25
STATIN MIOPATI Leonard Prawiharjo, A. Makbul Aman, Syakib Bakri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Pendahuluan 3-Hydroxy-3-methylglutaryl-coenzyme A (HMG-CoA) reductase inhibitor adalah sebuah penghambat reduktase atau dikenal sebagai statin, merupakan obat yang sering digunakan untuk menurunkan kolesterol low-density lipoprotein (LDL) dan dapat menurunkan kejadian kardiovaskuler hingga 20%-35%. Obat ini telah digunakan lebih dari 100 juta orang di seluruh dunia. Rekomendasi oleh the National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEPATP III) merekomendasikan penanganan agresif untuk menurunkan kadar kolesterol LDL (<70 mg/dL untuk pasien berisiko sangat tinggi), ini berarti statin akan lebih sering diresepkan. Hingga saat ini, ada delapan statin yang dikenal, dimulai dengan lovastatin pada tahun 1987, kemudian dalam 10 tahun setelahnya pravastatin, simvastatin, fluvastatin, atorvastatin, cerivastatin, dan rosuvastatin dikembangkan, dan yang terakhir adalah pitavastatin. Efek samping statin dapat melibatkan beberapa organ, seperti sistim saraf pusat, mata, muskuloskeletal, kulit, saluran cerna, hati, otoimun, sistim endokrin, rambut dan kulit, serta genitourinari. Pada awalnya, efek samping yang dianggap berbahaya adalah toksisitas terhadap hati dan katarak, sedangkan untuk kelainan muskular atau nyeri sering diabaikan. Oleh karenanya, pemeriksaan mata 1

Statin Miopati

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Endokrin Metabolik

Citation preview

Page 1: Statin Miopati

STATIN MIOPATI

Leonard Prawiharjo, A. Makbul Aman, Syakib Bakri

Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

3-Hydroxy-3-methylglutaryl-coenzyme A (HMG-CoA) reductase inhibitor adalah

sebuah penghambat reduktase atau dikenal sebagai statin, merupakan obat yang sering

digunakan untuk menurunkan kolesterol low-density lipoprotein (LDL) dan dapat

menurunkan kejadian kardiovaskuler hingga 20%-35%. Obat ini telah digunakan lebih dari

100 juta orang di seluruh dunia. Rekomendasi oleh the National Cholesterol Education

Program Adult Treatment Panel III (NCEPATP III) merekomendasikan penanganan agresif

untuk menurunkan kadar kolesterol LDL (<70 mg/dL untuk pasien berisiko sangat tinggi), ini

berarti statin akan lebih sering diresepkan.

Hingga saat ini, ada delapan statin yang dikenal, dimulai dengan lovastatin pada

tahun 1987, kemudian dalam 10 tahun setelahnya pravastatin, simvastatin, fluvastatin,

atorvastatin, cerivastatin, dan rosuvastatin dikembangkan, dan yang terakhir adalah

pitavastatin. Efek samping statin dapat melibatkan beberapa organ, seperti sistim saraf

pusat, mata, muskuloskeletal, kulit, saluran cerna, hati, otoimun, sistim endokrin, rambut

dan kulit, serta genitourinari. Pada awalnya, efek samping yang dianggap berbahaya adalah

toksisitas terhadap hati dan katarak, sedangkan untuk kelainan muskular atau nyeri sering

diabaikan. Oleh karenanya, pemeriksaan mata reguler dan uji fungsi hati dimasukkan dalam

pengujian obat awal untuk lovastatin, tetapi creatine kinase (CK) tidak dimasukkan. Akan

tetapi, miopati muncul sebagai efek samping potensial (2,6% pada dosis 20 mg/hari dan 3%

pada dosis 40 mg/hari) setelah obat tersebut dilepas ke pasaran, yang mengakibatkan

ditariknya cerivastatin dari pasaran pada tahun 2001 karena tingginya tingkat kejadian

rhabdomiolisis.1

Statin secara umum dapat ditoleransi dengan baik, tetapi beberapa pasien

mengeluhkan adanya gejala muskuler, termasuk mialgia, keram otot, kelemahan, dan pada

keadaan jarang rhabdomiolisis yang mengancam jiwa. Insiden gejala muskuler yang

dilaporkan pada pemberian statin berkisar dari 1%-25%. Karena jarang ditemukan, diagnosis

dari efek samping ini sering diabaikan pada praktek klinis. Kelainan muskuler ini walaupun

1

Page 2: Statin Miopati

kadang tidak berbahaya, namun keluhan yang ringan saja dapat mempengaruhi kualitas

hidup dan membuat penderita menghentikan pengobatan oleh statin.1

Ironisnya, karena kejadian miopati oleh statin langka serta dapat dicegah melalui

skrining maupun pengawasan ketat, risiko kejadian rhabdomiolisis diabaikan oleh

kebanyakan dokter yang meresepkan statin untuk pasien mereka. Sebaliknya, keluhan

muskuler, termasuk yang secara klinis ringan, yaitu nyeri non spesifik (dengan dan tanpa

adanya bukti kerusakan otot), merupakan efek samping yang sering ditemukan pada situasi

klinis.1

Walaupun insiden miopati akibat statin pada uji klinis lebih rendah dibandingkan

efikasinya, namun pada penggunaan di dunia nyata insidennya ternyata lebih tinggi.3

Inkonsistensi kejadian miopati ini telah banyak diteliti untuk menentukan insiden

sebenarnya dari efek samping statin ini. Akan tetapi, meskipun dalam penelitian telah

menggunakan creatine kinase (CK), nilai dari pemeriksaan ini terbatas karena patologi dari

miopati dapat terjadi pada keadaan aktivitas serum CK normal.4

Miopati akibat statin ini terkait dengan penghambatan langsung HMG-CoA

reduktase. Akan tetapi, miopati ini tidak hanya terkait oleh penurunan kadar kolesterol,

namun juga oleh penghambatan produk dari jalur mevalonate, seperti ubiquinone dan

isoprenoid lain.5

Beberapa literatur menyatakan bahwa statin yang bersifat lipofilik (simvastatin,

fluvastatin, atorvastatin, dan cerivastatin) memiliki efek samping miopati yang lebih tinggi

dibandingkan yang bersifat hidrofilik (pravastatin). Hal ini mungkin disebabkan oleh sistem

transpor berbeda, dimana statin yang bersifat lipofilik memiliki konsentrasi yang lebih tinggi

dalam otot.5

Biosintesis kolesterol dan isoprenoid

Penghambatan HMG-CoA reduktase oleh statin melibatkan sekitar 14 tahapan dan

pemutusan 9 hingga 10 reaksi enzimatik dalam pembentukan kolesterol. Asam mevalonat,

produk langsung dari HMG-CoA reduktase, merupakan prekursor penting untuk

pembentukan isoprenoid dan kolesterol. Dengan demikian, penghambatan dari jalur ini

akan menyebabkan konsekuensi pleiotropik metabolik. Prenylation merupakan elemen

fundamental dari modifikasi lipid post-transkripsi dari protein dan mempengaruhi fungsi

protein tersebut. Beberapa isoprenoid yang dihasilkan antara lain: (1) isopentiladenosin,

2

Page 3: Statin Miopati

yang dibutuhkan untuk transfer sintesis RNA; (2) dolichols, dibutuhkan untuk sintesis

glikoprotein; (3) heme A, komponen poliisoprenoid untuk rantai transpor elektron; dan (4)

ubiquinone, kofaktor polyisoprenylated quinoid dari rantai transpor elektron. Bentuk

predominan dari koenzim Q pada manusia adalah koenzim Q10, mengandung 10 unit

isoprenoid di ekornya. Kovalen tambahan, baik isoprenoid farnesyl maupun geranylgeranyl

akan menyimpan residu sistein dari protein regulator terminus-C yang penting untuk

interaksi protein dan membran terkait. Protein isoprenylated berperan penting dalam

migrasi dan proliferasi sel otot skeletal, serta pertumbuhan dan diferensiasi sel otot

skeletal.6

Gambar 1. Jalur biosintesa kolesterol7

Farmakologi Statin

Struktur kimia statin terdiri dari 2 komponen, farmakofor, yaitu segmen asam

dihidroksiheptanoic dan moitasnya berupa sistem cincin dengan substituen yang berbeda.

Fungsi dari farmakofor adalah menghambat enzim HMGCoA reduktase dengan cara

kompetisi, bergantung dosis, dan reversibel. Stereoselektivitas dari enzim HMG-CoA

reduktase mempengaruhi stereokimia dari statin, yang terdiri dari dua rantai karbon, C3

dan C5, pada farmakofornya. Moitas dari farmafor, sesuai dengan cincin sistem kimia dan

sifat dari substituennya, menghasilkan struktur berbeda dari statin. Sistem cincin

merupakan struktur kompleks hidrofobik, dimana kovalennya berhubungan dengan

3

Page 4: Statin Miopati

farmakofor, yang terlibat dalam ikatan dengan HMG-CoA reduktase. Ikatan cincin tersebut

dapat menurunkan kompetisi antara statin dan substrat HMG-CoA reduktase endogen

dengan menjaga statin tetap dekat dengan enzim tersebut sehingga mencega statin

digantikan dengan substrat endogen. Struktur dari cincin dapat berupa naftalen (lovastatin,

simvastatin, pravastatin), pirole (atorvastatin), indole (fluvastatin), pirimidin (rosuvastatin),

piridin (cerivastatin), atau kuinoline (pitavastatin). Substituen pada sistem cincin tersebut

menentukan solubilitas dari statin dan kemampuan farmakologinya. Substituen yang

berbeda akan menghasilkan struktur yang berbeda. Sebagai contoh, untuk cincin naftalen,

terletak pada kelompok CH3 dan 2-metilbutirat ester (lovastatin), atau 2,2-metilbutirat ester

(lovastatin), yang meningkatkan potensi obat tersebut.8

Gambar 2. Struktur kimia statin9

Secara umum, statin dapat dikelompokkan dalam dua tipe; tipe 1, statin yang berasal

dari jamur atau tipe alami (lovastatin, simvastatin, pravastatin), menunjukkan homologi

struktural yang serupa; dan tipe 2 yang terdiri dari statin sintetik. Statin tipe 1 awalnya

dikenal sebagai metabolit sekunder dari jamur. Perbedaan fungsional antara statin alami

dan sintetik terletak pada kemampuan mereka untuk berinteraksi dan menghambat HMG-

CoA reduktase dan lipofilisitasnya. Statin tipe 2 diketahui lebih berinteraksi terhadap HMG-

CoA reduktase karena karakteristik struktural mereka, sebagai contoh, atorvastatin dan

rosuvastatin memiliki interaksi pengikatan hidrogen tambahan.8

4

Page 5: Statin Miopati

Statin merupakan obat ampifilik. Mereka memasuki sel dalam 2 cara, yaitu secara

langsung melalui interaksi membran pada agen-agen lipofilik (simvastatin, fluvastatin,

atorvastatin) maupun melalui carrier proteins pada agen-agen hidrofilik (pravastatin dan

rosuvastatin).9 Statin hidrofilik secara aktif ditranspor ke dalam hepatosit, sedangkan statin

lipofilik ditranspor secara non-selektif ke dalam jaringan ekstrahepatik seperti otot.5

Absorpsi statin pada saluran cerna bervariasi, berkisar 30%-85%. Kebanyakan statin

(kecuali pravastatin, dan rosuvastatin) mengalami metabolisme first pass di hati, dimana

bioavailabilitas sistemik menurun hingga 5-30% dari dosis yang diberikan. Kebanyakan

metabolit bersifat aktif, kecuali pravastatin dan fluvastatin. Dalam hati, statin dihidrolisasi

menjadi bentuk asam secara kimiawi atau enzimatik oleh esterase atau paraoksonase.

Bentuk asam tersebut kemudian dikonversi menjadi lakton melalui jalur CoA dan melalui

glukuronidasi oleh UDP-glucuronosyl transferase (UGT). Baik turunan acyl glucuronide

maupun acyl CoA dapat kembali menjadi bentuk asam statin melalui hidrolisis. Sebagai

tambahan, apabila bentuk asam dari statin dikeluarkan dari tubuh oleh proses β-oksidasi

dan glukuronidasi, maka bentuk lakton dari statin dioksidasi secara cepat melalui sitokrom

P450.

Tabel 1. Perbedaan sifat dari beberapa statin5

5

Page 6: Statin Miopati

Mekanisme kerja statin.

Statin menurunkan kolesterol dengan secara selektif menghambat enzim HMG-CoA

reduktase, membatasi biosintesis kolesterol, dan menurunkan konsentrasi kolesterol hepar.

Hal tersebut akan meningkatkan ekspresi reseptor LDL pada membran sel hati, menurunkan

partikel kolesterol yang beredar dalam darah. Pada pasien dengan hiperlipidemia, statin

akan menurunkan produksi apo B100 di hati yang mengandung lipoprotein, yang pada

akhirnya menurunkan konsentrasi kolesterol dan trigliserida.9

Statin bekerja pada hepatosit dan menghambat HMG-CoA reduktase, enzim yang

mengubah HMG-CoA menjadi asam mevalonat, prekursor dari kolesterol. Statin tidak hanya

berkompetisi dengan enzim tersebut, statin juga mengubah conformasi dari enzim tersebut

ketika mereka berikatan dengan situs aktifnya. Hal ini mencegah HMG-CoA reduktase untuk

mempertahankan bentuk fungsionalnya. Perubahan pada conformasi tersebut membuat

statin sangat efektif dan spesifik. Ikatan statin dengan HMG-CoA reduktase bersifat

reversibel, dan afinitas mereka untuk enzim tersebut berada pada kisaran nanomolar,

dimana substrat alaminya memiliki afinitas mikromolar. Penghambatan dari HMG-CoA

reduktase menentukan penurunan dari kolesterol intrasel, menginduksi aktivasi dari

protease yang memisahkan sterol regulatory element binding proteins (SREBPs) dari

retikulum endoplasma. Sterol regulatory element binding proteins (SREBPs) terletak pada

tingkat nukleus, dimana mereka akan meningkatkan ekspresi gen untuk reseptor LDL.

Berkurangnya kolesterol pada hepatosit akan menyebabkan peningkatan dari reseptor LDL

hepatik, yang menentukan penurunan LDL dalam sirkulasi dan prekursornya ( intermediate

density – IDL dan very low density – VLDL lipoprotein). Semua statin akan menurunkan

kolesterol LDL secara non-linear, tergantung dosis, dan setelah pemberian dosis tunggal

harian. Efikasi terhadap penurunan trigliserida paralel terhadap penurunan koleseterol

LDL.10

6

Page 7: Statin Miopati

Gambar 3. Mekanisme kerja statin11

Efek samping statin

Secara umum statin dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang paling penting

adalah toksisitas hati dan otot (miopati). Miopati dapat terjadi jika penghambat sitokrom

P450 atau penghambat metabolisme statin yang lain diberikan bersamaan dengan statin,

yang akan meningkatkan konsentrasi statin dalam darah.10

Intoleransi statin dapat sebagai intoleransi sempurna (intoleransi terhadap setiap

dosis dari statin manapun) atau parsial (toleransi hanya terhadap dosis rendah dari

beberapa statin). Hampir semua sistem tubuh dapat dipengaruhi oleh intoleransi statin

(tabel 1).12

7

Page 8: Statin Miopati

Tabel 2. Pengaruh intoleransi statin terhadap tubuh12

Miopati akibat statin

Definisi

Nomenklatur yang digunakan untuk mendeskripsikan miotoksisitas masih

inkonsisten, dimana hal ini dapat menyebabkan terjadinya klasifikasi heterogen dari lesi

muskuloskeletal terkait statin yang mengakibatkan perbedaan data laporan mengenai

tingkat keamanan dari statin. Setelah penarikan dari cerivastatin dari pasaran pada tahun

2001, maka beberapa tipe dari miotoksisitas diklasifikasikan sebagai berikut:13

1. Miopati, merupakan istilah umum merujuk ke semua penyakit otot; bisa yang

didapat maupun turunan; dan bisa terjadi saat lahir atau kapan pun setelahnya.

2. Mialgia, merujuk ke nyeri atau kelemahan otot tanpa peningkatan kadar CK.

3. Miositis, gejala-gejala otot dengan peningkatan kadar CK.

4. Rhabdomiolisis, gejala-gejala otot dengan peningkatan CK bermakna, biasanya lebih

dari 10 kali nilai batas atas normal dan juga adanya mioglobin ruin atau riwayat urin

berwarna coklat.

8

Page 9: Statin Miopati

Tabel 3. Klasifikasi miopati akibat statin11

Insiden

Penelitian oleh Prediction of Muscular Risk in Observational conditions (PRIMO)

(2005)14 di Perancis yang melibatkan 7924 pasien yang diberikan statin dosis tinggi,

menemukan insiden kejadian miopati pada 10,5% pasien. Dalam penelitian ini, kebanyakan

episode miopati terjadi dalam 1 bulan setelah memulai atau menaikkan dosis statin atau

dengan menambahkan obat-obat yang berinteraksi.

Tabel 4. Beberapa penelitian terhadap insiden miopati statin. (dikutip dari kepustakaan 4 )

Faktor risiko

Beberapa faktor risiko telah dikenali untuk miopati akibat statin, termasuk dosis

tinggi, usia tua, jenis kelamin wanita, bentuk tubuh kecil, penyakit multisistem seperti

diabetes, penyakit yang mempengaruhi hati dan ginjal, dan poli-farmasi. Faktor genetik juga

sangat mungkin berperan untuk beberapa individu.12

9

Page 10: Statin Miopati

Tabel 5. Faktor-faktor yang meningkatkan risiko miopati akibat statin12

Selain faktor-faktor tersebut di atas, sifat ampifilik dari statin juga berpengaruh

terhadap kejadian miopati. Pada penelitian PRIMO, statin hidrofilik (pravastatin) memiliki

insiden miopati yang rendah, dimana simvastatin, yang paling bersifat lipofilik, memiliki

insiden miopati yang tinggi.14

Penelitian terkini mengindikasikan bahwa rosuvastatin, statin yang paling bersifat

hidrofilik, dapat ditoleransi dengan baik oleh mereka yang memiliki intoleransi terhadap

statin lain.3

10

Page 11: Statin Miopati

Gambar 4. Efikasi dan toksisitas dari beberapa statin (dikutip dari kepustakaan 3 )

Patofisiologi

Mekanisme terjadinya miopati akibat statin belum sepenuhnya dipahami, tetapi

beberapa teori telah diajukan mengenai penghambat jalur biosintetik oleh statin.

1. Penghambatan sintesis kolesterol akan menurunkan kandungan kolesterol dalam

membran sel otot skeletal, sehingga membuat otot tersebut tidak stabil. Konsep ini

didukung oleh observasi lesi otot dengan penggunaan clofibrat dan niacin. Menghambat

sintesis kolesterol dengan penghambat squalene synthase tidak menyebabkan terjadinya

miotoksisitas secara in vitro, yang mengindikasikan bahwa ada substrate lain yang dihasilkan

oleh aktivitas HMG-CoA reduktase yang bertanggung jawab.15

2. Penurunan kadar isoprenoid, seperti ubiquinone (coenzim 10), atau protein

regulator, bertanggung jawab untuk terjadinya lesi otot. Statin akan menghambat produksi

dari farnesyl pyrophosphate, merupakan perantara untuk pembentukan ubiquinone yang

diperlukan untuk mengaktivasi small guanosine triphosphate (GTP)-binding regulatory

proteins. Ubiquinone merupakan isoprenoid steroid yang berperan dalam transpor elektron

pada fosforilasi oksidatif dalam mitokondria. Ubiquinone larut dalam lemak, dan sekitar 50%

diperoleh dari lemak, dimana 50% lainnya dihasilkan oleh sintesis endogen. Kadar serum

11

Page 12: Statin Miopati

ubiquinone menurun pada pemberian statin. Hal ini terjadi karena ubiquinone ditranspor

dalam partikel LDL yang menurun pada pemberian statin.

Gambar 5. Mekanisme molekuler miopati akibat statin16

Ditemukan juga beberapa bukti yang mendukung peran dari penurunan kadar

ubiquinone terhadap kejadian miopati akibat statin. Rasio laktat terhadap piruvat lebih

tinggi pada pasien-pasien yang mendapatkan statin, mengindikasikan adanya pergeseran

menuju metabolisme anaerob dan kemungkinan adanya disfungsi mitokondria. Disfungsi

mitokondria telah dibuktikan oleh penelitian biopsi terhadap individu dengan keluhan otot

tanpa peningkatan CK. Defisiensi ubiquinone telah didokumentasikan pada beberapa bentuk

ensefalopati kongenital, yang memberi respon terhadap terapi quinone.15

3. Penurunan dari small GTP-binding proteins berperan dalam miotoksisitas statin.

Baik pravastatin dan lovastatin menurunkan sintesis protein pada miosit tikus. Efek ini dapat

dibalikkan dengan pemberian farnesol dan geranylgeraniol, dimana penggantian statin

dengan squalene synthase inhibitor hanya meminimalkan sitotoksisitas tersebut. Hasil ini

mengindikasikan bahwa menurunnya metabolit mevalonat (farnesol dan geranylgeraniol),

bukannya kolesterol, yang berperan dalam miotoksisitas statin.15

Farnesyl dan geranylgeranyl pyrophosphate mengaktivasi protein regulator tertentu

melalui prenylation, penambahan struktur karbon spesifik ke sebuah protein. Protein

regulator penting yang diaktivasi oleh prenylation adalah small-GTB binding proteins, seperti

Ras, Rac, dan Rho, yang meningkatkan pemeliharaan dan pertumbuhan sel serta

12

Page 13: Statin Miopati

menurunkan apoptosis. Menghambat produksi dari farnesyl pyrophosphate akan

mengakibatkan prenylation dari small-GTB binding proteins, yang selanjutnya akan

menghambat kerja mereka. Apoptosis merupakan mekanisme yang dirancang untuk

membantu remodeling dan mempertahankan struktur jaringan. Ketika diaktivasi secara

abnormal, apoptosis dapat menyebabkan terjadinya kondisi patologi.

Atorvastatin, lovastatin, dan simvastatin menyebabkan peningkatan apoptosis yang

tergantung dosis terhadap vascular smooth muscle cells (VSMCs). Efek ini dapat dibalikkan

dengan mevalonate, farnesyl pyrophosphate, dan geranylgeranyl pyrophosphate, tetapi

tidak oleh ubiquinone dan penghambat squalene. Apoptosis yang disebabkan oleh statin

dapat menurunkan plak aterosklerosis dengan menurunkan proliferasi VSMC, tetapi

apoptosis pada sel-sel otot skeletal dapat menyebabkan kerusakan otot. Lesi otot skeletal

yang diinduksi oleh statin yang melibatkan inhibisi dari jalur yang mengaktivasi GTP dapat

menjelaskan mengapa olahraga dapat mengaburkan efek negatif dari statin terhadap otot

pada beberapa pasien. Olahraga dapat mengaktivasi jalur sinyal, terutama jalur protein

kinase yang diaktivasi mitogen yang penting untuk otot skeletal. Jalur-jalur ini diregulasi oleh

GTP-binding proteins. Oleh karena itu, statin dapat mengganggu kemampuan otot untuk

berespon dan pulih dari olahraga fisik, yang menghasilkan kerusakan otot.15

4. Mekanisme autoimun juga telah dihipotesiskan. Hal ini didukung oleh fakta bahwa

beberapa penyakit autoimun seperti polimiositis, lupus dan miastenia gravis dapat

diperberat oleh statin. Statin juga terbukti dapat menyebabkan aktivasi dari limfosit T

bergantung MHC-II. Statin juga diketahui menyebabkan miopati nekrosis berat yang

memerlukan penanganan dengan imunosupresif.

Manifestasi klinis

Nyeri otot non-spesifik dan kelemahan otot adalah gejala yang sering ditemukan

dibandingkan rhabdomyolisis atau miopati lain, dimana mialgia didapatkan pada sekitara

25% efek samping terkait penggunaan statin. Insiden dari keluhan nyeri otot atau sendi non-

spesifik tanpa kenaikan kadar CK adalah 5%. Gejala-gejala otot dan kadar CK yang tinggi

dapat bertahan lama bahkan setelah penghentian dari statin. Beberapa pasien tidak

mengalami gejala hingga hampir 4 tahun setelah memulai terapi statin, dan yang lain

memerlukan 14 bulan setelah penghentian statin untuk mengalami perbaikan gejala klinis.13

13

Page 14: Statin Miopati

Penanganan

Pasien-pasien dengan miopati yang masih dapat ditoleransi, atau dengan kadar CK

<10 kali nilai batas atas normal disarankan untuk tetap melanjutkan terapi statin dengan

dosis yang sama atau dikurangi. Dalam uji klinis, kadar CK <10 kali nilai batas atas normal

tidak dianggap bermakna karena juga dapat disebabkan oleh olahraga ataupun trauma

minor. Pendekatan konservatif adalah dengan menghentikan terapi statin pada pasien

dengan kadar CK antara 3-10 kali nilai batas atas normal, dan menunggu penurunan kadar

CK hingga normal sebelum memulai kembali terapi statin. Bila gejala-gejala kembali setelah

pemulaan kembali statin, maka dapat dicoba pemberian statin lain dengan dosis rendah,

dengan peningkatan dosis secara bertahap sesuai toleransi. Dapat juga dipertimbangkan

pemberian agenagen penurun kolesterol LDL non-statin seperti asam nikotinik, ezetimibe,

dan bile acid sequesterants. Fibrate juga dapat memperberat miopati, terutama pada pasien

yang sebelumnya intoleran terhadap statin.12

Koenzim Q10 merupakan komponen esensial untuk rantai transpor elektron, yang

bertanggung jawab untuk menghasilkan ATP dalam mitokondria berkontribusi terhadap

energi yang dibutuhkan untuk kontraksi otot. Kadar koenzim Q10 plasma menurun dengan

pemberian statin. Berbagai penelitian memiliki hasil kontradiksi mengenai peran suplemen

koenzim Q10 dalam pencegahan dan penanganan miopati akibat statin. Littlefield dkk

(2013)18 melakukan meta-analisis terhadap 29 penelitian, termasuk penelitian clinical trials,

open studies, meta-analysis, dan randomized conrol trials (RCTs) dan menyimpulkan bahwa

suplementasi CoQ10 bisa bermanfaat pada pasien dengan miopati statin dengan dosis

antara 30 dan 200 mg per hari. Akan tetapi, Banach dkk (2015)19 melakukan meta-analisis

untuk mengevaluasi efikasi dari suplemen koenzim Q10 terhadap miopati akibat statin dan

menemukan bahwa dari data penelitian acak dengan kontrol sejak tahun 1987-2014, tidak

ada manfaat signifikan dari suplementasi koenzim Q10 dalam penanganan miopati.

14

Page 15: Statin Miopati

Gambar 6. Algoritme penanganan miopati akibat statin.7

Ringkasan

Statin merupakan obat yang dipakai untuk menurunkan kadar kolesterol LDL. Efek

samping statin dapat melibatkan beberapa organ, seperti sistim saraf pusat, mata,

genitourinari, kulit, saluran cerna, hati, otoimun, sistim endokrin, rambut dan kulit, serta

muskuloskeletal. Efek samping muskuloskeletal disebut sebagai miopati dengan manifestasi

klinis yang bervariasi, mulai dari mialgia, miositis sampai dengan rhabdomiolisis yang dapat

mengancam jiwa pasien. Insiden miopati yang dilaporkan pada pemberian statin berkisar

dari 1%-25%. Miopati akibat statin ini terkait dengan penghambatan langsung HMG-CoA

15

Page 16: Statin Miopati

reduktase, dimana tidak hanya terkait oleh penurunan kadar kolesterol, namun juga oleh

penghambatan produk dari jalur mevalonate, seperti ubiquinone dan isoprenoid lain. Statin

yang bersifat lipofilik (simvastatin, fluvastatin, atorvastatin, dan cerivastatin) memiliki efek

samping miopati yang lebih tinggi dibandingkan yang bersifat hidrofilik (pravastatin). Hal ini

mungkin disebabkan oleh sistem transpor berbeda, dimana statin yang bersifat lipofilik

memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dalam otot. Pengobatan adalah menghentikan statin

dan pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian Coenzim Q10, walaupun saat ini masih

bersifat kontroversi.

16

Page 17: Statin Miopati

Daftar Pustaka

1. Sewright KA, Clarkson PM, Thompson PD. Statin myopathy: incidence, risk factors, and pathophysiology. Curr. Atheroscler. Rep. 2007;9:389-396

2. Parker BA, Capizzi JA, Grimaldi AS, et al. Effect of statins on skeletal muscle function. Circulation. 2013;127:96-103

3. Fernandez G, Spatz ES, Jablecki C, et al. Statin myopathy: a common dilemma not reflected in clinical trials. Cleve. Clin. J. Med. 2011;79:393-403

4. Whayne TF. Statin myopathy: significant problem with minimal awareness by clinicians and no emphasis by clinical investigator. Angiology. 2011;62:415-521

5. Bitzur R, Cohen H, Kamari Y, et al. Intolerance to statins: mechanisms and managemen. Diabetes Care. 2013;36:325-330

6. Baker SK, Tranopolsky MA. Statin myopathies: pathopysiologic and clinical perspective. Clin. Invest. Med. 2001;24:259-272

7. Abd TT, Jacobson TA. Statin-induced myopathy: a review and update. Expert Opin. Drug. Saf. 2011;10:373-387

8. Gazzero P, Proto MC, Gangemi G, et al. Pharmacological actions of statins: a critical appraisal in the management of cancer. Pharmacol. Rev. 2012;64:102-146

9. Sirtori CR. The pharmacology of statins. Pharmacol. Res. 2014;88:3-1110. Stancu C, Sima A. Statins: mechanism of action and effects. J. Cell. Mol. Med. 2001;5:378-38711. Joy TR, Hegele RA. Narrative review: statin-related myopathy. Ann. Intern. Med.

2009;150:858-86812. Hamilton-Craig I. Managing myopahty in the statin-intolerant patient. Cardiology Today.

2012;2:15-1913. Christopher-Stine L. Statin myopathy: an update. Curr. Opin. Rheumatol. 2006;18:647-65314. Bruckert E, Hayem G, Dejager S, et al. Mild to moderate muscular symptoms with high-

dosage statin therapy in hyperlipidemic patients - the PRIMO study. Cardiovasc. Drugs Ther. 2006;19:403-414

15. Thompson PD, Clarkson P, karas RH. Statin-associated myopathy. JAMA. 2003;289:1681-1690

16. Norata GD, Tibolla G, Catapano AL. Statins and skeletal muscles toxicity: from clinical trials to everyday practice. Pharmacol. Res. 2014;88:107-113

17. Albayda J, Christopher-Stine L. Identifying statin-associated autoimmune necrotizing myopathy. Cleve. Clin. J. Med. 2014;81:736-741

18. Littlefield N, Beckstrand RL, Luthy KE. Statin's effect on plasma levels of coenzyme Q10 and improvement in myopathy with supplementation. J. Am. Assoc. Nurse Pract. 2013;26:85-90

19. Banach M, Serban C, Sahebkar A, et al. Effects of coenzyme Q10 on statin-induced myopathy: a meta-analysis of randomized controlled trial. Mayo Clin. Proc. 2015;90:24-34

17