Author
others
View
12
Download
4
Embed Size (px)
DISERTASI
STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN
DI KABUPATEN KLUNGKUNG PROVINSI BALI
I GUSTI NENGAH DARMA DIATMIKA
NIM : 1090671008
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan pokok dalam proses
pembangunan yang cukup kompleks dan kronis serta tidak terbatas pada dimensi
ruang dan waktu. Resistensi kemiskinan bukan hanya terjadi pada aspek ekonomi
namun juga sosial, budaya, politik dan kelembagaan yang terjadi secara persisten.
Persoalan kemiskinan menjadi isu utama pembangunan terutama di negara-negara
sedang berkembang termasuk di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk hampir
220 juta jiwa. Persebaran kantong kemiskinan bukan hanya terjadi diwilayah
pedesaan namun juga di perkotaan terutama kota-kota besar yang masih massive
dengan mobilitas penduduk dari wilayah lainnya dan mendatangkan sejumlah
persoalan terutama kebutuhan akan kesempatan kerja.
Dinamika kemiskinan di Indonesia sampai dengan Maret 2012, tingkat
kemiskinan menurun menjadi 11.96 persen atau 29.13 juta jiwa. Pada periode
sebelumnya sampai dengan Maret 2011, tingkat kemiskinan nasional menurun
hingga 12,49 persen, dari 13,33 persen pada tahun 2010. Selanjutnya, pada periode
September 2011, tingkat kemiskinan menurun menjadi 12,36 persen
(http://bappenas.go.id).
Konsentrasi terbesar dari penduduk miskin sebesar 57,8 persen berada di
pulau Jawa. Kemudian 21 persen di Sumatera, 7,5 persen di Sulawesi, 6,2 persen di
Nusa Tenggara, 4,2 persen di Maluku dan Papua dan angka terkecil sebesar 3,4
2
persen tersebar di Kalimantan (http://bappenas.go.id). Pemusatan kantong
kemiskinan di Pulau Jawa erat kaitannya dengan pola persebaran penduduk yang
sebagian besar berada di Jawa. Pemusatan kantong kemiskinan di Pulau Jawa
berdampak pada rentannya penduduk terhadap krisis ekonomi sehingga
meningkatkan jumlah penduduk miskin.
Kemiskinan menjadi permasalahan yang persisten dan bersifat multidimensi
yang memerlukan upaya penanganan secara serius. Secara umum, kondisi
kemiskinan ditandai dengan kerentanan, ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan
dalam menyampaikan aspirasi dan kebutuhan. Kemiskinan merupakan integrated
concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (poverty), 2)
ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat, 4)
ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis
maupun sosiologis. Kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan masalah kesejahteraan
masyarakat, namun juga terkait dengan aspek lainnya seperti akses infrastruktur
dasar dan peluang kerja. Hidup dalam kemiskinan bukan hanya dilihat dari tingkat
pendapatan rendah, tetapi juga ditentukan faktor lain seperti tingkat kesehatan,
pendidikan rendah, perlakuan hukum, kerentanan terhadap tindak kriminal,
ketidakberdayaan kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan
hidupnya sendiri.
Penyebab kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan dalam pola
kepemilikan sumber daya yang menimbulkan ketimpangan distribusi pendapatan,
penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah yang terbatas dan
kualitasnya rendah. Kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumber daya
3
manusia rendah, sehingga produktivitas dan upah rendah (Kuncoro, 2006). Menurut
Chambers dalam Bayo (1996), beberapa hal yang melingkari masyarakat miskin
yaitu kerentanan, ketidakberdayaan, lemahnya ketahanan fisik dan keterisolasian.
Masalah kerentanan (vulnerability) yaitu ketidakmampuan keluarga miskin
menghadapi situasi darurat atau guncangan yang dapat menyebabkan turunnya
tingkat kesejahteraan, seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pekerjaan tidak
tetap, bencana alam, dan berbagai musibah lainnya. Masalah ketidakberdayaan yang
tercermin dalam ketidakmampuan dalam menghadapi elit dan para birokrasi dalam
menentukan keputusan yang menyangkut nasibnya, tanpa memberi kesempatan
untuk mengaktualisasi dirinya. Lemahnya ketahanan fisik karena rendahnya
konsumsi pangan baik kualitas maupun kuantitas sehingga konsumsi gizi sangat
rendah yang berakibat pada rendahnya produktivitas. Masalah keterisolasian
tercermin dari kantong-kantong kemiskinan yang sulit dijangkau maupun
ketertutupan dalam integrasi masyarakat miskin dengan masyarakat lainnya karena
perbedaan akses dan modal.
Pengentasan kemiskinan dalam tataran kebijakan masih menjadi agenda
utama bagi Pemerintah baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta
stakeholder terkait lainnya. Tak terkecuali Provinsi Bali sebagai wilayah yang
menjadi salah satu episentrum pariwisata di Indonesia, hingga saat ini juga
memberikan prioritas penting dalam pengentasan kemiskinan daerah. Provinsi Bali
dengan luas wilayah mencapai 5.636,66 Km2 memiliki jumlah penduduk 3.572.831
jiwa dan kepadatan penduduk 634 jiwa/Km2.
4
Jumlah penduduk di Provinsi Bali berdasarkan hasil registrasi tahun 2011
tercatat sebanyak 3.643.472 jiwa yang mengalami kenaikan pada tahun 2013 yaitu
menjadi 4.056.300 jiwa. Diantara kabupaten/kota yang ada di Bali, pada tahun 2011
kabupaten Buleleng yang memiliki penduduk terbesar yaitu 675.513 atau 18,54
persen dari seluruh jumlah penduduk Bali, namun pada tahun 2013, Kota Denpasar
memiliki jumlah penduduk terbesar yaitu 846.200 jiwa.
Tabel 1.1
Jumlah Penduduk Provinsi Bali
Kabupaten/Kota Tahun 2011 Tahun 2013
Jumlah Laki-Laki Perempuan Jumlah
Jembrana 273.918 133.000 135.000 268.000
Tabanan 437.679 213.800 216.800 430.600
Badung 399.861 300.400 288.600 589.000
Gianyar 473.535 245.400 240.600 486.000
Klungkung 186.488 86.000 87.900 173.900
Bangli 216.017 111.200 108.800 220.000
Karangasem 448.537 202.200 202.100 404.300
Buleleng 675.513 318.000 320.300 638.300
Denpasar 531.924 432.000 414.200 846.200
Jumlah 3.643.472 2.042.000 2.014.300 4.056.300
Sumber : Bali dalam Angka, 2014
Sementara laju pertumbuhan ekonomi tahun 2013 di Provinsi Bali tercatat
mengalami perlambatan sebesar 6,05 persen dibandingkan dengan tahun 2012 yaitu
6,65 persen. Sedangkan jumlah penduduk miskin di Provinsi Bali tahun 2013
mengalami tren peningkatan menjadi 182.770 jiwa dibandingkan tahun 2012 yaitu
160.800 jiwa. Oleh karena itu masih banyaknya jumlah penduduk miskin di Provinsi
Bali menjadi perhatian utama Pemerintah Daerah dalam prioritas dalam program
pembangunan daerah terkait dengan pengentasan kemiskinan.
5
Sumber : Bali dalam Angka, 2014 (http://bali.bps.go.id)
Gambar 1.1
Laju Pertumbuhan Ekonomi dan Penduduk Miskin Provinsi Bali
Secara spasial pada wilayah kabupaten selama tahun 2013, Kabupaten
Buleleng memiliki jumlah penduduk miskin tertinggi yaitu 40.321 jiwa dan
Kabupaten Klungkung dengan jumlah penduduk miskin terendah yaitu 12.210 jiwa
namun secara persentase penduduk miskin Kabupaten Klungkung menempati urutan
ketiga tertinggi di Provinsi Bali yaitu 7,01 persen diikuti Kabupaten Karangasem dan
Buleleng. Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Klungkung mengalami
peningkatan pada tahun 2013 dibandingkan dengan tahun 2012 dengan jumlah
penduduk miskin mencapai 9.400 jiwa, sementara untuk tahun 2011 mencapai
10.700 jiwa.
6
Tabel 1.2
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Bali 2011-2013
Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk Miskin
(Jiwa)
Persentase Penduduk
Miskin Terhadap Jumlah
Penduduk
(Persen)
Jembrana 17.600 15.500 14.924 6,56 5,74 5,56
Tabanan 24.200 21.300 22.488 5,62 4,90 5,21
Badung 14.600 12.800 14.546 2,62 2,16 2,46
Gianyar 26.000 22.900 20.802 5,40 4,69 4,27
Klungkung 10.700 9.400 12.210 6,10 5,37 7,01
Bangli 11.400 10.000 12.000 5,16 4,52 5,45
Karangasem 26.100 22.900 27.848 6,43 5,63 6,88
Buleleng 37.900 33.300 40.321 5,93 5,19 6,31
Denpasar 14.500 12.700 17.631 1,79 1,52 2,07
Provinsi Bali 183.000 160.800 182.770 4,62 4,01 4,51
Sumber : Bali dalam Angka, 2014 (http://bali.bps.go.id)
Sementara bila dilihat dari adanya Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)
Kabupaten Klungkung selama periode 2011 hingga 2013, secara umum mengalami
peningkatan dari 0,66 pada tahun 2011 menjadi 0,79 pada tahun 2013. Pada tahun
2013, Indeks Kedalaman Kemiskinan Kabupaten Klungkung menempati posisi
tertinggi ketiga setelah Kabupaten Karangasem dan Buleleng. Hal ini menunjukkan
bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung menjauhi garis kemiskinan
atau tingkat kemiskinan cukup dalam. Hal yang sama ditunjukkan oleh Kabupaten
lainnya yang juga menunjukkan tren meningkat. Sedangkan Indeks Keparahan
Kemiskinan (P2) Kabupaten Klungkung selama periode 2011 hingga 2013, secara
umum menunjukkan tren menurun meskipun pada tahun 2012 mengalami kenaikan
sebesar 0,05 dari 0,11 menjadi 0,16 pada tahun 2012. Sedangkan tahun 2013
mengalami kenaikan menjadi 0,14. Hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan
pengeluaran diantara masyarakat miskin Kabupaten Klungkung semakin kecil.
7
Tabel 1.3
Indeks Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan Provinsi Bali
Kabupaten/Kota Indeks Kedalaman
Kemiskinan (P1)
Indeks Keparahan
Kemiskinan (P2)
2011 2012 2013 2011 2012 2013
Jembrana 0,78 0.89 0,68 0,13 0,19 0,13
Tabanan 0,71 0,34 0,78 0,12 0,05 0,19
Badung 0,27 0,33 0,27 0,05 0,08 0,06
Gianyar 0,45 0,47 0,45 0,06 0,08 0,09
Klungkung 0,66 0,77 0,79 0,11 0,16 0,14
Bangli 0,61 0,58 0,38 0,14 0,10 0,04
Karangasem 0,97 0,65 0,98 0,22 0,15 0,20
Buleleng 0,61 0,62 0,85 0,11 0,11 0,17
Denpasar 0,27 0,19 0,29 0,08 0,04 0,08
Provinsi Bali 0,62 0,39 0,70 0,13 0,07 0,16
Sumber : Bali dalam Angka, 2014 (http://bali.bps.go.id)
Secara statistik pada tahun 2013, Kabupaten Klungkung memiliki jumlah
penduduk mencapai 173.900 jiwa. Penyebaran penduduk tidak merata di empat
kecamatan yaitu 73,93 persen berada di daratan Klungkung yaitu Banjarangkan,
Dawan dan Klungkung sedangkan 26,07 persen berada di Kepulauan Nusa Penida
yaitu Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan. Adapun jumlah penduduk
di masing-masing kecamatan yaitu Nusa Penida 45.340 jiwa, Banjarangkan 38.150
jiwa, Klungkung 56.570 jiwa dan Dawan 33.840 jiwa. Sehingga terdapat
ketimpangan kepadatan penduduk di empat kecamatan dengan kepadatan per
kilometer persegi di Kecamatan Nusa Penida 224 jiwa, Banjarangkan 834 jiwa,
Klungkung 1.947 jiwa dan Dawan 905 jiwa pada tahun 2013 (BPS, 2014).
Sebaran persentase penduduk miskin berdasarkan data Survei Sosial
Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2009 di Kabupaten Klungkung sebesar 5,23
persen dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 5,33 persen. Upaya pengentasan
kemiskinan di Kabupaten Klungkung dilakukan melalui Rumah Tangga Sasaran
8
(RTS) sebagai jangkauan program berdasarkan wilayah yaitu dusun, desa,
kecamatan, Kabupaten/Kota. Berdasarkan pendataan rumah tangga sasaran tahun
2008, terdapat 7.988 rumah tangga dengan persentase 17,55 persen. Rata-rata rumah
tangga sasaran terendah di Kecamatan Dawan yaitu 11,17 persen dan yang tertinggi
berada di kecamatan Nusa Penida yaitu 31,96 persen.
Tabel 1.4
Jumlah Rumah Tangga Sasaran (RTS) Kabupaten Klungkung Tahun 2013
Kecamatan Jumlah Rumah
Tangga
(RT)
Jumlah Rumah
Tangga Sasaran
(RTS)
Persentase RTS
Terhadap Total
RT
(Persen)
Nusa Penida 12.711 5.857 46,08
Banjarangkan 8.862 1.971 22,24
Klungkung 13.689 2.129 15,55
Dawan 8.393 1.488 17,73
Jumlah 43.655 11.445 26,22
Sumber : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Klungkung, 2014
Kemiskinan di Kabupaten Klungkung tidak terlepas dari kondisi geografis
yang merupakan kabupaten dengan luas terkecil kedua di Propinsi Bali setelah kota
Denpasar dan satu-satunya kabupaten yang memiliki 4 (empat) pulau yaitu Bali,
Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan. Permukaan tanah pada
umumnya bergelombang bahkan sebagian besar berupa bukit-bukit terjal yang kering
dan tandus terutama di Pulau Nusa Penida sehingga Pulau Nusa Penida memiliki
jumlah masyrakat miskin terbanyak di Kabupaten Klungkung. Namun kondisi
perairan Nusa Penida yang arusnya tidak deras sangat potensial untuk budidaya
rumput laut dan perikanan laut.
Tingginya tingkat kedalaman kemiskinan (P1) di Kabupaten Klungkung
bertolak belakang dengan kondisi makroekonomi regional Kabupaten Klungkung
9
yang menunjukkan kemajuan sebagai salah satu daerah tujuan pariwisata yang secara
ekonomi memberikan efek pengganda dalam perekonomian daerah. Laju
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Klungkung atas dasar harga konstan pada tahun
2013 sedikit mengalami perlambatan yaitu 5,71 persen lebih rendah dibandingkan
tahun 2012 yaitu 6,04 persen. Namun laju pertumbuhan ekonomi atas harga berlaku
tahun 2013 mengalami kenaikan menjadi 11,57 persen lebih tinggi dari tahun 2012
yaitu 10,54 persen. Sementara perkembangan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) atas dasar harga konstan pada tahun 2013 mengalami peningkatan menjadi
1.551.108,64 Juta Rupiah dari sebelumnya tahun 2012 adalah sebesar 1.467.352,42
Juta Rupiah. Distribusi PDRB Kabupaten Klungkung masih didominasi oleh sektor
pertanian dan perdagangan serta jasa (BPS, 2014).
Sementara bila dilihat dari indikator sosial pembangunan Kabupaten
Klungkung, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2013 sebesar 72,25 berada
pada urutan kedelapan setelah Kabupaten Bangli dengan IPM 72,28. IPM Kabupaten
Klungkung Tahun 2013 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2012 yaitu
71,76 (http://klungkungkab.bps.go.id). Beberapa indikator untuk mengukur IPM
Kabupaten Klungkung adalah Angka Harapan Hidup pada tahun 2013 adalah 69,52,
Angka Melek Huruf 84,47 persen, Rata-rata Lama Sekolah 7,43 tahun dan Paritas
Daya Beli Rp. 661.730,- (BPS, 2014). Kondisi ini menggambarkan bahwa kualitas
hidup masyarakat Kabupaten Klungkung mengalami peningkatan meskipun pada
urutan terbawah kedua setelah Kabupaten Karangasem.
Berangkat dari fenomena tingkat keparahan kemiskinan di Kabupaten
Klungkung menuntut Pemerintah Daerah memberikan prioritas program pengentasan
10
kemiskinan menjadi agenda utama dalam rencana pembangunan menengah dan
panjang. Program pengentasan kemiskinan juga diarahkan untuk mencapai
Millenium Development Goals (MDGs) dimana penduduk miskin di masing-masing
negara diharapkan turun hingga mencapai 50 persen pada tahun 2015.
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Klungkung dalam pengentasan kemiskinan
diarahkan pada dimensi pokok yaitu kurangnya kesempatan, rendahnya kemandirian
dan kemampuan, rendahnya sumberdaya masyarakat dan partisipasi, lemahnya
jaminan atau perlindungan sosial. Maka pola kebijakan pengentasan kemiskinan
yang digunakan adalah melalui kebijakan perluasan kesempatan oleh pemerintah
bersama swasta dan masyarakat, kebijakan pemberdayaan masyarakat, kebijakan
pengembangan kapasitas dan kebijakan perlindungan sosial (Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kabupaten Klungkung, 2012).
Bergulirnya implementasi berbagai program pengentasan kemiskinan baik
dari Pemerintah maupun lembaga lainnya dalam tataran empiris seringkali belum
membawa perubahan kondisi masyarakat miskin secara signifikan. Hal ini ditandai
dengan masih banyaknya masyarakat miskin yang tetap sangat rentan terhadap
perubahan ekonomi, sosial dan politik serta bencana alam yang terjadi diberbagai
daerah. Adanya program bantuan sosial yang bukan bersifat pemberdayaan
menyebabkan tingginya tingkat ketergantungan. Beberapa sumber kelemahannya
antara lain adalah kebijakan yang masih bersifat sentralisasi, yang lebih
memfokuskan pada pertumbuhan makroekonomi, pandangan kemiskinan yang
berorientasi ekonomi, penempatan masyarakat sebagai obyek, dan anggapan bahwa
11
masalah dan pengelolaan kemiskinan bersifat seragam di seluruh daerah (Gonner et
al, 2007).
Program-program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat
antara lain adalah Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), PPK (Program
Pengembangan Kecamatan) yang dilaksanakan Departemen Dalam Negeri, P2KP
(Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan) yang dilaksanakan Departemen
Pekerjaan Umum, P4K (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil)
yang dilaksanakan Departemen Pertanian, PEMP (Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat Pesisir) yang dilaksanakan Departemen Kelautan dan Perikanan, KUBE
(Kelompok Usaha Bersama) yang dilaksanakan Departemen Sosial, dan lain-lain.
Program-program tersebut berjalan secara parsial menurut kebijakan Departemen
yang bersangkutan, tidak terintegrasi, parsial dan sektoral. Beberapa faktor penyebab
kegagalan program antara lain adalah pendekatan target dan bersifat top-down dan
kurang memperhatikan nilai-nilai lokal dan partisipasi masyarakat.
Implementasi otonomi daerah yang merupakan reformasi desentralisasi,
memberikan ruang gerak kepada pemerintah daerah dalam wewenang politik dan
kekuasaan pengambilan keputusan yang lebih besar dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah daerah memiliki peranan yang
lebih besar dalam pengentasan kemiskinan dan perbaikan kesejahteraan di daerah.
Pemerintah Daerah berperan untuk menyelesaikan masalah-masalah khas didaerah
sesuai dengan persepsi dan prioritas daerah dan mengevaluasi intervensi atau
program di daerah.
12
Efektivitas program pengentasan kemiskinan daerah ditentukan oleh
kejelasan dalam menentukan kelompok sasaran masyarakat miskin dan identifikasi
penyebab kemiskinan sebagai akar permasalahan timbulnya kemiskinan. Berbagai
bantuan yang diberikan tidak sepenuhnya memberikan pengaruh positif yang
signifikan terhadap pengentasan kemiskinan yang disebabkan karena kelompok
masyarakat yang tidak tepat sasaran dan belum menyentuh pada akar permasalahan
atau indikator kemiskinan tiap daerah.
Merujuk pada penggunaan indikator kemiskinan yang digunakan oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) mengukur kemiskinan di suatu wilayah meliputi
ketidakmampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan makan dan non
makanan yang minimal. Penggunaan indikator pengukuran dari Badan Pusat Statistik
yang mencakup 14 kriteria akan berbeda implikasinya pada tiap daerah sehingga
beberapa pendekatan atau pengukuran kemiskinan dianggap memiliki beberapa
kelemahan antara lain 1) tidak menggambarkan spesifik-lokal (seperti kondisi
perumahan dan preferensi makanan); 2) tidak menyentuh konteks kemiskinan (antara
lain tidak ada di antara 14 kriteria yang menyentuh konteks sosial); 3) data yang ada
sering kontradiktif dan 4) tidak terkait dengan pengurangan kemiskinan atau
perencanaan pembangunan (Cahyat et al, 2007). Perbedaan indikator pengukuran
kemiskinan akan berimplikasi pada konsep kemiskinan dan kesejahteraan yang
diperlukan untuk menghubungkan aktifitas pemantauan dan perencanaan secara lebih
baik. Maka konsep kemiskinan lebih merupakan suatu situasi dimana seseorang atau
rumah tangga mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar sementara
13
lingkungan pendukungnya kurang memberikan peluang untuk meningkatkan
kesejahteraan secara berkesinambungan untuk keluar dari kerentanan kemiskinan.
Pemetaan dan strategi pengentasan kemiskinan di Kabupaten Klungkung
dalam studi ini lebih menekankan pada pendekatan penggunaan indikator kemiskinan
yang terbentuk dari kesejahteraan subyektif, dan dikelilingi oleh aspek inti
kemiskinan, yang meliputi kebutuhan dasar, dan lingkungan pendukung kontekstual
yang merupakan sarana untuk keluar dari kemiskinan. Kesejahteraan subyektif
bersifat sangat individu dan emosional. Kesejahteraan ini tidak memiliki nilai
konstan, tetapi berubah-ubah sesuai dengan suasana hati dan lingkungan.
Inti model mencakup kebutuhan dasar seperti makanan, kesehatan,
perumahan dan pendidikan. Yang juga tercakup adalah kapabilitas individu secara
umum (yakni, kecakapan dan kondisi fisik) untuk keluar dari kemiskinan. Kebutuhan
dasar dan kapabilitas individu digabung menjadi tiga kategori yaitu kesehatan, materi
dan pengetahuan (formal, informal atau tradisional). Konteks terdiri dari lima
lingkungan. Lingkungan alam mencakup ketersediaan dan kualitas sumber daya
alam. Lingkungan ekonomi mencakup kesempatan ekonomi dan jaring pengaman.
Aspek-aspek seperti kapital dan kohesi sosial, rasa saling percaya dan konflik,
membangun lingkungan sosial. Lingkungan politik terdiri dari hak dan partisipasi
atau representasi dalam pengambilan keputusan, pemberdayaan dan kebebasan.
Lingkungan konteks mempengaruhi keempat lingkungan konteks yang lain yaitu
prasarana dan pelayanan dimana lingkungan ini sebagian besar didukung oleh badan-
badan pemerintah, LSM, proyek pembangunan dan sektor swasta. Konteks adalah
14
lingkungan pendukung yang mendukung upaya-upaya inisiatif sendiri untuk keluar
dari kemiskinan (Cahyat et al, 2007).
Kajian mengenai kemiskinan di berbagai negara dan daerah telah banyak
dilakukan dengan menggunakan indikator dan metode pendekatan pengentasan yang
berbeda-beda. Beberapa kajian kemiskinan di berbagai negara antara lain studi
Fukuda (2004) di Zambia, dimana penyebab kemiskinan bukan hanya karena tata
pemerintahan (poor governance) dan kondisi makroekonomi yang buruk namun juga
karena lemahnya persaingan utamanya ekspor di pasar global. Oleh karena itu
diperlukan adanya investasi dalam pendidikan dan kesehatan, infrastruktur, pertanian
dan manufaktur. Studi Khan (2008) tentang penyebab kemiskinan di Pakistan yang
disebabkan karena degradasi lingkungan. Dan strategi pengentasan kemiskinan
melalui pendekatan kelembagaan diantaranya adalah eco-labelling, organic practice,
fair trade dan sebagainya.
Studi Tiwari (2009), berbeda dengan studi lainnya, studi ini lebih
menekankan pengaruh wellbeing atau perilaku masyarakat miskin di Dhar District
Madhya Pradesh India selama tahun 2007. Penyebab kemiskinan dalam level
grassroots bersifat multidimensi dan kemiskinan lebih pada isu ekonomi terutama
dalam kerentanan pemenuhan kebutuhan hidup serta kurangnya peran pemerintah
dalam mengatasi kemiskinan yang masih ditandai dengan tingginya korupsi. Begitu
halnya dengan masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat dan tingginya angka
buta huruf. Dan pengaruh politik dan isu nasional memiliki korelasi dengan
perspektif kemiskinan.
15
Yunus (1998) mengenai keterbatasan ekonomi dalam mengatasi kemiskinan
yang mengabaikan faktor sosial, dengan model bipolar melalui pembentukan
lembaga keuangan mikro Grameen Bank yang memiliki tujuan dalam memperoleh
laba sekaligus juga manfaat sosial dan memberikan dampak positif dalam mengatasi
kemiskinan. Dewilde (2004), mengukur kemiskinan di Belgia dan Inggris dengan
indikator moneter dan non-moneter. Dengan menggunakan pengukuran latent class
dengan data multidimensi dan hasilnya menunjukkan adanya multiple deprivation.
Sedangkan beberapa kajian kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan
spesifik-lokal antara lain adalah studi Gonner et al (2007) yang melakukan studi
pemetaan di Kabupaten Kutai Barat pada awal tahun 2006 dengan menggunakan
model nested spheres of poverty (NESP) yang mencerminkan ciri khas lokal.
Beberapa temuan adalah secara rata-rata, hampir sepertiga dari seluruh rumah tangga
hidup dalam kondisi kesejahteraan yang kritis. 52,1 persen rumah tangga sampel
mengatakan bahwa mereka hidup dalam kemiskinan. Pengetahuan dari 45,2 persen
rumah tangga ada dalam kondisi kritis. Hampir setiap satu dari empat rumah tangga
mengalami kesulitan akses terhadap layanan kesehatan dan gizi. Penyebab
kemiskinan dapat ditemukan dalam rumah tangga sendiri, seperti tingkat pendidikan
yang rendah atau lemahnya wawasan dalam membelanjakan pendapatan tunai. Studi
Haug (2007) mengenai kemiskinan di Kutai Barat sejalan yang dilakukan Gonner et
al (2007). Tujuan utama studi adalah mengungkap dampak otonomi daerah terhadap
kesejahteraan masyarakat Dayak Benuaq di Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Pattinama (2009) dalam studinya mengenai konsep kemiskinan dan
pengamatan ke lokasi penelitian untuk mendeteksi penduduk miskin itu. Kemudian
16
mencari alternatif kebijakan yang sesuai dengan kondisi spesifik lokal untuk
menanggulangi kemiskinan, dan akhirnya menggali serta memahami kearifan
penduduk lokal dalam hubungannya dengan upaya preventif untuk menanggulangi
kemiskinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep kemiskinan bersifat
banyak sisi atau multifaset. Orang Bupolo dan petani Surade sama-sama mengolah
lahan sempit. Petani Surade miskin karena tidak mempunyai lahan atau memiliki
lahan tetapi dengan skala usaha yang relatif kecil. Orang Bupolo memiliki tanah
yang relatif luas tetapi mempunyai keterbatasan akses pada teknologi, hidup
terisolasi karena tidak mempunyai akses terhadap sarana dan prasarana sosial
ekonomi maupun komunikasi, sehingga mereka hidup miskin dan hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Dalam studi Pattinama (2009) bahwa
definisi kemiskinan perlu diperluas meliputi akses terhadap infrastruktur sosial
ekonomi, keluar dari keterisolasian, ketidakberdayaan, dan kebebasan mengeluarkan
pendapat, serta memperoleh keadilan dalam pembangunan. Kemiskinan tidak bisa
didefinisikan secara tunggal yakni dari hanya sudut pandang pemenuhan kebutuhan
kalori semata sebagaimana yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) selama ini,
karena pada hakekatnya definisi kemiskinan tidak hanya bersifat relatif tetapi juga
dinamis.
1.2 Rumusan Masalah
Upaya pengentasan kemiskinan di Kabupaten Klungkung dilakukan melalui
Rumah Tangga Sasaran (RTS) sebagai jangkauan program berdasarkan wilayah.
Rumah Tangga Sasaran (RTS) berdasarkan hasil validasi Program Perlindungan
Sosial (PPLS) tahun 2012 memberikan kategori masyarakat miskin dalam tiga
17
kelompok yaitu kelompok satu adalah rumah tangga di bawah 1,2 garis kemiskinan,
kelompok dua adalah rumah tangga diantara 1,2 hingga 1,5 garis kemiskinan dan
kelompok tiga adalah rumah tangga berada di antara 1,5 hingga 1,7 garis kemiskinan.
Kelompok satu adalah sasaran prioritas terutama untuk program yang bersifat
bantuan dan perlindungan sosial, sementara kelompok dua dan tiga adalah kelompok
yang rentan miskin (Bappeda Kabupaten Klungkung, 2013).
Berdasarkan pendataan rumah tangga sasaran tahun 2011, terdapat 11.445
rumah tangga dan Indeks keparahan kemiskinan (P2) Kabupaten Klungkung tahun
2013 adalah 0,14 dan indeks kedalaman kemiskinan (P1) sebesar 0,79. Berangkat
dari fenomena tingkat kedalamam kemiskinan di Kabupaten Klungkung menuntut
Pemerintah Daerah memberikan prioritas program pengentasan kemiskinan menjadi
agenda utama dalam rencana pembangunan menengah dan panjang.
Efektivitas program pengentasan kemiskinan daerah ditentukan oleh
kejelasan dalam menentukan kelompok sasaran masyarakat miskin dan identifikasi
penyebab kemiskinan sebagai akar permasalahan timbulnya kemiskinan. Berbagai
bantuan yang diberikan tidak sepenuhnya memberikan pengaruh positif yang
signifikan terhadap pengentasan kemiskinan yang disebabkan karena kelompok
masyarakat yang tidak tepat sasaran dan belum menyentuh pada akar permasalahan
atau indikator kemiskinan tiap daerah.
Maka perlu kiranya dilakukan kajian mengenai identifikasi masyarakat
miskin, penyebab dan dapat dirumuskan upaya pengentasannya di Provinsi Bali
khususnya di Kabupaten Klungkung sehingga pemerintah daerah dapat memperoleh
informasi yang sesuai dengan kondisi sebenarnya dan dapat memprioritaskan
18
program pengentasan kemiskinan. Sehingga rumusan masalah yang akan dikaji
dalam penelitian ini adalah:
1) Bagaimana kondisi riil kemiskinan di Kabupaten Klungkung?
2) Apa yang menjadi determinan utama kemiskinan di Kabupaten Klungkung
berdasarkan hasil pemetaan kondisi riil kemiskinan?
3) Bagaimana potensi yang dimiliki wilayah dan masyarakat miskin di
Kabupaten Klungkung dalam upaya menghadapi kerentanan kemiskinan?
4) Sejauhmana efektivitas kebijakan pemerintah Kabupaten Klungkung dalam
pengentasan kemiskinan baik yang telah dan sedang berjalan?
5) Bagaimana strategi pengentasan kemiskinan di Kabupaten Klungkung
berdasarkan hasil pemetaan dan identifikasi potensi masyarakat?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah :
1) Mendeskripsikan kondisi riil kemiskinan di Kabupaten Klungkung dengan
menggunakan indikator lokal sehingga diagnosa kemiskinan tiap daerah akan
berbeda dan berimplikasi pada pendekatan kebijakan yang berbeda pula
untuk tiap daerah.
2) Mengidentifikasi determinan kemiskinan di Kabupaten Klungkung
berdasarkan hasil pemetaan kondisi riil kemiskinan.
3) Mengidentifikasi potensi yang dimiliki wilayah dan masyarakat miskin di
Kabupaten Klungkung sebagai upaya untuk menghadapi kerentanan
kemiskinan sehingga masyarakat dapat keluar dari lingkaran kemiskinan.
19
4) Mengetahui efektivitas kebijakan pengentasan kemiskinan di Kabupaten
Klungkung dalam hubungannya dengan perubahan perbaikan kesejahteraan
masyarakat miskin.
5) Merumuskan strategi pengentasan kemiskinan yang dapat digunakan sebagai
preskripsi atau informasi mengenai alternatif program penanganan
kemiskinan di Kabupaten Klungkung.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan akan diperoleh dari penelitian ini adalah :
1) Manfaat teoritis adalah sebagai berikut.
a) Penelitian ini dapat menjadi referensi dalam pengembangan model dan
indikator dalam pendekatan pengentasan kemiskinan yang sesuai dengan
spesifik lokal masing-masing daerah.
b) Penelitian ini dapat memperkaya khazanah pengetahuan dan riset terkait
dengan masalah kemiskinan dan strategi pengentasan kemiskinan di
berbagai daerah.
2) Manfaat praktis adalah sebagai berikut.
a) Bagi Pemerintah Provinsi Bali, Pemerintah Kabupaten Klungkung
khususnya dan pihak terkait diharapkan hasil studi ini dapat menjadi
masukan didalam menentukan strategi pengentasan kemiskinan secara
lebih komprehensif dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
b) Bagi masyarakat diharapkan akan mewujudkan suatu keberlangsungan
hidup yang lebih sejahtera, adil, makmur dan memenuhi standar terutama
dalam menghadapi kerentanan kemiskinan.
21
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Pengertian Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai proses peningkatan riil PDB (Produk
Domestik Bruto) per kapita dari waktu ke waktu dan kedua dikatakan berhasil kalau
secara obyektif menunjukkan peningkatan per kapita dari meningkatnya upah riil
serta pendapatan yang mengarah ke standar hidup yang lebih baik atau tinggi. Bishop
et al (2011). Pertumbuhan ekonomi yaitu peningkatan nyata atau riil dalam
pendapatan per kapita dan lembaga-lembaga sosial serta politik yang diperlukan
untuk mendukung ekspansi ekonomi nasional. Perubahan ini ditandai oleh
tumbuhnya sektor industri dengan pangsa pasar pertanian menurun dari PDB dan
perubahan signifikan dalam pertumbuhan penduduk, migrasi pedesaan ke perkotaan
serta memberikan kesempatan kerja. Perkins et al (2010). Pertumbuhan ekonomi
menunjukkan perubahan tingkat kegiatan ekonomi Nasional yang terjadi dari tahun
ke tahun. Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan GDP atau GNP (Gross
Domestic Product/Gros Nasional Produk) tanpa memandang apakah kenaikkan itu
lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk dan atau terjadi
perubahan struktur ekonomi dan perbaikan sistem kelembagaan atau tidak (Adelman,
1975 dalam Arsyad 2010).
22
Pertumbuhan Ekonomi adalah bagian dari teori ekonomi yang berusaha untuk
menjelaskan dan berharap untuk memprediksi tingkat dimana ekonomi suatu negara
akan tumbuh dari waktu ke waktu. Pertumbuhan ekonomi cenderung memusatkan
upaya untuk menganalisis dan menjelaskan penyimpangan dan arah pertumbuhan
untuk jangka panjang atau rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi selama periode
satu dekade atau lebih.
2.1.2 Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi itu mengandung pengertian yang sangat luas bukan
saja hanya meningkatkan GNP (Gross National Product). Pembangunan ekonomi
bersifat multidimensi yang mencakup berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat
dan bukan hanya salah satu aspek ekonomi saja. Pembangunan ekonomi diartikan
sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh suatu negara dalam rangka
mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf hidup masyarakatnya. Dengan kata lain
sebagai proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk
suatu negara dalam kurun waktu lama (jangka panjang) disertai oleh perbaikan
sistem kelembagaan. Arsyad (2010). Berdasarkan arti pembangunan, maka pada
umumnya pembangunan selalu dibarengi oleh pertumbuhan, tetapi pertumbuhan
belum tentu disertai dengan pembangunan.
2.1.3 Pembangunan Ekonomi Millenium Development Goals (MDGs)
Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Millenium Perserikatan
Bangsa‐Bangsa (PBB), sebanyak 189 negara anggota PBB bersepakat untuk
mengadopsi Deklarasi Millenium untuk menangani isu perdamaian, keamanan,
23
pembangunan, hak asasi manusia dan kebebasan fundamental dalam satu paket.
Dalam konteks inilah, negara‐negara anggota PBB kemudian mengadopsi tujuan
pembanguan Millenium Development Goals (MDGs). Setiap tujuan memiliki satu
atau beberapa target beserta indikatornya dan menempatkan pembangunan manusia
sebagai fokus utama pembangunan dan memiliki tenggat waktu serta kemajuan yang
terukur.
Sebagai komitmen dari komunitas internasional terhadap pengembangan visi
mengenai pembangunan; MDGs yang secara kuat mempromosikan pembangunan
manusia sebagai kunci untuk mencapai pengembangan sosial dan ekonomi yang
berkelanjutan dengan menciptakan dan mengembangkan kerjasama dan kemitraan
global. MDGs juga mendorong pemerintah, lembaga donor dan organisasi
masyarakat sipil untuk mencapai target‐target pembangunan yang spesifik, ada
tenggat waktu dan terukur ke dalam 8 tujuan pembangunan milenium yaitu :
1) Menghapuskan tingkat kemiskinan dan kelaparan. Target untuk 2015 adalah
mengurangi setengah dari penduduk dunia yang berpenghasilan kurang dari 1
US$ sehari dan mengalami kelaparan.
2) Mencapai Pendidikan Dasar secara Universal. Target 2015 adalah
memastikan bahwa setiap anak laki dan perempuan mendapatkan dan
menyelesaikan tahap pendidikan dasar.
3) Mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan. Target 2005
dan 2015 adalah mengurangi perbedaan dan diskriminasi gender dalam
pendidikan dasar dan menengah terutama untuk tahun 2005 dan untuk semua
tingkatan pada tahun 2015.
24
4) Mengurangi tingkat kematian anak. Target 2015 adalah mengurangi tingkat
kematian anak‐anak usia di bawah 5 tahun hingga dua‐pertiga.
5) Meningkatkan Kesehatan Ibu. Target 2015 adalah mengurangi rasio kematian
ibu hingga 75 persen dalam proses melahirkan.
6) Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya. Target 2015 adalah
menghentikan dan memulai pencegahan penyebaran HIV/AIDS dan gejala
malaria dan penyakit berat lainnya.
7) Menjamin keberkelanjutan lingkungan. Target adalah mengintegrasikan
prinsip‐prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam kebijakan setiap
negara dan program serta merehabilitasi sumber daya lingkungan yang
hilang.
8) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Target adalah
mengembangkan lebih jauh lagi perdagangan terbuka dan sistem keuangan
yang melibatkan komitmen terhadap pengaturan manajemen yang jujur dan
bersih, pembangunan dan pengurangan tingkat kemiskinan secara nasional
dan internasional.
Kemiskinan merupakan permasalahan global yang dipandang
sebagai permasalahan sosial paling krusial. Upaya pengentasan kemiskinan global
menjadi agenda prioritas dalam kerangka kebijakan di banyak negara dan juga
organisasi internasional, termasuk PBB. Kinerja serta komitmen MDGs dalam upaya
mengentaskan kemiskinan, baik di dunia maupun di Indonesia pada khususnya, dapat
dilihat dari 3 tujuan yang tercantum dalam 8 tujuan MDGs.
25
Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan sosial yang sangat terlihat di
Indonesia. Pada tujuan pertama, yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan.
Dalam hal ini Indonesia telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan, sebagaimana
diukur oleh indikator USD 1,00 per kapita per hari, menjadi setengahnya. Kemajuan
juga telah dicapai dalam upaya untuk lebih menurunkan lagi tingkat kemiskinan,
sebagaimana diukur oleh garis kemiskinan nasional dari tingkat saat ini sebesar
13,33 persen (2010) menuju targetnya sebesar 8 – 10 persen pada tahun 2014.
Prevalensi kekurangan gizi pada balita telah menurun dari 31 persen pada tahun 1989
menjadi 18,4 persen pada tahun 2007, sehingga Indonesia diperkirakan dapat
mencapai target MDGs sebesar 15,5 persen pada tahun 2015.
Prioritas kedepan untuk menurunkan kemiskinan dan kelaparan yang menjadi
fokus pemerintah Indonesia adalah dengan memperluas kesempatan kerja,
meningkatkan infrastruktur pendukung, dan memperkuat sektor pertanian. Perhatian
khusus yang perlu diberikan adalah pada (i) perluasan fasilitas kredit untuk usaha
mikro, kecil, dan menengah (UMKM); (ii) pemberdayaan masyarakat miskin dengan
meningkatkan akses dan penggunaan sumber daya untuk meningkatkan
kesejahteraannya; (iii) peningkatan akses penduduk miskin terhadap pelayanan sosial
dan (iv) perbaikan penyediaan proteksi sosial bagi kelompok termiskin di antara
yang miskin.
2.1.4 Definisi Kemiskinan
Definisi kemiskinan dalam berbagai literatur memiliki berbagai konsepsi
teoritis yang berbeda dalam cakupan permasalahan yang dihadapi suatu negara atau
daerah. Menurut Ahmed (2004) bahwa dalam konsepsi kemiskinan, dimensi yang
26
dipertimbangkan dan diperhatikan meliputi pendapatan, konsumsi, nutrisi, kesehatan,
pendidikan, rumah dan lain-lain. Keberagaman pemahaman kemiskinan juga
ditunjukkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) yang
mendefinisikan kemiskinan sebagai kelaparan, ketiadaan tempat berlindung,
ketidakmampuan berobat ke dokter jika sakit, tidak mempunyai akses ke sekolah dan
buta huruf, tidak mempunyai pekerjaan, takut akan masa depan, hidup dalam
hitungan harian, ketidakmampuan mendapatkan air bersih, ketidakberdayaan, tidak
ada keterwakilan dan kebebasan.
Sementara Tjiptoherijanto (1997) menyatakan bahwa ada tiga pola utama
yang digunakan untuk memberikan pengertian kemiskinan. Pengertian kemiskinan
menurut pola pertama, didasarkan atas pengukuran tingkat pendapatan. Pengertian
kemiskinan yang menggunakan indikator tingkat pendapatan ini dibagi menjadi 2
dua, yaitu: (a) kemiskinan absolut dan (b) kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut
berkaitan dengan ketidakmampuan seseorang melampaui ukuran kemiskinan yang
telah ditetapkan. Sedangkan kemiskinan relatif berkaitan dengan perbedaan tingkat
pendapatan suatu kelompok dibandingkan dengan kelompok pendapatan lainnya.
Pola kedua, didasarkan atas pola waktu. Kemiskinan menurut pola waktu dibedakan
atas empat pengertian, yaitu: (a) persistent poverty yaitu kemiskinan yang telah
kronis atau turun-temurun. Kemiskinan ini pada umumnya terjadi di daerah yang
kritis sumber daya alam atau daerah yang terisolasi; (b) cyclical poverty, yaitu
kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan; (c) seasonal
poverty yaitu kemiskinan musiman, seperti yang sering dijumpai pada petani dan
nelayan, serta (d) accidental poverty yaitu kemiskinan yang terjadi karena bencana
27
alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya
tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Pola ketiga, didasarkan atas keadaan
penduduk dan potensi wilayah. Dari segi keadaan penduduk, penentuan penduduk
miskin tetap berdasar pada garis kemiskinan. Adapun potensi wilayah digunakan
untuk menetapkan wilayah-wilayah atau desa-desa yang dikategorikan sebagai
wilayah atau desa tertinggal. Meskipun demikian, penduduk miskin umumnya erat
kaitannya dengan wilayah miskin. Dengan kata lain, wilayah dengan potensi
tertinggal atau kurang berkembang juga menyebabkan penduduknya menjadi miskin.
Di sisi lain, dalam panduan keluarga sejahtera pengertian kemiskinan lebih
difoukuskan pada suatu keadaan dimana seorang tidak sanggup memelihara dirinya
sendiri dengan taraf kehidupan yang dimiliki dan juga tidak mampu memanfaatkan
tenaga, mental maupun fisiknya dalam memenuhi kebutuhannya. Pengertian yang
tidak jauh beda juga dipaparkan dalam Panduan Inpres Desa Tertinggal (IDT) bahwa
kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki
oleh si miskin, melainkan karena tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada
padanya. Kemiskinan ini ditandai oleh sikap dan tingkah laku yang menerima
keadaan yang seakan-akan tidak dapat diubah yang tercermin di dalam lemahnya
kemauan untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya manusia, lemahnya nilai tukar
hasil produksi, rendahnya produktivitas, terbatasnya modal yang dimiliki
berpartisipasi dalam pembangunan.
Mengamati secara mendalam tentang kemiskinan dan penyebabnya akan
muncul berbagai tipologi dan dimensi kemiskinan karena kemiskinan itu sendiri
multikompleks, dinamis, dan berkaitan dengan ruang, waktu serta tempat dimana
28
kemiskinan dilihat dari berbagai sudut pandang. Kemiskinan dibagi dalam dua
kriteria yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah
kemiskinan yang diukur dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya sedangkan kemiskinan relatif adalah penduduk yang
telah memiliki pendapatan sudah mencapai kebutuhan dasar namun jauh lebih rendah
dibanding keadaan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan menurut tingkatan
kemiskinan adalah kemiskinan sementara dan kemiskinan kronis.
Sedangkan, kemiskinan menurut Kantor Menteri Negara Kependudukan
adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri
dengan taraf kehidupan yang dimiliki dan juga tidak sanggup memanfaatkan tenaga,
mental maupun fisiknya untuk memenuhi kebutuhannya. Miskin atau kurang
sejahtera dalam pembangunan keluarga sejahtera diidentikkan dengan keadaan
keluarga :
1) Pra sejahtera adalah keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi
kebutuhan dasarnya secara minimal seperti kebutuhan spiritual, pangan,
sandang, papan, kesehatan dan keluarga berencana. Kondisi ini diidentikkan
dengan ketidakmampuan dalam memenuhi salah satu indikator berikut :
a) Menjalankan ibadah sesuai agama
b) Makan minimal dua kali per hari
c) Pakaian lebih dari satu pasang
d) Sebagian besar lantai rumahnya bukan dari tanah
e) Dapat memenuhi kondisi kesehatan
29
2) Keluarga sejahtera I adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya secara minimal tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial dan
psikologis seperti pendidikan, interaksi keluarga, interaksi lingkungan tempat
tinggal dan transportasi. Secara operasional, kondisi ini diidentikkan dengan
ketidakmampuan dalam memenuhi indikator berikut :
a) Menjalankan ibadah secara teratur
b) Minimal seminggu sekali makan daging/telur/ikan
c) Minimal memiliki baju baru sekali dalam satu tahun
d) Luas lantai rumah rata-rata 8 m2 per anggota keluarga
e) Tidak ada anggota keluarga yang berumur antara 10-60 tahun yang buta
huruf latin
f) Semua anak yang berusia antara 7-12 tahun bersekolah
g) Salah satu anggota keluarga memiliki penghasilan tetap
h) Dalam tiga bulan terakhir tidak sakit dan masih dapat melaksanakan
fungsinya dengan baik
Keluarga Pra sejahtera dan sejahtera I dibagi dalam dua kelompok yaitu :
1) Karena alasan ekonomi atau keluarga miskin adalah keluarga yang menurut
kemampuan ekonominya lemah dan miskin. Keluarga ini adalah keluarga
yang secara ekonomis memang miskin atau sangat miskin dan belum bisa
menyediakan kebutuhan pokoknya dengan baik.
2) Karena alasan non ekonomi yaitu keluarga yang kemiskinannya bukan karena
harta atau uang tetapi miskin kepeduliannya untuk mengubah hidupnya lebih
sejahtera seperti dalam partisipasi pembangunan dan kesehatan.
30
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan beberapa
indikator-indikator kemiskinan yaitu antara lain terbatasnya kecukupan dan mutu
pangan, terbatasnya akses dan mutu layanan kesehatan, terbatasnya kesempatan kerja
dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, terbatasnya akses layanan
perumahan dan sanitasi, terbatasnya akses air bersih, lemahnya kepastian
kepemilikan dan penguasaan tanah, memburuknya kondisi lingkungan hidup,
lemahnya jaminan rasa aman, lemahnya partisipasi, besarnya beban tanggungan
keluarga, dan tata kelola pemerintahan yang buruk.
2.1.5 Dimensi Kemiskinan dan Kesejahteraan
Kemiskinan adalah kekurangan dalam banyak hal. Kemiskinan dapat
disebabkan oleh kurangnya penghasilan, atau tidak terpenuhinya kebutuhan dasar,
seperti kesehatan, pendidikan atau perumahan. Tetapi kemiskinan juga sangat
subyektif dan mungkin disebabkan oleh perasaan kekurangan, kerentanan,
keterkucilan,malu, menderita, atau perasaan tidak enak lainnya. Selain itu,
kemiskinan adalah akibat dari kurangnya sarana, kemampuan, kebebasan dan pilihan
untuk masa depan yang lebih baik. Jika tidak ada lingkungan pendukung untuk
keluar dari kemiskinan, maka akan terjebak dalam kemiskinan kronis.
Konsep kemiskinan dapat dijelaskan melalui nested spheres of poverty
(NESP). Bagian tengah dari konsep ini adalah kesejahteraan subyektif atau Sejahtera
Subyektif (SJS), yang dikelilingi aspek inti kemiskinan, yang meliputi kebutuhan
dasar, dan lingkungan pendukung kontekstual yang merupakan sarana untuk keluar
dari kemiskinan. Kesejahteraan subyektif bersifat sangat individu dan emosional.
Kesejahteraan ini tidak memiliki nilai konstan, tetapi berubah-ubah sesuai dengan
31
suasana hati dan lingkungan. Perasaan pribadi seperti kebahagiaan, keamanan,
keterlibatan dan kepuasan, ikut menyumbang kesejahteraan subyektif secara
keseluruhan. Bentuk-bentuk kesejahteraan lain juga tercakup, seperti kesejahteraan
jasmani, kesejahteraan sosial, kepemilikan martabat diri dan perasaan aman dan
terjamin.
Inti pada model ini mencakup kebutuhan dasar seperti makanan, kesehatan,
perumahan dan pendidikan. Yang juga tercakup adalah kapabilitas individu secara
umum yakni, kecakapan dan kondisi fisik untuk keluar dari kemiskinan. Pada model
NESP, kebutuhan dasar dan kapabilitas individu digabung menjadi tiga kategori:
kesehatan, materi dan pengetahuan (formal, informal atau tradisional). Konteks
terdiri dari lima lingkungan. Lingkungan alam mencakup ketersediaan dan kualitas
sumber daya alam. Lingkungan ekonomi mencakup kesempatan ekonomi dan jaring
pengaman. Aspek-aspek seperti kapital dan kohesi sosial, rasa saling percaya dan
konflik, membangun lingkungan sosial. Lingkungan politik terdiri dari hak dan
partisipasi atau representasi dalam pengambilan keputusan, pemberdayaan dan
kebebasan. Lapisan luar model NESP adalah lingkungan konteks kelima, yang
mempengaruhi keempat lingkungan konteks yang lain prasarana dan pelayanan.
Keduanya sebagian besar disediakan oleh badan-badan pemerintah, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), proyek pembangunan dan sektor swasta. Konteks
adalah lingkungan pendukung yang mendukung upaya-upaya inisiatif sendiri untuk
keluar dari kemiskinan. Lebih jelasnya, Nested Spheres of Poverty (NESP) dapat
dilihat pada Gambar 2.1 sebagai berikut:
32
Sumber : Gonner, et.al, 2007
Gambar 2.1
Nested Spheres of Poverty (NESP)
2.1.6 Penyebab Kemiskinan
Menurut Kuncoro (2006) terdapat beberapa penyebab kemiskinan di
Indonesia sebagai berikut:
1) Secara makro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola
kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan timpang,
penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah yang terbatas
dan kualitasnya rendah;
2) Kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumber daya manusia karena
kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitas juga rendah,
upahnya pun rendah;
3) Kemiskinan muncul sebab perbedaan akses dan modal.
33
Ketiga penyebab kemiskinan itu bermuara pada teori lingkaran setan
kemiskinan (vicious circle of poverty). Adanya keterbelakangan, ketidak-sempurnaan
pasar, kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya
produktivitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya
pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi, rendahnya
investasi akan berakibat pada keterbelakangan dan seterusnya. Logika berpikir yang
dikemukakan Nurkse dalam Kuncoro (2006) yang mengemukakan bahwa negara
miskin itu miskin karena miskin (a poor country is poor because it is poor). Gambar
2.2 akan menggambarkan mengenai lingkaran setan kemiskinan.
Sumber : Kuncoro (2006)
Gambar 2.2
Lingkaran Setan Kemiskinan (The Vicious Circle of Poverty )
Menurut Chambers dalam (Bayo, 1996), terdapat lima ketidakberuntungan
yang melingkari orang atau keluarga miskin yaitu sebagai berikut:
Ketidaksempurnaan pasar,
keterbelakangan, ketertinggalan
Kekurangan Modal
Produktivitas Rendah
Investasi rendah
Tabungan rendah Pendapatan Rendah
34
1) Kemiskinan (poverty) memiliki tanda-tanda sebagai berikut: rumah dengan
gubug dan dibuat dari bahan bangunan yang bermutu rendah, perlengkapan
yang sangat minim, ekonomi keluarga ditandai dengan ekonomi gali lubang
tutup lubang serta pendapatan yang tidak menentu; Ketidak sempurnaan pasar
Keterbelakanga, Ketinggalan, kekurangan modal, investasi rendah
Produktivitas rendah, tabungan rendah pendapatan rendah
2) Masalah kerentanan (vulnerability), kerentanan ini dapat dilihat dari
ketidakmampuan keluarga miskin menghadapi situasi darurat. Perbaikan
ekonomi yang dicapai dengan susah payah sewaktu-waktu dapat lenyap
ketika penyakit menghampiri keluarga mereka yang membutuhkan biaya
pengobatan dalam jumlah yang besar;
3) Masalah ketidakberdayaan. Bentuk ketidakberdayaan kelompok miskin
tercermin dalam ketidakmampuan mereka dalam menghadapi elit dan para
birokrasi dalam menentukan keputusan yang menyangkut nasibnya, tanpa
memberi kesempatan untuk mengaktualisasi dirinya;
4) Lemahnya ketahanan fisik karena rendahnya konsumsi pangan baik kualitas
maupun kuantitas sehingga konsumsi gizi mereka sangat rendah yang
berakibat pada rendahnya produktivitas mereka;
5) Masalah keterisolasian. Keterisolasian fisik tercermin dari kantong-kantong
kemiskinan yang sulit dijangkau sedang keterisolasian sosial tercermin dari
ketertutupan dalam integrasi masyarakat miskin dengan masyarakat yang
lebih luas.
35
Menurut Sumodiningrat (1998), secara sosioekonomis, terdapat dua bentuk
kemiskinan, yaitu :
1) Kemiskinan absolut adalah suatu kemiskinan di mana orang-orang miskin
memiliki tingkat pendapatan dibawah garis kemiskinan, atau jumlah
pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum,
yang diukur dengan kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan
pendidikan, kalori, Gross National Product (GNP) per kapita, pengeluaran
konsumsi dan lain-lain.
2) Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan
antara suatu tingkat pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya.
Di samping itu terdapat bentuk-bentuk kemiskinan yang sekaligus menjadi
faktor penyebab kemiskinan yaitu (1) Kemiskinan natural, (2) Kemiskinan kultural,
dan (3) Kemiskinan struktural (Sumodiningrat, 1998).
1) Kemiskinan natural atau alamiah adalah keadaan miskin karena dari awalnya
memang miskin. Kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan
oleh kualitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, sehingga peluang
untuk berproduksi relatif kecil ataupun jika kegiatan produksi dapat dilakukan
umumnya dengan tingkat efisiensi yang relatif rendah. Kelompok masyarakat
tersebut menjadi miskin karena tidak memiliki sumberdaya yang memadai
baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya
pembangunan. Kemiskinan alamiah juga disebabkan oleh faktor-faktor
alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut atau karena bencana alam.
36
2) Kemiskinan kultural merupakan suatu kondisi kemiskinan yang terjadi karena
kultur, budaya atau adat istiadat yang dianut oleh suatu kelompok
masyarakat. Kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau
kelompok masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan
budaya di mana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa
kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk diajak
berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki
dan merubah tingkat kehidupannya. Akibatnya tingkat pendapatan mereka
rendah menurut ukuran yang dipakai secara umum. Penyebab kemiskinan ini
karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros dan lain-lainnya.
3) Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor
buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset
produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia
yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu. Menurut
Sumodiningrat (1998) bahwa munculnya kemiskinan struktural disebabkan
karena berupaya menanggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan
direncanakan bermacam-macam program dan kebijakan. Namun karena
pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan sumber daya tidak merata,
kesempatan yang tidak sama menyebabkan keikutsertaan masyarakat menjadi
tidak merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang timpang.
Kemiskianan struktural memiliki beberapa hirarkhi struktural yang
menyebabkannya. Kemiskinan pada suatu wilayah dapat merupakan akibat
langsung atau tidak langsung dari struktur kelembagaan yang diselenggarakan
37
sebagai suatu program nasional. Di sisi lain, kemiskinan pada tingkatan lokal
dapat merupakan akibat langsung atau tidak langsung dari struktur
kelembagaan regional (Propinsi, Kabupaten). Pada hirarkhi yang paling
rendah, kemiskinan di tingkatan lokal seringkali disebabkan oleh sistem
kelembagaan lokal, sistem pemilikan penguasaan lahan, sistem bagi hasil,dan
sebagainya yang berlaku secara lokal.
2.1.7 Indikator Kemiskinan
Indikator kemiskinan yang digunakan umumnya menggunakan kriteria garis
kemiskinan untuk mengukur kemiskinan absolut. Pada ranah indentifikasi
kemiskinan, terdapat dua kategori kemiskinan, yaitu:
1) Kemiskinan Absolut
Konsep kemiskinan pada umumnya selalu dikaitkan dengan pendapatan dan
kebutuhan, kebutuhan tersebut hanya terbatas pada kebutuhan pokok atau
kebutuhan dasar. Kemiskinan dapat digolongkan dua bagian yaitu :
a) Kemiskinan untuk memenuhi bebutuhan dasar.
b) Kemiskinan untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.
2) Kemiskinan Relatif
Menurut Kincald (1975) semakin besar ketimpangan antara tingkat hidup
orang kaya dan miskin maka semakin besar jumlah penduduk yang selalu miskin.
Sehingga Bank Dunia membagi aspek tersebut dalam tiga bagian antara lain :
1) Jika 40 persen jumlah penduduk berpendapat rendah menerima kurang dari
12 persen pendapatan nasionalnya maka pembagian pembangunan sangat
timpang.
38
2) Apabila 40 persen lapisan penduduk berpendapatan rendah menikmati antara
12 – 17 persen pendapatan nasional dianggap sedang.
3) Jika 40 persen dari penduduk berpendapatan menengah menikmati lebih dari
17 persen pendapatan nasional maka dianggap rendah.
2.1.7.1 Garis Kemiskinan Menurut Badan Pusat Statistik
Batas garis kemiskinan yang digunakan setiap negara ternyata berbeda-beda.
Ini disebabkan oleh adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. Badan
Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang
dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan
bukan makanan. Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100
kalori per hari. Sedang pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi
pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa.
BPS menggunakan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan
dasar dan pendekatan head count index. Pendekatan yang pertama merupakan
pendekatan yang sering digunakan. Kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sedangkan head count index
merupakan ukuran yang menggunakan kemiskinan absolut. Jumlah penduduk miskin
adalah jumlah penduduk yang berada di bawah suatu batas yang disebut batas garis
kemiskinan, yang merupakan nilai rupiah dari kebutuhan minuman makanan dan non
makanan.
Upaya pengentasan kemiskinan tidak terlepas dari dimensi pembangunan
manusia. United Nation Development Programme (UNDP) mengajukan konsep
Human development index (HDI) untuk memperoleh indikator pembangunan
39
berdasarkan komposit harapan hidup, pendidikan dan pendapatan. Indikator dasar ini
bertujuan untuk mengukur seberapa jauh pertumbuhan dan pemerataan
pembangunan manusia mampu memberikan output kebutuhan fisik dan input
dimensi pembangunan manusia untuk dapat memperoleh pilihan-pilihan kebutuhan.
Human development index (HDI) merupakan indeks komposit kependudukan yang
disusun dari variabel-variabel 1) kesehatan, dengan indikator angka harapan hidup,
2) Pendidikan dengan indikator kemampuan membaca dan lama bersekolah, 3)
pendapatan, dengan indikator standard hidup layak (paritas daya beli).
Berbagai variabel tersebut yang dijabarkan lebih lanjut dalam Indikator
komposit kependudukan seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada skala 0,0
– 100,0 dengan kategori tinggi IPM lebih dari 80,0; menengah atas IPM antara 66,0 –
79,9; menengah bawah IPM antara 50,0 – 65,9; rendah IPM kurang dari 50,0. Ada
dua hal yang menjadi titik perhatian dalam megukur Kinerja Pembangunan Manusia
yaitu pembangunan sebagai input dan kesejahteraan atau kualitas sebagai output.
Output merupakan variabel yang menggambarkan kualitas penduduk yang
merupakan gabungan dari tiga indikator yaitu Angka Harapan Hidup (AHH), Angka
Melek Huruf (AMH) dan pendapatan. Komponen output dianggap sebagai variabel
yang dipengaruhi dan komponen input sebagai variabel mempengaruhi, yang
selanjutnya disebut sebagai indikator inti dan indikator sektoral. Indikator-indikator
tersebut antara lain adalah:
1) Indikator Inti terdiri dari Indeks Harapan Hidup, Indeks Pendidikan dan
Indeks Pendapatan.
2) Indikator Sektoral, terdiri dari:
40
a) Indikator Kesehatan, meliputi umur harapan hidup, jumlah kematian bayi
di bawah umur 1 tahun per 1000 kelahiran hidup, Angka Kematian Kasar
per 1000 penduduk, proporsi dokter terhadap jumlah penduduk, rata-rata
lama sakit, angka kesakitan (prevalensi kesakitan), proporsi puskemas
terhadap jumlah penduduk, Penduduk sakit, Lama Sakit, Perkembangan
kasus penyakit menular, Kematian balita, Cakupan imunisasi balita, dan
pertolongan persalinan medis.
b) Indikator Pendidikan meliputi angka melek huruf, rata-rata lama sekolah,
partisipasi murid Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP), Sekolah Menengah Umum/Sekolah Menengah Kejuruan
(SMU/SMK), lama sekolah, rasio penduduk usia SD, SLTP, SMU/SMK
dan rasio murid terhadap sekolah/kelas/guru SD,SLTP, SMU/SMK.
c) Indikator Ekonomi, meliputi daya beli standar hidup, kegiatan perbankan,
jumlah sarana transportasi, produksi, modal, harga pasar dan inflasi,
Tingkat Partisipasi Kerja (TPK), Tingkat Pengangguran, Setengah
Pengangguran, Tingkat pengangguran terbuka, Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB), pertumbuhan ekonomi, kontribusi sektor
perekonomian, pendapatan per kapita, dan pengeluaran konsumsi riil.
d) Indikator pemukiman dan kesehatan lingkungan, meliputi luas dan jenis
lantai, jenis dinding, fasilitas air minum dan penyediaan air bersih,
tempat pembuangan air besar, tempat penampungan akhir, ketersediaan
listrik dan sebagainya.
41
e) Indikator Gender Development Index (GDI) dan Gender Empowerment
Messure (GEM.
2.1.8 Strategi Pengentasan Kemiskinan
Strategi dalam mengurangi kemiskinan adalah dengan mengidentifikasi
terlebih dahulu mengenai konsep dan dimensi kemiskinan. Pertama, konsep
kemiskinan. Terdapat tiga macam konsep kemiskinan yaitu kemiskinan absolut,
kemiskinan relatif, dan kemiskinan subyektif. Kedua, dimensi kemiskinan.
Sedikitnya ada dua macam perspektif yang lazim dipergunakan untuk mendekati
masalah kemiskinan antara lain 1) Perspektif kultural (cultural perspective), yaitu
mendekati masalah kemiskinan pada tiga tingkat analisis yaitu individual, keluarga
dan masyarakat, dan 2) Perspektif struktural atau situasional (situational
perspective).
Dalam hal menanggulangi masalah kemiskinan diperlukan upaya yang
memadukan berbagai kebijakan dan program pembangunan yang tersebar di berbagai
sektor. Kebijakan pengentasan kemiskinan menurut Sumodiningrat (1998) dapat
dikategorikan menjadi 2 (dua), yaitu kebijakan tidak langsung, dan kebijakan yang
langsung. Kebijakan tak langsung meliputi (1) upaya menciptakan ketentraman dan
kestabilan situasi ekonomi, sosial dan politik; (2) mengendalikan jumlah penduduk;
(3) melestarikan lingkungan hidup dan menyiapkan kelompok masyarakat miskin
melalui kegiatan pelatihan. Sedangkan kebijakan yang langsung mencakup: (1)
pengembangan data dasar dalam penentuan kelompok sasaran; (2) penyediaan
kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan); (3)
penciptaan kesempatan kerja; (4) program pembangunan wilayah; dan (5) pelayanan
42
perkreditan. Untuk menanggulangi masalah kemiskinan harus dipilih strategi yang
dapat memperkuat peran dan posisi perekonomian rakyat dalam perekonomian
nasional, sehingga terjadi perubahan struktural yang meliputi pengalokasian sumber
daya, penguatan kelembagaan, pemberdayaan sumber daya manusia. Program yang
dipilih harus berpihak dan memberdayakan masyarakat melalui pembangunan
ekonomi dan peningkatan perekonomian rakyat. Program ini harus diwujudkan
dalam langkah-langkah strategis yang diarahkan secara langsung pada perluasan
akses masyarakat miskin kepada sumber daya pembangunan dan menciptakan
peluang bagi masyarakat paling bawah untuk berpartisipasi dalam proses
pembangunan, sehingga mereka mampu mengatasi kondisi keterbelakangannya.
Selain itu upaya pengentasan kemiskinan harus senantiasa didasarkan pada
penentuan garis kemiskinan yang tepat dan pada pemahaman yang jelas mengenai
sebab-sebab timbulnya persoalan itu.
Terdapat tiga pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat miskin. Pertama,
pendekatan yang terarah, artinya pemberdayaan masyarakat harus terarah yakni
berpihak kepada orang miskin. Kedua, pendekatan kelompok, artinya secara
bersama-sama untuk memudahkan pemecahan masalah yang dihadapi. Ketiga,
pendekatan pendampingan, artinya selama proses pembentukan dan penyelenggaraan
kelompok masyarakat miskin perlu didampingi oleh pendamping yang profesional
sebagai fasilitator, komunikator, dan dinamisator terhadap kelompok untuk
mempercepat tercapainya kemandirian (Soegijoko, 1997). Arah baru strategi
pembangunan diwujudkan dalam bentuk: (1) upaya pemihakan kepada yang lemah
dan pemberdayaan masyarakat, (2) pemantapan otonomi dan desentralisasi, dan (3)
43
modernisasi melalui penajaman arah perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat
(Sumodiningrat, 1999). Untuk merealisir arah baru pembangunan tersebut, maka
pemerintah perlu lebih mempertajam fokus pelaksanaan strategi pembangunan yaitu
melalui penguatan kelembagaan pembangunan masyarakat maupun birokrasi.
Penguatan kelembagaan pembangunan masyarakat dilaksanakan dengan
menggunakan model pembangunan partisipatif yang bertujuan untuk
mengembangkan kapasitas masyarakat dan kemampuan aparat birokrasi dalam
menjalankan fungsi lembaga pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan
rakyat.
Model pembangunan yang partisipatif mengutamakan pembangunan yang
dilakukan dan dikelola langsung oleh masyarakat lokal. Model yang demikian itu
menekankan pada upaya pengembangan kapasitas masyarakat dalam bentuk
pemberdayaan masyarakat (Sumodiningrat, 1999). Berdasarkan model pembangunan
tersebut, suatu proyek atau program dapat digolongkan ke dalam model
pembangunan partisipatif apabila program dikelola sendiri oleh masyarakat yang
bersangkutan, bukan oleh aparat pemerintah. Pada gilirannya keberdayaan
masyarakat menjadi baik sebagai akibat dari meningkatnya kemampuan dan
kapasitas masyarakat. Penguatan kelembagaan di sini tidak hanya berarati penguatan
secara fisik saja, seperti bangunan, struktur, atau hanya kelengkapan organisasi,
tetapi lebih kepada penguatan fungsi dan perannya sebagai lembaga/organisasi yang
diserahi tugas dan wewenang melaksanakan, memantau, atau menjaga program
pembangunan di wilayahnya. Dengan menguatnya kelembagaan masyarakat
setempat terutama berkaitan dengan fungsi dan peran sebagai lembaga masyarakat,
44
maka partisipasi masyarakat untuk mensukseskan program tersebut dapat dijamin
tinggi.
Partisipasi masyarakat akan terjadi apabila pelaku atau pelaksana program
pembangunan di daerahnya adalah orang-orang, organisasi, atau lembaga yang telah
mereka percaya integritasnya, serta apabila program tersebut menyentuh inti masalah
yang mereka rasakan dan dapat memberikan manfaat terhadap kesejahteraannya.
Menguatnya kemampuan masyarakat miskin untuk meningkatkan taraf hidupnya,
adalah hasil atau dampak dari semua aktivitas program pengentasan kemiskinan.
Penguatan masyarakat tersebut dapat dilihat dari: (1) dimensi pemberdayaan
masyarakat miskin, (2) dimensi terwujudnya kemandirian masyarakat miskin, dan (3)
dimensi perekonomian rakyat. Dimensi pemberdayaan masyarakat perlu diarahkan
terutama dalam rangka pengembangan kegiatan sosial ekonominya. Dimensi
kemandirian masyarakat dapat dicapai melalui asas gotong royong, keswadayaan dan
partisipasi. Sedang dimensi perekonomian rakyat dapat ditandai oleh tersedianya
dana untuk modal usaha guna dikembangkan oleh masyarakat miskin itu sendiri.
Pemberdayaan secara substansial merupakan proses untuk memutus
hubungan antara subyek dan obyek. Proses ini menekankan pada pengakuan subyek
akan kemampuan atau daya yang dimiliki obyek. Pemberdayaan lebih
mengutamakan usaha sendiri dari orang yang diberdayakan untuk meraih
keberdayaannya. Fenomena kemiskinan lebih disebabkan oleh keadaan ekonomi
daripada kebudayaan kemiskinan. Oleh karena itu, mengurangi kemiskinan adalah
membuat konsep yang dapat menumbuhkan kemampuan ekonomi.
45
Upaya pemberdayaan dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, pemberdayaan
dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi rumah tangga
miskin berkembang. Hal ini berarti setiap anggota keluarga secara alamiah memiliki
potensi yang dapat dikembangkan pada kehidupan yang lebih baik. Kedua,
pemberdayaan dilakukan untuk memperkuat potensi ekonomi atau daya yang
dimiliki rumah tangga. Untuk memperkuat potensi tersebut dilakukan peningkatan
taraf pendidikan, derajat kesehatan dan akses terhadap sumber-sumber kemajuan
ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar. Ketiga,
pemberdayaan melalui pengembangan ekonomi rumah tangga yaitu melindungi
untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang serta menciptakan
kebersamaan dan kemitraan antara yang sudah maju dan belum berkembang.
Peran program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan melalui bantuan
dana yang dapat diciptakan dari kegiatan sosial ekonomi dengan menerapkan
beberapa prinsip antara lain 1) mudah diterima dan didayagunakan oleh kelompok
sasaran, 2) dikelola oleh masyarakat secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan, 3) memberikan pendapatan yang memadai dan mendidik
masyarakat untuk mengelola secara ekonomis, 4) hasilnya dapat dilestarikan oleh
masyarakat (sustainable), 5) pengelolaan dana dan pelestarian hasil dapat dengan
mudah digulirkan dan dikembangkan oleh masyarakat dalam lingkup lebih luas
(replicable).
Menurut Gonner et al (2007) bahwa upaya meningkatkan dan
mempertahankan kesejahteraan masyarakat miskin dapat dilakukan dengan
memperbaiki lingkungan pendukung masyarakat antara lain kapabilitas, strategi
46
penghidupan lokal, peluang dan dukungan, kerentanan, keberlanjutan sebagaimana
ditunjukkan pada gambar 2.3.
Sumber : Gonner et al, 2007
Gambar 2.3
Prinsip Meningkatkan Kesejahteraan
Beberapa prinsip meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah :
1) Kapabilitas masyarakat miskin harus didayagunakan dan diperkuat.
Kapabilitas mencakup lima hal yaitu keuangan, manusia, sosial, fisik, dan
alam.
2) Pemerintah daerah harus mendata strategi penghidupan lokal yang ada dan
menciptakan kerangka kerja kelembagaan yang mendukung strategi
peningkatan kesejahteraan swadaya berkelanjutan.
3) Peluang dan dukungan untuk memanfaatkan kapabilitas masyarakat. Bukan
hanya peluang ekonomi, seperti pekerjaan dan pasar, namun juga peluang
politis untuk berpartisipasi dan pemberdayaan yang lebih baik. Pemerintah
47
daerah dengan instansi pemerintah lainnya dan sektor swasta memegang
peran penting.
4) Kerentanan perlu dikurangi dimana masyarakat membutuhkan rasa aman.
Sebagian kelompok miskin rentan untuk kembali menjadi miskin atau
terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Bukan hanya melalui jaring pengaman
masyarakat seperti asuransi kesehatan gratis, pendidikan gratis dan makanan
subsidi tetapi juga memerlukan jaring pengaman berbasis keluarga atau
masyarakat, diversifikasi pendapatan untuk menghindari resiko dan
ketergantungan pada hubungan timbal balik melalui jaringan sosial yang
diperluas.
5) Keberlanjutan diperlukan untuk memastikan keberhasilan pengentasan
kemiskinan dalam jangka panjang. Mengorbankan lingkungan alam atau
kohesi sosial untuk capaian ekonomis jangka pendek tidak meningkatkan
kesejahteraan, namun perlu adanya keseimbangan antar komponen
lingkungan ekonomi, sosial, alam.
Berdasarkan hal tersebut, diperlukan adanya keterpaduan antar kelembagaaan
di daerah kabupaten- kota hingga tingkat desa, yaitu; antara kelembagaan
pemerintah-politik, kelembagaan ekonomidunia usaha/swasta dan kelembagaan
masyarakat. Kelembagaan pemerintah, bagaimana kebijakan dan program
pemerintah dapat diarahkan pada pemberdayaan ekonomi rakyat, sehingga
masyarakat banyak, dapat memiliki akses dan kontrol terhadap sumberdaya setempat
dan dalam sistem pengambilan keputusan. Kelembagaan ekonomi, didorong untuk
menciptakan sistem ekonomi yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya usaha
48
ekonomi produktif bagi kelompok miskin. Sementara itu, kelembagaan masyarakat
ditujukan untuk memperkuat kelembagaan sosial-ekonomi masyarakat yang tumbuh
dan berkembang. Di samping ke tiga kelembagaan tersebut kelembagaan Lembaga
Swadaya Masyarakat dapat difungsikan sebagai katalisator dan fasilitator dari
pelaksanaan pembangunan ekonomi rakyat. Strategi jangka pendek, antara lain
adalah: (1) identifikasi masalah kemiskinan; (2) mengkaji potensi yang dimiliki baik
SDA, SDM, teknologi, dan kelembagaan yang ada; (3) identifikasi kendala dan
permasalahan pokok dalam pengentasan kemiskinan baik kendala teknis, ekonomi,
maupun sosial kelembagaan; (4) identifikasi kebijakan dan program pengentasan
kemiskinan dari ketiga kelembagaan yang ada; (5) koordinasi dan sinkronisasi
program antardinas atau instansi pemerintah terkait baik secara vertikal maupun
secara horisontal; (6) konsistensi antara program/kegiatan dengan alokasi anggaran;
(7) pembagian peran antara ketiga kelembagaan; (8) menentukan kelompok sasaran
dan merumuskan perencanaan, pelaksanaan, dan melakukan monev program
pembangunan yang dilaksanakan secara partisipatif.
2.1.9 Analisis Strengthness, Weakness, Opportunity, Threatness (SWOT)
Pengentasan Kemiskinan
Kemiskinan tidak hanya merupakan aspek permasalahan dalam sudut
pandang keluarga miskin namun juga perlu didukung oleh sudut pandang pemerintah
sebagai pengambil keputusan, kelompok pemerhati dan masyarakat mampu sebagai
pelaksana. Manajemen pengentasan kemiskinan mensyaratkan mutlak adaya proses
looping dalam memahami kemiskinan. Untuk itulah pandangan stakeholder
49
pengentasan kemiskinan dirumuskan dalam analisis Strengthness, Weakness,
Opportunity, Threatness (SWOT).
Analisis dengan menggunakan matriks SWOT bertujuan untuk
mengidentifikasikan alternatif-alternatif strategi yang secara intuitif dirasakan
feasible dan sesuai untuk dilaksanakan. Salah satu alasan perlunya dilakukan
identifikasi terhadap faktor-faktor internal dan eksternal dengan menggunakan
matrik Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE)
adalah penentuan analisis SWOT dilakukan setelah mengetahui kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman yang ada. Unsur-unsur SWOT meliputi strength
(S) yang berarti mengacu pada keunggulan kompetitif dan kompetisi lainnya;
weakness (W) yang merupakan hambatan yang membatasi pilihan-pilihan pada
pengembangan strategi, opportunities (O) yang menggambarkan kondisi yang
menguntungkan atau peluang yang membatasi penghalang, dan threats (T) yang
berhubungan dengan kondisi yang dapat menghalangi atau ancaman dalam mencapai
tujuan. Matriks SWOT ini mengembangkan empat tipe strategi yaitu kekuatan -
peluang atau strength-opportunities (SO), kelemahan – peluang atau weakness
opportunities (WO), kekuatan – ancaman atau strength – threats (ST) dan kelemahan
– ancaman atau weakness – threats (WT). Berikut adalah beberapa faktor internal
dan eksternal dalam analisis SWOT. Penyusunan strategi yang dihasilkan analisis
SWOT didasarkan berbagai indikator atau faktor internal dan eksternal masyarakat
miskin untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Berikut adalah beberapa faktor
internal dan eksternal masyarakat miskin.
50
1) Kekuatan
a) Adanya Peraturan Daerah mengenai Pengentasan Kemiskinan
b) Potensi sumber daya alam.
c) Struktur dalam kelembagaan.
d) Beragam aktifitas masyarakat miskin
e) Ketersediaan tenaga kerja produktif.
f) Peran lembaga-lembaga non pemerintah.
2) Kelemahan
a) Daya dukung aktor sosial masih bernuansa sektoral.
b) Belum terdapat suatu pedoman yang mengintegrasikan semua potensi
kelembagaan lokal.
c) Pelaksanaan multisektoral memunculkan perbedaan dalam kerangka
pengorganisasian.
d) Kualitas SDM
e) Akses sumberdaya alam terbatas
f) Akses permodalan
g) Akses pemasaran terbatas
3) Peluang
a) Perkembangan teknologi.
b) Kebijakan pemerintah daerah.
c) Posisi strategis
d) Tanggung jawab sosial.
e) Kondisi ekonomi daerah dan nasional
51
f) Peluang usaha dengan keberadaan pertumbuhan pariwisata
g) Program pemberdayaan usaha masyarakat
4) Ancaman
a) Penguasaan aset ekonomi penduduk pendatang.
b) Era globalisasi yang menuntut daya saing yang tinggi.
c) Ketidakstabilan kondisi politik dan keamanan nasional.
d) Kemandirian masyarakat dan keberlanjutan program
2.2 Tinjauan Empiris Sebelumnya
Studi empiris mengenai kemiskinan telah banyak dilakukan di berbagai
wilayah di Indonesia maupun di negara berkembang lainnya seperti di India,
Bangladesh dan negara lainnya. Dalam pembangunan ekonomi, isu kemiskinan
menjadi masalah utama yang memerlukan penanganan secara serius baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang.
Gonner et al (2007) melakukan studi pemetaan di Kabupaten Kutai Barat
pada awal tahun 2006. Sebanyak sekitar 50 indikator kemiskinan dan kesejahteraan
diukur dalam survei yang melibatkan lebih dari 10.000 rumah tangga di 222 dari 223
kampung di kabupaten Kutai Barat ini. Beberapa temuan yang menarik antara lain:
Secara rata-rata, hampir sepertiga dari seluruh rumah tangga hidup dalam kondisi
kesejahteraan yang kritis. 52,1 persen rumah tangga sampel mengatakan bahwa
mereka hidup dalam kemiskinan. Pengetahuan dari 45,2 persen rumah tangga ada
dalam kondisi kritis. Hampir setiap satu dari empat rumah tangga mengalami
kesulitan akses terhadap layanan kesehatan dan gizi. Dari delapan lingkungan
kesejahteraan (kesehatan, materi, pengetahuan; alam, ekonomi, sosial dan politik;
52
prasarana dan pelayanan) yang diukur, setidaknya satu kondisi lingkungan kritis
dialami oleh 87 persen rumah tangga sampel, dua kondisi kritis oleh 62 persen dan
tiga kondisi kritis oleh 42 persen. Sekitar sepertiga dari semua rumah tangga hidup
dalam lingkungan alam kritis, dan ini sering merupakan akibat dari pembangunan
ekonomi yang tidak berkelanjutan. Meskipun kohesi sosial relatif tinggi, konflik
pada semua tingkat (biasanya tentang akses dan keuntungan dari sumber daya alam)
meningkat. Hampir separuh dari semua rumah tangga sampel kurang tersentuh
pemberdayaan politik dan kurang memiliki peluang untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan. Penyebab kemiskinan dapat ditemukan pada berbagai
jenjang. Ada penyebab yang berasal dari dalam rumah tangga sendiri, seperti tingkat
pendidikan yang rendah atau lemahnya wawasan dalam membelanjakan pendapatan
tunai. Penyebab lainnya lebih merupakan tanggung jawab jenjang yang lebih tinggi
(pemerintah), seperti kurang memadainya anggaran kesehatan dan pendidikan, atau
kurangnya pengakuan terhadap hak-hak kepemilikan lahan tradisional dan hak
terhadap sumber daya alam. Selain itu, ada penyebab kemiskinan yang tidak dapat
dikendalikan langsung oleh pemerintah, seperti bencana alam, kejadian
makroekonomi dan topografi kawasan.
Bank Dunia (2008) memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai
kemiskinan pasca tsunami dan konflik kepada pemerintah provinsi dan Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) dalam penyusunan kebijakan dan program
yang lebih baik untuk mengurangi kemiskinan di Aceh. Kemiskinan di Aceh sedikit
meningkat pasca bencana tsunami, dari 28,4 persen pada tahun 2004 mencapai 32,6
persen pada tahun 2005. Hal ini berlawanan dengan tingkat penurunan kemiskinan
53
yang terjadi pada wilayah-wilayah lain di Indonesia. Peningkatan tersebut termasuk
relatif kecil mengingat besarnya kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh
tsunami dan juga mencerminkan dampak yang positif dari upaya awal rekonstruksi.
Tingkat kemiskinan menurun pada tahun 2006 hingga mencapai 26.5 persen, lebih
rendah dari tingkat kemiskinan sebelum tsunami, menunjukkan bahwa peningkatan
kemiskinan yang berkaitan dengan tsunami tidak berlangsung lama dan aktivitas
rekonstruksi kemungkinan besar memfasilitasi penurunan tersebut. Kemiskinan di
Aceh sebagian besar merupakan fenomena pedesaan, dengan lebih dari 30 persen
rumah tangga di pedesaan hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini dibandingkan
dengan tingkat rumah tangga miskin di wilayah perkotaan yang kurang dari 15
persen. Karakteristik lainnya yang terkait dengan tingginya tingkat kemiskinan yaitu
ukuran rumah tangga yang lebih besar, tingkat pendidikan yang lebih rendah, rumah
tangga yang dikepalai perempuan, dan rumah tangga dengan mata pencaharian di
bidang pertanian. Hubungan antara karakteristik ini dengan kemiskinan masih tetap
relatif stabil setelah masa tsunami yang menunjukkan bahwa faktor pokok penentu
kemiskinan tidak berubah meskipun terjadi perubahan yang cepat dalam aspek
politik dan sosialekonomi.
Haug (2007) melakukan studi kemiskinan di Kutai Barat sejalan yang
dilakukan Gonner et al (2007). Tujuan utama studi adalah mengungkap dampak
otonomi daerah terhadap kesejahteraan masyarakat Dayak Benuaq di Kutai Barat,
Kalimantan Timur. Penelitian ini menyajikan persepsi masyarakat Dayak Benuaq
tentang kemiskinan, mendokumentasikan perubahan yang terjadi setelah
desentralisasi, dan menjelaskan hubungan sebab akibat di balik proses-proses yang
54
sedang berlangsung. Masyarakat Dayak Benuaq memiliki kesamaan pemahaman
tentang kemiskinan yang sebagian besar didasarkan pada situasi ekonomi rumah
tangga. Umumnya, warga dianggap miskin jika mereka kesulitan memenuhi
kebutuhan dasar seperti pangan, perumahan, dan pakaian. Selain itu, masyarakat
Dayak Benuaq memiliki konsep kehidupan yang baik (bolupm bueq) dan kehidupan
yang buruk (bolupm daat), yang meliputi berbagai aspek ekonomi, sosial, politik,
fisik, dan emosional. Konsep setempat ini sangat mirip dengan konsep kesejahteraan
(wellbeing) dan kesengsaraan (illbeing). Desentralisasi tampak jelas memiliki
sejumlah dampak positif terhadap kehidupan warga Dayak Benuaq. Pembentukan
kabupaten baru Kutai Barat meningkatkan partisipasi politik dan hak menentukan
nasib sendiri dari kelompok suku yang sebelumnya terpinggirkan. Dengan otonomi
daerah, infrastruktur dan pelayanan pemerintah di berbagai sektor meningkat dan
peluang-peluang ekonomi baru tumbuh. Tetapi perbaikan dan peluang ini belum
dapat dinikmati oleh semua kalangan. Bahkan data resmi kemiskinan menunjukkan
adanya stagnasi kemiskinan pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelum era
desentralisasi. Program pengentasan kemiskinan pemerintah daerah memang terlihat
di tingkat kampung, tetapi program ini sering tidak memenuhi harapan pejabat
pemerintah daerah dan warga karena lemahnya implementasi dan mekanisme
kontrol. Konflik antar warga, dan antara warga dengan perusahaan, meningkat sejak
desentralisasi yang dipicu oleh masalah lahan dan sumber daya alam yang semakin
tinggi nilainya. Banyak konflik yang diperparah dengan tumbuhnya kecenderungan
ke arah kepemilikan individual dan melemahnya mekanisme penyelesaian konflik
tradisional. Pengambilan sumber daya alam melalui kegiatan penebangan dan
55
pertambangan batubara di Kutai Barat menyebabkan turunnya mutu air sungai dan
hutan.
Studi Moeliono, et al (20007) menangkap kemiskinan dan kesejahteraan
masyarakat di Malinau dengan pengembangan sistem peamntauan menggunakan
kerangka multidimensi Nested Spheres of Poverty (NESP). Hasil studi menunjukkan
rendahnya indeks sektor ekonomi di semua kecamatan, kecuali di kecamatan Sungai
Boh. Kayan Hulu dan Malinau Barat sebagai kecamatan dengan tingkat
kesejahteraan paling rendah. Sektor alam juga mendapat skor rendah, kendati tutupan
hutan masih mencapai sekitar 90 persen. Rendahnya skor yang diberikan untuk
lingkungan alam ini menunjukkan persepsi masyarakat tentang penurunan sumber
daya alam (khususnya kayu) akibat eksploitasi besar-besaran selama 2000-2003.
Jarak dan kesulitan bepergian tidak mempengaruhi semua aspek secara
seragam. Pengaruh ini menjadi nyata bila, misalnya, keterpencilan dikaitkan dengan
kondisi kesehatan atau pendidikan.
Lebih lanjut dalam studi Moeliono, et al (2007), kemiskinan bersifat
multidimensi dan mencakup aspek-aspek kebutuhan dasar serta konteks pendukung
yang lebih luas, di mana persepsi individu terhadap aspek-aspek tersebut bersifat
subjektif dan dipengaruhi konteks. Subjektivitas ini juga menunjukkan perlunya
kriteria yang khas daerah, terutama karena perbedaan mata pencaharian dan sumber
daya alam mendorong cara penyelesaian kebutuhan yang berbeda-beda pula.
Pemerintah daerah telah berupaya menyesuaikan program-program pengentasan
kemiskinan nasional dengan kondisi setempat (misalnya dengan distribusi beras),
tetapi keberhasilan upaya ini memerlukan penyesuaian yang belum dimungkinkan
56
dalam kerangka birokrasi pemerintah saat ini. Intervensi pemerintah masih diarahkan
pada pemenuhan kebutuhan pokok, seperti beras murah, asuransi kesehatan dan
bantuan tunai, sementara pengembangan lingkungan yang mendukung masyarakat
untuk mengatasi kemiskinannya sendiri masih terabaikan. Pemerintah juga
cenderung memandang kemiskinan dari tingkat desa, sementara realita menunjukkan
terdapat tingkat-tingkat kemiskinan yang berbeda. Misalnya, di tingkat rumah
tangga, orang miskin karena tidak memiliki cukup kekayaan materi atau
pengetahuan. Di sisi lain, orang mungkin memiliki sumber daya yang cukup untuk
mengatasi kemiskinannya tetapi rentan terhadap krisis eksternal, seperti merosotnya
harga komoditas (misalnya gaharu dan karet) atau meningkatnya harga minyak.
Pergeseran dari ekonomi kebutuhan ke arah ekonomi keserakahan menciptakan sekat
antara penduduk asli dan pendatang baru, dan mengikis kerukunan sosial dan rasa
gotong-royong.
Pattinama (2009) dalam studinya mengenai konsep kemiskinan dan
pengamatan ke lokasi penelitian untuk mendeteksi penduduk miskin itu. Kemudian
mencari alternatif kebijakan yang sesuai dengan kondisi spesifik lokal untuk
menanggulangi kemiskinan, dan akhirnya menggali serta memahami kearifan
penduduk lokal dalam hubungannya dengan upaya preventif untuk menanggulangi
kemiskinan. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan observasi langsung,
in-depth interview dan diskusi kelompok fokus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
konsep kemiskinan bersifat banyak sisi atau multifaset. Orang Bupolo dan petani
Surade sama-sama mengolah lahan sempit. Petani Surade miskin karena tidak
mempunyai lahan atau memiliki lahan tetapi dengan skala usaha yang relatif kecil.
57
Orang Bupolo memiliki tanah yang relatif luas tetapi mempunyai keterbatasan akses
pada teknologi, hidup terisolasi karena tidak mempunyai akses terhadap sarana dan
prasarana sosial ekonomi maupun komunikasi, sehingga mereka hidup miskin dan
hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Jadi definisi
kemiskinan perlu diperluas meliputi akses terhadap infrastruktur sosial ekonomi,
keluar dari keterisolasian, ketidakberdayaan, dan kebebasan mengeluarkan pendapat,
serta memperoleh keadilan dalam pembangunan. Kemiskinan tidak bisa didefinisikan
secara tunggal yakni dari kacamata pemenuhan kebutuhan kalori semata
sebagaimana yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) selama ini, karena pada
hakekatnya definisi kemiskinan tidak hanya bersifat relatif tetapi juga dinamis.
BPS (2008) menganalisa kemiskinan melalui pendekatan spesifik-daerah dan
sayang budaya di Sumba Timur. Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang secara
sentralistik kurang memadai dan kurang realistik dalam memantau kemiskinan dan
kesejahteraan masyarakat pada level atau di bawah level kabupaten/kota. Budaya
lokal dan faktor-faktor non-ekonomi lainnya hanya dipertimbangkan secara tidak
langsung melalui penyeragaman pola konsumsi tingkat provinsi. Informasi-informasi
yang dihasilkan tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena tidak dapat
mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi. Oleh karena itu, alat
pengukuran yang akurat, yang dapat merefleksikan hubungan sosial dan budaya dan
yang menyebabkan kemiskinan pada level atau di bawah level kabupaten/kota di
Indonesia sangat diperlukan. Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan
adanya indikatorindikator yang realistik, yang dapat diterjemahkan ke dalam
berbagai kebijakan yang perlu diambil dan program yang perlu dilaksanakan untuk
58
pengentasan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-
fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unitunit sosial yang
lebih besar, dan wilayah. Tinjauan terhadap berbagai fenomena yang berkaitan
dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau
pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta
akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri perlu dilakukan. Indikator-indikator tersebut
tentunya harus bersifat spesifik lokal dan sayang budaya. Salah satu model
kesejahteraan yang komprehensif dan mampu mengidentifikasi tingkat kesejahteraan
individu, rumah tangga atau keluarga, unit-unit sosial, dan wilayah komunitas adalah
model ketahanan sosial seperti dikembangkan Betke (2002).
BPS Aceh Tenggara (2005), melakukan studi pemetaan di Kabupaten Gayo
Lues sampai tingkatan kecamatan yang mencakup desa/ kelurahan yang ada.
Pembuatan peta kemiskinan ini dengan memanfaatkan data dalam Pendataan
Kemiskinan Dengan Indikator Baru (PKIB) Kabupaten Gayo Lues dan Pendataan
Sosial Ekonomi (PSE) 2005. PKIB Kabupaten Gayo Lues dilaksanakan oleh BPS
Aceh Tenggara pada Tahun 2005, sedangkan PSE 2005 dilaksanakan oleh BPS
Pusat. Perbedaan persentase rumah tangga miskin di Kabupaten Gayo Lues,
disebabkan perbedaan dalam metode penelitian yang dilakukan, yaitu: Pertama,
dalam PKIB, pengumpulan data dilakukan dengan metode survei. Sedangkan PSE
2005, pengumpulan data dilakukan dengan metode sensus. Kedua, dalam PKIB yang
menjadi responden adalah semua rumah tangga yang diduga miskin. Kemudian dari
data yang terkumpul baru dilakukan pemisahan menurut 3 kategori yaitu rumah
tangga mendekati miskin, rumah tangga miskin dan rumah tangga sangat miskin.
59
Yang selanjutnya untuk rumah tangga miskin dan rumah tangga sangat miskin
digabung menjadi 1 kategori yaitu rumah tangga miskin (dasar dalam menyusun
metodologi penelitian untuk laporan akhir pemetaan kemiskinan Kabupaten Gayo
Lues 2005).
Studi Marianti, et al (2006) meneliti determinan masyarakat yang tergabung
dalam komunitas dapat keluar dari kemiskinan. Dengan mengidentifikasi faktor
struktur dan pelaku pada komunitas masyarakat menggunakan teknik FGD di Branta
Pesisir. Hasil studi menunjukkan dinamika sosial ekonomi positif mempengaruhi
aksesibilitas coastlibe dan ketersediaan fasilitas publik seperti jalan dan transportasi.
Faktor lainnya adalah kemampuan kritis untuk menerima perbedaan sosial. Begitu
halnya dengan kondisi ekonomi dengan beragamnya sumber pendapatan masyarakat.
Sehingga beberapa hal yang dibutuhkan adalah bantuan teknis dan permodalan.
Studi Awan, et al (2010) mengenai determinan kemiskinan perkotaan di
Sargodha Pakistan terhadap 330 rumah tangga. Analisis didasarkan pada garis
kemiskinan yang ditetapkan pemerintah yakni head count ratio di Sargodha 14,3
persen dan poverty gap cukup tinggi 4,4 persen bila dibandingkan dengan aggregate
poverty gap yaitu 2,1 persen. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor sosial ekonomi
seperti pendidikan, jumlah keluarga, pekerjaan dan public amenities sangat
mempengaruhi pengentasan kemiskinan. Oleh karena ketersediaan fasilitas publik
menjadi faktor penting dalam mendukung program pengurangan kemiskinan.
Studi Radhakrishna, et al (2006) mengenai determinan chronic poverty di
India. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor demografi, rendahnya tingkat upah,
rendahnya pendapatan dan faktor sosial menyumbang terjadinya chronic poverty.
60
Rumah tangga yang jatuh dalam kemiskinan kronis adalah rumah tangga dengan
jumlah anggota keluarga, anak yang banyak, rasio ketergantungan, menurunnya
pengeluaran dan jumlah jam kerja.
Studi Kam, et al (2005) menganalisis variasi spasial kemiskinan pedesaan di
Bangladesh dan terkait dengan aset yang dimiliki mempengaruhi ketahanan pangan.
Faktor lainnya adalah pendidikan, aksesibilitas dan pelayanan mempengaruhi tingkat
kemiskinan. Oleh karena itu dibutuhkan kemajuan pendidikan dan akses dalam
penciptaan pendapatan.
Studi Dostie, et al (2002), mengukur dampak intervensi akibat adanya
ketahanan pangan. Hasil studi menunjukkan intervensi meningkatkan produktifitas
pertanian.
Studi de Janvry, et al (2000), mengidentifikasi empat jalur kemiskinan yaitu
exit, pertanian, pluriactive dan assistance. Hasil studi menunjukkan pendapatan
masyarakat rural ditentukan oleh aset dan karakteristik penggunaan aset. Faktor
lainnya teknologi pertanian memegang peranan penting dalam menyumbang
peningkatan pertumbuhan nasional di Amerika Latin.
Studi Anand, et al (2011) mengenai pengaruh faktor psikologi dan perilaku
ekonomi terhadap kemiskinan yang diindikasikan dengan kemandirian dan
pemberdayaan dan program pengurangan kemiskinan. Bahwa pengetahuan atau
pengalaman yang dimiliki masyarakat, kognisi dan faktor sosial serta hubungan
sosial efektif dalam pengentasan kemiskinan.
Pennings, et al (2005), menyebutkan inovasi, time preference dan kekayaan
berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan. Time preference akan berimplikasi
61
untuk negara berkembang, organisasi bantuan internasional, IMF, Bank Dunia,
universitas dan kebijakan nasional negara berkembang. Disebutkan bahwa ekspor
dan penerimaan negara dan program transfer ditujukan untuk mencapai take-off time
preference rate melalui investasi kesehatan dan pendidikan.
Studi Montalvo, et al (2010) menganalisis kesuksesan China dalam
menurunkan kemiskinan dimana dari hasil studi menunjukkan sektor primer menjadi
pendorong utama penurunan kemiskinan absolut dibandingkan dengan sektor
manufaktur dan sektor jasa yang berbeda dengan India yang lebih pada sektor jasa.
Dalam hal ini China menciptakan sistem de-collectivization pertanian dan
memperkenalkan household responsibility system.
Labar et al (2011) menganalisis penurunan kemiskinan di China dengan
menggunakan analisis multidimensional terhadap deprivasi pendapatan, pendidikan,
kesehatan. Hasil studi menunjukkan kemiskinan menurun selama periode 1991-2006
dimana deprivasi pendapatan, pendapatan dan kesehatan secara statistik signifikan
untuk periode 1991-2004 dan adanya keberhasilan pendidikan sejak berakhirnya
revolusi budaya. Namun pasca tahun 1997, program sosial terhadap kemiskinan
menurun dan berpengaruh pada pendidikan dan kesehatan. Namun sejak pertengahan
tahun 2000-an pemerintah China kembali menekankan program pengentasan
kemiskinan dengan Di-Bao system untuk rural area.
Grootaert et al (2004) menganalisis dampak modal sosial terhadap
kesejahteraan masyarakat di Bolivia. Modal sosial yang diukur dengan keanggotaan
dalam agrarian syndicates dan asosiasi lainnya mendorong peningkatan
kesejahteraan rumah tangga dan menurunkan kemiskinan. Modal sosial memberikan
62
efek kesejahteraan lebih besar dibandingkan investasi dalam pendidikan. Dalam studi
ini juga mengelaborasikan hubungan komplementer dan substitusi antara lembaga
formal dan informal.
Studi McCulloch et al (2003) menunjukkan kemiskinan di Sichuan selama
periode 1991-1995 adalah dinamis dan persisten. Kemiskinan kronis yang diartikan
sebagai tingginya kerentanan kemiskinan dan dibandingkan dengan definisi
tradisional yang diartikan dengan konsumsi rata-rata rendah. Masyarakat rentan
miskin pada saat rata-rata konsumsi di atas garis kemiskinan.
Mukherjee, et al (2003) menganalisis determinan kemiskinan di Malawi
selama tahun 1997-1998. Hasil studi menunjukkan tingginya pendidikan terutama
untuk perempuan dan realokasi tenaga kerja dalam sektor perdagangan dan jasa lebih
efektif menurunkan kemiskinan di Malawi.
Dhanani et al (2002) mengestimasi consumption poverty di Indonesia dan
capability poverty. Selama periode krisis, pola konsumsi digambarkan dengan
transient in nature dan kerentanan. Dengan tidak adanya intervensi pemerintah dan
kondisi makroekonomi yang tidak stabil menyebabkan kerentanan. Maka dengan
kelangsungan fiskal melalui jaring pengaman sosial mampu menciptakan modal
sosial dalam upaya menanggulangi kemiskinan.
Bastiaensen, et al (2005) menunjukkan bahwa kemiskinan terkait dengan
faktor kelembagaan yaitu pada social-constructivist yang fokus pada proses politik
dan contest people entitlement. Adanya pengaturan kelembagaan politik merupakan
faktor utama dalam pengurangan kemiskinan.
63
Sedangkan Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan studi dengan beberapa
indikator. BPS (2000) melakukan studi penentuan kriteria penduduk miskin (SPKPM
2000) untuk mengetahui karakteristik-karakteristik rumah tangga yang mampu
mencirikan kemiskinan secara konseptual (pendekatan 16 Analisis dan Penghitungan
Tingkat Kemiskinan Tahun 2008 kebutuhan dasar/garis kemiskinan). Hal ini menjadi
sangat penting karena pengukuran makro (basic needs) tidak dapat digunakan untuk
mengidentifikasi rumah tangga/penduduk miskin di lapangan. Informasi ini berguna
untuk penentuan sasaran rumah tangga program pengentasan kemiskinan (intervensi
program). Cakupan wilayah studi meliputi tujuh provinsi, yaitu Sumatera Selatan,
DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat,
dan Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil studi SPKPM 2000 diperoleh delapan
variabel yang dianggap layak dan operasional untuk penentuan rumah tangga miskin
di lapangan. Skor 1 mengacu kepada sifat-sifat yang mencirikan kemiskinan dan skor
0 mengacu kepada sifat-sifat yang mencirikan ketidakmiskinan. Kedelapan variabel
tersebut adalah:
1) Luas Lantai Perkapita :
a) <= 8 m2 (skor 1)
b) > 8 m2 (skor 0)
2) Jenis Lantai :
a) Tanah (skor 1)
b) Bukan Tanah (skor 0)
3) Air Minum/Ketersediaan Air Bersih :
a. Air hujan/sumur tidak terlindung (skor 1)
64
b. Ledeng/PAM/sumur terlindung (skor 0)
4) Jenis Jamban/WC :
a) Tidak Ada (skor 1)
b) Bersama/Sendiri (skor 0)
5) Kepemilikan Asset :
a. Tidak Punya Asset (skor 1)
b. Punya Asset (skor 0)
6) Pendapatan (total pendapatan per bulan) :
a. <= 350.000 (skor 1)
b. > 350.000 (skor 0)
7) Pengeluaran (persentase pengeluaran untuk makanan) :
a. 80 persen + (skor 1)
b. < 80 persen (skor 0)
8) Konsumsi lauk pauk (daging, ikan, telur, ayam) :
a. Tidak ada/ada, tapi tidak bervariasi (skor 1)
b. Ada, bervariasi (skor 0)
Kedelapan variabel tersebut diatas diperoleh dengan menggunakan metode
stepwise logistic regression dan misklasifikasi yang dihasilkan sekitar 17 persen.
Hasil analisis deskriptif dan uji Chi-Square juga menunjukkan bahwa kedelapan
variabel terpilih tersebut sangat terkait dengan fenomena kemiskinan dengan tingkat
kepercayaan sekitar 99 persen. Skor batas yang digunakan adalah 5 (lima) yang
didasarkan atas modus total skor dari domain rumah tangga miskin secara
konseptual. Dengan demikian apabila suatu rumah tangga mempunyai minimal 5
65
(lima) ciri miskin maka rumah tangga tersebut digolongkan sebagai rumah tangga
miskin.
Penghitungan kemiskinan dengan mengaplikasikan dan memodifikasi
pendekatan kriteria penduduk miskin BPS telah dilaksanakan di tiga provinsi, yaitu
Kalimantan Selatan (1999), DKI Jakarta (2000), dan Jawa Timur (2001). Aplikasi
penghitungan kemiskinan berdasarkan variabel-variabel kemiskinan rumah tangga
tersebut dikenal sebagai Sensus Kemiskinan.
Sensus Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan, 1999. Penentuan suatu
rumah tangga layak dapat Sembako didasarkan pada hasil skoring dari beberapa
variabel yang diolah dari data hasil Pendataan Rumah tangga 1999. Secara garis
besar variabel dimaksud adalah :
1) Kelompok pendapatan perkapita.
2) Pola makanan.
3) Pakaian.
4) Perumahan : luas lantai, jenis lantai, jenis atap, dan kakus.
5) Fasilitas TV.
Penentuan nilai skor untuk masing-masing variabel dibedakan antara daerah
perkotaan dan perdesaan. Selain itu, dalam menentukan skor juga dilakukan
beberapa kali uji coba (trial and error), sampai diperoleh nilai yang dianggap
memadai. Dengan demikian, hasil dari skoring tersebut yang selanjutnya digunakan
sebagai dasar dalam menentukan suatu rumah tangga layak atau tidak layak dapat
sembako.
66
Sensus Kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta, 2000. Suatu rumah tangga
dikategorikan sebagai rumah tangga miskin apabila memiliki minimal 3 ciri/variabel
dari 7 variabel kemiskinan rumah tangga, yaitu:
1) Luas lantai hunian kurang dari 8 m2 per anggota rumah tangga.
2) Jenis lantai hunian sebagian besar tanah atau lainnya.
3) Fasilitas air bersih : tidak ada.
4) Fasilitas jamban/WC : tidak ada dan atau WC Umum.
5) Kepemilikan aset (kursi tamu) : tidak tersedia.
6) Konsumsi lauk-pauk dalam seminggu : tak bervariasi.
7) Kemampuan membeli pakaian minimal 1 stel dalam setahun untuk setiap
anggota rumah tangga : tidak ada.
Sensus Kemiskinan di Provinsi Jawa Timur, 2001. Metodologi yang
digunakan dalam penentuan skor untuk mengukur Indeks Rumah tangga Miskin
(IRM) yaitu metode skor tertimbang (weighted scoring method) pada setiap
kategorinya. Dengan menggunakan 11 variabel, dimana dalam setiap variabelnya
dibagi menjadi 3 kategori yaitu skor 1 yang menggambarkan riil ekonomi yang
cenderung tidak miskin, skor 2 cenderung miskin, dan skor 3 sangat miskin. Metode
skoring ini memberikan interval nilai 1-3 yang disebut sebagai Indeks Tingkat
Kemiskinan yang artinya bahwa semakin tinggi nilai indeksnya semakin miskin
kondisi rumah tangga bersangkutan. Orang yang tidak miskin mempunyai nilai
indeks kecil atau mendekati 1 (satu). Dalam rangka evaluasi antar wilayah,
diperlukan indeks secara wilayah yang dapat dilakukan berjenjang dari Rukun
Tetangga (RT), desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi.
67
Penghitungan indeks pada tingkat RT, desa/ kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota,
dan provinsi sudah harus menggunakan penimbang rumah tangga/ penduduk miskin
dalam suatu wilayah satu tingkat dibawahnya.
Peta Penduduk Miskin Indonesia, 2000. Pemetaan penduduk miskin
memberikan gambaran awal yang menyeluruh (snapshot) mengenai sebaran
penduduk miskin berdasarkan tingkat wilayah administrasi tertentu dan pada waktu
tertentu. Peta semacam ini adalah untuk mengetahui peta wilayah atau “kantong”
penduduk miskin di Indonesia. Melalui peta ini penduduk miskin dapat diketahui,
baik secara relatif (persentase penduduk miskin) maupun secara absolut (jumlah
penduduk miskin). Metode pemetaan penduduk miskin (Metode PovMap) pada
dasarnya merupakan suatu metode yang menggunakan model regresi untuk
memperkirakan pengeluaran rumah tangga dalam sensus berdasarkan data
pengeluaran hasil survei. Hasil estimasi mengenai ukuran-ukuran kesejahteraan
rumah tangga hasil sensus kemudian diaggregasikan menjadi ukuran-ukuran
kemiskinan dan ketimpangan pada tingkat desa. Metode PovMap diimplementasikan
melalui dua tahap. Tahap pertama merupakan tahap pembentukan model pengeluaran
dan dekomposisi komponen residu (random). Dalam tahap ini penghitungan poverty
mapping, dimulai dengan melakukan estimasi fungsi pengeluaran. Dalam
pemilihannya, variabel-variabel penjelas yang akan digunakan dalam
model,pengeluaran harus terdapat pada data sensus dan survei, variabel-
variabel,tersebut kemudian diuji dan didiagnostik melalui metode statistik
untuk,memperoleh variabel penjelas yang paling tepat menjelaskan fungsi konsumsi
rumah tangga. Tahap kedua adalah tahap simulasi. Pada tahap ini proses simulasi
68
melakukan beberapa tahap iterasi untuk memperoleh model yang paling tepat untuk
menjelaskan konsumsi rumah tangga sensus. Proses ini menggunakan paket program
(software package) yang telah disiapkan oleh Qinghua Zhao dari DECRG World
Bank (2002). Aplikasi software tersebut secara otomatis (dengan spesifikasi model
yang memadai) menghasilkan indeks-indeks kemiskinan sampai pada level desa
dengan masing-masing tingkat kecermatan kesalahan bakunya.
Pemetaan Kemiskinan Kecamatan di Indonesia, 2005. Penghitungan
penduduk miskin tahun 2005 tingkat kecamatan dilakukan dengan menggunakan
gabungan data Susenas Kor tahun 2000-2005, sehingga kecukupan sampel untuk
estimasi pada tingkat kecamatan terpenuhi. Metode yang digunakan adalah dengan
menggunakan metode yang didasarkan pada Hukum Engel. Dasar dari Hukum Engel
adalah semakin miskin seseorang maka akan semakin tinggi proporsi pengeluaran
untuk makanan. Langkah-langkah penghitungannya adalah seperti berikut ini:
1) Mencari Garis Kemiskinan (GK) provinsi tahun 2002 dari Kor yang setara
dengan GK provinsi dari Modul tahun 2002. Hal ini dilakukan oleh karena
Susenas 2005 bukan merupakan modul konsumsi.
2) Menghitung GK provinsi tahun 2005 dengan menggunakan GK provinsi
tahun 2002 dari Kor yang disesuaikan dengan perubahan IHK pada provinsi
selama Feb 2002-Feb 2005.
3) Menghitung jumlah dan persentase penduduk miskin provinsi tahun 2005
berdasarkan GK provinsi tahun 2005 dengan menggunakan data Susenas Kor
2005.
69
4) Jumlah dari penduduk miskin per provinsi disesuaikan dengan jumlah
penduduk miskin nasional yang dihitung dari panel Susenas Modul Konsumsi
2005.
5) Menghitung rata-rata proporsi konsumsi makanan per provinsi (PMp) untuk
penduduk miskin.
6) Menghitung interval estimasi PMp dengan tingkat keyakinan 99 persen.
7) Dari butir f, diperoleh batas atas interval estimasi koefisien Engel untuk
provinsi (Ep).
8) Menghitung rasio proporsi konsumsi makanan kabupaten (PMk) terhadap
PMp: RPM=PMk/PMp.
9) Menghitung koefisien Engel untuk kabupaten/kota sebagai batas kemiskinan,
yaitu: Ek=Ep*RPM.
10) Berdasarkan butir i dilakukan penghitungan jumlah dan persentase penduduk
miskin tahun 2005. Pada tahap ini dilakukan penyesuaian, dimana apabila
proporsi makanan di atas batas pada butir i, namun pengeluaran per kapitanya
di atas batas atas interval garis kemiskinan pada tingkat keyakinan 99 persen,
maka dikategorikan tidak miskin.
11) Lakukan prorate jumlah/persentase penduduk miskin kabupaten/kota
terhadap jumlah penduduk miskin provinsi (hasil pada butir d).
12) Selanjutnya menghitung rata-rata proporsi pengeluaran makanan per
kecamatan untuk penduduk miskin.
70
13) Kemudian, dihitung koefisien Engel untuk kecamatan sebagai batas
kemiskinan dengan cara yang sama pada saat menghitung koefisien Engel
kabupaten.
14) Hasilnya digunakan untuk melakukan penghitungan jumlah dan persentase
penduduk miskin tingkat kecamatan. Pada tahap ini dilakukan penyesuaian,
yaitu apabila proporsi makanan lebih besar daripada batas namun
pengeluaran per kapitanya di atas batas interval garis kemiskinan pada tingkat
keyakinan 99 persen, maka dikategorikan tidak miskin.
15) Dari persentase penduduk miskin yang diperoleh pada butir k, maka dihitung
GK dari seluruh kabupaten/kota. Penghitungan GK kabupaten/kota dilakukan
sebagai dasar dalam penghitungan indeks kedalaman kemiskinan/poverty gap
index (P1).
Pendekatan Spesifik-Daerah dan Sayang Budaya di Sumba Timur. Ukuran-
ukuran kemiskinan yang dirancang secara sentralistik kurang memadai dan kurang
realistik dalam memantau kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat pada level atau
di bawah level kabupaten/kota. Budaya lokal dan faktor-faktor non-ekonomi lainnya
hanya dipertimbangkan secara tidak langsung melalui penyeragaman pola konsumsi
tingkat provinsi. Informasi-informasi yang dihasilkan tersebut dapat menjadikan
kebijakan salah arah karena tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya
yang terjadi. Oleh karena itu, alat pengukuran yang akurat, yang dapat merefleksikan
hubungan sosial dan budaya dan yang menyebabkan kemiskinan pada level atau di
bawah level kabupaten/kota di Indonesia sangat diperlukan (Menuju Pendekatan
Pemantauan Kesejahteraan Rakyat yang Spesifik Daerah dan Sayang Budaya,
71
Ritonga dan Betke 2002). Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya
indikatorindikator yang realistik, yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai
kebijakan yang perlu diambil dan program yang perlu dilaksanakan untuk
pengentasan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-
fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unitunit sosial yang
lebih besar, dan wilayah. Tinjauan terhadap berbagai fenomena yang berkaitan
dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau
pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta
akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri perlu dilakukan. Indikator-indikator tersebut
tentunya harus bersifat spesifik lokal dan sayang budaya. Salah satu model
kesejahteraan yang komprehensif dan mampu mengidentifikasi tingkat kesejahteraan
individu, rumah tangga atau keluarga, unit-unit sosial, dan wilayah komunitas adalah
model ketahanan sosial seperti dikembangkan Betke (2002).
Pendataan Sosial Ekonomi Tahun 2005 (PSE05). Data kemiskinan yang
selama ini dihitung dari Susenas merupakan data makro berupa perkiraan penduduk
miskin di Indonesia yang hanya dapat disajikan sampai tingkat provinsi/kabupaten.
PSE05 dimaksudkan untuk mendapatkan data kemiskinan mikro berupa direktori
rumah tangga menerima BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang berisi nama kepala
rumah tangga dan alamat tempat
tinggal mereka. Berbeda dengan data kemiskinan makro, penentuan rumah tangga
penerima BLT pada PSE05 didasarkan pada pendekatan karakteristik rumah tangga,
bukan dengan pendekatan nilai konsumsi pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan
72
dasar minimum (non-monetary approach). Adapun indikator yang digunakan ada
sebanyak 14 variabel, yaitu :
1) Luas lantai rumah
2) Jenis lantai rumah
3) Jenis dinding rumah
4) Fasilitas tempat buang air besar
5) Sumber air minum
6) Penerangan yang digunakan
7) Bahan bakar yang digunakan
8) Frekuensi makan dalam sehari
9) Kebiasaan membeli daging/ayam/susu
10) Kemampuan membeli pakaian.
11) Kemampuan berobat ke puskesmas/poliklinik
12) Lapangan pekerjaan kepala rumah tangga
13) Pendidikan kepala rumah tangga
14) Kepemilikan aset.
Metode yang digunakan dalam penentuan kategori rumah tangga penerima
BLT adalah dengan menggunakan sistem skoring dimana setiap variabel diberi skor
yang diberi bobot dan bobotnya didasarkan kepada besarnya pengaruh dari setiap
variabel terhadap kemiskinan. Jumlah variabel dan besarnya bobot berbeda di setiap
kabupaten. Dari bobot masing-masing variabel terpilih untuk tiap kabupaten/kota
selanjutnya dihitung indeks skor rumah tangga penerima BLT dari hasil PSE05.
73
BAB III
KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Kemiskinan dilihat dari dimensi ruang multidimensional, bukan hanya pada
kerangka yang bersifat absolut. Proses menuju kesejahteraan atau kemampuan
masyarakat miskin untuk dapat keluar dari lingkaran kemiskinan menjadi integrated
concept yang memperhatikan aspek potensi diri yang dimiliki masyarakat yang
didukung oleh peran serta pemerintah dalam perangkat program pemberdayaan.
Upaya untuk menanggulangi kemiskinan bukan terbatas pada koridor waktu jangka
pendek, namun juga jangka panjang melalui pentingnya keberlanjutan dan
pengembangan potensi diri terutama dalam menghadapi kerentanan kemiskinan.
Secara umum rangkaian proses tersebut sebagaimana gambar 3.1.
Karakteristik rumah tangga miskin yang disajikan mengacu pada teori Nested
Spheres of Poverty (NESP). Inti pada model ini mencakup kebutuhan dasar seperti
makanan, kesehatan, perumahan dan pendidikan. Juga tercakup adalah kapabilitas
individu secara umum (yakni, kecakapan dan kondisi fisik) untuk keluar dari
kemiskinan. Pada model NESP, kebutuhan dasar dan kapabilitas individu digabung
menjadi tiga kategori kesehatan, materi dan pengetahuan (formal, informal atau
tradisional). Konteks terdiri dari lima lingkungan. Lingkungan alam mencakup
ketersediaan dan kualitas sumber daya alam. Lingkungan ekonomi mencakup
kesempatan ekonomi dan jaring pengaman. Aspek-aspek seperti kapital dan kohesi
sosial, rasa saling percaya dan konflik, membangun lingkungan sosial. Lingkungan
74
politik terdiri dari hak dan partisipasi atau representasi dalam pengambilan
keputusan, pemberdayaan dan kebebasan. Lapisan luar model NESP adalah
lingkungan konteks kelima, yang mempengaruhi keempat lingkungan konteks yang
lain prasarana dan pelayanan. Gambar 3.1 berikut akan mennjukkan lebih lanjut
mengenai kerangka berpikir dalam penelitian ini.
Gambar 3.1
Kerangka Berpikir
Permasalahan Multidimensi Kemiskinan
Ekonomi Politik Sosial Alam Infrastruktur
Pendekatan Model Nested Spheres of Poverty (NESP) atau Model Kesejahteraan
Kapabilitas Masyarakat
Miskin (Faktor Internal)
Kesejahteraan Masyarakat Miskin
(Pengentasan Kemiskinan)
Peluang Pendukung
(Faktor Eksternal)
Keberlanjutan
Dimensi Waktu Kerentanan
Kebijakan Pengentasan
Kemiskinan
1. Pemerintah
2. Non Pemerintah
Strategi Pengentasan Kemiskinan Lokal
Melalui
1. KelembagaanDesa Adat dan Koperasi
2. Pemberdayaan Ekonomi
3. Tata Kelola Program
Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi
75
Menurut Gonner et al (2007) bahwa upaya meningkatkan dan
mempertahankan kesejahteraan masyarakat miskin dapat dilakukan dengan
memperbaiki lingkungan pendukung masyarakat antara lain kapabilitas, strategi
penghidupan lokal, peluang dan dukungan, kerentanan, keberlanjutan. Beberapa
prinsip meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah :
1) Kapabilitas masyarakat miskin harus didayagunakan dan diperkuat.
Kapabilitas mencakup lima hal yaitu keuangan, manusia, sosial, fisik, dan
alam.
2) Peluang dan dukungan untuk memanfaatkan kapabilitas masyarakat. Bukan
hanya peluang ekonomi, seperti pekerjaan dan pasar, namun juga peluang
politis untuk berpartisipasi dan pemberdayaan yang lebih baik. Pemerintah
daerah dengan instansi pemerintah lainnya dan sektor swasta memegang
peran penting.
3) Kerentanan perlu dikurangi dimana masyarakat membutuhkan rasa aman.
Sebagian kelompok miskin rentan untuk kembali menjadi miskin atau
terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Bukan hanya melalui jaring pengaman
masyarakat seperti asuransi kesehatan gratis, pendidikan gratis dan makanan
subsidi tetapi juga memerlukan jaring pengaman berbasis keluarga atau
masyarakat, diversifikasi pendapatan untuk menghindari resiko dan
ketergantungan pada hubungan timbal balik melalui jaringan sosial yang
diperluas.
4) Keberlanjutan diperlukan untuk memastikan keberhasilan pengentasan
kemiskinan dalam jangka panjang. Mengorbankan lingkungan alam atau
76
kohesi sosial untuk capaian ekonomis jangka pendek tidak meningkatkan
kesejahteraan, namun perlu adanya keseimbangan antar komponen
lingkungan ekonomi, sosial, alam.
3.2 Konsep Penelitian
Kerangka konsep penelitian berangkat dari berbagai isu kemiskinan nasional
dan kemiskinan daerah yang hingga saat ini masih menjadi masalah utama
pembangunan ekonomi. Penelitian ini lebih menekankan pada pendekatan model
Nested Spheres of Poverty (NESP) dalam memandang kemiskinan sebagai sebuah
jaring. Bagian tengah terbentuk dari kesejahteraan subyektif atau Sejahtera Subyektif
(SJS), dan dikelilingi oleh aspek inti kemiskinan, yang meliputi kebutuhan dasar, dan
lingkungan pendukung kontekstual yang merupakan media untuk keluar dari
kemiskinan. Kesejahteraan subyektif bersifat sangat individu dan emosional.
Kesejahteraan ini tidak memiliki nilai konstan, tetapi berubah-ubah sesuai dengan
suasana hati dan lingkungan. Kategori dalam model ini lebih komprehensif dimana
Pemerintah dapat menentukan lingkungan dan indikatornya sesuai prioritas.
Aspek inti pada lapisan model NESP mencakup kebutuhan dasar seperti
makanan, kesehatan, perumahan dan pendidikan. Yang juga tercakup adalah
kapabilitas individu secara umum (yakni, kecakapan dan kondisi fisik) untuk keluar
dari kemiskinan. Lingkungan alam mencakup ketersediaan dan kualitas sumber daya
alam. Lingkungan ekonomi mencakup kesempatan ekonomi dan jaring pengaman.
Lingkungan politik terdiri dari hak dan partisipasi atau representasi dalam
pengambilan keputusan, pemberdayaan dan kebebasan. Lingkungan pendukung
lainnya adalah prasarana dan pelayanan. Keduanya sebagian besar disediakan oleh
77
badan-badan pemerintah, LSM, proyek pembangunan dan sektor swasta. Konteks
adalah lingkungan pendukung yang mendukung upaya-upaya inisiatif sendiri untuk
keluar dari kemiskinan. Lebih jelasnya, Gambar 3.2 akan menunjukkan kerangka
konsep dalam penelitian ini.
Gambar 3.2
Kerangka Konsep
Permasalahan Multidimensi
Kemiskinan
Ekonomi Politik Sosial Alam Infrastruktur
Pendekatan Model Nested Spheres of Poverty (NESP) atau Model Kesejahteraan
Penyebab Kemiskinan
di Kabupaten
Klungkung
a. Indeks Kemiskinan
b. Sumber : PPLS hasil
validasi tahun 2012
by name, by address
c. Rumah tangga
sasaran (RTS)
kelompok 1, 2, 3
Pemetaan Wilayah
Kemiskinan
Kabupaten Klungkung
Strategi Pengentasan Kemiskinan
di Kabupaten Klungkung
(Pendekatan Prioritas Masalah/Penyebab)
Identifikasi Potensi
Daerah/Masyarakat Miskin
Evaluasi Kebijakan Pengentasan
Kemiskinan
Analisis SWOT Analisis Deskriptif Kuantitatif
Metode Analytical
Hierarchy Process
78
Berdasarkan indikator kemiskinan dengan model NESP atau model
kesejahteraan, maka akan dapat dipetakan wilayah-wilayah yang menjadi kantong-
kantong kemiskinan di suatu wilayah berdasarkan indikator prioritas masalah yang
dihadapi tiap daerah dengan nilai kondisi yang dihitung melalui indeks kemiskinan
yaitu baik/sejahtera, moderat dan kritis. Secara operasional, data rumah tangga yang
akan digunakan dalam sampel adalah berdasarkan hasil validasi Program
Perlindungan Sosial (PPLS) yang mengkategorikan masyarakat miskin dalam
kelompok satu adalah rumah tangga di bawah 1,2 Garis Kemiskinan, kelompok dua
adalah rumah tangga diantara 1,2 hingga 1,5 Garis Kemiskinan dan kelompok tiga
adalah rumah tangga berada di antara 1,5 hingga 1,7 Garis Kemiskinan. Kelompok
satu adalah sasaran prioritas terutama untuk program yang bersifat bantuan dan
perlindungan sosial, sementara kelompok dua dan tiga adalah kelompok yang rentan
miskin (Bappeda Kabupaten Klungkung, 2012).
Permasalahan kemiskinan akan muncul secara persisten bila potensi
masyarakat tidak berusaha untuk digali dan dikembangkan. Maka setelah pemetaan
dan identifikasi penyebab masalah kemiskinan sebagai pendekatan yang akan
digunakan dalam program pengentasan, maka identifikasi potensi wilayah dan
potensi diri masyarakat miskin juga perlu mendapatkan prioritas dalam upaya
menjaga keberlanjutan program pengentasan kemiskinan dan mereduksi kerentanan
kemiskinan. Metode yang digunakan adalah SWOT. Selain itu identifikasi terhadap
kebijakan atau berbagai program pengentasan kemiskinan menjadi sangat penting
sehingga tidak terjadi overlapping dalam berbagai implementasi program baik yang
dikeluarkan Pemerintah Daerah maupun lembaga non pemerintah lainnya. Metode
79
yang digunakan adalah statistik deskriptif. Tujuan akhir yang akan dicapai dalam
penelitian ini adalah pada akhirnya untuk mendapatkan strategi pengentasan
kemiskinan daerah secara lebih komprehensif dan implementatif. Metode yang
digunakan adalah Analytical Hierarchy Process (AHP).
79
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat eksploratif dan deskriptif kuantitatif yang memberikan
gambaran nyata kondisi kemiskinan di Kabupaten Klungkung Provinsi Bali.
Penelitian ini mencoba untuk mengidentifikasi dengan pendekatan kuantitatif dalam
menangkap indikator kemiskinan dan potensi masyarakat miskin. Untuk evaluasi
kebijakan dan rekomendasi kebijakan bersifat deskriptif kualitatif dan pendekatan
kualitatif yang dikuantifikasikan dalam bentuk analytical hierarchy process yang
berusaha menangkap persepsi expertise mengenai strategi pengentasan kemiskinan.
Kerangka operasional penelitian berangkat dari berbagai isu kemiskinan
nasional dan kemiskinan daerah yang hingga saat ini masih menjadi masalah utama
pembangunan. Berbagai pendekatan dalam pengentasan kemiskinan baik nasional
maupun daerah menggunakan berbagai macam penggunaan atau pengukuran
indikator yang dikeluarkan oleh lembaga pelaksana program pengentasan
kemiskinan. Namun implementasi program belum tercapai secara optimal, yang
disebabkan oleh sifat program yang masih normatif dan generik dan belum
menyentuh pada akar permasalahan penyebab kemiskinan, sehingga terkadang
capaian program menjadi tidak tepat sasaran. Adapun tahapan penelitian meliputi :
1) Tahap Persiapan
Satuan terkecil yang menjadi obyek penelitian adalah rumah tangga sasaran,
dimana yang dimaksud dengan rumah tangga adalah seseorang atau
80
sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik yang
tinggal dan hidup bersama. Pendataan rumah tangga untuk masing-masing
kelurahan/desa didapatkan dari informasi kepala kelurahan/desa dan data by
name by address yang telah di-release oleh BPS, dan kemudian rukun warga
dari masing-masing kelurahan/desa dan menentukan rumah tangga miskin
secara proportional area random sampling berdasarkan informasi rukun
warga/rukun tetangga.
2) Tahap Pelaksanaan Penelitian Lapangan
Pada dasarnya pelaksanaan penelitian lapangan dilaksanakan dalam dua
tahapan, yaitu:
a) Survei utama, tahapan penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan
data primer dan hasilnya digunakan sebagai dasar analisis kajian.
Tahapan ini dilakukan kepada sampel rumah tangga sasaran yang dipilih
sesuai dengan prosedur dan kaidah random sampling untuk mendapatkan
hasil yang mewakili keadaan masyarakat Kabupaten Klungkung Provinsi
Bali.
b) Pendalaman dan konfirmasi hasil dilakukan setelah mendapatkan hasil
survai utama dan dilakukan pengambilan kesimpulan sementara.
3) Tahap Analisis dan Rekomendasi Kebijakan
Tahapan selanjutnya setelah survei adalah analisis data dengan menggunakan
berbagai macam alat analisis. Pelaksanaan analisis data harus dapat
memenuhi tujuan dari kajian ini berupa :
a) Mengidentifikasi indikator kemiskinan di Kabupaten Klungkung.
81
b) Mengidentifikasi dan menggambarkan tingkat kemiskinan di Kabupaten
Klungkung.
c) Membuat peta penyebaran masyarakat miskin di wilayah Kabupaten
Klungkung.
d) Mengetahui gambaran penyebab kemiskinan dan peluang atau potensi
yang dapat digunakan untuk melakukan program pengentasan
kemiskinan.
Hasil identifikasi indikator kemiskinan selanjutnya akan dianalisis guna membuat
rekomendasi kebijakan terkait dengan pengentasan kemiskinan. Untuk maksud
tersebut dilakukan beberapa hal sebagai berikut.
1) Membandingkan keadaan desa-desa yang disurvei yang sebenarnya dengan
data yang mewakilinya.
2) Menyimpulkan masalah apa yang paling mungkin menjadi penyebab.
3) Membuat peringkat masalah berdasarkan data temuan dan eksplorasi, dengan
mempertimbangkan, antara lain :
a) Tingkat keseriusan dampak yang mungkin terjadi jika masalah tersebut
tidak terselesaikan,
b) Seberapa banyak orang yang terkena dampak masalah tersebut,
c) Jumlah masalah lain yang akan timbul jika masalah tersebut tidak
dipecahkan.
4) Menentukan tindakan-tindakan yang sekiranya akan efektif memecahkan
masalah. Untuk setiap tindakan, ditentukan juga skala waktu serta skalanya,
82
apakah jangka pendek, menengah atau panjang. Selain itu, apakah dilakukan
pada skala desa, lintas desa, kecamatan atau lintas kecamatan.
5) Membuat peringkat prioritas untuk tindakan ini. Pemeringkatan dapat
dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain:
a) Relevansi calon tindakan dengan penyebab masalah, yaitu bahwa setiap
tindakan yang diambil harus ditujukan untuk memecahkan masalah
prioritas.
b) Peringkat masalah yang menjadi target untuk dipecahkan.
c) Tingkat peluang keberhasilan.
Dalam penyusunan rekomendasi kebijakan pengentasan kemiskinan
sepantasnya memuat isu mengenai dua hal berikut:
1) Model pemanfaatan potensi masyarakat miskin melalui pemberdayaan
masyarakat.
2) Model pemberdayaan masyarakat miskin sebagai salah satu faktor potensial
dalam pengentasan kemiskinan di Kabupaten Klungkung Provinsi Bali
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian adalah Kabupaten Klungkung Provinsi Bali dengan
pengamatan pemetaan kantong kemiskinan mencakup seluruh kecamatan di
Kabupaten Klungkung. Alasan pemilihan Kabupaten Klungkung sebagai lokasi
penelitian adalah secara persentase jumlah masyarakat miskin terhadap total jumlah
penduduk menempati urutan pertama. Secara makroekonomi regional, pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Klungkung tahun 2013 yaitu 5,71 persen cukup moderat pada
kisaran pertumbuhan ekonomi Provinsi 6,05 persen dan indikator sosial Indeks
83
Pembangunan Manusia (IPM) yaitu 72,25 urutan kedelapan setelah Kabupaten
Bangli dengan IPM 72,28. Kabupaten Klungkung juga memiliki potensi sumberdaya
cukup memadai terutama budidaya rumput laut di Kecamatan Nusa Penida, namun
jumlah penduduk miskin di wilayah Nusa Penida tertinggi di Kabupaten Klungkung.
Beberapa kecamatan di Kabupaten Klungkung adalah Kecamatan Nusa
Penida, Banjarangkan, Klungkung dan Dawan. Waktu pengamatan yang menjadi
obyek analisis adalah kondisi 1 (satu) tahun yang sudah berjalan yaitu tahun 2013.
Pertimbangan penggunaan tahun 2013, selain merupakan tahun yang sudah berjalan,
penggunaan informasi waktu yang tidak terlalu panjang adalah untuk memudahkan
merekam informasi dari responden yaitu rumah tangga miskin pada peristiwa yang
lalu dan dapat lebih mudah terdeteksi kerentanan kemiskinan yang masyarakat.
4.3 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari kajian identifikasi penyebab dan upaya pengentasan
kemiskinan di Kabupaten Klungkung Provinsi Bali adalah 1) mendeskripsikan
kondisi kemiskinan; 2) mendeskripsikan faktor penyebab kemiskinan; 3)
mengidentifikasi potensi/sektor-sektor unggulan yang dimiliki wilayah miskin; 4)
mengevaluasi dampak-dampak program pengentasan kemiskinan; 5) merumuskan
rekomendasi mengenai alternatif program penanganan kemiskinan.
4.4 Penentuan Sampel Responden
4.4.1 Sampel Pemetaan Rumah Tangga Miskin
Pemetaan penduduk miskin dimaksudkan untuk memberikan gambaran awal
mengenai sebaran penduduk miskin secara menyeluruh (tingkat wilayah administrasi
84
tertentu dan pada waktu tertentu). Terkait dengan pemetaan penduduk miskin, maka
perlu dilakukan penentuan wilayah yang termasuk dalam kategori miskin. Wilayah
sasaran penelitian adalah wilayah kelurahan dan desa. Kemudian dari wilayah
kelurahan tersebut dilakukan pemilihan dusun/kampung dan diambil sampel rumah
tangga miskin sebagai satuan lingkungan terkecil secara proportional area random
sampling. Teknik proporsional merupakan cara penarikan sampel yang dilakukan
dengan melakukan seleksi setiap unit sampel sesuai dengan ukuran unit sampling.
Keuntungan dari teknik ini adalah aspek representatif lebih meyakinkan sesuai
dengan sifat-sifat yang membentuk dasar unit-unit yang mengklasifikasinya sehingga
mengurangi keanekaragaman (Narimawati dan Dadang, 2008).
85
Gambar 4.1
Bagan Alir Pengambilan Sampel
Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam teknik proportional area
random sampling adalah sebagai berikut :
1. Menentukan sub populasi dari masing-masing kecamatan secara proporsional
persentase Rumah Tangga Sasaran (RTS) dari masing-masing kecamatan dengan
total populasi.
Informasi Rumah Tangga Sasaran (RTS)
(RTM)
Kecamatan :
4 Kecamatan
Kelurahan/Desa A
Temuan Empiris
Kelurahan/Desa B
Kelurahan/Desa
tiap Kecamatan
Dusun Dusun Dusun
RTM RTM RTM
Dusun Dusun Dusun
RTM RTM RTM
proportional area random sampling proportional area random sampling
86
2. Menentukan sampel dengan tehnik perhitungan sampel dan proporsi untuk
masing-masing kecamatan dan mengambil secara proporsional menurut
Kelurahan/Desa dari sampel Kecamatan
3. Mengambil secara acak rumah tangga miskin pada tingkatan dusun/kampung dari
sampel Kelurahan/Desa
Perhitungan sampel dilakukan dengan teknik proportional area random sampling
dengan jumlah populasi sebanyak 11.445 rumah tangga miskin. Data/informasi
jumlah rumah tangga sasaran tersebut diperoleh dari hasil validasi Program
Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2012 yang mengkategorikan masyarakat miskin
dalam kelompok satu adalah rumah tangga di bawah 1,2 garis kemiskinan, kelompok
dua adalah rumah tangga diantara 1,2 hingga 1,5 garis kemiskinan dan kelompok tiga
adalah rumah tangga berada di antara 1,5 hingga 1,7 garis kemiskinan. Kelompok
satu adalah sasaran prioritas terutama untuk program yang bersifat bantuan dan
perlindungan sosial, sementara kelompok dua dan tiga adalah kelompok yang rentan
miskin (Bappeda Kabupaten Klungkung, 2012). Gambaran output pemetaan sampel
rumah tangga sasaran adalah perbedaan tingkatan kondisi sampel yaitu kritis, sedang
atau moderat dan baik. Perhitungan pengambilan sampel adalah sebagai berikut
(Narimawati dan Dadang, 2008) :
21 Ne
Nn
2)1,0(445.111
445.11
= 99
87
Sehingga jumlah sampel yang diambil adalah 99 proporsional untuk masing-masing
kecamatan dan desa/kelurahan dengan toleransi kesalahan 10 persen. Sedangkan
untuk perhitungan sampel secara berjenjang hingga tingkat kelurahan terdapat dalam
lampiran.
Tabel 4.1
Sampel Pemetaan Rumah Tangga Sasaran
Kecamatan Populasi Rumah
Tangga Sasaran
fi Sampel Rumah
Tangga Sasaran
Nusa Penida 5.857 0.51 51
Banjarangkan 1.971 0.17 17
Klungkung 2.129 0.19 18
Dawan 1.488 0.13 13
Jumlah 11.445 100 99
Keterangan : fi adalah proporsi RTS tiap kecamatan terhadap total RTS Kabupaten
Sumber : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Klungkung, 2012, diolah
4.4.2 Sampel Analisa Evaluasi Kebijakan dan Strategi Kebijakan
Penentuan sampel untuk mengidentifikasi strategi kebijakan dilakukan secara
purposive sampling dengan metode analytic hierarchy process (AHP), sedangkan
untuk evaluasi kebijakan dengan analisis deskriptif kuantitatif. Metode AHP tidak
menekankan jumlah minimum responden, namun metode ini menekankan pada
responden yang expert terhadap permasalahan kemiskinan. Pengambilan sampel
penelitian ini sebanyak 4 (empat) responden (Saaty, 1980).
AHP adalah suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur,
biasanya ditetapkan untuk memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif), masalah
yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks atau
88
tidak terkerangka, pada situasi dimana data, informasi statistik sangat minim atau
tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi,
pengalaman ataupun intuisi.
4.5 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data primer dan sekunder,
seperti :
a. Data Primer, yaitu data dan informasi yang diperoleh secara langsung dari
narasumber/responden. Data ini diperoleh dengan melakukan wawancara
terhadap responden dari rumah tangga miskin di Kabupaten Klungkung Provinsi
Bali, yang menjadi unit sampel dalam kajian ini. Serta untuk menangkap
informasi potensi masyarakat dan evaluasi kebijakan, sasaran sampel adalah
pemangku kebijakan yaitu perangkat desa/kecamatan dan tokoh masyarakat.
b. Data Sekunder, yaitu data dan informasi pendukung yang diperoleh dari
dokumen/publikasi/laporan penelitian dari dinas/instansi maupun sumber data
lainnya. Data ini diperoleh dari data BPS terutama data Kabupaten Klungkung
dan Provinsi Bali dalam angka, data Dinas Kependudukan dan berbagai sumber
lain.
4.6 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa studi deskriptif
melalui survei kepustakaan dan survei lapangan melalui in-depth interview.
Wawancara yang dilakukan bersifat terbuka dan tertutup. Wawancara dilakukan pada
masyarakat yang masuk dalam kategori miskin dan tokoh masyarakat. Metode ini
89
bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh tentang karakteristik sosial
ekonomi masyarakat, persepsi masyarakat terhadap permasalahan kemiskinan.
Wawancara juga dilakukan pada tokoh pemerintah desa, desa adat dan tokoh
masyarakat terkait dengan tujuan untuk menangkap persepsi mereka yang mengerti
permasalahan kemiskinan di Kabupaten Klungkung Provinsi Bali.
4.7 Teknik Analisis Data
4.7.1 Indeks Rumah Tangga Miskin
Perhitungan indeks rumah tangga miskin digunakan untuk melakukan
pemetaan kondisi riil kemiskinan dan untuk mengetahui determinan utama
kemiskinan di Kabupaten Klungkung. Indeks rumah tangga miskin dihitung
berdasarkan nilai indeks untuk masing-masing klasifikasi yaitu indeks inti
(pengetahuan, kekayaan materi dan kesehatan) serta indeks konteks (politik,
ekonomi, sosial, alam dan prasarana dan pelayanan). Berdasarkan hasil masing-
masing indeks klasifikasi, selanjutnya akan dihitung indeks agregat dan kemudian
juga akan dihitung klasifikasi nilai untuk indeks. Rumus untuk masing-masing
klasifikasi diatas diberikan seperti berikut dengan skor 1-3, skor terendah digunakan
untuk menunjukkan kondisi kritis (Gonner,et al, 2007; Cahyat et al, 2007).
Nilai indeks berkisar antara 0-100. Indeks agregat dihitung dengan rata-rata
penjumlahan indeks berdasarkan klasifikasi. Batas kemiskinan dibuat dengan garis
kemiskinan berdasarkan klasifikasi nilai indeks.
Indeks Klasifikasi = (Jumlah skor yang diperoleh – Jumlah skor minimum)
(Jumlah skor maksimum – Jumlah skor minimum)
x 100
90
Batas kemiskinan dibuat dengan garis kemiskinan berdasarkan klasifikasi
nilai indeks. Klasiikasi nilai indeks harus mencerminkan jawaban dalam lembar
wawancara. Karena penghitungan dilakukan pada seluruh indeks, maka klasiikasi
juga harus dibuat untuk setiap indeks. Penentuan kategori kemiskinan dibedakan
menjadi kondisi kritis, sedang/moderat dan baik. Kategori ini didasarkan pada nilai
pada masing-masing indikator, dimana nilai 1 menunjukkan kondisi kritis, nilai 2
kondisi sedang dan nilai 3 adalah kondisi baik. Batas kemiskinan adalah nilai 1. Pada
angka indikator yang memiliki nilai tengah seperti 1, 2 ,3 maka nilai 1 setara dengan
33,33 setelah dinormalisasi, bila angka indikator tidak memiliki nilai tengah seperti
1,3 maka nilai 1 setara dengan 50 setelah dinormalisasi. Sehingga dari penghitungan
akan diperoleh batas kemiskinan untuk indeks kemiskinan.
Adapun indikator kemiskinan sesuai dengan model Nested Spheres of Poverty
(NESP) yaitu terdiri dari :
Kesejahteraan Subyektif. Perasaan subyektif merupakan campuran dari
perasaan-perasaan seseorang, diperlukan lebih dari satu indikator yang dapat
mewakili seluruh perasaan responden. Beberapa indikator yang digunakan untuk
mengukur kesejahteraan subyektif adalah perasaan sejahtera, perasaan miskin dan
perasaan bahagia yang masing-masing istilah disesuaikan dengan bahasa daerah
setempat atau diserahkan pada masyarakat yang menjadi sampel.
Kesejahteraan Inti. Kesejahteraan ini merupakan kesejahteraan dasar dibagi
menjadi tiga indeks yaitu: (1) kesehatan dan gizi, (2) kekayaan materi, dan (3)
pengetahuan. Beberapa kriteria untuk kesehatan dan gizi adalah sebagai berikut.
91
a. Kekurangan makanan adalah untuk mengetahui tingkat kerentanan rumah
tangga dari segi makanan. Masa satu bulan adalah batas waktu bagi rumah
tangga yang berada dalam situasi kekurangan bahan makanan yang serius.
Kekurangan bahan makanan tidak berarti tidak makan, tetapi kesulitan untuk
mendapatkan bahan makanan, sehingga rumah tangga tersebut harus makan
dengan pola yang tidak wajar. Misalnya, rumah tangga tersebut harus sering
makan dengan singkong atau umbi-umbian sebagai pengganti beras, atau
sangat sulit mendapatkan sumbersumber protein seperti ikan, daging, ayam,
dan telur.
b. Akses kepada air minum bersih. Untuk mengetahui apakah rumah tangga
mendapatkan air bersih. Arti air bersih diserahkan kepada responden sendiri.
Air bersih tidak harus air ledeng (misalnya: dari Perusahaan Daerah Air
Minum, PDAM). Bagaimana responden mendapatkan air bersih, tidak
penting untuk diketahui. Yang ingin diketahui adalah apakah responden
mendapatkan air bersih atau tidak.
c. Akses kepada pelayanan kesehatan. Untuk mengetahui daya jangkau rumah
tangga pada pelayanan kesehatan saat ada anggota rumah tangga yang sakit.
Pelayanan kesehatan bisa berupa pelayanan medis seperti dokter, bidan,
perawat, dan sebagainya, bisa juga pelayanan tradisional seperti dukun,
tanaman obat dan sebagainya. Dalam hal ini, tidak penting untuk diketahui
bagaimana rumah tangga tersebut bisa mendapatkan pelayanan kesehatan,
termasuk jika responden ternyata harus berhutang untuk itu. Yang ingin
diketahui adalah: apakah rumah tangga tersebut mendapatkan pelayanan
92
kesehatan sewaktu ada yang sakit. Jika tidak pernah ada yang sakit dalam 12
bulan terakhir maka responden harus mendapatkan skor paling tinggi.
Dalam kekayaan materi akan diungkap hal yang terkait dengan antara lain adalah :
a. Kondisi rumah. Untuk mengetahui kondisi rumah responden. Rumah yang
dinilai adalah rumah yang ditempati dan berada di desanya. Rumah milik
responden yang berada di luar desa dapat diabaikan.
b. Memiliki aset atau tabungan baik berupa uang atau barang yang mudah dijual
seperti sepeda motor, uang tunai atau kredit, ternak dan lainnya.
Pada kriteria pengetahuan akan diungkap hal yang terkait dengan :
a. Tingkat pendidikan (formal) orang dewasa. Untuk mengetahui tingkat
pengetahuan rumah tangga yang tercermin lewat pendidikan formal
(sekolah). Di sini diasumsikan bahwa semakin tinggi sekolahnya, semakin
tinggi juga pengetahuannya. Anggota rumah tangga dewasa adalah yang
sudah berusia 17 tahun atau lebih atau sudah berkeluarga.
b. Jumlah anak yang bersekolah atau putus sekolah. Untuk mengetahui tingkat
partisipasi atau putus sekolah pada usia pendidikan dasar (7 s/d 16 tahun).
Anak-anak tidak harus anak kandung responden, bisa juga anak angkat, cucu,
keponakan, sepupu, dsb. Yang dimaksud dengan anak-anak adalah seluruh
anak-anak yang tinggal atau menjadi tanggungan rumah tangga responden.
Anak-anak titipan yang masih ditanggung oleh keluarga asalnya tidak
dihitung. Nilai 3 (tiga) diberikan pada rumah tangga yang tidak memiliki
anak usia pendidikan dasar. Ini dilakukan agar rumah tangga tersebut
93
mendapatkan nilai tertinggi. Dengan tidak adanya anak usia pendidikan dasar,
maka tidak ada kewajiban bagi pemerintah untuk menjamin pendidikan.
c. Pengetahuan informal. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan yang tidak
didapatkan di sekolah (informal). Ini dapat melengkapi indikator pendidikan
formal. Pengetahuan informal dapat meningkatkan kesempatan bagi rumah
tangga untuk meningkatkan penghidupannya. Pengetahuan ini harus
merupakan pengetahuan di luar pengetahuan atau keterampilan pertanian. Ini
dilakukan untuk mengidentifikasi perbedaan karena keterampilan pertanian
biasanya cukup merata di masyarakat pedesaan. Pengetahuan informal tidak
harus yang dapat menghasilkan uang.
Lingkungan Pendukung (Konteks). Lingkungan pendukung terdiri dari lima indeks,
yaitu: (1) lingkungan alam, (2) lingkungan ekonomi, (3) lingkungan sosial, dan (4)
lingkungan politik, dan (5) infrastruktur dan pelayanan.
1. Lingkungan alam meliputi :
a. Tingkat kerusakan lingkungan alam. Untuk mengetahui tingkat kerusakan
alam di wilayah desa dalam 12 bulan terakhir. Pengertian rusak diserahkan
kepada penilaian responden sendiri.
b. Pengambilan sumber daya alam secara berlebihan. Untuk melihat metode
yang digunakan dan seberapa banyak sumber daya alam yang diambil di desa
tersebut. Pengambilan yang berlebihan akan menghabiskan beberapa produk
alam, sehingga dapat menutup kesempatan bagi masyarakat lain untuk
mendapatkan manfaat dari sumber daya alam tersebut. Habisnya sumber daya
alam yang dimaksud di sini adalah sumber daya alam yang habis dalam 12
94
bulan terakhir. Harap diingat bahwa skor 1 harus diberikan bila nyaris tidak
ada sumber daya alam yang tersisa.
c. Mutu air. Untuk mengetahui keadaan lingkungan dari sisi kualitas air.
Keadaan air sungai atau danau dapat memberikan informasi penting tentang
kualitas lingkungan desa. Penilaian keadaan diserahkan sepenuhnya pada
penilaian responden sendiri.
2. Lingkungan ekonomi meliputi :
a. Sumber penghasilan. Untuk mengetahui jenis-jenis sumber penghasilan dan
sejauh mana penghasilan bergantung pada sumber daya alam.
b. Stabilitas penghasilan. Untuk mengetahui apakah rumah tangga tersebut
memiliki lebih dari satu sumber penghasilan, juga untuk mengetahui apakah
penghasilan tersebut tetap (stabil). Pilihan penghasilan penting untuk
mengurangi potensi kerentanan yang disebabkan oleh ketergantungan pada
satu sumber penghasilan. Kalimat “Ada yang tetap” tidak berarti seluruh
sumber penghasilan harus tetap, bisa hanya salah satunya saja. Penghasilan
tetap adalah penghasilan yang stabil yang mampu memberikan rasa aman
karena dirasakan masih akan ada di masa depan dalam jangka waktu yang
relatif panjang. Umumnya penghasilan tetap selalu bisa diterima secara
teratur. Gaji bulanan dapat dianggap penghasilan tetap, sedangkan gaji harian
tidak bisa
c. Persediaan beras dan kemampuan membeli beras. Untuk mengetahui
kemampuan memenuhi kebutuhan pangan, dan beras merupakan
indikatornya. Rumah tangga yang memiliki persediaan beras cukup sampai
95
satu musim tanam tanpa harus membeli akan mendapatkan nilai tertinggi
karena mereka tidak memiliki resiko kekurangan beras. Rumah tangga yang
menggantungkan pemenuhan berasnya dari membeli dianggap tidak memiliki
persediaan beras, sehingga harus diketahui kemampuannya dalam membeli
beras. Responden yang bekerja sebagai pedagang beras tetap harus ditanya
tingkat kesulitannya dalam membeli beras.
d. Akses pada kredit. Ini untuk mengetahui seberapa sulit bagi anggota
masyarakat untuk mendapatkan pinjaman usaha dari sumber apa pun (Dinas
PMD, Koperasi Simpan Pinjam, dan Bank).
3. Lingkungan sosial meliputi :
a. Tingkat tolong-menolong. Untuk mengetahui sejauh mana responden
merasakan bahwa anggota masyarakatnya saling tolong-menolong. Tingkat
tolong menolong merupakan indikator kuat untuk mengetahui keterikatan
sosial antar masyarakat. Tolong-menolong tidak selalu harus memberikan
uang, dapat juga berupa pertolongan tenaga saat ada acara-acara adat.
b. Tingkat rasa saling percaya Untuk mengetahui tingkat rasa saling percaya
antar masyarakat di desa. Penilaian rasa saling percaya dinilai sepenuhnya
menurut perasaan responden sendiri.
c. Konflik. Konflik sangat mempengaruhi seberapa aman atau damai keadaan
yang dirasakan orang dalam masyarakatnya.
4. Lingkungan politik meliputi :
a. Akses kepada sumber daya alam. Untuk mengetahui daya jangkau rumah
tangga responden terhadap sumber daya alam di desanya sendiri. Tingkat
96
keterjangkauan ini sangat mempengaruhi penghidupan masyarakat di
pedesaan. Istilah “kesulitan” pada pilihan jawaban dapat disebabkan oleh
jarak, ketiadaan alat transportasi, ketiadaan teknologi, kelangkaan atau
larangan hukum.
b. Akses kepada informasi. Untuk melihat akses kepada informasi di tingkat
rumah tangga. Berita atau informasi sehari-hari adalah berita atau informasi
harian yang didapat setiap hari.
c. Keikutsertaan dalam pengambilan keputusan di tingkat desa. Untuk
mengetahui tingkat keikutsertaan masyarakat dalam pengambilan keputusan
di tingkat desa. Walaupun sudah ada Badan Perwakilan Desa (BPD) tetapi
proses konsultasi BPD dengan masyarakat harus tetap ada. Seringkali di desa-
desa kecil, mekanisme musyawarah bersama lebih kuat dibandingkan dengan
BPD.
2. Ketersediaan infrastruktur dan layanan meliputi :
a. Fasilitas pendidikan dasar (sekolah menengah pertama) Untuk mengetahui
tingkat kesulitan masyarakat dalam menjangkau SMP terdekat. Indikator ini
menunjukan keberadaan dan kualitas infrastruktur bangunan sekolah.
b. Kualitas pendidikan di sekolah. Untuk mengetahui kualitas layanan
pendidikan formal. Indikator ini mencerminkan seluruh faktor dalam
pelayanan seperti guru, fasilitas pendidikan, dan sebagainya.
c. Fasilitas pelayanan kesehatan. Untuk mengetahui tingkat kesulitan
masyarakat dalam menjangkau pusat pelayanan kesehatan terdekat. Indikator
ini menunjukkan cakupan pelayanan kesehatan.
97
d. Kualitas pelayanan kesehatan. Untuk mengetahui kualitas pelayanan
kesehatan. Indikator ini mencerminkan seluruh faktor dalam pelayanan
kesehatan seperti tenaga kesehatan (dokter, perawat, dan sebagainya),
fasilitas perawatan, obat-obatan, dan sebagainya.
e. Pelatihan dan pendampingan usaha Untuk mengetahui adanya pelayanan
pelatihan dan pendampingan usaha sebagai bagian penting dalam
pengembangan ekonomi. Hal ini mencakup seluruh bentuk bantuan usaha,
termasuk pertanian.
f. Kondisi jalan dan jembatan. Untuk mengetahui kondisi jalan dan jembatan
sampai ke ibukota kecamatan. Jalan dan jembatan adalah akses penting yang
dampaknya dapat mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan. Penilaian
kondisi jalan diserahkan kepada responden masingmasing.
g. Fasilitas pasar. Untuk mengetahui seberapa sulit masyarakat menjangkau
pasar terdekat. Pasar di sini dapat berupa pasar tetap ataupun musiman
(misalnya Pasar Minggu) yang dicirikan dengan adanya tempat-tempat
khusus berjualan, baik permanen maupun semi permanen. Pasar keliling yang
tidak memiliki tempat khusus untuk menjual barang tidak termasuk dalam
kategori ini. Penilaian tingkat kesulitan diserahkan kepada responden sendiri.
h. Fasilitas komunikasi. Untuk mengetahui daya jangkau masyarakat terhadap
fasilitas komunikasi seperti telepon, telepon genggam/seluler (ponsel), dan
radio.
98
i. Pelayanan rohani. Untuk mengetahui daya jangkau rumah tangga terhadap
pelayanan rohani. Pelayanan rohani dapat berupa tempat peribadatan, guru
atau pembimbing rohani, dan perangkat-perangkat peribadatan.
j. Fasilitas rekreasi. Untuk mengetahui daya jangkau masyarakat terhadap
fasilitas rekreasi, seperti obyek wisata, sarana olahraga, atau tempat-tempat
yang dapat digunakan masyarakat untuk bersantai dan menghibur diri.
4.7.2 Statistik Deskriptif
Analisis deskriptif kuantitatif digunakan untuk menganalisis efektivitas
kebijakan atau program pengentasan kemiskinan yang telah dijalankan di Kabupaten
Klungkung. Analisis deskriptif kuantitatif mendeskripsikan data dan informasi yang
disajikan dalam bentuk narasi. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti
status kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu pemikiran ataupun
suatu kelas peristiwa pada masa sekarang yang bertujuan untuk membuat deskripsi,
gambaran atau lukisan secara sistematis faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Dengan kata lain penelitian
deskriptif adalah penelitian yang menggambarkan dan melukiskan fenomena dengan
jalan mendeskripsikan sejumlah variabel-variabel yang berkenaan dengan masalah
yang diteliti. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat penggambaran
secara tegas (descriptive assertions) tentang populasi yang menemukan distribusi
dari beberapa atribut.
99
4.7.3 Analisis SWOT
Analisis Strenghtness, Weakness, Opportunity, Threatness (SWOT)
digunakan untuk menganalisis potensi dan tantangan yang dimiliki oleh masyarakat
miskin. Analisis ini penting untuk mengetahui kekuatan masyarakat yang nantinya
dapat diberdayakan untuk mengentaskan kondisi kemiskinan terutama kerentanan
kemiskinan. Analisis SWOT adalah indentifikasi terhadap berbagai faktor secara
sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara
bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).
Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengambilan misi,
tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan.
Lebih lanjut, analisis SWOT yaitu analisis yang membandingkan antara faktor
eksternal peluang dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan
(Rangkuti, 2000). Analisis ini pada prinsipnya strategi yang menghasilkan keserasian
yang kuat antara kemampuan internal dan situasi eksternal. Analisis SWOT
merupakan alat yang digunakan untuk memperoleh gambaran situasi strategis dari
sebuah Unit Kerja Ekonomi (UKE). Strategi yang digunakan untuk
mengoptimalisasikan potensi unggulan dipergunakan matrik TOWS atau SWOT
yang dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal
yang dihadapi organisasi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang
dimiliki, berdasarkan hasil perhitungan dalam diagram analisis SWOT.
100
Tabel 4.2
Komponen dalam Analisis SWOT
Kekuatan Kelemahan Peluang Hambatan
1. Adanya
Peraturan
Daerah
mengenai
Pengentasan
Kemiskinan
1. Daya dukung
aktor sosial
masih
bernuansa
sektoral
1. Perkembangan
teknologi
1. Penguasaan aset
ekonomi
penduduk
pendatang.
2. Potensi sumber
daya alam
2. Belum terdapat
suatu pedoman
yang
mengintegrasik
an semua
potensi
kelembagaan
lokal
2. Kebijakan
pemerintah
daerah
2. Era globalisasi
yang menuntut
daya saing yang
tinggi
3. Struktur dalam
kelembagaan
3. Kualitas SDM 3. Tanggung
jawab sosial
3. Ketidakstabilan
kondisi politik
dan keamanan
nasional
4. Beragam
aktifitas
masyarakat
miskin
4. Akses
sumberdaya
alam terbatas
4. Kondisi
ekonomi
daerah dan
nasional
4. Kemandirian
masyarakat dan
keberlanjutan
program
5. Ketersediaan
tenaga kerja
produktif
5. Akses
permodalan
terbatas
5. Peluang usaha
dengan
keberadaan
pertumbuhan
pariwisata
6. Peran lembaga-
lembaga non
pemerintah
6. Akses
pemasaran
terbatas
4.7.4 Analytic Hierarchy Process (AHP)
Analisis Analytic Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk menganalisis
rumusan strategi dalam pengentasan kemiskinan di Kabupaten Klungkung. Metode
AHP merupakan metode pengambilan keputusan dengan menggunakan peralatan
utamanya yaitu sebuah hirarki. Dengan hirarki ini, suatu masalah yang kompleks dan
101
tidak terstruktur dipecah, dikelompokkan dan diatur menjadi suatu bentuk hirarki .
Data utama dari AHP ini adalah persepsi manusia yang dianggap expert. Kriteria dari
expert disini bukan berarti jenius, pintar atau bergelar doktor maupun profesor,
melainkan lebih mengarah pada orang yang yang lebih mengerti benar permasalahan
yang dihadapi dalam suatu penelitian.
AHP merupakan suatu teori tentang pengukuran, yang digunakan untuk
menemukan skala rasio baik dari perbandingan pasangan yang diskret maupun yang
kontinu. Perbandingan-perbandingan ini dapat diambil dari ukuran aktual atau dari
suatu skala dasar yang mencerminkan kekuatan perasaan dan preferensi relatif. AHP
memiliki perhatian khusus tentang penyimpangan dari konsistensi, pengukuran dan
pada ketergantungan di dalam dan diantara kelompok elemen strukturnya. AHP
banyak ditemukan pada pengambilan keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan,
prediksi, dan alokasi sumber daya, sehingga AHP dapat disebut sebagai metode yang
serba guna dan banyak yang menganggap kontroversial (Mulyono, 1988). Dengan
demikian, AHP dapat dianggap sebagai suatu model multiobjective-multicriteria-
multifactor decisions (Harker dan Vargas, 1987:1383 ).
Dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP ada beberapa prinsip dasar
yang harus dipahami antara lain:
a) Dekomposisi, setelah mendefinisikan permasalahan/persoalan, maka perlu
dilakukan dekomposisi, yaitu: memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-
unsurnya, sampai yang sekecil-kecilnya.
b) Comparative Judgement, prinsip ini berarti membuat penilaian tentang
kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya
102
dengan tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena akan
berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini lebih
mudah disajikan dalam bentuk matriks Pairwise Comparison.
c) Synthesis of Priority, dari setiap matriks pairwise comparison vektor eigen
untuk mendapatkan prioritas lokal, karena matriks pairwise comparison terdapat
pada setiap tingkat, maka untuk melakukan global harus dilakukan sintesis
diantara prioritas lokal. Prosedur melakukan sintesis berbeda menurut bentuk hierarki.
d) Logical Consistency, konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah bahwa
obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai keseragaman dan
relevansinya. Kedua adalah tingkat hubungan antara obyek-obyek yang
didasarkan pada kriteria tertentu. Pendekatan AHP menggunakan skala Saaty
mulai dari nilai bobot 1 sampai dengan 9. Nilai bobot 1 menggambarkan “sama
penting”, ini berarti bahwa nilai atribut yang sama skalanya, nilai bobotnya 1,
sedangkan nilai bobot 9 menggambarkan kasus atribut yang “penting absolut”
dibandingkan dengan yang lainnya.
Di dalam AHP, penetapan prioritas kebijakan dilakukan dengan menangkap
secara rasional persepsi orang, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang intangible
(yang tidak terukur) ke dalam aturan yang biasa, sehingga dapat dibandingkan.
Adapun tahapan dalam analisis data sebagai berikut (Saaty, 1980):
1. Identifikasi sistem, yaitu untuk mengidentifikasi permasalahan dan menentukan
solusi yang diinginkan. Identifikasi sistem dilakukan dengan cara mempelajari
referensi dan berdiskusi dengan para pakar yang memahami permasalahan,
sehingga diperoleh konsep yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi.
103
2. Penyusunan struktur hierarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan
dengan sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan
kriteria yang paling bawah.
3. Perbandingan berpasangan, menggambarkan pengaruh relatif setiap elemen
terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat diatasnya. Teknik
perbandingan berpasangan yang digunakan dalam AHP berdasarkan “judgement”
atau pendapat dari para responden yang dianggap sebagai “ key person“. Mereka
dapat terdiri atas: 1) pengambil keputusan; 2) para pakar; 3) orang yang terlibat
dan memahami permasalahan yang dihadapi.
4. Matriks pendapat gabungan, merupakan matriks baru yang elemen-elemennya
berasal dari rata-rata geometrik elemen matriks pendapat individu yang nilai
rasio inkonsistensinya memenuhi syarat.
5. Pengolahan horisontal, yaitu : a) Perkalian baris; b) Perhitungan vektor prioritas
atau vektor ciri (eigen vector); c) Perhitungan akar ciri (eigen value) maksimum,
dan d) Perhitungan rasio inkonsistensi. Nilai pengukuran konsistensi diperlukan
untuk menghitung konsistensi jawaban responden
6. Pengolahan vertikal, digunakan untuk menyusun prioritas pengaruh setiap
elemen pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama. Revisi
Pendapat, dapat dilakukan apabila nilai rasio inkonsistensi pendapat cukup tinggi
(>0,1). Beberapa ahli berpendapat jika jumlah revisi terlalu besar, sebaiknya
responden tersebut dihilangkan.
104
BAB V
HASIL ANALISIS
5.1 Deskripsi Wilayah Kabupaten Klungkung
5.1.1 Geografis dan Pemerintahan
Kabupaten Klungkung merupakan kabupaten dengan luas wilayah terkecil
kedua setelah Kota Denpasar dari sembilan Kabupaten dan Kota di Provinsi Bali.
Secara geografis Kabupaten Klungkung memiliki luas wilayah 315 Km2 yang
diantara 115021’28” - 115
037’43’ Bujur Timur dan 008
027’37” – 008
049’00” Lintang
Selatan. Batas-batas wilayah Kabupaten Klungkung adalah sebelah utara berbatasan
dengan Kabupaten Bangli, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karangasem
sebelah selatan Samudera India dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Gianyar.
Dilihat dari luas wilayah kecamatan, Kepulauan Nusa Penida memiliki
wilayah terluas yaitu 202.840 Km2 atau 64,39 persen dari total luas wilayah dan
diikuti Kecamatan Banjarangkan 45.730 Km2 atau 14,52 persen dari total,
Kecamatan Dawan 37.380 Km2 dan Kecamatan Klungkung 29.050 Km
2. Jarak dari
Ibukota Kabupaten Klungkung (Kota Semarapura) ke Ibu kota Provinsi Bali (Kota
Denpasar) sekitar 40 km yang dihubungkan oleh jalan arteri primer dengan waktu
tempuh perjalanan darat sekitar 30-45 menit. Jarak antara Ibukota Kecamatan ke
Ibukota Kabupaten berkisar antara 0-25 km, dimana Kecamatan Nusa Penida
merupakan daerah yang memiliki jarak terjauh dari Ibukota Kabupaten. Sementara
105
jarak dari Kota Semarapura ke Ibukota Kecamatan yaitu ke Nusa Penida 25 Km,
Banjarangkan 5,50 Km dan Dawan 6,5 Km.
Sumber : RTRW Kabupaten Klungkung Tahun 2011-2031
Gambar 5.1
Peta Administrasi Kabupaten Klungkung
Wilayah Kabupaten Klungkung sepertiga merupakan daratan yaitu 11.216 Ha
dan dua pertiga terletak di Kepulauan Nusa Penida yaitu 20.284 Ha. Sementara
panjang pantai Kabupaten Klungkung sekitar 97,6 Km, terdapat di Klungkung
daratan 14,10 Km dan Kepulauan Nusa Penida 83,50 Km. Garis pantai tersebut
tergolong tipe pantai dasar berpasir, pantai bertebing terjal dan pantai mangrove.
Pola arus dipengaruhi oleh pergerakan massa air di perairan selat Bali, Selat Lombok
dan Samudera Indonesia sedangkan pasang surut tergolong campuran semi-diurnal.
Kelandaian dasar laut di Pulau Nusa Penida perairan laut bagian timur termasuk
curam dan di bagian utara Pulau Nusa Penida sangat curam mencapai 30.8 persen
pada kedalaman 100 m. Kondisi geografis ini merupakan potensi bagi perekonomian
laut dengan budidaya rumput laut dan pemanfaatan sumberdaya laut lainnya.
106
Permukaan tanah umumnya tidak rata, bergelombang bahkan sebagian besar
berupa bukit-bukit terjal yang kering dan tandus dan sebagian kecil saja yang
merupakan dataran rendah. Tingkat kemiringan tanah diatas 400
(terjal) seluas 16,47
Km2 atau 5,23 persen dari luas kabupaten. Sedangkan apabila dilihat dari
penggunaan lahan terdiri dari lahan sawah 3.843 Ha, bukan lahan sawah 27.651 Ha
yang terdiri dari lahan kering 27.648 Ha dan lahan lainnya 3 Ha (BPS, 2013).
Sementara bila dilihat dari sumberdaya air, Kabupaten Klungkung memiliki
air tanah berupa mata air dan sumur, termasuk sumur dangkal (sumur gali) dan
sumur dalam (sumur bor). Ketiga sumber air tersebut terdapat di Klungkung daratan
maupun di Klungkung kepulauan (Kecamatan Nusa Penida). Di wilayah daratan
sebagian besar air tanah digunakan sebagai sumber air baku PDAM dengan besar
kapasitas debit air 548 liter/detik dan sudah terpasang 300 liter/detik. Sumber air
tanah berupa mata air telah ditemukan di delapan desa di Kecamatan Nusa Penida
dengan debit air mencapai 524.60 liter/detik. Sumur dalam dan sumur gali lebih
banyak terdapat di tepi pantai dengan potensi debit air antara 0.4 liter/detik dan
bersifat payau. Selain bersumber dari mata air dan sumur, sumber air tanah lainya
adalah air sungai. Sungai yang mengalir secara tetap sepanjang tahun pada sungai
yang menyebar di Kecamatan Klungkung, Banjarangkan, dan Dawan. Kepulauan
(Kecamatan Nusa Penida) tidak terdapat sungai yang airnya mengalir sepanjang
tahun, hampir semua sungai di Kecamatan Nusa Penida mempunyai jenis sungai
musiman (intermitten), dimana debit aliran hanya ada pada musim hujan dengan
intensitas yang cukup lama.
107
Secara administratif, Kabupaten Klungkung memiliki empat kecamatan, 53
desa, 6 kelurahan dan 244 dusun atau lingkungan. Sementara secara adat terdiri dari
113 desa adat dan 394 banjar adat. Klasifikasi desa seluruhnya sudah swasembada
dan LKMD kategori III.
Tabel 5.1
Jumlah Daerah Administrasi Kabupaten Klungkung Tahun 2013
Kecamatan Desa/Kelurahan Dusun Desa Adat Banjar Adat
Nusa Penida 16 80 40 157
Banjarangkan 13 55 30 75
Klungkung 18 60 23 96
Dawan 12 49 20 66
Kabupaten 59 244 113 394
Sumber : Klungkung dalam Angka, BPS (2014)
5.1.2 Demografi dan Sosial
Penduduk merupakan salah satu aset pembangunan daerah yang memegang
peran penting dalam proses pembangunan. Berdasarkan hasil proyeksi penduduk,
jumlah penduduk Kabupaten Klungkung tahun 2013 berjumlah 173.900 jiwa yang
terdiri dari 86.000 jiwa penduduk laki-laki dan 87.900 jiwa penduduk perempuan.
Penyebaran penduduk tidak merata di empat kecamatan yaitu 73,93 persen
berada di daratan Klungkung yaitu Banjarangkan, Dawan dan Klungkung sedangkan
26,07 persen berada di Kepulauan Nusa Penida yaitu Nusa Penida, Nusa Lembongan
dan Nusa Ceningan. Adapun jumlah penduduk di masing-masing kecamatan yaitu
Nusa Penida 45.340 jiwa, Banjarangkan 38.150 jiwa, Klungkung 56.570 jiwa dan
Dawan 33.840 jiwa. Sehingga terdapat ketimpangan kepadatan penduduk di empat
kecamatan dengan kepadatan per kilometer persegi di Kecamatan Nusa Penida 224
108
jiwa, Banjarangkan 834 jiwa, Klungkung 1.947 jiwa dan Dawan 905 jiwa pada tahun
2013 (BPS, 2014).
Tabel 5.2
Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Klungkung Tahun 2013
Kecamatan Jumlah
Penduduk
(Jiwa)
Kepadatan
(Jiwa/Km2)
Sex Ratio
(Persen)
Rata-Rata
Pertumbuhan
(Persen)
Nusa Penida 45.340 224 99 0,05
Banjarangkan 38.150 834 100 1,41
Klungkung 56.570 1.947 97 1,40
Dawan 33.840 905 97 1,00
Kabupaten 173.900 552 98 0,95
Sumber : Klungkung dalam Angka 2014, BPS (2014)
Rasio jenis kelamin (sex ratio) adalah perbandingan penduduk laki-laki dan
perempuan tahun 2013 adalah 98 persen dan semua kecamatan memiliki sex ratio
dibawah 100 persen yang berarti jumlah penduduk perempuan lebih besar dari
penduduk laki-laki. Sementara Berdasarkan komposisi penduduk menurut umur dan
jenis kelamin dalam piramida penduduk merupakan piramida penduduk ekspansif
yang menggambarkan sebagian besar penduduk Kabupaten Klungkung berada dalam
kelompok umur muda.
109
Sumber : Klungkung dalam Angka 2014, BPS (2014)
Gambar 5.2
Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Kabupaten Klungkung
Dilihat dari ketenagakerjaan, tahun 2013 terdapat 102.889 penduduk usia
kerja dan yang aktif secara ekonomi ada sebanyak 100.703 penduduk, dengan
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) adalah 75,69 persen. Sementara
berdasarkan lapangan pekerjaan dari 96.421 orang yang bekerja, 29,30 persen
bekerja di sektor pertanian, 23,18 persen di sektor perdagangan, hotel dan rumah
makan, 16,43 persen di sektor industri pengolahan dan 13,78 persen di sektor jasa
dan lainnya yang masing-masing tidak lebih dari 10 persen.
110
Sumber : Klungkung dalam Angka 2014, BPS (2014)
Gambar 5.3
Penduduk Kabupaten Klungkung Usia 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut
Lapangan Usaha Utama Tahun 2013
Salah satu keberhasilan pembangunan adalah tersedianya sumberdaya
manusia yang memiliki kualitas yang menempuh jalur pendidikan formal. Salah satu
program pendidikan formal adalah wajib belajar sembilan tahun dan sekolah gratis.
Jumlah murid terbesar di setiap tingkat pendidikan adalah murid Sekolah Dasar di
setiap kecamatan dan jumlah terkecil adalah murid TK.
111
Tabel 5.3
Angka Partisipasi Sekolah Penduduk Kabupaten Klungkung Menurut
Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2013
Kecamatan Penduduk Rata-Rata
(Persen) Laki-Laki Perempuan
7-12 (SD/MI) 100,00 100,00 100,00
13-15 (SMP/MTs) 95,57 97,64 96,65
16-18 (SMA/MA) 76,66 92,05 82,77
19-24 (PT) 12,31 16,01 14,00
Sumber : Klungkung dalam Angka 2014, BPS (2014)
Pembangunan di bidang kesehatan bertujuan untuk meningkatkan hidup sehat
bagi seluruh masyarakat. Sarana kesehatan rumah sakit sebanyak tiga unit,
puskesmas sembilan unit, puskesmas pembantu 54 unit dan puskesmas keliling
sembilan unit. Di Kabupaten Klungkung terdapat tujuh balai pengobatan, empat unit
optikal, 13 apotik dan sembilan toko obat berijin. Sementara praktek tenaga
kesehatan seperti praktek dokter umum 57, dokter spesialis 20, dokter gigi tujuh,
bidan praktek 55, poskesdes 59 dan posyandu 289.
5.1.3 Makroekonomi Regional
Kemampuan suatu pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan
dapat dilihat dari realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Realisasi APBD Kabupaten Klungkung tahun 2012 sebesar 406,74 Milyar Rupiah
dan terjadi peningkatan pendapatan sebesar 27,09 Milyar Rupiah dibanding tahun
sebelumnya.
112
Tabel 5.4
Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Klungkung
(dalam Ribuan Rupiah)
Tahun Anggaran Pendapatan Pengeluaran 2008 277.268.054 324.584.440
2009 422.928.710 492.173.620
2010 447.067.234 503.575.318
2011 502.868.134 567.872.140
2012 590.231.294 657.701.501
2013 711.405.235 665.547.903
Sumber : Klungkung dalam Angka 2014, BPS (2014)
Dilihat dari pendapatan regional melalui perkembangan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) tahun 2013 atas dasar harga berlaku sebesar 3.727.869,24
Juta Rupiah meningkat dibandingkan tahun 2012 yaitu sebesar 3.341.186,21 Juta
Rupiah. PDRB atas harga konstan 2000 tahun 2013 sebesar 1.551.108,64 Juta
Rupiah meningkat dibandingkan tahun 2012 yaitu sebesar 1.467.352,42 Juta Rupiah.
Hal sama juga ditunjukkan dari perkembangan PDRB per kapita atas harga konstan
yang mengalami kenaikan dari Rp.8.382.332,27 pada tahun 2012 meningkat menjadi
Rp. 8.799.867,53 pada tahun 2013. Sementara perkembangan laju pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Klungkung melambat dari 6,04 persen pada tahun 2012 menjadi
5,71 persen pada tahun 2013 (BPS, 2014).
Dari sisi pengeluaran rata-rata per kapita, kelompok pengeluaran bukan
makanan selama kurun waktu dua tahun terakhir yaitu tahun 2012 dan 2013
menunjukkan peningkatan yaitu Rp. 348.292,- dan Rp.360.510,-. Sementara dari
kelompok makanan juga mengalami kenaikan dari Rp.346.795,- pada tahun 2012
menjadi Rp.358.910,- pada tahun 2013.
113
Tabel 5.5
Perkembangan Indikator Makroekonomi
Kabupaten Klungkung Tahun 2011 – 2013
Indikator Tahun
2011 2012 2013
PDRB atas harga berlaku (Juta
Rupiah) 3.022.786,71 3.347.198,61 3.727.869,23
PDRB atas harga konstan (Juta
Rupiah) 1.383.890,23 1.467.352,42 1.551.108,65
Laju Pertumbuhan Ekonomi
(Persen) 5,81 6,04 5,71
PDRB/kapita atas harga berlaku
(Rupiah) 17.365.052,08 19.121.058,25 21.149.231,16
PDRB/kapita atas harga konstan
(Rupiah) 7.950.056,75 8.382.332,33 8.799.867,53
Sumber : Klungkung dalam Angka 2014, BPS (2014)
Secara sektoral, sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB masih menjadi
leading sector dari sektor lainnya yaitu sebesar 430.016,06 Juta Rupiah pada tahun
2013, dan diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 389.938,04
Juta Rupiah, sektor jasa sebesar 292.769,46 Juta Rupiah. Perkembangan PDRB atas
harga konstan tahun 2013 mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Kontribusi sektor pertanian sebagai sektor primer sejalan dengan
potensi geografis lahan pertanian yang didukung dengan keunikan budaya sistem
pertanian. Selain itu potensi sumberdaya alam yang memberikan kontribusi bagi
perkembangan pariwisata dan jasa pendukung pariwisata menjadi aset penting dalam
meningkatkan pendapatan daerah.
114
Tabel 5.6
PDRB atas Dasar Harga Konstan Kabupaten Klungkung Tahun 2011-2013
No. Sektor Tahun (PDRB dalam Jutaan Rupiah)
2011 2012 2013
1. Pertanian 417.443,64 424.723,00 430.016,06
2. Pertambangan 48.404,09 48.160,38 47.860,38
3. Industri Pengolahan 126.449,79 130.534,71 140.494,00
4. Listrik, Gas dan Air
Bersih 16.920,70 18.852,16 20.743,48
5. Bangunan 83.160,02 91.837,77 99.818,10
6. Perdagangan, Hotel dan
Restoran 325.787,98 359.716,71 389.938,04
7. Pengangkutan dan
Komunikasi 71.274,49 76.732,82 82.432,88
8. Keuangan, Persewaan dan
Jasa Perusahaan 40.657,22 42.892,44 47.036,24
9. Jasa-jasa 253.792,29 273.902,44 292.769,46
10. Total PDRB 1.383.890,23 1.467.352,42 1.551.108,64
Sumber : Klungkung dalam Angka 2014, BPS (2014)
Distribusi sektoral PDRB atas dasar harga konstan juga menunjukkan sektor
pertanian memberikan sumbangan terbesar yaitu 28,94 persen dan diikuti sektor
perdagangan 24,51 persen dan sektor jasa 18,64 persen.
115
Sumber : Klungkung dalam Angka 2014, BPS (2014)
Gambar 5.4
Distribusi Sektoral PDRB Kabupaten Klungkung Atas Harga Konstan 2000
Tahun 2013
5.2 Kondisi Kemiskinan Kabupaten Klungkung
Masalah kemiskinan masih menjadi permasalahan nasional yang harus
ditangani secara intensif dan berkesinambungan yang melibatkan seluruh komponen
masyarakat. Masih belum teratasinya masalah kemiskinan mendorong pemikiran
pada pentingnta strategi penanggulangan kemiskinan yang lebih menyentuh pada
akar permasalahan kemiskinan. Maka dalam hal ini Pemerintah Daerah sebagai
penyelenggara negara berperan aktif dalam menciptakan perluasan kesempatan bagi
terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin seperti pekerjaan, pangan,
pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
Berkaitan dengan upaya penanggulangan kemiskinan, Pemerintah Kabupaten
Klungkung pada tahun anggaran 2011 menyusun Dokumen Strategi Penanggulangan
Kemiskinan Daerah (DSPKD) Tahun 2011-2015. DSPKD nantinya diharapkan dapat
mengimplementasikan dan mensinergikan seluruh program penanggulangan
kemiskinan baik di tingkat Dinas maupun swasta di Kabupaten Klungkung.
116
Pendataan jumlah rumah tangga sasaran di Kabupaten Klungkung dimulai
pada tahun 2005 sebagai sinergi antara Pendataan Kemiskinan tahun 2005 dan
Pedoman Pendataan Kemiskinan tahun 2008 dengan menggunakan 14 indikator.
Berdasarkan hasil pendataan diperoleh jumlah rumah tangga sasaran per 31
Desember 2008 di Kabupaten Klungkung sebanyak 8.460 rumah tangga dan hasil
validasi dari BPS adalah 7.988 rumah tangga yang menunjukkan penurunan 17,55
persen. Rata-rata rumah tangga sasaran yang paling rendah terdapat di Kecamatan
Dawan yaitu sebesar 11,17 persen dan diikuti Kabupaten Klungkung 11,32 persen,
Kecamatan Banjarangkan 15,46 persen dan Nusa Penida 31,96 persen (Bappeda
Kabupaten Klungkung, 2011).
Sementara dalam pelaksanaan validasi tahun 2012 dengan acuan data
Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011 merupakan kombinasi antara data
sensus penduduk tahun 2010 dengan pendekatan 14 variabel dan menggunakan
pendekatan garis kemiskinan. PPLS tahun 2011 merupakan pendataan yang diperluas
dengan menyasar 25,7 persen rumah tangga menengah kebawah atau dengan tingkat
pendapatan hingga 1,7 garis kemiskinan (GK). Adapun Garis Kemiskinan pada saat
PPLS tahun 2011 RP. 249.997,- per kapita per bulan. Data PPLS tahun 2011
menggunakan pendekatan garis kemiskinan dengan tiga kategori yaitu :
1. Kelompok satu adalah kelompok rumah tangga yang berada dibawah 1,2 Garis
Kemiskinan
2. Kelompok dua adalah kelompok rumah tangga yang berada diantara 1,2 hingga
1,5 Garis Kemiskinan
117
3. Kelompok tiga adalah kelompok rumah tangga yang berada di antara 1,5 hingga
1,7 Garis Kemiskinan.
Kelompok satu adalah sasaran prioritas program yang bersifat bantuan dan
perlindungan sosial sementara kelompok dua dan tiga adalah kelompok yang rentan
terhadap kemiskinan. Berdasarkan hasil validasi tahun 2012, jumlah tangga sasaran
di Kabupaten Klungkung adalah sebagaimana tabel berikut.
Tabel 5.7
Jumlah Rumah Tangga Sasaran Berdasarkan Data PPLS Hasil Validasi
Kabupaten Klungkung Tahun 2011
No. Kecamatan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Total
1. Nusa Penida 1.325 2.283 2.249 5.857
2. Banjarangkan 529 728 714 1.971
3. Klungkung 501 821 807 2.129
4. Dawan 308 559 621 1.488
Total 2.663 4.391 4.391 11.445
Sumber : Bappeda Kabupaten Klungkung, 2012
Berdasarkan tabel 5.7, Kecamatan Nusa Penida masih menempati pole
position baik untuk kelompok satu, dua dan tiga dengan jumlah rumah tangga
sasaran 5.857 atau 46,08 persen dari total rumah tangga di Kecamatan Nusa Penida.
Diikuti Kecamatan Banjarangkan dengan jumlah 1.971 rumah tangga sasaran atau
22,24 persen dari total rumah tangga dan Kecamatan Dawan 17,73 persen dan
Kecamatan Klungkung 15,55 persen.
Hal berbeda dengan penggunaan indikator dari Kantor Menteri Negara
Kependudukan atau BKKBN yaitu suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup
memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan yang dimiliki dan juga tidak
sanggup memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya untuk memenuhi
kebutuhannya. Adapun tahapan keluarga sejahtera dibagi dalam pra keluarga
118
sejahtera, keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III dan
keluarga sejahtera III+.
Tabel 5.8
Tahapan Keluarga Sejahtera Kabupaten Klungkung Tahun 2013
(dalam satuan Rumah Tangga)
Kecamatan Pra KS KS I KS II KS III KS III+
Nusa Penida 4.260 652 656 7.999 122
Banjarangkan 284 1.190 2.125 5.875 0
Klungkung 512 1.551 6.510 5.479 99
Dawan 890 1.010 804 7.143 61
Sumber : Klungkung dalam Angka 2014, BPS (2014)
Pada tahun 2013, keluarga pra sejahtera terbesar adalah kecamatan Nusa
Penida dengan jumlah 4.260 keluarga diikuti kecamatan Dawan, Klungkung dan
Banjarangkan. Sementara untuk keluarga sejahtera I tertinggi adalah Kecamatan
Klungkung begitu halnya dengan keluarga sejahtera II. Hal berbeda untuk keluarga
sejahtera III dan keluarga sejahtera III+ ditempati Kecamatan Nusa Penida, hal ini
mengingat secara demografi Kecamatan Nusa Penida memiliki jumlah penduduk
terbesar kedua setelah Kecamatan Klungkung. Kecamatan Nusa Penida yang identik
dengan kegersangan dan daerah tandus, wilayah dengan kelerengan tinggi, curam
dan berbatu-batu, curah hujan yang rendah, keterbatasan tumbuhnya tanaman pangan
termasuk tidak adanya produksi beras, dan keberadaan Nusa Penida yang dipisahkan
oleh perairan/laut yang memberikan dampak pada keterbatasan aksessibilitas dan
keterisolasian dibandingkan denan kecamatan kecamatan lainnya.
119
5.3 Hasil Penelitian
5.3.1 Karakteristik Umum Responden
Rumah tangga merupakan satuan terkecil dalam lingkungan masyarakat yang
memiliki peran penting dalam implementasi pembangunan daerah. Kesejahteraan
sebuah rumah tangga dalam masyarakat menjadi deskripsi dasar yang
merepresentasikan tingkat kesejahteraan masyarakat secara agregat di suatu daerah
maupun nasional. Semakin tinggi kesejahteraan rumah tangga masyarakat dapat
menjadi mesin penggerak tingginya pertumbuhan ekonomi (engine of growth) suatu
daerah dan nasional.
Karakteristik umum responden rumah tangga miskin yang dijadikan sampel
dalam penelitian dapat dilihat berdasarkan jenis kelamin, pendidikan terakhir yang
ditempuh dan jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan keluarga, jumlah
keluarga dalam rumah tangga. Berdasarkan jenis kelamin responden yang menjadi
sampel secara keseluruhan yaitu 99 orang adalah laki-laki, hal ini mengingat
responden utama adalah kepala rumah tangga. Rata-rata kisaran umur masih
tergolong dalam kelompok usia produktif sebagai angkatan kerja. Hal ini
mengindikasikan bahwa kemampuan kepala rumah tangga untuk bekerja memenuhi
kebutuhan rumah tangga masih cukup potensial.
120
Tabel 5.9
Tingkat Pendidikan Terakhir Kepala Rumah Tangga Responden
No. Tingkat Pendidikan
Kepala
RTS
(orang)
Persentase
(%)
1. Tidak Sekolah/Tidak Tamat Sekolah Dasar 54 54,6
2. Tamat Sekolah Dasar 42 42,4
3. Tamat Sekolah Menengah Pertama 3 3,0
Total 99 100
Sumber : Data primer, diolah, 2014
Pendidikan menjadi salah satu determinan penting dalam kesejahteraan
keluarga. Berdasarkan tingkat pendidikan terakhir yang ditempuh, kepala rumah
tangga yang menjadi responden rata-rata tidak tamat SD atau tidak sekolah yaitu
54,6 persen dan tamat Sekolah Dasar (SD) 42 persen dan tiga persen dengan
pendidikan SMP. Masih rendahnya tingkat pendidikan kepala rumah tangga
mengindikasikan masih terbatasnya akses pendidikan yang dimiliki kepala rumah
tangga. Hal ini akan memberikan implikasi terhadap pola pikir dan produktivitas
anggota rumah tangga miskin.
121
Tabel 5.10
Matrik Jumlah Anggota Keluarga Responden
Jumlah Anggota
(Orang)
Persentase (%) 1 2 3 4 5
Anggota keluarga - - 13,1 47,5 39,4
Anggota laki-laki dewasa 56,6 43,4 - - -
Anggota perempuan dewasa 48,5 50,5 - - -
Anak laki-laki < 17 tahun 79,8 5,10 1,00 - -
Anak perempuan < 17 tahun 75,8 20,2 2,00 - -
Sumber : Data primer, diolah, 2014
Dilihat dari susunan anggota keluarga, rata-rata jumlah anggota keluarga
dalam satu RTM dihuni oleh 5 (lima) orang. Sedangkan jumlah anak laki-laki yang
masih hidup dibawah umur 17 tahun dan anak perempuan dibawah usia 17 tahun
sama yaitu rata-rata satu orang dalam satu RTM. Hal ini menunjukkan kondisi
normal untuk jumlah anak di bawah usia 17 tahun yang masih menjadi tanggungan
keluarga.
5.3.2 Deskripsi Kesejahteraan Responden
Kemiskinan adalah suatu situasi dimana seseorang atau rumah tangga
mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar sementara lingkungan
pendukung kurang memberikan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan secara
berkelanjutan dan keluar dari kerentanan. Maka upaya untuk meningkatkan dan
mempertahankan kesejahteraan masyarakat miskin dapat dilakukan dengan
memperbaiki lingkungan pendukung masyarakat antara lain kapabilitas, strategi
122
penghidupan lokal, peluang dan dukungan, kerentanan, keberlanjutan. Deskripsi
kesejahteraan responden dibagi dalam beberapa indikator kondisi seperti kondisi
ekonomi, modal sosial, kondisi hunian, pemenuhan kebutuhan pangan, kebutuhan
terhadap pendidikan dan akses pelayanan.
5.3.2.1 Kondisi Ekonomi
Salah satu indikator penting untuk mengukur tingkat kesejahteraan
masyarakat adalah tingkat pendapatan. Semakin tinggi pendapatan yang diterima
keluarga maka kesejahteraan keluarga juga akan meningkat. Rata-rata sumber
penghasilan utama kepala rumah tangga miskin adalah petani dengan luas lahan 0,5
ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya
dengan pendapatan di bawah Rp.600.000 per bulan. Mata pencaharian utama
responden adalah buruh tani dan nelayan. Lebih dari separuh responden tidak
memiliki pekerjaan lain diluar pekerjaan utama 66,7 persen dan hanya 33,3 persen
yang memiliki pekerjaan lain sebagai buruh ternak, nelayan dan pekerjaan tidak tetap
lainnya.
Dilihat dari tingkat pendapatan yang diperoleh oleh rumah tangga dalam satu
bulan umumnya tidak pasti namun secara rata-rata berkisar antara Rp.500.000,-,
hingga Rp.1.000.000,- dan pengeluaran berada pada kisaran yang sama dengan
pendapatan. Umumnya pengeluaran lebih banyak digunakan untuk konsumsi
kebutuhan pangan sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan yang
diperoleh hampir secara keseluruhan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan tidak
123
yang ditabung dan mengindikasikan pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs)
masih menjadi prioritas dan permasalahan utama rumah tangga miskin.
Pola berhutang juga dijumpai dalam rumah tangga miskin dimana 35,4
persen rumah tangga miskin pernah berhutang dalam setahun, umumnya dalam
bentuk uang. Sumber hutang diperoleh dari tetangga dan sebagian lainnya dari
saudara. Rata-rata besarnya hutang berkisar antara Rp.100.000,- hingga Rp.400.000,-
. Pada umumnya hutang tersebut digunakan untuk keperluan pemenuhan kebutuhan
pokok dan sebagian lainnya untuk biaya sekolah dan biaya sakit. Masalah
kemiskinan sebagian besar rumah tangga miskin adalah pada masih kurangnya
pemenuhan kebutuhan pokok.
Masih rendahnya tingkat pendapatan masyarakat miskin dan keterbatasan
dalam memenuhi kebutuhan pokok, maka diperlukan adanya keterampilan usaha
dalam mendukung pekerjaan utama kepala rumah tangga miskin. Keterampilan
usaha sangat penting dalam meningkatkan produktivitas dan pada akhirnya akan
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat miskin. Sebanyak 53,1
persen masyarakat tidak memiliki keterampilan dalam mendukung pekerjaan utama
dan 46,9 persen memiliki keterampilan. Kondisi ini berbeda dengan keikutsertaan
masyarakat dalam kelompok usaha bersama dimana 66 persen telah tergabung
seperti kelompok tani andalan dan kelompok tani nelayan. Rata-rata masyarakat telah
bergabung dalam kelompok usaha bersama selama lima hingga enam tahun.
Pada umumnya masyarakat memiliki keinginan untuk membuka usaha
mandiri yaitu sekitar 70,4 persen dengan bentuk usaha yang diinginkan adalah
beternak ayam dan sapi dan sebagian lainnya menginginkan usaha kerajinan dan
124
budidaya ikan hias mengingat prospek usaha yang dianggap cukup menjanjikan.
Masyarakat mengharapkan peran pemerintah dalam mendukung usaha mereka
adalah dalam bentuk bantuan modal usaha. Masalah permodalan memang masih
menjadi persoalan utama dalam pengembangan usaha masyarakat. Hal ini terlihat
26,3 persen masyarakat masih merasa mengalami kesulitan dalam mengajukan kredit
dan 72,7 persen masyarakat tidak pernah mengajukan kredit usaha baik di lembaga
keuangan bank dan non bank.
5.3.2.2 Kondisi Modal Sosial
Kondisi sosial sebagai salah satu lingkungan pendukung sangat penting
dalam membangun kesejahteraan rumah tangga miskin. Pemenuhan dan aksesibilitas
terhadap fasilitas sosial dan proses interaksi sosial menjadi media penting dalam
membantu masyarakat miskin untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Kondisi sosial
masyarakat miskin dapat dilihat terlebih dahulu dari sistem sosial yang berlaku di
lingkungan masyarakat miskin tinggal seperti peran lembaga sosial yang ada di
masyarakat, interaksi antar masyarakat, partisipasi masyarakat dalam kegiatan sosial.
Berdasarkan hasil kajian, modal sosial yang dibangun di masyarakat cukup
tinggi. Hal ini terlihat dari tingginya partisipasi masyarakat dalam organisasi sosial di
masyarakat yaitu 84,7 persen dalam kegiatan di banjar adat dan subak. Fenomena ini
mengindikasikan bahwa media penting dalam melakukan pendekatan sosial
masyarakat masih terletak pada kegiatan keagamaan. Kondisi ini sesuai dengan
krakteristik kehidupan masyarakat Kabupaten Klungkung yang cukup kental dengan
keagamaan. Adapun proses pengambilan keputusan lebih banyak pada tokoh
125
masyarakat dan agama 56,2 persen dan kepala desa atau RT/RW 40,8 persen. Begitu
halnya apabila ada konflik dalam masyarakat, penyelesaian masalah 92,8 persen
melalui musyawarah desa dan hanya 5,2 persen yang melalui aparat berwenang.
5.3.2.3 Kondisi Hunian atau Tempat Tinggal
Salah satu indikator yang menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat
adalah kondisi hunian tinggal rumah tangga miskin. Kondisi fisik rumah tinggal
masyarakat miskin dapat dilihat dari luas lantai rumah dan bahan materialnya, atap,
dinding rumah, fasilitas MCK dan sumber penerangan. Status kepemilikan rumah
rumah tangga miskin, 84,8 persen merupakan rumah milik sendiri dan hanya 15,2
persen yang sewa. Secara keseluruhan rumah tangga miskin yang menjadi sampel
memiliki luas lantai kurang dari 8 meter persegi yang dihuni rata-rata oleh 5 (lima)
anggota keluarga. Kondisi ini termasuk dalam kondisi yang tidak layak untuk hunian
rumah tangga dengan rata-rata dihuni lima orang. Hal ini diperparah dengan bahan
material lantai yang masih tanah 90,9 persen, semen 8,1 persen dan 1,0 persen dari
keramik.
Tabel 5.11
Struktur Material Lantai Rumah Tangga Miskin
Material Lantai Jumlah Persentase (%)
Tanah/Bambu/Kayu 90 90,90
Lantai Semen 8 8,10
Ubin/Keramik 1 1,00
Total 99 100,00
Sumber : Data primer, diolah, 2014
126
Sedangkan untuk material dinding, 87,9 persen masih dari bambu atau
tembok tanpa plester dan 12,1 persen dari kayu atau setengah tembok. Stuktur atap
dari genteng tanah liat baik manual dan press 84,9 persen dan hanya 15,1 persen
yang menggunakan daun kelapa.
Pada fasilitas MCK, 98 persen rumah tangga tidak memiliki fasilitas mandi
cuci kakus (MCK) atau penggunaan bersama-sama dengan rumah tangga lainnya dan
dua persen sudah memiliki MCK sendiri. Begitu halnya dengan sumber penerangan
77,8 persen belum menggunakan listrik dan hanya 22,2 persen yang sudah memiliki
listrik. Melihat hunian rumah tangga miskin, menunjukkan kondisi di bawah standar
hidup layak. Program bantuan Pemerintah dalam rehabilitasi rumah tinggal
dilakukan dalam bentuk bedah rumah namun secara umum masih belum mencukupi
untuk pemenuhan hunian layak tinggal.
5.3.2.4 Pemenuhan Kebutuhan Pangan
Maslow (1964) mengemukakan bahwa pada dasarnya manusia memiliki
kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk
menyayangi dan disayangi, kebutuhan untuk memperoleh penghargaan dan
kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan
dasar manusia yang utama untuk dipenuhi. Masyarakat dikatakan mengalami
kemiskinan absolut bila kebutuhan pokok atau dasar tidak atau belum terpenuhi.
Beberapa indikator yang digunakan untuk melihat pemenuhan kebutuhan pokok
antara lain konsumsi makanan bergizi seperti daging,ayam atau susu, frekuensi
127
makan dalam sehari, kebutuhan bahan bakar untuk memasak dan pemenuhan
kebutuhan air minum.
Sebanyak 84,8 persen masyarakat miskin dalam seminggu tidak pernah atau
hanya sekali mengkonsumsi kebutuhan gizi minimum yaitu ayam, daging maupun
susu, umumnya masyarakat hanya mengkonsumsi ikan dan sayuran yang diambil
dari pekarangan rumah. Sedangkan 15,2 persen pernah atau lebih dari sekali
mengkonsumsi kebutuhan gizi standar. Untuk frekuensi makan 97 persen makan
kurang dari dua kali sehari. Kondisi ini menunjukkan bahwa kebutuhan pangan
terutama beras memiliki proporsi yang cukup besar sebagai kecukupan karbohidrat,
namun pemenuhan gizi lainnya masih kurang. Rendahnya konsumsi gizi makanan
rumah tangga miskin akan mempengaruhi kondisi kesehatan dan kemampuan daya
pikir masyarakat terutama untuk anak usia sekolah yang sebenarnya masih
memerlukan asupan gizi yang cukup.
Untuk memenuhi kebutuhan memasak, rata-rata 99 persen masyarakat miskin
masih menggunakan tungku dengan bahan bakar kayu dan minyak tanah. Kayu bakar
biasanya dipasok dari mencari sendiri dan hanya satu persen yang menggunakan gas
LPG yang merupakan subsidi dari Pemerintah.
Tabel 5.12
Bahan Bakar Memasak Rumah Tangga Miskin
Bahan Bakar Jumlah Persentase (%)
Kayu Bakar/Arang/MInyak Tanah 98 99,00
Batu Bara 0 0,00
LPG 1 1,00
Total 99 100,00
Sumber : Data primer, diolah, 2014
128
Sedangkan untuk kebutuhan air minum, 98 persen dipenuhi dari sumur
bersama dengan tetangga dan hanya dua persen yang memiliki sumur sendiri atau
PDAM. Sementara untuk pemenuhan air bersih 88,9 persen masyarakat sudah
mendapatkan air bersih dan 11,1 persen yang belum mendapatkan air bersih.
5.3.2.5 Pemenuhan Kebutuhan Pendidikan
Pendidikan menjadi kebutuhan utama rumah tangga miskin dalam
meningkatkan kesejahteraan dan mengatasi kerentanan kemiskinan. Pendidikan
dapat dikatakan sebagai kebutuhan pokok yang diperlukan masyarakat melalui
lembaga pendidikan formal maupun informal, baik melalui bimbingan, pengajaran
atau latihan di sekolah atau luar sekolah.
Berdasarkan hasil kajian, dilihat dari segi pendidikan rumah tangga miskin
cukup baik yaitu lebih dari 80 persen anak usia 7 hingga 16 tahun yang sudah
bersekolah. Namun disisi lain masih rendahnya beasiswa yang didapatkan anak
rumah tangga miskin yaitu 99 persen yang belum mendapatkan beasiswa padahal
tawaran beasiswa sekolah seperti dana BOS cukup potensial dan fasilitas sekolah
cukup baik.
5.3.2.6 Pemenuhan Akses Pelayanan
Sebagai kesatuan sistem yang ada di masyarakat, adanya fasilitas pelayanan
publik yang mamadai merupakan pendukung yang penting dalam menunjang
kesejahteraan masyarakat. Akses pelayanan antara lain akses kesehatan, pendidikan
dan fasilitas publik lainnya.
129
Secara umum menurut persepsi rumah tangga miskin untuk akses pelayanan
kesehatan seperti Puskesmas cukup mudah dan dari sisi pelayanan sudah cukup baik.
96 persen masyarakat sudah memiliki kartu kesehatan masyarakat miskin yaitu
Jamkesmas. Kondisi ini menunjukkan pelayanan kesehatan dirasakan sudah cukup
baik bagi masyarakat miskin dalam memenuhi jaminan kesehatan.
Dari akses jalan dan jembatan yang ada di lingkungan desa, 88,9 persen
menyatakan sudah ada namun masih buruk dan hanya 11,1 persen yang menyatakan
baik, begitu halnya dengan akses untuk ke pasar terdekat 97 persen masih dirasakan
sulit, hal ini mengingat jarak rumah yang jauh dari pusat pertumbuhan yang rata-rata
berjarak 15 kilometer. Pembangunan infrastruktur pendukung seperti jalan dan
jembatan sangat penting dalam mempermudah akses kegiatan masyarakat baik intra
daerah maupun antar daerah, sehingga diharapkan pertumbuhan ekonomi desa akan
meningkat dan menjadi pusat-pusat pertumbuhan.
5.3.3 Pemetaan Indeks Kemiskinan dan Identifikasi Penyebab Kabupaten
Klungkung
Pemetaan kemiskinan di Kabupaten Klungkung dianalisis melalui
perhitungan indeks kemiskinan berdasarkan model Nested Spheres of Poverty.
Indeks kemiskinan dihitung dengan tujuan antara lain 1) mengetahui tingkat
kemiskinan pada tingkat rumah tangga, kelurahan/desa, kecamatan dan Kabupaten
melalui pengambilan sampel; 2) mendiagnosis permasalahan wilayah dan sektoral;
3) membantu penyusunan strategi intervensi dalam penanggulangan kemiskinan; 4)
membantu peningkatan akurasi penentuan sasaran program bantuan kemiskinan.
130
5.3.3.1 Indeks Kemiskinan Agregat
Indeks kemiskinan agregat memberikan gambaran kemiskinan secara umum
dan sangat penting untuk mengetahui prioritas masalah atau aspek yang menjadi
perhatian serius dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Klungkung.
Indeks kemiskinan mencakup jumlah dari indeks inti atau kebutuhan dasar dan
indeks konteks atau lingkungan pendukung. Indeks kebutuhan dasar mencakup
beberapa indeks yaitu kesehatan, kekayaan materi dan pengetahuan. Sementara
indeks konteks terdiri indeks politik, ekonomi, sosial, alam dan infrastruktur dan
layanan.
Keterangan :
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Gambar 5.5
Indeks Kemiskinan Agregat Berdasarkan Kecamatan
Secara agregat, indeks kemiskinan Kabupaten Klungkung secara rata-rata
adalah 31,02 dengan klasifikasi nilai yaitu 0 hingga 39 untuk kondisi kritis, 40
: Kondisi Kritis (0-39) : Moderat/Sedang (40-60) : Baik (61-100)
131
hingga 60 untuk kondisi sedangatau moderat dan 61 hingga 100 untuk kategori baik,
sehingga agregat indeks rumah tangga miskin masuk dalam klasifikasi kritis. Hal ini
mengindikasikan bahwa secara agregat, permasalahan kemiskinan masih menjadi
perhatian utama dari seluruh aspek yang memerlukan penanganan secara serius dan
terencana sehingga permasalahan kemiskinan dapat tereduksi pada kisaran indeks
yang lebih baik.
Sedangkan secara kewilayahan, indeks kemiskinan seluruh kecamatan yaitu
Banjarangkan, Klungkung, Dawan dan Nusa Penida menunjukkan kondisi kritis.
Kecamatan Nusa Penida dengan indeks terendah yaitu 27,93, Kecamatan Dawan
32,28, Kecamatan Klungkung 33,79 dan Kecamatan Banjarangkan 36,42.
Kecamatan Nusa Penida dengan geografis wilayah yang tandus dan kelerengan
tinggi, curam dan berbatu-batu, curah hujan yang rendah menyebabkan keterbatasan
bagi tumbuhnya tanaman pangan termasuk tidak adanya produksi beras meskipun
budidaya rumput laut cukup potensial untuk dikembangkan. Selain itu keberadaan
Nusa Penida yang dipisahkan oleh perairan/laut yang memberikan dampak pada
keterbatasan aksessibilitas dan keterisolasian dibandingkan denan kecamatan
kecamatan lainnya.
132
Tabel 5.13
Indeks Kesejahteraan Inti Kabupaten Klungkung Berdasarkan Klasifikasi
No. Klasifikasi Indeks Rata-Rata Kategori
1. Kesehatan 46,34 Sedang/Moderat
2. Kekayaan Materi 12,32 Kritis
3. Pengetahuan 17,51 Kritis
Keterangan :
Klasifikasi Nilai :
Kesehatan : 0 - 42 Kritis; 43 - 57 Sedang/moderat;58 - 100 Baik
Materi : 0 - 40 kritis; 41 - 59 sedang/moderat; 60 - 100 baik
Pengetahuan : 0 - 33 Kritis; 34 - 66 sedang/moderat; 67 - 100 Baik
Sumber : Data primer, diolah, 2014
Dilihat dari indeks inti atau kebutuhan dasar, indeks kesehatan berada pada
kisaran moderat yaitu 46,34 dengan batas indeks 43 hingga 57. Artinya kebutuhan
masyarakat terhadap kesehatan masih cukup baik baik dari sisi kuantitas dan kualitas
baik dari layanan yang diberikan pemerintah maupun pemenuhan gizi dan air bersih
rumah tangga miskin. Hal berbeda ditunjukkan dari indeks kekayaan materi dan
pengetahuan yang dimiliki rumah tangga miskin yang berada pada kisaran kritis atau
buruk yaitu dengan rata-rata untuk kekayaan materi 12,32 dengan batas indeks 0
hingga 40, sementara indeks pengetahuan adalah 17,51 dengan batas indeks 0 hingga
33.
Kondisi ini menunjukkan bahwa masalah akses terhadap pendidikan baik
formal maupun informal masih rendah seperti tingkat pendidikan kepala rumah
tangga yang rendah dan tidak memiliki keterampilan dalam mendukung pekerjaan
utama maupun pekerjaan lainnya. Begitu halnya dengan indikator kekayaan materi
yang dimaksud meliputi antara lain kondisi tempat tinggal masyarakat yang belum
layak dan kepemilikan atas aset/tabungan masih kurang.
133
Tabel 5.14
Indeks Konteks Kabupaten Klungkung Berdasarkan Klasifikasi
No. Klasifikasi Indeks Rata-Rata Kategori
1. Politik 17,51 Kritis
2. Ekonomi 31,31 Kritis
3. Sosial 55,89 Sedang/Moderat
4. Alam 27,39 Kritis
5. Infrastruktur 51,16 Sedang/Moderat
Keterangan :
Klasifikasi Nilai :
Politik : 0 - 33 Kritis; 34 - 66 Sedang/moderat; 67 - 100 Baik
Ekonomi : 0 - 40 kritis; 41 - 59 sedang/moderat; 60 - 100 baik
Sosial : 0 - 39 Kritis; 40 - 60 sedang/moderat; 61 - 100 Baik
Alam : 0 - 42 Kritis; 43 - 57 Sedang/moderat; 58 - 100 Baik
Infrastruktur : 0 - 38 Kritis; 39 - 61 Sedang/moderat; 62 - 100 Baik
Sumber : Data primer, diolah, 2014
Dilihat dari indeks konteks meliputi lingkungan politik, ekonomi, sosial, alam
dan infrastruktur dan layanan. Indeks konteks sosial dan infrastruktur menunjukkan
kondisi yang sedang atau moderat. Sedangkan indeks konteks ekonomi, alam dan
politik menunjukkan kondisi kritis atau buruk. Kondisi kritis pada indikator ekonomi
dapat dilihat dari penghasilan masyarakat miskin, stabilitas penghasilan yang masih
tidak tetap, kemampuan memenuhi kebutuhan pokok beras masih kurang dan
aksesibilitas terhadap kredit usaha yang masih terbatas. Kondisi alam dapat dilihat
dari akses terhadap sumberdaya alam, pengelolaan dan kondisi lingkungan alam
sekitar masyarakat. Sementara lingkungan politik yang dimaksud adalah aksesibilitas
masyarakat terhadap sumberdaya alam, akses informasi dan keikutsertaan
masyarakat dalam pengambilan keputusan di lingkungan yang dinilai masih kurang.
134
Keterangan :
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Gambar 5.6
Indeks Kesejahteraan Subyektif Berdasarkan Kecamatan
Sementara dilihat dari indeks kesejahteraan subyektif yang mencakup
perasaan sejahtera, miskin dan bahagia menunjukkan kondisi kritis yaitu 10,10 yang
berada pada kisaran 0 hingga 33. Begitu halnya dilihat dari kecamatan, seluruh
kecamatan memiliki indeks kesejahteraan subyektif kritis. Perasaan kesejahteraan
subjektif adalah kumpulan perasaan seseorang berupa perasaan sejahtera, rasa
bahagia, rasa dihormati, rasa diakui, rasa miskin, rasa serba kekurangan, dan
perasaan-perasaan sejenisnya. Perasaan ini bersifat sangat umum dan dipengaruhi
oleh seluruh aspek kehidupan. Perasaan ini bisa saja bersifat sementara dan mungkin
dipengaruhi oleh kejadian-kejadian sesaat. Kesejahteraan subyektif bersifat sangat
individu dan emosional. Kesejahteraan ini tidak memiliki nilai konstan, tetapi
berubah ubah sesuai dengan suasana hati dan lingkungan.
: Kondisi Kritis (0-33) : Moderat/Sedang (34-66) : Baik (67-100)
135
5.3.3.2 Indeks Kemiskinan Berdasarkan Aspek Nested Spheres of Poverty
Indeks kemiskinan dengan model Nested Spheres of Poverty (NESP)
mendekatkan konsep kemiskinan dengan kesejahteraan. Selama dua dekade terakhir,
konsep kemiskinan telah mengalami dinamika yang sebelumnya menekankan pada
pertimbangan pendapatan atau konsumsi yang sederhana menjadi definisi yang lebih
luas dan dinamis yaitu mencakup multidimensi kekurangan dan kesejahteraan.
Dimensi kemiskinan dengan model Nested Spheres of Poverty terbentuk dari
kesejahteraan subyektif yang didukung oleh aspek inti kemiskinan, yang meliputi
kebutuhan dasar, dan lingkungan pendukung kontekstual yang merupakan media
dalam menghadapi kerentanan kemiskinan.
Aspek inti kemiskinan mencakup kebutuhan dasar seperti pemenuhan
kebutuhan pangan, kesehatan, perumahan dan pendidikan termasuk kapabilitas
masyarakat seperti kondisi fisik dan keahlian untuk keluar dari kemiskinan.
Berdasarkan aspek kebutuhan dasar pangan, kesehatan dan gizi, Kecamatan
Banjarangkan, Klungkung dan Dawan masih berada dalam kondisi sedang atau
cukup moderat. Sedangkan Kecamatan Nusa Penida berada dalam kondisi kritis.
136
Keterangan :
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Gambar 5.7
Indeks Kesejahteraan Inti Berdasarkan Klasifikasi Kesehatan
Aspek kesejahteraan inti berikutnya adalah kekayaan materi. Aspek ini
mencakup pemenuhan kebutuhan rumah tangga miskin terhadap kondisi fisik hunian
tinggal dan kepemilikan terhadap aset baik bergerak maupun tidak bergerak.
Berdasarkan aspek kekayaan materi seluruh kecamatan menunjukkan kondisi kritis
yang artinya kondisi hunian tinggal masih belum layak dan rumah tangga miskin
tidak memiliki aset atau tabungan.
: Kondisi Kritis (0-42) : Moderat/Sedang (43-57) : Baik (58-100)
137
Keterangan :
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Gambar 5.8
Indeks Kesejahteraan Inti Berdasarkan Klasifikasi Kekayaan Materi
Aspek kesejahteraan inti lainnya adalah pengetahuan yang mencakup tingkat
pendidikan kepala rumah tangga, jumlah anak yang bersekolah dan keterampilan
yang dimiliki kepala rumah tangga dalam mendukung pekerjaan utama. Seluruh
kecamatan untuk aspek pengetahuan masih sangat rendah, terutama dari rendahnya
tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan tidak adanya keterampilan meskipun 66
persen masyarakat menyatakan telah bergabung dengan kelompok usaha bersama.
Pada umumnya rumah tangga hanya memiliki satu mata pencaharian yang umumnya
adalah buruh tani, buruh ternak dan nelayan. Kecamatan Nusa Penida masih
menempati kisaran indek kritis paling rendah dibandingkan dengan tiga kecamatan
lainnya.
: Kondisi Kritis (0-40) : Moderat/Sedang (41-59) : Baik (60-100)
138
Keterangan :
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Gambar 5.9
Indeks Kesejahteraan Inti Berdasarkan Klasifikasi Pengetahuan
Selain kesejahteraan inti, aspek pendukung kesejahteraan lainnya adalah
konteks yang terdiri dari lingkungan alam mencakup ketersediaan dan kualitas
sumber daya alam. Lingkungan ekonomi mencakup kesempatan ekonomi dan jaring
pengaman. Aspek-aspek seperti kapital dan kohesi sosial, rasa saling percaya dan
konflik adalah untuk membangun lingkungan sosial. Lingkungan politik terdiri dari
hak dan partisipasi atau representasi dalam pengambilan keputusan, pemberdayaan
dan kebebasan. Prasarana dan pelayanan mempengaruhi keempat lingkungan
konteks yang lain.
Aspek lingkungan alam secara keseluruhan juga masuk dalam kondisi kritis.
Kondisi paling kritis adalah kecamatan Nusa Penida yang disebabkan kondisi
geografis yang kurang mendukung penciptaan sumber-sumber ekonomi. Pada
umumnya responden menyatakan tidak tahu terhadap permasalahan lingkungan
: Kondisi Kritis (0-33) : Moderat/Sedang (34-66) : Baik (67-100)
139
seperti kerusakan lahan, kebakaran lahan, kualitas sumber air dan eksploitasi
sumberdaya. Ketidaktahuan masyarakat menunjukkan masih rendahnya kepedulian
masyarakat terhadap kondisi lingkungan alam disekitarnya.
Keterangan :
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Gambar 5.10
Indeks Kesejahteraan Konteks Berdasarkan Klasifikasi Lingkungan Alam
Aspek lingkungan ekonomi mencakup sumber penghasilan, stabilitas
penghasilan, persediaan bahan pangan dan akses terhadap pembiayaan usaha.
Berdasarkan perhitungan indeks, seluruh kecamatan berada dalam kondisi kritis
dengan batas indeks 0 hingga 40. Namun hal menarik yang dapat dilihat adalah nilai
indeks tertinggi adalah Kecamatan Banjarangkan 38,24 dan diikuti Kecamatan Nusa
Penida 34,51, Kecamatan Dawan 26,92 dan Kecamatan Klungkung 18,89. Dari
asepek ekonomi dibandingkan dengan aspek lainnya Kecamatan Nusa Penida
: Kondisi Kritis (0-42) : Moderat/Sedang (43-57) : Baik (58-100)
140
memiliki keunggulan dalam stabilitas penghasilan dimana rata-rata masyarakat
memiliki pekerjaan lebih dari satu umumnya menjadi budidaya ternak seperti ayam
dan buruh dalam budidaya rumput laut. Meskipun secara geografis merupakan
daerah yang tandus, namun potensi masyarakat untuk memanfaatkan ketersediaan
lahan yang luas terutama usaha ternak cukup tinggi.
Keterangan :
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Gambar 5.11
Indeks Kesejahteraan Konteks Berdasarkan Klasifikasi Lingkungan Ekonomi
Aspek lingkungan sosial merupakan aspek dengan nilai indeks tertinggi yang
artinya baik. Kohesi sosial yang ada di masyarakat didukung dengan tingginya
toleransi sosial antar masyarakat yang pada akhirnya meminimalisir friksi yang
mungkin terjadi di lingkungan masyarakat. Hal ini menjadi penguat modal sosial
dalam capacity dan community building yang sangat penting dalam
mengimplementasikan konsep pemberdayaan masyarakat.
: Kondisi Kritis (0-40) : Moderat/Sedang (41-59) : Baik (60-100)
141
Keterangan :
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Gambar 5.12
Indeks Kesejahteraan Konteks Berdasarkan Klasifikasi Lingkungan Sosial
Lingkungan politik mencakup aksessibilitas terhadap sumberdaya alam di
sekitar, informasi publik melalui media, pengambilan keputusan dalam lingkungan.
Aspek politik sangat penting sebagai media interaksi masyarakat dalam memberikan
suara dalam pengambilan keputusan, kuantitas dan kualitas informasi secara umum
serta hak dalam turut mengelola potensi sumberdaya sekitar. Berdasarkan nilai
indeks, seluruh kecamatan berada dalam kondisi kritis. Hal ini disebabkan faktor
masih terbatasnya akses masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya ekonomi. Hal
ini yang belum termanfaatkan dalam kelompok usaha bersama sebagai wadah
pengembangan usaha masyarakat. Hal lainnya adalah masih terbatasnya
keikutsertaan anggota rumah tangga dalam pengambilan keputusan, mengingat di
: Kondisi Kritis (0-39) : Moderat/Sedang (40-60) : Baik (61-100)
142
Kabupaten Klungkung umumnya keputusan berada dalam musyawarah desa
sehingga aspirasi masyarakat sudah terwakili dalam musyawarah desa dan peran
tokoh masyarakat masih menjadi pemangku tertinggi di masyarakat.
Keterangan :
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Gambar 5.13
Indeks Kesejahteraan Konteks Berdasarkan Klasifikasi Lingkungan Politik
Aspek konteks lainnya adalah lingkungan pendukung prasarana dan layanan.
Aspek prasarana dan layanan mencakup fasilitas publik yang disediakan Pemerintah
Daerah mulai dari pendidikan,kesehatan, akses ke pusat pertumbuhan dan fasilitas
publik, komunikasi, layanan rohani dan obyek wisata. Berdasarkan nilai indeks,
seluruh kecamatan menunjukkan kondisi baik meskipun beberapa indikator
pendidikan, kesehatan dan akses pada fasilitas publik seperti pasar masih dirasakan
sedang bahkan akses ke pasar masih sulit. Nilai indeks terendah adalah kecamatan
Nusa Penida, hal ini mengingat adanya keterbatasan akses dan layanan publik baik
: Kondisi Kritis (0-33) : Moderat/Sedang (34-66) : Baik (67-100)
143
secara kuantitas maupun kualitas karena letak geografis yang terpisah dan jauh dari
Ibukota Kabupaten.
Keterangan :
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Gambar 5.14
Indeks Kesejahteraan Konteks Berdasarkan Prasarana dan Layanan
5.3.3.3 Identifikasi Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan menjadi salah satu permasalahan dalam pembangunan dan
bersifat multidimensi. Kondisi ini menyebabkan identifikasi terhadap penyebab
kemiskinan sangat penting dalam merumuskan program penanggulangan
kemiskinan. Bukan hanya secara faktoral namun juga sektoral dan menjadi bahan
analisis yang berbeda-beda antar wilayah yang identik dengan permasalahan berbeda
pula.
: Kondisi Kritis (0-38) : Moderat/Sedang (39-61) : Baik (62-100)
144
Penyebab kemiskinan dapat ditemukan pada berbagai tingkat. Ada penyebab
yang berasal dari dalam rumah tangga sendiri, seperti tingkat pendidikan yang
rendah atau lemahnya wawasan dalam membelanjakan pendapatan tunai. Penyebab
lainnya lebih merupakan tanggung jawab jenjang administratif yang lebih tinggi,
seperti kurang memadainya anggaran kesehatan dan pendidikan, atau kurangnya
pengakuan terhadap hak-hak kepemilikan lahan tradisional dan hak terhadap sumber
daya alam. Selain itu, ada penyebab kemiskinan yang tidak dapat dikendalikan
langsung oleh pemerintah, seperti bencana alam, kejadian makroekonomi dan
topografi kawasan (Gonner et al, 2007).
Kemiskinan di Kabupaten Klungkung yang secara agregat memiliki kondisi
kritis memerlukan perhatian serius dari Pemerintah Daerah untuk menganalisis
secara mendalam penyebab kemiskinan. Berdasarkan hasil pemetaan kondisi
kemiskinan di empat kecamatan dalam berbagai aspek, maka penyebab kemiskinan
dapat diidentifikasi melalui urutan prioritas masalah dalam berbagai aspek tersebut
yang akan berbeda tiap wilayah.
Secara agregat urutan prioritas penyebab kemiskinan paling parah atau kritis
dari berbagai aspek secara berturut-turut berdasarkan nilai indeks kemiskinan adalah
kekayaan materi, pengetahuan, politik, lingkungan alam, lingkungan ekonomi,
kesehatan, prasarana dan layanan, lingkungan sosial.
1. Kekayaan Materi
Pemenuhan kebutuhan kekayaan materi yang mencakup kondisi hunian
tinggal dan kepemilikan aset menjadi masalah paling prioritas pertama di tiga
145
kecamatan yaitu Kecamatan Banjarangkan, Dawan dan Klungkung. Sedangkan di
Kecamatan Nusa Penida menjadi prioritas kedua. Hal ini disebabkan meskipun
Kecamatan Nusa Penida kurang diuntungkan secara geografis karena daerah tandus
namun masyarakat mampu memanfaatkan potensi lahan yang luas dengan usaha
beternak. Sehingga hal ini akan menciptakan lapangan usaha bagi masyarakat,
stabilitas penghasilan dan pada akhirnya dapat meningkatkan kekayaan materi.
Pemenuhan kebutuhan kekayaan materi bergantung pada penghasilan yang
diperoleh rumah tangga miskin. Di beberapa tempat, sumber penghasilan masih
terbatas karena lemahnya prasarana dan akses ke pasar yang buruk. Masalah
rendahnya kekayaan materi di tiga kecamatan adalah hunian tempat tinggal yang
kurang layak. Sementara program bedah rumah dari Pemerintah masih terbatas dan
tidak semua masyarakat mendapatkan bantuan tersebut. Luas lantai yang kurang dari
8 meter persegi per orang, lantai tanah dan dinding bambu.
Dilihat dari kepemilikan asset, seluruh rumah tangga miskin tidak memiliki
aset baik berupa tabungan, atau barang yang mudah dijual minimal Rp. 500.000,-
seperti sepeda motor, emas,ternak dan sebagainya. Rata-rata tingkat penghasilan
rumah tangga berkisar antara Rp.600.000,- hingga Rp.900.000,- dengan alokasi
pengeluaran yang berkisar antara Rp.500.000,- hingga Rp. 650.000,- yang mayoritas
bahkan keseluruhan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok atau konsumsi.
Sehingga terlihat bahwa tingkat menabung masyarakat rendah dan bahkan tidak
mampu untuk membeli aset lainnya.
146
2. Pengetahuan
Pemenuhan kebutuhan pengetahuan secara rata-rata adalah kritis dan menjadi
prioritas kedua di Kecamatan Banjarangkan dan Dawan. Sementara di Kecamatan
Klungkung tidak terlalu rendah yaitu pada urutan keempat dan untuk Kecamatan
Nusa Penida urutan ketiga prioritas masalah. Hal menarik yang dapat dilihat adalah
rendahnya pengetahuan justru terjadi di wilayah dengan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi seperti Kecamatan Banjarangkan dan Dawan. Alasan rendahnya pengetahuan
dapat disebabkan keterpencilan dan kurangnya peluang ekonomi. Kurangnya
peluang ekonomi menciptakan situasi di mana anak tidak dapat masuk sekolah
secara teratur karena mereka harus ikuti orang tuanya ke sawah atau bahkan
membantu penghasilan rumah tangga.
Sementara kurangnya peluang ekonomi juga disebabkan masih banyaknya
rumah tangga yang tidak memiliki keterampilan dalam menunjang pekerjaan utama.
Sehingga tidak ada perbaikan taraf hidup dalam mendapatkan sumber-sumber
ekonomi yang layak sesuai kebutuhan rumah tangga. Meskipun masyarakat telah
bergabung pada kelompok usaha bersama, namun ragam dan intensitas pelatihan
untuk meningkatkan keterampilan masyarakat masih dirasakan kurang.
3. Lingkungan Politik
Rendahnya pemenuhan kebutuhan politik juga berada dalam kondisi kritis di
seluruh kecamatan dan yang paling buruk adalah Kecamatan Nusa Penida yang
menjadi prioritas masalah terbesar, sementara kecamatan lainnya berada pada
prioritas ketiga. Alasan utama masih rendahnya akses terhadap potensi sumberdaya
147
sekitar yang sulit secara geografis dan belum optimalnya prasarana dalam mengelola
sumberdaya yang ada. Sehingga bentuk usaha yang memungkinkan adalah
memanfaatkan lahan yang tersedia untuk budidaya ternak.
Meskipun terjadi peningkatan pengakuan informal terhadap hak-hak atas
lahan dan sumber daya tradisional, namun ketidakpastian masih relatif tinggi. Hak-
hak tradisional masih belum diakui secara resmi. Ketidakpastian ini yang menjadi
pendorong kuat pemanfaatan sumber daya secara tidak berkelanjutan.
Faktor lain masih rendahnya pengambilan keputusan dalam musyawarah
karena secara umum masih berada pada musyawarah desa dan tokoh masyarakat.
Sementara di sisi lain, masyarakat semakin banyak memiliki informasi seiring
dengan membaiknya akses informasi dan pengetahuan mengenai undang-undang.
4. Lingkungan Alam
Aspek lingkungan alam di Kabupaten Klungkung berada pada kondisi kritis
dan kondisi yang paling buruk adalah Kecamatan Nusa Penida. Hal ini memang
disebabkan secara geografis Kecamatan Nusa Penida merupakan wilayah tandus dan
terjal. Namun secara keseluruhan penilaian adanya masalah pada lingkungan alam
lebih disebabkan karena masih rendahnya kepedulian masyarakat terhadap
lingkungan sekitar dengan menjawab tidak tahu terhadap kondisi alam sekitar.
5. Lingkungan Ekonomi
Secara agregat lingkungan ekonomi di Kabupaten Klungkung dalam kondisi
kritis dan tertinggi di Kecamatan Klungkung dan yang terendah di Kecamatan Nusa
148
Penida. Kondisi ini sangat kontradiktif secara geografis, dimana Kecamatan
Klungkung yang memiliki akses prasarana yang dekat dengan pusat pertumbuhan
ekonomi kabupaten justru masalah ekonomi menjadi prioritas kedua, sementara
Kecamatan Nusa Penida menjadi prioritas kelima dan Kecamatan Banjarangkan dan
Dawan pada prioritas keempat. Alasan rendahnya skor ekonomi disebabkan stabilitas
penghasilan rumah tangga yang masih rendah dimana rata-rata masyarakat hanya
memiliki satu sumber penghasilan dan tidak didukung dengan keahlian atau
keterampilan. Masih kurangnya sumber penghasilan yang beragam dan andal masih
menjadi permasalahan utama. Sementara jaring pengaman ekonomi tradisional
masyarakat juga masih rendah.
Di sisi lain keinginan masyarakat untuk memiliki sumber penghasilan yang
stabil tinggi. Untuk mengatasi ketidakpastian, ada kemauan kuat untuk mendapatkan
sumber penghasilan yang stabil. Banyak warga masyarakat yang menginginkan
usaha baru seperti beternak yang rata-rata adalah ayam dan sapi, dan budidaya ikan
hias yang dinilai cukup prospektif peluang pasarnya.
Dalam hal pengembangan usaha, masyarakat banyak yang belum pernah
mengajukan pinjaman modal usaha ke lembaga keuangan dan sebagian lainnya
masih merasakan kesulitan dalam pengajuan pinjaman. Keterbatasan dalam akses
permodalan memang menjadi permasalahan klasik dalam pengembangan usaha di
Indonesia. Oleh karena itu masyarakat pada umumnya menginginkan adanya bantuan
modal usaha.
Sementara masalah ketersediaan pangan dalam hal ini beras, selalu dapat
terpenuhi walaupun sulit. Rata-rata masyarakat tidak memiliki ketersediaan beras
149
untuk bulan yang akan datang. Bantuan beras RASKIN juga masih kadang-kadang
diterima masyarakat. Hal ini disebabkan belum meningkatnya tingkat penghasilan
atau peluang ekonomi yang dimiliki masyarakat, sehingga meningkatnya kebutuhan
pokok pangan juga masih menjadi masalah yang sulit dan menjadi komponen
pengeluaran terbesar dalam alokasi penghasilan.
6. Kesehatan
Aspek pemenuhan kesehatan masyarakat sudah cukup baik dalam kondisi
moderat di seluruh kecamatan. Program Pemerintah dalam memberikan layanan
kesehatan bagi masyarakat miskin yaitu JAMKESMAS sudah banyak dimiliki oleh
masyarakat. Hal ini didukung dengan kuantitas dan kualitas prasarana kesehatan
yang cukup meskipun sebagian masyarakat masih merasakan akses yang sulit untuk
pergi ke pusat layanan kesehatan seperti Puskesmas, namun secara keseluruhan
layanan kesehatan sudah cukup baik.
7. Prasarana dan Layanan
Aspek ketersediaan prasarana dan layanan menunjukkan kondisi yang cukup
baik atau moderat di seluruh kecamatan. Ketersediaan prasarana mulai dari
pendidikan, kesehatan, akses ke pasar dan pusat ekonomi, rohani hingga tempat
wisata sudah cukup memenuhi kebutuhan masyarakat. Meskipun sebagian masih
menyatakan akses yang sulit ke pasar namun masih bisa terpenuhi. Kondisi tersebut
bukan hanya cukup dari segi kuantitas namun juga kualitas layanan yang dirasakan
150
masyarakat sudah cukup baik. Peran Pemerintah Daerah sangat penting dalam
mengakomodasi kebutuhan masyarakat melalui fasilitas publik.
8. Lingkungan Sosial
Secara keseluruhan lingkungan sosial menunjukkan kondisi yang baik. Modal
sosial masyarakat yang cukup tinggi dalam membangun kebersamaan gotong royong
dan tolong menolong. Sehingga hal ini dapat meminimalisir terjadinya konflik antar
warga apalagi didukung dengan penyelesaian masalah melalui musyarawarah desa.
Modal sosial ini menjadi potensi besar bukan hanya membangun kebersamaan sosial
namun juga membuka peluang ekonomi bersama dan mengoptimalkan peran
kelompok usaha bersama yang telah ada dan kelompok sosial dan ekonomi lainnya.
Berikut adalah ringkasan urutan prioritas masalah kemiskinan di Kabupaten
Klungkung per kecamatan.
Tabel 5.15
Matrik Urutan Prioritas Masalah Kemiskinan Di Kabupaten Klungkung
Urutan
Kecamatan
Banjarangkan
Kecamatan
Dawan
Kecamatan
Klungkung
Kecamatan Nusa
Penida
Aspek Aspek Aspek Aspek
1. Materi
Pengetahuan
Politik
Ekonomi
Alam
Infrastruktur
Kesehatan
Sosial
Materi
Pengetahuan
Politik
Ekonomi
Alam
Kesehatan
Infrastruktur
Sosial
Materi
Ekonomi
Politik
Pengetahuan
Alam
Sosial
Kesehatan
Infrastruktur
Politik
Materi
Pengetahuan
Alam
Ekonomi
Kesehatan
Infrastruktur
Sosial
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Keterangan : Urutan 1-8 adalah mulai dari kondisi paling kritis hingga yang paling baik
151
5.3.4 Potensi Masyarakat Miskin Kabupaten Klungkung
Kesejahteraan merupakan kondisi dimana seluruh kapasitas atau potensi baik
internal yang berasal dari individu masyarakat maupun lingkungan pendukung
sebagai faktor eksternal bekerja secara simultan dalam mereduksi kondisi
kemiskinan dan potensi kerentanan kemiskinan. Potensi yang dimiliki masyarakat
miskin dan lingkungan sekitarnya menggambarkan posisi strategis masyarakat dalam
menanggulangi kemiskinan saat ini dan masa yang akan datang. Hal ini sangat
penting untuk diidentifikasi dalam merumuskan strategi yang lebih komprehensif
dalam memandang permasalahan kemiskinan dalam berbagai aspek baik internal dan
eksternal.
Secara umum potensi untuk keluar dari kemiskinan tampak dari adanya
keinginan yang kuat dalam mendapatkan peluang-peluang ekonomi yang ada dalam
berbagai bentuk usaha, dan didukung oleh modal sosial yang kuat serta adanya
dukungan dari Pemerintah Daerah dan pihak terkait dalam mereduksi permasalahan
yang dihadapi masyarakat miskin.
Analisis Strengths, Weakness, Opportunity dan Threats (SWOT) merupakan
teknik analisis yang dapat memetakan posisi strategis atau potensi masyarakat dalam
mengentaskan kemiskinan. Analisis SWOT adalah indentifikasi terhadap berbagai
faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada
logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities),
namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman
152
(threatness). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan
pengambilan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan (Rangkuti, 2000).
Pemetaan potensi atau posisi strategis masyarakat Kabupaten Klungkung
dalam menanggulangi kemiskinan mencakup 21 faktor yang terdiri dari 16 faktor
internal dan sembilan faktor eksternal. Berikut adalah identifikasi faktor-faktor
potensi masyarakat dalam mengentaskan kemiskinan. Faktor internal berupa
kekuatan yang dimiliki masyarakat antara lain mencakup adanya program dari
Pemerintah Daerah mengenai penanggulangan kemiskinan, potensi sumberdaya
alam, struktur kelembagaan yang kuat, adanya ragam aktifitas masyarakat, adanya
tenaga kerja produktif, dan peran lembaga non pemerintah. Sementara kendala
internal yang dihadapi masyarakat adalah daya dukung aktor sosial yang terkadang
masih sektoral, belum ada peraturan khusus dalam memperkuat integrasi
kelembagaan lokal, kualitas sumberdaya manusia yang rendah, akses sumberdaya
alam yang masih terbatas, akses permodalan dan pemasaran yang juga terbatas.
153
Tabel 5.16
Diagram SWOT Potensi Masyarakat dalam Pengentasan Kemiskinan
Faktor Internal
Faktor Eksternal
STRENGHTS (S)
Faktor kekuatan internal:
1. Peraturan Pemerintah
Daerah dalam
penanggulangan kemiskinan
2. Potensi sumberdaya alam
3. Struktur kelembagaan
4. Beragam aktifitas
masyarakat
5. Ketersediaan tenaga kerja
produktif
6. Peran lembaga non
pemerintah
WEAKNESS (W)
Faktor kelemahan internal:
1. Daya dukung aktor sosial
masih sektoral
2. Belum ada pedoman
integrasi kelembagaan
lokal
3. Kualitas SDM
4. Akses sumberdaya alam
terbatas
5. Akses permodalan terbatas
6. Akses pemasaran terbatas
OPPORTUNITIES (O)
Faktor peluang eksternal:
1. Perkembangan teknologi
2. Kebijakan pemerintah
daerah
3. Tanggung jawab sosial
4. Kondisi ekonomi daerah
dan nasional
5. Peluang usaha dari
pariwisata
Strategi S-O
Strategi yang menggunakan
kekuatan untuk memanfaatkan
peluang, yaitu:
“Strategi Meningkatkan
Kualitas dan Kapasitas
Masyarakat untuk
Peningkatan Kesejahteraan”
Strategi W-O
Strategi yang minimalisir
kelemahan untuk
memanfaatkan peluang:
“Strategi Peningkatan
Kelembagaan dan Potensi
Pariwisata untuk
Meningkatkan Kapasitas
Masyarakat ”
THREATS (T)
Faktor tantangan eksternal:
1. Penguasaan aset ekonomi
oleh penduduk pendatang
2. Globalisasi dengan daya
saing
3. Ketidakstabilan kondisi
politik dan keamanan
nasional
4. Kemandirian masyarakat
dan keberlanjutan program
Strategi S-T
Strategi yang menggunakan
kekuatan untuk mengatasi
ancaman
“Strategi Peningkatan
Keterampilan dan
Kelembagaan untuk
Meningkatkan Kemandirian
Masyarakat”
Strategi W-T
Strategi yang meminimalisir
kelemahan untuk mengatasi
ancaman
“Strategi Kelembagaan dan
Kapasitas untuk Peningkatan
Daya Saing Daerah dan
Nasional”
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Faktor eksternal peluang antara lain adalah adanya perkembangan teknologi,
dukungan kebijakan pemerintah daerah, adanya tanggung jawab sosial atau
corporate social responsibility (CSR), kondisi ekonomi daerah dan nasional yang
membaik, dan peluang ekonomi dari adanya potensi pariwisata. Sedangkan kendala
eksternal yang masih dihadapi adalah masih banyaknya penguasaan aset ekonomi
154
oleh penduduk pendatang, era globalisasi yang menuntut persaingan, ketidakstabilan
politik dan keamanan nasional yang dapat terjadi sewaktu-waktu dan kemandirian
masyarakat dan keberlanjutan program.
Tabel 5.17
Hasil Analisis Faktor Internal
Komponen Faktor Internal Bobot Skor Nilai
Kekuatan
1. Adanya Peraturan Daerah mengenai
Pengentasan Kemiskinan 0.12 4.00 0.48
2. Potensi sumber daya alam 0.08 2.67 0.21
3. Struktur dalam kelembagaan 0.09 3.17 0.30
4. Beragam aktifitas masyarakat miskin 0.07 2.50 0.19
5. Ketersediaan tenaga kerja produktif 0.06 2.17 0.14
6. Peran lembaga-lembaga non pemerintah 0.08 2.67 0.21
Jumlah 0,51
1,52
Kelemahan
1. Daya dukung aktor sosial masih bernuansa
sektoral 0,09 3,00 0,27
2.
Belum terdapat suatu pedoman yang
mengintegrasikan semua potensi
kelembagaan lokal 0,07 2,50 0,19
3. Kualitas SDM 0,08 2,67 0,21
4. Akses sumberdaya alam terbatas 0,07 2,33 0,16
5. Akses permodalan terbatas 0,10 3,33 0,33
6. Akses pemasaran terbatas 0,08 2,67 0,21
Jumlah 0,49
1,37
Selisih antara Faktor Kekuatan dan Kelemahan
0,15
Sumber: Data Primer, diolah, 2014
Berdasarkan kondisi internal dan eksternal, maka dibutuhkan strategi
secara komprehensif dan integratif yaitu (1) strategi meningkatkan kualitas dan
kapasitas masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan; (2) strategi penguatan
155
kelembagaan dan potensi pariwisata dalam upaya meningkatkan kapasitas
masyarakat; (3) strategi meningkatkan keterampilan dan kelembagaan untuk
kemandirian masyarakat; (4) strategi kelembagaan dan kapasitas untuk
meningkatkan daya saing daerah.
Tabel 5.18
Hasil Analisis Faktor Eksternal
Komponen Faktor Eksternal Bobot Skor Nilai
Peluang
1. Perkembangan teknologi 0,13 3,33 0,43
2. Kebijakan pemerintah daerah 0,14 3,67 0,52
3. Tanggung jawab sosial 0,12 3,17 0,39
4. Kondisi ekonomi daerah dan nasional 0,10 2,67 0,28
5. Peluang usaha dengan keberadaan pertumbuhan
pariwisata 0,12 3,00 0,35
Jumlah 0,61
1,96
Ancaman
1. Penguasaan aset ekonomi penduduk pendatang. 0,10 2,50 0,24
2. Era globalisasi yang menuntut daya saing yang
tinggi 0,11 2,83 0,31
3. Ketidakstabilan kondisi politik dan keamanan
nasional 0,09 2,33 0,21
4. Kemandirian masyarakat dan keberlanjutan program 0,09 2,33 0,21
Jumlah 0,39
0,97
Selisih antara Peluang dan Ancaman
0,99
Sumber: Data Primer, diolah, 2014
Berdasarkan hasil identifikasi potensi masyarakat dalam penanggulangan
kemiskinan bahwa faktor kekuatan yang dimiliki masih lebih besar dibandingkan
dengan kelemahan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa potensi internal baik dari
kapasitas individu masyarakat dan dukungan Pemerintah Daerah dapat
meminimalkan kelemahan struktur kelembagaan dan peluang ekonomi yang terbatas.
156
Oleh karena itu perlu adanya upaya intensif dalam memberikan peluang ekonomi
dan memanfaatkan modal sosial yang kuat dalam masyarakat.
Berdasarkan hasil identifikasi potensi masyarakat dalam penanggulangan
kemiskinan bahwa faktor eksternal peluang lebih besar dibandingkan dengan faktor
ancaman. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat miskin cukup potensial dalam
menangkap peluang eksternal dalam menghadapi segala kemungkinan ancaman
eksternal yang dapat muncul sewaktu-waktu.
Faktor Internal
Kuat
1,00
Lemah
-1,00
Tinggi
1,00
Faktor Eksternal
-1,00
“Strategi Meningkatkan
Kualitas dan Kapasitas
Masyarakat untuk Peningkatan
Kesejahteraan”
“Strategi Peningkatan
Kelembagaan dan Potensi
Pariwisata untuk Meningkatkan
Kapasitas Masyarakat ”
“Strategi Peningkatan
Keterampilan dan Kelembagaan
untuk Meningkatkan
Kemandirian Masyarakat”
“Strategi Kelembagaan dan
Kapasitas untuk Peningkatan
Daya Saing Daerah dan Nasional”
Sumber: Data Primer, diolah, 2014
Gambar 5.15
Strategi Pengembangan Potensi Masyarakat Miskin
Kondisi internal dan eksternal yang dihadapi masyarakat menuntut pada
pentingnya strategi pengembangan kapasitas dan kekuatan struktur kelembagaan
yang ada dalam menghadapi dinamika global. Berdasarkan hasil pemetaan, secara
umum potensi masyarakat dalam matrik SWOT diperoleh hasil bahwa keberadaan
potensi masyarakat adalah pada kuadran I yang ditunjukkan dengan nilai faktor
Skor IFAS = 0,15
Skor EFAS = 0,99
157
internal adalah 0,15 dan faktor eksternal 0,99. Posisi industri pada kuadran I
merupakan posisi yang sangat menguntungkan dimana masyarakat memiliki peluang
dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada secara maksimal.
Strategi yang diterapkan adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif
melalui penguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas masyarakat.
5.3.5 Evaluasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
Kemiskinan merupakan permasalahan yang komplek dan kronis sehingga
upaya penanggulangan kemiskinan membutuhkan analisis yang tepat, yang
melibatkan semua komponen permasalahan dan diperlukan penanganan/strategi yang
tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer. Sejumlah variabel dapat digunakan
untuk mengidentifikasi permasalahan kemiskinan, dan dari variabel tersebut dapat
dihasilkan serangkaian strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan secara
tepat sasaran dan berkesinambungan.
Beberapa program penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Klungkung
antara lain adalah beras Raskin, BLT, PKH (Program Keluarga Harapan),
Jamkesmas, PNPM, dana BOS untuk pendidikan. Berikut adalah persepsi
masyarakat terhadap program pengentasan kemiskinan yang telah dijalankan
pemerintah.
158
Tabel 5.19
Persepsi Masyarakat Terhadap Program Pengentasan Kemiskinan
Persepsi Jumlah (Orang) Persentase (%)
Sangat Puas 74 74,7
Kurang Puas 20 20,2
Tidak Puas 5 5,1
Total 99 100
Sumber : Data primer, diolah, 2014
Secara umum, persepsi masyarakat terhadap program pengentasan
kemiskinan yang telah dilakukan pemerintah adalah 74,7 persen sangat puas, 20,2
persen kurang puas dan 5,1 persen tidak puas. Alasan kekurangpuasan masyarakat
terhadap program yang telah dijalankan antara lain masih belum meratanya
implementasi program dalam mencakup masyarakat miskin lebih banyak bahkan ada
yang belum mencapai sasaran yang tepat, belum adanya perubahan kesejahteraan
dari dampak program dan program kurang berkelanjutan karena keterbatasan
anggaran. Walaupun demikian 89,9 persen masyarakat tidak mengetahui secara jelas
mengenai program yang diberikan.
Beberapa kebijakan yang dinilai masyarakat cukup efektif adalah beras
RASKIN, bantuan langsung tunai (BLT), JAMKESMAS dan bedah rumah.
Sedangkan untuk program yang dinilai kurang efektif adalah bentuk kegiatan yang
bersifat terlalu banyak ceramah. Program kebijakan yang paling banyak diinginkan
masyarakat miskin selain program RASKIN, BLT, bedah rumah, JAMKESMAS
adalah pentingnya pembuatan penampungan air hujan di beberapa daerah. Sebanyak
159
84,8 persen masyarakat menyatakan bahwa program sudah sesuai dengan kebutuhan
yang diperlukan.
Penanganan kemiskinan harus dilakukan secara menyeluruh dan kontekstual.
Menyeluruh artinya menyangkut seluruh penyebab kemiskinan sedangkan
kontekstual mencakup faktor lingkungan masyarakat miskin. Beberapa diantaranya
yang memerlukan penanggulangan secara tetap ditindaklanjuti dan
diimplementasikan adalah akses kredit masyarakat miskin, pendidikan, perluasan
lapangan kerja dan pemberdayaan wirausaha.
Upaya penanggulangan kemiskinan selama ini umumnya dilakukan melalui
penyediaan kebutuhan dasar seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan, perluasan
kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir, pembangunan
sarana dan pendampingan, penyuluhan dan sebagainya. Dari serangkaian cara dan
strategi penanggulangan kemiskinan masih berorientasi material sehingga
keberlanjutannya sangat tergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen
pemerintah. Masih rendahnya akseptabilitas dan inisiatif masyarakat untuk
menanggulangi kemiskinan dengan cara mereka sendiri masih rendah.
5.3.6 Strategi Pengentasan Kemiskinan
Kemiskinan merupakan permasalahan yang komplek dan kronis, maka cara
penanggulangan kemiskinan membutuhkan analisis yang tepat, yang melibatkan
semua komponen permasalahan dan diperlukan penanganan/strategi yang tepat,
berkelanjutan dan tidak bersifat temporer. Penanganan kemiskinan harus dilakukan
secara menyeluruh dan kontekstual. Menyeluruh artinya menyangkut seluruh
160
penyebab kemiskinan sedangkan kontekstual mencakup faktor lingkungan
masyarakat miskin. Sejumlah variabel dapat digunakan untuk mengidentifikasi
permasalahan kemiskinan, dan dapat dihasilkan serangkaian strategi dan kebijakan
penanggulangan kemiskinan secara tepat sasaran dan berkesinambungan.
Hasil pemetaan kondisi kemiskinan di Kabupaten Klungkung menunjukkan
secara agregat kekayaan materi masyarakat menjadi prioritas masalah utama dalam
program pengentasan kemiskinan. Rendahnya pemenuhan kebutuhan kekayaan
materi sangat erat kaitannya dengan peluang ekonomi yang ada di masyarakat. Maka
berdasarkan analisis SWOT bahwa pada dasarnya masyarakat memiliki potensi yang
cukup baik dalam meningkatkan kesejahteraannya melalui peningkatan kualitas dan
kapasitas serta penguatan kelembagaan yang berkembang di masyarakat. Hal ini
didukung juga dengan peran pemerintah menurut penilaian masyarakat sudah cukup
baik dalam program pengentasan kemiskinan. Maka rumusan kebijakan dalam
mengentaskan kemiskinan dengan mengintegrasikan hasil pemetaan kondisi dan
potensi adalah pengelolaan program penanggulangan, pemberdayaan masyarakat dan
peningkatan kinerja usaha masyarakat. Pengelolaan program antara lain mencakup
pendanaan program dan pengelolaan program. Pemberdayaan masyarakat dapat
dilakukan melalui penguatan modal sosial dan kelembagaan yang berkembang di
masyarakat. Sementara untuk mendukung dan memperkuat kinerja usaha yang
berkembang di masyarakat adalah melalui penguatan usaha, kelembagaan usaha dan
penguatan pasar bagi produk usaha yang dihasilkan oleh masyarakat. Adapun
struktur hirarki pada gambar 5.16.
161
Perumusan strategi dalam penanggulangan kemiskinan dianalisis
menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan responden
sejumlah empat orang responden yang dianggap expert dalam program
penanggulangan kemiskinan. Teknik analisis data dengan menggunakan AHP
diawali dengan melakukan tabulasi hasil persepsi empat responden melalui rata-rata
geometrik yaitu nilai sentral yang dianggap mewakili nilai seluruh data yang
diperoleh dari perkalian kualifikasi persepsi antar responden dan dicari pangkat dari
jumlah responden (Spiegel, 1999). Berikut adalah nama responden sebagai sampel
dalam analisis AHP.
Tabel 5.20
Daftar Responden Sampel dalam Analisis AHP
No. Nama Instansi Jabatan
1. I Wayantika, SH Pemerintah Kabupaten
Klungkung
Asisten I Bidang
Pemerintahan
Kabupaten
Klungkung
2. I.B Anom Adnyana,SE, M.Si
Dinas Sosial Tenaga
Kerja dan
Transmigrasi Kab.
Klungkung
Kadis Sosial
Tenaga Kerja dan
Transmigrasi
3. I Putu Sadia, SE, M.Si Pemerintah Kabupaten
Klungkung
Kepala Bagian
Perekonomian
4. Luh Ketut Ari Citra Wati,
Ssos, MM
Pemerintah Kabupaten
Klungkung
Kepala Bagian
Pemerintahan
Sekretariat Daerah
Struktur hirarki AHP dalam penelitian ini terdiri atas tiga level yaitu level
pertama adalah tujuan yang akan dicapai adalah strategi dalam pengentasan
kemiskinan yang memiliki beberapa strategi pada level kedua yaitu (1) pengelolaan
program; (2) pemberdayaan masyarakat dan (3) peningkatan kinerja usaha
masyarakat. Masing-masing strategi memiliki sub strategi antara lain pendanaan
162
melalui sharing pendanaan dan manajemen perguliran, manajemen program melalui
sosialisasi program dan monitoring, Strategi pemberdayaan masyarakat dengan sub
strategi modal sosial yang terdiri dari kepercayaan masyarakat dan tingkat partisipasi
masyarakat, sub strategi kelembagaan meliputi peran kelembagaan formal dan non
formal. Strategi peningkatan kinerja usaha masyarakat melalui penguatan usaha yang
mencakup akses terhadap permodalan dan kemitraan, strategi kelembagaan melalui
kelembagaan formal dan non formal, dan strategi penguatan pasar melalui
ketersediaan infrastruktur dan pengembangan sistem ekonomi lokal. Berikut adalah
struktur AHP dalam strategi pengentasan kemiskinan.
Gambar 5.16
Struktur Hirarki Strategi Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Klungkung
Strategi Pengentasan Kemiskinan
Pengelolaan Program Pemberdayaan Masyarakat Peningkatan Kinerja
Usaha Masyarakat
Pendanaan Manajemen Modal Sosial Kelembagaan Penguatan
Usaha
Kelembagaan Penguatan
Pasar
Sharing
Pendanaan
Manajemen
Perguliran
Sosialisasi
Program
Monitoring Non
Formal
Formal
Kemitraan
Akses
Modal
Non
Formal
Formal Kepercayaan
Masyarakat
Tingkat
Partisipasi
Infrastruktur
Sistem
Ekonomi
Lokal
163
A. Perhitungan Level Pertama
Perhitungan bobot level pertama meliputi faktor pengelolaan program,
pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kinerja usaha masyarakat. Langkah awal
adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dari
tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden. Berikut adalah matrik perbandingan
berpasangan.
Tabel 5.21
Tabulasi Matrik Perbandingan Berpasangan
Strategi Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Klungkung
Tujuan Pengelolaan
Program
Pemberdayaan
Masyarakat
Peningkatan
Kinerja Usaha
Pengelolaan Program 1,0000 0,2582 0,7598
Pemberdayaan Masyarakat 3,8730 1,0000 4,4006
Peningkatan Kinerja Usaha 1,3161 0,2272 1,0000
Jumlah 6,1891 1,4854 6,1604
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Matrik perbandingan berpasangan menunjukkan tingkat kepentingan setiap
faktor terhadap faktor lainnya. Misalnya nilai 0,25 menunjukkan persepsi responden
yang menganggap bahwa faktor pemberdayaan masyarakat lebih prioritas
dibandingkan dengan pengelolaan program. Aksioma resiprocal comparison
menjadikan nilai matrik antara faktor pemberdayaan masyarakat dengan pengelolaan
program adalah 1/0,25 yaitu 3,87.
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Nilai tiap elemen menunjukkan prioritas pilihan responden
164
terhadap pilihan yang lain. Langkah awal adalah menghitung normalisasi matrik
dengan membagi setiap elemen vektor dengan jumlah vektor sehingga diperoleh nilai
1 (satu).
Tabel 5.22
Normalisasi Matrik Perbandingan Berpasangan Level Pertama
Strategi Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Klungkung
Tujuan Pengelolaan
Program
Pemberdayaan
Masyarakat
Peningkatan
Kinerja Usaha
Pengelolaan Program 0,1616 0,1738 0,1233
Pemberdayaan Masyarakat 0,6258 0,6732 0,7143
Peningkatan Kinerja Usaha 0,2126 0,1530 0,1623
Jumlah 1,0000 1,0000 1,0000
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Langkah berikutnya untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai
rata-rata baris dari matrik priority vector yang menjadi bobot global dari tiap vektor.
Tabel 5.23
Matrik Priority Vector
Strategi Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Klungkung
Tujuan Pengelolaan
Program
Pemberdayaan
Masyarakat
Peningkatan
Kinerja
Usaha
Jumlah
Pengelolaan Program 0,1616 0,1738 0,1233 0,4587
Pemberdayaan Masyarakat 0,6258 0,6732 0,7143 2,0133
Peningkatan Kinerja Usaha 0,2126 0,1530 0,1623 0,5280
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Sehingga nilai eigen vector atau bobot global tiap kriteria adalah.
165
Tabel 5.24
Bobot Gobal Level Pertama
Strategi Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Klungkung
Faktor Bobot Ranking
Pemberdayaan Masyarakat 0,6711 1
Peningkatan Kinerja Usaha 0,1759 2
Pengelolaan Program 0,1529 3
Keterangan : Rasio konsistensi 0,016
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Berdasarkan hasil perhitungan bobot global tiap faktor, diperoleh hasil bahwa
strategi pemberdayaan masyarakat menjadi faktor prioritas yang menentukan
penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Klungkung dengan bobot 0,6711 dan
diikuti oleh peningkatan kinerja usaha 0,1759 dan pengelolaan program 0,1529
dengan rasio konsistensi kurang dari 10 persen yaitu 0,016 yang berarti jawaban
responden cukup konsisten. Kondisi ini menunjukkan bahwa strategi melalui
pemberdayaan lebih prioritas dalam penanggulangan kemiskinan di masyarakat,
diikuti peningkatan kinerja usaha dan pengelolaan program. Kemandirian masyarakat
dianggap sebagai faktor utama dalam menentukan keberlanjutan program
penanggulangan kemiskinan.
Model pembangunan yang partisipatif mengutamakan pembangunan yang
dilakukan dan dikelola langsung oleh masyarakat lokal. Model yang demikian itu
menekankan pada upaya pengembangan kapasitas masyarakat dalam bentuk
pemberdayaan masyarakat (Sumodiningrat, 1999). Berdasarkan model pembangunan
tersebut, suatu proyek atau program dapat digolongkan ke dalam model
pembangunan partisipatif apabila program dikelola sendiri oleh masyarakat
166
yangbersangkutan, bukan oleh aparat pemerintah. Pada gilirannya keberdayaan
masyarakat menjadi baik sebagai akibat dari meningkatnya kemampuan dan
kapasitas masyarakat. Penguatan kelembagaan di sini tidak hanya berarati penguatan
secara fisik saja, seperti bangunan, struktur, atau hanya kelengkapan organisasi,
tetapi lebih kepada penguatan fungsi dan perannya sebagai lembaga/organisasi yang
diserahi tugas dan wewenang melaksanakan, memantau, atau menjaga program
pembangunan di wilayahnya. Dengan menguatnya kelembagaan masyarakat
setempat terutama berkaitan dengan fungsi dan peran sebagai lembaga masyarakat,
maka partisipasi masyarakat untuk mensukseskan program tersebut dapat dijamin
tinggi. Partisipasi masyarakat akan terjadi apabila pelaku atau pelaksana program
pembangunan di daerahnya adalah orang-orang, organisasi, atau lembaga yang telah
mereka percaya integritasnya, serta apabila program tersebut menyentuh inti masalah
yang mereka rasakan dan dapat memberikan manfaat terhadap kesejahteraannya.
Menguatnya kemampuan masyarakat miskin untuk meningkatkan taraf hidupnya,
adalah hasil atau dampak dari semua aktivitas program penanggulangan kemiskinan.
Penguatan masyarakat tersebut dapat dilihat dari: (1) dimensi pemberdayaan
masyarakat miskin, (2) dimensi terwujudnya kemandirian masyarakat miskin, dan (3)
dimensi perekonomian rakyat. Dimensi pemberdayaan masyarakat perlu diarahkan
terutama dalam rangka pengembangan kegiatan sosial ekonominya. Dimensi
kemandirian masyarakat dapat dicapai melalui asas gotong royong, keswadayaan dan
partisipasi. Sedang dimensi perekonomian rakyat dapat ditandai oleh tersedianya
dana untuk modal usaha guna dikembangkan oleh masyarakat miskin itu sendiri.
167
Pemberdayaan secara substansial merupakan proses untuk memutus
hubungan antara subyek dan obyek. Proses ini menekankan pada pengakuan subyek
akan kemampuan atau daya yang dimiliki obyek. Pemberdayaan lebih
mengutamakan usaha sendiri dari orang yang diberdayakan untuk meraih
keberdayaannya. Fenomena kemiskinan lebih disebabkan oleh keadaan ekonomi
daripada kebudayaan kemiskinan. Oleh karena itu, mengurangi kemiskinan adalah
membuat konsep yang dapat menumbuhkan kemampuan ekonomi.
Upaya pemberdayaan dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, pemberdayaan
dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi rumah tangga
miskin berkembang. Hal ini berarti setiap anggota keluarga secara alamiah memiliki
potensi yang dapat dikembangkan pada kehidupan yang lebih baik. Kedua,
pemberdayaan dilakukan untuk memperkuat potensi ekonomi atau daya yang
dimiliki rumah tangga. Untuk memperkuat potensi tersebut dilakukan peningkatan
taraf pendidikan, derajat kesehatan dan akses terhadap sumber-sumber kemajuan
ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar. Ketiga,
pemberdayaan melalui pengembangan ekonomi rumah tangga yaitu melindungi
untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang serta menciptakan
kebersamaan dan kemitraan antara yang sudah maju dan belum berkembang.
B. Perhitungan Level Kedua
Perhitungan pada level kedua dengan menggunakan langkah yang sama
seperti pada level pertama untuk tiap kriteria pada level. Level kedua adalah sub
faktor dari faktor-faktor pada level pertama.
168
B.1 Strategi Pengelolaan Program
Langkah pertama adalah membentuk perbandingan berpasangan (Pairwise
comparison) dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden untuk sub faktor
strategi pengelolaan program.
Tabel 25
Matrik Perbandingan Berpasangan Sub Faktor
Strategi Pengelolaan Program
Pengelolaan Program Pendanaan Manajemen
Pendanaan 1,0000 3,8730
Manajemen 0,2582 1,0000
Jumlah 1,2582 4,8730
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Nilai tiap elemen menunjukkan prioritas pilihan responden
terhadap pilihan yang lain. Langkah awal adalah menghitung normalisasi matrik
dengan membagi setiap elemen vektor dengan jumlah vektor sehingga diperoleh nilai
1 (satu).
Tabel 26
Normalisasi Matrik Perbandingan Berpasangan
Sub Faktor Strategi Pengelolaan Program
Pengelolaan Program Pendanaan Manajemen
Pendanaan 0,7948 0,7948
Manajemen 0,2052 0,2052
Jumlah 1,0000 1,0000
Sumber : Data Primer, diolah, 2013
169
Langkah berikutnya untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai rata-rata
baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari tiap sub faktor.
Tabel 27
Matrik Priority Vector Sub Faktor Strategi Pengelolaan Program
Pengelolaan Program Pendanaan Manajemen Jumlah
Pendanaan 0,7948 0,7948 1,5896
Manajemen 0,2052 0,2052 0,4104
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan bobot
lokal tiap sub faktor dengan bobot global faktor atau kriteria level pertama dalam hal
ini adalah strategi pengelolaan keuangan yaitu 0,1529. Berikut adalah hasil
perhitungan bobot global untuk sub faktor pengelolaan program.
Tabel 28
Bobot Global Sub Faktor Strategi Pengelolaan Program
Sub Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Pendanaan 0.7948 0.1215 1
Manajemen 0.2052 0.0314 2
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Berdasarkan hasil perhitungan bobot global tiap sub faktor, diperoleh hasil
bahwa pendanaan program menjadi faktor prioritas dalam strategi pengelolaan
program yang menentukan strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten
Klungkung dengan bobot 0,1215 dan diikuti oleh manajemen program dengan bobot
0,0314. Peran program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan melalui bantuan
dana yang dapat diciptakan dari kegiatan sosial ekonomi dengan menerapkan
170
beberapa prinsip antara lain 1) mudah diterima dan didayagunakan oleh kelompok
sasaran, 2) dikelola oleh masyarakat secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan, 3) memberikan pendapatan yang memadai dan mendidik
masyarakat untuk mengelola secara ekonomis, 4) hasilnya dapat dilestarikan oleh
masyarakat (sustainable), 5) pengelolaan dana dan pelestarian hasil dapat dengan
mudah digulirkan dan dikembangkan oleh masyarakat dalam lingkup lebih luas
(replicable).
B.2 Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Perhitungan selanjutnya mencari bobot global untuk sub faktor strategi
pemberdayaan masyarakat, dengan langkah yang sama dengan perhitungan sub
faktor strategi pengelolaan program. Langkah pertama adalah membentuk
perbandingan berpasangan (Pairwise comparison) dari tabulasi rata-rata geometrik
persepsi responden untuk strategi pemberdayaan masyarakat.
Tabel 29
Matrik Perbandingan Berpasangan
Sub Faktor Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan Masyarakat Modal Sosial Kelembagaan
Modal Sosial 1,0000 3,8730
Kelembagaan 0,2582 1,0000
Jumlah 1,2582 4,8730
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
171
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Nilai tiap elemen menunjukkan prioritas pilihan responden
terhadap pilihan yang lain. Langkah awal adalah menghitung normalisasi matrik
dengan membagi setiap elemen vektor dengan jumlah vektor sehingga diperoleh nilai
1 (satu).
Tabel 30
Normalisasi Matrik Perbandingan Berpasangan
Sub Faktor Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan Masyarakat Modal Sosial Kelembagaan
Modal Sosial 0,7948 0,7948
Kelembagaan 0,2052 0,2052
Jumlah 1,0000 1,0000
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Langkah berikutnya untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai rata-rata
baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari tiap sub faktor.
Tabel 31
Matrik Priority Vector Sub Faktor Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan Masyarakat Modal Sosial Kelembagaan Jumlah
Modal Sosial 0,7948 0,7948 1,5896
Kelembagaan 0,2052 0,2052 0,4104
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan bobot
lokal tiap sub faktor dengan bobot global faktor atau kriteria level pertama dalam hal
ini adalah strategi pemberdayaan masyarakat yaitu 0,6711. Berikut adalah hasil
perhitungan bobot global untuk sub faktor pemberdayaan masyarakat.
172
Tabel 32
Bobot Global Sub Faktor Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Modal Sosial 0,7948 0,5333 1
Kelembagaan 0,2052 0,1377 2
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Berdasarkan hasil perhitungan bobot global tiap sub faktor, diperoleh hasil
bahwa modal sosial menjadi faktor prioritas dalam strategi pemberdayaan
masyarakat yang menentukan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Klungkung
dengan bobot 0,5333 dan diikuti oleh kelembagaan 0,1377. Modal sosial memiliki
cakupan dimensi yang sangat luas dan komplek. Modal sosial lebih menekankan
pada potensi individu maupun kelompok dan hubungan antar kelompok dalam suatu
jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antar sesama yang lahir dari anggota
kelompok dan menjadi norma kelompok. Modal sosial merupakan kemampuan untuk
mendapatkan keuntungan dari jaringan. Keuntungan ini dapat meliputi akses kepada
pengetahuan, sumberdaya, teknologi, pasar, dan kesempatan usaha. Sebuah ikatan
jaringan menciptakan sumberdaya modal sosial. Ketika interaksi di dalam hubungan
naik, modal sosial menjadi lebih baik, sehingga secara potensial meningkatkan
keuntungan. Level kepercayaan dan ketergantungan rasional antara masyarakat
dalam sebuah hubungan khusus adalah indikator kualitatif dimensi relasional.
Modal sosial juga menambahkan elemen-elemen subyektif, proses budaya
seperti kepercayaan dan norma dari timbal balik yang memfasilitasi aksi sosial.
Jaringan sosial dan organisasi sosial masyarakat memberikan sumber daya yang
dapat digunakan untuk memfasilitasi aksi. Modal sosial pada gilirannya
173
menghasilkan sumber daya lebih lanjut yang memberikan kontribusi kepada
organisasi sosial masyarakat dan sumber daya jaringan sosial. Modal sosial dalam
bentuk ekspektasi dan kepercayaan inilah yang bisa ditransformasikan menjadi
keunggulan untuk memperoleh manfaat ekonomi.
B.3 Strategi Peningkatan Kinerja Usaha Masyarakat
Perhitungan selanjutnya mencari bobot global untuk sub faktor strategi
pemasaran, dengan langkah yang sama dengan perhitungan sub faktor pada faktor
sebelumnya. Langkah pertama adalah membentuk perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden untuk
sub faktor strategi peningkatan kinerja usaha masyarakat.
Tabel 33
Matrik Perbandingan Berpasangan
Sub Faktor Strategi Peningkatan Kinerja Usaha Masyarakat
Peningkatan Kinerja
Usaha Penguatan Usaha Kelembagaan
Penguatan
Pasar
Penguatan Usaha 1,0000 4,7287 1,0000
Kelembagaan 0,2115 1,0000 1,0000
Penguatan Pasar 1,0000 1,0000 1,0000
Jumlah 2,2115 6,7287 3,0000
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Nilai tiap elemen menunjukkan prioritas pilihan responden
terhadap pilihan yang lain. Langkah awal adalah menghitung normalisasi matrik
174
dengan membagi setiap elemen vektor dengan jumlah vektor sehingga diperoleh nilai
1 (satu).
Tabel 34
Normalisasi Matrik Perbandingan Berpasangan
Strategi Peningkatan Kinerja Usaha Masyarakat
Peningkatan Kinerja
Usaha Penguatan Usaha Kelembagaan Penguatan Pasar
Penguatan Usaha 0,4522 0,7028 0,3333
Kelembagaan 0,0956 0,1486 0,3333
Penguatan Pasar 0,4522 0,1486 0,3333
Jumlah 1,0000 1,0000 1,0000
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Langkah berikutnya untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai rata-rata
baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari tiap sub faktor.
Tabel 35
Matrik Priority Vector Sub Faktor Strategi Pemasaran
Peningkatan Kinerja
Usaha
Penguatan
Usaha Kelembagaan
Penguatan
Pasar Jumlah
Penguatan Usaha 0,4522 0,7028 0,3333 1,4883
Kelembagaan 0,0956 0,1486 0,3333 0,5776
Penguatan Pasar 0,4522 0,1486 0,3333 0,9341
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan bobot
lokal tiap sub faktor dengan bobot global faktor atau kriteria level pertama dalam hal
ini adalah strategi peningkatan kinerja usaha masyarakat yaitu 0,1759. Berikut adalah
175
hasil perhitungan bobot global untuk sub faktor strategi peningkatan kinerja usaha
masyarakat.
Tabel 36
Bobot Global Sub Faktor Strategi Peningkatan Kinerja Usaha Masyarakat
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Penguatan Usaha 0,4961 0,0873 1
Penguatan Pasar 0,3114 0,0548 2
Kelembagaan 0,1925 0,0339 3
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Berdasarkan hasil perhitungan bobot global tiap sub faktor, diperoleh hasil
bahwa penguatan usaha menjadi faktor prioritas dalam strategi peningkatan kinerja
usaha masyarakat yang menentukan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten
Klungkung dengan bobot 0,0873 dan diikuti oleh pengautan pasar 0,0548, dan
kelembagaan 0,0339. Pengembangan usaha ekonomi masyarakat menjadi upaya
paling penting dalam pengentasan kemiskinan. Penciptaan peluang usaha ekonomi
melalui optimalisasi sumberdaya yang ada dalam masyarakat, pada akhirnya akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Usaha ekonomi produktif merupakan salah
satu kegiatan dalam bidang ekonomi yang dapat dilakukan oleh masyarakat atau
kelompok usaha ekonomi untuk meningkatkan pendapatan, menciptakan lapangan
kerja dan ketahanan pangan masyarakat berbasis sumberdaya lokal dengan
memberikan bantuan penguatan modal usaha untuk kegiatan usaha ekonomi
produktif.
Namun di sisi lain terdapat beberapa permasalahan dalam usaha ekonomi
masyarakat. Pertama, keterbatasan akses masyarakat dalam pendanaan, informasi
176
dan pasar. Kedua, relatif masih rendahnya kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM)
dan kelembagaan usaha masyarakat. Ketiga, masih rendahnya produktifitas usaha
masyarakat. Permasalahan tersebut perlu diatasi dengan sebuah program yang
berupaya meminimalisir hambatan-hambatan yang ada di dalam pengembangan
usaha ekonomi masyarakat. Beberapa program dalam pengembangan usaha
masyarakat adalah sebagai berikut.
1. Peningkatan Akses. Program ini ditujukan untuk mengurangi keterbatasan akses
masyarakat yang mencakup akses pendanaan, informasi pasar, dan
pengembangan bisnis masyarakat. Beberapa program yang akan dilakukan dalam
lingkup fokus program ini adalah.
a. Fasilitasi pendanaan bagi usaha ekonomi masyarakat
b. Fasilitasi distribusi informasi dalam rangka pengembangan usaha ekonomi
masyarakat
c. Fasilitasi proses-proses intermediasi bisnis produk usaha ekonomi masyarakat
d. Fasilitasi pengembangan basis data produk dan informasi pasar
2. Peningkatan Kapasitas. Program ini ditujukan untuk peningkatan kapasitas baik
personal maupun organisasi dalam rangka pengembangan usaha ekonomi
masyarakat. Beberapa program yang akan dilakukan dalam lingkup fokus
program ini adalah.
a. Fasilitasi peningkatan kapasitas SDM, kelembagaan dalam pengelolaan dan
peningkatan kinerja usaha ekonomi masyarakat
b. Fasilitasi peningkatan kapasitas dalam penguasaan teknologi dan ketrampilan
177
3. Peningkatan Produktifitas Usaha Masyarakat. Program ini ditujukan untuk
meningkatkan produktifitas usaha ekonomi masyarakat sekaligus perluasan skala
usahanya. Beberapa program yang akan dilakukan dalam lingkup fokus program
ini melalui :
a. Fasilitasi pengembangan usaha mikro
b. Fasilitasi berbagai upaya peningkatan produktifitas usaha ekonomi
masyarakat
C. Perhitungan Level Alternatif
Langkah terakhir adalah menghitung bobot global dari masing-masing sub
faktor strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Klungkung.
C.1 Sub Faktor Pendanaan
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk sub faktor pendanaan.
Tabel 37
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Pendanaan
Pendanaan Sharing pendanaan Manajemen Perguliran
Sharing Pendanaan 1,0000 4,2129
Manajemen Perguliran 0,2374 1,0000
Jumlah 1,2374 5,2129
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
178
Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai rata-rata baris
dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari alternatif.
Tabel 38
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Strategi Pendanaan
Pendanaan Sharing pendanaan Manajemen Perguliran Jumlah
Sharing Pendanaan 0,8082 0,8082 1,6163
Manajemen Perguliran 0,1918 0,1918 0,3837
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global sub faktor pendanaan yaitu 0,1215.
Berikut adalah hasil perhitungan bobot global untuk sub faktor strategi pendanaan.
Tabel 39
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Pendanaan
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Sharing Pendanaan 0,8082 0,0982 1
Manajemen Perguliran 0,1918 0,0233 2
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Permasalahan pokok yang masih menjadi kendala dalam program
pengentasan kemiskinan terutama terkait dengan pendanaan. Masih terbatasnya
kemampuan Pemerintah dalam menanggung biaya sosial yang diberikan pada
masyarakat miskin. Salah satu kebijakan dalam manajemen pendanaan adalah
melalui kebijakan sharing budget antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
maupun dengan stakeholder lainnya. Maka diperlukan adanya dukungan kebijakan
yang mengatur dan mewajibkan penggunaan sebagian dana seperti Corporate Social
179
Responsibility (CSR) terutama dari pihak perusahan swasta yang akan dialokasikan
untuk program pengentasan kemiskinan. Melalui kebijakan dan aturan terhadap
mekanisme kontrol yang kuat maka signifikansi kontribusi dana CSR diharapkan
dapat menaggulangi permasalahan kemiskinan. Oleh karena itu perlu dibangun
lembaga representasi publik yang independen dalam menjalankan peran kontrol
terhadap program CSR.
C.2 Sub Faktor Manajemen Program
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk sub faktor manajemen program.
Tabel 40
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Manajemen Program
Manajemen Sosialisasi Program Monitoring
Sosialisasi Program 1,0000 0,2272
Monitoring 4,4006 1,0000
Jumlah 5,4006 1,2272
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai rata-
rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari alternatif.
180
Tabel 41
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Manajemen Program
Manajemen Sosialisasi Program Monitoring Jumlah
Sosialisasi Program 0,1852 0,1852 0,3703
Monitoring 0,8148 0,8148 1,6297
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global sub faktor manajemen program yaitu
0,0314.
Tabel 42
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Manajemen Program
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Monitoring 0,8184 0,0256 1
Sosialisasi Program 0,1852 0,0058 2
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Program penanggulangan kemiskinan pada dasarnya bertujuan untuk
mempercepat penurunan jumlah penduduk miskin di suatu daerah. Beberapa cakupan
program penanggulangan kemiskinan yang diharapkan dikembangkan di berbagai
wilayah adalah (1) pemberdayaan dan pengembangan kemampuan manusia yang
berkaitan dengan aspek pendidikan, kesehatan, dan perbaikan kebutuhan dasar
tertentu lainnya, (2) pemberdayaan dan pengembangan kemampuan manusia
berkaitan dengan perbaikan aspek lingkungan, permukiman, perumahan, dan
prasarana pendukungnya, dan (3) pemberdayaan dan pengembangan kemampuan
181
manusia yang berkaitan dengan aspek usaha, lapangan kerja, dan lainnya yang dapat
meningkatkan pendapatan.
Bergulirnya implementasi berbagai program pengentasan kemiskinan baik
dari Pemerintah maupun lembaga lainnya dalam tataran empiris seringkali belum
membawa perubahan kondisi masyarakat miskin secara signifikan. Hal ini ditandai
dengan masih banyaknya masyarakat miskin yang tetap sangat rentan terhadap
perubahan ekonomi, sosial dan politik serta bencana alam yang terjadi diberbagai
daerah. Adanya program bantuan sosial yang bukan bersifat pemberdayaan
menyebabkan tingginya tingkat ketergantungan. Beberapa sumber kelemahannya
antara lain adalah kebijakan yang masih bersifat sentralisasi, yang lebih
memfokuskan pada pertumbuhan makroekonomi, pandangan kemiskinan yang
berorientasi ekonomi, penempatan masyarakat sebagai obyek, dan anggapan bahwa
masalah dan pengelolaan kemiskinan bersifat seragam di seluruh daerah.
Maka pentingnya monitoring dalam implementasi program menjadi salah satu
tahapan agar pelaksanaan program menjadi tepat sasaran dan berkelanjutan dengan
memberikan kemandirian masyarakat dalam menghadapi kerentanan. Tujuan
monitoring dan evaluasi program pengentasan kemiskinan adalah (1) melakukan
evaluasi terhadap capaian program pemberdayaan kelompok masyarakat miskin yang
selama ini telah dilakukan, (2) melakukan monitoring terhadap program pengentasan
kemiskinan apakah sudah tepat pada kelompok sasaran, dan (3) mengetahui
keefektifan dan efisiensi pelaksanaan program pengentasan kemiskinan, khususnya
program pemberdayaan kelompok masyarakat miskin.
182
C.3 Modal Sosial
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk sub faktor modal sosial.
Tabel 43
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Modal Sosial
Modal Sosial Kepercayaan Masyarakat Tingkat Partisipasi
Kepercayaan Masyarakat 1,0000 0,2000
Tingkat Partisipasi 5,0000 1,0000
Jumlah 6,0000 1,2000
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai rata-rata baris
dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari alternatif.
Tabel 44
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Modal Sosial
Modal Sosial Kepercayaan Masyarakat Tingkat Partisipasi Jumlah
Kepercayaan
Masyarakat 0,1667 0,1667 0,3333
Tingkat Partisipasi 0,8333 0,8333 1,6667
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global sub faktor modal sosial yaitu 0,5333.
183
Tabel 45
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Modal Sosial
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Tingkat Partisipasi 0,8333 0,4444 1
Kepercayaan Masyarakat 0,1667 0,0889 2
Sumber : Data Primer, diolah, 2013
Modal sosial lebih menekankan pada potensi individu maupun kelompok dan
hubungan antar kelompok dalam suatu jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan
antar sesama yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok. Modal
sosial merupakan kemampuan untuk mendapatkan keuntungan dari jaringan. Level
kepercayaan dan ketergantungan rasional antara masyarakat dalam sebuah hubungan
khusus adalah indikator kualitatif dimensi relasional. Jaringan sosial dan organisasi
sosial masyarakat memberikan sumber daya yang dapat digunakan untuk fasilitasi
aksi. Modal sosial pada gilirannya akan menghasilkan sumber daya lebih lanjut yang
memberikan kontribusi kepada organisasi sosial masyarakat dan sumber daya
jaringan sosial. Modal sosial dalam bentuk ekspektasi dan kepercayaan inilah yang
bisa ditransformasikan menjadi keunggulan untuk memperoleh manfaat ekonomi.
C.4 Kelembagaan
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk sub faktor kelembagaan.
184
Tabel 46
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Kelembagaan
Kelembagaan Formal Non Formal
Formal 1,0000 4,4006
Non Formal 0,2272 1,0000
Jumlah 1,2272 5,4006
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai rata-
rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal alternatif.
Tabel 47
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Kelembagaan
Kelembagaan Formal Non Formal Jumlah
Formal 0,8148 0,8148 1,6297
Non Formal 0,1852 0,1852 0,3703
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global sub faktor kelembagaan yaitu 0,1377.
185
Tabel 48
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Kelembagaan
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Formal 0,8148 0,1122 1
Informal 0,1852 0,0255 2
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Terdapat tiga pilar yang menopang komunitas masyarakat miskin yaitu
kelembagaan yang hidup dan yang telah diterima oleh komunitas lokal atau
tradisional (voluntary sector), kelembagaan pasar (private sector) yang sejalan
dengan keterbukaan ekonomi, dan kelembagaan sistem politik atau sistem
pengambilan keputusan di tingkat publik (public sector). Esman dan Uphoff (1984)
dan Uphoff (1986) mengklasifikasikan kelembagaan lokal ke dalam enam kategori
yaitu administrasi lokal, pemerintah lokal, organisasi-organisasi yang beranggotakan
komunitas masyarakat, organisasi kerjasama usaha, organisasi-organisasi pelayanan,
dan bisnis swasta. Penguatan kelembagaan ekonomi di tingkat daerah dan di tingkat
lokal dengan sasaran kelompok masyarakat miskin harus mampu mendorong
berkembangnya sistem jaringan ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada
sumberdaya lokal dalam memasuki pasar, baik lokal, regional, maupun global. Oleh
karena itu perlu adanya keterpaduan antar kelembagaaan yaitu antara kelembagaan
pemerintah-politik, kelembagaan ekonomi-dunia usaha atau swasta dan kelembagaan
masyarakat. Kelembagaan pemerintah dimana kebijakan dan program pemerintah
dapat diarahkan pada pemberdayaan ekonomi rakyat, sehingga masyarakat, dapat
memiliki akses dan kontrol terhadap sumberdaya setempat dan dalam sistem
186
pengambilan keputusan. Kelembagaan ekonomi, didorong untuk menciptakan sistem
ekonomi yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya usaha ekonomi produktif
bagi kelompok miskin. Sementara itu, kelembagaan masyarakat ditujukan untuk
memperkuat kelembagaan sosial-ekonomi masyarakat yang tumbuh dan
berkembang. Di samping ke tiga kelembagaan tersebut kelembagaan Lembaga
Swadaya Masyarakat dapat difungsikan sebagai katalisator dan fasilitator dari
pelaksanaan pembangunan ekonomi rakyat.
C.5 Penguatan Usaha
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan matrik
berpasangan (Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik
persepsi responden untuk sub faktor penguatan usaha.
Tabel 49
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Penguatan Usaha
Penguatan Usaha Akses Modal Kemitraan
Akses Modal 1,0000 1,0000
Kemitraan 1,0000 1,0000
Jumlah 2,0000 2,0000
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai rata-
rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari alternatif.
187
Tabel 50
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Penguatan Usaha
Penguatan Usaha Akses Modal Kemitraan Jumlah
Akses Modal 0,5000 0,5000 1,0000
Kemitraan 0,5000 0,5000 1,0000
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global sub faktor penguatan usaha yaitu 0,0873.
Tabel 51
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Penguatan Usaha
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Akses Modal 0,5000 0,0436 1
Kemitraan 0,5000 0,0436 2
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Akses permodalan adalah persoalan yang selalu muncul dan menjadi syarat
dasar untuk menciptakan peluang peningkatan asset dan penghasilan dalam usaha.
Umumnya masyarakat miskin masih banyak menggunakan modal sendiri dan belum
mengakses modal dari lembaga keuangan formal seperti perbankan antara lain
karena alasan tidak punya agunan dan prosedur yang rumit. Pada umumnya
masyarakat lebih nyaman pinjam pada rentenir walaupun bunganya cukup tinggi
karena tanpa prosedur berbelit.
Masalah akses permodalan hanya bisa diselesaikan dengan campur tangan
pihak pemerintah untuk memetakan lembaga keuangan yang ada dalam masyarakat.
Pemerintah perlu memfasilitasi pengembangan lembaga keuangan yang berkembang
188
dalam masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Pengembangan atau
pembentukan kelembagaan kredit pada komunitas dapat dilakukan melalui
pendekatan kelompok usaha yang ada. Pada kelompok ini sendiri masih diperlukan
peningkatan kapasitas pengurus, tidak hanya kapasitas manajerial, tetapi juga
kapasitas pendampingan usaha anggota sehingga dapat memanfaatkan pinjaman
modal secara lebih optimal.
C.6 Kelembagaan Usaha
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) alternatif dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden
untuk sub faktor kelembagaan usaha.
Tabel 52
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Kelembagaan Usaha
Kelembagaan Formal Non Formal
Formal 1,0000 3,8730
Non Formal 0,2582 1,0000
Jumlah 1,2582 4,8730
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai rata-
rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal alternatif.
189
Tabel 53
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Kelembagaan Usaha
Kelembagaan Formal Non Formal Jumlah
Formal 0,7948 0,7948 1,5896
Non Formal 0,2052 0,2052 0,4104
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan
bobot lokal alternatif dengan bobot global sub faktor kelembagaan usaha yaitu
0,0338.
Tabel 54
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Kelembagaan Usaha
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Formal 0,7948 0,0269 1
Non Formal 0,2052 0,0069 2
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Kegiatan ekonomi masyarakat miskin pada umumnya masih didominasi
dengan usaha mikro dan kecil yang masih terkendala dengan permasalahan dalam
akses pembiayaan usaha. Dalam hal ini peran kelembagaan formal sangat penting
dalam mendukung pengembangan usaha masyarakat. Salah satu bentuk kelembagaan
khususnya dalam pembiayaan usaha adalah lembaga keuangan mikro. Lembaga
keuangan mikro merupakan institusi yang menyediakan jasa-jasa keuangan
penduduk yang berpendapatan rendah dan termasuk dalam kelompok miskin.
lembaga keuangan mikro ini bersifat spesifik karena mempertemukan permintaan
dana penduduk miskin atas ketersediaan dana. Pemberdayaan lembaga keuangan
mikro termasuk lembaga pembiayaan informal merupakan langkah yang tepat dalam
190
upaya mengentaskan kemiskinan dan pengembangan ekonomi rakyat. Hal ini
mengingat adanya investasi oleh masyarakat miskin akan pula meningkatkan
produktifitas masyarakat itu sendiri sehingga tidak terjebak dalam lingkaran
kemiskinan.
C.7 Penguatan Pasar
Langkah pertama adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(Pairwise comparison) dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden untuk
sub faktor penguatan pasar.
Tabel 55
Matrik Perbandingan Berpasangan Alternatif dari
Sub Faktor Penguatan Pasar
Penguatan Pasar Infrastruktur Sistem Ekonomi Lokal
Infrastruktur 1,0000 0,2934
Sistem Ekonomi Lokal 3,4087 1,0000
Jumlah 4,4087 1,2934
Keterangan : Nilai matrik dari rata-rata geometrik persepsi responden
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Langkah selanjutnya adalah menghitung eigen vector untuk menentukan
ranking prioritas. Langkah untuk memperoleh eigen vector adalah mencari nilai rata-
rata baris dari matrik priority vector yang juga menjadi bobot lokal dari alternatif.
191
Tabel 56
Matrik Priority Vector Alternatif dari
Sub Faktor Penguatan Pasar
Penguatan Pasar Infrastruktur Sistem Ekonomi Lokal Jumlah
Infrastruktur 0,2268 0,2268 0,4537
Sistem Ekonomi Lokal 0,7732 0,7732 1,5463
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Langkah selanjutnya adalah menghitung bobot global dengan mengalikan bobot
lokal alternatif dengan bobot global sub faktor penguatan pasar yaitu 0,0548.
Tabel 57
Bobot Global Alternatif dari
Sub Faktor Penguatan Pasar
Faktor Bobot Lokal Bobot Global Ranking
Sistem Ekonomi Lokal 0,7732 0,0424 1
Infrastruktur 0,2268 0,0124 2
Sumber : Data Primer, diolah, 2014
Pengembangan ekonomi lokal merupakan proses di mana pemerintah daerah
dan organsisasi masyarakat terlibat untuk mendorong dan memelihara aktivitas usaha
untuk menciptakan kesempatan kerja. Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) adalah
suatu proses yang mencoba merumuskan kelembagaan pembangunan di daerah,
peningkatan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk menciptakan produk-
produk yang lebih baik serta pembinaan industri dan kegiatan usaha pada skala lokal.
Pengembangan wilayah dilihat sebagai upaya pemerintah daerah bersama
masyarakat dalam membangun peluang ekonomi yang sesuai dengan SDM dan
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam dan kelembagaan secara lokal.
Keberhasilan pengembangan ekonomi lokal dapat dilihat dari beberapa indikator,
192
yaitu 1) perluasan kesempatan bagi masyarakat kecil dalam kesempatan kerja dan
usaha; 2) perluasan bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatan; 3)
keberdayaan lembaga usaha mikro dan kecil dalam proses produksi dan pemasaran;
dan 4) keberdayaan kelembagaan jaringan kerja kemitraan antara pemerintah, swasta,
dan masyarakat lokal.
193
BAB VI
PEMBAHASAN HASIL
Pada bagian ini akan dibahas mengenai temuan teoritis dan empiris
berdasarkan hasil analisis. Pembahasan dilakukan berdasarkan pada temuan teoritis
maupun empiris dan penelitian sebelumnya yang relevan dengan studi yang
dilakukan.
6.1 Beberapa Temuan Teoritis dan Empiris Kemiskinan di Kabupaten
Klungkung
Hasil pemetaan kemiskinan di Kabupaten Klungkung berdasarkan model
Nested Spheres of Poverty menunjukkan bahwa secara agregat kondisi kemiskinan
berada dalam kategori kritis dari rerata aspek yang digunakan. Hal ini
mengindikasikan bahwa secara agregat, permasalahan kemiskinan masih menjadi
perhatian utama dari seluruh aspek yang memerlukan penanganan secara serius dan
terencana sehingga permasalahan kemiskinan dapat tereduksi pada kisaran indeks
yang lebih baik. Secara agregat urutan prioritas penyebab kemiskinan paling kritis
dari berbagai aspek secara berturut-turut adalah kekayaan materi, pengetahuan,
politik, lingkungan alam, lingkungan ekonomi, kesehatan, prasarana dan layanan,
lingkungan sosial.
Hasil penelitian ini sejalan dengan studi Gonner et al (2007); Haug (2007) di
Kutai Barat Kalimantan Timur, yang hampir sepertiga dari seluruh rumah tangga
hidup dalam kondisi kesejahteraan yang kritis. Penyebab kemiskinan dapat
194
ditemukan dalam rumah tangga sendiri, seperti tingkat pendidikan yang rendah atau
lemahnya wawasan dalam membelanjakan pendapatan tunai.
Beberapa temuan dalam hasil pemetaan dan identifkasi penyebab kemiskinan
di Kabupaten Klungkung adalah sebagai berikut :
1. Temuan Teoritis
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan beberapa metode analisis
dalam pemetaan kemiskinan, identifikasi penyebab dan strategi pengentasan
kemiskinan di Kabupaten Klungkung, dapat disimpulkan beberapa temuan teoritis
sebagai berikut.
1. Permodelan Nested Spheres of Poverty memberikan gambaran lebih
komprehensif mengenai kemiskinan di Kabupaten Klungkung sebagaimana studi
Gonner et al (2007); Haug (2007) dan Pattinama (2009) yang memberikan
definisi kemiskinan lebih luas dan bersifat dinamis meliputi akses terhadap
infrastruktur sosial ekonomi, keluar dari keterisolasian, ketidakberdayaan, dan
kebebasan mengeluarkan pendapat, serta memperoleh keadilan dalam
pembangunan. Kemiskinan tidak bisa didefinisikan secara tunggal yakni dari
hanya sudut pandang pemenuhan kebutuhan kalori semata sebagaimana studi
Badan Pusat Statistik (BPS).
2. Strategi pemberdayaan menjadi prioritas dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Hasil analisis pemetaan potensi melalui SWOT, sejalan dengan hasil analisis
AHP bahwa kapasitas masyarakat menjadi potensi utama dalam pengentasan
masyarakat. Menurut Sumodiningrat (1999) bahwa salah satu arah baru strategi
pembangunan adalah penguatan kelembagaan masyarakat dan birokrasi melalui
195
model partisipatif dimana program dikelola oleh masyarakat sebagai akibat dari
meningkatnya kemampuan dan kapasitas masyarakat. Sementara menurut
Gonner et al (2007) bahwa upaya meningkatkan dan mempertahankan
kesejahteraan masyarakat miskin dapat dilakukan dengan memperbaiki
lingkungan pendukung masyarakat antara lain kapabilitas, strategi penghidupan
lokal, peluang dan dukungan, kerentanan, keberlanjutan.
2. Temuan Empiris
Beberapa temuan empiris berdasarkan hasil analisis terhadap pemetaan
kondisi kemiskinan di Kabupaten Klungkung sebagai berikut.
1. Secara agregat, aspek sosial masyarakat Kabupaten Klungkung cukup tinggi.
Modal sosial masyarakat cukup tinggi dalam membangun kebersamaan gotong
royong dan tolong menolong. Sehingga hal ini dapat meminimalisir terjadinya
konflik antar warga apalagi didukung dengan penyelesaian masalah melalui
musyarawarah desa. Modal sosial ini menjadi potensi besar bukan hanya
membangun kebersamaan sosial namun juga membuka peluang ekonomi
bersama dan mengoptimalkan peran kelompok usaha bersama yang telah ada dan
kelompok sosial dan ekonomi lainnya. Kondisi berbeda terjadi di Kecamatan
Klungkung yang memiliki indeks sosial cukup rendah. Hal ini mengingat secara
administratif, Kecamatan Klungkung adalah daerah yang dekat dengan pusat
pemerintahan namun kohesi sosial masyarakat rendah. Hal ini disebabkan pola
hidup masyarakat dalam lingkungan yang sarat dengan rutinitas ekonomi
sehingga interaksi antar individu menjadi berkurang. Hal ini sejalan dengan studi
196
Anand et al (2011) menyebutkan bahwa pengaruh faktor psikologi dan perilaku
ekonomi terhadap kemiskinan yang diindikasikan dengan kemandirian dan
pemberdayaan dan program pengurangan kemiskinan. Lebih lanjut menurut
Anand et al (2011) bahwa pengetahuan atau pengalaman yang dimiliki
masyarakat, kognisi dan faktor sosial serta hubungan sosial efektif dalam
pengentasan kemiskinan. Sementara Grootaert et al (2004) menganalisis dampak
modal sosial terhadap kesejahteraan masyarakat di Bolivia. Modal sosial yang
diukur dengan keanggotaan dalam agrarian syndicates dan asosiasi lainnya
mendorong peningkatan kesejahteraan rumah tangga dan menurunkan
kemiskinan. Modal sosial memberikan efek kesejahteraan lebih besar
dibandingkan investasi dalam pendidikan. Dalam studi ini juga mengelaborasikan
hubungan komplementer dan substitusi antara lembaga formal dan informal.
2. Aspek lingkungan ekonomi mencakup sumber penghasilan, stabilitas
penghasilan, persediaan bahan pangan dan akses terhadap pembiayaan usaha.
Temuan menarik yang dapat dilihat adalah nilai indeks tertinggi adalah
Kecamatan Banjarangkan 38,24 dan diikuti Kecamatan Nusa Penida 34,51,
Kecamatan Dawan 26,92 dan Kecamatan Klungkung 18,89. Dari asepek
ekonomi dibandingkan dengan aspek lainnya Kecamatan Nusa Penida memiliki
keunggulan dalam stabilitas penghasilan dimana rata-rata masyarakat memiliki
pekerjaan lebih dari satu umumnya menjadi budidaya ternak seperti ayam dan
buruh dalam budidaya rumput laut. Meskipun secara geografis dengan kondisi
tandus, namun potensi masyarakat untuk memanfaatkan lahan yang luas untuk
beternak cukup tinggi. Hal berbeda ditunjukkan Kabupaten Klungkung dengan
197
nilai indeks ekonomi yang rendah. Adanya keterbatasan lahan menjadi penyebab
terbatasnya peluang ekonomi yang dimanfaatkan masyarakat. Di sisi lain
keinginan masyarakat untuk memiliki sumber penghasilan yang stabil tinggi.
Untuk mengatasi ketidakpastian, ada kemauan kuat untuk mendapatkan sumber
penghasilan yang stabil. Banyak warga masyarakat yang menginginkan usaha
baru seperti beternak yang rata-rata adalah ayam dan sapi, dan budidaya ikan hias
yang dinilai cukup prospektif peluang pasarnya. Dalam hal pengembangan usaha,
masyarakat banyak yang belum pernah mengajukan pinjaman modal usaha ke
lembaga keuangan dan sebagian lainnya masih merasakan kesulitan dalam
pengajuan pinjaman.
3. Pemenuhan kebutuhan pengetahuan secara rata-rata adalah kritis dan menjadi
prioritas kedua di Kecamatan Banjarangkan dan Dawan. Sementara di
Kecamatan Klungkung tidak terlalu rendah yaitu pada urutan keempat dan untuk
Kecamatan Nusa Penida urutan ketiga menjadi prioritas masalah. Hal menarik
yang dapat dilihat adalah rendahnya pengetahuan justru terjadi di wilayah dengan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti Kecamatan Banjarangkan dan Dawan.
Alasan rendahnya pengetahuan dapat disebabkan keterpencilan dan kurangnya
peluang ekonomi. Kurangnya peluang ekonomi menciptakan situasi di mana
anak tidak dapat masuk sekolah secara teratur karena mereka harus ikuti orang
tuanya ke sawah atau bahkan membantu penghasilan rumah tangga. Sementara
kurangnya peluang ekonomi juga disebabkan masih banyaknya rumah tangga
yang tidak memiliki keterampilan dalam menunjang pekerjaan utama. Sehingga
tidak ada perbaikan taraf hidup dalam mendapatkan sumber-sumber ekonomi
198
yang layak sesuai kebutuhan rumah tangga. Meskipun masyarakat telah
bergabung pada kelompok usaha bersama, namun pelatihan meningkatkan
keterampilan masyarakat masih dirasakan kurang.
4. Kepemilikan aset dan tabungan masyarakat miskin di Kabupaten Klungkung
masih rendah hal ini disebabkan rata-rata penghasilan dialokasikan seluruhnya
untuk kebutuhan konsumsi sehingga tidak ada sisa penghasilan yang dapat
ditabung atau membeli aset. Studi McCulloch et al (2003) menunjukkan
kemiskinan di Sichuan selama periode 1991-1995 adalah dinamis dan persisten.
Kemiskinan kronis yang diartikan sebagai tingginya kerentanan kemiskinan dan
dibandingkan dengan definisi tradisional yang diartikan dengan konsumsi rata-
rata rendah. Masyarakat rentan miskin pada saat rata-rata konsumsi di atas garis
kemiskinan. Dhanani et al (2002) mengestimasi consumption poverty di
Indonesia dan capability poverty. Selama periode krisis, pola konsumsi
digambarkan dengan transient in nature dan kerentanan. Dengan tidak adanya
intervensi pemerintah dan kondisi makroekonomi yang tidak stabil menyebabkan
kerentanan. Maka dengan kelangsungan fiskal melalui jaring pengaman sosial
mampu menciptakan modal sosial dalam upaya menanggulangi kemiskinan.
5. Rendahnya pemenuhan kebutuhan politik juga berada dalam kondisi kritis di
seluruh kecamatan dan yang terparah adalah Kecamatan Nusa Penida sebagai
prioritas masalah terbesar, sementara kecamatan lainnya berada pada prioritas
ketiga. Alasan utama masih rendahnya akses terhadap potensi sumberdaya sekitar
yang sulit secara geografis dan belum optimalnya prasarana dalam mengelola
sumberdaya yang ada. Meskipun terjadi peningkatan pengakuan informal
199
terhadap hak-hak atas lahan dan sumber daya tradisional, namun ketidakpastian
masih relatif tinggi. Hak-hak tradisional masih belum diakui secara resmi.
Ketidakpastian ini menjadi pendorong kuat pemanfaatan sumber daya secara
tidak berkelanjutan. Faktor lain masih rendahnya pengambilan keputusan dalam
musyawarah karena secara umum masih berada pada musyawarah desa dan
tokoh masyarakat. Bastiaensen, et al (2005) menunjukkan bahwa kemiskinan
terkait dengan faktor kelembagaan yaitu pada social-constructivist yang fokus
pada proses politik dan contest people entitlement. Adanya pengaturan
kelembagaan politik merupakan faktor utama dalam pengurangan kemiskinan.
6. Aspek lingkungan alam di Kabupaten Klungkung berada pada kondisi kritis dan
yang paling parah kondisinya adalah Kecamatan Nusa Penida. Hal ini memang
disebabkan secara geografis Kecamatan Nusa Penida merupakan wilayah tandus
dan terjal. Namun secara keseluruhan masalah lingkungan alam lebih disebabkan
masih rendahnya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan sekitar dengan
menjawab tidak tahu terhadap kondisi alam sekitar.
7. Secara umum, alasan kekurangpuasan masyarakat terhadap program pengentasan
kemiskinan yang telah dilakukan pemerintah antara lain masih belum meratanya
implementasi program dalam mencakup masyarakat miskin lebih banyak bahkan
ada yang belum tepat sasaran, belum adanya perubahan kesejahteraan dari
dampak program dan program kurang berkelanjutan karena keterbatasan
anggaran.
200
3. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan antara lain.
1. Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam cakupan wilayah yaitu hanya pada
Kabupaten Klungkung yang memiliki empat kecamatan dengan karakteristik
geografis yang sebagian besar adalah kepulauan. Penelitian dapat diperluas
cakupan wilayah dengan karakteristik geografis dan demografis yang lebih
beragam di Provinsi Bali.
2. Keterbatasan dalam penggunaan indikator dan jumlah sampel. Indikator yang
digunakan dalam setiap aspek model Nested Spheres of Poverty masih bersifat
agregat untuk seluruh wilayah sampel dan belum menggali secara mendalam lagi
spesifik lokal yang berbeda di setiap wilayah sampel. Begitu halnya dengan
keterbatasan jumlah sampel dengan cakupan wilayah yang lebih luas. Diharapkan
pada penelitian yang akan datang cakupan indikator secara lebih komprehensif
sesuai fakta empiris yang dihadapi masyarakat miskin. Indikator seperti
kelembagaan baik sosial maupun ekonomi dan budaya
3. Keterbatasan dalam metode analisis yang digunakan dalam menggali secara
mendalam masalah kemiskinan. Pendekatan lain dengan metode yang berbeda
seperti pendekatan kualitatif dengan metode grounded research dapat digunakan
untuk menganalisis secara mendalam dan lebih spesifik fenomena kemiskinan.
Sehingga permasalahan kemiskinan dapat diselesaikan melalui instrumen
kebijakan yang lebih mencerminkan kondisi faktual sesuai masalah yang
dihadapi masyarakat miskin.
201
6.2 Strategi Peningkatan Kesejahteraan
Hasil identifikasi potensi masyarakat dalam pengentasan kemiskinan
menunjukkan faktor kekuatan dan peluang yang dimiliki masih lebih besar
dibandingkan dengan kelemahan dan ancaman. Kondisi ini mengindikasikan bahwa
potensi internal dan eksternal baik dari kapasitas individu masyarakat dan dukungan
Pemerintah Daerah dapat meminimalkan kelemahan struktur kelembagaan dan
peluang ekonomi yang terbatas terutama juga dalam menghadapi daya saing global.
Oleh karena itu perlu adanya upaya intensif dalam memberikan peluang ekonomi dan
memanfaatkan modal sosial yang kuat dalam masyarakat.
Begitu halnya dengan identifikasi strategi menggunakan AHP menunjukkan
bahwa pemberdayaan masyarakat menjadi strategi prioritas dan diikuti strategi dalam
peningkatan kinerja usaha masyarakat dan pengelolaan program. Beberapa faktor
yang turut menentukan strategi penanggulangan adalah sharing pendanaan program,
monitoring program, tingkat partisipasi masyarakat, peran kelembagaan formal,
akses permodalan dan kemitraan serta penguatan sistem ekonomi lokal.
Upaya meningkatkan dan mempertahankan kesejahteraan masyarakat miskin
dapat dilakukan dengan memperbaiki lingkungan pendukung masyarakat antara lain
kapabilitas, strategi penghidupan lokal, peluang dan dukungan, kerentanan,
keberlanjutan. Beberapa prinsip meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah :
1. Kapabilitas masyarakat miskin harus didayagunakan dan diperkuat. Kapabilitas
mencakup lima hal yaitu keuangan, manusia, sosial, fisik, dan alam.
202
2. Pemerintah daerah harus mendata strategi penghidupan lokal yang ada dan
menciptakan kerangka kerja kelembagaan yang mendukung strategi peningkatan
kesejahteraan swadaya berkelanjutan.
3. Peluang dan dukungan untuk memanfaatkan kapabilitas masyarakat. Bukan
hanya peluang ekonomi, seperti pekerjaan dan pasar, namun juga peluang politis
untuk berpartisipasi dan pemberdayaan yang lebih baik. Pemerintah daerah
dengan instansi pemerintah lainnya dan sektor swasta memegang peran penting.
4. Kerentanan perlu dikurangi dimana masyarakat membutuhkan rasa aman.
Sebagian kelompok miskin rentan untuk kembali menjadi miskin atau terjebak
dalam lingkaran kemiskinan. Bukan hanya melalui jaring pengaman masyarakat
seperti asuransi kesehatan gratis, pendidikan gratis dan makanan subsidi tetapi
juga memerlukan jaring pengaman berbasis keluarga atau masyarakat,
diversifikasi pendapatan untuk menghindari resiko dan ketergantungan pada
hubungan timbal balik melalui jaringan sosial yang diperluas.
5. Keberlanjutan diperlukan untuk memastikan keberhasilan pengentasan
kemiskinan dalam jangka panjang. Mengorbankan lingkungan alam atau kohesi
sosial untuk capaian ekonomis jangka pendek tidak meningkatkan kesejahteraan,
namun perlu adanya keseimbangan antar komponen lingkungan ekonomi, sosial,
alam.
Secara umum strategi kemiskinan yang mencakup berbagai aspek ditentukan
oleh dukungan internal individu masyarakat dan dukungan eksternal pemerintah,
swasta dan pihak terkait lainnya. Beberapa aspek tersebut adalah sebagai berikut.
203
1. Aspek Ekonomi
Penanggulangan masalah ekonomi dilakukan melalui penciptaan peluang
sumber-sumber peningkatan penghasilan bagi masyarakat miskin yang meliputi
beberapa hal yaitu optimalisasi pemanfaatan potensi sumberdaya lokal, penciptaan
diversifikasi lapangan kerja, peningkatan ketrampilan wirausaha, peningkatan
kemudahan akses permodalan, pengembangan pasar lokal. Secara geografis, potensi
ekonomi Kabupaten Klungkung adalah sektor pertanian dan pariwisata sehingga
program penanggulangan kemiskinan ditekankan pada sektor potensial yang menjadi
penggerak perekonomian daerah.
a. Optimalisasi pemanfaatan potensi sumberdaya lokal
Pandangan umum sering menyatakan bahwa masyarakat miskin kurang
mampu melihat potensi sekitar untuk dikembangkan menjadi usaha produktif dan
dalam pemanfaatan sumberdaya lokal posisi masyarakat miskin hanya sebagai
suplier atau tenaga murah atau termarjinalkan tanpa kreativitas. Berdasarkan
hasil analisis, pada dasarnya masyarakat miskin memiliki keinginan yang besar
untuk membuka usaha dan memiliki keterampilan namun belum diberdayakan
secara optimal dan sebagian lainnya kurang siap atau berani dalam berwirausaha.
Dukungan yang diperlukan bagi masyarakat miskin dalam
pemanfaatan/pengelolaan sumberdaya lokal adalah kepercayaan (trust),
penguatan lembaga usaha kolektif (institutional building), pengembangan
jaringan.
204
b. Penciptaan diversifikasi lapangan kerja atau usaha
Pada umumnya masyarakat miskin lebih memilih usaha serabutan dan
menjadi migran di daerah perkotaan menjadi buruh, tukang becak, tukang ojek,
pembantu rumah tangga dan sebagainya. Intervensi yang dibutuhkan untuk
mendorong diversifikasi lapangan kerja adalah penanaman investasi lokal yang
mengunakan suplai tenaga kerja. Selain itu dibutuhkan revitalisasi perlindungan
UMKM dengan menambah insentif modal dan keberlanjutan dalam peluang
pasar eksternal. Diversifikasi lapangan kerja dapat juga dengan membentuk dan
memberdayakan kelompok usaha sesuai dengan karakteristik wilayah lokal
seperti kelompok tani untuk di wilayah pedesaan atau kelompok usaha dagang
untuk di wilayah perkotaan.
c. Peningkatan keterampilan wirausaha
Banyaknya program pemerintah dalam membangun ketrampilan
kewirausahaan, masih dihadapkan pada permasalahan sulitnya menghadapi
kompetisi pasar, jaminan distribusi hasil produksi, hambatan permodalan,
kerentanan permintaan komoditi karena perubahan pasar dan kebijakan
pemerintah. Intervensi yang dibutuhkan dalam peningkatan ketrampilan
wirausaha adalah kebijakan diversifikasi ketrampilan yang responsif terhadap
permintaan pasar, perlindungan keberlangsungan usaha, pendampingan teknis
praktek usaha dan permodalan.
205
d. Peningkatan kemudahan akses permodalan
Akses permodalan adalah persoalan yang selalu muncul dan menjadi
syarat dasar untuk menciptakan peluang peningkatan asset dan penghasilan
dalam usaha. Umumnya masyarakat miskin masih banyak menggunakan modal
sendiri dan belum mengakses modal dari lembaga keuangan formal seperti
perbankan antara lain karena alasan tidak punya agunan dan prosedur yang
rumit. Pada umumnya masyarakat lebih nyaman pinjam pada rentenir walaupun
bunganya cukup tinggi karena tanpa prosedur berbelit.
Untuk kemudahan akses permodalan, kebutuhan masyarakat miskin
adalah proses layanan yang mudah dan adanya dukungan kebijakan dengan
bunga pinjaman lunak. Proses layanan bank sebaiknya bersifat pro-aktif,
melakukan usaha menarik nasabah langsung tanpa prosedur administratif yang
rigid dan membebaskan dari persyaratan agunan. Alternatif lain yang lebih
progresif selain bank adalah membangun Lembaga Kredit Union (micro-finance
control) bersama dalam kelompok sosial kepentingan yang orientasinya lebih
pada programatik, bukan profitable. Lembaga ini akan melakukan
pendampingan usaha komunitas miskin mulai dari hulu hingga hilir arus
produksi.
Pemecahan masalah kesulitan akses permodalan hanya bisa diselesaikan
dengan campur tangan pihak pemerintah untuk memetakan lembaga keuangan
yang ada dalam masyarakat. Pemerintah perlu memfasilitasi pengembangan
lembaga keuangan yang berkembang dalam masyarakat, baik di perkotaan
maupun di pedesaan. Pada umumnya masyarakat sudah mempunyai jaringan
206
interaksi sendiri dengan institusi simpan pinjam yang tidak legal, seperti
rentenir, juragan pada tukang kredit untuk kebutuhan peralatan. Oleh karena itu
untuk fasilitasi lembaga kredit mikro pada komunitas miskin, pemerintah tidak
perlu mengintrodusir lembaga baru, tetapi diperlukan modifikasi dan adaptasi
kelembagaan yang sudah menjadi kebiasaan, tanpa menghilangkan akar
hubungan yang sudah terjalin antara komunitas dengan lembaga-lembaga
keuangan yang ada, seperti kelompok simpan pinjam, kelompok arisan, rentenir,
dan sebagainya.
Pengembangan atau pembentukan kelembagaan kredit pada komunitas
sebaiknya dilakukan dengan pendekatan kelompok usaha. Pengembangan
kelembagaan kredit sebaiknya tetap dilakukan melalui penguatan kelompok
simpan pinjam yang ada. Kenyataan umumnya kelompok simpan pinjam yang
berkembang pada komunitas didasarkan pada kedekatan hubungan dan
kesamaan jenis usaha, atau yang menjadi anggota adalah juga anggota kelompok
usaha bersama. Pada kelompok ini sendiri masih diperlukan peningkatan
kapasitas pengurus, tidak hanya kapasitas manajerial, tetapi juga kapasitas
pendampingan usaha anggota agar tidak salah memanfaatkan pinjaman
modalnya.
e. Pengembangan pasar lokal
Pengembangan pasar lokal dimaksudkan untuk menghadapi persaingan
usaha yang berpihak baik di pasar regional maupun internasional.
Pengembangan pasar lokal akan menjamin implikasi berkembangnya jaringan
207
UMKM yang semakin kuat berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi sektor
riil.
2. Aspek Sosial Budaya dan Kelembagaan
Selain upaya penanggulangan kemiskinan dari sisi ekonomi dengan
menciptakan peluang usaha, upaya perbaikan layanan fasilitas sosial juga menjadi
faktor penting yaitu melalui pengurangan beban biaya pendidikan dan kesehatan.
Permasalahan dalam biaya pendidikan dan pelayanan kesehatan dapat ditanggulangi
melalui kebijakan sharing budget antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah. Maka diperlukan adanya dukungan kebijakan yang mengatur dan
mewajibkan penggunaan sebagian dana Corporate Social Responsibility (CSR)
terutama dari pihak yang akan dialokasikan pada kedua hal tersebut. Mekanisme
tersebut dapat diatur melalui sistem satu pintu agar dapat terjaga dari sisi
akuntabilitas dan transparansi. Melalui kebijakan dan aturan terhadap mekanisme
kontrol yang kuat maka signifikansi kontribusi dana CSR bisa diharapkan dapat
mengentaskan permasalahan pendidikan dan kesehatan masyarakat miskin. Implikasi
intervensi selanjutnya adalah perlunya dibangun lembaga representasi publik yang
independen dalam menjalankan peran kontrol terhadap program CSR.
Dari aspek kelembagaan, dukungan pemerintah daerah dalam berbagai
program pengentasan kemiskinan harus tetap dijaga kontinuitasnya dengan
memperhatikan segala aspek yang berkembang di masyarakat agar sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dan tepat sasaran. Sinkronisasi kebijakan antar institusi
pemerintahan maupun dengan pihak terkait lainnya menjadi sangat penting dalam
208
implementasi program. Di sisi lain, peran kelembagaan masyarakat juga diperlukan
sebagai kontrol sosial terhadap program-program penanggulangan kemiskinan. Hal
ini bertujuan untuk mengurangi adanya penyimpangan alokasi dana untuk
masyarakat miskin.
3. Mitigasi Kerentanan Kemiskinan
Permasalahan kemiskinan berkaitan erat dengan derajat kesejahteraan
keluarga. Pengukuran kesejahteraan dapat diidentifikasi melalui empat hal yaitu rasa
aman (security), kesejahteraan (welfare), kebebasan (freedom) dan jati diri (identity).
Dimensi rasa aman dapat diukur melalui indikator seperti derajat kerentanan
terhadap kematian (kesakitan) karena kecelakaan atau kekerasan dan kerentanan
untuk jatuh dalam kemiskinan atau pengangguran.
Kerentanan perlu dikurangi karena masyarakat membutuhkan rasa aman.
Sebagian kelompok miskin rentan untuk kembali menjadi miskin atau terjebak dalam
lingkaran kemiskinan. Bukan hanya melalui jaring pengaman masyarakat tetapi juga
memerlukan jaring pengaman berbasis keluarga atau masyarakat, diversifikasi
pendapatan untuk menghindari resiko dan ketergantungan pada hubungan timbal
balik melalui jaringan sosial yang diperluas.
4. Keberlanjutan
Keberlanjutan diperlukan untuk memastikan keberhasilan pengentasan
kemiskinan dalam jangka panjang. Program pengentasan kemiskinan dengan
mengorbankan lingkungan alam atau kohesi sosial untuk capaian ekonomis jangka
209
pendek tidak meningkatkan kesejahteraan. Kondisi ini mendorong program
kemiskinan yang menjaga keseimbangan antar komponen lingkungan ekonomi,
sosial, alam.
Menjaga kontinuitas lingkungan alam sebagai upaya mitigasi bencana sangat
penting dalam upaya menanggulangi kemiskinan. Kemiskinan dan kerentanan juga
dapat terjadi terhadap bahaya-bahaya alam saling berkaitan erat dan saling
memperkuat satu sama lain. Bencana adalah sumber kesulitan yang potensial
membawa masyarakat dalam kondisi dibawah garis kemiskinan dan juga turut
menciptakan kemiskinan yang kronis. Bencana dapat menimbulkan kehilangan jiwa,
rumah dan aset, mengganggu peluang penghidupan, pendidikan dan penyelenggaraan
pelayanan-pelayanan sosial, tabungan dan menciptakan masalah-masalah kesehatan,
seringkali dengan konsekuensi-konsekuensi yang bersifat jangka panjang.
Masyarakat miskin adalah masyarakat yang paling rentan terhadap bahaya.
Sesuatu yang mencerminkan lingkungan sosial, budaya, ekonomi dan politik
misalnya, memiliki lokasi tempat tinggal yang kualitasnya di bawah standar dan
seringkali di daerah yang berbahaya, tingkat akses yang lebih rendah terhadap
layanan-layanan dasar, terutama berlaku bagi kaum miskin yang tinggal di pedesaan
dan para warga yang menghuni tempat-tempat kumuh; ketidakpastian dalam hal hak
kepemilikan, sesuatu yang mengurangi insentif untuk mengelola sumber daya
dengan berkelanjutan atau mengambil langkah-langkah mitigasi struktural,
penghidupan dan mata pencaharian yang lebih rentan dan akses yang terbatas pada
sumber-sumber keuangan, sehingga kemampuan untuk mendiversifikasi mata
pencaharian dan memulihkan diri setelah terjadi bencana sangat terbatas.
210
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis mengenai kondisi dan strategi pengentasan
kemiskinan di Kabupaten Klungkung, menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Hasil pemetaan kemiskinan di Kabupaten Klungkung berdasarkan model
Nested Spheres of Poverty menunjukkan bahwa secara agregat kondisi
kemiskinan berada dalam kategori kritis dari rerata aspek yang digunakan.
Hal ini mengindikasikan bahwa secara agregat, permasalahan kemiskinan
masih menjadi perhatian utama dari seluruh aspek yang memerlukan
penanganan secara serius dan terencana sehingga permasalahan kemiskinan
dapat tereduksi pada kisaran indeks yang lebih baik.
2. Secara agregat urutan prioritas penyebab kemiskinan paling kritis dari
berbagai aspek secara berturut-turut adalah kekayaan materi, pengetahuan,
politik, lingkungan alam, lingkungan ekonomi, kesehatan, prasarana dan
layanan, lingkungan sosial.
3. Hasil identifikasi potensi masyarakat dalam pengentasan kemiskinan
menunjukkan faktor kekuatan dan peluang yang dimiliki masih lebih besar
dibandingkan dengan kelemahan dan ancaman. Kondisi ini mengindikasikan
bahwa potensi internal dan eksternal baik dari kapasitas individu masyarakat
dan dukungan Pemerintah Daerah dapat meminimalkan kelemahan struktur
211
kelembagaan dan peluang ekonomi yang terbatas terutama juga dalam
menghadapi daya saing global. Oleh karena itu perlu adanya upaya intensif
dalam memberikan peluang ekonomi dan memanfaatkan modal sosial yang
kuat dalam masyarakat.
4. Secara umum, alasan kekurangpuasan masyarakat terhadap program
pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan pemerintah antara lain masih
belum meratanya implementasi program dalam mencakup masyarakat miskin
lebih banyak bahkan ada yang belum tepat sasaran, belum adanya perubahan
kesejahteraan dari dampak program dan program kurang berkelanjutan
karena keterbatasan anggaran.
5. Hasil identifikasi strategi menggunakan AHP menunjukkan bahwa
pemberdayaan masyarakat menjadi strategi prioritas dan diikuti strategi
dalam peningkatan kinerja usaha masyarakat dan pengelolaan program.
Beberapa faktor yang turut menentukan strategi penanggulangan adalah
sharing pendanaan program, monitoring program, tingkat partisipasi
masyarakat, peran kelembagaan formal, akses permodalan dan kemitraan
serta penguatan sistem ekonomi lokal.
7.2 Saran
Upaya dalam mendukung pengentasan kemiskinan ditentukan oleh peran
pemerintah, masyarakat dan pihak terkait lainnya.
1. Pemerintah. Peningkatan peran pemerintah Kabupaten Klungkung dalam
memutus mata rantai kemiskinan harus lebih hadap masalah dan terencana secara
212
optimal melalui peningkatan perencanaan dan monitoring, prasarana dan
pelayanan, lingkungan ekonomi dan sosial serta menginisiasi pembuatan
peraturan daerah yang terintegrasi dengan dengan pelaku dunia usaha di wilayah
Kabupaten Klungkung.
2. Masyarakat. Berperan serta aktif dan koordinatif dalam seluruh rangkaian
program penanggulangan kemiskinan di lingkungan. Menciptakan keselarasan
program dengan budaya atau kearifan lokal yang berkembang di masyarakat.
Mengembangkan potensi alam sekitar dan potensi diri dalam tingkatan terkecil
yaitu keluarga secara produktif dalam upaya mengentaskan diri dari kemiskinan
dan kerentanan.
3. Penelitian ini memiliki keterbatasan baik dalam cakupan wilayah, indikator dan
jumlah sampel. Diharapkan pada penelitian yang akan datang cakupan indikator
secara lebih komprehensif sesuai fakta empiris yang dihadapi masyarakat miskin.
Indikator seperti kelembagaan baik sosial maupun ekonomi dan budaya dapat
dianalisis secara mendalam dengan metode yang berbeda seperti pendekatan
kualitatif dengan metode grounded research. Sehingga permasalahan kemiskinan
dapat diselesaikan melalui instrumen kebijakan yang lebih mencerminkan
kondisi faktual sesuai masalah yang dihadapi masyarakat miskin
213
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Faizuddin, 2004. Practices of Poverty Measurement and Poverty
Profile of Bangladesh. ERD Working Paper Series No. 54, Asian Development
Bank. Manila
Anand, Paul, Stephen Lea. 2011. The Psychology and Behavioural
Economics of Poverty. Journal of Economic Psychology 32 pp.284-293
Arikunto, Suharsimi. 2002. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta.
Awan, Masood Sarwar, Nasir Iqbal.2010.Determinants of Urban Poverty :
The Case of Medium Sized City in Pakistan.Pakistan Institute of Development
Economics (PIDE) Working Papers
Badan Pusat Statistik (BPS). 2008. Analisis dan Penghitungan Tingkat
Kemiskinan 2008. Jakarta
Badan Pusat Statistik (BPS). 2010. Provinsi Bali dalam Angka. Badan Pusat
Statistik (BPS). Bali
Badan Pusat Statistik (BPS). 2012. Provinsi Bali dalam Angka. Badan Pusat
Statistik (BPS). Bali
Badan Pusat Statistik (BPS). 2014. Provinsi Bali dalam Angka. Badan Pusat
Statistik (BPS). Bali
Badan Pusat Statistik (BPS). 2012. Statistik Daerah Kabupaten Klungkung
Tahun 2012. Kabupaten Klungkung
Badan Pusat Statistik (BPS). 2013. Klungkung dalam Angka Tahun 2013.
Kabupaten Klungkung
Badan Pusat Statistik (BPS). 2014. Klungkung dalam Angka Tahun 2014.
Kabupaten Klungkung
Bappeda dan BPS Kabupaten Malinau. 2005. Kabupaten Malinau dalam
angka tahun 2004-2005. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan
Badan Pusat Statistik (BPS). Malinau.
BPS dan Bappeda Kabupaten Gayo Lues. 2005. Pemetaan Kemiskinan
Kabupaten Gayo Lues 2005’, Laporan Akhir Penelitian.
214
Bappeda Kabupaten Klungkung. 2011. Dokumen Strategi Penanggulangan
Kemiskinan Daerah (SKPD) Kabupaten Klungkung Tahun 2011 – 2015.
Bappeda Kabupaten Klungkung. 2012. Dokumen Validasi/Up Dating Data
Rumah Tangga Sasaran Kabupaten Klungkung Tahun 2012.
Bastiaensen, Johan, Tom De Herdt, Ben D’Exelle. 2005. Poverty Reduction
as a Local Institutional Process. World Development Vol.33 No.6 pp.979-993
Bayo, A. A. 1996. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan.
Penerbit Liberty. Yogyakarta.
Cahyat, Ade, Christian Gonner, Michaela Haug. 2007. Mengkaji
Kemiskinan dan Kesejahteraan Rumah Tangga : Sebuah Panduan dengan Contoh
dari Kutai Barat, Indonesia. Center for International Forestry Research (CIFOR).
Bogor
de Janvry, Alain, Elisabeth Sadoulet. 2000. Rural Poverty in Latin America
Determinants and Exit Paths. Food Policy 25 pp.389-409
Dewilde, Craoline. 2004. The Multidimensional Measurement of Poverty in
Belgium and Britain : A categorical Approach. Social Indicators Research.
September:68
Dhanani, Shafiq, Iyanatul Islam. 2002. Poverty, Vulnerability and Social
Protection in a Priod of Crisis : The Case of Indonesia. World Development Vol.30
No.7 pp.1211-1231
Dostie, B, S.Haggblade, J.Randriamamonjy.2002. Seasonal Poverty in
Madagascar : Magnitude and Solutions. Food Policy 27 pp.493-518
Fukuda, Sakiko. 2004. The Millenium Development Goals : The Pledge of
World Leader to End Poverty will not be met with Bussiness as Usual. Journal of
Intrenational Development.16.925-932. Wiley Interscience.
Ghozali, Imam. 2002. Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program SPSS.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Dipenogoro
Gonner,Christian, Ade Cahyat, Michaela Haug, Godwin Limberg. 2007.
Menuju Kesejahteraan: Pemantauan Kemiskinan di Kutai Barat Indonesia. Center for
International Forestry Research (CIFOR). Bogor.
Gonner, Christian, Michaela Haug, Ade Cahyat, Eva Wollenberg, Wil de
Jong, Godwin Limberg, Peter Cronkleton, Moira Moeliono, Michel Becker. 2007.
215
Capturing Nested Spheres of Poverty : A Model for Multidimensional Poverty
Analysis and Monitoring, Occasional Paper CIFOR, 46.
Grootaert, Christiaan, Deepa Narayan. 2004. Local Institutions, Poverty and
Household Welfare in Bolivia. World Development Vol.32 pp.1179-1198
Haug, Michaela. 2007. Kemiskinan dan Desentralisasi di Kutai Barat :
Dampak Otonomi Daerah terhadap Kesejahteraan Dayak Benuaq. CIFOR
Harker, P.T dan Vargas, L.G. The Theory of Ratio Scale Estimation:
Saaty’s Analytic Hierarchy Process. Management Science, 33:1383-1403.
Kam, Suan-Pheng, Mahabub Hossain, Manik Lal Bose, Lorena S.Villano.
2005. Spatial Patterns of Rural Poverty and Their Relationship with Welfare-
Influencing Factors in Bangladesh. Food Policy 30.pp.551-567.
Khan, Himayatullah. 2008. Poverty, Environment and Economic Growth :
Exploring The Links among Three Complex Issues with Specific Focus on The
Pakistan’s Case. Environment Development Sustain.10:913-929. Springer Science
Kincald, J. C. 1975. Poverty and Equality in Britain. Penguin Books.
Middlesex.
Kuncoro, M. 2006. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan
Kebijakan, Edisi Keempat. UPP STIM YKPN. Yogyakarta.
Labar, Kelly, Florent Bresson.2011. A Multidimensional Analysis of
Poverty in China from 1991 to 2006. China Economic Review 22 pp.646-668
Marianti, Ruly, Wawan Munawar. 2006. Moving Out of Poverty : The Case
of Desa Branta Pesisir, Kabupaten Pamekasan. SMERU. Desember
McCulloch, Neil, Michele Candrino. 2003. Vulnerability and Chronic
Poverty in Rural Sichuan. World Development Vol.31 No.3 pp.611-628
Moeliono, Moira, Christian Gonner, Eva Wollenberg, Ramses Iwan.2007.
Menuju Kesejahteraan : Pemantauan Kesejahteraan di Malinau, Indonesia. Center for
International Forestry Research (CIFOR).
Montalvo, Jose G., Martin Ravallion. 2010. The Pattern of Growth and
Poverty Reduction in China. Journal of Comparative Economics 38 pp.2-16
Mukherjee, Sanjukta, Todd Benson. 2003. The Determinants Poverty in
Malawi, 1998. World Development Vol.31 No.2 pp.339-358
216
Mulyono, S. 1988. AHP Suatu Metode Baru Yang Serba Guna. Kajian
Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 36(3).
Narimawati, Umi, Dadang Munandar. 2008. Teknik Sampling : Teori dan
Praktik dengan Menggunakan SPSS 15. Gava Media. Yogyakarta.
Pattinama, Marcus J.2009. Pengentasan Kemiskinan dengan Kearifan Lokal
(Studi Kasus di Pulau Buru-Maluku dan Surade-Jawa Barat). Jurnal Makara, Sosial
Humaniora. Vol 13 Nomor 1 Juli 2009:1-12
Pemerintah Provinsi Papua. 2006. Strategi Pengentasan Kemiskinan Daerah
Provinsi Papua 2007-1015. Tim Koordinasi Pengentasan Kemiskinan Daerah.
Pennings, Joost M.E, T.Philip Garcia. 2005. The Poverty Challenge : How
Individual Decision-Making Behavior Influence Poverty. Economics Letters 88
pp.115-119
Radhakrishna, K, K.Hanumantha Rao, C.Ravi, B.Sambi Reddy. 2006.
Estimation and Determinants of Chronic Poverty in India : An Alternative Approach.
Indira Gandhi Institute of Development Research Working Paper. Mumbai. October
Rangkuti, F. 1999. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Rodgers, Joan R. And John L.Rodgers. 2010. Chronic and Transitory
Poverty over the Life Cycle. Australian Journal of Labour Economics. Volume 13.
No.2
Ritonga, H dan F. Betke (2002). “Menuju Pendekatan Pemantauan
Kesejahteraan Rakyat yang Khas-Daerah dan Sayang Budaya. Laporan untuk Badan
Pusat Statistik dan Lembaga Kerjasama Teknis Jerman (GTZ)
Saaty, T.L. 1980. The Analytical Hierarchy Process. McGraw Hill Inc.
News York.
Soegijoko dan Kusbiantoro. 1997. Bunga Rampai Perencanaan
Pembangunan di Indonesia. Grasindo, Jakarta
Sumodiningrat, Gunawan. 1998. Membangun Perekonomian Rakyat.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Sumodiningrat, Gunawan. 1999. Pemberdayaan Masyarakat Dan JPS. PT
Gramedia, Jakarta
217
Tiwari, Meera. 2009. Poverty and Wellbeing at The Grassroots-How Much
is Visible to Researchers?. Soc.Indic.Res. 90:127-140. Springer.
Tjiptoheijanto, P. 1997. Migrasi, Urbanisasi dan Pasar Kerja di Indonesia.
UI-Press. Jakarta.
Yunus, Muhammad. 1998. Poverty Alleviation : Is Economics any
Help?Lessons from the Grameen Bank Experience. Journal of International Affairs.
52.1