Refrat Infeksi H.pylori

Embed Size (px)

DESCRIPTION

dsadsad

Citation preview

REFERATINFEKSI HELICOBACTER PYLORI PADA ANAK

Diajukan kepada:dr. M. Mukhson , Sp.A

Disusun Oleh :Rezky Galuh SaputraG1A212058

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANSMF ILMU KESEHATAN ANAKRSUD PROF DR.MARGONO SOEKARJOPURWOKERTO2014

LEMBAR PENGESAHANREFERAT

INFEKSI HELICOBACTER PYLORI PADA ANAK

telah disetujuipada tanggal: Januari 2014

Disusun oleh :Rezky Galuh SaputraG1A212058

Purwokerto,Januari 2014Pembimbing,

dr. M. Mukhson , Sp. ANIP. 19631128 199102 1 001

BAB IPENDAHULUAN

Latar BelakangHelicobacter pylori adalah bakteri yang dapat berkoloni pada saluran cerna manusia dan merupakan salah satu penyebab ulkus duodenum dan gaster, atau salah satu faktor penyebab keganasan lambung. Infeksi didapatkan peroral dan sebagian besar ditularkan antar anggota keluarga pada saat masa anak-anak (Logan dan Walker, 2001).Robin Warren dan Barry Marshall, ahli patologi dari Perth tahun 1983 menemukan terdapat bakteri berbentuk spiral di spesimen biopsy gaster. Warren dan Marshall kemudian memberi nama bakteri tersebut sebagai H. pylori. Infeksi H. pylori ini berhubungan dengan kejadian infeksi lambung (Rajindrajith, Devanarayana dan de Silva, 2009). Infeksi H.pylori merupakan masalah global, termasuk di Indonesia, sampai saat ini belum jelas proses penularan serta patomekanisme infeksi kuman ini pada berbagai keadaan patologis saluran cerna bagian atas (Rani dan Fauzi, 2009).Infeksi H. pylori menjadi masalah kesehatan setelah ditemukan perdarahan ulkus dan kanker lambung pada kasus yang terinfeksi oleh kuman ini.H. pylori dapat menyebabkan gastritis pada anak yang terinfeksi dengan manifestasi klinis yang tidak spesifik. Walaupun demikian, sebagian besar anak yang terinfeksi tetap asimtomatis sepanjang hidupnya (Hegar, 2000).Penegakan diagnosis dari infeksi H. pylori adalah dengan metode invasif dan non invasif. Metode invasif meliputi endoskopi dan biopsy yang diikuti oleh pemeriksaan histologi, biakan, uji urease dan PCR, sedangkan uji non invasif meliputi serologi dan uji C-urea napas (Fardah, Ranuh, dan Atmadji, 2006).

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. EpidemiologiH. pylori merupakan masalah global yang sampai saat ini masih belum jelas betul proses patomekanisme infeksi kuman ini pada berbagai keadaan patologis saluran cerna bagian atas. Bakteri H. pylori tersebar di seluruh dunia. Prevalensi infeksi bervariasi menurut umur, latar belakang etnik, dan status sosio ekonomi. Anak-anak dengan status sosioekonomi rendah mempunyai angka infeksi yang parallel dengan anak-anak dari negara yang sedang berkembang (Atkins dan Cleary, 1999). Prevalensi infeksi H.pylori di negara berkembang lebih tinggi daripada dengan negara maju. Prevalensi pada populasi di negara maju sekitar 30-40%, sedangkan di negara berkembang mencapai 80-90%. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 10-20% yang akan menjadi penyakit gastroduodenal (Rani dan Fauzi, 2009).Studi seroimunologi di Indonesia menunjukkan prevalensi 36-46% dengan usia termuda 5 bulan. Selain faktor bakteri, faktor penjamu dan faktor lingkungan yang berbeda akan menentukan terjadinya kelainan patologis akibat infeksi. Studi di Indonesia menunjukkan adanya hubungan antara tingkat sanitasi lingkungan dengan prevalensi infeksi H. pylori, sedangkan data di luar negeri menunjukkan hubungan antara infeksi dengan penyediaan atau sumber air minum (Rani dan Fauzi, 2009).Penelitian yang dilakukan oleh Hegar (2000) di Jakarta, prevalensi H. pylori berdasarkan pemeriksaan serologi didapatkan angka sebesar 27% dan 90% dari mereka mempunyai seropositive ditemukan H. pylori pada lambungnya. Faktor risiko infeksi H. pylori diantaranya lahir di negara berkembang, status ekonomi lemah, lingkungan yang padat dan sanitasi yang kurang bersih, hidup dalam keluarga besar, dan adanya bayi di rumah. Frekuensi infeksi H. pylorisama pada laki-laki dan perempuan (Fardah, Ranuh, dan Atmadji, 2006).Tidak ada reservoir lain untuk H. pylori selain gaster manusia. Maka transmisi utama kuman ini adalah dari gaster manusia yang satu ke manusia lain. Terdapat 3 kemungkinan cara penularan penyakit ini, yang pertama adalah transmisi fekal-oral, oral-oral yaitu saat orang dewasa memberikan makanan pada anaknya, dan kemungkinan terakhir adalah iatrogenic pada tube endoskopi yang mengandung bakteri ini (Fardah, Ranuh, dan Atmadji, 2006).

B. Morfologi Helicobacter pylori adalah bakteri gram negatif, non spora, berbentuk spiral atau melengkung yang tumbuh secara mikroaerob. Bakteri ini memiliki ukuran lebar sekitar 1 mikrometer dan panjang 3 mikrometer. Organisme ini mempunyai 5-7 flagel. Organisme ini dapat tumbuh baik pada lingkunagan yang mengandung O2 5%, CO2 5-10% dan suhu 35-37 C selama 16-19 hari. H. pylori memproduksi enzim ureasae dalam jumlah besar, protease yang diperkirakan merusak lapisan mucus, catalase, sitokrom oksidase, alkaline fosfatase dan glutamil transpeptidase (Fardah, Ranuh, dan Atmadji, 2006). Produksi urease yang berlebihan adalah sifat yang membedakan H. pylori dan merupakan dasar untuk beberapa uji diagnostik. H. pylori mempunyai komposisi asam lemak unik, untaian RNA ribosom 16S, dan sifat-sifat ultrastruktural yang membedakan dengan spesimen Campylobacter (Atkins dan Cleary, 1999). Strain H. pylori dapat dikultur dari duodenum, cairan lambung, dental plague walaupun jarang dilakukan, dan feses (Fardah, Ranuh, dan Atmadji, 2006).

Gambar 1.Morfologi Helicobacter pylori

C. Patogenesis Helicobacter pyloriMukosa gaster terlindungi sangat baik dari infeksi bakteri, namun H. pylori memiliki kemampuan adaptasi yang sangat baik terhadap lingkungan ekologi lambung, dengan serangkaian langkah unik masuk kedalam mukus, berenang dan orientasi spasial didalam mukus, melekat pada sel epitel lambung, menghindar dari respon imun, dan sebagai akibatnya terjadi kolonisasi dan transmisi persisten (Fardah, Ranuh, dan Atmadji, 2006).H. pylori mempunyai hospes dan jaringan yang sangat spesifik. Faktor virulen yang memungkinan organisme beradaptasi dengan lingkungan lambung adalah produksi ammonia yang diperantarai urease yang menetralisasi asam lambung yang asam, morfologi spiral dan flagella yang memungkinkan untuk menembus lapisan mukosa protektif dan menahan peristaltic, dan adhesin yang memungkinkan organisme melekat pada epitel gastrik (Atkins dan Cleary, 1999).Setelah memasuki saluran cerna, bakteri H.pylori, harus menghindari aktifitas bakterisidal yang terdapat dalam isi lumen lambung, dan masuk kedalam lapisan mukus. Produksi urease dan motilitas sangat penting berperan pada langkah awal infeksi ini. Urease menghidrolisis urea menjadi karbondioksida dan ammonia, sehingga H. pylori mampu bertahan dalam lingkungan yang asam. Motilitas bakteri sangat penting pada kolonisasi, dan flagel H. pylori sangat baik beradaptasi pada lambung (Fardah, Ranuh, dan Atmadji, 2006).H. pylori menyebabkan peradangan pada lambung terus - menerus. Respon peradangan ini mula mula terdiri dari penarikan neutrofil, diikuti limfosit T dan B, sel plasma, dan makrofag, bersamaan dengan terjadinya kerusakan sel epitel. Epitel lambung pasien yang terinfeksi H. pylori meningkatkan kadar interleukin-1, interleukin-2, interleukin-6, interleukin-8, dan tumor nekrosis faktor alfa. Diantara semua itu, interleukin-8, adalah neutrophil-activating chemokine yang poten yang diekspresikan oleh sel epitel gaster, berperan penting. Infeksi Helicobacter pylori merangsang timbulnya respon humoral mukosa dan sistemik. Produksi antibodi yang terjadi tidak dapat menghilangkan eradikasi infeksi, bahkan menimbulkan kerusakan jaringan. Pada beberapa pasien yang terinfeksi H. pylori timbul respon autoantibodi terhadap H+ / K+ ATP ase sel-sel parietal lambung yang berkaitan dengan meningkatnya atrofi korpus gaster. Selama respon imun spesifik, subgrup sel T yang berbeda timbul. Sel sel ini berpartisipasi dalam proteksi mukosa lambung, dan membantu membedakan antara bakteri patogen dan yang komensal. Sel T- helper immatur ( Th 0 ) berdiferensiasi menjadi 2 subtipe fungsional; sel Th-1 mensekresi interleukin-2, dan interferon gamma; dan Th-2 mensekresi IL-4, IL-5 dan IL-10. Sel Th-2 menstimulasi sel B sebagai respon terhadap patogen ekstrasel, sedangkan Th1 sebagai respon terhadap intrasel.Respon inflamasi ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini (Fardah, Ranuh, dan Atmadji, 2006).

Gambar 2.Patogenesis Helicobacter pylori.Sumber: Suerbaum S, Michetti P. Helicobacter pylori infection. New English Journal Medicine, 2002 (347) 1175-86

D. Manifestasi KlinisPenelitian tentang hubungan manifestasi klinis dan infeksi H. pylori pada anak belum sebanyak yang dilakukan pada orang dewasa. Dari beberapa data yang dilaporkan menunjukkan bahwa infeksi H. pylori pada anak sebagian besar asimptomatis atau memperlihatkan gejala saluran cerna yang tidak spesifik (Hegar, 2000).Infeksi H. pylori pada anak lebih sering berhubungan dengan gastritis dibandingkan dengan ulkus peptikum. Secara klinis sulit membedakan gastritis yang terinfeksi H. pylori dengan yang tidak terinfeksi H. pylori. Gastritis sering memperlihatkan keluhan sakit perut berulang pada anak, oleh karena itu keluhan sakit perut berulang pada anak oleh beberapa peneliti dianggap sebagai gejala klinis yang berhubungan dengan infeksi H. pylori. Sakit perut yang berulang pada anak dianalogikan dengan dispepsia non ulkus pada orang dewasa. Data dari beberapa peneliti memperlihatkan 22-37% pada anak dengan sakit perut berulang terbukti menderita infeksi H. pylori secara serologis (Hegar, 2000).Kejadian ulkus pada anak jarang ditemukan, tetapi bila ditemukan perlu dipikirikan kemungkinan adanya H. pylori. Keluhan lain yang sering disampaikan oleh anak yang terinfeksi H. pylori adalah nyeri di daerah epigastrium, terbangun pada malam hari dan sering muntah. Refluks gastroesofagus dan gagal tumbuh merupakan dua keadaan lain yang pernah dilaporkan pada anak terinfeksi H. pylori. Beberapa gejala klinis dianggap sebagai alarm symptoms seperti malabsorbsi dengan penurunan berat badan, gangguan pertumbuhan, anemia defisiensi besi, diare berulang, dan malnutrisi (Hegar, 2000).

E. Diagnosis Pada anak berlaku ketentuan untuk tidak melakukan pemeriksaan diagnostik apapun kecuali ingin melakukan terapi. Berbagai metode baik yang bersifat invasif maupun non-invasif dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis infeksi H. pylori. Metode invasif meliputi endoskopi dan biopsi yang diikuti oleh pemeriksaan histologi, biakan, uji urease, dan PCR, sedangkan metode non-invasif meliputi serologi dan uji C-urea napas (Hegar, 2000). Pemeriksaan ini diindikasikan pada pasien dengan ulkus peptikum, gastric MALT lymphoma, gastritis kronis atrofik serta pasien dengan keluhan dyspepsia yang belum diketahui sebabnya dan tidak ingin menjalani pemeriksaan yang bersifat invasif. Pemeriksaan noninvasive ini tidak dianjurkan pada pasien yang memperlihatkan alarm symptoms yakni penurunan berat badan, perdarahan gastrointestinal, muntah yang persisten. Pemeriksaan noninvasif ini juga tidak diperlukan pada pasien dyspepsia yang berhubungan dengan penggunaan nonsteroid anti-inflammatory drug (NSAID) (Kho, 2010)Pemilihan jenis uji diagnostik sangat bergantung kepada keberadaan alat diagnostik pada suatu pusat pelayanan kesehatan, masalah klinis yang diperlihatkan, dan biaya. Pada anak dengan gejala klinis dispepsia dianjurkan untuk menggunakan uji tapis yang bersifat non-invasif. Pemeriksaan invasif dilakukan hanya pada kasus yang memperlihatkan gejala klinis cukup kuat untuk dilanjutkan pada terapi. Kombinasi 2 atau 3 jenis pemeriksaan akan meningkatkan nilai sensitivitas dan spesifitas uji diagnostic H.pylori (Hegar, 2000).

1. EndoskopiPemeriksaan endoskopi direkomendasi untuk dikerjakan pada kasus dengan gejala saluran cerna atas yang dicurigai suatu kelainan organik dan bila ditemukan H. pylori pada pemeriksaan endoskopi, maka pasien harus segera mendapat terapi. Endoskopi merupakan tindakan penting untuk mendapatkan jaringan untuk pemeriksaan histologi, biakan, atau uji urease. Tindakan ini jarang digunakan untuk penelaahan epidemiologi infeksi H. pylori dan evaluasi hasil eradikasi serta tidak digunakan untuk penapisan anak yang tidak memperlihatkan gejala (Hegar, 2000). Sebelum dilakukan pemeriksaan endoskopi, pasien biasanya dianjurkan untuk menghentikan obat antibiotic, anti sekresi asam lambung terutama golongan proton punp inhibitor, bismuth selama satu atau dua minggu sebelum dilakukan pemeriksaan (Rani dan Fauzi, 2009). 2. Uji urease jaringan biopsyUji urease dapat mendeteksi infeksi H. pylori dengan cepat. Uji urease yang dilakukan pada jaringan biopsy lambung akan memperlihatkan perubahan warna media yang digunakan akibat adanya peningkatan pH akibat digesti urea oleh urease. Uji ini mempunyai nilai spesifisitas yang tinggi, tetapi sangat tergantung pada ketepatan pengambilan sampel jaringan. Nilai diagnostic cara ini dapat ditingkatkan dengan cara menambah jumlah sampel jaringan. Nilai sensitivitas uji urease jaringan biopsi berkurang pada pasien yang mendapat proton pump inhibitor (PPI), antibiotik, atau bismut. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah bakteri, berpindahnya bakteri dari antrum ke korpus, atau terganggunya aktivitas urease. Oleh karena itu, pada pasien yang mendapat obat-obat tersebut, dianjurkan untuk dilakukan pengambilan jaringan biopsi selain diantrum juga di korpus lambung. Pemeriksaan kombinasi antrum dan korpus menaikkan nilai sensitivitas. Pada keadaan demikian mungkin diperlukan uji diagnostik lainnya seperti histologi dan biakan (Hegar, 2000).Pemeriksaan ini mempunyai nilai sensitivitas yang tinggi pada orang dewasa, namun hasil negatif palsu sering ditemukan pada anak. Hal ini mungkin disebabkan oleh koloni bakteri yang lebih sedikit pada anak. Uji ini merupakan pilihan pertama apabila dilakukan tindakan endoskopi. Pemeriksaan histologi dilakukan bila uji urease memberikan hasil negatif (Hegar, 2000). Namun, cara diagnosis ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan eradikasi (Rani dan Fauzi, 2009).3. HistologiHelicobacter pylori pertama kali dilihat oleh RobinWarren dengan menggunakan pewarnaan hematosilin& eosin (HE). Penggunaan teknik pewarnaan Giemsa atau Whartin-Starry ternyata lebih memudahkan para ahli patologi anatomi mendiagnosis infeksi H. pylori. Pada kasus gastritis kronis aktif, H.pylori kadang kala tidak dapat dideteksi dengan mikroskopik rutin, tetapi dapat dideteksi dengan pewarnaan Giemsa atau Whartin-Starry. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dikerjakan secara rutin, tetapi hanya pada hasil serologi dan urease negatif. Pemeriksaan histologi mungkin diperlukan untuk menyingkirkan proses keganasan pada kasus ulkus lambung (Hegar, 2000).Pemeriksaan histologi umumnya tidak digunakan untuk evaluasi hasil terapi, akan tetapi bila dilakukan tindakan endoskopi, maka H.pylori harus sekaligus dibuktikan secara endoskopi. Apabila uji urease dan histologi digunakan sebagai evaluasi hasil eradikasi, maka sebaiknya dilakukan paling cepat 4 minggu setelah terapi selesai. Pada pasien yang dicurigai menderita ulkus lambung perlu dilakukan endoskopi untuk membuktikan adanya H. pylori baik secara uji urease atau histologi dan sekaligus untuk menyingkirkan proses keganasan pada lambung (Hegar, 2000).4. Biakan mikrobiologiBiakan organisme merupakan cara yang terbaik untuk menegakkan diagnosis setiap infeksi bakteri termasuk H. pylori. H. pylori dapat dibiak dari jaringan biopsy lambung dan duodenum. Walaupun demikian, biakan masih dianggap sebagai jenis pemeriksaan yang tidak praktis. Teknik biakan sulit, karena memerlukan suasana media yang mikroaerofilik (5% O2dengan 5-10% CO2) dan memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini yang menjadi hambatan bila digunakan sebagai prosedur rutin. Cara ini umumnya digunakan untuk kepentingan penelitian. Pemeriksaan biakan tetap diperlukan untuk kepentingan petunjuk tatalaksana infeksi H.pylori pada pasien yang mengalami kegagalan eradikasi berulang. Kegunaan utama biakan adalah menentukan jenis antibiotik yang akan digunakan. Pemeriksaan ini tidak diperlukan pada saat awal terapi, tetapi mungkin diperlukan bila terdapat kegagalan eradikasi sebanyak 2 kali (Hegar, 2000).5. Uji SerologiUji serologi sudah banyak digunakan oleh beberapa pusat pelayanan kesehatan. Selain digunakan sebagai uji penapisan, sering pula digunakan sebagai pendukung penelitian klinis dan epidemiologi. Nilai sensitivitas dan spesifisitas uji serologi harus paling rendah 90% (Hegar, 2000).Hasil uji serologi tergantung dari antigen H.pylori yang digunakan pada pemeriksaan tersebut. Dianjurkan untuk melakukan uji validitas terhadap pemeriksaan serologi sesuai dengan kondisi masing-masing daerah, karena antigen strain bakteri dari suatu daerah mungkin berbeda dengan bahan yang digunakan pada uji tersebut. Pada penelitian klinis, pemeriksaan endoskopi diperlukan untuk mengetahui karakteristik penyakit sebelum dilakukan pemberian terapi, sedangkan uji serologi digunakan sebagai penapis tindakan endoskopi. Uji serologi akhir-akhir ini sering dilaporkan kurang memuaskan bila digunakan sebagai penapis infeksi H. pylori pada anak. Sejak diketahui kadar antibodi IgG H. pylori pada anak berbeda dengan orang dewasa, maka diperlukan validitas uji serologi pada anak. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan jumlah bakteri dan lama infeksi. Berbagai uji serologi cepat telah diperkenalkan secara luas sejak beberapa tahun terakhir, akantetapi nilai sensitivitas dan spesifisitas dari beberapa dari alat tersebut masih kurang memuaskan, yaitu berkisar antara 63-97% dan 68-92%. 22 Uji serologi cepat tidak direkomendasikan sebagai uji yang realibel pada anak (Hegar, 2000).Uji serologi mempunyai keterbatasan bila digunakan sebagai pemantau keberhasilan terapi. Sedikit penurunan kadar antibodi dapat terlihat setelah eradikasi. Kadar IgG H.pylori masih tetap terdeteksi meskipun bakterinya telah hilang. Sebagian besar pasien tetap memperlihatkan sero positif setelah 6 bulan eradikasi. Para ahli gastroenterologi telah menyepakati penggunaan uji serologi hanya sebagai penapis infeksi H.pylori (sebelum eradikasi) atau sebagai evaluasi eradikasi setelah 6 bulan terapi selesai. Eradikasi dikatakan berhasil bila didapatkan penurunan kadar IgG sebesar 50% (Hegar, 2000).Saat ini telah ditemukan uji serologi (ELISA) dengan menggunakan spesimen urin. Hasil yang diperoleh pun sangat akurat, sehingga sangat berguna untuk penapisan infeksi H.pylori. Selain itu, telah ditemukan pula cara mendeteksi antibodi H. pylori didalam air liur, tetapi nilai sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini masih dianggap terlalu rendah yaitu sebesar 84-93% dan 70-82%. Saat ini sedang dilakukan penelitian mengenai deteksi antigen didalam tinja (Hegar, 2000).

6. Uji C-13 dan C-14 Urea NapasUji C-urea napas merupakan salah satu langkah keberhasilan dalam diagnosis dan tatalaksana infeksi H. pylori. Cara ini merupakan metoda diagnostik noninvasive yang paling akurat dan sederhana. Uji C-urea napas hanya mendeteksi infeksi yang sedang terjadi, sehingga dianjurkan selain sebagai penapis infeksi H.pylori, juga sebagai evaluasi terapi eradikasi. Tingkat sensisitivitas dan spesifisitas uji C-urea napas sebelum dan sesudah eradikasi menunjukkan hasil yang sama. Keadaan ini yang menjadikan uji C-urea napas tepat bila digunakan untuk menentukan keadaan H.pylori setelah eradikasi (Hegar, 2000).C-14 urea napas merupakan uji C-urea napas yang pertama kali dikembangkan. Pada pemeriksaan ini, pasien diminta untuk minum sejumlah urea berlabel radioaktif. Urea berlabel radioaktif tersebut akan dihidrolisis oleh urease yang terdapat di dalam H. pylori menjadi amonia dan bicarbonat berlabel. Bicarbonat ini akan diekskresi melalui udara napas sebagai CO2 berlabel. Terdapat hubungan yang erat antara uji Curea napas dengan jumlah bakteri di dalam lambung yang juga menggambarkan derajat gastritis. Meskipun dosis radiasi yang terpapar ke pasien tidak sebesar radiasi yang diperkenankan, tetapi cara ini tidak etis bila dikerjakan pada ibu hamil, remaja, dan anak karena radiasi ini mempunyai waktu paruh yang lama. C-13 yang merupakan isotop non-radioaktif mulai banyak digunakan pada anak. Nilai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi pada anak banyak dilaporkan oleh beberapa peneliti. Sangat disayangkan, alat untuk menguji C-13 napas ini cukup mahal (Hegar, 2000).Kedua cara ini mempunyai nilai sensitivitas sebesar 95-98% dan spesifisitas 98-100%. Hasil positif palsu dapat ditemukan akibat metabolisme urea oleh bakteri di luar lambung, sedangkan hasil negatif palsu umumnya disebabkan oleh proses pengosongan lambung yang cepat atau mendapat obat-obatan yang menghambat urease, seperti antibiotika, bismut, dan obat supresi H2. Oleh karena itu, direkomendasikan penggunaan uji C-urea napas sebagai evaluasi terapi eradikasi paling lambat 4 minggu setelah eradikasi selesai. Hasil negatif yang ditemukan pada 4 minggu pasca terapi dapat disebabkan oleh penekanan jumlah bakteri dan aktivitas urease. Penggunaan proton pumpinhibitor (PPI) harus dihentikan paling lambat 4 minggu sebelum uji C-urea napas dilaksanakan. Uji C-urea napas merupakan uji diagnostik yang realibel dan merupakan pilihan pertama (Hegar, 2000).

7. Polymerase Chain Reaction (PCR)Polymerase chain reaction merupakan teknik laboratorium yang secara in vitro dapat memproduksi rantai DNA spesifik dalam jumlah yang besar. Spesimen dari PCR dapat diambil dari spesimen biopsy, asam lambung, dan saliva. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi strain typing H. pylori dan menghitung jumlah bakteri dalam jaringan biopsy. Nilai sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini tinggi. PCR tidak digunakan secara rutin, tetapi lebih sering digunakan untuk kepentingan penelitian. PCR juga dapat digunakan untuk menetukan strain H. pylori atau resistensi obat yang digunakan untuk eradikasi infeksi H. pylori dan virulensi bakteri (Fardah, Ranuh, dan Atmadji, 2006).

F. Pengobatan1. Tata laksana infeksi H. pyloriSampai sejauh ini belum terpapar kesepakatan dari para ahli gastroenterologi tentang pengobatan infeksi H. pylori pada anak. Beberapa kelompok ahli merekomendasi pengobatan eradikasi H. pylori pada anak dengan dispepsia fungsional dengan uji tapis positif, sedangkan kelompok lain merekomendasi hanya pada anak dengan ulkus. Berbagai jenis obat yang pernah digunakan adalah bismut, ranitidin bismut sitrat, H2 antagonis, PPI, dan beberapa antibiotik. Terapi yang diberikan sebaiknya sederhana, dapat ditoleransi dengan baik, dan memiliki tingkat eradikasi lebih dari 80% (Hegar, 2000).Selain untuk mencegah terjadinya resistensi, penggunaan berbagai jenis obat akan memberikan hasil yang lebih efektif, karena terdapat mekanisme sinergis dari obat-obat tersebut. Dilaporkan tingkat eradikasi yang dicapai dengan menggunakan kombinasi 3 jenis obat (PPI, klaritromisin dan amoksisilin) sebesar 87-92%, sedangkan bila hanya menggunakan 2 jenis obat (PPI dan amoksisilin) sebesar 70%. Kombinasi amoksisilin, bismut, dan metronidazol juga memberikan tingkat eradikasi yang tinggi, yaitu sebesar 96%. Oleh karena itu, kombinasi 3 jenis obat yang menggunakan PPI atau bismut direkomendasikan sebagai obat pilihan pertama. Akan tetapi dalam penggunaannya , PPI lebih mudah diteloransi oleh anak dibanding dengan bismut. Bismut-salisilat tidak dianjurkan penggunaannya pada anak berumur dibawah 16 tahun karena ditakutkan terjadinya sindrom Reye. Kombinasi obat yang menggunakan PPI ternyata memperlihatkan penyembuhan ulkus yang lebih cepat (Hegar, 2000).Konsensus para Ahli Gastroenterologi di Amerika dan Eropa merekomendasi penggunaan 3 jenis obat yang terdiri dari PPI, dan kombinasi 2 antibiotik selama 7 hari. Kombinasi obat yang direkomendasikan adalah (1) PPI, metronidazol, dan klaritromisin, atau (2) PPI, amoksisilin (bila diduga ada resistensi terhadap metronidazol), atau (3) PPI, amoksisilin, dan metronidazol (bila ada resistensi terhadap klaritromisin). Di negara Belanda dan Belgia digunakan kombinasi omeprazole 0.6 mg/kg dua kali sehari, amoksisilin 30 mg/kg dua kali sehari, dan klaritromisin 15 mg/kg dua kali sehari, selama 7 hari. Pedoman terapi yang dilaksanakan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM mengacu kepada terapi yang diberikan oleh kedua negara tersebut (Hegar, 2000).Kejadian resistensi terhadap amoksisilin rendah, sedangkan kejadian resistensi terhadap golongan makrolid (klaritromisin) dan metronidazol cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan obat-obat tersebut. Pada daerah yang memiliki angka kejadian resistensi terhadap metronidazol lebih dari 30%, dianjurkan untuk langsung memberikan amoksisilin. Data terakhir memperlihatkan penggunaan lanzoprazol sebagai PPI. Kombinasi lanzoprazol, amoksisilin/metronidazol, dan klaritromisin memberikan tingkat eradikasi yang cukup baik (87%), tetapi penggunaannya pada anak belum dilaporkan secara luas (Hegar, 2000).Eradikasi dikatakan berhasil apabila ditemukan gambaran histologi yang normal, atau hasil biakan jaringan biopsi dan uji urea napas negatif. Uji diagnostik yang bersifat non invasif lebih dianjurkan. Sebagai uji baku digunakan uji urea napas. (C13 urea napas). Evaluasi hasil eradikasi sebaiknya tidak dilakukan sebelum 4 minggu karena dapat memberikan hasil negatif palsu. Pemeriksaan serologi yang memperlihatkan penurunan kadar antibodi sebesar 50% sebagai petanda keberhasilan eliminasi bakteri harus dilakukan pada 6 bulan setelah eradikasi. Apabila eradikasi yang diberikan tidak memberikan hasil optimal, biakan dan uji resistensi diperlukan untuk menentukan jenis antibiotik selanjutnya (Hegar, 2000).

2. Tata laksana lini kedua untuk kegagalan lini pertamaWalaupun efektivitas regimen triple therapy untuk eradikasi H. pylori cukup tinggi, masih ditemukan sekitar 20% pasien yang menunjukkan adanya infeksi H. pylori pasca regimen. Kegagalan tata laksana dengan lini pertama merupakan tanda adanya resistensi H. pylori terhadap salah satu antibiotik yang digunakan. Resistensi terhadap klaritromisin merupakan yang paling sering walaupun tidak tertutup kemungkinan adanya resistensi terhadap antibiotik yang lain. Ketika tata laksana dengan lini pertama gagal, maka digunakan lini kedua yang sering disebut dengan quadruple therapy. Quadruple therapy terdiri dari kombinasi PPI, bismuth subsalisilat, metronidazol, dan tetrasiklin (Kho, 2010).Efektivitas regimen quadruple therapy mencapai 93%, sementara efektivitas regimen triple therapy sekitar 77%. Dosis regimen quadruple therapy ini adalah omeprazol 2x20 mg/hari, bismuth subsalisilat 4x525 mg/hari, metronidazole 4x250 mg/hari, dan tetrasiklin 4x500 mg/hari selama 10-14 hari (Kho, 2010).Permasalahan utama pada regimen quadruple therapy ini adalah jadwal konsumsi obat yang rumit dan insiden efek samping yang lebih besar. Bila masih terdapat kegagalan dalam eradikasi H. pylori dengan regimen quadruple therapy, maka dianjurkan untuk menggunakan regimen lini ketiga yaitu kombinasi levofloksasin, amoksisilin, dan PPI selama 10 hari. Kegagalan eradikasi dengan lini kedua dapat mencapai 20%. Penggunaan kultur untuk mengetahui resistensi dalam praktik sehari-hari masih kontroversial karena selain prosedurnya rumit, juga membutuhkan waktu dan biaya. Dosis yang digunakan untuk levofloksasin adalah 2x500 mg/hari, amoksisilin 2x1 g/ hari, dan omeprazol 2x20 mg/hari. Levofloxacine-based triple therapy (levofloksasin, amoksisilin, dan PPI) seringkali disebut sebagai regimen lini ketiga (Kho, 2010).Gisbert et al membandingkan levofloxacine-based triple therapy (levofloksasin 2x500 mg/hari, amoksisilin 2x1 g/hari, dan omeprazol 2x20 mg/hari) dengan rifabutin 2x150 mg/hari, amoksisilin 2x1 g/hari, dan omeprazol 2x20 mg/hari pada masing-masing 20 pasien dengan riwayat gagal eradikasi H. pylori dengan lini pertama dan kedua, dan terlihat bahwa nilai eradikasi dengan levofloksasin lebih tinggi dibandingkan dengan rifabutin (85% berbanding 45%). Sementara itu, Gatta et al juga memperlihatkan keberhasilan eradikasi levofloxacine- based triple therapy mencapai 92% pada 151 pasien dengan infeksi H. pylori yang persisten dengan lini pertama dan kedua (Kho, 2010).

G. ReinfeksiReinfeksi H pylori mungkin jarang ditemukan, dan bila ditemukan lebih merupakan suatu rekrudensi akibat terapi yang gagal.Kejadian reinfeksi umumnya berhubungan dengan efektivitas terapi yang diberikan kurang optimal.Kejadian reinfeksi tidak memperlihatkan perbedaan yang mencolok antara negara berkembang (20%) dan negara maju (13%). Pada laporan beberapa negara di Asia pasifik, reinfeksi jarang ditemukan pada orang dewasa, yaitu 0.5-10% pertahun, sedangkan pada anak mungkin lebih tinggi. Kejadian reinfeksi dilaporkan sebesar 4% setelah 1 tahun mendapat terapi yang mempunyai tingkat eradikasi 82%. Reinfeksi dapat pula terjadi setelah tindakan endoskopi akibat pembersihan alat yang kurang adekuat, meskipun angka kejadian secara pasti belum diketahui. Kesepakatan saat ini adalah kurang beralasan memberikan terapi untuk mencegah reinfeksi pada anggota keluarga (Hegar, 2000).

H. Follow Up Eradikasi H. pyloriKonfirmasi atas keberhasilan eradikasi H. pylori sangat penting untuk pasien dengan ulkus yang disebabkan oleh H. pylori, gastric MALT lymphoma, pasien yang telah menjalani reseksi karsinoma gaster tahap awal maupun untuk pasien dengan gejala yang menetap setelah upaya eradikasi H. pylori. Konfirmasi keberhasilan eradikasi ini dilakukan melalui pemeriksaan UBT ataupun SAT setelah penghentian obat selama 4 minggu atau lebih untuk menghindari hasil negatif palsu. Keberhasilan eradikasi juga dapat dikonfirmasi melalui pemeriksaan endoskopi ulang pada pasien dimana endoskopi ulang memang diperlukan (Kho, 2010).Zipser et al melakukan penelitian dengan 34 pasien yang telah mendapatkan regimen triple therapy selama 10 hari berupa omeprazol (2x20 mg/hari), amoksisilin (2x1 g/hari), dan klaritromisin (2x500 mg/hari). Kemudian dilakukan konfirmasi ulang dengan menggunakan pemeriksaan UBT dengan hasil 5 di antara 34 (15%) pasien tersebut positif. Hasil ini menandakan kegagalan dalam eradikasi sebesar 15% dengan pemakaian triple therapy di atas. Oleh karena sebagian besar kegagalan eradikasi ini merupakan akibat resistensi terhadap antibiotik, maka dianjurkan tata laksana ulang dengan jenis antibiotik yang lain (Kho, 2010).

KESIMPULAN

1. Infeksi H. pylori merupakan salah satu penyakti infeksi yang paling banyak dilaporkan di seluruh dunia saat ini.2. Sebagian besar anak yang terdapat H. pylori di lambungnya bersifat asimptomatis, hanya kasus dengan ulkus yang memperlihatkan hubungan yang jelas antara infeksi ini dengan manifestasi klinis.3. Diagnosis dan tata laksana infeksi H. pylori menjadi penting dalam evaluasi pasien dengan keluhan dyspepsia.4. Uji diagnostik yang dianjurkan adalah uji yang mudah dikerjakan dan memberikan hasil yang akurat.5. Konsensus terapi eradikasi H. pylori pada anak masih mengacu pada orang dewasa. Kombinasi proton pump inhibitor (PPI) dan 2 jenis antibiotik masih merupakan pilihan terapi di beberapa negara saat ini.6. Konfirmasi ulang keberhasilan eradikasi H. pylori diperlukan mengingat kemungkinan kegagalan eradikasi yang dikaitkan dengan risiko terjadinya berbagai penyakit gastrointestinal pada pasien dengan infeksi H. pylori yang persisten.

DAFTAR PUSTAKA

Atkins JT., Cleary TG. 1999. Helicobacter dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta EGC. Edisi 15 vol 2 hal 988-992Fardah, A., Ranuh RG., Atmadji SD. 2006. Infeksi Helicobacter pylori pada Anak. Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak VI. FK Unair: Divisi Gastroenterologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak. SurabayaHegar, Badriul. 2000. Infeksi Helicobacter pylori pada Anak.Sari Pediatri. Jakarta. Vol 2. No 2. Hal 82-89Kho, Dragon. 2010. Diagnosis dan Tata Laksana Terkini Infeksi Helicobacter Pylori. Majalah Kedokteran Indonesia.Volume 60. No 8. Hal 381-85Logan, R., Walker M. 2001. ABC of the upper gastrointestinal tract: epidemiology and diagnosis of Helicobacter pylori infection. Br Med J. 323: 920-2Rajindrajith, S., Devanarayana, NM., dan de Silva HJ. 2009. Helicobacter pylori infection in Children. The Saudy Journal of Gastroenterology. 15(2) hal 86-94 Rani, Aziz A., Fauzi A. 2009.Infeksi Helicobacter pylori dan penyakit gastroduodenal dalam Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC Jilid 1 Edisi 5. Hal 501-508Suerbaum S, Michetti P. Helicobacter pylori infection. New English Journal Medicine, 2002 (347) 1175-86