14
Literature Review ini dibuat untuk memenuhi Mata Kuliah Perkembangan Kontemporer Madrasah dan Pesantren Judulu Buku: Sistem Otoritas & Administrasi Islam: Studi Tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang (Prof. Dr. Husni Rahim, 1998) Reviewer: Ahmad Rusydi SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011

Sistem Administrasi & Otoritas Kesultanan Palembang Dan Kolonial (Book Review)

Embed Size (px)

Citation preview

Literature Review ini dibuat untuk memenuhi Mata Kuliah

Perkembangan Kontemporer Madrasah dan Pesantren

Judulu Buku:

Sistem Otoritas & Administrasi Islam: Studi

Tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan

dan Kolonial di Palembang

(Prof. Dr. Husni Rahim, 1998)

Reviewer:

Ahmad Rusydi

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS

ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2011

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Tulisan ini ingin mereview buku yang berjudul “Sistem Otoritas &

Administrasi Islam: Studi tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial

di Palembang” yang ditulis oleh Prof. Dr. Husni rahim, MA pada bulan

Dzulhijjah 1418 H/ Maret 1998 yang diterbitkan oleh PT Logos Wacana Ilmu.

Buku ini ingin menjelaskan tentang hubungan segitiga antara komunitas

umat, sistem kekuasaan, dan otoritas/ kewenangan agama. Buku ini ingin

membuktikan bahwa dinamika hubungan segitiga tersebut (ketegangan dan

keselarasan) memilki peran yang besar dalam menentukan perubahan corak dari

masing-masing tetapi juga merubah bentuk dan sifat hubungan tersebut.

Metode yang digunakan oleh penulis dalam buku ini adalah metode

komparasi dengan membandingkan peranan penghulu (pejabat agama) dalam

masyarakat palembang di masa kesultanan (penguasa Islam) dan di masa

kolonial belanda. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa ada perubahan

antara penghulu di masa kesultanan dan di masa kolonial. Pada masa kesultanan

penghulu merupakan perpanjangan tangan tugas sultan dan memiliki kewenangan

yang sangat penting sebagai perumus “ideologi kerajaan” dan barometer patut

atau tidak dalam mengambil kebijakan, di masa kolonial penghulu hanyalah alat

kontrol penguasa, ia hanya perpanjangan tugas tanpa kewenangan yang dapat

memutuskan. Kesimpulan yang didapat dari buku ini adalah bahwasanya otoritas

agama perlu dilakukan institusionalisasi dan menjadi bagian dari sturktur

kekuasaan dengan mendapatkan wewenang yang cukup.

Jika diangkat kepada perdebatan akademik global, Buku ini nampaknya

berada dalam perdebatan akademik antara pendapat yang mengatakan bahwa

kekuasaan politik dan kewenangan keagamaan berada di satu tangan; dan yang

mengatakan bahwa kekuasaan politik dan kewenangan keagamaan tidak bisa

disatukan. Namun bukti empiris dari buku ini membuktikan bahwa pemerintahan

palembang (kesultanan) memasukkan otoritas agama secara hirarkis dan sistem

administrasi ternyata sudah berkembang dan cukup baik pada masa kesultanan

tersebut.

2

Namun reviewer juga melihat pertentangan pada pendapat ini, Grim

menemukan dalam penelitiannya bahwa regulasi pemerintah terhadap agama

ternyata dalam penelitian kuantitatifnya menunjukkan indeks yang cukup tinggi

terhadap pembatasan kebebasan beragama (Restriction of religious liberty),

perpecahan pada masyarakat (civilitation divide) hingga berujung pada konflik

(armed conflict)1. Banyak negara yang memisahkan otoritas agama dan

pemerintahan, salah satunya Amerika yang menanggap bahwa agama harus

dilindugi dari campur tangan dan interfensi pemerintah2.

Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdun Noor, ia

menemukan dalam penelitiannya bahwa pemerintahan yang baik (good

governance) tidak bisa dipisahkan dari agama karena agama merupakan pilar

etika dan moral3. Sebagaimana dijelaskan dalam buku ini bahwan peran dari

penghulu tidak hanya perpanjangan tugas tanpa wewenang, tetapi penghulu

memilki wewenang dalam pengambilan kebijakan suatu pemerintah dengan

tinjauan etika dan agama.

1 Brian J. Grim, “International Religion Indexes: Government Regulation, Government

Favoritism, and Social Regulation of Religion,” Interdisciplinary Journal of Research on Religion, Volume 2, Article 1 (2006); 38-40. Mengenai konflik yang terjadi karena pemerintah

tidak memasukan unsur agama sudah banyak terjadi, lihat! Liora Danan, U.S. Government Engagement with Religion in Conflict-Prone Settings A Report of the Post-Conflict Reconstruction Project (Washington: Center for Strategic and International Studies, 2007); 1

2 David Bogen & Leslie F. Goldstein, Culture, Religion, and Indigenous People

(University of Maryland School of Law & University of Delaware, 2009), 1

3 Abdunn Noor, “Ethics, Religion and Good Governance,” JOAAG, Vol. 3. No. 2 (2008);

1

3

BAB 2

SISTEM OTORITAS AGAMA PADA MASA KESULTANAN

Kekuasaan dalam Pemikiran Islam Sunni

Dalam pemikiran Sunni kekuasaan haruslah datang dari Tuhan dan

sebagai wakil Allah di muka bumi. Sebagaimana konsep “raja merupakan

bayangan Tuhan di muka bumi” dianut oleh al-Ghaza>li dan Ibn Taymiyyah. Al-

Ghaza>li> mengatakan bahwa kekuasaan kepala negara bersifat muqaddas atau

suci. Adapun Ibn Taymiyyah mengatakan bahwa pemimpin berkewajiban untuk

menyampaikan amanat dari Tuhan yaitu mewujudkan keadilan, menyuruh

kebaikan (amr ma’ru>f) dan mencegah berbuat jahat (nahi> munkar). Nampaknya

tradisi kesultanan Melayu juga menganut paham ini.

Kesultanan Palembang

Wilayah kesultanan palembang kira-kira mencakup propinsi Sumatera

Selatan saat ini. Model struktur pemerintahan Kesultanan Palembang disebut

“Pancalang Lima”, berikut bagan sturukturnya.

Sultan

Patih

Urusan Kehakiman

Adipatih

Urusan Militer

Penghulu

Urusan Agama

Syahbandar

Urusan Perdagangan

4

Islam dan Struktur Kekuasaan Keagamaan

Pada masa Kesultanan Palembang, pusat studi keagamaan berada di

Keraton, maka sultan keraton akrab dengan para ulama dan senang

membicarakan agama, maka muncul istilah “ulama keraton”. Dengan demikian

telah banyak karya keagamaan yang muncul dari keraton. berbeda dengan

kesultanan di Jawah Tengah ataupun Timur Tengah tidak menjadi keraton

sebagai pusat keilmuan Islam melainkan membentuk lagi pusat pendidikan,

inilah yang membedakan Islam di Kesultanan Palembang dengan di Kesultanan

lain.

Adapun Sturktur kekuasaan agama di Kesultanan Palembang atau pejabat

agama dipangku oleh pangeran Penghulu Nata Agama yang setingkat Patih. Di

bawahnya ada khatib penghulu yang menjadi pembantu dan anggota mahkamah

syari’ah yang setingkat tumenggung. Lalu ada khatib imam yang menjadi Imam

di Mesjid Agung dan yang menyelenggarakan pengajian, pejabat inin setingkat

rangga. Kemudian ada khatib yang membantu pangeran penghulu di tingkat

kampung, pejabat ini setingkat demang. Jabatan terendah adalah modin yang

membantu khatib imam dalam mengatur Mesjid Agung, pejabat ini setingkat

dengan ingebey. Untu memudahkan memahami struktur tersebut dapat dilihat

pada bagan di bawah ini.

Adapun lingkup tugas pejabat agama hanya memilki 3 lingkup tugas

yaitu, dalam bidang ibadah bertugas memimpin masjid dan menjadi juru doa;

Sultan

Pangeran Penghulu

Kahtib Penghulu

Khatib Imam

Khatib

Modin

Patih

Tumenggung

Rangga

Demang

Ingebey

5

bidang kekeluargaan bertugas mengurus dan mencatat perkawinan dan

menyelesaikan perselisihan suami isteri; bidang kemasyarakatan bertugas

memberikan fatwa, meyelenggarakan pendidikan dan pengajaran agama; menjadi

juru lembuk (musya>wir), mengelola zakat, mengelola wakaf, penyelenggaraan

jenazah, pengelolaan pemakaman dan tempat keramat, dan menyembelih ternak.

6

BAB 3

SISTEM OTORITAS AGAMA PADA MASA KOLONIAL

Peralihan Kedudukan Penghulu dan Pengadilan Agama

Di masa kolonial, penghulu mendapat tugas baru, yaitu:

1. Menjadi penasehat pmada landraat

Penghulu bertugas menjadi penasehat dalam pengadilan negeri dalam pandangan

Islam dan bertindak sebagai pengambil sumpah.

2. Membantu penarikan pajak

Di beberapa daerah pajak sulit untuk ditarik maka Belanda memanfaatkan

penghulu untuk menarik pajak.

3. Membantu pencatatan penduduk

Penghulu bertugas mencatat perkawinan dan kematian karena sekaligus dalam

penyelenggaraan jenazah.

4. Mengawasi Pendidikan Agama

Kebijakan ordonansi guru adalah salah satu bukti bahwa bahwa Belanda juga

mengawasi pendidikan agama.

Dinamika Islam di Masa Awal Zaman Kolonial

Di zaman kolonial penghlu bersifat pasif, seluruh kegiatannya telah diatur

oleh Belanda, tidak ada kewenangan yang dilimpahkan kepada penghulu, maka

pada saat itu syarat utama seorang penghulu adalah harus loyal dan tidak fanatik.

Bupati yang dianggap kepala agama oleh masyarakat dimanfaatkan untuk

mengendalikan orang Islam. Pengadilan agama lebih diatur lokal bukan nasional

dan tidak terstandar, setiap daerah memiliki undang-udang peradilan agamanya

sendiri. Pengajaran agama Islam begitu dibatasi dengan adanya ordonansi guru,

haji diinterfensi dan diwaspadai dengan memberlakukan pas jalan yang cukup

besar.

Dalam kondisi ini, lembaga pendidikan Islam mulai berkembang untuk

membendung kolonialisme, berdirilah pesantren-pesantren dan organisasi-

organisasi Islam.

7

BAB 4

REVIEW, ANALISIS, & EVALUASI

Review & Analisis

Agama sudah sejak lama diyakini oleh semua orang memilki otoritas

dalam menentukan suatu kebijakan baik yang bersifat mikro ataupun makro.

Agama memilki otoritas nilai moral di dalamnya dan otoritas lain4. Kesultanan

Palembang merupakan pemerintahan yang memberikan porsi lebih kepada

pejabat agama dalam mengambil suatu kebijakan. Sultan sangat dekat dengan

ulama sehingga pemerintahan bernuansa moral religi.

Kesultanan Palembang memberikan wewenang kepada pejabat agama

dengan sangat besar, bahkan keagamaan terpusat pada keraton, ini merupakan

langkah yang cerdas bagi seorang Sultan dalam mengatasi masalah-masalah

keagamaan yang ada pada ummat, reviewer tidak menemukan adanya konflik

agama yang terjadi pada masa kesultanan, ini karena efek dari institusionalisasi

agama pada pemerintahan, dengan demikian isu dan permasalaha keagamaan

dapat di regulasi dengan baik, sehingga kehidupan beragama pada saat itu begitu

terhindar dari konflik5.

Agama juga memiliki peran penting dalam pemerintahan, agama dapat

memberikan stabilitas di berbagai bidang, seperti perkembangan sosial-ekonomi

dan keamanan negara. Agama memberikan ajaran-ajaran yang baik untuk

kemajuan suatu bangsa, maka tentunya agama memberikan dampak positif bagi

kemajuan bangsa seperti perkembangan ekonomi dan sebagainya6. Kesultanan

Palembang menunjukkan bahwa ajaran agama ternyata banyak membantu sistem

administrasi negara dan kemajuan perekonomian negara, seperti pemberlakuan

zakat, pengelolaan wakaf oleh pemerintah, dan sebagainya.

4 James Proctor, Religion as Trust in Authority: Theocracy and Ecology in the United

States (Environmental Studies, Lewis & Clark College, 2006), 189

5 Isak Svensson, Rebellion, Religion and Resolution Exploring the Religious Dimensions

of Peace Agreements (Uppsala Program on Religion and Conflicts, Life & Peace Institute, 2005),

1

6 Robin Grier, “The Effect of Religion on Economic Development: A Cross National

Study of 63 Former Colonies,” KYKLOS, Vol. 50 Fasc. 1, 47 - 62 (1997); 47

8

Pengaruhnya terhadap masyarakat, otoritas agama dalam pemerintahan

secara signifikan berperan dalam membentuk sistem nilai dan identitas nasional7.

Kesultanan Palembang nampaknya menjadikan agama sebagai acuan dalam

beberapa hal penting, pengambilan kebijakan, hukum, dan sebagainya. Identitas

nasional dapat dibentuk dengan agama yang kuat pada pemerintahan dan

masyarakat, agama sebagai variabel yang sangat kuat dalam membentuk

komitmen masyarakat8. Robert Bellah juga mengatakan bahwa agama dapat

membentuk suatu kultur nasional9.

Fenomena Simbur Cahaya sebagai sumber hukum merupakan fenomena

yang menarik, Undang-Undag Simbur Cahaya merupakan aturan negeri yang

menjadi dasar sultan dalam mengatur pemerintahannya. Gibbons menjelaskan

bahwa nilai-nilai ketuhanan sebenarnya lebih dekat dengan kebenaran dan

keadilan dibandingkan dengan etika moral humanis yang membuat hukum juga

dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan manusiawi10

.

Dengan munculnya kolonial maka sistem keagamaan menjadi kacau,

otoritas agama tidak memiliki wewenang sedikitpun, bahkan kebanyakan

otoritas agana yang dibuat kolonial dipolitisir baik dari segi program kegiatan

maupun pelaksananya, SDM yang ada pada lembaga tersebut dipilih yang sesuai

dengan keinginan Belanda. Masuknya kolonial sekuler tentunya berdampak besar

pada kegiatan politik, ekonomi, dan sosial di Nusantara khusunya di kesultanan-

kesultanan yang berbasis Agama (teokrasi). Fenomena perpecahan (konflik)

muncul akibat dari regulasi yang dibangun dengan dasar sekuler11

. Masuknya

7 Ezeh Mary-Noelle Ethel and Okonkwo Uche Uwaezuoke, “Place of Religion in Nation

Building and Security in Nigeria: A historical survey of Aro expedition of 1901,” African Journal of History and Culture (AJHC) Vol. 2(2), pp. 026-030, Available online at http://www.academicjournals.org/AJHC, Academic Journals (2010); 26

8 Neil Summerton, Identity Crisis?: The Nation-state, Nationality, Regionalism,

Language and Religion (2009), 3

9 Robert N Bellah, “Religion and The Shape of National Culture,” New York: Jul 31-

Aug 7, 1999.Vol.181, Issue 3; pg. 9, 6 pgs (1999); 1

10

Joel Clarke Gibbons, One Nation under God ( Logistic Research & Trading Co, 2008),

5

9

kolonialisme sekuler masuk ke Indonesia membawa kepada pembatasan-

pembatasan kegiatan beragama, salah sat contohnya kasus peraturan “Pas Jalan”

yang diberlakukan pemerintah kolonial bagi calon jama’ah haji, regulasi ini

berujung pada konflik rakyat dengan pemerintahnya, pada intinya pembatasan

pemerintah terhadap agama justru akan menambah kekuatan komunitas agama

itu sendiri dalam menghadapi pemerintah12

.

Namun reviewer melihat strategi kolonial dengan tetap mempertahankan

dan menyelenggarkan administrasi agama di pemerintahan menunjukkan agama

sangat penting bagi kehidupan bangsa Indonesia dan kalau tidak dipelihara justru

akan merugikan kolonial itu sendiri, atau dapat dikatakan bahwa kolonial

memanfaatkan agama sebagai social capital yang dimiliki oleh masyarakat13

. Isu-

isu agama kerap kali dikelola oleh kolonial untuk kepentingan mereka. Salah satu

contohnya penambahan fungsi penhulu dalam penarikan pajak, karena

masyarakat begitu percaya dengan penghulu maka pemerintah kolonial

memanfaatkan penghulu untuk kepentingannya.

Di akhir masa penjajahan sampai kemerdekaan, identitas ke-islaman

masyarakat Indonesia muncul kembali, semangat untuk mengembalikan sistem

Islam (kesultanan) muncul dalam berbagai pergerakan, sarikat, dan lain

sebagainya. Kelompok-kelompok yang muncul seperti Muhammadiyah, NU,

Persis, dan lain sebagainya ternyata memberi dampak positif bagi kemajuan

bangsa Indonesia, dan pada akhirnya kemerdekaan ternyata di dapat melalui

mobilisasi pergerakan Islam. Hal ini tentunya senada dengan hasil penelitian

yang dilakukan oleh RAD (Religions and Developement Research Programme)

yang menyimpulkan banhwa kelompok agama sangat berperan penting dalam

11

Jeffrey Haynes & Guy Ben-Porat, Globalization, Secularization and Religion – Different States, Same Trajectories? (Department of Law, Governance and International

Relations London Metropolitan University & Department of Public Policy and Administration

Ben-Gurion University of the Negev Israel, 2010), 1

12

Lasia Bloß, European Law of Religion – organizational and institutional analysis of national systems and their implications for the future European Integration Process (U.S: New

York University School of Law, 2003), 1

13

Agama dan social capital, lihat! Better Together Forum, “Religion and Social

Capital,” Saguaro Seminar on Civic Engagement in America. John F. Kennedy School of Government, Harvard University, 79 JFK St., Cambridge MA 02138 (2001)

10

menentukan masa depan suatu bangsa14

. Pada intinya, bangsa Indonesia masih

memilki identitas dan karakter Islam yang kuat yang tetap dipertahankan bahkan

ingin dikembalikan sistem kesultanan yang telah lama hilang namun tetap

mendarah daging sebagai karakter suatu bangsa, agama merupakan karakter

suatu bangsa15

.

Evaluasi

Buku ini merupakan buu yang berbasis riset, karena itu kelebihan yang

diberikan oleh buku ini data dan fakta yang cukup banyak, kaya, dan kuat

sehingga penuh dengan informasi historis yang “mahal”. Namun reviewer

kebingungan dalam melihat permasalahan yang ingin dicapai oleh pennulis,

reviewer melihat apakah buku ini hanya sekedar studi komparasi antara sistem

otoritas dan administrasi agama pada masa kesultanan dan kolonial, atau buku

ini ingin membuktikan bahwa negara agama akan membentuk pemerintahan yang

lebih baik (good governance), atau buku ini ingin membuktikan bahwa agama

harus ter-institusionalisasi dan diberikan wewenang yang lebih oleh

pemerintahan.

Apapun tujuan penulisan ini yang ingin dicapai, tetap reviewer melihat

bahwa metode komparasi (comparative method) merupakan cara yang tepat

untuk membuktikan ketiga hal tersebut. Dengan membandingkan dua zaman

tersebut, maka pembaca dapat membedakan dan membandingkan antara

pemerintahan kesultanan yang dibangun dengan berbasis agama (ideologisme

agama) dengan pemerintahan kolonial yang berbasis sekuler (pragmatisme

agama). Sebagaimana William G. Roy mengatakan bahwa metode komparatif-

historis dapat membangun ide besar sekalipun studinya berlingkup kecil16

.

14

RAD, Religion, politics and governance in Nigeria (UK Department for International

Development (DFID), 2010), 1

15

Contoh dari fenomena agama sebagai idenntitas nasional yang kuat juga terjadi di

Irlandia, lihat ! Alan Ford, “ Religion and National Identity,” Paper given to the Annual Conference of the Irish Association, Carrickfergus (14 November 1999); 1

16

William G. Roy, “From the Chair: Comparative-Historical Sociology as an Identity,”

Newsletter of the ASA Comparative and Historical Sociology section Volume18, No. 1 (2006); 2

11

Data yang ada baik seperti sya’ir dan peristiwa sejarah yang ada pada saat

itu dapat diinterpretasi dengan baik. Penulis juga mampu dalam memberikan

analisis dan kritik pada situasi sejarah yang sudah berlangsung, statement pelaku

sejarah yang ada pada saat itu dapat dimaknai secara sensitif oleh penulis untuk

menjelaskan fenomena historis yang berlangsung saat itu, dan pada akhir buku

(kesimpulan) peneliti dapat mengabstraksi secara baik studi komparasi tersebut

dengan mengarah pada suatu teori yang menjelaskan tentang pentingnya otoritas

dan wewenang agama dalam pemerintahan. 17

17

Salah satu karakter penelitian kuantitatif haruslah dapat menjelaskan dan

menginterpretasikan sesuatu yang bias, sensitif dengan statemen, dapat mengabstrasikan suatu

fenomena, dapat memberikan analisi dan kritis terhadap situasi, Lihat! Anslem Strauss, Basic of Qualitative Research: Technique and Procedures for Developing Grounded Theory (2006), 7

12

DAFTAR PUSTAKA

Bellah, Robert N. “Religion and The Shape of National Culture,” New York: Jul

31-Aug 7, 1999.Vol.181, Issue 3; pg. 9, 6 pgs (1999); 1

Better Together Forum. “Religion and Social Capital.” Saguaro Seminar on

Civic Engagement in America. John F. Kennedy School of Government,

Harvard University, 79 JFK St., Cambridge MA 02138 (2001)

Bloß, Lasia. European Law of Religion – organizational and institutional analysis

of national systems and their implications for the future European

Integration Process. U.S: New York University School of Law. 2003

Bogen, David & Goldstein, Leslie F. Culture, Religion, and Indigenous People.

University of Maryland School of Law & University of Delaware. 2009

Danan, Liora. U.S. Government Engagement with Religion in Conflict-Prone

Settings A Report of the Post-Conflict Reconstruction Project.

Washington: Center for Strategic and International Studies. 2007

Ethel, Ezeh Mary-Noelle and Uwaezuoke, Okonkwo Uche. “Place of Religion in

Nation Building and Security in Nigeria: A historical survey of Aro

expedition of 1901.” African Journal of History and Culture (AJHC) Vol.

2(2), pp. 026-030, Available online at

http://www.academicjournals.org/AJHC, Academic Journals (2010); 26

Ford, Alan. “ Religion and National Identity.” Paper given to the Annual

Conference of the Irish Association, Carrickfergus (14 November 1999); 1

Gibbons, Joel Clarke. One Nation under God. Logistic Research & Trading Co.

2008

Grier, Robin. “The Effect of Religion on Economic Development: A Cross

National Study of 63 Former Colonies.” KYKLOS, Vol. 50 Fasc. 1, 47 -

62 (1997); 47

Grim, Brian J. “International Religion Indexes: Government Regulation,

Government Favoritism, and Social Regulation of Religion.”

Interdisciplinary Journal of Research on Religion, Volume 2, Article 1

(2006); 38-40

Haynes, Jeffrey & Ben-Porat, Guy. Globalization, Secularization and Religion –

Different States, Same Trajectories?. Department of Law, Governance

and International Relations London Metropolitan University &

Department of Public Policy and Administration Ben-Gurion University

of the Negev Israel. 2010

13

Noor, Abdunn. “Ethics, Religion and Good Governance.” JOAAG, Vol. 3. No. 2

(2008)

Proctor. James, Religion as Trust in Authority: Theocracy and Ecology in the

United States. Environmental Studies, Lewis & Clark College. 2006

RAD. Religion, politics and governance in Nigeria. UK Department for

International Development (DFID). 2010

Roy, William G. “From the Chair: Comparative-Historical Sociology as an

Identity.” Newsletter of the ASA Comparative and Historical Sociology

section Volume18, No. 1 (2006); 2

Strauss, Anslem. Basic of Qualitative Research: Technique and Procedures for

Developing Grounded Theory. 2006

Summerton, Neil. Identity Crisis?: The Nation-state, Nationality, Regionalism,

Language and Religion (2009)

Svensson, Isak. Rebellion, Religion and Resolution Exploring the Religious

Dimensions of Peace Agreements. Uppsala Program on Religion and

Conflicts, Life & Peace Institute. 2005