Click here to load reader
Upload
trinhhanh
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
REKLAMASI TANJUNG BENOA I Gusti Agung Made Budhi Arsa (24012317) | Etika Pembangunan 2013 | Program Studi Pembangunan ITB
Abstaksi
Pembangunan berkelanjutan untuk dapat mensejahterakan seluruh rakyat demi kemajuan bangsa dan negara
merupakan cita-cita ideal dalam memulai suatu pembangunan. Namun untuk dapat mewujudkan idealisme seperti
itu dengan kondisi masyarakat yang begitu dinamis bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Rencana
reklamasi tanjung benoa di Pulau Bali merupakan salah satu contoh ketidaksesuaian pemikiran kalangan elite
dengan rakyat jelata. Konflik antara kebutuhan hidup dasar bagi nelayan yang ingin mempertahankan wilayahnya
sebagai daerah konservasi dengan tuntutan pemerintah daerah yang senantiasa berupaya memajukan Bali sebagai
tujuan wisata nasional menjadi menarik untuk diangkat sebagai bahan kajian di dalam makalah singkat ini. Konsep
pembangunan dan keadilan terkait dengan etika pembangunan menjadi dasar teori yang digunakan dalam
membahas problematika yang terjadi pada kasus ini.
Kata Kunci : Reklamasi Tanjung Benoa, Etika Pembangunan, Pembangunan dan Keadilan
Pendahuluan
Terletak di wilayah Kuta Selatan, Semenanjung Benoa atau yang lebih dikenal dengan Tanjung
Benoa merupakan salah satu kawasan wisata air di Bali yang terkenal akan pantainya. Perkembangan
pariwisata serta persaingan antar daerah bahkan negara menuntut industri pariwisata di Bali harus
mampu berkompetensi. Wujudnya adalah dengan melakukan pembangunan berkelanjutan dengan
orientasi kemajuan di sektor pariwisata sehingga mampu mendukung peningkatan perekonomian
daerah untuk mendorong terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya. Hal tersebut diperkuat setelah
Indonesia mencanangkan program MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia) pada tahun 2011 lalu. Program pemerintah tersebut merumuskan bahwa Bali dan
Nusa Tenggara termasuk dalam salah satu dari 6 (enam) koridor ekonomi yang bertujuan sebagai pintu
gerbang pariwisata nasional dan pendukung pangan nasional. Enam koridor ekonomi nasional dalam
MP3EI terlihat pada Gambar 1 dibawah.
Gambar 1 : Koridor Ekonomi Indonesia dalam MP3EI (sumber : kompasiana.com)
Saat ini, berdasarkan sumber data statistik, kondisi sumber daya manusia yang mendukung
pariwisata di Bali sudah oversupply. Ratusan mahasiswa lulusan bidang pariwisata baik negeri ataupun
swasta yang lulus setiap tahunnya tentunya membutuhkan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan
bidang akademisnya. Didukung dengan pembangunan jalan tol pertama di pulau Bali, yang semula tidak
menarik minat investor dalam pembangunan infrastruktur ini, muncul gagasan mengenai
pengembangan kawasan industri pariwisata pun bermunculan. Namun yang paling kontroversi
belakangan ini adalah ide mengenai reklamasi tanjung benoa. Melakukan kajian singkat sisi etika dalam
pembangunan yang terjadi pada rencana reklamasi tanjung benoa merupakan tujuan dari dibuatnya
tulisan ini. Beberapa pertentangan yang muncul dipandang sebagai suatu permasalahan etika yang
kemudian akan dibahas menggunakan beberapa teori etika pembangunan yang ada.
Landasan Teori
Pembangunan dijalankan berdasarkan sebuah pilihan yang ditetapkan lewat kebijakan dan
tindakan. Dalam pelaksanaaanya pasti akan melibatkan beragam benturan yang memunculkan
permasalahan etis. Etika Pembangunan merupakan hibrida antara filsafat moral-politik masyarakat dan
konsepsi umum ilmu sosial. Asuncion Lera St Clair menerapkan pendekatan pragmatis metodologis
kajian mengenai etika pembangunan yang berfokus pada interaksi berbagai fakta, nilai, konsep dan
praktek yang tujuan akhirnya adalah menciptakan pengetahuan dan alat analisis baru yang praktis untuk
mengkaji dan menyelesaikan masalah pembangunan. Untuk sampai pada tingkatan ini upaya mengkaji
etika dalam pembangunan tidak cukup hanya mengamati aspek normatif dan prosedural dari struktur
yang ada namun harus disertai keberanian untuk mempertanyakan dominasi institusi yang
memungkinkan pembangunan itu terjadi, baik itu yang lokal maupun global, serta asumsi, konteks-
konteks ortodos dan sumber-sumber tunggal pengetahuan yang digunakan untuk pembangunan. Etika
pembangunan diperlukan :
1. Karena tujuan pembangunan sebagai sebuah bentuk socieatal improvement bersifat value relative
2. Karena pembangungn dalam bentuk apapun akan menuntut biaya dan pengorbanan
3. Bahwa ketidak-terbangunan-pun akan menimbulkan biaya dan pengorbanan pula
4. Pembangunan sebagai sebuah konsep bersifat historis dan lahir dari sebuah tatanan nilai tertentu.
Alasan rasional untuk memperhatikan Etika dan Pembangunan adalah karena proses
pembangunan sosial, politik, ekonomi dan lingkungan dapat membawa pada peluang besar maupun
ancaman bagi umat manusia, baik secara individual maupun kolektif, dan bahwa manfaat yang
diperoleh dan biaya yang dikeluarkan bisa sangat tidak adil, tidak merata dan tidak adil.
Dalam etika pembangunan dan keadilan yang digunakan sebagai acuan pembahasan studi kasus
ini disebutkan bahwa pembangunan tidak hanya cukup mengandalkan indikator PAD, terdapat indikator
lain seperti angka kematian dan harapan hidup. Jika azas keadilan tidak mendapat perhatian serius maka
perekonomian tetap tidak dapat tumbuh seperti yang diharapkan. Prinsip keadilan yang mungkin sering
diabaikan dapat menimbulkan permasalahan sosial yang serius berupa perubahan beberapa norma yang
ada di masyarakat. Ketimpangan sosial semakin melebar merupakan dampak serius akibat kurangnya
rasa keadilan di masyarakat. Oleh karena itu dalam melaksanakan pembangunan, 2 (dua) prinsip
keadilan, yaitu setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas dan
pengaturan ketimpangan sosial agar setiap orang merasa diuntungkan harus senantiasa diperhatikan.
Pembahasan
Berawal dari niat PT. Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) untuk mereklamasi teluk Benoa
mendapat tanggapan positif oleh pemerintah kabupaten Badung. Beberapa alasan yang menjadikan
pemerintah daerah mempertimbangkan pemikiran untuk mereklamasi teluk benoa adalah isu tentang
alih fungsi lahan di Bali yang membuat daratan pulau Bali menjadi semakin sempit. Selain itu
pengurangan dampak bencana alam akibat perubahan iklim global juga menjadi salah satu alasan
lainnya. Penyerapan tenaga kerja yang cukup besar di masa mendatang sudah menjadi jaminan jika
reklamasi ini berhasil sebagai dampak langsung perkembangan ekonomi dari suatu pembangunan yang
berwawasan kesejahteraan. Kemudian pemerintah daerah mengambil langkah cepat dengan menunjuk
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Udayana agar membentuk tim guna
melakukan kajian mengenai isu reklamasi ini. Namun bersamaan dengan itu, muncul penolakan dari
berbagai kalangan dan lapisan masyarakat yang intinya menentang reklamasi teluk benoa. Penolakan
tersebut memang memiliki alasan yang kuat, terutama terhadap isu ‘menjual’ pulau Bali kepada pihak
asing atau swasta. Kapitalisme yang muncul dapat mengancam budaya adat istiadat penduduk lokal,
seperti penghormatan atas status seseorang dinilai dari harta bendanya bukan lagi berdasarkan
penggolangan kasta yang sudah semakin rapuh belakangan ini. Selain itu, alasan menyewakan lahan
seluas 838 Ha itu untuk dibangun menjadi kawasan pariwisata baru juga dinilai bertentangan dengan
norma-norma pembangunan yang mengorbankan aspek lingkungan. Dari aspek hukum, perjanjian
kontrak antara pemerintah daerah dengan investor selama 100 tahun dinilai tidak etis untuk
direalisasikan.
Pertentangan mengenai isu ini bisa jadi dimuatani oleh kepentingan beberapa golongan
masyarakat yang mungkin terkait dengan politik ataupun asas manfaat. Probelamatika di dalam
pembangunan yang kerap terjadi seharusnya dapat disikapi dengan bijaksana oleh semua pihak yang
terkait. Bagi kalangan masyarakat yang terkena dampak positif secara langsung tentunya akan sepaham
dengan wawasan pembangunan yang disampaikan oleh para pemimpinnya. Disisi lain, sekelompok
masyarakat yang merasa dirugikan oleh karena tidak secara langsung terlibat ataupun memperoleh
dampak positif seharusnya dapat berdiri diatas kepentingan bersama yang memiliki visi dan misi
bersama dalam memajukan pembangunan yang dapat meningkatkan perekonomian daerah. Isu
lingkungan dapat diselesaikan dengan penerapan RTRW yang baik. Ijin membangun di pulau buatan ini
dapat diperketat dengan menerapkan wajib 30% RTH dari seluruh wilayah. Sekiranya undang-undang
nomor 26 tahun 2007 tentang tata ruang dapat dengan mudah diterapkan oleh pemerintah daerah yang
akan membuka lahan baru untuk pembangunan selanjutnya. PT. TWBI dalam proposalnya juga sudah
menyampaikan bahwa 50% dari daratan yang dibuatnya merupakan hutan. APBD tidak mungkin
digunakan untuk mega proyek ini, tapi justru dengan terealisasinya reklamasi ini, PDB daerah sebagai
indicator perkembangan ekonomi daerah sudah dapat dipastikan meningkat. Hasil feasibility study yang
telah disampaikan oleh Gubernur Bali menyatakan bahwa setiap harinya dapat diestimasi akan terjadi
perputaran uang sebesar 50 milyar rupiah di pulau baru tersebut. Dapat dibayangkan jika dengan
pengelolaan yang baik, maka rupiah-rupiah tersebut sudah tentu mampu mensejahterakan
masyarakatnya. Secara hukum, kontrak antara pihak investor dengan pemerintah masih dapat dibenahi,
penerapan aturan yang ketat dalam pelaksanaannya serta durasi kontrak harus diperhatikan dengan
seksama. Setiap lapisan masyarakat berhak mendapatkan dampak positif dari pembangunan ini serta
wajib hukumnya untuk selalu mengawasi transparansi pemerintah dalam mengelola sumber daya ini.
1. Bandara Internasional Ngurah Rai Bali
2. Pelabuhan Laut Benoa
3. Pulau Serangan (sudah direklamasi)
4. Rencana Pulau Baru (Reklamasi Tanjung Benoa)
5. Tanjung Benoa
Gambar 2 : Daerah Strategis Tanjung Benoa
Akan tetapi jika hanya melihat dari perhitungan normatif terkait dengan keuntungan di bidang
ekonomi, mungkin tindakan pemerintah untuk menyetujui reklamasi ini dirasa kurang tepat. Daerah
tanjung benoa yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi dalam Perpres No. 45 tahun 2011
menjadi salah satu tempat mata pencaharian nelayan setempat. Daratan baru yang akan dibuat
tentunya akan mengorbankan kehidupan para nelayan tersebut, tidak ada lagi daerah tangkapan ikan
yang mudah dijangkau. Akibatnya jika terus dibiarkan, perubahan struktur masyarakat dengan profesi
nelayan pun terjadi, dimana dengan tantangan yang begitu sulit untuk menangkap ikan, tidak menutup
kemungkinan bahwa tidak ada lagi warga sekitar yang ingin melaut. Pasar-pasar ikan tradisional disekitar
wilayah tersebut juga terancam punah. Tidak ada lagi ikan segar yang dapat diperjualbelikan. Tingginya
harga jual ikan oleh nelayah di wilayah benoa akibat peningkatan biaya untuk melaut mendorong
terjadinya kebangkrutan nelayan setempat. Jika mereka yang terancam secara langsung akibat dampak
dari reklamasi ini memiliki modal (keahlian khusus ataupun biaya) untuk ikut ambil bagian di bidang
pariwisata, maka hal tersebut tentunya tidak akan menjadi beban bagi pemerintah daerah. Akan tetapi
alih profesi yang tidak mudah dilakukan wajib dipertimbangan oleh pemerintah. Umpan balik negatif
dengan meningkatnya pengangguran akibat nelayan berhenti melaut harus mendapat perhatian khusus
dalam pengambilan keputusan mengenai reklamasi ini. Termasuk keturunan dari nelayan-nelayan
tersebut yang belum tentu mampu mengenyam pendidikan seperti yang diharapkan pemerintah daerah
sehingga dapat diserap oleh industri pariwisata sangat mungkin meningkatkan angka kemiskinan di
daerah tersebut. Ancaman peningkatan pengganguran ini sudah tentu memicu terjadinya tindak
kriminal yang tinggi. Mereka yang semula berpenghasilan cukup untuk kebutuhan pangan harus
bersaing keras baik oleh sesama ataupun kaum pendatang (dari luar pulau Bali) yang mencoba mengadu
nasib di pulau dewata. Sehingga bisa jadi berwisata di Bali tidak seaman dan senyaman sebelumnya.
Praktek kapatalisme selain mengancam tatanan struktur masyarakat, juga berdampak terhadap
kehidupan adat istiadat beragama di Bali khususnya di daerah tanjung benoa. Seperti yang diketahui
rentetan upacara pemakaman di Bali untuk umat Hindu adalah mengembalikan jasad manusia ke lima
unsur pembentuknya, salah satunya adalah air yang dilambangkan dengan membuang hasil pembakaran
mayat ke laut. Jika reklamasi ini benar dilaksanakan dapat dibayangkan penduduk lokal yang biasanya
melaksanakan upacara Ngaben harus mendapat ijin khusus dari pemilik hotel ataupun resort untuk
menyelesaikan rentetan upacara itu akibat wilayah tersebut sudah diprivatisasi. Ataupun jika tidak maka
ada usaha lebih yang harus dilakukan untuk berpindah tempat ke pantai lain yang tentunya mobilisasi
yang melibatkan banyak orang ini membutuhkan biaya lebih. Disamping itu juga, reklamsi benoa ini
bertentangan masyarakat Bali sangat kental dengan norma-norma yang menjaga hubungan manusia
dengan alam, menjaga kesesuaian antara komposisi alam (darat, laut serta makhluk hidup di dalamnya)
menjadi fanatisme khusus bagi beberapa kalangan masyarakat di Bali. Hal itu terlihat baik secara sadar
ataupun tidak, dalam skala kecil, beberapa hunian masyarakatnya selalu terdapat tanaman (berupa
taman kecil ataupun hanya tumbuhan kecil), hewani (hewan peliharaan) dan air (kolam
ikan/aquarium/hiasan air lainnya). Konsep “bagaimana kita menghormati alam, begitu pula alam akan
memperlakukan kita” menjadi salah satu norma yang sudah ditanamkan sejak awal bisa jadi terancam
hilang.
Begitu banyak polemik yang muncul membuat pimpinan tertinggi di Provinsi Bali mencabut
surat keputusan yang sebelum telah menyetujui proposal reklamasi tanjung benoa. Pembatalan rencana
reklamasi ini mencerminkan bahwa pemerintah daerah masih sangat memperhatikan keadilan
pembangunan yang merata bagi setiap rakyatnya. Tuntutan globalisasi yang cepat bila tidak disikapi
dengan bijaksana hanya akan menimbulkan masalah baru, perekonomian yang digalangkan sebagai
tujuan dari pembangunan tersebut bisa menjadi menghasilkan umpan balik yang negatif.
Kesimpulan
Agen-agen pembangunan sepatutnya mempertimbangkan kembali rencana reklamasi teluk
benoa ini. Jika berbicara mengenai pembangunan maka setiap lapisan masyarakat harus bepegang
teguh terhadap prinsip-prinsip pembangunan, seperti prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
Nasional. Melihat visi dan misi pemerintah daerah harusnya secara utuh dan menyeluruh. Bali sebagai
salah satu icon pariwisata dunia, sudah seharusnya selalu mengutamakan keberlanjutan pembangunan
di sektor pariwisata akan tetapi menjaga keaslian pulau dewata ini menjadi lebih penting mengingat
keterlibatan masyarakat di dalamnya sangat heterogen. Mempertahankan suasana kondusif dalam
industri pariwisata bukanlah hal yang mudah jika mengingat persaingan global menuntut setiap sektor
industri harus terus berkembang secara dinamis dan inovatif. Globalisasi yang menuntun ke arah
kapatalisme seharusnya memiliki dampak positif yang dapat dirasakan secara adil oleh setiap lapisan
masyakarat dengan memperhatikan etika keadilan dalam pembangunan.
Bibliografi
Dr. Indah Widiastuti, ST, MT. Materi Kuliah Etika Pembangunan. Program Studi Pembangunan ITB.
2013
Pemprov Bali. Dokumentasi Video Rapat Koordinasi dan Diskusi tentang Reklamasi Teluk Benoa. 6
Agustus 2013
Republika Online. Reklamasi Teluk Benoa dinilai tidak layak. 2 September 2013.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/13/09/02/msi51h-reklamasi-teluk-benoa-
dinilai-tak-layak
Budiasa. Peta Rencana Reklamasi Tanjung Benoa. 2013. http://nakbalibelog.wordpress.com
Portalkbr. Tolak Reklamasi Teluk Benoa. 2 September 2013. http://www.portalkbr.com/berita/-
saga/2916362_4216.html