37
SLE DAN STEVENS JOHNSON SINDROME Ledy Martha Aridiana, S.Kep. Ns. M.Kes

SLE DAN STEFEN JHONSON SINDROME.pptx

Embed Size (px)

DESCRIPTION

berisi tentang sindrom Lupus dan Sindrom Steveen Juohnsin. Mulai dari gajala, faktor, penatalaksanaan medis, serta cara penanganannya. Kemudian berisi info aktual tentang SJS dan SLE mengenai teori dan pathway dari kedua sindrom tersebut

Citation preview

SLE DAN STEVENS JOHNSON SINDROME

Ledy Martha Aridiana, S.Kep. Ns. M.Kes

Penyakit lupus merupakan penyakit autoimun menahun yang multisistem

dapat mengenai sistem saraf, sendi, kulit ginjal, dan hati

Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi

Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh

antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri

Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun.

Definisi

SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan    produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003)

Lupus Eritematosus Sistemik (Lupus Eritematosus Disseminata, Lupus) adalah suatu penyakit autoimun menahun yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai organ tubuh, termasuk kulit, persendian dan organ dalam.

Etiologi

Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE.

Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE.

Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%).

Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin.

Lanjutan.....

Faktor lingkungan yang menyebabkan SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit.

SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat

obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh

direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut.

Lanjutan....

Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE.

Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE.

Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi

Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun.

Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum sepenuhnya diketahui

Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus: Infeksi Antibiotik (terutama golongan sulfa dan penisilin) Sinar ultraviolet Stres yang berlebihan Obat-obatan tertentu Hormon.

Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria.

Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita.

Faktor hormonal mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih sering menyerang wanita. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi dan/atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon (terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini.

Klasifikasi SLE

Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu 1. discoid lupus2. systemic lupus erythematosus3. lupus yang diinduksi oleh obat.

Discoid Lupus

Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler.

Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada.

Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap.

Systemic Lupus Erythematosus

SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan.

Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan melalui mekanime pengaktivan komplemen.

Lupus yang diinduksi oleh obat

Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu

khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh.

Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut.

Patofisiologi Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan

aktivasi sel B peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi,

hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun.

Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA.

Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B.

Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan.

Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen.

Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4.

Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2

menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi

oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu    cell-mediated immunity.

Lanjutan.....

Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya  produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T.

Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs.

Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang

berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun. SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan  subset CD4+ dan

CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya  supresi  dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998).

Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif.

Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibody.

Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas melalui 3 mekanisme : pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan

komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam

jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Ketiga adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang

berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan.

Kriteria Diagnostik SLE

Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria Ruam malar : eritema persisten, datar atau meninggi, pada daerah hidung dan pipi. Ruam diskoid: bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat dan

sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut. Fotosensitivitas : terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap cahaya matahari. Ulserasi mulut : ulserasi di mulut atau nasofaring, umumnya tidak nyeri. Artritis : artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak,

atau efusi. Serositis

Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura atau adanya efusi pleura.

Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan perikard atau efusi perikard.

Kelainan ginjal Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari 3+ Ditemukan  eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau campuran.

Kelainan neurologis : kejang tanpa sebab atau psikosis tanpa sebab. Kelainan hematologik : anemia hemolitik atau leukopenia (kurang dari 400/mm3) atau

limfopenia (kurang dari 1500/mm3), atau trombositopenia (kurang dari 100.000/mm3) tanpa ada obat penginduksi gejala tersebut.

Kelainan imunologik : anti ds-DNA atau anti-Sm positif atau adanya antibodi antifosfolipid. Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan imunofluoresensi

atau pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap saat dan tidak ada obat yang menginduksi sindroma lupus.

Manifestasi Klinik

Sistem Muskuloskeletal Artralgia, artritis (sinovitis),

pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari. kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerah tersebut.

Sistem integumen Lesi akut pada kulit yang terdiri atas

ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ruam yang lebih tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh sinar matahari.

Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

Sistem Cardiovaskuler Peradangan berbagai bagian jantung

bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis maupun miokarditis.

Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat dari keadaan tersebut.

Sistem pernafasan Pada lupus bisa terjadi pleuritis

(peradangan selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak nafas.

Sistem vaskuler Inflamasi pada arteriole terminalis yang

menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

Bisa terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.

Sistem perkemihan Sebagian besar penderita menunjukkan

adanya penimbunan protein di dalam sel-sel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu menjalani dialisa atau pencangkokkan ginjal.Glomerulus renal yang biasanya terkena.

Sistem saraf Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat

luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bisa terjadi pada bagian manapun dari otak, korda spinalis maupun sistem saraf. Kejang, psikosa, sindroma otak organik dan sakit kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi.

Penatalaksanaan Medis

Tujuan dari pengobatan SLE untuk mengurangi gejala penyakit mencegah terjadinya inflamasi dan

kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien memperpanjang ketahanan pasien memonitor manifestasi penyakit menghindari penyebaran penyakit serta memberikan edukasi kepada pasien

tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan.

Terapi non farmakologi

Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan.

Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE.

Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE. Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA.

Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE  sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah.

Terapi Farmakologi

NSAID Antimalaria Klorokuin Kortikosteroid

Sindrom Stevens Johnson

Sindrom stevens johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk

Etiologi

Penyebab pasti belum diketahui Salah satu penyebab : alergi obat secara sistemik

Penisilin da semisintetiknya Streptomisin Sulfonamida Tetrasiklin Antipiretik/analgetik (derivat salisil, metamizol, matampiron,

parasetamol) Klorpromazin (cpz) Karbamazepin Kinin Antipirin Jamu

Selain itu bisa karena infeksi bakteri, virus, jamur, parasit Bisa karena neoplasma, pasca vaksinasi, radiasi dan

makanan

Manifestasi klinis

Terjadi pada anak dan dewasa Demam tinggi Malaise Nyeri kepala Batuk Pilek Nyeri tenggorok

Trias stevens johnson sindromKelainan kuit

eritema, vesikel dan bula yang kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas, purpura dapat terjadi dan prognosisnya lebih buruk

Kelainan selaput lendir orifisium Mukosa mulut Orifisium genetalia eksterna Lubang hidung anus

Lesi awal berupa vesikel di bibir dibibir, lidah dan mukosa bukal yang kemudian pecah membentuk erosi, ekskoriasi, eksudasi, krusta kehitaman dan pembentukan pseudomembran, terjadi hipersalivasi dan lesi bisa berulserasi

Kelainan di mukosa terdapat di faring, saluran nafas bagian atas dan esofagus

Kelainan dimulut yang hebat dan terbentuknya pseudomembran berwarna putih atau keabuan difaring dapat menyebabkan kesulitan menelan

Kelainan disaluran nafas bagian atas dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas

Kelainan mata yang tersering : konjungtivitis kataralis, konjungtivitis purulen, perdarahan, ulkus kornea, iritis.

Komplikasi

Bronkopneumonia Sepsis Kehilangan cairan/darah Gangguan keseimbangan elektrolit Syok Kebutaan karena gangguan lakrimasi

Pemeriksaan penunjang

Hasil pemeriksaan lab tidak khas Jika terdapat eosinofilia kemungkinan

karena alergi Jika leukositosis kemungkinan karena

infeksi Bisa dibiopsi dan pemeriksaan

histopatplogi

Penatalaksanaan

Kortikosteroid Antibiotik Tranfusi darah

Masalah Keperawatan

Kerusakan integritas kulit dan jaringan

Bersihan jalan nafas tidak efektif Risiko syok

Terima Kasih