74
1 BAB I PENDAHULUAN Endometriosis merupakan suatu kelainan ginekologi jinak yang ditandai oleh keberadaan jaringan menyerupai endometrium di luar rongga rahim sehingga menyebabkan reaksi inflamasi kronik. Penyakit dengan manifestasi klinis nyeri pelvik dan infertilitas ini memiliki dampak yang serius pada kualitas hidup seorang wanita, baik itu pada kesehatan fisik maupun kesejahteraan mental, sosial dan ekonomi. Meskipun banyak literatur telah menjelaskan berbagai manifestasi klinis, tatalaksana dan sejumlah aspek biologis dari endometriosis namun etiopatogenesis maupun patofisiologi penyakit ini tetap belum dapat dimengerti seluruhnya (Barlow and Kennedy, 2005; D’hooghe et al, 2008; Montgomery et al, 2008; Guo, 2009). Diagnosis endometriosis ditegakkan berdasarkan inspeksi visual pelvis saat laparoskopi yang merupakan suatu prosedur invasif dengan morbiditas dan mortalitas tertentu. Hal ini mengakibatkan penghitungan prevalensi endometriosis pada populasi sering menemui kesulitan (Montgomery et al, 2008). Perkiraan prevalensi endometriosis adalah berkisar 6-10 % dari wanita usia reproduksi dan penyakit ini seringkali tanpa disertai gejala atau asimtomatik (Eskenazi et al, 1997; D’hooghe et al, 2007; DiBlasio et al, 2007). Prevalensi ini akan semakin meningkat pada wanita dengan infertilitas yaitu berkisar antara 30-50 %, sedangkan pada

Referat Mira

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Referat Mira

1

BAB I

PENDAHULUAN

Endometriosis merupakan suatu kelainan ginekologi jinak yang ditandai oleh keberadaan

jaringan menyerupai endometrium di luar rongga rahim sehingga menyebabkan reaksi inflamasi

kronik. Penyakit dengan manifestasi klinis nyeri pelvik dan infertilitas ini memiliki dampak yang

serius pada kualitas hidup seorang wanita, baik itu pada kesehatan fisik maupun kesejahteraan

mental, sosial dan ekonomi. Meskipun banyak literatur telah menjelaskan berbagai manifestasi

klinis, tatalaksana dan sejumlah aspek biologis dari endometriosis namun etiopatogenesis

maupun patofisiologi penyakit ini tetap belum dapat dimengerti seluruhnya (Barlow and

Kennedy, 2005; D’hooghe et al, 2008; Montgomery et al, 2008; Guo, 2009).

Diagnosis endometriosis ditegakkan berdasarkan inspeksi visual pelvis saat laparoskopi

yang merupakan suatu prosedur invasif dengan morbiditas dan mortalitas tertentu. Hal ini

mengakibatkan penghitungan prevalensi endometriosis pada populasi sering menemui kesulitan

(Montgomery et al, 2008). Perkiraan prevalensi endometriosis adalah berkisar 6-10 % dari

wanita usia reproduksi dan penyakit ini seringkali tanpa disertai gejala atau asimtomatik

(Eskenazi et al, 1997; D’hooghe et al, 2007; DiBlasio et al, 2007). Prevalensi ini akan semakin

meningkat pada wanita dengan infertilitas yaitu berkisar antara 30-50 %, sedangkan pada wanita

dengan nyeri pelvik, didapatkan prevalensi hingga sebesar 80 % (Mounsey et al, 2006).

Endometriosis dikenal sebagai suatu sifat (trait) kompleks yang perkembangannya

dipengaruhi oleh interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan (Zondervan et al, 2001).

Pada penyakit ini, seperti juga yg ditemukan pada diabetes dan asma, interaksi satu sama lain

antara sejumlah lokus gen serta interaksi antara gen tersebut dengan lingkungan akan

menghasilkan fenotip penyakit (Kennedy, 1999; Di Blasio et al, 2007).

Sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa endometriosis merupakan penyakit kompleks

antara lain: (1) adanya pengelompokan keluarga (familial clustering/familial aggregation) pada

manusia dan primata rhesus, (2) terdapatnya concordance pada kembar monozigot, (3)

didapatkan usia awitan gejala nyeri yang sama pada saudara wanita penderita, (4) terdapat

peningkatan prevalensi sebanyak 6-9 kali lipat pada kerabat tingkat pertama penderita

Page 2: Referat Mira

2

dibandingkan populasi umum, (5) ditemukannya peningkatan prevalensi penyakit yang

didiagnosis menggunakan magnetic resonance imaging (MRI) sampai sebesar 15% pada saudara

wanita penderita endometriosis, (6) sejumlah polimorfisme genetik lebih sering ditemukan pada

penderita dibanding pada populasi umum, serta (7) paparan terhadap dioksin yang merupakan

suatu polutan lingkungan mungkin menjadi faktor risiko (Kennedy et al, 2001).

Penelitian terhadap keterlibatan jalur genetik dan lingkungan pada patogenesis

endometriosis umumnya didasarkan atas teori “retrograde menstruation” oleh Sampson dimana

sel endometrium yg viabel mencapai rongga peritoneum melalui aliran balik darah menstruasi

sepanjang tuba fallopii. Retrograde menstruation terjadi pada 90% wanita namun tidak

semuanya berkembang menjadi endometriosis. Lebih jauh lagi, endometriosis stadium ringan-

sedang terjadi pada hingga 20% dari wanita yang asimtomatik, namun prevalensi stadium

endometriosis lanjut pada populasi jauh lebih rendah. Tentunya, ada sejumlah faktor yang

memungkinkan sel endometrium yang mengalir menuju rongga pelvis tersebut untuk dapat

melakukan implantasi, proliferasi, invasi, yang kemudian akan berkembang menuju stadium

lanjut endometriosis. Penjelasan yang mungkin terhadap kerentanan terhadap endometriosis pada

sebagian wanita antara lain peningkatan paparan terhadap debris menstruasi, endometrium

eutopik yg abnormal, perubahan lingkungan peritoneum, penurunan immune surveillance, dan

peningkatan kapasitas angiogenik (Zondervan et al, 2001; Montgomery et al, 2008).

Hubungan antara polimorfisme genetik dengan penyakit klinis telah dikenal sejak lama.

Sebagai contoh, hubungan antara golongan darah dengan keganasan gastrointestinal ditemukan

pada tahun 1950. Akhir-akhir ini, kemajuan teknologi di bidang biologi molekuler telah

menyebabkan peningkatan minat terhadap polimorfisme gen dan pengaruhnya terhadap

kerentanan genetik (genetik susceptibility) serta penampakan klinis suatu penyakit (Tempfer et

al, 2009).

Sejumlah besar penelitian yang menyelidiki asosiasi antara polimorfisme genetik dengan

endometriosis saat ini telah dan sedang dilakukan. Permasalahan utama dalam menginterpretasi

studi semacam ini adalah adanya fakta bahwa endometriosis merupakan suatu penyakit yang

kompleks sehingga sulit meramalkan efek genetik yang akan terjadi pada individu. Selain itu,

terdapat pula sejumlah permasalahan metodologis penelitian seperti ukuran sampel yang kecil,

perbedaan latar belakang etnis, kriteria inklusi dan eksklusi, penampakan penyakit yang

Page 3: Referat Mira

3

bervariasi serta adanya bias. Beberapa studi bahkan mempertanyakan apakah genetik memang

memegang peranan pada terjadinya endometriosis (Tempfer et al, 2009).

Tulisan ini akan memaparkan sejumlah studi yang telah dilakukan untuk mencari

polimorfisme genetik yang terkait dengan endometriosis. Penggunaan teknologi genetik untuk

mengidentifikasi mekanisme seluler dan molekuler pada endometriosis ini akan memperluas

pengetahuan dan memberikan wawasan baru mengenai patogenesis penyakit. Kejelasan adanya

keterlibatan genetik pada endometriosis diharapkan dapat bermanfaat untuk mengidentifikasi

orang yang memiliki risiko tinggi sekaligus menerapkan strategi pencegahan penyakit pada

individu tersebut, perbaikan cara diagnosis, maupun pengembangan terapi endometriosis yang

disesuaikan dengan karakteristik individu.

Page 4: Referat Mira

4

BAB II

PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS

Endometriosis merupakan penyakit inflamasi bergantung estrogen yang mempengaruhi 6

hingga 10% wanita usia reproduksi di seluruh dunia yang ditandai dengan keberadaan jaringan

menyerupai endometrium di luar ronggga uterus, terutama pada peritoneum pelvis dan ovarium.

Gejala klinis utama meliputi nyeri pelvik kronik, nyeri saat senggama, dan infertilitas.

Mekanisme seluler dan molekuler yang terlibat dalam endometriosis semakin lama semakin

terungkap sehingga klasifikasi penyakit ini telah berkembang dari kelainan yang bersifat lokal

menjadi suatu penyakit sistemik kronik yang kompleks (Bulun, 2009).

2.1. Mekanisme Seluler

Terdapat mekanisme tertentu yang menyebabkan terjadinya perlekatan sel endometrium

pada peritoneum yang kemudian diikuti dengan proliferasi dan perkembangan menjadi

endometriosis. Hipotesis Sampson merupakan mekanisme yang mungkin bagi sebagian besar

lesi endometriosis tetapi tidak dapat menjelaskan mengapa endometriosis terjadi pada sebagian

namun tidak pada semua wanita. Pada 90% wanita umumnya terjadi aliran balik (refluks) darah

menstruasi ke rongga peritoneum namun kejadian endometriosis hanya 5-10% (Zondervan et al,

2001; Bulun, 2009).

Mekanisme yang dapat menjelaskan keberhasilan implantasi refluks endometrium ke

permukaan peritoneum adalah defek molekuler maupun abnormalitas imunologis. Pada

endometriosis, endometrium eutopik menunjukkan ketidaknormalan molekuler seperti adanya

aktivasi jalur onkogen ataupun kaskade biosintesis yang berakibat pada peningkatan produksi

estrogen, sitokin, prostaglandin, dan metalloproteinase. Sel endometrium secara normal akan

dibersihkan oleh sel imun, misalnya makrofag, yang terdapat pada cairan peritoneum. Sel

endometrium yang berhasil lolos dari proses ini kemungkinan dimodulasi oleh molekul adhesi

yang diekspresikan pada permukaan sel. Adhesi juga dapat terjadi jika permukaan peritoneum

rusak akibat trauma, keradangan ringan, infeksi, atupun aliran balik darah menstruasi yang

berlebihan. Meski demikian, implan kecil sel endometriosis di pelvis saat ini dianggap sebagai

Page 5: Referat Mira

5

varian normal proses fisiologis dimana untuk menjadi penyakit endometriosis dibutuhkan

modifikasi selular, pertumbuhan, serta vaskularisasi yang kesemuanya diatur oleh hormon, faktor

pertumbuhan, dan sitokin (Zondervan et al, 2001; Bulun, 2009).

2.2. Mekanisme Molekuler

Pada jaringan endometriosis terdapat perbedaan molekuler dibandingkan dengan jaringan

endometrium normal yakni berupa produksi berlebihan estrogen, prostaglandin, dan sitokin.

Bentuk nyata abnormalitas tersebut juga terjadi pada endometrium wanita dengan endometriosis

dibandingkan dengan endometrium wanita tanpa penyakit ini (Gambar 2.1) (Bulun, 2009).

Gambar 2.1. Perbedaan endometrium wanita normal dengan endometrium eutopik dan ektopik

pada wanita dengan endometriosis (Bulun, 2009).

Page 6: Referat Mira

6

Pada jaringan endometrium normal (Panel A), aktivitas enzim cyclooxygenase-2 (COX-

2) adalah rendah sehingga produksi prostaglandin E2 (PGE2) juga rendah. Estrogen tidak

disintesis secara lokal karena ketiadaan aromatase. Selama fase luteal, enzim 17β-hydroxysteroid

dehidrogenase 2 (17βHSD2) yang tergantung progesteron mengkatalisis perubahan estradiol yg

secara biologis aktif menjadi estron yang kurang estrogenik. Pada endometrium ektopik wanita

dengan endometriosis (Panel B) dapat dideteksi adanya sedikit peningkatan aktivitas COX-2

maupun aktivitas aromatase. Sedangkan pada jaringan endometrium ektopik (lesi endometriosis),

abnormalitas molekuler bermanifestasi secara penuh yang meliputi tingginya kadar COX-2 dan

juga aromatase. Peningkatan pembentukan PGE2 pada jaringan endometrium dan lesi

endometriosis dapat menyebabkan terjadinya kram menstruasi yang hebat serta nyeri pelvik

kronik. Kadar estradiol jaringan endometriosis sangatlah tinggi karena estradiol diproduksi

secara berlebihan oleh aromatase dan akibat adanya defisiensi enzim 17βHSD2 maka estradiol

tidak dimetabolisme menjadi estron yang aktivitas estrogennya lebih lemah (Bulun, 2009).

2.2.1. Sumber estrogen pada endometriosis

Jaringan endometriosis memiliki tiga sumber estradiol yang merupakan suatu estrogen

yang aktif secara biologis (Gambar 2.2 Panel A). Sumber yang pertama adalah follicle-

stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) yang menginduksi ekspresi gen

steroidogenik ovarium, termasuk di antaranya aromatase yang berguna pada biosintesis estradiol.

Sekresi estradiol ovarium dapat berkurang jika terdapat penekanan terhadap FSH dan LH oleh

gonadotropin-releasing hormone (GnRH) analog, pil kontrasepsi kombinasi, atau progestin.

Ditambah lagi, pecahnya folikel tiap kali ovulasi menyebabkan mengalirnya sejumlah besar

estradiol secara langsung ke implan peritoneum. Sumber estrogen kedua berasal dari aktivitas

aromatase di kulit dan jaringan lemak yang mengkatalisis perubahan androstenedione pada

sirkulasi menjadi estron yang kemudian diubah menjadi estradiol. Estron dan estradiol ini dapat

memasuki sirkulasi dan mencapai tempat endometriosis. Sumber estradiol yang lain didapatkan

dari kolesterol yang secara lokal diubah menjadi estradiol karena jaringan endometriosis

memiliki ekspresi seperangkat gen yang dibutuhkan pada steroidogenesis termasuk diataranya

aromatase. Kadar estradiol dan PGE2 lokal yang tinggi (Gambar 2.2 Panel B) dipertahankan

pada jaringan endometriosis melalui mekanisme autoregulasi umpan balik positif yang

Page 7: Referat Mira

7

melibatkan reseptor nuklear (steroidofenic factor 1 [SF1] dan estrogen receptor β [ER-β]), jalur

enzimatik, sitokin, dan faktor pertumbuhan (Bulun, 2009).

Gambar 2.2. Sumber estrogen pada jaringan endometriosis serta ketahanan dan inflamasi lesi

endometriosis (Bulun, 2009)

Page 8: Referat Mira

8

2.2.2. Resistensi progesteron pada endometriosis

Gambar 2.3. Gangguan aksi parakrin progesteron pada jaringan endometriosis (Bulun, 2009)

Pada endometrium, progesteron memiliki efek antiestrogen, sebagian diakibatkan karena

menginduksi 17β-hydroxysteroid dehidrogenase 2 (17βHSD2) yang mengkatalisis perubahan

estradiol menjadi estron. Progesteron bekerja melalui reseptor progesteron pada sel stroma

endometrium untuk membentuk asam retinot (retinoic acid) yang kemudian secara parakrin akan

Page 9: Referat Mira

9

menginduksi ekspresi 17βHSD2 pada sel epitel endometrium. Sel stroma endometriosis memiliki

kadar reseptor progesteron yang rendah sehingga jaringan ini gagal merespon progesteron yang

berakibat pada tidak terbentuknya asam retinoat (gambar 2.3). Kekurangan asam retinoat

menyebabkan kurangnya enzim 17βHSD2 pada epitel sehingga terjadi kegagalan untuk

menginaktivasi estradiol. Jika digabung dengan tingginya produksi estradiol akibat

penyimpangan aktivitas aromatase, maka kegagalan inaktivasi estradiol ini akan semakin

meningkatkan kadar estradiol pada jaringan endometriosis (Bulun, 2009).

Page 10: Referat Mira

10

BAB III

DASAR GENETIKA MANUSIA

DAN KONSEP POLIMORFISME GENETIK

3.1. Dasar Genetika Manusia

Genetika kedokteran mulai dikenal sejak abad ke-20 saat Garrod dkk menemukan bahwa

hukum pewarisan Mendel dapat menjelaskan kecenderungan kejadian dan kekambuhan penyakit

tertentu pada sejumlah keluarga. Selama 100 tahun berikutnya, genetika kedokteran telah

berkembang dari subspesialisasi kecil yang berurusan dengan kelainan herediter langka menjadi

spesialisasi medis yang konsep dan pendekatannya dianggap merupakan komponen penting

untuk diagnosis dan tatalaksana sejumlah penyakit, baik yang jarang maupun yang sering

ditemui. Pada awal abad ke-21, Human Genome Project, sebuah proyek internasional, telah

berhasil menyelesaikan pemetaan genom manusia secara komplit, yaitu keseluruhan secara

lengkap informasi genetik spesies manusia (akhiran –ome berasal dari bahasa Yunani yang

berarti “semua” atau “komplit”) (Nussbaum et al, 2007).

Genom manusia mengandung sejumlah besar deoxyribonucleic acid (DNA) yang

memuat informasi genetik yang diperlukan bagi semua aspek yang membuat manusia menjadi

organisme fungsional antara lain embryogenesis, perkembangan, pertumbuhan, metabolisme,

dan reproduksi. Setiap sel berinti pada tubuh manusia membawa kopi atau salinan genom yang

mengandung kurang lebih 25.000 gen. Gen didefinisikan sebagai unit informasi genetik yang

dikode dalam DNA dari genom dan diorganisasi ke dalam sejumlah kromosom yang terletak

pada inti (nukleus) tiap sel (Nussbaum et al, 2007).

Semua sel yang berkembang menjadi tubuh manusia disebut sel somatik (soma, tubuh).

Genom yang terkandung dalam nukleus sel somatik manusia terdiri atas 46 kromosom yang

diatur dalam 23 pasangan kromosom. Dua puluh tiga pasang kromosom tersebut, 22 di antaranya

serupa antara yang dimiliki oleh pria maupun wanita, disebut sebagai autosom, dan diberi nomor

1 hingga 22 sesuai urutan dari kromosom yang paling besar ke yang paling kecil. Sepasang

kromosom ke-23 merupakan pasangan kromosom seks, yakni dua kromosom X pada wanita

serta masing-masing satu kromosom X dan Y pada pria. Tiap kromosom membawa subset gen

Page 11: Referat Mira

11

berbeda yang diatur secara linier sepanjang DNA. Setiap anggota dari sepasang kromosom

(disebut sebagai kromosom homolog), dimana satu kromosom diwarisi dari ayah dan satunya

lagi diwarisi dari ibu, akan membawa informasi genetik berpasangan sehingga sepasang

kromosom tersebut memiliki gen yang sama pada sekuens yang sama. Pada lokus tertentu yang

mengandung gen pengkode sifat tertentu, kromosom homolog memiliki varian gen yang disebut

sebagai allel dimana kedua allel tersebut dapat mempunyai bentuk yang identik ataupun yang

agak berbeda. Selain genom yang terdapat pada nucleus (nuclear genome), terdapat pula

sebagian kecil namun penting genom manusia yang bertempat di dalam mitokondria yang

terletak pada sitoplasma sel (Nussbaum et al, 2007).

3.1.1. Struktur DNA

DNA merupakan makromolekul polimer dari asam nukleat (polinukleotida) yang

tersusun atas tiga macam unit yaitu gula berkarbon 5 (pentosa) bernama deoksiribosa

(deoxyribose), basa yang mengandung nitrogen, serta grup fosfat (gambar 3.1.). Terdapat dua

macam basa yakni purin dan pirimidin. Pada DNA, kedua basa purin adalah adenine (A) dan

guanine (G), sedangkan basa pirimidin terdiri dari thymine (T) dan cytosine (C). Nukleotida,

yang masing-masing tersusun atas sebuah basa, sebuah fosfat, dan sebuah gula, akan

berpolimerisasi menjadi rantai polinukleotida yang panjang melalui ikatan fosfodiesterase 5’-3’

yang dibentuk antara 2 unit deoksiribosa yang berdekatan (gambar 3.2). Pada genom manusia,

rantai polinukleotida dalam bentuk helix ganda (double helix) ini (gambar 3.3) memiliki panjang

ratusan hingga ribuan nukleotida, yang ukurannya berkisar antara kurang lebih 50 juta pasang

basa (50 Mb, million base pairs) untuk kromosom terkecil yakni kromosom 21 hingga berukuran

250 juta pasang basa (250 Mb) untuk kromosom terbesar yaitu kromosom nomor 1 (Nussbaum et

al, 2007)

Page 12: Referat Mira

12

Gambar 3.1. Empat jenis basa pada DNA dan struktur umum nukleotida dalam DNA (Nussbaum

et al, 2007).

Gambar 3.2. Bagian rantai polinukleotida DNA yang menunjukkan ikatan fosfodiesterase yang

menghubungkan nukleotida berdekatan (Nussbaum et al, 2007).

Page 13: Referat Mira

13

Gambar 3.3. Struktur dua dimensi rantai DNA (kiri) dan model heliks ganda DNA (kanan) yang

diajukan oleh Watson dan Crick (Nussbaum et al, 2007).

3.1.2. Organisasi kromosom manusia

Komposisi gen pada genom manusia dan juga penentuan ekspresinya terkandung dalam

DNA pada 46 kromosom manusia di dalam inti sel serta dalam DNA pada mitokondria. Tiap

kromosom manusia terdiri atas seutas rantai ganda (double helix) DNA yang tak terputus

sehingga genom nukleus mengandung total lebih dari 6 juta nukleotida (gambar 3.4).

Kromosom bukan merupakan suatu heliks ganda DNA yang telanjang. Dalam tiap sel,

genom dikemas sebagai kromatin dimana DNA genomik ditambahkan dengan beberapa tipe

protein kromosom. Molekul DNA dari kromosom berada dalam kromatin sebagai suatu

kompleks dengan famili protein kromosom dasar yang disebut histon dan dengan grup heterogen

protein nonhiston yang kurang dikenali namun sangat penting untuk menciptakan lingkungan

yang sesuai bagi perilaku kromosom normal dan ekspresi gen (Nussbaum et al, 2007).

Page 14: Referat Mira

14

Gambar 3.4. Tingkatan hierarkis pengemasan kromatin pada kromosom manusia (Nussbaum et

al, 2007)

3.2. Konsep Polimorfisme Genetik

Sekuens DNA pada regio yang sama dari suatu kromosom yang dimiliki oleh masing-

masing individu di seluruh dunia pada umumnya serupa. Namun kenyataannya, segmen DNA

manusia yang terpilih secara acak sepanjang kurang lebih 1000 pasang basa, rata-rata hanya

mengandung varian satu pasang basa yang berbeda antara dua kromosom homolog yang diwarisi

dari orang tua (Nussbaum et al, 2007).

Jika terjadinya suatu varian begitu sering sehingga dapat ditemukan pada lebih dari 1%

kromosom pada populasi umum, varian ini disebut sebagai polimorfisme genetik. Sebaliknya,

allel atau varian dengan frekuensi kurang dari 1%, sesuai perjanjian, disebut sebagai varian

langka (rare variants). Hubungan antara frekuensi allel ini dengan efek allel pada kesehatan

tidaklah sesederhana yang dipikirkan. Di satu sisi, banyak varian langka tidak memiliki efek

yang merusak sedangkan beberapa varian lain, yang begitu sering ditemukan sehingga dianggap

Page 15: Referat Mira

15

sebagai suatu polimorfisme, di sisi lain dapat mengakibatkan penyakit yang serius (Nussbaum et

al, 2007).

Ada bermacam-macam tipe polimorfisme. Beberapa polimorfisme disebabkan oleh

varian yang mengandung delesi, duplikasi, triplikasi dan seterusnya dari ratusan hingga jutaan

pasang basa dan tidak berhubungan dengan fenotip manapun dari suatu penyakit, sementara

varian lain merupakan varian langka yang jelas menimbulkan kesakitan yang serius.

Polimorfisme juga dapat berupa perubahan pada satu atau beberapa basa DNA yang berlokasi di

antara gen atau di dalam intron yang tidak membawa konsekuensi pada fungsi gen dan dapat

dideteksi hanya dengan analisis DNA secara langsung. Perubahan sekuens juga dapat terjadi

pada sekuens pengkode gen itu sendiri dan mengakibatkan varian protein berbeda yang

mengarah pada fenotip yang sangat jauh berbeda pula. Polimorfisme lain juga dapat ditemukan

pada regio pengatur dan mungkin penting dalam penentuan fenotip karena mempengaruhi

kestabilan transkripsi messenger ribose-nucleic acid (mRNA) (Nussbaum et al, 2007).

Polimorfisme merupakan kunci penting pada praktik dan riset genetik manusia.

Kemampuan untuk mengenali bentuk yang berbeda dari gen atau segmen yang berbeda dari

genom bersifat krusial untuk aplikasi klinis secara luas. Petanda genetik merupakan alat riset

yang sangat berguna untuk pemetaan gen pada regio tertentu dari kromosom dengan

menggunakan linkage analysis atau asosiasi allel. Hal ini pada umumnya digunakan dalam dunia

kedokteran untuk diagnosis prenatal penyakit genetik, bank darah, pemeriksaan jaringan untuk

transfusi serta transplantasi organ. Polimorfisme merupakan dasar dari usaha yang sedang

berjalan untuk memberikan pelayanan kedokteran individu berdasar genomik (genomic-based

personalized medicine). Pada personalized medicine ini, terapi medis seorang individu

disesuaikan berdasarkan fakta apakah individu tersebut membawa varian polimorfik yang

menyebabkan peningkatan atau penurunan risiko penyakit atau yang mempengaruhi efikasi serta

keamanan obat-obatan tertentu yang digunakan (Nussbaum et al, 2007).

Page 16: Referat Mira

16

Polimorfisme DNA dapat diklasifikasikan berdasar pada bagaimana sekuens DNA

bervariasi antara allel yang berbeda (tabel 3.2).

Tabel 3.1. Tipe polimorfisme DNA (Nussbaum et al, 2007)

Polimorfisme Dasar Polimorfisme Jumlah Allel

SNP Substitusi salah satu dari sepasang basa pada lokasi yang sama

2

Indel

Simpel Ada atu tidakadanya segmen pendek DNA 2

STRP ~5-25 kopi secara tandem dari pengulangan 2-, 3-, 4-, unit nukleotida yang berulang

5 atau lebih

VNTR Ratusan hingga ribuan kopi secara tandem dari 10-100 unit nukleotida yang berulang

5 atau lebih

CNP Ada atau tidakadanya 200-bp sampai 1,5 Mb segmen DNA meskipun duplikasi tandem 2, 3, 4, atau lebih kopi dapat terjadi

2 hingga beberapa

3.2.1. Single Nucleotide Polymorphisms

Polimorfisme yang paling sederhana dan paling umum dari semua tipe polimorfisme

adalah single nucleotide polymorphisms (SNP). SNP pada umumnya hanya memiliki dua allel

yakni berupa dua basa berbeda yang menempati lokasi tertentu pada genom. SNP sering

ditemukan dan terjadi rata-rata pada setiap 1000 pasang basa yang berarti bahwa terdapat

sebanyak kurang lebih 3.000.000 perbedaan antara dua genom manusia. Jumlah total varian

antara seluruh manusia jauh lebih banyak dan diperkirakan lebih dari 10.000.000. Jutaan SNP

saat ini telah berhasil diidentifikasi dan dimasukkan ke dalam katalog populasi di seluruh dunia.

Subset kurang lebih 10% dari SNP yang tersering telah dipilih sebagai petanda untuk pemetaan

genom manusia berdensitas tinggi yang dikenal sebagai haplotype map (HapMap) (Nussbaum et

al, 2007).

Pengaruh sebagian besar SNP terhadap kesehatan saat ini masih merupakan subjek dari

sejumlah riset. Fakta bahwa SNP sering ditemukan tidak berarti bahwa polimorfisme ini bersifat

Page 17: Referat Mira

17

netral dan tidak memiliki efek pada kesehatan. Namun efek SNP ini tampaknya lebih berupa

perubahan terhadap kerentanan penyakit daripada sebagai penyebab langsung penyakit serius

(Nussbaum et al, 2007).

3.2.2. Insertion-Deletion Polymorphisms

Polimorfisme dapat merupakan hasil dari insersi atau delesi (indels) antara 2-100

nukleotida. Jumlah indel pada genom mencapai ratusan hingga ribuan. Kurang lebih setengah

indels dikategorikan sebagai simpel karena hanya memiliki dua allel sehingga polimorfisme ini

diartikan sebagai ada atau tidak adanya segmen yang terinsersi atau terdelesi. Setengah yang

lainnya berupa multiallel dikarenakan adanya variasi jumlah dari segmen DNA yang diulang

secara tandem pada lokasi tertentu. Indel multiallel dapat dibagi lebih jauh lagi menjadi

polimorfisme mikrosatelit dan makrosatelit (Nussbaum et al, 2007).

3.2.2.1. Mikrosatelit

Mikrosatelit merupakan untaian DNA yang terdiri atas dua, tiga, atau empat unit

nukleotida seperti TGTG…TG, CAACAA…CAA, atau AAATAAAT…AAAT, yang diulang

antara satu sama lain sebanyak beberapa lusin kali. Allel yang berbeda pada polimorfisme

mikrosatelit merupakan hasil dari perbedaan jumlah unit nukleotida yang mengalami

pengulangan yang terdapat dalam satu mikrosatelit sehingga disebut sebagai short tandem repeat

polymorphism (STRP). Lokus mikrosatelit seringkali memiliki banyak allel yang terdapat pada

populasi dan pemeriksaan genotip (genotyping) dapat dilakukan dengan menentukan besarnya

fragmen polymerase chain reaction (PCR) yang dihasilkan oleh primer yang mengenali

pengulangan mikrosatelit (Nussbaum et al, 2007).

3.2.2.2. Minisatelit

Jenis polimorfisme indel lainnya dihasilkan dari insersi secara tandem dengan jumlah

bervariasi (ratusan hingga ribuan) dari salinan sekuens DNA sepanjang 10 hingga 100 pasang

basa yang dikenal sebagai minisatelit. Polimorfisme ini memiliki banyak allel dikarenakan

adanya variasi jumlah kopi minisatelit yang berulang secara tandem sehingga dinamai dengan

variable number tandem repeats (VNTR). Petanda yang paling informatif memiliki beberapa

lusin atau lebih allel, sehingga dua individu yang tidak memiliki hubungan tidak akan berbagi

allel yang sama. Meskipun mayoritas indels, baik simple, STRP, atau VNTR dianggap tidak

Page 18: Referat Mira

18

memiliki kontribusi pada kesehatan manusia namun sejumlah VNTR diduga berperan dalam

sejumlah penyakit (Nussbaum et al, 2007).

3.2.3. Copy Number Polymorphisms

Bentuk polimorfisme terakhir dan terbaru yang ditemukan adalah copy number

polymorphism (CNP). CNP mengandung variasi dalam jumlah kopi/salinan dari segmen yang

lebih besar dari genom, berkisar antara 200 pasang basa hingga 2Mb. CNP dapat hanya memiliki

dua allel saja atau memiliki allel multiple karena keberadaan 0, 1, 2, 3, atau lebih kopi segmen

DNA secara tandem. Seperti pada polimorfisme DNA lainnya, peranan allel CNP pada kesehatan

dan kerentanan terhadap penyakit hingga saat ini belum banyak diketahui dan masih menjadi

subjek sejumlah investigasi secara intensif (Nussbaum et al, 2007).

Page 19: Referat Mira

19

BAB IV

DASAR GENETIK DAN

STUDI GENETIK ENDOMETRIOSIS

Endometriosis telah lama dikenal sebagai suatu penyakit kompleks yang disebabkan oleh

interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Pernyataan bahwa endometriosis merupakan

“penyakit genetik” seringkali menimbulkan kesan bahwa endometriosis bersifat diturunkan

(herediter), padahal terdapat perbedaan mendasar antara “genetik” dengan “herediter”. Pada level

molekuler, hampir semua penyakit bersifat genetik karena penyimpangan enzim atau protein

yang menjadi karakteristik penyakit tersebut dikendalikan oleh ekspresi gen, namun suatu

penyakit genetik tidaklah harus selalu herediter, contohnya penyakit seperti kanker yang baru

dapat manifes jika terjadi mutasi somatik tertentu. Sebaliknya, suatu penyakit herediter mungkin

tidaklah bersifat genetik seluruhnya (Di and Guo, 2007).

4.1. Genetik dan Heritabilitas Endometriosis

Karakteristik utama dari penyakit yang diturunkan secara kompleks (complex

inheritance) adalah bahwa individu yang terkena penyakit dapat berkelompok pada satu keluarga

(familial aggregation). Kebalikannya, adanya agregasi familial tidak selalu berarti bahwa

penyakit tersebut memiliki kontribusi genetik. Anggota keluarga dapat memiliki penyakit yang

sama secara kebetulan, terutama jika penyakit tersebut merupakan penyakit yang umum dijumpai

pada populasi. Bahkan jika pengelompokan tersebut tidak terjadi secara kebetulan, anggota

keluarga pada umumnya berbagi tidak hanya gen yang sama, melainkan juga sikap dan perilaku

cultural, status ekonomi, diet dan paparan lingkungan yang serupa (Nussbaum et al, 2007).

Dugaan adanya peranan faktor genetik terhadap kerentanan terjadinya endometriosis

(genetik susceptibility), yakni predisposisi terhadap penyakit tertentu akibat keberadaan allel

spesifik atau kombinasinya pada genom suatu individu, semakin menguat karena didukung oleh

adanya bukti dari sejumlah studi. Pengelompokan dalam keluarga yang menunjukkan adanya

kecenderungan pewarisan pada endometriosis telah ditemukan pada awal 1950-an, namun studi

formal genetik yang pertama belum pernah dilaksanakan hingga tahun 1980-an saat Simpson dkk

Page 20: Referat Mira

20

melaporkan prevalensi endometriosis sebanyak 5,9% pada saudara wanita dari penderita

endometriosis dan 8,1% pada ibu mereka, dibandingkan dengan hanya 1% pada kerabat wanita

ayah penderita. Tiga studi berikutnya di AS, Inggris, dan Norwegia mengemukakan angka

prevalensi yang mencapai 3-9 kali lipat lebih tinggi pada kerabat tingkat pertama penderita

dibandingkan dengan kerabat tingkat pertama kontrol (tabel 4.1) (Kennedy, 1999; Simpson and

Bischoff, 2000; Zondervan et al, 2001; Wen Di and Guo, 2007).

Tabel 4.1. Insiden endometriosis di antara kerabat tingkat pertama dibandingkan dengan kontrol

(Simpson and Bischoff, 2000)

Reference Venue Proband’s first-degree relatives

Controls

Mothers Sisters Overall

Simpson et al. United states 5,9% 8,1% 6,9% 0,9%

Lamb et al United States 6,2% 3,8% 4,9% 2,0%

Moen and magnus Norway 3,9% 4,8% 4,3% 0,6%

Coxhead and Thomas United Kingdom

5,5% 0,8%

Relative risks to sibs, yakni peningkatan risiko kejadian endometriosis pada individu

yang saudara wanitanya terkena endometriosis dibandingkan dengan risiko pada populasi umum,

diperkirakan sebesar 2,34 pada sampel saudara kembar di Australia dan keluarga mereka

(Treloar et al, 2002). Pemeriksaan menggunakan magnetic resonance imaging (MRI) pada

saudara kandung dari wanita yang menderita endometriosis berat menunjukkan bahwa nilai

risiko tersebut bisa mencapai 15. Perlu diperhatikan bahwa mendapatkan perkiraan recurrence

risk ini secara akurat sangatlah sulit karena prevalensi endometriosis pada populasi tidak

diketahui dan terdapat bias dalam penentuan kasus endometriosis melalui pembedahan sehingga

mempengaruhi perkiraan risiko terhadap saudara kandung (Montgomery et al, 2008). Sebuah

studi lain juga menunjukkan bahwa pengelompokan penderita endometriosis dalam keluarga

Page 21: Referat Mira

21

(familial clustering/familial aggregation) selain ditemukan pada manusia juga terdapat pada

primata bukan manusia, rhesus macaques (Zondervan et al, 2004).

Ketika dua individu yang bertalian darah dalam satu keluarga memiliki penyakit yang

sama, mereka dikatakan concordant untuk penyakit tersebut. Sebaliknya, jika dari kerabat yang

berpasangan hanya satu saja yang mengalami penyakit sedangkan anggota keluarga pasangannya

tidak terkena, kerabat tersebut dikatakan discordant untuk penyakit tersebut (Nussbaum et al,

2007). Bukti lebih jauh tentang risiko genetik pada endometriosis didapatkan dari studi saudara

kembar, dimana terdapat nilai concordance (probabilitas bahwa sepasang individu keduanya

akan memiliki karakteristik yang sama jika salah satu diantaranya memiliki karakteristik

tersebut) pada kembar monozigot sebesar 3,58 dibandingkan 2,52 pada kembar heterozigot

(Treloar et al, 1999).

Akhir-akhir ini, timbul sejumlah pertanyaan yang menyangsikan keberadaan kontribusi

genetik terhadap endometriosis. Hal ini disebabkan karena penelitian yang menyelidiki peranan

genetik pada endometriosis terbentur pada beberapa masalah yang berhubungan dengan desain

penelitian antara lain adanya ascertainment bias dimana wanita dengan endometriosis yang

memiliki banyak saudara kandung lebih besar kemungkinannya untuk direkrut ke dalam studi

dibandingkan dengan yang hanya memiliki sedikit saudara sehingga peluang untuk memiliki

saudara yang terkena endometriosis lebih tinggi. Masalah yang lain adalah adanya

pengelompokan familial sejumlah faktor risiko seperti usia menarche yang dini, lamanya siklus

menstruasi, jumlah darah menstruasi, dan indeks massa tubuh. Meskipun demikian, bukti-bukti

yang ada saat ini menunjukkan bahwa memang terdapat peranan genetik terhadap risiko

endometriosis (Kennedy et al, 2001; Di and Guo, 2007; Montgomery et al, 2008).

4.2. Studi Genetik

Metode pemetaan gen (gene mapping) awalnya dikembangkan untuk mencari mutasi

yang berperan dalam penyakit genetik yang menunjukkan pewarisan secara Mendel. Mutasi ini

pada umumnya memiliki efek yang besar dengan penetrasi sedang sampai berat dimana

kebanyakan karier mutasi memiliki penyakit yang manifes dan banyak anggota keluarga

membawa jenis mutasi yang sama. Jenis pendekatan yang umum digunakan untuk pemetaan gen

penyakit mendelian adalah “genome wide-linkage study” (Montgomery et al, 2008).

Page 22: Referat Mira

22

Penyakit seperti asma, diabetes, hipertensi maupun endometriosis yang tidak

menunjukkan pewarisan mendelian klasik dikategorikan sebagai ‘kompleks, ‘multifaktorial’,

atau ‘poligenik’. Dengan kata lain, sifat tersebut ditentukan oleh banyak gen berbeda dengan

masing-masing variasi allel (satu dari sepasang atau seperangkat gen yang menempati posisi atau

lokus yang sama pada kromosom tertentu) meskipun tidak ada satu gen pun yang memiliki efek

yang besar. Menemukan varian genetik yang berperan dalam penyakit kompleks akan jauh lebih

sulit karena beberapa hal seperti kontribusi gen individual yang sangat kecil, adanya banyak gen

yang berperan terhadap risiko individu untuk terkena penyakit, serta risiko penyakit yang sering

kali dimodifikasi oleh lingkungan. Sebagai tambahan, pada keluarga yang berbeda seringkali

ditemukan adanya kombinasi varian genetik yang berbeda sedangkan kasus yang terjadi pada

keluarga yang sama terkadang tidak mengandung varian yang serupa sehingga diperlukan suatu

penelitian dalam skala besar untuk mendeteksi efek variasi gen individu (Montgomery et al,

2008).

Studi genetik memberikan suatu pendekatan untuk mengidentifikasi patogenesis penyakit

melalui penentuan daerah kromosom dan/atau kandidat gen yang berhubungan dengan

kerentanan terhadap penyakit tersebut. Persyaratan dasar untuk pemetaan gen suatu penyakit

antara lain: (1) harus terdapat bukti peranan genetik terhadap risiko penyakit; (2) sejumlah besar

sampel harus dikumpulkan baik untuk studi kasus-kelola (case-control) maupun studi berbasis

keluarga; (3) sampel DNA harus diperiksa genotipnya menggunakan perangkat petanda genetik

yang sesuai dan dianalisis untuk membuktikan bahwa gen tersebut berhubungan dengan

penyakit; (4) penemuan awal harus dapat direplikasi dalam sampel tambahan yang lebih besar

sebelum dilakukan konfirmasi terhadap asosiasi penyakit. Begitu didapatkan bukti kuat yang

mendukung asosiasi genetik, maka langkah berikutnya adalah menentukan varian yang

fungsional. Tiga metode dasar untuk menemukan gen yang berperan pada endometriosis antara

lain: (1) candidate gene association studies; (2) linkage mapping atau genome wide

quantitative linkage analysis; dan (3) whole genome association studies (Montgomery et al,

2008).

4.2.1. Studi gen kandidat (Candidate gene studies)

Asosiasi antara gen kandidat dan endometriosis dapat diuji melalui studi informatif

genetik yaitu candidate gene studies. Gen kandidat pada umumnya dipilih berdasarkan

Page 23: Referat Mira

23

mekanisme biologis yang dihipotesiskan berperan terhadap terjadinya penyakit. Pada varian gen

kandidat ini dilakukan pemeriksaan genotip baik yang berasal dari sampel kasus dan kontrol atau

dari keluarga yang terkena penyakit untuk menguji adanya asosiasi dengan endometriosis

melalui analisis statistik data genotip (Montgomery et al, 2008).

Sejumlah studi telah melaporkan hasil tes statistik untuk asosiasi terhadap kerentanan

terjadinya endometriosis yang berasal lebih dari 59 gen. Gen kandidat yang diuji meliputi gen

dari jalur detoksifikasi; jalur steroid seks; serta jalur sinyal sitokin, molekul adhesi dan enzim

matriks, dan regulasi siklus sel. Enzim glutathione S-transferase (GST) yang terlibat dalam jalur

detoksifikasi serangkaian senyawa toksik dan karsinogenik telah dipelajari secara luas

berdasarkan asumsi bahwa paparan terhadap dioxin merupakan salah satu faktor risiko.

Polimorfisme glutathione S-transferase M1 (GSTM1) pada kromosom 1p13.3 dan glutathione S-

transferase theta 1 (GSTT1) pada kromosom 22q11.23 telah dievaluasi pada lebih dari 20 studi.

Meta-analisis sejumlah studi untuk enzim detoksifikasi N-acetyltransferase 2 (NAT2) pada

kromosom 8p22 dan cytochrome P450, famili 1, subfamili A, polipeptida A (CYP1A1) pada

kromosom 15q24.1 tidak menemukan bukti keterkaitan antara asetilasi NAT2 dengan

endometriosis. Polimorfisme lainnya yang telah diteliti meliputi reseptor androgen, reseptor

progesteron, serta reseptor estrogen (Montgomery et al, 2008).

Bukti adanya asosiasi penyakit dengan polimorfisme gen tertentu harus dikonfirmasi

melalui replikasi pada studi selanjutnya. Banyak studi replikasi lanjutan untuk asosiasi penyakit

kompleks gagal melalui tahapan ini. Lebih dari setengah asosiasi genetik pada endometriosis

yang telah dilaporkan pada studi yang pertama ternyata tidak berhasil direplikasi pada studi

selanjutnya dengan sampel yang lebih besar. Hasil studi lanjutan biasanya hanya menunjukkan

adanya asosiasi yang lemah atau bahkan tidak ditemukan adanya asosiasi. Fenomena umum ini

disebut dengan ‘the winner’s curse’ dimana studi yang pertama dianggap terlalu berlebihan

dalam memprediksi efek genetik ini. Sejumlah faktor penyebab kegagalan replikasi antara lain

asosiasi yang rendah saat pengujian sejumlah kecil varian pada satu gen, kekuatan studi, analisis

data, bias publikasi, perbedaan populasi, kegagalan melakukan pemeriksaan genotip pada varian

yang sama, serta permasalahan teknis. Banyak studi hanya menguji sampel yang sedikit sehingga

tidak memiliki kekuatan untuk mendeteksi efek kecil gen terhadap endometriosis. Adanya bias

publikasi dan permasalahan dalam desain penelitian menyebabkan sering terjadi asosiasi yang

Page 24: Referat Mira

24

positif palsu pada sejumlah studi. Latar belakang etnis juga merupakan sumber penting adanya

variasi hasil yang didapatkan. Asosiasi genetik sering inkonsisten dikarenakan perbedaan etnis

yang mungkin menyebabkan perbedaan dalam frekuensi allel polimorfik maupun interaksi antar

gen. Dalam hal ini, asosiasi genetik meskipun valid pada populasi etnis tertentu, mungkin saja

tidak relevan untuk individu dari etnis yang lain sehingga asosiasi positif antara polimorfisme

genetik dengan endometriosis haruslah diinterpretasi secara berhati-hati. Meskipun demikian, di

luar sejumlah keterbatasan tersebut, review studi asosiasi yang memiliki desain yang adekuat

sekitar 30% akan menghasilkan replikasi yang signifikan pada studi berikutnya (Montgomery et

al, 2008; Tempfer et al, 2009).

4.2.2. Linkage-mapping/Linkage analysis

Pendekatan kedua untuk pemetaan gen melibatkan riset tanpa hipotesis biologis untuk

mencari bukti regio genomik yang membawa varian risiko genetik endometriosis sebelum

dilakukan asosiasi lebih jauh atau sequencing studies menggunakan linkage mapping pada

genom (komponen DNA lengkap pada suatu organisme). Selama periode lebih dari 10 tahun,

dua kelompok independen laboratorium di Australia dan UK (Australian Genes Behind

Endometriosis Study dan International Oxford Endometriosis Gene-OXEGENE) telah merekrut

lebih dari 1000 keluarga saudara kandung wanita dari penderita endometriosis yang telah

terkonfirmasi secara pembedahan untuk diikutkan ke dalam sib-pair linkage analysis atau

affected sib-pair (ASP) analysis. Sib-pair linkage studies merupakan analisis genom secara luas

dengan menggunakan petanda mikrosatelit polimorfik untuk mengidentifikasi regio yang

berhubungan dengan penyakit. Untuk penyakit umum dengan risiko rekurensi genetik yang

tinggi, maka pasangan yang paling informatif adalah saudara yang terjauh. Sedangkan untuk

penyakit seperti endometriosis yang memiliki risiko rekurensi yang rendah pada kerabat, maka

desain penelitian yang terbaik adalah dengan menggunakan saudara kandung wanita penderita

(Montgomery et al, 2008).

Pada linkage mapping, petanda genetik disebarkan dalam jarak tiap 10cM (centiMorgan)

sepanjang genom kemudian dimasukkan ke dalam DNA saudara kandung wanita dan anggota

keluarga lainnya. Bukti adanya linkage ditemukan pada kromosom 7, 10 dan 20. Dua gen pada

kromosom 10q telah diteliti yakni Empty Spiracle, Homolog of Drosophila, 2 (EMX2) dan

Phosphatase and Tensin Homolog (PTEN). EMX2 adalah faktor transkripsi yang penting untuk

Page 25: Referat Mira

25

perkembangan traktus reproduksi dan diekspresikan pada endometrium wanita dewasa dengan

penurunan ekspresi saat fase luteal menstruasi. Pada endometrium wanita penderita

endometriosis, berbeda dengan endometrium normal, tidak terjadi penurunan kadar EMX2 saat

periode periimplantasi (Daftary and Taylor, 2004). PTEN menyebabkan terjadinya ketahanan

dan proliferasi sel sehingga memegang peran penting pada tumorigenesis endometrium.

Inaktivasi PTEN merupakan peristiwa awal pada hiperplasia endometrium dan perkembangan

kanker ovarium maupun endometrium. Ekspresi gen PTEN berubah di bawah pengaruh hormon

steroid selama siklus menstruasi dan penurunan ekspresi PTEN telah dilaporkan pada beberapa

kasus endometriosis. Namun ternyata, pemeriksaan genotip sejumlah besar petanda sepanjang

kedua gen tersebut tidak menunjukkan adanya keterkaitan antara varian gen EMX2 dan PTEN

dengan endometriosis (Treloar et al, 2007).

4.2.3. Genome wide association (GWA) studies

Terlepas dari beberapa pengecualian, studi gen kandidat berdasar hipotesis ataupun

linkage mapping yang diikuti oleh studi gen kandidat, kurang begitu berhasil dalam

mengidentifikasi gen yang rentan terhadap endometriosis. Bahkan dengan informasi linkage

sebelumnya yang membatasi regio genomik yang diteliti, sangatlah sulit untuk menemukan

kandidat yang baik karena kurangnya pengetahuan tentang proses biologis yang mendasari

endometriosis dan belum diketahuinya fungsi biologis seluruh gen. Menindaklanjuti identifikasi

linkage signifikan pada kromosom 10, International Gene Study sekarang telah mengungkap gen

yang terlibat dengan metode asosiasi pemetaan gen tanpa hipotesis menggunakan single

nucleotide polymorphism (SNP) untuk menangkap arsitektur genetik secara komprehensif di

regio tersebut. Kunci perkembangan genome wide association studies adalah survey variasi

genetika manusia oleh HapMap Consortium dan pengembangan high-throughoutput genotyping

yang mampu melakukan genotyping sampai dengan 1 juta SNP dalam satu sampel individu serta

memproses banyak sampel dalam satu hari (Montgomery et al, 2008).

Human HapMap project telah memberikan informasi detail pola spesifik populasi dari

arsitektur genomik dan variasi genetik manusia. SNP umum yang berdekatan satu sama lain

seringkali diwarisi secara bersamaan dalam suatu populasi sehingga keberadaan salah satu SNP

dapat memprediksi keberadaan SNP lainnya. HapMap telah memberikan “peta” yang

menunjukkan ketergantungan antara sejumlah SNP umum tersebut dan informasi ini dapat

Page 26: Referat Mira

26

digunakan untuk mengurangi dalam skala besar jumlah genotyping yang harus dilakukan dalam

studi kasus-kelola untuk mencakup seluruh genom sehubungan dengan variasi genetik yang

umum (Montgomery et al, 2008).

Metode GWA telah sangat berhasil dalam mengidentifikasi allel yang berisiko terhadap

sejumlah penyakit (misal diabetes tipe 1 dan 2, penyakit Crohn, kanker payudara, dan kanker

prostat), namun tidak berhasil atau sedikit sekali menemukan allel yang berisiko pada penyakit

lain (seperti pada hipetensi, gangguan bipolar, dan penyakit jantung koroner). Alasan

ketidakkonsistenan ini bisa disebabkan karena penyakit tersebut kemungkinan berhubungan

dengan fenotip yang heterogen atau karena faktor lingkungan lebih berpengaruh terhadap

etiologinya sementara faktor genetik hanya memiliki peranan yang kecil, sehingga akibatnya

diperlukan studi yang lebih besar lagi untuk mendeteksi efek gen tersebut (Montgomery et al,

2008).

GWA menawarkan prospek kemajuan dalam penemuan gen yang berpengaruh terhadap

risiko endometriosis dan sejumlah kelompok riset sedang merencanakan studi GWA pada

endometriosis. Studi ini harus mengadopsi strategi yang mengkombinasi data dari sebanyak

mungkin sampel agar berhasil mengidentifikasi gen yang berhubungan dengan penyakit ini.

Studi endometriosis kemungkinan akan memberikan hasil yang menyerupai penyakit kompleks

lain dimana risiko untuk allel individual sangatlah kecil sehingga tes genetik kemungkinan

kurang dapat digunakan secara langsung untuk menilai risiko individu terhadap penyakit

dikarenakan efek gen yang kecil (Montgomery et al, 2008).

Page 27: Referat Mira

27

Karakteristik, kekuatan, dan kelemahan studi genetik menggunakan metode linkage dan

asosiasi untuk pemetaan gen penyakit dirangkum dalam tabel 3.3

Tabel 4.2. Perbandingan studi genetika metode linkage dan asosiasi (Nussbaum et al, 2007)

Linkage Asosiasi

Mempelajari pewarisan penyakit dan regio penyakit dari individu ke individu pada silsilah keluarga

Menguji perubahan frekuensi allel tertentu pada individu yang sakit dibandingkan dengan kontrol pada populasi

Mencari regio genom yang mengandung allel penyakit

Memeriksa kontribusi allel tertentu terhadap penyakit

Menggunakan ratusan hingga ribuan petanda polimorfik sepanjang genom

Menggunakan beberapa petanda pada gen yang menjadi target hingga ratusan petanda untuk genome-wide analyses

Tidak didesain untuk menemukan varian spesifik yang bertanggung jawab atau menjadi predisposisi penyakit, hanya dapat membatasi tempat dimana varian dapat ditemukan dalam satu atau beberapa megabasa

Dapat menentukan varian yang bertanggungjawab secara fungsional terhadap penyakit

Bertumpu pada peristiwa rekombinasi yang terjadi di dalam keluarga selama beberapa generasi untuk mengukur jarak genetik antara gen penyakit dengan petanda polimorfisme pada kromosom

Bertumpu pada penemuan satu set allel termasuk gen penyakit yang bertahan selama beberapa generasi karena kurangnya peristiwa rekombinasi di antara petanda

Memerlukan sampel keluarga, tidak hanya individu yang sakit

Dapat dilaksanakan secara kasus-kelola atau secara kohort pada sampel dari populasi

Kehilangan kekuatan saat penyakit memiliki pewarisan kompleks dengan penetrance yang kurang

Sensitif terhadap stratifikasi populasi meski dapat dikontrol dengan desain kasus-kelola yang sesuai atau dengan metode berbasis keluarga

Paling sering digunakan untuk pemetaan mutasi penyebab penyakit dengan efek yang cukup kuat untuk menyebabkan pola pewarisan mendelian

Merupakan metode terbaik untuk menemukan varian dengan efek kecil yang berkontribusi terhadap penyakit kompleks

Page 28: Referat Mira

28

BAB V

POLIMORFISME GENETIK PADA ENDOMETRIOSIS

Endometriosis telah lama dianggap sebagai penyakit hormonal dikarenakan adanya

ketergantungan terhadap estrogen serta adanya penyimpangan pada produksi dan metabolisme

hormon tersebut. Selain itu endometriosis dipandang sebagai suatu penyakit imunologis oleh

karena ditemukannya sejumlah aberasi pada sistem imun. Paparan terhadap lingkungan sepeti

toksin dan polutan seperti dioksin diperkirakan mempengaruhi terjadinya endometriosis sehingga

endometriosis juga dianggap sebagai penyakit lingkungan. Akhir-akhir ini, endometriosis

dikategorikan sebagai penyakit genetik oleh karena adanya laporan mengenai pengelompokan

kejadian penyakit ini dalam keluarga meskipun hal ini juga masih diperdebatkan. Hingga kini

hanya sedikit kemajuan yang berhasil dicapai dalam identifikasi varian genetik yang merupakan

faktor predisposisi seorang wanita untuk terkena endometriosis (Guo, 2009)

Endometriosis merupakan penyakit poligenik dimana polimorfisme genetik yang

memberikan predisposisi terhadap penyakit dapat diidentifikasi melalui studi genetika. Dengan

identifikasi ini diharapkan bahwa patofisiologi endometriosis dapat lebih dipahami sehingga

menjanjikan kemungkinan untuk pengembangan suatu alat diagnostik maupun terapeutik (Guo,

2009).

Polimorfisme genetik diartikan sebagai keberadaan perbedaan susunan DNA antar

individu yang mengkode satu gen spesifik sehingga menyebabkan perbedaan fungsi dan atau

sifat morfologis. Pencarian terhadap polimorfisme yang rentan terhadap endometriosis

dipusatkan terutama pada gen yang terlibat dalam inflamasi; regulasi steroid seks; enzim

metabolik, biosintesis dan detoksifikasi; serta fungsi vaskuler dan remodeling jaringan seperti

yang diuraikan di bawah ini (Tempfer et al, 2009).

5.1. Gen Mediator Inflamasi

Endometriosis telah dianggap secara luas sebagai suatu proses inflamasi yang

berhubungan dengan perubahan jumlah dan fungsi sel imun serta peningkatan kadar sitokin

inflamasi. Pengamatan ini telah menuntun sejumlah peneliti untuk menguraikan efek

Page 29: Referat Mira

29

polimorfisme pada gen yang mengkode sitokin dan molekul lain yang terlibat dalam inflamasi

(Tempfer et al, 2009).

5.1.1. Sitokin

Pada wanita Taiwan, polimorfisme pada gen transforming growth faktor beta (TGF-β1),

reseptor interleukin-2 (IL-2), dan interleukin-10 (IL-10) telah dihubungkan dengan kerentanan

terhadap endometriosis (Juo et al, 2008). Sedangkan dua polimorfisme pada gen IL-10 pada

populasi wanita Jepang tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap kerentanan endometriosis.

Studi pada wanita Jepang, memperlihatkan bahwa polimorfisme gen interferon γ (IFN- γ)

memiliki efek terhadap kerentanan endometriosis, sementara gen yang mengkode interleukin lain

(IL-1β, IL-4, IL-6, dan IL-18) serta reseptor mereka (reseptor IL-1 dan reseptor β IL-12) tidak

menunjukkan suatu asosiasi yang konsisten. Sebuah studi juga mengungkap adanya kaitan

endometriosis dengan antagonis reseptor IL-1 pada wanita Cina (Falconer et al, 2007; Tempfer et

al, 2009).

Polimorfisme insulin-like growth factor II (IGF2) ditemukan tidak berhubungan dengan

endometriosis pada wanita Taiwan. Sementara polimorfisme gen TGF-β1 juga tidak memiliki

asosiasi terhadap deep infiltrating endometriosis pada wanita Belanda maupun terhadap stadium

lanjut endometriosis pada wanita Korea (Ju Kim et al, 2009; Tempfer et al, 2009).

Sejumlah kelompok juga telah melakukan investigasi kemungkinan hubungan antara

polimorfisme gen pada tumor necrosis factor (TNF) dengan peningkatan risiko endometriosis

dengan hasil bahwa polimorfisme gen TNF-α tampaknya tidak mempengaruhi risiko

endometriosis pada wanita Korea, Taiwan, maupun Kaukasia. Sebuah studi di Australia juga

mengungkapkan hasil yang serupa. Sementara suatu penelitian di Cina menunjukkan adanya

asosiasi antara endometriosis dengan polimorfisme gen TNF-β (Tempfer et al, 2009).

5.1.2. Nitrit oksida dan molekul adhesi

Peningkatan kadar molekul pro-inflamasi nitrit oksida (NO) telah ditemukan pada

sejumlah wanita dengan endometriosis. Endothelial NO synthase mengkatalisis pembentukan

NO dan polimorfisme gen NOS dikatakan berhubungan dengan kerentanan endometriosis.

Intercellular adhesion molecule-I (ICAM-I) diperkirakan memegang peran dalam interaksi antar

sel endometrium dan limfosit pada patogenesis endometriosis. Pada wanita Kaukasia,

polimorfisme gen ICAM-I mungkin mempengaruhi tingkat keparahan penyakit, namun tidak

Page 30: Referat Mira

30

memiliki pengaruh langsung terhadap kerentanan endometriosis pada populasi tersebut maupun

pada populasi wanita di Jepang (Vigano et al, 2003).

5.1.3. Human leukocyte antigens

Human leukocyte antigen (HLA) merupakan komponen kunci dari major

histocompatibility complex (MHC) yang terlibat dalam proses signaling sel imun seperti aktivasi

sel T. Gen HLA yang terlibat dalam MHC I (HLA-A dan HLA-B) serta MHC II (HLA-DPBI,

HLA-DQBI, dan HLA-DRBI) telah diteliti pada wanita dengan endometriosis. Studi pada wanita

Cina menemukan bahwa genotip HLA-B mempengaruhi kerentanan terhadap endometriosis,

namun hal ini tidak berlaku pada HLA-A. Pada wanita Jepang, kedua allel HLA-DRBI dan

HLA- DQBI telah dikaitkan dengan peningkatan risiko endometriosis sedangkan HLA-DPB1

tampaknya tidak menunjukkan pengaruh. Hasil sebaliknya ditemukan pada wanita Cina dan

Korea dimana allel HLA-DRB I tidak berhubungan dengan kerentanan endometriosis pada

populasi tersebut (Tempfer et al, 2009).

5.1.4. Ringkasan gen mediator inflamasi

Sampai saat ini belum ditemukan bukti adanya hubungan yang konsisten antara

endometriosis dengan polimorfisme spesifik gen yang mengkode mediator inflamasi. Sejumlah

polimorfisme ditemukan berhubungan dengan kejadian endometriosis pada populasi tertentu.

Meskipun demikian, asosiasi ini tidak dapat dikonfirmasi pada etnis lainnya, disebabkan karena

hanya ada satu studi saja yang meneliti polimorfisme tersebut atau karena studi lain tidak

melaporkan adanya asosiasi dengan endometriosis. Oleh karena itu, tak satupun polimorfisme

gen yang mengkode mediator inflamasi secara meyakinkan memegang peranan dalam

kerentanan terjadinya endometriosis (Tempfer et al, 2009).

5.2. Gen Regulator Hormon Seks

Endometriosis, adenomyosis, dan leiomyomata, yang berkembang pada wanita usia

reproduksi dan mengalami regresi setelah menopause atau ooforektomi, secara umum dianggap

tergantung pada estrogen. Investigasi terhadap polimorfisme gen yang mengkode hormon seks

dan regulator hormon telah mengungkapkan adanya kerentanan terhadap endometriosis

(Tempfer etal, 2009).

Page 31: Referat Mira

31

5.2.1. Reseptor estrogen

Pengaruh polimorfisme gen reseptor estrogen-α (ER-α) telah diteliti pada wanita

penderita endometriosis di Eropa dan Asia. Polimorfisme ini tidak berhubungan dengan

endometriosis pada populasi Korea namun tampaknya mempengaruhi kerentanan terhadap

endometriosis pada wanita Taiwan. Asosiasi antara polimorfisme tersebut dengan endometriosis

juga ditemukan pada wanita Yunani dan Italia (Georgiou et al, 1999) sedangkan studi pada

wanita Jerman dan Mesir menunjukkan bahwa polimorfisme berpengaruh terhadap tingkat

keparahan penyakit namun tidak pada kerentanannya. Pada wanita Jepang polimorfisme ini

menunjukkan asosiasi yang tidak jelas. Studi lain oleh kelompok di Austria tidak berhasil

menemukan adanya keterkaitan antara polimorfisme ER-α dengan endometriosis. Sementara itu,

polimorfisme gen ER-β dihubungkan dengan peningkatan risiko endometriosis stadium IV pada

wanita Jepang namun tidak ditemukan adanya pengaruh terhadap kerentanan penyakit pada

kelompok wanita Italia dan Korea (Tempfer et al, 2009).

5.2.2. Reseptor progesteron

Kelompok di Austria, Brazil, dan Italia telah membuktikan adanya hubungan antara

polimorfisme reseptor progesteron (PR), yang dikenal sebagai PROGIN, dengan kerentanan

endometriosis. Sementara studi pada wanita Belanda, India, dan Australia menunjukkan tidak

terdapat hubungan antara varian reseptor progesteron ini dengan kerentanan terhadap

endometriosis (Treloar et al, 2005; Tempfer et al, 2009).

5.2.3. Reseptor androgen

Pengulangan mikrosatelit CAG pada gen reseptor androgen (AR) yang terletak pada

kromosom X telah dihubungkan dengan peningkatan risiko kejadian myoma uteri sedangkan

pengulangan 21 CAG menunjukkan asosiasi dengan kerentanan endometriosis pada wanita

Taiwan. Meskipun demikian, asosiasi ini tidak terbukti pada populasi di Italia. Reseptor protein

140 yang meregulasi aktivitas reseptor estrogen dan progesteron sangatlah penting pada fertilitas

wanita dan polimorfisme pada gen yang mengkode protein ini telah dihubungkan dengan

kerentanan terhadap endometriosis pada wanita Spanyol (Falconer et al, 2007; Tempfer et al,

2009).

Page 32: Referat Mira

32

5.2.4. Ringkasan gen regulator hormon seks

Tidak terdapat bukti konsisten yang menghubungkan antara polimorfisme spesifik gen

yang mengkode protein yang terlibat dalam aktivitas hormon seks dengan endometriosis.

Sejumlah polimorfisme telah ditemukan terkait dengan endometriosis pada populasi tertentu,

namun asosiasi ini tidak dapat dikonfirmasi pada etnis lain bisa disebabkan karena hanya ada

satu studi yang meneliti polimorfisme tersebut atau karena studi lain yang mempelajari

polimorfisme tersebut tidak dapat membuktikan adanya asosiasi. Review sistematis dan meta-

analisis sejumlah studi yang meneliti biosistesis steroid seks dan reseptornya menunjukkan

hubungan yang tidak konsisten antara polimorfisme yang diteliti dengan endometriosis. Oleh

karena itu, tak satupun polimorfisme gen yang mengkode protein yang terlibat dalam aktivitas

hormon seks secara meyakinkan memegang peranan dalam kerentanan terjadinya endometriosis

(Tempfer et al, 2009).

5.3. Gen Enzim Metabolik

Sejumlah gen enzim metabolik yang terlibat dalam proses detoksifikasi, biosintesis

steroid seks dan reseptornya telah diteliti untuk mengetahui keterkaitannya dengan

endometriosis.

5.3.1. 17-β hydroxysteroid dehydrogenase tipe I (17-βHSDI)

Gen 17-BHSDI mengkode enzim kunci yang terlibat dalam biosintesis testosteron dan

metabolisme estrogen. Polimorfisme pada gen ini telah dihubungkan dengan peningkatan risiko

endometriosis pada wanita Jepang dan Austria (Tempfer et al, 2009).

5.3.2. Galactose-1-phosphate uridyl transferase (GALT)

Gen GALT berlokasi di kromosom 9, dan merupakan enzim yang terlibat dalam

metabolisme galaktosa dimana kelainan pada metabolisme zat ini telah dihubungkan dengan

agenesis vagina. Polimorfisme pada gen ini mengakibatkan penurunan aktivitas enzim GALT

dan menunjukkan adanya asosiasi dengan endometriosis pada populasi di AS. Meskipun

demikian, hal ini tidak dapat dikonfirmasi oleh studi berikutnya yang dilakukan pada populasi

Islandia, Inggris dan Cina (Di Blasio et al, 2007).

Page 33: Referat Mira

33

5.3.3. Enzim detoksifikasi

Enzim detoksifikasi terlibat dalam metabolisme obat, senyawa toksik, maupun

karsinogenik. Pada fase I, enzim CYP1AI (cytochrome P450, famili 1, subfamili A, polipeptida

I) dan CYP1B1 (cytochrome P450, famili 1, subfamili B, polipeptida I) melekatkan gugus

fungsional pada substrat yang didetoksifikasi, kemudian senyawa tersebut diubah oleh enzim

fase II, yakni family glutathione S transferase (GST), menjadi inaktif dan tidak lagi bersifat

toksik. Gen pengkode enzim yang terlibat dalam detoksifikasi telah diteliti karena ditemukannya

bukti pada tahun 1993 bahwa senyawa dioxin yang merupakan polutan lingkungan dapat

menginduksi terjadinya endometriosis pada primata rhesus (Barlow and Kennedy, 2005; Di

Blassio et al, 2007).

Gen CYP1AI dan CYP1BI mengkode enzim detoksifikasi fase I yang terlibat dalam

metabolisme estrogen. Studi pada populasi di Austria, India, Cina, Jepang, dan Taiwan

menemukan tidak adanya hubungan antara polimorfisme gen CYP1AI dengan kerentanan

terhadap endometriosis (Guo, 2006). Namun, studi di Yunani dan Inggris menunjukkan bahwa

polimorfisme tersebut mungkin mempengaruhi terjadinya endometriosis jika bergabung dengan

varian delesi gen GSTMI. Sebuah kelompok di Austria yang meneliti polimorfisme gen CYP1BI

tidak dapat menemukan adanya hubungan dengan endometriosis. Sedangkan studi di Korea

menunjukkan bahwa polimorfisme pada CYP1BI tidak terkait dengan endometriosis stadium

lanjut. Polimorfisme pada gen lain yang berperan dalam metabolisme estrogen (catechol-O-

methyl-transferase, COMT) atau detoksifikasi fase I (myeloperoksidase) juga telah diteliti

namun gagal menunjukkan efek terhadap kerentanan terjadinya endometriosis (Tempfer et al,

2009).

Sejumlah penelitian telah dilakukan terhadap gen CYP17 dan CYP19 yang mengkode

cytochrome P450 yang memegang peranan penting dalam biosintesis steroid dimana

polimorfisme pada gen ini dapat mempengaruhi kadar estrogen dalam sirkulasi. Studi pada

wanita Taiwan menunjukkan kemungkinan hubungan antara polimorfisme pada gen CYP17

dengan kerentanan endometriosis meskipun asosiasi ini tidak ditemukan pada studi populasi di

Inggris, Brazil, Austria, maupun Jepang. Polimorfisme gen CYP19 dapat meningkatkan risiko

kejadian endometriosis pada wanita Yunani namun pada wanita Jepang polimorfisme ini

Page 34: Referat Mira

34

menunjukkan kaitan yang lemah dengan endometriosis (Di Blasio et al, 2007; Tempfer et al,

2009).

Gen glutathione-S-transferase MI, TI, PI (GSTM I, GSTT I, GSTP I) serta N-Acetyl

transferase 1 dan 2 (NAT1, NAT2) mengkode enzim yang terlibat dalam detoksifikasi fase II.

Polimorfisme gen tersebut diduga memiliki peranan pada kejadian endometriosis dan sejumlah

kanker karena varian allel gen ini dapat menyebabkan gangguan fungsi detoksifikasi yang

meningkatkan risiko perubahan genetik. Delesi nol pada gen GSTM I telah dihubungkan dengan

peningkatan risiko endometriosis pada wanita Perancis (Baranova et al, 1997), Rusia, India,

Cina, dan Taiwan. Namun delesi ini tidak mempengaruhi kerentanan terhadap endometriosis

pada studi populasi di Korea, Jepang, Inggris (Hadfield et al, 2001), dan Australia, meskipun

studi di Australia menunjukkan adanya predisposisi lesi endometrium untuk menjadi ganas.

Polimorfisme pada gen GSTP I juga dihubungkan dengan peningkatan risiko endometriosis pada

wanita Turki namun tampaknya tidak memiliki efek pada kerentanan wanita Korea. Studi yang

dilakukan di Yunani, Perancis, India, Inggris, dan Jepang menunjukkan tidak adanya kaitan

antara varian delesi nol gen GSTT I dengan kerentanan terhadap endometriosis. Sejumlah studi

telah menginvestigasi asosiasi antara polimorfisme NAT 2 dengan endometriosis namun hasil

yang diperoleh bertolak belakang. Studi di Jepang dan India menunjukkan tidak adanya

hubungan antara polimorfisme NAT2 dengan endometriosis, sementara sebuah studi yang

meneliti polimorfisme NAT1 juga tidak menemukan hubungan antara polimorfisme gen tersebut

dengan kerentanan endometriosis (Guo, 2005; Falconer et al, 2007; Tempfer et al, 2009).

Arylhydrocarbon reseptor (AHR) dan AHR nuclear translocator (ARNT) adalah faktor

transkripsi yang menyebabkan ekspresi sejumlah gen pengkode enzim metabolik (termasuk CYP

IAI dan GST). Aksi AHR ditekan oleh AHR repressor (AHRR). Pada wanita Jepang,

polimorfisme gen AHRR menunjukkkan kerentanan terhadap kejadian endometriosis maupun

keparahannya, namun polimorfisme pada gen AHR dan ARNT tidak memiliki efek serupa. Pada

studi wanita Korea, polimorfisme gen AHRR yang disertai delesi nol GSTT I memiliki kaitan

dengan risiko endometriosis (Falconer et al, 2007; Tempfer et al, 2009).

5.3.4. Ringkasan gen enzim metabolik

Bukti kuat yang menghubungkan polimorfisme spesifik dengan endometriosis berasal

dari studi yang menginvestigasi enzim detoksifikasi fase II yakni varian delesi nol GSTT I.

Page 35: Referat Mira

35

Review sistematik dan meta-analisis varian GSTM I dan GSTT I menunjukkan asosiasi yang

konsisten antara polimorfisme GSTT I dan endometriosis dimana terdapat peningkatan risiko

endometriosis sebanyak 29% pada pembawa delesi nol GSTT I. Sebagai tambahan, sejumlah

polimorfisme juga dikaitkan dengan endometriosis pada populasi tertentu misalnya 17BHSDI,

CYPIAI, NAT 2, CYP17AI, CYP19AI dan AHRR. Asosiasi ini tetap saja belum terkonfirmasi

lintas etnis bisa dikarenakan hanya satu studi saja yang tersedia ataupun karena studi lain yang

meneliti polimorfisme tersebut ternyata gagal menemukan adanya asosiasi yang dimaksudkan

(Tempfer et al, 2009).

5.4. Gen Pengatur Fungsi Vaskuler dan Remodeling Jaringan

Endometriosis menampakkan sebagian karekteristik yang menyerupai sel ganas seperti

adanya neovaskularisasi dan invasi lokal sehingga polimorfisme sejumlah gen yang terlibat

dalam pertumbuhan vaskuler dan seluler telah diteliti kemungkinan peranannya dalam

endometriosis (Falconer et al, 2007).

5.4.1. Vascular endothelial growth factor, epidermal growth factor receptor, dan endostatin

Vascular endothelial growth factor (VEGF) memperantarai permeabilitas vaskuler dan

angiogenesis yang telah diketahui merupakan molekul kunci pada patogenesis endometriosis.

Tiga polimorfisme gen VEGF telah diteliti dimana polimorfisme ini ternyata memiliki hubungan

dengan kerentanan endometriosis pada wanita India Selatan dan dengan kerentanan terhadap

endometriosis stadium lanjut pada wanita Korea. Polimorfisme VEGF yang lain tampaknya tidak

mempengaruhi kerentanan endometriosis pada kedua populasi ini. Polimorfisme endostatin

ternyata tidak mempunyai keterkaitan dengan endometriosis pada wanita Korea. Epidermal

growth factor reseptor (EGFR) merupakan molekul lain yang yang terlibat dalam angiogenesis

dimana varian allel ini telah dikaitkan dengan risiko endometriosis pada wanita Taiwan (Kim et

al, 2008; Tempfer et al, 2009).

5.4.2. Angiotensin-I-converting enzyme

Angiotensin-I-converting enzyme (ACE) mengkatalisis perubahan angiotensin I ke

angiotensin II yang merupakan vasokonstriktor poten. Tiga polimorfisme pada gen pengkode

enzim ini telah diteliti pada wanita Taiwan dengan endometriosis dimana ketiganya memiliki

kaitan dengan kerentanan endometriosis pada populasi ini (Tempfer et al, 2009).

Page 36: Referat Mira

36

5.4.3. Matrix Metalloproteinase

Matrix Metalloproteinase (MMP) diperkirakan terlibat dalam invasi jaringan yang terjadi

selama pembentukan lesi endometriosis. Polimorfisme pada gen MMP1, MMP3, MMP7 dan

MMP9 telah diteliti pada penderita endometriosis di Cina. Polimorfisme pada gen MMP1 dan

MMP7 dikaitkan dengan peningkatan risiko endometriosis sementara polimorfisme pada gen

MMP3 tampaknya tidak mempengaruhi kerentanan terhadap endometriosis, begitu pula dengan

polimorfisme pada MMP9. Suatu studi di Italia tidak menemukan adanya hubungan antara

polimorfisme gen MMP1 atau MMP3 terhadap kerentanan endometriosis (Tempfer et al, 2009).

5.4.4. α2-HS glycoprotein, plasminogen activator inhibitor-I

α2-HS glycoprotein (AHSG) diduga berperan terhadap perkembangan jaringan, dan

polimorfisme pada gen ini telah dikaitkan dengan kerentanan terjadinya endometriosis pada

wanita Korea. Polimorfisme gen plasminogen activator inhibitor-I (PAI-I), yang secara umum

berhubungan dengan hipofibrinolisis, telah diteliti pada 75 wanita dengan endometriosis yang

terkonfirmasi secara laparoskopik serta 43 kontrol dimana polimorfisme ini tampaknya memiliki

kaitan dengan endometriosis (Tempfer et al, 2009).

5.4.5. Ringkasan gen pengatur fungsi vaskuler dan remodeling jaringan

Hingga saat ini belum terdapat bukti konsisten yang mengkaitkan protein yang terlibat

dalam fungsi vaskuler dan remodeling jaringan dengan endometriosis. Sejumlah polimorfisme

memiliki hubungan dengan endometriosis pada populasi tertentu namun asosiasi ini belum dapat

terkonfirmasi lintas etnis dikarenakan hanya satu studi saja yang tersedia ataupun studi lain yang

meneliti polimorfisme tersebut ternyata tidak menemukan adanya asosiasi yang dimaksudkan.

Tidak ditemukannya publikasi meta-analisis polimorfisme gen pengatur fungsi vaskuler dan

remodeling jaringan membuat tidak satupun polimorfisme gen tersebut tampaknya memegang

peranan dalam kerentanan terhadap endometriosis (Tempfer et al, 2009).

5.5. Gen Lain Terkait Endometriosis

Gen yang terlibat dalam transduksi sinyal (STAT6), transformasi keganasan (TP53, P21,

KRAS, BRAF), apoptosis (FAS, FASLG) telah diinvestigasi sehubungan dengan perannya pada

kerentanan endometriosis namun tidak ditemukan suatu asosiasi yang konsisten. Dua

pengecualian polimorfisme adalah STAT6 dan GALT yang berhubungan dengan endometriosis

Page 37: Referat Mira

37

pada wanita India dan Amerika Serikat. Studi di Australia pada 22 polimorfisme gen EMX2 dan

15 polimorfisme gen PTEN menemukan tidak adanya keterkaitan dengan endometriosis. Secara

ringkas, bukti yang mengaitkan antara endometriosis dengan polimorfisme pada STAT 6, TP53,

P21, FAS, FASLG, EMX2 PTEN, dan GALT tidak dapat dikonfirmasi secara konsisten.

Meskipun sejumlah studi menunjukkan ketiadaan bukti asosiasi yang konsisten antara

polimorfisme spesifik dengan endometriosis namun hal ini tidak menyingkirkan fakta bahwa gen

tersebut secara umum ataupun polimorfisme lain gen tersebut secara khusus kemungkinan

terlibat dalam etiologi dan patogenesis endometriosis (Tempfer et al, 2009).

Page 38: Referat Mira

38

BAB VI

WAWASAN DAN PENGEMBANGAN

POLIMORFISME GENETIK ENDOMETRIOSIS

DI MASA DEPAN

Endometriosis memberikan tantangan tersendiri yang sulit dipenuhi oleh riset biomedik

maupun praktik klinik. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain: (1) sedikitnya

pengetahuan tentang biologi sel dan patofisiologi endometriosis, (2) sulitnya mengukur

perjalanan alami penyakit dan kemajuannnya, (3) tidak tersedianya tes diagnostik noninvasif

sehingga menyulitkan penilaian prevalensi pada populasi secara akurat, (4) inspeksi pelvis secara

laparoskopik sebagai baku emas diagnosis memerlukan tingkat pengetahuan dan kecakapan yang

tinggi untuk menilai tipe dan penampakan lesi, serta (5) pilihan terapi medis yang tersedia untk

tatalaksana jangka panjang kurang memberi hasil yang memuaskan. Dengan demikian, tantangan

endometriosis terletak pada setiap tingkat dari pelayanan kesehatan yakni pencegahan, skrining

dan diagnosis, maupun pengobatan. Meski endometriosis merupakan penyakit yang umum

dijumpai dengan dampak yang sangat besar pada penurunan kualitas hidup seorang wanita

namun kemajuan dalam hal pengembangan strategi diagnosis maupun terapi seperti yang terjadi

pada penyakit lain tidak berlaku untuk endometriosis. Alasan utama kemajuan yang relatif

minimal ini tidak diragukan lagi adalah kesulitan untuk mendapatkan dana riset bagi penyakit

yang tampaknya tidak menjadi prioritas karena tidak mengancam jiwa meskipun terkait dengan

morbiditas tertentu (Barlow and Kennedy, 2005).

6.1. Implikasi Klinis Genetika Penyakit

Pendekatan diagnosis dan manajemen klinis penyakit secara tradisional berfokus pada

tanda dan gejala penderita, riwayat medis dan keluarga, serta data laboratorium dan evaluasi

pencitraan untuk mendiagnosis dan mengobati penyakit. Kemajuan terkini pada genetika medis

dan genetika manusia telah membawa pemahaman yang lebih mendetail pada pengaruh genetik

terhadap penyakit. Proyek riset kolaborasi berskala besar (misal, Human Genome Project) telah

meletakkan dasar bagi pemahaman peranan gen pada perkembagan dan fisiologi manusia,

Page 39: Referat Mira

39

mengungkapkan SNP yang yang bertanggung jawab terhadap variabilitas genetik antar individu,

serta memungkinkan penggunaan genome-wide association studies untuk memeriksa variasi

genetik dan risiko bagi penyakit yang umum dijumpai (Lesko, 2007).

6.1.1 Personalized medicine

Penemuan polimorfisme genetik pada endometriosis akan menuntun kita pada wawasan

baru yang disebut sebagai “personalized medicine”. Pada 1999, Robert Langreth dan Michael

Waldholz mengumumkan “New Era of Personalized Medicine” pada jurnal Wall Street yang

menjanjikan obat target bagi tiap profil genetik yang unik (targeting drugs for each unique

genetik profile). “Personalized medicine” didefinisikan sebagai penerapan data genomik dan

molekuler untuk pelayanan kesehatan yang lebih baik, fasilitasi penemuan dan uji klinis terapi

baru, serta membantu menentukan predisposisi seseorang terhadap penyakit atau kondisi

tertentu. Secara tradisional, kebanyakan praktik medis bersandar pada standar pelayanan

berdasarkan data epidemiologis studi kohort. Pendekatan secara evidence-based medicine ini tak

dipungkiri telah merevolusi dunia kedokteran selama 50 tahun terakhir. Meskipun demikian,

hasil dari studi berbasis populasi besar ternyata tidak selalu dapat diterapkan pada setiap orang

dan dokter seharusnya mempertimbangkan karakteristik spesifik seperti usia, jenis kelamin,

tinggi dan berat badan, diet serta lingkungan saat mengevaluasi penderita secara individual

(Lesko, 2007).

Penemuan terkini dalam teknologi molekuler di antaranya studi genetika telah

menyebabkan perkembangan personalized medicine. Konsep yang melatarbelakangi

personalized medicine adalah bahwa informasi tentang DNA penderita, profil gen, atau profil

metabolit dapat digunakan untuk menyesuaikan pengobatan medis sesuai kebutuhan individu.

Kunci dari semua ini adalah pengembangan metode diagnostik yang terkait sedangkan

pengukuran molekuler spesifik dari kadar protein atau gen akan digunakan untuk

mengelompokkan status penyakit, memilih pengobatan yang sesuai dengan dosis yang

disesuaikan pula, memberikan terapi spesifik untuk kondisi individu tertentu atau memulai

srtategi pencegahan yang ditujukan pada individu yang berisiko tinggi (Lesko, 2007).

Onkologi merupakan bidang yang saat ini paling merasakan dampak dari personalized

medicine. Bidang ini telah lama memiliki sejarah pengklasifikasian stadium dan subtipe tumor

berdasar penemuan anatomis dan patologis termasuk di antaranya pemeriksaan histologi

Page 40: Referat Mira

40

spesimen tumor (misal HER2/NEU pada kanker payudara) untuk mencari petanda yang

berhubungan dengan prognosis dan kemungkinan respon terhadap terapi. Wanita penderita

kanker payudara dengan ekspresi protein human epidermal growth factor 2 (HER2) yang

berlebihan memiliki respon yang baik terhadap terapi Herceptin, yakni antibodi monoklonal

trastuzumab yang secara spesifik memang ditargetkan terhadap protein HER2 sel tumor. Selain

itu dengan ditemukannya trastuzumab, dikembangkan pula tes diagnostik pendamping (tes

farmakodiagnostik) yang berperan dalam startifikasi terapi yakni Herceptest, yaitu suatu

pengukuran imunohistokimia untuk protein HER2 (Lesko, 2007).

Metode tes molekuler terbaru memungkinkan perluasan pendekatan ini untuk pengujian

gen, protein, dan profil ekspresi aktivasi jalur protein dan atau mutasi somatik pada sel kanker

penderita dengan tujuan menentukan prognosis dan menyarankan pilihan terapi yang

kemungkinan keberhasilannya paling besar Pada tatalaksana kanker secara personal

(personalized cancer management), beberapa contoh tes diagnosis pelengkap sekarang ini

diperlukan sebelum memulai terapi termasuk pengukuran erbB2 dan protein EGFR bagi

penderita kanker payudara, paru-paru, dan kolorektal untuk target terapi yang spesifik. Contoh

lainnya adalah tes mutasi penyebab penyakit pada gen BRCA1 dan BRCA2 yang terlibat dalam

sindrom kanker ovarium dan payudara familial. Penemuan mutasi ini dalam keluarga dapat

memberikan informasi individu mana yang berisiko tinggi terhadap kanker sehingga dapat

dilakukan terapi profilaktik terindividualisasi seperti mastektomi dan pengangkatan ovarium.

Meskipun tentu saja, tes semacam ini melibatkan keputusan pribadi yang sangat rumit dan

sebelumnya harus dilakukan konseling genetik secara detail (Lesko, 2007).

Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan personalized medicine, informasi

molekuler jaringan dapat dikombinasikan dengan riwayat kesehatan individu secara pribadi,

riwayat keluarga, data dari pencitraan, dan hasil tes laboratorium lainnya untuk mengembangkan

terapi yang terindividualisasi (Lesko, 2007).

6.1.2. Stratified medicine

Stratified medicine merupakan tatalaksana penderita yang dikelompokkan menurut

kesamaan karakteristik biologis menggunakan tes diagnostik molekuler yang bertujuan untuk

menentukan terapi yang paling optimal sehingga menghasilkan luaran medis sebaik mungkin

pada kelompok tersebut. Meskipun era personalized medicine baru dimulai sekitar tahun 1990-

Page 41: Referat Mira

41

an, namun kenyataannya langkah pertama untuk farmakoterapi yang lebih terindividualisasi telah

dimulai beberapa dekade sebelumnya. Penemuan reseptor estrogen pada 1960-an dan pengenalan

anti-estrogen tamoxifen pada 1970-an telah mempersiapkan kita pada terapi penderita kanker

payudara secara individual. Pengujian status reseptor hormone ini menjadi faktor stratifikasi

penting untuk terapi anti-estrogen (Jorgensen and Winther, 2009).

Persepsi umum mengenai personalized medicine adalah kombinasi target yang

teridentifikasi pada individu dan obat yang diarahkan kepada target tersebut dimana terapi secara

menyeluruh disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan unik penderita secara individual

berdasarkan profil diagnostic molekuler lengkap. Istilah stratified medicine yang dianjurkan

digunakan oleh beberapa pengarang, di sisi lain menggunakan tes molekuler tersebut untuk

menstratifikasi penderita dengan karakteristik biologis yang sama untuk mendapatkan terapi

yang paling optimal, bahkan hanya dengan menggunakan satu atau beberapa petanda molekuler

(Jorgensen and Winther, 2009).

Filosofi dibalik personalized medicine adalah bahwa tiap pasien memiliki karakter

biologis dan patofisiologis yang unik yang direfleksikan dalam pemilihan farmakoterapi untuk

peningkatan keberhasilan terapi. Penerapan personalized medicine merupakan suatu proses anak

tangga dimana stratifikasi penderita ke dalam subkelompok biologis merupakan langkah penting

yang pertama. Di sini, obat-obatan dan tes farmakodiagnostik berhubungan sangat erat satu sama

lain untuk stratifikasi penderita terhadap pilihan terapi yang paling optimal. Contoh yang jelas

dari stratified medicine adalah pengelompokan penderita kanker payudara berdasarkan

karakteristik biologis seperti reseptor estrogen atau ekspresi berlebihan HER2 sehingga dapat

diterapi dengan anti-estrogen atau inhibitor HER2 (Jorgensen and Winther, 2009).

5.2. Wawasan Genetika Endometriosis dan Pengembangannya

Sepanjang sejarah, industri farmasi telah mengembangkan obat-obatan berdasarkan

pengamatan empiris dan, akhir-akhir ini sesuai mekanisme penyakit yang diketahui. Sebagai

contoh, antibiotik dibuat berdasarkan observasi bahwa mikroba menghasilkan produk yang

menghambat spesies mikroba lain. Obat yang menurunkan tekanan darah dirancang untuk

bekerja pada jalur mekanisme tertentu yang yang terlibat pada hipertensi (misal pada penyerapan

air dan garam di ginjal, kontraktilitas pembuluh darah, dan isi sekuncup jantung). Obat-obatan

Page 42: Referat Mira

42

untuk hiperkolesterol bekerja pada absorbsi, metabolisme, dan produksi kolesterol. Terapi untuk

diabetes ditujukan pada perbaikan pelepasan insulin dari pancreas serta peningkatan sensitivitas

otot dan jaringan lemak terhadap kerja insulin. Hal tersebut semua menunjukkan bahwa obat-

obatan dikembangkan berdasar mekanisme penyakit yang telah dipelajari secara luas selama

abad terakhir ini. Kemajuan terkini pada etiologi genetik dari penyakit umum tampaknya akan

meningkatkan perkembangan di bidang farmasi sehingga personalized medicine dalam berbagai

cara merupakan perluasan kedokteran klinis tradisional dengan memanfaatkan hasil penemuan

riset genetik (Lesko, 2007).

Bidang riset yang beristilah “-omics” (genomics, proteomics, dan metabolomics)

memepelajari kontribusi gen, protein, dan jalur metabolik fisiologi manusia dan variasinya yang

akan mengarah pada kerentanan penyakit. Riset di bidang tersebut diharapkan dapat memberikan

pendekatan baru terhadap diagnosis, pengembangan obat, dan terapi terindividualisasi (Lesko,

2007).

Farmakogenetik (juga disebut sebagai farmakogenomik) merupakan bidang ilmu yang

memeriksa dampak variasi genetik pada respon pengobatan. Pendekatan secara genetik ini

ditujukan untuk penyesuaian terapi obat pada dosis yang paling tepat bagi pasien secara

individual dengan maksud untuk meningkatkan efikasi dan keamanan pengobatan. Selain itu,

riset genetik juga diharapkan mampu meningkatkan kecepatan penemuan obat- obatan baru yang

bermanfaat bagi penyakit. Contoh farmakogenetik antara lain: (1) Genotyping SNP pada gen

yang terlibat dalam kerja dan metabolism warfarin (Coumadin). Warfarin digunakan secara

klinis sebagai antikoagulan namun diperlukan pemantauan periodik dan dihubungkan dengan

luaran yang berbahaya. Dewasa ini, penemuan varian genetik gen pengkode enzim cytochrome

P450 CYP2C9 yang memetabolisme warfarin serta gen Vitamin K epoxide reductase (VKORC1)

yang merupakan target kerja warfarin telah menuntun pada tersedianya secara komersial tes

penentuan dosis berdasar algoritma yang memperhitungkan usia, jenis kelamin, berat badan, dan

genotip individu, (2) Genotyping varian gen pengkode enzim cytochrome P450 yang

memetabolisme obat neuroleptik untuk memperbaiki respon terhadap obat dan mengurangi efek

samping (Lesko, 2007).

Efikasi pengobatan wanita dengan endometriosis dinilai berdasarkan pengukuran

terhadap nyeri dan infertilitas. Modalitas terapi yang ada saat ini meliputi medis, pembedahan,

Page 43: Referat Mira

43

atau kombinasi keduanya, dimana pembedahan merupakan terapi pilihan. Meskipun demikian,

risiko kekambuhan setelah pembedahan tetaplah tinggi yakni 7-30% penderita melaporkan

adanya kekambuhan 3 tahun setelah operasi laparoskopi. Risiko ini meningkat menjadi 40-50%

setelah 5 tahun. Pembedahan yang berulang pada endometriosis ini berakibat pada peningkatan

morbiditas dan mortalitas, biaya perawatan kesehatan yang tinggi, dan kerusakan pada cadangan

ovarium. Risiko pembedahan ulang juga memberikan tantangan yang serius pada tatalaksana

endometriosis secara efektif. Oleh karena itu, terapi medis non-pembedahan sangatlah diperlukan

(Guo, 2009).

Terapi medis non-pembedahan dapat digunakan baik sebagai terapi lini pertama pada

endometriosis maupun dapat dipakai bersama-sama pada penderita yang mengalami pembedahan

sebagai terapi terhadap nyeri. Terapi medis endometriosis sampai sejauh ini difokuskan pada

perubahan hormonal siklus menstruasi untuk menciptakan keadaan hamil semu (pseudo-

pregnancy), menopause semu (pseudo-menopause) atau anovulasi kronik yang menyebabkan

lingkungan hipoestrogenik dan asiklik. Hal ini dapat dicapai baik melalui hambatan sekresi

estrogen ovarium [GnRH agonis (GnRH-a)], induksi kehamilan semu (progestin), atau hambatan

stimulasi estrogen secara lokal pada endometrium ektopik (progestin, progestin androgenik).

Meskipun terapi hormonal ini memiliki efektivitas lebih kurang sama dalam menghilangkan

nyeri, efek ini tampaknya hanya berlangsung dalam jangkapendek. Kurangnya efikasi jangka

panjang terapi medis untuk nyeri pelvik terkait endometriosis serta adanya kebutuhan untuk

meminimalkan risiko kekambuhan maupun subfertilitas maka penemuan terapi medis yang baru

dengan efek samping yang lebih dapat ditoleransi serta terjangkau (Guo, 2009).

Stimulus utama penggunaan teknologi genetik molekuler adalah kebutuhan untuk

mengembangkan pilihan terapi baru. Terapi obat yang ada saat ini belum dapat memenuhi

kriteria ideal karena (1) hanya efektif selama pemberian namun tidak memberikan efek konsisten

jangka panjang, (2) cenderung hanya menekan penyakit namun tidak menghilangkannya,dan (3)

adanya efek samping yang signifikan pada beberapa wanita. Dimungkinkan juga untuk membuat

terapi lebih baik dengan melihat respon sekelompok penderita (Barlow and Kennedy, 2005).

Hingga saat ini, pengembangan inhibitor aromatase pada endometriosis merupakan

contoh terbaik terapi baru yang potensial. Aplikasi ini didasarkan atas fakta bahwa aromatase

diekspresikan secara menyimpang pada jaringan endometriosis. Aromatase mengkatalisis

Page 44: Referat Mira

44

biosisntesis estrogen dan diekspresikan pada berbagai jaringan, termasuk sel granulose folikel

ovarium dan jaringan lemak (adiposa), namun tidak pada endometrium. Jaringan endometriosis

memiliki kadar messenger RNA (mRNA) aromatase yang tinggi. PGE2 menstimulasi aktivitas

aromatase pada lini sel endometriosis dan berakibat pada produksi estrogen lokal yang kemudian

menginduksi pembentukan PGE2 sehingga tercipta suatu lingkaran umpan balik yang positif.

Sebaliknya, ekspresi 17BHSD2, yang menginaktivasi perubahan estradiol menuju estron,

berkurang pada jaringan endometriosis. Kombinasi mekanisme ini menyebabkan akumulasi lokal

estradiol dan PGE2 yang memicu pertumbuhan jaringan endometriosis. Hal tersebut

menunjukkan bahwa penggunaan inhibitor aromatase merupakan strategi yang bermanfaat dalam

tatalaksana endometriosis. Bukti pendukung dari hewan coba menunjukkan efek perbaikan lesi

endometriosis pada pengobatan dengan YM511 dan fadrozole yang keduanya merupakan

inhibitor aromatase yang baru. Informasi klinis saat ini masih terbatas, namun ada laporan kasus

yang menyebutkan perbaikan gejala dan regresi lesi endometriosis vagina pada wanita gemuk

pasca menopause yang diterapi dengan inhibitor aromatase anastrazole selama 9 bulan, Efek

yang didapat mungkin disebabkan karena penekanan secara umum pada aktivitas aromatase di

jaringan adiposa ataupun karena hambatan ekspresi aromatase lokal pada lesi endometriosis itu

sendiri. Meskipun demikian, pemakaian terapi ini mungkin terbatas dikarenakan terdapat

pengurangan densitas mineral tulang sebanyak 6,2% meskipun telah ditambahkan penggunaan

alendronate dan kalsium. Akhir-akhir ini, dalam uji kontrol acak, penggunaanan astrazole plus

GnRHa sebanding dengan penggunaan GnRHa saja selama 6 bulan terapi. Anastrazole dan

GnRHa memperpanjang interval bebas nyeri dan mengurangi gejala kekambuhan setelah

pembedahan pada endometriosis berat (Barlow and Kennedy, 2005).

Riset polimorfisme genetik seperti yang telah diuraikan sebelumnya haruslah dapat

menuntun kita pada pemahaman yang lebih jelas dari dasar seluler maupun molekuler

endometriosis. Penemuan gen yang merupakan faktor predisposisi seorang wanita untuk terkena

endometriosis serta identifikasi interaksinya dengan lingkungan diharapkan dapat memberikan

dampak pada tatalaksana klinis penyakit ini. Dari pengetahuan genetika tersebut maka wanita

yang memiliki hasil tes positif kerentanan genetik endometriosis yang positif dapat disarankan

untuk menghindari faktor risiko lingkungan dan untuk memiliki anak sesegera mungkin (Barlow

and Kennedy, 2005).

Page 45: Referat Mira

45

Tujuan jangka panjang studi genetika endometriosis adalah kemampuan mengidentifikasi

determinan genetik yang berkontribusi terhadap ekspresi fenotip berbeda pada penyakit ini.

Desain obat akan diarahkan pada terapi subset penyakit yang didasarkan pada pemeriksaan

genotip. Sistem klasifikasi baru berdasar informasi genetik tentang penderita individual

diharapkan dapat diarahkan menuju pengembangan obat yang dapat memberikan hasil terapi

yang efektif dengan sedikit efek samping (Barlow and Kennedy, 2005).

Terdapat sejumlah bukti yang mendukung adanya kontribusi genetik terhadap risiko

terjadinya endometriosis. Studi pemetaan genetik memberikan alternatif penting selain studi

biologis untuk menentukan jalur dan mekanisme yang mengarah kepada pathogenesis penyakit.

Meskipun demikian, endometriosis tetaplah suatu penyakit yang kompleks. Bukti teoritis

maupun empiris keduanya menunjukkan bahwa banyak gen atau varian dengan efek yang kecil

kemungkinan terlibat dalam risiko genetik. Sebagai konsekuensinya, diperlukan suatu studi yang

terdesain dengan baik. Teknologi yang tersedia telah mampu menemukan gen yang merupakan

predisposisi terhadap endometriosis. Kelompok peneliti endometriosis harus bekerjasama

mendanai studi GWA yang diperlukan serta melakukan studi replikasi pada ribuan kasus dan

control. Bukti yang meyakinkan adanya gen yang berasosiasi dengan endometrosis akan

memberikan titik awal bagi studi biologis maupun fungsional untuk mengembangkan diagnosis

dan terapi yang lebih baik untuk penyakit ini (Montgomery et al, 2008).

Page 46: Referat Mira

46

BAB VII

RINGKASAN

Endometriosis yang ditandai dengan keberadaan jaringan menyerupai endometrium di

luar rongga rahim ditengarai merupakan penyakit hormonal, imunologis, dan lingkungan.

Hingga saat ini etiopatogenesis maupun patofisiologi dari endometriosis belum diketahui

sepenuhnya meskipun sejumlah studi telah menunjukkan bukti adanya kontribusi genetik

terhadap terjadinya penyakit ini.

Endometriosis merupakan penyakit poligenik dimana polimorfisme genetik yang

merupakan predisposisi terhadap penyakit dapat diidentifikasi melalui studi genetika. Pencarian

terhadap polimorfisme yang rentan terhadap endometriosis dipusatkan terutama pada gen yang

terlibat dalam inflamasi; regulasi steroid seks; enzim metabolik, biosintesis dan detoksifikasi;

serta fungsi vaskuler dan remodeling jaringan. Meskipun hingga saat ini sejumlah studi genetika

belum berhasil menemukan adanya asosiasi yang konsisten antara polimorfisme gen dengan

endometriosis namun sejumlah studi dengan desain penelitian yang lebih baik terus diupayakan

untuk mencari gen yang terkait dengan endometriosis. Dengan identifikasi gen tersebut

diharapkan bahwa jalur dan mekanisme yang mengarah pada endometriosis akan lebih dipahami

sehingga dapat memberikan dampak positif pada tatalaksana klinis penyakit ini baik untuk

pencegahan penyakit pada individu yang berisiko, pengembangan sarana diagnostik maupun

pemberian terapi yang efektif dan aman.

Page 47: Referat Mira

47

DAFTAR PUSTAKA

Baranova, H., Bothorishvilli, R., Canis, M., Albuisson, E., Perriot, S., Glowaczower, E., Bruhat, M.A., Baranov, V. and Malet, P. 1997, ‘Glutathione S-transferase M1 gene polymorphism and susceptibility to endometriosis in a French population’, Mol Hum Reprod 3(9): 775-780.

Barlow, D.H. and Kennedy, S. 2005, ‘Endometriosis: New genetic approaches and therapy’, Annu Rev Med 56: 345-356.

Bulun, S. E. 2009, ‘Mechanism of disease endometriosis’, N Engl J Med 360: 268-279.

Daftary, G.S. and Taylor, H.S. 2004, ‘EMX2 gene expression in the female reproductive tract and aberrant expression in the endometrium of patients with endometriosis’, J Clin Endocrin & Metabolism 89(5): 2390-2396

D’hooghe, T. M., Hill, J. A. 2007, Endometriosis in “Berek and Novak’s Gynecology’, 14th

edition, Ed Berek, J.S., Lippincott Williams & Wilkins, California.

D’hooghe, T. M., Vodolazkala, A., Kyama, C., Mwenda, J.M. and Simoens, S. 2008, ‘THealth economics of endometriosis’ in Endometriosis 2008, 1st edition, Ed Rombauts, L., Blackwell publishing, Victoria.

Di, W. and Guo, S.W. 2007, ‘The search for genetic variants predisposing women to endometriosis’, Curr Opin Obstet Gynecol 95: 395-401.

Di Blasio, A.M., Somigliana, E. and Vigano, P. 2007, ‘Genetic factors related to endometriosis: present and future’, Expert Rev Obstet Gynecol 2(6): 791-801.

Eskenazi, B., Warner, ML., 1997. ‘Epidemiology of endometriosis’, Obstet Gynecol Clin N Am, 24: 235-238.

Falconer, H., D’Hooghe, T. and Fried, G. 2007, ‘Endometriosis and genetic polymorphism’, Obstet Gynecol Survey 62(9).

Georgiou, I., Syrrou, M., Bouba, I., Dalkalitsis, N., Paschopoulos, M., Navrozoglou, I. andLolis, D. 1999, ‘Association of estrogen receptor gene polymorphisms with endometriosis’, Fertil Steril 72 (1): 164-166.

Guo, S.W. 2005, ‘Glutathione S-transferase M1/T1 gene polymorphismc and endometriosis: a meta-analysis of genetic association studies, Mol Hum Reprod 11(10): 729-743.

Guo, S.W. 2006, ‘The association of endometriosis risk and genetic polymorphisms involving dioxin detoxification enzymes: a systematic review. 2006, Eur J Obstet gynecol & Reprod Biol 124: 134-143.

Page 48: Referat Mira

48

Guo, S.W. 2009, ‘Epigenetics of endometriosis’. 2009, Mol Hum Reprod 15(10): 587-607.

Hadfield, R.M., Manek, S., Weeks, D.E., Maedon, H.J., Barlow, D.H., Kennedy, S.H. and OXEGENE Collaborative Group. 2001, ‘Linkage and association studies of the relationship between endometriosis and genes encoding the detoxification enzymes GSTM1, GSTT1 dan CYP1A1’, Mol Hum Reprod 7(11): 1073-1078.

Jorgensen, J.T. and Winther, H. 2009, ‘The new era of personalized medicine: 10 years later’, Per med 6: 423-428.

Juo, S.H., Wu, R., Lin, C.S., Wu, M.T., Lee, J.N. and Tsai, E.M. 2008, ‘A functional promoter polymorphisms in interleukin-10 gene influences susceptibility to endometriosis’, Fertil Steril 67(2): 238-243.

Kennedy, S. 1999, ‘The genetics of endometriosis’, Eur J Obstet Gynecol & Reprod Biol 82: 129-133.

Kennedy, S., Bennett, S. and Weeks, D.E. 2001, ‘Affected sib-pair analysis in endometriosis’, Hum Reprod Update 7(4): 411-418.

Kim, J.J., Choi, Y.M., Choung, S.H., Youn, S.H., Lee, K.S., Ku, S.Y., Kim, J.G. and Moon, S.Y. 2009, ‘Analysis of the transforming growth factor β1 gene -509 C/T polymorphism in patients with advanced stage endometriosis’, Fertil Steril 20(11): 333–338.

Kim, J.G., Kim, J.Y., Jee, B.C., Suh, C.S., Kim, S.H. and Choi, Y.M. 2008, ‘Association between endometriosis and polymorphismns in endostatin and vascular endothelial growth factor and their serum levels in Korean women, Fertil Steril 89(1): 243–245.

Lesko, L. 2007, ‘Personalized medicine: elusive dream or imminent reality?’, Clin Pharmacol Ther 81(6): 807-816.

Montgomery, G.W., Treloar, S.A., Kennedy, S.H. and Zondervan, K.T. ‘Genetic variation and endometriosis risk’ in Endometriosis 2008, 1st edition, Ed Rombauts, L., Blackwell publishing, Victoria.

Montgomery, G.W., Nyholt, D.R., Zhao, Z.Z., Treloar, S.A., Kennedy, S.H., and Zondervan, K.T. 2008, ‘The search for genes contributing to Endometriosis risk’, Hum Reprod Update 14(5): 447-457.

Mounsey, A.L., Wilgus, A. and Slawson, D.C. 2006, ‘Diagnosis and Management of Endometriosis’, Am Fam Physician 74: 594-602

Nussbaum, R.L., McInnes, R.R. and Willard, H.F. 2007, Genetics in medicine, Saunders Elsevier Philadelphia

Page 49: Referat Mira

49

Simpson, J.L and Bischoff, F.Z. 2000, ‘Heritability and molecular genetic studies of endometriosis’, Hum Reprod Update 6: 37-44.

Tempfer, C.B., Simoni, M., Destenaves, B. and Fauser B.C.J.M. 2009, ‘Functional genetic polimorphisms and female reproductive disorders: endometriosis’, Hum reprod Update 15(1):97-118.

Treloar, S.A., O’Connor, D.T., O’Connor, V.M., and Martin, N.G. 1999, ‘genetic influences on endometriosis in an Australian twin sample’, Fertil Steril 71(4): 701-710.

Treloar, S.A., Hadfield, R., Montgomery, G., Lambert, A., Wicks, J., Barlow, D.H., O’Connor, D.T., Kennedy, S. and the International Endogene Study Group. 2002, ‘The International Endogene Study; a collection of families for genetic research in endometriosis’, Fertil Steril 78(4): 679-685.

Treloar, S.A., Wicks, J., Nyholt, D.R., Montgomery, G.W., Bahlo, M., Smith, V., Dawson, G., Mackay, I.J., Weeks, D.E., Bennett, S.T., Carey, A., Ewen-White, K.R., Duffy, D.L., O’Connor, D.T., Barlow, D.H., Martin, N.G. and Kennedy, S.H. 2005, ‘genome linkage study in 1,176 affected sister pair families identifies a significant susceptibility locus for endometriosis on chromosome 10q26’, Am J Hum Genet 77: 365-376

Treloar, S.A., Zhao, Z.Z., Armitage, T., Duffy, D.L., Wicks, J., O’Connor, D.T., Martin, N.G. and Montgomery, G.W. 2005, ‘Association between polymorphisms in the progesterone rreceptor gene and endometriosis ’, Mol Hum Reprod 13(8): 587-594.

Treloar, S.A., Zhao, Z.Z., Lien, L., Zondervan, K.T., Wicks, J., Martin, N.G., Kennedy, S., Nyholt, D.R. and Montgomery, G.W. 2007, ‘Variants in EMX2 and PTEN do not contribute to risk of endometriosis, Mol Hum Reprod 11 (9): 641-647.

Vigano, P., Infantino, M., Lattuada D., Lauletta, R., Ponti, E., Somigliana, E., Vignali, M. and DiBlasio, A.M. 2003, ‘Intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) gene polymorphisms in endometriosis’, Mol Hum Reprod 9(1): 47-52.

Zondervan, T., Cardon, L.R. and kennedy, S.H. 2001, ‘The genetic basis of endometriosis’, Curr Opin Obstet Gynecol 13: 309-314.

Zondervan, K.T., Weeks, D.E., Colman, R., Cardon, L.R., Hadfield, R., Schleffler, J., Trainor, A.G., Coe, C.L., Kemnitz, J.W. and Kennedy, S.H. 2004, ‘familial aggregation of endometriosis in a large pedigree of rhesus macaques’, Hum Reprod Update 19(2): 448-455.