Upload
rio-rubijantoro
View
174
Download
15
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Pasien yang telah mendapat serangan stroke, intervensi rehabilitasi medis
sangat penting untuk mengembalikan pasien pada kemandirian mengurus diri
sendiri dan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari tanpa menjadi beban bagi
keluarganya. Perlu diupayakan agar pasien tetap aktif setelah stroke untuk mencegah
timbulnya komplikasi tirah baring dan stroke berulang (pencegahan sekunder).
Komplikasi tirah baring dan stroke berulang akan memperberat disabilitas dan
menimbulkan penyakit lain yang bahkan dapat membawa kepada kematian.
Rehabilitasi adalah suatu program yang disusun untuk memberi
kemampuan kepada penderita yang mengalami disabilitas fisik dan atau penyakit
kronis, agar mereka dapat hidup atau bekerja sepenuhnya sesuai dengan
kapasitasnya (Harsono, 1996). Program rehabilitasi menurut Ibrahim (2001) tidak
hanya terbatas pada pemulihan kondisi semata, tetapi juga mencakup rehabilitasi
yang bersifat psikososial, penuh dengan kasih sayang serta empati yang luas, guna
membangkitkan penderita. Rehabilitasi medik meliputi tiga hal, yaitu rehabilitasi
medik, sosial, dan vokasional. Rehabilitasi medik merupakan upaya
mengembalikan kemampuan penderita secara fisik pada keadaan semula sebelum
sakit dalam waktu sesingkat mungkin. Rehabilitasi sosial merupakan upaya
bimbingan sosial berupa bantuan sosial guna memperoleh lapangan kerja.
Rehabilitasi vokasional merupakan upaya pembinaan yang bertujuan agar
penderita cacat menjadi tenaga produktif serta dapat melaksanakan pekerjaannya
sesuai dengan kemampuannya.
Rehabilitasi medik dalam ilmu kedokteran adalah suatu disiplin ilmu yang
berperan dalam pemulihan gangguan fungsi baik secara fisik, psikologi, edukasi
dan sosial. Pemulihan fungsi itu tentu bukan berarti semua pasien yang fungsinya
terganggu dengan rehabilitasi medik akan menjadi normal seperti semula, karena
banyak faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemulihan fungsi ini. Faktor
tersebut adalah seberapa berat penyebab gangguan fungsi ini, apakah permanen atau
1
sementara, apakah progresif, seberapa besar sisa fungsi yang masih ada. Adakah
gangguan lain yang memperberat atau menghambat proses pengembalian fungsi
misalnya depresi, gangguan kognisi termasuk gangguan komunikasi. Faktor dari
luar misalnya penerimaan dan dukungan dari keluarga atau masyarakat
sekelilingnya, apakah ada sarana bagi penderita, dalam hal ini modifikasi
lingkungan baik lingkungan rumah maupun di luar rumah. Hal ini sangat
membantu pemulihan gangguan fungsi bagi penderita. Sejauh mana dapat dicapai
pemulihan fungsi, hasilnya sangat individual.
2
BAB II
STATUS PENDERITA
I. Identifikasi
Nama : Ny. Syamsiah Syafarudin
Umur : 55 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Menikah
Kebangsaan : Indonesia
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Seberang Ulu 1, Palembang
Tanggal Pemeriksaan : 16 Oktober 2013
II. Anamnesis
a) Keluhan Utama
Kelemahan sesisi tubuh sebelah kiri secara tiba-tiba
b) Riwayat Perjalanan Penyakit
± 1 hari SMRS saat sedang aktivitas tiba – tiba penderita
mengalami kelemahan pada sisi tubuh kiri secara tiba- tiba, saat
serangan sakit kepala (-), mual (-), muntah (-), kejang (-), penurunan
kesadaran (-), mulut mengot (+), bicara pelo (+). Setelah serangan
penderita merasakan kelamahan sesisi tubuh sebelah kirinya. Untuk
BAB dan BAK tidak ada masalah. Riwayat hipertensi (+). Riwayat DM
(+). Riwayat stroke (+). Penderita mengalami penyakit seperti ini untuk
kedua kalinya.
c) Riwayat Penyakit Terdahulu
Riwayat hipertensi (+) sejak 2011 tidak rutin kontrol.
Riwayat stroke (+) tahun 2011
3
Riwayat DM (+) sejak tahun 2008, minum obat teratur
d) Riwayat Pekerjaan
Penderita adalah seorang ibu rumah tangga yang banyak
menghabiskan waktu di rumah. Penderita tidak mempunyai pembantu,
urusan pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci baju, menyapu dan
membersihkan rumah kadang dia lakukan sendiri.
e) Riwayat Sosial Ekonomi
Penderita sudah menikah dan memiliki 3 anak dengan jumlah
anggota keluarga yang tinggal serumah ada 5 orang. Tempat tinggal
penderita bertingkat 1, MCK dan sumber air bersih berada di dalam
rumah menggunakan air ledeng dan jaraknya tidak terlalu jauh dari
kamar penderita. Penerangan pada rumah dan kamar mandi cukup.
Kamar mandi pasien tidak memiliki pegangan tangan dan kakus jenis
jongkok. Saat ini penderita tidak bekerja. Penghasilan didapatkan dari
suaminya.
III. Pemeriksaan Fisik
A. Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : GCS : 15
Tinggi Badan / Berat Badan : 165 cm/ 53 kg BMI : 19,14
Cara berjalan / Gait : belum dapat dinilai (Keseimbangan
Kurang (+))
Antalgik gait : -
Hemiparese gait : -
Steppage gait : -
Parkinson gait : -
Tredelenberg gait : -
Waddle gait : -
Lain - lain : -
4
Bahasa / bicara
Komunikasi verbal : Disartria (+)
Komunikasi nonverbal : Baik
Tanda vital
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Nadi : 92 x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
Suhu : 36,7 0C
Kulit : Anemis (-), eritema (-), ulkus
dekubitus (-)
Status Psikis
Sikap : kooperatif Orientasi : baik
Ekspresi wajah : baik Perhatian : baik
B. Saraf -saraf otak
Nervus Kanan Kiri
N.Olfaktorius normal normal
N.Opticus normal normal
N.Occulomotorius normal normal
N.Trochlearis normal normal
N.Trigeminus normal normal
N.Abducens normal normal
N.Fascialis normal plica
nasolabialis datar
sudut mulut
tertinggal
N.Vestibularis normal normal
N.Glossopharyngeus normal normal
5
N.Vagus normal normal
N.Accesorius normal normal
N.Hypoglosus normal disartria
C. Kepala
Bentuk : normal
Ukuran : normocephali
Posisi :
- Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-),
strabismus (-), exoftalmus (-)
- Hidung : deviasi septum (-)
- Telinga : serumen (-)
- Mulut : sudut mulut kiri tertinggal
- Wajah : plica nasolabialis kiri datar
Gerakan abnormal : (-)
D. Leher
Inspeksi : dinamis, simetris, posisi trakea normal, pembesaran KGB
(-), kontrol terhadap kepala baik
Palpasi : JVP tidak meningkat, kaku kuduk (-)
Luas Gerak Sendi
Ante / retrofleksi (n 65/50) : 650/500
Laterofleksi (D/S) (n 40/40) : 400/300
Rotasi (D/S) (n 45/45) : 450/300
Test provokasi
Lhermitte test / Spurling : tidak dilakukan
Test Valsalva : tidak dilakukan
Distraksi test : tidak dilakukan
Test Nafziger : tidak dilakukan
E. Thorak
6
Bentuk : normal
Pemeriksaan Ekspansi Thoraks : tidak dilakukan
Paru- paru
- Inspeksi : simetris statis dan dinamis
- Palpasi : stem fremitus sama kanan-kiri
- Perkusi : sonor
- Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronki (-), wheezing (-)
Jantung
- Inspeksi : iktus kordis tak terlihat
- Palpasi : iktus kordis tak teraba
- Perkusi : batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi : suara jantung normal, murmur (-), gallop (-)
F. Abdomen
- Inspeksi : datar
- Palpasi : lemas, hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan (-)
- Perkusi : timpani
- Auskultasi : bising usus (+) normal
G. Trunkus
Inspeksi : Simetris
- Deformitas : (-)
- Lordosis : (-)
- Scoliosis : (-)
- Gibbus : (-)
- Hairy spot : (-)
- Pelvic Tilt : (-)
Palpasi :
-Spasme otot-otot para vertebrae : (-)
7
-Nyeri tekan : (-)
Luas gerak sendi lumbosakral
-Ante /retro fleksi (95/35) : tidak dapat dilakukan
-Laterofleksi (D/S) (40/40) : tidak dapat dilakukan
-Rotasi (D/S) (35/35) : tidak dapat dilakukan
Test provokasi
- Valsava test : -
- Laseque : -/-
- Test Baragard dan Sicard : -/-
- Nafziger test : -
- Test SLR : -/-
- Test: O’Connell : -/-
- FNST : -/-
- Test Patrick : -/-
- Test Kontra Patrick : -/-
- Test Gaenslen : -/-
- Test Thomas : tidak dilakukan
- Test Ober’s : tidak dilakukan
- Nachalas knee flexion test : tidak dilakukan
- Mc.Bride sitting test : tidak dilakukan
- Yeoman’s hyprextension : tidak dilakukan
- Mc.Bridge toe to mouth sitting test : tidak dilakukan
- Test Schober : tidak dilakukan
H. Anggota Gerak Atas
kanan kiri
Inspeksi
Deformitas : (-) (-)
Edema : (-) (-)
8
Tremor : (-) (-)
Neurologi
Motorik Dextra
Sinistra
Gerakan cukup kurang
Kekuatan
- Abduksi lengan 5 3
- Fleksi siku 5 3
- Ekstensi siku 5 3
- Ekstensi wrist 5 3
- Fleksi jari- jari tangan 5 3
- Abduksi jari tangan 5 3
Tonus normal meningkat
Tropi (-) (-)
Refleks Fisiologis
- Refleks tendon biseps normal meningkat
- Refleks tendon triseps normal meningkat
Refleks Patologis
- Hoffman (-) (-)
- Tromner (-) (-)
Sensorik
Protopatik : normal normal
Proprioseptik : normal normal
Vegetatif normal normal
Penilaian fungsi tangan kanan kiri
Anatomical normal normal
Grips
normal normal
Spread normal normal
9
Palmar abduct normal normal
Pinch normal normal
Luas Gerak Sendi
Luas Gerak
Sendi
Aktif
Dextra
Pasif
Dextra
Aktif
Sinistra
Pasif
Sinistra
Abduksi Bahu 0-180° 0-180° 0-180° 0-180°
Adduksi Bahu 180°-0 180°-0 180°-0 180°-0
Fleksi Bahu 0-180° 0-180° 0-180° 0-180°
Ekstensi Bahu 0-60° 0-60° 0-60° 0-60°
Endorotasi
Bahu
90°-0 90°-0 90°-0 90°-0
Eksorotasi
Bahu
0-90° 0-90° 0-90° 0-90°
Fleksi Siku 0-150° 0-150° 0-150° 0-150°
Ekstensi Siku 150°-0 150°-0 150°-0 150°-0
Ekstensi
pergelangan
tangan
0-70° 0-70° 0-70° 0-70°
Fleksi
pergelangan
tangan
0-80° 0-80° 0-80° 0-80°
Pronasi 0-90° 0-90° 0-90° 0-90°
Supinasi 0-90° 0-90° 0-90° 0-90°
Test Provokasi : tidak dilakukan
Anggota Gerak Bawah
Inspeksi kanan kiri
10
Deformitas : (-) (-)
Edema : (-) (-)
Tremor : (-) (-)
Palpasi
Nyeri tekan : (-) (-)
Diskrepansi : (-) (-)
Neurologi
Motorik Kanan Kiri
Gerakan cukup kurang
Kekuatan
Fleksi paha 5 3
Ekstensi paha 5 3
Ekstensi lutut 5 3
Fleksi lutut 5 3
Dorsofleksi pergelangan kaki 5 3
Dorsofleksi ibu jari kaki 5 3
Plantar fleksi pergelangan 5 3
Tonus normal meningkat
Tropi (-) (-)
Refleks Fisiologis
Refleks tendo patella normal meningkat
Refleks tendo achilles normal meningkat
Refleks patologi
Babinsky negatif positif
Chaddock negatif positif
Sensorik
Protopatik : tidak ada kelainan
Proprioseptik : tidak ada kelainan
11
Vegetatif : tidak ada kelainan
Luas gerak sendi
Luas Gerak
Sendi
Aktif
Dextra
Pasif
Dextra
Aktif
Sinistra
Pasif
Sinistra
Abduksi Paha 0-90° 0-90° 0-90° 0-90°
Adduksi Paha 0o-10o-15o 0o-10o-15o 0o-10o-15o 0o-10o-15o
Fleksi Paha 0-45° 0-45° 0-45° 0-45°
Ekstensi Paha 45°-0 45°-0 45°-0 45°-0
Fleksi Lutut 0-135° 0-135° 0-135° 0-135°
Ekstensi
Lutut
0-120° 0-120° 0-120° 0-120°
Dorsofleksi
Pergelangan
Kaki
0-20° 0-20° 0-20° 0-20°
Plantar fleksi
Pergelangan
Kaki
0-50° 0-50° 0-50° 0-50°
Inversi Kaki Normal Normal Normal Normal
Eversi Kaki Normal Normal Normal Normal
Test Provokasi sendi lutut kanan kiri
Stres test tidak dilakukan tidak dilakukan
Drawer’s test tidak dilakukan tidak dilakukan
Test Tunel pada sendi lutut tidak dilakukan tidak dilakukan
Test Homan tidak dilakukan tidak dilakukan
III. Pemeriksaan- pemeriksaan lainnya
Bowel test / Bladder test
- Sensorik peri anal : tidak dilakukan
- Motorik sphincter ani eksternus : tidak dilakukan
12
- BCR (Bulbocavernosis Refleks) : tidak dilakukan
Fungsi luhur
- Afasia : tidak ada
- Apraksia : tidak ada
- Agrafia : tidak ada
- Alexia : tidak ada
IV. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan laboratorium
Darah rutin :
-Hb 13,3 g/dl -Eritrosit 4.150.000/mm3
-Ht 38 vol% -Leukosit 10.500/mm3
-LED 56 mm/jam -Trombosit 269.000/mm3
-Hitung jenis 0/2/0/56/37/5
Elektrolit :
-BSS 285 mg/dl -Tot. Kolesterol 330 mg/dl
-HDL 33 mg/dl -LDL 268 mg/dl
-TGL 403 mg/dl -As. Urat 5,9 mg/dl
-Ureum 33 mg/dl -Kreatinin 0,4 mg/dl
-CK-NAK 45 -CK-MB 14
-Natrium 144 mmol/l -Kalium 3,8 mmol/l
-Kalsium 10,2 mg/dl -10g mmol/l
Urinalisis :
-Warna kuning -Jernih
-Berat jenis 1,025 -Ph 6,0
-Protein (-) -Glukosa (+++)
-Keton (-) -Darah (-)
-Bilirubin (-) -Urobilinogen (-)
-Nitrit (-) -Leukosit Esterase (-)
13
- EKG
- Echokardiografi (atas indikasi)
- Rontgen Thorax
- CT Scan kepala : kesan lakunar infark
V. Resume
Anamnesis :
Penderita ingin mendapatkan pelayanan rehabilitasi medik dengan
keluhan utama kelemahan tungkai kiri.
Riwayat perjalanan penyakit :
± 1 hari SMRS saat sedang aktivitas tiba – tiba penderita
mengalami kelemahan pada sisi tubuh kiri, saat serangan sakit kepala
(-), mual (-), muntah (-), kejang (-), penurunan kesadaran (-), mulut
mengot (+), bicara pelo (+). Riwayat hipertensi (+). Riwayat DM (+)
Riwayat stroke (+). Penderita mengalami penyakit seperti ini untuk
kedua kalinya.
Pemeriksaan Fisik :
Pada pemeriksaan fisik umum, tekanan darah 140/80 mmHg. Pada
pemeriksaan fisik neurologi, ditemukan plica nasolabialis kiri datar dan
sudut mulut kiri tertinggal pada pemeriksaan nervus craniales VII, serta
didapatkan juga adanya disartria pada pemeriksaan nervus craniales
XII. Selain itu, pada pemeriksaan motorik, pada ekstremitas sinistra
terdapatnya gerakan kurang aktif, kekuatan 3, tonus meningkat, dan
refleks fisiologis pada lengan dan tungkai kiri juga meningkat.
Sedangkan pada ekstremitas bagian dekstra masih dalam batas normal.
Pada pemeriksaan gait dan keseimbangan juga ditemukan pasien sulit
untuk menjaga keseimbangannya pada saat berdiri maupun duduk.
Pemeriksaan Penunjang :
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan LED,
peningkatan gula darah sewaktu, peningkatan kolesterol, pada hasil CT
Scan kepala kesan lacunar infark.
14
VI. Evaluasi
No Level ICF Kondisi Saat Ini Sasaran
1. Struktur dan
Fungsi
Pasien mengalami
trombosis cerebri dan
menyebabkan Hemiparese
sehingga pasien
mengalami kelemahan
pada lengan dan tungkai
kiri, mulut mengot dan
bicara pelo.
Meningkatkan gerakan dan
kekuatan otot lengan dan
tungkai kiri dan
meningkatkan/mengembalikan
kemampuan berbicara
2. Aktivitas Tidak bisa melakukan
aktivitas sehari-hari
secara mandiri, dan
pasien sulit
mempertahankan
keseimbangan
Mengembalikan
kemampuannya dalam
melaksanakan aktivitas sehari-
hari, seperti duduk, miring,
dan berjalan
3. Partisipasi Terjadi gangguan karena
pasien tidak bisa
berpartisipasi dalam
kegiatan sosial.
Dapat kembali berpartisipasi
dalam kegiatan sosial.
Catatan : ICF (International Classification of Function) 2012
VII. Diagnosa Klinis
Slight Hemiparese sinistra spastik + parese N. VII dan XII sinistra tipe
sentral e.c thrombosis cerebri + DM tipe 2 uncontrolled
VIII. Program Rehabilitasi Medik
Fisioterapi
Terapi panas : IRR extremitas sisi kiri
15
Terapi dingin : -
Stimulasi Listrik : -
Terapi Latihan : ROM exercise (aktif dan pasif) dan
Latihan Bobath ( untuk melatih postural
yang normal dan keseimbangan)
Traksi : -
Okupasi terapi
ADL exercise : - Latihan keseimbangan: dimulai dengan
keseimbangan saat duduk, berdiri, dan saat
berjalan.
- Saat pasien sudah dapat berjalan dengan
seimbang. Penderita diperkenalkan dengan
program ADL, seperti latihan mobilisasi
(latihan berpindah tempat dari tempat tidur
menuju ke kursi), latihan fungsi tangan
untuk gerakan motorik halus dan koordinasi
(latihan tata cara makan, memakai baju, dll)
Ortotik prostetik : -
Terapi wicara : +
Latihan pada penderita disartria lebih ditekankan ke artikulasi
mengucapkan kata-kata.
Sosial medik : -
Edukasi : - Memberikan edukasi dan bimbingan
kepada penderita untuk berobat dan
berlatih secara teratur.
- Mengadakan edukasi dan evaluasi
16
terhadap lingkungan rumah agar sesuai
dengan keadaan pasien saat ini untuk
membantu pasien menjalani aktivitas
sehari-hari.
IX. Terapi Medikamentosa
Aspilet 2 x 80 mg tab
Captopril 3 x 25 mg tab
Inj. Ranitidin 2 x 1
Metformin 3 x 500 mg
Vit B1B6B12 3 x 1 tab
X. Prognosa
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Stroke
3.1.1. Definisi
Stroke secara klinis (menurut kriteria WHO) didefinisikan
sebagai adanya gangguan fungsional otak yang terjadi secara
mendadak dengan tanda dan gejala klinis, baik fokal maupun global
yang berlangsung lebih dari 24 jam atau dapat menimbulkan kematian
yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak.1
3.1.2. Klasifikasi
Secara umum, stroke diklasifikasikan berdasarkan sebagai
berikut:2,3
1. Letak gangguan sirkulasi di otak (Bamford Clinical
Classification)
a. Total Anterior Circulation Syndrome (TACS)
b. Partial Anterior Circulation Syndrome (PACS)
c. Posterior Circulation Syndrome (POCS)
d. Lacunar Syndrome (LACS)
2. Sifat gangguan aliran darah
a. Non Haemorrhagik (trombosis, emboli)2,4
Trombosis merupakan jenis terbanyak yang
paling dijumpai. Penyebabnya adalah aterosklerosis
yang menyebabkan penyumbatan pembuluh darah
karena pertumbuhan plak pada dinding pembuluh
darah.
Emboli disebabkan oleh terlepasnya embolus dari
sumber asal jantung atau dari pembuluh darah arteri
besar dan masuk ke arteri otak.
b. Haemorrhagik (intraserebral, subaraknoid)2,4,5
18
Stroke perdarahan (stroke hemoragik) yang
terdiri dari perdarahan intraserebral dan perdarahan
subarakhnoid. Penyebab tersering dari stroke
hemoragik adalah hipertensi.
3. Waktu terjadinya4
a. Stroke in evolution adalah stroke yang terjadi masih
terus berkembang di mana gangguan yang muncul
semakin berat dan bertambah buruk. Proses ini
biasanya berjalan dalam beberapa jam atau beberapa
hari.
b. Stroke komplit adalah stroke di mana gangguan
neurologi yang timbul bersifat menetap atau permanen.
3.1.3. Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi stroke adalah gangguan peredaran darah pada daerah
otak tertentu. Beberapa hal yang menyebabkan lesi vaskuler serebral,
antara lain sebagai berikut :1,6
1. Penyumbatan aliran darah otak karena vasospasme
langsung dan menimbulkan gejala defisit atau
perangsangan sesuai dengan fungsi daerah otak yang
terkena.
2. Penyumbatan aliran darah yang disebabkan oleh trombus.
Akibatnya aliran darah otak regional tidak memadai dalam
memenuhi kebutuhan darah otak yang terganggu.
3. Penyumbatan aliran darah otak oleh emboli. Sumber
embolisasi dapat terletak di arteri karotis atau vertebralis
tapi dapat juga di jantung dan sistem vaskuler sistemik.
4. Lesi daerah otak akibat ruptur dinding pembuluh darah.
Penyebab ruptur pembuluh darah bisa akibat dari suatu
stroke embolik, perdarahan lobaris spontan dan
perdarahan intraserebral akibat hipertensi.
19
Faktor risiko adalah kelainan atau kondisi yang membuat
seseorang rentan terhadap serangan stroke. Masih tingginya angka
mortalitas dan kecacatan akibat stroke, perlu dilakukan upaya-upaya
pencegahan dan penanggulangan faktor risiko.7
Tabel 2.1 Faktor Risiko Stroke
Faktor biologik yang
tidak dapat dimodifikasi
Faktor fisiologik yang
dapat dimodifikasi
Faktor gaya hidup
dan pola prilaku
Umur
Jenis kelamin
Ras
Predisposisi genetik
Herediter
Hipertensi
Diabetes
Dislipidemia
Penyakit jantung
Stenosis karotis
Transient Ischemic Attack
Homosisteinemia
Ateroma aorta
Hypercoagulabiliy stress
Merokok
Obesitas
Aktivitas fisik
Diet
Alkohol
Kontrasepsi oral
Hormone
Replacement
Therapy
(Dikutip dari: Runtuwene TW. Faktor Risiko dan Pencegahan Stroke. Simposium Stroke Up Date
2001. Bagian SMF Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi/RSUP Manado. 2001:
25)
3.1.4. Patogenesis
Stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu stroke iskemik maupun
stroke hemorragik. Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti
karena aterosklerosis (penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh
darah) atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh
darah ke otak. Hampir sebagian besar pasien atau sebesar 83%
mengalami stroke jenis ini.5
Dengan bertambahnya usia dan adanya faktor risiko berupa
DM, hipertensi, dan merokok, aterosklerosis akan terbentuk.
Aterosklerosis merupakan kombinasi dari perubahan tunika intima
dengan penumpukan lemak, komposisi darah maupun deposit kalsium
20
dan disertai perubahan pada tunika media di pembuluh darah besar
dan permukaan lumen menjadi tidak rata. Pada saat aliran darah
lambat, dapat terjadi penyumbatan (trombosis).1
Pada stroke iskemik, penyumbatan bisa terjadi di sepanjang
jalur pembuluh darah arteri yang menuju ke otak. Darah ke otak
disuplai oleh dua arteria karotis interna dan dua arteri vertebralis.
Arteri-arteri ini merupakan cabang dari lengkung aorta jantung.5
Suatu ateroma (endapan lemak) bisa terbentuk di dalam
pembuluh darah arteri karotis sehingga menyebabkan berkurangnya
aliran darah. Keadaan ini sangat serius karena setiap pembuluh darah
arteri karotis dalam keadaan normal memberikan darah ke sebagian
besar otak. Endapan lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan
mengalir di dalam darah, kemudian menyumbat arteri yang lebih
kecil.5
Pembuluh darah arteri karotis dan arteri vertebralis beserta
percabangannya bisa juga tersumbat karena adanya bekuan darah yang
berasal dari tempat lain, misalnya dari jantung atau satu katupnya.
Stroke semacam ini disebut emboli serebral (emboli = sumbatan,
serebral = pembuluh darah otak) yang paling sering terjadi pada
penderita yang baru menjalani pembedahan jantung dan penderita
kelainan katup jantung atau gangguan irama jantung (terutama
fibrilasi atrium). Bila bekuan darah yang terlepas dapat mengikuti
aliran darah dan menimbulkan emboli arteri intrakranial sehingga
menimbulkan iskemia otak.1,5
Emboli lemak jarang menyebabkan stroke. Emboli lemak
terbentuk jika lemak dari sumsum tulang yang pecah dilepaskan ke
dalam aliran darah dan akhirnya bergabung di dalam sebuah arteri.5
Pada stroke hemorragik, pembuluh darah pecah sehingga
menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam
suatu daerah di otak dan merusaknya. Hampir 70 persen kasus stroke
hemorrhagik terjadi pada penderita hipertensi.5 Hipertensi kronis
21
menyebabkan perubahan degenerasi pada arteri perporata dan arteriol
yang kemudian membentuk mikroaneurisma. Tekanan darah yang
secara tiba-tiba meninggi dapat menyebabkan pecahnya pembuluh
darah tersebut. Perdarahan tesebut dapat terletak di putamen,
thalamus, subkortikal, pons, dan serebellum.1,5
Stroke juga bisa terjadi bila suatu peradangan atau infeksi
menyebabkan penyempitan pembuluh darah yang menuju ke otak.
Obat-obatan (misalnya kokain dan amfetamin) juga bisa
mempersempit pembuluh darah di otak dan menyebabkan stroke.5
Apabila terjadi stenosis atau oklusi pada arteri proksimal yang menuju
ke otak tanpa mendapatkan aliran kolateral sehingga mengakibatkan
penurunan perfusi serebral secara fokal.1
Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke otak, yang biasanya menyebabkan
seseorang pingsan. Stroke bisa terjadi jika tekanan darah rendahnya
sangat berat dan menahun. Hal ini terjadi jika seseorang mengalami
kehilangan darah yang banyak karena cedera atau pembedahan,
serangan jantung atau irama jantung yang abnormal.5
3.1.5. Manifestasi Klinis
Berbagai gejala neurologis dapat ditimbulkan akibat stroke.
Gejala tersebut tidak hanya tergantung pada berat ringannya stroke,
tetapi juga tergantung pada lokalisasinya.8 Stroke menimbulkan
sindroma klinis yang secara umum dibedakan sesuai area sirkulasi
yang terganggu.2
Gejala-gejala akibat stroke dibagi menjadi dua macam, yaitu
sebagai berikut.7
I. Gejala sentral berupa gangguan psikis, gangguan emosi,
inkontinensia, kesulitan bicara dan menelan, sindrom rasa
nyeri, gangguan penglihatan, dan gangguan pendengaran
22
II. Gejala ekstremitas berupa gangguan motorik, spastisitas,
nyeri pada ekstremitas, rigiditas, ataksi, klonus,
astreognosis, gangguan sensorik, dan kontraktur
3.1.6. DiagnosisDiagnosis klinik stroke dibuat berdasarkan batasan stroke,
dilakukan pemeriksaan klinis yang teliti, meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan
radiologis.1,4
1. Penemuan klinis
a. Anamnesis berupa terjadi keluhan/gejala defisit
neurologik yang mendadak tanpa trauma kepala dan
biasanya disertai adanya faktor risiko stroke.
b. Pemeriksaan fisik berupa adanya defisit neurologis
fokal dan ditemukan adanya faktor risiko, seperti
hipertensi, diabetes mellitus, kelainan jantung, dan
lain-lain atau adanya bising pada auskultasi atau
kelainan pembuluh darah lainnya.
2. Pemeriksaan tambahan/laboratorium
Pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan likuor
serebrospinalis dan pemeriksaan neuroradiologik berupa
Computerized Tomography-scan (CT-Scan), Magnetic
Radiation Imaging (MRI), dan angiografi serebral.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk menemukan
faktor risiko, seperti Hb, hematokrit, leukosit, eritrosit,
laju endap darah, komponen kimia dan gas darah, serta
elektrolit, Dopler, EKG, Ekokardiografi, dan lain-lain.
3. Pemeriksaan berdasarkan skoring dengan Djoenaedi
Stroke Score (1988), Chandra Stroke Score (1989), The
Canadian Neurological Scale (1989) atau Sirijaj Stroke
Score (1991).
23
3.1.7. Penatalaksanaan
Secara umum, penatalaksanaan stroke bertujuan untuk
memperbaiki keadaan umum mencegah kematian dan komplikasi.
Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia,
penatalaksanaan awal stroke adalah sebagai berikut.1,8
• Bebaskan jalan nafas dan ventilasi yang adekuat
• Kandung kemih yang penuh dikosongkan
• Penanganan tekanan darah secara khusus
• Koreksi hipoglikemi atau hiperglikemi
• Suhu tubuh dipertahankan normal
• Nutrisi per oral/pipa nasogastrik
• Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
Pengobatan secara khusus disesuaikan dengan jenis stroke
yang dialami, yaitu sebagai berikut.1,8
1. Stroke Iskemik / non hemoragik
a. Pengobatan pada penyebabnya
Strategi pengobatan disini dapat difokuskan pada :
- Prevalensi terjadinya trombosis (antikoagulasi,
antitrombotik, antiagregasi platelet)
- Memperbaiki aliran darah ke otak atau perfusi
(pentoxifilin)
- Proteksi neuronal/sitoproteksi (Ca-Channel
Blocker, metabolik aktivator)
b. Pengobatan pada faktor risiko
- Anti hipertensi ( klonodin, captopril dan lain-lain )
- Anti diabetik ( insulin )
- Terapi untuk kelainan jantung ( aspirin, warparin
dan lain-lain )
- Terapi untuk tekanan intrakranial yang meningkat (
manitol )
24
2. Stroke Hemoragik
a. Pengobatan Konservatif
- Menjamin jalan nafas bebas hambatan
- Pemberian oksigen
- Pemberian cairan, elektrolit dan nutrien
- Pasang kateter untuk monitoring produksi urin
- Pemberian pelunak feses
- Pemberian antiperdarahan (asam traneksamat)
- Bila terjadi edema cerebri diberikan monitol
b. Pengobatan bedah saraf (operatif)
Tujuan operasi
- Pengeluaran bekuan darah
- Penyaluran cairan serebro spinal
- Pembedahan mikro pada pembuluh darah
3.1.8. Prognosis dan Komplikasi
Prognosis umum serangan pertama relatif baik, yaitu 70-80%
akan selamat jiwanya, 90% akan terus hidup dalam 2 tahun, 50% akan
hidup 10 tahun lagi atau lebih lama.8 Sekitar 42-90% penderita dapat
melakukan perawatan diri dan dapat berjalan secara mandiri.1
Newman dalam studinya mencatat pada penderita hemiplegi,
kesembuhan motorik terlihat terdini pada minggu pertama dan paling
terlambat pada minggu ke-7. Sesudah minggu ke-14, kemajuan
neurologis hanya pelan. Waktu rata-rata untuk mencapai 80%
kesembuhan akhir: 6 minggu. Frank H. Krusen memberi kesimpulan
bahwa dengan rehabilitasi yang tepat, 90% dari pasien stroke dapat
berjalan kembali, 70% dapat mandiri dan 30% dari usia kerja dapat
kembali ke pekerjaan semula.7
Prognosis fungsional tergantung pada hal-hal sebagai
berikut.1,2
25
a. Luas dan lokasi lesi neuroanatomis (kerusakan otak)
b. Penyebab dan sumber lesi
c. Derajat kesadaran
d. Usia
e. Penyakit / kondisi penyulit
f. Komplikasi
g. Penanganan
h. Motivasi penderita
i. Dukungan keluarga
j. Sarana dan tenaga profesional yang tersedia
Komplikasi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu sebagai berikut.1
1.Dapat dicegah, seperti subluksasi sendi bahu, kontraktur, kerusakan
saraf perifer, fraktur, osifikasi heterotopik, aspirasi dan pneumonia,
trombosis vena dalam dan emboli pulmonal, ulkus dekubitus dan
gangguan psikososial.
2.Tak dapat dicegah berupa spastisitas, gangguan kandung kemih,
gangguan bowel, sindrom otak organik, kejang, dehidrasi dan
malnutrisi serta problem baru yang berhubungan dengan umur.
3.2. Rehabilitasi Medik
Rehabilitasi menurut WHO adalah semua tindakan yang ditujukan
untuk mengurangi dampak disabilitas/handicap agar memungkinkan
penyandang cacat dapat berintegrasi dengan masyarakat. Rehabilitasi medik
adaah proses pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk mengembangkan
kemampuan fungsional fisik dan psikologis dan kalau perlu
mengembangkan mekanisme kompensasinya agar individu dapat berdikari.1
Rehabilitasi dilakukan oleh suatu tim rehabilitasi yang terdiri dari
dokter rehabilitasi medis, fisioterapis, terapis okupasi, perawat rehabilitasi,
pekerja sosial medis, terapis wicara, psikolog, ortotis prostetis, dan lain-
lain. Tim rehabilitasi akan menjadi sangat efektif apabila upaya-upaya
tersebut di koordinasikan dan diadakan pertemuan secara berkala untuk
26
membahas mengenai kemajuan dan kendala tiap pasien serta ditunjang oleh
adanya interaksi yang baik antara penderita dan keluarganya dengan
personil medik.1
Ukuran keberhasilan penanganan adalah bukan berdasarkan
banyaknya jiwa penderita yang tertolong, tetapi berapa banyak penderita
yang dapat kembali berfungsi lagi di masyarakat. Urutan-urutan dari yang
paling berhasil sampai yang paling buruk adalah sebagai berikut.1
1. Dapat berdikari dalam merawat dirinya sendiri
2. Mampu mencari nafkah serta dapat berekreasi, seperti sebelum
sakit tanpa memerlukan alat bantu.
3. Seperti nomor 2, tetapi memerlukan alat bantu
4. Dapat ambulasi dan merawat dirinya dengan atau tanpa alat
bantu
5. Untuk ambulasi memerlukan kursi roda dan bantuan untuk
merawat dirinya
6. Hanya bergantung di tempat tidur
3.2.1. Rehabilitasi Medik pada Pasien Stroke
Manfaat rehabilitasi pada penderita stroke bukan untuk
mengubah defisit neurologis melainkan menolong penderita untuk
mencapai fungsi kemandirian semaksimal mungkin dalam konteks
lingkungannya. Jadi tujuannya adalah lebih ke arah meningkatkan
kemampuan fungsional daripada memperbaiki defisit neurologis atau
mengusahakan agar penderita dapat memanfaatkan kemampuan
sisanya untuk mengisi kehidupan secara fisik, emosional, dan sosial
ekonomi dengan baik.9
Program rehabilitasi bagi penderita stroke dapat dimulai
sedini mungkin. Kriteria dapat dimulainya program rehabilitasi
adalah pasien sudah dalam keadaan stabil. Hal ini berarti diagnosis
sudah ditegakkan, terapi sudah dimulai, dan pasien sudah tidak
dalam resiko tinggi dekompensasi jantung/paru.2
27
Secara umum, penatalaksanaan rehabilitasi penderita stroke
sudah bisa dimulai pada hari pertama atau kedua setelah serangan
stroke dengan tujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut tetapi
penatalaksanaan yang khusus dapta diberikan pada saat penderita
setelah stabil (tidak ada kelainan defisit neurologis yang progresif
dalam 48 jam).7
Syarat rehabilitasi secara khusus adalah sebagai berikut.1
1. Mempunyai derajat kesadaran yang baik
2. Mengerti perintah-perintah/petunjuk yang sederhana
3. Dapat mengingat dan menerangkan kembali apa yang
dipelajari kemarin
Lama program yang direncanakan tergantung dari faktor-
faktor yang mempengaruhi. Pada fase awal pengobatan dan
perawatan ditujukan untuk meenyelamatkan jiwa dan mencegah
komplikasi, segera setelah keadaan umum memungkinkan,
rehabilitasi dimulai biasanya pada hari 2-3. Untuk stroke akibat
perdarahaan biasanya setelah hari ke-14, sedangkan fase lanjutan
bertujuan untuk untuk mencapai kemandirian fungsional dalam
mobilisasi dan aktivitas sehari-hari (Activity of Daily Living-ADL).7
Karakteristik program rehabilitasi penderita stroke menurut
Golberg adalah sebagai berikut.1
1. Mencegah komplikasi
2. Mencegah kekambuhan stroke (progresivitas)
3. Mengidentifikasi defisit fungsional dan kemampuan
4. Memperbaiki fungsional fisik melalui conditioning
exercise
5. Meningkatan kemajuan fungsional melalui training yang
ditujukan pada AKS (mobilisasi, perawatan diri, kognisi
dan komunikasi)
28
6. Menilai kebutuhan yang diperlukan untuk mobilitas dan
AKS serta memberikan persiapan ortosis dan alat bantu
yang spesifik
7. Menilai dan memberikan dukungan terhadap penderita
dan keluarga dalam proses sosialisasi
8. Mengidentifikasi dan menangani gangguan afektif dan
memberikan konseling dan dukungan kepada penderita
9. Mencegah komplikasi melaui evaluasi dan penanganan
terhadap seluruh kondisi medik yang berkaitan
10. Mengidentifikasi dan memberikan kemudahan dalam hal
aktivitas rekreasional mencakup : aktivitas waktu luang
dan hobi
11. Mengembalikan penderita ke keadaan mandiri termasuk
ke pekerjaan yang menguntungkan
3.2.2. Evaluasi Penderita Stroke dari Segi Rehabilitasi Medik
Evaluasi rehabilitasi medik yang dilakukan oleh tim berbeda dengan
evaluasi medik umum bagi penderita. Tujuan evaluasi rehabilitasi medik
adalah untuk tercapainya sasaran fungsional yang realistik dan untuk
menyusun suatu program rehabilitasi yang sesuai dgn sasaran tersebut.
Pemeriksaan ini meliputi 4 bidang evaluasi, yaitu sebagai berikut.7,9
1. Evaluasi neuromuskuloskeletal:
Evaluasi ini harus mencakup evaluasi neurologik secara umum
dg perhatian khusus terhadap kemampuan terhadap komunikasi
fungsi cerebral dan cerebellar, sensasi dan penglihatan (terutama
visus dan lapangan penglihatan). Evaluasi sistem motorik
meliputi pemeriksaan luas gerak sendi (ROM), tonus otot dan
kekuatan otot.
2. Evaluasi medik umum
Banyak penderita stroke adalah mereka yang berusia lanjut dan
mungkin mempunyai problem medik sebelumnya. Evaluasi
29
tentang sistem kardiovaskular, sistem pernafasan serta sistem
saluran kencing dan genital adalah penting. Diperkirakan 12%
penderita stroke disertai dengan penyakit jantung simptomatik.
Bila terdapat hipertensi dan diabetes mellitus, kontrol yang baik
adalah sangat perlu
3. Evaluasi fungsional
Kemampuan fungsional yang dievaluasi meliputi aktivitas
kegiatan hidup sehari-hari (ADL): makan, mencuci, berpakaian,
kebersihan diri, transfer dan ambulasi. Untuk setiap jenis
aktivitas tersebut, ditentukan derajat kemandirian atas
ketergantungan penderita, juga kebutuhan alat bantu.
Derajat kemandirian tersebut adalah sebagai berikut.6
a. Mandiri (independent)
Penderita dapat melaksanakan aktivitas tanpa bantuan, baik
berupa instruksi (lisan) maupun bantuan fisik.
b. Perlu supervisi
Penderita mungkin memerlukan bantuan instruksi lisan atau
bantuan seorang pendamping untuk mewujudkan aktivitas
fungsional.
c. Perlu bantuan
Penderita memerlukan bantuan untuk mewujudkan aktivitas
fungsional tertentu, yang bisa berderajat minimal (ringan),
sedang atau maksimal.
d. Tergantung (dependent)
Penderita tidak dapat melaksanakan aktivitas meskipun dengan
bantuan alat dan semua aktivitas harus dilakukan dengan
bantuan orang lain.
4. Evaluasi psikososial dan vokasional
Evaluasi psikososial dan vokasional adalah perlu oleh karena
rehabilitasi medik tergantung tidak hanya pada fungsi cerebral
intrinsik, tetapi juga tergantung faktor psikologik, misal
30
motivasi penderita. Vokasional dan aktivitas rekreasi, hubungan
dengan keluarga, sumber daya ekonomi dan sumber daya
lingkungan juga harus dievaluasi. Evaluasi psikososial dapat
dilakukan dengan menyuruh penderita mengerjakan suatu hal
yang sederhana yg dapat dipakai untuk penilaian tentang
kemampuan mengeluarkan pendapat, kemampuan daya ingat,
daya pikir dan orientasi
3.3.3. Program Rehabilitasi Medik pada Pasien Stroke
Program rehabilitasi medik dapat dimulai sedini mungkin. Pada
progressing stroke, lebih aman menunggu sampai mencapai completed stroke
baru dimulai program latihan, meskipun pasif. Jika Gangguan Pembuluh
Darah Otak (GPDO) berasal dari aliran sistem karotis, tunggu sampai 18-24
jam. Jika tidak ada gejala neurologik berarti telah komplit, sedangkan GPDO
dari sistem vertebrobasiler diperlukan observasi selama 72 jam. GPDO
karena trombosis dan emboli tanpa komplikasi, mobilisasi dapat dimulai 2-3
hari setelah onset. GPDO karena trombosis/emboli pada penderita infark
miokardial tanpa komplikasi dimulai setelah 3 minggu. Jika stabil, tidak ada
aritmia, mobilisasi hati-hati dimulai pada hari ke 10.6
Swenson menyebutkan lama program rehabilitasi medik direncanakan
6-12 minggu (rata-rata 8 minggu) sebagai waktu yang diperlukan penderita
rawat tinggal sebelum diperbolehkan pulang. Pada kasus ringan, program
rehabilitasi medik dilakukan selama 1-2 minggu. Lama waktu keseluruhan
program rehabilitasi pada umumnya 6-12 bulan.6,9
3.3.1 Fase Awal
Pada fase awal mungkin kesadaran penderita masih menurun,
pemeriksaan-pemeriksaan masih banyak dilakukan dan penderita masih
diinfus. Pengobatan dan perawatan pada fase ini ditujukan untuk
menyelamatkan jiwa dan mencegah komplikasi. Segera setelah keadaan
31
umum memungkinkan rehabilitasi dimulai, biasanya pada hari ke 2-3. Untuk
stroke akibat perdarahan biasanya setelah hari ke-14.6,9
Pekerja sosial medik dapat mulai bekerja dengan wawancara keluarga
penderita, mencari keterangan tentang pekerjaan, kegemaran, sosial ekonomi
dan lingkungan hidup serta keadaan rumah penderita. Selain itu, seseorang
fisioterapis mengatur posisi penderita sejak dini dengan tujuan mencegah
dekubitus, kontraktur sendi, nyeri bahu, pneumonia ortostatik, juga
bermanfaat untuk melawan dominasi synergictic pattern dan memudahkan
nursing care. Posisi ini terdiri dari :6,9
a. Posisi baring terlentang
Ekstremitas atas diletakkan di atas bantal sehingga bahu sedikit
abduksi dan ke depan, siku dalam ekstensi lengan dalam rotasi
keluar, pergelangan tangan dan tangan dalam ekstensi. Ekstremitas
bawah, sendi paha agak ekstensi dengan meletakkan bantal di bawah
paha dan sendi paha, lutut dalam fleksi, tungkai atas dalam internal
rotasi ringan.6,9
b. Posisi miring pada bagian yang sehat
c. Posisi miring pada bagian yang sakit
32
Perhatikan posisi ekstremitas atas. Bahu yang sakit jangan sampai
tertindih ke belakang, tetapi dalam posisi ke depan.6,9
d. Posisi bridging
Penderita diubah posisinya setiap 2 jam untuk mencegah terjadinya
ulkus dekubitus, kemudian diberikan latihan luas gerak sendi
(ROM).6,9
Pada ekstremitas yang sakit, dilakukan latihan luas gerak sendi
sepenuh gerakan secara pasif. Perhatian khusus ditujukan tehadap sendi
bahu, tangan dan pergelangan kaki. Latihan luas gerak sendi membantu
mencegah kekakuan sendi, yang dapat menghambat fungsi bila
pemulihan neurologik terjadi. Begitu penderita sadar penanganan
masalah emosional dimulai. Setelah tahu ada gangguan fungsi gerak
pada dirinya penderita biasanya menjadi sangat kecewa, emosi labil,
ketakutan, dan frustasi dapat terjadi.6,9
33
3.3.2. Fase Lanjutan
Penekanan fase lanjutan adalah untuk mencapai kemandirian
fungsional dalam mobilisasi dan aktivitas hidup sehari-hari (ADL).
Fase ini dimulai pada waktu penderita secara medik telah stabil.
Aktivitas mobilisasi mulai dengan aktivitas di tempat tidur, berlanjut ke
duduk, berdiri dan ambulasi. Perhatian selama fase ini ditujukan untuk
memelihara ROM dan meningkat dari latihan ROM secara pasif ke
aktif.6,9
Latihan penguatan otot dilakukan pada sisi yang sehat maupun
yang sakit, terutama untuk otot-otot yang dipakai untuk transfer dan
ambulasi. Latihan penguatan otot ini dimulai dari latihan secara aktif-
assistif sampai kemudian progresif-resistif, bila kekuatan telah pulih
kembali. Latihan koordinasi dan keseimbangan juga diperlukan.9
3.4. Jenis Rehabilitasi Medik
3.4.1 Mobilisasi
Mobilisasi meliputi program latihan posisi tegak secara bertahap
mulai dari duduk sampai berdiri dan akhirnya mobilisasi. Mobilisasi
dini untuk mencegah terjadinya “orthostatic postural hypotension”.6
3.4.2 Latihan duduk
Tahap pertama latihan duduk dilakukan secara pasif. Jika
penderita sebelumnya diimobilisasi 2 minggu atau lebih untuk adaptasi
kardiovaskular perlu latihan dengan tilt-table. Latihan duduk dimulai
dengan mendudukkan penderita selama 5-10 menit, monitor tanda-
tanda vital. Lama waktu duduk (toleransi) dapat dinaikkan. Latihan
dilakukan minimal 2 kali sehari tiap pagi dan sore. Toleransi dianggap
baik jika dapat bertahan lebih dari 30 menit. Latihan aktif dimulai
setelah toleransi baik.6,9
34
Posisi duduk dipinggir tempat tidur ditingkatkan keduduk di
kursiroda. Bila toleransi terhadap posisi duduk telah tercapai, suatu
program latihan transfer pada posisi berdiri dan latihan toleransi pada
posisi berdiri dimulai. Penderita dengan hemiparese biasanya dilatih
transfer pada posisi berdiri dengan mempergunakan tungkai yang sehat
untuk menahan berat badan serta mempergunakan lengan yang sehat
untuk mendorong badan ke atas sampai dapat berdiri tegak. Untuk
menyelesaikan transfer ini, penderita bertumpu pada kaki yang sehat,
lalu memindahkan lengan yang sehat ke sandaran tangan kursi roda dan
kemudian merendahkan tubuh sampai duduk di kursi roda. Transfer
harus selalu dilakukan dengan meletakkan kursi roda pada sisi yang
sehat dari tubuh (lihat gambar).6,9
35
36
Bersamaan dengan prosedur transfer dimulai, program latihan
berdiri dan ambulasi juga dimulai. Awalnya bantuan dari terapis
diperlukan untuk membantu penderita berdiri di antara paralel bar,
kemudian dimulai latihan keseimbangan dan toleransi berdiri. Jika
dianggap perlu dapat memakai knee back slab, yaitu semacam posterior
splint untuk menstabilkan lutut yang sakit dalam posisi ekstensi.6,9
Latihan ini termasuk stand-up exercise berguna untuk penguatan
tungkai yang sehat sehingga kuat mengangkat tubuh juga merangsang
kembalinya refleks serta fungsi motorik tungkai yang sakit dan juga
menguatkan tungkai yang sehat. Mulai dengan kursi tinggi, tiap kali
latihan 10 kali stand-up, kemudian kursi direndahkan 1 atau 2 inci
sampai setinggi kursi umum.6,9
Seterusnya penderita dilatih berjalan diantara paralel bar,
pertama dengan bantuan selanjutnya tanpa bantuan. Tahap berikutnya
penderita dilatih jalan di luar paralel bar, bila perlu dengan bantuan
tongkat yang bisa berupa tongkat kaki 4, kaki 3, atau kaki tunggal,
untuk diteruskan dengan jalan tanpa alat bantu bila telah ada kemajuan.
Penderita juga dilatih untuk menaiki tangga rumah. Pertama kali
penderita menaiki tangga rumah setapak demi setapak untuk tiap
tingkat Pada waktu naik tungkai sehat melangkah lebih dulu, sewaktu
turun tungkai sakit terlebih dulu.9
Untuk membantu program ambulasi, diperlukan alat bantu
sebagai berikut.9
a. Brace
Untuk kasus foot drop, dapat digunakan short leg brace
dengan 90 post, sedangkan long leg brace dilakukan untuk
menghentikan recurvatum genue.
b. Sepatu untuk menambah stabilitasi pergelangan kaki
Pada sepatu pasien, dilakukan pemberian tumit lebar atau
penambahan pada sole sebelah samping.
37
c. Sling
Sling dipasangkan pada ekstremitas atas yang mengalami
paralisis berat untuk mengurangi tarikan pada bahu dan
mencegah terjadinya sindroma nyeri bahu. Sling juga akan
mencegah efek ekstremitas atas yang nonfungsional
terhadap keseimbangan penderita waktu jalan.
d. Kursi roda
Jika tim rehabilitasi memutuskan bahwa kemampuan
berjalannya memang sudah tidak dapat mencapai tingkat
yang fungsional, pilihan terakhir adalah kursi roda.
3.4.3. Aktivitas Kehidupan Sehari-Hari (Activity Of Daily Living/ADL)
Sebagian besar penderita dapat mencapai kemandirian dalam
ADL, meskipun pemulihan fungsi neurologis pada ekstremitas atas
yang terkena belum tentu baik. Dengan peralatan bantu yang telah
disesuaikan, aktivitas ADL dengan menggunakan satu tangan secara
mandiri dapat dikerjakan. ADL ini meliputi makan, minum, personal
hygiene, berpakaian, serta aktivitas tambahan seperti membuka pintu,
memegang buku bacaan, menelepon dan lain-lain.6,9
Kemandirian dalam makan dapat dipermudah dengan pemakaian
alat-alat yang telah disesuaikan, misalnya sendok/garpu dengan
pegangan yang besar, sedotan untuk minum. Pemasangan batang
pegangan pada dinding kamar mandi dan kamar kecil akan menambah
kemadirian sewaktu mandi, sedangkan pakaian yang lebih longgar,
dengan kancing di depan, dikombinasikan dengan teknik mengenakan
pakaian dengan memasukkan sisi yang sakit lebih dulu ke lengan
kemeja, celana panjang/pendek maupun pakaian dalam akan menambah
kemandirian dalam berpakaian.6,9
38
3.4.4. Gangguan Bicara Atau Komunikasi
Pelaksanaan terapi dilakukan oleh tim medik dan keluarga dan
umumnya memerlukan waktu 3 bulan. Gangguan bicara atau
komunikasi ditangani oleh speech therapist dengan cara sebagai
berikut.6,9
1. Latihan pernafasan (pre-speech training) berupa latihan nafas,
menelan, meniup, latihan gerak bibir, lidah dan tenggorokan.
2. Latihan di depan cermin untuk latihan gerakan lidah, bibir dan
mengucapkan kata-kata. Untuk afasia motorik, contoh gerakan
dan instruksi secara tertulis, sedangkan untuk afasia sensorik,
rangsangan suara lebih ditekankan, bicara perlahan-lahan serta
jelas.
3. Latihan bagi penderita disartri lebih ditekankan ke artikulasi
dan pengucapan kata-kata.
Sekitar 40% penderita stroke dengan kelumpuhan sebelah kanan
akan terdapat gangguan bahasa. Kelainan ini bersifat sementara dan
menetap. Bila fungsi gerak mengalami peningkatan biasanya fungsi
bahasa juga, walaupun tidak pasti sejalan. 6,9
3.4.5. Faktor Psikologi
Semua penderita dengan gangguan fungsional yang akut akan
melampaui suatu serial fase psikologi. Semua anggota tim harus
mengetahui fenomena ini serta harus memberikan dukungan dan
dorongan semangat bagi penderita.6
Fase-fase psikologis tersebut adalah sebagai berikut.9
1. Fase shock
• Waktu : segera setelah serangan
• Gejala : panik, cemas, putus asa
• Program : memberi keyakinan dan dukungan
semangat, konsultasi dengan keluarga.
2. Fase penolakan
39
•Waktu : fase akut
• Gejala : agak panik
• Program : dorongan semangat bagi penderita untuk
melakukan aktivitas yang dapat dikerjakan, pemberian
“hadiah” atas usaha yang dapat dikerjakan
3. Fase penyesuaian
•Waktu : fase pemulihan awal
• Gejala : cemas, rasa kepahitan hidup, depresi
• Program : secara bertahap memberikan aktivitas baru
yang bersifat tantangan
4. Fase penerimaan
•Waktu : fase pemulihan lanjut
• Gejala : kenaikkan terhadap gairah hidup
• Program : “paksa” penderita untuk mencapai sasaran
yang telah ditetapkan
Sebagian penderita mengalami fase-fase tersebut secara cepat,
sedang sebagian lagi mengalaminya secara lambat, berhenti pada salah
satu fase atau bahkan kembali ke fase yang sudah lewat. Rehabilitasi
memerlukan pendidikan dan motivasi. Penderita harus berada pada fase
psikologi yang sesuai untuk dapat menerima rehabilitasi.6
3.5. Pemulihan Penderita Stroke
Saat mulainya rehabilitasi medik, program dimulai kurang dari 24 jam
maka pengembalian fungsi lebih cepat. Bila dimulai kurang dari 14 jam maka
kemampuan memelihara diri akan kembali lebih dahulu. Saat dimulainya
pemulihan klinis, prognosis akan lebih buruk bila ditemukan adanya : 1-4
minggu gerak aktif masih nol (negatif); 4-6 minggu fungsi tangan belum
kembali dan adanya hipotonia dan arefleksia yang menetap.6
Pemulihan penderita stroke dibagi menjadi dua macam, yaitu sebagai
berikut.1
1. Pemulihan Neurologis
40
Pemulihan neurologis tergantung mekanisme stroke dan
lokasi lesi. Pemulihan neurologis secara spontan umumnya terjadi
pada bulan ke 3- 6 setelah serangan stroke. Pada pemulihan
neurologis akan terjadi proses sebagi berikut:resolusi terhadap
udema lokal, rosorpsi toksin secara lokal, perbaikan sirkulasi lokal
dan perbaikan secara parsial neuron yang rusak.
2. Pemulihan Fungsional
Perbaikan fungsi motorik biasanya terjadi setelah stroke.
Dan akan menjadi komplit setelah 3-6 bulan setelah serangan
stroke. Pemulihan ini akan terjadi secara kontinue setiap bulan dan
setiap tahun, tergantung dimana penderita ditempatkan dan berapa
banyak latihan serta motivasi yang didapatkan dari lingkungan.
Pada suatu studi pernah dilaporkan bahwa pemulihan extremitas
bawah lebih dini dibandingkan extremitas atas. Kebanyakan
program rehabilitasi stroke dapat diselesaikan oleh penderita
sebelum akhir hari ke-40 setalah serangan stroke. Untuk menilai
untung ruginya rehabilitasi stroke juga perlu dipikirkan bukan
hanya keuntungan secara finansial tetapi semua keuntungan
termasuk dalam memperbaiki kualitas hidup.
Beberapa instrumen yang sering dipaki untuk menilai kemampuan
fungsional pada penderita stroke adalah sebagai berikut. 1,6,9
1. Secara Umum
a. Indeks Barthel
Indeks Barthel merupakan indeks kemandirian yang
sederhana untuk menilai kemampuan fungsional penderita
dengan gangguan neuromuskuler atau muskuloskeletal dan
merupakan instrumen yang paling populer dan paling banyak
digunakan untuk mengukur kemampuan fungsional penderita
stroke dalam melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Untuk penampilan berjalan telah dipakai sub skor indeks
41
barthel denganskla 3 poin, yaitu tidak dapat berjalan, berjalan
dengan bantuan dan berjalan secara independen.1,6
Indeks Barthel terdiri dari 10 item meliputi sebagai
berikut.1
b. Functional Independence Measure (FIM)
Skor FIM dikembangkan untuk mengukur disabilitas
seseorang dan untuk menilai kemajuan perkembangaan penderita
yang mendapat program rehabilitasi. Penilaian pada penderita FIM
dilakukan pada 6 kategori fungsi dan terdiri dari 18 item. Setiap
item dinilai ketergantungannya dengan menggunakan skala 1 s/d
7.9
1. Independence
7 : independen komlit
6 : modified independence penderita memaki alat
bantu
2. Modified Independence
5 : supervisi
4 : bantuan minimal (upaya obyek untuk aktivitas >
75 %)
42
3 : bantuan sedang (subyek 25-75 %)
3. Complited dependence
2 : bantuan maksimal (subyek: 25-50%)
1 : bantuan toatal (subyek 0-25 %)
Keenam kategori fungsi terdiri dari poin-poin sebagai berikut.9
1. Perawatan diri:
- Nilai maksimal 42 poin (6 aktivitas)
- Aktivitas yang dinilai adalah makan, grooming, mandi,
memakai baju bagian atas ,memakai baju bagian bawah dan
pergi ke toilet
2. Kontrol sfingter
- Nilai maksimal 14 point (2 aktivitas)
- Aktivitas yang dinilai adalah manajment kandung kencing
dan usus
3. Mobilitas
- Nilai maksimal 21 point ( 3 aktivitas)
- Aktivitas yang dinilai adalah kemampuan transfer untuk
BAB dan BAK, transfer untuk mandi dan transfer ke tempat
tidur, kursi dan kursi roda.
4. Lokomotorik
- Nilai maksimal 14 point ( 2 aktivitas)
- Aktivitas yang dinilai adalah berjalan/kursi roda, naik/turun
tangga
5. Komunikasi
- Nilai maksimal 14 point ( 2 aktivitas)
- Aktivitas yang dinilai adalah komprehensi/ dapat
memahami ekspresi
6. Social cognition
- Nilai maksimal 21 point (3 aktivitas)
- Aktivitas yang dinilai adalah pemecahan masalah, intereaksi
sosial dan memori.
43
c. PULSES Profile
PULSES profile dirancang untuk mengevaluasi fungsional
pada penderita penyakit kronis dan orang tua termasuk stroke.
Profile ini umumnya digunakan untuk memprediksi rehabilitasi
yang potensial, untuk mengevaluasi perkembangan penderita dan
untuk membantu dalam perencanaan program.6,9
PULSES merupakan akronim yang dibentuk dari huruf-
huruf awal subseksi instrumen. Subseksi-subseksi ini didesain
untuk mengukur :1
1. Physical condition (kondisi fisik)
2. Upper Extremity (kemampuan untuk menggunakan
ekstremitas atas)
3. Lower Extremity (kemampuan untuk menggunakan
ekstremitas bawah)
4. Sensory Performance (komponen sensorik yang
berhubungan dengan komunikasi, yaitu bicara,
pendengaran dan penglihatan)
5. Excretory performance (kemampuan untuk mengontrol
BAB dan BAK)
6. Social and mental status (status sosial dan status
mental)
Dalam setiap subseksi, nilainya antara 1 s/d 4 (dari normal
sampai abnormal berat yang mengakibatkan ketergantungan),
PULSES profile merupakan instrumen untuk mengukur
kemampuan fungsional dan telah banyak digunakan secara luas di
pusat-pusat rehabilitasi di Amerika.1
PULSES profile lebih berguna untuk mendeteksi
perubahan-perubahan sebelum meninggalkan rumah sakit (KRS)
dan sangat efektif pada perubahan substansial pada status
fungsional pada penderita stroke atau cedera medula spinalis.1
2. Secara Khusus
44
Fungsional Ambulation Category (FAC) adalah alat ukur
yang dapat digunakan untuk menilai kemampuan gait penderita
seperti penderita pasca stroke, palsi serebralis dan pasca trauma
medula spinalis. Tes tersebut meliputi 6 level terhadap dukungan
personel yang diperlukan untuk gait tetapi tidak mencatat apakah
alat bantu digunakan atau tidak.1,9
Level 0 menggambarkan seorang penderita tidak mampu
berjalan atau memerlukan bantuan dua orang atau lebih.
Level 1 menggambarkan seorang penderita memerlukan
sokongan yang kontinyu dari satu orang untuk membantu
mengangkat berat dan keseimbangannya.
Level 2 menggambarkan seorang penderita tergantung
pada sokongan yang kontinyu atau intermiten terhadap
satu orang untuk membantu keseimbangan atau
koordinasi.
Level 3 menggambarkan penderita hanya memerlukan
supervisi verbal.
Level 4 menggambarkan bantuan diperlukan pada tangga
dan permukaan yang tidak rata
Level 5 menggambarkan seorang penderita yang dapat
berjalan secara independen di mana saja
45
BAB IV
ANALISIS KASUS
Ny. SS, 55 tahun, penderita datang dengan keluhan utama kelemahan sisi
tubuh sebelah kiri. Sejak ± 1 hari SMRS saat sedang aktivitas tiba – tiba penderita
mengalami kelemahan pada sisi tubuh kiri, saat serangan sakit kepala (-), mual (-),
muntah (-), kejang (-), penurunan kesadaran (-), mulut mengot (+), bicara pelo
(+). Riwayat hipertensi (+) sejak tahun 2011, tidak kontrol teratur. Riwayat DM
(+) sejak tahun 2008, minum obat teratur. Riwayat stroke (+) tahun 2011.
Penderita mengalami penyakit seperti ini untuk kedua kalinya.
Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan tampak sakit sedang dengan
kesadaran compos mentis (GCS 15), tekanan darah 140/80 mmHg, nadi
92x/menit, pernapasan 22x/menit, suhu 36,7oC. Pada pemeriksaan neurologi,
ditemukan plica nasolabialis kiri datar dan sudut mulut kiri tertinggal pada
pemeriksaan nervus craniales VII (N. Facialis), serta didapatkan juga adanya
disartria pada pemeriksaan nervus craniales XII (N. Hypoglossus). Selain itu,
pada pemeriksaan motorik, pada ekstremitas sinistra terdapatnya gerakan kurang
aktif, kekuatan 3, tonus meningkat, dan refleks fisiologis pada lengan dan tungkai
kiri juga meningkat. Sedangkan pada ekstremitas bagian dekstra masih dalam
batas normal. Pada pemeriksaan gait dan keseimbangan juga ditemukan pasien
sulit untuk menjaga keseimbangannya pada saat berdiri atau duduk. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan LED, peningkatan gula darah
sewaktu, peningkatan kolesterol, pada hasil CT Scan kepala kesan lacunar infark.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan keluhan/gejala
berupa defisit neurologis tubuh bagian kiri, disatria, plica nasolabialis kiri datar,
serta sudut mulut kiri tertinggal disertai faktor risiko terjadinya stroke pada
penderita yaitu usia tua, hipertensi tak terkontrol, adanya riwayat diabetes melitus.
Selain itu didapatkan pula riwayat stroke pada tahun 2011. Kemudian dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa CT scan untuk memperkuat diagnosa, didapatkan
infark pada daerah lakunar. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
46
penunjang, pasien ini didiagnosa “slight hemiparese sinistra tipe spastik dengan
parese N. VII dan XII sinistra tipe sentral e.c thrombosis cerebri disertai DM tipe
2 uncontrolled”.
Berdasarkan tipe stroke, penderita dapat dikategorikan sebagai stroke non-
hemorragik dengan faktor risiko usia tua, hipertensi tidak terkontrol, penyakit
diabetes melitus serta adanya riwayat stroke. Pada penderita juga ditemukan
adanya manifestasi berupa kelumpuhan anggota gerak dan kelumpuhan wajah
sebelah kiri, disertai disatria tanpa disertai mual muntah, ganguan penglihatan
ataupun penurunan kesadaran.
Penderita hemiparese aktivitas sehari-harinya telah berkurang yang
disebabkan oleh kelumpuhan separuh badan, untuk ini penderita kesulitan
melakukan activity daily living (ADL). Keadaan ini akan mengubah pola
keserasian hidup dari penderita dan keluarga penderita, karena penderita akan
banyak tergantung pada orang lain. Program rehabilitasi pada penderita
hemiparese sangat penting. Beberapa program rehabilitasi medik pada penderita
hemiparese telah dikemukakan oleh berbagai penemunya, masing-masing dengan
dasar teori yang berbeda yaitu ada dua bagian:
1. Rehabilitasi kompensatori
Suatu program latihan rehabilitasi dimana pengobatan/latihannya lebih
ditekankan kepada pengambilan alih fungsi anggota yang lumpuh oleh
anggota gerak yang sehat.Latihan ini berfungsi untuk penguatan otot-otot dan
mempertahankan luas gerak sendi pada sisi yang lumpuh. Kelemahan sistem
ini adalah mengabaikan potensi-potensi yang ada pada sisi yang lumpuh serta
spastisitas menjadi lebih kuat disebabkan “reaksi ikutan” yang ditimbulkan
oleh sisi unilateral yang sehat.
2. Rehabilitasi developmental
Yaitu rehabilitasi pengembangan yang memusatkan perhatian kepada
perkembangan potensi fungsional di sisi yang lumpuh sejak dini dan masa
akut. Dengan cara Neuromuskular Facilitation Exercise, misalnya metode
Bobath, Rood dan Proprioseptive Neuromuscular Facilitation. Pada penderita
dengan hemiparese timbul refleks postural abnormal (reflek primitif) yang
47
menyebabkan timbulnya koordinasi dan tonus yang abnormal, hilangnya
keseimbangan pada sisi yang lumpuh, timbulnya gangguan motorik yang
menghambat gerakan, timbulnya spastisitas otot dan hilangnya gerakan bebas.
Program rehabilitasi medik penderita hemiparese sebaiknya dimulai sedini
mungkin. Latihan ini adalah berupa latihan aktif pasif, latihan sendi dan
positioning, bridging dan rolling. Tujuan dari latihan ini adalah mencegah
spastisitas terutama posisi pasien yaitu posisi antispastik. Penanganan mutakhir
spastisitas meliputi perawatan yang baik dan modalitas fisik. Modalitas fisik
terdiri dari latihan terapeutik, terapi dingin, terapi panas, stimulasi listrik, bio
feedback, vibrasi, peregangan yang dipertahankan, traksi, tekanan, inverse,
goyangan ringan, penyangga berat badan, mobilitas sendi, massage, laser,
akupuntur, splinting, dan casting.
Program rehabilitasi medik pada penderita ini meliputi fisioterapi yakni
sinar infra red (IRR). Infra Red Radiation (IRR) dilakukan karena terapi panas
memiliki efek fisiologis berupa memperbaiki sirkulasi arteri dan vena,
meningkatkan metabolisme, memperbaiki nutrisi jaringan, mengurangi spasme
otot, menghilangkan rasa sakit, meningkatkan difusi jaringan, meningkatkan
ekstensibilitas tendon, mengurangi aktifitas aferen fusimotor serta meningkatkan
elastisitas jaringan yang mana semua efek tersebut baik untuk pemulihan pada
pasien ini. IRR dilakukan agar terjadi perbaikan aliran darah ke perifer (otot) serta
dapat mencetuskan stimulasi listrik. Kemudian dilakukan terapi latihan berupa
ROM exercise aktif dan pasif strengthening exercise otot yang lemah, tujuannya
adalah agar gerakan pada persendian baik secara aktif, mengurangi spastisitas
sehingga memungkinkan gerakan yang normal, dan memperkuat otot yang lemah
serta latihan Bobath untuk melatih postural yang normal dan keseimbangan.
Penderita juga diberikan terapi okupasi berupa ADL exercise yaitu latihan
keseimbangan yang dimulai dengan keseimbangan saat duduk, berdiri, dan saat
berjalan. Saat pasien sudah dapat berjalan dengan seimbang, penderita
diperkenalkan dengan program ADL, seperti latihan mobilisasi (latihan berpindah
tempat dari tempat tidur menuju ke kursi), latihan fungsi tangan untuk gerakan
48
motorik halus dan koordinasi (latihan tata cara makan, memakai baju, dll), terapi
wicara diberikan untuk mengatasi distaria dengan melatih artikulasi penderita
dalam mengucapkan kata-kata. Pemberian edukasi pada penderita juga diperlukan
yaitu dengan memberikan edukasi dan bimbingan kepada penderita untuk berobat
dan berlatih secara teratur, memberikan edukasi dan evaluasi terhadap lingkungan
rumah agar sesuai dengan keamaan pasien saat ini untuk membantu pasien
menjalani aktivitas sehari-hari. Terapi Medika mentosa yang diberikan sesuai
dengan perawatan di Bagian Neurologi yaitu Aspilet 2 x 80 mg tab, Inj. Ranitidin
2 x 1, Captopril 3 x 25 mg, Vit B1B6B12 3 x 1 tab, Metformin 3 x 500 mg.
Prognosis pada pasien ini untuk quo at vitam adalah dubia ad bonam
karena pada hemiparese tungkai dan lengan kiri akibat trombosis serebri ini belum
terjadi perdarahan serebri sehingga harapan pasien untuk hidup lebih baik,
sedangkan quo at functionam adalah dubia ad bonam karena hal ini dipengaruhi
oleh gaya dan kualitas hidup pasien serta rutin tidaknya pasien dalam melakukan
terapi rehabilitasi medik. Bila terapi rehabilitasi medik yang bertujuan untuk
mengembalikan fungsi tubuh yang mengalami parese dilakukan rutin dan teratur
maka prognosis akan menjadi lebih baik meskipun akan memerlukan waktu yang
lebih lama.
Untuk evaluasi dari perkembangan klinis dan fungsional digunakan indeks
Barthel. Indeks ini akan dinilai tiap minggu ataupun tiap bulan sehingga
diharapkan perkembangan klinis dan fungsional dari pasien dapat dipantau secara
kuantitatif. Hasil indeks Barthel pada pasien ini adalah 60, yaitu ketergantungan
berat. Untuk itu, diharapkan setelah terapi dilaksanakan, skor dari indeks Barthel
penderita dapat meningkat.
No. Keterangan Nilai
1. Makan 52. Transfer bed/kursi 103. Grooming (personal toilet) 04. Toiletting 55. Mandi 06. Berjalan di tempat datar 107. Naik dan turun tangga 58. Berpakaian 5
49
9. Kontrol BAB 1010. Kontrol BAK 10
50
DAFTAR PUSTAKA
1. Widagda, IM. Penilaian Tingkat Ambulasi Penderita Hemiparesis Pascastroke dengan Functional Ambulation Category (FAC) bagi yang Mendapat ProgramRehabilitasi Medik di RS dr. Kariadi Semarang. Laporan Penelitian. ProgramStudi Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Diponegoro. Semarang. 2002;3-26.
2. Kolegium Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia.Tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Pada Stroke Kolegium Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia.Jakarta. 2010; 1-21
3. Bamford J, Sandercock P, Dennis M, Burn J, Warlow C.Classification and natural history of clinically identifiable subtypes of cerebral infarction .Lancet. 2008; 1-5.12.
4. Karema Winny. Diagnosis dan Klasifikasi Stroke. Simposium Stroke Up Date2001. Bagian SMF Saraf Fakultas Kedokteran Universitas SamRatulangi/RSUP Manado. 2001: 10-5.13.
5. Misbach, J dan Harmani K. Mengenali Jenis-jenis Stroke . 2011. Diunduh
dari:http://medicastore.com/stroke/Mengenali_Jenis_Stroke.php , diakses pada tanggal 1 Oktober 2013.
6. WHO. 2012. Stroke, Cerebrovascular Accident. Diunduh dari:http://www.who.int/topics/ cerebrovascular_accident/en/, diakses tanggal 1 Oktober 2013.
7. Darodjah SH. Rehabilitasi pada Pasien Stroke. Departemen Rehabilitasi Medik RS Dr. Kariadi Fakultas Kedokteran Universitas DiponegoroSemarang. 2007; 1-48.9.
8. National Stroke Foundation. 2010. Clinical Guidelines for Stroke Management Melbourne: Australia.2010 .
9. Angliadi LS, dkk. Rehabilitasi Stroke. Dalam: Penuntun Ilmu KedokteranFisik dan Rehabilitasi. Manado: Bagian Ilmu Kedokteran Fisik danRehabilitasi Fakultas Kedokteran Sam Ratulangi. Manado. 2006; 5-21.
51