Upload
lydiamarchelina
View
27
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
description
Citation preview
I. PENDAHULUAN
Gagal jantung dekompensata akut merupakan penyebab tersering rawat inap
pada pasien usia tua lebih dari 65 tahun dan menjadi penyebab lebih dari satu juta
rawat inap pertahunnya di Amerika Serikat.1 Gejala yang paling sering terdapat pada
pasien gagal jantung berupa dipsnea, yang sering merupakan tanda edema pulmonar
dan terjadi pada 93% pasien. Gejala kedua tersering adalah edema perifer, terjadi
pada 70% pasien. Pada dasarnya, salah satu target terapi utama adalah hipervolemia,
melalui pemberian diuretik.2
Diuretik sering digunakan dalam pengobatan gagal jantung dan hipertensi.
Pada gagal jantung, peningkatkan reasorpsi sodium dan air pada ginjal, dengan
akibat ekspansi volume ekstraselular, menyebabkan edema perifer dan kongesti
pulmonar. Diuretik mengeliminasi sodium dan air yang berlebih melalui eksresi
renal.3
Sebelum adanya diuretik modern, pengobatan retensi cairan terbatas pada
penggunaan perhitungan mekanis seperti penggunaan rotating torniquet untuk
mengurangi preload, Sothey tubes yang dipasang didalam kulit untuk mengeluarkan
cairan dan veneseksio. Pada 1785, digoxin, diberikan dalam bentuk foxglove, juga
dilaporkan memiliki efek diuretik, seperti yang telah diteliti oleh William Withering,
dan merupakan terapi pilihan untuk dropsy, suatu kondisi yang dicirikan dengan
kongesti.4
Efek terapetik dari diuretik telah dikenal selama berabad-abad, dan diharapkan
menjadi terapi pertama yang tersedia bagi gagal jantung. Di awal 1600an, mercurial-
based diuretics telah digunakan untuk mengobati edema, dikenal dengan nama
dropsy. Pada abad ke 20 ditemukan carbonic anhydrase inhibitor, diikuti dengan
diuretik tiazid, dan akhirnya diuretik kuat. Saat ini, diuretik tetap menjadi salah satu
obat yang paling sering diresepkan di Amerika Serikat. Diuretik telah terbukti
menjadi komponen pelengkap dalam pengobatan gagal jantung akut dan kronik, dan
penggunaannya telah dipelajari secara luas. Fungsi diuretik dalam memperbaiki
gejala seperti dipsnea dan edema telah jelas; akan tetapi, hanya sedikit data yang
mendukung keuntungan mortalitas atau perubahan dalam progres penyakit.2
Bukti klinis mengenai efikasi diuretik dalam menangani gejala gagal jantung
didasarkan pada pengalaman klinis dan studi acak kecil. Kebanyakan guideline
klinis praktis mengenai penanganan gagal ginjal telah mengelompokkan terapi
diuretik sebagai kelompok rekomendasi “kelas I” (bukti dan/atau persetujuan umum
bahwa pengobatan yang diberikan bermanfaat, berguna dan efektif), dengan level of
evidenced based berdasarkan opini para ahli mengenai pemuliham gejala gagal
jantung pada pasien dengan retensi cairan.4
Pada guideline Eropa terbaru mengenai gagal jantung, diuretik
direkomendasikan untuk meredakan gejala dypsnea dan edema pada pasien dengan
tanda dan gejala kongesti, terlepas dari fraksi ejeksi ventrikular kiri, dengan tujuan
untuk mencapai dan mempertahankan euvolemia dengan dosis terendah yang dapat
dicapai. Telah diketahu dosis diuretik harus disesuaikan, terutama setelah restorasi
atau “dry body weight”, untuk mencegah risiko deplesi volume intravaskular dan
dehidrasi, yang dapat menyebabkan hipotensi, disfungsi ginjal.4
II. GAGAL JANTUNG
II.1 DEFINISI
Gagal jantung (Heart Failure) adalah sindrom klinis yang terjadi pada pasien,
diakibatkan kelainan genetik atau didapat, berupa kelainan jantung struktural
dan/atau fungsional, yang menyebabkan gejala klinis (sesak nafas dan kelelahan)
dan tanda klinis (edema dan ronki basah), sehingga meningkatkan frekuensi rawat
rumah sakit, serta menurunkan kualitas dan harapan hidup.5
Gambar 2.1. Definisi gagal jantung
II. 2 EPIDEMIOLOGI
Gagal jantung adalah masalah yang berkembang luas di seluruh dunia,
dengan lebih dari 20 juta orang mengalami sindrom klinis ini. Prevalensi
keseluruhan gagal jantung dalam populasi orang dewasa di negara maju adalah 2%.
Prevalensi gagal jantung meningkat seiring usia, dan mempengaruhi 6-10% orang-
orang dengan usia diatas 65 tahun. Meskipun insiden gagal jantung lebih rendah
pada wanita dibanding pria, namun setidaknya setengah dari seluruh kasus gagal
jantung adalah wanita, karena harapan hidup mereka yang lebih tinggi. Resiko
berkembangnya gagal jantung pada usia 40 tahun adalah 1:5.5
Gagal jantung sebelumnya diduga akibat penurunan fraksi ejeksi ventrikel
kiri, namun studi epidemiologi menunjukkan setengah dari pasien dengan gagal
jantung memiliki fraksi ejeksi yang normal (≥40-50%). Jadi, sekarang gagal jantung
dibagi menjadi 2 kategori:5
(1) Gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi (disfungsi sistolik)
(2) Gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal (disfungsi diastolik)
III.3 ETIOLOGI
Tabel 1. Etiologi Gagal Jantung
Penurunan fraksi ejeksi (<40%)
Coronary artery disease Non-ischemic dilated cardiomyopathy
Infark miokarda Kelainan genetik/familial
Iskemia miokarda Kelainan infiltratifa
Chronic pressure overload Toxic/drug-induced damage
Hipertensi Kelainan metabolika
Penyakit katub obstruktifa Virus
Chronic volume overload Penyakit Chagas
Penyakit regurgitasi katub Kelainan frekuensi dan ritme jantung
Shunting intrakardiak (kiri ke kanan) Bradiaritmia kronik
Shunting ekstrakardiak Takiaritmia kronik
Fraksi ejeksi normal (> 40-50%)
Hipertrofi patologis Restrictive cardiomyopathy
Primer (kardiomiopati hipertrofi) Kelainaninfiltratif (amyloidosis, sarcoidosis)
Sekunder (hipertensi) Kelainan penyimpanan
(hemokromatosis)
Usia Fibrosis
Kelainan endomiokardial
Pulmonary heart disease
Kor pulmonal
Pulmonary vascular disease
High-output states
Kelainan metabolik Excessive blood-flowrequirements
Tirotoksikosis Shunting arteriovenous sistemik
Kelainan nutrisional (beri-beri) Anemia kronikaCatatan: mengindikasikan kondisi yang juga dapat menyebabkan gagal jantung dengan fraksi ejeksi
normal.
II. 4 KLASIFIKASI
Gagaljantungsistolik
Sindrom klinik dengan gejala sesak nafas,lelahdan intoleransi aktivitas fisik dimana
gambaran dominan jantung adalah besar,dilatasi jantung dan gangguan fungsi
sistolik. Bisa disertai atau tidak disertai penyakit katup jantung.5
Gagaljantungdiastolik
Istilah ini dipakai saat fraksi ejeksi saat istirahat adalah normal atau mendekati
normal. Atau disebut juga preserved ejection fraction. Tanda dari gagal jantung
tampak,dan ukuran jantung kecil atau normal. Bisa terjadi hipertrofi ventrikel kanan
dan gangguan pengisian jantung akibat perubahan kekakuan ventrikel kiri atau bukti
lain dari disfungsi diastolik.5
Hipertensi sistemik yang berat dan atau penyakit katup seperti regurgitasi mitral bisa
ada. Gagal jantung diastolik bisa terjadi bersamaan dengan gagal jantung sistolik,
khususnya saat aktivitas5
Klasifikasiberdasarkan NYHA :
Klasifikasi berdasar killip dan forrester :
II.5 FAKTOR RESIKO
II. 6 MANIFESTASI KLINIS
Gejala
Gejala utama gagal jantung adalah kelelahan dan takipneu. Meskipun secara
konvensional, kelelahan menunjukan cardiac output yang rendah pada gagal
jantung, namun gejala ini juga terdapat pada abnormalitas otot skeletal dan penyakit
komorbid non-kardiak lainnya (misalnya anemia). Pada stadium awal gagal jantung,
sesak napas hanya terjadi saat aktivitas; namun, seiring dengan progresifitas
penyakit, sesak napas terjadi pada aktifitas yang lebih ringan, dan selanjutnya sesak
napas terjadi pada saat istirahat. Penyebab sesak napas pada gagal jantung bersifat
multifaktoral. Mekanisme terpenting adalah kongesti pulmonal yang disertai
akumulai cairan interstisial atau intraalveolar, yang mengaktifasi reseptor
jukstakapiler J, yang kemudian menstimulasi karakteristik pernapasan cepat dan
dangkal dari cardiac dyspneu. Faktor-faktor lain yang berkontribusi pada sesak
napas saat aktifitas termasuk berkurangnya compliance paru, meningkatnya
resistensi jalan napas, kelelahan pada otot-otot pernapasan dan atau diafragma, dan
anemia. Sesak napas lebihsedikit frekuensinya pada onset gagal jantung ventrikel
kanan dan regurgitasi trikuspiddibandingkan dengan gagal jantung ventrikel kiri.5
Ortopneu
Ortopneu didefinisikan sebagai sesak napas yang timbul pada posisi terlentang,
gejala ini biasanya merupakan manifestasi lanjut gagal jantung setelah sesak napas
akibat aktifitas. Hal ini diakibatkan redistribusi cairan dari sirkulasi splanik dan
ekstremitas bawah ke sirkulasi sentral selama posisi terlentang yang pada akhirnya
mengakibatkan peningkatan tekanan kapiler paru. Batuk malam hari merupakan
manifestasi yang sering muncul pada proses ini. Ortopneu biasanya berkurang
dengan posisi duduk tegak atau tidur menggunakan bantal tambahan. Meskipun
ortopneu secara relatif merupakan gejala yang spesifik pada gagal jantung, namun
dapat juga terjadi pada pasien obesitas abdomen atau asites dan pada pasien dengan
penyakit paru yang secara mekanik membutuhkan posisi tegak.5
Paroxysmal Nocturnal Dyspneau (PND)
Paroxysmal Nocturnal Dyspneau (PND) merupakan episode akut sesak napas dan
batuk yang umumnya terjadi pada malam hari sehingga membangunkan pasien dari
tidurnya, biasanya 1-3 jam setelah pasien istirahat. PND dapat berupa batuk atau
wheezing, yang kemungkinan disebabkan peningkatan tekanan arteri bronkial yang
berakibat kompresi jalan napas, bersamaan dengan edem paru interstisial yang
menyebabkan resistensi jalan napas. Ortopneu dapat dikurangi dengan posisi tegak
saat duduk dengan kaki tergantung, sedangkan pasien dengan PND sering
bermanifestasi batuk yang persisten dan wheezing bahkan setelah mereka duduk
dengan posisi tegak. Asma kardiak berhubungan erat dengan PND, yang
berkarakteristik wheezing yang dikarenakan bronkospasme, dan harus dibedakan
dengan wheezing dari penyebab asma primer dan pulmoner.5
Respirasi Cheyne-Stokes
Merupakan pernapasan periodik atau pernapasan siklik. Pernapasan Cheyne-Stokes
umum terjadi pada gagal jantung lanjut dan biasanya dikaitkan dengan cardiac
output rendah. Respirasi Cheyne Stokes disebabkan berkurangnya sensitifitas pusat
pernapasan terhadap PCO2 arteri. Pada pernapasan ini terdapat fase apneu, yang
terjadi selama penurunan PO2 dan peningkatan PCO2 arterial. Perubahan dari gas
darah arteri ini menstimulasi penekanan pusat pernapasan, yang menyebabkan
hiperventilasi dan hipokapneu diikuti dengan fase apneu. Pernapasan Cheyne-Stokes
ini diartikan oleh pasien dan keluarganya sebagai sesak napas berat atau sebagai
henti napas sementara.5
Gejala Lain
Pasien dengan gagal jantung dapat menunjukkan gejala gastrointestinal. Anoreksia,
nausea, dan mudah kenyang terkait dengan nyeri abdomen dan begah sering
dikeluhkan dan mungkin berhubungan dengan edema dinding gastrointestinal dan
atau kongestihepar. Kongesti hepar dan peregangan kapsul hepar dapat
menyebabkan nyeri kuadran kanan atas. Gejala serebri, seperti kebingungan,
disorientasi, gangguan tidur dan mood, sebaiknya diobservasi pada pasien dengan
gagal jantung yang berat, terutama pasien usia lanjut dengan aterosklerosis serebri
dan penurunan perfusi serebri. Nokturia umum terjadi pada gagal jantung dan dapat
menyebabkan insomnia.5
II.7 PATOFISIOLOGI
Gagal jantung adalah keadaan menurunnya kemampuan miokardium, dan
terutama mempengaruhi ventrikel kiri. Penyebab yang paling sering adalah
penyakit jantung koroner dan hipertensi, meskipun hampir semua bentuk penyakit
jantung (kelainan katup, kardiomiopati) serta beberapa penyakit di luar jantung
dapat menyebabkan gagal jantung. Gagal ventrikel kanan dapat terjadi pada
kelainan dan pintasan jantung kanan, dan terutama pada hipertensi pulmonal.Akan
tetapi, ventrikel kanan dapat juga dipengaruhi secara sekunder oleh kelainan pada
ventrikel kiri (stenosis mitral, gagal jantung kiri).
Pada prinsipnya, perbedaan dapat dibuat antara gagal jantung yang
disebabkan oleh penurunan ejeksi sistolik (kegagalan sistolik atau forward failure),
yang dapat terjadi karena peningkatan beban volume, penyakit miokardium, atau
peningkatan beban tekanan, dengan gagal jantung yang disebabkan oleh gangguan
pengisian diastolik (kegagalan diastolik atau backward failure), misalnya akibat
kekakuan dinding ventrikel yang berat.Pada forward failure, volume sekuncup dan
curah jantung tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tubuh secara adekuat.Pada
backward failure, hal ini hanya dapat diatasi melalui peningkatan tekanan pengisian
diastolik. Biasanya gagal jantung hanya akan menimbulkan gejala mula-mula pada
aktivitas fisik yang berat (saat ambilan O2 maksimal dan curah jantung maksimal
menurun). Kalau tidak, tidak akan menimbulkan gejala; stadium I dari klasifikasi
NYHA (New York Heart Association). Namun, gejala akan berkembang secara
progresif, pada awalnya hanya pada aktivitas fisik yang biasa, selanjutnya gejala
bahkan muncul pada saat istirahat (NYHA stadium II-IV)5
Gagal jantung yang disebabkan oleh beban volume.
Regurgitasi aorta dan mitral, misalnya, ditandai oleh volume regurgitan,
yang menambah volume sekuncup yang efektif. Volume diastolik akhir dan jari-jari
(r) ventrikel kiri akan meningkat, sesuai dengan hukum Laplace, tegangan dinding
(T), yaitu kekuatan yang harus ditimbulkan oleh miokardium per bidang potong
lintang, sehingga harus meningkat untuk mencapai volume sekuncup yang normal
dan efektif. Karena peningkatan T tidak adekuat, volume sekuncup dan curah
jantung (CO = frekuensi denjut jantung x volume sekuncup) akan menurun dan
terjadi penurunan tekanan darah. Perangsangan simpatis terjadi sebagai mekanisme
pengaturan yang menetralkan sehingga menyebabkan peningkatan denyut jantung
dan vasokonstriksi perifer.Jika beban volume berlangsung lama, ventrikel yang
berdilatasi akan bereaksi dengan hipertrofi untuk mengompensasinya, hal ini berarti
meningkatkan ketebalan dinding. Namun, r tetap bertambah (hipertrofi eksentris)
dan bentuk gagal jantung ini biasanya memiliki perjalanan penyakit yang kurang
menguntungkan bila dibandingkan dengan hipertrofi konsentris.Jika penyebab yang
mendasarinya (misal, kelainan katup) tidak segera dihilangkan, gagal jantung relatif
cepat memburuk akibat terjadi remodeling miokardium. Kekakuan ventrikel yang
disebabkan oleh hipertrofi berperan dalam terjadinya remodeling. Karena
kurvakompliansnya yang tajam (lusitropik = relaksasi), volume diastolik akhir akan
berkurang sehingga volume sekuncup menjadi sedikit (backward failure).Akibatnya,
terjadi lingkaran setan dengan dinding ventrikel yang berdilatasi akan memberikan
jalan yang lebih banyak (berdilatasi dengan merestrukturisasi miokardium) dan r
meningkat secara tajam. Dekompensasi ini ditandai oleh penurunan volume
sekuncup yang mengancam nyawa, meskipun volume diastolik akhir sangat
meningkat
Gagal jantung yang disebabkan oleh penyakit miokardium.
Pada penyakit jantung korener dan setelah infark miokard, beban pada
miokardium yang tidak terkena akan meningkat, dengan demikian terjadi forward
failure akibat menurunnya kontraktilitas.Hal ini dicerminkan oleh pergeseran kurva
kontraktilitas pada diagram kerja ventrikel.Volume sistolik akhir, dan pada jumlah
yang lebih kecil, volume diastolik akhir juga meningkat, sedangkan volume
sekuncup menurun.Hipertrofi dari miokardium yang tersisa, kekakuan jaringan parut
miokardium serta berkurangnya pengaruh ATP pada pemisahan aktin-miosin di
miokardium yang mengalami iskemia, akan menyebabkan backward gagal jantung.
Akhirnya, jaringan parut infark yang dapat meregang dapat menonjol keluar selama
sistol (diskinesia) sehingga menambah beban volume (volume regurgitasi).
Kardiomiopati juga dapat menyebabkan gagal jantung dengan beban volume
menjadi gambaran utama pada bentuk yang melebar dan backward failure pada
bentuk yang hipertrofi dan restriktif.
Gagal jantung yang disebabkan oleh beban tekanan.
Tegangan dinding (T) ventrikel kiri juga meningkat pada hipertensi atau
stenosis aorta karena membutuhkan peningkatan tekanan ventrikel kiri (hukum
Laplace). Terjadi forward failure dengan penurunan kontraktilitas.Keadaan serupa
terjadi berhubungan dengan hipertensi pulmonal pada ventrikel kanan.Hipertrofi
kompensatorik juga akan terjadi bila terdapat beban tekanan yang meningkat, namun
bentuknya konsentris karena pada keaddan ini volume ventrikel tidak membesar dan
bahkan pada beberapa keadaan sebenarnya berkurang. Namun, pada hipertrofi
konsentris, volume diastolik akhir akan berkurang dan begitu juga volume sekuncup
(backward failure). Bila terdapat beban tekanan yang tinggi, remodeling
miokardium dan suplai darah kapiler yang tidak adekuat (iskemia korener relatif),
dapat dicapai “berat jantung yang kritis” (sekitar 500 g), yaitu pada keadaan ketika
struktur miokardium menyebabkan dekompensasi.
Akibat neurohumoral dari gagal jantung.
Selain mempengaruhi jantung secara mekanis, gagal jantung menyebabkan
sejumlah mekanisme kompensasi yang terutama bertujuan memperbaiki kembali
curah jantung dan tekanan darah.Hal terpenting dalam mekanisme ini adalah
peningkatan tonus simpatis beserta pelepasan norepinefrin dan epinefrin yang lebih
besar. Pengaktifan adrenoreseptor-β di jantung akan menyebabkan :
Peningkatan frekuensi denyut jantung (gejalanya adalah takikardia); dan
Peningkatan kontraktilitas (inotropik positif) sehingga curah jantung juga
sedikit meningkat
Vasokonstriksi adrenergik-α1 akan menimbulkan :
o Penurunan aliran darah yang melalui otot rangka (gejalanya adalah
kelelahan), kulit (gejalanya adalah pucat), dan ginjal, dengan akibat
penurunan curah jantung sehingga darah lebih banyak disebarkan ke
arteri yang menyuplai jantung dan otak (sentralisasi);
o Penurunan perfusi ginjal sekarang akan mengaktifkan sistem renin-
angiotensin-aldosteron, meningkatkan fraksi filtrasi, dan
meningkatkan pelepasan ADH
Semua mekanisme ini menyebabkan peningkatan absorpsi garam dan air.
Angiotensin II dan ADH juga memiliki efek vasokonstriktor.5
Remodeling miokardium.
Remodeling miokardium terjadi sesaat setelah dimulainya gagal jantung
(NYHA stadium 1) melalui perangsangan mekanis dan neurohormonal. Hal ini pasti
akan memengaruhi perkembangan gagal jantung. Penyebab remodeling adalah:
1) Peningkatan tegangan dinding yang diantara berbagai efeknya,
meningkatkan konsentrasi Ca2+ di sitosol, serta
2) Sinyal pertumbuhan sistemik (katekolamin, ADH, angiotensin II; insulin
pada diabetes tipe II) dan lokal (endotelin, TGF, Platelet Derived Growth
Factor (PDGF),fibrolast GF (FGF), dan penurunan penghambat
pertumbuhan (NO dan PGI2). Sel miokardium membesar (hipertrofi),
tetapi terjadi ketidakpekaan terhadap katekolamin (penurunan jumlah
reseptor pada adrenoreseptor β1, peningkatan protein Gi antagonis,
pemishaan reseptor), dan penurunan aktivitas Ca2+-ATPase.
Akibatnya, potensial aksi miokardium memanjang (akibat penurunan arus
repolarisasi) dan potensial istirahat menjadi kurang negatif. Hal ini dapat
menyebabkan aritmia (reentry, after-potential, pacu jantung ektopik); pada beberapa
keadaan bahkan menyebabkan fibrilasi ventrikel. (Fibrilasi ventrikel terjadi pada
sekitar 50 % pasien gagal jantung dan merupakan penyebab kematian jantung yang
mendadak). Secara keseluruhan kontraktilitasnya melemah (di antara beberapa
faktor, terjadi akibat pemisahan fungsional sebagian antara reseptor dihidropiridin
dan rianodin serta kemampuan relaksasi miokardium menurun (peningkatan
konsentrasi Ca2+ di sitosol saat diastol). Pengaktifan fibroblas (FGF dan lainnya)
juga berperan dalam hal ini dan menyebabkan peningkatan penimbunan kolagen di
dinding ventrikel serta fibrosis pada miokardium dan pembuluh darah.
Akibat dan gejala sistemik gagal jantung kronis terutama disebabkan oleh
retensi air dan garam. Pada gagal jantung kiri, tekanan kapiler paru akan meningkat.
Hal ini dapat menyebabkan dispnea dan takipnea melalui reseptor-J di paru dan
edema paru (asma kardiak) dengan hipoksia dan hiperkapnia sistemik. Pada gagal
jantung kanan akan terjadiedema perifer (terutama di kaki bagian bawah seharian;
dan pada malam hari terjadi pengeluaran air dengan diuresis nokturnal).
II.8 DIAGNOSIS
Diagnosis dari gagal jantung relatif bisa langsung ditegakkan ketika pasien
datang dengan tanda dan gejala klasik dari gagal jantung; namun demikian, gejala
dan tanda dari gagal jantung tidak sensitif maupun spesifik. Oleh karena itu, kunci
untuk menegakkan diagnosis adalah memiliki indeks kecurigaan yang tinggi,
terutama untuk pasien-pasien yang memiliki risiko tinggi. Ketika pasien-pasien ini
datang dengan tanda dan gejala dari gagal jantung, pemeriksaan laboratorium
tambahan sebaiknya dilakukan.
II.8.1 Pemeriksaan laboratorium rutin
Pasien dengan onset baru dari gagal jantung dan gagal jantung kronik
serta dekompensasi akut sebaiknya diperiksa hitung darah lengkap, panel
elektrolit, blood urea nitrogen, kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis.
Pasien-pasien tertentu sebaiknya diperiksa untuk diabetes mellitus (glukosa
puasa atau tes toleransi glukosa oral), dislipidemia (panel lipid puasa), dan
abnormalitas tiroid (kadar thyroid-stimulating hormone).5
II.8.2 Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG rutin 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari
EKG adalah untuk menilai ritme jantung, menentukan adanya hipertrofi
ventrikel kiri atau adanya MI sebelumnya (dengan atau tanpa gelombang Q),
juga untuk menentukan lebar dari QRS untuk memastikan apakah terapi
resinkronisasi bermanfaat pada pasien atau tidak. Gambaran EKG normal
hampir menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi ventrikel kiri.5
II.8.3 Foto x-ray thorax
Pemeriksaan ini memberikan informasi yang penting mengenai
ukuran dan bentuk dari jantung, juga untuk menilai keadaan vaskularisasi
dari paru, dan dapat menentukan penyebab gejala non-kardiak dari pasien.
Meskipun pasien dengan gagal jantung akut memiliki hipertensi pulmonal,
edema interstitial, dan/atau edema pulmonal, kebanyakan pasien dengan
gagal jantung kronik tidak. Hal ini mencerminkan adanya peningkatan
kapasitas dari sistem limfatik untuk mengeluarkan cairan interstitial dan/atau
cairan pulmonal.5
II.8.4 Penilaian Terhadap Fungsi Ventrikel Kiri
Pencitraan jantung non-invasif penting untuk diagnosis, evaluasi, dan
tatalaksana dari gagal jantung.Tes yang paling berguna adalah
ekokardiogram/Doppler 2-D, yang dapat memberikan penilaian secara
semikuantitatif dari ukuran ventrikel kiri dan fungsinya, begitu juga dengan
ada atau tidaknya abnormalitas dari katub dan/atau gerakan dinding regional
(menandakan adanya MI sebelumnya). Adanya dilatasi dari atrial kiri dan
hipertrofi dari ventrikel kiri, bersamaan dengan abnormalitas dari pengisian
diastolik dari ventrikel kiri yang diperiksa dengan gelombang pulsasi dan
Doppler jaringan, berguna untuk menilai gagal jantung dengan EF yang
normal.Ekokardiogram 2-D/Doppler juga sangat berguna dalam menilai
ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmonal, yang sangat penting dalam
evaluasi dan tatalaksana dari cor pulmonale. MRI juga berguna dalam
menganalisis secara komprehensif dari anatomi dan fungsi jantung dan
merupakan gold standard saat ini untuk menilai massa dan volume dari
ventrikel kiri.5
Index yang paling berguna dari fungsi ventrikel kiri adalah EF (SV
dibagi dengan EDV). Oleh karena EF mudah diukur dengan tes non-invasif
dan mudah untuk dikonseptualisasikan, ini diterima secara luas oleh para
klinisi. Sayangnya, EF memiliki keterbatasan dalam mengukur kontraktilitas
yang sebenarnya, oleh karena dipengaruhi perubahan afterload dan/atau
preload. Sebagai contoh, EF ventrikel kiri meningkat pada regurgitasi mitral
sebagai hasil dari ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah.
Meskipun demikian, dengan pengecualian indikasi di atas, ketika EF normal
(≥ 50 %), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan ketika EF secara signifikan
menurun (< 30 – 40 %), kontraktilitas biasanya juga menurun.5
II.8.5 Biomarkers
Kadar natriuretic peptide dalam sirkulasi berguna sebagai
pemeriksaan tambahan dalam diagnosis pasien dengan gagal jantung. Kedua
B-type Brain Natriuretic Peptide (BNP) dan N-terminal pro-BNP
dikeluarkan dari jantung yang gagal, adalah marker yang relatif sensitif
terhadap adanya gagal jantung dengan EF yang menurun; marker ini juga
meningkat pada pasien gagal jantung dengan EF yang normal meskipun
dengan derajat yang lebih rendah. Akan tetapi, penting untuk mengenali
bahwa kadar natriuretic peptide meningkat seiring dengan bertambahnya
umur dan kerusakan ginjal, lebih meningkat kadarnya pada wanita, dan dapat
meningkat pada gagal jantung kanan dengan penyebab apapun. Kadar dapat
menurun secara salah pada pasien-pasien dengan obesitas, dan dapat normal
pada beberapa pasien yang mendapat pengobatan yang tepat. Konsentrasi
normal dari natriuretic peptide pada pasien yang tidak diobati sangat berguna
untuk menyingkirkan diagnosis dari gagal jantung. Biomarker yang lain
seperti Troponin T dan I, C-reactive protein, reseptor TNF, dan asam urat,
dapat meningkat kadarnya pada gagal jantung dan memberikan informasi
prognostik yang penting. Pengukuran serial dari satu atau lebih biomarker
pada akhirnya dapat membantu untuk menuntun terapi pada gagal jantung,
tetapi sudah tidak dianjurkan saat ini.5
II.8.6 Exercise Testing
Treadmill atau bicycle exercise testing tidak dilakukan secara rutin
untuk pasien-pasien gagal jantung, tetapi berguna untuk menilai perlu
tidaknya transplantasi jantung pada pasien-pasien dengan gagal jantung
tahap lanjut. Peak oxygen uptake (VO2) < 14 ml/kg/menit berhubungan
dengan prognosis yang relatif buruk. Telah dibuktikan pasien-pasien dengan
VO2< 14 ml/kg/menit secara umum, mempunyai survival yang lebih baik
ketika ditransplantasikan daripada diobati secara medis.5
II.9 PENATALAKSANAAN
Tujuan primer pengobatan adalah mencegah terjadinya gagal jantung dengan
cara mengobatyi kondisi-kondisi yang menuju terjadinya gagal jantung, terutama
hipertensi dan atau penyakit arteri koroner. Jika disfungsi miokard sudah terjadi,
tujuan pertama adalah mengobati atau menghilangkan penyebab dasarnya, jika
mungkin (misalnya iskemia, penyakit tiroid, alcohol, obat). Jika penyebabnya tidak
dapat dikoreksi, pengobatan ditujukan untuk (1) mencegah memburuknya fungsi
jantung, dengan kata lain memperlambat remodeling miokard, sehingga dapat
mengurangi mortalitas; dan (2) mengurangi gejala-gejala gagal jantung sehingga
memperbaiki kualitas hidup pasien. Untuk tujuan (1) diberikan ACE-I dan beta
bloker, disamping mengurangi beban kerja jantung. Untuk tujuan (2) diperlukan
pengurangan overload cairan dengan diuretik, penurunan resistensi perifer dengan
vasodilator, dan penignkatan kontraktilitas miokard dengan obat inotropik. Tujuan
(1) adalah tujuan utama pengobatan gagal jantung kronik, sedangkan tujuan (2)
adalah tujuan utama pengobatan gagal jantung akut.
II.9.1 NON FARMAKOLOGIS
Terapi non-farmakologik terdiri atas:
(1) Diet pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau obesitas
harus diberikan diet yang sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid
darah atau berat badannya. Asupan NaCl harus dibatasi menjadi 2-3 g
Na/hari, atau <2g/hari untuk gagal jantung sedang sampai berat. Retriksi
cairan menjadi 1,5-2 L/hari hanya untuk gagal jantung berat.5
(2) Aktivitas fisik : olahraga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda
dianjurkan pada pasien gagal jantung yang stabil (NYHA kelas II-III)
dengan intensitas yang nyaman bagi pasien.
(3) Istirahat : dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil
(4) Berpergian : hindari tempat-tempat tinggi dan sangat panas atau lembab,
dan gunakan penerbangan-penerbangan singkat.
Disamping itu ada obat-obat yang harus dihindari atau digunakan
dengan hati-hati, yaitu antiinflamasi nonsteroid (AINS) dan coxib,
antiaritmia kelas I; antagonis kalsium (nondihidropiridin dan hidropiridin
kerja singkat), antidepresi trisiklik, kortikosteroid dan litium.
II.9.2 FARMAKOLOGIS
Terapifarmakologikterdiriatas :
(1) ACEi
(2) Antagonis angiotensin II
(3) Diuretik
(4) Antagonisaldosteron
(5) β-bloker
(6) Vasodilator lain
(7) Digoksin
(8) Obatinotropik lain
(9) Antitrombotik
(10) Antiaritmia
Tempat kerja berbagai obat untuk gagal jantung sistolik dapat dilihat
pada gambar dibawah ini:
III. Diuretik
Diuretik adalah obat yang paling sering digunakan untuk mengobati gagal
jantung dan hipertensi. Pada gagal jantung, peningkatan reasorbsi natrium dan air di
ginjal yang diikuti dengan peningkatan volume ekstraseluler, yang berkontribusi
kepada edema perifer dan kongesti pulmo. Diuretik mengeliminasi kelebihan air dan
natrium melalui eksresi ginjal dan oleh karena itu digunakan sebagai terapi. Pada
pengobatan hipertensi, diuretic mengurangi volume intravaskular dan pada beberapa
kasus dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah.3
Pada ginjal, tingkat laju filtrasi glomerulus rata-rata orang dewasa normal
berkisar antara 135-180 L/hari. Sebagian b esar Na di reabsorbsi oleh tubulus ginjal.
yang pada akhirnya akan menyebabkan hanya sedikit jumlah Na yang terdapat di
urin.3
Kurang lebih sekitar 65-70% Na yang terfiltrasi direabsorbsi secara
isoosmotik di tubulus proksimal dengan mekanisme transport aktif. Pada bagian
lengkung ansa henle bagian epitel tebal, ada tambahan sekitar 25% reabsorbsi Na
yang terfiltrasi melalui mekanisme sistem co transport Na-K disertai uptake dari 2
ion Cl. Karena pada regio ini tidak permeabel terhadap air, pada bagian ini terjadi
pembentukan cairan tubular yang hipotonik dan pada bagian interstitial yang
mengelilinginya menjadi hipertonik. Pada bagian tubulus distal, terdapat tambahan
reabsorbsi dari NaCl (sekitar 5%). Pada duktus koligentes kortikal, permeabilitas
terhadap Na di atur oleh mekanisme sensitive aldosterone, yang menyebabkan
perbedaan potensial negative yang meningkatkan ekskresi K dan H. Sekitar 1%-2%
dari reabsorbsi natrium berlangsung disini. Sebagian besar tubulus distal tidak
permeabel terhadap air. Pada duktus koligentes, meskipun permeabilitas dan
reabsorbsi air dipengaruhi oleh hormon antidiuretik dan perbedaan gradient osmotik
antara tubulus dengan interstitial yang hipertonik. Oleh karena itu, zat yang
mengganggu kerja hormon antidiuretik, seperti ethanol, memiliki fungsi diuretik. 3
golongan yang paling sering digunakan sebagai obat diuretik adalah: diuretic kuat,
diuretik thiazide, dan diuretik hemat kalium. Ketiga golongan obati itu dibedakan
dari daerah mana obat itu bekerja di tubulus ginjal dan potensinya. Diuretik kuat
menghambat absorpsi di lengkung ansa henle ascenden tebal, diuretik thiazide
bekerja di tubulus distal, dan diuretic hemat kalium bekerja pada regio sensitif
aldosterone pada tubulus koligentes kortikal. Golongan ke empat dari thiazide
adalah carbonic anhydrase inhibitor adalah diuretic lemah yang jarang digunakan
untuk pengobatan hipertensi ataupun gagal jantung. Obat ini bekerja pada tubulus
proksimal, menyebabkan keluarnya bikarbonat (dan natrium) di urin.3
Gambar 3.1. Skema cara kerja diuretik pada tubulus ginjal 3
III.1. Diuretik kuat (Loop diuretic)
Diuretik kuat merupakan diuretik yang paling sering digunakan pada
gagal jantung. Obat ini nekerja pada loop of Henle, menghambat reasorbsi sodium
hingga 20% - 30% dengan menghambat ko-transport sodium, potasium dan klorida.4
Diuretik kuat berperan sangat penting dalam menangani edem pulmonar (diberikan
secara intravena) dan pada pengobatan CHF atau edema perifer (diberikan peroral).3
Diuretik kuat menyebabkan efek diuresis yang intens dan biasanya
singkat. Diuretik kuat memiliki onset kerja yang cepat, bekerja dalam hitungan
menit saat diberikan secara intravena atau dalam 30 menit bila diberikan peroral.
Obat ini memiliki waktu paruh yang singkat, sehingga biasanya masa kerjanya
singkat, dan akibatnya harus diberikan beberapa kali dalam sehari untuk
mempertahankan efek diuresis, dan untuk meminimalkan rebound sodium
reabsorption.4 Sebagai tambahan, selain memiliki efek diuretik, obat ini juga
berperan dalam vasodilatasi vena, dimana berguna untuk mengurangi aliran balik
vena dalam kongesti paru dan pulmonal. Mekanisme dari vasodilatasi vena
tampaknya dipengaruhi oleh prostaglandin yang terinduksi obat dan pembentukan
oksida nitrit dari sel endotelial, yang menyebabkan relaksasi otot polos vaskular.
Efek samping paling sering dari diuretik ini adalah deplesi volume intravaskular,
hipokalemi, dan alkalosis metabolik.4
Hipokalemi muncul karena 1) diuretik ini mengganggu reasorbsi sodium
pada lengkung henle, dimana hal tersebut mengakibatkan peningkatan Na pada
tubulus distal, dimana menyebabkan pertukaran dengan potasium yang lebih besar
dibanding normal (dan dengan demikian lebih banyak K diekskresikan melalui urin)
dan (2) diuretik yang diinduksikan deplesi volume intravaskular mengaktivasi
sistem renin-angiotensin. Peningkatan aldosteron meningkatkan pertukaran Na-K.4
Alkalosis metabolik selama terapi diuretik kuat terjadi akibat : (1)
peningkatan sekresi H ke tubulus dital (dan demikian menuju urin) akibat
hiperaldosteron sekunder dan (2) alkalosis kontraksi, dimana mengurangi volume
intravaskular meningkatkan penyerapan sodium bikarbonat melalui tubulus
proksimal. 4
Efek samping tambahan juga dapat terjadi selama terapi diuretik kuat
berkelanjutan. Hipomagnesemia dapat terjadi, karena penyerapan magnesium
tergantung pada transpor NaCl pada cabang tebal ascending dari lengkung henle,
aksi tersebut dihalangi oleh obat ini.4
Ototoksisitas (toksisitas nervus kranial VIII) dapat terjadi, mengganggu
fungsi pendengaran dan vestibular. Hal tersebut diduga akibat gangguan elektrolit
dari sistem endolimpatik, paling sering karena disebabkan oleh inhibisi kotransport
Na-2Cl-K oleh diuretik. Diuretik kuat yang paling sering digunakan adalah
furosemide, bentuk oral yang diabsorpsi dengan baik tetapi memiliki durasi aksi
yang singkat (4 hingga 6 jam) sehingga membatasi kegunaannya pada terapi
hipertensi kronik. Bumetanid serupa dengan furosemid baik dalam aksi dan efek
sampingnya tetapi memiliki potensi dan bioavaibilitas yang lebih baik. Bumetamid
juga memiliki insidens ototoksistas yang lebih rendah dibanding obat lain pada kelas
ini. Bumetamid terkadang berguna pada pasien gagal jantung dimana edema yang
terjadi bersifat refrakter terhadap obat lain dan pada beberapa pasien yang alergi
terhadap furosemid. Torsemid juga serupa dengan furosemid, dengan biovaibilitas
yang lebih komplit. Asam etakrinat merupakan satu-satunya diuretik kuat yang tidak
mengandng sulfonamid, sehingga dapat diberikan bagi pasien yang intoleransi
terhadap sulfonamid. Tetapi obat ini tidak digunakan secara luas karena tingginya
insiden ototoksisitas.4
III.2. Diuretik thiazide
Tiazid dan senyawa terkait (klortalidon, indapamid, dan metolazone)
merupakan diuretik yang sering digunakan karena reasorpsi yang sempurna saat
diberikan secara oral dan biasanya dapat ditoleransi baik.3 Tiazid menyebabkan
onset yang lebih lambat (1-2 jam) dan lebih tahan lama (12-24 jam) tetapi efek
diuretik lebih ringan dibandingkan diuretik kuat.4
Tiazid bekerja pada tubulus distal, dimana menghalangi reasorbsi dari
sekitar 3% hingga 5% dari sodium yang telah disaring. Reasorbsi Na pada tempat ini
dimediasi melalui kotransport Na-Cl pada membran luminal. Tiazid menghambat
hal ini melalui mekanisme yang belum jelas tetapi mungkin mencakup kompetisi
pada tempat pengikatan Cl.3
Tiazid lebih sering menyebabkan hipokalemia dan nokturia karena
memiliki masa kerja yang lebh lama. Bila diberikan tunggal, tiazid tidak efektif bila
GFR <30ml/menit. Tetapi tiazid dapat berguna bila dikombinasikan dengan diuretik
kuat pada pasien dengan edema refrakter.4
Efek samping potensial yang penting dari tiazid adalah : (1) hipokalemia
dan alkalosis metabolik, yang merupakan akibat dari peningkatan aliran Na ke
tubulus distal, dimana terjadi pertukaran K dan H, dan dari kontraksi volime dan
hiperaldosteron sekunder; (2) hiponatremia, selama pengobatan yang
berkepanjangan akibat ekskresi Na yang berkelanjutan pada keadaan chronic
freewater consumption; (3) hiperuricemia (dan kemungkinan presipitasi gout) akibat
berkurangnya bersihan asam urat; (4) hiperglikemi, akibat dari gangguan pelepasan
insulin dari pankreas atau berkurangnya penggunaan glukosa perifer; (5) perubahan
dari lipid serum, dicirikan dengan peningkatan LDL kolsterol dan trigliserid, dan (6)
kelemahan, kelelahan, dan parestesi, dimana dapat terjadi akibat penggunaan jangka
lama karena deplesi volume dan hipokalemia. Sebagai tambahan, kadar kalsium
serum seringkali meningkat ringan selama terapi tiazid, tetapi hal ini jarang
signikfikan secara klinis.3
III.3. Diuretik hemat kalium
Diuretik hemat kalium merupakan diuretik lemah yang menghambat
reasorbsi Na pada tubulus distal dan korteks tubulus pengumpul. Diurteik hemat
kelium mengurangi ekskresi K; sehingga, tidak seperti diuretik lainnya, tidak
menyebabkan hipokalemi. Obat ini digunakan saat pengawasan kadar kalium serum
bersifat krusial dan pada keadaan yang diakibatkan kelebihan aldosteron
(hiperaldosteronisme primer maupun sekunder).3
Terdapat dua jenis obat : 1. Antagonis aldosteron (cth: spironolakton dan
eplerenone) dan 2. Inhibitor langsung pada permeabilitas Na di tubulus pengumpul,
dimana bekerja secara independen terhadap aldosterone (cth: triamteren dan
amiloride).3
Biasanya diuretik ini dikombinasikan dengan golongan diuretik kuat
atau tiazid untuk memberikan efek diuretik tambahan dan untuk mencegah
hipokalemia.3
Spironolakton merupakan steroid sintetik yang berkompetisi pada
reseptor aldosteron sitoplasmik, sehingga menghambat aldosteronesensitive Na
channel pada ginjal. Karena reasorbsi Na melalui kanal sodium dihambat, tidak ada
saluran potensial negatif untuk menyalurkan ekskresi ion K an H pada nefron distal;
sehingga, ion K dan H ditahan didalam sirkulasi. Spironolakton juga
menggambarkan kelebihan dari efek antiremodeling kardiak pada pasien dengan
gagal jantung. Dalam trial pada pasien dengan gagal jantung berat, spironolakton
(ditambahkan pada ACE inhibitor dan diuretik kuat) memperbaiki gejala gagal
jantung dan mengurangi mortalitas.3
Komplikasi potensial yang paling serius dari spironolakton berupa
hiperkalemia, akibat dari gangguan eksresi dari ion tersebut. Dengan demikian,
observasi sebaiknya dilakukan secara hati-hati saat memberikan suplemen K, ACE
inhibitors, atau ARBs yang bersamaan dengan diuretik hemat kalium karena dapat
mengakibatkan terjadinya komplikasi ini. Spironolakton juga menggambarkan
aktivitas antiandrogenik yang dapat mengakibatkan ginekomastia pada pria dan
gangguan regularitas menstruasi pada wanita.3
Eplerenone merupakan penghambat reseptor aldosteron yang lebih
spesiik yang tidak memiliki eek antiadrogenik sistemik dari spironolaktone. Seperti
spironolakton, obat ini digunakan pada pengobatan hipertensi dan gagal jantung
sistolik kronik. Pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung akibat miokard inark,
eplerenone telah dibuktikan memperbaiki survival saat diberikan sebagai tambahan
dari terapi biasanya.3
Triamterene dan amiloride secara struktural berkaitan dengan diuretik
hemat kalium yang bekerja secara independen terhadap aldosterone. Pada tubulus
distal, diuretik ini menghambat reasorpsi dari Na sehingga secara bertahap
mengurangi ekskresi K dan H. Triamteren dimetabolisme oleh hati, dan produk
aktifnya di sekresi ke tubulus proksimal oleh sistem kation organik.Amiloride
disekresi secara langsung ke tubulus proksimal dan tidak berubah hingga di urin
Seperti spironolakton, efek samping potensial paling penting berupa hiperkalemia.3
III. Resistensi Diuretik
Belum ada definisi dari resistensi diuretik yang diterima. Seringkali,
resistensi diuretik dideskripsikan saat dosis diuretik yang lebih besar dibutuhkan
untuk mencapai respon diuretik yang serupa, atau saat respon diuretik berkurang
maupun hilang sebelum kadar terapetik tercapat. Resistensi diuretik berkaitan
dengan prognosis yang buru, dan telah dilaporkan terjadi hingga sepertiga pasien
rawat inap.4
Mekanisme yang menyebabkan resistensi diuretik, yakni :
1. Berkurangnya bioavailibilitas obat: peningkatan edema perifer dan dinding
perut, mengakibatkan berkurangnya absorpsi diuretik, terutama pada furosemid
oral.
2. Berkurangnya GFR : dapat terjadi sekunder akibat berkurangnya perfusi ginjal
akibat cardiac output rendah atau kongesti vena. CKD, atau AKI, dapat
mencegah efek menguntungkan diuretik. Sebagai contoh, furosemid seharusnya
disekresikan oleh transporter asam organik pada tubulus proksimal untuk
mencapai site of action: berkurangnya GFR dapat mengurangi penghantaran
atau sekresi aktif diuretik kuat.
3. Pengambilan sodium berlebihan pada tubulus proksimal dan lengkung Henle :
dapat terjadi sekunder akibat mekanisme berikut:
a. Aktivasi neuro-hormonal berlebih (sistem RAA)
b. Adanya fenomena Braking : terjadi pada periode diantara bolus diuretik
kuat, dimana tidak ada diuretik pada tubulus proksimal atau pada lengkung
henle, mengakibatkan reasorbsi sodium berlebih berbalik pada tubulus
proksimal dan lengkung henle.
c. Berkurangnya sekresi aktif dari diuretik kuat ke tubulus proksimal juga
dapat menyebabkan berkurangnya diuretik dihantarkan ke site of action
menyebabkan berkurangnya diuresis.
d. Asupan sodium eksesif dapat mengakibatkan resistensi obat akibat
pengambilan sodium pada tubulus proksimal.
4. Adaptasi ginjal : penggunaan diuretik kronik mengakibatkan peningkatan
penghantaran sodium ke tubulus distal, yang mengakibatkan hipertrofi, dan
dapat menahan sodium dan air lebih banyak dibanding dengan pasien yang
belum pernah mendapatkan diuretik.
5. Retensi sodium dan air berlebih pada nefron distal dan duktus pengumpul dapat
terjadi sekunder akibat aldosteron dan vasopresisn berlebihan dimediasi oleh
retensi air dan sodium.
6. Interaksi obat : NSAIDs, aspirin, steroid, pio-glitazone.
7. Pseudoresistaen
IV. EVIDENCE BASE PENGGUNAAN DIURETIK PADA
GAGAL JANTUNG
IV.1. Placebo – controlled trials of diuretics
Trial plasebo-diuretik pada gagal jantung akut terbatas pada studi
dengan jumlah pasien yang sedikit (3-247 pasien) Akan tetapi, semua studi ini
melaporkan bahwa diuretik secara signifikan memperbaiki gejala gagal jantung.
Namun, tidak ada trial yang cukup kuat untuk menentukan efek mortalitas, tetapi
sebuah meta-analisis dari 3 studi singkat melaporkan mortalitas mensugestikan 75%
reduksi risiko kematian, akan tetapi jumlah kematian rendah (12 pada kelompok
plasebo dan 3 dari kelompok diuretik) dan sebagian besar pasien dalam meta-
analisis tersebut tidak memenuhi definisi ADHF.4
IV.2. Tiazide dengan Diuretik Kuat
Bukti berdasarkan beberapa studi kecil mensugestikan bahwa diuretik
kuat lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan tiazid tunggal. Tiazid juga lebih
sering menyebabkan hipokalemia dan hiponatremia.4
IV.3. Perbandingan diantara Diuretik Kuat
Sebuah studi terbuka pada layanan primer menunjukkan bahwa
torasemid lebih baik dibandingkan dengan furosemid, dengan lebih sedikit urgency
untuk mikturasi,dan restriksi harian yang lebih ringan dilaporkan pada 237 pasien,
tetapi tidak ada perbedaan mengenai risiko rawat inap, adverse events, dan
mortalitas.4
IV.4. Dosis diuretik kuat
Lihat bab dose trial
IV.5. Diuretik Kuat Bolus-Infus Berkelanjutan
Lihat bab dose trial
V. DOSE TRIAL
Metode:
Double blind, randomized trial pada 308 pasien dengan Gagal Jantung Akut
Dekompensata, membandingkan pasien yang menerima furosemide intra vena
secara bolus setiap 24 jam dengan infus secara kontinu dan membandingkan antara
pemberian furosemide dosis rendah ( sama dengan dosis oral yang diterima
sebelumnya) dengan pemberian furosemide dosis tinggi ( 2,5 kali dosis oral
furosemide yang diterima sebelumnya). Protokol mengijinkan untuk menyesuaikan
dosis setelah 48 jam, dengan poin akhir menilai global assessment of symptoms,
dihitung dengan skor area under the curve (AUC) pada skala visual-analogue
setelah 72 jam, dan menilai perubahan kadar serum kreatinin dari awal hingga 72
jam.1
Hasil:
Tidak ada perbedaan yang signifikan pada Global Assesment of Symptom ataupun
kadar kreatinin pada pemberian furosemide secara bolus ataupun infus secara
kontinu. Begitu pula dengan perbandingan antara pemberian furosemide dosis tinggi
dengan dosis rendah, tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Namun pada
pemberian dosis tinggi dikaitkan dengan diuresis yang lebih besar dan hasil yang
lebih menguntungkan tetapi memiliki efek samping perburukan fungsi ginjal
sementara.1
VI. KESIMPULAN
Gagal jantung merupakan salah satu sindrom