31
1 ASITES ET CAUSA SIROSIS HEPATIS Yenti Puspita Sari 10-2009-012* *mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Alamat: Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510 E-mail: [email protected] Pendahuluan Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum. Asites dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Pada dasarnya penimbunan cairan di rongga peritoneum dapat terjadi melalui 2 mekanisme dasar, yaitu transudasi dan eksudasi. Asites yang ada hubungannya dengan sirosis hati dan hipertensi portal adalah salah satu contoh penimbunan cairan di rongga peritoneum yang terjadi melalui mekanisme transudasi. Asites jenis ini  paling sering dijumpai di Indonesia. Asites merupakan tanda prognosis yang kurang baik  pada beberapa penyakit. Asites juga menyebabkan pengelolaan penyakit dasarnya menjadi semakin kompleks. Infeksi pada cairan asites lebih memperberat perjalanan penyakit dasarnya, sehingga asites harus dikelola dengan baik. Skenario Bapak T berusia 65 tahun datang ke unit gawat darurat dengan keluhan sesak napas sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan disertai rasa mual, cepat merasa lelah, tidak nafsu makan, dan  bengkak pada kedua tungkai sejak 4 minggu yang lalu. Pada pemeriks aan fi sik ta mpak sakit  berat, tekanan darah 110/75 mmHg, denyut nadi 68x/menit, suhu afebril, sklera kuning. Perut tampak membuncit, hepar tidak teraba, lien teraba di Schuffner 1, edema kedua tungkai. Hasil pemeriksaan laboratorium: Hb 9 g/dL, kadar albumin 2g/dL, globulin 4 g/dL. Dari kasus di atas, diagnosis bandingnya antara lain asites et causa sirosis hati, karsinoma hepatoseluler, dan Hepatitis C.

Sken 1 - Asites Ec Sirosis Hepatis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sirosis

Citation preview

ASITES ET CAUSA SIROSIS HEPATIS

Yenti Puspita Sari10-2009-012**mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaAlamat: Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510E-mail: [email protected] adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum. Asites dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Pada dasarnya penimbunan cairan di rongga peritoneum dapat terjadi melalui 2 mekanisme dasar, yaitu transudasi dan eksudasi. Asites yang ada hubungannya dengan sirosis hati dan hipertensi portal adalah salah satu contoh penimbunan cairan di rongga peritoneum yang terjadi melalui mekanisme transudasi. Asites jenis ini paling sering dijumpai di Indonesia. Asites merupakan tanda prognosis yang kurang baik pada beberapa penyakit. Asites juga menyebabkan pengelolaan penyakit dasarnya menjadi semakin kompleks. Infeksi pada cairan asites lebih memperberat perjalanan penyakit dasarnya, sehingga asites harus dikelola dengan baik.

Skenario Bapak T berusia 65 tahun datang ke unit gawat darurat dengan keluhan sesak napas sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan disertai rasa mual, cepat merasa lelah, tidak nafsu makan, dan bengkak pada kedua tungkai sejak 4 minggu yang lalu. Pada pemeriksaan fisik tampak sakit berat, tekanan darah 110/75 mmHg, denyut nadi 68x/menit, suhu afebril, sklera kuning. Perut tampak membuncit, hepar tidak teraba, lien teraba di Schuffner 1, edema kedua tungkai. Hasil pemeriksaan laboratorium: Hb 9 g/dL, kadar albumin 2g/dL, globulin 4 g/dL.Dari kasus di atas, diagnosis bandingnya antara lain asites et causa sirosis hati, karsinoma hepatoseluler, dan Hepatitis C.Sirosis HatiPemeriksaanPemeriksaan dibagi menjadi 3, yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.1. AnamnesisPada anamnesis, ditanyakan nama, umur, jenis kelamin, keluhan utama, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat sosial, riwayat keluarga, dan riwayat obat.Keluhan utamaKeluhan utama pasien sirosis hati biasanya meliputi nyeri di kuadran kanan atas, mual, anoreksia, perut buncit, bengkak pada kaki, dan cepat lelah.Riwayat penyakit dahulu Ditanyakan apakah pernah mengalami penyakit kuning sebelumnya dan bagaimana penanganannya.Riwayat penyakit sekarangDitanyakan adanya mual atau muntah, frekuensi terjadinya, warna muntahan, disertai darah atau tidak, jumlah muntahan, terasa asam atau tidak, dan berkaitan dengan nyeri atau tidak. Bila ada keluhan nyeri abdomen, ditanyakan lokasi nyeri, penjalaran nyeri, dan onset nyeri. Bila ada anoreksia ditanyakan ada/tidaknya penurunan berat badan, nafsu makan normal atau tidak ada, atau takut makan akibat nyeri. bila ada keluhan sesak napas, ditanyakan berapa jauh jarak yang ditempuh sehingga merasa sesak, dapat berbaring telentang atau tidak, terbangun pada malam hari atau tidak karena sesak. Bila ada pembengkakan pada pergelangan kaki disertai sesak napas dicurigai adanya kelainan pada jantung. Pada ikterus ditanyakan onsetnya dan warna urin ketika sakit.Riwayat pribadi dan sosialDitanyakan ada riwayat konsumsi alkohol atau tidak, berapa banyak alkohol yang dikonsumsi. Bila dianggap perlu, dapat pula ditanyakan riwayat penggunaan obat-obatan terlarang, baik menggunakan jarum suntik atau tidak, riwayat transfusi darah, dan riwayat penggunaan obat-obatan lain (yang mungkin mempengaruhi hati).dates2. Pemeriksaan fisikPada pasien sirosis hati, dilakukan pemeriksaan keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, dan pemeriksaan abdomen lengkap (inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi)Pemeriksaan keadaan umumAmati dan nilai tingkat kesadaran pasien. Perhatikan postur tubuh, otot dan keadaan kulit pasien. Cari tanda-tanda awal ikterus pada kulit atau sclera dan tanda anemia di konjungtiva. Kemudian cari tanda-tanda penyakit hati (stigmata sirosis) pada tangan, seperti eritema palmaris karena penurunan metabolisme estrogen di hati, kontraktur Dupuytren (deformitas fleksi pada jari keempat dan kelima) pada penyakit hati dan penyalahgunaan alkohol, leukonikia (dasar kuku yang memutih akibat hipoproteinemia), spider naevi (malformasi vaskular kecil berwarna merah akibat kelebihan estrogen, berasal dari arterior sentral dan dapat dibuat pucat dengan menekan arteriol tersebut).Pemeriksaan tanda-tanda vitalPemeriksaan yang dilakukan antara lain mengukur suhu tubuh pasien, menghitung frekuensi nadi dan pernapasan, dan mengukur tekanan darah pasien.Pemeriksaan abdomenInspeksi untuk melihat apakah ada vena-vena kolateral pada dinding anterior abdomen, apakah ada caput medusae, apakah ada massa tumor sehingga abdomen tampak tidak simetris, dan dilihat juga apakah ada pembuncitan abdomen. Pada auskultasi didengarkan suara bising usus, ada tidaknya bruit sistolik yang dapat didengar pada aneurisma aorta atau pada pembesaran hati karena hepatoma. Pada palpasi, cari ada/tidaknya massa, ada/tidaknya pembesaran hati atau limpa, dan ada nyeri tekan atau tidak. Pada perkusi, dilakukan pengetukan pada dinding abdomen. Normalnya akan didapatkan bunyi timpani pada seluruh dinding abdomen (kecuali daerah hepar). Pada keadaan asites, dimana di dalam abdomen terdapat cairan bebas sedangkan di sampingnya udara bebas, dilakukan pemeriksaan shifting dullness untuk menilai pekak yang berpindah yang menandakan adanya perpindahan cairan. Bila shifting dullness tidak dapat dilakukan karena asites yang masif, dilakukan pemeriksaan undulasi untuk merasakan adanya gelombang cairan.1

3. Pemeriksaan penunjangPemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan kadar bilirubin total dan albumin, dan globulin serum, pemeriksaan alkali fosfatase, AST, ALT, dan PT (Protrombin Time), pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan histologi dari biopsi hati.Pada sirosis hati, pemeriksaan darah lengkap memperlihatkan adanya anemia, leucopenia, atau trombositopenia. Hipersplenisme menyebabkan leucopenia dan trombositopenia, sedangkan defisiensi vitamin dan kehilangan darah kronis menyebabkan anemia. Defisiensi vitamin K menyebabkan pemanjangan PT karena faktor pembekuan yang tidak seimbang.2 Kadar bilirubin total cenderung meningkat, lebih dari 1.1 mg/dL (normalnya 0-1.1 mg/dL), kadar globulin serum cenderung meningkat (normalnya 1.5-3.0 g.dL) dan kadar albumin serum cenderung menurun, normalnya 3.8-5.1 g/dL.3 Pasien sirosis dapat memiliki kadar AST dan ALT yang normal, namun peningkatan AST dan ALT dapat terjadi pada pasien dengan hepatitis autoimun, hepatitis virus, hepatitis alkoholik, dan cedera hati karena obat. Pasien dengan penyakit hati karena kolestasis biasanya mengalami peningkatan alkali fosfatase, -glutamiltranferase, dan bilirubin direk.Pemeriksaan lain untuk menyingkirkan diagnosis antara lain pemeriksaan serologi untuk hepatitis B (HbsAg), C (anti HCV), pemeriksaan jumlah besi dan gen HFE untuk analisis hemokromatosis herediter, pemeriksaan Cu pada serum dan urin 24 jam dan kadar seruloplasmin untuk penyakit Wilson, kadar 1-antitripsin dan genotip terhadap antitrypsin defisinsi, dan pemeriksaan serum autoantibodi dan serum immunoglobulin kuantitatif untuk diagnosis penyakit hati autoimun. Evaluasi secara periodic dengan tumor marker (alfa-fetoprotein, CEA, dan CA 19-9) diindikasikan untuk mendeteksi komplikasi karsinoma hepatoseluler primer. Pemeriksaan radiologis tidak selalu dibutuhkan namun dapat memberiikan informasi tambahan untuk screening karsinoma hepatoseluler primer dan kolangiokarsinoma. Pemeriksaan ini dihubungkan dengan tumor marker yang biasanya dihubungkan dengan sirosis karena berbagai penyebab.Pemeriksaan histologi dari spesiemen biopsi seringkali merupakan kunci diagnosis. Pada sirosis alkoholik, terdapat mikronodul, infiltrasi lemak, dan badan Mallory. Pada sirosis biliaris primer, kolangitis sklerosis primer dan sekunder, dan hepatitis autoimun memiliki gambaran histologi yang sama,2 yaitu adanya infiltrasi limfosit pada daerah portal, terbentuk bridging fibrosis, dan akhirnya terjadi sirosis.4

Diagnosis KerjaDiagnosis kerja ditetapkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan histologi juga penting untuk memastikan diagnosis dan mencari penyebab sirosis.Dari kasus di atas, hasil pemeriksaan menunjukkan adanya ikterus pada sclera, adanya asites, adanya oedem pada kaki, pembesaran limpa pada Schuffner 1, penurunan albumin, dan peningkatan globulin, dapat disimpulkan bahwa Bapak T menderita asites et causa sirosis hati.

Etiologi Sirosis hati adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular. Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis parenkim hati. Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum ada gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis secara konvensional diklasifikasikan sebagai makronodular (besar nodul > 3mm) atau mikronodular (besar nodul < 3mm) atau campuran mikro dan makronodular.5Penyebab dari sirosis dapat dilihat pada tabel 1.6

Tabel 1. Penyebab sirosis. 6

Sebagian besar jenis sirosis dapat diklasifikasikan secara etiologis dan morfologis menjadi sirosis alkoholik, sirosis akibat hepatitis virus kronis (post-nekrotik), sirosis biliaris, dan sirosis karena penyebab lain yang lebih jarang seperti sirosis kardiak dan sirosis kriptogenik.5

Patofisiologi1. Sirosis alkoholik/Sirosis Lannec Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan berbagai penyakit hati kronis, termasuk perlemakan hati alkoholik, hepatitis alkoholik, dan sirosis alkoholik. Lebih parah, konsumsi alkohol yang berlebihan dapat berperan pada kerusakan hati pada pasien dengan kerusakan hati yang lain seperti hepatitis C, hemokromatosis, dan pasien yang mengalami perlemakan hati karena obesitas. Konsumsi alkohol secara kronis dapat menyebabkan fibrosis dimana ketiadaan proses perbaikan yang mendampingi inflamasi dan atau nekrosis. Ketika fibrosis telah mencapai derajat tertentu, terjadi gangguan pada arsitektur normal hati dan penggantian sel hati oleh nodul regeneratif. Pada sirosis alkoholik, diameter ukuran nodul biasanya < 3mm, sehingga disebut mikronodular. Perlemakan hati, akumulasi droplet trigliserid pada hati, adalah respon yang paling sering dan paling awal dari penggunaan alkohol yang berlebihan (lebih dari 120-150 g/hari selama 2-3 minggu), dan studi klasik menunjukkan bahwa abstinensia selama 4 minggu merupakan solusinya. Sintesis asam lemak dan trigliserid yang berlebihan dari kemampuan untuk mengoksidasinya atau mengeluarkannya bersama partikel lipoprotein menyebabkan steatosis hepatitis.

Etanol umumnya diabsorpsi di usus halus, dan sedikit di lambung. Gastric alkohol dehidrogenase (ADH) memulai metabolismee alkohol. Ada 3 sistem enzim berperan pada metabolismee alkohol di hati, yaitu ADH sitosolik, microsomal-oxidizing system (MEOS), dan katalase peroksimal. Oksidasi etanol mayoritas terjadi dengan bantuan ADH di sitosol membentuk asetaldehid, molekul sangat reaktif yang mempunyai banyak efek multiple, dan NADH.6 Peningkatan rasio NADH sitosolik dan mitokondrial menyebabkan terjadinya kompetisi dengan substrat lain di rantai pernafasan sehingga menurunkan aktivitas siklus asam sitrat, yang akhirnya menghambat oksidasi lemak. Penghambatan oksidasi asam lemak ini meningkatkan esterifikasi asam lemak menjadi triasilgliserol (TG), menghasilkan perlemakan hati.7 Kemudian, asetaldehid masuk ke mitokondria dan dimetabolismee menjadi asetat oleh aldehid dehidrogenase (ALDH). .Peningkatan konsumsi alkohol menyebabkan akumulasi trigliserid intraselular karena peningkatan uptake asam lemak dan penurunan oksidasi asam lemak dan sekresi lipoprotein. Sintesis protein, glikosilasi, dan sekresi tidak seimbang. Kerusakan oksidatif pada membrane hepatosit terjadi karena pembentukan senyawa reaktif oksigen, asetaldehid adalah molekul yang sangat reaktif yang berikatan dengan protein membentuk protein-acetaldehid adducts. Adducts ini dapat bergabung dengan aktivitas enzim spesifik, termasuk pembentukan mikrotubular dan penangkapan protein hati. Bersama asetaldehid yang memediasi kerusakan hepatosit, senyawa reaktif oksigen tertentu dapat menyebabkan aktivasi sel Kupffer. Sebagai hasilnya, sitokin profibrogenik diproduksi dan menginisiasi dan mengabadikan aktivasi sel stelata, yang menghasilkan produksi kolagen dan matriks ekstraselular yang berlebihan.6

Jaringan ikat muncul di daerah periportal dan perisentral dan akhirnya menghubungkan triad portal dengan vena sentralis membentuk nodul regeneratif. Nodul biasanya kecil, berukuran 1-3 mm dan ukurannya serupa.4,8 Etanol menekan regenerasi sel hati, sehingga abstinensia (tidak menggunakan alkohol) menyebabkan nodul regenerasi menjadi semakin meningkat , menghasilkan campuran mikro/makronodular atau sirosis makronodular.8

Terjadi kehilangan hepatosit, dan bersama peningkatan produksi dan deposisi kolagen dan destruksi hepatosit yang terus menerus, hati berkontraksi dan menyusut. Proses ini memerlukan waktu tahunan sampai dekade.6

2. Sirosis post-nekrotik (akibat virus hepatitis B atau C)Dari pasien yang terpajan virus hepatitis C (HCV), hampir 80% berkembang menjadi hepatitis C kronis, dan sekitar 20-80% menjadi sirosis dalam waktu 20-30 tahun. Kebanyakan dari pasien ini juga mengonsumsi alkohol, dan insiden murni dari dari sirosis karena hepatitis C belum diketahui. Virus hepatitis C adalah virus non-sitopatik, dan kerusakan hati kemungkinan karena dimediasi oleh imun.

Progresi penyakit hati karena hepatitis C kronis dilihat dari adanya fibrosis di daerah portal dengan bridging fibrosis dan pembentukan nodul, dan akhirnya memuncak pada sirosis. Hati menjadi kecil dan mengerut disertai campuran sirosis mikro dan makronodul yang terlihat pada biopsi hati. Selain terlihat peningkatan fibrosis, juga ditemukan infiltrat inflamasi di daerah portal bersama dan kadang-kadang terdapat cedera lobular hepatoselular dan inflamasi. Pada pasien dengan HCV genotip 3, sering terjadi steatosis.

Temuan yang sama didapatkan pada pasien dengan hepatitis B kronis. Dari pasien yang terekspos hepatitis B, 5% berkembang menjadi hepatitis B kronis, dan kira-kira 20% menjadi sirosis. HbsAg dan HbcAg akan positif, dan dapat ditemukan ground glass hepatosit yang menunjukkan adanya HbsAg .

3. Sirosis karena hepatitis autoimun dan perlemakan non-alkoholikPenyebab lain dari sirosis post-nekrotik meliputi hepatitis autoimun dan sirosis karena steatohepatitis non alkoholik. Banyak pasien dengan hepatitis autoimun muncul bersama dengan sirosis yang sudah ada. Secara khas, pasien ini tidak responsif terhadap terapi imunosupresif seperti glukokortikoid atau azatioprin. Pada situasi ini, biopsi hati tidak menunjukkan infiltrat inflamasi yang signifikan. Diagnosis kasus ini membutuhkan marker autoimun yang positif seperti antinuclear antibody (ANA) atau antismooth-muscle antibody (ASMA). Ketika pasien dengan hepatitis autoimun bersama dengan sirosis dan inflamasi aktif, disertai peningkatan enzim hati, dapat dipikirkan penggunaan terapi imunosupresif.

Dari hasil penelitian, ditemukan peningkatan pasien dengan steatohepatitis non alkoholik akan berkembang menjadi sirosis. Karena banyaknya kasus obesitas sekarang ini, semakin banyak pasien yang diidentifikasi memiliki perlemakan hati non-alkoholik. Dari sejumlah pasien ini, sejumlah orang mempunyai steatohepatitis non alkoholik dan dapat berkembang menjadi fibrosis dan sirosis.

Selama beberapa tahun yang lalu, ditemukan peningakatan bahwa pasien yang didiagnosis menderita sirosis kriptogenik pada dasarnya memiliki setatohepatitis non alkoholik.6 Pada pemerikasaan biopsi ditemukan peradangan campuran di parenkim hati berisi neutrofil dan sel mononukleus, hepatosit yang mengandung hialin Malory.8

4. Sirosis biliarisSirosis biliaris mempunyai gamabran patologis yang berbeda dari sirosis alkoholik arau sirosis post-hepatitis, walaupun manifestasi akhirnya pada penyakit hari sama. Penyebab utama dari sindrom kolestasis kronis adalah sirosis biliaris primer, kolangitis autoimun, kolangitis sklerosing primer, dan idiopatik ductopenia dewasa. a. Sirosis biliaris primerSirosis biliaris primer terdapat pada 100-200 individu tiap juta, dengan lebih banyak pada wanita dan usia pertengahan sekitar 50 tahunan ketika didiagnosis. Penyebabnya belum diketahui, gambarannya adalah inflamasi portal dan nekrosis kolangiosit pada duktus biliaris. Gambaran kolestatis dan sirosis biliaris ditandai dengan peningkatan level bilirubin dan kegagalan hati yang progresif.

Transplantasi hati adalah terapi piluhan untuk pasien dengan sirosis dekompensata karena sirosis biliaris primer. Dari banyak pilihan terapi, baru asam ursodeoksikolat yang diterima karena memperlambat progresi penyakit.

Antimitokondrial antibodi (AMA) positif pada 90% pasien dengan sirosis bilier primer. Autoantibodi ini mengenali protein membrane intermitokondrial yang mengandung enzim piruvat dehydrogenase complex (PDC), rantai cabang 2-oxacoid dehydrogenase complex, dan 2-oxogluterate dehydrogenase complex. Autoantibodi ini tidak patogenik, tapi merupakan marker yang berguna untuk pembuatan diagnosis.

b. Kolangitis sklerosing primerSeperti pada sirosis biliaris primer, penyebab dari kolangitis sklerosing primer juga belum diketahui. Kolangitis sklerosing primer merupakan sindrom kolestasis kronis yang ditandai dengan inflamasi yang difus dan fibrosis duktus biliaris. Proses patologis ini menghasilkan obliterasi kedua duktus biliaris, intra dan ekstrahepatik, sehingga menyebabkan sirosis biliaris, hipertensi portal, dan gagal hati. Penyebab utamanya belum pasti, namun diduga terkait infeksi bakteri dan virus, toksin, predisposisi genetik, dan mekanisme imunologik.

Perubahan patologis dapat terjadi pada kolangitis sklerosing primer yang menunjukkan proliferasi seperti ductopenia dan kolangitis fibrosa (perikolangitis). Seringkali, perubahan biopsi liver tidak patognomonik dan diagnosis kolangitis sklerosis primer harus mencakup visualisasi (imaging) duktus biliaris. Fibrosis periductal kadang-kadang terlihat pada spesimen biopsi dan dapat membantu dalam membuat diagnosis. Selama penyakit berlangsung, sirosis biliaris adalah manifestasi tahap akhir dari kolangitis sklerosing primer.6

5. Sirosis kardiakPasien dengan gagal jantung kanan dalam waktu lama dapat berkembang menjadi cedera hati kronis dan sirosis kardiak. Pada gagal jantung kanan dalam waktu lama, terdapat peningkatan tekanan vena melalui vena cava inferior dan vena hepatika, ke sinusoid-sinusoid hati, yang menjadi dilatasi dan terisi oleh darah. Hati menjadi membesar dan bengkak, dan pada kongesti pasif dalam waktu lama, dan relatif ischemia karena sirkualsi yang tidak baik, hepatosit sentrolobuler dapat menjadi nekrosis, menuju ke fibrosis perisentral. Pola fibrosis ini dapat meluas ke perifer sampai terjadinya sirosis.

Gejala klinisnya, pasien bisanya memiliki gagal jantung karena kongesti dan pembesaran hati. Terjadi peningkatan level ALP, dan peningkatan AST lebih tinggi dari ALT.6

Manifestasti KlinisPasien dapat asimptomatik atau muncul dengan gejala konstitusional yang tidak spesifik, atau gejala gagal hati, komplikasi hipertensi portal, atau keduanya. Gejala yang tidak spesifik seperti kelelahan, mual, muntah, anoreksia, perubahan pola tidur, perubahan libido, nyeri perut, dan malaise.2

Manifestasi utama dan lanjut dari sirosis terjadi akibat 2 tipe gangguan fisiologis: gagal hepatoselular dan hipertensi portal. 1. Manifestasi gagal hepatoselularTerjadi ikterus pada 60% penderita dan biasanya minimal. Hiperbilirubinemia tanpa ikterus lebih sering terjadi. Gangguan endokrin sering terjadi pada sirosis karena hormon korteks adrenal, testis, dan ovarium diinaktivasi di hati, sehingga terjadi peningkatan hormon-hormon tersebut dalam tubuh. Akibatnya, terjadi spider naevi pada kulit, atrofi testis, ginekomastia, alopesia pada dada dan aksila, dan eritema palmaris, karena kelebihan estrogen dalam sirkulasi.Gangguan hematologik yang seing terjadi antara lain kecenderungan perdarahan karena masa proterombin memanjang akibat kurangnya sintesis faktor pembekuan oleh hati. Anemia, leucopenia, dan trombositopenia diduga terjadi akibat hipersplenisme. Limpa tidak hanya membesar (splenomegali), tapi juga lebih aktif menghancurkan sel-sel darah dari sirkulasi sehingga dapat terjadi pansitopenia. Mekanisme lain yang menimbulkan anemia adalah defisiensi folat, vitamin B12, dan besi yang terjadi sekunder akibat kehilangan darah dan peningkatan hemolisis eritrosit.Edema perifer umumnya terjadi setelah timbulnya asites, dan terjadi karena hipoalbuminemia dan retensi daram dan air akibat kegagalan hati menginaktifkan aldosteron dan hormon antidiuretik. Fetor hepatikum (bau apek manis yang terdeteksi dari napas penderita, terutama koma hepatikum) terjadi karena ketidakmampuan hati dalam memetabolisme metionin.Gangguan neurologis yang paling serius pada sirosis lanjut adalah ensefalopati hepatik atau koma hepatikum, akibat kelebihan ammonia dan peningkatan kepekaan otak terhadap toksin. Berkembangnya ensefalopati hepatik sering merupakan keadaan terminal sirosis.9

2. Manifestasi hipertensi portalHipertensi portal secara langsung menyebabkan 2 komplikasi utama dari sirosis, yaitu perdarahan varises dan asites. Selain itu, hipertensi portal juga menyebabkan splenomegali dan hipersplenisme.Hipertensi portal didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan vena porta hepatika > 5 mmHg. Keadaan ini disebabkan oleh kombinasi 2 proses hemodinamik yang berlangsung terus menerus, yaitu:1. Peningkatan resistensi intrahepatik terhadap pasase aliran darah melewati hati karena adanya sirosis dan nodul regeneratif, dan2. Peningkatan sekunder aliran darah splanknikus karena vasodilatasi dari pembuluh darah splanknikus.6,9Kombinasi kedua faktor ini menghasilkan beban berlebihan pada sistem portal yang akhirnya merangsang timbulnya aliran kolateral untuk menghindari obstruksi hepatik sehingga terjadi varises. Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi portal terdapat pada esofagus bagian bawah sehingga terjadi varises esofagus. Perdarahan dari varises ini sering menyebabkan kematian. Selain itu, sirkulasi kolateral juga melibatkan vena superficial dinding abdomen, sehingga mengakibatkan dilatasi vena-vena sekitar umbilicus (caput medusae). Sistem vena rectal membantu dekompensasi tekanan portal sehingga vena-vena berdilatasi dan dapat menyebabkan berkembangnya hemoroid interna. Namun perdarahan dari hemoroid yang pecah biasanya tidak hebat, karena tekanan di daerah ini tidak setinggi tekanan pada esofagus karena jarak yang lebih jauh dari vena porta. Splenomegali pada sirosis terjadi karena kongesti pasif kronis akibat aliran balik dan tekanan darah yang lebih tinggi pada vena lienalis. Peningkatan tekanan portal juga menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus dan penurunan tekanan osmotik koloid akibat hipoalbunemia sehingga menyebabkan oedem dan asites.9

Komplikasi1. Perdarahan saluran cernaPenyebab perdarahan saluran cerna yang paling sering dan paling berbahaya pada sirosis adalah perdarahan dari varises esofagus yang merupakan penyebab dari sepertiga kematian. Penyebab lain perdarahan adalah tukak lambung dan duodenum (pada sirosis, insidensi gangguan ini meningkat), dan kecenderungan perdarahan akibat masa perdarahan yang memanjang dan trombositopenia. Perdarahan saluran cerna ini bermanifestasi pada hematemesis dan melena.

2. AsitesAsites adalah penimbunan cairan serosa dalam rongga peritoneum. Beberapa faktor yang turut terlibat dalam patogenesis asites pada sirosis hati antara lain:1. Hipertensi portal2. Hipoalbuminemia3. Meningkatnya pembentukan dan aliran limfe hati4. Retensi natrium5. Gangguan ekskresi airMekanisme primer penginduksi hipertensi portal adalah resistensi terhadap aliran darah melalui hati. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dalam jaringan pembuluh darah intestinal. Hipoalbuminemia terjadi karena menurunnya sintesis protein karena sel-sel hati yang terganggu akibat sirosis. Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan osmotik koloid. Kombinasi antara tekanan hidrostatik yang meningkat dengan tekanan osmotik yang menurun dalam jaringan pembuluh darah intestinal menyebabkan terjadinya transudasi cairan dari ruang intravaskular ke ruang interstisial sesuai dengan hukum gaya Starling. Dalam hal asites, ruang interstisial yang dimaksud adalah peritoneum. Hipertensi porta kemudian meningkatkan pembentukan limfe hepatik, yang dialirkan dari hari ke rongga peritoneum. Mekanisme ini dapat turut menyebabkan tingginya kandungan protein dalam cairan asites, sehingga meningkatkan tekanan osmotik koloid dalam cairan rongga peritoneum dan memicu terjadinya transudasi cairan dari rongga intravaskuler ke ruang peritoneum. Retensi natrium dan gangguan ekskresi air juga merupakan faktor penting dalam berlanjutnya asites karena hiperaldosteronisme sekunder.Suatu tanda asites adalah meningkatnya lingkar abdomen. Penimbunan cairan yang nyata dapat menyebabkan nafas pendek karena diafragma terdesak naik.

3. Ensefalopati hepatik (koma hepatikum)Ensefalopati hepatik (koma hepatikum) merupakan sindrom neuropsikiatri pada penderita penyakit hati berat. Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental, tremor otot, dan flapping tremor yang disebut sebagai asteriksis.Ensefalopati hepatik merupakan suatu bentuk intosikasi otak disebabkan oleh isi usus yang tidak mengalami metabolismee dalam hati, karena kerusakan sel hati akibat nekrosis atau terdapat pirau yang memungkinkan darah portal mencapai sirkulasi sistemik dalam jumlah besar tanpa melewati hati. Metabolit yang menyebabkan intoksikasi pada otak adalah NH3 yang merupakan hasil pemecahan protein oleh bakteri pada saluran cerna dan seharusnya diubah menjadi urea oleh hati. NH3 merupakan salah satu zat yang bersifat toksik dan diyakini dapat mengganggu metabolisme otak.Gejala dan tanda klinis ensefalopati hepatik dapat timbul sangat cepat dan berkembang menjadi koma bila terjadi gagal hati pada penderita hepatitis fulminan. Pada penderita sirosis, perkembangannya berlangsung lebih lambat dan bila ditemukan pada stadium dini masih bersifat reversibel. Perkembangan ensefalopati hepatik menjadi koma biasanya dibagi dalam 4 stadium:Stadium 1: sedikit perubahan kepribadian dan tingkah laku, penampilan tidak terawatt baik, pandangan mata kosong, bicara tidak jelas, tertawa sembarangan, pelupa, tidak mampu memusatkan perhatian, tidak kooperatif, banyak tidur, sedikit letargi.Stadium 2: perubahan perilaku yang tidak semestinya, pengendalian sfingter yang tidak dapat terus dipertahankan, kedutan otot generalisata dan asteriksis merupakan temuan khas, perubahan sifat dan kepribadian, letargi, apraksia konstitusional (tidak dapat menulis dan menggambar dengan baik)Stadium 3: mengalami kebingungan yang nyata dengan perubahan perilaku, tidur sepanjang waktu, elektroensefalogram (EEG) mulai berubah pada stadium 2 dan menjadi abnormal pada stadium 3 dan 4, prognosis fatal.Stadium 4: koma yang tidak dapat dibangunkan, timbul refleks hiperaktif dan tanda Babinsky, adanya fetor hepatikum (merupakan tanda prognosis buruk dan intensitas baunya sangat berhubungan dengan derajat somnolensia dan kekacauan).9

4. Peritonitis bakterial spontanPeritonitis bakterial spontan adalah komplikasi umum dan parah dari asites, ditandai dengan ainfeksi spontan pada cairan asites tanpa sumber dari intraabdomen. Translokasi bakteri adalah mekanisme yang diasumsikan pada berkembangnya peritonitis bakterial spontan, dengan flora usus yang melewati usus kemudian masuk ke nodus limfe mesenterikus, yang mengarah pada bakteremia dan masuk ke cairan asites. Organisme yang paling sering adalah Escherichia coli dan bakteri usus lain, dan dapat juga ditemukan bakteri gram positif seperti Streptococcus viridans, Staphococcus aureus, and Enterococcus sp. Jika terdapat lebih dari 2 organisme, harus dipikirkan kemungkinan peritonitis bakterial sekunder karena perforasi. Diagnosis peritonitis bakterial spontan dibuat ketika jumlah nautrofil pada cairan sampel >250/mm3. .5. Sindrom hepatorenalSindrom hepatorenal adalah bentuk dari gagal ginjal fungsional tanpa kelainan ginjal patologis yang terjadi pada sekitar 10% pasien dengan sirosis berat atau gagal hati akut. Adanya gangguan pada sirkulasi arteri renalis pada pasien dengan sindrom hepatorenal, yaitu peningkatan resistensi vascular (vasodilatasi splanknikus) dibarengi penurunan resistensi vaskular sistemik (vasokonstriksi sistemik) menyebakan penurunan hebat aliran darah ginjal, terutama korteks.. Alasan mengapa terjadi vasokonstriksi arteri renalis sepertinya multifaktorial dan belum dapat dipahami. Diagnosis dibuat bila ada asites masif pada pasien yang mengalami peningkatan kreatinin secara progresif. Sindrom hepatorenal tipe 1 ditandai dengan ketidakseimbangan fungsi renal yang progresif dan penurunan bersihan kreatinin yang signifikan selama 1-2 minggu. Sindrom hepatorenal tipe 2 ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) karena penurunan perfusi ginjal akibat kerusakan hati lanjut dengan peningkatan kadar serum kreatinin, namun keadaan ini lebih stabil dan diasosiasikan dengan hasil yang lebih baik daripada tipe 1.6 Fungsi ginjal akan pulih jika gagal hati dapat diatasi. Gagal ginjal dapat mempercepat kematian pada pasien dengan penyakit hati fulminan akut atau penyakit hati kronis lanjut.8

PenatalaksanaanEtiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan untuk mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan, dan pengobatan komplikasi.

Pengobatan sirosis kompensataTatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan etiologi, di antaranya menghentikan alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati. Pada hepatitis autoimun, dapat diberikan steroid atau imunosupresif. Pada hemokromatosis, flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan. Pada penyakit hati non-alkoholik, penurunan berat badan akan mencegah terjadinya sirosis. Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin merupakan terapi utama. Pada hepatitis C kronis, kombinasi interferon denga ribavirin merupakan terapi standar. Pada pengobatan fibrosis hati, pengobatan antifibrotik saat ini lebih mengarah pada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang, sel stelata akan ditempatkan sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik sebagai terapi utama untuk mengurangi aktivitasnya. Interferon mempunyai aktivitas antifibrotik yang dihubungkan dengan pengurangna aktivitas sel stelata. Kolkisin memiliki efek antiperadangan dan mencegah pembentukan kolagen namun belum terbukti dalam penelitian sebagai antifibrosis dan sirosis. Metotreksat dan viramin A juga dicobakan sebagai antifibrosis.

Pengobatan sirosis dekompensata Varises esofagus: sebelum berdarah dan sesudah berdarah dapat diberikan obat beta bloker (propanolol). Waktu perdarahan akut, dapat diberikan preparat somatostatin atau okreotide, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi. Asites: tirah baring dan diawali dengan diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5.2 gram atau 90 mmol/ hari, dikombinasi dengan obat-obatan diuretic. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Repsons diuretic bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0.5 kg.hari tanpa ada edema kaki, atau 1 kg/hari bila ada edema kaki. Bila pemberian spironolakton tidak adekuat dapat dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg.hari. pemberian furosemid dapat ditingkatkan dosisnya bila tidak ada respons (dosis maksimal 160 mg.hari). parasentesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites dapat mencapai 4-6 Liter dan dilindungi dengan pemberian albumin IV untuk menghindari ketidakseimbangan elektrolit seperti hipovolemia, hiponatremia, hipokalemia, ensefalopati hepatikum dan gagal ginjal.5 Ensefalopati hepatik: pengobatan awal adalah menyingkirkan semua protein dari diet sampai 0.5g/kg BB per hari dan menghambat kerja bakteri terhadap protein usus. Neomisin (suatu antibiotik yang tidak diabsorpsi)dengan dosis 4-12 g/hari digunakan untuk mengurangi bakteri usus. Laktulosa membantu pasien mengeluarkan ammonia yang kemudian diekskresi dalam feses.5,9 Peritonitis bakterial spontan: pemberian antibiotik seperti sefotaksim intravena, amoksilin, atau aminoglikosida. Sindrom hepatorenal: mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati, mengatur keseimbangan garam dan air, tranplantasi hati.

EpidemiologiLebih dari 40% pasien sirosis asimptomatis. Pada keadaan ini sirosis ditemukan waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau waktu autopsy. Keseluruhan insidensi sirosis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk. Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hati alkoholik maupun infeksi virus kronik. Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa perlemakan hati akan mengakibatkan steatohepatitis non alkoholik dengan prevalensi 4% dan berakhir dengan sirosis hari dengan prevalensi 0.3%. prevalensi sirosis hati akibat steatohepatitis non alkoholik dilaporkan 0.3% juga.

Di Indonesia data prevalensi sirosis hati belum ada, hanya laporan-laporan dari beberapa pusat pendidikan saja. Di RS Dr.Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hati berkisar 4.1% dari pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam dalam kurun waktu 1 tahun (2004, tidak dipublikasi). Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 (4%) dari seluruh pasien di bagian penyakit dalam. 5

PrognosisPrognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi dan penyakit lain yang menyertai.

Klasifikasi Child-Pugh juga untuk menilai prognosis pasien sirosis yang akan menjalani operasi. Lihat tabel 2. Klasifikasi ini terdiri dari Child A, B, C. Klasifikasi Child-Pugh berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka kelangusngan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A 100%, Child B 80%, dan Child C 45%.

Tabel 2. Klasifikasi Child Pasien Sirosis Hati dalam Terminologi Cadangan Fungsi Hati

Derajat KerusakanMinimalSedangBerat

Bil.serum (mu.mol/dl)50

Alb.serum (gr/dl)>3530-35400 ng/mL adalah diagnostic atau sangat sugestif untuk karsinoma hepatoselular. Pemeriksaan USG untuk neoplasma hati memiliki sensitivitas 70-80%, dengan gambaran khas pada HCC berupa gambaran mosaik, formasi septum, bagian perifer sonolusen (ber-halo), bayangan lateral yang dibentuk oleh pseudokapsul fibrotik, serta penyangatan eko posterior. HCC yang diameternya kurang dari 2 cm mempunyai gambaran bentuk cincin yang khas.

Diagnosis KerjaDiagnosis kerja ditegakkan bila ada tumor dengan diameter lebih dari 2 cm disertai penyakit hati kronis, dengan satu gambaran radiologis yang menunjukkan hipervaskularisasi arterial dan penurunan aliran vena, serta kadar AFP serum 400 ng/mL, atau jika lesi kurang dari 2 cm disertai dua gambaran radiologis secara bersamaan yang menunjukkan hipervaskularisasi arterial dan penurunan aliran vena. Diagnosis histologi diperlukan bila tidak ada kontraindikasi untuk lesi berdiameter. 2 cm dan diagnosis pasti diperlukan untuk menetapkan pilihan terapi.Untuk tumor berdiameter kurang dari 2 cm, sulit untuk menegakkan diagnosis secara non-invasif (dengan radiologi) karena berisiko tinggi terjadinya diagnosis negatif palsu akibat belum matangnya vaskularisasi arterial pada nodul.4,5

EtiologiKarsinoma hepatoselular (hepatocellular carcinoma=HCC) merupakan tumor ganas primer pada hati yang berasal dari hepatosit.5 Ada hubungan etiologis yang kuat antara HCC dengan infeksi virus hepatitis B kronis dan virus hepatitis C, sirosis alkoholik, dan penyebab lain dari penyakit hari kronis, dan pajanan terhadap diet yang mengandung aflatoksin.

Faktor risiko utama1. Sirosis hatiSirosis hati merupakan faktor risiko utama HCC di dunia dan melatarbelakangi lebih dari 80% kasus HCC. Setiap tahun, 3-5% dari pasien sirosis hati akan menderita HCC, dan HCC merupakan penyebab utama kematian pada sirosis. Otopsi pada pasien sirosis hati menunjukkan 20-80% telah menderita HCC. Pada sirosis hepatis makronodul, 60-80% ditemukan adanya HCC, dan pada sirosis mikronodul, 3-10% ditemukan adanya HCC. Prediktor utama HCC pada sirosis hati adalah jenis kelamin laki-laki, peningkatan AFP serum, beratnya penyakit dan tingginya aktivitas proliferasi sel hati.

2. Virus hepatitis BHubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya HCC terbukti kuat, baik secara epidemiologis, klinis, maupun eksperimental. Sebagian besar wilayah yang hiperendemik HBV menunjukkan angka kekerapan HCC yang tinggi. Karsinogenisitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan aktivitas protein spesifik-HBV berinteraksi dengan gen hati, yang menyebabkan perubahan hepatosit dari kondisi inaktif menjadi sel yang aktif bereplikasi dan menentukan tingkat karsinogenesis hati.

3. Virus hepatitis CDi wilayah dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan faktor risiko penting dari HCC. Di daerah hiperendemik HBV, prevalensi anti-HCV jauh lebih tinggi pada kasus HCC dengan HBsAg negatif daripada HbsAg positif. Juga ditemukan prevalensi HCV RNA dalam serum dan jaringan lebih tinggi pada pasien HCC dengan HbsAg negatif dibandingkan dengan yang HbsAg positif. Hal ini menujukkan bahwa infeksi HCV berperan penting dalam pathogenesis HCC pada pasien yang bukan pengidap HBV. Pada kelompok pasien penyakit hati akibat transfusi darah dengan anti HCV positif, interval antara saat transfusi sampai terjadinya HCC dapat mencapai 29 tahun. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalui aktivitas nekroinflamasi kronik dan sirosis hati.5

4. Aflatoksin Aflatoksin merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh jamur Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Ada paling sedikit 13 tipe aflatoksin, dimana aflatoksin B1 (AFB1) dianggap paling toksik.4 Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan karsinogen utama dari kelompok aflatoksin yang mampu membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA. Salah satu mekanisme hepato-karsinogenesisnya ialah kemampuan AFB1 menginduksi mutasi pada kodon 249 dari gen supresor tumor p53. Beberapa penilitian dengan menggunakan biomarker menunjukkan adanya korelasi kuat antara pajanan aflatoksin dalam diet dengan morbiditas dan mortalitas HCC.

5. Obesitas, alkohol, dan Diabetes MellitusObestitas dan alkohol berkaitan dengan meningkatnya insidensi perlemakan hati yang akan menyebabkan sirosis hati yang meningkatkan risiko timbulnya HCC. Diabetes mellitus dihubungkan dengan peningkatan kadar insulin dan insulin like growth faktors (IGFs) yang merupakan faktor promotif potensial untuk kanker.

Faktor risiko lainSelain yang telah disebutkan di atas, kondisi lain yang merupakan faktor risiko HCC namun lebih jarang dibicarakan/ditemukan antara lain:1. Penyakit hati autoimun (hepatitis autoimun, sirosis biliaris primer)2. Penyakit hati metabolic (hemokromatosis genetik, defisiensi antitripsin alfa-1, penyakit Wilson)3. Kontrasepsi oral4. Senyawa kimia (thorotrast, vinil klorida, nitrosamine, insektisida organoklorin, asam tanik)5. Tembakau (masih kontroversial)5

PatogenesisAktivasi onkogen dan inaktivasi tumor supresor gen memainkan peranan penting dalam karsinogenesis. Aktivasi onkogen terjadi melalui aktivasi transkripsional, amplifikasi gen, atau aktivasi gen yang mutasi. Inaktivasi tumor supresor gen dapat terjadi melalui delesi genom, translokasi, mutasi, melalui modifikasi epigenetik seperti metilasi promoter. Sel somatik manusia normal memiliki masa hidup dan akan mengalami penuaan sel yang dapat diprediksi setelah mengalami beberapa kali pembelahan. Penuaan sel ini dipicu 2 mekanisme:1. Induksi siklus sel akibat aktivasi tumor supresor gen, p53 dan pRb2. Pemendekan telomer setiap pembelahan selKetika mekanisme pengaturan sel ini tidak diaktivasi, maka pembelahan sel yang tidak terkontrol akan menjadi kanker. Sel yang memiliki masa hidup lebih lama dari sel normal karena regulasi faktor pertumbuhan ataupun karena cedera sel kronis dan regenerasi, memiliki kecenderungan mengalami perubahan genom yang mengarah pada aktivasi onkogen dan inaktivasi tumor supresor gen. Pajanan lingkungan terhadap karsinogen juga dapat menyebabkan aktivasi onkogen atau inaktivasi tumor supresor gen. Lihat gambar 2.

Karsinoma hepatoselular metastasisDisfungsi RbMutasi p53Karsinoma hepatoselularp21WAF4/CIp1Diet aflatoksinMetilasi DNA yg menyimpangInaktivasi P16INK4Hepatitis kronis dan sirosisHati normalHBV, HCV, AlkoholMutasi p53Gambar 2. Jalur molekular mayor hepatokarsinogenesis 4

Hipermetilasi pada gen promoter p16 adalah perubahan paling awal pada dari perkembangan karsinoma hepatoselular. Pada daerah dengan pajanan makanan yang mengandung aflatoksin tinggi, perkembangan mutasi pada gen p53 terjadi awal. Pada daerah dengan pajanan aflatoksin rendah, kelainan jalur p53 dan dan pRb terjadi lebih lambat dalam hepatokarsinogenesis.

Pada sirosis hati, nodul makroregeneratif dengan displasia hepatosit diindentifikasi lesi praneoplastik dari HCC. Secara histologi, lesi displasia diklasifikasikan sebagai lesi dengan sel kecil dan sel sel besar atau hiperplasia adenomatous. Bukti yang ada menyebutkan bahwa displasia sel kecil dan hiperplasia adenomatous adalah lesi praneoplastik predominat. Sayangnya, penelitian yang ada masih cukup jauh dari pengertian komprehensif tentang karsinoma hati.4

Manifestasi KlinisManifestasi klinis sangat bervariasi, dari asimtomatik hingga yang gejala dan tandanya sangat jelas dan disertai gagal hati. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri atau perasaan tak nyaman di kuadran kanan atas abdomen. Pasien sirosis hati yang makin memburuk kondisinya, disertai keluhan nyeri di kuadran kanan atas, atau teraba pembangkakan local di hepar patut dicurigai menderita HCC. Demikian pula bila tidak terjadi perbaikan pada asites, perdarahan varises atau pre-koma setelah diberi terapi yang adekuat, atau pasien penyakit hati kronik dengan HbsAg atau anti-HCV positif yang mengalami perburukan kondisi secara mendadak. Juga harus diwaspadai bila ada keluhan rasa penuh di abdomen disertai perasaan lesu, penurunan berat badan dengan atau tanpa demam.

Keluhan gastrointestinal lain adalah anoreksia, kembung, konstipasi, diare, sesak nafas. Sebagian besar pasien HCC sudah menderita sirosis hati, baik yang masih dalam stadium kompensasi, maupun yang sudah menunjukkan tanda-tanda gagal hati seperti malaise, anoreksia, penurunan berat badan dan ikterus.

Temuan tersering pada HCC adalah hepatomegali, splenomegali, asites, ikterus demam, dan atrofi otot. Sebagian dari pasien yang dirujuk ke rumah sakit karena perdarahan varises esofagus atau peritonitis bacterial spontan ternyata sudah menderita HCC. Pada suatu laporan serial nekrospi didapatkan bahwa 50% dari pasien HCC telah menderita asites hemoragik, yang jarang ditemukan pada pasien sirosis hati saja. Pada 10-40% pasien dapat ditemukan hiperkolesterolemia akibat dari berkurangnya produksi enzim beta-hidroksimetilglutaril koenzim-A reduktase, karena tiadanya kontrol umpan balik yang normal pada sel hepatoma.

KomplikasiKomplikasi dari karsinoma hepatoselular pada umumnya sama dengan kanker lain, yaitu metastasis. Metastasis intrahepatik dapat melalui pembuluh darah, saluran limfe atau infiltrais langsung. Metastasis ekstrahepatik dapat melibatkan vena hepatika, vena porta, atau vena cava. Dapat terjadi metastasis pada varises esofagus dan paru. Metastasis sistemik seperti ke kelenjar getah bening di porta hepatis tidak jarang terjadi, dapat juga sampai di mediastinum. Bila sampai di peritoneum, dapat menimbulkan asites hemoragik, yang berarti sudah memasuki stadium terminal.

PenatalaksanaanPilihan terapi ditetapkan berdasarkan atas ada tidaknya sirosis, jumlah dan ukuran tumor, serta derajat pemburukan hepatik.

1. Terapi non-medikamentosaMeliputi terapi reseksi hepatik, transplantasi hati, terapi TACE (transarterial emolozation/chemo embolization). Reseksi hepatic dilakukan pada pasien dalam kelompok non-sirosis yang biasanya mempunyai fungsi hati normal. Parameter yang digunakan untuk seleksi adalah skor Child-Pugh dan derajat hipertensi portal atau kadar bilirubin serum dan derajat hipertensi portal saja. Kontraindikasi tindakan ini adalah adanya metastasis ekstrahepatik, HCC difus atau multifocal, sirosis stadium lanjut dan penyakit penyerta yang dapat mempengaruhi ketahanan pasien menjalani operasi.

Bagi pasien HCC dan sirosis hati, transplantasi hati memberiikan kemungkinan untuk menyingkirkan kemungkinan tumor dan menggantikan parenkim hati yang mengalami disfungsi. Dilaporkan angka ketahan hidup 3 tahun mencapai 80%, bahkan dengan pengobatan antiviral seperti lamivudin, ribavirin, dan interferon, angka ketahan hidup 5 tahun mencapai 92%.Destruksi dari sel neoplastik dapat dicapai dengan bahan kimia (alkohol, asam asetat) atau dengan memodifikasi suhu (radiofrekuensi, gelombang mikro, laser dan krioablasi). Injeksi etanol perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk tumor kecil karena efikasinya tinggi, efek sampingnya rendah serta relatif murah. Dasar kerjanya adalah menimbulkan dehidrasi, nekrosis, oklusi vascular dan fibrosis. Radiofrequency ablation (RFA) menunjukkan angka keberhasilan yang lebih itnggi daripada PEI dan efikasinya tertinggi untuk tumor > 3cm namun tidak berpengaruh pada harapan hidup pasien. Selain itu RFA lebih mahak dan efek sampingnya lebih banyak dibandingkan PEI.

2. Terapi medikamentosaMeliputi imunoterapi dengan interferon, terapi antiestrogen, antiandrogen, okreotide, kemoterapi arterial atau sistemik. Namun terapi ini masih memerlukan penelitian lanjut untuk mendapatkan penilaian yang meyakinkan.

Epidemiologi HCC meliputi 5.6% dari seluruh kasus kanker pada manusia serta menempati peringkat kelima pada laki-laki dan kesembilan pada perempuan sebagai kanker tersering di dunia, dan urutan ketiga dari kanker saluran cerna setelah kanker kolorektal dan kanker lambung. Tingkat kematian HCC ada di urutan kedua setelah kanker pancreas. Tingkat kekerapan tertinggi HCC( lebih dari 10 kasus per 100.00 penduduk) ada di Asia Timur dan Tenggara serta di Afrika Tengah, yang diketahui sebagai wilayah dengan prevalensi tinggi hepatitis virus.5

PrognosisUntuk melihat prognosis pada kanker, digunakan staging. Dalam staging klini HCC terdapt pemilahan atas kelompok-kelompok yang prognosisnya berbeda berdasarkan parameter klinis, biokimia, dan radiologis. Sistem staging yang ideal seharusnya juga mencantumkan penilaian ekstensi tumor, derajat gangguan fungsi hati, keadaan umum pasien, serta keefektifan terapi. Sebagian besar pasien HCC adalah pasien sirosis yang juga mengurangi harapan hidup. Sistem yang banyak digunakan untuk menilai status fungsional hati dan prediksi prognosis pasien sirosis adalah sistem klasifikasi Child-Turcotte-Pugh, tetapi sistem ini tidak ditujukan untuk penialian staging HCC. Beberapa sistem yang dapat dipakai untuk staging HCC dapat dilihat pada tabel 3.Tabel 3. Sistem klasifikasi berdsarkan derajat prognosis untuk karsinoma hepatoselular 4

KlasifikasiParameter

BCLCStatus performansi, gejala konstitusional, invasi vaskular, penyebaran ekstrahepatik

CLIPStage Child-Turcott-Pugh, ukuran tumor atau nodularitas, invasi vaskular, kadar -fetoprotein 400 mg/ml

GETHCIndeks Karnofsky 2x BANN, invasi vaskular

OkudaAsites, ukuran tumor < 50% dari hati, albumin 3 mg/dL.

Keterangan: BCLC, Barcelona Clinic Liver Cancer; CLIP, Cancer of the Liver Italian Program; GETCHC, Group dEtude et de Traitement du Carcinoma Hepatocellulaire; BANN, batas atas nilai normal.

PreventifTindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah HCC antara lain: Menghindari konsumsi alkohol Menurunkan berat badan pada pasien obesitas Pemberian vaksin Hepatitis B untuk mencegah terinfeksi virus Hepatitis B Tidak menggunakan jarum suntik secara bersama-sama Tidak menggunakan narkoba Menghindari diet yang mengandung aflatoksin (pada kacang-kacangan yang terinfeksi jamur Aspergillus)

Hepatitis C

PemeriksaanPemeriksaan meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, ditanyakan riwayat penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang melalui jarum suntik, riwayat transfusi darah, riwayat sirosis, lesu, mual, bila ada ikterus ditanyakan onsetnya. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan hepatomegali ringan dan nyeri tekan, splenomegali ringan dan limfadenopati. Diperiksa juga ada atau tidaknya stigmata sirosis. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain tes fungsi hati (AST, ALT), tes serologi anti-HCV.

Diagnosis Kerja

Gambar 1. Skema laboratoris selama hepatitis C akut menjadi kronis.6Infeksi HVC diidentifikasi dengan memeriksa antibodi yang dibentuk tubuh terhadap HVC (anti HCV). Antibodi ini akan bertahan lama setelah infeksi terjadi dan tidak mempunyai arti protektif. Deteksi HCV RNA digunakan untuk mengetahui adanya virus ini dalam tubuh pasien terutama dalam serum sehingga memberikan gambaran infeksi sebenarnya. Lihat gambar 3. Pada masa akut, terjadi peningkatan ALT, anti HCV positif dan HCV RNA positif. HCV RNA merupakan penanda yang paling awal muncul pada infeksi akut. Pada masa kronis, terjadi fluktuasi ALT dan HCV RNA dan anti HCV tetap positif.5,6

Etiologi

Gambar 2. Organisasi genom virus Hepatitis C dan 3000 asam aminonya.6Hepatitis C adalah penyakit hepatitis yang disebabkan oleh virus hepatitis C (HCV). Virus ini merupakan virus yang digolongkan dalam famili Flaviviridae bersama-sama dengan virus hepatitis G, yellow fever, dan dengue, dan genus hepacivirus. HCV merupakan virus RNA rantai tunggal, linear, berdiameter 50-60 nm, partikel sferis dengan inti nukelokapsid 33 nm. Genom HCV terdiri atas 9400 nukleotida, mengkode protein besar sekitar residu 3000 asam amino. Sepertiga bagian dari poliprotein terdiri atas protein struktural. Protein selubungnya dapat menimbulkan antibody netralisasi. Dua pertiga dari poliproteinnya terdiri atas protein non-struktural (dinamakan NS2, NS3, NS4A, NS4B, dan NS5B) terlibat dalam replikasi HCV. Lihat gambar 4. Hanya ada satu serotype yang dapat diidentifikasi, namun terdapat banyak genotip dengan distribusi yang bervariasi di seluruh dunia.

Seperti HBV, HCV diyakini terutama ditularkan melalui jalur parenteral dan kemungkinan melalui pemakaian obat IV dan transfusi darah. Risiko penularan melalui hubungan seksual masih menjadi pedebatan, namun efikasi dan frekuensinya rendah. Masa inkubasi berkisara antara 15-160 hari, dengan rata-rata sekitar 50 hari. Infeksi yang berkaitan dengan HCV (maupun HBV) melalui transfusi darah tidak lagi menjadi masalah utama karena semua darah menjalani pemeriksaan sebelum transfusi. Namun, HCV merupakan sebagian besar penyebab kasus hepatitis yang berkaitan dengan transfusi. Transmisi melalui maternal-neonatal efikasi dan frekuensinya rendah dan transmisi melalui fekal-oral tidak terbukti. 5,9

PatogenesisKerusakan sel hati akibat HVC atau partikel virus secara langusng masih belum jelas. Namun beberapa bukti menunjukkan adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan kerusakan sel-sel hati. Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk terjadinya eliminasi menyeluruh HVC pada infeksi akut. Pada infeksi kronik, reaksi CTL yang relatif lemah masih mampu merusak sel-sel hati dan melibatkan respon inflamasi di hati, tetapi tidak bisa menghilangkan virus maupun menekan evolusi genetik HVC sehingga kerusakan sel hati berjalan terus menerus, sehingga fibrosis semakin lama semakin banyak dan sel-sel hati yang ada semakin sedikit, sehingga mengarah pada kerusakan hati lanjut dan sirosis hati.5

Pada gambaran histopatologis pasien hepatitis C kronis dapat ditemukan proses inflamasi kronis berupa nekrosis gerigit, maupun lobular, disertai dengan fibrosis di daerah portal, yang lebih lanjut dapat masuk ke lobulus hati (fibrosis septal) dan kemudian dapat menyebabkan bridging necrosis. Gamabaran yang agak khas untuk infeksi HVC adalah agregat limfosit di lobulus hati namun tidak didapatkan pada semua kasus inflamasi akibat HVC.4,5

Manifestasi klinisUmumnya infeksi akut HVC tidak memberi gejala atau hanya bergejala minimal. Hanya 20-30% kasus saja yang menunjukkan tanda-tanda hepatitis akut 7-8 minggu (berkisar 2-26 minggu) setelah terjadinya paparan. Gejala yang terlihat pada infeksi akut ini sama dengan virus hepatitis A dan B, yaitu malaise, mual, ikterus, ALT meninggi beberapa kali di atas batas atas nilai normal. Infeksi ini akan menjadi kronik pada 70-90% kasus dan seringkali tidak menimbulkan gejala apapun walaupun proses kerusakan hati berjalan terus. Dari pasien hepatitis C kronis, 15-20% akan berkembang menjadi sirosis hati dalam waktu 20-30 tahun.

Kerusakan hati akibat infeksi kronik tidak dapat tergambar pada pemeriksaan fisik maupun laboratorik, kecuali bila sudah terjadi sirosis hati. Pada pasien dengan ALT selalu normal, 18-20% sudah terdapat kerusakan hati yang bermakna, sedangkan pada pasien yang mengalami peningkatan ALT, hampir semuanya sudah mengalami kerusakan hati sedang sampai berat.

Progresifitas hepatitis kronik menjadi sirosis hati tergantung beberapa faktor risiko, yaitu:1. Konsumsi alkohol2. Ko-infeksi dengan HBV3. Ko-infeksi dengan HIV4. Jenis kelamin laki-laki5. Usia tua saat terjadi infeksiSetelah terjadi sirosis hati, maka dapat timbul kanker hati dengan frekuensi 1-4% tiap tahunnya. Kanker hati dapat terjadi tanpa melalui sirosis hati walaupun hal ini amat jarang terjadi.5

KomplikasiKomplikasi pada infeksi HCV antara lain:1. Terbentuknya autoantibodi, seperti ANA, ASMA, dan antibody anti-tiroid pada sekitar 40-65% pasien dengan infeksi HCV kronis2. Kelainan ginjal, seperti vaskulitis sekunder yang menyebabkan krioglobulinemia, proteinuria, hematuria mikroskopik, gagal ginjal akut, atau sindrom nefrotik. (Diduga karena penumpukan kompleks imun pada glomerulus)4,63. Kelainan endokrin, seperti diabetes mellitus tipe II dan tiroiditis autoimun4. Kelainan rematologi, seperti krioglobulinemia, vaskulitis, sicca symptoms, mialgia, arthritis, dan fibromyalgia.5. Lesi pada kulit dan mukosa seperti lichen planus dan oral lichen planus.6. Disfungsi jantung, seperti hipertrofi kardiomiopati, dialtasi kardiomiopati, dan aritmia.7. Limfoma hepatic primer, seperti imunositoma, limfoma zona marginal, limfoma sel besar difus.8. Karsinoma hepatoselular. Faktor risiko perkembangan infeksi HCV menjadi HCC yaitu usia di atas 60 tahun, jenis kelamin laki-laki, pengguna alkohol, koinfeksi dengna HBV, porfiria kutanea tarda, peningkatan jumlah Fe hepatik, dan sirosis parah.9. Kolangiokarsinoma. 4

PenatalaksanaanPengobatan hepatitis C kronis adalah dengan menggunakan interferon alfa dan ribavirin. Bila genotype HVC adalah genotip 1 dan 4, terapi diberikan selama 48 minggu dan bila genotype 2 dan 3, terapi cukup diberikan selama 24 minggu. Kontaindikasi terapi interferon dan ribavirin ini adalah pasien dengna umur > 60 tahun, Hb < 10 g/dL, leukosit < 2500 /uL, trombosit < 100.000/uL, adanya gangguan jiwa yang berat, adanya hipertiroid, adanya gangguan ginjal.

Pada awal pemberian interferon dan ribavirin, dilakukan pemantauan klinis, laboratoris (Hb, leukosit, trombosit, asam urat, dan ALT) setiap 2 minggu yang kemudian dapat dilakukan setiap bulan. Terapi tidak boleh dilanjutkan bila Hb 80%).5 Hepatitis kronis terjadi pada sekitar 80% dari semua orang yang terinfeksi HCV, dan sekitar 70% akhirnya berkembang menjadi sirosis hati dan kanker hati. 5,9

PrognosisMungkin, indikator prognosis yang terbaik untuk hepatitis C kronis adalah histology hati; kecepatan fibrosis hati dapat lambat, moderat, atau cepat. Pasien dengan nekrosis dan inflamasi ringan dengan fibrosis yang terbatas mempunyai prognosis yang baik dan sedikit progresi ke sirosis. Sebaliknya, pasien dengan aktivitas nekroinflamasi moderat sampai parah, atau fibrosis termasuk septal dan bridging nekrosis, progresi ke sirosis cukup tinggi dalam waktu 10-20 tahun. Pada pasien dengan sirosis kompensata yang dihubungkan dengan hepatitis C, angka ketahanan hidup 10 tahun mendekati 80%, angka kematian mencapai 2-6% per tahun, angka pasien sirosis dekompensata 4-5% per tahun, dan pada HCC, 1-4% per tahun.6

Preventif Tidak menggunakan jarum suntik secara bersama-sama Tidak menggunakan narkoba

KesimpulanDari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa diagnosis kerja untuk pasien Bapak T pada skenario di atas adalah asites et causa sirosis hati. Dengan demikian, karsinoma hepatoselular dan Hepatitis C merupakan diagnosis bandingnya. Tabel perbedaan sederhana yang membandingkan kondisi pasien dengan diagnosis kerja dan diagnosis bandingnya dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Perbedaan secara sederhana kondisi pasien dengan diagnosis kerja dan banding

Simpt+PF+PNOSAsites ec Sirosis HatiHCCHepatitis C

Sesak nafas++ (karena asites)+ (karena tumor)-

Mual++++

Cepat lelah++++

Anoreksia++++

Kaki bengkak++--

Tampak sakit berat+++-

Suhu afebril++++

Sclera kuning++-+

Splenomegali++-+

Perut buncit+++-

Penurunan BB--++

Anti HVC +-+/-+/-+

Adanya tumor--+-

Albumin ++Tidak spesifikTidak spesifik

Globulin ++Tidak spesifikTidak spesifik

Riwayat jarum suntik-++/-+

Riwayat alkohol-++/--

Keterangan: Simp+PF+PN= gejala+pemeriksaan fisik+pemeriksaan penunjang; HCC=Hepatocellular carcinoma; OS= orang sakit, dalam kasus ini Bapak T, 65 tahun.

Daftar Pustaka1. Dacre, Jane dan Kopelman, Peter. Buku saku keterampilan klinis. Cetakan pertama. Jakarta: EGC; 2005.h.109-1342. Cirrhosis. Dalam: Runge, M. S., Greganti, M.A. Netters internal medicine. Edisi ke-2. China: Elsevier Saunders; 2009.h.457-63.3. Sutedjo, AY. Buku saku mengenal penyakit melalui hasil pemeriksaan laboratorium. Edisi revisi. Cetakan ke-5. Yogyakarta: Amara Books; 2009.h.93-104.4. Yamada, T. Textbook of gastroenterology. Volume 2. Edisi ke-5. Singapore: Blackwell Publishing Ltd: 2009. h.2256-405.5. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., setiati, S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Edisi ke-5. Cetakan pertama. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.647-91.6. Fauci, Braunwald, Kasper, Longo. Harrisons: principle of internal medicine [e-book]. Edisi ke-17. McGraw-Hill; 2008.h.2177-8, 2213-21.7. Mayes, P.A., Botham, K.M. Lipid transport & storage. Dalam: Murray, R.K., Granner, D.K., Mayes, P.A., Rodwell, V.W. Harper illustrated biochemistry. Edisi ke-26. USA: The McGraw-Hills Companies, Inc.; 2003.h.223-4.8. Kumar, Cotran, Robbins. Buku ajar patologi Robbins. Volume 2. Edisi ke-7. Cetakan pertama. Jakarta: EGC; 2007.671-83.9. Lindseth, Glenda N. Sirosis hati. Dalam: Price, S.A., Wilson, L.M. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Volume 1. Edisi ke-6. Cetakan pertama. Jakarta: EGC; 2006.h.493-501

1