Upload
nimatalloh-chamdan
View
1.019
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
PENDAHULUAN
Asma adalah suatu penyakit saluran pernafasan yang terjadi karena hipere aktifitas
bronkus terhadap berbagai stimulus, di sertai gejala penyempitan pada saluran pernafasan karena
bronko konstriksi reaksi inflamasi dan peningkatan sekresi kelenjar bronkus. Serangan asma bisa
terjadi spontan maupun karena rangsangan fisik, kimia / obat-obatan. Tanda klinik asma berupa
serangan episodik batuk, sesak nafas dengan ekspirasi memanjang dan pada auskultasi terdengar
suara ‘wheezing’ yang khas. Gambaran patologinya berupa kontraksi otot polos saluran
pernafasan, penebalan mukosa karena edema serta penyumbatan lumen saluran nafas karena
mukus yang kental dan liat. NAEPP ( National AsthmaEducation and Prevention Program2007 )
menekankan adanya keterlibatan interaksi antara ekspresi gen dengan lingkungan, infeksi virus
sebagai penyebab utama kejadian dan perkembangan asma, airway remodeling terlibat dalam
asma kronis pada sebagian pasien
Asma dapat menyerang anak-anak maupun dewasa. Di Amerika, 14 sampai 15 juta orang
mengidap asma, dan kuranglebih 4,5 juta di antaranya adalah anak-anak. Separo dari semua
kasus asma berkembang sejak masa kanakkanak, sedangkan sepertiganya pada masa dewasa
sebelum umur 40 tahun. Pada umumnya penderita asma mempunyai keluarga yang juga
menderita asma (faktor genetik). Terapi asma ditujukan untuk mengatasi atau meminimalkan
gejala dan mencegah serangan ulang, sehingga penderita dapat melakukan aktifitas sehari-hari.
Asma merupakan penyakit yang tidak bisa disembuhkan akan tetapi bisa dikendalikan.
Salah satu cara mengendalikan gejala dan mencegah terjadinya masa eksaserbasi adalah dengan
menggunakan medikamentosa. Untuk memberikan terapi medikamentosa, seorang praktisi harus
mengetahui profil dari obat – obat asma tersebut. Oleh karena itu, dalam refrat ini penulis
menguraikan secara singkat tentang obat – obat yang digunakan untuk terapi asma.
OBAT – OBAT ASMA
Macam-macam obat asma :
• Simpatomimetika
• Derivat xanthine: theofilin,aminofilin
• Kortikosteroid.
• Biskromones: kromolyn, ketotifen.
• Antikolinergik:ipratropium bromide.
Semua obat tersebut diatas untuk terapi initial ataupun pencegahan.
Menetapkan perencanaan Pengobatan Untuk Manajemen Jangka Panjang.
Dalam menetapkan rencana pengobatan jangka panjang untuk mencapai dan menjaga agar gejala
asma terkontrol dengan memakai obat-obatan asma. Pada prinsipnya terapi serangan asma
bronkiale adalah membuka kembali jalan nafas dengan bronko dilator dan menghilangkan serta
mencegah berlanjutnya reaksi inflamasi dengan anti inflamasi .Obat asma digunakan untuk
menghilangkan dan mencegah timbulnya gejala dan obstruksi saluran nafas, terdiri dari obat
controller dan reliever.
1. OBAT CONTROLLER
Controller adalah obat yang diminum harian dan jangka panjang dengan tujuan untuk
mencapai dan menjaga asma persisten yang terkontrol. Terdiri dari obat antiinflamasi dan
bronkodilator long acting. Kortikosteroid inhalasi merupakan controller yang paling efektif.
Obat controller juga sering disebut sebagai obat profilaksis, preventif atau maintenance. Obat
controller termasuk Kortikosteroid inhalasi, Kortikosteroid sistemik, sodium kromoglikat dan
sodium nedokromil, teofilin lepas lambat, beta2-agonist long acting inhalasi dan oral, dan
mungkin ketotifen atau antialergi oral lain.
1.1.Kortikosteroid
Rute pemberian bisa secara inhalasi ataupun sistemik (oral atau parenteral).
Mekanisme aksi antiinflamasi dari kortikosteroid belum diketahui secara pasti. Beberapa
yang ditawarkan adalah berhubungan dengan metabolisme asam arakidonat, juga sintesa
leukotrien dan prostaglandin, mengurangi kerusakan mikrovaskuler, menghambat
produksi dan sekresi sitokin, mencegah migrasi dan aktivasi sel radang dan meningkatkan
respon reseptor beta pada otot polos saluran nafas.
Studi tentang kortikosteroid inhalasi menunjukkan kegunaannya dalam memperbaiki
fungsi paru, mengurangi hiperrespon saluran nafas, mengurangi gejala,mengurangi
frekuensi dan beratnya eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup. Dosis tinggi dan
jangka panjang kortikosteroid inhalasi bermanfaat untuk pengobatan asma persisten berat
karena dapat menurunkan pemakaian koetikosteroid oral jangka panjang dan mengurangi
efek samping sistemik.
Untuk kortikosteroid sistemik, pemberian oral lebih aman dibanding parenteral. Jika
kortikosteroid oral akan diberikan secara jangka panjang, harus diperhatikan mengenai
efek samping sistemiknya. Prednison, prednisolon dan metilprednisolon adalah
kortikosteroid oral pilihan karena mempunyai efek mineralokortikoid minimal, waktu
paruh yang relatif pendek dan efek yang ringan terhadap otot bergaris. Pendapat lain
menyatakan kortikosteroid sistemik dipakai pada penderita dengan penyakit akut, pasien
yang tidak tertangani dengan baik memakai bronkodilator dan pada pasien yang
gejalanya menjadi lebih jelek walaupun telah diberi pengobatan maintenance yang baik.
Efek samping lokal kortikosteroid inhalasi adalah kandidiasis orofaring, disfonia dan
kadang batuk. Efek samping sistemik tergantung dari potensi, bioavailabilitas, absorpsi di
usus, metabolisme di hepar dan waktu paruhnya. Beberapa studi menyatakan bahwa dosis
diatas 1 mg perhari beclometason dipropionat atau budesonid atau dosis ekuivalen
kortikosteroid lain, berhubungan dengan efek sistemik termasuk penebalan kulit dan
mudah luka, supresi adrenal dan penurunan metabolisme tulang. Efek sistemik pemakaian
jangka panjang kortikosteroid oral adalah osteoporosis, hipertensi arterial, diabetes
melitus, supresi HPA aksis, katarak, obesitas, penipisan kulit dan kelemahan otot.
Global Initiative For Asthma (GINA) memberikan petunjuk pemakaian kortikosteroid
untuk pencegahan jangka panjang berdasarkan beratnya asma pada orang dewasa sebagai
berikut:
1. Asma dengan serangan intermitten (step 1) tidak memerlukan steroid preventif, bila
perlu dapat dipakai steroid oral jangka pendek.
2. Asma persisten ringan (step 2) memerlukan inhalasi 200-400 mcg/hari beclometason
dipropionat, budesonid atau ekuivalennya.
3. Asma persisten sedang (step 3) memerlukan inhalasi 800-2000 mcg/hari
4. Asma persisten berat (step 4) memerlukan 800-2000 mcg/hari atau lebih.
Sesuai dengan anjuran ini, pengobatan dengan dosis maksimal (800-1500 mcg/hari) selama
1-2 minggu diperlukan untuk mengendalikan proses inflamasi secara cepat, dan kemudian
dosis diturunkan sampai dosis terendah (200-800 mcg/hari) yang masih dapat mengendalikan
penyakit.
Kortikosteroid
Macam Potensi
Antiinflamas
i
Potensi
Ekuivalen
(mg)
Potensi
Retensi Na
Waktu Paruh
Biologik
Cortisol 1 20 2+ 8-12
Cortison 0.8 25 2+ 8-12
Prednison 3.5 5 1+ 18-36
Prednisolon 4 5 1+ 18-36
Methylprednisolone 5 4 0 18-36
Triamcinolon 5 4 0 18-36
Parametason 10 2 0 36-54
Betametason 25 0.6 0 36-54
Dexamethason 30 0.75 0 36-54
1.2.Sodium Kromoglikat dan Sodium Nedokromil
Sodium kromoglikat adalah antiinflamasi non steroid, dan mekanisme kerja yang pasti
belum diketahui. Obat ini terutama menghambat pelepasan mediator yang dimediasi oleh
IgE dari sel mast dan mempunyai efek supresi selektif terhadap sel inflamasi yang lain
(makrofag, eosinofil, monosit). Obat ini diberikan untuk pencegahan karena dapat
menghambat reaksi asma segera dan reaksi asma lambat akibat rangsangan alergen,
latihan, udara dingin dan sulfur dioksida. Pemberian jangka panjang menyebabkan
penurunan nyata dari jumlah eosinofil pada cairan BAL dan penurunan hiperrespon
bronkus nonspesifik. Bisa digunakan jangka panjang setelah asma timbul, dan akan
menurunkan gejala dan frekuensi eksaserbasi.
Sodium nedokromil memiliki kemampuan antiinflamasi 4-10 kali lebih besar
dibanding sodium kromoglikat. Walau belum jelas betul, nedokromil menghambat
aktivasi dan pelepasan mediator dari beberapa sel inflamasi. Juga sebagai pencegahan
begitu asma timbul.
1.3.Teofilin Lepas Lambat
Obat ini merupakan golongan metilxantin utama yang dipakai pada penatalaksanaan
asma. Mekanisme kerja teofilin sebagai bronkodilator masih belum diketahui, tetapi
mungkin karena teofilin menyebabkan hambatan terhadap phospodiesterase (PDE)
isoenzim PDE IV, yang berakibat peningkatan cyclic AMP yang akan menyebabkan
bronkodilatasi.
Teofilin adalah bronkodilator yang mempunyai efek ekstrapulmonar, termasuk efek
antiinflamasi. Teofilin secara bermakna menghambat reaksi asma segera dan lambat
segera setelah paparan dengan alergen. Beberapa studi mendapatkan teofilin berpengaruh
baik terhadap inflamasi kronis pada asma.
Banyak studi klinis memperlihatkan bahwa terapi jangka panjang dengan teofilin lepas
lambat efektif dalam mengontrol gejala asma dan memperbaiki fungsi paru. Karena
mempunyai masa kerja yang panjang, obat ini berguna untuk mengontrol gejala nokturnal
yang menetap walaupun telah diberikan obat antiinflamasi.
Efek sampingnya adalah intoksikasi teofilin, yang dapat melibatkan banyak sistem
organ yang berlainan. Gejala gastrointestinal, mual dan muntah adalah gejala awal yang
paling sering. Pada anak dan orang dewasa bisa terjadi kejang bahkan kematian. Efek
kardiopulmoner adalah takikardi, aritmia dan terkadang stimulasi pusat pernafasan.
Dosis golongan methyl xantine adalah 5 mg/Kg BB dalam 10-15 menit untuk loading
dose dan 20 mg/Kg BB/24 jam untuk dosis pemeliharaan dengan dosis maksimum 1500
mg/24 jam. Adapun therapeutic dose adalah 10-20 mg/dl.
1.4.2 AGONIS RESEPTOR
Struktur kimia
Tabel 1. Agonis reseptor 2 yang umum digunakan sebagai bronko dilator(JG Douglas, JS Legge, JAR Frienf & JC Patrie, RespiratoryDeseasein Avery Drug Treatment 4th Edition, p 1027, 1997)
Obat Dosis dewasa Efek samping Short acting Rimiterol MDI : 200-400 g semua obat :
Tremor, kramp,Takikardi, Hipokalemi
Intermediate acting Bilolterol MDI : 370-740 g Fenoterol MDI : 100-200 g Neb : 5 mg Metaproterenol MDI : 750-1500 g (orchiprenalin) Po : 20 mg (3-4x) Pirbuterol MDI : 200-400 g Po : 15 mg (3-4x) Reproterol MDI : 500-1000 g Salbutamol (albuterol) MDI : 100-200 g Neb : 2,5-5 mg
DPD : 200-400 Po : 2-8 mg (3-4x)
Terbutalin MDI : 250-500 gNeb : 5-10 mgDPD : 200-400 gPo : 2,5-5 mg (3-4x)
Tulobuterol Po : 2 mg (2-3x) Long acting Bambuterol Po : 10-20 mg (1x) Formoterol MDI : 12-24 g (2x) sda, sakit kepala Salmeterol MDI : 50 g (2x) DPD : 50 g (2x)
Struktur molekul agonis menunjukkan selektifitasnya terhadap reseptor 1 dan
2. Modifikasi struktur molekul dapat mencegah suatu agonis reseptor di metabolisme
oleh enzim cathecol-o-methyl transverase sehingga waktu paruhnya memanjang dan
potensinya terhadap 1 menurun atau lebih selektif terhadap 2.
Mekanisme Kerja
Aktifitas reseptor menghasilkan aktivasi adenilat siklase dan meningkatkan
konversi ATP menjadi c AMP. Aktivasi enzim adenilat siklase di perantarai oleh protein
penggabung yang tergantung pada perangsang nukleotida guanin (GTP). Siklik AMP
merupakan second messenger utama bagi aktivasi reseptor .
Pada dosis kecil kerja obat ini pada reseptor 2 jauh lebih kuat dibandingkan kerjanya
pada reseptor 1. Tetapi pada dosis tinggi selektifitas ini hilang. Misalnya pada penderita
asma salbutamol sama kuat dengan isoproterenol sebagai bronko dilator (bila di berikan
sebagai aerosol) tetapi jauh lebih lemah efeknya sebagai simultan jantung. Tetapi jika
dosis salbutamol ditingkatkan sampai 10 kali lipat, di peroleh efek stimulasi jantung yang
sama kuatnya dengan isoproterenol.
Agonis reseptor 2 menghasilkan stimulasi jantung sangat lemah (1) dan hanya
sedikit sekali mempengaruhi tekanan darah sehingga obat-obat golongan ini
dikembangkan penggunaannya sebagai anti asma. Selektifitas obat agonis reseptor 2 ini
berbeda satu sama lain, misalnya metaproterenol kurang selektif di banding salbutamol.
Fenoterol lebih selektif di banding isoprenalin tetapi lebih rendah jika di banding
terbutalin dan salbutamol.
Efek agonis reseptor 2 pada saluran nafas :
Relaksasi otot polos.
Agonis reseptor 2 dapat diberikan peroral atau parenteral, pada pemberian secara
inhalasi meskipun hanya sedikit saja obat yang dapat mencapai paru tetapi efektif
menghasilkan bronko dilatasi dengan efek sistemik yang terkecil. Inhalasi salbutamol
dengan dosis 100-400 g memberikan respon bronkodilatasi yang meningkat sesuai
dengan peningkatan dosis tetapi dapat terjadi variasi respon yang luas antar individu.,
pemberian dosis lebih dari 500 g menghasilkan di latasi maksimal, pada keadaan ini
tidak ada lagi hubungan antar dosis dan respon. Di duga reseptor 2 pada penderita asma
kurang sensitif terhadap salbutamol yang di berikan secara inhalasi tetapi sulit untuk
membandingkan respon bronko dilatasi pada bronkus normal dan asmatis karena adanya
perbedaan geometri dan pola respon.Kemungkinan lain obat sulit mencapai reseptor 2
karena adanya inflamasi pada mukosa saluran nafas penderita asma.
Menurunkan hiper aktifitas bronkus, menghambat pelepasan mediator.
agonis menghambat pelepasan histamin dari sel paru dari basofil , sel mast,
neutrofil chemotactic, platelet derived factor dan eosinofil kationic protein pada latihan
fisik dan paparan anti gen in vivo.
Menghambat transmisi kolinergik dan meningkatkan klirens mukosiliaris.
agonis menghambat transmisi kolinergik invitro. Bronkokonstriksi pada
penggunaan bloker di duga melalui mekanisme ini. 2 agonis juga bermanfaat pada
asma karena meningkatkan klirens mukosiliaris.
Menurunkan permeabilitas kapiler, mengurangi odema.
agonis menurunkan permeabilitas kapiler dan edema sebagai respon terhadap
mediator-mediator histamin, lekotrien pada binatang tertentu, tetapi hal ini tidaklah
konsisten.
Efek sistemik
Aktivasi reseptor 2 akan mempengaruhi berbagai organ dalam tubuh. Efek akhir
pada pembuluh darah di pengaruhi oleh aktivasi reseptor dan , juga anatomi dan
inervasi pada pembuluh darah tersebut. Peningkatan tekanan darah mungkin dapat terjadi
karena ikut teraktivasinya reseptor 1 akan menimbulkan efek inotropik dan kronotropik
positif pada jantung, meningkatkan sekresi renin pada ginjal, dan sekresi ADH dari
adenohipofise.
Terjadinya relaktasi otot polos siliaris akan menurunkan daya akomodasi, pada otot
polos saluran cerna dan genitourinarius. Pada otot rangka, terjadinya peningkatan
glikogenolisis dan ambilan kalium ke dalam sel akan menurunkan kalium plasma,
sehingga dapat mencegah peningkatan kalium selama olahraga.Pada hati terjadi
peningkatan glikogenesis, akan meningkatkan kadar glukosa darah.
EFEK SAMPING DAN TOKSISITAS
Efek samping dan toksisitas agonis 2 inhalasi merupakan perluasan dari efek
reseptornya pada organ-organ ekstra pulmoner terutama terhadap sistem kardiovaskular.
Agonis 2 mungkin mengakibatkan takikardi dan bisa membangkitkan aritmia ventrikel
yang serius.
Beberapa studi epidemiologis melaporkan adanya peningkatan resiko kematian karena
penggunaan fenoterol di USA juga di New Zealand Karena penggunaan isoprenalin
aerosol konsentrasi tinggi di Inggris dan Wales .
Tabel 1. Efek agonis 2 pada berbagai organ(British Journal of Clinical Pharmacology, 1992 vol 33 p 131)
Jaringan Reseptor Efek
Jantung 1, 2 inotropik, kronotropik.Pembuluh darah 2 vasodilatasi.Paru 2 pelepasan mediator inflamasi dari sel
mast menurun.Otot rangka 2 ambilan K+ meningkat, tremor,
Hipokalemia.Uterus 2 relaksasi.Sel-sel darah 2 ?Hati, pankreas 2 peningkatan glukosa, laktosa, piruvat,
Insulin, dan HDL.Ginjal 2 peningkatan ekskresi : Mg, Ca, PO4 .Jar. Lemak 3 lipolisis, thermogenesis.
Belum dapat di ketahui secara pasti bagaimana mekanismenya, di duga karena
sensitisasi miokardium terhadap katekolamin dan hidrofluorokarbon atau takifilaksis pada
isoprenalin . Tetapi beberapa studi terakhir menemukan bahwa tidak ada hubungan antara
resiko kematian pada asma dengan penggunaan agonis 2 oral maupun inhalasi.
Penelitian lain membuktikan adanya penurunan tekanan oksigen (Pa O2) pada
pemakaian agonis 2 inhalasi terutama jika rasio ventilasi-perfusi memburuk. Karena itu
di anjurkan untuk memberikan suplai oksigen pada penderita yang mendapat terapi
agonis 2 inhalasi.
Karena dapat meningkatkan frekwensi dan kuat kontraksi jantung, serta meningkatkan
sekresi renin dan ADH maka agonis 2 inhalasi mungkin akan meningkatkan tekanan
darah, sehingga dapat memperberat hipertensi. Pemberian agonis 2 inhalasi pada
penderita diabetes mellitus juga harus berhati-hati karena dapat meningkatkan
glikogenolisis dan glukoneogenesis. Demikian juga pada penderita dengan gangguan
fungsi ginjal (ekskresi terbesar melalui ginjal) dan wanita hamil (dapat menembus
plasenta).
Agonis 2 inhalasi dapat mengurangi efektifitas obat anti hipertensi, anti angina, anti
aritmia dan anti diabet. Isoproterenol iv meningkatkan klirens teofilin. Pemakaian
bitolterol inhalasi dengan metered dose inhaler pada anak cukup efektif dan aman,
meskipun pada anak-anak eliminasi obat ini lebih cepat dibandingkan pada orang
dewasa.Secara farmakologis untuk kontroler digunakan Beta2-Agonis Long Acting .
Beta2-Agonis Long Acting
Termasuk didalamnya adalah formoterol dan salmeterol yang mempunyai durasi kerja
panjang lebih dari 12 jam. Cara kerja obat beta2-agonis adalah melalui aktivasi reseptor
beta2-adrenergik yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase yang meningkatkan
konsentrasi siklik AMP . Beta2-agonis long acting inhalasi menyebabkan relaksasi otot
polos saluran nafas, meningkatkan klirens mukosiliar, menurunkan permeabilitas vaskuler
dan dapat mengatur pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Juga menghambat
reaksi asma segera dan lambat setelah terjadi induksi oleh alergen, dan menghambat
peningkatan respon saluran nafas akibat induksi histamin. Walaupun posisi beta2-agonis
inhalasi long acting masih belum ditetapkan pasti dalam penatalaksanaan asma, studi
klinis mendapatkan bahwa pengobatan kronis dengan obat ini dapat memperbaiki skor
gejala, menurunkan kejadian asma nokturnal, memperbaiki fungsi paru dan mengurangi
pemakaian beta2-agonis inhalasi short acting. Efek sampingnya adalah stimulasi
kardiovaskuler, tremor otot skeletal dan hipokalemi.
Mekanisme aksi dari long acting beta2-agonis oral, sama dengan obat inhalasi. Obat ini
dapat menolong untuk mengontrol gejala nokturnal asma. Dapat dipakai sebagai
tambahan terhadap obat kortikosteroid inhalasi, sodium kromolin atau nedokromil kalau
dengan dosis standar obat-obat ini tidak mampu mengontrol gejala nokturnal. Efek
samping bisa berupa stimulasi kardiovaskuler, kelemahan dan tremor otot skeletal.
1.5.Reseptor Leukotrien Antagonis
Merupakan suatu reseptor peptida leukotrien antagonis (LTRA) dengan nama kimia 4-
(5-cyclopentyloxy-carbonylamino-1-mathyl-indol-3l methylll) -3-methoxy-N-o-
tolysulfonylbenzizamide, dengan berat molekul 575,7 dengan rumus empiriknya
C31H33N3O6S. Dibuat secara sintetis dengan nama Zafirlikast. LTRA adalah suatu reseptor
leukotrien (LTD4 dan LTE4) antagonis yang selektif dan kompetitif, dimana LTD4 dan
LTE4 adalah komponen dari SRS-A yang berperan besar terhadap patofisiologi terjadinya
serangan asma yang menimbulkan bronkokonstriksi, udema saluran nafas, kontraksi otot
polos dan aktivasi sel-sel radang sehingga terbentuk mediator inflamasi yang
menimbulkan keluhan pada penderita asma. Penderita asma mempunyai kepekaan
terhadap LTD4 25 sampai 100 kali disbanding orang normal. Diserap cepat bila diberikan
peroral, konsentrasi dalam darah mencapai puncak setelah 3 jam, 99% terikat pada
albumin, disekresi lewat feses setelah melewati proses enzimatik pada jalur cytocrome
P450 2c9 (CYP2C9). Waktu paruhnya 8-16 jam, pada penderita dengan gangguan faal
hati, waktu paruhnya menjadi lebih panjang.
LTRA bukanlah bronkodilator dan digunakan untuk asma kronis disaat bebas keluhan.
Kemasan berupa tablet 20 mg dan 10 mg, diminum 2 kali sehari untuk dewasa dan anak,
pagi dan sore hari. Indikasinya untuk pencegahan dan pengobatan asma kronis. Tidak
boleh diberikan pada saat serangan akut dan saat terjadi status asmatikus, namun boleh
diberikan saat terjadi eksaserbasi. Dapat dipakai untuk mencegah terjadinya exercise
induce asthma.
OBAT RELIEVER
Obat reliever bekerja cepat untuk menghilangkan bronkokonstriksi dan
gejala akut lain yang menyertai. Yang termasuk dalam golongan ini adalah
inhalasi beta2-agonis short acting, kortikosteroid sistemik, antikolinergik
inhalasi, teofilin short acting dan beta2-agonis oral short acting.
2.1.Beta2-Agonis Inhalasi Short Acting
Seperti beta2-agonis yang lain, obat ini menyebabkan relaksasi otot
polos saluran nafas, meningkatkan klirens mukosilier, mengurangi
permeabilitas vaskuler dan mengatur pelepasan mediator dari sel mast
dan basofil. Merupakan obat pilihan untuk asma eksaserbasi akut dan
pencegahan exercise induced asthma. Juga dipakai untuk mengontrol
bronkokonstriksi episodik. Pemakaian obat ini untuk pengobatan asma
jangka panjang tidak dapat mengontrol gejala asma secara memadai,
juga terhadap variabilitas peak flow atau hiperrespon saluran nafas. Hal
ini juga dapat menyebabkan perburukan asma dan meningkatkan
kebutuhan obat antiinflamasi.
2.2.Kortikosteroid Sistemik
Walaupun onset dari obat ini adalah 4-6 jam, obat ini penting untuk
mengobati eksaserbasi akut yang berat karena dapat mencegah
memburuknya eksaserbasi asma, menurunkan angka masuk UGD atau
rumah sakit, mencegah relaps setelah kunjungan ke UGD dan
menurunkan morbiditas.Terapi oral lebih dipilih, dan biasanya
dilanjutkan 3-10 hari mengikuti pengobatan lain dari eksaserbasi.
Diberikan 30 mg prednisolon tiap hari untuk 5-10 hari tergantung
derajad eksaserbasi. Bila asma membaik, obat bisa dihentikan atau
ditappering.
2.3.Antikolinergik
Obat antikolinergik inhalasi (ipratropium bromida, oxitropium
bromida) adalah bronkodilator yang memblokade jalur eferen vagal
postganglion. Obat ini menyebabkan bronkodilatasi dengan cara
mengurangi tonus vagal intrinsik saluran nafas. Juga memblokade
refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan inhalasi. Obat ini
mengurangi reaksi alergi fase dini dan lambat juga reaksi setelah
exercise. Dibanding beta2-agonis, kemampuan bronkodilatornya lebih
lemah, juga mempunyai onset kerja yang lambat (30-60 menit untuk
mencapai efek maksimum). Efek sampingnya adalah menyebabkan
mulut kering dan rasa tidak enak.
2.4.Teofilin Short Acting
Aminofilin atau teofilin short acting tidak efektif untuk mengontrol
gejala asma persisten karena fluktuasi yang besar didalam konsentrasi
teofilin serum. Obat ini dapat diberikan pada pencegahan exercise
induced asthma dan menghilangkan gejalanya. Perannya dalam
eksaserbasi masih kontroversi. Pada pemberian beta2-agonis yang
efektif, obat ini tidak memberi keuntungan dalam bronkodilatasi, tapi
berguna untuk meningkatkan respiratory drive atau memperbaiki fungsi
otot respirasi dan memperpanjang respon otot polos terhadap beta2-
agonis short acting.
2.5.Beta2-Agonis Oral Short Acting
Merupakan bronkodilator yang merelaksasi otot polos saluran nafas.
Dapat dipakai pada pasien yang tidak dapat menggunakan obat inhalasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Homer A. Bousey, MD, ‘Bronchodilators & Other Drugs Used in Asthma’, Basic and
Clinical Pharmacology, edited by B.G. Katzung, 7th edition, Appleton & Lange, 1998.
2. Richards, Duncan; Aronson, Jeffrey . Oxford Handbook of Practical Drug Therapy, 1st
Edition. Oxford University Press.2005
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PEDOMAN DIAGNOSIS & PENATALAKSANAAN
ASMA BRONKIAL. PDPI
4. Baines. J.Peter .” Asthma “ dalam Harrison’s Principle of Internal Medicine.17 th Edition.
McGRAW-HILL.2008
5. Hanley Michael E and Carolyn H. Welsh. Asthma. Dalam Current Diagnosis & Treatment
in Pulmonary Medicine. 1st Edition. McGRAW-HILL.2003
6. Koentjahja Syarifudin, SpP. KORTIKOSTEROID PADA ASMA KRONIS. Pertemuan
PDPI CABANG MALANG.