Upload
leonard-prawiharjo
View
57
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Endokrin Metabolik
Citation preview
STATIN MIOPATI
Leonard Prawiharjo, A. Makbul Aman, Syakib Bakri
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
3-Hydroxy-3-methylglutaryl-coenzyme A (HMG-CoA) reductase inhibitor adalah
sebuah penghambat reduktase atau dikenal sebagai statin, merupakan obat yang sering
digunakan untuk menurunkan kolesterol low-density lipoprotein (LDL) dan dapat
menurunkan kejadian kardiovaskuler hingga 20%-35%. Obat ini telah digunakan lebih dari
100 juta orang di seluruh dunia. Rekomendasi oleh the National Cholesterol Education
Program Adult Treatment Panel III (NCEPATP III) merekomendasikan penanganan agresif
untuk menurunkan kadar kolesterol LDL (<70 mg/dL untuk pasien berisiko sangat tinggi), ini
berarti statin akan lebih sering diresepkan.
Hingga saat ini, ada delapan statin yang dikenal, dimulai dengan lovastatin pada
tahun 1987, kemudian dalam 10 tahun setelahnya pravastatin, simvastatin, fluvastatin,
atorvastatin, cerivastatin, dan rosuvastatin dikembangkan, dan yang terakhir adalah
pitavastatin. Efek samping statin dapat melibatkan beberapa organ, seperti sistim saraf
pusat, mata, muskuloskeletal, kulit, saluran cerna, hati, otoimun, sistim endokrin, rambut
dan kulit, serta genitourinari. Pada awalnya, efek samping yang dianggap berbahaya adalah
toksisitas terhadap hati dan katarak, sedangkan untuk kelainan muskular atau nyeri sering
diabaikan. Oleh karenanya, pemeriksaan mata reguler dan uji fungsi hati dimasukkan dalam
pengujian obat awal untuk lovastatin, tetapi creatine kinase (CK) tidak dimasukkan. Akan
tetapi, miopati muncul sebagai efek samping potensial (2,6% pada dosis 20 mg/hari dan 3%
pada dosis 40 mg/hari) setelah obat tersebut dilepas ke pasaran, yang mengakibatkan
ditariknya cerivastatin dari pasaran pada tahun 2001 karena tingginya tingkat kejadian
rhabdomiolisis.1
Statin secara umum dapat ditoleransi dengan baik, tetapi beberapa pasien
mengeluhkan adanya gejala muskuler, termasuk mialgia, keram otot, kelemahan, dan pada
keadaan jarang rhabdomiolisis yang mengancam jiwa. Insiden gejala muskuler yang
dilaporkan pada pemberian statin berkisar dari 1%-25%. Karena jarang ditemukan, diagnosis
dari efek samping ini sering diabaikan pada praktek klinis. Kelainan muskuler ini walaupun
1
kadang tidak berbahaya, namun keluhan yang ringan saja dapat mempengaruhi kualitas
hidup dan membuat penderita menghentikan pengobatan oleh statin.1
Ironisnya, karena kejadian miopati oleh statin langka serta dapat dicegah melalui
skrining maupun pengawasan ketat, risiko kejadian rhabdomiolisis diabaikan oleh
kebanyakan dokter yang meresepkan statin untuk pasien mereka. Sebaliknya, keluhan
muskuler, termasuk yang secara klinis ringan, yaitu nyeri non spesifik (dengan dan tanpa
adanya bukti kerusakan otot), merupakan efek samping yang sering ditemukan pada situasi
klinis.1
Walaupun insiden miopati akibat statin pada uji klinis lebih rendah dibandingkan
efikasinya, namun pada penggunaan di dunia nyata insidennya ternyata lebih tinggi.3
Inkonsistensi kejadian miopati ini telah banyak diteliti untuk menentukan insiden
sebenarnya dari efek samping statin ini. Akan tetapi, meskipun dalam penelitian telah
menggunakan creatine kinase (CK), nilai dari pemeriksaan ini terbatas karena patologi dari
miopati dapat terjadi pada keadaan aktivitas serum CK normal.4
Miopati akibat statin ini terkait dengan penghambatan langsung HMG-CoA
reduktase. Akan tetapi, miopati ini tidak hanya terkait oleh penurunan kadar kolesterol,
namun juga oleh penghambatan produk dari jalur mevalonate, seperti ubiquinone dan
isoprenoid lain.5
Beberapa literatur menyatakan bahwa statin yang bersifat lipofilik (simvastatin,
fluvastatin, atorvastatin, dan cerivastatin) memiliki efek samping miopati yang lebih tinggi
dibandingkan yang bersifat hidrofilik (pravastatin). Hal ini mungkin disebabkan oleh sistem
transpor berbeda, dimana statin yang bersifat lipofilik memiliki konsentrasi yang lebih tinggi
dalam otot.5
Biosintesis kolesterol dan isoprenoid
Penghambatan HMG-CoA reduktase oleh statin melibatkan sekitar 14 tahapan dan
pemutusan 9 hingga 10 reaksi enzimatik dalam pembentukan kolesterol. Asam mevalonat,
produk langsung dari HMG-CoA reduktase, merupakan prekursor penting untuk
pembentukan isoprenoid dan kolesterol. Dengan demikian, penghambatan dari jalur ini
akan menyebabkan konsekuensi pleiotropik metabolik. Prenylation merupakan elemen
fundamental dari modifikasi lipid post-transkripsi dari protein dan mempengaruhi fungsi
protein tersebut. Beberapa isoprenoid yang dihasilkan antara lain: (1) isopentiladenosin,
2
yang dibutuhkan untuk transfer sintesis RNA; (2) dolichols, dibutuhkan untuk sintesis
glikoprotein; (3) heme A, komponen poliisoprenoid untuk rantai transpor elektron; dan (4)
ubiquinone, kofaktor polyisoprenylated quinoid dari rantai transpor elektron. Bentuk
predominan dari koenzim Q pada manusia adalah koenzim Q10, mengandung 10 unit
isoprenoid di ekornya. Kovalen tambahan, baik isoprenoid farnesyl maupun geranylgeranyl
akan menyimpan residu sistein dari protein regulator terminus-C yang penting untuk
interaksi protein dan membran terkait. Protein isoprenylated berperan penting dalam
migrasi dan proliferasi sel otot skeletal, serta pertumbuhan dan diferensiasi sel otot
skeletal.6
Gambar 1. Jalur biosintesa kolesterol7
Farmakologi Statin
Struktur kimia statin terdiri dari 2 komponen, farmakofor, yaitu segmen asam
dihidroksiheptanoic dan moitasnya berupa sistem cincin dengan substituen yang berbeda.
Fungsi dari farmakofor adalah menghambat enzim HMGCoA reduktase dengan cara
kompetisi, bergantung dosis, dan reversibel. Stereoselektivitas dari enzim HMG-CoA
reduktase mempengaruhi stereokimia dari statin, yang terdiri dari dua rantai karbon, C3
dan C5, pada farmakofornya. Moitas dari farmafor, sesuai dengan cincin sistem kimia dan
sifat dari substituennya, menghasilkan struktur berbeda dari statin. Sistem cincin
merupakan struktur kompleks hidrofobik, dimana kovalennya berhubungan dengan
3
farmakofor, yang terlibat dalam ikatan dengan HMG-CoA reduktase. Ikatan cincin tersebut
dapat menurunkan kompetisi antara statin dan substrat HMG-CoA reduktase endogen
dengan menjaga statin tetap dekat dengan enzim tersebut sehingga mencega statin
digantikan dengan substrat endogen. Struktur dari cincin dapat berupa naftalen (lovastatin,
simvastatin, pravastatin), pirole (atorvastatin), indole (fluvastatin), pirimidin (rosuvastatin),
piridin (cerivastatin), atau kuinoline (pitavastatin). Substituen pada sistem cincin tersebut
menentukan solubilitas dari statin dan kemampuan farmakologinya. Substituen yang
berbeda akan menghasilkan struktur yang berbeda. Sebagai contoh, untuk cincin naftalen,
terletak pada kelompok CH3 dan 2-metilbutirat ester (lovastatin), atau 2,2-metilbutirat ester
(lovastatin), yang meningkatkan potensi obat tersebut.8
Gambar 2. Struktur kimia statin9
Secara umum, statin dapat dikelompokkan dalam dua tipe; tipe 1, statin yang berasal
dari jamur atau tipe alami (lovastatin, simvastatin, pravastatin), menunjukkan homologi
struktural yang serupa; dan tipe 2 yang terdiri dari statin sintetik. Statin tipe 1 awalnya
dikenal sebagai metabolit sekunder dari jamur. Perbedaan fungsional antara statin alami
dan sintetik terletak pada kemampuan mereka untuk berinteraksi dan menghambat HMG-
CoA reduktase dan lipofilisitasnya. Statin tipe 2 diketahui lebih berinteraksi terhadap HMG-
CoA reduktase karena karakteristik struktural mereka, sebagai contoh, atorvastatin dan
rosuvastatin memiliki interaksi pengikatan hidrogen tambahan.8
4
Statin merupakan obat ampifilik. Mereka memasuki sel dalam 2 cara, yaitu secara
langsung melalui interaksi membran pada agen-agen lipofilik (simvastatin, fluvastatin,
atorvastatin) maupun melalui carrier proteins pada agen-agen hidrofilik (pravastatin dan
rosuvastatin).9 Statin hidrofilik secara aktif ditranspor ke dalam hepatosit, sedangkan statin
lipofilik ditranspor secara non-selektif ke dalam jaringan ekstrahepatik seperti otot.5
Absorpsi statin pada saluran cerna bervariasi, berkisar 30%-85%. Kebanyakan statin
(kecuali pravastatin, dan rosuvastatin) mengalami metabolisme first pass di hati, dimana
bioavailabilitas sistemik menurun hingga 5-30% dari dosis yang diberikan. Kebanyakan
metabolit bersifat aktif, kecuali pravastatin dan fluvastatin. Dalam hati, statin dihidrolisasi
menjadi bentuk asam secara kimiawi atau enzimatik oleh esterase atau paraoksonase.
Bentuk asam tersebut kemudian dikonversi menjadi lakton melalui jalur CoA dan melalui
glukuronidasi oleh UDP-glucuronosyl transferase (UGT). Baik turunan acyl glucuronide
maupun acyl CoA dapat kembali menjadi bentuk asam statin melalui hidrolisis. Sebagai
tambahan, apabila bentuk asam dari statin dikeluarkan dari tubuh oleh proses β-oksidasi
dan glukuronidasi, maka bentuk lakton dari statin dioksidasi secara cepat melalui sitokrom
P450.
Tabel 1. Perbedaan sifat dari beberapa statin5
5
Mekanisme kerja statin.
Statin menurunkan kolesterol dengan secara selektif menghambat enzim HMG-CoA
reduktase, membatasi biosintesis kolesterol, dan menurunkan konsentrasi kolesterol hepar.
Hal tersebut akan meningkatkan ekspresi reseptor LDL pada membran sel hati, menurunkan
partikel kolesterol yang beredar dalam darah. Pada pasien dengan hiperlipidemia, statin
akan menurunkan produksi apo B100 di hati yang mengandung lipoprotein, yang pada
akhirnya menurunkan konsentrasi kolesterol dan trigliserida.9
Statin bekerja pada hepatosit dan menghambat HMG-CoA reduktase, enzim yang
mengubah HMG-CoA menjadi asam mevalonat, prekursor dari kolesterol. Statin tidak hanya
berkompetisi dengan enzim tersebut, statin juga mengubah conformasi dari enzim tersebut
ketika mereka berikatan dengan situs aktifnya. Hal ini mencegah HMG-CoA reduktase untuk
mempertahankan bentuk fungsionalnya. Perubahan pada conformasi tersebut membuat
statin sangat efektif dan spesifik. Ikatan statin dengan HMG-CoA reduktase bersifat
reversibel, dan afinitas mereka untuk enzim tersebut berada pada kisaran nanomolar,
dimana substrat alaminya memiliki afinitas mikromolar. Penghambatan dari HMG-CoA
reduktase menentukan penurunan dari kolesterol intrasel, menginduksi aktivasi dari
protease yang memisahkan sterol regulatory element binding proteins (SREBPs) dari
retikulum endoplasma. Sterol regulatory element binding proteins (SREBPs) terletak pada
tingkat nukleus, dimana mereka akan meningkatkan ekspresi gen untuk reseptor LDL.
Berkurangnya kolesterol pada hepatosit akan menyebabkan peningkatan dari reseptor LDL
hepatik, yang menentukan penurunan LDL dalam sirkulasi dan prekursornya ( intermediate
density – IDL dan very low density – VLDL lipoprotein). Semua statin akan menurunkan
kolesterol LDL secara non-linear, tergantung dosis, dan setelah pemberian dosis tunggal
harian. Efikasi terhadap penurunan trigliserida paralel terhadap penurunan koleseterol
LDL.10
6
Gambar 3. Mekanisme kerja statin11
Efek samping statin
Secara umum statin dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang paling penting
adalah toksisitas hati dan otot (miopati). Miopati dapat terjadi jika penghambat sitokrom
P450 atau penghambat metabolisme statin yang lain diberikan bersamaan dengan statin,
yang akan meningkatkan konsentrasi statin dalam darah.10
Intoleransi statin dapat sebagai intoleransi sempurna (intoleransi terhadap setiap
dosis dari statin manapun) atau parsial (toleransi hanya terhadap dosis rendah dari
beberapa statin). Hampir semua sistem tubuh dapat dipengaruhi oleh intoleransi statin
(tabel 1).12
7
Tabel 2. Pengaruh intoleransi statin terhadap tubuh12
Miopati akibat statin
Definisi
Nomenklatur yang digunakan untuk mendeskripsikan miotoksisitas masih
inkonsisten, dimana hal ini dapat menyebabkan terjadinya klasifikasi heterogen dari lesi
muskuloskeletal terkait statin yang mengakibatkan perbedaan data laporan mengenai
tingkat keamanan dari statin. Setelah penarikan dari cerivastatin dari pasaran pada tahun
2001, maka beberapa tipe dari miotoksisitas diklasifikasikan sebagai berikut:13
1. Miopati, merupakan istilah umum merujuk ke semua penyakit otot; bisa yang
didapat maupun turunan; dan bisa terjadi saat lahir atau kapan pun setelahnya.
2. Mialgia, merujuk ke nyeri atau kelemahan otot tanpa peningkatan kadar CK.
3. Miositis, gejala-gejala otot dengan peningkatan kadar CK.
4. Rhabdomiolisis, gejala-gejala otot dengan peningkatan CK bermakna, biasanya lebih
dari 10 kali nilai batas atas normal dan juga adanya mioglobin ruin atau riwayat urin
berwarna coklat.
8
Tabel 3. Klasifikasi miopati akibat statin11
Insiden
Penelitian oleh Prediction of Muscular Risk in Observational conditions (PRIMO)
(2005)14 di Perancis yang melibatkan 7924 pasien yang diberikan statin dosis tinggi,
menemukan insiden kejadian miopati pada 10,5% pasien. Dalam penelitian ini, kebanyakan
episode miopati terjadi dalam 1 bulan setelah memulai atau menaikkan dosis statin atau
dengan menambahkan obat-obat yang berinteraksi.
Tabel 4. Beberapa penelitian terhadap insiden miopati statin. (dikutip dari kepustakaan 4 )
Faktor risiko
Beberapa faktor risiko telah dikenali untuk miopati akibat statin, termasuk dosis
tinggi, usia tua, jenis kelamin wanita, bentuk tubuh kecil, penyakit multisistem seperti
diabetes, penyakit yang mempengaruhi hati dan ginjal, dan poli-farmasi. Faktor genetik juga
sangat mungkin berperan untuk beberapa individu.12
9
Tabel 5. Faktor-faktor yang meningkatkan risiko miopati akibat statin12
Selain faktor-faktor tersebut di atas, sifat ampifilik dari statin juga berpengaruh
terhadap kejadian miopati. Pada penelitian PRIMO, statin hidrofilik (pravastatin) memiliki
insiden miopati yang rendah, dimana simvastatin, yang paling bersifat lipofilik, memiliki
insiden miopati yang tinggi.14
Penelitian terkini mengindikasikan bahwa rosuvastatin, statin yang paling bersifat
hidrofilik, dapat ditoleransi dengan baik oleh mereka yang memiliki intoleransi terhadap
statin lain.3
10
Gambar 4. Efikasi dan toksisitas dari beberapa statin (dikutip dari kepustakaan 3 )
Patofisiologi
Mekanisme terjadinya miopati akibat statin belum sepenuhnya dipahami, tetapi
beberapa teori telah diajukan mengenai penghambat jalur biosintetik oleh statin.
1. Penghambatan sintesis kolesterol akan menurunkan kandungan kolesterol dalam
membran sel otot skeletal, sehingga membuat otot tersebut tidak stabil. Konsep ini
didukung oleh observasi lesi otot dengan penggunaan clofibrat dan niacin. Menghambat
sintesis kolesterol dengan penghambat squalene synthase tidak menyebabkan terjadinya
miotoksisitas secara in vitro, yang mengindikasikan bahwa ada substrate lain yang dihasilkan
oleh aktivitas HMG-CoA reduktase yang bertanggung jawab.15
2. Penurunan kadar isoprenoid, seperti ubiquinone (coenzim 10), atau protein
regulator, bertanggung jawab untuk terjadinya lesi otot. Statin akan menghambat produksi
dari farnesyl pyrophosphate, merupakan perantara untuk pembentukan ubiquinone yang
diperlukan untuk mengaktivasi small guanosine triphosphate (GTP)-binding regulatory
proteins. Ubiquinone merupakan isoprenoid steroid yang berperan dalam transpor elektron
pada fosforilasi oksidatif dalam mitokondria. Ubiquinone larut dalam lemak, dan sekitar 50%
diperoleh dari lemak, dimana 50% lainnya dihasilkan oleh sintesis endogen. Kadar serum
11
ubiquinone menurun pada pemberian statin. Hal ini terjadi karena ubiquinone ditranspor
dalam partikel LDL yang menurun pada pemberian statin.
Gambar 5. Mekanisme molekuler miopati akibat statin16
Ditemukan juga beberapa bukti yang mendukung peran dari penurunan kadar
ubiquinone terhadap kejadian miopati akibat statin. Rasio laktat terhadap piruvat lebih
tinggi pada pasien-pasien yang mendapatkan statin, mengindikasikan adanya pergeseran
menuju metabolisme anaerob dan kemungkinan adanya disfungsi mitokondria. Disfungsi
mitokondria telah dibuktikan oleh penelitian biopsi terhadap individu dengan keluhan otot
tanpa peningkatan CK. Defisiensi ubiquinone telah didokumentasikan pada beberapa bentuk
ensefalopati kongenital, yang memberi respon terhadap terapi quinone.15
3. Penurunan dari small GTP-binding proteins berperan dalam miotoksisitas statin.
Baik pravastatin dan lovastatin menurunkan sintesis protein pada miosit tikus. Efek ini dapat
dibalikkan dengan pemberian farnesol dan geranylgeraniol, dimana penggantian statin
dengan squalene synthase inhibitor hanya meminimalkan sitotoksisitas tersebut. Hasil ini
mengindikasikan bahwa menurunnya metabolit mevalonat (farnesol dan geranylgeraniol),
bukannya kolesterol, yang berperan dalam miotoksisitas statin.15
Farnesyl dan geranylgeranyl pyrophosphate mengaktivasi protein regulator tertentu
melalui prenylation, penambahan struktur karbon spesifik ke sebuah protein. Protein
regulator penting yang diaktivasi oleh prenylation adalah small-GTB binding proteins, seperti
Ras, Rac, dan Rho, yang meningkatkan pemeliharaan dan pertumbuhan sel serta
12
menurunkan apoptosis. Menghambat produksi dari farnesyl pyrophosphate akan
mengakibatkan prenylation dari small-GTB binding proteins, yang selanjutnya akan
menghambat kerja mereka. Apoptosis merupakan mekanisme yang dirancang untuk
membantu remodeling dan mempertahankan struktur jaringan. Ketika diaktivasi secara
abnormal, apoptosis dapat menyebabkan terjadinya kondisi patologi.
Atorvastatin, lovastatin, dan simvastatin menyebabkan peningkatan apoptosis yang
tergantung dosis terhadap vascular smooth muscle cells (VSMCs). Efek ini dapat dibalikkan
dengan mevalonate, farnesyl pyrophosphate, dan geranylgeranyl pyrophosphate, tetapi
tidak oleh ubiquinone dan penghambat squalene. Apoptosis yang disebabkan oleh statin
dapat menurunkan plak aterosklerosis dengan menurunkan proliferasi VSMC, tetapi
apoptosis pada sel-sel otot skeletal dapat menyebabkan kerusakan otot. Lesi otot skeletal
yang diinduksi oleh statin yang melibatkan inhibisi dari jalur yang mengaktivasi GTP dapat
menjelaskan mengapa olahraga dapat mengaburkan efek negatif dari statin terhadap otot
pada beberapa pasien. Olahraga dapat mengaktivasi jalur sinyal, terutama jalur protein
kinase yang diaktivasi mitogen yang penting untuk otot skeletal. Jalur-jalur ini diregulasi oleh
GTP-binding proteins. Oleh karena itu, statin dapat mengganggu kemampuan otot untuk
berespon dan pulih dari olahraga fisik, yang menghasilkan kerusakan otot.15
4. Mekanisme autoimun juga telah dihipotesiskan. Hal ini didukung oleh fakta bahwa
beberapa penyakit autoimun seperti polimiositis, lupus dan miastenia gravis dapat
diperberat oleh statin. Statin juga terbukti dapat menyebabkan aktivasi dari limfosit T
bergantung MHC-II. Statin juga diketahui menyebabkan miopati nekrosis berat yang
memerlukan penanganan dengan imunosupresif.
Manifestasi klinis
Nyeri otot non-spesifik dan kelemahan otot adalah gejala yang sering ditemukan
dibandingkan rhabdomyolisis atau miopati lain, dimana mialgia didapatkan pada sekitara
25% efek samping terkait penggunaan statin. Insiden dari keluhan nyeri otot atau sendi non-
spesifik tanpa kenaikan kadar CK adalah 5%. Gejala-gejala otot dan kadar CK yang tinggi
dapat bertahan lama bahkan setelah penghentian dari statin. Beberapa pasien tidak
mengalami gejala hingga hampir 4 tahun setelah memulai terapi statin, dan yang lain
memerlukan 14 bulan setelah penghentian statin untuk mengalami perbaikan gejala klinis.13
13
Penanganan
Pasien-pasien dengan miopati yang masih dapat ditoleransi, atau dengan kadar CK
<10 kali nilai batas atas normal disarankan untuk tetap melanjutkan terapi statin dengan
dosis yang sama atau dikurangi. Dalam uji klinis, kadar CK <10 kali nilai batas atas normal
tidak dianggap bermakna karena juga dapat disebabkan oleh olahraga ataupun trauma
minor. Pendekatan konservatif adalah dengan menghentikan terapi statin pada pasien
dengan kadar CK antara 3-10 kali nilai batas atas normal, dan menunggu penurunan kadar
CK hingga normal sebelum memulai kembali terapi statin. Bila gejala-gejala kembali setelah
pemulaan kembali statin, maka dapat dicoba pemberian statin lain dengan dosis rendah,
dengan peningkatan dosis secara bertahap sesuai toleransi. Dapat juga dipertimbangkan
pemberian agenagen penurun kolesterol LDL non-statin seperti asam nikotinik, ezetimibe,
dan bile acid sequesterants. Fibrate juga dapat memperberat miopati, terutama pada pasien
yang sebelumnya intoleran terhadap statin.12
Koenzim Q10 merupakan komponen esensial untuk rantai transpor elektron, yang
bertanggung jawab untuk menghasilkan ATP dalam mitokondria berkontribusi terhadap
energi yang dibutuhkan untuk kontraksi otot. Kadar koenzim Q10 plasma menurun dengan
pemberian statin. Berbagai penelitian memiliki hasil kontradiksi mengenai peran suplemen
koenzim Q10 dalam pencegahan dan penanganan miopati akibat statin. Littlefield dkk
(2013)18 melakukan meta-analisis terhadap 29 penelitian, termasuk penelitian clinical trials,
open studies, meta-analysis, dan randomized conrol trials (RCTs) dan menyimpulkan bahwa
suplementasi CoQ10 bisa bermanfaat pada pasien dengan miopati statin dengan dosis
antara 30 dan 200 mg per hari. Akan tetapi, Banach dkk (2015)19 melakukan meta-analisis
untuk mengevaluasi efikasi dari suplemen koenzim Q10 terhadap miopati akibat statin dan
menemukan bahwa dari data penelitian acak dengan kontrol sejak tahun 1987-2014, tidak
ada manfaat signifikan dari suplementasi koenzim Q10 dalam penanganan miopati.
14
Gambar 6. Algoritme penanganan miopati akibat statin.7
Ringkasan
Statin merupakan obat yang dipakai untuk menurunkan kadar kolesterol LDL. Efek
samping statin dapat melibatkan beberapa organ, seperti sistim saraf pusat, mata,
genitourinari, kulit, saluran cerna, hati, otoimun, sistim endokrin, rambut dan kulit, serta
muskuloskeletal. Efek samping muskuloskeletal disebut sebagai miopati dengan manifestasi
klinis yang bervariasi, mulai dari mialgia, miositis sampai dengan rhabdomiolisis yang dapat
mengancam jiwa pasien. Insiden miopati yang dilaporkan pada pemberian statin berkisar
dari 1%-25%. Miopati akibat statin ini terkait dengan penghambatan langsung HMG-CoA
15
reduktase, dimana tidak hanya terkait oleh penurunan kadar kolesterol, namun juga oleh
penghambatan produk dari jalur mevalonate, seperti ubiquinone dan isoprenoid lain. Statin
yang bersifat lipofilik (simvastatin, fluvastatin, atorvastatin, dan cerivastatin) memiliki efek
samping miopati yang lebih tinggi dibandingkan yang bersifat hidrofilik (pravastatin). Hal ini
mungkin disebabkan oleh sistem transpor berbeda, dimana statin yang bersifat lipofilik
memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dalam otot. Pengobatan adalah menghentikan statin
dan pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian Coenzim Q10, walaupun saat ini masih
bersifat kontroversi.
16
Daftar Pustaka
1. Sewright KA, Clarkson PM, Thompson PD. Statin myopathy: incidence, risk factors, and pathophysiology. Curr. Atheroscler. Rep. 2007;9:389-396
2. Parker BA, Capizzi JA, Grimaldi AS, et al. Effect of statins on skeletal muscle function. Circulation. 2013;127:96-103
3. Fernandez G, Spatz ES, Jablecki C, et al. Statin myopathy: a common dilemma not reflected in clinical trials. Cleve. Clin. J. Med. 2011;79:393-403
4. Whayne TF. Statin myopathy: significant problem with minimal awareness by clinicians and no emphasis by clinical investigator. Angiology. 2011;62:415-521
5. Bitzur R, Cohen H, Kamari Y, et al. Intolerance to statins: mechanisms and managemen. Diabetes Care. 2013;36:325-330
6. Baker SK, Tranopolsky MA. Statin myopathies: pathopysiologic and clinical perspective. Clin. Invest. Med. 2001;24:259-272
7. Abd TT, Jacobson TA. Statin-induced myopathy: a review and update. Expert Opin. Drug. Saf. 2011;10:373-387
8. Gazzero P, Proto MC, Gangemi G, et al. Pharmacological actions of statins: a critical appraisal in the management of cancer. Pharmacol. Rev. 2012;64:102-146
9. Sirtori CR. The pharmacology of statins. Pharmacol. Res. 2014;88:3-1110. Stancu C, Sima A. Statins: mechanism of action and effects. J. Cell. Mol. Med. 2001;5:378-38711. Joy TR, Hegele RA. Narrative review: statin-related myopathy. Ann. Intern. Med.
2009;150:858-86812. Hamilton-Craig I. Managing myopahty in the statin-intolerant patient. Cardiology Today.
2012;2:15-1913. Christopher-Stine L. Statin myopathy: an update. Curr. Opin. Rheumatol. 2006;18:647-65314. Bruckert E, Hayem G, Dejager S, et al. Mild to moderate muscular symptoms with high-
dosage statin therapy in hyperlipidemic patients - the PRIMO study. Cardiovasc. Drugs Ther. 2006;19:403-414
15. Thompson PD, Clarkson P, karas RH. Statin-associated myopathy. JAMA. 2003;289:1681-1690
16. Norata GD, Tibolla G, Catapano AL. Statins and skeletal muscles toxicity: from clinical trials to everyday practice. Pharmacol. Res. 2014;88:107-113
17. Albayda J, Christopher-Stine L. Identifying statin-associated autoimmune necrotizing myopathy. Cleve. Clin. J. Med. 2014;81:736-741
18. Littlefield N, Beckstrand RL, Luthy KE. Statin's effect on plasma levels of coenzyme Q10 and improvement in myopathy with supplementation. J. Am. Assoc. Nurse Pract. 2013;26:85-90
19. Banach M, Serban C, Sahebkar A, et al. Effects of coenzyme Q10 on statin-induced myopathy: a meta-analysis of randomized controlled trial. Mayo Clin. Proc. 2015;90:24-34
17