Upload
icha-marissa-sofyan
View
189
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
RESUSITASI CARDIOPULMONAL
David Shimabukuro dan Linda L. Liu
Cardiopulmonary Resuscitation adalah istilah yang pertama kali digunakan pada awal tahun
60-an oleh Safar dan Kouwenhoven untuk menjelaskan suatu teknik gabungan dari mulut ke
mulut dan penekanan pada rongga dada pada seorang pasien yang sudah tak berdenyut. Selama
lebih 40 tahun, telah dibuat perkembangan yang signifikan pada CPR dan Cardiovascular Life
Support, khususnya pada penerapannya di luar Rumah Sakit. Saat ini, CPR dianggap sebagai
Basic Life Support (BLS), sedangkan Adult Advanced Cardiovascular Life Support (ACLS) dan
Pediatric Advanced Cardiovascular Life (PALS) dianggap sebagai penggunaan Farmokoterapi
yang lebih canggih dan teknik yang lebih sulit. Resusitasi di luar Rumah Sakit sudah dijelaskan
dengan baik dalam literatur ini, namun di dalam Rumah Sakit, Resusitasi jarang dijelaskan.
Pada tahun 1986, the American Heart Association menerbitkan Algoritma ACLS yang pertama.
Pada tahun 2000, the International Liaison on Resuscitation mengadakan konferensi international
yang pertama untuk menghasilkan Petunjuk Global untuk penanganan Emergensi cardiovascular
dan CPR. Para pakar ini bertemu secara berkala dalam beberapa tahun untuk membuat Petunjuk
dan Algoritma untuk CPR dan ACLS yang baru yang disesuaikan dengan hasil penelitian
mutakhir. Petunjuk yang paling mutakhir diterbitkan pada tahun 2010 ada dalam buku ini. I,2
BASIC LIFE SUPPORT (BLS)
Bagi pasien yang mengalami serangan jantung sebaiknya melakukan tahapan-tahapan berikut (1)
segera kenali gejalanya (2) periksa sesak nafas dan pernafasan yang tidak normal (3) aktifkan
sistem emergensi respons dan ambil Automated External defibrillator (AED) (4) periksa denyut
nadi (tidak lebih dari 10 detik) dan (5) mulai siklus kompresi dada 30 kali dalam diikuti 2 kali
pernafasan.
Gejala
Sebelum jatuh korban, seorang penolong harus yakin kalau lokasi kejadian betul-betul aman;
kemudian respon pasien harus diuji dengan menepuk atau menanyakan pertanyaan (‘apakah anda
baik baik saja?’). Cepat periksa pernafasan korban apa normal atau tidak. Jika ada keanehan
terjadi, Emergency Response System cepat dilakukan dan AED segera diambil.
Sirkulasi
Karena denyut nadi sangat sulit dideteksi, ada beberapa petunjuk biasa digunakan, seperti apakah
pasien bernafas secara spontan atau naik-turun. Penolong harus juga memeriksa denyut nadi
kurang dari 10 detik pada daerah leher atau pergelangan tangan. Jika pasien tidak punya denyut
nadi, tidak ada tanda-tanda kehidupan, atau penolong tidak yakin, segera lakukan penekanan
pada bagian dada. Bagian bertulang pada telapak tangan diletakkan pada tulang dada pasien di
bawah putting secara membujur. Tulang dada ditekan sepanjang 5 cm dengan rata-rata 100 kali
tekanan dalam 1 menit. Dada pasien ditekan agar aliran darah kembali ke jantung dan inilah yang
disebut CPR. Polanya harus dalam 30 kali tekanan untuk 2 kali pernafasan ( 30 : 2 sama dengan
1 siklus CPR), tidak masalah apakah ada 1 saja atau 2 orang penolong).
Airway
Dengan adanya Petunjuk BLS 2010 yang baru, menguasai manajemen jalur pernafasan sudah
tidak terlalu penting. Menguasai cara yang lama seperti ABCD (Airway, Breathing, Circulation,
Defibrillation) dengan ‘Lihat, Dengar dan Rasakan’ telah diganti dengan CAB (Compression,
Airway dan Breathing). Perubahan ini dikarenakan adanya bukti yang ditemukan kalau
pentingnya penekanan pada bagian dada pasien dan perlunya segera menormalkan aliran darah
pasien ke jantung (ROSC). Melancarkan saluran pernafasan biasa dilakukan tapi harus sesegera
mungkin dan kurangi tekanan dibagian dada. Membuka saluran nafas pasien dapat dilakukan
dengan cara yang mudah yaitu dengan menggunakan teknik mengangkat rahang pipi pasien
(lihat gbr. 44-3). Teknik ini biasa digunakan pada pasien yang mengalami cedera tulang
belakang. Alat-alat pernafasan seperti rongga hidung dan mulut dapat dimasukkan untuk
menggantikan lidah dari orofaring posterior.
Breathing
Meskipun studi-studi besar di luar Rumah Sakit menunjukkan bahwa kompresi dada dengan
CPR tidak mudah dilakukan dibandingkan dengan kompresi-ventilasi CPR yang lama, penolong
kesehatan masih harus menyediakan ventilasi bantuan. Seorang penolong bila sendirian dan
bukan seorang yang berpengalaman dalam manajemen jalur pernafasan, tidak diharuskan
memakai masker dalam ventilasi, tapi justru harus menggunakan mulut ke mulut atau mulut ke
masker. Penanganan harus dilakukan untuk menghindari pernafasan yang dipaksakan. Volume
yang naik turun harus diberikan dalam 1 detik dan menimbulkan kenaikan pada dada pasien.
Kurang dari 1 menit ventilasi (cardiac output kurang dari normal) adalah tujuannya karena
hiperventilasi akan mengakibatkan kerusakan pada sistem saraf.
Defibrillation
Alat defiblirator sebaiknya segera dipasangkan pada pasien. Alat pendenyut jantung yang
ditempelkan di dada pasien sebaiknya diletakkan di sebelah kanan atas batas tulang dada dan di
bawah clavicle dan sebelah kiri puting dengan posisi di tengah garis dada (lihat gbr 44-4).
Kebanyakan alat pendenyut jantung sekarang berbentuk diagram yang meperlihatkan posisi yang
benar. Posisi-posisi alternatifnya meliputi anterior-posterior, anterior kiri intrascapular, dan
anterior kanan inrascapular. Anterior axilla kanan ke anterior axilla kiri tidak dianjurkan.
ENERGI YANG DIGUNAKAN UNTUK DEFIBLIRASI
Jumlah energi yang dibutuhkan (joules) tergantung dari jenis alat defibrilasi yang digunakan.
Dua jenis defibrillator yang umum digunakan (monophasic dan biphasic). Defibrillator dengan
gelombang monophasic bermuatan energy yang satu arah, sedangkan defibrillator dengan
biphasic bermuatan energy dengan berbagai arah. Berdasarkan fakta di lapangan tentang
defiblirator, yang bermuatan energy berbagai arah yang sering berhasil mengatasi ventricular
tachycardia (VT) dan ventricular fibrillation (VF). Selain itu defiblirator biphasic lebih sedikit
menggunakan tenaga listri dibandingkan dengan yang monophasic dan juga tidak mudah rusak.
WAKTU UNTUK MENDEFIBRILASI
Defibrilasi dilakukan pada saat pasien dalam keadaan kritis, karena kejadian yang paling sering
terjadi pada pasien dewasa adalah VT/VF. Rata-rata kehidupan setelah pasien mengalami VF
semakin menurun 7%-10% dengan tiap menit yang berlalu. Jika pasien mendapatkan tekanan di
dada yang cukup berkurangnya kehidupan bias meningkat jadi 3% sampai 4% diang tiap menit
berlalu sebagai penundaan hingga defiblirasi dilakukan.
Tiga algoritma ACLS yang relevan bagi pelaku anastesi di dalam ruang operasi adalah (1)
pulseless cardiac arrest (2) simptomatik bradikardi (3) sImptomatik takikardi.
Pulseless Cardiac Arrest
Cardiac disritmia yang menghasilkan pulseless cardiac arrest adalah (1) VF, (2) VT yang cepat,
(3) pulseless electrical activity (PEA), dan (4) asystole (lihat gbr. 44-5). Selama terjadi pulseless
cardiac arrest, yang perlu dilakukan adalah memberikan kompresi dada yang tepat dan defibrilasi
dini jika iramanya VT dan VF. Pemberian obat adalah hal yang kedua karena obat sangat sulit
dibuktikan kemanjurannya pada keadaan ini. Setelah pemberian CPR dan defibrilasi, penolong
ADVANCED CARDIOVASCULAR LIFE SUPPORT PADA ORANG DEWASA: ALGORITMA
kemudian dapat memberikan akses jika dalam tubuh pasien, membuka saluran pernafasan dan
mempertimbangkan pemberian obat, semuanya dilakukan sambil terus memberikan kompresi
dada dan ventilasi.
MANAJEMEN AIRWAY
Bag-mask ventilasi dan ventilasi melalui saluran pernafasan tambahan (endotracheal tube,
supraglottic airway adalah metode ventilasi yang efektif selama CPR. Karena kompresi dada
tidak bisa dilakukan selama intubasi endotrakeal, penolong harus mempertimbangkan kebutuhan
akan kompresi dada dan kebutuhan akan manajemen saluran pernafasan. Mungkin perlunya
memasukkan saluran pernafasan tambahan jika pasien tidak memberikan respon setelah
dilakukan beberapa kali CPR dan defibrilasi. Akan tetapi, keputusan ini tidak selalu benar.
Misalnya pasien yang mengalami edema pulmonal yang boleh diberikan intubasi endotracheal
cepat atau lambat.
Dengan adanya saluran pernafasan tambahan ini, pemberian ventilasi perlu dipertimbangkan
lagi. Dada pasien seharusnya terangkat dua-duanya dan suara nafas seharusnya auskultasi. Selain
itu, posisi yang tepat dari endotracheal tube sebaiknya dites dua kali untuk mengurangi
ditemukannya false positive dan false negative. Capnograhy untuk mengukur end-tidal carbon
dioxide (PETCO2) adalah tes yang ideal dan sangat direkomendasikan. Tes alternative termasuk pH
(perubahan warna) dan esopagheal detector device (EDD). Sebuah EDD menggunakan pengisap
balon lampu yang disambungkan di ujung endotracheal tube bila balon tersebut ditekan. Jika
endotrakheal tube ada di trakhea, balon segera mengembang dengan udara dalam paru-paru
karena cincin-cincin trachea kenyal dan tidak akan memecahkan tabung. Jika endotrakheal tube
ada di esophagus, dinding-dinding esophagus yang lunak akan pecah di sekitar endotrakheal
tube, dan balon tetap dalam keadaan tertekan. Begitu endotrakhea tube sudah diketahui ada di
trakhea, ia akan aman. Satu nafas dapat diberikan dalam 6-8 detik tanpa harus bersamaan dengan
kompresi. Gagalnya kesadaran pasien mungkin disebabkan karena buruknya cara kompresi dada
dan migrasi endotrachea tube di dalam trachea. Memonitor PETCO2 secara menerus adalah cara
yang paling baik untuk mengembalikan kesadaran pasien. Walaupun hasilnya belum dibuktikan
dalam ROSC, sehingga dapat menuntun penolong dalam mengembalikan aliran darah pasien.
Jika monitor carbon dioxide tidak tersedia, penempatan tabung dapat diperiksa secara berkala,
khususnya selama kesadaran pasien berlangsung lama.
PENGOBATAN
Mempersiapkan akses penyuntikan sangat penting, tapi sebaiknya dilakukan bersamaan dengan
CPR dan Defibrilisasi. kateter yang besar sudah cukup untuk menyadarkan banyak pasien yang
sudah tidak berdenyut. Obat sebaiknya diberikan dengan cepat diikuti dengan 20mL cairan pil
jika diberikan belakangan. Jika akses penyuntikan obat tidak biasa dilakukan, obat-obat tertentu
(epinephrine, lidocaine, vasopressin, atropine, naloxone) dapat diberikan melalui endotracheal
tube. Dosis endotracheal tube adalah 2 – 3 kali dosis penyuntikan yang direkomendasikan, dan
obatnya sebaiknya dicairkan dalam 5 sampai 10 mL air steril sebelum dimasukkan dalam
endotrachea tube. Alternative cara penyuntikan biasa dilakukan dengan cara intraosseus.
Peralatannya sudah banyak dijual di mana-mana. Tidak ada perubahan dosis pada cara-cara yang
lain.
VENTRICULAR FIBRILLATION/VENTRICULAR TACHYCARDIA
Jika cardiac arrest terlihat, penolong kesehatan segera memasangkan alat defibrillator di dada
pasien, mencari tahu irama jantungnya dan memberikan kejutan jika terjadi VT dan VF (lihat gbr
44-5). Bila cardiac arrestnya tidak terraba, penolong dapat memberikan 5 kali CPR kemudian
memeriksa denyutnya dan mempertimbangkan memberikan defibrillator. CPR sebaiknya
dilakukan segera setelah diberikan kejutan dilanjutkan 5 kali tekanan dalam 2 menit diikuti
dengan mengecek ulang denyut jantung. Bila pasien masih tetap dalam keadaan VF/VT,
defibrillator sebaiknya dichas apa energy yang tepat (360 J untuk monophasic dan 120 J untuk
biphasic) sementara CPR masih terus dilakukan.
Jika VF dan VT masih tetap ada meski tetap dilakukan CPR-Defibrilasi selama 1 sampai 2 set,
vasopressor sebaiknya diberikan (table 44-1). Epinephrine, 1 mg IV diberikan tiap 3 – 5 menit.
Satu dosis vasopressin, 40 unit IV, mungkin menggantikan dosis epinephrine yang pertama atau
yang kedua. Pemberian obat sebaiknya tepat waktu untuk mengurangi gangguan pada chest
compression. Bila VF dan VT masih tetap ada setelah pemberian CPR-Defibrilasi dan Pemberian
Vasopressin, sebuah pengobatan anti aritmia seperti amioradone, dianjurkan diberikan.
Lidocaine juga biasa diberikan jika Amioradone tidak tersedia, tetapi Lidocaine belum terbukti
punya kelebihan atas Amioradone. Magnesieum Sulfate juga biasa jika diduga ada torasdes de
pointes.
ASYSTOLE DAN PULSELESS ELECTRICAL ACTIVITY
Asystole biasanya irama yang menyilang, sedangkan PEA sering disebabkan oleh keadaan yang
terbalik dan dapat diobati jika penyebabnya dapat diidentifikasi (Table 44-2). Kedua jenis detak
jantung ini telah digabungkan menjadi bagian kedua pulseless arrest algoritma karena
kesamaannya (lihat gbr 44-5). Karena defibrilasi hanya memberikan sedikit harapan, jadi CPR
sebaiknya dilakukan secara efectif dan mengurangi gangguan, mengenal penyebab-penyebabnya,
dan membuat saluran pernafasan tambahan. Vasopressor bias diberikan setelah inisiasi CPR.
Epinephrine, 1 mg IV, bias diberikan setipa 3 – 5 menit. Secara bergantian, satu dosis
vasopressin, 40 unit IV, bias menggantikan dosis pertama atau kedua epinephrine. Atropine telah
dikeluarkan dari Algoritma karena studi membuktikan pemakaian terus menerus Atropine tidak
memberikan perubahan apapun. Pemeriksaan detak jantung bisa dilakukan setelah tiap lima
siklus atau 2 menti CPR. Jika detak jantung yang diatur muncul, penolong sebaiknya
mengidentifikasi detaknya dan melakukan tindakan masin-masing. Tidak diberikannya
perawatan yang maksimal pada pasien yang mengalami asystole menyebabkan sedikitnya pasien
yang selamat.
BRADICARDIA
Bradicardia adalah detak jantung yang kurang dari 60 bit / menit(Gambar 44-6). Beberapa
pasien, terutama atlit muda, mengalami detak jantung kurang dari 60 bit / menit dalam keadaan
istirahat namun tetap nampak sehat. Pasien asymptomatic tidak memerlukan perawatan.
Perawatan farmakologi atau yang menggunakan alat listrik harus didasarkan oleh gejala atau
simptomnya. Symptom tidak dapat diketahui melalui anastesi, jadi penyedia anastesi sebaiknya
menyerahkan keputusannya pada pasien apakah akan memeriksa detak jantungnya. Perawatan
awal pada symptom Bradycardia sebaiknya fokus pada saluran pernafasan, pernafasan dan
sirkulasi. Pasokan oxygen harus tetap diberikan, mengecek detak jantung, tekanan darah, denyut
nadi harus tetap dimonitor. Terapi tambahan termasuk atropine (0.5 mg IV tiap 3 to 5 menit;
kurang dari 3 mg), infus b-adrenergic agonists (dopamine, epinephrine), atau langkah intrakutan
Takikardia
Meskipun penyebab Takikardia sudah jelas, pasien yang mengalami simptom ini sebaiknya
segera dikejutkan dengan cardioversion yang disinkronkan (lihat gbr. 44-7). Percobaan
pemakaian adenosine sebelum cardioversion dapat dipertimbangkan pada kasus Takikardia yang
rumit. Pada pasien yang stabil dengan ventricular yang cepat sangat penting mengetahui apakah
mereka memiliki QRS komplex yang sempit atau lebar (›0.12 detik) pada electrocardiogram.
Pasien dengan asymptomatic cardiac sebaiknya diperiksa oleh konsultan utnuk mengetahui
apakah detak jantung mereka asalnya ventricular atau atrial. Perawatannya sebaiknya mengikuti
saran konsultan yang mana pengobatannya meliputi pemakaian anti aritmia atau atrioventucular
(AV) obat-obatan yang menahan detak jantung. Jika irama jantungnya adalah narrow-complex
tachycardia yang tidak beraturan, iramanya kemungkinan besar adalah atrial fibrillation. Heart
rate kontrol sebaiknya dilakukan dengan AV nodal blocking drugs. Jika iramanya adalah narrow-
complex tachicardia yang beraturan, perubahannya yang kembali ke sinus rhythm sebaiknya
dilakukan dengan menggunakan vagal atau adonesine. Cardiac rhythm conversions menunjukkan
masuknya kembali supraventicular tachycardia, dan kekambuhannya dapat diatasi dengan
adenosine atau AV nodal blocking drugs. Jika cardiac rhythm conversions tidak terjadi,
rhythmnya kemungkinan atrial flutter atau junctional tachycardia. Hal ini bisa dilakukan dengan
tetap mengendalikannya menggunakan AV nodal blocking drugs.
Epinephrine, vasopressin, amiodarone adalah diantara obat-yang paling umum digunakan pada
algoritma ACLS (lihat Table 44-1) dan membutuhkan perhatian khusus.
Epinephrine
Epinephrine adalah kombinasi antara α dan β adrenergic receptor agonists. Ia meningkatkan
konsumsi oxygen myocardial sehingga meningkatkan detak jantung. Pada studi beberapa hewan,
epinephrine sangat efektif mengembalikan spontanitas sirkulasi. Epinephrine dapat
meningkatkan diastolic pressure dan menyimpan coronary perfusion dan mengembalikan aliran
ke myocardium.
Vasopressin
Vasopressin adalah terjadinya hormon antidiuretic secara alami dengan sisa kehidupan 10-20
menit. Ia adalah adrenergic peripheral vasoconstrictor yang bergerak oleh rangsangan langsung
otot lembut vasopressin 1 receptor dan mengarah ke vasoconstriction vasculator yang intense di
kulit. Otot-otot rangka, usus besar dan lemak. Vasopressin juga ditemukan di hewan yang secara
selektif memvasodilate cerebral, coronary dan pulmonary vascular beds. Seperti halnya
epinephrine, vasopressin dipercaya dapat meningkatkan diastolic pressure bahkan coronary
perfusion pressure yang menyimpan aliran darah ke myocardium. Agar dapat memberikan
kehidupan yang lebih lama, vasopressin dianjurkan diberikan hanya sekali pada saat sadarnya
seorang pasien yang sudah tak punya denyut nadi.
Tidak ada perbedaan perlakuan yang mencolok pada pasien yang dirawat di dalam rumah sakit
ataupun yang di temukan di luar dalam hal pemberian epinephrine ataupun mengalami
ADVANCED CARDIOVASCULAR LIFE SUPPORT PADA ORANG DEWASA: DRUG THERAPY
(Lihat juga Bab 7)
vasopressin. Bila dibandingkan dengan pemberian epinephrine pada pasien yang mengalami
asystole, vasopressin lebih diasosiasikan pada perawatan rumah sakit yang tidak dikenakan
biaya, dan bukan usaha penyelamatan. Studi sekarang menunjukkan vasopressin yang dilakukan
dengan pemberian epinephrine pada penderita asystole di rumah sakit tidak memberikan
perkembangan yang berarti. Karena efek vasopressin dan epinephrine pada pasien yang
mengalami henti jantung tidak jauh berbeda. Satu dosis vasopressin dapat menggantikan dosis
pertama atau kedua epinephrine pada pasien pulseless cardiac arrest.
Amiodarone
Amiodarone awalnya dikembangkan sebagai obat antianginal pada tahun 1950 an tapi sudah
tidak dipakai lagi karena efek sampingya. Karena ia mempunyai dampak pada cardiac sodium
dan postassium channels juga α dan β reseptor, amiodarone kini kembali diteliti karena memiliki
efek anti-aritmia. Amidarone memperpanjang repolarization dan refractoriness di sinoatrial node,
atrial dan ventricular myocardium, AV node, His-Purkinje cardiac conduction system.
Amiodarone dapat memperburuk atau menimbulkan arrhythmias, khususnya torsades de pointes.
Obat ini dapat berinteraksi dengan volatile anasthetics dan menutup jantung, menyebabkan
vasolidation, depresi myocardial, dan hypotensi yang parah. Ia dapat berinteraksi dengan banyak
obat dan dapat memperpanjang efek oral anticoagulants, phenytoin, digoxin dan diltiazem.
Meskipun punya dampak yang banyak, amiodarone sering dipakai pada pasien dewasa yang
mengalami VF/VT di luar rumah sakit untuk memepertahankan nyawa mereka daripada placebo
dan lidocaine. Dosis yang dianjurkan pada amiodarone adalah 300mg IV untuk VF/VT.
Tambahan dosis 150mg IV untuk VF/VT yang akut.
Kembalinya kesadaran pada anak-anak mengikuti prinsip yang sama dengan orang dewasa. Perlu
diingat bahwa kebanyakan kejadian pediatric cardiac adalah hasil dari kompromi antara
hypoxemia dan respiratory dan menyebabkan nafas dan saluran pernafasan sulit mengembalikan
kesadaran. Sebaliknya orang dewasa justru mengalami henti nafas karena hasil dari VF/VT
myocardial ischemia. Defibrilasi adalah tindakan yang paling dini yang perlu diambil dalam hal
ini. Walaupun BLS pada anak-anak mengikuti algoritma yang sama dengan orang dewasa C – A
ADVANCED SUPPORT LIFE PADA ANAK-ANAK (lihat juga Bab 34)
– B. alaminya, ada perbedaan dasar pada pasien dewasa dan anak-anak karena anak-anak lebih
kecil. Bagi petugas kesehatan dianggap belum sampai 1 tahun sedangkan anak-anak dianggap 1
tahun sampai dewasa. BLS pada orang dewasa guidelines dapat digunakan pada anak-anak di
atas 1 tahun.
Airway
Airway pada anak-anak agak berbeda dari orang dewasa. Tapi head-tilt chin lift adalah teknik
untuk membuka saluran pernafasan. Anak-anak cenderung memiliki lidah dan epiglottis yang
lebih besar dalam hal mulut dan kerongkongan dan memiliki kepala yang lebih besar dalam hal
tubuh. Pembengkokan yang berlebihan di kepala dapat mempersulit terlihatnya epiglottis yang
terbuka selama laryngoscopy langsung. Laryngoscopy yang lurus lebih disukai daripada yang
bergelombang untuk mengangkat epiglottis di depan dan menjauh dari epiglottis yang tebuka
pada anak-anak.
Sirkulasi
Pulse checks dan closed chest compressions dilakukan dengan sedikit berbeda, tergantung
apakah pasiennya infant atau anak-anak. Pada anak-anak, denyut dapat diperiksa pada carotid
atau fermoral artery, sama dengan orang dewasa. Pada infant, denyut diperiksa pada brachial
atau femoral artery.
External Compressions
Pada seorang anak, tangan atau kedua-duanya sebaiknya diletakkan agak ke bawah dari sternum
di antara nipples sedangkan jari-jari menghindari iga dan tetap dalam process xyphoid. Pada
bayi, chest compression dilakukan dengan teknik dua jari. Dua jari dari satu tangan diletakkan di
bawah sternum kira-kira 1 jari tangan di bawah intermammary line sambil teruskan process
xyphoid. Bagi bayi dan anak-anak, sternum sebaiknya ditekan paling sedikit sepertiga atau
seperdua diameter anterior-posterior dada dengan rata-rata paling sedikit 100 compressions
permenit. Polanya sebaiknya 30 kali kompresi untuk 2 kali nafas (30:2) jika hanya ada satu
penolong dan 15 kali kompresi untuk 2 kali nafas (15:2) jika ada dua penolong.
Defibrillation
Pada anak-anak, defibrilasi sebaiknya dilakukan jika terjadi pulseless rhythym (VF / VT). Energi
dini 2 – 4 J/kg segera diberikan, tidak masalah apapun jenis waveformnya. Defibrilasi berikutnya
paling sedikit 4J/kg, tapi tidak bias lebih dari 10 J/kg. defibrilasi biphasic dapat diberikan pada
anak-anak di atas 1 tahun yang kasusnya terjadi di luar rumah sakit. American Heart guidelines
menganjurkan pemakaian pediatric dose attenuator system yang dapat mengurang jumlah energi.
Jika itu tidak ada, defibrilasi standar dapat digunakan sebagai pengganti.
Obat-obatan
Kebanyakan dosis obat disesuaikan dengan berat dan tinggi badan. Namun rata unit-unit
pediatric sudah memiliki data tentang dosis yang telah disesuaikan dengan berat dan tinggi badan
sehingga tidak perlu membuang waktu untuk mengukur tinggi dan berat badan hanya untuk
menentukan dosis.
Perawatan Setelah Resusitasi
Setelah kesadaran berhasil pulih dengan kembalinya sirkulasi spontan, pasein sebaiknya dibawa
ke ICU (jika belum berada d situ) agar mendapatkan perwatan pendukung (lihat gbr 44-8). Post
cardiac arrest care sebaiknya difokuskan untuk mengoptimalkan fungsi cardiopulmonary untuk
memastikan organ perfusion layak. Sebaiknya konsisten, menyatu dan multidisiplin. Kalau perlu,
terapinya dilakukan bersamaan. Khususnya percutaneous coronary interventions (PCI) tidak bisa
menunda dimulainya hypothermia dan mulainya hypothermia tidak boleh menunda PCI. Sering,
vasopressor dan inotropes diberikan pada masa setelah kesadarankarena munculnya myocardial
yang menarik perhatian dan ketidakstabilan hemodynamic. Central venous acces untuk
memasukkan obat juga perlu bersama dengan intraarterial catheter untuk dapat memonitor
hemodynamic. Selain cardiac recovery, neurogical recovery juga sangat penting. Hal ini benar
saat pase setelah kesadaran. Hypothermia protocol sebaiknya segera disusun untuk memulai
hypothermia. Akibat penggunaan hypothermia yang meluas, cara-cara traditional untuk
menentukan neurologic prognosis pada pasien yang telah didinginkan belum disahkan dan
sebaiknya dilakukan sendiri-sendiri.
Hipotermia Ringan
Temperatur harus selalu diperiksa, dan selalu hindari terjadinya hipertermia. Pemberian
hipotermia ringan pada 24 dan 48 jam pertama dapat mengembalikan neurogical pasien yang
mengalami VF/VT di luar rumah sakit.10-11 Anjurannya adalah untuk mendinginkan comatose
pasien (dianggap sebagai ketidakmampuam mengikuti perintah verbal) yang berhasil sadar dari
VF / VT yang terjadi di luar rumah sakit dengan suhu tubuh 32 C – 34 C pada selama 12 – 24
jam pertama. Hipotermia belum diteliti secara seksama pada pasien yang mengalami asystole
atau PEA. Akan tetapi, dengan kemajuan teknologi yang diterapkan pada pasien semuanya
menjadi cepat dan mudah, hipotermia ringan sudah diterapkan pada semua comatose pasien yang
mengalami VF/VT baik di dalam maupun di luar rumah sakit dan dapat mengembalikan
kesadaran dan spontanitas sirkulasi pasien meskipun pasiennya sudah tak berdenyut. Warming
boleh dilakukan secara pasif asalkan tidak lebih dari 48 jam.
Level Glukosa
Meningkatnya konsentrasi gula darah setelah tersadar dari cardiac arrest dianggap sebagai
buruknya hasil neurogical. Namun, studi menunjukkan control yang ketat pada serum glucose
meningkatkan hasil neurogical. Makanya, level glukosa setelah kesadaran perlu dimonitor lebih
ketat untuk menghindari hipoglikemia atau hiperglikemia.
Normocapnia
Hiperventilasi tidak dapat melindungi otak atau organ vital yang lain setelah sadar dari cardiac
arrest. Faktanya, iatrogenic hiperventilasi dapat mengarah pada meningkatnya airway pressure
dan intrinsic positive and-respiratory pressure (auto PEEP), meningkatnya intrathoracic pressure
dan intracranial pressure. Pada pasien yang mengalami cedera otak, hiperventilasi dapat
memperburuk neurogical outcome. Tidak ada data yang mendukung sasaran sebagian pressure
pada arterial carbon dioxide PaCO2 setelah sadar, jadi ventilation pada normocapnic level sangat
dianjurkan.
Pelaku anastesi sering mengalami situasi dan pengalaman yang unik yang tidak terlihat oleh
pelaku medis lainnya. Cardiac arrest selama anastesi berbeda dengan cardiac arrest yang terjadi
di tempat lain karena pasien memiliki patofisiologi. Cardiac arrest sering terjadi selama anatesi
dan dapat diantisipasi. Guideline lama sering tidak menerjemahkan dengan baik ke dalam tindak
periperative. Atas dasar itu, the American Society of Anesthesiologists (ASA) Committee on
Critical Care Medicine menerbitkan spesifik monograf untuk Adavanced Life for Anesthesia.
Mereka mengembangkan tradisional 5 Hs dan 5 Ts yang sudah ditemukan oleh the American
Heart Association (AHA) 8 Hs dan 8 Ts. Yang ada dalam daftar itu adalah hypoglycemia,
malignant hyperthermia, hypervagal response, trauma, QT interval prolongation, and hipertensi
PERTIMBANGAN PERIOPERATIVE KHUSUS
pulmonal (lihat Table 44-2). Untuk situasi yang unik dan penyedia anestesi umum akan
dijelaskan pada Bab selanjutnya.
Anaphylaxis
Reaksi obat ringan seperti ruam sudah umum terjadi di dalam ruang operasi. Reaksi yang berat
seperti anaphylactic kurang lebih sering terjadi namun hanya sekali pada tiap pelaku anestesi.
Obat-obat yang umum yang dapat diberikan jika terjadi anaphylaxis seperti latex, beta-lactam
antibiotik, succinylcholine, nondepolarizing muscle relaxants (mis. rocuronium; lihat juga Bab
12), dan intravenous contrast material. Tindakan pada anaphylaxis dapat dilakukan dengan
memberikan epinephrine untuk mencegah munculnya vasolidation yang besar dan kebocoran
vascular. Epinephrine dan vasopressin dapaty dilakukan untuk menopang tekanan darah,
sedangkan anti steroid dan anti histamin diberikan selanjutnya untuk mengurangi respons. Cairan
intravenous diberikan selanjutnya untuk mengatasi kebocoran vascular. CPR dan ACLS segera
dilakukan jika tidak ada denyut. Pada kasus cardiovascular utuh epinephrine pada dosis yang
besar dianjurkan. (table 44-4)
Gas Emboli (lihat juga Bab 30)
Meskipun jarang terjadi, kejadian gas embolis punya potensi meningkatkan yang parallel dengan
meningkatnya prosedur operasi laparoscopic, dan prosedur laser endobronchial, posterior spine
surgery. Langkah yang paling dini adalah mencegah penyebabnya (mis. Penghentian
insufflations), menghentikan urat yang terbuka, dan mengisi surgical field dengan cairan garam.
Pasien sebaiknya diletakkan pada Treledenburg position dengan posisi kiri ke bawah untuk
menahan gas agar tidak masuk dan membiarkan pengisian saline.
Toksisitas Pada Lokal Anestesi (Lihat juga Bab 11)
Bius lokal mempengaruhi sodium channel di seluruh tubuh, termasuh otak dan jantung.
Umumnya keracunan terjadi karena dosis yang diberikan disesuaikan dengan keumuman
cardiovascular collapse yang terjadi di ujung spectrum. Pada pasien non anestesi, central nervous
system symptom sangat penting diketahui karena cenderung menimbulkan efek cardiac. Cardiac
rhythm dapat diatur dari premature ventricular contractions kea systole. Kalau perlu, bius lokal
dihentikan dulu. Intralipid sebaiknya diberikan pada cardiovascular toxicity. Sudah laporan
dengan membaiknya neurogical system selain kesadaran yang lebih lama.
Anestesi Neuroaxial (lihat juga Bab 17)
Cardiovascular collapse akibat neuroaxial anesthesia telah dijelaskan namun masih sulit
dipahami. Nampaknya ini sering terjadi pada pasien muda yang sehat dan sering mengalami
neuroaxial anesthesia. Mekanisme yang ditemukan yang menyebabkan hal ini trejadi adalah ada
shift pada keseimbangan autonomic terhadap sistem parasimpatik, menurunnya aliran darah di
splancnic circulation dan aktifnya baroreceptor yang merangsang response paradoxical Bezol-
Jaricsh. Spinal anesthesia tinggi nampaknya yang menjadi masalah besarnya. Meskipun standar
CPR dan ACLS telah dianjurkan.
PENYEDIA PELAYANAN KESEHATAN BLS PADA ORANG DEWASA
Nadi teraba
Nadi tidak teraba
Tidak ada responhenti napas
Sistem Response EmergensiAutomatic external defibrillator
(AED)Atau
DefiblilatorAtau segera kirim penyelamat kedua(jika tersedia) untuk
melakukan hal ini
Cek nadi : Nadi teraba dalam 10 detik?
-Beri 1x napas setiap 5 atau 6 detik-Kembali cek nadi setiap 2 menit
Mulai siklus dari 30 kompresi dan ventilasi
AED/defibrillator tiba
Cek iramaIrama shock?
Segera 1 shock, Segera Ulangi CPR selama 2 menit
Segera ulangi CPR selama 2 menitChek selalu irama 2menit; teruskan sampai penyedia ALS mengambil alih atau korban segera berpindah.
Bagian Ilmu Anestesiologi, Perawatan Intensif, dan Manajemen NyeriFakultas Kedokteran TEXTBOOK READINGUniversitas Hasanuddin DESEMBER 2012
RESUSITASI CARDIOPULMONAL (Ronald D. Miller, Manuel C. Pardo, Jr. Cardiopulmonary Resuscitation. In Basics of
Anesthesia ed 6. University of California : USA. 2011. P715-728)
Oleh:Icha Marissa Sofyan
C11108318
Pembimbing:dr. Christa
Supervisor:dr. Hisbullah , Sp.An., KIC-KAKV
DISUSUN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN ILMU ANASTESIOLOGI, PERAWATAN INTENSIF, DAN MANAJEMEN NYERI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
2012
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :
Nama : Icha Marissa Sofyan
Nim : C 111 08 318
Judul refarat : Cardiopulmonary Resuscitation
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Anestesiologi, Perawatan Intensif, dan Manajemen Nyeri Falkultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar, Desember 2012
Konsulen, Pembimbing,
(dr. Hisbullah, Sp.An., KIC-KAKV) (dr. Christa)