Upload
endang-rahayu-fuji-lestary
View
236
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
bedah referat
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna
pada populasi pria lanjut usia. Gejalanya merupakan keluhan yang umum dalam
bidang bedah urologi1.
Hiperplasia prostat merupakan salah satu masalah kesehatan utama bagi
pria diatas usia 50 tahun dan berperan dalam penurunan kualitas hidup seseorang.
Suatu penelitian menyebutkan bahwa sepertiga dari pria berusia antara 50 dan 79
tahun mengalami hiperplasia prostat2.
Adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran
kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara
mulai dari tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif)
sampai tindakan yang paling berat yaitu operasi7.
Saat ini terdapat pilihan tindakan non operatif seiring dengan kemajuan
teknologi dibidang urologi, sehingga merupakan suatu pilihan alternatif untuk
penderita muda, kegiatan seksual aktif, gangguan obstruksi ringan, high risk
operasi dan pada penderita yang menolak operasi7,8,9.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering
diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut . Istilah BPH atau benign
prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu
terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat1.
Hiperplasia Prostat Benigna atau Benign Prostate Hyperplasia (BPH) adalah
pembesaran kelenjar prostat yang dapat menyumbat uretra pars prostatika dan
menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar dari buli – buli.2
II. ANATOMI
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh
kapsul fibromuskuler yang terletak disebelah inferior vesika urinaria,
mengelilingi bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada
disebelah anterior rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal
pada orang dewasa kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke apex kurang
lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm.2
Gambar 1: Anatomi Prostat
2
Gambar 2. Posisi Zona Perifer dan Transisional
Gambar 3: Gambar potongan melintang
3
Kelenjar prostat terbagi atas 5 lobus :
1. Lobus medius
2. Lobus lateralis (2 lobus)
3. Lobus anterior
4. Lobus posterior
Menurut konsep terbaru kelenjar prostat merupakan suatu organ campuran
terdiri atas berbagai unsur glandular dan non glandular. Mc Neal membagi
prostat menjadi lima daerah/ zona tertentu yang berbeda yaitu:2
1. Zona Anterior atau Ventral
Sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas stroma
fibromuskular. Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat.
2. Zona Perifer
Sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar
prostat. Zona ini rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal
karsinoma terbanyak.
3. Zona Sentralis.
Lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus
tengah meliputi 25% massa glandular prostat. Zona ini resisten terhadap
inflamasi.
4. Zona Transisional.
Zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga sebagai
kelenjar preprostatik. Merupakan bagian terkecil dari prostat, yaitu
kurang lebih 5% tetapi dapat melebar bersama jaringan stroma
fibromuskular anterior menjadi benign prostatic hyperplasia (BPH).
5. Kelenjar-Kelenjar Periuretra
Bagian ini terdiri dan duktus-duktus kecil dan susunan sel-sel asinar
abortif tersebar sepanjang segmen uretra proksimal. Prostat mempunyai
kurang lebih 20 duktus yang bermuara dikanan dari verumontanum
dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Disebelah depan didapatkan
4
ligamentum pubo prostatika, disebelah bawah ligamentum triangulare
inferior dan disebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers. Fascia
denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan
prostat dan vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat secara
longgar dengan fascia pelvis dan memisahkan prostat dengan rektum.
Antara fascia endopelvik dan kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan
jaringan peri prostat yang berisi pleksus prostatovesikal.
Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :
1. Kapsul anatomi
2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler
3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian,
a. Bagian luar disebut kelenjar prostat sebenarnya.
b. Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga
sebagai adenomatous zone
c. Disekitar uretra disebut periurethral gland. Pada BPH kapsul pada
prostat terdiri dari 3 lapis :
kapsul anatomis
kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar
prostat yang sebenarnya (outer zone) sehingga terbentuk
kapsul.
kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara
bagian dalam (inner zone) dan bagian luar (outer zone) dari
kelenjar prostat
sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional;
sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.2
III. EPIDEMIOLOGI
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang
ditemukan sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami
peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada
5
peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia akhir 30-an.
Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasi.3
Pada usia 60 tahun, nodul pembesaran prostat terlihat pada sekitar 60%,
tetapi gejala baru dikeluhkan pada sekitar 30-40%, sedangkan pada usia 80
tahun nodul terlihat pada sekitar 90% yang sekitar 50% diantaranya sudah
mulai memberikan gejala.4
IV. ETIOLOGI
Beberapa hipotesis yang menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan
peningkatan kadar DHT dan proses aging. Beberapa hipotesisnya antara lain:
(1) teori DHT (dihidrotestoteron), (2) adanya ketidakseimbangan antara
estrogen-testosteron, (3) interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat, (4)
berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan (5) teori stem sel.3
Teori DHT
DHT atau dihidrotestoteron adalah metabolit androgen yang sangat
penting pada pertumbuhan sel kelenjar prostat. DHT dihasilkan dari reaksi
perubahan testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5alfa reduktase
dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan
dengan respetor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti
sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang
menstimulasi pertumbuhan sel prostat.3
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH
tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada
BPH, aktivitas enzim 5alfa-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih
banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel prostat pada BPH lebih
sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal. 3
Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan
kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen :
6
testosteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam
prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat
dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan
hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, menurunkan
jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua
keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat
rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada
mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih
besar.3
Interaksi stroma-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan
sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma
melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma
mendapatkan stiimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis
suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel epitel secara
parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel
maupun sel stroma.4
Berkurangnya kematian sel prostat
Program apoptosis pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik
untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis
terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang
mengalami apoptosis akan difagosit oleh sel-sel disekitarnya kemudian
didegradasi oleh lisosom.4
Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi
sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai
pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang
mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang
mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara
7
keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan
massa prostat.4
Teori stem sel
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu
dibentuk sel-sel baru. Di dalam kelenjar prosta dikenal suatu stem sel,
yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif.
Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen,
sehingga jika hormon ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada
kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel
pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya aktivitas sel stem
sehingga terjadi produksi berlebih sel stroma maupun sel epitel.4
V. PATOFISIOLOGI
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars
prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli
harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-
menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi
otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan
pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS)
yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus. Dengan semakin
meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase
dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan
ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan
pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli
ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus
8
akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke
dalam gagal ginjal.2,3
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya
gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik
ini berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan
mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine
(obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot
polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor.
Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot
polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari
stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh
komponen mekanik.2,3
VI. GEJALA KLINIS
Gejala hiperplasia prostat menurut Boyarsky dkk pada tahun 1977
dibagi atas gejala obstruktif dan gejala iritatif.
Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars
prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot
detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama saehingga
kontraksi terputus-putus. Gejalanya ialah :
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder
emptying).5
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat
masih tergantung tiga faktor yaitu :
1. Volume kelenjar periuretral
2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Kekuatan kontraksi otot detrusor
9
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala
obstruksi, sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan
elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi
apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor
maka gejala obstruksi belum dirasakan.
Pemeriksaan derajat beratnya obstruksi prostat dapat diperkirakan
dengan cara mengukur :
a. Residual urine yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan.
Sisa urin ini dapat dihitung dengan pengukuran langsung yaitu dengan
cara melakukan kateterisasi setelah miksi spontan atau ditentukan
dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi, dapat pula dilakukan
dengan membuat foto post voiding pada waktu membuat IVP. Pada
orang normal sisa urin biasanya kosong, sedang pada retensi urin total
sisa urin dapat melebihi kapasitas normal vesika. Sisa urin lebih dari
100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan
intervensi pada penderita prostat hipertrofi.5
b. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu
dengan menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi
berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflowmetri yang menyajikan
gambaran grafik pancaran urin. Untuk dapat melakukan pemeriksaan
uroflow dengan baik diperlukan jumlah urin minimal di dalam vesika
125 sampai 150 ml. Angka normal untuk flow rata-rata (average flow
rate) 10 sampai 12 ml/detik dan flow maksimal sampai sekitar 20
ml/detik. Pada obstruksi ringan flow rate dapat menurun sampai
average flow antara 6-8 ml/detik, sedang maksimal flow menjadi 15
mm/detik atau kurang. Dengan pengukuran flow rate tidak dapat
dibedakan antara kelemahan detrusor dengan obstruksi infravesikal.5
Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga
mengganggu faal ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan
10
urolithiasis. Tindakan untuk menentukan diagnosis penyebab obstruksi
maupun menentukan kemungkinan penyulit harus dilakukan secara teratur.5
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang
tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas
otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada
vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh.,
gejalanya ialah6 :
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi) (P/UI)
Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus.
Secara klinis derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :
Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing < 50 ml
Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing 50 - 100 ml
Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih
bagian atas + sisa urin > 100 ml
Grade IV : Retensi urin total7
Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk
menentukan derajat berat keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu sesuai
dengan besarnya volume prostat. Gejala iritatif yang sering dijumpai ialah
bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih dirasakan pada malam
hari. Sering miksi pada malam hari disebut nocturia, hal ini disebabkan oleh
menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga menurunnya tonus
spingter dan uretra6.
Gejala obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat dengan
volume besar. Apabila vesica menjadi dekompensasi maka akan terjadi
retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam
vesica, hal ini menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika keadaan
ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita
tidak mampu lagi miksi. Oleh karena produksi urin akan terus terjadi dan
11
pada suatu saat vesica tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan
intravesica akan naik terus dan apabila tekanan vesica menjadi lebih tinggi
daripada tekanan spingter akan terjadi inkontinensia paradoks (over flow
incontinence).6
Retensi kronik dapat menyebabkan terjadinya refluk vesico uretra dan
meyebabkan dilatasi ureter dan sistem pelviokalises ginjal dan akibat tekanan
intravesical yang diteruskam ke ureter dari ginjal maka ginjal akan rusak dan
terjadi gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dapat dipercepat bila ada infeksi.
Disamping kerusakan tractus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi
kronik penderita harus selalu mengedan pada waktu miksi, maka tekanan
intra abdomen dapat menjadi meningkat dan lama kelamaan akan
menyebabkan terjadinya hernia dan hemoroid. 6
Akibat terdapatnya banyak sisa urin dalam vesica maka dapat terbentuk
batu endapan didalam vesica dan batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan
menimbulkan hematuri. Disamping pembentukan batu, retensi kronik dapat
pula menyebabkan terjadinya infeksi sehingga terjadi systitis dan apabila
terjadi refluk dapat terjadi juga pielonefritis.6
VII. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau
wawancara yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang
dideritanya. Anamnesis itu meliputi.6
1. Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah
mengganggu
2. Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah
mengalami cedera, infeksi, atau pembedahan)
3. Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
4. Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan
keluhan miksi
12
5. Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan
pembedahan
Salah satu panduan yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan
adanya gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International
Prostate Symptom Score (IPSS). Skor ini berguna untuk menilai dan memantau
keadaan pasien BPH. Analisis gejala ini terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-
masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35. Selain 7
pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS terdapat satu pertanyaan
tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life atau QoL). Kuesioner IPSS
dibagikan kepada pasien dan diharapkan pasien mengisi sendiri tiap-tiap
pertanyaan. Keadaan pasien BPH dapat digolongkan berdasarkan skor yang
diperoleh adalah sebagai berikut. 6,7
1. Skor 0-7 : bergejala ringan
2. Skor 8-19 : bergejala sedang
3. Skor 20-35 : bergejala berat.
13
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat
penting. Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang
keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya
kelainan lain seperti benjolan pada di dalam rektum dan tentu saja teraba
prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan6,7 :
a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
b. Adakah asimetris
c. Adakah nodul pada prostate
d. Apakah batas atas dapat diraba
e. Sulcus medianus prostate
f. Adakah krepitasi
14
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat
kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak
didapatkan nodul. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat
keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris.
Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria
bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi
pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang.
Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah
inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia
eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang
lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa
navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di
daerah meatus.6,7
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi
penuh dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan
kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis.6,7
Pemeriksaan laboratorium
a. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria
dan hematuria. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran
kemih, batu buli-buli atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi,
di antara-nya: karsinoma buli-buli in situ atau striktura uretra, pada
pemeriksaan urinalisis menunjuk-kan adanya kelainan. Untuk itu pada
kecuri-gaan adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan
kultur urine, dan kalau terdapat kecurigaan adanya karsinoma buli-buli
perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urine. Pada pasien BPH yang sudah
mengalami retensi urine dan telah memakai kateter, pemeriksaan urinalisis
15
tidak banyak manfaatnya karena seringkali telah ada leukosituria maupun
eritostiruria akibat pemasangan kateter. 6,7
b. Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada
traktus urinarius bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal
akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal
menyebabkan resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering
dibandingkan dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas
menjadi enam kali lebih banyak.6,7
c. PSA
Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit
dari BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: (a) pertumbuhan
volume prostat lebih cepat, (b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine
lebih jelek, dan (c) lebih mudah terjadinya retensi urine akut. Pertumbuhan
volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA.6,7
Pemeriksaan pencitraan
a. Foto polos abdomen (BNO)
Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan
misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih
juga dapat untuk menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma
prostat.6,7
b. Pielografi Intravena (IVP)
pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras
(filling defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung
distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked
fish).
16
mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa
hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit yang terjadi pada buli
– buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli – buli.6,7
foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin6,7
c. Sistogram retrograd
Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin,
maka sistogram retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi. 6,7
d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)6,7
deteksi pembesaran prostat
mengukur volume residu urin
e. MRI atau CT jarang dilakukan 6,7
Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam –
macam potongan.
Pemeriksaan lain
a. Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin
ditentukan oleh :
daya kontraksi otot detrusor
tekanan intravesica
resistensi uretra
Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak
laju pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran
melemah menjadi 6 – 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15
ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin
yang dihasilkan.6,7
b. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)
Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan
uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah
obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk
membedakan kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran
17
dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka
sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur.6,7
c. Pemeriksaan Volume Residu Urin
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan
cara sangat sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur
berapa volume urin yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga
diperiksa (meskipun kurang akurat) dengan membuat foto post voiding
atau USG.5,6,7
VIII. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup
pasien. Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan,
keadaan pasien, maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan
oleh penyakitnya.7
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk
menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS (WHO prostate
symptom score). Skor ini berdasarkan jawaban penderita atas delapan
pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap
dibawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan
WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul
obstruksi.8
Selain itu, derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I - IV digunakan
untuk menentukan cara penanganan. Pada penderita dengan derajat satu
biasanya belum memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat diberikan
pengobatan secara konservatif. Pada penderita dengan derajat dua sebenarnya
sudah ada indikasi untuk melakukan intervensi operatif, dan yang sampai
sekarang masih dianggap sebagai cara terpilih ialah trans uretral resection
(TUR). Kadang-kadang derajat dua penderita masih belum mau dilakukan
operasi, dalam keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan pengobatan
18
konservatif. Pada derajat tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi
yang cukup berpengalaman melakukan TUR oleh karena biasanya pada derajat
tiga ini besar prostat sudah lebih dari 60 gram. Apabila diperkirakan prostat
sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam maka
sebaiknya dilakukan operasi terbuka. Pada hiperplasia prostat derajat empat
tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah membebaskan penderita
dari retensi urin total, dengan jalan memasang kateter atau memasang
sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
melengkapi diagnostik, kemudian terapi definitif dapat dengan TUR P atau
operasi terbuka.7,8
Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala,
meningkatkan kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi
yang berkepanjangan. Tindakan bedah masih merupakan terapi utama untuk
hiperplasia prostat (lebih dari 90% kasus). Meskipun demikian pada dekade
terakhir dikembangkan pula beberapa terapi non-bedah yang mempunyai
keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah. Mengingat
gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu pembesaran
kelenjar periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya
kekuatan detrusor, maka pengobatan gejala klinik ditujukan untuk : 7,8
1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat
2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor
Pilihannya adalah mulai dari: (1) tanpa terapi (watchful waiting), (2)
medikamentosa, dan (3) terapi intervensi. Di Indonesia, tindakan Transurethral
Resection of the prostate (TURP) masih merupakan pengobatan terpilih untuk
pasien BPH. 8
19
1. Observasi (Watchful waiting)
Pada watchful waiting ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun
dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat
memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan banyak minum dan
mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, (2) kurangi
konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada buli buli
(kopi atau cokelat), (3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang
mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas dan asin, dan
(5) jangan menahan kencing terlalu lama. Setiap 6 bulan, pasien diminta
untuk datang kontrol dengan ditanya dan diperiksa tentang perubahan
keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju pancaran urine, maupun
volume residual urine. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada
sebelumnya, mungkin perlu difikirkan untuk memilih terapi yang lain. 7,8
2. Medikamentosa
Pasien BPH bergejala biasanya memerlukan pengobatan bila telah
mencapai tahap tertentu. Pada saat BPH mulai menyebabkan perasaan
yang mengganggu, apalagi membahayakan kesehatannya,
direkomendasikan pemberian medikamentosa. Dalam menentukan
pengobatan perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu dasar pertimbangan
terapi medikamentosa, jenis obat yang digunakan, pemilihan obat, dan
evaluasi selama pemberian obat. Perlu dijelaskan pada pasien bahwa harga
obat-obatan yang akan dikonsumsi tidak murah dan akan dikonsumsi
dalam jangka waktu lama.8
Dengan memakai skoring IPSS dapat ditentukan kapan seorang
pasien memer-lukan terapi. Sebagai patokan jika skoring >7 berarti pasien
perlu mendapatkan terapi medikamentosa atau terapi lain.8
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk: (1)
mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik atau
20
(2) mengurangi volume prostat sebagai komponen statik. Jenis obat yang
digunakan adalah8,9,10:
1. Antagonis adrenergik reseptor α yang dapat berupa:
a. preparat non selektif: fenoksibenzamin
b. preparat selektif masa kerja pendek: prazosin, afluzosin,
dan indoramin
c. preparat selektif dengan masa kerja lama: doksazosin,
terazosin, dan tamsulosin
2. Inhibitor 5 α redukstase, yaitu finasteride dan dutasteride
3. Fitofarmaka
a. Antagonis reseptor adrenergik-α
Pengobatan dengan antagonis adrenergik-α bertujuan menghambat
kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher
buli-buli dan uretra. Fenoksibenzamine adalah obat antagonis adrenergik-α
non selektif yang pertama kali diketahui mampu memperbaiki laju
pancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi. Namun obat ini tidak
disenangi oleh pasien karena menyebab-kan komplikasi sistemik yang
tidak diharapkan, di antaranya adalah hipotensi postural dan menyebabkan
penyulit lain pada sistem kardiovaskuler7,8,9.
Diketemukannya obat antagonis adrener-gik- α1 dapat mengurangi
penyulit sistemik yang diakibatkan oleh efek hambatan pada-α2 dari
fenoksibenzamin.9 Beberapa golongan obat antagonis adrenergik α1 yang
selektif mempu-nyai durasi obat yang pendek (short acting) di antaranya
adalah prazosin yang diberikan dua kali sehari, dan long acting yaitu,
terazosin, doksazosin, dan tamsulosin yang cukup diberikan sekali sehari.
21
Dibandingkan dengan plasebo, antagonis adrenergik-α terbukti
dapat memperbaiki gejala BPH, menurunkan keluhan BPH yang
mengganggu, meningkatkan kualitas hidup (QoL), dan meningkatkan
pancaran urine.13 Rata-rata obat golongan ini mampu memperbaiki skor
gejala miksi hingga 30-45% atau 4-6 poin skor IPSS dan Qmax hingga 15-
30% dibandingkan dengan sebelum terapi Perbaikan gejala meliputi
keluhan iritatif maupun keluhan obstruktif sudah dirasakan sejak 48 jam
setelah pemberian obat. Golongan obat ini dapat diberikan dalam jangka
waktu lama dan belum ada bukti-bukti terjadinya intoleransi dan
takhipilaksis sampai pemberian 6- 12 bulan7,8,10.
Dibandingkan dengan inhibitor 5α reduktase, golongan antagonis
adrenergik-α lebih efektif dalam memperbaiki gejala miksi yang
ditunjukkan dalam peningkatan skor IPSS, dan laju pancaran urine.
Dibuktikan pula bahwa pemberian kombinasi antagonis adrenergik-α
dengan finasteride tidak berbeda jika dibandingkan dengan pemberian
antagonis adrenergik-α saja. Sebelum pemberian antagonis adrenergik-α
tidak perlu memperhatikan ukuran prostat serta memperhatikan kadar
PSA; lain halnya dengan sebelum pemberian inhibitor 5-α reduktase7,10.
Berbagai jenis antagonis adrenergik α menunjukkan efek yang
hampir sama dalam memperbaiki gejala BPH. Meskipun mempu-nyai
efektifitas yang hampir sama, namun masing masing mempunyai
tolerabilitas dan efek terhadap sistem kardiovaskuler yang berbeda. Efek
terhadap sistem kardiovaskuler terlihat sebagai hipotensi postural,
dizzines, dan asthenia yang seringkali menyebabkan pasien menghentikan
pengobatan.13 Doksazosin dan terazosin yang pada mulanya adalah suatu
obat antihipertensi terbukti dapat memperbaiki gejala BPH dan
menurunkan tekanan darah pasien BPH dengan hipertensi. Sebanyak 5-
20% pasien mengeluh dizziness setelah pemberian doksazosin maupun
terazosin, < 5% setelah pemberian tamsulosin, dan 3-10% setelah
pemberian plasebo. Hipotensi postural terjadi pada 2-8% setelah
22
pemberian doksazosin atau terazosin dan kurang lebih 1% setelah
pemberian tamsulosin atau plasebo. Dapat dipahami bahwa penyulit
terhadap sistem kardiovasuler tidak tampak nyata pada tamsulosin karena
obat ini merupakan antagonis adrenergik α yang superselektif, yaitu hanya
bekerja pada reseptor adrenergik-α1A. Penyulit lain yang dapat timbul
adalah ejakulasi retrograd yang dilaporkan banyak terjadi setelah
pemakaian tamsulosin, yaitu 4,5-10% dibandingkan dengan plasebo 0-
1%7,8.
Lepor menyebutkan bahwa efektifitas obat golongan antagonis
adrenergik-α tergantung pada dosis yang diberikan, yaitu makin tinggi
dosis, efek yang diinginkan makin nyata, namun disamping itu komplikasi
yang timbul pada sistem kardiovaskuler semakin besar. Untuk itu sebelum
dilakukan terapi jangka panjang, dosis obat yang akan diberikan harus
disesuaikan dahulu dengan cara meningkat-kannya secara perlahan-lahan
(titrasi) sehingga diperoleh dosis yang aman dan efektif. Dikatakan bahwa
salah satu kelebihan dari golongan antagonis adrenergik-α1A (tamsulosin)
adalah tidak perlu melakukan titrasi seperti golongan obat yang lain.
Tamsulosin masih tetap aman dan efektif walaupun diberikan hingga 6
tahun9.
b. Inhibitor 5 α-redukstase
Finasteride adalah obat inhibitor 5-α reduktase pertama yang
dipakai untuk mengobati BPH. Obat ini bekerja dengan cara menghambat
pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dari testosteron, yang dikatalisis
oleh enzim 5 α- redukstase di dalam sel-sel prostat. Beberapa uji klinik
menunjukkan bahwa obat ini mampu menurunkan ukuran prostat hingga
20-30%, meningkatkan skor gejala sampai 15% atau skor AUA hingga 3
poin, dan meningkatkan pancaan urine. Efek maksimum finasteride dapat
terlihat setelah 6 bulan. Pada penelitian yang dilakukan oleh McConnell et
al (1998) tentang efek finasteride terhadap pasien BPH bergejala,
23
didapatkan bahwa pemberian finasteride 5 mg per hari selama 4 tahun
ternyata mampu menurunkan volume prostat, meningkatkan pancaran
urine, menurunkan kejadian retensi urine akut, dan menekan kemungkinan
tindakan pembedahan hingga 50%. Finasteride digunakan bila volume
prostat >40 cm3. Efek samping yang terjadi pada pemberian finasteride ini
minimal, di antaranya dapat terjadi impotensia, penurunan libido,
ginekomastia, atau timbul bercak-bercak kemerahan di kulit. Finasteride
dapat menurunkan kadar PSA sampai 50% dari harga yang semestinya
sehingga perlu diperhitungkan pada deteksi dini kanker prostat7,8,9,10
c. Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk
memperbaiki gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data-data farmakologik
tentang kandungan zat aktif yang mendukung mekanisme kerja obat
fitoterapi sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Kemungkinan
fitoterapi bekerja sebagai: anti-estrogen, antiandrogen, menurunkan kadar
sex hormone binding globulin (SHBG), inhibisi basic fibroblast growth
factor (bFGF) dan epidermal growth factor (EGF), mengacaukan
metabolisme prostaglandin, efek anti-inflam-masi, menurunkan outflow
resistance, dan memperkecil volume prostat. Di antara fito-terapi yang
banyak dipasarkan adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis
rooperi, Radix urtica dan masih banyak lainnya. 7,9
IX. KOMPLIKASI
Apabila VU menjadi dekompensasi, akan terjadi retensio urin. Karena
produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat VU tidak mampu
menampung urin sehingga tekanan intra-vesika meningkat, dapat timbul
hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat
jika terjadi infeksi. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu
endapan dalam VU. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
24
hematuria. Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistitis dan bila terjadi
refluks dapat terjadi pielonefritis. Pada waktu miksi pasien harus mengedan
sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan hernia atau hemoroid1,2.
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, BPH dapat
menimbulkan komplikasi sebagai berikut:
a) Inkontinensia Paradoks
b) Batu Kandung Kemih
c) Hematuria
d) Sistitis
e) Pielonefritis
f) Retensi Urin Akut Atau Kronik
g) Refluks Vesiko-Ureter
h) Hidroureter
i) Hidronefrosis
j) Gagal Ginjal
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2, Jakarta : EGC,
2004.
2. Basuki B. Purnomo, editors. Batu Saluran Kemih. In: Dasar-dasar Urologi. 3rd
ed; Jakarta: Sagung Seto
3. Priyanto J.E. Benigna Prostat Hiperplasi, Semarang : Sub Bagian Bedah
Urologi FK UNDIP.
4. Amalia, R. 2010. Prosiding Seminal Nasional Unimus . Faktor-Faktor Risiko
Terjadinya Pembesaran Prostat Jinak.
5. Tenggara T. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat,
Majalah Kedokteran Indonesia volume: 48, Jakarta : IDI, 1998.
6. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia.
Available at: ww w .iaui.or.id/ast/file/bph.pdf . Diakses: Mei 20, 2015.
7. Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara
Pengobatan, Jakarta : Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI
R.S. Dr. Cipto Mangunkusumo, 1993.
8. American Urological Association Education and Research. Guideline on the
Management of Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). 2010. Di Akses 20 Mei
2015. Di unduh dari URL: http://www.auanet.org/content/guidelines and-
quality-care/clinical-guidelines/main-reports/bphmanagement/chap1 Guideline
Managementof%28BPH%29.pdf.
9. Edward, et al. 2009. American Family Physician. Diagnosis and Management
of Benign Prostatic Hyperplasia. Vol 77 Number 10
10. Nasution I. Pendekatan Farmakologis Pada Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH), Semarang : Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UNDIP.
26