23
Bayu Ardianto 0401111320006 1. Bagaimana penegakan Diagnose? Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang sesuai dengan gejala dan tanda yang diuraikan sebelumnya dan pemeriksaan fisik disertai pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik didapatkan : Inspeksi : pernafasan cuping hidung(+), sianosis sekitar hidung dan mulut, retraksi sela iga. Palpasi : Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit. Perkusi : Sonor memendek sampai beda Auskultasi : Suara pernafasan mengeras ( vesikuler mengeras )disertai ronki basah gelembung halus sampai sedang. Pemeriksaan Penunjang o Pemeriksaan Laboratorium 1. Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 – 40.000/ mm3 dengan pergeseran ke kiri. Jumlah leukosit yang tidak meningkat berhubungan dengan infeksi virus atau mycoplasma.

Skenario c b16

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ok

Citation preview

Page 1: Skenario c b16

Bayu Ardianto0401111320006

1. Bagaimana penegakan Diagnose?

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang sesuai dengan gejala dan tanda

yang diuraikan sebelumnya dan pemeriksaan fisik disertai pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan :

Inspeksi : pernafasan cuping hidung(+), sianosis sekitar hidung dan mulut, retraksi sela

iga.

Palpasi : Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit.

Perkusi : Sonor memendek sampai beda

Auskultasi : Suara pernafasan mengeras ( vesikuler mengeras )disertai ronki basah

gelembung halus sampai sedang.

Pemeriksaan Penunjang

o Pemeriksaan Laboratorium

1. Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 – 40.000/ mm3

dengan pergeseran ke kiri. Jumlah leukosit yang tidak meningkat berhubungan

dengan infeksi virus atau mycoplasma.

2. Nilai Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun.

3. Peningkatan LED.

4. Kultur dahak dapat positif pada 20 – 50% penderita yang tidak diobati. Selain

kultur dahak , biakan juga dapat diambil dengan cara hapusan tenggorok (throat

swab).

Page 2: Skenario c b16

Bayu Ardianto0401111320006

5. Analisa gas darah( AGDA ) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia.Pada

stadium lanjut dapat terjadi asidosis metabolik

o Pemeriksaan Rontgen Toraks

Pada bronkopneumonia, bercak-bercak infiltrat didapati pada satu atau

beberapa lobus. Foto rontgen dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti

pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau perikarditis. Gambaran ke

arah sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai.

Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi serologi,

karena pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan dan bila dapat dilakukan

kuman penyebab tidak selalu dapat ditemukan. Oleh karena itu WHO mengajukan

pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana. Berdasarkan pedoman

tersebut pneumonia dibedakan berdasarkan :

Pneumonia sangat berat : → bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup

minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.

Pneumonia berat : → bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih

sanggup minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.

Pneumonia : → bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat :

-         > 60 x/menit pada anak usia < 2 bulan

-         > 50 x/menit pada anak usia 2 bulan – 1 tahun

-         > 40 x/menit pada anak usia 1 – 5 tahun

Bukan Pneumonia : → hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti diatas,

tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotika.

Page 3: Skenario c b16

Bayu Ardianto0401111320006

2. Bagaimana patofisiologi Bronkopneumonia?

Pneumococcus masuk ke dalam paru melalui jalan pernafasan secara percikan

(droplet). Pneumokokus umumnya mencapai alveoli lewat percikan mukus atau

saliva. Lobus bagian bawah paru paling sering terkena efek gravitasi. Agen-agen

mikroba yang menyebabkan Pneumonia memiliki 3 bentuk transisi primer :

Aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah

berkolonisasi pada orofaring

Inhalasi aerosol yang infeksius

Penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal

Aspirasi dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang

menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran cara hematogen lebih jarang

terjadi. Akibatnya, faktor-faktor predisposisi termasuk juga berbagai defisiensi

mekanisme pertahanan sistem pernafasan. Kolonisasi basilus gram negatif telah

menjadi subjek penelitian akhir-akhir ini.

Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk

mencegah infeksi yang terdiri dari :

1. Susunan anatomis rongga hidung

2. Jaringan limfoid di nasofaring

3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret

lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut

4. Refleks batuk

5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi

6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional

7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama Ig A

8. Sekresi enzim-enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja

sebagai anti mikroba yang non spesifik.

Page 4: Skenario c b16

Bayu Ardianto0401111320006

Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas

sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan

sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli mementuk suatu proses

peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu:

a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang

berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan

peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia

ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast

setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut

mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan

jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin

untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler

paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang

interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.

Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus

ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah

paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen

hemoglobin.

b. Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,

eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi

peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan

leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada

perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat

minimal sehingga anak akan bertambah sesak. Stadium ini berlangsung sangat

singkat, yaitu selama 48 jam.

c. Stadium III (3 – 8 hari)

Page 5: Skenario c b16

Bayu Ardianto0401111320006

Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi

daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh

daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit

di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan

leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi

mengalami kongesti.

d. Stadium IV (7 – 12 hari)

Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan

mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorbsi oleh makrofag

sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

3. Apa komplikasi dari diagnosis?

Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam

rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran

bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah

komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi.

Terkadang dijumpai komplikasi ekstrapulmoner non infeksius bisa dijumpai yang

memperlambat resolusi gambaran radiologi paru, antara lain gagal ginjal, gagal

jantung, emboli paru atau infark paru, dan infark miokard akut. Dapat terjadi

komplikasi lain berupa acute respiratory distress syndrom (ARDS), gagal organ

jamak, dan komplikasi lanjut berupa pneumoni nosokomial.

4. Bagaimana penatalaksanaan?

Farmakologi :

Antibiotika pollfragmael selama 10-15 hari

- Aminofillin 100 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis

- Klorampenikol dengan dosis

Umur < 6 bulan : 25-50 mg/kg/hari

Page 6: Skenario c b16

Bayu Ardianto0401111320006

Umur > 6 bulan : 50 – 75 mg/kg/hari (dosis dibagi dalam 3 dosis) atau

Gintamisin dengan dosis 3-5 mg/kg/hari diberikan dalam 2 dosis

Suportif

IVFD, oksigen, pembersih jalan nafas

Edukasi:

Asupan gizi yang cukup, jauhkan anak dari polusi udarar dan asap rokok

Learning Issue

1. Bronkopneumonia

Definisi Bronkopneumonia

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah peradangan pada

parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi

berbentuk bercak-bercak (patchy distribution). Konsolidasi bercak berpusat

disekitar bronkus yang mengalami peradangan multifokal dan biasanya bilateral.

Konsolidasi pneumonia yang tersebar (patchy) ini biasanya mengikuti suatu

bronkitis atau bronkiolitis.

Morfologi Bronkopneumonia

Bronkopneumonia ditandai dengan lokus konsolidasi radang yang menyebar

menyeluruh pada satu atau beberapa lobus. Seringkali bilateral di basal sebab ada

kecenderungan sekret untuk turun karena gravitasi ke lobus bawah. lesi yang telah

berkembang penuh agak meninggi, kering granuler, abu-abu merah, sampai

kuning, dan memiliki batas yang tidak jelas. Ukuran diameter bervariasi antara 3

sampai 4 cm. pengelompokan fokus ini terjadi pada keadaan yang lebih lanjut

(florid) yang terlihat sebagai konsolidasi lobular total. Daerah fokus nekrosis

(abses) dapat terlihat di antara daerah yang terkena.

Substansi paru di sekelilingi daerah konsolidasi biasanya agak hipermi dan

edematosa, tetapi daerah yang luas diantaranya pada umumnya normal. Pleuritis

Page 7: Skenario c b16

Bayu Ardianto0401111320006

fibrinosa atau supuratif terjadi bila fokus peradangan berhubungan dengan pleura,

tetapi ini tidak biasa. Dengan meredanya penyakit, konsolidasi dapat larut bila

tidak ada pembentukan abses, atau dapat menjadi terorganisasi meninggalkan sisa

fokus fibrosis.

Secara histologis, reaksi itu terdiri dari eksudat supuratif yang memenuhi bronki,

bronkioli dan rongga alveolar yang berdekatan. Netrofil dominan dalam eksudasi

ini dan biasanya hanya didapatkan sejumlah kecil fibrin. Seperti yang diharapkan,

abses ditandai oleh nekrosis dari arsitektur dasar.

Etiologi Bronkopneumonia

Bronkopneumonia dapat juga dikatakan suatu peradangan pada parenkim paru

yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur.20 Bakteri seperti Diplococus

pneumonia, Pneumococcus sp, Streptococcus sp, Hemoliticus aureus,

Haemophilus influenza, Basilus friendlander (Klebsial pneumonia), dan

Mycobacterium tuberculosis. Virus seperti Respiratory syntical virus, Virus

influenza, dan Virus sitomegalik. Jamur seperti Citoplasma capsulatum,

Criptococcus nepromas, Blastomices dermatides, Cocedirides immitis,

Aspergillus sp, Candinda albicans, dan Mycoplasma pneumonia.

Meskipun hampir semua organisme dapat menyebabkan bronkopneumonia,

penyebab yang sering adalah stafilokokus, streptokokus, H. influenza, Proteus sp

dan Pseudomonas aeruginosa. Keadaan ini dapat disebabkan oleh sejumlah besar

organisme yang berbeda dengan patogenitas yang bervariasi. Virus, tuberkolosis

dan organisme dengan patogenisitas yang rendah dapat juga menyebabkan

bronkopneumonia, namun gambarannya bervariasi sesuai agen etiologinya.

Patogenesis Bronkopneumonia

Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,

keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya

bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh

sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi

penyakit.

Page 8: Skenario c b16

Bayu Ardianto0401111320006

Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas

sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan

sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses

peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :

Stadium I/Hiperemia (4 – 12 jam pertama/kongesti)

Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada respon peradangan

permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai

dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.

Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel

mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator

tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga

mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan

prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan

permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke

dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler

dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan

jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan

gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan

saturasi oksigen hemoglobin.

Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)

Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu alveolus terisi

oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host)

sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan sehingga warna paru

menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli

tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini

berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 – 8 hari)

Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih

mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin

terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.

Page 9: Skenario c b16

Bayu Ardianto0401111320006

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai di reabsorbsi, lobus masih tetap padat

karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler

darah tidak lagi mengalami kongesti.

Stadium IV/Resolusi (7 – 11 hari)

Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan

mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi oleh makrofag

sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

Determinan Bronkopneumonia

Faktor Host

a. Umur

ISPA merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak di negara

sedang berkembang. ISPA ini menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan

kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun setiap tahunnya, sebanyak dua

pertiga kematian tersebut adalah bayi (khususnya bayi muda). Hampir seluruh

kematian karena ISPA pada bayi dan balita disebabkan oleh Infeksi Saluran

Pernafasan bawah Akut (ISPbA), paling sering adalah pneumonia.

Tingginya kejadian pneumonia terutama menyerang kelompok usia bayi dan

balita.4 Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko kematian pada bayi dan

balita yang sedang menderita pneumonia.27Menurut hasil penelitian Taisir (2005)

di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh Selatan dengan

menggunakan desain Cross Sectional, IR ISPA balita pada kelompok umur 0-11

bulan (59,1%) lebih tinggi daripada kelompok umur 12-59 bulan (33,7%).

b. Jenis kelamin

Berdasarkan konsep epidemiologi, secara umum setiap penyakit dapat terjadi

pada laki-laki maupun perempuan. Selain umur, jenis kelamin merupakan

determinan perbedaan kedua yang paling signifikan di dalam peristiwa kesehatan

atau dalam faktor risiko suatu penyakit.

Menurut penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan desain

Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan jenis kelamin berhubungan

secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,001) dan diperoleh

Page 10: Skenario c b16

Bayu Ardianto0401111320006

nilai OR=1,524 (CI 95%=1,495-4,261), maka balita yang mengalami pneumonia

kemungkinan 1,524 kali lebih besar pada perempuan dibandingkan laki-laki.

c. Status gizi

Kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurangan gizi adalah

kelompok bayi dan balita.30 Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap

pertumbuhan dan perkembangan dipengaruhi oleh : umur, keadaan fisik, kondisi

kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya, tersedianya makanan dan

aktivitasnya.

Status gizi pada balita berdasarkan hasil pengukuran antropometri dengan melihat

kriteria yaitu : Berat Badan per Umur (BB/U), Tinggi Badan per Umur (TB/U),

Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB).32

Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk

terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara

gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering

mendapat pneumonia. Disamping itu adanya hubungan antara gizi buruk dan

terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan

tubuh balita terhadap infeksi.

Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan

balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit

infeksi akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan

mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah

terserang “ISPA berat” bahkan serangannya lebih lama.

Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan

desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan status gizi berhubungan

secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,013) dan diperoleh

nilai OR=6,041 (CI 95%=1,067-22,713), maka balita yang mengalami pneumonia

kemungkinan 6,04 kali lebih besar mempunyai riwayat gizi kurang dibandingkan

gizi baik atau sedang. Status gizi berhubungan dengan daya tahan tubuh, makin

baik status gizi makin baik daya tahan tubuh, sehingga memperkecil risiko

pneumonia.

Page 11: Skenario c b16

Bayu Ardianto0401111320006

d. Status imunisasi

Imunisasi merupakan salah satu cara menurunkan angka kesakitan dan angka

kematian pada bayi dan balita. Dari seluruh kematian balita, sekitar 38% dapat

dicegah dengan pemberian imunisasi secara efektif. Imunisasi yang tidak lengkap

merupakan faktor risiko yang dapat meningkatakan insidens ISPA terutama

pneumonia.

Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan sembuh akan mendapat

kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar

kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang

dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak. Peningkatan

cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk

mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi

lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita

ISPA diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.

Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan

desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan status imunisasi

berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,009),

dan diperoleh nilai OR=1,758 (CI 95%=1,375-2,883), maka balita yang

mengalami pneumonia kemungkinan 1,76 kali lebih besar mempunyai status

imunisasi yang tidak lengkap dibandingkan yang lengkap.

Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan dengan menggunakan

desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan imunisasi campak

berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita umur 9-59

bulan (OR = 2,307; p=0,003), dapat dikatakan bahwa balita yang mengalami

pneumonia kemungkinan 2,3 kali lebih besar tidak diimunisasi campak

dibandingkan yang telah diimunisasi campak.

Gambaran Klinis Bronkopneumonia

Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas

selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C dan

mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnue,

Page 12: Skenario c b16

Bayu Ardianto0401111320006

pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di

sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,

anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, pada awalnya berupa batuk

kering kemudian menjadi produktif.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan, inspeksi : perlu diperhatikan adanya tahipnue,

dispnue, sianosis sekitar hidung dan mulut, pernapasan cuping hidung, distensi

abdomen, retraksi sela iga, batuk semula nonproduktif menjadi produktif, serta

nyeri dada pada waktu menarik napas. Palpasi : suara redup pada sisi yang sakit,

hati mungkin membesar, fremitus raba mungkin meningkat pada sisi yang sakit,

dan nadi mungkin mengalami peningkatan (tachicardia). Perkusi : suara redup

pada sisi yang sakit. Auskultasi, auskultasi sederhana dapat dilakukan dengan cara

mendekatkan telinga ke hidung/mulut bayi. Pada anak yang bronkopneumonia

akan terdengar stridor.

Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah

yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan. Pada

auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang.

Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi

terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar

mengeras.

Klasifikasi ISPA Pada Balita dengan Gejala Batuk dan atau Kesukaran Bernafas

Berdasarkan Pola Tatalaksana Pemeriksaan, Penentuan Ada Tidaknya Tanda

Bahaya, Penentuan Klasifikasi Penyakit, Pengobatan dan Tindakan.

Klasifikasikasi Gejala ISPA Untuk Golongan Umur <2 bulan

a. Bronkopneumonia berat, adanya nafas cepat (fast breating) yaitu frekuensi

pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat

pada dinding dada bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing).

b. Bukan bronkopneumonia, batuk tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding

dada.

Klasifikasi Gejala ISPA Untuk Golongan Umur 2 bulan – <5 tahun

Page 13: Skenario c b16

Bayu Ardianto0401111320006

a. Bronkopneumonia sangat berat, adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai

nafas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing).

b. Bronkopneumonia berat, adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai adanya

nafas cepat sesuai umur. Batas nafas cepat ( fast breathing) pada anak umur 2

bulan - <1 tahun adalah 50 kali atau lebih per menit dan untuk anak umur 1 - <5

tahun adalah 40 kali atau lebih permenit.

c. Bukan bronkopneumonia, batuk tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding

dada.

Jumlah Kunjungan Berulang

Penentuan jumlah kunjungan berulang pasien dilihat dari kembalinya pasien ke

rumah sakit setelah dirawat inap pertama kali, termasuk bagi penderita

bronkopneumonia sangat bervariasi. Hal ini bergantung dari status pasien, apabila

pasien berstatus sembuh dapat kembali lagi dikarenakan pasien tersebut menderita

kembali penyakit tersebut (rekurens), sehingga perlu dirawat inap kembali. Status

pulang berobat jalan dapat kembali lagi dikarenakan perlu memeriksa,

mengontrol, mengambil obat guna perbaikan keadaan pasien, namun setelah

pemeriksaan pasien dapat dirawat inap lagi dikarenakan tidak memungkinkan

unutuk berobat jalan. Status pulang atas permintaan sendiri dapat kembali dirawat

inap dikarenakan tidak dapat ditangani di rumah.

Lama Rawatan

Penentuan lama rawatan pada pasien rawat inap, termasuk bagi penderita

bronkopneumonia sangat bervariasi. Hal ini tergantung dari jenis penyakit,

tindakan medis rumah sakit dan sebagainya.

Menurut penelitian Irfan (2002) di Rumah Sakit Umum H. Adam Malik Medan

tahun 1999-2000 lama rawatan penderita pneumonia pada balita yang dirawat

inap adalah < 7 hari yaitu 101 orang (72,7%) dan ≥ 7 hari yaitu 38 orang

(27,3%).41 Menurut penelitian Marbun (2009) di Rumah Sakit Dr.Pirngadi

Medan Tahun 2004-2007 lama rawatan rata-rata penderita pneumonia pada balita

adalah 4,5 hari.42

Pencegahan Bronkopneumonia

Page 14: Skenario c b16

Bayu Ardianto0401111320006

Pencegahan Primer

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang

yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak sakit.

Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan

pencegahan khusus.

Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap

kejadian bronkopneumonia. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :

a. Memberikan imunisasi BCG satu kali (pada usia 0-11 bulan), Campak satu kali

(pada usia 9-11 bulan), DPT (Diphteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali (pada

usia 2-11 bulan), Polio sebanyak 4 kali (pada usia 2-11 bulan), dan Hepatitis B

sebanyak 3 kali (0-9 bulan)..

b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberika ASI pada bayi

neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita.

c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi di

luar ruangan.

d. Mengurangi kepadatan hunian rumah

Pencegahan Sekunder

Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang

telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, menghindari

komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi

diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya

penyakit dan terjadinya komplikasi. Upaya yang dilakukan antara lain :26

a. Bronkopneumonia berat : rawat di rumah sakit, berikan oksigen, beri antibiotik

benzilpenisilin, obati demam, obati mengi, beri perawatan suportif, nilai setiap

hari.

b. Bronkopneumonia : berikan kotrimoksasol, obati demam, obati mengi.

c. Bukan Bronkopneumonia : perawatan di rumah, obati demam.

Pencegahan Tersier

Page 15: Skenario c b16

Bayu Ardianto0401111320006

Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan

mengadakan rehabilitasi. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :

a. Memberi makan anak selama sakit, tingkatkan pemberian makan setelah sakit.

b. Bersihkan hidung jika terdapat sumbatan pada hidung yang menganggu proses

pemberian makan.

c. Berikan anak cairan tambahan untuk minum.

d. Tingkatkan pemberian ASI.

e. Legakan tenggorok dan sembuhkan batuk dengan obat yang aman.

f. Ibu sebaiknya memperhatikan tanda-tanda seperti: bernapas menjadi sulit,

pernapasan menjadi cepat, anak tidak dapat minum, kondisi anak memburuk, jika

terdapat tanda-tanda seperti itu segera membawa anak ke petugas kesehatan.

Daftar Pustaka

Bagian anak rsmh. 2012. Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak.Palembang

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20330/4/Chapter%20II.pdf diakses pada 17

maret 2015

Staf pengajar IKA FK UI. 2005. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika.

Suyono, Slamet ,dkk. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai penerbit FKUI