9
Abstract The Management of Osteoporosis (Efficacy and safety) Rachmat G Wachjudi Indonesian Rheumatism Association (Bandung) Osteoporosis is a systemic disease characterized by low bone mass and microarchitectural deterioration of bone tissue, resulting in an increased risk of fracture. The level of bone mass can be estimated by measuring bone mineral density (BMD) using dual X-ray absorptiometry (DXA), but its measurement does not capture all the risk factors for fracture. Quantitative changes in skeletal turnover can be assessed easily and non-invasively by the measurement of serum and urinary biochemical markers; the most sensitive markers include serum osteocalcin, bone specific alkaline phosphatase, the N-terminal propeptide of type I collagen for bone formation, and the crosslinked C- (CTX) and N- (NTX) telopeptides of type I collagen for bone resorption.The measurement of the urinary ratio of native (alpha) to isomerized (beta) CTX - an index of bone matrix maturation - has been shown to be predictive of fracture risk independently of BMD and bone turnover. Therefore, the combined use of BMD measurement and biochemical markers is helpful in risk assessment, especially in those women who are not identified as at risk by BMD measurement alone. Levels of bone markers decrease rapidly with antiresorptive therapies, and the levels reached after 3-6 months of therapy have been shown to be more strongly associated with fracture outcome than changes in BMD. Preliminary studies indicate that monitoring changes of bone formation markers could also be useful to monitor anabolic therapies, including intermittent parathyroid hormone administration and, possibly, to improve adherence to treatment. Thus, repeated measurements of bone markers during therapy may help improve the management of osteoporosis in patients. Keywords : osteoporosis – management – bone biomarkers - Bandung

Tatalaksana osteoporosis komprehensif

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: Tatalaksana osteoporosis komprehensif

Abstract

The Management of Osteoporosis

(Efficacy and safety)

Rachmat G Wachjudi

Indonesian Rheumatism Association (Bandung)

Osteoporosis is a systemic disease characterized by low bone mass and microarchitectural deterioration of bone tissue, resulting in an increased risk of fracture. The level of bone mass can be estimated by measuring bone mineral density (BMD) using dual X-ray absorptiometry (DXA), but its measurement does not capture all the risk factors for fracture. Quantitative changes in skeletal turnover can be assessed easily and non-invasively by the measurement of serum and urinary biochemical markers; the most sensitive markers include serum osteocalcin, bone specific alkaline phosphatase, the N-terminal propeptide of type I collagen for bone formation, and the crosslinked C- (CTX) and N- (NTX) telopeptides of type I collagen for bone resorption.The measurement of the urinary ratio of native (alpha) to isomerized (beta) CTX - an index of bone matrix maturation - has been shown to be predictive of fracture risk independently of BMD and bone turnover. Therefore, the combined use of BMD measurement and biochemical markers is helpful in risk assessment, especially in those women who are not identified as at risk by BMD measurement alone. Levels of bone markers decrease rapidly with antiresorptive therapies, and the levels reached after 3-6 months of therapy have been shown to be more strongly associated with fracture outcome than changes in BMD. Preliminary studies indicate that monitoring changes of bone formation markers could also be useful to monitor anabolic therapies, including intermittent parathyroid hormone administration and, possibly, to improve adherence to treatment. Thus, repeated measurements of bone markers during therapy may help improve the management of osteoporosis in patients.

Keywords : osteoporosis – management – bone biomarkers - Bandung

Page 2: Tatalaksana osteoporosis komprehensif

Tatalaksana Osteoporosis

(Efikasi dan keamanan)

Rachmat Gunadi Wachjudi

Perhimpunan Reumatologi Indonesia (Cabang Bandung)

Diagnosis osteoporosis didasarkan atas pemeriksaan kuantitatif kepadatan masa tulang (BMD). BMD pada kolumna femoris biasanya dijadikan acuan. Dengan berbagai pertimbangan, diagnostic threshold dibedakan dengan intervention threshold. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa risiko fraktur akan meningkat sesuai dengan pertambahan usia, walaupun dalam nilai T yang sama. Faktor lain yang turut menentukan intervension threshold adalah keberadaan faktor risiko klinis (CRF) serta untung rugi pemberian terapi.

Jenis pemeriksaan yang diperlukan tergantung pada derajat penyakit, umur dan adanya fraktur. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan berrbagai pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menyingkirkan penyakit yang menyerupai osteoporosis, mengungkap penyebab osteoporosis dan faktor yang berkaitan, menilai risiko fraktur berikutnya dan memilih pengobatan yang paling sesuai untuk pasien yang bersangkutan. Pemeriksaan penunjang yang relevan dilakukan meliputi hematologi, laju endap darah, CRP, kalsium serum, albumin, kreatinin, tes faal hati. Fungsi tiroid, BMD. Prosedur lain jika anda indikasi meliputi foto ronsen vertebra torako-lumbal AP-lateral, elektroforesis protein, protein Bence Jones, kadar hormone testosterone, SHBG, FSH, LH. Prolaktin, kortisol urin, sidik tulang radionuklida, petanda daur tulang (bone turnover markers) dan ekskresi kalsium urin.

Biomarker tulang dapat digunakan untuk diagnostik, penatalakasanaan, perkiraan risiko fraktur dan monitoring terapi. Derajat masa tulang dapat terukur dengan BMD DXA, namun pengukuran tersebut tak dapat menangkap setiap faktor risko frakturperubahan kuantitatif pada skeletal turnover dapat dinilai secara noninvasive dengan pemeriksaaan biomarker di serum dan urin; marker yang sensitive meliputi osteocalcin serum, bone specific alkaline phosphatase, N-terminal propeptide of type I collagen untuk bone formation, dan crosslinked C- (CTX) dan N- (NTX) telopeptides of type I collagen untuk bone resorption. Pengukuran rasio native (alpha) : isomerized (beta) CTX urin– yang merupakan indeks kematangan matrks tulang – merupakan predictor risiko fraktur independen tak terkait dengan BMD dan bone turnover. Dengan demikian, kombinasi antara BMD dan biochemical markers sangat membantu penilaian risiko, terutama pada pasien yang tak terdeteksi risiko frakturnya dengan pengukuran BMD saja. Kadar bone markers akan menurun dengan cepat pada pasien yang diberikan terapi antiresorptive, dan kadar yang terukur setelah 3-6 bulang pengobatan terkait lebih erat dengan risiko fraktur disbanding perubahan BMD. Penelitian pendahuluian juga membuktikan formation markers juga berguna untuk monitor terapi anabolik, termasuk parathyroid hormone dan mungkin berguna untuk memperbaiki kepatuhan terapi. Dengan demikian pengukuran berulang bone markers selama pengobatan dapat membantu meningkatkan tatalaksana osteoporosis pada pasien.

Sampai dengan saat ini di Negara kita belum ada kebijakan yang menetapkan perlunya skrining osteoporosis dan risiko fraktur pada populasi. Selama ini pasien teridentifikasi secara kebetulan jika pasien berkunjung untuk penyakit lain, namun pada pasien tersebut terdapat riwayat fraktur fragilitas

Page 3: Tatalaksana osteoporosis komprehensif

dan teridentifikasi CRF. Beberapa faktor tidak berkaitan dengan BMD, sedangkan faktor lain (seperti penyebab-penyebab osteoporosis sekunder) berkaitan dengan BMD.

Faktor-faktor risiko klinis (CRF) meliputi: umur, indeks masa tubuh rendah, fraktur fragilitas terutama hip, spine dan wrist terfmasuk fraktur morfometerik, riwayat orang tua dengan fraktur, sedang menggunakan steroid (lebih dari 3 bulan), merokok, alkohol, penyebab osteoporosis sekunder seperti RA, hipogonadisme, imobilitas lama, transplantasi organ, DM tipe1, penyakit GIT, penyakit hati kronik, COPD dan riwayat jatuh. Factor risiko fraktur harus dicari pada wanita pasca menaopause dan pria berumur 50 tahun atau lebih.

- Wanita dengan fraktur terdahulu dipertimbangkan untuk diberikan terapi tanpa assessment lebih lanjut, namun demikian BMD dianjurkan bagi pasca menopause awal.

- Dengan adanya CRF lainnya, kemungkinan fraktur osteoporotic dalam 10 tahun ditentukan berdasarkan FRAXX (www.shef.ac.uk/FRAX). Pasien dibawah threshold, diobservasi kemudian, pasien anatara lower dan upper tresholddipertimbangkan pemeriksaan BMD, sedangkan pasien diatas upper threshold, mulai diberikan terapi.

- Pada pasien yang telah diperiksa BMD, sebaiknya dihitung kembali risiko frakturnya dengan FRAXX untuk pertimbangan pemberian terapi.

Skema yang menunjukkan interaksi berbagai faktor dalam terjadinya fraktur sebagai berikut:

Penatalaksanaan

Masa tulang pada usia tertentu ditentukan oleh puncak masa tulang, kecepatan penurunan masa tulang sesuai umur, dan pada wanita ditentukan oleh kapan dan sudah berapa lama terjadi menopause Faktor genetik tak dapat dimanipulasi, namun demikian kita dapat mengatur faktor nutrisi dan lingkungan. Intervensi farmakologik pada pasien dengan risiko merupakan iupaya pencegahan yang baik. Perlakuak ini terutama ditujukan kepada mereka dengan kelompok umur 50-65 dengan T score <-3,0 atau dengan

Page 4: Tatalaksana osteoporosis komprehensif

T score <-d,5 dengan adanya factor risiko lainnya (terutama fraktur fragilitas), dan mereka yang berumur >65 tahun dengan T score <-2,5 tanpa harus ada factor risiko lainnya.

Kalsium

Suplementasi kalsium sangat dinutuhkan oleh mereka dengan diet rendah kalsium (yakni kurang asupan produk susu, sayuran hijau, kacang, buah dll). Masih belum ada kata sepakat apakah suplementasi kalsium saja mempunyai pengaruh dalam pencegahan bone loss damn mencegah terjadinya fraktur pada dewasa muda.

Pada wanita pasca menopause, suplemetasi kalsium terbukti dapat menurunkan kecepatan penurunan BMD. Pemberian kalsium dan vitamin D pada pasien osteoporosis lansia dapat mecegah penurunan masa tulang dan risiko fraktur tulang kortikal.

Kalsium dianjurkan pada mereka yang sudah jelas osteoporosis, asupan kalsium rendah (<400mg/hari) dan suplemen bagi lansia yang sedang mendapatkan obat antiresorptif.

Exercise

Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa aktifitas fisik dapat menurunkan kecepatan hilangnya masa tulang pada menopause. Aktivitas yang dilakukan harus weight bearing.

Terapi Sulih hormone (HRT)

Terapi sulih estrogen merupakan cara efektif mencegah bone loss pada wanita menopause penambahan progesterone mengurangi endometrial shedding dan meminimalisir risiko hyperplasia dan neoplasia. Dosis minimum estrogen peroral adalah 2 mikrogram/hari dan estrogen terkonyugasi 0,625mg/hari. Penelitian menunjukkan adanya risiko relative kanker mammae 1,3-1,4 pada wanita > 60 tahun yang menggunakan HRT > 10 tahun. Belum cukup bukti yang kuat bahwa progesterone dapat menurunkan risiko ini. HRT harus diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan hipertensi. HRT juga diketahui bersifat kardioprotektif dengan menurunkan kadar kolesterol. Hal yang lain yang harus diperhatikan adalah risiko terjadinya DVT walaupun risikonya kecil yakni 20 kasus/100.000 pengguana HRT/tahun

Pengobatan Established Osteoporosis

Penelitian terhadap berbagai obat osteoporosis menunjukkan kemampuannya untuk menurunkan 40-50% risiko fraktur fragilitas baik vertebra maupun hip pada wanita dengan established osteoporosis.

Bisphosphonate saat ini merupakan obat yang paling sering dipergunakan pada pasien osteoporosis. Obat ini tegolong senyawa anti resorptif yang tersu dikembangkan baik untuk pemakaian oral maupun parenteral. Pada umumnya senyawa ini cukup aman, namun harus berhati-hati bagi yang terdapat gangguan ginjal dan refluks esophagus dan hernia hiatus. Harus diberikan dalam keadaan perut kosong karena absorpsinya yang buruk. Disertai pemberian kalsium 800-1000mg dan vitamin D 400-800 IU.

Dari berbagai penelitian dan laporan kasus yang dimuat diberbagai jurnal, kita bisa simpulkan bahwa untuk efektivitas pengobatan osteoporosis vertebrae sudah sama disepakati signifikansinya. Beberapa bisphosphonate seperti Ibandronate masih menunggu hasil penelitian mengenai efektivitasnya terhadap non vertebral fracture.

Hal yang patut menjadi perhatian kita dalam penatalaksanaan osteoporosis dan pencegahan fraktur adalah kepatuhan pasien dalam menggunakan obat-obatan; karena pengobatan osteoporosis tidak

Page 5: Tatalaksana osteoporosis komprehensif

seperti obat anti nyeri yang dapat dirasakan khasiatnya secara sybyektif oleh pasien. Untuk itu perusahaan farmasi berlomba mengembangkan sediaan bisphosphonate baik dalam interval pemakaian maupun dalam route pemberian obat. Sampai tahun 2002, sediaan bisphosphonate umumnya masih diberikan secara once daily, cara pemberian seperti ini hanya dapat dipatuhi oleh sebgian kecil (30%) pasien yang bertahan menggunakan selama 1 tahun. Setelah itu sediaan ada yang bisa digunakan seminggu sekali, sebulan sekali per oral, dan 3 bulan sekali intra vena, serta setahun sekali dengan infuse.

Selain issue mengenai persamaan dan perbedaan efek terapeutik, pada kelompok bisphosphonate juga terdapat beberapa laporan yang mengangkat masalah osteonecrosis of the jaws (ONJ), oesophageal cancer, atypical fracture, renal safety, dan fibrilasi atrium.

Yang juga belum mendapatkan kesepakatan adalah mengenai berapa lama seseorang boleh diberikan terapi bisphosphonate. Pendapat para akhli masih beragam dalam hal ini. Dalam menentukan berapa lama terapi bisphosphonate aman diberikan, didasarkan pada derajat risiko fraktur pada masing-masing pasien. Berikut salah satu yang dapat kita gunakan sebagai pedoman, sebelum ada consensus yang universal

Kalsitonin sama efektivitasnya dengan HRT dalam pencegahan bone loss pada wanita menopause. Diberikan sebagai alternative HRT jika ada kontra indikasi atau tidak akseptabel. Kalsitonin juga mempunyai efek mengurangi bone pain pada fraktur

Strontium Ranelate dengan dosis 2g/hari dapat dijadikan pilihan pertama bagi mereka yang terdapat kontraindikasi pemakaian bisfosfonat. Dapaty menurunkan risiko fraktur hip dan vedrtebra sebesar 36-41%. Yang perlu diperhatikan, strontium berikatan dengan tulang dan dapat memberikan false high pada pembacaan DXA

Teriparatide merupakan analog hormone yang diberikan secara injeksi subkutan setiap hari selama 18 bulan. Hanya diberikan kepada pasien yang telah diberikan bisphosphonate 18 bulan namun tidak menunjukkan respons, berumur >65 tahun, T score <-4,0 atau <-3,0 disertai 2 atau lebih fraktur fragilitas dan 1 faktor yang independen terhadap umur.

Page 6: Tatalaksana osteoporosis komprehensif

Sebagai ringkasan pada terapi osteoporosis, yang perlu kita pertimbangkan meliputi penilaian risiko fraktur dan pencegahannya. Pertahankan mobilitas, dan penuhi kebutuhan nutrient terutama kalsium, vitamin D dan protein. Intake kalsium minimal 1000mg/hari, 800mg Vitamin D dan 1gprotein/ kgBB.

Obat-obatan yang tersedia meliputi bisphoshonates, strontium ranelate, raloxifene dan hormone parathyroid. Kesemua obat ini terbukti dapat menurunkan risiko fraktur vertebra, jika diberikan bersamaan dengan kalsium dan vitamin D. beberapa obat ini dapat pula menurunkan risiko fraktur nonvertebral, terutama hip. Table dibawah ini merupakan resume dari berbagai penelitian tentang obat-obat antiosteporosis. Level A merupakan petanda/bukti kuat kegunaannya sebagai antiosteoporosis

Fraktur vertebrae Fraktur non-vertebrae Fraktur hipAlendronate A A AIbandronate A A ARisedronate A A AZoledronate A A ARaloxifene A Nae NaeStrontium ranelate A A ATeriparatide A nae nae

Obat-obatan lain yang juga di approve adalah kalsitonin, kalsitriol dan etidronate serta hormone replacement therapy.

Skema penatalaksanaan osteoporosis dan risiko fraktur sebagai berikut:

Page 7: Tatalaksana osteoporosis komprehensif

Kepustakaan

Royal college of physicians Osteoporosis clinical guidelines for the prevention and treatment. 2009, Royal college of physician London

Kanis JA, McCloskey EV, Johansson H, Strom O, Boorgstorm F, Oden A, and The National Osteoporosis Guideline Group (2008) Case Finding for the management of osteoporosis with FRAXX. Assessment and intervention threshold for the UK. Osteoporosis Int

Hakim A, Clunie G, Haq I:Oxford handbook of Rheumatology, Oxford University Press, Oxford, 2008. Pp452-63.

Rekomendasi Diagnosis dan Penatalaksanaan Osteoprosis. PB PEROSI Jakarta. Tahun 2010