Upload
niezar-j-za
View
16
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tbc
Citation preview
Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi TBC, Campak dan Hepatitis B
Disusun oleh:
Kelompok 8
1. Ade Irma Lubis 131121073
2. Laila Rahmadani 131121074
3. Armi mawaddah 131121075
4. Enita Lumban Batu 131121076
5. Nciho Arbei C Capah 131121077
6. Winda Anglina M 131121078
7. Eriska C Mahulae 131121079
8. Eka Juliani 131121080
9. Yurina Bayu 131121081
10. Setia Budi 131121182
Program Studi S1 Keperawatan (Ekstensi)
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara
2013
i
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-
Nya yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Ilmu Kesehatan
Anak yang berjudul “Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi TBC, Campak dan
Hepatitis B.”
Makalah ini disusun untuk melengkapi dan memenuhi salah satu syarat penilaian
Mata Ajar Ilmu Kesehatan Anak di Fakultas Keperawatan USU. Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa penulisan makalah ini tidak lepas dari bimbingan dosen pembimbing
mata kuliah manajemen kesehata. Pada kesempatan ini kami ucapkan terimakasih kepada
ibu Nur Asnah S.Kep, Ns, M.Kep.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi isi
maupun bahasanya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun demi menyempurnakan makalah ini dimasa yang akan datang.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga Makalah ini dapat membawa manfaat
bagi penulis sendiri dan para pembaca sekalian.
Medan, Maret 2014
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI .........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...............................................................................1
1.2 Tujuan ............................................................................................2
1. Tujuan Umum 2
2. Tujuan Khusus 2
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN .............................................................3
2.1 Konsep Dasar Imunisasi ................................................................3
2.2 Vaksinasi Program pengembangan Imunisasi...............................8
2.2.1 Imunisasi BCG.......................................................................8
2.2.2 Imunisasi Hepatitis B.............................................................9
2.3.3 Imunisasi Morbili...................................................................11
2.3 Penyakit Yang Dapat Dicegah.......................................................13
2.2.1 Tuberculosis...........................................................................13
2.3.2 Hepatitis B..............................................................................15
2.3.3 Morbili....................................................................................15
BAB III KESIMPULAN .....................................................................................19
3.1 Kesimpulan....................................................................................19
3.2 Saran .............................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan
memasukkan vaksin kedalam tubuh membuta zat anti untuk mencegah terhadap penyakit
tertentu.
Di Negara Indonesia terdapat jenis imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah dan
ada juga yang dianjurkan, imunisasi wajib di Indonesia sebagaimana telah di wajibkan
oleh WHO di tambah dengan hepatitis B. Imunisasi yang hanya dianjurkan oleh
pemerintah dapat digunakan untuk mencegah suatu kejadian yang luar biasa atau penyakit
endemic, atau untuk kepentingan tertentu (berpergian) seperti jamaah haji seperti imunisasi
meningitis.
Pada 114 mahasiswa USU yang baru masuk tahun 1983 didapat prevalensi 16,6%
dari data pasien hemodialysis regular di 12 kota besar di Indonesia dari 2458 pasien
didapati prevalensi infeksi infeksi HBV sebanyak 4,5%, sedangkan di kota medan sendiri
didapat 6,05% dari 314 pasien (Survei Nasional per nefri untuk prevalensi hepatitis B/C
pada pasien hemodialiasis). Diperkirakan saat ini 11,6 juta penduduk Indonesia terinfeksi
oleh VHB. Pada tahun 1991 WHO telah merekomendasikan vaksinasi hepatitis B untuk
seluruh Negara. Tahun 2002, 154 negara telah melakukan vaksinasi hepatitis B pada
seluruh bayi baru lahir.
Menurut data SKRT 1996 insiden campak pada balita sebesar 528 per 10000.
Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan tahun 1982 sebelum program imunisasi
campak dimulai, yaitu sebesar 8000 per 10000 pada anak umur 1-15 tahun.
Sepanjang tahun 2003, secara nasional, frekuensi campak menempati urutan
keempat, setelah DBD, diare dan cikunguya. KLB campak 2003 terjadi sebayak 89 kali
dengan jumlah kasus sebanyak 2914 dan sepuluh kematian (CFR=0,34%). Pada tahun
2006 KLB camapak terjadi 35 kali dengan jumlah penderita sebayak 547 orang dan untuk
tahun 2007 jumlah penderita campak meningkat senayak 1261.
Pada survei 1992, TBC adalah penyebab kematian no 2 di Indonesia setelah
penyakit kardovaskuler. WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya 175.000
angka kematian akibat TBC dan 450.000 kasus baru per tahun.
1
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Agar mahasiswa dan pembaca mengetahui pentingnya imunisasi yang harus
diberikan sejak usia lahir untuk menjaga kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengertian imunisasi
2. Mengetahui tujuan imunisasi
3. Mengetahui macam-macam imunisasi
4. Mengetahui imunisasi yang dilakukan pada berbagai usia
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Imunisasi
2.1.1 Defenisi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap suatu
penyakit dengan cara memasukkan kuman atau produk kuman yang sudah dilemahkan
atau dimatikan ke dalam tubuh dan diharapkan tubuh dapat menghasilkan zat anti yang
pada saatnya akan digunakan tubuh untuk melawan kuman atau bibit penyakit yang
menyerang tubuh (Sudarmanto Y. Agus, 1997).
Jika ada antigen (kuma, bacteria, virus, parasit, racun) memasuki tubuh, tubuh akan
berusaha untuk menolaknya. Tubuh membuat zat anti berupa anti bodi atau antitoksin.
Reaksi tubuh pertama kalil terhadap antigen berlangsung lambat dan lemah sehingga tidak
cukup banyak antibodi terbentuk. Pada reaksi atau respons yang kedua, ketiga, dan
seterusnya tubuh sudah lebih mengenal jenis antigen tersebut. Tubuh sudah lebih pandai
membuat zat anti, sehingga dalam waktu yang lebih singkat akan dibentuk zat anti yang
cukup banyak. Setelah beberapa waktu, jumlah zat anti dalam tubuh akan berkurang.
Untuk mempertahankan agar tubuh tetap kebal, perlu diberikan antigen/suntikan/imunisasi
ulang. Ini merupakan rangsangan bagi tubuh untuk membuat zat anti kembali (Markum,
2002).
2.1.2 Tujuan
Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dari
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pada saat ini penyakit-penyakit tersebut
adalah disentri, tetanus, batuk rejan (pertusis), campak (measles), polio dan tuberculosis
(Notoadmodjo, 1997:39).
Tujuan dari pemberian imunisasi: untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu;
apabila terjadi penyakit tidak akan terlalu parah dan dapat mencegah gejala yang dapat
menimbulkan cacat dan kematian (Dick. George, 1992:26).
Imunisasi pada bayi dan balita bertujuan untuk mencegah penyakit pada bayi dan
balita yang pada akhirnya akan menghilangkan penyakit tersebut. Tujuan akhir imuniasasi
dalam komitmen internasional (Ultimate goal ) adalah eradikasi polio (erapo), eliminasi
tetanus neonatorum (ETN), serta reduksi campak, yang akan dicapai pada tahun 2000.
Sedangkan target UCI 80-80 merupakan tujuan antara (intermediate goal), berarti cakupan
3
imunisasi untuk BCG, DPT, polio, campak dan hepatitis B harus mencapai 80%, baik di
tingkat nasional, provinsi, kabupaten, bahkan setiap desa (IDAI, 2001).
2.1.3 Manfaat
Manfaat imunisasi bagi anak dappat mencegah penyakit, cacat dan kematian.
Sedangkan manfaat bagi keluarga adalah dapat menghilangkan kecemasan dan mencegah
biaya pengobatan yang tinggi bila anak sakit. Bayi dan anak yang mendapat imunisasi
dasar lengkap akan terllindung dari beberapa penyakit berbahaya dan akan mencegah
penularan kepada orang yang berada di sekitarmya. Imunisasi akan meningkatkan
kekebalan tubuh bayi dan anak sehingga mampu melawan penyakit yang dapat dicegah
dengan vaksin tersebut. Anak yang telah di imunisasi bila terinfeksi oleh kuman tersebut
maka tidak akan menularkan kepada orang yang berda di sekitarnya. Di dunia selama tiga
dekade United Nations Childrens Funds (UNICEF) telah menggalakkan program vaksinasi
untuk anak-anak di negara berkembang dengan pemberian bantuan vaksinasi difteria,
campak, pertusis, polio, tetanus, dan TBC bila dibandingkan, risiko kematian anak yang
menerima vaksin dengan anak yang tidak menerima vaksin kira-kira 1:9 sampai 1:4
(Nyarko et al., 2001).
Di Amerika imunisasi pada masa anak-anak merupakan salah satu sukses terbesar
dari sejarah kesehatan masyarakat Amerika pada abad 20. Sejarah mencatat di Amerika
Serikat terdapat 4 jenis imunisasi yang berhasil, seperti: difteri, pertusi, polio, dan campak
(Baker, 2000 Program Imunisasi).
2.1.4 Prinsip Dasar Pemberian Imunisasi
Prinsip dasar pemberian imunisasi adalah:
1. Bila ada antigen (kuman, bakteri, virus, parasit, racun) memasuki tubuh maka
tubuh akan berusaha menolaknya, tubuh membuat zat anti berupa antibodi atau
antitoksin.
2. Rea ksi tubuh pertama kali terhadap antigen berlangsung secara lambat dan lemah,
sehingga tak cukup banyak antibodi yang terbentuk.
3. Pada reaksi atau respon yang kedua, ketiga, dan seterusnya tubuh sudah mulai
lebih mengenal jenis antigen tersebut.
4. Setelah beberapa waktu, jumlah zat anti dalam tubuh akan berkurang. Untuk
mempertahannkan agar tetap kebal, perlu diberikan antigen/suntikan/imunisasi
ulang.
4
5. Kadar antibodi yang tinggi dalam tubuh menjamin anak akan sulit untuk terserang
penyakit (Sujono, 2009).
2.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Imunisasi
a. Status imun pejamu
Terjadinya antibodi spesifik pejamu terhadap vaksin yang diberikan akan
mempengaruhi keberhasilan imunisasi. Pada bayi semas fetus mendapat antibodi
maternal spesifik terhadap virus campak. Apabila vaksinasi campak diberikan pada
saat kadar antibodi spesifik campak masih tinggi, maka akan memberikan efek
yang kurang memuaskan. Demikian pula ASI yang mengandung IgA sekretori
(sIgA) terhadap virus polio dapat mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polio yang
diberikan secara oral. Meskipun demikian, umumnya kadar sIgA terhadap virus
polio pada ASI sudah rendah pada waktu bayi berumur beberapa bulan.
berdasarkan penelitian Sub Bagian Alergi-Imunologi Bagian IKA FKUI/RSCM
Jakarta, kadar sIgA polio sudah tidak ditemukan lagi pada ASI setelah anak
berumur 5 tahun. Kadar sIgA yang tinggi terdapat pada kolostrum. Oleh karena itu
bila vaksinasi polio oral diberikan pada masa pemberian kolostrum (usia 0-3 hari),
hendaknya ASI (kolostrum) jangan diberikan dahulu 2 jam sebelum dan sesudah
vaksinasi.
Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Fungsi
makrofag pada neonatus masih kurang, terutama fungsi mempresentasikan antigen.
Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu masih kurang, sehingga
imunisasi yang diberikan sebelum bayi berumur 2 tahun jangan lupa memberikan
imunisasi ulangan.
Individu yang mendapat obat imunosupresan, menderita defisiensi imun
kongenital atau penyakit yang menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti
keganasan akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Defisiensi imun merupakan
indikasi kontra pemberian vaksin hidup karean justru dapat menimbulkan penyakit
pada individu tersebut. Vaksinasi yang diberikan pada individu yang menderita
penyakit sistemik, seperti campak dan tuberculosis milier akan mempengaruhi
keberhasilan vaksinasi juga.
Keadaan gizi buruk menurunkan fungsi sel sistem imun. Fungsi sel sistem
imun seperti makrofag dan limfosit. Imunitas selulas menurun dan imunitas
humoral spesifitasnya rendah. Kadar immunoglobulin yang terbentuk tidak dapat
5
mengikat antigen dengan baik karena kekurangan asam amino untuk mensintesis
antibodi. Kadar komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang,
sehingga respon terhadap vaksin atau toksoid berkurang.
b. Faktor Genetik Pejamu
Interaksi sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara
genetik, respon imun manusia terbagi menjadi respon baik, cukup dan rendah
terhadap antigen tertentu. Seorang individu dapat memberikan respon rendah
terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen lain dapat sangat tinggi respon
imunnya. Oleh karena itu sering ditemukan keberhasilan vaksinasi tidak sampai
100%.
c. Kualitas dan Kuantitas Vaksin
Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respon imun, misalnya vaksin
polio oral akan menimbulkan imunitas lokasl dan sistemik, sedangkan vaksin polio
parinteral hanya memberikan imunitas sistemik saja. Dosis vaksin yang tidak tepat
juga mempengaruhi respon imun. Dosis terlalu tinggi menghambat respon imun
yang diharapkan , sedangkan dosis terlalu rendah tidak dapat merangsang sel-sel
imunokompeten. Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji klinis, karena itu
dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan.
Frekuensi dan jarak pemeberian juga mempengaruhi respon imun. Bila
pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih
tinggi, maka antigen yang masuk akan segera dinetralkan, sehingga tidak sempat
merangsang sel imunokompeten, bahkan dapat terjadi reaksi arthus yaitu bengkak
kemerahan di daerah suntikan antigen akibat pembentukan kompleks antigen
antibodi lokal. Pemeberian vaksin ulang (booster) sebaiknya mengikuti anjuran
sesuai hasil uji klinis.
Pemberian ajuvan atau zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan
respon imun terhadap antigen, pada atau dekat dengan tempat suntikan. Jenis
vaksin juga mempengaruhi respon imun. Vaksin hidup akan menimbulkan respon
imun lebih baik disbanding vaksin mati atau yang diinaktifasi (killed atau
inactivated), atau bagian (komponen) dari mikroorganisme (Wafi Nur, 2010).
6
2.1.6 Jenis Imunisasi
Ada dua jenis imunisasi pada bayi dan balita, yaitu imunisasi aktif dan
imunisasi pasif.
1. Imunisasi aktif
Tubuh akan membuat sendiri setelah adanya rangsangan antigen dari luar
tubuh, ransangan virus yang telah dilemahkan seperti pada imunisasi polio atau
imunisasi campak. Antigen adalah kuman bakteri, virus, parasit, maupun racun
yang memasuki tubuh. Tubuh yang terpapar antigen akan membentuk zat anti
terhadap antigen tersebut. Keberhasilan pemusnahan antigen tersebut tergantung
pada jumlah antigen yang berhasil dibentuk atau dimiliki oleh tubuh kita. Jumlah
zat anti yang cukup tinggi biasanya diperoleh setelah tubuh mangalami reaksi
kedua, ketiga, dan seterusnya akibat rangsangan antigen. Pembentukan zat anti
akibat paparan kembali antigen yang sama pada tubuh akan berlangsung lebih
cepat. Titer antibody yang terbentuk akibat rangsangan antigen pada tubuh untuk
pertama kalinya tidak tinggi dan kadarnya cepat meurun. Oleh sebab itu, pemberian
imunisasi ulang (booster) perlu dilakukan untuk mempertahankan jumlah zat anti
yang tetap tinggi di dalam tubuh.
2. Imunisasi Pasif
Tubuh anak tidak membuat zat antibodi sendiri tetapi kekebalan tesebbut
diperoleh dari luar dengan cara penyuntikan bahan/serum yang telah mengandung
zat anti, atau anak tersebut mendapat zat anti dari ibunya semasa dalam kandungan,
setelah memperoleh zat penolak prosesnya cepat, tetapi tidak bertahan lama
(Markum, 2002). Kekebalan pasif dapat terjadi dengan dua cara:
a. Kekebalan pasif alamiah, yaitu kekebalan yang diperoleh bayi sejak lahir
dari ibunya dan tidak berlangsung lama (kira-kira hanya sekitar 5 bulan
setelah bayi lahir). Misalnya, difteri, tetanus, morbili.
b. Kekebalan pasif buatan, yaitu kekebalan yang diperoleh setelah mendapat
suntikan zat penolak. Misalnya vaksinasi ATS (Pusdiknakes RI, 1993).
Perbedaaan penting antara imunisasi aktif dan imunisasi pasif, ialah untuk
memperoleh kekebalan yang cukup dan jumlah zat anti dalam tubuh harus
meningkat. Pada imunisasi aktif diperlukan waktu yang lebih lama untuk membuat
zat anti dibandingkan dengan imunisasi pasif. Kekebalan yang didapat pada
7
imunisasi aktif bertahan lama (beberapa tahun), sedangkan pada imunisasi pasif
hanya berlangsung beberapa bulan (Rohmah dkk, 2012)
Secara umum ada tujuh jenis penyakit utama pada bayi dan balita yang dapat
dicegah dengan imunisasi. Pengembangan program imunisasi (PPI) merupakan
program pemerintah guna mencapai komitmen internasional Universal Child
Immunization (UCI) pada akhir tahun 1990. Cakupan imunisasi (data: Subdin
Imunisasi Ditjen PPM & Depkes RI, 1998) adalah sebagai berikut:
Cakupan per Antigen 1996/1997 (%)
1 dosis BCG
3 dosis DPT
4 dosis Polio
3 dosis Hepatitis B
1 dosis Campak
2 dosis TT ibu hamil
99,6
90,9
85,0
62,0
91,7
73,3
2.2 Vaksinasi Program Pengembangan Imunisasi (Vaksin Ppi)
2.2.1 Imunisasi BCG
Bacillus Calmette Guerin (BCG) adalah kuman tuberkulosis yang sejak tahun 1920
selama 13 tahun dibiakkan sampai 230 kali oleh Calmette dan Guerin, sehingga
menghasilkan basik yang attenuated. Imunisasi dilakukan dengan menyuntikkan vaksin
BCG secara intrakutan di insertio deltoideus lengan kanan dengan dosis 0,1 ml untuk anak
usia 1 tahun atau lebih tetapi dianjurkan untuk memberikan pada usia bayi 2 bulan.
Imunisasi ulangan dilakukan pada usia 5-7 tahun (usia masuk sekolah dasar) dan usia 12-
15 tahun (usia tamat sekolah dasar) dengan dosis masing-masing 0,1 ml, bila uji tuberkulin
yang dilakukan sebelumnya memberikan hasil negatif.
Vaksinasi BCG yang berhasil akan menunjukkan konversi uji tuberkulin, yaitu
dari negatif sebelum BCG menjadi positif sesudah BCG. BCG diberikan kepada mereka
yang mempunyai resiko tinggi kontak dengan penderita tuberkulosis dan uji tuberkulinnya
masih negatif.
8
Efek samping
1. Pada tempat penyuntikan terjadi ulkus yang lama sembuh. Hal ini terutama terjadi bila
suntikan tidak tepat intrakutan , melainkan subkutan.
2. Pembengkakan kelenjar regional, yang lambat laun dapat pecah dan kemudian
terbentuk fistel dan ulkus
3. Infeksi sekunder dari ulkus.
Imunisasi BCG sebaiknya diberikan pada usia <2 bulan, namun pada jadwal
imunisasi PPI, BCG dapat diberikan pada usia 0-12 bulan untuk mendapatkan cakupan
imunisasi yang lebih luas. Dosis untuk bayi dan anak <1 tahun adalah 0,05 ml. Cara
pemberian adalah melalui injeksi intrakutan di daerah insersio M.deltoideus kanan.
Jika BCG diberikan pada usia >3 bulan, sebaiknya diberikan uji tuberkulin terlebih
dahulu. Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan karena manfaatnya diragukan, mengingat
efektivitas perlindungan hanya 40%. Selain itu, sebanyak 70% kasus TB berat (mis,
meningitis) ternyata meninggalkan parut BCG, dan kasus dewasa yang positif mengidap
BTA (bakteri tahan asam) di Indonesia terbilang cukup tinggi (25%-36%), walaupun
mereka telah mendapat BCG pada masa kanak-kanak.
BCG tidak diberikan pada pasien dengan gangguan imun (leukemia, dalam
pengobatan steroid jangka panjang, infeksi HIV). Pada Negara dengan prevalensi TBC
tinggi, seperti Indonesia imunisasi BCG diberikan sesegera mungkin setelah lahir. Akan
tetapi, jika bayi sakit imunisasi diberikan setelah bayi sembuh dan tepat sebelum
dipulangkan dari rumah sakit.
Jika ibu menderita TBC paru aktif dan telah diobati selama 2 bulan sebelum
kelahiran bayi atau didiagnosis TBC setelah persalinan, berikan dosis tunggal 0,05 ml
intradermal pada bagian atas lengan kiri dengan menggunakan spuit khusus. Suntikan
harus menimbulkan “bleb” kecil di bawah kulit yang menyebabkan kulit mengerut seperti
kulit jeruk (peait d’orange).
2.2.2 Imunisasi Hepatitis B
Imunisasi hepatitis B diberikan sedini mungkin setelah lahir, mengingat sedikitnya
3,9% ibu hamil merupakan pengidap hepatitis dengan resiko penularan maternal kurang
lebih 45%. Pemberian imunisasi hepatitis B harus berdasarkan status HbsAg ibu pada saat
melahirkan. Bayi yang lahir dari ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui akan
diberikan vaksin rekombinan (HB Vax-II 5 μg atau engerix B 10 μg) atau vaksin plasma
serivat 10 μg, intramuscular, dalam 12 jam setelah lahir. Dosis kedua diberikan pada usia
9
1-2 bulan dan dosis ketiga pada usia 6 bulan. Jika pada pemeriksaan selanjutnya diketahui
HbsAg ibu positif, segera berikan 0,5 ml HBIG (sebelum 1 minggu).
Untuk bayi yang lahir dari ibu dengan HbsAG positif, dalam jangka waktu 12 jam
setelah lahir, secara bersamaan, diberikan 0,5 ml HBIG dan vaksin rekombinan per
intramuscular di sisi tubuh yang berlainan. Dosisi kedua diberikan 1-2 bulan sesudahnya
dan dosis ketiga diberikan pada usia 6 bulan. Bayi yang lahir dari ibu dengan HbsAg
negatif akan diberikan vaksin rkombinan atau vaksin plasma derivate per intamuskular
pada usia 2-6 bulan. Dosis kedua diberikan 1-2 bulan kemudian dan dosis ketiga diberikan
6 bulan setelah imunisasi pertama.
Idealnya dilakukan pemeriksaan anti-HbsAg (paling cepat) 1 bulan pasca-imunisasi
Hepatitis B-3. Penelitian Kohort multisenter di Thailand dan Taiwan terhadap bayi yang
lahir dari ibu pengidap hepatitis B, yang telah memperoleh imunisasi dasar 3 kali pada
masa bayi, didapatkan bahwa pada usia 5 tahun 90,7% diantaranya masih memiliki titer
antibodi anti-Hbs yang protektif (titer anti-HbsAg <10 mIU/ml). mengingat pola
epidemiologis hepatitis B di Indonesia mirip dengan Negara tersebut., dapat disimpulkan
bahwa penelitian ulang pada usia 5 tahun tidak diperlukan, kecuali jika titer anti-HbsAg
<10 mIU/ml.
Jika sampai pada usia 5 tahun anak belum pernah memperoleh imunisasi hepatitis
B, secepatnya harus diberikan (catch-up vaccination). Imunisasi hepatitis B ulangan
(hepatitis B-4) dapat dipertimbangkan pada usia 10-12 tahun.
Jika bayi sakit, berikan dosis pertama segera setelah bayi sembuh. Ibu yang
menderita hepatitis akut atau hasil tes serologisnya menunjukkan HbsAg positif, dapat
menularkan hepatitis B pada bayinya.
1. Berikan dosis awal vaksin hepatitis B (VHB) 0,5 mL IM segera setelah bayi lahir,
seharusnya dalam 12 jam sesudah lahir, dilanjutkan dengan dosis ke-2 dan ke-3
sesuai dengan jadwal imunisasi hepatitis.
2. Pada saat yang sama, berikan immunoglobulin Hepatitis B 200 IU IM (0,5 mL)
yang disuntikkan pada paha yang lainnya., dalam waktu 48 jam sesudah lahir
(sebaiknya 24 jam sesudah lahir), jika obat tersedia.
3. Yakinkan ibu untuk tetap menyusui ASI jika bayi sudah diberi vaksin di atas, tetapi
jika ada luka pada putting susu dan ibu mengalami hepatitis akut, sebaiknya ASI
tidak diberikan.
10
Jika ibu diketahui HbsAg negatif dan bayi masih tetap di rumah sakit pada usia 60 hari,
berikan HBV pada hari bayi dipulangkan.
Ada tiga antigen dalam virus hepatitis B (HBV), yaitu :
1. Antigen permukaan, antigen australia (HbsAg) yang akan membentuk antigen
permukaan (surface antigen)
2. Antigen partikel Dane, yang merupakan nukleoplasmid virus hepatitis yan
berukuran 42 nm (HbcAg).
3. Antigen e (HbeAg) yang berhubungan erat dengan jumlah partikel virus.
Nampaknya merupakan antigen yang spesifik untuk hepatitis B, namun tempat dan
hubungan yang tepat belum diketahui secara pasti.
Respon imunologis hepatitis B
Respon imunologis hepatitis B mempunyai hubungan yang erat dengan kerusakan
sel hati. Timbulnya respon ini akibat adanya antigen yang terdapat di dalam virus yang
memasuki sel hati. Namun pandangan bahwa hepatitis B dapat merusak sel hati tidak
selamanya benar, karena sering didapatkan HbsAg dalam sel hati karier sehat.
Ada 4 tahap respon imunologi :
1. HbsAg muncul hampir pada semua penderita yang mengalami masa inkubasi (2-6
bulan)dan 2-8 minggu sebelim terjadi perubahan biokimiawi dan ikterus. Antigen
akan tetap ada di dalam darah selama masa akut dan menghilang pada masa
konvalesensi.
2. Segera atau sebelum peningkatan serum transaminase akan terjadi peningkatan
aktivitas DNA polimerase dan akan menetap pada masa akut untuk beberapa hari
atau minggu, sedangkan pada karier dapat berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
3. Antibodi terhadap HbcAg baru timbul 2-10 minggu setelah muncul HbsAg dan
dapat diketahui pada masa akut dan beberapa tahun setelah masa rekonvalesensi.
Titer antibodi HbcAg berhubungan dengan jumlah dan lamanya pembelahan virus.
4. Antibodi terhadap HbsAg akan muncul terakhir.
2.2.3 Imunisasi Morbili (Campak, Measles, Rubeola)
Vaksin campak diberikan pada usia 9 bulan dalam satu dosis 0,5 ml yang
diinjeksikan di area subkutan dalam. Penelitian titer antibodi campak pada anak usia 6-11
tahun oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes dan Kesos tahun 1999
mendapatkan bahwa hanya 71,9 % anak masih mempunyai antibodi campak di atas
ambang pencegahan. Sebanyak 28,3% anak usia kelompok usia 5-7 tahun pernah
11
menderita campak, walaupun sudah diimunisasi campak saat lahir. Berdasarkan penelitian
tersebut, dianjurkan untuk melakukan imunisasi campak ulangan pada saat anak masuk
sekolah dasar (5-6 tahun), guna mempertinggi serokonversi.
Pencegahan
a. Imunisasi aktif
Ini dilakukan dengan pemberian live attenuated measles vaccine, mula-mula
dugunakan stain edmonston B, tetapi karena strin ini menebabkan panas tinggi dan
eksanten pada hari ke 7-10 setelah vaksinasi, maka strain edmonston B diberikan bersama-
sma dengan globulin- gamma pada lengan yang lain. Sekarang digunakan strain Schwarz
dan moranten dan tidak diberikan globulin-gamma. Vaksin tersebut diberikan secara
subkutan dan menyebabkan imunitas yang berlangsung lama. Pada penyelidikan serologis
ternyata bahwa imunitas tersebut mulai mengurang 8-10 tahun setelah vaksinasi.
Dianjurkan diberikan vaksin morbili pada anak berumur 15 bulan yaitu karena sebelum
umur 15 bulan diperkirakan anak tidak dapat membentuk antibodi secara baik karena
masih ada antibodi dari ibu. Tetapi dianjurkan pula agar anak yang tinggal didaerah
endemis morbili yang terdapat banyak tuberkulosis diberikan vaksinasi pada umur 6 bulan
dan re vaksinasi pada umur 15 bulan. Di Indonesia saat ini masih dianjurkan memberikan
vaksinasi morbili pada anak berumur 9 bulan ke atas. Vaksin morbili tersebut dapat juga
diberikan pada orang yang alergi terhadap telur, karena vaksin morbili ini dikumpulkan
dalam jaringan-jaringan ayam yang secara antigen berbeda dengan protein telur. Hanya
bila terdapat suatu penyakit alergi sebaiknya vaksinasi ditunda sampai 2 minggu sembuh.
Vaksin morbili dapat diberikan pada penderita tuberkulosis aktif yang sedang mendapat
tuberkulospatika. Vaksin morbili tidak boleh diberikan pada wanita hamil, anak dengan
tuberkulosis yang tidak diobati, penderita leukimia, dan anak yang sedang mendapat
pengobatan immunosupresif.
Vaksin morbili dapat diberikan sebagai vaksin morbili saja atau sebagai vaksin
measles- mumps-rubella (MMR).
Di Indonesia digunakan pula vaksin morbili buatan perum bioparma yang terdiri
dari virus morbili yang hidup dan sangat dilemahkan, stain schwarz dan ditumbuhkan
dalam jaringan janin ayam dan kemudian dibeku-dikeringkan. Tiap dosis dari vaksin yang
sudah dilarutkan mengandung virus morbili tidak kurang dari 1000 TCID50 dan neomisin
B sulfat tidak lebih dari 50 mikrogram.
12
Vaksin ini diberikan secara subkutan sebanyak 0,5 ml pada umur 9 bulan. Terjadi
anergi terhadap tuberkulin selama 2 bulan setelah vaksinasi. Bila seseorang telah mendapat
immunoglobulin atau tranfusi darah maka vaksinasi dengan vaksin morbili harus
ditangguhkan sekurang-kurangnya 3 bulan. Vaksin ini tidak boleh diberikan pada anak
dengan infeksi pernapasan akut atau infeksi akut lainnya yang disertai demam, anak
dengan defesiensi immunologik, anak yang sedang diberi pengobatan intensif dengan obat
immunosupresif.
b. Imunisasi pasif
Baik diketahui bahwa morbili yang perjalanan penyakitnya diperingan dengan
pemberian globulin-gamma dapat mengakibatkan ensefalitis dan penyebaran proses
tuberkulosis.
2.3 Penyakit Yang Dapat Dicegah
2.3.1 Tuberkulosis Pada Anak
Aspek umum tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis dan Mycobacterium bovis ( sangat jarang disebabkan oleh mycobacterium
avium). Basil Tuberculosis dapat hidup dan tetap purulen beberapa minggu dalam keadaan
kering, tetapi dalam cairan mati pada suhu 60oC dalam 15-20 menit. Fraksi protein basil
tuberkulosis menyebabkan nekrosis pada jaringan, sedangkan lemaknya menyebabkan
sifat tahan asam dan merupakan faktor penyebab terjadinya fibrosis dan terbentuknya sel
epitaloid dan tuberkel.
Penularan Mycobacterium tuberculosis biasanya melalui udara, hingga sebagian
besar fokus primer tuberkulosis terdapat dalam paru, selain melalui udara penularan dapat
peroral misalnya minum susu yang mengandung basil tuberkulosis, biasanya
Mycobacterium bovis. Dapat juga terjadi dengan kontak langsung misalnya melalui luka
atau lecet kulit. Tuberkulosis kongenital sangat jarang dijumpai.
Patogenesis dan Patologi
Masuknya basil tuberkulosis dalam tubuh tidak selalu menimbulkan penyakit.
Terjadinya infeksi dipengaruhi oleh virulensi dan banyaknya basil teberkulosis serta daya
tahan tubuh manusia. Infeksi primer biasanya di dalam paru. Basil tuberkulosis masuk
kedalam paru melalui udara dan dengan masuknya basil tuberkulosis maka terjadi eksudasi
dan konsolidasi yang terbatas dan disebut fokus primer. Basil tuberkulosis akan menyebar
13
dengan cepat melalui saluran getah bening menuju kelenjar regional yang kemudian akan
mengadakan reaksi eksudasi. Fokus primer, limfangitis dan kelenjar getah bening regional
yang membesar membentuk kompleks primer. Komplek primer terjadi 2-10 minggu ( 6-8
minggu) setelah infeksi. Bersamaan dengan terbentuknya kompleks primer terjadi
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein yang dapat diketahu dari uji tuberkulin. Waktu
antara terjadinya infeksi sampai terbentuknya komplek primer disebut masa inkubasi.
Pada anak lesi dalam paru dapat terjadi dimanapun, terutam di periferi dekat
pleura. Lebih banyak terjadi di lapangan bawah paru dibanding dengan lapangan atas,
sedangkan pada orang dewasa lapangan atas paru merupakan predileksi. Pembesaran
kelenjar regional lebih banyak terjadi pada anak dibanding orang dewasa. Penyebaran
hematogen lebih banyak terjadi pada bayi dan anak kecil.
Tuberkulosis dapat meluas dalam jaringan paru sendiri, selain itu basil tuberkulosis
dapat masuk kedalam aliran darah secara langsung atau melalui kelenjar getah bening,
basil tuberkulosis dalam darah dapat mati, tetapi dapat pula berkembang terus hal ini
bergantung pada keadaan penderita dan virulensi kuman. Melalu aliran darah basil
tuberkulosis dapat mencapai alat tubuh lain seperti bagian paru lain, selaput otak, otak,
tulang, hati, ginjal dan lain-lain. Dalam alat tubuh tersebut basil tuberkulosis dapat segera
menimbulkan penyakit, tetapi dapat pula menjadi tenang dulu dan setelah beberapa waktu
menimbulkan penyakit atau dapat pula tidak menimbulkan penyakit sama sekali.
Sebagian besar komplikasi tuberkulosis primer terjadi dalam 12 bulan setelah
terjadinya penyakit, penyebaran hematogen atau milier dan meningitis biasanya terjadi
dalam 4 bulan, tetapi jarang sekali sebelum 6-12 bulan setelah terbentuknya kompleks
primer, kalau efusi pleura disebabkan oleh penyebaran hematogen maka dapat terjadi lebih
cepat. Komplikasi pada tulang dan kelenjar getah bening permukaan dapat terjadi akibat
penyebaran hematogen, hingga dapat terjadi dalam 6 bulan setelah terbentuknya kompleks
primer, tetapi komplikasi ini dapat juga terjadi setelah 6-18 bulan. Komplikasi pada traktus
urogenitalis dapat terjadi setelah bertahun-tahun. Sedangkan tuberkulosis tulang dalam 1-5
tahun setelah terbentuknya kompleks primer.
Pembesaran kelenjar getah bening yang kena infeksi dapat menyebabkan
atelektasis karena menekan bronkus hingga tampak sebagai perselubungan segmen atau
lobus, sering lobus tengah paru kanan, selain oleh tekanan kelenjar getah bening yang
membesar, atelektasis dapat terjadi karena konstriksi bronkus atau sumbatan oleh
gumpalan kiju didalam lumen bronkus.
14
Klasifikasi dan gejala klinis
Ada beberapa klasifikasi tuberkulosis
Ranke membagi tuberkulosis dalam 3 stadium, yaitu:
Stadium pertama : kompleks primer dengan penyebaran limfogen
Stadium kedua : pada waktu terjadi penyebaran hematogen
Stadium ketiga : tuberkulosis paru menahun(Chronik Pulmonary Tuberculosis)
2.3.2 Hepatitis B
Hepatitis virus adalah infeksi hati yang dapat disebabkan oleh 2 macam virus
yaitu : virus hepatitis A penyebab dari hepaitis infesiosa atau epidemik dan virus hepatitis
B penyebab dari hepatitis serum atau ikterus serum homologi.
Hepatitis B menjadi makin penting karena dapat menyebabkan penyakit hati kronik
termasuk hepatitis aktif kronik, sirosis hepatis dan karsinoma primer hati. Paling tidak
hepatitis B akan menjadi karier dan menyebabkan kerusakan sel hati. Penularan hepatitis B
selain melalui parenteral dapat juga akibat hubungan yang erat seperti dari mulut ke mulut
atau melalui hubungan seks. Dapat juga ditularkan melalui gigitan serangga seperti
nyamuk dan kutu busuk. Pada ibu yang menderita hepatitis B kemunkinan untuk menulari
bayi yang dilahirkan sekitar 40%. Penelitian secara serologis di temukan bahwa HbsAg
ada 8 serotipe dan 2 merupakan serotipe campuran. Pengetahuan ini berguna dalam
epidemiologi untuk mencari sumber penyakit dan bukan atau tidak ada hubungan dengan
bentuk penyakit. Inti virus mengandung enzim yang disebut hepatitis BDNA polimerase.
2.3.3 Morbili ( Campak, Measles, Rubeola)
Patologi
Morbili ialah suatu penyakit virus akut, menular yang ditandai dengan 3 stadium
yaitu
1. Stadium kataral (prodromal)
Biasanya stadium ini berlangsung selama 4 sampai 5 hari disertai panas, malaise,
batuk, fotofobia, konjungtifitas dan koriza. Menjelang akhir stadium katarak dan 24jam
sebelum timbul enantema, timbul bercak koplik yang patoknomik bagi morbili, tetapi
sangat jarang dijunpai. Bercak komplik berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum dan
dikelilingi iritema. Lokalisasinya di mukosa bucalis berhadapan dengan molar baah.
Jarang ditemukan dibibir tengah atau palatum. Kadang-kadang terdapat makula halus yang
kemudaian menghilang sebelum stadium erupsi. Gambaran darah tepi ialah limpositosis
dan leukopenia. Secara klinis, gambaran penyakit menyerupai penyakit influensa dan
15
sering didiagnosis sebagai influensa. Diagnosis perkiraan yang besar dapat dibuat bila ada
bercak koplik dan penderita pernah kontak dengan penderita morbili dalam waktu 2
minggu terakhir.
2. Stadium erupsi
Koriza dan batuk-batuk bertambah. Timbul enantema atau titik merah di palatum
durum dan palatum more. Kadang-kadang terlihat pula bercak koplik. Terjadi eritema yang
berbentuk makula-papula disertai menaiknya suhu badan. Diantara makula terdapa kulit
yang normal. Muloa-mula eritema timbul dibelakang telinga, dibagian atas lateral tengkuk,
sepanjang rambut dan bagian belakang bawah. Kadang-kadang terdapat perdarahan ringan
pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak. Ruam mencapai anggota bawah pada hari ketiga
dan akan menghilangdengan urutan seperti terjadinya.
Terdapat pembesaran kelenjar getah bening disudut mandibula dan di daerah leher
belakang. Pula terdapat sedikit splenomegali. Tidak jarang disertai diare dan muntah.
Variasi dari morbili yang biasa ini adalah balck measles, yaitu morbili yang disertai
perdarahan pada kulit, mulut, hidung dan traktus digestivus.
3. Stadium konvalensi
Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua (hiperpigmentasi)
yang lama-kelamaan akan hilang sendiri. Selain hiperpigmentasi pada anak indonesia
sering ditemukan pula kulit yang bersisik. Hiperpigmentasi ini merupakan gejala
patognomonik untuk morbili. Pada penyaki-penyakit lain dengan eritema atau eksantema
ruam kulit menghilang tanpa hiperpigmentasi. Suhu menurun sampai menjadi normal
kecuali bila ada komplikasi.
Etiologi
Penyebabnya ialah virus morbili yang terdapat dalam sekret nasoparing dan darah
selama masa prodromal selama 24 jam setelah timbul bercak-bercak. Cara penularan
dengan droplet dan kontak.
Epidemiologi
Biasanya penyakit ini timbul pada masa anak dan kemudian menyebabkan
kekebalan seumur hidup. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang oernah menderita morbili
akan mendapat kekebalan secara pasif (melalui plasenta) sampai umur 4-6 bulan dan
setelah umur tersebut kekbalan akan mengurang sehingga si bayi dapat menderita morbili.
Bila si ibu belum pernah menderita morbili maka bayi yang dilairkan tidak mempunyai
kekebalan terhadap morbili dan dapat menderita penyakit ini setelah ia dilahirkan. Bila
16
seorang wanita menderita morbili ketika ia hamil satu atau dua bulan, maka 50%
kemungkinan akan mengalami abortus, bila ia menderita morbili pada trimester pertama,
kedua atau ketiga maka ia mungkin melahirkan seorang anak dengan kelainan bawaan atau
seorang anak dengan berat badan lahir rendah atau lahir mati atau anak yang kemudian
meninggal sebelum usia 1 tahun.
Diagnosa banding
1. German measles. Pada penyakit ini tidak ada bercak koplik, tetapi ada pembesaran
kelenjar di daerah suboksipital, servikal bagian posterior, belakang telinga.
2. Eksamtema subitum. Ruam akan timbul bila suhu badan menjadi normal
Komplikasi
Pada penyakit morbili terdapat resistensi umum yang menurun sehingga dapat
terjadi anergi (uji tuberkulin yang semula positif berubah menjadi negatif). Keadaan ini
menyebabkan mudahnya terjadi komplikasi sekunder seperti otitis media akut, ensefalitis,
bronkopneumonia.
Bronkopneumonia dapat disebabkan oleh virus morbili atau pneumococus,
streptococus, stapilococus. Bronkopneumonia ini dapat menyebabkan kematian bayi yang
masih muda, anak degan malnutrisi energi protein, penderita penyakit menahun ( misalnya
tuberkulosis), leukimia dan lain-lain. Oleh karena itu pada keadaan tertentu perlu
dilakukan pencegahan.
Komplikasi neurologis pada morbili dapat berupa hemiplegia, paraplegia, afasia,
gangguan mental, neuritis optika dan ensefalitis. Ensefalitis morbili dapat terjadi sebagai
komplikasi pada anak yang sedang menderita morbili atau dalam satu bulan setelah
mendapat imunisasi dengan vaksin virus morbili hidup (ensefalitis morbili akut), pada
penderita yang sedang mendapat pengobatan imunosufresif (immunosufresive measles
encephalopathy) dan sebagai subacute sclerosing panencephalitis (SSPE).
Ensefalitis morbili akut ini timbul pada stadium eksanterm, angka kematian rendah
dan sisa defisit neurologis sedikit. Angka kejadian ensefalitis setelah infeksi morbili ialah
1:1000 kasus, sedangkan ensefalitis setelah vaksisnasi virus morbili hidup adalah 1,16 tiap
sejuta dosis. SSPE adalah suatu penyakit degenerasi yang jarang dari susunan syaraf pusat.
Penyakit ini progresif dan patal serta ditemukan pada anak dan orang dewasa. Ditandai
oleh gejala secara tiba-tiba seperti kekacauan mental, disfungsi motorik, kejang dan koma
3 tahun kemudian. Kemungkinan menderita SSPE setelah vaksinasi morbili adalah 0,5-1,1
tiap 10 juta, sedangkan setelah infeksi morbili 5,2-9,7 tiap 10 juta.
17
Immunosuppresive measles encephalopathy didapatkan pada anak dengan morbili yang
sedang menderita devesiensi immunologi karena keganasan atau karena pemakaian obat-
obat imunosufresif. Perjalanan klinis lambat dan sebaian besar penderita meninggal dalam
6 bulan-3 tahun setelah terjadi gejala pertama. Meskipun demikian remisi spontan masih
bisa terjadi. Penyebab SSPE tidak jelas tapi ada bukti-bukti bahwa virus morbili
memegang peranan dalam patogenesisnya. Biasanya anak menderita morbili sebelum usia
2 tahun. Sedangkan SSPE bisa timbul sampai usia 7 tahun setelah morbili.
Prognosis
Baik pada anak dengan keadaan umum yang baik, tetapi prognosis buruk bila keadan
buruk, anak yang sedang menderita penyakit kronis atau bila ada komplikasi.
.
18
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan
memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang
mewabah atau berbahaya bagi seseorang. Imunisasi adalah pemberian vaksin untuk
mencegah terjadinya penyakit tertentu. Vaksin adalah suatu obat yang diberikan untuk
membantu tubuh menghasilkan antibodi. Antibodi ini berfungsi melindungi tubuh terhadap
penyakit. Vaksin tidak hanya menjaga agar anak tetap sehat, tetapi juga membantu
membasmi penyakit yang serius yang timbul pada masa kanak-kanak.
Vaksin secara umum cukup aman. Keuntungan perlindungan yang diberikan vaksin
jauh lebih besar daripada efek samping yang mungkin timbul. Dengan adanya vaksin
maka banyak penyakit masa kanak-kanak yang serius, yang sekarang ini sudah jarang
ditemukan.
Jadi pada dasarnya reaksi pertama tubuh anak untuk membentuk
antibodi/antitoksin terhadap antigen, tidaklah terlalu kuat. Tubuh belum mempunyai
“pengalaman” untuk mengatasinya. Tatapi pada reaksi yang ke-2, ke-3 dan berikutnya,
tubuh anak sudah pandai membuat zat anti yang cukup tinggi. Dengan cara reaksi antigen-
antibodi, tubuh anak dengan kekuatan zat antinya dapat menghancurkan antigen atau
kuman; berarti bahwa anak telah menjadi kebal (imun) terhadap penyakit tersebut.
Dari uraian ini yang terpenting adalah bahwa dengan imunisasi, anak akan
terhindar dari ancaman penyakit yang ganas tanpa bantuan pengobatan.
3.2. Saran
1. Bagi pemerintah dan petugas kesehatan
Memberikan imunisasi bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam semua
usia, baik yang berada di daerah perkotaan maupun di daerah pelosok. dan
meningkatkan mutu pelayanan terutama pelayanan masyarakat yang kurang
mampu.
2. Bagi masyarakat
Memperhatikan kesehatan keluarganya dengan memberikan imunisasi
lengkap sedini mungkin terutama saat bayi baru lahir di tempat pelayanan
kesehatan di daerah setempat.
19
DAFTAR PUSTAKA
Muslihatun, Wafi Nur. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Yogyakarta: Citramaya.
Nanny Lia Dewi, Vivian. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Salemba Medica.
Riyadi, Sujono dan sukarmin. 2009. Asuhan Keperawatan pada Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rochmah, dkk. 2012. Panduan Belajar Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Jakarta: EGC.
Riyadi, Sujono dan sukarmin. 2009. Asuhan Keperawatan pada Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Staf pengajar ilmu kesehatan anak UI.1985. Ilmu Kesehatan Anak edisi 1. Jakarta :FKUI
Staf pengajar ilmu kesehatan anak UI.1985. Ilmu Kesehatan Anak edisi 2. Jakarta :FKUI
20