37
TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT JIWA 1. LAPORAN TEXTBOOK READING: Treatment of Depression 2. LAPORAN JOURNAL READING: Epidemiology, Etiology, and Natural Treatment Of Seasonal Affective Disorder OLEH : ZAKIYYATUN HUMAIRAH H1A 008 030 1

TATALAKSANA DEPRESI

Embed Size (px)

DESCRIPTION

TATALAKSANA DEPRESI

Citation preview

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

ILMU PENYAKIT JIWA

1. LAPORAN TEXTBOOK READING: Treatment of Depression

2. LAPORAN JOURNAL READING: Epidemiology, Etiology, and Natural

Treatment Of Seasonal Affective Disorder

OLEH :

ZAKIYYATUN HUMAIRAH

H1A 008 030

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU

PENYAKIT JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI NTB

TAHUN 2014

1

DATA TEXTBOOK

Judul Buku : Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry, 9th Edition, 2009

Editor : Sadock, Benjamin J.; Sadock, Virginia A.; Ruiz, Pedro

Judul Bab : Mood Disorders: Treatment of Depression

Penulis Bab : A. John Rush M.D dan Andrew A. Nierenberg M.D.

PENDAHULUAN

Keefektifan terapi pada pasien merupakan isu bagi para klinisi, yaitu bagaimana

mengoptimalkan dan memilih pengobatan terbaik untuk per-individu pasien. Terapi apa yang

paling baik untuk pasien, dosis dan lama terapi juga merupakan hal yang penting, dan pilihan

terapi dapat berbeda diantara setiap pasien dengan usia berbeda dan kondisi komorbid tertentu.

PRINSIP DAN MENAJEMEN TERAPI

Terapi dibagi menjadi tiga fase (akut, lanjutan dan pemeliharaan), setiap fase ini memiliki tujuan

yang spesifik. Terapi fase akut bertujuan untuk mengatasi dan menyembuhkan keseluruhan

gejala dan memperbaiki keseluruhan fungsi. Fase lanjutan bertujuan untuk melanjutkan dan

meningkatkan semua yang telah dicapai pada fase akut sehingga dapat mencegah kembali

kepada keadaan awal sebelum diterapi. Fase pemeliharaan bertujuan untuk mencegah episode

baru (kekambuhan). Terapi pemeliharaan di indikasikan apabila didapatkan adanya minimal dua,

pastinya tiga atau lebih episode, terutama apabila terdapat pemulihan yang tidak sempurna

diantara tiap episode atau apabila episode berlangsung kronik (>2 tahun).

Ketika memulai terapi fase akut, para klinisi harus memilih setingan terbaik (rawat inap, atau

rawat jalan) dengan berpedoman pada (1) memperkirakan terjadinya resiko bunuh diri, (2)

kapasitas pasien untuk mengenali dan mematuhi rekomendasi yang diberikan, (3) derajat

dukungan psikososial, dan (4) stres psikososial dan gangguan fungsional.

Selanjutnya, jenis terapi (strategi terapi) harus di tentukan. Sebagian besar, pilihan terapinya

adalah dengan medikasi, psikoterapi, terapi kombinasi atau dengan terapi elektrokonvulsif (ECT)

atau untuk beberapa depresi menggunakan terapi cahaya yang dikombinasikan dengan medikasi.

2

Faktor afek untuk pilihan ini termasuk penerimaan, keparahan dan derajat keakutan (contohnya

untuk melakukan ECT), pola musim (untuk terapi cahaya) dan kekronisan. Terapi terbaik untuk

depresi kronik adalah dengan medikasi dan psikoterapi.

Untuk terapi fase lanjutan, jenis terapi dan dosis obat yang diberikan sama. Untuk psikoterapi,

jumlah kunjungan dapat dikurangi namun bukti dukungan dibutuhkan untuk psikoterapi lanjutan

pada sebagian besar kasus. Terapi cahaya di lanjutkan sampai siklus terang-gelap memanjang.

Untuk ECT, medikasi monoterapi atau kombinasi direkomendasikan pada terapi fase lanjutan.

Pada fase lanjutan, ECT dapat berguna pada beberapa kasus, namun secara keseluruhan

efikasinya sama dengan litium yang dikombinasikan dengan nortriptilin pada berbagai studi

sebelumnya.

Pasien yang memiliki prognosis terbaik pada fase lanjutan sebelumnya memiliki hasil terbaik

pada fase akut dan mereka yang cepat pulih dan mendapatkan manfaat pada fase akut.

Terapi lanjutan umumnya berlangsung selama 4-9 bulan. Secara teori, durasi terapi bergantung

pada perkiraan kapan episode akan sembuh secara spontan. Sehingga, pasien dengan episode

yang berlangsung lama sebelumnya (9-15 bulan) yang mengalami dua bulan depresi sekarang,

akan menjadi kandidat terapi lanjutan selama 5-11 bulan dengan mengasumsikan bahwa terapi

fase akut dilaksanakan selama dua bulan. Untuk pasien dengan depresi psikosis, follow up

dilakukan selama 1 tahun setelah terapi fase akut yang mengindikasikan buruknya prognosis

dibandingkan denga pasien depresi nonpsikotik. Sehingga terapi fase lanjutan pada depresi

psikotik harus lebih lama.

Apabila menggunakan monoterapi atau terapi kombinasi dengan psikoterapi pada terapi fase

akut, maka terapi tersebut harus dilanjutkan karena medikasi awal yang tidak dilanjutkan

berhubungan dengan angka kekambuhan yang tinggi dibandingkan terapi selanjutnya yang tidak

dilanjutkan. Medikasi lanjutan, harus menggunakan dosis yang sama dengan dosis pada terapi

fase awal.

Psikoterapi dapat digunakan pada terapi fase lanjutan apabila residu psikososial tidak membaik

dengan terapi medikasi saja. Namun untuk melanjutkan terapi psikoterapi setelah berespon pada

fase akut masih belum jelas dan bergantung pada pertimbangan klinisi. Pada penelitian mengenai

terapi kognitif pada fase lanjutan, setelah berespon pada terapi kognitif difase akut, fase lanjutan

3

direkomendasikan untuk mereka yang tidak remisi penuh dan untuk mereka yang sudah lama

menderita penyakit tersebut (onset episode depresi mayor pada usia dini).

Pasien dengan depresi kronik dapat menunjukan perbaikan selama fase lanjutan. Pasien yang

berespon pada 12 minggu terapi fase akut namun masih memiliki gejala sisa, maka 40 persen

akan sembuh setelah pengobatan selama empat bulan dengan terapi medikasi. Sehingga

monitoring ketat gejala selama fase lanjutan direkomendasikan untuk menfasilitasi intervensi

segera apabila dibutuhkan.

Terapi fase pemeliharaan ditujukan untuk mencegah episode baru atau kekambuhan. Terapi ini

diberikan untuk pasien dengan depresi yang kambuh atau depresi kronik namun bukan satu

episode gangguan depresi mayor. Namun untuk mereka dengan dua episode depresi mayor

apakah harus mendapatkan terapi pemeliharaan masih belum jelas. Informasi untuk mengambil

keputusan antara lain pemulihan yang tidak baik diantara dua episode, terjadi dua episode dalam

waktu tiga tahun, atau riwayat keluarga dengan gangguan depresi mayor atau gangguan bipolar,

episode depresi atau kekambuhan terjadi. Para klinisi dan pasien perlu memutuskan untuk

memulai terapi pemeliharaan atau hanya dengan monitoring ketat tanpa pengobatan sampai

dibutuhkan (berkembangnya episode baru). Apabila episode baru berkembang ketika pasien

sedang tidak dalam pengobatan, maka intervensi segera harus dilakukan untuk memperpendek

lamanya episode baru.

Masalah penting yang ditemui pada terapi fase lanjutan dan pemeliharaan adalah pecahnya

gejala, apabila gejala sederhana dan singkat membutuhkan hanya sedikit perubahan pada rencana

terapi (penyesuaian dosis dan usaha menenangkan). Namun, apabila gejala yang pecah tersebut

mendalam, memanjang dan tidak berespon terhadap penyesuaian dosis dan usaha menenangkan

pasien, maka harus diterapi. Pendekatan yang paling sederhana adalah dengan menambahkan

terapi yang sekarang dengan salah satu dari (lithium, hormone tiroid dan antidepresan lain).

Apabila strategi ini menunjukan perubahan yang efektif maka terapi tambahan tidak dilanjutkan

setelah beberapa bulan. Namun apabila terapi tambahan ini gagal, maka terapi harus diganti

dengan medikasi lain apabila dibutuhkan.

Masalah lain yang dapat ditemui pada terapi lanjutan dan pemeliharaaan adalah manejemen

depresi ketika masa kehamilan atau selama pengobatan penyakit medik yang membutuhkan

4

medikasi atau tindakan operasi. Untuk pasien yang membutuhkan waktu untuk operasi atau

kehamilan biasanya pengobatan tidak dilanjutkan. Karena kehamilan berlangsung selama

sembilan bulan dapat diberikan psikoterapi interpersonal saja sebagai terapi pemeliharaan dan

terapi kognitif sebagai terapi fase lanjutan, psikoterapi tanpa medikasi membuat periode bebas

obat yang lama paling sedikit sampai dengan trimester satu kehamilan. Pada keadaan adanya

penyakit medik lain, tidak diberikan medikasi psikotropik pada fase lanjutan dan pemeliharaan

umum dilakukan. Keadaan-keadaan tersebut harus dikendalikan, dengan mempertimbangkan

farmakokinetik dan interaksi antara agen psikotropik dan nonpsikotropik.

Kapan waktu untuk menghentikan terapi pemeliharaan masih belum jelas. Menurut catatan

sebelumnya, bukti RCT menunjukkan bahwa pada pasien dengan angka kekambuhan depresi

yang tinggi (lebih dari tiga episode) terapi pemeliharaan dilakukan minimal lima tahun.

Beberapa pasien mungkin membutuhkan periode terapi pemeliharaan yang lebih lama lagi (satu

dekade) atau mungkin seumur hidup. Ketika terapi dihentikan, maka monitoring yang ketat

diperlukan, pada 6 bulan pertama setelah penghentian obat merupakan periode yang paling

beresiko mengalami kekambuhan.

Taktik pada Terapi Akut

Sangat penting untuk mencapai penyembuhan sempurna pada terapi fase akut karena

penyembuhan berhubungan dengan prognosis yang lebih baik (angka kekambuhan rendah) pada

terapi lanjutan dan ketika pengobatan dihentikan. Selain itu, penyembuhan umumnya

berhubungan dengan kembalinya fungsi keseluruhan.

Untuk meningkatakan kesempatan penyembuhan, kepatuhan pasien penting dan dapat dicapai

dengan edukasi dan berbagi keputusan yang dibuat. Selain itu penggunaan rutin symptom and

side-effect rating scales dengan rencana yang sistematik untuk mengubah dosis menunjukan

hasil yang lebih baik dibandingkan terapi seperti biasanya.

Isu lainnya adalah berapa lama melakukan terapi percobaan sebelum menentukan terapi tidak

bekerja dan harus mengakhiri atau menentukan bahwa terapi yang dilakukan bermanfaat namun

membutuhkan terapi tambahan. Bukti-bukti menunjukkan bahwa dua hal paling umum yang

menyebabkan kegagalan pengobatan adalah dosis yang tidak adekuat dan terapi percobaan yang

terlalu singkat. Didapatkan pula bahwa satu dari tiga pasien berespon pada pemberian

5

antidepresan lebih dari 14 minggu di minggu ke 6, dan setengah dari mereka mengalami

penyembuhan pada minggu ke 6. Namun studi lain mengatakan bahwa respon akan didapatkan

pada minggu ke 12, 30-40 persen akan sembuh setelah 2 sampai 3 bulan dengan melanjutkan

terapi.

Pemilihan Pengobatan

Antidepresan yang tersedia berbeda dari segi farmakologi, reaksi antarobat, efek sampan jangka

panjang dan jangka pendek, dan penyesuaian dosis. Obat-obat ini tidak berbeda dalam hal

efikasi, kecepatan respon atau efektif jangka panjang. Kegagalan toleransi atau respon terhadap

satu pengobatan tidak mengakibatkan kegagalan medikasi pada obat lain. Faktanya, dengan

pergantian dari satu kelas obat ke kelas lainnya, terdapat 50 persen kesempatan perubahan respon

pada pengobatan awal dan pada pengobatan selanjutnya.

Manajemen Klinis

Manajemen klinis umum meliputi penjelasan diagnosis, rencana terapi, tujuan terapi, antisipasi

pengobatan, konseling dan manajemen kepatuhan pasien dan efek samping, penilaian tujuan

terapi. Hal ini membutuhkan konsultasi dengan pasien dan orang-orang penting disekitar pasien.

Tujuan psikoterapi ketika diberikan tunggal untuk mengobati gangguan mood, identik untuk: (1)

penyembuhan gejala, (2) pemulihan psikososial dan (3) mencegah kekambuhan dan episode

berulang. Ketika digunakan kombinasi dengan pengobatan, psikoterapi dapat juga digunakan

untuk tujuan lain seperti mengurangi konsekuensi sekunder gangguan psikososial (perselisihan

rumah tangga dan kesulitan okupasi) atau untuk meningkatkan kepatuhan pasien pada

pengobatan.

Pemilihan Psikoterapi

Empat bentuk terapi jangka pendek diketahui memiliki efikasi untuk mengurangi dan

mengeliminasi gejala depresi yaitu (IPT, terapi kognitif, terapi perilaku, cognitive behavioral

analytic system of psychotherapy [CBASP]). Belakangan terapi ini dirancang untuk tatalaksana

depresi kronik, dengan efikasi satara dengan medikasi selama 12 minggu pada penelitian random

percobaan fase akut.

6

Tidak ada pedoman klinis untuk memilih keempat jenis psikoterapi diatas. Terapi kognitif

menjadi kurang efektif pada mereka dengan disfungsi sikap yang menonjol, dan IPT menjadi

kurang efektif pada mereka dengan permasalahan interpersonal. Terapi jangka pendek biasanya

lebih disukai daripada terapi jangka panjang untuk mengurangi gejala depresi, karena terapi

jangka pendek telah dipastikan efikasinya melalui penelitian RCT, sedangkan terapi jangka

panjang belum dipastikan.

Beberapa percaya bahwa terapi psikoterapi rekonstruktif (jangka panjang) lebih bermanfaat

untuk tatalaksana gangguan Axis II sedangkan terapi re-edukatif lebih berguna untuk kondisi

Axis I. Tidak ada bukti bahwa terapi psikoterapi tunggal lebih dianjurkan dibandingkan dengan

obat-obatan untuk tatalaksana gangguan Axis II. Secara logika, apabila psikoterapi digunakan

tunggal, maka harus dicoba dalan jangka waktu yang terbatas dan harus dievaluasi gejalanya.

Psikoterapi dinyatakan gagal berdasakan sedikitnya efikasi, walaupun beberapa pasien

menghentikan terapi secara sepihak. Beberapa pasien berespon segera, namun yang lainnya

butuh waktu 8-10 minggu. Terapi percobaan selama 10 minggu nampaknya cukup untuk

menentukan apakah terapi yang dilakukan efektif atau tidak. Terapi medikasi harus diberikan

apabila dengan terapi psikoterapi saja tidak efektif. Psikoterapi dapat dilanjutkan atau dihentikan

ketika terapi medikasi mulai diberikan.

Terapi Kombinasi

Terapi medikasi dan terapi psikoterapi formal sering dikombinasikan dalam prakteknya, namun

beberapa penelitian gagal menemukan bahwa terapi kombinasi dapat meningkatkan efek

pengurangan gejala dibandingakan dengan tatalaksana tunggal lain. Meskipun demikian, terapi

kombinasi dapat memperluas cakupan kerja (mengurangi gejala dan perbaikan psikososial), yang

menjadi dasar penggunaannya. Terapi kombinasi juga lebih efektif dibandingkan dengan

pengobatan tunggal atau psikoterapi tunggal untuk pasien dengan depresi kronik. Penelitian

mendapatkan bahwa terapi kombinasi meningkatkan respond an memiliki angka kesembuhan

yang tinggi.

Ada tiga bagian dasar dalam pelaksanaan terapi kombinasi: (1) terapi kombinasi awal sebagai

terapi fase akut; (2) menambahkan terapi psikoterapi formal pada terapi medikasi pada pasien

dengan respon parsial, terutama apabila didapatkan gejala sisa kognitif, psikologikal, gejala

7

interpersonal atau (3) menambahkan terapi medikasi apabila dengan psikoterapi tunggal

didapatkan respon parsial.

Kombinasi terapi medikasi dengan psikoterapi formal pada tatalaksana fase akut digunakan

apabila (1) penyakit depresi kronik; (2) psikoterapi formal digunakan untuk meningkatkan

kepatuhan pasien sementara terapi medikasi digunakan untuk control gejala; atau (3) apabila

target dari setiap tatalaksana yang jelas (medikasi untuk gejala depresi dan psikoterapi untuk

masalah pernikahan). Sebagai tambahan, dianjurkan terapi kombinasi (1) ketika terdapat

gangguan penyerta Aksis II; (2) ketika pasien dengan discouraged dan demoralized dengan

klinis depresi; atau (3) ketika tatalaksana depresi resisten terhadap terapi medikasi tunggal

berdasarkan riwayat sebelumnya.

Manejemen medikasi itu sendiri membutuhkan waktu untuk pasien maupun klinisi berkolaborasi

agar mendapatkan jenis dan dosis medikasi yang tepat, sering dimulai dengan terapi medikasi

saja atau psikoterapi saja, terutama untuk pasien dengan terapi minimal sebelumnya atau tanpa

riwayat depresi kronik. Selanjutnya, bergantung pada respon terhadap medikasi, psikoterapi

formal mungkin diberikan untuk melengkapi penyembuhan gejala apabila dibutuhkan.

Contohnya, psikoterapi diberikan apabila respon terapi medikasi parsial (kekurangan kognitif

dan interpersonal persisten).

Bukti menunjukan bahwa perubahan psikososial dan okupasi terjadi pada beberapa minggu atau

lebih setelah respon terhadap terapi medikasi tunggal. Sehingga penggunaan secara rutin kedua

jenis terapi tidak dibutuhkan sebagai terapi awal untuk memperbaiki psikososial. Secara logika,

tambahan psikoterapi ditujukan untuk kesulitan psikososial yang lama waktu penyembuhannya

dan masalah psikososial tetap ada dengan terapi medikasi saja.

Ketika terapi kombinasi tidak menghasilkan respon maksimal, maka mengganti medikasi ke

kelas yang berbeda atau menambahkan pengobatan pada pengobatan awal merupakan langkah

yang logis.

Terapi Elektrokonvulsif

ECT adalah terapi yang efektif, walaupun pada pasien yang tidak berespon pada satu atau

beberapa terapi medikasi berbeda atau dengan terapi kombinasi. ECT efektif pada bentuk depresi

8

psikosis dan nonpsikosis. Biasanya 8 sampai 12 kali terapi dibutuhkan untuk mencapai

kesembuhan. ECT bilateral lebih efektif dibandingkan dengan ECT unilateral, namun memiliki

efek samping kognitif yang lebih besar. Studi sebelumnya mendapatkan bahwa high-dose right

unilateral (RUL) ECT memberikan respon yang lebih baik dibandingkan dengan standard-dose

RUL ECT.

ATURAN DSM-IV UNTUK PILIHAN TERAPI

Untuk gangguan distimik, baik itu dengan atau tanpa komplikasi episode depresi mayor, maka

terapi pemeliharaan efektif untuk mencegah kekambuhan. Depresi psikosis biasanya

membutuhkan medikasi antidepresan dan antipsikosis. Alternative lain adalah, ECT berguna

untuk depresi psikosis, sebagai terapi lini pertama pada mereka yang tidak menunjukan adanya

perubahan dengan medikasi. Untuk mereka dengan gambaran gejala yang atipikal, maka ada

bukti kuat bahwa penggunaan agen antidepresin trisiklik kurang efektif dibandingkan dengan

monoamine oxidase inhibitors (MAOIs). Terdapat beberapa bukti sugestif mengenai efikasi dari

SSRIs atau bubpropion pada depresi atipikal.

Adanya penyakit penyerta lain juga mempengaruhi pemilihan terapi inisial. Adanya penyakit

nonmood Axis I dianjurkan menggunakan medikasi yang menunjukan efek gangguan mood

maupun nonmood. Contohnya, terapi gangguan obsesif kompulsif dengan atau tanpa gejala

depresi, apabila pengobatannya efektif, maka gejala depresinya akan sembuh. Pada kasus ini,

penggunaan SSRIs dianjurkan. Hal serupa, ketika gangguan panic terjadi bersamaan dengan

depresi mayor, medikasi yang efektif untuk kedua kondisi tersebut dianjurkan (contoh:

antidepresan trisiklik dan SSRIs). Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa apabila

komorbidnya berupa gangguan cemas maka angka remisinya menjadi rendah apapun pilihan

medikasinya.

Adanya penyalahgunaan obat-obatan menyebabkan kemungkinan munculnya gangguan mood

yang diinduksi zat, sehingga harus dievaluasi melalui riwayat dan membutuhkan penghentian

penggunaan zat selama beberapa minggu, karena tindakan tersebut dapat menyembuhkan gejala

depresi yang diinduksi zat. Untuk mereka dengan gejala depresi yang berkelanjutan walaupun

telah menghentikan penggunaan zat, gangguan mood independen harus didiagnosis dan di terapi.

9

Bukti sebelumnya menunjukan bahwa penyalahgunaan zat hanya berefek sedikit pada

kemungkinan kesembuhan pada pasien dengan depresi primer.

Gangguan aksis II sering disertai dengan gangguan mood, namun diagnosisnya sementara

bergantung pada klinis depresi. Sangat penting untuk tidak salah dalam menentukan kronik

depresi dan mayor depresi berulang untuk gangguan aksis II, karena tujuan terapi akan berbeda

dan strategi terapi berbeda untuk tiap kasusnya.

Gangguan aksis II bukan merupakan kontraindikasi untuk menatalaksanai gangguan mood,

namun membutuhkan waktu yang lebih lama untuk berespon pada terapi fase akut, nan

dipengaruhi oleh kepatuhan pasien. Secara umum, adanya gangguan aksis II berhubungan

dengan kurangnya respon sempurna terhadap medikasi atau psikoterapi jangka pendek.

Kondisi medis umum juga merupakan faktor resiko berkembangnya depresi, dan umumnya

disertai denegan gangguan mood. Bukti sebelumnya menunjukan bahwa adanya depresi mayor

berhubungan dengan meningkatnya morbiditas serta mortalitas kondisi medis umun (penyakit

kardiovaskular, diabetes, penyakit serebrovaskular dan kanker).

Prinsip terapi untuk depresi dengan kondisi medis umum adalah lebih kompleks. Pilihan awal

terapi bergantung pada konteks dari kodisi medic umum yang dipengaruhi oleh respon

sebelumnya terhadap antidepresan, keamanan medikasi dan penilaian klinis sangat bermanfaat

bagi pasien. Pilihan terhadap berbagai medikasi yang ada harus mempertimbangkan interaksi

obat, profil farmakologi, konteks penyakit medic umum dan dosis obat yang dibutuhkan. Untuk

pasien dengan tambahan gangguan Aksis III, waktu penyembuhan menjadi lebih lama.

Keadaan stress akibat suatu musibah atau masalah sosial sering menyebabkan gangguan pada

pasien. Seringnya, pasien dengan episode depresi mayor yang mulai berkurang gejalanya dengan

medikasi menjadi kurang mampu menyelesaikan berbagai masalah kehidupan yang kompleks.

Pemilihan Terapi Inisial

Hampir 45-60 persen dari semua pasien gangguan depresi mayor nonspikotik dengan komorbid

psikiatri dan penyakit umum minimal, dan dengan riwayat nonkronik dan nonresisten

pengobatan yang memulai terapi dengan medikasi atau psikoterapi atau dengan terapi kombinasi

berespon terhadap terapi. Hanya 35-50 persen yang mengalami penyembuhan. Sehingga minimal

10

setengah pasien harus menyiapkan percobaan terapi tahap dua (apabila terapi insial tidak dapat

ditoleransi dan tidak efektif).

Tabel 1. Hubungan diagnosis dengan pilihan terapi

Diagnosis Terapi Rekomendasi

Gangguan depresi mayor (ringan sampai

sedang)

Terapi medikasi atau psikoterapi jangka

pendek, psikoterapi depression-targeted.a

Gangguan depresi mayor (episode tunggal) Tanpa terapi pemeliharaan

Gangguan depresi mayor berulang Pertimbangkan terapi fase pemeliharaan

Gangguan depresi mayor dengan gejala

psikosis

Medikasi antipsikosis dan antidepresan, ECT.

Gangguan depresi mayor (berat atau dengan

gejala melankolis)

Terapi medikasi sangat penting, pertimbangkan

penggunaan terapi ECT

Depresi dengan gejala atipikal Dianjurkan medikasi nontrisiklik. Monoamine

oxidase inhibitors menunjukan efikasi

Depresi dengan gejala musiman Terapi cahaya atau dengan medikasi

Gangguan distimik Dengan medikasi atau dengan psikoterapi

jangka pendek, psikoterapi depression-targeted,

atau terapi kombinasi. Pertimbangkan terapi fase

pemeliharaan.

Depresi kompleks atau depresi kronik.b Medikasi ditambah dengan psikoterapi.c

a: psikoterapi interpersonal, terapi kognitif atau terapi perilaku

b: kompleks yang berarti bahwa depresi disertai dengan kondisi psikiatrik Aksis I atau

Aksis II

c: psikoterapi bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan, mengurangi gejala, mencegah

kekambuhan, dan memperbaiki psikososial.

Pemilihan terapi inisial (medikasi, psikoterapi, kombinasi atau ECT) bergantung pada riwayat

penyakit sebelumnya (berulang atau kronik yang berhubungan dengan kemungkinan peningkatan

gejala depresi selanjutnya yang tidak diobati), riwayat penyakit keluarga dan respon terhadap

11

terapi, beratnya gejala, dan adanya penyakit medik penyerta atau kondisi psikiatrik lain, respon

terhadap pengobatan fase akut lain sebelumnya, potensi interaksi obat, dan yang disukai pasien.

Terapi kombinasi dan psikoterapi formal tidak dibutuhkan untuk depresi tidak berkomplikasi,

nonkronik, dan non-treatment-resistant. Untuk gangguan mood sedang sampai berat yang kronik

atau kambuh penggunaan terapi pemeliharaan belum jelas. Karena terapi medikasi pemeliharaan

telah dipastikan efikasinya maka terapi dengan medikasi (tunggal atau kombinasi dengan

psikoterapi) direkomendasikan.

Bukti mengenai efikasi medikasi tunggal pada depresi berat sudah jelas, namun psikoterapi

tunggal masih sedikit diteliti. Pada mereka dengan gejala endogenous atau melankolik,

psikoterapi tunggal pada sebagian pasien kurang efektif dibandingkan dengan terapi medikasi.

Psikoterapi kognitif tunggal, sama efektif nya dengan pemberian MAOIs pada sebagian besar

pasien dengan depresi mayor dengan gejala atipikal. Penelitian lain menyebutkan bahwa SSRIs

dan bupropion juga efektif untuk pasien tersebut.

Pemilihan Terapi Kedua

Apabila terapi tahap pertama gagal (intoleransi atau tidak berefek), harus diputuskan strategi

untuk terapi kedua, setelah mempertimbangkan berbagai diagnosis banding (penyakit medik

penyerta, atau penyalahgunaan zat).

Untuk terapi medikasi permulaan dapat dilakukan penyesuaian dosis, memperpanjang waktu

percobaan, mengganti dengan terapi alternative (medikasi lain atau psikoterapi), atau

menambahkan terapi yang sekarang dengan yang lain. Peningkatan dosis direkomendasikan

apabila (1) tidak ada efek samping, (2) riwayat metabolisme obat yang cepat, (3) kadar obat

dalam darah,(4) efek parsial dengan dosis rendah. Walaupun level dalam darah tidak

berhubungan langsung dengan hasil terapi medikasi sebagian besar antidepresan, namun

berhubungan dengan hasil medikasi despiramine (nororamin, pertofrane), imipramine (tofranil),

nortiptilin (Aventyl, Pamelor). Perpanjangan terapi inisial diindikasikan apabila (1) terapi inisial

kurang dari 6 minggu, (2) respon sebagian (≥25 persen pengurangan gejala sebelum terapi)

dalam waktu 6 minggu, atau (3) percobaan medikasi sebelumnya yang tidak sukses dan kurang

dari 6 minggu.

12

Serupa dengan psikoterapi, respon parsial dalam waktu 6 minggu dapat diperpanjang waktunya.

Apabila tidak berespon dalam waktu 8 sampai 10 minggu menunjukan respon yang jelek. Seperti

terapi cahaya, pemanjangan percobaan dalam 3 minggu pada pasien yang tidak berespon belum

dievaluasi.

Kepatuhan pasien

Kepatuhan terapi meningkat apabila pasien diberikan edukasi mengenai tujuan dan pilihan terapi.

Dosis harian yang kecil (satu kali sehari versus tiga kali sehari) atau apabila tidak ada gangguan

personality, maka kepatuhan pasien meningkat. Bukti juga menunjukan bahwa frekuensi

kunjungan segera yang sering (perminggu versus perbulan) akan merubah tingkat kepatuhan

pasien. Kepatuhan tidak berhubungan dengan jenismkelamin, tingkat pendidikan atau status

sosialekonomi. Predictor terbaik untuk menetukan kepatuhan dimasa depan adalah kepatuhan

pasien pada masa lalu. Kondisi psikiatrik dimasa lalu terhadap kepatuhan pasien tidak diketahui

secara pasti.

Manejemen umum pada terapi medikasi harus mencakup diskusi dengan pasien mengenai

bawaan (potensi genetik) atau sumber terjadinya gangguan depresif, tujuan terapi, pilihan terapi,

perkiraan lamanya terapi, penghambat kepatuhan dan kemungkinan efek samping. Pada awal

terapi kunjungan harus cukup sering untuk memastikan kepatuhan pasien dan memantau

terjadinya efek samping pada pasien.

Pemilihan Medikasi

Apabila medikasi (tunggal atau dalam kombinasinya dengan psikoterapi) merupakan bagian dari

langkah pertama, maka para klinisi harus memilih berbagai variasi obat. Medikasi berbeda pada

efek samping jangka panjang dan jangka pendeknya, cakupan kerja, interaksi obat, dosis namun

tidak terlalu berbeda pada efikasi dan kecepatan respon. Apabila merencanakan medikasi

pemeliharaan, maka efek samping jangka panjang lebih berperan dibandingkan efek samping

jangka pendek pada pilihan medikasi (contoh: antidepresan trisiklik tersier berhubungan dengan

peningkatan berat badan dibandingkan dengan SSRIs).

Pasien harus diberikan penjelasan mengenai efek samping yang dapat muncul dan harus segera

dilaporkan secepat mungkin apabila terjadi. Pengelolaan efek samping dapat dengan

13

menurunkan dosis, menggant medikasi, menatalaksanai efek samping dengan beberapa medikasi

tambahan.

Diantara medikasi antidepresan trisiklik, amin sekunder (despiramin atau nortriptiline) memiliki

efek samping lebih sedikit namun efikasinya setara dengan amin tersier. Karena nortriptilin telah

diketahui pasti terapeutik windows nya, maka dapat digunakan untuk monitoring level obat

untuk memastikan bahwa pasien mendapatkan minimal jumlah obat dengan efek yang

diinginkan.

Pemilihan antidepresan sedatif (amitriptilin) untuk pasien depresi dengan kecemasan atau agen

yang lebih aktif (despiramin) untuk pasien dengan retardasi psikomotor tidak ada bukti

berbedanya efikasi. Beberapa klinisi percaya bahwa medikasi tersebut meningkatkan kepatuhan

pasien pada awal terapi. Pasien dengan imsomnia dan ansietas merasakan perbaikan gejala

sebelum efek antidepresan bekerja penuh.

Beberapa praktisi menggunakan medikasi tambahan (obat tidur atau ansiolitik) yang

dikombinasikan dengan antidepresan membuat gejala lebih cepat mereda. Terapi tambahan,

apabila dapat mempercepat redanya gejala atau dapat mengurangi efek samping dari suatu obat

dapat digunakan. Namun, penghentian medikasi tambahan dapat menyebabkan kembalinya

gejala atau efek samping pada pasien yang tidak dapat beradaptasi.

Tabel 2. Medikasi Antidepresan

Nama Generik Dosis Harian

(mg)

Efek samping Keterangan

NE Reuptake Inhibitor

Desipramine

(Norpramin,

Pertofrane)

75–300 Mengantuk, insomnia, OSH, agitasi,

CA, berat badan meningkat,

antikolinergik a

Overdosis dapat fatal. Lakukan titrasi

dosis

Protriptyline (Vivactil) 20–60 Mengantuk, insomnia, OSH, agitasi,

CA, antikolinergik a

Overdosis dapat fatal. Lakukan titrasi

dosis

Nortriptyline (Aventyl,

Pamelor)

40–200 Mengantuk, OSH, CA, berat badan

meningkat, antikolinergik a

Overdosis dapat fatal. Lakukan titrasi

dosis

Maprotiline (Ludiomil) 100–225 Mengantuk, CA, berat badan

meningkat, antikolinergik a

Overdosis dapat fatal. Lakukan titrasi

dosis

14

5-HT Reuptake Inhibitors

Citalopram (Celexa) 20–60 Semua SSRIs dapat menyebabkan

insomnia, agitasi, sedasi, distress

gastrointestinal dan disfungsi seksual

Banyak SSRIs menghambat isoenzim

sitokrom P450. Isiklik

Obat ini toleransi lebih baik

dibandingkan dengan antidepresan

trisiklik dan keamanan tinggi

Escitalopram

(Lexapro)

10–20

Fluoxetine (Prozac) 10–40

Fluvoxamine

(Luvox)b

100–300

Paroxetine (Paxil) 20–50

Sertraline (Zoloft) 50–150

NE and 5-HT Reuptake Inhibitors

Amitriptyline (Elavil,

Endep)

75–300 Mengantuk, OSH, CA, berat badan

meningkat, antikolinergik a

Overdosis dapat fatal. Lakukan titrasi

dosis

Doxepin (Triadapin,

Sinequan)

75–300 Mengantuk, OSH, CA, berat badan

meningkat, antikolinergik a

Overdosis dapat fatal.

Imipramine

(Tofranil)

75–300 Mengantuk, insomnia dan agitasi,

OSH, CA, diatres GI, berat badan

meningkat, antikolinergik a

Overdosis dapat fatal. Lakukan titrasi

dosis

Trimipramine

(Surmontil)

75–300 Mengantuk, OSH, CA, berat badan

meningkat, antikolinergik a

-

Venlafaxine (Effexor) 150–375 Perubahan tidur dan distress GI Dosis tinggi dapat menyebabkan

hipertensi. Titrasi dosis dibutuhkan.

Duloxetine

(Cymbalta)

60–120 Gelisah, insomnia Menyebabkan penyakit hati

Pre- and Postsynaptic Active Agents

Mirtazapine

(Remeron)

15–30 Sedative dan peningkatan berat badan Tidak ada disfungsi seksual

15

Dopamine Reuptake Inhibitor

Bupropion

(Wellbutrin)

200–400 Insomnia/agitasi, dan distress GI Dosis dua kali sehari berupa sustain

rilis. Tidak ada disfungsi seksual dan

peningkatan berat badan

Mixed Action Agents

Amoxapine

(Asendin)

100–600 Mengantuk, insomnia dan agitasi,

OSH, CA, diatres GI, berat badan

meningkat, antikolinergik a

Gangguan pergerakan dapat terjadi.

Diperlukan titrasi dosis

Clomipramine

(Anafranil)

75–300 Mengantuk, berat badan meningkat Diperlukan titrasi dosis

Trazodone (Desyrel) 150–600 Mengantuk, OSH, CA, diatres GI,

berat badan meningkat

Dapat terjadi priapisme

Catatan: kisaran dosis untuk orang dewasa dengan kondisi kesehatan yang baik, jangan diminum dengan medikasi lain,

untuk usia 18-60 tahun. Dosis sangat bergantung pada agen, medikasi lain yang diberikan, adanya penyakit penyerta lain

atau kondisi operasi, usia, factor genetic dan factor lain. Merek dagang digunakan di Amerika Serikat.

a: mulut kering, penglihatan kabur, hesitansi urin dan konstipasi

Dosis dan Durasi Medikasi

Isu penting mengenai penggunaan terapi medikasi termasuk dosis, metabolism obat,

farmakokinetik, interaksi obat dan efek samping. Antidepresan trisiklik pemberiannya dimulai

dengan dosis paling rendah kemudian ditingkatkan sampai dengan dosis maksimal yang dapat

ditoleransi. Pada penggunaan nortriptilin sampai dengan efek terapeutiknya tercapai.

Peningkatan dosis berkala penting untuk memastikan kepatuhan pasien dan mencegah terjadinya

efek samping yang berat. Dengan evaluasi kadar antidepresan trisiklik dalam darah maka

penyesuaian waktu pemberian dosis obat dapat dilakukan. Dosis SSRIs lebih sedikit

komplikasinya dibandingkan dengan antidepresan trisiklik.

Keamanan terjadinya overdosis merupakan isu yang penting, terutama pada awal pengobatan.

Meresepkan obat untuk satu minggu direkomendasikan untuk mencegah terjadinya overdosis

yang mematikan, sehingga pasien kembali dengan jumlah kunjungan yang sering, dan terjadinya

over dosis sekaligus penanganannya dapat dilakukan.

16

Evaluasi Hasil Pengobatan

Tujuan pada fase akut terapi adalah menyembuhkan gejala, tidak hanya sekedar mengurangi

gejala. Respon dengan sisa gejala berhubungan dengan prognosis yang buruk dan fungsi sehari-

hari yang buruk. Sehingga anamnesis untuk kriteria gejala depresi pada tiap kunjungan pasien

sangat penting. Anamnesis pasien fokus pada sembilan kriteria gejala mayor depresi.

Waktu Menyatakan Gagalnya Pengobatan

Setiap langkah pengobatan harus memberikan dosis dan durasi yang optimal untuk mencapai

efektivitas pengobatan. Berdasarkan bukti penelitian medikasi fase akut harus dilaksanakan

sampai dengan 6 minggu dan dengan dosis yang adekuat selama 4 minggu untuk mendapatkan

pengurangan gejala yang berarti. Apabila pada minggu ke 6, kurangnya gejala hanya 20 persen

maka perubahan tatalaksana diperlukan. Mereka dengan depresi yang lebih berat atau memiliki

gangguan comorbid Aksis I dan III membutuhkan waktu percobaan yang lebih panjang (8-12

minggu).

Dosis medikasi menentukan hasil klinis dan efek samping. Beberapa pasien memetabolisme obat

lebih cepat atau lebih lambat dibandingkan dengan yang lain. Metabolism yang lambat, terutama

untuk antidepresan trisiklik antikolinergik, dapat menimbulkan efek samping di awal pengobatan

atau hanya dengan dosis yang rendah. Kadar antidepresan trisiklik dalam darah yang tinggi dapat

menyebabkan aritmia, kejang, atau delirium. Metabolism yang terlalu cepat dapat membuat obat

tidak berefek walaupun dengan dosis yang besar.

Efikasi yang buruk merupakan alasan paling umum untuk menentukan gagalnya medikasi,

namun tidak dapat ditentukan secara pasti sampai pasien telah mendapatkan terapi dosis yang

adekuat dalam waktu beberapa minggu (4-6 minggu). Evaluasi yang hati-hati ketika kunjungan

pasien di fase akut, dengan skala tertentu dan anamnesis untuk menentukan kriteria gejala dari

gangguan mood.

17

DATA JURNAL

Nama Penulis : Alan L.Miller, ND

Judul Tulisan : Epidemiology, Etiology, and Natural Treatment Of Seasonal Affective Disorder

Asal Jurnal : Alternative medicine review, volume 10, 2 (1) : 05-12, 2005.

Available from : http://www.thorne.org/altmedrev/.fulltext/10/1/5.pdf

ABSTRAK

Jumlah yang signifikan dari populasi USA, selama periode yang singkat pada musim

dingin mengalami sindrom yang terdiri atas depresi, kelemahan, kelemahan, hipersomnolen,

hiperfagia, peningkatan berat badan dan hilangnya libido. Apabila beberapa symptom tersebut

terjadi selama musim dingin dan menghilang pada musim panas maka diagnosis seasonal

affective disorder (SAD) dapat dibuat.

Banyak hipotesis yang menjelaskan mengenai mekanisme biokimia sebagai presdiposisi

terjadinya penyakit ini, antara lain pergantian fase sikardian, sekresi abnormal melatonin, dan

sintesis abnormal serotonin. Meskipun mekanisme terjadinya penyakit ini belum sepenuhnya

diketahui namun telah ditemukan satu tatalaksana untuk menjawab semua teori hipotesis yang

telah dikemukakan diatas. Terapi cahaya yang alami, tidak invasif, efektif, dan merupakan

metode yang baik untuk tatalaksana SAD. Variasi suhu cahaya dan waktu pemberian terapi

cahaya telah diteliti dan didapatkan bahwa kombinasi pajanan cahaya pagi dan sore hari adalah

yang paling efektif. Metode tatalaksana alami lain yang sedang banyak diteliti adalah dengan L-

tryptophan,Hypericum perforatum dan melatonin.

PENDAHULUAN

Beberapa daerah didunia yang dekat dengan garis equator memiliki sedikit pergantian

musim dibandingkan dengan daerah yang jauh dari garis equator. Daerah seperti amerika selatan

memiliki pergantian musim yang drastis setiap tahunnya. Pada musim gugur dan musim dingin

waktu dalam sehari lebih pendek dengan penurunan suhu. Ini merupakan sinyal bagi beberapa

spesies untuk mencari makan dan spesies lainnya justru untuk berhibernasi. Sebagian besar

18

manusia tidak terpengaruh secara signifikan akibat waktu siang yang lebih pendek dan waktu

malam yang menjadi panjang pada musim gugur atau musim dingin. Namun beberapa individu

akan mengalami perubahan besar pada mood,energi, dan hasrat yang kemudian didiagnosis

dengan seasonal affective disorder (SAD). Kondisi ini termasuk depresi, hipersomnolen, fatig,

hilangnya libido, peningkatan konsumsi karbohidrat dan peningkatan berat badan pada musim

gugur dan musim dingin. Individu yang didiagnosis dengan SAD mengalami simptom yang

hanya terjadi pada musim gugur dan musim dingin, lama kelamaan berkurang dan menghilang

pada musim semi dan musim panas. Faktanya, ada beberapa individu dengan SAD berkembang

menjadi keadaan lain yang lebih ekstrim di musim semi dan musim panas yaitu mengalami

episode mania.

EPIDEMIOLOGI DAN ETIOPATOLOGI SAD

Studi epidemiologi pada individu dengan SAD menunjukkan bahwa insidensinya pada

populasi umum adalah 4-10 persen, dengan insidensi yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan

dengan pria. Sebagian besar menggunakan Seasonal Pattern Questionnaire (SPAQ) dan

Structured Interview Guide for Halilton Depression Rating-Seasonal Affective Disorder (SIGH-

SAD) untuk membedakan pasien dengan SAD atau pasien dengan sub-syndromal SAD (S-SAD).

Bentuk sub-sindrom dari SAD terdiri atas gejala perubahan musim ringan dan tidak

signifikan secara klinis. Jumlah kumulatif dari kejadian SAD dan S-SAD ini adalah 11-21

persen. Hal ini mengindikasikan bahwa individu yang mengalami depresi akibat perubahan

musim dalam populasi cukup banyak dan signifikan.

Insidensi SAD meningkat pada populasi di Alaska dan area lain yang dekat dengan kutub

utara. Penelitian pada tentara Amerika didapatkan prevalensi SAD 13,1 persen pada wanita dan

6,5 persen pada laki-laki. Orang dari selatan yang pindah ke utara juga mengalami peningkatan

resiko SAD akibat kurangnya toleransi terhadap perubahan musim.

Keterkaitan genetic juga ditemukan pada SAD. SAD terjadi lebih sering pada orang-

orang yang memiliki hubungan keluarga. Madden et al dalam penelitiannya menemukan bahwa

adanya peningkatan resiko 3,31 kali pada anak kembar di Australia

19

MEKANISME PERUBAHAN MUSIM PADA SAD

Perubahan lamanya waktu siang pada perubahan musim berpengaruh pada perubahan

perilaku pada SAD, namun mekanisme pasti mengapa gejala SAD muncul pada perubahan

musim ini masih belum sepenuhnya diketahui.

Kontribusi Sekresi Melatonin pada SAD

Beberapa literatur menjelaskan bahwa individu dengan SAD memiliki periode sintesis

melatonin yang lebih lama pada malam hari dibandingkan dengan siang hari, sehingga pada

siang hari level melatonin pada SAD lebih tinggi selama musim dingin dibandingkan dengan

orang tanpa SAD. Sintesis melatonin dapat ditekan dengan pemberian terapi cahaya pada siang

hari, yang juga dapat mengurangi gejala SAD. Informasi ini mendukung teori sintesis melatonin

yang abnormal sebagai penyebab SAD.

Gambar 1. Jaras neural regulasi melatonin

Sintesis melatonin dipicu oleh kegelapan. Kadarnya dalam darah pada siang hari

umumnya sangat rendah, dengan kadar puncak pada malam hari dan semakin berkurang sampai

pagi hari. Ritme sirkardian dan diurnal sekresi melatonin terjadi melalui masuknya cahaya ke

retina yang merangsang nucleus suprakiasmatik dari hipotalamus. Mekanisme ini mencagah

kelenjar pineal mengubah serotonin menjadi melatonin. Setelah gelap, mekanisme inhibisi ini

20

tidak lagi ada dan kelenjar pineal mulai mensintesis melatonin. Pada kelenjar ini, serotonin

mengalami asetilasi dan metisilasi kemudian terbentuk melatonin.

Gambar 2. Conversi serotonin menjadi melatonin

Waktu dan durasi sekresi melatonin dipengaruhi oleh lamanya waktu siang dan malam.

Pada pasien dengan SAD terdapat keterlambatan onset sekresi melatonin. Wehr et al menemukan

bahwa periode nocturnal sekresi melatonin pada wanita dengan SAD meningkat pada musim

dingin dibandingkan musim panas. Berbeda dengan wanita tanpa SAD yang tidak menunjukan

perubahan sintesis melatonin pada perubahan musim yang bervariasi. Namun bagaimana

pergantian sirkardian ini memunculkan gejala pada pasien SAD masih belum diketahui.

Didapatkan pula adanya peningkatan kadar melatonin siang hari pada pasien SAD.

Pada salah satu studi mengenai SAD, Lewy menemukan bahwa cahaya pada sore hari

dapat menekan sintesis melatonin. Penelitian lain telah mencatat hasil serupa, dan juga

mendapatkan bahwa terapi cahaya pagi hari dapat memperlambat onset sekresi melatonin,

namun meningkatkan level plasma dan saliva sepanjang malam. Tanpa memperhatikan waktu

pemberian terapi cahaya, level melatonin pada pasien dengan SAD dan kontrol adalah sama.

Juga tidak didapatkan adanya perbedaan signifikan sekresi melatonin setelah terapi cahaya.

Temuan ini menunjukan bahwa hipotesis perubahan/pergantian sekresi melatonin merupakan

penyebab munculnya gejala SAD.

Hipotesis Pergantian Fase (The Phase-Shift Hypothesis)

Seperti yang telah dijelaskan diatas, nukleus suprakiasmatik dalam hipotalamus mengatur

irama sirkardian selama duapuluh empat jam. Itu juga terlihat pada onset sekresi melatonin yang

21

terlambat pada pada pasien SAD. Kemungkinan pasien SAD memiliki beberapa respon

hormonal lain atau reaksi negative lain yang belum diketahui pada fase pergantian normal. Lewy

dan Sack pertama kali memperkenalkan hipotesis empat fase pergantian pada SAD setelah

demonstrasi fase penyinara cahaya pagi yang memiliki efek antidepresan.

Avery et al meneliti mengenai sirkardian suhu tubuh, kortisol, dan thyroid-stimulating

hormone (TSH) pada enam pasien SAD dan enam control sebelum dan setelah terapi cahaya

pagi. Suhu tubuh minimal sepanjang malam lebih lama dicapai pada pasien SAD dibandingkan

dengan kelompok control (5:42 am VS 3:16 am) dan dapat terkoreksi dengan terapi cahaya.

Kortisol malam hari juga mengalami keterlambatan dan juga dapat terkoreksi dengan terapi

cahaya. Level TSH tidak berbeda signifikan sebelum dan setelah terapi cahaya. Hasil ini

menunjukan bahwa tidak hanya melatonin yang mengalami keterlambatan pengeluaran, namun

hormone lain dan suhu tubuh malam hari juga terjadi pada SAD.

Hipotesis Serotonin

Mengenai teori serotonin dan pergantian fase, para peneliti telah memeriksa bahwa level

serotonin dan katekolamin pada pasien SAD normal. Karena melatonin merupakan metabolit

tidak langsung dari serotonin, dan serotonin berpengaruh terhadap fungsi otak, sehingga masuk

akal bila level serotonin yang rendah kemungkinan juga berkonstribusi pada gejala SAD. Selain

itu, pasien SAD juga mengalami hiperfagia dan meningkatnya konsumsi karbohidrat, yang

merupakan gejala kurangnya serotonin di otak. Peningkatan konsumsi karbohidrat pada pasien

SAD merupakan mekanisme untuk menstimulasi rilis serotonin. Enam belas pasien dengan SAD

dan enam belas kontrol yang telah di teliti, sebelum dan setelah makan dua makanan yang

berbeda, makanan pertama kaya akan protein dan makanan kedua kaya karbohidrat. Pasien SAD

mengalami peningkatan kesiagaan dan penurunan fatig setelah mengkonsumsi makanan kaya

karbohidrat sedangkan kontrol justru meningkatkan fatig. Hal ini mengindikasikan bahwa

makanan kaya karbohidrat memiliki efek medikasi pada pasien SAD untuk koreksi level

serotonin otak yang abnormal.

Studi pada binatang dan manusia menunjukan penurunan ketersediaan prekursor

serotonin menyebabkan perubahan perilaku tipikal kekurangan serotonin (depresi, ansietas,

peningkatan konsumsi karbohidrat, hipersomnia dll). Para peneliti menemukan bahwa pasien

22

SAD yang telah mengalami remisi pada musim panas yang kemudian diberikan regimen yang

tidak mengandung triptopan menyebabkan relapsnya depresi pada pasien seperti yang juga

terjadi pada pasien yang dilakukan deplesi tryptopan atau katekolamin setelah terapi cahaya.

Terdapat substansi koofaktor lain yang juga terlibat dalam sintesis serotonin pada SAD.

Hoekstra er al mempelajari efek terapi cahaya pada 19 orang pasien yang mendapatkan

tryptophan, biopterin, dan neopterin. Biopterin merupakan kofaktor vital pada enzim tryptophan

hydrolase conversion yang mengubah tryptophan menjadi serotonin. Neopterin merupakan

penanda imunitas yang dimediasi sel. Studi ini menemukan penurunan signifikan tryptophan

plasma dan biopterin pada pasien SAD dibandingkan dengan kontrol. Setelah terapi cahaya, level

biopterin kembali normal namun kembali menurun pada musim panas. Level neopterin tidak

berubah setelah terapi, dan level tryptophan tidak meningkat signifikan. Penulis menyatakan

bahwa rendahnya level biopterin pada musim panas dengan meningkatnya kadar neoterin,

mungkin merupakan presdiposisi relapsnya pasien pada musim dingin.

Sama seperti bentuk depresi lain, terdapat disfungsi katekolamin pada pasien SAD.

Namun buktinya tidak sekuat penelitian serotonin dan melatonin, namun level norepinephrine

menunjukan angka yang lebih rendah pada pasien SAD.

TATALAKSANA ALAMI PADA SAD (SEASONAL AFFECTIVE DISORDER)

Terapi cahaya

Tidak infasif, paling alami, dan merupakan terapi yang paling banyak diteliti yaitu terapi

cahaya. Dasar teori dari terapi cahaya adalah terapi ini dapat menormalkan kembali

keterlambatan pergantian fase pada SAD. Terapi ini berguna untuk memperpanjang periode

penyinaran di musim dingin pada pasien SAD. Terapi ini juga digunakan untuk supresi produksi

melatonin oleh kelenjar pineal. Mekanisme kerja terapi cahaya pada tubuh telah terlihat pada

banyak pasien dalam populasi dengan menggunakan metode yang efektif. Tujuh puluh persen

pasien berespon positif dengan terapi ini dan sangat jarang yang menimbulkan efek samping.

Penelitian dengan menggunakan cahaya yang terang, cahaya sedang, dan cahaya suram, semua

metode tersebut memberikan respon klinis positif. Waktu pemberian terapi dengan cahaya ini

telah banyak diteliti secara intensif dan didapatkan bahwa waktu yang paling efektif adalah pada

pagi hari, tengah hari, dan sore hari. Jenis cahaya yang sukses digunakan antara lain cahaya

23

spektrum luas dengan UV, spektum luas tanpa UV, cool white, spektrum merah, dan spektrum

biru/hijau/kuning.

Sudah ada yang mengkombinasikan antara terapi cahaya dengan beberapa jenis terapi

lainnya antara lain cognitive-behavioral therapy (CBT), L-tryptophan, dan Hypericum

perforatum. Pada studi selama enam minggu mendapatkan bahwa kombinasi terapi cahaya dan

CBT semua pasien memberikan respon serupa.

Terapi Tryptophan pada SAD

Tryptophan menunjukan manfaatnya pada pasien SAD yang tidak berespon pada terapi

cahaya. Pada suatu studi, selama empat minggu pasien diberikan tryptophan saja (2 g dua kali

sehari dan dinaikkan menjadi tiga kali sehari) dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan

terapi cahaya (10.000 lux x 30 menit perhari dipagi hari). Pada akhir minggu ke tujuh, respon

kedua kelompok studi serupa, dengan tidak ada perbedaan yang signifikan diantara kedua

kelompok tersebut. Namun ketika terapi cahaya dihentikan pasien lebih cepat mengalami relaps

dibandingkan dengan pasien yang diberikan tryptophan, kecepatan relapsnya lebih lama.

KESIMPULAN

Persentasi SAD signifikan pada populasi di Amerika terutama dibagian utara, yang

merupakan efek negarif dari pendeknya waktu siang pada musim dingin dan musim gugur.

Beberapa berefek ringan namun pada beberapa individu menyebabkan efek serius akibat

pergantian musim, seperti depresi, hipersomnia, hiperfagia, peningkatan berat badan dan

hilangnya libido. Banyak hipotesis mengenai peran neuroendokrin dan malfungsi biokimia yang

terjadi pada pasien SAD. Salah satu terapi yang mudah pemberiannya, tidak infasif dan tidak

memiliki efek samping yaitu terapi cahaya.

24