Upload
introvertt
View
99
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Kalangan medis telah berusaha untuk melakukan tindakan anestesi yang
bertujuan untuk mengurangi dan mengilangkan rasa nyeri atau rasa sakit. Pada
prinsipnya, seorang penderita akan dibuat tidak sadarkan diri dengan melakukan
tindakan-tindakan yang sering dilakukan secara fisik seperti memukul, mencekik,
dan sebagainya. Hal tersebut terpaksa dilakukan agar pasien tidak merasakan
kesakitan dan akhirnya meloncat dari meja oeprasi yang mengakibatkan
terganggunya jalan operasi. 1,2
Sejak diperkenalkannya penggunaan gas ether oleh William Thomas
Greene Morton pada tahun 1864 di Boston Amerika Serikat, maka berangsur-
angsur cara kekerasan fisik yang sering dilakukan untuk mencapai keadaan
anestesi mulai ditinggalkan. Penemuan tersebut merupakan titik balik dalam
sejarah ilmu bedah karena membuka cakrawala kemungkinan dilakukannya
tindakan bedah yang lebih luas, mudah serta manusiawi. 2
Dalam suatu tindakan operasi, seorang dokter bedah tidak dapat bekerja
sendirian dalam membedah pasien sekaligus menciptakan keadaan anestesi.
Dibutuhkan keberadaan seorang dokter anestesi untuk mengusahakan, menangani
dan memelihara keadaan anestesi pasien. Tugas seorang dokter anestesi dalam
suatu acara operasi antara lain :
1. Menghilangkan rasa nyeri dan stress emosi selama dilakukannya proses
pembedahan atau prosedur medik lain.
2. Melakukan pengelolaan tindakan medik umum kepada pasien yang
dioperasi, menjaga fungsi organ-organ tubuh berjalan dalam batas normal
sehingga keselamatan pasien tetap terjaga.
3. Menciptakan kondisi operasi dengan sebaik mungkin agar dokter bedah
dapat melakukan tugasnya dengan mudah dan efektif.1
Usaha yang mutlak harus dilakuakan oleh seorang dokter ahli anestesi
adalah menjaga berjalannya fungsi organ tubuh pasien secara normal, tanpa
pengaruh yang berarti akibat proses pembedahan tersebut. Pengelolaan jalan
napas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi.
Karena beberapa efek dari obat-obatan yan dipergunakan dalam anestesi dapat
mempengaruhi keadaan jalan napas berjalan dengan baik. 3
Untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan tindakan
intubasi endotrakea, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam saluran
pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam
anestesi umum adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas dan napas dapat
berjalan dengan lancar serta teratur. Pengguanaan intubasi endotrakea juga
direkomendasikan untuk neonatus dengan faktor penyulit yang dapat mengganggu
jalan napas. 3
Dalam refrat ini akan menguraikan tentang intubasi endotrakea, dan hanya
akan dibatasi pada permasalahan tersebut. Intubasi endotrakea adalah metode
yang umum digunakan untuk penanganan jalan napas selama anestesi umum.
Penggunaan pipa endotrakea (Endotrakeal tube/ETT) yang memiliki cuff (balon)
merupakan suatu praktik standar untuk fasilitas pemberian ventilasi tekanan
positif dan juga sebagai proteksi jalan anpas terhadap aspirasi dari isi lambung. 4
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui definisi, indikasi,
dan algoritma resusitasi jantung paru. Selain itu, makalah ini juga dapat memberi
informasi yang lengkap tentang pembaharuan untuk RJPO pada tahun 2010
dibandingkan dengan pada tahun 2005 berdasarkan American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care.
1.3 Manfaat Penulisan
Mengetahui bagaimana prinsip urutan resusitasi jantung paru otak yang
efektif dan efisien terhadap penanganan kasus cardiac arrest.
Dapat melakukan resusitasi jantung paru otak jika dalam keadaan dibutuhkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi
2.1.1 Anatomi Fisiologi Saluran Napas Bagian Atas
Dalam melakukan tindakan intubasi endotrakea terlebih dahulu kita
harus memahami anatomi dan fisiologis jalan napas bagian atas dimana
intubasi itu menguraikan tentang beberapa hal yang menyangkut fisiologi
rongga orofaring, sebagian nasofaring dan akan lebih ditekankan lagi pada
bagian laring. Sistem respirasi manusia mempunyai gambaran desai umum
yang dapat
Indikasi dan Kontraindikasi Intubasi
Indikasi intubasi endotrakea yaitu mengontro jalan napas, menyediakan saluran
udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang, meminimalkan
resiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan gawat
atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang tejadi, ventilasi yang tidak
adekuat, ventilasi dengan thorakoabdominal pada saat pembedahan, menjamin
fleksibilitas posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala, memungkinkan
berbagai posisi (misalnya tengkurap, duduk, lateral, kepala ke bawah), menjaga
darah dan sekresi keluar dari trakea selama operasi saluran anpas, Perawatan kritis
adalah untuk mempertahankan saluran anpas yang adekuat, melindungi terhadap
aspirasi paru, kebutuhan untuk mengontrol dan mengleuarkan sekret pulmonal.
Kontraindikasi intubasi endotrakea adalah : trauma servikal yang emmerlukan
keadaan imobilisasi tulang vertbera servikal, sehingga sangat sulit untuk
dilakukan intubasi. Intubasi endotrakea dapat dilakukan pada pasien-pasien yang
akan menjalani operasi maupun tindakan intraoral.
Kesulitan intubasi endotrakea
Sehubungan dengan manajemen saluran nafas, riwayat sebelum intubasi seperti
riwayat anestesi, alergi obat, dan peyakit lain yang dapat menghalangi akses jalan
napas. Pemeriksaan jalan napas melibatkan pemeriksaan keadaan gigi. Visualisasi
dari orofaring yang paling sering diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi
Mallampati Modifikasi. Sistem ini didasarkan pada visualisasi orofaring. Pasien
duduk membuka mulutnya dan menjulurkan lidah.
Klasifikasi mallampati adalah sebagai berikut:
Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil
Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula
Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula
Mallampati 4 : Palatum durum saja
Dalam sistem klasdifikasi, Kelas 1 dan II saluran nafas umumnya diperkirakan
mudah intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit.
Selain sistem klasifikasi Mallampati, temuan fisik lainnya telah terbukti menjadi
prediktor yang baik dari kesulitan saluran anfas. Wilson dkk, menggunakan
analisis diskriminan linier, dimasukkan lima variabel : berat badan, kepala dan
gerakan leher, gerakan rahang, sudut mandibula, dan gigi ke dalam sistem
penilaian yang diperkirakan 75% dari intubasi sulit pada kriteria risiko = 2. Faktor
lain yang digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi meliputi :
Lidah besar
Gerakan sendi temporo-mandibular terbatas
Mandibula menonjol
Maksila atau gigi depan menonjol
Mobilitas leher terbatas
Pertumbuhan gigi tidak lengkap
Langit-langit mulut sempit
Pembukaan mulut kecil
Anafilaksis saluran napas
Arthritis dan ankilosis cervical
Sindrom kongenital
Endokrinopati (kegemukan, akromegali, hipotiroid macroglossia, gondok)
Infeksi (Ludwig angina, peritonsillar abses, retropharyngeal abses,
epiglottitis)
Massa pada mediastinum
Myopati menunjukkan myotonia atau trismus
Jaringan parut luka bakar atau radiasi
Trauma dan hematoma
Tumor dan kista
Benda asing pada jalan napas
Kebocoran di sekitar masker wajah
Nasogastrik tube
Kurangnya keterampilan, pengalaman, atau terburu-buru.
Kelas 1 : sebagian besar glotis terlihat, kelas 2 : hanya ekstremitas posterior glotis
dan epiglotis tampak, kelas 3 : tidak ada bagian dari glotis terlihat, hanya epiglotis
terlihat, kelas 4 : tidak bahkan epiglotis terlihat. Kelas 1 dan 2 dianggap sebagai
‘mudah’ dan kelas 3 dan 4 sebagai ‘sulit’.
Resusitasi atau reanimasi mengandung arti harfiah menghidupkan
kembali, dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu
episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis.
Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO) atau Cardiopulmonary Resuscitation
(CPR) adalah prosedur kegawatdaruratan medis yang ditujukan untuk serangan
jantung dan pada henti napas (Liza. 2008).
Kasus-kasus penyebab terjadinya henti jantung dan henti napas dapat
terjadi kapan saja, dimana saja dan pada siapa saja. Contoh kasusnya antara lain
adalah tenggelam, stroke, obstruksi jalan napas, menghirup asap, kercunan obat,
tersengat listrik, tercekik, trauma, MCI (myocardial infarction) atau gagal jantung,
dan masih banyak lagi. Kondisi diatas, ditandai dengan tidak terabanya denyut
nadi karotis dan tidak adanya gerakan napas dada. (Liza. 2008)
Ketika American Heart Assocation (AHA) menetapkan pedoman
resusitasi yang pertama kali pada tahun 1966, resusitasi jantung paru (RJP)
awalnya “A-B-C” yaitu membuka jalan nafas korban (Airway), memberikan
bantuan napas (Breathing) dan kemudian memberikan kompresi dinding dada
(Circulation). Namun, sekuensinya berdampak pada penundaan bermakna (kira-
kira 30 detik) untuk memberikan kompresi dinding dada yang dibutuhkan untuk
mempertahankan sirkulasi darah yang kaya oksigen.
Dalam 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care, AHA menekankan fokus
bantuan hidup dasar pada:
1. Pengenalan segera pada henti jantung yang terjadi tiba-tiba (immediate
recognition of sudden cardiac arrest [SCA])
2. Aktivasi sistem respons gawat darurat (activation of emergency response
system)
3. Resusitasi jantung paru sedini mungkin (early cardiopulmonary resuscitation)
4. Segera didefibrilasi jika diindikasikan (rapid defibrilation if indicated)
Dalam AHA Guidelines 2010 ini, AHA mengatur ulang langkah-langkah
RJP dari “A-B-C” menjadi “C-A-B” pada dewasa dan anak, sehingga
memungkinkan setiap penolong memulai kompresi dada dengan segera. Sejak
tahun 2008, AHA telah merekomendasikan bagi penolong tidak terlatih (awam)
yang sendirian melakukan Hands Only CPR atau RJP tanpa memberikan bantuan
napas pada korban dewasa yang tiba-tiba kolaps.
Setiap orang dapat menjadi penolong pada korban yang tiba-tiba
mengalami henti jantung. Keterampilan RJP dan penerapannya bergantung pada
pelatihan yang pernah dijalani, pengalaman dan kepercayadirian penolong.
Kompresi dada merupakan fondasi RJP sehingga setiap penolong baik terlatih
maupun tidak, harus mampu memberikan kompresi dada pada setiap korban henti
jantung. Karena pentingnya, kompresi dada harus menjadi tindakan prioritas
pertama setiap korban dengan usia berapapun. Penolong yang terlatih, harus
memberikan kompresi dada yang dikombinasikan dengan ventilasi (napas
bantuan). Sedangkan penolong yang telah sangat terlatih diharapkan bekerja
secara bersama-sama dalam bentuk tim dalam memberikan ventilasi dan kompresi
dada. Pedoman baru ini juga berisi rekomendasi lain yang didasarkan pada bukti
yang telah dipublikasikan, yaitu:
- Pengenalan segera henti jantung tiba-tiba (suddent cardiact arrest)
didasarkan pada pemeriksaan kondisi unresponsive dan tidak adanya napas
normal (seperti, korban tidak bernapas atau hanya gasping/terengah-engah).
Penolong tidak boleh menghabiskan waktu lebih dari 10 detik untuk melakukan
pemeriksaan nadi. Jika nadi tidak dapat dipastikan dalam 10 detik, maka dianggap
tidak ada nadi dan RJP harus dimulai atau memakai AED (automatic external
defibrilator) jika tersedia.
- Perubahan pada RJP ini berlaku pada korban dewasa, anak dan bayi tapi
tidak pada bayi baru lahir.
- “Look, Listen and Feel" telah dihilangkan dari algoritme bantuan hidup
dasar.
- Jumlah kompresi dada setidaknya 100 kali per menit
- Penolong terus melakukan RJP hingga terjadi return of spontaneous
circulation (ROSC)
- Kedalaman kompresi untuk korban dewasa telah diubah dari 1 ½ - 2
inchi menjadi sedikitnya 2 inchi (5 cm)
- Peningkatan fokus untuk memastikan bahwa RJP diberikan dengan high-
quality didasarkan pada :
o Kecepatan dan kedalaman kompresi diberikan dengan adekuat dan
memungkinkan full chest recoil antara kompresi.
o Meminimalkan interupsi saat memberikan kompresi dada
o Menghindari pemberian ventilasi yang berlebihan
2.2 Tujuan dari BHD adalah:
Tujuan BHD ialah oksigenasi darurat secara efektif pada organ vital
seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi buatan sampai paru
dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri secara normal.
Resusitasi mencegah terjadinya berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi
yang dapat menyebabkan kematian sel-sel akibat dari kekurangan oksigen dan
memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang
mengalami henti jantung atau henti nafas.
2.3 Indikasi
1. Henti nafas
Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara
pernafasan dari korban atau pasien dan merupakan kasus yang harus dilakukan
tindakan Bantuan Hidup Dasar. Pada awal henti nafas oksigen masih dapat masuk
ke dalam darah untuk beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan
darah ke otak dan organ vital lainnya, dengan diberikan bantuan resusitasi dapat
membantu menjalankan sirkulasi lebih baik dan mencegah kegagalan perfusi
organ, sehingga. Henti nafas dapat terjadi dalam keadaan seperti:
Tenggelam atau lemas
Stroke
Obstruksi jalan nafas
Epiglotitis
Overdosis obat-obat
Tersengat listrik
Infark miokard
Tersambar petir
Koma akibat berbagai macam kasus
2. Henti Jantung
Henti jantung primer adalah ketidaksanggupan curah jantung untuk
memenuhi kebutuhan oksigen keotak dan organ vital lainnya secara mendadak
dan dapat balik normal, jika dilakukan tindakan yang tepat atau akan
menyebabkan kematian atau kerusakan otak menetap kalau tindakan tidak
adekuat. Henti jantung yang terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis
tertentu tidak termasuk henti jantung atau cardiac arrest.
Henti sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital
kekurangan oksigen. Pernafasan yang terganggu merupakan tanda awal akan
terjadinya henti jantung. Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba
disertai kebiruan atau pucat sekali, pernafasan berhenti atau satu-satu, dilatasi
pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar.
2.4 Sistem Pernafasan dan Sirkulasi
Tubuh manusia terdiri dari beberapa sistem, diantaranya yang utama
adalah sistem pernafasn dan sistem sirkulasi. Kedua sistem ini merupakan
komponen utama dalam mempertahankan hidup. Terganggunya salah satu fungsi
ini dapat mengakibatkan ancaman kehilangan nyawa. Tubuh dapat menyimpan
makanan untuk beberapa minggu dan menyimpan air untuk beberapa hari, tetapi
hanya dapat menyimpan oksigen (O²) untuk beberapa menit saja.
Sistem pernafasan mensuplai oksigen kedalam tubuh sesuai dengan
kebutuhan dan juga mengeluarkan karbondioksida (CO2). Sistem sirkulasi inilah
yang bertanggungjawab memberikan suplai oksigen dan nutrisi keseluruh jaringan
tubuh.
Komponen-komponen yang berhubungan dengan sirkulasi adalah:
1. Jantung
2. Pembuluh Darah ( Arteri, Vena, Kapiler)
3. Darah dan kompone-komponennya.
Jantung berfungsi untuk memompa darah dan kerjanya sangat
berhubungan erat dengan sistem pernafasan, pada umumnya semakin cepat kerja
jantung semakin cepat pula frekuensi pernafasan dan sebaliknya.
Jantung dapat berhenti bekerja karena banyak sebab,diantaranya:
1. Penyakit jantung
2. Gangguan pernafasan
3. Syok
4. Komplikasi penyakit lain: Stroke
5. Penurunan kesadaran
Beberapa istilah yang berhubungan dengan keadaan sistem pernafasan
dan sistem sirkulasi yang terganggu:
1. Mati
Dalam istilah kedokteran dikenal dengan dua istilah untuk mati: mati
klinis dan mati biologis .
1.a. Mati Klinis
Tidak ditemukan adanya pernafasan dan denyut nadi.Mati klinis dapat
reversible.Pasien /korban mempunyai kesempatan waktu selama 4-6 menit untuk
dilakukan resusitasi,sehingga memberikan kesempatan kedua sistem tersebut
berfungsi kembali.
1.b. Mati Biologis
Terjadi kematian sel, dimana kematian sel dimulai terutama sel otak dan
bersifat irreversible, biasa terjadi dalam waktu 8 – 10 menit dari henti jantung.
Pasien/korban mengalami henti nafas dan henti jantung mempunyai
harapan hidup lebih baik jika semua langkah dalam ”rantai penyelamatan” (Chain
of Survival) dilakukan. Rantai ini diperkenalkan oleh AHA (American Heart
Association) :
1. Kecepatan dalam permintaan bantuan
2. Kecepatan dalam melakukan RJP
3. Kecepatan dalam melakukan Defibrilasi
4. Kecepatan dalam pertolongan Hidup Lanjut di RS (Advance Cardiac
Life Support)
Survei Primer
Survei ini difokuskan pada bantuan nafas dan sirkulasi serta defibrilasi.
Untuk dapat mengingat dengan mudah tindakan pada survei primer ini
dirumuskan dengan huruf abjad : A, B, C, dan D.
A airway (jalan nafas)
B breathing (bantuan nafas)
C circulation (bantuan sirkulasi)
D defibrillation (terapi listrik)
2.5 Rangkaian (Sekuens) Bantuan Hidup Dasar
Rangkaian bantuan hidup dasar pada dasarnya dinamis, namun sebaiknya
tidak ada langkah yang terlewatkan untuk hasil yang optimal. Berikut ini adalah
algoritma bantuan hidup dasar berdasarkan 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovacular
Care, yaitu :
1. Response
Pastikan situasi dan keadaan pasien dengan memanggil nama/sebutan yang
umum dengan keras disertai menyentuh atau menggoyangkan bahu dengan
mantap. Prosedur ini disebut sebagai teknik “touch and talk”. Hal ini cukup untuk
membangunkan orang tidur atau merangsang seseorang untuk bereaksi. Jika tidak
ada respon, kemungkinan pasien tidak sadar.
Terdapat tiga level tingkat kesadaran, yaitu:
Sadar penuh: sadar, berorientasi baik terhadap diri, waktu dan tempat
Setengah sadar: mengantuk atau bingung/linglung
Tidak sadar: tidak berespon
Jika pasien berespon Tinggalkan pada posisi dimana ditemukan dan hindari
kemungkinan resiko cedera lain yang bisa terjadi. Analisa kebutuhan tim gawat
darurat.
Jika sendirian, tinggalkan pasien sementara, minta bantuan
Observasi dan kaji ulang secara regular
Jika pasien tidak berespon
Berteriak minta tolong
Atur posisi pasien. Sebaiknya pasien terlentang pada permukaan keras dan rata.
Jika ditemukan tidak dalam posisi terlentang, terlentangkan pasien dengan teknik
„log roll’, secara bersamaan kepala, leher dan punggung digulingkan.
Atur posisi penolong. Berlutut sejajar dengan bahu pasien agar secara efektif
dapat memberikan resusitasi jantung paru (RJP).
Cek nadi karotis
o AHA Guideline 2010 tidak menekankan pemeriksaan nadi karotis sebagai
mekanisme untuk menilai henti jantung karena penolong sering mengalami
kesulitan mendeteksi nadi. Jikan dalam lebih dari 10 detik nadi karotis sulit
dideteksi, kompresi dada harus dimulai.
o Penolong awam tidak harus memeriksa denyut nadi karotis
Anggap cardiac arrest jika pasien tiba-tiba tidak sadar, tidak bernapas atau
bernapas tapi tidak normal (hanya gasping)
2. Circulation (Sirkulasi)
Compressions Bila tidak ada nadi
Mulai lakukan siklus 30 kompresi dan 2 ventilasi
1. Lutut berada di sisi bahu korban
2. Posisi badan tepat diatas dada pasien, bertumpu pada kedua tangan
3. Letakkan salah satu tumit telapak tangan pada ½ sternum, diantara 2 putting
susu dan telapak tangan lainnya di atas tangan pertama dengan jari saling bertaut
atau dua jari pada bayi ditengah dada
4. Tekan dada lurus ke bawah dengan kecepatan setidaknya 100x/menit (hampir 2
x/detik)
AHA Guideline 2010 merekomendasikan :
1. Kompresi dada dilakukan cepat dan dalam (push and hard)
2. Kecepatan adekuat setidaknya 100 kali/menit
3. Kedalaman adekuat
o Dewasa : 2 inchi (5 cm), rasio 30 : 2 (1 atau 2 penolong)
o Anak : 1/3 AP (± 5 cm), rasio 30 : 2 (1 penolong) dan 15 : 2 (2 penolong)
o Bayi : 1/3 AP (± 4 cm), rasio 30 : 2 (1 penolong) dan 15 : 2 (2 penolong)
4. Memungkinkan terjadinya complete chest recoil atau pengembangan dada
seperti semula setelah kompresi, sehingga chest compression time sama dengan
waktu relaxation/recoil time.
3. Airway (Jalan Napas)
Pastikan jalan napas terbuka dan bersih yang memungkinkan pasien dapat
bernapas.
Bersihkan jalan napas
Amati suara napas dan pergerakan dinding dada
Cek dan bersihkan dengan menyisir rongga mulut dengan jari, bisa dilapisi
dengan kasa untuk menyerap cairan.
Dilakukan dengan cara jari silang (cross finger) untuk membuka mulut.
Membuka jalan napas
Secara perlahan angkat dahi dan dagu pasien (Head tilt & Chin lift) untuk buka
jalan napas
1. Head Tilt & Chin Lift
a. Membaringkan korban terlentang pada permukaan yang datar dan keras
b. Meletakkan telapak tangan pada dahi pasien
c. Menekan dahi sedikit mengarah ke depan dengan telapak tangan
d. Meletakkan ujung jari telunjuk dan jari tengah dari tangan lainnya di bawah
bagian ujung tulang rahang pasien
e. Menengadahkan kepala dan menahan/menekan dahi pasien secara bersamaan
sampai kepala pasien pada posisi ekstensi
2. Jaw Trust
a. Membaringkan korban terlentang pada permukaan yang datar dan keras
b. Mendorong ramus vertikal mandibula kiri dan kanan ke depan sehingga barisan
gigi bawah berada di depan barisan gigi atas, atau,
c. Menggunakan ibu jari masuk ke dalam mulut korban dan bersama dengan jari-
jari yang lain menarik dagu korban ke depan, sehingga otot-otot penahan lidah
teregang dan terangkat
d. Mempertahankan posisi mulut pasien tetap terbuka
Ambil benda apa saja yang telihat
Pada bayi, posisi kepala harus normal
Cek tanda kehidupan: respon dan suara napas
Jangan mendongakkan dahi secara berlebihan, secukupnya untuk membuka
jalan napas, karena bisa berakibat cedera leher.
AHA Guideline 2010 merekomendasikan untuk :
o Gunakan head tilt-chin lift untuk membuka jalan napas pada pasien tanpa ada
trauma kepala dan leher. Sekitar 0,12-3,7% mengalami cedera spinal dan risiko
cedera spinal meningkat jika pasien mengalami cedera kraniofasial dan/atau GCS
<8
o Gunakan jaw thrust jika suspek cedera servikal
o Pasien suspek cedera spinal lebih diutamakan dilakukan restriksi manual
(menempatkan 1 tangan di ditiap sisi kepala pasien) daripada menggunakan spinal
immobilization devices karena dapat mengganggu jalan napas tapi alat ini
bermanfaat mempertahankan kesejajaran spinal selama transportasi.
Jalan Napas Tersumbat
Miringkan pasien ke salah satu sisi
Keluarkan apa saja objek yang terlihat dalam mulut
o Ambil gigi/palsu yang lepas
o Tinggalkan gigi palsu yang utuh pada tempatnya
Jalan Napas Bersih
Pertahanakan jalan napas terbuka dan cek adanya pernapasan normal
Jika dalam beberapa menit terdengar suara seperti gurgling, atau batuk dengan
pergerakan dada dan abdomen, perlakukan tetap seperti tidak bernapas, karena
pernapasan ini tidak efektif.
Pemasangan Oro-pharingeal Airway (OPA)
Ukuran umum yang tersedia :
o Dewasa besar = 100 cm (Guedel no. 5)
o Dewasa sedang = 90 cm (Guedel no. 4)
o Dewasa kecil = 80 cm (Guedel no. 3)
o Anak-anak = Guedel no. 1 dan no. 2
Cara pemasangan
1. Menentukan ukuran OPA yang tepat bagi pasien dengan meletakkan OPA
disamping pipi pasien dan memilih OPA yang panjangnya sesuai dari sudut mulut
hingga ke sudut rahang bawah (angulus mandibulae)
2. Memasang alat, terdapat 2 cara :
a. Cara pertama
- Membuka mulut dan memasukkan OPA terbalik
- Memutar/merotasi OPA jika telah mencapai palatum molle
b. Cara kedua
- Membuka mulut dengan spatel
- Dengan hati-hati memasukkan OPA hingga ke belakang.
- Pada anak-anak, sebaiknya memakai cara ini, karena rotasi dapat menyebabkan
patahnya gigi dan kerusakan faring
3. Mengecek ketepatan pemasangan OPA dengan memberikan ventilasi pada
pasien. Jika pemasangan tepat akan tampak pengembangan dada dan suara napas
terdengar melalui auskultasi paru dengan stetoskop selama ventilasi.
Pemasangan Naso-pharingeal Airway (OPA)
1. Menentukan ukuran NPA yang tepat bagi pasien
a. Meletakkan NPA di samping pipi pasien dan memilih NPA yang panjangnya
sesuai dari pangkal cuping hidung sampai cuping telinga
b. NPA yang terlalu panjang dapat menstimulasi gag reflex sedangkan NPA yang
telalu pendek tidak dapat menjauhkan lidah dari faring anterior
2. Melubrikasi ujung NPA dengan lubrikan larut air (water-soluble lubricant)
untuk meminimalkan tahanan dan menurunkan iritasi pada saluran lubang hidung
3. Memasukkan NPA dengan cara memegang NPA seperti memegang pensil dan
secara perlahan dimasukkan ke dalam lubang hidung pasien dengan bevel
menghadap ke nasal septum
4. Mendorong alat sepanjang dasar lubang hidung, mengikuti lekukan saluran
lubang hidung, hingga pinggiran pangkal NPA rata dengan lubang hidung
5. Jika terjadi tahanan selama insersi, merotasi NPA bolak balik dengan lembut di
antara kedua jari
6. Jika tahanan tetap terjadi, tidak memaksakan pemasangan alat karena dapat
menyebabkan abrasi dan laserasi mukosa hidung yang dapat mengakibatkan
perdarahan dan risiko aspirasi
7. Mengecek ketepatan pemasangan NPA dengan memberikan ventilasi pada
pasien. Jika pemasangan tepat akan tampak pengembangan dada dan suara napas
terdengar melalui auskultasi paru dengan stetoskop selama ventilasi.
4. Breathing (Pernapasan)
Jika pasien bernapas
Gulingkan ke arah recovery position
Observasi secara regular
Jika tidak bernapas
Berikan 2 x napas buatan
Mulut ke mulut/hidung
Tutup hidung pasien
Tiup ke dalam mulut pasien sekitar 1 detik
Lihat adanya pengembangan dada pada tiap tiupan
Beri tiupan yang kedua
Bila melalui hidung, mulut pasien harus ditutup
Bag Valve Mask
Bisa digunakan secara efektif bila penolong minimal berdua
Oksigen dapat diberikan hingga 85% kapasitas reservoir
Prosedur :
1. Memilih ukuran mask yang sesuai dengan pasien dan memasangnya pada
wajah pasien
2. Menghubungkan bag dengan mask, jika belum tersambung
3. Meletakkan bagian yang menyempit (apeks) dari masker di atas batang hidung
pasien dan bagian yang melebar (basis) diantara bibir bawah dan dagu
4. Menstabilkan masker pada tempatnya dengan ibu jari dan jari teluntuk
membentuk huruf “C”. Menggunakan jari yang lainnya pada tangan yang sama
untuk mempertahankan ketepatan posisi kepala dengan mengangkat dagu
sepanjang mandibula dengan jari membentuk huruf “E”
5. Memberikan ventilasi dengan mengempiskan bag dengan menggunakan tangan
lainnya
6. Mengobservasi pengembangan dada pasien selama melakukan ventilasi
AHA Guideline 2010 merekomendasikan untuk :
Pemberian rescue breathing sama dengan rekomendasi AHA 2005, yaitu :
a. Pemberian dilakukan sesuai tidal volume
b. Rasio kompresi dan ventilasi 30:2
c. Setelah alat intubasi terpasang pada 2 orang penolong : selama pemberian RJP,
ventilasi diberikan tiap 8-10 x/menit tanpa usaha sinkronisasi antara kompresi dan
ventilasi. Kompresi dada tidak dihentikan untuk pemberian ventilasi
Tidak menekankan pemeriksaan breathing karena penolong baik profesional
maupun awam mungkin tidak dapat menentukan secara akurat ada atau tidaknya
napas pada pasien tidak sadar karena jalan napas tdk terbuka atau karena pasien
occasional gasping yg dpt terjadi pada beberapa menit pertama setelah henti
jantung.
Kembali tangan dan jari secapatnya ke tengah dada dan beri kompresi dan
ventilasi berikutnya
Lanjutkan 30 kompresi dan 2 siklus napas
Sesudah 5 siklus kompresi dan ventilasi kemudian pasien dievaluasi kembali.
Jika tidak ada nadi karotis, dilakukan kembali kompresi dan bantuan nafas
dengan rasio 30 : 2.
Jika ada nafas dan denyut nadi teraba letakkan pasien pada posisi mantap
(recovery position)
Jika tidak ada nafas tetapi nadi teraba, berikan bantuan nafas sebanyak 10- 12
x/menit dan monitor nadi setiap 2 menit.
Jika sudah terdapat pernafasan spontan dan adekuat serta nadi teraba, jaga agar
jalan nafas tetap terbuka
Jika mengalami kesulitan untuk memberikan nafas buatan yang efektif, periksa
apakah masih ada sumbatan di mulut pasien serta perbaiki posisi tengadah kepala
dan angkat dagu yang belum adekuat
Bila pasien kembali bernafas spontan dan normal tetapi tetap belum sadar, ubah
posisi pasien ke recovery position, bila pasien muntah tidak terjadi aspirasi .
Waspada terhadap kemungkinan pasien mengalami henti nafas kembali, jika
terjadi segera terlentangkan pasien dan lakukan nafas buatan kembali
Bila tersedia, gunakan Automated External Defibrillator (AED)
Kompresi dada saja
Jika karena suatu kondisi napas buatan tidak dapat diberikan, tetap lakukan
kompresi karena di dalam tubuh masih ada oksigen
Cek ulang sirkulasi. Re-check dihentikan bila napas normal telah kembali,
jangan menghentikan resusitasi
Multi penolong
Yakinkan ambulans (emergency team) telah dipanggil
Pastikan seseorang telah mengambil alat yang perlu digunakan
Lakukan pergantian setiap 2 menit untuk menghindari kelelahan
Hidari gap waktu dalam pergantian personel secara berlebihan
Kapan RJP dihentikan ?
Area menjadi tidak aman
Staf yang lebih ahli telah datang
Tanda-tanda kehidupan muncul
Tanda-tanda kematian: rigor mortis, dilatasi pupil
Kelelahan fisik penolong atau sudah 30 menit tidak ada respon
2.6 Obstruksi Jalan Napas Karena Benda Asing
Obstruksi jalan napas karena benda asing sering terjadi pada anak dan
dewasa. Pada orang dewasa, daging atau makan lain paling sering menyebabkan
tersedak dan menyumbat. Kondisi pada anak dapat semakin parah dengan
penyebab yang sangat bervariatif. Obstruksi jalan napas akut harsu di curigakan
pada anak kecil/bayi yang tiba-tiba mengalami gagal napas disertai batuk hebat,
tercekik dan bunyi stridor. Sumbatan parsial memungkinkan pasien masih dapat
bernapas, namun kualitas pernapasanya tidak menentu, biasanya pasien akan
secara spontan melakukan batuk dengan kuat untuk mengeluarkan sumbatan
tersebut. Bila obstruksi parsial jalan napas terjadi, namun tanda-tanda pernapasan
tidak efektif, harus diperlakukan sama seperti obstruksi jalan napas total. Pada
obstruksi total, pasien tidak dapat bernapas, bicara atau batuk. Biasaya pasein
memegang lehernya sendiri. Konsentrasi oksigen semakin menurun dan lama-
kelamaan bisa tidak sadar dan mungkin meninggal bila tidak ditolong.
Usahakan pasien dewasa atau pun anak untuk melakukan batuk dengan
efektif. Usaha mengeluarkan sumbatan lain dilakukan bila batuk tidak efektif
untuk mengeluarkan subatan dan tanda-tanda gangguan napas semakin hebat dan
terdengar bunyi stridor.
Penatalaksanaan Maneuver Heimlich
Maneuver Heimlich. Merupakan suatu tindakan untuk meningkatkan
tekanan diafragma secara mendadak, memaksa udara dalam paru untu keluar
dengen cepat sehingga penyumbat jalan napas dapat terdorong keluar. Hentakan
dapat diulang 6-10 kali untuk membersihkan jalan napas. Pertimbagnakn adanya
kerusakan organ dibawah abdomen atas dan torak bawah. Hentakan inidiberikan
setelah kemungkinan sumbatan tidak bisa diambil secara manual dengan mudah,
atau dengan teknik pengambilan malahan menyebabkan objek semakin dalam
Pasien sadar dan berdiri
- Berdiri dibelakang pasien
- Lingkari pinggang atas (lihat ilustrasi) dengan tangan penolong
- Letakan tangan yang mengepal ditopang dengn tangan lain tepat dibawah
prosesus xypoideus (uluhati)
- Pegang erat-erat kepalan tangan
- Tarik kedua tangan kita untu menekan dengan hentakan keras kearah belakang
pasien.
- Ulangi kegiatan secara terpisah dengan gerakan kuat
- Pada kasus obesitas atau kehamilan, berikan kompresi dada
- Bila pasien tidak sadar, baringkan dengan posisi terlentang
Pasien yang terlentang/tidak sadar
- Terlentang kan pasien
- Penolong berlutut diantara pahan pasien
- Letakan satu tangan pada garis tengan abdomen, diatas umbillikus dan agak jauh
dibawah sternum, tangan kedua diletakan pada tangan pertama.
- Tekan kearah bawah depan dengan kuat dan menghentak.
- Ulangi sampai 6-10 kali
- Posisi ini bisa digunakan bila penolong terlau pendek dbiandingkan dengan
pasien
Manuver untuk diri sendiri
- Letakan tangan pada posisi seperti gambar ilustrasi
- Tekan kearah belakang atas
- Bila tidak berhasil bisa ditekankan pada ujung meja/tepi
- Ulangi sampai 6-10 kali
Pada bayi
- Bayi ditunggangkan pada satu tangan penolong
- Posisikan kepala menghadap ke bawah, lebih rendah dari badan, tahan dengan
tangan pada bagian rahang bayi. Jangan menutup mulut dan hidung bayi
- Dengan mengganakan tepalak tangan yang lain, berikan 4x pukulan diantara
skapula
- Setelah memukul letakan tangan yang bebsa di atas punggung bayi untuk
menjepit
- Jika tidak berhasil, letakan 2-3 jari dibawah sternum (ps. xypoideus), berikan 5
tekanan
- Lihat adakah objek keluar, jika bisa dilihat, lepaskan dengan jari, kemudian
berikan 2 x napas bantuan
- Bila tidak menolong minta bantuan yang lebih ahli sambil terus memberikan
tekanan punggung dan dada sampai bayi terbatuk.
2.7 Bantuan Hidup Lanjut
Terdiri atas Bantuan hidup dasar ditambah langkah-langkah:
D (Drugs): Pemberian obat-obatan.
Obat-obat tersebut dibagi menjadi 2 golongan:
1. Penting:
a. adrenalin : Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan
beta, dosis yang diberikan 0,5 – 1 mg iv diulang setelh 5 menit
sesuai kebutuhan dan yang perlu diperhatikan dapat
meningkatkan pemakaian O2 myocard, takiaritmi, fibrilasi
ventrikel(4).
b. Natrium Bicarbonat: Penting untuk melawan metabolik
asidosis, diberikan iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik
berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode 10
menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu sirkulasi
spontan yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan
karena bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan
hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka
ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama(3).
c. Sulfat Atropin: Mengurangi tonus vagus memudahkan
konduksi atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung
pada keadaan sinus bradikardi. Paling berguna dalam
mencegah “arrest” pada keadaan sinus bradikardi sekunder
karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi. Dosis yang
dianjurkan ½ mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang
dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60
/menit, dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok
atrioventrikuler derajat 3 yang membutuhkan dosis lebih besar.
d. Lidokain: Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek
antiaritmia dengan cara meningkatkan ambang stimulasi listrik
dari ventrikel selama diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak
ada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan
arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama
efektif menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya
fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil, juga efektif
mengontrol denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal dan
episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv
sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat
dilanjutkan dengan infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya tidak
lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5 %
larutan (1 mg/ml) (3).
2. Berguna:
a. Isoproterenol: Merupakan obat pilihan untuk pengobatan
segera (bradikardi hebat karena complete heart block). Ia
diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/menit (1-
10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur
untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60
kali/menit. Juga berguna untuk sinus bradikardi berat yang
tidak berhasil diatasi dengan Atropine(3).
b. Propanolol: Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti
aritmianya terbukti berguna untuk kasus-kasus takhikardi
ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang dimana
ritme jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis
umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg,
dengan pengawasan yang ketat(3).
c. Kortikosteroid: Sekaranfg lebih disukai kortikosteroid sintetis
(5 mg/kgBB methyl prednisolon sodium succinate atau 1
mg/kgBB dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok
kardiogenik atau shock lung akibat henti jantung. Bila ada
kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60-100 mg
methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan
menguntungkan. Bila ada komplikasi paru seperti pneumonia
post aspirasi, maka digunakan dexamethason fosfat 4-8 mg tiap
6 jam(3).
E (EKG): Diagnosis elektrokardigrafis untuk mengetahui adanya fibrilasi
ventrikel dan monitoring.
F: (Fibrilation Treatment)
Gambaran EKG pada Ventrikel Fibrilasi ini menunjukan gelombang listrik
tidak teratur baik amplitudo maupun frekuensinya.
Terapi definitifnya adalah syok electric (DC-Shock) dan belum ada satu
obatpun yang dapat menghilangkan fibrilasi.
2.8 Bantuan Hidup Terus-Menerus
G (Gauge) : Tindakan selanjutnya adalah melakukan monitoring terus-
menerus terutama system pernapasan, kardiovaskuler dan system saraf.
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf
dari kerusakan lebih lanjut, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan
neurologic yang permanen.
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan
saraf pusat yaitu pada suhu antara 30° — 32°C.
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah
manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya
berdasarkan perikemanusiaan.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi :
trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung,
pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi,
mengendalikan kejang.
Keputusan untuk mengakhiri resusitasi
Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah
medis, tergantung pada pertimbangan penafsiran status serebral dan
kardiovaskuler penderita. Kriteria terbaik adanya sirkulasi serebral dan
adekuat adalah reaksi pupil, tingkat kesadaran, gerakan dan pernafasan
spontan dan refleks. Keadaan tidak sadar yang dalam tanpa pernafasan
spontan dan pupil tetap dilatasi 15-30 menit, biasanya menandakan kematian
serebral dan usaha-usaha resusitasi selanjutnya biasanya sia-sia. Kematian
jantung sangat memungkinkan terjadi bila tidak ada aktivitas
elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10 menit atau lebih
sesudah RJP yang tepat termasuk terapi obat(3).
BAB III
KESIMPULAN
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan
henti nafas atau henti jantung (kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah
kematian biologis
Peran RJP ini sangatlah besar, seperti pada orang-orang yang mengalami
henti jantung tiba-tiba. Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa
negara. Terjadi baik di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan
sekitar 350.000 orang meninggal per tahunnya akibat henti jantung di Amerika dan
Kanada. Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal akibat
henti jantung dan tidak sempat diresusitasi. Walaupun usaha untuk melakukan
resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak
dilakukannya resusitasi. Bantuan hidup dasar boleh dilakukan oleh orang awam
dan juga orang yang terlatih dalam bidang kesihatan. Ini bermaksud bahwa RJP
boleh dilakukan dan dipelajari dokter, perawat, para medis dan juga orang awam.
Oleh karena itu sangatlah penting untuk mengetahui dan memahami serta
mampu melaksanakan bantuan hidup dasar ini. Pedoman pelaksanaan RJP yang
dipakai adalah pedoman yang dikeluarkan oleh Amerikan Heart Assosiation.
Amerikan Heart Assosiation merevisi pedoman RJP setiap lima tahun, dengan
revisi terbaru pada tahun 2010. AHA merevisi dari A-B-C ke C-A-B, dan
memberikan 2 algoritma bantuan hidup dasar yakni simple algoritma untuk
masyarakat awam dalam bentuk sederhana agar mudah dipahami dan algoritma
khusus untuk petugas kesehatan.