46
BAB I PENDAHULUAN Intubasi endotrakeal merupakan usaha penanganan jalan nafas. Prosedur ini dapat dilakukan pada sejumlah kasus pasien yang mengalami penyumbatan jalan nafas, kehilangan reflek proteksi, menjaga paru-paru dari sekret agar tidak terjadi aspirasi dan pada segala jenis gagal nafas. Intubasi endotrakeal dapat dilakukan melalui hidung ataupun mulut. Masing- masing cara memberikan keuntungan tersendiri sebagai contoh bahwa melalui nasal lebih baik dilakukan pada pasien yang masih sadar dan kooperatif, sedangkan melalui oral dilakukan pada pasien yang mengalami koma, tidak kooperatif dan ketika kegawatan intubasi dibutuhkan pada pasien yang mengalami cardiac arrest. Selain penangan jalan napas, sibutuhkan juga tindakan terapi intravena sebagai tindakan life saving. Terapi intravena adalah tindakan yang dilakukan dengan cara memasukkan cairan, elektrolit, obat intravena dan nutrisi parenteral ke dalam tubuh melalui intravena. Tindakan ini sering merupakan tindakan life saving seperti pada kehilangan cairan yang banyak, dehidrasi dan syok, karena itu keberhasilan terapi dan cara pemberian yang 1

Makalah Intubasi Fix

Embed Size (px)

DESCRIPTION

dfhjhsdfgsdhj

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

Intubasi endotrakeal merupakan usaha penanganan jalan nafas. Prosedur ini

dapat dilakukan pada sejumlah kasus pasien yang mengalami penyumbatan jalan

nafas, kehilangan reflek proteksi, menjaga paru-paru dari sekret agar tidak terjadi

aspirasi dan pada segala jenis gagal nafas. Intubasi endotrakeal dapat dilakukan

melalui hidung ataupun mulut. Masing- masing cara memberikan keuntungan

tersendiri sebagai contoh bahwa melalui nasal lebih baik dilakukan pada pasien yang

masih sadar dan kooperatif, sedangkan melalui oral dilakukan pada pasien yang

mengalami koma, tidak kooperatif dan ketika kegawatan intubasi dibutuhkan pada

pasien yang mengalami cardiac arrest.

Selain penangan jalan napas, sibutuhkan juga tindakan terapi intravena sebagai

tindakan life saving. Terapi intravena adalah tindakan yang dilakukan dengan cara

memasukkan cairan, elektrolit, obat intravena dan nutrisi parenteral ke dalam tubuh

melalui intravena. Tindakan ini sering merupakan tindakan life saving seperti pada

kehilangan cairan yang banyak, dehidrasi dan syok, karena itu keberhasilan terapi dan

cara pemberian yang aman diperlukan  pengetahuan dasar tentang keseimbangan

cairan dan elektrolit serta asam basa. Tindakan ini merupakan metode efektif dan

efisien dalam memberikan suplai cairan ke dalam kompartemen intravaskuler. Terapi

intravena dilakukan berdasarkan order dokter dan perawat bertanggung jawab dalam

pemeliharaan terapi yang dilakukan. Pemilihan pemasangan terapi intravena

didasarkan  pada beberapa faktor, yaitu tujuan dan lamanya terapi, diagnosa pasien,

usia, riwayat kesehatan dan kondisi vena pasien. Apabila pemberian terapi intravena

dibutuhkan dan diprogramkan oleh dokter, maka perawat harus mengidentifikasi

larutan yang benar, peralatan dan prosedur yang dibutuhkan  serta mengatur dan

mempertahankan sistem.

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 INTUBASI

2.1.1 Anatomi Saluran Pernapasan Atas

Gambar 1. Anatomi Saluran Pernapasan

Cavum Nasalis

Hidung dibentuk oleh tulang sejati (os) dan tulang rawan (kartilago).

Hidung dibentuk oleh sebagian kecil tulang sejati, sisanya terdiri atas kartilago dan

jaringan ikat (connective tissue). Bagian dalam hidung merupakan suatu

lubang yang dipisahkan menjadi lubang kiri dan kanan oleh sekat

(septum). Rongga hidung mengandung rambut (fimbriae ) yang berfungsi

sebagai penyaring (filter) kasar terhadap benda asing yang masuk. Pada

permukaan (mukosa) hidung terdapat epitel bersilia yang mengandung sel

goblet. Sel tersebut mengeluarkan lendir sehingga dapat menangkap benda asing

2

yang masuk ke dalam saluran pernapasan. Kita dapat mencium aroma karena di

dalam lubang hidung terdapat reseptor. Reseptor bau terletak pada

cribriform plate, di dalamnya terdapat ujung dari saraf kranial I (Nervous

Olfactorius). Hidung berfungsi sebagai jalan napas, pengatur udara, pengatur

kelembaban udara (humidifikasi), pengatur suhu, pelindung dan penyaring

udara, indra pencium, dan resonator suara. 2

Faring

Faring merupakan pipa berotot berbentuk cerobong yang letaknya bermula

dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan esofagus pada ketinggian

tulang rawan (kartilago) krikoid. Faring digunakan pada saat ‘digestion ’ (menelan)

seperti pada saat bernapas. Berdasarkan letaknya faring dibagi menjadi tiga

yaitu di belakang hidung (naso-faring), belakang mulut (oro-faring ), dan

belakang laring (laringo- faring ).

Naso-faring terdapat pada superior di area yang terdapat epitel bersilia

(pseudo stratified ) dan tonsil (adenoid), serta merupakan muara tube eustachius.

Tenggorokan dikelilingi oleh tonsil, adenoid, dan jaringan limfoid lainnya. Struktur

tersebut penting sebagai mata rantai nodus limfatikus untuk menjaga tubuh

dari invasi organisme yang masuk ke dalam hidung dan tenggorokan. Oro-faring

berfungsi untuk menampung udara dari naso-faring dan makanan dari mulut. Pada

bagian ini terdapat tonsil palatina (posterior) dan tonsili lingualis (dasar

lidah).

Laring

Laring sering disebut dengan ‘voice box’ dibentuk oleh struktur

epiteliumlined yang berhubungan dengan faring (di atas) dan trakhea (di bawah).

Laring terletak di anterior tulang belakang (vertebrae) ke-4 dan ke-6. Bagian atas

dari esofagus berada di posterior laring. Fungsi utama laring adalah untuk

3

pembentukan suara, sebagai proteksi napas bawah dari benda asing dan untuk

memfasilitasi proses terjadinya batuk.

Laring terdiri atas:

Epiglotis; katup kartilago yang menutup dan membuka selama menelan.

Glotis; lubang antara pita suara dan laring.

Kartilago tiroid; kartilago yang terbesar pada trakhea, terdapat bagian yang

membentuk jakun.

Kartilago krikoid; cincin kartilago yang utuh di laring (terletak di bawah

kartilago tiroid).

Kartilago aritenoid; digunakan pada pergerakan pita suara bersama dengan

kartilago tiroid.

Pita suara; sebuah ligamen yang dikontrol oleh pergerakan otot

yang menghasilkan suara dan menempel pada lumen laring.2

Gambar 2. Anatomi Laring

4

2.1.2 Anatomi Saluran Pernapasan Bawah

Trakhea

Trakhea merupakan perpanjangan laring pada ketinggian tulang vertebre

torakal ke-7 yang bercabang menjadi dua bronkhus. Ujung cabang trakhea disebut

carina. Trakhea bersifat sangat fleksibel, berotot, dan memiliki panjang 12 cm dengan

cincin kartilago berbentuk huruf C.

Bronkus dan Bronkiolus

Cabang bronkhus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan cenderung lebih

vertikal daripada cabang yang kiri. Hal tersebut menyebabkan benda asing lebih

mudah masuk ke dalam cabang sebelah kanan daripada bronkhus sebelah kiri.

Segmen dan subsegmen bronkhus bercabang lagi dan berbentuk seperti ranting

masuk ke paru-paru. Bronkhus disusun oleh jaringan kartilago sedangkan

bronkhiolus, yang berakhir di alveoli, tidak mengandung kartilago. Tidak adanya

kartilago menyebabkan bronkhiolus mampu menangkap udara, namun juga

dapat mengalami kolaps. Agar tidak kolaps alveoli dilengkapi dengan

poros/lubang kecil yang terletak antar alveoli yang berfungsi untu mencegah kolaps

alveoli.

Saluran pernapasan mulai dari trakhea sampai bronkhus terminalis tidak

mengalami pertukaran gas dan merupakan area yang dinamakan Anatomical Dead

Space. Awal dari proses pertukaran gas terjadi di bronkhiolus respiratorius. Parenkim

paru-paru merupakan area yang aktif bekerja dari jaringan paru-paru. Parenkim

tersebut mengandung berjuta-juta unit alveolus. Alveoli merupakan kantong udara

yang berukuran sangat kecil, dan merupakan akhir dari bronkhiolus respiratorus

sehingga memungkinkan pertukaran O2 dan CO2 . Seluruh dari unit alveoli

(zona respirasi) terdiri atas bronkhiolus respiratorius, duktus alveolus, dan

alveolar saccus (kantong alveolus). Fungsi utama dari unit alveolus adalah

pertukaran O2 dan CO2 diantara kapiler pulmoner dan alveoli.2

5

2.1.3 Definisi Intubasi

Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau

hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi

nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam

trakea melalui rima glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya

berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Intubasi

nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal melalui nasal dan nasopharing ke

dalam oropharing.1,3

2.1.4 Indikasi Intubasi

Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau

melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trachea. Indikasi

dilakukannya intubasi yaitu sebagai berikut :

1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun (kelainan anatomi, bedah khusus,

bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan napas, dll.)

2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi (Misalnya, saat resusitasi,

memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang)

3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi (pada keadaan tidak sadar, lambung

penuh dan tidak ada reflex batuk).

4. Pada kondisi dimana terdapat kemungkinan kegagalan pernapasan, seperti

(Trauma pada dada dan saluran napas, gangguan neurologis akibat penggunaan

obat miastenia gravis, racun, dll)

5. Untuk membebaskan obstruksi jalan napas

6. Menjaga darah dan sekresi keluar dari trakea selama operasi saluran napas

7. Melindungi jalan napas (pada pasien kejang)

6

2.1.5 Kontraindikasi Intubasi

Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah : trauma servikal yang

memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk

dilakukan intubasi.

Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan

menjalani operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal,

diameter maksimal dari pipa yang digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih

kecil oleh karenanya tahanan jalan napas menjadi cenderung meningkat. Intubasi

nasotrakeal pada saat ini sudah jarang dilakukan untuk intubasi jangka panjang

karena peningkatan tahanan jalan napas serta risiko terjadinya sinusitis. Teknik ini

bermanfaat apabila urgensi pengelolaan airway tidak memungkinkan foto servikal.

Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind nasotrakeal intubation) memerlukan

penderita yang masih bernafas spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk

penderita yang apnea. Makin dalam penderita bernafas, makin mudah mengikuti

aliran udara sampai ke dalam laring. Kontraindikasi lain dari pemasangan pipa

nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii, khususnya pada tulang ethmoid,

epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis.

2.1.6 Persiapan intubasi

Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat‐alat dan

memposisikan pasien. ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff ETT

sebaiknya di tes terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter. Jika menggunakan stylet

sebaiknya dimasukkan ke ETT. Berhasilnya intubasi sangat tergantung dari posisi

pasien, kepala pasien harus sejajar dengan pinggang anestesiologis atau lebih tinggi

untuk mencegah ketegangan pinggang selama laringoskopi. Persiapan untuk induksi

dan intubasi juga melibatkan preoksigenasi rutin.3,4,5

7

Persiapan alat untuk intubasi antara lain :

STATICS

Scope

Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop

untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat

laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan

benar. Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop:

a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.

b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.

Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah lampu

pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.

Gambar 3. Laringoskop

Tube

Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa

trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari

bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran

milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa

berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk penampang

8

melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti huruf D. Oleh

karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak menggunakan kaf

(cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan kaf supaya tidak

bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat

trauma selaput lendir trakea dan postintubation croup.

Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau

melalui hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan bila

penggunaan orotracheal tube tidak memungkinkan, mislanya karena terbatasnya

pembukaan mulut atau dapat menghalangi akses bedah. Namun

penggunaan nasotracheal tube dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur

basis kranii.

Usia Diameter (mm) Skala French Jarak Sampai

Bibir

Prematur 2,0-2,5 10 10 cm

Neonatus 2,5-3,5 12 11cm

1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm

½-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm

1-4 tahun 4,0-4,5 18 13 cm

4-6 tahun 4,5-,50 20 14 cm

6-8 tahun 5,0-5,5* 22 15-16 cm

8-10 tahun 5,5-6,0* 24 16-17 cm

10-12 tahun 6,0-6,5* 26 17-18 cm

12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm

Dewasa wanita 6,5-8,5 28-30 20-24 cm

Dewasa pria 7,5-10 32-34 20-24 cm

Tabel 1. Ukuran pipa trakea

9

            Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas,

mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi,

oksigenasi dan pengisapan. Pipa endotrakea terbuat dari material silicon PVC

(Polyvinyl Chloride) yang bebas lateks, dilengkapi dengan 15mm konektor standar.

Termosensitif untuk melindungi jaringan mukosa dan memungkinkan pertukaran gas,

serta struktur radioopak yang memungkinkan perkiraan lokasi pipa secara tepat. Pada

tabung didapatkan ukuran dengan jarak setiap 1cm untuk memastikan kedalaman

pipa.

Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa trakea

disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada umur. Pipa

endotrakea yang baik untuk seorang pasien adalah yang terbesar yang masih dapat

melalui rima glotis tanpa trauma. Pada anak dibawah umur 8 tahun trakea berbentuk

corong, karena ada penyempitan di daerah subglotis (makin kecil makin sempit).

Oleh karena itu pipa endaotrakeal yang dipakai pada anak, terutama adalah pipa tanpa

balon (cuff). Bila dipakai pipa tanpa balon hendaknya dipasang kasa yang

ditempatkan di faring di sekeliling pipa tersebut untuk mencegah aspirasi untuk

fiksasi dan agar tidak terjadi kebocoran udara inspirasi. Bila intubasi secara langsung

(memakai laringoskop dan melihat rima glotis) tidak berhasil, intubasi dilakukan

secara tidak langsung (tanpa melihat trakea) yang juga disebut intubasi tanpa lihat

(blind). Cara lain adalah dengan menggunakan laringoskop serat optic.

Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai pipa

dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi pipa

tanpa balon lebih baik. Balon sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya tidak

dipakai karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa trakea. Pengembangan balon

yang terlalu besar dapat dihindari dengan memonitor tekanan dalam balon (yang pada

balon lunak besar sama dengan tekanan dinding trakea dan jalan nafas) atau dengan

memakai balon tekanan terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari plastik yang tidak

iritasif. 

10

Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya

dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini. Pada hari ke-4

timbul kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan kondritis bahkan stenosis

subglotis.

Kerusakan pada laringotrakea telah jauh berkurang dengan adanya perbaikan

balon dan pipa. Jadi trakeostomi pada pasien koma dapat ditunda jika ekstubasi

diperkirakan dapat dilakukan dalam waktu 1-2 minggu. Akan tetapi pasien sadar

tertentu memerlukan ventilasi intratrakea jangka panjang mungkin merasa lebih

nyaman dan diberi kemungkinan untuk mampu berbicara jika trakeotomi dilakukan

lebih dini.

Gambar 4. Endotrakeal Tube

11

Airway

Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan napas yaitu

pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-

tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar

lidah tidak menyumbat jalan napas.

Gambar 5. orotracheal airway dan naso-tracheal airway

Tape

Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak

terdorong atau tercabut.

Gambar 6. Plester

Introducer

Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang

dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa

trakea mudah dimasukkan.

12

Gambar 7. Stylet

Connector

Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag

valve mask ataupun peralatan anesthesia.

Suction

Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan lainnya.

Gambar 8. Suction

13

2.1.7 Cara Intubasi

Intubasi Endotrakeal

Gambar 8. Intubasi Endotrakel

Kesuksesan intubasi tergantung pada posisi pasien yang benar. Kepala pasien

harus sejajar atau lebih tinggi dari pinggul dengan anstesiologi untuk mencegah

regangan pada punggung ataupun pinggang selama proses laringoskopi. Laringoskop

ditempatkan di faring agar dapat memperlihatkan pandangan langsung dari mulut ke

glottis. Elevasi kepala sedang (5–10 cm diatas meja bedah) dan ekstensi sendi

atlantooksipital menempatkan pasien pada posisi sniffing. Sebelum dilakukan

intubasi terlebih dahulu dilakukan oksigenasi dengan menggunakan orotracheal tube

atau nasotracheal tube dan bag valve kurang lebih selama 30 detik.

Langkah-langkah intubasi:

1. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang

dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan dan lapangan

pandang akan terbuka.

14

2. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat ke atas

dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.

3. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga

tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.

4. Tracheal tube diambil dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan melewati

pita suara sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum

memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga

pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stylet dapat

dicabut.

5. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan

tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop

dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.

Gambar 9. Penampakan Glotis Saat Laringoskopi

15

Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi,

dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri

sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal. Bila terjadi

intubasi endotrakeal yang terlalu dalam akan terdapat tanda‐tanda berupa suara nafas

kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang‐kadang timbul suara wheezing, sekret

lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi

seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila

terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrium atau gaster akan

mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang‐kadang

keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru.

Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan

oksigenasi yang cukup.6

Gambar 10. Tempat Auskultasi Setelah Pemasangan Tube

Intubasi yang gagal tidak harus dilakukan berulang-ulang dengan cara yang

sama.  Perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan kemungkinan keberhasilan,

seperti reposisi pasien, mengurangi ukuran tabung, menambahkan stylet, memilih

pisau yang berbeda, mencoba jalur lewat hidung, atau meminta bantuan dari ahli

anestesi lain. Jika pasien juga sulit untuk ventilasi dengan masker, bentuk alternatif

manajemen saluran napas lain (misalnya, LMA, Combitube, cricothyrotomy dengan

jet ventilasi, trakeostomi) harus segera dilakukan.5,6

16

Intubasi Nasotrakeal

Gambar 11. Intubasi Nasotrakeal

Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk lewat

hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang

hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih

gampang. Tetes hidung phenylephrine (0,5 – 0,25%) menyebabkan pembuluh

vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Jika pasien sadar, lokal anestesi

secara tetes dan blok saraf dapat digunakan.

NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang larut dalam air, dimasukkan ke

dasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel NTT berada disisi lateral jauh dari

turbin. Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal dari

NTT harus ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga

ujungnya terlihat di orofaring. Umumnya ujung distal dari NTT dapat dimasukan

pada trachea tanpa kesulitan. Jika ditemukan kesulitan dapat diguankan forcep Magil.

Penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusakkan balon.

Memasukkan NTT melalaui hidung berbahaya pada pasien dengan trauma wajah

yang berat disebabkan adanya resiko masuk ke intrakranial.7

17

2.1.8 Ekstubasi Perioperatif

Setelah operasi berakhir, pasien memasuki prosedur pemulihan yaitu

pengembalian fungsi respirasi pasien dari nafas kendali menjadi nafas spontan. Sesaat

setelah obat bius dihentikan segeralah berikan oksigen 100% disertai penilaian

apakan pemulihan nafas spontan telah terjadi dan apakah ada hambatan nafas yang

mungkin menjadi komplikasi. Bila dijumpai hambatan nafas, tentukaan apakah

hambatan pada central atau perifer. Teknik ekstubasi pasien dengan membuat pasien

sadar betul atau pilihan lainnya pasien tidak sadar (tidur dalam), jangan lakukan

dalam keadaan setengah sadar ditakutkan adanya vagal refleks. Bila ekstubasi pasien

sadar, segera hentikan obat-obat anastesi hipnotik maka pasien berangsu-angsur akan

sadar. Evaluasi tanda-tanda kesadaran pasien mulai dari gerakan motorik otot-otot

tangan, gerak dinding dada, bahkan sampai kemampuan membuka mata spontan.

Yakinkan pasien sudah bernafas spontan dengan jalan nafas yang lapang dan saat

inspirasi maksimal. Pada ekstubasi pasien tidak sadar diperlukan dosis pelumpuh otot

dalam jumlah yang cukup banyak, dan setelahnya pasien menggunakan alat untuk

memastikan jalan nafas tetap lapang berupa pipa orofaring atau nasofaring dan

disertai pula dengan triple airway manuver standar.8,9

Syarat-syarat ekstubasi :

1. Vital capacity 6 – 8 ml/kg BB.

2. Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O.

3. PaO2 diatas 80 mm Hg.

4. Kardiovaskuler dan metabolic stabil.

5. Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot.

6. Reflek jalan napas sudah kembali dan penderita sudah sadar penuh.

2.1.9 Kesulitan Intubasi

Sehubungan dengan manajemen saluran nafas, riwayat sebelum intubasi

seperti riwayat anestesi, alergi obat, dan penyakit lain yang dapat menghalangi akses

jalan napas. Pemeriksaan jalan napas melibatkan pemeriksaan keadaan gigi; gigi

18

terutama ompong, gigi seri atas dan juga gigi seri menonjol. Visualisasi dari orofaring

yang paling sering diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi Mallampati Modifikasi.

Sistem ini didasarkan pada visualisasi orofaring. Pasien duduk membuka mulutnya

dan menjulurkan lidah.4,10,11

Klasifikasi Mallampati :

Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil

Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula

Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula

Mallampati 4 : Palatum durum saja

Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya diperkirakan

mudah intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit.

Gambar 12. Klasifikasi Mallampati

Tumor Trauma

19

  Kista higroma   Fraktur Larng

  Hemangioma   Fraktur Mandibula atau maxilla

  Hematoma1   Luka bakar pada saluran pernapasan

Infeksi   Cedera Cervical

  Abses Submandibular Obesitas

  Abses Peritonsillar Extensi leher Inadequate

  Epiglottitis   Rheumatoid arthritis2

Anomali Kongenital   Spondilitis Ankilosa

  Pierre Robin syndrome   Traksi Halo

  Treacher Collins syndrome Variasi Anatomi

  Atresia Laringeal   Mikrognathia

  Goldenhar syndrome   Prognatisme

  Craniofacial dysostosis   Lidah besar

Benda Asing   Palatum melengkung

  Leher pendek

  Gigi seri atas yang menonjol

1 Dapat terjadi postoperative pada pasien yang menjalankan pembedahan pada leher.

2 menyebabkan arittenoid tidak mobile.

Tabel 2. Kondisi Yang Menyulitkan Intubasi

2.1.10 Komplikasi

Tatalaksana jalan napas merupakan aspek yang fundamental pada praktik

anestesi dan perawatan emergensi. Intubasi endotrakeal termasuk tatalaksana yang

cepat, sederhana, aman dan teknik nonbedah yang dapat mencapai semua tujuan dari

tatalaksana jalan napas yang diinginkan, misalnya menjaga jalan napas tetap paten,

menjaga paru-paru dari aspirasi, membuat ventilasi yang cukup selama dilakukan

ventilasi mekanik, dan sebagainya.

20

Faktor-faktor predisposisi terjadinya komplikasi pada intubasi endotrakeal

dapat dibagi menjadi :

Faktor pasien

1. Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena memiliki

laring dan trakea yang kecil serta cenderung terjadinya edema pada jalan napas.

2. Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami trauma.

3. Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang didapat

menimbulkan kesulitan saat dilakukan intubasi atau cenderung mendapatkan

trauma fisik atau fisiologis selama intubasi.

4. Komplikasi sering terjadi saat situasi emergensi.

Faktor yang berhubungan dengan anestesia

1. Ilmu pengetahuan, teknik keterampilan dan kemampuan menangani situasi krisis

yang dimiliki anestesiologis memiliki peranan penting terjadinya komplikasi

selama tatalaksana jalan napas.

2. Intubasi yang terburu-buru tanpa evaluasi jalan napas atau persiapan pasien dan

peralatan yang adekuat dapat menimbulkan kegagalan dalam intubasi.9,10

Faktor yang berhubungan dengan peralatan

1. Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan tekanan yang

maksimal pada bagian posterior laring. Oleh sebab itu, kerusakan yang terjadi

pada bagian tersebut tergantung dari ukuran tube dan durasi pemakaian tube

tersebut.

2. Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi terjadinya trauma.

3. Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi jaringan.

4. Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan bahan toksik

berupa etilen glikol jika waktu pengeringan inadekuat.

21

5. Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf dengan tekanan

yang rendah dapat pula menimbulkan cedera jika ditempatkan di bagian yang tidak

tepat.

Kesulitan menjaga jalan napas dan kegagalan intubasi mencakup kesulitan

ventilasi dengan sungkup, kesulitan saat menggunakan laringoskopi, kesulitan

melakukan intubasi dan kegagalan intubasi. Situasi yang paling ditakuti adalah tidak

dapat dilakukannya ventilasi maupun intubasi pada pasien apnoe karena proses

anestesi. Kegagalan dalam oksigenasi dapat menyebabkan kematian atau hipoksia

otak. Krikotirotomi (bukan trakeostomi) merupakan metode yang dipilih ketika dalam

keadaan emergensi seperti pada kasus cannot-ventilation-cannot-intubation (CVCI). 10,11

Saat Intubasi Saat Intubasi Digunakan

1. Kegagalan intubasi 1. Malposisi

2. Cedera korda spinalis dan kolumna

vertebralis

Ekstubasi anintentsional

3. Oklusi arteri sentral pada retina dan

kebutaan

Intubasi bronchial

4. Abrasi kornea Posisi cuff yang salah pada laring

5. Trauma pada bibir, gigi, lidah dan

hidung

1. Trauma Jalan Napas

2. Refleks autonom yang berbahaya Inflamasi dan ulserasi mukosa

3. Hipertensi, takikardia, bradikardia dan

aritmia

Eksoriasi pada hidung

4. Peningkatan tekanan intrakranial dan

intraocular

3. Malfungsi tube

5. Laringospasme Eksplusif

22

6. Bronkospasme Obstruksi

7. Trauma laring Setelah Ekstubasi

8. Avulsi, fraktur dan dislokasi

arytenoids

1. Trauma jalan napas

9. Perforasi jalan napas 2. Edema and stenosis (glotis, subglotis, atau trakea)

10. Trauma nasal, retrofaringeal,

faringeal, uvula, laringeal, trakea,

esofageal dan bronkus

3. Suara serak(granuloma vocal cord atau paralisis)

11. Intubasi esophageal 4. Malfungsi laring dan aspirasi

12. Intubasi bronchial 5. Laringospasme

Tabel 3. Komplikasi Intubasi

2.2 KANULASI INTRAVENA

2.2.1. Definisi

Pemasangan kateter intravena adalah menempatkan cairan steril melalui

jarum langsung ke vena pasien. Biasanya cairan steril mengandung elektrolit

23

(natrium, kalsium, kalium), nutrien (biasanya glukosa), vitamin atau obat.

Pemasangan kateter intravena digunakan untuk memberikan cairan ketika pasien

tidak dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau syok, untuk memberikan garam

yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit, atau glukosa

yang diperlukan untuk metabolisme, atau untuk memberikan medikasi.12

2.2.2. Alat dan Bahan

Dalam melakukan pemasangan infus dibutuhkan alat dan bahan yang

sebelumnya harus dipersiapkan terlebih dahulu.13

1. Sarung tangan nonsteril.

2. Kateter plastik yang menyelubungi jarum (jarum infus).

3. Larutan IV untuk cairan.

4. Papan lengan (pilihan).

5. Slang infus.

6. Tiang IV (yang diletakkan di tempat tidur atau berdiri sendiri dengan roda)

atau pompa IV.

7. Paket atau perlengkapan pemasangan IV, termasuk torniket (atau manset

tekanan darah); plester-dengan lebar 2,5 cm (atau lebar plester 5 cm), potong);

kapas alkohol (atau antiseptik yang telah direkomendasikan oleh institusi,

seperti povidone); balutan kasa berukuran 5x5 cm; plester perekat ; label

perekat.\

8. Gunting dan sabun (opsional).

9. Handuk atau penglindung linen

24

Gauge

size

Catheter

length(mm)

Catheter

colour

Flow rate

ml/min(H2O)

Flow rate

l/hr(H2O)

Flow rate

ml/min(blood)

22 25 Blue 42 2.5 24

20 32 Pink 67 4.0 41

18 32 Green 103 6.2 75

18 45 Green 103 6.2 63

16 45 Grey 236 14.2 167

14 45 Orange 270 16.2 215

Gambar 13. Alat dan Bahan Kanulasi Vena

2.2.3. Ukuran Kateter Intravena

Untuk pemilihan kateter, pilihlah alat dengan panjang terpendek, diameter

terkecil yang memungkinkan administrasi cairan dengan benar.12

Warna,Ukuran Kateter dan Kecepatan Alirannya

Tabel 2.1 Warna,Ukuran Kateter dan Kecepatan Alirannya

25

2.2.4 Pemilihan Vena

Vena perifer atau superfisial terletak di dalam fasia subkutan dan

merupakan akses paling mudah untuk terapi intravena.14

1. Metakarpal : Titik mulai yang baik untuk kanulasi intravena.

2. Sefalika : Berasal dari bagian radial lengan. Sefalika aksesorius dimulai pada

pleksus belakang lengan depan atau jaringan vena dorsalis.

3. Basilika : Dimulai dari bagian ulnar jaringan vena dorsalis, meluas ke

permukaan anterior lengan tepat di bawah siku di mana bertemu vena

mediana kubiti.

4. Sefalika mediana : Timbul dari fossa antekubiti.

5. Basilika mediana : Timbul dari fossa antekubiti, lebih besar dan kurang

berliku-liku daripada sefalika.

6. Anterbrakial mediana : Timbul dari pleksus vena pada telapak tangan,

meluas ke arah atas sepanjang sisi ulnar dari lengan depan.

Gambar 14. Lokasi Insersi pada Vena Ekstremitas Atas

26

Adapun pemilihan vena untuk tempat insersi dilakukan sebelum melakukan

pemasangan infus berbeda-beda

1. Pada orang dewasa pemasangan kanula lebih baik pada tungkai atas dan

pada tungkai bawah

2. Vena tangan paling sering digunakan untuk terapi IV yang rutin.

3. Vena depan, periksa dengan teliti kedua lengan sebelum keputusan dibuat.

4. Vena lengan atas, juga digunakan untuk terapi IV.

5. Vena ekstremitas bawah,digunakan hanya menurut kebijaksanaan

institusi.

6. Vena kepala, digunakan sesual kebijaksanaan institusi, sering dipilih pada bayi

dan anak.

2.2.5. Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Sisi Penusukan Vena

Pemilihan tempat insersi untuk penusukan vena juga harus teliti karena

ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan tempat insersi yang bisa

menyebabkan terjadinya komplikasi.14

a. Umur pasien; misalnya pada anak kecil, pemilihan sisi adalah sangat

penting dan mempengaruhi berapa lama IV perifer berakhir.

b. Prosedur yang diantisipasi; misalnya jika pasien harus menerima jenis

terapi tertentu atau mengalami beberapa prosedur seperti pembedahan,

pilih sisi yang tidak terpengaruhi apapun.

c. Aktivitas pasien; misalnya gelisah, bergerak, tak bergerak dan perubahan

tingkat kesadaran.

d. Jenis IV: jenis larutan dan obat-obatan yang akan diberikan sering

memaksa tempat-tempat yang optimus (mis: hiperalimentasi adalah

sangat mengiritasi vena-vena perifer).

27

e. Terapi IV sebelumnya; flebitis sebelumnya membuat vena tidak baik

untuk digunakan: Kemoterapi membuat vena menjadi buruk (mudah

pecah ata sklerosis).

f. Sakit sebelumnya; misalnya jangan digunakan ekstrimitas yang sakit

pada pasien stroke.

g. Kesukaan pasien; jika mungkin pertimbangkan kesukaan alami pasien

untuk sebelah kiri atau kanan.

h. Torniquet; gunakan 4 sampal 6 inci diatas sisi pungsi yang diinginkan.

i. Membentuk genggaman; minta pasien membuka dan menutup genggaman

berulang-ulang.

j. Posisi tergantung; gantung lengan pada posisi menggantung (misalnya

dibawah batas jantung).

2.2.6. Pemasangan infus

Pelaksanaan dalam pemasangan infus harus dilaksanakan sebaik-baiknya

guna menghindari terjadinya komplikasi yang tidak diinginkan. Berikut cara

umum dalam pemasangan infus:12,13

1. Persiapkan alat dan bahan seperti tiga buah potongan plester sepanjang

2,5 cm. Belah dua salah satu plester sampai ke bagian tengah, jarum atau

kateter, kapas alkohol atau antiseptik.

2. Sambungkan cairan infus dengan infus set terlebih dahulu dan

periksa tidak ada udara pada infus set.

3. Pasang torniket pada daerah proksimal vena yang akan dikaterisasi 60-80

mmHg.

4. Cuci tangan dan gunakan sarung tangan.

5. Pilih vena yang akan dilakukan pemasangan, untuk anak-anak lakukan

teknik transiluminasi untuk mendapatkan vena.

6. Dengan kapas alkohol atau antiseptik yang tepat, bersihkan tempat

insersi dan biarkan hingga mengering.

28

7. Dorong pasien untuk tarik nafas dalam agar pasien relaksasi dan nyaman.

8. Masukkan kateter ke vena sejajar dengan bagian terlurus vena, tusuk kulit

dengan sudut 30-45 derajat, setelah keluar darah pada ujung kateter, tarik

sedikit jarum pada kateter, dorong kateter sampai ujung, dan ditekan

ujung kateter dengan 1 jari.

9. Lepaskan torniket.

10. Sambungkan kateter dengan cairan infus.

11. Lakukan fiksasi dengan plester atau ikat pita.

12. Lakukan monitoring kelancaran infus (tetesan, bengkak atau tidaknya

tempat insersi.

13. Mencatat waktu, tanggal dan pemasangan ukuran kateter

2.2.7. Komplikasi terapi intravena

Teknik pemasangan terapi intravena harus dilakukan sebaik-baiknya,

adapun faktor-faktor yang bisa menyebabkan terjadinya komplikasi harus dapat

dicegah semaksimal mungkin. Ada beberapa komplikasi yang bisa terjadi pada

pemasangan infuse:14

1. Flebitis disebabkan oleh alat intravena, obat-obatan, dan/atau infeksi.

2. Infiltrasi disebabkan oleh alat intravena keluar dari vena, dengan

kebocoran cairan kedalam jaringan sekitarnya.

3. Emboli udara disebabkan karena masuknya udara kedalam sistem vascular

4. Emboli dan kerusakan kateter disebabkan karena kateter rusak pada

hubungan dan kehilangan potongan kateter ke dalam sirkulasi.

5. Kelebihan dan bebn sirkulasi disebabkan karena infus cairan terlalu cepat.

6. Reaksi pirogenik disebabkan karena kontaminasi peralatan interavena dan

larutan yang digunakan degan bakteri.

29

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Airway merupakan komponen terpenting dalam menjaga keadaan vital pasien,

sehingga dalam keadaaan gawat darurat komponen inilah yang pertama kali

dipertahankan. Salah satu cara menjaga patensi saluran napas (airway) tersebut

adalah dengan intubasi. Sehingga teknik intubasi harus dikuasai dengan benar dari

mulai indikasi sampai dengan komplikasi-komplikasinya.

Intubasi adalah memasukkan suatu pipa melalui mulut atau melalui hidung,

dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trachea. Tujuannya adalah pembebasan

jalan nafas, pemberian nafas buatan dengan bag and mask, pemberian nafas buatan

secara mekanik (respirator) memungkinkan pengisapan secret secara adekuat,

mencegah aspirasi asam lambung dan pemberian oksigen dosis tinggi.

Terapi intravena dengan menggunakan kanulasi vena yang baik dan benar

dapat memberikan efek terapi yang baik dan dapat mencegah komplikasi pada terapi

intravena menggunakan kanulasi vena.

3.2 Saran

Dibutuhkan pelatihan dan penerapan dari teori intubasi dan kanulasi vena

sehingga dapat diaplikasikan dalam perawatan medis sehari-hari.

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Desai,Arjun M.2010. Anesthesiology . Stanford University School of

Medicine. Diakses dari: http://emedicine.medcape.com. Accessed on Juni 4th

2015

2. Adams L George, boies L, dkk. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6 .

Penerbit BukuKedokteran EGC. Jakarta 1997

3. Latief, Said A, Kartini A. Suryadi dan M. Ruswan Dachlan. 2001. Petunjuk

Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI:

Jakarta. Universitas Indonesia. 2007; 2.p:3-45.

4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Airway Management. In : Morgan GE, 

Mikhail MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology 4th ed. USA, McGr

aw‐Hill Companies, Inc.2006, p. 98‐06.

5. Gisele de Azevedo Prazeres,MD., (2002), Orotracheal Intubation, available at

http://www.medstudents.com/orotrachealintubation/medicalprocedures.html.

accessed on Juni, 4th 2015.

6. Greenberg MS, Glick M. Burket’s oral medicine diagnosis and treatment. 10th ed.

Ontario: BC Decker Inc, 2003: 94,126, 612

7. Kociszewski C, Thomas SH, Harrison T, et al. Etomidate versus

succinylcholine for intubation in the air medical setting. Am J Emerg Med.

2000;18:757-763

8. Schmitt H, Buchfelder M, Radespiel-Troger M, et al. Difficult intubation in

acromegalic patients: incidence and probability. Anesthesiology. 2000;93:110-

114

9. Friedland DR, et all. Bacterial Colonization of Endotracheal Tubes in

Intubated Neonatal in Arch Otolaringol Head and Neck Surg 2001;127:525-

528. Available at: http://www.archoto.com. Accessed on Juni 4th 2015.

31

10. Gregory GA, Riazi J. Classification and assessment of the difficult pediatric

airway. Anesth Clin North Am. 1998;16:729-741.

11. Gamawati, Dian Natalia dan Sri Herawati. 2002. Trauma Laring Akibat Intubasi Endotrakeal. Available at  http://ojs.lib.unair.ac.id. Accessed on Juni 4th 2015.

12. Weinstein, S. 2010. Buku Saku: Terapi Intravena. Edisi 2. Jakarta: EGC

13. Potter & Perry. 2005. Buku Saku: Ketrampilan & Prosedur Dasar. Edisi 5.

Jakarta: EGC

14. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2001. Penatalaksanaan

Pasien Di Intensif Care Unit. Jakarta: Sagung Seto

32