4
Teologi Kematian Oleh Thomas Koten Kematian Mbah Surip dan WS Rendra, kedua seniman yang dimiliki bangsa ini, sesungguhnya kembali menggemakan sebuah “kematian agung” sang insan manusia. Kematian kedua seminan ini, hakikatnya juga tidak ada bedanya dengan kematian- kematian yang dialami oleh manusia lainnya di dunia. Namun, kematian kedua anak bangsa ini, menjadi agung karena kebesaran keteladanan dan karya-karyanya, telah membuat mereka takkan pernah mati. Lebih dari itu, kematian Mbah Surip yang tiba-tiba di tengah popularitasnya yang baru mulai menjulang bak meteor dalam memecah jagad hiburan di tanah air, ataupun kematian WS Rendra melalui proses sakitnya yang cukup lama, sama-sama telah memberikan pesan teologis yang menyengat tentang arti kehidupan dan kematian manusia beragama bahwa harta dan popularitas, bahkan juga kekuasaan itu tidak ada yang abadi. Atau, seperti kata filsuf Karl Jaspers bahwa kematian itu selalu menghadapkan manusia pada ”situasi batas” (grenz- situationem), di mana ia tidak tahu kapan itu datang, sehingga mendesakkan diri manusia untuk selalu berbuat baik, tanpa memegahkan diri, meski ia sedang menikmati hasil dari sebuah prestasi yang sudah diperjuangkan lama. Kematian sebagai sebuah kepastian Kematian Mbah Surip dan WS Rendra atau kematian siapa pun adalah sebuah kepastian bagi setiap manusia. Dan kematian sebagai sebuah kepastian, kata Jaspres lagi, menandakan suatu perjalanan manusia tentang ketidakmampuan asasi manusia yang sifatnya eksistensial dalam menghadapi sang maut. Epikuros, seorang filsuf klasik menulis juga soal ketidaksanggupan manusia menghadapi kematian ini dengan kata-kata, selama kita masih hidup, kematian itu belum ada, tetapi ketika kematian itu datang, kita tidak ada lagi.

Teologi Kematian

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Teologi Kematian

Teologi Kematian

Oleh Thomas Koten

Kematian Mbah Surip dan WS Rendra, kedua seniman yang dimiliki bangsa ini, sesungguhnya kembali menggemakan sebuah “kematian agung” sang insan manusia. Kematian kedua seminan ini, hakikatnya juga tidak ada bedanya dengan kematian-kematian yang dialami oleh manusia lainnya di dunia. Namun, kematian kedua anak bangsa ini, menjadi agung karena kebesaran keteladanan dan karya-karyanya, telah membuat mereka takkan pernah mati.

Lebih dari itu, kematian Mbah Surip yang tiba-tiba di tengah popularitasnya yang baru mulai menjulang bak meteor dalam memecah jagad hiburan di tanah air, ataupun kematian WS Rendra melalui proses sakitnya yang cukup lama, sama-sama telah memberikan pesan teologis yang menyengat tentang arti kehidupan dan kematian manusia beragama bahwa harta dan popularitas, bahkan juga kekuasaan itu tidak ada yang abadi. Atau, seperti kata filsuf Karl Jaspers bahwa kematian itu selalu menghadapkan manusia pada ”situasi batas” (grenz-situationem), di mana ia tidak tahu kapan itu datang, sehingga mendesakkan diri manusia untuk selalu berbuat baik, tanpa memegahkan diri, meski ia sedang menikmati hasil dari sebuah prestasi yang sudah diperjuangkan lama.

Kematian sebagai sebuah kepastianKematian Mbah Surip dan WS Rendra atau kematian siapa pun adalah sebuah

kepastian bagi setiap manusia. Dan kematian sebagai sebuah kepastian, kata Jaspres lagi, menandakan suatu perjalanan manusia tentang ketidakmampuan asasi manusia yang sifatnya eksistensial dalam menghadapi sang maut. Epikuros, seorang filsuf klasik menulis juga soal ketidaksanggupan manusia menghadapi kematian ini dengan kata-kata, selama kita masih hidup, kematian itu belum ada, tetapi ketika kematian itu datang, kita tidak ada lagi.

Maka, dikatakan oleh para teolog sepanjang zaman, bahwa kematian merupakan persoalan teologis, juga filosofis yang terpenting, sekaligus terpelik yang sulit ditembus dengan refleksi teologis para teolog, lukisan pena para penyair, atau telaah filosofis para filsuf. Teolog kenamaan Collopy lalu menulis, kematian adalah momen yang paling gelap dan sulit bagi manusia, dan sangat menggetarkan iman. Menurut dia, death is untheological. Kematian adalah pengalaman akan kegelapan total yang radikal, yang datang menyergap manusia tanpa kompromi.

Di sini, kematian atau sang maut merupakan sosok yang sudah pasti datangnya dan tidak ada yang sanggup menundanya, hanya saja kapan ia akan datang, tidak ada yang tahu. Kata filsuf Heidegger, kematian dan maut adalah the void within. Artinya, maut adalah suatu kekosongan yang menganga di pusat kehidupan semua manusia yang setiap saat dapat menenggelamkan manusia dalam jurang ketiadaan. Dan hidup manusia adalah sebuah peziarahan yang menyejarah, yang setiap saat selalu mengarah menuju kematiannya, tidak lebih, tidak kurang.

Persoalannya tentu, bagaimana setiap manusia menjalani hidup dan menghadapi kematian, atau bagaimana manusia menyingkap kematian lewat refleksi sejarah hidupnya

Page 2: Teologi Kematian

di dunia, atau pun bagaimana kita memandang dan melihat kematian itu sendiri. Apakah kita akan melihat kematian seperti yang dikatakan oleh seorang ahli biologi, David Searls, bahwa memandang kematian sebagai akhir kehidupan ibarat memandang kaki langit sebagai ujung samudera?

Sejauh mana kita memandang kematian sambil memahami tentang arti dan makna kehidupan kita, teolog Karl Rahner, menguraikan bahwa eskatologi (tentang kehidupan sesudah mati), sesungguhnya adalah sebuah antropologi kehidupan, bahwasanya, dengan pandangan setiap kita tentang kematian juga mencerminkan jiwa, pandangan hidup, serta struktur sosial budaya. Dalam hal mana, cara pandang dan pemahaman suatu masyarakat terhadap kematian sejauh masyarakat tersebut memandang, memahami dan menjalani kehidupan itu sendiri.

Religiusitas dan moralitas kehidupanTeofani kematian dari meninggalnya Mbah Surip dan WS Rendra, patut

direnungkan dari kaca mata iman, teologi, bahkan juga filsafat, sehingga itu berdampak pada religiusitas dan dapat menohok pada moralitas perilaku hidup kita. Bahwa hidup dan peristiwa kematian adalah permintaan pertanggungjawaban tentang kehidupan. Atau, bahwasanya, keberadaan dan seluruh aktivitas manusia adalah refleksi teologis, filosofis, dan juga moralitas hidup yang tidak pernah terlepas dari penilaian Tuhan sebagai Sang Pencipta dan/atau Sang Pemberi Hidup, kapan pun ia menghentikan kehidupan bagi manusia, manusia harus selalu siap untuk menghadapinya.

Lebih dari itu, logika moralnya adalah karena kematian itu sebuah kepastian, maka hidup baik sebagai orang beriman, adalah sebuah kemestian yang harus diperjuangkan. Hidup baik selalu mengacu pada ukuran moral. Dan semua ini hanyalah bahwa kita ingat dan takut akan Tuhan. Sebagai orang beragama dan beriman, setiap kali ingat akan Tuhan, ia pasti berusaha untuk selalu berbuat baik. Inilah kekuatan besar dari perilaku etis yang memiliki ukuran moral.

Tetapi dalam realitas keseharian kita tidak begitu. Religiusitas dan renungan-renungan teologis serta pemahaman tentang kehidupan, terpisah dari moralitas dan rambu-rambu etisnya. Padahal, kepercayaan religius menopang moralitas. Dan hidup dengan ukuran moralitas tinggi sebagai cermin dari dalamnya pemahaman teologis dan tingginya pengenalan akan Tuhan. Jadi, seorang beragama mestinya lebih mempertimbangkan moralitas. Maka, dalam untung dan malang, dalam kegagalan dan kesuksesan, dalam kesendirian dan dalam popularitas semestinya menjadi moral force. Berangkat dari keimanan terhadap Tuhan, seharusnya berdampak pada perbaikan moral.

Maka, tatkala teofani kematian dari meninggalknya kedua seniman Indonsia, Mbah Surio dan WS Rendra belum juga menyentak kesadaran iman dan moral kita, memperdalam renungan teologis, dua membangun religiussitas kita, maka tampaknya kita perlu mengambil solusi dari pemikir Paul Ricoeur. Sang pemikir besar ini memandang betapa perlunya refleksi, yaitu semacam tindakan untuk kembali ke diri sendiri, ke intelektual dan tanggung jawab moral keagamaan.

Akhirnya, kini tergantung pada setiap manusia bagaimana ia menghadapi kematian bagi dirinya, apakah kematian dan maut itu merupakan sosok yang menakutkan, atau akan menjadi sahabat karib baginya. Kiranya, kematian akan dan selalu sungguh-sungguh menggetarkan iman, lalu dijelmakan dalam perilaku moral.

Penulis, penggemar teologi dan filsafat, alumnus Universitas Sint Thomas, Medan