerja secara penuh. Sebagian besar mereka hanya bekerja paruh waktu. Salah satu

hambatannya adalah para penderita gangguan jiwa Di Amerika dan Inggris

menerima jaminan sosial dari pemerintah. Jamina sosial itu akan dicabut jika mereka

mendapat penghasilan diatas upah minimum.

Di Indonesia, aku tahu bahwa sempitnya lapangan kerja menjadi hambatan

utama bagi penderita gangguan jiwa. Bagi kebanyakan orang normal, mencari atau

menciptakan pekerjaan di Indonesia bukan suatu pekerjaan gampang. Apalagi bagi

penderita gangguan jiwa.

Pada awalnya, terutama ketika dosis obatnya masih tinggi, penderita

gangguan jiwa hanya bisa bekerja paruh waktu. Sedikit demi sedikit, jumlah jam

kerjanya ditingkatkan. Stress pekerjaan yang terlalu berat bisa membuat mereka

kambuh. Ketika kambuh, mereka tidak bisa kerja. Setelah keluar RSJ, mereka perlu

merintis dari awal lagi. Di Indonesia, bisa dipastikan tidak aka nada perusahaan

yang mau menerima pegawai dengan kondisi seperti itu.

H

154

Salah satu cara untuk mengatasi hambatan tersebut adalah dengan

membentuk sebuah koperasi dimana anggotanya campuran antara penderita

gangguan jiwa, tenaga pekerja sosial atau tenaga kesehatan dan para donatur. Di

kota Chania, Yunani ada sebuah koperasi bernama Chania Social Cooperative yang

sebagian anggotanya adalah para penderita gangguan jiwa. Chania Social

Cooperative membuat beberapa jenis usaha, seperti toko souvenir, usaha cuci mobil,

dan kantin.

Di Perancis ada La Fageda, sebuah koperasi yang hampir separuh

anggotanya adalah penderita gangguan jiwa.La Fageda, didirikan oleh seorang

psikolog bernama Cristobal Colon, bergerak dalam bidang peternakan dan

pengolahan susu sapi.

Di Toronto, Kanada ada perusahaan A-Way Express, sebuah perusahaan

antar barang dan dokumen yang sebagian besar pekerjanya adalah penderita

gangguan jiwa. Banyak lembaga wirausaha sosial di Amerika yang bergerak dalam

penyediaan katering, kantin, pertamanan, pergudangan, laundry yang sebagian besar

pekerjanya adalah para penderita gangguan jiwa.

Aku ingin agar Tirto Jiwo juga mendirikan sebuah koperasi dimana sebagian

anggotanya adalah para penderita gangguan jiwa. Mereka bisa bekerja di koperasi

dan mendapatkan bagian keuntungan. Dengan demikian, diharapkan, para penderita

gangguan jiwa tidak lagi menjadi beban keluarganya.

----0000----

“Pak Bambang, tidak usah aneh aneh mau bikin koperasi segala. Koperasi

sudah mati. Tidak ada koperasi di Indonesia yang bisa hidup dan berkembang.

Apalagi ini kopearsi yang separuh anggotanya penderita gangguan jiwa” kata Pak

Amir.

“Pak Amir, apa yang bisa kita lakukan untuk membantu para murid agar bisa

bekerja?” jawabku

155

“Tirto Jiwo kan hanya sekolah pemulihan jiwa, pekerjaan bagipara

lulusannya bukan lagi urusan Tirto Jiwo. Lihat saja UI atau UGM, boleh dibilang

mereka tidak melakukan apa apa terhadap alumninya. Mereka tidak pernah

mencarikan pekerjaan bagi para aluminya” jawab Pak Amir

“Ya memang, tidak ada kewajiban bagi Tirto jiwo untuk menyediakan

lapangan kerja bagi para lulusannya. Tapi kan tidak ada salahnya kalau kita

membikin koperasi agar bisa membantu lulusannya mendapat pekerjaan” kataku.

“Pak Bambang, mengurusi Tirto Jiwo saja kini kita sudah mulai kewalahan.

Selain itu, kita kan tidak ahli dalam penciptaan lapangan kerja. Kalau kita bikin

koperasi dan kita bikin berbagai unit usaha, berapa banyak lulusan yang bisa kita

tampung. Bisa menampung 20 anak saja sudah hebat. Padahal rata rata lulusan Tirto

Jiwo tidak kurang dari 20 orang per tahunnya.”

“Pak Amir, dalam pemikiran saya, koperasi Tirto Jiwo itu akan berperan

sebagai koperasi sekunder yang anggotanya adalah organisasi koperasi primer.

Sedangkan koperasi primer anggotanya adalah penderita gangguan jiwa dan non-

penderita gangguan jiwa. Dalam setiap koperasi primer saya ingin setidaknya 40%

anggotanya adalah penderita gangguan jiwa. Saya kira dengan model begini,

koperasi Tirto Jiwo bisa jadi koperasi yang besar skala nasional. Fokus Koperasi

Tirto Jiwo lebih kearah pemasaran, menggalang modal dan pembinaan”

“Saya kira modal akan jadi kendala utama. Bagaimana pemikiran Pak

Bambang untuk mengatasi masalah kesulitan permodalan ini?” Tanya Pak Amir

“Modal koperasi primer seharusnya dari iuran para anggotanya, tapi kita kan

tahu, sebagian besar penderita gangguan jiwa yang kesulitan mencari pekerjaan atau

tidak bisa menciptakan pekerjaan sendiri, mereka berasal dari keluarga tidak

mampu. Mereka pasti kesulitan kalau harus membayar iuran dalam jumlah banyak.

Bila iurannya hanya kecil maka koperasi tersebut akan sulit berkembang. Oleh

karena itu, saya ingin menggalang modal melalui wakaf, infaq dan sedekah.

Tentunya diperlukan pengurus yang bisa dipercaya disini.”jelasku.

156

Pak Amir terlihat terdiam. Mungkin soal penggalangan dana dari wakaf,

infaq dan sedekah tersebut belum pernah terlintas dalam pikirannya. Memang

melalui pendekatan tersebut, tidak ada jaminan kalau modal juga akan terkumpul

dalam jumlah yang mencukupi.

“Saya kira itu ide bagus Pak Bambang. Layak kita coba. Bila modal yang

terkumpul tetap terbatas, maka saya usul agar Koperasi Tirto Jiwo menggalang kerja

sama dengan para pemodal. Misalnya, dalam usaha penggemukan sapi, peranan

Tirto Jiwo adalah mencari rumput dan merawat sapinya. Tirto Jiwo belum akan kuat

bila juga harus membeli sapi sapi tersebut. Begitu juga dalam hal usaha

perbengkelan, misalnya, kita bisa kerja sama dengan pemodal” kata Pak Amir

menyetujui ide yang aku lontarkan.

“Pak Amir punya ide soal pemasaran produk produk Tirto Jiwo?” tanyaku

“Untuk produk kerajinan tangan, saya usulkan agar bisa dibuat personal

sifatnya. Maksud saya, disetiap produk, misalnya tas tangan wanita, disitu disertakan

keterangan bahwa tas tangan ini dibuat oleh Mas Iwan penderita skizofrenia.

Produknya sendiri tetap harus berkualitas. Sasaran kita harusnya konsumer kelas

menengah atas yang punya keprihatinan sosial. Penjualannya bisa lewat toko online

atau kita buka kios di daerah tujuan wisata seperti candi Borobudur” kata Pak Amir

menjelaskan.

Aku sangat setuju dengan ide Pak Amir. Kelihatannya sangat masuk akal.

Tantangannya adalah di kualitas produknya. Kualitas produk kerajinan di Indonesia

sering rendah karena dibuat secara asal-asalan.

“Pak Amir, terima kasih atas saran-sarannya. Saya kira kita setidaknya perlu

beberapa hari untuk diskusi tentang penyediaan lapangan kerja bagi penderita

gangguan jiwa. Saya akan minta masukan dari Dinas Koperasi juga. Sampai ketemu

lagi Pak, salam untuk nyonya dan anak anak” kataku sambil pamit untuk pulang

kerumah.

----0000----

157

Fu Yung Hai adalah sebuah masakan China yang terbuat dari telur yang

digoreng dadar, berisi daging dan sayuran, kemudian disiram dengan saus tomat

kental sehingga rasanya nikmat gurih agak manis. Di Purworejo dan sekitarnya, fu

yung hai yang paling terkenal karena enak dan murah adalah fu yung hai Tirto Jiwo.

Bahkan kini fu yung hai Tirto Jiwo sudah dianggap sebagai kuliner khas Purworejo.

Banyak orang yang bepergian melewati Purworejo menyempatkan diri menikmati

dan membawanya sebagai oleh oleh khas Purworejo.

Malam Minggu itu pembeli sampai harus mengantri untuk bisa menikmati fu

yung hai Tirto Jiwo. Parwoto dan Ruwiyah terlihat sibuk memasak dan melayani

para pembeli. Parwoto adalah lulusan Sekolah Pemulihan Jiwa Tirto Jiwo. Dia

pernah berkali-kali masuk rumah sakit jiwa Magelang karena skizofrenia paranoid

yang dideritanya. Ketika keluarganya mendengar tentang Sekolah Pemulihan Jiwa

Tirto Jiwo, segera Parwoto didaftarkan sebagai murid. Orang tuanya sangat

menyayangi anak laki laki satu satunya tersebut. Harta mereka sudah habis dipakai

untuk membiayai pengobatan anaknya tersebut. Tiga kali masuk rumah sakit jiwa

sudah cukup membuat orang tuanya bangkrut. Ketika mendaftarkan Parwoto untuk

bersekolah di Tirto Jiwo, orang tuanya sudah secara terbuka bilang bahwa mereka

sudah tidak punya uang untuk membiayainya.

Di Sekolah Parwoto belajar dengan efektif. Pelan pelan ketrampilannya

dalam mengendalikan halusinasi dan waham curiga meningkat pesat sehingga tidak

lama kemudian gejala tersebut berkurang. Halusinasi dan waham tidak lagi

mengganggu kehidupannya sehari-hari.

Parwoto mulai terlibat dalam kegiatan sosial yang dikelola Tirto Jiwo. Dia

sangat senang bila diminta membantu istriku memasak untuk kegiatan sedekah nasi

bungkus. Menu andalan buatannya adalah fu yung hai yang dibikin mengikuti resep

fu yung hai ciptaan istriku. Selama kami tinggal di India, istriku berhasil

menciptakan cukup banyak resep masakan yang menurutku sangat enak dan layak

jual. Parwoto sangat pas ketika menterjemahkan resep tersebut kedalam masakan.

Setiap Parwoto membuat fu yung hai, berbagai pujian selalu mengalir. Fu yung hai

buatan Parwoto memang benar benar enak. Jauh lebih enak disbanding fu yung hai

158

dari restaurant masakan China paling top di Purworejo. Bahkan menurutku, jauh

lebih enak disbanding fu yung hai dari restaurant hotel bintang lima di Yogyakarta.

Dengan dukungan Tirto Jiwo, Parwoto mulai berdagang fu yung hai setiap

sore di alun alun Purworejo. Ternyata sambutan masyarakat sangat positif. Dengan

gerobak dorongnya, dia membuka usahanya sejak jam 6 sore hingga jam 10 malam.

Melalui fu yung hai Parwoto berkenalan dengan Ruwiyah yang tak lama kemudian

dinikahinya. Kini, dia merasa bahwa dia telah bisa pulih dan kembali di masyarakat.

Kini dia tidak lagi mengalami diskriminasi. Dia juga tidak merasa lagi direndahkan

oleh orang lain.

Tentunya semuanya tidak berjalan lancar tanpa halangan. Pada awalnya,

meskipun hanya menggoreng telor dadar, Pak Parwoto tidak bisa melakukannya

dengan cepat. Dengan ketekunan yang luar bisa, pelan pelan dia mampu

meningkatkan ketrampilannya. Mula mula, dia juga selalu kesulitan membuat

adonan bumbu dan resep yang baku. Kualitas fu yung hai buatannya masih naik

turun. Melalui bimbingan istriku, akhirnya Pak Parwoto mampu membuat fu yung

hai seenak buatan restaurant di hotel bintang lima.

Parwoto telah sukses dalam berbisnis. Kesuksesan Parwoto tidak bisa

dibandingkan dengan kesuksesan seseorang yang berpendidikan tinggi. Parwoto

hanya lulus SMA. Namun diantara saudara saudaranya, kini Parwoto termasuk anak

yang paling sukses. Saudara saudaranya hanya bekerja sebagai buruh tani yang

hidup susah. Parwoto sudah mampu membeli sepeda motor.

----0000----

Sore itu aku kedatangan tamu, seorang pria berumur 50an tahun, berpakaian

rapi dengan dasi terlilit di kerah lehernya. Aku lihat jam tangannya dari merk

terkenal yang aku perkirakan harganya diatas Rp 50 juta. Ternyata kedatangannya

ke Tirto Jiwo untuk bersilaturahmi sambil menceritakan pengalaman hidupnya.

Tiga puluh tahun lalu, Pak Sukamto, demikian nama tamuku itu, didiagnosis

menderita skizofrenia. Dokternya saat itu berkata kepadanya dan kepada

keluarganya bahwa dia tidak akan pernah bisa hidup mandiri, tidak akan bisa

159

bekerja, dan tidak akan menikah. Dia akan tinggal di panti rehabilitasi selamanya.

Hari-harinya akan dihabiskan dengan menonton TV bersama dengan teman

temannya sesama penderita gangguan jiwa. Dia hanya akan diterima bekerja sebagai

pekerja kasar bila penyakitnya sedang tenang. Dengan informasi seperti itu, Pak

Sukamto merasa hidupnya tanpa harapan. Tidak heran, sejak serangan yang

pertama, hanya dalam 3 tahun, 5 kali Pak Sukamto kambuh dan dirawat di RSJ.

Saat menjalani rawat inap psikiatri terakhir di usia 28 tahun, Pak Sukamto

didorong oleh seorang dokter spesialis jiwa untuk bekerja sebagai kasir di sebuah

perusahaan. Dokter tersebut ingin hidup Pak Sukamto berubah. Jika dia bisa

mengerjakan pekerjaanya dengan baik, mereka akan memberinya kesempatan untuk

memegang posisi yang lebih tinggi, bahkan ada kemungkinan dia akan diangkat

sebagai pegawai tetap disitu. Ternyata Pak Sukamto mampu melakukan itu semua.

Kini Pak Sukamto telah menjadi pengusaha sukses. Perusahaannya lebih dari

5 buah dan kantor cabangnya tersebar di berbagai kota besar di Indonesia. Beberapa

tahun lalu, dia juga membuka kantor cabang di Singapura dan Hong Kong.

Meskipun Pak Sukamto telah berjuang mengatasi skizofrenia selama

bertahun-tahun, dia bisa menerima bahwa dirinya mempunyai skizofrenia dan akan

harus tetap minum obat selama sisa hidupnya. Hanya dia ingin menolak pendapat

bahwa tidak ada penderita skizofrenia yang bisa sukses. Pak Sukamto telah

membuktikan bahwa penderita skizofrenia bisa sukses. Tidak semua penderita hanya

menjadi pekerja kasar. Penderita skizofrenia juga bisa jadi pengusaha sukses.

Pak Sukamto berjanji untuk datang lagi dilain waktu. Dia ingin berbagi kisah

suksesnya sebagai penderita skizofrenia. Dia ingin membangkitkan harapan

penderita gangguan jiwa bahwa mereka juga bisa sukses seperti dirinya.

160

Rumah kost pemulihan jiwa

etelah keluar dari rumah sakit jiwa (RSJ), sebagian besar penderita

gangguan jiwa belum siap kembali hidup bermasyarakat secara normal.

Kondisi kejiwaannya sering masih labil. Pada kondisi tersebut, penderita

gangguan jiwa memerlukan dukungan psikososial dari anggota keluarga secara lebih

intensif. Sayangnya, tidak semua penderita gangguan jiwa mempunyai keluarga

yang mampu memberikan dukungan tersebut. Untuk mengatasi permasalahan

tersebut, sejak 10 tahun terakhir, di Swedia berkembang rumah pemulihan. Rumah

pemulihan memberikan pelayanan psikososial utuk mendukung proses pemulihan

penderita gangguan jiwa. Di Tirto Jiwo, kami mengembangkan rumah kost

pemulihan jiwa.

Rumah kost pemulihan jiwa merupakan sebuah rumah biasa yang

menampung 1-3 penderita gangguan jiwa yang telah keluar dari RSJ dan sedang

dalam pengobatan rawat jalan. Fungsi utama rumah pemulihan yang berada dalam

pembinaan Tirto Jiwo antara lain: memastikan bahwa penderita minum obat sesuai

perintah dokter; memantau dan mencatat gejala, menemani penderita kontrol ke

dokter ahli jiwa, dan melaporkan perkembangan pasien sehingga dokter bisa

menyesuaikan obat dan dosis agar sesuai dengan kebutuhan penderita; memantau

tanda tanda awal bila penderita akan kambuh dan melakukan intervensi psikososial

untuk mencegah agar proses kambuh tidak berlanjut; membantu penderita

melakukan kegiatan sehari-hari, seperti makan, mandi, berpakaian, menata kamar;

mengembangkan kegiatan positif sesuai dengan perkembangan kondisi penyakitnya

dan sesuai dengan minatnya, misalnya: bermain musik, olah raga, berkebun,

memelihara binatang peliharaan; membantu penderita mengatasi gejala gangguan

jiwanya, seperti: menarik diri, halusinasi, waham, kecemasan, keinginan untuk

bunuh diri dengan memberikan dukungan psikososial, dan membantu meningkatkan

kemampuan psikososial sehingga dapat kembali ke masyarakat.

Pak Sarwo mengalami permasalahan tersebut. Istrinya yang baru keluar dari

RSJ karena gangguan bipolar yang kambuh belum bisa mandiri. Padahal Pak Sarwo

S

161

harus tetap masuk kerja dan mengasuh 2 anaknya yang masih sekolah di SD yang

memerlukan perhatian ekstra darinya. Bila beban yang sudah berat tersebut harus

ditambah dengan tugas merawat istrinya, dia merasa sudah tidak sanggup lagi. Dia

takut, hasilnya malah akan kontra produktif, anak anaknya akan terabaikan atau

istrinya akan kambuh dan harus masuk ke RSJ lagi. Akhirnya, Pak Sarwo

berinisiatif untuk menitipkan istrinya ke rumah kost yang mendapat pembinaan dari

Sekolah Pemulihan Tirto Jiwo.

Istri Pak Sarwo dititipkan di rumah kost milik keluarga Pak Karsiman,

pensiunan guru. Rumah Pak Karsiman terlihat sederhana, berlantai keramik, namun

rapi dan bersih. Ada 3 kamar tidur dan 2 buah kamar mandi. Kedua anak Pak

Karsiman telah berumah tangga dan hidup di Jakarta. Secara ekonomi, kedua anak

Pak Karsiman telah mapan. Setiap bulan, mereka mengirimkan sebagian

penghasilannya ke orang tuanya sehingga secara ekonomi Pak Karsiman juga tidak

pernah kekurangan. Pak Karsiman bersedia menjadikan rumahnya sebagai rumah

kost pemulihan jiwa karena alasan kemanusiaan semata.

Pak Karsiman belajar cara merawat dan membimbing penderita gangguan

jiwa di Sekolah Pemulihan Jiwa Tirto Jiwo secara gratis. Dia kini sudah trampil

dalam memonitor mood atau perasaan penderita bipolar. Mereka juga sudah

mengenal berbagai tanda penderita yang akan kambuh atau peringatan dini, gejala

efek samping obat. Mereka juga sudah terampil dalam membantu penderita yang

gelisah, marah atau depresi. Pihak Tirto jiwo juga akan melakukan supervisi dan

bimbingan kepada Pak Karsiman. Semua permasalahan yang berkaitan dengan anak

kost dibahas dan dipecahkan bersama.

Siang itu, Pak Sarwo membawa istrinya kerumah Pak Karsiman. Setelah

berkenalan, mencatat diagnosa, nama obat dan cara pemberiannya , Pak Karsiman

kemudian mulai menerangkan cara membuat rencana kerja pemulihan bagi Bu

Sarwo.

“Pak Sarwo, selama tinggal dirumah, kami akan memantau kondisi harian

Bu Sarwo, memastikan bahwa obatnya diminum sesuai petunjuk dokter. Kami juga

akan memantau efek samping obat tersebut. Disini ada daftar efek samping obat

162

yang mungkin timbul, sehingga kami tinggal memantaunya saja dan melaporkan hal

tersebut kepada dokter” Kata Pak Karsiman

“Terima kasih Pak Karsiman.”

“Agar bisa disusun program pemulihan yang baik, kami perlu beberapa

informasi seperti: kondisi Bu Sarwo ketika ketika dalam keadaan sehat dan nyaman,

tanda awal atau peringatan dini bila akan kambuh, kegiatan atau suasana yang

mendukung pemulihan, faktor pemicu kekambuhan, dan siapa yang harus dihubungi

bila terjadi krisis. Kami punya buku rencana kerja pemulihan. Tolong bisa dibaca

dan diisikan informasi yang diperlukan. Bila telah selesai nanti kita diskusikan.”

“Wah, terima kasih sekali. Saya sangat senang dengan adanya rencana kerja

pemulihan ini. Menurut pengamatan saya, banyak panti rehabilitasi yang tidak

mempunyai program pemulihan yang jelas. Pasien hanya diberi obat, namun

kemudian menganggur seharian. Sebagian diberi kegiatan, tapi semua kegiatan

tersebut sama untuk semua orang, tidak disesuaikan dengan kebutuhan masing

masing. Semua orang bikin amplop surat, bikin sapu, atau kerajinan tangan”

“Program pemulihan tersebut nanti kita susun bersama disesuaikan dengan

kondisi dan kebutuhan Bu Sarwo. Kita akan susun kegiatan harian sejak bangun

hingga kembali ke tempat tidur, kegiatan mingguan dan kegiatan bulanan. Kami

juga akan melakukan talk therapy , istilah kami terapi ngobrol, untuk

menghilangkan pikiran negative dengan pikiran positif. Setelah kembali ke rumah

nanti, rencana kerja tersebut bisa diteruskan dan disesuaikan dengan perkembangan

kondisi Bu Sarwo. Menurut pengalaman kami, rencana kerja pemulihan sangat

membantu seseorang untuk segera pulih.” Kat Pak Karsiman.

“Baik Pak, saya akan segera isi buku rencana kerja pemulihan ini sehingga

bisa segera disusun rencana kerjanya. Saya tidak bisa lama lama disini. Anak anak

dirumah tidak ada yang menjaga” Kata Pak Sarwo.

----0000----

163

“Pak Amir, saya takutnya ada sisi negatif juga dari model rumah kost yang

kita kembangkan” kataku kepada Pak Amir pada suatu hari.

“Apa itu Pak Bambang, saya kok tidak melihat sisi negatifnya. Perkara ada

masalah satu dua saya kira itu hal biasa” Jawab Pak Amir.

“Saya takutnya, keluarga penderita terus secara gampang mengirim ke rumah

kost. Mereka tidak mau bersusah payah membantu pemulihan anggota keluarganya”

kataku menyampaikan keprihatinanku yang selama ini aku pendam sendiri.

“Saya kira kita tidak perlu khawatir masalah itu Pak Bambang. Jumlah

rumah kost terbatas. Selain itu, kalau hanya dalam waktu terbatas, misalnya 1-3

bulan, saya kira tidak apa apa. Misalnya, ada penderita baru keluar dari RSJ, masih

kelihatan gelisah tapi diperkirakan dalam waktu 1-3 bulan akan bisa kembali ke

keluarganya, saya kira tidak apa, bisa saja tetap diterima untuk sementara tinggal

dirumah kost. Tapi, kalau untuk pasien yang sudah terlanjur kronis dan memerlukan

perawatan di rumah kost dalam jangka waktu lama, kita perlu menetapkan sebuah

kriteria.” kata Pak Amir.

“Untuk murid yang kost dalam waktu lebih dari 3 bulan, saya usulkan

kriterianya begini. Pertama, penanggung jawab utama keluarga penderita gangguan

jiwa tersebut sudah tua dan sakit-sakitan. Kedua, adanya penderita gangguan jiwa

akan menyebabkan stres dalam pernikahan atau menyebabkan anak-anak di rumah

keluarga tersebut merasa takut atau marah. Ketiga, tidak ada lagi waktu, tenaga dan

pikiran tersisa untuk melayani penderita gangguan jiwa.” kataku

“Menurut saya, kita juga perlu membuat kriteria bagi si penderita yang bisa

tinggal dirumah kost, misalnya: Pertama, calon anak kost bisa berfungsi pada tingkat

yang cukup tinggi, memiliki persahabatan, dan bisa terlibat dalam kegiatan di luar

rumah. Kedua, calon anak kost bisa berinteraksi dengan anggota keluarga secara

santai. Ketiga, calon anak kost mempunyai keinginan untuk memanfaatkan layanan

dukungan seperti mau kontrol dan minum obat.” Pak Amir menambahkan.

“Bagaimana dengan penderita gangguan jiwa yang telah dalam kondisi sakit

parah sehingga sangat sedikit kemungkinannya untuk bisa menjalani kehidupan

164

keluarga yang normal atau yang mempunyai catatan kejahatan seperti

pembunuhan?” tanyaku pada Pak Amir.

“Saya kira, selama Tirto Jiwo belum mempunyai sarana untuk merawat

penderita yang seperti itu, kita serahkan saja ke Panti Rehabilitasi milik pemerintah

atau milik swasta yang ada” jawab Pak Amir.

Aku setuju dengan pendapat Pak Amir. Memperbaiki pola pikir dan

kesehatan jiwa memerlukan waktu yang cukup lama, oleh karena, itu akan sangat

riskan bila Tirto Jiwo menerima murid dengan riwayat kejahatan dan kekerasan.

Mereka mungkin akan sempat melakukan kejahatan sebelum Tirto jiwo mampu

merubah kesehatan jiwanya.

“Pak Bambang, bagaimana kalau ada keluarga yang ingin membuat rumah

kost pemulihan jiwa, tapi dia minta ada imbalannya” Tanya Pak Amir.

“Saya kira selama masih wajar, dalam arti tarifnya wajar dan secara terbuka

disampaikan berapa biaya makan dan akomodasi per harinya, berapa biaya untuk

membawa anak kost berkonsultasi ke dokter spesialis jiwa, dan honor bagi

bapak/ibu kost. Selama orang tua murid dan bapak/ibu kost kedua-duanya sepakat,

saya kira kita tidak ada masalah” jawabku.

“Bagaimana pendapat Pak Amir soal ini?” tanyaku balik pada Pak Amir

“Saya juga tidak masalah Pak Bambang. Asalkan kedua-duanya sama sama

ikhlas” jawab Pak Amir.

“Oh ya, hampir lupa, kemarin saya terima telpon dari Pak Kamarudin,

Purwokerto. Dia ingin membuat rumah kost pemulihan gangguan jiwa juga. Dia

sudah pensiun. Anak anaknya semua sudah sukses dan merantau, malah yang paling

kecil kini kerja di Amerika. Dirumahnya ada 2 kamar kosong yang bisa dipakai

menampung anak kost.”

“Selama ini kamar yang kosong sipakai apa?”

165

“Katanya sih dulu untuk anak kost biasa. Kini Pak Kamarudin ingin

memanfaatkan kamar itu untuk pemulihan gangguan jiwa. Dia ingat kakaknya dulu

ada yang menderita skizofrenia. Kakaknya kini sudah meninggal. Dia dulu kurang

perhatian terhadap kakaknya. Ada rasa bersalah pada diri Pak Kamarudin. Untuk

menebusnya, dia ingin mengabdikan sisa hidupnya dengan membuat rumah

pemulihan jiwa. Dia ingin mulai dengan membuat rumah kost dulu.”

“Saya kira ide bagus sekali. Pak Kamarudin perlu belajar dulu, supaya tidak

keliru. Bagaimanapun membantu pemulihan jiwa kana da ilmunya”

“Iya, dia sudah setuju untuk datang kemari dan belajar pemulihan gangguan

jiwa.”

“Pak Bambang, ilmu pemulihan gangguan jiwa kan luas sekali. Bisa perlu

ber-minggu minggu untuk menguasai semuanya. Apa pak Kamarudin bisa

meninggalkan rumahnya selama itu?”

“Pak Kamarudin akan bawa istrinya. Mereka akan bagi tugas. Pak

Kamarudin akan fokus pada skizofrenia, sedangkan istrinya akan lebih fokus pada

depresi dan gangguan perasaan lainnya. Mereka fasih berbahasa Inggris, jadi bisa

belajar sendiri juga lewat internet.”

“Bagaimana dengan supervisi dari Tirto Jiwo?”

“Kita bisa atur nanti. Sekarang ada internet. Kita bisa adakan video

konferensi, kita bisa lihat Pak Kamarudin dan anak kostnya. Tidak masalah saya

kira”

Kost pemulihan gangguan jiwa bukanlah ide asli dariku. Di Negara

Denmark, telah ada healing home atau rumah penyembuhan. Rumah penyembuhan

tersebut terletak di daerah pedesaan sehingga mempunyai lingkungan alam yang

segar, bebas polusi. Rumah penyembuhan menggabungkan suasana rumah biasa

dengan dukungan professional dari organisasi nirlaba yang mensupervisi dan

membina mereka.

166

Di Magelang, beberapa perawat jiwa juga memberikan pelayanan serupa.

Mereka merawat penderita gangguan jiwa dirumah. Para penderita tersebut

diperlakukan sebagai anggota keluarga dan mendapat dukungan psikososial yang

diperlukan bagi pemulihann

----0000----

Sebuah ide yang hingga kini belum berhasil kuwujudkan adalah mendirikan

club house, sebuah rumah yang dikelola oleh para penderita gangguan jiwa dimana

mereka bisa mengobrol, bersosialisasi, berolah raga, bertukar pengalaman dan

melakukan kegiatan bersama lainnya. Di dalam club house, mereka bisa belajar

ketrampilan tertentu, misalnya di bidang pertanian, perkebunan, atau memasak agar

bisa kembali bekerja ditengah masyarakat. Club house juga menjadi ajang

pertukaran informasi sesama penderita gangguan jiwa. Semua kegiatan disana

dikelola dan dikerjakan bersama, mulai dari membersihkan, menata ruangan,

memasak hingga kegiatan administrasi sederhana. Kegiatan kegiatan tersebut

dikerjakan secara bergiliran atau berkelompok sesuai kondisi masing masing club

house.

Ada 2 model club house yang muncul dibenakku. Model pertama, club house

yang berada di pedesaan yang asri dimana penderita gangguan jiwa bisa tinggal

selama beberapa hari. Club house ini cocok untuk penderita gangguan jiwa yang

tinggal di perkotaan. Secara berkala mereka memerlukan suasana yang

menyegarkan, tenang dan jauh dari keramaian kota. Lebih baik lagi, bila club house

tersebut bisa menyediakan sarana kegiatan, seperti berkebun, memelihara ikan,

beternak ayam dan kegiatan pertanian lainnya. Tentunya, suasananya harus ramah

dan tidak menimbulkan stress. Suasa dan kegiatan kegiatan di club house akan

mendukung proses pemulihan dari gangguan jiwa.

Model kedua, club house yang berada di daerah perkotaan dan berada di

lokasi yang mudah terjangkau oleh kendaraan umum. Penderita gangguan jiwa

datang secara berkala untuk bersosialisasi dan mengadakan kegiatan bersama.

Mereka dapat bermain tenis meja, main kartu, karaoke , atau kegiatan lainnya sesuai

dengan fasilitas yang ada. Secara berkala, mereka juga bisa memanggil nara sumber

167

untuk membahas suatu topic yang relevan dengan permasalahan yang mereka

hadapi.

Aku belum punya bayangan, kapan ideku ini bisa akan terlaksana. Gambaran

tentang sumber dananya juga belum ada. Semuanya masih berupa angan angan.

168

Life Skills

agi itu, sehabis sholat subuh, udara terasa sejuk dan segar. Kulihat semua

murid sedang berjalan melewati jalan setapak tersusun dari batu alam yang

melingkari halaman belakang Tirto Jiwo. Panjang jalan setapak itu sekitar

500 m, melingkar di lereng bukit Menoreh yang cukup terjal. Berjalan berputar lima

kali setiap hari sudah cukup membuat badan segar dan sehat.

Para murid bukan hanya sedang berolah raga biasa, mereka sedang berlatih

mindfulness, mengendalikan pikiran agar tetap fokus pada kondisi sekarang dan

pada kegiatan yang sedang mereka lakukan.

Mengendalikan pikiran, khususnya bagi penderita gangguan jiwa, bukanlah

pekerjaan mudah. Pikiran mereka terbiasa melayang tidak terkendali. Ketika sedang

mengalami maniak, pikiran mereka berpacu. Ide datang bergantian tidak pernah

berhenti. Ketika sedang cemas, pikiran mereka penuh dengan hal hal yang

menakutkan. Depresi membuat pikiran mereka penuh dengan keputus-asaan, gelap,

tanpa masa depan, tidak ada harapan. Pelatihan mengendalikan pikiran akan

memperkuat ketahanan jiwa mereka, meningkatkan kemampuan mereka

mengendalikan emosi, mengurangi munculnya halusinasi dan waham.

Kusadari, tingkat pengendalian pikiranku masih rendah. Ketika makan pagi

bersama, istriku sering bisa mengenali ketika pikiranku melayang ke lain tempat.

Katanya, mataku menerawang kosong. Persis tatapan kosong penderita gangguan

jiwa. Beberapa tanda lainnya yang menunjukkan bahwa pikiran sering berada

ditempat lain, misalnya: aku sering lupa nama seseorang yang baru beberapa menit

yang lalu dikenalkan, menumpahkan minuman atau menjatuhkan sesuatu karena

perhatianku tertuju ke hal lain, ketika berjalan cenderung cepat tanpa

memperhatikan apa yang sedang terjadi dijalan yang kulewati, sholat tidak khusyuk,

mengendarai mobil secara otomatis tanpa kesadaran penuh. Kata temanku yang ahli

hipnotis, orang seperti diriku akan sangat mudah dihipnotis.

P

169

Latihan mindfulness dengan berjalan merupakan tingkat yang paling

sederhana. Mereka hanya diminta menarik napas lewat hidung setiap kaki kanan

melangkah dan melepaskan napas lewat mulut ketika melangkahkan kaki kirinya.

Perhatian mereka secara penuh ditujukan pada langkah kaki dan napasnya. Bila

pikiran melayang, ketika sadar, mereka diminta mengembalikannya dengan menaruh

perhatian secara penuh ke keadaan dan kegiatan sekarang yang sedang mereka

lakukan. Awalnya, dalam satu putaran, ratusan kali mereka harus mengembalikan

pikirannya yang mengembara. Melalui latihan rutin setiap pagi, pelan pelan,

kemampuan mereka mengendalikan pikiran meningkat. Perhatian dan pikiran

mereka bisa tertuju pada keadaan sekarang dan kegiatan yang sedang mereka

lakukan.

Latihan mindfulness juga dilakukan dengan meminta mereka memberi

makan ayam, kucing ataupun rusa yang ada di Tirto jiwo. Mereka diminta

memperhatiakn bagaimana tingkah laku binatang tersebut ketika diberi makan,

reaksi seekor ayam ketika makanan mereka direbut ayam yang lain, reaksi kucing

ketika digendong. Pada saat yang bersamaan, mereka juga diminta memperhatikan

dan mengenali pikiran, perasaan dan perilaku mereka sendiri ketika melakukan

semua kegiatan itu.

Latihan mindfulness berikutnya dilakukan dengan meminta para murid

merawat tanaman yang ada dihalaman depan dan belakang Tirto Jiwo. Mereka

diminta mengamati perkembangan tanaman tanaman tersebut, mengenali pikiran,

perasaan, perilaku dan keadaan tubuh mereka ketika melakukan kegiatan kegiatan

tersebut. Latihan ini sangat penting agar mereka bisa menjaga kesehatan jiwanya,

bisa mengenali tanda awal bila ada sesuatu yang mulai tidak beres, bisa

mengendalikan pikirannya sehingga terhindar dari halusinasi dan waham.

Kebanyakan penderita gangguan jiwa tidak sadar emosi mereka hingga

sudah melenceng cukup jauh. Akibatnya mereka kesulitan mengendalikan marah,

kekecewaan ataupun kegelisahan. Mereka tidak bisa mengenali emosi ketika marah

mereka masih pada tingkat normal. Bila mereka mampu mengenali perubahan emosi

pada tahap awal, akan lebih mudah emosi tersebut dikendalikan. Kebanyakan,

170

mereka baru sadar ketika kemarahan mereka sudah meledak dan berdampak buruk

pada dirinya. Dalam kaitannya dengan pikiran juga begitu. Sering, pikiran mereka

melayang tanpa disadari sehingga lama kelamaan tidak bisa lagi membedakan mana

kenyataan dan mana khayalan. Latihan mindfulness meningkatkan ketrampilan

mereka dalam pengendalian pikiran.

“Selamat pagi mas Hanafi” sapaku

“Selamat pagi Pak Bambang”

‘’Bagaimana latihannya pagi tadi ?’’

‘’Lebih baik dibandingkan dengan ketika pertama kali melakukannya. Tadi

saya bisa merasakan sejuknya udara pagi, rasa dingin di telapak kaki ketika

menginjak batu, suara burung’’ Kata Hanafi

‘’Waktu mulai berlatih, apa yang dirasakan ?’’

‘’Saya tidak ingat. Pikiran saya melayang ke rumah, ke rumah sakit, kemana-

mana. Waktu itu, sulit sekali mengendalikan pikiran agar tetap fokus pada apa yang

dikerjakan”

‘’Baguslah kalau sudah ada kemajuan. Bagaimana dengan kucing hitamnya?

Siapa namanya?

“Namanya Ncil, dari kata kecil. Dulu waktu pertama kali datang masih kecil

sekali, sekarang sudah besar”

“Bagaimana pikiran dan perasaan Mas Hanafi waktu bermain dan memberi

makan Ncil kemarin?”

“Ncil itu lucu dan menyenangkan. Sekarang kalau malam dia maunya tidur

didekat kepala saya.’’

Kuamati kondisi kejiwaan Hanafi sudah jauh bertambah baik. Dia sudah bisa

memperhatikan dan merawat kucing. Gairah hidupnya mulai tumbuh dan

kegelisahannya mulai berkurang.

171

Mas Hanafi, apakah masih suka mendengar suara suara?’’

“Masih pak, tapi sudah jarang”

“Coba perhatikan, sebelum suara suara tersebut muncul, coba perhatikan apa

yang ada dipikiran mas Hanafi waktu itu, bagaimana perasaannya, apa yang menjadi

pemicunya”

“Baik pak. Sekarang pikiran saya sudah jarang mengembara. Saya akan

mulai memperhatikan apa yang muncul dipikiran saya sebelum dan ketika suara

suara itu muncul”

“Informasi itu akan sangat membantu proses pemulihan Mas

Hanafi,’’kataku,’’Baik, silahkan kalau mas Hanafi mau mandi’’

‘’Ya Pak”

----0000----

Penderita gangguan jiwa perlu belajar mengendalikan emosi, utamanya

mengendalikan rasa marah. Pagi itu kulihat Pak Amir sedang menjelaskan teknik

mengendalikan kemarahan. Kulihat murid yang hadir mendengarkan pelajaran

tersebut sebagian besar adalah keluarga penderita.

“Semua manusia pasti pernah marah. Marah itu normal. Marah itu jadi

masalah bila terlalu sering, terlalu mudah timbul, berlangsung terlalu lama,

intesitasnya terlalu tinggi,” Kata Pak Amir

“Pak Amir, apa benar kalau tidak berani marah, orang lain tidak akan

menaruh hormat pada kita,? Bu Tuti, salah satu murid yang anaknya bersekolah di

Tirto Jiwo bertanya.

“Sesekali marah memang perlu, tetapi bila terlalu sering itu tidak baik.

Ketika marah, pikiran tidak bekerja dengan baik, kemampuan membuat keputusan

juga terganggu. Di kantor, bila terlalu mudah atau terlalu sering marah, reputasi

menjadi jelek. Karirnya bisa terganggu” Jawab Pak Amir

172

“Ada yang bilang, bila kita marah, sebaiknya jangan dipendam, dilepaskan

saja. Bagaimana pendapat Pak Amir?” Tanya Ihsan, salah satu peserta

“Memang betul memendan amarah atau mengabaikan rasa marah itu tidak

baik, namun meledakkan amarah juga sama jeleknya. Kalau setiap muncul, rasa

marah tersebut dilepaskan begitu saja, sering merugikan hubungan yang

bersangkutan dengan orang lain. Tidak ada orang yang suka dimarahi. Sering marah,

juga kurang baik bagi yang bersangkutan. Pada saat marah, jantung berdegup lebih

cepat. Bila sering marah, jantung bekerja lebih keras, hal ini memudahkan seorang

pemarah terkena penyakit tekanan darah tinggi dan jantung” Jawab Pak Amir

“Memendam marah bisa bikin penyakit. Dipendam saja juga bukan

penyelesaian, lama kelamaan, suatu saat akan meledak juga. Memendam marah

tidak baik, melepaskan marah juga tidak baik. Bagaimana cara mengelola marah

yang baik?’’ Tanya Pak Sugeng.

“Pak Sugeng, pokok bahasan kita pagi ini memang bagaimana mengelola

kemarahan dengan baik. Pertama-tama, kita perlu mengenali jenis kemarahan

tersebut. Seringkali, kemarahan tersebut merupakan topeng dari rasa malu,

terancam, sakit hati, dan tidak aman. Ada orang marah karena tidak bisa kompromi.

Dia teriak paling keras karena tidak setuju dengan pendapat orang lain dan ingin

agar pendapatnya dituruti. Bisa juga karena dia tidak tahu cara mengekpresikan

dirinya selain dengan cara marah. Dia ingin kelihatan kuat, bukan penakut atau

pengecut dan bisa mengontrol semuanya. Sering juga, orang marah karena melihat

perbedaan pendapat sebagai tantangan terhadap dirinya. Perbedaan pendapat dari

bawahan atau orang lain dipandang sebagai upaya melawan dirinya.” Jawab Pak

Amir

“Oh pantas, atasan saya kalau dikritik langsung marah. Ternyata dia

memandang perbedaan pendapat itu sebagai upaya membangkang, tantangan

terhadap jabatan yang dipegangnya” kata salah satu peserta pelatihan.

173

“Anak saya marah kalau kemauannya tidak dituruti. Padahal banyak cara

lain bisa dilakukan agar kemauan seseorang itu dituruti oleh orang lain” kata Bu

Tuti.

“Betul Bu Tuti. Anak tersebut mungkin selalu dituruti kemauannya bila

marah sehingga tidak belajar cara lain lebih baik. “ Jawab Pak Amir.

“Bagaimana mencegah agar kemarahan kita tidak meledak?” Tanya salah

satu peserta.

“Biasanya ada waktu beberapa saat sebelum kemarahan itu meledak. Juga

ada tanda tanda yang muncul ditubuh sebelum menjadi tidak terkendali. Kita perlu

mengenali tanda tanda awal tersebut sehingga kemarahan bisa dikendalikan. Tanda

tanda awal tersebut berbeda antara satu orang dengan lainnya. Beberapa yang sering

muncul adalah : tangan mengepal atau rahang mencengkeram, muka merah, jantung

berdegup kencang, napas cepat, sakit kepala, keinginan untuk berjalan keliling, perut

atau bahu menegang. Bila tanda tanda tersebut muncul segera lakukan teknik

relaksasi’’

‘’Pak Amir, menurut saya, ada beberapa kejadian, orang atau tempat yang

sering membuat seseorang marah. Mungkin dari 10 kali marah, 8 marah disebabkan

oleh penyebab yang sama. Misalnya seseorang selalu marah bila disinggung tentang

kejelekan orang tuanya. Ada juga yang mudah marah bila dikritik hasil kerjanya.

Nah yang bersangkutan perlu waspada terhadap penyebab marah tersebut” Kata Pak

Sugeng

“Betul sekali Pak Sugeng. Kepekaan seseorang terhadap penyebab

kemarahan memang berbeda-beda. Teman saya sulit marah, kecuali bila ada yang

menjelekkan istri atau anaknya.” Kata Pak Amir

Semua terdiam. Kelihatannya mereka semua sedang mengingat-ingat apa

saja yang selama ini gampang membuat mereka marah. Kuihat Pak Amir kemudian

melanjutkan bahasannya tentang cara mengelola kemarahan.

174

“Pak Amir, bagaimana cara menenangkan diri ketika marah” Tanya salah

satu peserta

“Sebelum saya jawab pertanyaan bapak, akan sampaikan secara singkat

kaitan antara kejadian, pikiran, perasaan, perubahan pada tubuh dan perilaku ketika

marah. Ini penting karena dari pemahaman ini kita bisa menyusun cara atau teknik

untuk mengontrol kemarahan tersebut. Dari yang paling mudah dan jelas terlebih

dulu. Bila seseorang marah, maka ada perubahan ditubuhnya. Misalnya: jantung

berdetak lebih cepat, otot menegang, napas bertambah cepat, muka merah, rahang

mengatup keras. Untuk meredakan kemarahan, salah satu caranya adalah dengan

bernapas dalam dan pelan atau memijit bagian otot yang tegang.” Jelas Pak Amir

‘’Menurunkan marah juga bisa dilakukan dengan memperhatikan perubahan

pada tubuh kita. Dengan memperhatikan jantung yang berdegup kencang atau

rahang yang mencengkeram, rasa marah bisa perlahan turun” kata salah satu peserta.

“Tanda ditubuh tadi bisa dipakai sebagai peringatan dini juga, sehingga kita

bisa melakukan kegiatan untuk meredakan marah”Kata Bu Tuti

‘’Betul sekali, Bu Tuti’’ kata pak Amir

‘’Saya tahu hubungan antara marah dengan perilaku. Perilaku seseorang

ketika marah itu berbeda-beda, ada yang membanting benda, memukul, memaki-

maki, teriak, jalan keliling ruangan. Implikasi pada pencegahan juga ada. Bila kita

marah, kita lakukan kegiatan yang bisa membuat kita santai, misalnya: jalan jalan

ketempat terbuka dan udara segar, mendengarkan musik, melepaskan marah dengan

memukul bantal.” Kata salah seorang peserta.

“Saya kira betul sekali apa yang disampaikan ibu tadi. Baik, saya akan

lanjutkan dengan kaitan Antara suatu kejadian dengan pikiran atau kepercayaan

yang timbul. Misalnya bila kita menyapa seseorang namun yang disapa diam saja.

Apa yang muncul dipikiran kita?” Tanya pak Amir kepada peserta

“Orang itu tuli”Kata salah seorang peserta

“Orang itu sedang melamun, tidak mendengar saapan kita” Kata peserta lain

175

“Orang itu tidak mau berbicara dengan kita. Dia memandang rendah kita”

kata peserta yang lain lagi

“Baik, dari satu kejadian pikiran atau kepercayaan yang muncul bisa

bermacam-macam. Ada yang berpikiran bahwa orang tadi tuli atau sedang melamun.

Namun ada juga yang berpikiran bahwa orang tersebut tidak mau bergaul,

memandang rendah atau menghina. Bila pikiran yang timbul adalah orang itu

menghina kita, perasaan apa yang akan muncul?” Tanya pak Amir kepada para

peserta pelatihan

“Marah” kata para peserta hampir serentak.

‘’Jadi, sebenarnya bukan kejadian itu yang membuat orang tersebut marah,

tetapi pikiran yang muncul akibat kejadian itu yang membuat orang tersebut marah.

Dia berpikir bahwa orang disapanya tidak mau menjawab karena orang tersebut

tidak mau menjawab sapaan. Dia dianggap rendah, maka perasaan yang muncul

adalah marah’’ Kata Pak Amir.

‘’Contoh lain, ada orang menilai jelek hasil kerja kita. Maka berbagai pikiran

bisa muncul, misalnya: orang itu ingin memperbaiki hasil kerja, ingin agar dilain

waktu hasil kerja lebih baik lagi, ingin menghina, dan lain lain. Bila pikiran atau

keyakinan yang muncul adalah orang itu menghina, maka perasaan yang muncul

adalah marah. Jelas ya?” kata Pak Amir mencoba menjelaskan kaitan Antara

kejadian dengan pikiran.

“Jelas sekali Pak”

“Nah, penderita gangguan jiwa sering mempunyai pola pikir yang kurang

sehat. Mereka sering secara otomatis mengartikan suatu kejadian secara negatif.

Pikiran negative itu yang sering membuat mereka marah, cemas, sedih atau gelisah.”

Jelas pak Amir.

Ketika tidak ada peserta yang menyela ucapannya, Pak Amir melanjutkan

penjelasannya.

176

“Baik, kita sekarang melakukan latihan. Coba masing masing mengingat-

ingat 2 kemarahan yang terakhir. Coba tulis, kejadian apa yang membuat marah,

pikiran apa yang muncul sehingga menyebabkan timbulnya perasaan marah,

perubahan tubuh apa yang terjadi, perilaku apa yang dilakukan ketika marah.

Masing masing ditulis saja. Tidak usah dikumpulkan. Nanti dirumah buat catatan

setiap kejadian marah. Dari situ nanti bisa dianalisa apakah ada pola pikir yang

negatif, kejadian yang sering jadi penyebab, teknik yang cocok untuk meredakan

kemarahan’’ Jelas Pak Amir.

Masing masing peserta sibuk mengerjakan latihan yang diberikan Pak Amir.

Suasana ruangan menjadi tenang. Beberapa menit kemudian, semua murid sudah

selesai mengerjakan penugasan yang diberikan.

“Baik, ada yang mau jadi sukarelawan dengan membacakan kejadian marah

yang terjadi?”

Bu Tuti mengacungkan tangannya.

“Baik, Bu Tuti yang mau maju. Silahkan Bu’ kata Pak Amir

‘’Bapak dan ibu sekalian, perkenankan saya sampaikan kejadian yang

membuat saya marah. Kejadiannya di kantor diawal bulan Januari. Ketika

berpapasan dengan boss, saya mengucapkan selamat tahun baru sambil menjabat

tangannya. Boss menjabat tangan saya, namun diam saja, tidak mengucapkan satu

katapun. Dia terus pergi menemui anak buahnya yang lain. Saya benar benar

tersinggung, merasa dihina dan hal tersebut membuat saya marah. Darah saya

rasanya mendidih, jantung berdetak kencang dan napas jadi cepat” kata Bu Tuti.

“Jadi pikiran otomatis yang muncul dari kejadian itu adalah sang Boss

memandang rendah Bu Tuti. Bu tuti merasa terhina sehingga timbul rasa marah.

Apakah kejadian tadi bisa diartikan lain?” kata Pak Amir

“Mungkin Boss sedang banyak pikiran, pusing memikirkan perusahaannya

sehingga kurang menaruh perhatian terhadap ucapan selamat tahun baru” Kata Pak

Sugeng.

177

“Betul Pak Sugeng, beberapa jam setelah kejadian itu saya dapat informasi

kalau bulan lalu perusahaan merugi banyak. Ketika ketemu saya, Boss baru saja

ketemu Direktur Keuangan yang melaporkan adanya defisit tadi. Saya jadi menyesal

telah marah kepada Boss. Kalau saya jadi dia, pasti pusing juga memikirkan

perusahaan yang merugi” kata Bu Tuti menyahut kata kata yang diucapkan Pak

Sugeng.

Kulihat semua peserta sudah memahami kaitan Antara kejadian, pikiran atau

keyakinan yang muncul dan timbulnya perasaan marah serta perubahan yang terjadi

di tubuh dan perilaku akibat marah. Kuteruskan pembahasan manajemen marah

dengan cara menyalurkan marah yang baik dan sehat.

“Baik kita lanjutkan bahasan kita tentang manajemen kemarahan. Pertama,

coba cari penyebab utama kemarahan tersebut. Bila kita marah karena anak tidak

membawa piring kotor ke dapur, maka cari penyebab mengapa kita frustasi

karenanya. Apakah ada cara lain, selain marah, yang akan membuat anak mau

membawa piring kotor kedapur sehabis makan? Adakah cara, nasihat atau saran

yang membangun?”

“Jadi prinsipnya, cari alternatif lain, selain marah, dalam memecahkan

masalah. Marah sering tidak memecahkan masalah, tapi juga menimbulkan masalah

baru lainnya’’ kata Pak Sugeng

‘’Sebelum kita melontarkan kemarahan kita, sebaiknya diturunkan dulu

tingkat kemarahan tersebut. Misalnya dengan mencari udara segar, atau beberapa

menit mendengarkan musik, baru kita hadapi masalah yang membuat marah

tersebut. Pada saat itu, kepala sudah lebih dingin sehingga otak bisa bekerja dengan

lebih baik.’’Kata Pak Amir.

Setelah berhenti sejenak, Pak Amir melanjutkan penjelasannya.

‘’Bila sedang marah, sebaiknya kita tetap menempatkan kemarahan tersebut

dalam konteks yang lebih luas. Pertama, utamakan bahwa persaudaraan atau

pertemanan lebih penting dibandingkan dengan menang dalam suatu perdebatan.

Coba latih untuk menghormati pendapat atau pandangan orang lain. Kedua, Fokus

178

pada keadaan sekarang. Bila sedang beradu pendapat, sering dicampur adukkan

masalh sekarang dengan masalah masalah yang lalu. Hal tersebut akan membuat

masalah menjadi semakin rumit. Dari pada fokus pada mencari siapa yang salah,

lebih baik perhatian dan pikiran diarahkan kepada mencari pemecahan masalahnya

dan apa yang bisa dilakukan sekarang untuk memperbaiki hal tersebut. Ketiga, pilih

persoalan yang penting. Jangan berdebat untuk hal hal kecil dan tidak penting.

Keempat, jadilah seorang yang bersedia memberi maaf. Perbedaan pendapat bisa

ditengahi bila kita mau menghilangkan keinginan untuk memarahi atau menghukum

orang tersebut. Fokuskan pikiran pada pemecahan masalah, bukan pada cara

menghukum orang lain. Kelima, bersiap siap dengan ‘setuju untuk tidak setuju’.

Artinya, kita boleh berbeda pendapat tapi pertemanan atau persaudaraan tetap jalan

terus” Jelas Pak Amir.

Kursus tentang manajemen marah masih berlangsung terus hingga waktu

makan siang tiba. Kulihat, kursus tersebut berjalan dengan lancar. Semua peserta

bisa mengambil manfaat dan puas dengan kursus tersebut.

----0000----

Salah satu ketrampilan hidup yang perlu dipunyai adalah ketrampilan

memecahkan masalah. Kupikir ini jelas. Bila semua masalah bisa dipecahkan, tidak

akan ada stress. Stress akan memicu munculnya gangguan jiwa. Semua orang,

terutama para penderita gangguan jiwa, seharusnya mempunyai ketrampilan yang

tinggi dalam pemecahan masalah. Kenyataannya, kebanyakan penderita gangguan

jiwa rendah kemampuannya dalam memecahkan masalah.

Siang itu, Tirto Jiwo mengadakan kursus teknik pemecahan masalah

sederhana bagi para penderita gangguan jiwa dan keluarganya. Kulihat pesertanya

mencapai 32 orang. Sebagian besar peserta berasal dari keluarga yang salah satu

anggotanya menderita gangguan jiwa. Pak Prianto mendapat giliran mengajar.

Setelah mengadakan perkenalan secara singkat, Pak Prianto langsung masuk

kedalam materi.

179

“Teknik pemecahan masalah akan kita pelajari dari sisi praktisnya. Nanti kita

akan terjun langsung mempraktekkan teknik pemecahan masalah melalui kerja

kelompok. Perlu saya sampaikan bahwa ada 3 tahap dalam proses pemecahan

masalah. Tahap pertama adalah tahap pemahaman terhadap masalah, yaitu

mengetahui berbagai penyebab dari timbulnya masalah. Tahap kedua adalah

mengembangkan alternatif pemecahan masalah dan tahap ketiga adalah memilih

cara pemecahan masalah yang terbaik.” Katanya memberi sedikit pengantar

terhadap teknik pemecahan masalah. Kulihat semua peserta menyimak kata-katanya.

“sebelum kita masuki tahap pertama, mari kita buat 6 kelompok. Masing

masing kelompok terdiri dari 5 atau 6 orang. Ada usulan masalah yang akan kita

coba pecahkan disini?” Tanya Pak Prianto kepada para peserta

“Saya usul masalah penderita tidak mau minum obat” Kata salah satu peserta

dari kelompok I.

“Bagus, kita sudah punya satu masalah yaitu penderita tidak mau minum

obat. Saya kira masalah ini sering dijumpai. Ada usul lain?” kata Pak Prianto lagi

“saya usul masalah tentang diskriminasi masyarakat terhadap penderita

gangguan jiwa” Kata salah satu peserta dari kelompok III.

“Bagaimana dengan masalah penderita gangguan jiwa yang hidup

menggelandang” usul salah satu peserta dari Kelompok IV.

“Baik, kita ada 6 kelompok dan ada 3 masalah. Kelompok I dan II

membahas masalah penderita yang tidak mau minum obat. Kelompok III dan IV

membahas tentang diskriminasi masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa.

Kelompok V dan VI membahas penderita gangguan jiwa yang hidup

menggelandang. Silahkan lakukan diskusi tahap pertama yaitu mengenal masalah.

Coba identifikasi penyebab dari masalah masalah tersebut. Ada tersedia 6 laptop

yang terhubung dengan internet. Masing masing kelompok bisa memanfaatkan 1

laptop. Saya kira disetiap kelompok paling tidak ada salah seorang yang bisa

mengoperasikan komputer dan memanfaatkan internet. Jelas?” tanya Pak Prianto

pada para peserta.

180

“Jelas Pak”

“Kalau sudah jelas silahkan mulai” kata Pak Prianto

Dia melihat masing masing mulai bekerja secara kelompok dengan

menunjuk ketua dan sekretaris kelompok. Sekretaris kemudian mulai menulis

masalah yang telah ditentukan dibagian tengah kertas flipchart sehingga semua

anggota bisa melihat dengan jelas. Semua kelompok mulai berdiskusi dan

mengidentifikasi berbagai penyebab dari masalah tersebut. Dia melihat semua

kelompok memanfaatkan internet untuk mencari informasi yang terkait dengan

masalah yang mereka hadapi.

Dalam waktu kurang dari setengah jam, semua kelompok sudah selesai

melaksanakan tugas kerja kelompoknya masing masing.

“Coba sekarang kelompok II presentasi hasil kerjanya. Kelompok yang lain

silahkan bertanya atau memberi saran untuk perbaikan”

Kelompok II yang diketuai oleh Pak Poniman maju kedepan. Mereka

memprsentasikan hasil kerja kelompoknya.

“Bapak dan ibu sekalian. Kelompok kami membahas masalah penderita yang

tidak mau minum obat. Dari hasil diskusi dan pencarian informasi dari internet, kita

tahu bahwa sekitar 30-60% penderita gangguan jiwa tidak minum obat sesuai

ketentuan dokter. Beberapa penyebab mereka tidak mau minum obat, yaitu:

pertama, penderita tidak mempunyai kesadaran kalau dirinya sakit. Sebagian besar

pasien gangguan bipolar atau skizofrenia tidak mau minum obat karena merasa

dirinya tidak sakit. Hal ini terutama terjadi ketika mereka masih dirawat di rumah

sakit. Setelah keluar dari rumah sakit, sebagian besar menyadari bahwa ada sesuatu

yang tidak beres dengan dirinya sehingga mereka dibawa ke rumah sakit.”

“Kedua, sikap mereka terhadap obat obatan. Penderita yang sudah lama

menderita dan beberapa kali ganti obat sangat khawatir dengan efek sampingnya

dan takut pada ketergantungan terhadap obat tersebut. Mereka melaporkan bahwa

minum obat dalam jangka lama telah menurunkan kemampuan berpikirnya.

181

Beberapa penderita merasakan bahwa minum obat merupakan suatu hukuman

baginya. Penderita yang tidak suka minum obat karena takut akan efek sampingnya

biasanya mempunyai sikap yang positif terhadap terapi psikososial. ”

“Alasan ketiga adalah terkait dengan sikap mereka terhadap penyakit yang

dideritanya. Minum obat berarti mereka menderita gangguan jiwa, padahal

masyarakat sering melakukan terhadap penderita gangguan jiwa. Mereka malu kalau

harus control ke RSJ.”

“Alasan lain yang sering dikemukakan adalah alasan keuangan. Mereka tidak

punya uang untuk biaya transportasi, konsultasi dan menebus obat. Mereka juga ada

yang menghentikan minum obat karena menderita penyakit lain.”

“Dari berbagai alasan yang ada, dalam kelompok, kami cenderung menilai

bahwa penyebab utamanya adalah masalah terkait efek samping obat, termasuk

dampaknya dalam jangka panjang. Terima kasih demikian hasil kerja kelompok II.

Kami siap menjawab pertanyaan atau saran” kata wakil Kelompok II.

“Ada pertanyaan, komentar atau saran dari Kelompok I atau Kelompok

lainnya” ujar Pak Prianto.

Dia melihat salah satu peserta dari Kelompok I mengangkat tangan.

“Silahkan wakil dari Kelompok I untuk menyampaikan pendapat, pertanyaan

atau saran” ujarnya

“Menurut Kelompok I, kami mengelompokkan penyebab dari tidak mau

minum obat dalam dua penyebab utama. Penyebab pertama terkait dengan penderita

atau pasien dan penyebab kedua terkait dengan pelayanan kesehatan jiwa. Penyebab

yang terkait dengan penderita misalnya: penderita tidak merasa sakit, takut terhadap

efek samping obat dalam jangka pendek maupun jangka panjang, menganggap obat

sebagai hukuman, tidak punya biaya untuk berobat dan karena penderita sedang

mengalami sakit yang lain. Penyebab kedua, misalnya karena pelayanan dari RSJ

atau klinik yang tidak menyenangkan, tidak ingin diketahui masyarakat bahwa

mereka sakit, dan sudah bosan bolak balik ke rumah sakit.”

182

“Ada komentar atau saran dari Kelompok lain?” tanya Pak Prianto.

‘’Baik kalau tidak ada. Saya kira tidak ada kontradiksi antara hasil kerja

Kelompok I maupun Kelompok II’’

“Saya sangat terkesan dengan hasil kerja kedua kelompok. Sepertinya

mereka sudah jadi ahli dalam masalah penderita yang tidak mau minum obat. Boleh

tahu, dari mana dapat informasi tentang penyebab penderita tidak mau minum

obat ?’’Tanya Pak Prianto pada Kelompok I dan II.

“Dari internet Pak” jawab kedua Kelompok hampir serentak.

Berikutnya presentasi hasil diskusi Kelompok III dan IV serta Kelompok V

dan VI. Mereka melalui proses yang sama dengan kelompok sebelumnya. Dalam

waktu kurang dari 1 jam, presentasi dan diskusi dari 2 masalah tersebut selesai. Kini

saatnya untuk melangkah ke tahap berikutnya, yaitu tahap pengembangan alternatif

pemecahan masalah.

‘’Baik, sekarang kita lanjutkan dengan tahap pengembangan alternatif

pemecahan masalah. Kita pakai hasil diskusi kelompok I dan II sebagai contoh. Kita

sudah tahu berbagai penyebab mengapa seorang penderita tidak mau minum obat.

Untuk mencari jalan keluarnya, kita bisa lakukan brainstorming atau curah

pendapat. Ada yang punya saran tentang cara mengatasi penderita yang tidak mau

minum obat?” tanya Pak Prianto pada para peserta.

‘Dipaksa saja, kita ikat dan obatnya dimasukkan kemulutnya’ usul salah

seorang peserta.

‘Dimasukkan kedalam kopi atau teh, biar tidak tahu kalau minum obat’ usul

peserta lainnya

‘Pakai suntikan, cukup sebulan sekali disuntik’

“Tergantung penyebabnya, bila karena efek samping obat, kita usulkan pada

dokter untuk mengganti dengan obat yang lebih cocok”

183

“Kita minta dokter atau perawat menjelaskan manfaat dan efek samping

obat. Biar penderita tahu sehingga ada kesadaran untuk minum obat. Tidak harus

diawasi terus menerus”

“Kita usulkan agar obat gangguan jiwa dimasukkan dalam obat BPJS. Pasien

miskin bisa dapat obat gratis”

Beberapa ide terus dilontarkan oleh para peserta. Akhirnya terkumpul 14 ide

pemecahan masalah penderita yang tidak mau minum obat.

“Langkah selanjutnya adalah menilai setiap usulan tersebut. Kita tulis

kekuatan dan kelemahan dari masing masing usulan tadi dan nanti kita pilih usulan

yang paling sesuai dengan kondisi kita. Kita coba dengan usulan pertama, yaitu

mengikat penderita dan memaksa minum obat dengan memasukkan obat

kemulutnya. Apa positif dan negatifnya usulan tadi?” Tanya Pak Prianto.

“Negatifnya banyak, yaitu tidak manusiawi, sulit dilaksanakan, tiap kali

minum obat harus ada yang mengikat”

“Baik, kita lanjutkan pada usulan kedua, dimasukkan kedalam kopi atau teh.

Apa positif dan negatifnya?

‘’Lama kelamaan ketahuan juga. Kalau dicampur kopi, bikin penderita tidak

mengantuk dan tidak bisa tidur. Ini bisa menimbulkan masalah tersendiri’’ kata

salah satu peserta.

Begitu seterusnya pembahasan tentang pengembangan pemecahan masalah

sehingga semua ide dianalisa sisi positif dan negatifnya. Adanya daftar kekuatan dan

kelemahan dari masing masing alternatif pemecahan masalah akan memudahkan

seseorang memilih cara pemecahan masalah yang terbaik.

Pada tahap itu, para peserta sudah siap melangkah ke tahap ketiga dalam

proses pemecahan masalah, yaitu memilih cara pemecahan masalah yang terbaik.

Dengan melihat sisi positif dan negatif dari semua usulan yang ada, bisa ditentukan

satu atau beberapa cara mengatasi masalah penderita yang tidak mau minum obat.

184

“Pak Prianto, apakah metode ini bisa diterapkan untuk memecahkan semua

masalah?” Tanya salah satu peserta.

“Ya bisa dipakai untuk semua masalah sosial. Tidak bisa dipakai untuk

memecahkan masalah teknis, seperti cara mengobati orang sakit malaria. Tidak bisa

dipecahkan melalui metode ini” kata pak Prianto memberi penjelasan.

Metode sederhana yang disampaikan Pak Prianto mudah dimengerti dan

gampang diterapkan. Menurut pengalamanku, metode tersebut cukup efektif dalam

memecahkan masalah riil dalam kehidupan sehari-hari, dapat menuntun proses

pemecahan masalah secara rasional dan sistimatis dan dapat menghindarkan

seseorang untuk langsung loncat kepada pemecahan masalah sebelum benar benar

memahami masalah yang dihadapinya.Pemecahan maalah yang baik akan dapat

menghindarkan seseorang dari stress.

----0000----

Menderita gangguan jiwa dapat menimbulkan berbagai kesulitan dan

hambatan di hampir semua wilayah kehidupan. Bagi penderita gangguan jiwa berat,

kegiatan kecil dan sederhana seperti berbicara secara terbuka dengan orang lain,

mengelola uang, berteman, mencuci baju, menggosok gigi, dan membersihkan

kamar tidur, sudah menjadi permasalahan tersendiri. Apalagi bila ditambah efek

samping obat yang membuat mereka ingin cepat cepat pergi tidur, membuat para

penderita gangguan jiwa mengalami kesulitan dalam bersosialisasi, belajar dan

mencari pekerjaan.

Program pelatihan ketrampilan hidup (life skills) ditujukan untuk

meningkatkan kemampuan penderita gangguan jiwa sehingga mereka nantinya akan

bisa hidup mandiri. Komponen pelatihan ketrampilan hidup biasanya meliputi

ketrampilan berbicara dan bersosialisasi, mengelola keuangan, kegiatan dalam

rumah (seperti mencuci, membersihkan rumah, memasak), kebersihan diri (seperti

mandi, potong rambut, gosok gigi), dan ketrampilan mengatasi berbagai gejala

penyakit gangguan jiwa. Berbagai ketrampilan seperti kemampuan berbelanja,

185

membuat perencanaan dan pemecahan masalah juga dimasukkan kedalam program

pelatihan life skills.

Di Tirto Jiwo, program pelatihan ketrampilan hidup masih sangat terbatas.

Pelajaran yang diberikan dicangkokkan kedalam kegiatan terapi keluarga,

kunjungan rumah, dan melalui berbagai pelatihan yang diadakan.

Program life skills yang dilakukan oleh Canadian Mental Health Association

bagi para penderita gangguan jiwa berlangsung selama 5 bulan, dari jam 10 pagi

hingga jam 3 sore. 3 bulan pertama, kegiatan belajar dialkukan di dalam kelas; 2

bulan berikutnya, program dilaksanakan ditengah masyarakat. Pelajaran yang

diberikan tergabung dalam 5 modul, yang meliputi modul keluarga dan hubungan

kekerabatan, modul tentang gaya hidup atau lifestyles, modul tentang pengenalan

diri, modul tentang pendidikan dan pekerjaan, serta modul tentang komunitas.

Secara bertahap, aku sudah merencanakan untuk mengembangkan berbagai

program life skills yang bersifat individual. Saat ini, semuanya masih dalam bentuk

konsep yang menunggu waktu dan sumber daya pendukungnya.

----0000----

Kuamati, salah satu kunci pemulihan gangguan jiwa yang sangat penting

adalah pemahaman dan penghayatan yang benar terhadap konsep ketuhanan.

Penghayatan dan keimanan terhadap Tuhan bisa menghindarkan seseorang dari

stress, cemas, ketakutan dan kegelisahan. Disini, yang prinsip bukan luasnya ilmu

agama, tapi kebenaran konsepnya dan kedalaman penghayatannya. Pemahaman

bahwa Tuhan itu Maha Kuasa, mau menolong hambanya yang meminta, sangat

penting dalam proses pemulihan. Pemahaman dan penghayatan rasa syukur juga

tidak kalah penting.

Sebesar apapaun masalah yang dihadapi, selama keimanannya benar, tidak

akan ada kecemasan,. Bukankah Allah Maha Besar? Dengan pertolongan dan

kehendak-Nya, tidak ada masalah sebesar apapaun yang tidak bisa diselesaikan.

Tidak ada penyakit seberat apapaun yang tidak bisa disembuhkan. Selain itu, adanya

186

rasa syukur bisa membuat jiwa lebih tenang. Tidak ada iri, dengki, dan berbagai

pikiran negative yang hanya akan memicu timbulnya gangguan jiwa.

Sebagian besar penderita gangguan jiwa tidak mempunyai pemahaman dan

penghayatan tersebut. Mereka mempunyai ilmu agama, namun sering hanya sebatas

sampai di otak, belum merasuk kedalam kalbu.

“Pak Bambang, saya setuju dengan pemikiran anda. Masalahnya, bagaimana

memberikan pemahaman dan menumbuhkan pemahaman tersebut kepada para

penderita gangguan jiwa” Tanya Pak Amir.

“Saya belum tahu jawabannya secara pasti. Dalam pemikiran saya, ada 2

strategi yang perlu diterapkan. Pertama, melalui doa dari keluarganya. Doa punya

kekuatan untuk menjadikan sesuatu yang sulit menjadi mudah. Tentunya, doa akan

lebih mudah dikabulkan bila orang yang berdoa tersebut banyak amal sholehnya. Itu

sebabnya, di tirto Jiwo kita minta keluarga penderita untuk banyak sedekah, sholat

tahajud, sholat hajad, dan melakukan berbagai amal kebajikan lainnya”

“Pengurus dan guru di Tirto Jiwo juga perlu melakukan itu semua Pak

Bambang”

“Ya sudah tentu. Kita tidak bisa meminta orang lain melakukan sesuatu yang

kita sendiri tidak mau melakukannya”

“Itu strategi pertamanya, apa strategi keduanya?”

“Strategi kedua ditujukan langsung kepada penderitanya. Kita ajari mereka

dzikir sederhana, seperti Allah Akbar, Alhamdulillah, Subhanallah. Tidak kalah

penting, mereka kita ajak melakukan kegiatan amal sholeh, seperti membersihkan

rumah dan memasak untuk Mbah Surip, janda tua yang tinggal sendirian. Kita ajak

mereka membersihkan masjid, membagikan nasi bungkus dankegiatan amal jariyah

lainnya”

“Saya kira itu pemikiran yang bagus. Maaf Pak Bambang, ada satu yang

masih mengganjal. Penderita gangguan jiwa sering mengalami pengalaman spiritual.

Istilah kerennya spiritual emergent. Bagaimana menurut Pak Bambang?”

187

“Terus terang, saya juga belum sepenuhnya paham. Beberapa penderita

bilang kalau mengalami pencerahan, tetapi kesadaran yang muncul sering keliru.

Mereka merasa dirinya sebagai nabi, atau yang paling ekstrim, mereka merasa

sebagai tuhan. Mereka juga tidak punya pemahaman yang lebih baik tentang arti dan

tujuan hidup. Seharusnya, kalau mereka benar benar mendapat pencerahan dari

Tuhan, mereka bisa mempunyai pemahaman yang benar tentang kehidupan ini”

“Saya kira mereka tidak mendapat pengalaman spiritual seperti para nabi

yang mendapat wahyu dari Tuhan”.

“Nanti kalau pemahaman saya sudah lebih meningkat, kita bisa lanjutkan

lagi diskusi ini” kataku kepada Pak Amir.

Obrolanku dengan Pak Amir sementara berhenti sampai disitu. Ilmuku

tentang spiritual emergent memang belum banyak. Berbagai artikel tentang spiritual

emergent menurutku masih spekulatif.

188

Gerakan Pemulihan Gangguan Jiwa

ebagai sebuah sekolah pemulihan gangguan jiwa, banyak hal yang sudah

dikerjakan Tirto Jiwo. Namun, hasilnya masih sangat jauh dibandingkan

dengan jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia yang jumlahnya

mencapai 4 juta orang. Kegiatan Tirto Jiwo masih laksana setetes air yang jatuh

dilautan. Pada tingkat nasional, tidak ada dampaknya apa apa.

Pagi itu, kami berlima mendiskusikan strategi untuk memperluas jangkauan

pelayanan, khususnya bagi mereka yang selama ini belum terjangkau.

“Teman teman, kita semua sudah sangat sibuk Banyak penderita gangguan

jiwa yang sudah kita layani secara langsung. Banyak juga kursus yang sudah

diselenggarakan, namun masih lebih banyak lagi saudara saudara di luar sana yang

belum terjangkau” kataku mengantar diskusi pagi itu.

“Pak Bambang, saya kira kita harus realistis. Tirto jiwo tidak mungkin

memonopoli upaya pemulihan gangguan jiwa. Jangan sampai orang bilang kita

punya waham kebesaran” Kata Pak Hardi.

“Saya setuju dengan pendapat Pak Hardi. Kita ini hanya sebuah kumpulan

manusia kurang pekerjaan, tidak mungkin menjangkau semua penderita gangguan

jiwa di Indonesia” Sambung Pak Amir mendukung pendapat Pak Hardi.

“Baik, saya juga sependapat dengan Pak Amir maupun Pak Hardi. Tirto Jiwo

tidak mungkin melakukan sendiri semuanya. Maksud saya, kita perlu mengajak

semua komponen bangsa ini untuk mendukung upaya pemulihan gangguan jiwa.”

Kataku

“Maksud Pak Bambang, kita perlu mengajak orang lain untuk mendirikan

sekolah pemulihan gangguan jiwa, begitu?” Tanya Pak Prianto

“Betul sekali, itu maksud saya. Kita ajak orang lain untuk mau membantu

pemulihan gangguan jiwa. Mereka tidak harus menyediakan pelayanan yang komplit

seperti di Tirto Jiwo. Kalau ada yang tertarik ingin mendirikan pusat pemulihan saja,

S

189

silahkan dirikan pusat pemulihan. Fokus mereka adalah memberikan pelayanan

pemulihan kepada penderita gangguan jiwa yang tinggal disarana pemulihan

tersebut. Bisa juga, lewat klinik rawat jalan, pelayanan pemulihan tersebut diberikan

melalui rawat jalan saja, penderita datang ke pusat pemulihan sebulan 2-4 kali untuk

mendapat terapi psikososial.” Jawabku.

“Mungkin lembaga lain fokusnya pada kursus pemulihan gangguan jiwa.

Mereka mengkhususkan kegiatannya pada penyelenggaraan kursus atau pelatihan,

tidak memberikan pelayanan pemulihan langsung kepada penderita gangguan jiwa.

Kelompok masyarakat lain bisa mengembangkan kegiatan terapi keluarga, misalnya

dengan mengembangkan relawan yang melakukan kunjungan rumah untuk

memberikan terapi keluarga dirumah masing masing penderita.” Pak Prianto

menyambung kata kaktu.

“Saya setuju dengan ide mengajak kelompok lain mengikuti apa yang kita

lakukan. Namun, kita juga perlu memperluas jangkauan pelayanan Tirto Jiwo. Ada

beberapa strategi yang perlu diterapkan. Salah satunya, kita perbesar skala kegiatan

Tirto Jiwo dengan menerapkan teknologi tepat guna. Misalnya, dalam kegiatan

penyebar luasan informasi tentang pemulihan gangguan jiwa, kita bisa tingkatkan

skalanya dengan memakai teknologi informasi. Kita rekam kursus tersebut dan kita

unggah di you tube. Masyarakat Indonesia bisa belajar sendiri lewat you tube. Bisa

juga buat kursus jarak jauh dengan memakai skype , modul pelatihan yang bisa

dipelajari secara mandiri, ataupun kursus on-line. Kita tidak bisa hanya

mengandalkan kursus lewat tatap muka. Kita buat juga kursus untuk para pelatihnya.

Kita buat modul pelatihannya sehingga kualitasnya bisa sesuai standard. ” Kata Pak

Wibowo.

“Pak Wibowo, teknologi informasi bisa juga kita terapkan untuk pelayanan

psikososial, tidak hanya untuk pelatihan. Misalnya, kita bisa lakukan terapi keluarga

dengan memakai skype. Asal keluarga punya laptop dan sambungan ke internet, kita

bisa terapkan terapi keluarga. Gratis, tidak perlu biaya transportasi lagi.” Kata Pak

Prianto menimpali usulan Pak Wibowo.

190

“Sumber daya manusia atau SDM perlu dikembangkan, baik SDM

professional maupun relawan. Pendidikan formal dilakukan oleh Fakultas Psikologi,

tapi kursus bisa dilakukan oleh lembaga diklat, tidak harus oleh universitas. Tidak

mungkin semuanya dilakukan oleh para profesional.” Kata Pak Hardi.

“Agar sesama peserta latihan bisa saling belajar, perlu diadakan pertemuan

diantara mereka secara berkala. Dalam pertemuan, mereka bisa saling berbagi

pengalaman. Bila ada dana, dalam pertemuan tersebut, mereka bisa mengundang

nara sumber yang sesuai, seperti psikolog” kataku.

“Perlu dibuat juga kisah para penderita gangguan jiwa yang bisa pulih. Kisah

tersebut akan dapat menumbuhkan harapan penderita yang lain. Kisah tersebut bisa

dipublikasikan lewat website.” Kat Pak Hardi.

“Selain studi kasus, berbagai bahan ajaran lain perlu dikembangkan, seperti

rekaman simulasi halusinasi suara, halusinasi visual ataupun simulasi waham. Biar

pelatihan yang dilaksanakan bisa lebih hidup, lebih menarik dan efektif.” Kat Pak

Amir.

“Jangan lupa sisi keuangan juga digarap. Kita perlu menerapkan prinsip ada

gula ada semut. Harus diciptakan insentif agar para professional mau

mengembangkan dan menerapkan psikologi klinis. Tidak bisa semuanya diserahkan

kepada kegiatan kemanusiaan karena kesadaran masyarakat Indonesia bersedekah

maih rendah. Gulanya bisa disediakan oleh BPJS. Perlu dilakukan advokasi kepada

pemerintah pusat maupun BPJS agar memasukkan kegiatan terapi psikososial

sebagai terapi yang dibiayai oleh BPJS.’ Kata Pak Amir

“Kemenkes juga perlu didekati agar mereka bisa mengeluarkan kebijakan

dan program kegiatan yang mendukung, misalnya perawat di puskesmas diajari

teknik terapi keluarga, membuat rencana kerja pemulihan, dan mengatasi

halusinasi.” Usul Pak Wibowo

“Kita tidak melakukan itu semua sendiri. Perlu kerja sama dengan semua

pihak yang prihatin dengan permasalahan gangguan jiwa. Baik pemerintah, Fakultas

Psikologi, ikatan Psikologi Klinis, maupun lembaga swadaya masyarakat. ‘’ kataku

191

‘Pemerintah itu tidak hanya kemenkes maupun kemensos, tapi juga

kemennaker yang perlu melatih penderita gangguan jiwa agar bisa bekerja kemabli.

Peranan pemerintah daerah juga sangat penting, mereka yang secara langsung

bersentuhan dengan penderita gangguan jiwa dan keluarganya’ kata Pak Prianto.

“Semua itu kan perlu uang. Ngomong ngomong uangnya dari mana ? Kalau

dihitung, dana yang diperlukan bisa mencapai ratusan miliar setiap tahunnya” Tanya

Pak Hardi

“Tanpa uang, tidak akan ada yang bisa jalan” kata Pak Amir menimpali

“Jangan begitu, uang bukan segalanya. Kalau kegiatan ini diproyekkan, saya

takut akan rawan korupsi. Apalagi kalau proyek tersebut disentralisasi, akan ada

kumpulan uang yang cukup besar yang akan mengundang masuknya calo anggaran

ataupun calo proyek. Kita pakai pendekatan kemanusiaan dan keagamaan saja” Kata

Pak Wibowo.

“Saya setuju dengan saran Pak Wibowo. Kita petakan semua kegiatan yang

diperlukan, pelaksanaannya kita serahkan ke masing masing pihak yang terkait.

Misalnya, para pensiunan bisa terjun menjadi relawan. Lembaga keagamaan

maupun lembaga komersial bisa menyediakan pusat pusat pemulihan. Pihak lain

bisa mengerjakan pelatihannya. Pihak lain lagi membantu membuat modul

pelatihan, membuat rekaman untuk diunggah di you tube” Kataku mendukung ide

Pak Wibowo.

“Saya setuju dengan semua usul teman teman. Sebaiknya, sekarang ada yang

menulis sehingga bisa dibaca oleh berbagai kalangan. Tulisan tadi kita

komunikasikan ke semua pihak yang terkait” usul Pak Prianto.

“Saya kira Pak Prianto saja yang menulisnya. Kalau cuman buat perencanaan

seperti itu dia sudah pengalaman. Jangan lupa Pak Prianto pernah jadi ketua

Bappeda lho.” Usul Pak Amir.

Pak Prianto tidak keberatan dengan penugasan membuat sebuah rencana

besar atau grand design gerakan pemulihan gangguan jiwa di Indonesia. Diskusi

192

informal pagi itu ditutup dengan makan siang bersama dengan lauk kesenanganku,

fu yung hai Tirto Jiwo. Juga dicapai kesepakatan untuk membuat sebuah rancangan

besar pemulihan gangguan jiwa di Indonesia. Draft rancangan itu akan ditulis Pak

Prianto untuk kemudian didiskusikan kembali sebelum disebar luaskan ke berbagai

pihak yang terkait.

----0000----

Keesokan harinya, tiba tiba Pak Hardi mengundang rapat dirumahnya untuk

membahas Gerakan Pemulihan Gangguan Jiwa di Indonesia. Kami berempat datang

kerumahnya. Pak Hardi sudah siap menunggu kedatangan kami. Dia juga sudah

menyiapkan bubur ayam untuk sarapan bersama.

“Maaf, teman teman, semalaman sehabis sholat tahajud, saya merenung.

Tiba tiba punya pikiran berbeda. Pendekatan kemarin kelihatannya sangat birokratis,

pendekatan proyek” kata Pak Hardi.

“Maksud Pak Hardi?” Tanya Pak Amir

“Menurut saya, ide kemarin baru bisa terlaksana bila ada dana yang cukup

besar. Hanya organisasi besar yang punya banyak duit atau pemerintah yang bisa

melaksanakannya. Padahal kita tahu, pemerintah masih kesulitan untuk melepaskan

semua penderita gangguan jiwa dari pemasungan. Jangan kita tambah bebannya

dengan upaya pemulihan gangguan jiwa. Selama ini, hanya 1-2 organisasi besar

yang tertarik dengan kesehatan jiwa. Kita perlu ubah strateginya secara mendasar.

Kita jadikan ini sebagai gerakan rakyat. Paling tidak, gerakan para pensiunan” jawab

Pak Hardi.

“Saya mulai paham sekarang. Seseorang yang sudah terinspirasi bisa mulai

mengerjakan sesuatu yang bisa dikerjakannya. Tidak perlu menunggu punya sarana

yang tidak tahu kapan akan tersedia. Misalnya, seseorang yang salah satu anggota

keluarganya sudah mulai pulih, maka dia bisa mulai membantu penderita gangguan

jiwa lain yang ada dimasyarakatnya” kata Pak Prianto.

193

“Betul sekali Pak Pri. Contoh lainnya, pensiunan yang tidak punya anggota

keluarga yang terkena gangguan jiwa, bisa mulai dengan membaca artikel tentang

pemulihan gangguan jiwa atau mengikuti kursus yang diadakan, kemudian langsung

mulai terjun mendatangi penderita gangguan jiwa. Bila sendirian merasa kurang

percaya diri, mereka bisa mengajak 1-2 temannya untuk bersama-sama mengadakan

kunjungan rumah”

“Iya ya, pendekatan model begini tidak memerlukan banyak uang. Kalau

menunggu punya uang untuk mendirikan sekolah gangguan jiwa kapan mulainya.

Kita saja perlu 2 tahun lebih untuk mengumpulkan uang dan membangun Tirto

Jiwo” kataku.

“Mereka juga bisa mulai mengadakan pelatihan pelatihan di ruang tamu

rumah mereka. Tidak perlu sewa ruangan atau memakai alat proyeksi yang mahal.

Cukup pelatihan tatap muka 2-3 orang. Materi pelatihan kan bisa diperoleh gratis

dari Tirto Jiwo atau dari situs lainnya”

“OK, saya kira ini usulan yang menarik. Terus bagaimana dengan rencana

pembuatan grand design pemulihan gangguan jiwa?”

“Tetap saja dibuat. Tidak ada ruginya kita punya grand design, tapi tidak

perlu secara aktif kita sebar luaskan. Kita sampaikan bila ada orang yang

menanyakannya.”

“Fokus kampanye kita lebih kearah gerakan rakyat atau gerakan sosial para

pensiunan yang bisa langsung dimulai oleh 1-2 orang. Tidak perlu dana besar. Yang

penting ada niat yang kuat.”

“Meskipun fokusnya pada gerakan individual, ada baiknya kita buat media

untuk saling berbagi. Kita bisa buat newsletter atau surat edaran lewat email.

Biayanya murah tapi efektif”

“Kita juga bisa buat page atau laman di FB”

“Page Tirto Jiwo sudah ada di FB, cuman sudah lama tidak aktif. Saya tidak

punya waktu untuk memperbarui isinya.”

194

“Kalau begitu biar saya yang meng-update page Tirto Jiwo. Tolong saya

dijadikan admin-nya” kata Pak Amir.

“FB juga bisa dipakai untuk konsultasi. Misalnya bila ada yang ingin saran

terhadap masalah yang mereka hadapi, bisa dilakukan lewat FB atau media

komunikasi lainnya. Pokoknya, kita saling bantu membantu.”

“Saya usulkan kita aktif di beberapa media sosial, tidak hanya FB” kata Pak

Hardi

“Asal ada yang mau mengelola saja. Masing masing media sosial perlu

seorang pengelola. Biar isinya tidak sama persis antara satu media dengan media

lainnya.”

Pagi itu diskusi masih terus berlanjut. Topiknya masih seputar

operasionalisasi dari ide gerakan sosial pemulihan gangguan jiwa. Aku senang

sekali dengan ide ini. Kuharapkan semakin banyak orang Indonesia yang mau turun

tangan membantu pemulihan gangguan jiwa yang ada di lingkungannya masing

masing.

195

Epilog

iga tahun setelah pensiun. Kesibukanku tidak kalah bila dibandingkan

ketika aku masih bekerja sebagai pegawai. Hanya jenis kegiatannya yang

berbeda.

Setiap hari aku bangun jam 3 pagi, masih sama dengan ketika masih belum

pensiun. Bedanya, bisa sholat malam dengan lebih khusuk dan sholat subuh

berjamaah di masjid besar di samping alun alun. Sehabis sholat subuh di masjid,

masih tersisa waktu untuk jalan jalan di pagi hari bersama istriku.

Mulai jam 8 pagi hingga sore hari, kesibukanku beralih ke kegiatan

pemulihan gangguan jiwa. Sekolah Pemulihan Jiwa Tirto Jiwo kini sudah menginjak

usia yang ketiga tahun. Keberadaannya sudah dikenal orang. 10 tempat tidur yang

ada di asrama hampir selalu penuh, bahkan tidak jarang calon murid harus antri.

Haya ada fasilitas bagi murid laki laki di asrama Tirto Jiwo. Murid perempuan

biasanya ditipkan di rumah kost. Saat ini, sudah ada 6 rumah kost yang bergabung

dengan Tirto Jiwo dengan kapasitas total sejumlah 17 tempat tidur. Bangunan bagi

asrama murid perempuan di Tirto Jiwo masih dalam tahap perencanaan.

Diperkirakan, 2 tahun kedepan asrama putri akan sudah bisa berfungsi.

Hari itu hari ke 25 di bulan puasa. Purworejo mulai kedatangan warganya

yang merantau. Hari Raya Iedul Fitri memang sering dijadikan ajang reuni keluarga

dan juga reuni alumni SMA Purworejo. Pagi itu aku kedatangan 3 orang temanku

semasa di SMA, Anwar, Abdul dan Eko. Mereka kini sudah pensiun dan tinggal di

Jakarta.

“Pak Bambang, saya tertarik dengan kegiatan sosial anda. Saya juga ingin

ikut-ikutan, tapi kelihatannya tidak bisa di pemulihan gangguan jiwa” kata Pak

Anwar.

Pak Anwar dulu jago matematika. Nilai ulangan matematikanya selalu

tertinggi di kelas. Sayangnya, karena keterbatasan dana dari orang tuanya, dia tidak

bisa langsung melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi. Setamat SMA Pak Anwar

T

196

diterima bekerja di Kementrian Keuangan. Sambil bekerja Pak Anwar kuliah di

jurusan akuntansi di sebuah universitas swasta di Jakarta. Sebelum pensiun, terakhir

Pak Anwar menjabat sebagai salah satu kepala Sub Direktorat di Ditjen Anggaran.

Aku kira, dari segi keuangan Pak Anwar sudah berkecukupan.

“Ya tidak apa apa. Banyak sekali ladang amal yang masih terbuka luas. Kira

kira inginnya bergerak dibidang apa?”

“Belum ada yang pasti. Mungkin saya akan mendirikan kursus matematika

untuk anak anak SMP dan SMA. Yang mampu harus bayar, yang tidak mampu

gratis. Bisa juga bikin arisan sedekah. Saya akan ajak teman teman bikin arisan

dimana uang hasil arisan disedekahkan kepada keluarga yang tidak mampu. Kalau

sedekah sendiri sendiri kan jumlahnya terbatas. Bila ramai ramai, misalnya 10

orang, maka dana yang disedekahkan kan bisa cukup banyak” Jawab Pak Anwar.

“Kalau begitu dua-duanya saja. Bikin kursus matematika dan arisan

sedekah’’ Kataku memberikan saran sekaligus tantangan. Dilihat dari sisi

kemampuan keuangan maupun fisik, Pak Anwar mampu melakukan kedua hal

tersebut. Pak Anwar mempunyai halaman rumah yang luas yang bisa disulap jadi

tempat kursus.

“Saya mau bikin perpustakaan virtual saja Pak Bambang. Saya akan beli 5

komputer dan pasang internet. Kebetulan di sekitar rumah banyak keluarga tidak

mampu, banyak yang tidak punya komputer. Saya akan ajari mereka memakai

komputer dan memanfaatkan internet. Di internet banyak sekali bahan pelajaran

matematika, bahasa Inggris dan pelajaran lainnya.” Kata Pak Eko.

Pak Eko juga langsung bekerja dan baru kuliah sambil bekerja. Dia bekerja

di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkapalan. Secara ekonomi kelihatan

tetap mapan meskipun sudah beberapa tahun pensiun.

“Ide bagus Pak Eko. Insya Allah akan banyak manfaatnya dan juga

membawa berkah bagi Pak Eko sekeluarga” kataku menanggapi ide Pak Eko.

197

“Saya sedekah tenaga saja Pak Bambang. Hidup saya pas-pasan. Beberapa

bulan yang lalu saya mendapat informasi kalau ada seorang nenek tua, suaminya

sudah meninggal, dan anak anaknya juga susah hidupnya. Tinggalnya tidak jauh dari

rumah. Saya akan kerumahnya seminggu sekali atau dua kali, buat bantu memasak

dan membersihkan rumahnya. Saya juga akan ajak teman teman yang mampu untuk

memberi bantuan materiil kepada sang nenek. Moga moga, kalau saya meninggal

terlebih dulu, istri saya tidak mengalami nasib seperti nenek tadi” kata Abdul.

“Betul Pak Abdul, kita kerja sosial memang untuk cari berkah. Insya Allah

nasib istri istri dan anak anak sepeninggal kita, bisa lebih bagus dari pada nasib kita”

kata Pak Eko.

Abdul juga langsung bekerja sebagai pegawai negeri Kementrian Tenaga

Kerja di Jakarta setamat SMA. Hanya Abdul tidak pernah kuliah, sehingga karirnya

di Kementrian Tenaga Kerja juga biasa biasa saja.

“Pak Abdul, saya kira itu ide bagus sekali. Kita sedekahkan apa yang kita

punya. Insya Allah berkahnya tidak akan kalah dengan yang bersedekah materiil”

kataku menanggapi ide Pak Abdul.

Aku sangat bersyukur beberapa temanku sudah tergerak mengikuti

langkahku, mengisi pensiun mereka dengan kegiatan sosial. Masa pensiun adalah

masa untuk mengembalikan semua karunia-Nya. Masa dimana kita masih diberi

kesempatan untuk mengubah karunia-Nya tersebut untuk menjadi bekal bagi

kehidupan di akherat.

Kegiatanku di Sekolah Pemulihan Jiwa Tirto Jiwo sudah berjalan dengan

kecepatan tinggi. Sesuai dengan perkiraanku, sebagian besar murid Sekolah

Pemulihan Jiwa Tirto Jiwo adalah keluarga penderita gangguan jiwa. Sudah lebih

dari 1000 murid belajar di Sekolah Tirto Jiwo. Mereka ingin belajar cara membantu

anggota keluarganya yang terkena gangguan jiwa. Alasan mereka sangat praktis,

lebih mudah bagi mereka datang ke Tirto Jiwo dan belajar seluk beluk pemulihan

gangguan jiwa, dibandingkan dengan membawa anggota keluarga yang sakit untuk

198

datang dan belajar di Tirto Jiwo. Waktu yang mereka perlukan akan lebih lama,

biaya lebih besar dan juga lebih merepotkan.

Ada berbagai jenis kursus bagi keluarga penderita gangguan jiwa. Mereka

memilih kursus sesuai kebutuhan masing masing. Sebagian murid yang telah

berhasil membantu pemulihan anggota keluarganya kemudian bergabung menjadi

relawan Tirto Jiwo. Mereka ingin membagikan kebahagiaan yang mereka dapatkan,

karena anggota keluarganya bisa pulih dari gangguan jiwa, kepada keluarga lain

yang membutuhkan bantuan.

Terapi keluarga juga terus berjalan. Selama 3 tahun, sudah ada 24 keluarga

yang mendapatkan manfaatnya. Beberapa keluarga telah mendapat terapi keluarga

secara penuh yang berlangsung selama 18 bulan. Sebagian dari mereka, kebanyakan

keluarga yang relatif berpendidikan baik dan secara ekonomi tidak kekurangan,

kemudian bergabung dan menjadi relawan Tirto Jiwo. Jumlah 24 keluarga tersebut

belum termasuk keluarga yang mendapat terapi keluarga dari alumni Sekolah Tirto

Jiwo yang sebagian besarnya masih berlangsung hingga sekarang. Mereka belum

menyelesaikan ke seluruhan 18 sesi seperti yang direncanakan.

Tentunya tidak semuanya selalu berjalan mulus. Bangunan gedung Tirto

Jiwo memerlukan biaya yang tidak sedikit. Untuk pematangan tanah saja biaya yang

dihabiskan lebih dari Rp 50 juta. Penyebabnya antara lain karena kenakalan

perusahaan yang menangani pematangan tanah tersebut. Proses pembangunan

gedung Tirto Jiwo memerlukan waktu lebih lama dari yang direncanakan.

Untungnya, Tirto Jiwo tidak pernah mengalami kerugian. Meskipun

pemasukan dari para murid tidak pernah bisa menutup seluruh biaya operasional,

selalu saja ada dermawan yang memberikan sumbangan sehingga biaya operasional

selalu tercukupi. Beberapa dermawan juga memberikan sumbangan bagi

pengembangan Tirto Jiwo, sebagian dalam bentuk tunai, sebagian dalam bentuk

material. Peralatan belajar mengajar dan peralatan untuk telemedicine juga

merupakan sumbangan dari para dermawan. Setiap bulan, pengelola membuat

laporan keuangan dan diunggah di website Tirto Jiwo yang beralamat di

http://tirtojiwo.org/?page_id=249

199

Tiga tahun setelah pensiun, hari hariku masih tetap padat dengan berbagai

acara. Semua kegiatan selalu kulakukan dengan semangat dan antusias. Namun

semuanya itu kujalani dengan santai, tenang, tidak terburu-buru dan tanpa beban.

Kupikir, inilah model kehidupan dimasa pensiun yang kuinginkan.

200

Tentang penulis

Gunawan Setiadi lahir di Purworejo pada 27 Juli 1955. Laki laki yang sudah

mulai beruban ini saat ini tinggal di New Delhi, India karena tuntutan pekerjaan.

Pendidikan akademisnya berawal dari Fakultas Kedokteran UGM dan lulus

tahun 1980. Setelah bertugas selama 3 tahun sebagai dokter Inpres di Puskesmas

Paloh Kalimantan Barat, ia kemudian pindah ke Pusdiklat, Kemenkes. Pada tahun

1986 dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya di Department of Health

Policy and Administration, School of Public Health, University of North Carolina at

Chapel Hill, di Amerika Serikat dan meraih gelas Master of Public Health di tahun

1988. Sepulang dari Amerika, ia meniti karir di Kementrian Kesehatan hingga

pensiun dini di tahun 2006. Ia kemudian bergabung dengan sebuah lembaga

internasional yang bergerak di bidang kesehatan masyarakat.

Penulis aktif di kegiatan sosial dengan mendirikan Panti Asuhan Amanah di

Komplek Perumahan Reni Jaya, Pamulang, Tangerang Selatan (telpon 021-7430-

201

711) dan Klinik Umiyah, sebuah klinik rawat inap medik dasar khusus dhuafa di

desa Lugosobo, Purworejo. Informasi tentang Klinik Umiyah bisa diakses di website

Klinik Umiyah di www.klinik-umiyah.com.

Saat ini penulis bersama teman dan adik adiknya, sedang merintis pendirian

Sekolah Pemulihan Gangguan Jiwa Jiwa Tirto Jiwo. Informasi tentang Tirto Jiwo

bisa diakses di website www.tirtojiwo.org. Royalti hasil penerbitan buku ini

sepenuhnya akan dipakai untuk membiayai kegiatan pemulihan gangguan jiwa di

Indonesia..

Pembaca yang ingin berinteraksi atau memberi kritik dan saran kepada

penulis silahkan menghubungi melalui email di [email protected].