27
RESUSITASI CAIRAN John A. Myburgh, M.B., B.Ch., Ph.D., and Michael G. Mythen, M.D., M.B., B.S. Resusitasi cairan dengan menggunakan larutan koloid dan kristaloid merupakan jenis intervensi yang sering digunakan dalam pengobatan akut. Pemilihan dan penggunaan cairan resusitasi biasanya didasarkan pada prinsip fisiologis, namun dalam praktik klinis, pemilihan ini didasarkan atas keputusan para dokter, dan keputusan ini bervariasi di setiap daerah. Tidak ada satu pun cairan resusitasi yang ideal. Namun ada bukti yang menunjukkan bahwa jenis dan dosis cairan resusitasi kemungkinan besar dapat mempengaruhi kondisi pasien. Jika dilihat dari prinsip fisiologis, larutan koloid tidak begitu memberi hasil yang lebih dibandingkan dengan larutan kristaloid dalam mempengaruhi hemodinamika. Albumin dianggap sebagai standar larutan koloid, namun zat ini memiliki sejumlah keterbatasan jika harus digunakan dalam praktek rutin. Meskipun albumin dianggap aman sebagai larutan resusitasi pada pasien yang sakit berat dan yang mengalami sepsis dini, namun penggunaan zat ini berhubungan dengan peningkatan mortalitas untuk pasien yang mengalami cedera otak traumatik. Penggunaan

Resusitasi Cairan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Terapi resusitasi

Citation preview

RESUSITASI CAIRANJohn A. Myburgh, M.B., B.Ch., Ph.D., and Michael G. Mythen, M.D., M.B., B.S.Resusitasi cairan dengan menggunakan larutan koloid dan kristaloid merupakan jenis intervensi yang sering digunakan dalam pengobatan akut. Pemilihan dan penggunaan cairan resusitasi biasanya didasarkan pada prinsip fisiologis, namun dalam praktik klinis, pemilihan ini didasarkan atas keputusan para dokter, dan keputusan ini bervariasi di setiap daerah. Tidak ada satu pun cairan resusitasi yang ideal. Namun ada bukti yang menunjukkan bahwa jenis dan dosis cairan resusitasi kemungkinan besar dapat mempengaruhi kondisi pasien.Jika dilihat dari prinsip fisiologis, larutan koloid tidak begitu memberi hasil yang lebih dibandingkan dengan larutan kristaloid dalam mempengaruhi hemodinamika. Albumin dianggap sebagai standar larutan koloid, namun zat ini memiliki sejumlah keterbatasan jika harus digunakan dalam praktek rutin. Meskipun albumin dianggap aman sebagai larutan resusitasi pada pasien yang sakit berat dan yang mengalami sepsis dini, namun penggunaan zat ini berhubungan dengan peningkatan mortalitas untuk pasien yang mengalami cedera otak traumatik. Penggunaan larutan hydroxyethyl starch (HES) berhubungan dengan peningkatan insidensi terapi ganti ginjal dan efek samping lain jika digunakan untuk pasien intensive care unit (ICU). Tidak ada bukti yang merekomendasikan penggunaan larutan koloid semisintetik.Larutan garam seimbang merupakan cairan resusitasi yang sering digunakan pada awal terapi, namun hanya sedikit bukti langsung yang menunjukkan keamanan dan khasiat zat ini. Penggunaan saline normal berhubungan dengan asidosis metabolik dan cedera ginjal akut. Sedangkan tingkat keamanan larutan hipertonik hingga saat ini belum diketahui.Semua larutan resusitasi dapat berkontribusi dalam terbentuknya edema interstisial, terutama pada kondisi inflamasi yang mendapatkan terapi cairan resusitasi berlebihan. Dokter perawatan kritis harus mengetahui cara menggunakan cairan resusitasi, terutama ketika akan memberikan obat-obatan intravena lain. Pemilihan cairan tertentu harus didasarkan pada indikasi, kontraindikasi, dan efek toksik potensial masing-masing cairan agar dapat memaksimalisasi khasiat dan meminimalisasi toksisitas.Riwayat Resusitasi CairanPada tahun 1832, Robert Lewins menjelaskan tentang efek larutan garam alkali yang diberikan secara intravena untuk pasien yang mengalami pandemik kolera. Dia menemukan bahwa kuantitas cairan yang perlu diinjeksikan pada pasien kolera kemungkinan besar bergantung pada kuantitas serum yang hilang; tujuan pemberian cairan adalah untuk mengembalikan sirkulasi pasien seperti keadaan normalnya. Observasi Lewin yang ditemukan pada 200 tahun lalu, masih relevan dengan temuan terkini.Resusitasi cairan tanpa menggunakan darah di era moderen semakin maju akibat temuan Alexis Hartmann, yang berhasil memodifikasi larutan garam fisiologis yang sebelumnya sudah dikembangkan oleh Sidney Ringer pada tahun 1885 untuk rehidrasi pasien anak yang mengalami gastroenteritis. Dengan adanya pengembangan fraksinasi darah pada tahun 1942, albumin manusia berhasil diberikan dalam jumlah besar untuk pertama kalinya berguna menjadi resusitasi pasien yang mengalami luka bakar akibat serangan di Pearl Harbour pada tahun yang sama.Saat ini, cairan non-darah hampir digunakan pada semua pasien yang menjalani anestesia untuk bedah mayor, pada pasien yang mengalami trauma dan luka bakar berat, dan pada pasien yang dirawat di ICU. Pemberian cairan telah menjadi salah satu intervensi yang paling sering digunakan dalam pengobatan akut.Terapi cairan hanyalah salah satu komponen dari suatu strategi resusitasi hemodinamika. Tujuan utama pemberian cairan adalah mengembalikan volume intravaskuler. Karena aliran balik vena setara dengan curah jantung, maka respon simpatetik yang mengatur sirkulasi eferen kapasitansi (vena) dan aferen konduktansi (arterial) hampir sama dengan yang mengatur kontraktilitas myokardial. Terapi tambahan untuk resusitasi cairan, seperti penggunaan katekolamine untuk meningkatkan kontraksi jantung dan aliran balik vena, dapat dipertimbangkan untuk sebagai terapi awal untuk mendukung sirkulasi yang gagal. Selain itu, kita harus mempertimbangkan efek pemberian cairan terhadap fungsi organ akhir dan mikrosirkulasi organ vital yang terus-menerus mengalami perubahan saat berada dalam kondisi patologis.

Gambar 1: Peranan lapisan Glycocalyx Endotelial dalam Resusitasi CairanStruktur dan fungsi lapisan glycocalyx endotelial, suatu jaringan glycoprotein dan proteoglikan berbentuk membran pada sel endotel, merupakan penentu utama permeabilitas membran dalam sistem vaskuler organ. Panel A merupakan lapisan glycocalyx endotelial sehat, sedangkan Panel B merupakan lapisan glycocalyx yang sudah rusak, yang mengakibatkan edema interstisial pada pasien, terutama untuk pasien yang mengalami inflamasi (seperti sepsis).

Fisiologi Resusitasi CairanSelama beberapa dekade, para dokter melakukan pemilihan cairan resusitasi berdasarkan model kompartemen klasik (secara spesifik, kompartemen klasik terdiri atas kompartemen cairan intraseluler serta komponen cairan ekstrasluler yang terdiri atas komponen interstisial dan intravaskuler ) dan faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi cairan pada masing-masing kompartemen. Pada tahun 1896, Ernest Starling, seorang fisiolog Inggris, menemukan bahwa venula kapiler dan postkapiler memiliki mekanisme kerja sebagai membran semipermeabel yang menyerap cairan interstisial. Prinsip ini lalu diadaptasi untuk mengidentifikasi gradien tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik yang melalui membran semipermeabel, yang kemudian dijadikan sebagai penentu utama dalam pertukaran transvaskuler.Namun temuan terkini mulai meragukan model klasik tersebut. Suatu jaringan glycoprotein dan proteoglikan berbentuk membran pada sel endotel, berhasil diidentifikasi dan diberi nama lapisan glycocalyx endotelial (gambar 1). Ruang subglycocalyx dapat menghasilkan tekanan onkotik koloid yang sangat penting dalam mengatur aliran cairan transkapiler. Kapiler nonpermeabel yang melewati ruang interstisial juga berhasil diidentifikasi, hal ini mengindikasikan bahwa absorpsi cairan tidak terjadi melalui kapiler venosa. Semua cairan dari ruang interstisial, yang masuk melalui banyak pori-pori, dikembalikan ke sirkulasi sebagai limfe, yang kemudian dapat regulasi secara simpatetik.Struktur dan fungsi lapisan glycocalyx endotelial merupakan salah satu penentu utama permeabilitas membran pada berbagai sistem vaskuler organ. Integritas, atau kebocoran pada lapisan ini, dapat berpotensi mengakibatkan edema interstisial, terutama pada kondisi inflamasi, seperti sepsis, dan pada kondisi pasca-bedah atau trauma.

Cairan Resusitasi IdealCairan resusitasi ideal harus dapat menghasilkan efek yang dapat diprediksi dan mampu meningkatkan volume intravaskuler secara bertahap, selain itu harus memiliki komposisi kimiawi yang menyerupai cairan ekstraseluler, serta dapat dimetabolisme dan diekskresi secara komplit tanpa terakumulasi dalam jaringan, sehingga tidak menimbulkan efek sistemik dan metabolik, dan harus hemat untuk meningkatkan kondisi pasien. Hingga saat ini, belum ada cairan seperti itu yang tersedia secara klinis.Cairan resusitasi secara umum terbagi menjadi larutan koloid dan larutan kristaloid (Tabel 1). Larutan koloid merupakan suspensi molekul yang berada dalam suatu larutan pengangkut yang relatif tidak mampu melewati membran kapiler semipermeabel karena ukuran molekulnya yang besar. Kristaloid merupakan suatu larutan ion yang bebas secara permeabel namun mengandung natrium dan klorida yang mempengaruhi tonisitas larutan.Para pendukung larutan koloid mengatakan bahwa koloid lebih efektif dalam mengembangkan volume intravaskuler karena koloid dapat tertahan dalam ruang intravaskuler dan dapat mempertahankan tekanan onkotik koloid. Efek koloid dalam mempertahankan volume dianggap memiliki kesan yang lebih jika dibandingkan dengan kristaloid, yang mana secara konvensional, rasio koloid terhadap kristaloid dalam mempertahankan volume intravaskuler adalah 1:3. Koloid semisintetik memiliki durasi kerja yang lebih singkat jika dibandingkan dengan larutan albumin manusia namun zat tersebut lebih aktif termetabolisme dan terekskresi.Para pendukung larutan kristaloid berpendapat bahwa koloid, terutama albumin manusia, merupakan zat yang mahal dan tidak terlalu praktis digunakan sebagai larutan resusitasi. Kristaloid merupakan zat yang tidak mahal, tersedia secara luas meskipun belum terbukti berkhasiat, namun kristaloid telah menjadi terapi lini pertama dalam resusitasi cairan. Namun, penggunaan kristaloid diketahui berhubungan dengan edema interstisial.Jenis Resusitasi CairanSecara global, ada banyak variasi dalam pemilihan cairan resusitasi. Pemilihan biasanya ditentukan oleh daerah dan pengalaman masing-masing dokter, serta protokol institusi, ketersediaan, harga, dan pemasaran komersial. Dari konsensus diketahui bahwa pemilihan resusitasi harus disesuaikan dengan populasi pasien tertentu, namun rekomendasi seperti ini hanya didasarkan pada pendapat pakar atau bukti klinis yang berkualitas rendah. Sejumlah tinjauan sistematik dari beberapa percobaan acak terkontrol telah menunjukkan bahwa hanya sedikit bukti yang mendukung keunggulan salah satu jenis cairan jika dibandingkan cairan lain dalam menurunkan resiko kematian.AlbuminAlbumin manusia (4-5%) dalam saline dianggap sebagai larutan koloid standar. Zat ini diproduksi dari proses fraksionasi darah, yang kemudian dipanaskan untuk mencegah penyebaran virus patogenik. Zat ini cukup mahal untuk diproduksi dan didistribusikan, serta sangat jarang ditemukan pada negara-negara yang miskin atau berkembang.Pada tahun 1998, Cochrane Injuries Group Albumin Reviewer mempublikasikan sebuah meta-analisis mengenai efek albumin dan larutan kristaloid lain untuk mengatasi pasien yang mengalami hipovolemia, luka bakar, atau hipoalbuminemia. Mereka menyimpulkan bahwa pemberian albumin berhubungan dengan peningkatan insidensi kematian yang signifikan (relative risk, 1.68; 95% confidence interval [CI], 1.26-2.23; p