1
_!OMPAS, MINGGU, 22 OKTOBER 1995 Sumpab Pelesetan BAGAIMANA caranya jadi naSionalis di Indonesia? Kalau Anda seorang peda- gang, di Jakarta pada tahun 1995, berhati- hatilah memilih nama toko atau merek dagang. Salah pilih bisa susah. Pilih nama Mike Tyson dibilang sok kebarat-baratan. Pilih merek Gajah Mada dibilang tidak hormat pada pahlawan. Dua bulan belakangan banyak peng- usaha Jakarta kerepotan berganti-nama usaha dagang. Mirip nasib warganegara yang dianggap non-pribumi berganti-na- ma pribadi di tahun 1960-an. Ciputra, bos Jaya Group, mengha- biskan dua milyar rupiah untuk menasionalkan· merek-merek da- gangannya. Mochtar Riady, juragan Lippo Group malahan habis li- mamilyar. Tapi itu di Jakarta. Di kota kecil Salatiga, Jawa Tengah, cerita- nya bisa lain. Kota ini menjadi salah satu pusat pendidikan Bahasa Indonesia bagi orang asing. Suatu hari seorang cewek Australia pe- serta kursus naik becak di Salatiga. Ketika becak mencapai alamat yang dituju, penumpang itu berteriak: berhenti! Becak jalan terus. Ia berteriak lagi: berhenti! Becak itu meluncur saja. Setengah pu- tus asa, dan mungkin tidak sadar, dia berteriak: stop! Ee, becak itu berhenti. Siapa yang lebih Indonesia? Jejaka Jawa yang menarik becak, atau penumpangnya dari Australia yang baru sebulan tinggal di Jawa? Mana istilah yang lebih Indonesia: stop atau berhenti? Ya, menurut siapa? Ahli dan guru bahasa atau rakyat jelata? *** BAGAIMANA soal itu berkait dengan Sumpah Pemuda? Sum- pah Pemuda yang kini populer di Indonesia tidak sama dengan as- linyadi tahun 1928. Butir ketiga Sumpah itu, soal bahasa, sudah terpeleset. Aslinya, butir itu berbunyi: "Kami putra-putri Indonesia, menjungjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia." Yang hingga kini telanjur populer berbunyi: "Kami putra-putri Indone- sia, berbahasa satu, bahasa Indonesia. " Halaman 2 Kemungkinan besar teks yang asli diganti bukan karena ada orang usil atau tak puas. Penyimpangan bisa terjadi tanpa disenga- ja. Apalagi versi yang keliru berbunyi lebih enak. Dengan peruba- han itu butir ketiga jadi berirama dengan dua butir terdahulu. Ter- cipta paralelisme yang rapi. Serba menekankan "satu". Butir pertama: "Kami putra-putri Indonesia, mengaku bertum- pah darah yang satu, tanah Indonesia." Yang kedua: "Kami putra- putri Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia." Maka tidak sedikit tokoh masyarakat tergoda meringkas isi Sumpah Pe- muda sebagai: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa. Mengapa Sumpah Pemuda yang asli tidak "mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia" saja? SuZit dipastikan.· Tetapi kita boZeh menduga-duga. Kaum nasionalis pada paruh pertama abad ini ge- mar kebhinnekaan bahasa dan budaya. Ini gejala universal pad a ke- bangkitan nasionalisme di berbagai masyarakat dunia. Kebudayaan Indo dan "gado-gado" menjadi ciri khas masyara- kat yang dibilang "nasion". Seperti campur-aduknya watak musik keroncong, atau tulisan yang disebut novel dan jurnalistik. Tidak ada yang asli, murni, otentik, pribumi, atau seragam. Semuanya ser- ba sementara. Yang kemarin dibilang asing, hari ini jadi nasional. Besok tradisional. *** ISTILAIi "stop" tidak lebih dan tidak kurang Indonesia ketim- bang istilah "berhenti". Para nasionalis Indonesia sadar, bahkan bangga bahwa bangsa ini tidak berbahasa satu. Bukan saja lain dae- rah, lain bahasanya. Iiampir setiap manusia Indonesia berbahasa lebih dari satu. Setiap bahasa menyerap unsur bahasa asing dan daerah. Juga dalam hal agama, pernikahan dan makanan. Ini tidak jelek, tidak salah. Sumpah Pemuc(a dihasilkan sebuah Kongres Pe- muda yang berbahasa "gado-gado". Sumpah Pemuda berikrar di tengah kebhinnekaan bahasa dan budaya Indonesia, kita punya bahasa persatuan. Bahasa persatuan ini dijunjung bukan agar menggusur bahasa-bahasa lain yang hidup dalam bangsa majemuk yang menjunjungnya. Bukan supaya ma- syarakat Indonesia menjadi monolingual, hanya berbahasa satu. Di sini tampak seriusnya pelesetan Sumpah Pemuda. Belakangan makna nasionalisme menyempit, menjadi penyera- gaman, pemurnian, dan penunggalan. Dalam bahasa, budaya, poli- tik, dan etika. Kebhinnekaan dicurigai, disensor, dicekal. Dicap ke- daerahan, tidak pribumi, atau Barat. Asal diingat saja, istilah "Re- publik" maupun "Indonesia" dibuat orang Eropa. * Ariel Heryanto, dosen Universitas Kristen Satyawacana, Salati- gao Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Sumpab Pelesetan - arielheryanto.files.wordpress.com · Pilih merek Gajah Mada dibilang tidak hormat pada pahlawan. Dua bulan belakangan banyak peng ... bangkitan nasionalisme di

  • Upload
    buidat

  • View
    219

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sumpab Pelesetan - arielheryanto.files.wordpress.com · Pilih merek Gajah Mada dibilang tidak hormat pada pahlawan. Dua bulan belakangan banyak peng ... bangkitan nasionalisme di

_!OMPAS, MINGGU, 22 OKTOBER 1995

Sumpab Pelesetan BAGAIMANA caranya jadi naSionalis

di Indonesia? Kalau Anda seorang peda­gang, di Jakarta pada tahun 1995, berhati­hatilah memilih nama toko atau merek dagang. Salah pilih bisa susah. Pilih nama Mike Tyson dibilang sok kebarat-baratan. Pilih merek Gajah Mada dibilang tidak hormat pada pahlawan.

Dua bulan belakangan banyak peng­usaha Jakarta kerepotan berganti-nama usaha dagang. Mirip nasib warganegara yang dianggap non-pribumi berganti-na­

ma pribadi di tahun 1960-an. Ciputra, bos Jaya Group, mengha­biskan dua milyar rupiah untuk menasionalkan· merek-merek da­gangannya. Mochtar Riady, juragan Lippo Group malahan habis li­mamilyar.

Tapi itu di Jakarta. Di kota kecil Salatiga, Jawa Tengah, cerita­nya bisa lain. Kota ini menjadi salah satu pusat pendidikan Bahasa Indonesia bagi orang asing. Suatu hari seorang cewek Australia pe­serta kursus naik becak di Salatiga. Ketika becak mencapai alamat yang dituju, penumpang itu berteriak: berhenti! Becak jalan terus. Ia berteriak lagi: berhenti! Becak itu meluncur saja. Setengah pu­tus asa, dan mungkin tidak sadar, dia berteriak: stop! Ee, becak itu berhenti.

Siapa yang lebih Indonesia? Jejaka Jawa yang menarik becak, atau penumpangnya dari Australia yang baru sebulan tinggal di Jawa? Mana istilah yang lebih Indonesia: stop atau berhenti? Ya, menurut siapa? Ahli dan guru bahasa atau rakyat jelata?

*** BAGAIMANA soal itu berkait dengan Sumpah Pemuda? Sum­

pah Pemuda yang kini populer di Indonesia tidak sama dengan as­linyadi tahun 1928. Butir ketiga Sumpah itu, soal bahasa, sudah terpeleset. Aslinya, butir itu berbunyi: "Kami putra-putri Indonesia, menjungjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia." Yang hingga kini telanjur populer berbunyi: "Kami putra-putri Indone­sia, berbahasa satu, bahasa Indonesia. "

Halaman 2

Kemungkinan besar teks yang asli diganti bukan karena ada orang usil atau tak puas. Penyimpangan bisa terjadi tanpa disenga­ja. Apalagi versi yang keliru berbunyi lebih enak. Dengan peruba­han itu butir ketiga jadi berirama dengan dua butir terdahulu. Ter­cipta paralelisme yang rapi. Serba menekankan "satu".

Butir pertama: "Kami putra-putri Indonesia, mengaku bertum­pah darah yang satu, tanah Indonesia." Yang kedua: "Kami putra­putri Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia." Maka tidak sedikit tokoh masyarakat tergoda meringkas isi Sumpah Pe­muda sebagai: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa.

Mengapa Sumpah Pemuda yang asli tidak "mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia" saja? SuZit dipastikan.· Tetapi kita boZeh menduga-duga. Kaum nasionalis pada paruh pertama abad ini ge­mar kebhinnekaan bahasa dan budaya. Ini gejala universal pad a ke­bangkitan nasionalisme di berbagai masyarakat dunia.

Kebudayaan Indo dan "gado-gado" menjadi ciri khas masyara­kat yang dibilang "nasion". Seperti campur-aduknya watak musik keroncong, atau tulisan yang disebut novel dan jurnalistik. Tidak ada yang asli, murni, otentik, pribumi, atau seragam. Semuanya ser­ba sementara. Yang kemarin dibilang asing, hari ini jadi nasional. Besok tradisional.

*** ISTILAIi "stop" tidak lebih dan tidak kurang Indonesia ketim­

bang istilah "berhenti". Para nasionalis Indonesia sadar, bahkan bangga bahwa bangsa ini tidak berbahasa satu. Bukan saja lain dae­rah, lain bahasanya. Iiampir setiap manusia Indonesia berbahasa lebih dari satu. Setiap bahasa menyerap unsur bahasa asing dan daerah. Juga dalam hal agama, pernikahan dan makanan. Ini tidak jelek, tidak salah. Sumpah Pemuc(a dihasilkan sebuah Kongres Pe­muda yang berbahasa "gado-gado".

Sumpah Pemuda berikrar di tengah kebhinnekaan bahasa dan budaya Indonesia, kita punya bahasa persatuan. Bahasa persatuan ini dijunjung bukan agar menggusur bahasa-bahasa lain yang hidup dalam bangsa majemuk yang menjunjungnya. Bukan supaya ma­syarakat Indonesia menjadi monolingual, hanya berbahasa satu. Di sini tampak seriusnya pelesetan Sumpah Pemuda.

Belakangan makna nasionalisme menyempit, menjadi penyera­gaman, pemurnian, dan penunggalan. Dalam bahasa, budaya, poli­tik, dan etika. Kebhinnekaan dicurigai, disensor, dicekal. Dicap ke­daerahan, tidak pribumi, atau Barat. Asal diingat saja, istilah "Re­publik" maupun "Indonesia" dibuat orang Eropa.

* Ariel Heryanto, dosen Universitas Kristen Satyawacana, Salati­gao

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>