Upload
ahmad-rusydi
View
239
Download
13
Embed Size (px)
Citation preview
Literature Review ini dibuat untuk memenuhi Mata Kuliah
Perkembangan Kontemporer Madrasah dan Pesantren
Judulu Buku:
Sistem Otoritas & Administrasi Islam: Studi
Tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan
dan Kolonial di Palembang
(Prof. Dr. Husni Rahim, 1998)
Reviewer:
Ahmad Rusydi
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2011
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Tulisan ini ingin mereview buku yang berjudul “Sistem Otoritas &
Administrasi Islam: Studi tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial
di Palembang” yang ditulis oleh Prof. Dr. Husni rahim, MA pada bulan
Dzulhijjah 1418 H/ Maret 1998 yang diterbitkan oleh PT Logos Wacana Ilmu.
Buku ini ingin menjelaskan tentang hubungan segitiga antara komunitas
umat, sistem kekuasaan, dan otoritas/ kewenangan agama. Buku ini ingin
membuktikan bahwa dinamika hubungan segitiga tersebut (ketegangan dan
keselarasan) memilki peran yang besar dalam menentukan perubahan corak dari
masing-masing tetapi juga merubah bentuk dan sifat hubungan tersebut.
Metode yang digunakan oleh penulis dalam buku ini adalah metode
komparasi dengan membandingkan peranan penghulu (pejabat agama) dalam
masyarakat palembang di masa kesultanan (penguasa Islam) dan di masa
kolonial belanda. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa ada perubahan
antara penghulu di masa kesultanan dan di masa kolonial. Pada masa kesultanan
penghulu merupakan perpanjangan tangan tugas sultan dan memiliki kewenangan
yang sangat penting sebagai perumus “ideologi kerajaan” dan barometer patut
atau tidak dalam mengambil kebijakan, di masa kolonial penghulu hanyalah alat
kontrol penguasa, ia hanya perpanjangan tugas tanpa kewenangan yang dapat
memutuskan. Kesimpulan yang didapat dari buku ini adalah bahwasanya otoritas
agama perlu dilakukan institusionalisasi dan menjadi bagian dari sturktur
kekuasaan dengan mendapatkan wewenang yang cukup.
Jika diangkat kepada perdebatan akademik global, Buku ini nampaknya
berada dalam perdebatan akademik antara pendapat yang mengatakan bahwa
kekuasaan politik dan kewenangan keagamaan berada di satu tangan; dan yang
mengatakan bahwa kekuasaan politik dan kewenangan keagamaan tidak bisa
disatukan. Namun bukti empiris dari buku ini membuktikan bahwa pemerintahan
palembang (kesultanan) memasukkan otoritas agama secara hirarkis dan sistem
administrasi ternyata sudah berkembang dan cukup baik pada masa kesultanan
tersebut.
2
Namun reviewer juga melihat pertentangan pada pendapat ini, Grim
menemukan dalam penelitiannya bahwa regulasi pemerintah terhadap agama
ternyata dalam penelitian kuantitatifnya menunjukkan indeks yang cukup tinggi
terhadap pembatasan kebebasan beragama (Restriction of religious liberty),
perpecahan pada masyarakat (civilitation divide) hingga berujung pada konflik
(armed conflict)1. Banyak negara yang memisahkan otoritas agama dan
pemerintahan, salah satunya Amerika yang menanggap bahwa agama harus
dilindugi dari campur tangan dan interfensi pemerintah2.
Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdun Noor, ia
menemukan dalam penelitiannya bahwa pemerintahan yang baik (good
governance) tidak bisa dipisahkan dari agama karena agama merupakan pilar
etika dan moral3. Sebagaimana dijelaskan dalam buku ini bahwan peran dari
penghulu tidak hanya perpanjangan tugas tanpa wewenang, tetapi penghulu
memilki wewenang dalam pengambilan kebijakan suatu pemerintah dengan
tinjauan etika dan agama.
1 Brian J. Grim, “International Religion Indexes: Government Regulation, Government
Favoritism, and Social Regulation of Religion,” Interdisciplinary Journal of Research on Religion, Volume 2, Article 1 (2006); 38-40. Mengenai konflik yang terjadi karena pemerintah
tidak memasukan unsur agama sudah banyak terjadi, lihat! Liora Danan, U.S. Government Engagement with Religion in Conflict-Prone Settings A Report of the Post-Conflict Reconstruction Project (Washington: Center for Strategic and International Studies, 2007); 1
2 David Bogen & Leslie F. Goldstein, Culture, Religion, and Indigenous People
(University of Maryland School of Law & University of Delaware, 2009), 1
3 Abdunn Noor, “Ethics, Religion and Good Governance,” JOAAG, Vol. 3. No. 2 (2008);
1
3
BAB 2
SISTEM OTORITAS AGAMA PADA MASA KESULTANAN
Kekuasaan dalam Pemikiran Islam Sunni
Dalam pemikiran Sunni kekuasaan haruslah datang dari Tuhan dan
sebagai wakil Allah di muka bumi. Sebagaimana konsep “raja merupakan
bayangan Tuhan di muka bumi” dianut oleh al-Ghaza>li dan Ibn Taymiyyah. Al-
Ghaza>li> mengatakan bahwa kekuasaan kepala negara bersifat muqaddas atau
suci. Adapun Ibn Taymiyyah mengatakan bahwa pemimpin berkewajiban untuk
menyampaikan amanat dari Tuhan yaitu mewujudkan keadilan, menyuruh
kebaikan (amr ma’ru>f) dan mencegah berbuat jahat (nahi> munkar). Nampaknya
tradisi kesultanan Melayu juga menganut paham ini.
Kesultanan Palembang
Wilayah kesultanan palembang kira-kira mencakup propinsi Sumatera
Selatan saat ini. Model struktur pemerintahan Kesultanan Palembang disebut
“Pancalang Lima”, berikut bagan sturukturnya.
Sultan
Patih
Urusan Kehakiman
Adipatih
Urusan Militer
Penghulu
Urusan Agama
Syahbandar
Urusan Perdagangan
4
Islam dan Struktur Kekuasaan Keagamaan
Pada masa Kesultanan Palembang, pusat studi keagamaan berada di
Keraton, maka sultan keraton akrab dengan para ulama dan senang
membicarakan agama, maka muncul istilah “ulama keraton”. Dengan demikian
telah banyak karya keagamaan yang muncul dari keraton. berbeda dengan
kesultanan di Jawah Tengah ataupun Timur Tengah tidak menjadi keraton
sebagai pusat keilmuan Islam melainkan membentuk lagi pusat pendidikan,
inilah yang membedakan Islam di Kesultanan Palembang dengan di Kesultanan
lain.
Adapun Sturktur kekuasaan agama di Kesultanan Palembang atau pejabat
agama dipangku oleh pangeran Penghulu Nata Agama yang setingkat Patih. Di
bawahnya ada khatib penghulu yang menjadi pembantu dan anggota mahkamah
syari’ah yang setingkat tumenggung. Lalu ada khatib imam yang menjadi Imam
di Mesjid Agung dan yang menyelenggarakan pengajian, pejabat inin setingkat
rangga. Kemudian ada khatib yang membantu pangeran penghulu di tingkat
kampung, pejabat ini setingkat demang. Jabatan terendah adalah modin yang
membantu khatib imam dalam mengatur Mesjid Agung, pejabat ini setingkat
dengan ingebey. Untu memudahkan memahami struktur tersebut dapat dilihat
pada bagan di bawah ini.
Adapun lingkup tugas pejabat agama hanya memilki 3 lingkup tugas
yaitu, dalam bidang ibadah bertugas memimpin masjid dan menjadi juru doa;
Sultan
Pangeran Penghulu
Kahtib Penghulu
Khatib Imam
Khatib
Modin
Patih
Tumenggung
Rangga
Demang
Ingebey
5
bidang kekeluargaan bertugas mengurus dan mencatat perkawinan dan
menyelesaikan perselisihan suami isteri; bidang kemasyarakatan bertugas
memberikan fatwa, meyelenggarakan pendidikan dan pengajaran agama; menjadi
juru lembuk (musya>wir), mengelola zakat, mengelola wakaf, penyelenggaraan
jenazah, pengelolaan pemakaman dan tempat keramat, dan menyembelih ternak.
6
BAB 3
SISTEM OTORITAS AGAMA PADA MASA KOLONIAL
Peralihan Kedudukan Penghulu dan Pengadilan Agama
Di masa kolonial, penghulu mendapat tugas baru, yaitu:
1. Menjadi penasehat pmada landraat
Penghulu bertugas menjadi penasehat dalam pengadilan negeri dalam pandangan
Islam dan bertindak sebagai pengambil sumpah.
2. Membantu penarikan pajak
Di beberapa daerah pajak sulit untuk ditarik maka Belanda memanfaatkan
penghulu untuk menarik pajak.
3. Membantu pencatatan penduduk
Penghulu bertugas mencatat perkawinan dan kematian karena sekaligus dalam
penyelenggaraan jenazah.
4. Mengawasi Pendidikan Agama
Kebijakan ordonansi guru adalah salah satu bukti bahwa bahwa Belanda juga
mengawasi pendidikan agama.
Dinamika Islam di Masa Awal Zaman Kolonial
Di zaman kolonial penghlu bersifat pasif, seluruh kegiatannya telah diatur
oleh Belanda, tidak ada kewenangan yang dilimpahkan kepada penghulu, maka
pada saat itu syarat utama seorang penghulu adalah harus loyal dan tidak fanatik.
Bupati yang dianggap kepala agama oleh masyarakat dimanfaatkan untuk
mengendalikan orang Islam. Pengadilan agama lebih diatur lokal bukan nasional
dan tidak terstandar, setiap daerah memiliki undang-udang peradilan agamanya
sendiri. Pengajaran agama Islam begitu dibatasi dengan adanya ordonansi guru,
haji diinterfensi dan diwaspadai dengan memberlakukan pas jalan yang cukup
besar.
Dalam kondisi ini, lembaga pendidikan Islam mulai berkembang untuk
membendung kolonialisme, berdirilah pesantren-pesantren dan organisasi-
organisasi Islam.
7
BAB 4
REVIEW, ANALISIS, & EVALUASI
Review & Analisis
Agama sudah sejak lama diyakini oleh semua orang memilki otoritas
dalam menentukan suatu kebijakan baik yang bersifat mikro ataupun makro.
Agama memilki otoritas nilai moral di dalamnya dan otoritas lain4. Kesultanan
Palembang merupakan pemerintahan yang memberikan porsi lebih kepada
pejabat agama dalam mengambil suatu kebijakan. Sultan sangat dekat dengan
ulama sehingga pemerintahan bernuansa moral religi.
Kesultanan Palembang memberikan wewenang kepada pejabat agama
dengan sangat besar, bahkan keagamaan terpusat pada keraton, ini merupakan
langkah yang cerdas bagi seorang Sultan dalam mengatasi masalah-masalah
keagamaan yang ada pada ummat, reviewer tidak menemukan adanya konflik
agama yang terjadi pada masa kesultanan, ini karena efek dari institusionalisasi
agama pada pemerintahan, dengan demikian isu dan permasalaha keagamaan
dapat di regulasi dengan baik, sehingga kehidupan beragama pada saat itu begitu
terhindar dari konflik5.
Agama juga memiliki peran penting dalam pemerintahan, agama dapat
memberikan stabilitas di berbagai bidang, seperti perkembangan sosial-ekonomi
dan keamanan negara. Agama memberikan ajaran-ajaran yang baik untuk
kemajuan suatu bangsa, maka tentunya agama memberikan dampak positif bagi
kemajuan bangsa seperti perkembangan ekonomi dan sebagainya6. Kesultanan
Palembang menunjukkan bahwa ajaran agama ternyata banyak membantu sistem
administrasi negara dan kemajuan perekonomian negara, seperti pemberlakuan
zakat, pengelolaan wakaf oleh pemerintah, dan sebagainya.
4 James Proctor, Religion as Trust in Authority: Theocracy and Ecology in the United
States (Environmental Studies, Lewis & Clark College, 2006), 189
5 Isak Svensson, Rebellion, Religion and Resolution Exploring the Religious Dimensions
of Peace Agreements (Uppsala Program on Religion and Conflicts, Life & Peace Institute, 2005),
1
6 Robin Grier, “The Effect of Religion on Economic Development: A Cross National
Study of 63 Former Colonies,” KYKLOS, Vol. 50 Fasc. 1, 47 - 62 (1997); 47
8
Pengaruhnya terhadap masyarakat, otoritas agama dalam pemerintahan
secara signifikan berperan dalam membentuk sistem nilai dan identitas nasional7.
Kesultanan Palembang nampaknya menjadikan agama sebagai acuan dalam
beberapa hal penting, pengambilan kebijakan, hukum, dan sebagainya. Identitas
nasional dapat dibentuk dengan agama yang kuat pada pemerintahan dan
masyarakat, agama sebagai variabel yang sangat kuat dalam membentuk
komitmen masyarakat8. Robert Bellah juga mengatakan bahwa agama dapat
membentuk suatu kultur nasional9.
Fenomena Simbur Cahaya sebagai sumber hukum merupakan fenomena
yang menarik, Undang-Undag Simbur Cahaya merupakan aturan negeri yang
menjadi dasar sultan dalam mengatur pemerintahannya. Gibbons menjelaskan
bahwa nilai-nilai ketuhanan sebenarnya lebih dekat dengan kebenaran dan
keadilan dibandingkan dengan etika moral humanis yang membuat hukum juga
dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan manusiawi10
.
Dengan munculnya kolonial maka sistem keagamaan menjadi kacau,
otoritas agama tidak memiliki wewenang sedikitpun, bahkan kebanyakan
otoritas agana yang dibuat kolonial dipolitisir baik dari segi program kegiatan
maupun pelaksananya, SDM yang ada pada lembaga tersebut dipilih yang sesuai
dengan keinginan Belanda. Masuknya kolonial sekuler tentunya berdampak besar
pada kegiatan politik, ekonomi, dan sosial di Nusantara khusunya di kesultanan-
kesultanan yang berbasis Agama (teokrasi). Fenomena perpecahan (konflik)
muncul akibat dari regulasi yang dibangun dengan dasar sekuler11
. Masuknya
7 Ezeh Mary-Noelle Ethel and Okonkwo Uche Uwaezuoke, “Place of Religion in Nation
Building and Security in Nigeria: A historical survey of Aro expedition of 1901,” African Journal of History and Culture (AJHC) Vol. 2(2), pp. 026-030, Available online at http://www.academicjournals.org/AJHC, Academic Journals (2010); 26
8 Neil Summerton, Identity Crisis?: The Nation-state, Nationality, Regionalism,
Language and Religion (2009), 3
9 Robert N Bellah, “Religion and The Shape of National Culture,” New York: Jul 31-
Aug 7, 1999.Vol.181, Issue 3; pg. 9, 6 pgs (1999); 1
10
Joel Clarke Gibbons, One Nation under God ( Logistic Research & Trading Co, 2008),
5
9
kolonialisme sekuler masuk ke Indonesia membawa kepada pembatasan-
pembatasan kegiatan beragama, salah sat contohnya kasus peraturan “Pas Jalan”
yang diberlakukan pemerintah kolonial bagi calon jama’ah haji, regulasi ini
berujung pada konflik rakyat dengan pemerintahnya, pada intinya pembatasan
pemerintah terhadap agama justru akan menambah kekuatan komunitas agama
itu sendiri dalam menghadapi pemerintah12
.
Namun reviewer melihat strategi kolonial dengan tetap mempertahankan
dan menyelenggarkan administrasi agama di pemerintahan menunjukkan agama
sangat penting bagi kehidupan bangsa Indonesia dan kalau tidak dipelihara justru
akan merugikan kolonial itu sendiri, atau dapat dikatakan bahwa kolonial
memanfaatkan agama sebagai social capital yang dimiliki oleh masyarakat13
. Isu-
isu agama kerap kali dikelola oleh kolonial untuk kepentingan mereka. Salah satu
contohnya penambahan fungsi penhulu dalam penarikan pajak, karena
masyarakat begitu percaya dengan penghulu maka pemerintah kolonial
memanfaatkan penghulu untuk kepentingannya.
Di akhir masa penjajahan sampai kemerdekaan, identitas ke-islaman
masyarakat Indonesia muncul kembali, semangat untuk mengembalikan sistem
Islam (kesultanan) muncul dalam berbagai pergerakan, sarikat, dan lain
sebagainya. Kelompok-kelompok yang muncul seperti Muhammadiyah, NU,
Persis, dan lain sebagainya ternyata memberi dampak positif bagi kemajuan
bangsa Indonesia, dan pada akhirnya kemerdekaan ternyata di dapat melalui
mobilisasi pergerakan Islam. Hal ini tentunya senada dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh RAD (Religions and Developement Research Programme)
yang menyimpulkan banhwa kelompok agama sangat berperan penting dalam
11
Jeffrey Haynes & Guy Ben-Porat, Globalization, Secularization and Religion – Different States, Same Trajectories? (Department of Law, Governance and International
Relations London Metropolitan University & Department of Public Policy and Administration
Ben-Gurion University of the Negev Israel, 2010), 1
12
Lasia Bloß, European Law of Religion – organizational and institutional analysis of national systems and their implications for the future European Integration Process (U.S: New
York University School of Law, 2003), 1
13
Agama dan social capital, lihat! Better Together Forum, “Religion and Social
Capital,” Saguaro Seminar on Civic Engagement in America. John F. Kennedy School of Government, Harvard University, 79 JFK St., Cambridge MA 02138 (2001)
10
menentukan masa depan suatu bangsa14
. Pada intinya, bangsa Indonesia masih
memilki identitas dan karakter Islam yang kuat yang tetap dipertahankan bahkan
ingin dikembalikan sistem kesultanan yang telah lama hilang namun tetap
mendarah daging sebagai karakter suatu bangsa, agama merupakan karakter
suatu bangsa15
.
Evaluasi
Buku ini merupakan buu yang berbasis riset, karena itu kelebihan yang
diberikan oleh buku ini data dan fakta yang cukup banyak, kaya, dan kuat
sehingga penuh dengan informasi historis yang “mahal”. Namun reviewer
kebingungan dalam melihat permasalahan yang ingin dicapai oleh pennulis,
reviewer melihat apakah buku ini hanya sekedar studi komparasi antara sistem
otoritas dan administrasi agama pada masa kesultanan dan kolonial, atau buku
ini ingin membuktikan bahwa negara agama akan membentuk pemerintahan yang
lebih baik (good governance), atau buku ini ingin membuktikan bahwa agama
harus ter-institusionalisasi dan diberikan wewenang yang lebih oleh
pemerintahan.
Apapun tujuan penulisan ini yang ingin dicapai, tetap reviewer melihat
bahwa metode komparasi (comparative method) merupakan cara yang tepat
untuk membuktikan ketiga hal tersebut. Dengan membandingkan dua zaman
tersebut, maka pembaca dapat membedakan dan membandingkan antara
pemerintahan kesultanan yang dibangun dengan berbasis agama (ideologisme
agama) dengan pemerintahan kolonial yang berbasis sekuler (pragmatisme
agama). Sebagaimana William G. Roy mengatakan bahwa metode komparatif-
historis dapat membangun ide besar sekalipun studinya berlingkup kecil16
.
14
RAD, Religion, politics and governance in Nigeria (UK Department for International
Development (DFID), 2010), 1
15
Contoh dari fenomena agama sebagai idenntitas nasional yang kuat juga terjadi di
Irlandia, lihat ! Alan Ford, “ Religion and National Identity,” Paper given to the Annual Conference of the Irish Association, Carrickfergus (14 November 1999); 1
16
William G. Roy, “From the Chair: Comparative-Historical Sociology as an Identity,”
Newsletter of the ASA Comparative and Historical Sociology section Volume18, No. 1 (2006); 2
11
Data yang ada baik seperti sya’ir dan peristiwa sejarah yang ada pada saat
itu dapat diinterpretasi dengan baik. Penulis juga mampu dalam memberikan
analisis dan kritik pada situasi sejarah yang sudah berlangsung, statement pelaku
sejarah yang ada pada saat itu dapat dimaknai secara sensitif oleh penulis untuk
menjelaskan fenomena historis yang berlangsung saat itu, dan pada akhir buku
(kesimpulan) peneliti dapat mengabstraksi secara baik studi komparasi tersebut
dengan mengarah pada suatu teori yang menjelaskan tentang pentingnya otoritas
dan wewenang agama dalam pemerintahan. 17
17
Salah satu karakter penelitian kuantitatif haruslah dapat menjelaskan dan
menginterpretasikan sesuatu yang bias, sensitif dengan statemen, dapat mengabstrasikan suatu
fenomena, dapat memberikan analisi dan kritis terhadap situasi, Lihat! Anslem Strauss, Basic of Qualitative Research: Technique and Procedures for Developing Grounded Theory (2006), 7
12
DAFTAR PUSTAKA
Bellah, Robert N. “Religion and The Shape of National Culture,” New York: Jul
31-Aug 7, 1999.Vol.181, Issue 3; pg. 9, 6 pgs (1999); 1
Better Together Forum. “Religion and Social Capital.” Saguaro Seminar on
Civic Engagement in America. John F. Kennedy School of Government,
Harvard University, 79 JFK St., Cambridge MA 02138 (2001)
Bloß, Lasia. European Law of Religion – organizational and institutional analysis
of national systems and their implications for the future European
Integration Process. U.S: New York University School of Law. 2003
Bogen, David & Goldstein, Leslie F. Culture, Religion, and Indigenous People.
University of Maryland School of Law & University of Delaware. 2009
Danan, Liora. U.S. Government Engagement with Religion in Conflict-Prone
Settings A Report of the Post-Conflict Reconstruction Project.
Washington: Center for Strategic and International Studies. 2007
Ethel, Ezeh Mary-Noelle and Uwaezuoke, Okonkwo Uche. “Place of Religion in
Nation Building and Security in Nigeria: A historical survey of Aro
expedition of 1901.” African Journal of History and Culture (AJHC) Vol.
2(2), pp. 026-030, Available online at
http://www.academicjournals.org/AJHC, Academic Journals (2010); 26
Ford, Alan. “ Religion and National Identity.” Paper given to the Annual
Conference of the Irish Association, Carrickfergus (14 November 1999); 1
Gibbons, Joel Clarke. One Nation under God. Logistic Research & Trading Co.
2008
Grier, Robin. “The Effect of Religion on Economic Development: A Cross
National Study of 63 Former Colonies.” KYKLOS, Vol. 50 Fasc. 1, 47 -
62 (1997); 47
Grim, Brian J. “International Religion Indexes: Government Regulation,
Government Favoritism, and Social Regulation of Religion.”
Interdisciplinary Journal of Research on Religion, Volume 2, Article 1
(2006); 38-40
Haynes, Jeffrey & Ben-Porat, Guy. Globalization, Secularization and Religion –
Different States, Same Trajectories?. Department of Law, Governance
and International Relations London Metropolitan University &
Department of Public Policy and Administration Ben-Gurion University
of the Negev Israel. 2010
13
Noor, Abdunn. “Ethics, Religion and Good Governance.” JOAAG, Vol. 3. No. 2
(2008)
Proctor. James, Religion as Trust in Authority: Theocracy and Ecology in the
United States. Environmental Studies, Lewis & Clark College. 2006
RAD. Religion, politics and governance in Nigeria. UK Department for
International Development (DFID). 2010
Roy, William G. “From the Chair: Comparative-Historical Sociology as an
Identity.” Newsletter of the ASA Comparative and Historical Sociology
section Volume18, No. 1 (2006); 2
Strauss, Anslem. Basic of Qualitative Research: Technique and Procedures for
Developing Grounded Theory. 2006
Summerton, Neil. Identity Crisis?: The Nation-state, Nationality, Regionalism,
Language and Religion (2009)
Svensson, Isak. Rebellion, Religion and Resolution Exploring the Religious
Dimensions of Peace Agreements. Uppsala Program on Religion and
Conflicts, Life & Peace Institute. 2005