Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ARSITEKTURA Vol 17, No.1, 2019; 67-76
Jurnal Ilmiah Arsitektur dan Lingkungan Binaan ISSN:1693-3680 (PRINT) E- ISSN:2580-2976 (ONLINE)
https://jurnal.uns.ac.id/Arsitektura DOI: http://dx.doi.org/10.20961/arst.v17i1.24480
Received : October 8, 2018 Revised : October 11, 2018 Accepted : March 30, 2019 Available online : April 30, 2019
THE DESIGN APPLICATION OF ECOLOGICAL ARCHITECTURE ON
INTEGRATED KAMPONG VERTICAL LIVING & URBAN VERTICAL FARMING
IN YOGYAKARTA
PENGARUH PENDEKATAN ARSITEKTUR EKOLOGIS PADA STRATEGI DESAIN
INTEGRATED KAMPONG VERTICAL LIVING & URBAN VERTICAL FARMING
DI YOGYAKARTA
Ageng Wiranti1*, Agus Heru Purnomo2, Ana Hardiana3 Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret1
Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret2
Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret3
Abstract
According to the Indonesian Central Bureau of Statistics, population growth in Yogyakarta has
increased massively every year. The increased number of residents that occur, resulted in the need of
house, and also the green fields will used as a residential land. Increased population definitely
increase the level of food needs, but in contrast to productive land that should become a food barn of
the population. Increased population will begin to shift the social side in humans because the places
of interaction between individuals that should be the main forum of society to interact and socialize
will be loss. Responding to this, the design application of Ecological Architecture needed, which
raises a harmony between the building, human and natural environment. The research method is
descriptive qualitative which begins by collecting data related to the integration of vertical living and
vertical farming, literature review related to kampong vertical living theory, vertical farming system:
hydroponic, and Ecological Architecture theory, then processed and concluded to be a guidance in
analysis designing. From the analysis that has been done then generated an integrated design of
kampong vertical living & urban vertical farming that can support sustainability design based on the
application of Ecological Architecture theory.
Keywords: Ecological Architecture, Integrated, Kampong Vertical Living, Urban Vertical Farming
1. PENDAHULUAN
Pertumbuhan penduduk yang massif akan
mengakibatkan terjadinya kepadatan penduduk,
yang mana kepadatan penduduk akan selalu
dibarengi dengan munculnya masalah-masalah
baru. Peningkatan jumlah penduduk yang
terjadi mengakibatkan kebutuhan akan hunian
atau tempat tinggal meningkat, dan pada
akhirnya lahan-lahan hijau akan habis
digunakan sebagai lahan hunian. Peningkatan
jumlah penduduk secara pasti akan
meningkatkan tingkat kebutuhan pangan,
namun bertolak belakang dengan lahan
produktif yang seharusnya menjadi lumbung
pangan penduduk. Peningkatan jumlah
penduduk yang terjadi akan mulai menggeser
sisi sosial dalam diri manusia karena mulai
hilangnya tempat-tempat interaksi antar
individu yang seharusnya menjadi wadah untuk
berinteraksi dan bersosialisasi. (Suminar, 2016)
1.1 Peningkatan Jumlah Penduduk di
Yogyakarta
Menurut data jumlah kepadatan penduduk
Indonesia dari Provinsi nya pada tahun 2010-
2015, D.I. Yogyakarta menempati posisi ke-4
dengan jumlah kepadatan 1174 jiwa/km2 pada
tahun 2015. (Badan Pusat Statistik, 2015)
Arsitektura, Vol. 17, No.1, April 2019: 67-76
68
Tabel 1. Jumlah Kepadatan Penduduk Indonesia
menurut Provinsi (2014-2016)
Sumber : (Badan Pusat Statistik, 2016)
D.I. Yogyakarta, daerah yang terkenal dengan
kentalnya budaya ini, mulai kehilangan lahan
hijaunya untuk kemudian dijadikan
permukiman. Sensus penduduk yang
dilaksanakan kemarin menunjukkan bahwa
setiap tahunnya jumlah penduduk di DIY
bertambah hingga lima ratus ribu jiwa. (Sensus
Penduduk 2010 Badan Pusat Statistik, 2016)
Tabel 2. Jumlah Penduduk Yogyakarta (jiwa) 2014-
2016
Sumber : (Badan Pusat Statistik, 2016)
Bila pembangunan secara horizontal terus
dilakukan tanpa memperhatikan
peraturan/regulasi tata guna lahan yang sudah
tersedia di Yogyakarta, maka pada tahun 2050
dapat diprediksi lahan hijau di Yogyakarta akan
habis oleh permukiman. Menghadapi kedua
permasalahan tersebut, pembangunan secara
vertikal dianggap sebagai penyelesaian
termutakhir. Pembangunan vertikal tanpa
memikirkan kearifan lokal di daerah dengan
kekentalan budayanya yang tinggi ini, tidaklah
cukup. Penyelesaian istimewa tentu perlu
dilakukan bagi daerah yang istimewa ini.
Solusi dalam mengatasi permasalahan
peningkatan jumlah penduduk yang terjadi di
Yogyakarta, kebutuhan akan bangunan vertikal
menjadi mutlak diperlukan. Namun bangunan
vertikal seperti apa yang cocok untuk warga
Yogyakarta? Menghadapi benturan budaya,
konsep bangunan adaptif kemudian
dimunculkan. Unsur utama yang ada di dalam
bangunan yaitu koneksi antar rumah serta
serambi-serambi ruang interaksi. Selain itu, di
dalam kawasan ini terdapat berbagai fasilitas
umum penunjang yang dapat dijangkau dalam
satu perkampungan sehingga kampung vertikal
tidak hanya dirasakan dari kulit bangunan tetapi
juga melalui pengalaman ruang. (Suminar,
2016)
1.2 Lahan Pertanian di Yogyakarta
Berkurang
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terus
mengalami penyusutan luas lahan pertanian dan
RTH (Ruang Terbuka Hijau) akibat imbas dari
pembangunan infrastruktur dalam merespon
kebutuhan masyarakat. Pembangunan fisik
terbesar DIY berada di Kota Yogyakarta
sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian.
Sampai tahun 2015, lahan pertanian di Kota
Yogyakarta hanya tersisa ± 55 Ha dari ± 3185
Ha atau sekitar 2% dari luas total wilayah Kota
Yogyakarta (Badan Pusat Statistik, 2016) Hal
ini merupakan imbas dari alih fungsi lahan
pertanian menjadi lahan non-pertanian.
Akibatnya, Kota Yogyakarta belum mampu
memenuhi kebutuhan pangannya secara
mandiri. Sumber kebutuhan pangan Kota
Yogyakarta disupply dari Kabupaten Sleman,
Bantul, Kulon Progo dan Gunung Kidul.
Tabel 3. Luas Lahan Pertanian Yogyakarta (2014-
2016)
Sumber : (Badan Pusat Statistik, 2016)
Penggunaan lahan dominan di Kota Yogyakarta
adalah lahan perumahan. Hal ini sesuai dengan
RTRW Yogyakarta yang dominansi guna lahan
adalah perumahan/permukiman. Pada tahun
2014 luas lahan non pertanian yang meliputi
perumahan/permukiman, industri/jasa dan
lainnya seluas 2.755,27 Ha (84,78%) dari luas
No Provinsi
Kepadatan Penduduk
(jiwa/km2)
2014 2015 2016
1 DKI Jakarta 15015 15173 15328
2 Jawa Barat 1282 1301 1320
3 Banten 1185 1211 1237
4 DI Yogyakarta 1147 1161 1174
Kabupaten/
Kota
Jumlah Penduduk Yogyakarta
(Jiwa)
2014 2015 2016
D.I.
Yogyakarta 3637116 3679176 3720912
Kulonprogo 407709 412198 416683
Bantul 959445 972511 983527
Gunungkidul 707794 715282 722479
Sleman 1154501 1167481 1180479
Yogyakarta 407667 412704 417744
Kabupaten/Kota
Luas Lahan Pertanian
Sawah
2014 2015 2016
D.I. Yogyakarta 55650 55425 55292
Kulonprogo 10296 10366 10366
Bantul 15191 15225 15150
Gunungkidul 7865 7865 7875
Sleman 22233 21907 21841
Kota Yogyakarta 65 62 60
Ageng Wiranti, Agus Heru Purnomo, Ana Hardiana, The Design Application of Ecological …
69
lahan Kota Yogyakarta 3.250 Ha, naik dari
tahun sebelumnya yang seluas 2.737,27 Ha
(84,22%). Luas lahan sawah berkurang 18 Ha
dari tahun 2013 seluas 83 Ha dan di tahun 2014
menjadi 65 Ha. Lahan sawah yang berkurang
beralih fungsi menjadi penggunaan lahan non
pertanian di Kecamatan Tegalrejo, Kecamatan
Mantrijeron, Kecamatan Umbulharjo, dan
Kecamatan Kotagede. Di Kecamatan Tegalrejo
luas lahan sawah yang berkurang mencapai 2
Ha, sedangkan di Kecamatan Mantrijeron
berkurang 1 Ha, Kecamatan Umbulharjo
berkurang hingga 10 Ha, dan untuk di
Kecamatan Kotagede berkurang 5 Ha dari
tahun sebelumnya. (Buku Laporan Status
Lingkungan Hidup Daerah Kota Yogyakarta
2014)
Yogyakarta di masa depan diharapkan mampu
mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri
yaitu dengan menerapkan urban farming
dengan sistem tanam vertikal terintegrasi
karena dapat merespon keberadaan lahan yang
semakin menipis. Urban farming merupakan
sistem pertanian yang dapat diterapkan di mana
saja, tidak bergantung pada lahan yang luas
serta tidak bermasalah dengan cuaca,
penyediaan air bersih pun tidak harus dekat
dengan sumber air karena vertical farming
dapat menggunakan olahan air sisa sehingga
menghemat penggunaan air hingga 70%
(Despommier, 2013)
1.3 Landasan Regulasi Kota Yogyakarta
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No.1
Tahun 2007 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD) adalah dokumen perencanaan
pembangunan jangka panjang daerah Kota
Yogyakarta yang memuat visi, misi, dan arah
pembangunan untuk periode 20 (dua puluh)
tahun, terhitung mulai tahun 2005 sampai
dengan tahun 2025. Di dalamnya disebutkan
beberapa prediksi mengenai kondisi
permukiman, pertanian, dan lingkungan hidup
Kota Yogyakarta yaitu sebagai berikut:
a. Permukiman: Pembangunan perumahan di
daerah perkotaan akan mengarah pada
model bangunan vertikal karena
keterbatasan lahan.
b. Pertanian: Perencanaan pertanian di daerah
perkotaan akan mengarah pada model
vertikal karena keterbatasan lahan hijau;
Sistem pertanian urban modern vertikal
dapat diterapkan di mana saja misal
terintegrasi dalam beberapa zona seperti
perumahan, pemasaran, maupun industri
pengembangan tanpa bergantung pada
keberadaan lahan yang luas serta sistem
pengairan yang tidak harus berdekatan
dengan sumber air alami; Sistem pertanian
urban modern vertikal dapat
mempersingkat sistem pendistribusian
bahan pangan sehingga hasil pangan dapat
segera diolah oleh masyarakat dalam
kondisi higienis, efisien karena dapat
diterapkan di lahan minimal seperti
perumahan, serta dapat mengurangi emisi
karbon bagi sistem transportasi dalam
pendistribusian pangan.
c. Lingkungan Hidup: Peningkatan
pemanfaatan potensi sumber daya alam dan
lingkungan hidup untuk konservasi,
rehabilitasi, dan penghematan penggunaan
dengan menerapkan teknologi ramah
lingkungan.
1.4 Arsitektur Ekologis
Arsitektur ekologis merupakan suatu konsep
desain arsitektur kemanusiaan yang
mempertimbangkan keselarasan antara
manusia dengan lingkungannya (Frick, 2007)
Prinsip dasar teori Arsitektur Ekologis berfokus
pada hubungan timbal balik yang
menguntungkan antara elemen alam, bangunan,
dan manusia. Hal ini tentunya melibatkan
adanya pengolahan lingkungan, pengolahan
bangunan dan keterlibatan manusia dalam
pembangunan yang harmonis.
Berdasarkan tinjauan teori pendekatan
Arsitektur Ekologis (Frick, 2007), prinsip-
prinsip ekologis yang dpat diterapkan pada
bangunan yang direncanakan yaitu:
1. Adanya kawasan yang digunakan sebagai
area penghijauan untuk paru-paru kawasan.
2. Lokasi yang bebas radiasi geobiologis dan
meminimalkan medan elektromagnetik
buatan.
Arsitektura, Vol. 17, No.1, April 2019: 67-76
70
3. Menggunakan bahan bangunan alamiah
dan mempertimbangkannya dalam siklus
bahan alamiah.
4. Menggunakan ventilasi alami untuk
menyejukkan udara dalam bangunan.
5. Menghindari kelembaban tanah naik ke
dalam konstruksi bangunan dan lebih
memprioritaskan sistem bangunan kering.
6. Memilih lapisan permukaan dinding dan
langit-langit ruang yang mampu
mengalirkan uap air.
7. Menjamin kesinambungan pada struktur
sebagai hubungan antara masa pakai bahan
bangunan dan struktur bangunan.
8. Mempertimbangkan proporsi ruang
berdasarkan aturan yang harmonis.
9. Menjamin bahwa bangunan yang
direncanakan tidak menimbukan masalah
lingkungan dan membutuhkan energi
sesedikit mungkin dengan
mempertimbangkan energi terbarukan.
10. Menciptakan bangunan bebas hambatan
sehingga gedung dapat dimanfaatkan oleh
semua penghuni baik anak-anak, orangtua
maupun kaum difabel.
Dari penjelasan latar belakang yang sudah
dipaparkan, diambil kesimpulan bahwa : Integrated Kampong Vertical Living & Urban
Vertical Farming adalah sebuah kawasan
terintegrasi di dalam kota yang padat berupa
hunian yang dimiliki yaitu kampung vertikal
dan pertanian urban vertikal. Proyek ini
dimiliki oleh swasta. Sistem terintegrasi ini
menghubungkan beberapa zona yaitu : zona
permukiman (kampong vertical) yang di
dalamnya terdapat zona komunal (public space)
dan beberapa fasilitas penunjang ; sedangkan
zona pertanian (urban vertical farming) yang di
dalamnya terdapat zona industri (pengolahan
pangan) & zona pemasaran (unit farm &
market) dengan penerapan prinsip-prinsip
Arsitektur Ekologis yang mengutamakan
keselarasan antara bangunan, manusia dan
lingkungan alamnya.
2. METODE
Metode penelitian yang digunakan adalah
penelitian terapan (applied research) melalui
pendekatan deskriptif kualitatif. Bangunan
yang direncanakan menerapkan teori desain
Arsitektur Ekologis sebagai pendekatan desain
arsitektur berwawasan lingkungan. Metode
perancangan yang digunakan dalam
pembahasan permasalahan ini adalah:
a. Konstruksi Gagasan
Bertujuan untuk membangun gagasan tentang
objek rancangan yang akan direncanakan.
Terdiri dari beberapa tahapan yaitu membaca
fenomena yang terjadi di Kota Yogyakarta,
fenomena-fenomena tersebut kemudian dipilih
untuk mendapatkan hal yang mempunyai daya
tarik. Fenomena dalam kasus yang terjadi disini
menunjukkan adanya peningkatan jumlah
penduduk, kebutuhan akan hunian yang
meningkat, dan lahan produktif berkurang.
b. Inventarisasi/ Pengumpulan Data
Merupakan tahap identifikasi, pengenalan dan
pemahaman berbagai aspek yang ada dalam
kawasan perencanaan. Data yang berkaitan
dengan perancangan bangunan ini diperoleh
dari data primer: survey dan observasi
lapangan; data sekunder: studi literatur. Data
lokasi adalah kondisi site, iklim, regulasi
bangunan terkait. Kajian tipologi adalah
pemahaman kampung vertikal, sistem pertanian
vertikal: hidroponik, dan standard permukiman.
Data pendekatan adalah prinsip-prinsip
Arsitektur Ekologis (Frick, 2007).
c. Pengolahan Data dan Analisis
Data yang telah didapat dianalisis
menggunakan pendekatan Arsitektur Ekologis.
Analisis-analisis tersebut terdiri dari analisis
pengguna dan kegiatan, analisis peruangan,
analisis fungsi bangunan, analisis tapak,
analisis bentuk dan tampilan, analisis struktur,
dan analisis utilitas.
d. Sintesa dan Merumuskan Konsep
Perencanaan dan Perancangan
Penyusunan dari hasil analisis ke dalam
rumusan konsep perencanaan dan perancangan
Integrated Kampong Vertical Living & Urban
Vertical Farming dengan Pendekatan
Arsitektur Ekologis di Yogyakarta. Konsep ini
terdiri dari konsep dasar, konsep ruang, konsep
tapak, konsep bentuk, konsep struktur, dan
konsep utilitas. Setelah itu, proses dilanjutkan
dalam transformasi desain. Hasil akhir yang
didapatkan merupakan model konseptual dan
model fisik desain bangunan Integrated
Kampong Vertical Living & Urban Vertical
Ageng Wiranti, Agus Heru Purnomo, Ana Hardiana, The Design Application of Ecological …
71
Farming dengan Pendekatan Arsitektur
Ekologis di Yogyakarta.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan merupakan penjelasan
mengenai bagaimana pendekatan desain
Arsitektur Ekologis yang diterapkan pada
bangunan Integrated Kampong Vertical Living
& Urban Vertical Farming di Yogyakarta. Berikut ini adalah bagan yang prinsip-prinsip
utama dari pendekatan Arsitektur Ekologis
yang diterapkan pada perancangan desain
bangunan (Amna, 2017):
1. Desain yang beradaptasi dengan
lingkungan
2. Pemanfaatan sumber daya energi & alam
3. Keseimbangan Sistem Bangunan dengan
Alam
3.1 Kegiatan dan Kebutuhan Ruang
Kegiatan yang akan diwadahi dalam objek
rancang bangun dapat diketahui melalui
analisis pengguna bangunan, kelompok
kegiatan, dan zonifikasi nya. Berikut ini adalah
skema kebutuhan ruang pada Integrated
Kampong Vertical Living & Urban Vertical Farming berdasarkan zonifikasi nya (lihat
Tabel 4):
Tabel 4. Zonifikasi Kebutuhan Ruang pada Desain
3.2 Lokasi dan Tapak Terpilih
Lokasi objek rancang bangun yang terpilih
adalah Tegalsari, Kampung Mulungan, Wetan,
RW 12 Kelurahan Pandeyan, Kecamatan
Umbulharjo, Kota Yogyakarta, pemilihan
lokasi tersebut didasarkan pada beberapa
pertimbangan yaitu:
a. Sesuai dengan (RTRW Kota Yogyakarta),
Kecamatan Umbulharjo merupakan
kawasan prioritas yang harus
dikembangkan dibandingkan dengan
kecamatan-kecamatan lain yang relatif
sudah berkembang.
b. Sesuai dengan (RDTR Kota Yogyakarta),
Kecamatan Umbulharjo merupakan zona
rumah kepadatan tinggi yang kedepannya
harus diterapkan solusi agar lahan yang
semakin menipis dapat menunjang
kebutuhan akan hunian.
c. Sesuai dengan (Peraturan Daerah Kota
Yogyakarta No.1 Tahun 2007 Tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJPD), pembangunan
perumahan di daerah perkotaan terutama di
zona rumah dengan kepadatan tinggi, akan
mengarah pada model bangunan vertikal
karena keterbatasan lahan. Selain itu,
perencanaan pertanian di daerah perkotaan
akan mengarah pada model vertikal karena
keterbatasan lahan hijau. Sistem pertanian
urban modern vertikal dapat diterapkan di
mana saja misal terintegrasi dalam
beberapa zona seperti perumahan,
pemasaran, maupun industri
pengembangan tanpa bergantung pada
keberadaan lahan yang luas serta sistem
pengairan yang tidak harus berdekatan
dengan sumber air alami.
d. Sesuai dengan arahan kebijakan
Pemerintah Kota, Wali Kota, dan Gubernur
Yogyakarta tentang alternatif pemecahan
permasalahan di lokasi tersebut. Walikota
Yogyakarta, Haryadi Suyuti mengatakan
hunian vertikal, seperti rumah susun atau
kampung vertikal bisa menjadi salah satu
Zonifikasi Kebutuhan Ruang
Kampong Vertical Living
Zonifikasi Ruangan
Zona
Hunian
Tipe 21 (3mx7m), Tipe 36
(4mx9m), Tipe 72 (9mx8m)
Zona
Penunjang
Restaurant/foodcourt, kolam
renang, ATM, minimarket,
mushola.
Zona
Pengelola
R. direktur, operasional,
pemasaran, keuangan, HRD, PR
Zona
Servis
Utilitas bangunan, keamanan,
housekeeping
Zona
Komunal
& Umum
Taman sebagai ruang terbuka
umum
Urban Vertical Farming
Zonifikasi Ruangan
Zona
Budidaya
Ruang menyemai benih palawija,
sayur, dan buah
Zona Pasca
Panen &
Produksi
R. pembersihan, pemilahan,
pengemasan, dan penyimpanan
Zona
Penelitian
Quality Assurance/QA & Quality
Control/QC
Zona
Pemasaran
Farm’s market &
Restaurant/foodcourt
Arsitektura, Vol. 17, No.1, April 2019: 67-76
72
jawaban untuk menangani permasalahan
kawasan kumuh perkotaan.
e. Kedekatan dengan beberapa fasilitas di
perkotaan yaitu pusat administrasi,
perdagangan, jasa, pemasaran, pelayanan
sosial (kesehatan, agama, dan lainnya),
produksi pengolahan, pusat perhubungan
dan komunikasi, pendidikan, dan kegiatan
pariwisata.
Eksisting Tapak Terpilih
Gambar 1. Eksisting Tapak Terpilih
Berikut ini adalah detail eksisting tapak terpilih
(lihat Gambar 1):
1. Lokasi tapak berada di kawasan jalur utama
yang strategis yaitu jalan Batikan (lebar
16m, dua arah), jalan ini merupakan salah
satu ikon Kecamatan Umbulharjo karena
terletak disepanjang Kali Manunggal.
2. Luas tapak terpilih: ±18.000 m2/ 18 Ha
3. Batasan tapak:
-Utara: Jl. Babaran (permukiman)
-Selatan: Gg. Empu Gandring
(permukiman & pertokoan)
-Barat: (permukiman & fasilitas sosial)
-Timur: Jl. Empu Gandring (permukiman,
pertokoan, & fasilitas sosial lainnya)
4. Lingkungan sekitar tapak: permukiman,
fasilitas perbelanjaan, fasilitas sosial
(sekolah, tempat ibadah, rumah sakit), dan
fasilitas pemerintahan.
5. Lokasi sangat strategis, memiliki
pencapaian yang mudah.
6. Koefisien Dasar Bangunan (KDB): 60%;
Koefisien Lantai Bangunan (KLB): 5;
Koefisien Daerah Hijau (KDH): 30%
7. Tinggi Lantai Bangunan (TB): maksimal
32m diukur dari ketinggian jalan.
8. Garis Sempadan Bangunan (GSB): 10m
dari as jalan; Garis Sempadan Jalan (GSJ):
dari jalan primer Jl. Batikan (6m), dari jalan
sekunder Gg. Empu Gandring (4m)
3.3 Pencapaian, Iklim, dan Lingkungan
Pencapaian menuju bangunan haruslah
memudahkan pengguna bangunan, oleh sebab
itu main entrance tapak diletakkan berbatasan
langsung dengan jalan utama. Site entrance
tapak peletakannya berbatasan dengan jalan
lingkungan. Service entrance tapak terletak di
jalan yang tidak ramai, letaknya jauh dari alur
kegiatan pengunjung untuk segi estetika dan
privasi.
Penerapan Arsitektur Ekologis dalam analisis
pencapaian yaitu (lihat Gambar 2): Sirkulasi
pedestrian dan kendaraan yang mampu
menghubungkan antara satu bangunan dengan
yang lainnya; Jalur pedestrian tersebar merata
pada seluruh lansekap untuk mempermudah
akses bagi pengunjung yang datang; Jalur
khusus kendaraan pada tapak untuk
mempermudah sistem distribusi bahan pangan
serta memberikan akses parkir menuju
basement.
Gambar 2. Konsep Pencapaian, View, Kebisingan
Ageng Wiranti, Agus Heru Purnomo, Ana Hardiana, The Design Application of Ecological …
73
Analisis view ditujukan untuk mendapatkan
orientasi bangunan dan titik view yang sesuai
dengan kebutuhan ruang pada zona kegiatan,
sehingga menghasilkan suatu konsep view
mengenai bagaimana menata letak massa
bangunan dan akses yang tidak mengganggu
pemandangan dari tapak.
Penerapan Arsitektur Ekologis dalam analisis
view yaitu (lihat Gambar 2): Potensi view yang
sangat menarik ditujukan untuk orientasi utama
bangunan; Potensi view yang cukup menarik
untuk alternatif orientasi sekunder bangunan;
Potensi view yang kurang menarik untuk ruang-
ruang servis.
Analisis kebisingan untuk mendapatkan konsep
mengenai penataan zoning kelompok kegiatan
berdasarkan persyaratan ruang akan
kebisingan. Penerapan Arsitektur Ekologis
dalam analisis kebisingan yaitu (lihat Gambar
2): Tapak yang menghadap langsung ke jalan
dengan kebisingan tinggi diberi barrier berupa
vegetasi sebagai peredam bunyi.
Analisis matahari menghasilkan suatu konsep
bagaimana mengolah penataan vegetasi serta
pola tata massa bangunan dalam tapak serta
menentukan bagian bangunan yang
memerlukan bukaan serta barrier sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi matahari pada
tapak.
Gambar 3. Konsep Pencahayaan
Penerapan Arsitektur Ekologis dalam analisis
pencahayaan yaitu (lihat Gambar 3): Vegetasi
sebagai peneduh (barrier cahaya matahari)
disekitar bangunan; Memaksimalkan bukaan
pada arah cahaya matahari pagi; Menata
perletakkan kelompok ruang berdasarkan
kebutuhan akan pencahayaan alami; Bentuk
terasering dan pemecahan slab pada tower
mempermudah akses pencahayaan terhadap
bangunan; Cahaya matahari masuk ke dalam
bangunan melalui celah bangunan berupa ruang
publik hijau di setiap lantainya. Udara panas
akan naik ke atas melalui void di tengah
bangunan.
Analisis pergerakan arah angin adalah untuk
mengetahui pergerakan arah angin dari dan ke
dalam tapak, sehingga menghasilkan suatu
konsep mengenai bagaimana menata
perletakkan ruang dan bangunan yang
memerlukan penghawaan alami dan massa
bangunan dalam tapak agar tercipta jalur
sirkulasi yang baik dala tapak.
Gambar 4. Konsep Sirkulasi Angin
Penerapan Arsitektur Ekologis dalam analisis
sirkulasi angin yaitu (lihat Gambar 4):
Meletakkan ventilasi dengan jumlah yang
cukup pada setiap ruangan; Vegetasi sebagai
peneduh dan pembatas angin; Meninggikan
langit-langit pada area pengolahan untuk
mengurangi hawa panas.
3.4 Bentuk, Ruang, dan Tampilan
Bangunan
Penerapan Arsitektur Ekologis dalam analisis
bentuk pada Kampong Vertical Living yaitu
(lihat Gambar 5): Bentuk alam yaitu melingkar
dan melengkung, bersifat dinamis dan tidak
terkesan kaku; Setiap lantai terdapat ruang
terbuka/komunal untuk sosialisasi bagi warga
kampung.
Arsitektura, Vol. 17, No.1, April 2019: 67-76
74
Gambar 5. Konsep Bentuk & Gubahan Massa
Kampong Vertical Living
Penerapan Arsitektur Ekologis dalam analisis
bentuk pada Urban Vertical Farming yaitu
(lihat Gambar 6): Penerapan bentuk yang
menunjukkan bentuk alam yaitu tabung ber-
terasering bersifat dinamis dan tidak terkesan
kaku.
Gambar 6. Konsep Bentuk & Gubahan Massa
Urban Vertical Farming
Konsep tampilan ditentukan berdasarkan
kebutuhan ruang, estetika dan aplikasi teori
Arsitektur Ekologis. Sehingga menghasilkan
suatu konsep mengenai bagaimana menata
tampilan interior dan eksterior ruang
berdasarkan estetika dan fungsinya dengan
jelas.
Gambar 7. Konsep Makro Tampilan
Penerapan Arsitektur Ekologis dalam analisis
tampilan yaitu (lihat Gambar 7): Penggunaan
sun-shading sebagai double-facade untuk
menghalau sinar matahari yang berlebih;
Teritisan sebagai pemberi shading pada
bangunan untuk mengurangi panas dalam
bangunan; Memfasilitasi area pedestrian agar
tercipta lingkungan yang aman dannyaman bagi
pejalan kaki; Pengadaan elemen air dalam tapak
sebagai salah satu bentuk pengatur iklim pada
landscape bangunan; Pengolahan pada
hardscape bangunan menambah nilai estetika
dan kenyamanan.
Konsep zoning terdiri dari zona
penerima/umum, zona hunian, zona pertanian
berupa budidaya & pengolahan, zona
penunjang, & zona servis (lihat Gambar 8 & 9)
Gambar 8. Konsep Zoning Kampong Vertical
Living
Ageng Wiranti, Agus Heru Purnomo, Ana Hardiana, The Design Application of Ecological …
75
Gambar 9. Konsep Zoning Urban Vertical
Farming
Konsep vegetasi & material bangunan
ditentukan berdasarkan kebutuhan vegetasi
tertentu seperti vegetasi pembatas, peneduh,
penunjuk jalan, groundcover dan material
ramah lingkungan sesuai dengan keseimbangan
alam.
Gambar 10. Konsep Vegetasi & Material
Bangunan
Penerapan Arsitektur Ekologis dalam analisis
vegetasi & material bangunan yaitu (lihat
Gambar 10): Material ramah lingkungan yang
siklus pengadaannya tidak mengganggu
keseimbangan alam serta sebisa mungkin
menetapkan sistem reuse, reduce, recycle;
Material ramah lingkungan yang akan
diaplikasikan yaitu: paving, grassblock, batu
bata, lantai parket kayu, tanaman rambat pada
hand-railing, batu andesit, dinding lapisan
kayu, dll; Penerapan vegetasi pembatas,
peneduh, penunjuk, groundcover, dan
greenroof.
Penerapan Arsitektur Ekologis dalam sistem
tanam pada urban vertical farming yaitu (lihat
Gambar 11): Modul farming berbentuk
lingkaran memiliki diameter 4 meter. Sistem
yang digunakan berupa modifikasi sistem
hidroponik DFT (Deep Flow Technique) yang
didasarkan pada desain Vertigrow agar dapat
menghasilkan pangan lebih banyak dibanding
hidroponik konvensional; Untuk
memaksimalkan pencahayaan pada setiap sisi,
modul dapat berputar perlahan dengan
menggunakan dinamo listrik berdaya rendah;
Pipa air dimasukkan kedalam hollow frame
pada rak untuk menglirkan air. Air akan turun
mengaliri setiap tray dan kemudian air diputar
kembali menggunakan pompa berdaya rendah.
Gambar 11. Sistem Tanam pada Urban Vertical
Farming
Penerapan Arsitektur Ekologis dalam aplikasi
modul farming pada elemen arsitektur yaitu
(lihat Gambar 12): Aplikasi Farming pada
Dinding: menggunakan sekam sebagai media
tanam dan bioplastic sebagai pebatas antara
sekam dan tanaman.
Arsitektura, Vol. 17, No.1, April 2019: 67-76
76
Gambar 12. Aplikasi Modul Farming pada Elemen
Arsitektur
3.5 Struktur dan Utilitas
Sistem struktur yang digunakan berupa: sub-
structure yaitu pondasi basement dan pondasi
bore pile/ tiang pancang; supper-structure yaitu
struktur rigid frame beton; upper-structure
yaitu struktur dak beton. Sistem utilitas yang
digunakan berupa: sistem air bersih yitu sistem
up feet yang bersumber dari jaringan air bersih
kota (PDAM), sumur, air tanah, dan air bersih
hasi dari water treatment; sistem air buangan
menggunakan sistem greywater/water
treatment; sistem air kotor dengan proses
penampungan air kotor yang selanjutnya
diproses dalam reaktor bio-gas; sistem listrik
yang bersumber dari PLN dan genset; sistem
penghawaan alami berupa bukaan jendela dan
ventilasi; sistem transportasi dalam bangunan
yaitu tangga dan lift; sistem keamanan
bangunan berupa sprinkle air, indoor hydrant,
outdoor hydrant, & tangga darurat; sistem
pengelolaan sampah dengan memisahkan
sampah yang masih bisa didaur ulang dan
sampah yang tidak bisa didaur ulang; energi
terbarukan berupa panel surya dipasang pada
bagian terluar atap.
4. KESIMPULAN
Menurut hasil analisis yang telah dibahas
diatas, berikut ini adalah konsep desain
Integrated Kampong Vertical Living dan Urban
Vertical Farming dengan pendekatan
Arsitektur Ekologis yang diterapkan di
dalamnya yaitu: Desain yang beradaptasi
dengan lingkungan, meliputi sirkulasi
pedestrian dan kendaraan yang mampu
menghubungkan antara satu bangunan dengan
yang lainnya, memaksimalkan bukaan pada
bentuk terasering dan pemecahan slab tower
untuk mempermudah akses pencahayaan
terhadap bangunan, meletakkan ventilasi yang
cukup; Pemanfaatan sumber daya energi dan
alam, meliputi pemanfaatan vegetasi pada
landscaping sebagai peneduh dan pembatas
angin, dan penerapan aplikasi modul farming
hidroponik sederhana pada elemen arsitektur;
Keseimbangan sistem bangunan dengan alam,
meliputi penerapan bentuk yang menunjukan
bentuk alam yang dinamis seperti lingkaran dan
terasering, penggunaan beberapa material alami
seperti kayu dan batu alam.
REFERENSI
Amna, Lailatul, Tri Yuni Iswati, & Edi
Pramono Singgih. (2017). Penerapan
Arsitektur Ekologi Dalam Perancangan
Pusat Penelitian Agrikultur Di Kabupaten
Sragen. Arsitektura Universitas Sebelas
Maret, 15 No.2
Badan Pusat Statistik D.I.Y. (2014). Daerah
Istimewa Yogyakarta Dalam Angka.
Badan Pusat Statistik D.I.Y. (2016-2017).
Statistik Lingkungan Hidup Daerah
Yogyakarta
Despommier, Dickson. (2013). Farming up the
city: The Rise of Urban Vertical Farms.
Frick, Heinz. (2007). Dasar-Dasar Arsitektur
Ekologis. Yogyakarta: Kanisius.
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No.1.
(2007). Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah (RPJPD)
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No.1.
(2015). Rencana Detail Tata Ruang dan
Peraturan Zonasi Kota Yogyakarta (RDTR)
Tahun 2010-2035.
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No.2.
(2010). Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Yogyakarta (RTRW) Tahun 2010-2029.
Suminar, El Yanno, Marsudi, &
Kusumaningdyah Nurul Handayani. (2016)
Kalianyar Vertical Kampong With
Behavior Architecture in Jakarta.
Arsitektura Universitas Sebelas Maret, 14
No.1