Upload
others
View
20
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS PEMBENTUKAN DUSUN IV BABAH LUENGMENJADI GAMPONG BABAH LUENG
(Studi Pada Dusun IV Babah Lueng gampong Mata IeKecamatan Blangpidie Kabupaten Aceh Barat Daya)
SKRIPSI
OLEH:
ZAINAL ARIFINNIM: 07C20201169
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARAFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TEUKU UMARMEULABOH-ACEH BARAT
2013
ANALISIS PEMBENTUKAN DUSUN IV BABAH LUENGMENJADI GAMPONG BABAH LUENG
(Studi Pada Dusun IV Babah Lueng Gampong Mata IeKecamatan Blangpidie Kabupaten Aceh Barat Daya)
SKRIPSI
OLEH:
ZAINAL ARIFINNIM: 07C20201169
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana SosialPada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Teuku Umar
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARAFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TEUKU UMARMEULABOH-ACEH BARAT
2013
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi: ANALISIS PEMBENTUKAN DUSUN IV BABAH LUENGMENJADI GAMPONG BABAH LUENG (Studi Pada DusunIV Babah Lueng gampong Mata Ie Kecamatan BlangpidieKabupaten Aceh Barat Daya)
Nama Mahasiswa : ZAINAL ARIFINNim : 07C20201169Program Studi : Ilmu Administrasi Negara
Menyetujui.Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
SUDARMAN ALWY, M. Ag Drs. SAID NADIR
Mengetahui,
Dekan Ketua Jurusan Program StudiFakultas Ilmu Sosial dan Politik Ilmu Administrasi Negara
Universitas Teuku Umar
SUDARMAN ALWY, M. Ag NELLIS MARDHIAH, S. Sos
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
Skripsi/tugas akhir dengan judul:
ANALISIS PEMBENTUKAN DUSUN IV BABAH LUENGMENJADI GAMPONG BABAH LUENG
(Studi Pada Dusun IV Babah Lueng gampong Mata IeKecamatan Blangpidie Kabupaten Aceh Barat Daya)
Yang disusun oleh :Nama : ZAINAL ARIFINNim : 07C20201169Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikProgram Studi : Ilmu Administrasi Negara
Telah dipertahankan didepan dewan penguji pada tanggal 23 Februari 2013 dandinyatakan memenuhi syarat untuk diterima.
SUSUNAN DEWAN PENGUJI
1. SUDARMAN ALWY, M. Ag(Ketua Penguji) : …………………….
2. NELLIS MARDHIAH, S.Sos(Anggota) : …………………….
3. MARIA BAREN, MM(Anggota) : …………………….
4. TRIANTO, S. Sos(Anggota) : …………………….
5. Drs. SAID NADIR(Anggota) : …………………….
Alue Peunyareng, 23 Februari 2013Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara
NELLIS MARDHIAH, S. Sos
Tanggal Lulus: 23 Februari 2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Transisi Politik yang terjadi di Indonesia, sejak berakhirnya kekuasaan orde
baru pada bulan Mei 1998, menghasilkan dua proses politik yang berjalan secara
simultan: Desentralisasi dan Demokratisasi. Kedua proses politik itu terlihat
jelas dalam pergeseran format pengaturan politik di taraf lokal maupun nasional,
dari pengaturan politik yang bersifat otoritarian-sentralistik menjadi lebih
demokratis-desentralistik (Dwipayana dan Sutoro Eko, 2003: 5).
Desentralisasi dianggap penting karena setidaknya telah merubah pola relasi
kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang selama ini
bersifat sentralistik, desentralisasi menghadirkan pola kebijakan bottom-up yang
selama ini bersifat top-down. Sedangkan hadirnya demokratisasi telah merubah
paradigma pola kekuasaan yang selama ini dimiliki secara penuh oleh birokrat,
beralih kepada kekuasaan hak asasi warga Negara Indonesia di bidang politik.
Perubahan penyelenggaraan pemerintah daerah semakin kearah
demokratisasi yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
pemerintah daerah, dimana salah satu pasal didalamnya mengatur tentang desa
atau nama lain, telah merubah tentang kehidupan masyarakat yang lebih
demokratis. Dalam struktur Negara Kesatuan Republik Indonesia desa atau
gampong di Aceh merupakan organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah
Camat, kecuali di Provinsi Aceh gampong berada dibawah koordinasi mukim
dengan wewenangnya sebagai berikut (Qanun Nomor 5 Tahun 2003 yaitu):
2
a. Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul gampong dan
ketentuan adat dan istiadat.
b. Kewenangan yang diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
c. Kewenangan yang diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan
belum menjadi atau belum dilaksanakan oleh pemerintah. Pemerintah
Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota, Pemerintah
Kecamatan dan Pemerintah Mukim.
d. Kewenangan pelaksaan tugas pembantuan dari Pemerintah Provinsi,
Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota, Pemerintah Kecamatan dan
Pemerintah Mukim.
Menyinggung keterkaitan antara gampong dengan pelaksanaan
pembangunan, ternyata gampong memegang peranan penting dalam proses
implementasi pusat kebijakan-kebijakan pembangunan. Sebab setiap kebijakan
pembangunan pemerintah pusat, sebagian besar implementasinya dilakukan oleh
pemerintah gampong.
Melihat pentingnya peranan gampong dalam proses pembangunan, maka
upaya-upaya meningkatkan peran struktur pemerintahan gampong harus selalu
ditingkatkan agar proses pembangunan yang telah dicanangkan dapat menyentuh
seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali. Masyarakat gampong adalah unsur
pembangunan yang harus diperhatikan kesetaraannya dalam proses pembangunan,
namun fokus masalah tersebut dalam realita di lapangan banyak yang tidak
terlaksana secara baik, sehingga kondisi demikian tentu ada sebabnya. Padahal
seseorang geucik (Kepala Desa) harus mampu melaksanakan tugas dan
3
wewenangnya secara baik, sehingga kepemimpinannya mampu membawa
kebaikan kepada warga gampongnya.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa,
disebutkan dalam Pasal 14 Ayat 1, bahwa tugas kepala gampong adalah:
menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan,
sedangkan Ayat 2 Pasal 14 tersebut dinyatakan bahwa: Dalam melaksanakan
tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala gampong mempunyai
wewenang:
a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan gampong berdasarkan kebijakan
yang ditetapkan bersama BPD;
b. Mengajukan rancangan peraturan gampong;
c. Menetapkan peraturan gampong yang telah mendapat persetujuan bersama
BPD;
d. Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan gampong mengenai APB
gampong untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD;
e. Membina kehidupan masyarakat gampong;
f. Membina perekonomian gampong;
g. Mengkoordinasikan pembangunan gampong secara partisipatif;
h. Mewakili gampongnya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk
kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan; dan
i. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Memperhatikan kondisi lapangan dibandingkan dengan kemampuan
kepemimpinan geucik tidak akan terpenuhi harapan dan kesejahteraan
4
masyarakat, maka dalam mencari solusi adanya pemerataan hasil pembangunan
dan peningkatan sosial kemasyarakatan kiranya pembentukan Dusun IV Babah
Lueng menjadi gampong Babah Lueng, menjadi sebuah pilihan dan perlu
dilakukan pengkajian.
Bahwa kebijakan desentralisasi yang memberikan kewenangan yang lebih
besar kepada daerah otonom termasuk gampong dalam mengatur dan mengurus
rumah tangganya, pada intinya antara lain, adanya perwujudan demokratisasi
penyelengaraan pemerintah daerah yang selama ini sentralistis. Kedua, kebijakan
penyerahan kewenangan kepada daerah untuk lebih memberdayakan dan
memandirikan daerah, baik dalam peningkatan pelayanan kepada masyarakat,
maupun peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Dari aspek
geografis terkadang suatu wilayah daerah, sangat jauh dari rentang kendali ibu
kota daerah otonom, sehingga berpengaruh pada ekselerasi pelayanan. Pada
dimensi yang terakhir inilah lahir tuntutan pemekaran daerah. (Murtir: 111).
Secara teoritis, pembentukan gampong baru nantinya akan melahirkan
kesejahteraan dengan adanya peningkatan pelayanan yang lebih baik dan lebih
cepat karena rentang-rentang kendali pemerintah yang lebih pendek, namun
pembentukan gampong baru tentunya tidak hanya didasarkan pada persoalan hak-
hak sosial ekonomi yang belum terpenuhi saja, tanpa mempertimbangkan studi
kelayakan apakah dusun tersebut sudah memenuhi persyaratan menjadi gampong
baik secara administratif maupun secara fisik kewilayahan.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 dan
Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan,
Penghapusan, Penggabungan gampong dan Perubahan Status gampong menjadi
5
Kelurahan yang didalamnya memuat tentang syarat-syarat pembentukan
gampong. Syarat-syarat tersebut wajib dipenuhi oleh sebuah daerah (dusun) yang
ingin melakukan pembentukan gampong baru, sehingga nantinya pembentukan
gampong baru menghadirkan kehidupan masyarakat gampong yang maju dan
sejahtera.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “ Analisis Pembentukan Dusun IV Babah
Lueng Menjadi Gampong Babah Lueng Kecamatan Blangpidie Kabupaten Aceh
Barat Daya”.
1.2 Rumusan Masalah
Suharsimi Arikunto (1993: 17) menguraikan bahwa agar penelitian dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka penulis harus merumuskan
masalahnya sehingga jelas dari mana harus memulai, kemana harus pergi, dan
dengan apa ia melakukan penelitian. Dengan demikian dapat disimpulakan bahwa
pentingnya perumusan masalah adalah agar diketahui arah jalan suatu penelitian.
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, yang akan
dicari penyelesaian pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Apa yang menjadi pemicu utama munculnya rencana pemekaran Dusun IV
Babah Lueng?
b. Bagaimanakah Analisis Pembentukan Dusun IV Babah Lueng Menuju
Pembentukan Gampong Babah Lueng?
c. Bagaimanakah identifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman
dalam proses Pembentukan Dusun IV Babah Lueng untuk Menjadi
Gampong Babah Lueng?
6
1.3 Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah tentunya
mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Adapun yang menjadi tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pemicu utama munculnya rencana pemekaran atau
pembentukan Dusun IV Babah Lueng,
b. Untuk mengetahui Analisis Pembentukan Dusun IV Babah Lueng Menuju
Pembentukan Gampong Babah Lueng,
c. Untuk mengetahui identifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman
dalam proses Pembentukan Dusun IV Babah Lueng untuk Menjadi
Gampong Babah Lueng.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a. Secara teoritis/akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya
khazanah kepustakaan pendidikan, khususnya mengenai pembentukan
gampong guna mewujudkan percepatan pembangunan dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, serta dapat menjadi bahan masukan bagi mereka
yang berminat menindaklanjuti hasil penelitian ini kancah penelitian yang
berbeda dan dengan sampel penelitian yang lebih banyak;
b. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi
masyarakat gampong khususnya di tempat penelitian ini dilaksanakan agar
masyarakat terus mempersiapkan segala kebutuhan untuk menjadi sebuah
gampong definitif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Analisis
Menurut M. Ali (1999: 215) analisis adalah langkah pertama dari proses
perencanaan atau penguraian suatu pokok dari berbagai bagiannya dan penelaahan
bagian itu sendiri serta hubungan antara bagian untuk memperoleh pengertian
yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.
2.2 Gampong
Sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintah daerah, dalam pasal 216 antara lain mengamanahkan batas
pengaturan lebih lanjut mengenai pemerintah desa diatur dengan peraturan
pemerintah, dimana akhirnya keluar Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
Tentang desa. Yang melahirkan batasan desa adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang di akui dan dihormati dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Sebagai perwujudan demokrasi, dalam penyelenggaraan pemerintahan
gampong dibentuk Badan Permusyawaratan gampong (BPD) atau sebutan lain
yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa yang bersangkutan, yang
berfungsi sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan
gampong, seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan peraturan gampong,
Anggaran Pendapatan dan Belanja gampong, dan keputusan geucik atau kepala
8
gampong. Di gampong dibentuk lembaga kemasyarakatan yang berkedudukan
sebagai mitra kerja pemerintah gampong dalam memberdayakan masyarakat
gampong. Geucik pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat gampong
yang dalam tata cara dan prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada
Bupati atau Walikota melalui Camat. Geucik wajib memberikan keterangan
laporan pertanggungjawabannya kepada BPD atau Tuha Peut gampong dan
kepada rakyat tentang informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya namun
tetap harus memberi peluang kepada masyarakat melalui Badan Permusyawaratan
Taha Peut gampong untuk menanyakan dan meminta keterangan lebih lanjut
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban yang dimaksud.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang
mengatur tentang gampong yaitu pasal 115 sampai 117 yang berbunyi:
a. Pasal 115 bagian kedua gampong
(1) Dalam wilayah kabupaten atau kota dibentuk gampong atau nama lain.
(2) Pemerintah gampong terdiri atas geucik dan badan permusyawaratan
gampong atau tuha peut atau nama lain.
(3) Gampong dipimpin oleh geucik yang dipilih secara langsung dari dan
oleh anggota masyarakat untuk masa jabatan 6 (enam) tahun dan dapat
dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
b. Pasal 117
(1) Pembentukan, penggabungan, dan atau penghapusan gampong dilakukan
dengan memperhatikan asal-usul dan prakarsa masyarakat.
9
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, fungsi, pembiayaan,
organisasi perangkat pemerintahan gampong atau nama laindiatur
dengan Qanun Kabupaten atau kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut tata cara pemilihan geucik diatur dengan Qanun
Aceh.
Dengan demikian, jika kita membahas mengenai gampong, setidak-
tidaknya memuat beberapa ciri berikut:
a. Adanya suatu wilayah yang jelas dengan demikian wilayah ini telah
didefinisikan dengan jelas batas-batas teritorialnya;
b. Adanya sekumpulan orang (bukan pribadi atau sebuah keluarga) yang
bertempat tinggal di daerah yang dimaksud, dan menempatkan wilayah
tempat tinggal tersebut sebagai “wilayah mereka”;
c. Adanya ikatan dengan dasar yang beragam dan luas, seperti: kebutuhan
akan rasa aman bersama; hubungan darah (satu nenek moyang); dan nilai-
nilai sosial bersama yang dibangun bersama dari pengalaman hidup
bersama;
d. Mempunyai kekuasaan untuk mengatur urusan mereka sendiri menetapkan
pemerintahan sendiri; dan
e. Mempunyai harta benda, kekayaan desa.
Sedangkan dari sudut pandang politik dan hukum, desa sering diidentikkan
sebagai organisasi kekuasaan. Melalui perspektif ini, desa dipahami sebagai
organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara politis mempunyai
wewenang tertentu dalam struktur pemerintahan negara. Dengan sudut pandang
ini, gampong bisa dipilah dalam beberapa unsur penting:
10
(1) Adanya orang-orang atau kelompok;
(2) Adanya pihak-pihak yang menjadi “penguasa” atau pemimpin;
(3) Adanya organisasi (badan) penyelenggaraan kekuasaan;
(4) Adanya tempat, atau wilayah yang menjadi teritori penyelenggaraan
kekuasaan; dan
(5) Adanya mekanisme, tata aturan dan nilai, yang menjadi landasan dalam
proses pengambilan keputusan.
Siti Waridah, dkk, (2004: 125-126) mengutip pendapat pakar Sosiologi
“Talcot Parsons” yang menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat
tradisional (gemeinischaff) yang mengenal ciri-ciri sebagai berikut:
a. Afektifitas; ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan,
dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong menolong,
menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain dan
menolongnya tanpa pamrih;
b. Orientasi kolektif; sifat ini merupakan konsekuensi dari afektifitas, yaitu
mereka mementingkan kebersamaan, tidak suka menonjolkan diri, tidak suka
berbeda pendapat, intinya semua harus mempelihatkan keseragaman
persamaan;
c. Partikularisme; pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya
dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu. Perasaan
subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku untuk
kelompok tertentu saja (lawannya universalisme);
d. Askripsi; yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak
diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak sengaja, tetapi merupakan suatu
11
keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan (lawannya
prestasi);
e. Kekaburan (diffuseness); sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan
antar pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa
menggunakan bahasa tidak langsung untuk menunjukkan sesuatu.
2.3 Pembangunan Gampong dan Pemberdayaan Masyarakat
2.3.1 Pembangunan Gampong
Tujuan pembentukan desa atau gampong adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa dengan memanfaatkan berbagai potensi yang ada
di desa tersebut. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pembangunan desa.
Pembangunan desa seharusnya menerapkan prisip-prisip yaitu: (1) transparansi
(keterbukaan), (2) partisipatif, (3) dapat dinikmati masyarakat, (4) dapat
dipertanggungjawabkan, dan (5) berkelanjutan (sustainable). Kegiatan-kegiatan
pembangunan yang dilakukan dapat dilanjutkan dan dikembangkan keseluruh
pelosok daerah, untuk seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan itu pada
dasarnya adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Oleh karena itu, pelibatan masyarakat
seharusnya diajak untuk menentukan visi (wawasan) pembangunan masa depan
yang akan diwujudkan. Masa depan merupakan impian tentang keadaan masa
depan yang lebih baik dan lebih indah dalam arti tercapainya tingkat kemakmuran
yang lebih tinggi.
Dalam melaksanakan kegiatan pembangunan desa, diperlukan juga kerja
sama yang erat antar daerah dalam satu wilayah dan antar wilayah. Dalam
hubungan ini perlu selalu diperhatikan kesesuaian hubungan antar kota dengan
daerah pegampongan sekitarnya, dan antar suatu kota dengan kota-kota
12
sekitarnya. Hal ini disebabkan karena pada umumnya lokasi industri, lokasi
kegiatan pertanian atau sektor-sektor lain yang menunjang atau terkait cenderung
terkonsentrasi hanya pada daerah administrasi yang berdekatan. Dengan
kerjasama antar daerah, maka daerah-daerah yang dimaksud dapat tumbuh secara
serasi dan saling menunjang.
Seperti dalam pembangunan ekonomi pada umumya, maka dalam
mewujudkan tujuan pembangunan gampong, terdapat paling sedikit empat
strategi, yaitu (a) strategi pertumbuhan, (b) strategi kesejahteraan, (c) strategi yang
responsif terhadap kebutuhan masyarakat, (d) strategi terpadu atau strategi yang
menyeluruh.
a) Strategi Pertumbuhan
Strategi pertumbuhan umumnya dimaksudkan untuk mencapai peningkatan
secara cepat dalam nilai ekonomis melalui peningkatan pendapatan perkapita,
produksi dan produktivitas sektor pertanian, permodalan, penempatan kerja dan
peningkatan kemampuan partisipasif masyarakat pedesaan/gampong.
b) Strategi Kesejahteraan
Strategi kesejahteraan pada dasarnya dimaksudkan untuk memperbaiki taraf
hidup atau kesejahteraan penduduk gampong melalui pelayanan dan peningkatan
program-program pembangunan sosial yang berskala besar atau nasional, seperti
peningkatan pendidikan, perbaikan kesehatan dan gizi, penanggulangan
urbanisasi, perbaikan pemukiman penduduk, pembangunan fasilitas transportasi,
penyediaan prasarana dan sarana sosial lainnya.
13
c) Strategi yang Responsif terhadap Kebutuhan Masyarakat
Strategi ini merupakan reaksi terhadap strategi kesejahteraan yang
dimaksudkan untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan
pembangunan dan dirumuskan oleh masyarakat sendiri dan mungkin saja dengan
bantuan pihak luar (sell need and assistance) untuk memperlancar usaha mandiri
melalui pengadaan teknologi dan tersedianya sumber-sumber daya yang sesuai
dengan kebutuhan di desa.
d) Stategi Terpadu dan Menyeluruh
Stategi terpadu dan menyeluruh ingi mencapai tujuan-tujuan yang
menyangkut kelangsungan pertumbuhan, persamaan, kesejahteraan dan partisipasi
aktif masyarakat dalam proses pembangunan desa.
2.3.2 Pemberdayaan Masyarakat
Untuk mengatasi persoalan kemiskinan dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan masyarakat baik di gampong maupun di perkotaan, maka hal
tersebut dapat dilaksanakan dengan melakukan pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya dimana masyarakat berdaya dan
mandiri dalam mengelola berbagai potensi yang mereka miliki dalam mencapai
kesejahterannya. Randy R. Wrihatnolo dan Riant Nugroho Dwidjowijoto (2007:
37-41) menyatakan bahwa ada 5 argumentasi mengapa pemberdayaan masyarakat
untuk dapat menyelesaikan masalah kemiskinan dan pembangunan Indonesia.
Pertama, demokratisasi proses pembangunan. Konsep pemberdayan dipercaya
mampu menjawab tantangan pelibatan aktif setiap warga negara dalam proses
pembangunan, mulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan
evluasinya. Salah satu pendekatan untuk mendemokratisasikan proses
14
pembangunan adalah memberikan perluan sebesar-besarnya kepada lapisan
masyarakat paling bawah (garss-root) untuk terlibat dalam pengalokasian sumber
daya pembangunan. Inilah hakikat konsep pembangunan yang diarahkan oleh
rakyat atau dalam istilah lain disebut pembangunan yang digerakkan oleh
masyarakat (community-driven development). Proses ini diyakini mampu mejadi
wahana pembelajaran pencerdasan bagi rakyat untuk mengenali kebutuhannya
serta melaksanakan dan melestarikan upaya memenuhi kebutuhannya itu.
Penerapan konsep pemberdayaan dengan demikian mempunyai efek samping
dalam bentuk mampu mamberikan jalan terlaksananya penyelenggaraan
ketatanegaraan secara baik.
Kedua, penguatan peran organisasi lokal. Konsep pemberdayaan dipercaya
mampu menjawab tantangan bagaimana melibatkan organisasi kemasyarakatan
lokal berfungsi dalam pembangunan. Organisasi kemasyarakatan lokal merupakan
pemegang peran sentral terjadinya perubahan sosial karena merekalah yang paling
mengerti karakter lapisan masyarakat bawah. Dalam mekanisme manajemen
pembangunan modern, peran mereka harus diorganisasikan secar hierarki agar
imformasi tentang situasi terkini dapat dijalin secara multiarah, baik vertikal
maupun horizontal. Peran organisasi kemasyarakatan dalam mendampingi rakyat
miskin sangat bervariatif, mulai dari berbagai inisiator, katalisator, hingga
fasilitator.
Ketiga, penguatan modal sosial. Konsep pemberdayaan diyakini mampu
menggali dan memperkukuh ikatan sosial diantara warga negara. Penguatan
modal sosial mengandung arti pelembagaan nili-nilai luhur yang bersifat
universal, yaitu kejujuran, kebersamaan, dan kepedulian. Penguatan modal sosial
15
merupakan motivasi dasar setiap kegiatan yang dapat menjadi spirit (pemacu)
perwujudan tujuan pemberdayaan itu sendiri. Proses pemberdayaan dengan
sendirinya mampu menciptakan kultur masyarakat yang mandiri, menciptakan
hubungan harmonis diantara rakyat serta antara rakyat dengan pamong praja.
Keempat, penguatan kapasitas birokrasi lokal. Konsep pemberdayaan secara
khusus diyakini mampu meningkatkan fungsi pelayanan publik dan pemerintahan
khususnya kepada penduduk setempat. Konsep pemberdayaan memaksa jajaran
rakyatnya agar rakyat dapat memperoleh dan memenuhi kebutuhan hidupnya baik
fisik maupun nonfisik secara mudah. Dalam proses pemberdayaan akhirnya-
akhirnya karena rakyatnya bertambah cerdas, pada akhirnya mereka mampu
memaksa para penyelenggara pelayanan publik dan pemerintahan untuk belajar
memahami dan melayani rakyatnya lebih baik.
Kelima, mempercepat penanggulangan kemiskinan. Konsep pemberdayaan
dalam bentuknya yang paling menonjol diyakini dapat mempercepat
penanggulangan kmiskinan, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin,
karena dalam pendekatan pemberdayaan ini para penyelenggara pembangunan
baik pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan dituntut memberikan
pemihakan dan perlindungan kepada rakyat miskin. Pemihakan dilakukan dengan
senantiasa mengalokasikan sumber daya pembangunan untuk rakyat miskin.
Karakter lokal harus menjadi landasan dalam pemihakan agar antara berpeluang
dan aspirasi dapat terartikulasikan secara baik. Perlindungan dilakukan dengan
senantiasa dilindungi dan didampingi agar memiliki kekuatan untuk meraih
(mengakses) sumber daya ekonomi. Oleh karena itu, peran pendamping sangat
dibutuhkan untuk mencapai tujuan ini.
16
Selanjutnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa: tidak semua
penduduk mempunyai usaha atau melakukan memiliki pekerjaan tertentu,
memiliki pengahasilan yang mencukupi kebutuhan konsumsinya dan konsumsi
untuk seluruh anggota keluarganya.
Dengan demikian, kita dapat mengatakan: (1) apabila penduduk yang
mempunyai usaha atau melakukan memiliki pekerjaan tertentu mempunyai
penghasilan yang kurang dari kebutuhan konsumsinya (termasuk konsumsi
seluruh anggota keluarganya) berdasarkan kebutuhan minimum lokal, ia dapat
dikatagorikan sebagai penduduk miskin; dan (2) apabila penduduk miskin tidak
mempunyai usaha atau tidak melakukan dan tidak memiliki pekerjaan tertentu
(sehingga tidak mempunyai penghasilan), ia dapat dikatagorikan sebagai
penduduk miskin parah.
Agar penduduk miskin menjadi tidak miskin lagi, mereka memerlukan
sesuatu yang dapat memberikan penghasilan atau sesuatu yang dapat meringankan
beban konsumsinya. Dalam rangka memberikan peluang bagi penduduk miskin
agar dapat mempunyai usaha atau melakukan memiliki pekerjaan tertentu
sehingga dapat mempunyai penghasilan, kita dapat memberikan peluang
pekerjaan yang dapat mempunyai penghasilan, kita dapat memberikan peluang
pekerjaan yang dapat menambah atau memberikan penghasilan.
Untuk dapat menjalankan kebijakan pembangunan yang baik dan
berkelanjutan maka diperlukan proses pemberdayaan masyarakat yang baik juga
agar tujuan-tujuan pembangunan yang ingin diwujudkan dapat terlaksana sesuai
rencana.
17
2.4 Pembentukan Gampong
2.4.1 Pengertian Pembentukan Gampong
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang desa
pada pasal 2 ayat (1) mengatakan bahwa desa dibentuk atas prakarsa masyarakat
dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat
setempat. Pembentukan desa atau nama lain dalam hal ini gampong adalah dapat
berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau
pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan desa
diluar desa yang telah ada.
2.4.2 Tujuan Pembentukan Gampong
Berdasarkan Permendagri Nomor 28 Tahun 2006 pada pasal 2 menyatakan
bahwa pembentukan desa bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Selanjutnya pemekaran adalah bagian dari proses implementasi
desentralisasi yang berbagai macam tujuan. Secara umum berbagai macam tujuan
dapat diklasifikasikan ke dalam dua variabel penting yakni peningkatan efisiensi
dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan peningkatan partisipasi
masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan. Secara otomatis melalui
otonomi daerah dalam hal ini adalah pembentukan gampong baru degan azas
desentralisasi akan terjadi optimalisasi hierarki penyampaian layanan akibat dari
penyediaan pelayanan publik dilakukan oleh instansi yang memiliki kedudukan
lebih dekat dengan masyarakat sehingga keputusan-keputusan strategis dapat
lebih mudah dibuat, adanya penyesuaian layanan terhadap kebutuhan dan kondisi
yang ada di tingkat lokal, adanya tingkat perawatan terhadap infrastruktur yang
18
ada melalui alokasi anggaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada
di wilayahnya tersebut.
2.5 Dasar-dasar Hukum Pembentukan Gampong
2.5.1 Otonomi Daerah
Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang
otonomi khusus adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Otonomi daerah menjadi satu hal yang penting, bukan semata-mata karena
memberikan kewenangan yang besar kepada daerah, tapi dengan otonomi, sebuah
pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran akan lebih dimungkinkan. Kita
selama ini dapat melihat, ketika kebijakan ekonomi dan pembangunan ditentukan
oleh pemerintah pusat, maka banyak sekali kebijakan yang dilakukan itu tidak
tepat sasaran. Dengan otonomi daerah, pemerintah daerah akan lebih dapat
melaksanakan program ekonomi dan pembangunan dengan mempertimbangkan
kondisi riil daerah. Lebih dari itu, dengan otonomi maka percepatan pembangunan
daerah dapat dilaksanakan karena otonomi memberikan peluang financial yang
lebih baik, yang apabila digunakan secara maksimal akan menciptakan jalan
kemakmuran bagi masyarakat. (Sugiarto, 2005: 16).
Adanya kebijakan otonomi daerah itu membawa konsep pemekaran daerah.
Daerah-daerah di tanah air menyambut dengan antusias ide pemekaran daerah
tersebut, saat ini saja di Provinsi Aceh telah terbentuk 13 Kabupaten baru. Melihat
kecenderungan dan semangat daerah dalam memekarkan daerahnya, ada
19
kekhawatiran bahwa ide pemekaran daerah lebih banyak dilatarbelakangi oleh
nafsu segelintir orang yang tidak terakomodasi kepentingannya di daerah induk
sehingga dengan berbagai upaya taktis dan politis dikembangkan wacana tentang
perlunya pemekaran daerah. Hal ini tentunya melenceng dari tujuan pemekaran
daerah yang sebenarnya untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
2.5.2 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
Pada pasal 2 ayat (3) dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
Tentang desa menyatakan bahwa pembentukan desa dapat berupa penggabungan
beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa
menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada.
Sedangkan pada pasal 2 ayat (4) menyebutkan bahwa pemekaran dari satu desa
menjadi dua desa atau lebih dapat dilakukan setelah mencapai paling sedikit 5
(lima) tahun penyelenggaraan pemerintahan desa.
2.5.3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006
Permendagri Nomor 28 Tahun 2006 Tentang pembentukan, penghapusan,
penggabungan desa dan perubahan status desa menjadi kelurahan merupakan
aturan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 yang mengatur
lebih lanjut tentang mekanisme pembentukan desa. Permendagri tersebut memuat
tentang syarat dan tata cara pembentukan desa yang merupakan aturan terbaru
yang ada pada saat ini.
Tata cara pembentukan desa sebagaimana yang dimaksud pada pasal 5
Permendagri Nomor 28 Tahun 2006 dilaksanakan sebagai berikut:
(a) Adanya prakarsa dan kesepakatan masyarakat untuk membentuk desa;
20
(b) Masyarakat mengajukan usul pembentukan desa kepada BPD dan Kepala
desa;
(c) BPD mengadakan rapat bersama Kepala Desa untuk membahas usul
masyarakat tentang pembentukan desa, dan kesepakatan rapat dituangkan
dalam Berita Acara Hasil Rapat BPD tentang pembentukan desa;
(d) Kepala desa mengajukan usul pembentukan desa kepada Bupati/walikota
melalui camat, disertai Berita Acara Hasil Rapat BPD dan rencana wilayah
administrasi desa yang akan dibentuk;
(e) Dengan memperhatikan dokumen usulan Kepala Desa, Bupati/Walikota
menugaskan Tim Kabupaten/Kota bersama Tim Kecamatan untuk melakukan
observasi ke desa yang akan dibentuk, yang hasilnya menjadi bahan
rekomendasi kepada Bupati atau Walikota;
(f) Bila Rekomendasi Tim Observasi menyatakan layak dibentuk gampong atau
desa baru, Bupati/Walikota menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pembentukan Desa;
(g) Penyiapan Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan desa
sebagaimana dimaksud pada huruf f, harus melibatkan pemerintah desa, BPD,
dan unsur masyarakat desa, agar dapat ditetapkan secara tepat batas-batas
wilayah desa yang akan dibentuk;
(h) Bupati/Walikota mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pembentukan desa hasil pembahasan pemerintah desa, BPD, dan unsur
masyarakat desa kepada DPRD dalam forum rapat Paripurna DPRD;
21
(i) DPRD bersama Bupati/Walikota melakukan pembahasan atas Rancangan
Peraturan Daerah tentang pembentukan desa, dan bila diperlukan dapat
mengikutsertakan pemerintah desa, BPD dan unsur masyarakat desa;
(j) Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa yang telah disetujui
bersama oleh DPRD dan Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD
kepada Bupati atau Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah;
(k) Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa
sebagaimana dimaksud pada huruf j, disampaikan oleh Pimpinan DPRD
paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama;
(l) Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa sebagaimana
dimaksud pada huruf k, disampaikan oleh Pimpinan DPRD paling lambat 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak rancangan tersebut disetujui bersama; dan
(m)Dalam hal sahnya Rancangan Peratura Daerah tetang Pembentukan Desa yang
telah ditetapkan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada huruf I,
Sekretaris Daerah mengundangkan Peraturan Daerah tersebut didalam
Lembaran Daerah.
2.5.4 Syarat-syarat Pembentukan Gampong
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa
menyatakan bahwa pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa,
atau bagian desa yang bersanding, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua
desa atau lebih, atau pembentukan desa di luar Gampong yang telah ada.
Sedangkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006
menyatakan bahwa pembentukan desa bertujuan untuk meningkatkan pelayanan
publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
22
Adapun pembentukan desa harus memenuhi berbagai syarat yang tertuang
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang desa dan
Permendagri Nomor 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan,
Penggabungan Desa, dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan.
Adapun dalam Permendagri Nomor 28 Tahun 2006 pada pasal 3 dijelaskan
lebih lanjut tentang syarat pembentukan tentang desa adalah sebagai berikut:
a. Jumlah penduduk, yaitu:
1) Wilayah Jawa dan Bali paling sedikit 1500 jiwa atau 300 KK;
2) Wilayah Sumatera dan Sulawesi paling sedikit 1000 jiwa atau 200 KK;
dan
3) Wilayah Kalimantan, NTB, NTT, Maluku, Papua paling sedikit 750
jiwa atau 75 KK.
b. Luas wilayah dapat dijangkau dalam meningkatkan pelayanan dan
pembinaan masyrakat;
c. Wilayah kerja memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar
dusun;
d. Sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan antar umat beragama
dan kehidupan bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat setempat;
e. Potensi desa yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia;
f. Batas desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang ditetapkan
dengan peraturan daerah; dan
g. Sarana dan prasaranaa yaitu tersedianya potensi infrastruktur pemerintahan
desa dan perhubungan.
23
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab penelitian ini adalah
metode deskriptif. Cholid Narbuko dan Abu Achmadi (2004: 44) memberikan
pengertian penelitian deskriptif sebagai penelitian yang berusaha untuk
menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data, jadi ia
juga menyajikan data, menganalisis dan menginterpretasi; ia juga bersifat
komperatif dan korelatif. Sudarwan Damin (2002: 41) memberikan beberapa ciri
dominan dari penelitian deskriptif yaitu:
a. Bersifat mendeskripsikan kejadian atau peristiwa yang bersifat faktual.
Adakalanya penelitian ini dimaksudkan hanya membuat deskripsi atau
narasi semata-mata dari suatu fenomena.
b. Dilakukan secara survei. Oleh karena itu penelitian deskriptif sering
disebut juga sebagai penelitian survei.
c. Bersifat mencari informasi faktual dan dilakukan secara mendetail.
d. Mendiskripsikan subjek yang sedang dikelola oleh kelompok orang
tertentu dalam waktu yang bersamaan.
3.2 Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
3.2.1 Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan data
primer dan data skunder.
24
1. Data Primer yaitu data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian langsung
di lapangan untuk mencari data-data yang lengkap dan berkaitan dengan
masalah yang diteliti seperti:
a. Metode wawancara mendalam, yaitu dengan cara memberikan pertanyaan
langsung kepada sejumlah pihak terkait yang didasarkan pada percakapan
dibutuhkan. Metode wawancara ditujukan untuk informan penelitian yang
telah ditetapkan. wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif
adalah wawancara mendalam.
Harsono (2009) menyatakan “wawancara mendalam(in–depth interview) adalah proses memperoleh keteranganuntuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatapmuka antara pewawancara dengan informan atau orang yangdiwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman(guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibatdalam kehidupan sosial yang relatif lama”.
b. Metode observasi. Dalam penelitian ini observasi dibutuhkan untuk dapat
memahami proses terjadinya wawancara dan hasil wawancara dapat
dipahami dalam konteksnya.
Nawawi & Martini (1991) mengatakan bahwa“observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistimatikterhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala ataugejala-gejala dalam objek penelitian. Observasi yang akandilakukan adalah observasi terhadap subjek, perilaku subjekselama wawancara, interaksi subjek dengan peneliti dan hal-hal yang dianggap relevan sehingga dapat memberikan datatambahan terhadap hasil wawancara”.
2. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber-sumber tertulis yang
memperkuat data primer seperti:
a. Studi Kepustakaan, Yang dimaksud dengan studi kepustakaan adalah
segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi
yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti.
25
Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian,
karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan,
ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber
tertulis baik tercetak maupun elektronik lain. Untuk melakukan studi
kepustakaan, perpustakaan merupakan suatu tempat yang tepat guna
memperoleh bahan-bahan dan informasi yang relevan untuk dikumpulkan,
dibaca dan dikaji, dicatat dan dimanfaatkan (Roth: 1986). Seorang peneliti
hendaknya mengenal atau tidak merasa asing dilingkungan perpustakaan
sebab dengan mengenal situasi perpustakaan, peneliti akan dengan mudah
menemukan apa yang diperlukan. Untuk mendapatkan informasi yang
diperlukan peneliti mengetahui sumber-sumber informasi tersebut,
misalnya kartu katalog, referensi umum dan khusus, buku-buku pedoman,
buku petunjuk, laporan-laporan penelitian, tesis, disertasi, jurnal,
ensiklopedi, dan bahan-bahan khusus lain. Dengan demikian peneliti akan
memperoleh informasi dan sumber yang tepat dalam waktu yang singkat.
b. Dokumentasi, dokumen adalah sesuatu yang tertulis atau tercatat yang
dapat dipakai sebagai bukti atau keterangan (WJS. Porwodarminto. 1984:
256). Jadi pengertian metode dokumentasi adalah suatu cara untuk
memperoleh data dengan jalan mengambil atau mengutip catatan/
dokumen dari suatu kejadian atau peristiwa, baik berupa tulisan, gambar
atau rekaman yang disimpan.
26
3.2.2 Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi
Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik
terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan pencatatan
yang dilakukan terhadap objek di tempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa
sehingga observasi berada bersama objek yang diselediki, disebut observasi
langsung. Sedang observasi tidak langsung adalah pengamatan yang dilakukan
tidak pada saat berlangsungnya suatu peristiwa yang akan diselediki. (Maman
Rachman, 1999: 77).
Pentingnya pengamatan ini dilakukan adalah untuk melihat sejauh mana
persiapan Dusun IV Babah Lueng dalam mempersiapkan dusunnya menuju nama
sebuah gampong. Persiapannya ini berupa data tertulis dan tidak tertulis, laporan
gampong dan catatan lainnya yang berhubungan dengan Dusun IV Babah Lueng.
Dengan demikian Dusun IV Babah Lueng ini mampu lebih berkembang dan
mandiri dari sebelumnya dan tidak terikat karena mengingat Dusun IV Babah
Lueng selalu dianaktirikan dari dusun-dusun tetangga lainnya oleh desa induk.
Pengamatan ini dilaksanakan oleh peneliti sejak awal pembentukan panitia
pemekaran Dusun IV Babah Lueng menjadi gampong Babah Lueng pada tahun
2005 dan dikarenakan peneliti berasal dari dusun tersebut.
2. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Pelaksanaannya
dilakukan pada Dusun IV Babah Lueng Kcamatan Blangpidie Kabupaten Aceh
Barat Daya. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu
pewawancara(interviewer) atau yang mengajukan pertanyaan, dan yang
27
diwawancarai (interviewee), atau yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu
(Moleong, 2002: 137).
Informan penelitian ini meliputi tiga macam yaitu (1) informan kunci (key
informan), yaitu mereka yang mengetahui dan memilki berbagai informasi pokok
yang diperlukan dalam penelitian, (2) informan utama, yaitu mereka yang terlibat
langsung dalam interaksi sosial yang diteliti, (3) informan tambahan, yaitu mereka
yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam
interaksi sosial yang sudah diteliti. (Sugiono, 2006: 171-172).
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti menentukan informan dengan
menggunakan teknik tujuan yaitu: penentuan informan tidak didasarkan atas
strata, pedoman atau wilayah, tetapi berdasarkan adanya tujuan tertentu yang tetap
berhubungan dengan permasalahan penelitian, maka peneliti dalam hal ini
menggunakan informan penelitian yang terdiri dari:
a. Informan kunci, berjumlah 1 orang yaitu pemrakarsa pembentukan gampong,
b. Informan utama, berjumlah 2 orang yaitu tokoh masyarakat:
1. Camat Blangpidie;
2. Kepala Gampong Mata Ie.
c. Informan tambahan, Informan dari masyarakat diambil sebanyak 6 orang
dengan pertimbangan informan mengetahui duduk persoalan masalah yang
diteliti dengan sebaran 3 (tiga) orang dari desa awal dan 3 (tiga) orang dari
desa pemekaran.
3. Dokumentasi
Teknik dokumentasi dalam penelitian ini digunakan hanya sebagai
pelengkap dari teknik pengumpul data lainnya. Data-data yang diambil dari
28
dokumen hanya meliputi gambaran umum wilayah penelitian, yang diperoleh dari
data monografi Dusun IV Babah Lueng yang meliputi: luas wilayah, jumlah
penduduk, tingkat pendidikan, sarana pendidikan, dan prasarana umum.
Pengertian dokumen menurut Lexy J Moleong (2002: 161) adalah setiap bahan
tertulis ataupun film, antara lain dari record, yang tidak dipersiapkan karena
adanya permintaan dari seorang penyidik. Dokumen dan arsip yang dipergunakan
dalam penelitian ini berupa catatan, laporan, blangko dan berbagai macam slip,
peraturan yang berlaku dan lain-lain yang menerangkan secara jelas mengenai
pelaksanaan manajemen supervisor.
3.3 Instrumen Penelitian
Penelitian yang menggunakan metode kualitatif, adalah suatu metode
penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alami, maka
peneliti adalah sebagai instrumen kunci (Moleong, 2002: 4), peneliti merupakan
skenario penelitian serta langsung turun kelapangan melakukan pengamatan dan
wawancara dengan informan.
Penggunaan peneliti sebagai instrumen penelitian untuk mendapatkan data
yang valid dan realible. Namun, untuk membantu kelancaran dalam
melaksanakannya, penelitian ini juga didukung oleh instrumen pembantu berupa
panduan wawancara. Oleh karena itu, sebelum turun ke lapangan, maka peneliti
akan menyiapkan panduan wawancara untuk memudahkan pelaksanaan penelitian
di lapangan. Alat bantu yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu dokumen,
laporan dan lain sebagainya.
29
3.4 Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data
kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema
dan dapat dirumuskan hipotesis kerja (Moleong, 2001: 103). Analisis data
menggunakan metode deskriptif kualitatif, dimana pembahasan penelitian serta
hasilnya diuraikan melalui kata-kata berdasarkan data empiris yang diperoleh.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data yang bersifat kualitatif, maka
analisis data yang digunakan non statistik.
Analisis data dalam kualitatif berlangsung secara interaktif, di mana pada
setiap tahapan kegiatan tidak berjalan sendiri-sendiri. Meskipun tahap penelitian
dilakukan sesuai dengan kegiatan yang direncanakan, akan tetapi kegiatan ini
tetap harus dilakukan secara berulang antara kegiatan pengumpulan data, reduksi
data, penyajian data serta verifikasi data atau penarikan suatu kesimpulan.
Untuk menganalisis data dalam penelitian ini, digunakan langkah-langkah
atau alur yang terjadi bersamaan yaitu pengumpulan data , reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan atau alur verifikasi data (Miles, 1992: 15-19).
1. Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan
yang dilakukan terhadap berbagai jenis dan bentuk data yang ada di lapangan
kemudian data tersebut dicatat.
2. Reduksi data
Reduksi adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan data kasar yang muncul dari catatan-catatan yang
tertulis di lapangan (Miles dan Huberman, 1992: 17).
30
Reduksi data ini bertujuan untuk menganalisis data yang lebih
mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data agar
diperoleh kesimpulan yang dapat ditarik atau diverifikasi.
Dalam penelitian ini, proses reduksi data dilakukan dengan mengumpulkan
data dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi kemudian dipilih dan
dikelompokkan berdasarkan kemiripan data.
3. Penyajian data
Penyajian data adalah pengumpulan informasi tersusun yang memberikan
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan (Miles dan
Huberman, 1992: 18). Dalam hal ini, data yang telah dikategorikan tersebut
kemudian diorganisasikan sebagai bahan penyajian data. Data tersebut disajikan
secara deskriptif yang didasarkan pada aspek yang diteliti yaitu Analisis
Pembentukan Dusun IV Babah Lueng menjadi Gampong Babah Lueng.
4. Verifikasi data atau penarikan kesimpulan
Verifikasi data adalah sebagian dari suatu kegiatan utuh, artinya makna-
makna yang muncul dari data telah disajikan dan diuji kebenarannya,
kekokohannya dan kecocokannya (Miles dan Huberman, 1992: 19).
Penarikan kesimpulan berdasarkan pada pemahaman terhadap data yang
disajikan dan dibuat dalam pernyataan singkat dan mudah dipahami dengan
mengacu pada pokok permasalahan yang diteliti.
3.5 Uji Kredibilitas Data
Uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian
kualitatif antara lain dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan
ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, dan
31
member check. Digunakannya uji ini dimaksudkan untuk mendapatkan data yang
lebih mendalam mengenai subyek penelitian (Sugino, 2008: 270).
Adapun pengujian kredibilitas data adalah sebagai berikut:
1. Perpanjangan Pengamatan
Perpanjangan pengamatan perlu dilakukan karena berdasarkan pengamatan
yang telah dilakukan, dirasakan data yang diperoleh masih kurang memadai.
Menurut Moleong (2007: 327) perpanjangan pengamatan berarti peneliti tinggal
dilapangan penelitian sampai kejenuhan pengumpulan data tercapai.
2. Peningkatan Ketekunan
Peningktan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih
mendalam untuk memperoleh kepastian data. Meningkatkan ketekunan dilakukan
dengan membaca berbagai referensi baik buku maupun dokumen yang terkait
dengan temuan yang diteliti sehingga berguna untuk memeriksa data apakah benar
dan bisa dipercaya atau tidak.
3. Triangulasi
Triangulasi dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan dari beberapa
pihak secara terpisah namun dengan karakteristik yang sama, kemudian hasilnya
di cross check antara jawaban yang satu dengan jawaban yang lain. Triangulasi
dala penelitian ini dilakukan terhadap orang tua dan sahabat dekat responden. Dari
hasil jawaban dari beberapa pihak tersebut kemudian dilihat kesamaan dan
perbedaannya, sehingga dapat dilihat penerimaan diri berdasarkan pengalaman
psikologis obesitas dari orang yang satu dengan yang lain.
32
4. Pemeriksaan Teman Sejawat
Pemeriksaan teman sejawat dilakukan dengan mendiskusikan data hasil
temuan dengan rekan-rekan sesam mahasiswa maupun teman yang bukan
mahasiswa. Melalui diskusi ini diharapkan akan ada saran atau masukan yang
berguna untuk proses penelitian.
5. Analisis Kasus Negatif
Menurut Sugiono (2008: 275) melakukan analisis kasus negatif berarti
peneliti mencari data yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan data yang
telah ditemukan.
6. Member Check
Member Check atau pengujian anggota yang dilakukan dengan cara
mendiskusikan hasil penelitian kepada sumber-sumber yang telah memberikan
data untuk mengecek kebenaran data dan interprestasinya. Menurut Moleong
(2007: 336) pengecekan dilakukan dengan jalan:
a) Penelitian dilakukan oleh responden,
b) Mengkoreksi kekeliruan,
c) Menyediakan tambahan informasi secara sukarela,
d) Memasukkan responden dalam kancah penelitian, menciptakan kesempatan
untuk mengikhtisarkan sebagai langkah awal analisis data,
e) Menilai kecukupan menyeluruh data yang dikumpulkan.
Pengujian kredibilitas data (credibility) bertujuan untuk menilai kebenaran
dari temuan penelitian kualitatif. Kredibilitas ditunjukkan ketika partisipan
mengungkapkan bahwa transkrip penelitian memang benar-benar sebagai
33
pengalaman dirinya sendiri. Dalam hal ini peneliti akan memberikan data yang
telah ditranskripkan untuk dibaca ulang oleh partisipan.
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian, mengetahui kondisi lingkungan yang akan
diteliti merupakan hal yang sangat penting yang harus diketahui oleh peneliti.
Adapun lokasi penelitian yang diambil penulis adalah Dusun IV Babah Lueng
Kecamatan Blangpidie Kabupaten Aceh Barat Daya. Sehubungan dengan
penelitian ini, maka perlu diketahui kondisi geografis, sarana dan prasarana serta
kondisi sosial ekonomi gampong.
4.1.1 Sejarah Singkat Nama Gampong
Nama gampong Babah Lueng diambil dari nama mata air dipegunungan
yang mengalir diperkampungan. Air ini mengalir dari sumber mata air
pegunungan dan mengalir membentuk sungai-sungai yang mengaliri air ke sawah-
sawah penduduk, selain itu hampir sebagian besar sungai yang terbentuk juga
digunakan masyarakat gampong sebagai tempat MCK (mandi, cuci dan kakus).
4.1.2 Kondisi Geografis Dusun IV Babah Lueng
1. Letak Desa
Dusun IV Babah Lueng berada di Kecamatan Blangpidie Kabupaten Aceh
Barat Daya. Desa ini memiliki luas wilayah 2000 Ha2 yang terdiri dari 4 Dusun,
yaitu Dusun I Blang, Dusun II Teumpeun, dan Dusun III Pisang dan Dusun IV
Babah Lueng.
35
2. Batas Desa
Adapun batas-batas wilayah Dusun IV Babah Lueng adalah sebagai berikut:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan gampong Seunaloh;
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan gampong Keude Paya;
c. Sebelah Barat berbatasan dengan gampong Kuta Tinggi;
d. Sebelah Timur berbatasan dengan gampong Panton Raya.
3. Luas Desa
Dusun IV Babah Lueng mempunyai luas tanah secara keseluruhan mencapai
2.000 hektar, yang terbagi menjadi:
a. Dusun Cot Keumenyan;
b. Dusun Tengku Dileubok;
c. Dusun Madu;
d. Dusun Seumancang.
4.1.3 Sarana dan Prasarana Dusun IV Babah Lueng
Ketersediaan sarana dan prasarana di Dusun IV Babah Lueng hampir
memadai, sedangkan untuk sarana transportasi rata-rata penduduk sudah
mengendarai sepeda motor bahkan mobil. Selain itu, untuk menuju pusat kota
Provinsi Aceh di Banda Aceh tidak terlalu sulit karena adanya angkutan umum
dan keberadaan gampong yang terletak tidak jauh dari Pusat Kota Kabupaten
Aceh Barat Daya.
Gampong Babah Lueng terdiri dari beberapa unit jalan, yaitu jalan ke Ibu
Kota kecamatan dengan jarak 2,5 Km, jalan ke Ibu Kota Kabupaten dengan jarak
2 Km dan jalan ke Ibu Kota Provinsi dengan jarak 300 Km. Di Gampong Babah
Lueng tidak terdapat saluran pembuangan, karena di dusun tersebut tidak
36
memiliki limbah pabrik dan juga karena air irigasi dimanfaatkan warga untuk
kebutuhan MCK (Mandi, Cuci, Kakus) dan mengaliri sawah. Sedangkan untuk
penggunaan energi listrik, hampir 99% masyarakat sudah menggunakannya untuk
berbagai kepentingan rumah tangga.
1. Fasilitas Umum
Ketersediaan fasilitas umum di Dusun IV Babah Lueng dapat peneliti
gambarkan dalam bentuk tabel di bawah ini:
Tabel 4.1 Ketersediaan Fasilitas Umum di Dusun IV Babah Lueng
Jenis Ukuran/Daya Tampung Kondisi
Sekolah Dasar (1 Unit)Sekolah Menengah PertamaSekolah Menengah UmumGedung gampong (KantorMukim)PesantrenBalai PengajianTPATempat Pelelangan IkanPolindes (1 Unit)PasarKuburan UmumIrigasi Tekhnis (1 Unit)
180--
13x8 meter
160 orang10-20 orang
40 orang-
15 orang-
200 kuburan-
Layak--Layak
LayakLayakLayakTidak LayakLayak-Layak-
Sumber: Data Dusun IV Babah Lueng, 2012
2. Sumber-sumber Air Bersih
Ketersediaan sumber air bersih di Dusun IV Babah Lueng dapat peneliti
gambarkan dalam bentuk tabel di bawah ini:
Tabel 4.2 Ketersediaan Sumber-sumber Air Bersih di Dusun IV BabahLueng
Jenis Satuan/Unit
SungaiSumur CincinSumur Bor
12 unit70 unit
37
PDAM 1 Unit
Sumber: Data Dusun IV Babah Lueng, 2012
4.1.4 Kondisi Sosial Ekonomi Dusun IV Babah Lueng
1. Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat gampong Babah Lueng pada umumnya
adalah sektor Pertanian. Dengan lahan sawah seluas 30 Hektar, lahan perkebunan
seluas 98 Hektar, lahan perkebunan rakyat seluas 20.000 Hektar, dan lahan
pertanian tanaman pangan seluas 33 Hektar. Masyarakat Babah Lueng umumnya
menanam padi. Sedangkan didaerah yang berbukit dan gunung merupakan daerah
kebun penduduk yang sebagian besar ditanami pohon pala, kopi, cengkeh,
cokolat, durian, pinang, dan karet.
Selain disektor pertanian, masyarakat di gampong Babah Lueng juga
memelihara ternak di hampir setiap rumah, yaitu berupa ternak ayam, bebek dan
beternak kambing.
2. Sumber-sumber Mata Pencaharian Pokok
Sumber mata pencaharian pokok di Dusun IV Babah Lueng dapat peneliti
gambarkan dalam bentuk tabel di bawah ini:
Tabel 4.3 Ketersediaan Sumber-sumber Mata Pencaharian Pokok di DusunIV Babah Lueng
Jenis Mata Pencaharian Utama Jumlah
Pegawai Negeri SipilBuruhPengusaha Kecil/Industri Rumah TanggaPengusaha AngkutanPengemudi dan Tukang BecakTukang kayuTukang Jahit/Usaha TaylorPenambang Pasir/BatuPedagang/TokoPedagang Kaki Lima
532554354735151
38
Pedagang Keliling/IkanWarung Kopi/MiePetani dan Buruh TaniPeternak
47
48817
Sumber: Data Dusun IV Babah Lueng, 2012
3. Jenis Mata Pencaharian dan Perlengkapan yang digunakan
Jenis mata pencaharian dan ketersediaan perlengkapan yang digunakan di
Dusun IV Babah Lueng Babah Lueng dapat peneliti gambarkan dalam bentuk
tabel di bawah ini:
Tabel 4.4 Ketersediaan Jenis Mata Pencaharian dan Perlengkapan yangdigunakan di Dusun IV Babah Lueng
Jenis Mata Pencaharian Peralatan yang digunakan JumlahOrang
Tukang Becak a. Motor 23
Menjahit a. Mesin Jahitb. Guntingc. Meterand. Benange. Jarumf. Mesin borderg. Mesin pinggir
7
Tani dan tukang kayu a. Parangb. Cangkulc. Bajakd. Hand Tractore. Chainsawf. Gergajig. Ketam
488
Sumber: Data Dusun IV Babah Lueng, 2012
4. Potensi Sumber Daya Alam
Ketersediaan potensi Sumber Daya Alam di Dusun IV Babah Lueng
Babah Lueng dapat peneliti gambarkan dalam bentuk tabel di bawah ini:
39
Tabel 4.5 Ketersediaan Potensi Sumber Daya Alam di Dusun IV BabahLueng
Jenis Luas/Unit
SawahKolamPerkebunanKehutananRekreasiLain-lain
30 Ha1,5 Ha
20000 Ha3000 Ha
1 Ha860
Sumber: Data Dusun IV Babah Lueng, 2012
5. Sosial Budaya
Di gampong Babah Lueng terdapat kelompok Pengajian Wirid Yasin, Dalail
Khairat dan kegiatan olah raga seperti Bola Kaki dan Bola Volly, akan tetapi
sampai sejauh ini belum pernah diikutkan dalam pelatihan-pelatihan yang
diadakan baik oleh Pemerintah Kabupaten maupun Pemerintah Provinsi.
4.1.5 Deskripsi Dusun IV Babah Lueng
Nama Dusun IV Babah Lueng diambil dari air yang mengalir dari sumber
mata air pegunungan yang mengalir ke irigasi perumahan penduduk. Berdasarkan
sensus terbaru tahun 2012, jumlah penduduk di Dusun IV Babah Lueng adalah
1.182 jiwa yang terdiri dari 557 jiwa laki-laki dan 626 perempuan atau 288
Kepala Keluarga (KK).
Secara umum masyarakat Dusun IV Babah Lueng telah menggunakan
Listrik untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari, selain itu letak
Dusun IV Babah Lueng yang strategis sangat memudahkan masyarakat dalam
memperoleh arus informasi dan transportasi untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari dan terdapat areal persawahan dan pegunungan sebagai tempat penduduk
berkebun (pala, coklat, cengkeh dan karet).
40
4.1.6 Pedoman Administratif Pembentukan Gampong
Berdasarkan kerangka acuan (proposal) Pembentukan Dusun IV Babah
Lueng menjadi Gampong Babah Lueng di tahun 2005, pedoman administratif
yang dipakai oleh warga Dusun IV Babah Lueng adalah Undang-undang Nomor.
20 Tahun 1999. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus (Otsus)
Aceh, dan Qanun Nomor 27 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa dalam
Kabupaten Aceh Barat Daya. Didalam Bab II Bagian tentang Syarat-syarat
pembentukan desa, Qanun tersebut menyebutkan bahwa:
1. Untuk membentuk suatu gampong sekurang-kurangnya mempunyai
penduduk 250 jiwa;
2. Memiliki luas tertentu dan terjangkau secara berdaya guna dan berhasil guna
dalam rangka memberikan pelayanan dan pembinaan kepada masyarakat;
3. Letak wilayah memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antara dusun
yang letaknya memungkinkan terpenuhi dalam wilayah tesebut;
4. Terjadinya sarana dan prasarana perhubungan, pemasaran, sosial, produksi,
sarana dan prasarana pemerintahan gampong;
5. Kesamaan sosial budaya yaitu suasana yang memberikan kemungkinan
teerbinanya kerukunan hidup beragama dan kerukunan hidup bermasyarakat
yang berhubungan dengan adat-istiadat;
6. Dalam pembentukan gampong atau desa perlu mempedomani pola tata
gampong yang memungkinkan kelancaran perkembangan yang selaras dan
sesuai dengan adat pemerintahan gampong, tata masyarakat dan fisik
gampong atau desa guna mempertahankan keseimbangan dan kelestariannya.
41
7. Calon gampong baru memilki empat dusun, mengenai peta wilayah calon
gampong ada dilampirkan dalam lampiran, berikut ini masing-masing dusun
di gampong tersebut:
Selain itu terdapat pula bukti dukungan dari masyarakat yang terbentuk
dalam Panitia Pemekaran gampong Babah Lueng Kecamatan Blangpidie
Kabupaten Aceh Barat Daya tahun 2005. Kepanitiaan ini merupakan bukti atas
keinginan dan aspirasi masyarakat dalam analisis pembentukan Dusun IV Babah
Lueng untuk menjadi gampong Babah Lueng definitif.
4.1.7 Kondisi Fisik Kewilayahan Dusun IV Babah Lueng
Syarat fisik meliputi cakupan wilayah yang memungkinkan masyarakat
dapat beraktifitas secara leluasa berdasarkan tata adat istiadat yang ada ditengah-
tengah masyarakat. Wilayah calon gampong yang akan dimekarkan seluas kurang
lebih 2 Km2. Wilayah pembentukan gampong digambarkan dalam peta wilayah
calon gampong serta sarana dan prasarana yang tersedia.
Berikut gambaran gampong berdasarkan proposal yang diajukan panitia
pemekaran:
a. Dusun Cot Keumenyan;
b. Dusun Tengku Dileubok;
c. Dusun Madu;
d. Dusun Seumancang.
Sarana dan prasarana yang tersedia berdasarkan pengamatan penulis pada
calon gampong tersebut berupa 2 unit sarana peribadatan berupa Mesjid dan
Dayah dan adanya 1 unit kilang padi (Pabrik Padi).
42
Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan, Dusun IV Babah Lueng
merupakan jalan penghubung antara Kota Blangpidie Kabupaten Aceh Barat Daya
dengan Kabupaten Aceh Selatan.
4.2 Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Dusun IV Babah Lueng Kecamatan
Blangpidie Kabupaten Aceh Barat Daya Provinsi Aceh, selama kurang lebih 2
bulan. Dalam pengumpulan data yang diperlukan untuk menjawab permasalahan
penelitian, ada beberapa tahapan yang dilakukan penulis, yaitu: pertama,
penelitian diawali dengan pengumpulan berbagai dokumen tertulis tentang kondisi
umum Dusun IV Babah Lueng seperti profil gampong Babah Lueng atau Dusun
IV Babah Lueng. Kedua, penulis melakukan wawancara dengan beberapa
informan yang sudah ditetapkan untuk mendapatkan informasi dan fakta-fakta
yang lebih komprehensif menyangkut permasalahan penelitian.
Wawancara merupakan salah satu cara untuk mendapatkan informasi dari
para key informan tentang analisis pembentukan Dusun IV Babah Lueng untuk
menjadi gampong. Sesuai dengan rancangan penelitian, penulis menetapkan
jumlah key informan sebanyak 6 (enam) orang. Keenam orang yang ditetapkan
sebagai key informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang memilki
kedudukan tertentu karena dianggap dapat menjawab segala sesuatu yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini, yaitu yang berhubungan dengan pembentukan
Dusun IV Babah Lueng menjadi gampong Babah Lueng. Keenam orang yang
menjadi key informan terdiri dari Pemrakarsa pembentukan gampong, Camat
Blangpidie, Kepala Gampong Babah Lueng dan Kepala Dusun IV Babah Lueng.
43
Maka dalam hal ini penulis akan menyajikan hasil wawancara dalam bentuk
uraian-uraian dan penjelasan sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh
informan yang bersangkutan berdasarkan rumusan permasalahan.
4.2.1 Pemicu Utama Munculnya Rencana Pemekaran Dusun IV BabahLueng
Munculnya pemicu utama rencana pemekaran ini adalah berawal dari
keresahan warga yang merasakan bahwa adanya ketidakadilan pembangunan di
dusun tersebut sehingga mereka sama-sama berfikir, berkumpul dan mengambil
keputusan bahwa mereka menginginkan dusun IV Babah Lueng dimekarkan
menjadi sebuah gampong seperti gampong induknya gampong Mata Ie.
Hal tersebut sesuai wawancara dengan Bapak Cut Ahmad (masyarakat
Dusun IV Babah Lueng) yang mengatakan bahwa:
“Pada dasarnya dusun kami sudah layak untuk dimekarkan karena dari segi
jumlah penduduk sudah mencukupi, bahkan tim observasi sudah turun kelapangan
untuk mengumpulkan data terkait syarat-syarat pembentukan atau pemekaran”.
Berdasarkan hasil wawancara diatas maka dapat dikatakan bahwa Dusun IV
Babah Lueng sudah mencerminkan layaknya sebuah gampong yang seharusnya
dimekarkan. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh kepala Dusun IV Babah
Lueng bahwa:
“Panjangnya Dusun IV Babah Lueng ada 1 ½ km dan bila dilihat dari
gunung sampai persawahan masyarakat lebar kurang lebih 4 km”.
Selanjutnya ditambahkan oleh Kepala Desa Mata ie bahwa:
44
“Saya sendiri sudah menandatangani surat rekomendasinya, bukan saja
kepala desa, dan camat bahkan bupati pun sudah menerima proposal dari dusun
tersebut”.
Selanjutnya Bapak Cut Ahmad selaku lapisan masyarakat Dusun IV
Babah Lueng juga mengatakan bahwa:
“Sudah sejak lama kami berjuang untuk pemekaran dusun kami menjadi
gampong. Proposal kami sudah kami sampaikan kepada pemerintah kabupaten
melalui DPRK Abdya”.
Kemudian ditambahkan oleh pemrakarsa desa yang menyatakan bahwa:
“Rencana pemekaran sudah lama kami usul sejak tahun 2005. Terakhir
kemarin kami ajukan proposal sampai ke dewan kabupaten dan Bapak Bupati dan
ketika Qanun Abdya mengatur tentang 250 jiwa syaratnya. Tapi itu kan dulu.
Sekarang sudah ada aturan baru, yakni harus ada 1.000 jiwa”.
Berdasarkan wawancara diatas maka dapat dijelaskan bahwa munculnya
rencana pemekaran ini memang sudah lama bahkan sebelum Kepala Dusun IV
Babah Lueng diangkat menjadi Kepala Dusun. Seperti yang dikatakan oleh Camat
Blangpidie bahwa:
“Saya melihat benar. Semua masyarakat berniat membentuk danmemekarkan Dusun IV Babah Lueng menjadi desa dan sepenuhnyamereka memang mendukung ide pembentukan dan pemekaran tersebutdan alhamdulillah semua masyarakat mendukung rencanapemebentukan atau pemekaran ini. Karena masyarakat sudah mengertitentang pentingnya dusun ini menjadi sebuah desa”.
Berdasarkan wawancara diatas dapat dipahami bahwa masyarakat selama ini
hanya merasakan ketidakadilan pembangunan di dusun mereka tersebut oleh
karena itu mereka ingin mekar menjadi sebuah desa atau gampong, dan
45
masyarakatpun sangat mendukung ide pemekaran ini guna kesejahteraan dusun
tersebut.
4.2.2 Pembentukan Dusun IV Babah Lueng Menuju PembentukanGampong Babah Lueng
Untuk menganalisis pembentukan dusun IV Babah Lueng, sebelumnya
diperhatikan dulu apakah dusun tersebut mempunyai kriteria dan syarat untuk
dimekarkan. Bila sudah sesuai dan layak maka pembentukan dapat dijalankan
sesuai yang dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
pemerintah daerah, dalam pasal 216 antara lain mengamanahkan batas pengaturan
lebih lanjut mengenai pemerintah desa diatur dengan peraturan pemerintah,
dimana akhirnya keluar Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang
desa. Yang melahirkan batasan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang di akui dan dihormati dalam sistem Negara kesatuan Republik
Indonesia.
Hal tersebut sesuai wawancara dengan Bapak Amir, AR selaku pemrakarsa
pembentukan Dusun IV Babah Lueng dan Kepala Desa Mata Ie Bapak M. Yasin:
“Jumlah penduduk dusun IV Babah Lueng ada sekitar 1.182 jiwa”.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa untuk syarat Dusun IV Babah
Lueng sudah terpenuhi, sedangkan syarat-syarat yang lain seperti potensi daya
alam mereka sudah memilikinya dengan adanya areal persawahan dan
perkebunan cokelat sebagai tempat penduduk mencari nafkah. Hal yang senada
46
juga diungkapkan oleh salah satu masyarakat dusun IV Babah Lueng Bapak Cut
Ahmad bahwa:
“Untuk syarat menjadi desa, dusun kami jika dilihat dari jumlah
penduduknya sudah memenuhi syarat dan potensi wilayah juga mendukung, dan
kami pun tidak menunda-nunda proses pemekaran, hanya saja semua masih dalam
proses pengurusan”.
Berdasarkan wawancara diatas maka dapat dijelaskan bahwa camat pun ikut
membantu dalam proses pembentukan Dusun IV Babah Lueng Ini mengingat
syaratnya pun sudah memadai. Selanjutnya diungkapkan juga oleh Kepala Desa
Mata Ie Bapak M. Yasin bahwa:
“Dusun IV sudah memiliki sarana dan prasarana pelayanan publik yang
sudah memadai untuk mendukung pemekaran tersebut dan saya pun tidak melihat
adanya pro kontra. Saya hanya menerima proposal pemekaran dari mereka dan
saya tandatangani, sebagai bentuk mengapresiasi aspirasi warga”.
Berdasarkan beberapa hal yang diwawancarai diatas maka dapat dijelaskan
bahwa analisis pembentukan gampong ini sangat diharapkan oleh Dusun IV
Babah Lueng guna memakmurkan dan mensejahterakan dusun IV Babah lueng
sehingga tidak ada lagi yang dianaktirikan dan ketidakadilan.
4.2.3 Identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman dalamAnalisis Pembentukan Dusun IV Babah Lueng untuk MenjadiGampong Babah Lueng
Dari hasil penilaian analisis pembentukan Dusun IV Babah Lueng menjadi
Gampong Babah Lueng, meliputi syarat jumlah penduduk, luas wilayah, wilayah
kerja yang memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi, sosial budaya,
potensi desa, batas desa dan sarana dan prasarana serta juga hasil pengamatan dan
47
wawancara dengan pihak yang terkait maka dapat diidentifiksi kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman yang dikelompokkan dalam kondisi internal dan
eksternal sebagai berikut:
a. Kondisi Internal
Lingkungan internal merupakan komponen-komponen atau variabel
lingkungan yang berasal atau berada dalam organisasi itu sendiri. Komponen
lingkungan internal ini cenderung lebih mudah dikendalikan oleh organisasi
tersebut. Kondisi internal meliputi kekuatan dan kelemahan dari satuan organisasi
yang ada. Dalam hal ini sesuai dengan hasil penilaian syarat teknis, observasi dan
wawancara dengan pihak-pihak yang terkait, maka dapat diidentifikasi kekuatan
dan kelemahan dari Dusun IV Babah Lueng untuk menjadi desa definitif,
sebagaimana hasil wawancara dengan Bapak M. Yasin selaku Kepala Desa Mata
Ie sebagai desa induk yang menyatakan bahwa:
“Sensus terbaru jumlah penduduk yang ada di Dusun IV Babah Lueng
adalah 626 jiwa perempuan dan 557 jiwa laki-laki”.
Dari hasil wawancara diatas dapat dijelaskan bahwa dari hasil jumlah
penduduk 1.182 jiwa, maka ini merupakan sebuah kekuatan (Strength) bagi dusun
tersebut. Dan ini langkah awal dusun tersebut menuju rencana pemekaran Dusun
menjadi gampong karena sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan
syarat pemekaran gampong. Sebagaimana yang dijelaskan bahwa kekuatan Dusun
IV Babah Lueng yang meyakinkan dusun tersebut menjadi sebuah gampong
antara lain :
48
a) Ide pembentukan Dusun IV Babah Lueng menjadi desa Babah Lueng definitif
mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat yang ada di dususn
tersebut;
b) Potensi wilayah dan sumber daya alam yang dimiliki oleh Dusun IV Babah
Lueng memungkinkan untuk menjadi desa mandiri apabila mampu dikelola
dengan baik;
c) Letak yang strategis, Dusun IV Babah Lueng dilalui oleh Jalan Lintas Negara
Kabupaten Aceh Barat Daya-Kabupaten Aceh Selatan yang memudahkan
jaringan perhubungandan komunikasi dalam usaha percepatan pembangunan
desa dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
d) Kondisi sosial budaya yang mendukung stabilitas dan keamanan desa.
Disamping kekuatan diatas, terdapat juga kelemahan-kelemahan yang secara
tidak langsung memperlambat pelaksanaan pemekaran dusun tersebut menjadi
sebuah gampong, yaitu:
1. Belum adanya sarana dan prasarana pemerintahan atau sarana pelayanan
publik;
2. Kualitas sumber daya manusia di Dusun IV Babah Lueng yang masih rendah
yang dikhawatirkan tidak mampu mengelola potensi dengan baik sehingga
menghambat upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat bagi calon desa
tersebut.
Namun demikian, kelemahan ini tidak mengurangi semangat Dusun IV
Babah Lueng dalam mempercepat menuju pembentukan sebuah gampong.
49
b. Kondisi Eksternal
Lingkungan eksternal merupakan komponen atau variabel yang berada
diluar organisasi. Pada analisis lingkungan ini akan dikemukakan mengenai
peluang dan ancaman yang ada. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara
dengan pihak yang terkait, dapat dikemukakan yang akan menjadi peluang
(Opportunity) dalam pembentukan gampong antara lain:
1. Peraturan pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa dan Permendagri
Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Pembentukan, penghapusan, penggabungan
Desa dan Perunahan Status Desa Menjadi Kelurahan yang merupakan landasan
hukum yang memberikan peluang untuk dapat melakukan pembentukan desa;
2. Proposal pembentukan desa sudah pernah disampaikan ke Bupati dan DPRK
Aceh Barat Daya;
3. Adanya potensi sumber daya yang belum dimanfaatkan secara maksimal oleh
masyarakat untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.
Disamping itu ditemukan juga adanya ancaman (Threat) yang dihadapi oleh
Dusun IV Babah Lueng dalam menuju pembentukan gampong, karena
mengingat masih ada pihak-pihak tertentu yang kurang berkenan dengan ide
pemekaran Dusun IV Babah Lueng menjadi gampong Babah Lueng, walaupun
ancaman ini terlihat secara tidak langsung, namun Dusun IV Babah Lueng dan
pemrakarsa pembentukan gampong sangat mewaspadainya dalam rangka
pelaksanaan pembentukan gampong. Ancaman tersebut antara lain:
1. Kurang tepatnya sasaran sosialisasi dapat berakibat pemekaran dijadikan
sumber keuntungan elit politik semata, Karena masyarakat awam kurang
memahami pentingnya pembentukan desa tersebut;
50
2. Belum direvisinya Permendagri Nomor Tahun 2006 yang mengatur tentang
syarat 1.000 jiwa atau 250 KK bagi pembentukan desa di Sumatera dan
Sulawesi.
Mengingat hasil ancaman di atas yang memperlambat jalannya pemekaran,
maka pada akhirnya setelah melalui beberapa tahap penilaian berdasarkan
analisis data primer berupa petikan wawancara mendalam dengan beberapa key
informan yang cukup berkompeten maka dapat dijelaskan bahwa analisis
pembentukan Dusun IV Babah Lueng guna menjadi desa Babah Lueng definitif
belum sepenuhnya memenuhi persyaratan pembentukan sebagaimana yang
tertuang dalam Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 Tentang
Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa dan Perubahan Status Desa
menjadi Kelurahan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh yang Mengatur tentang gampong pada pasal 115 sampai 117
yang berbunyi:
a. Pasal 115 bagian kedua gampong
(1) Dalam wilayah kabupaten atau kota dibentuk gampong atau nama lain.
(2) Pemerintah gampong terdiri atas geucik dan badan permusyawaratan
gampong atau tuha peut atau nama lain.
(3) Gampong dipimpin oleh geucik yang dipilih secara langsung dari dan
oleh anggota masyarakat untuk masa jabatan 6 (enam) tahun dan dapat
dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
b. Pasal 117
(1) Pembentukan, penggabungan, dan atau penghapusan gampong dilakukan
dengan memperhatikan asal-usul dan prakarsa masyarakat.
51
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, fungsi, pembiayaan,
organisasi perangkat pemerintahan gampong atau nama laindiatur
dengan Qanun Kabupaten atau kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut tata cara pemilihan geucik diatur dengan qanun
Aceh.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Analisis Pemicu Utama Munculnya Rencana Pemekaran di Dusun IVBabah Lueng Menjadi Gampong Babah Lueng
Sebagaimana kita ketahui Otonomi Daerah menurut Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2001 Tentang otonomi khusus adalah hak, wewenang dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Sehingga lahirlah pemicu utama munculnya ide pemekaran Dusun IV
Babah Lueng menjadi gampong Babah Lueng karena mengingat dusun tersebut
sudah mandiri dan tidak ingin lagi bergantung pada desa induk. Ditambah
kurangnya pembangunan sehingga Dusun IV Babah Lueng sepakat memisahkan
diri dari desa induk dan ingin membentuk gampong baru agar dapat mempercepat
jalannya proses pembangunan di gampong tersebut. Selain itu masyarakat
berharap rencana ini mampu secepatnya membawa Dusun IV Babah Lueng untuk
menjadi gampong Babah Lueng.
Walaupun demikian, menurut (Sugiarto, 2005: 16) otonomi daerah menjadi
satu hal yang penting, bukan semata-mata karena memberikan kewenangan yang
besar kepada daerah, tapi dengan otonomi, sebuah pembangunan yang lebih
52
terarah dan tepat sasaran akan lebih dimungkinkan. Kita selama ini dapat melihat,
ketika kebijakan ekonomi dan pembangunan ditentukan oleh pemerintah pusat,
maka banyak sekali kebijakan yang dilakukan itu tidak tepat sasaran. Sebenarnya
dengan otonomi daerah, pemerintah daerah akan lebih dapat melaksanakan
program ekonomi dan pembangunan dengan mempertimbangkan kondisi riil
daerah. Lebih dari itu, dengan otonomi maka percepatan pembangunan daerah
dapat dilaksanakan karena otonomi memberikan peluang financial yang lebih
baik, yang apabila digunakan secara maksimal akan menciptakan jalan
kemakmuran bagi masyarakat sebagaimana yang diharapkan oleh seluruh
masyarakat Dusun IV Babah Lueng dalam rencana pemekaran gampong.
4.2.2 Analisis Pembentukan Dusun IV Babah Lueng Menuju PembentukanGampong Babah Lueng
Suatu desa dapat dibentuk atau dimekarkan menjadi desa otonom baru
harus melalui berbagai persyaratan. Hal ini agar desa yang terbentuk maupun desa
induknya masing-masing dapat berkembang, sehingga kesejahteraan masyarakat
akan meningkat. Oleh karena itu rencana pembentukan Dusun IV Babah Lueng
menjadi gampong Babah Lueng harus memenuhi persyaratan yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan,
Penggabungan Desa dan Perubahan Status Desa menjadi Kelurahan.
Pada tempat penelitian ini berlangsung, yakni Dusun IV Babah Lueng
Kecamatan Blangpidie Aceh Barat Daya dapat dilakukan penilaian terhadap
beberapa aspek yang merupakan sorotan bagi pelaksanaan pembentukan desa.
53
Adapun aspek-aspek tersebut bersandar pada Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 28 Tahun 2006 sebagaimana telah disebutkan diatas, yakni:
1) Jumlah penduduk, yakni 1000 jiwa atau 200 KK untuk wilayah Sumatera
dan Sulawesi;
2) Luas wilayah dapat dijangkau dalam meningkatkan pelayanan dan
pembinaan masyarakat;
3) Wilayah kerja memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun;
4) Sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan antar umat beragama dan
kehidupan bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat setempat;
5) Potensi desa yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia;
6) Batas desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang ditetapkan dengan
peraturan daerah;
7) Sarana dan prasarana yaitu tersedianya potensi infrastruktur pemerintahan
desa dan perhubungan.
4.2.3 Identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman dalamRencana Analisis Pembentukan Dusun IV Babah Lueng menjadiGampong Babah Lueng
Identifikasi Strength, Weaknees, Opportunity dan Threat yang disingkat
SWOT adalah identifikasi yang dilakukan dengan pencermatan terhadap
lingkungan dengan menggunakan analisis kekuatan (Strength), kelemahan
(Weaknees), peluang (Opportunity) dan ancaman (Threat). Analisis SWOT
merupakan suatu cara untuk mengidentifikasi kondisi internal dan kondisi
eksternal. Kondisi internal meliputi kekuatan dan kelemahan, sedangkan kondisi
eksternal meliputi peluang dan ancaman. Dengan analisis SWOT ini akan dapat
54
diketahui isu-isu strategis yang diperlukan untuk membentuk suatu strategi dalam
menghadapi rencana pemekaran daerah.
Dari hasil penilaian analisis Dusun IV Babah Lueng menuju pembentukan
gampong meliputi penilaian syarat jumlah penduduk, luas wilayah, wilayah kerja
yang memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi, sosial budaya, potensi
desa, batas desa, sarana dan prasarana serta juga hasil pengamatan dan wawancara
dengan pihak yang terkait maka dapat diidentifikasikan lingkungan internal dan
eksternalnya., yang kemudian akan dirinci menjadi identifikasi pada kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman dalam rencana pembentukan Dusun IV Babah
Lueng menjadi Desa Babah Lueng. Berikut ini akan disajikan identifikasi kondisi
internal dan kondisi eksternal. Berikut ini disajikan identifikasi kondisi internal
dan kondisi eksternal.
1. Kondisi Internal
Lingkungan internal merupakan komponen-komponen atau variabel
lingkungan yang berasal atau berada dalam organisasi itu sendiri. Komponen
lingkungan internal ini cenderung lebih mudah dikendalikan oleh organisasi
tersebut. Kondisi internal meliputi kekuatan dan kelemahan dari satuan organisasi
yang ada. Dalam hal ini sesuai dengan hasil penilaian syarat teknis, observasi dan
wawancara dengan pihak-pihak yang terkait, maka dapat diidentifikasi kekuatan
dan kelemahan dari Dusun IV Babah Lueng untuk menjadi gampong definitif.
1.1 Kekuatan (Strength)
a. Ide analisis pembentukan Dusun IV Babah Lueng menjadi Gampong
Babah Lueng definitif mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat
55
yang ada di dusun tersebut dan sesuai dengan syarat-syarat pembentukan
Gampong 250 KK;
b. Potensi wilayah dan sumber daya alam yang dimiliki oleh Dusun IV
Babah Lueng memungkinkan untuk menjadi desa mandiri.
c. Letak yang strategis, Dusun IV Babah Lueng dilalui oleh jalan bendungan
irigasi Kabupaten Aceh Barat dalam usaha percepatan pembangunan
gampong dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat;
d. Kondisi sosial budaya yang mendukung stabilitas dan keamanan gampong.
1.2 Kelemahan (Weaknees)
Kualitas sumber daya manusia di dusun IV Babah lueng yang masih rendah
yang dikhawatirkan tidak mampu mengelola potensi Sumber Daya Alam dengan
baik sehingga menghambat upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat bagi
calon gampong tersebut.
2. Kondisi Eksternal
Lingkungan eksternal merupakan komponen atau variabel yang berada
diluar organisasi. Pada analisis lingkungan ini akan dikemukakan mengenai
peluang dan ancaman yang ada. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara
dengan pihak yang terkait, dapat dikemukakan yang akan menjadi peluang dam
ancaman yang dihadapi oleh Dusun IV Babah Lueng dalam pembentukan
gampong.
2.1 Peluang (Opportunity)
a. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang desa dan
Permendagri Nomor 28 Tahun 2006 Tentang pembentukan, penghapusan,
penggabungan desa dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan yang
56
merupakan landasan hukum yang memberikan peluang untuk dapat
melakukan pembentukan desa;
b. Proposal pembentukan gampong sudah pernah disampaikan ke Bupati dan
DPRK Aceh Barat Daya;
c. Adanya potensi sumber daya yang belum dimanfaatkan secara maksimal
oleh masyarakat untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.
2.2 Ancaman (Threat)
a. Kurang tepatnya sasaran sosialisasi dapat berakibat pemekaran dijadikan
sumber keuntungan elit politik semata, karena masyarakat awam kurang
memahami pentingnya pembentukan gampong tersebut;
57
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Setelah melakukan pengumpulan data berupa hasil jawaban dari hasil
wawancara denga key informan yang penulis anggap menguasai masalah
penelitian ini, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan berhubungan dengan
penelitian ilmiah tentang kesiapan pembentukan Dusun IV Babah Lueng menjadi
gampong Babah Lueng antara lain:
a. Dengan adanya rencana pembentukan gampong, masyarakat terlepas dari
ketidakadilan pembangunan dan lebih dapat merasakan pembangunan
yang selama ini mereka inginkan dan mampu menjadi gampong yang
lebih berkembang dari sebelumnya seperti yang masyarakat harapkan.
b. Dusun IV Babah Lueng sudah sepenuhnya sudah layak untuk menjadi
gampong Babah Lueng dan memenuhi syarat sebagaimana yang tertuang
dalam Qanun Nomor 27 Tahun 2005 Tentang pemerintahan desa dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 Tentang
pembentukan, penghapusan, penggabungan, desa dan perubahan status
desa menjadi kelurahan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk yang
mencapai 1.182 jiwa atau 288 KK, sedangkan syarat penduduk yang
tertuang dalam Permendagri adalah 1.000 jiwa atau 200 KK. Hal lain
yang memungkinkan Dusun IV Babah Lueng untuk dapat menjadi
gampong adalah sudah tersedianya sarana dan prasarana pemerintahan
seperti Sekolah dan Puskesmas. Sedangkan untuk persyaratan yang lain
58
seperti tertuang dalam Permendagri yaitu, luas wilayah dapat dijangkau,
wilayah kerja jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun, sosial
budaya yang dapat menciptakan kerukunan antar umat beragama dan
kehidupan bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat, potensi gampong
yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia, dan batas
gampong. Berdasarkan hasil penelitian dan kajian penulis, maka Dusun
IV Babah Lueng sudah mampu memenuhi syarat tersebut.
c. Berdasarkan analisis, ide pembentukan Dusun IV Babah Lueng mendapat
dukungan dari seluruh lapisan masyarakat di dusun tersebut, hal ini
merupakan suatu kekuatan untuk dapat terus memperjuangkan
pembentukan gampong dikemudian hari. Disisi lain, Dusun IV Babah
Lueng juga memiliki potensi alam yang menjanjikan seperti luasnya areal
persawahan, perkebunan, dan tambang bijih besi yang belum dikelola
dengan baik. Ini merupakan peluang yang baik untuk dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat bila nantinya menjadi gampong
dan pengelolaannya dapat lebih ditingkatkan. Sedangkan kelemahan
yang paling mendasar dari ide pembentukan gampong tersebut adalah
rendahnya kualitas sumber daya manusia di dusun IV Babah Lueng yang
dikhawatirkan tidak mampu mengelola potensi dengan baik sehingga
menghambat upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat bagi calon
gampong tersebut.
59
5.2 Saran
d. Masyarakat gampong dalam mengajukan proposal tentang pembentukan
gampong harus berpedoman pada peraturan yang lebih tinggi yaitu
Permendagri Nomor 28 Tahun 2006.
e. Upaya pembentukan Dusun IV Babah Lueng menjadi gampong Babah
Lueng yang belum dipenuhi agar dapat disikapi oleh masyarakat dengan
objektif, arif dan bijaksana tanpa harus terprovokasi oleh pihak-pihak
tertentu untuk melakukan tindakan anarkis.
f. Pemerintah (Khususnya Pemerintah Aceh Barat Daya) agar lebih merata
dalam melakukan distribusi pembangunan calon gampong.
60
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad. 1993. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: PustakaAmani.
Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.Jakarta: Rineka Cipta.
Damin, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.
Dwipayana, dkk. 2003. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia.Jakarta: Rajawali Press.
Jeddawi, Murtir. 2009. Pro Kontra Pemekaran Daerah (Analisis Empiris).Yogyakarta: Total Medai.
Moloeng, J Lexy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: RemajaRosdakarya.
Narbuko, Cholid dkk. 2004. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.
Porwodarminto, WJS. 1984. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rekakarya.
Rachman, Maman. 1999. Strategi dan Langkah-langkah Penelitian. Semarang:IKIP Semarang Press.
Sugiarto. 2005. “Suara Rakyat: Otonomi!” dalam Soegeng Sukardi dan SukardiRinakit. Membaca Indonesia. Jakarta: Soegeng Sarjadi Syndicate.
Sugiono. 2006. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.
Waridah, Siti, dkk. 2004. Sosiologi. Jakarta: Bumi Aksara.
Wrihatnolo, Randy R, dan Nugroho, Riant. 2006. Manajemen PembangunanIndonesia: Sebuah Pengantar dan Panduan. Jakarta: Elekx MediaKomputindo.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
61
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa.
Permendagri Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Pembentukan, Penghapusan,Penggabungan, Desa dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan.
Qanun Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Kewenangan Desa, dan Pemerintah Desa.
Qanun Nomor 27 Tahun 2005 Tentang Pemerintahan Desa.