44
BAB I LAPORAN KASUS I. Identifikasi Nama : Ny. MW Umur : 51 tahun Jenis kelamin : Perempuan Alamat : Jl. Sudirman, RT 02, RW 06 kecamatan Lematang. Palembang Pekerjaan : Swasta Agama : Islam Bangsa : Indonesia MRS : 06 Oktober 2010 II. Anamnesis (Autoanamnesis Tanggal 12 Oktober 2010 ) Keluhan Utama Nyeri perut kanan atas Riwayat Perjalanan Penyakit ± 2 bulan Sebelum Masuk Rumah Sakit, penderita mengeluh nyeri perut kanan atas semakin berat, nyeri hilang timbul, nyeri menjalar ke bahu kanan dan punggung belakang, mual dan muntah (+), demam (+), menggigil (-). Nafsu makan berkurang, BAK warna teh (+), BAB Berwarna dempul (-), selaput bola mata berwarna kekuningan (+), gatal-gatal pada kulit (+). Penderita berobat ke RS 1

Case Bedah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

case

Citation preview

Page 1: Case Bedah

BAB I

LAPORAN KASUS

I. Identifikasi

Nama : Ny. MW

Umur : 51 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Sudirman, RT 02, RW 06 kecamatan Lematang. Palembang

Pekerjaan : Swasta

Agama : Islam

Bangsa : Indonesia

MRS : 06 Oktober 2010

II. Anamnesis (Autoanamnesis Tanggal 12 Oktober 2010 )

Keluhan Utama

Nyeri perut kanan atas

Riwayat Perjalanan Penyakit

± 2 bulan Sebelum Masuk Rumah Sakit, penderita mengeluh nyeri perut kanan atas

semakin berat, nyeri hilang timbul, nyeri menjalar ke bahu kanan dan punggung

belakang, mual dan muntah (+), demam (+), menggigil (-). Nafsu makan berkurang,

BAK warna teh (+), BAB Berwarna dempul (-), selaput bola mata berwarna

kekuningan (+), gatal-gatal pada kulit (+). Penderita berobat ke RS Bunda,

didiagnosa suspek hepatitis, diberi obat disarankan untuk pemeriksaan USG.

± 1 minggu sebelum masuk rumah sakit os mengeluh nyeri perut kanan atas semakin

berat, nyeri hilang timbul, nyeri menjalar ke bahu kanan dan punggung belakang,

mual dan muntah (+), demam (+), menggigil (-). Nafsu makan berkurang, BAK

warna teh (+), BAB Berwarna dempul (+), penurunan berat badan (+). Os juga

mengeluh selaput bola mata semakin kuning, menyebar ke perut dan seluruh tubuh.

Os lalu berobat ke poli RSMH Palembang.

1

Page 2: Case Bedah

Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat sakit hepatitis (-)

- Riwayat transfusi darah (-)

- Riwayat meminum alkohol (-)

- Riwayat trauma tumpul (-)

Riwayat Penyakit dalam Keluarga

Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.

III.Pemeriksaan Fisik (Tanggal 12 Oktober 2010)

A. Status Generalis

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : compos mentis

Tekanan Darah : 110/70 mmhg

Nadi : 80 x/menit

Pernapasan : 18 x/menit

Suhu : 36,7 0C

Kepala : Konjungtiva palbebra pucat -/-, sclera icteric +/+

Pupil : Isokor, refleks cahaya +/+

Leher : Tidak ada kelainan

Dada : Tidak ada kelainan

Abdomen : Lihat status lokalis

Genitalia : Tidak ada kelainan

Anal : Tidak ada kelainan

Ekstremitas atas : Tidak ada kelainan

Ekstremitas bawah : Tidak ada kelainan

B. Status Lokalis

Regio Abdomen

Inspeksi : Datar

2

Page 3: Case Bedah

Palpasi : Lemas, nyeri tekan perut kanan atas (+), murphy’s sign (+), hepar

teraba 2 jari di bawah angulus costae, Lien tidak teraba

Perkusi : Tympani

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Rectal Toucher (TSA baik, mukosa licin, ampula tidak kolaps, feses (+) warna

dempul.

IV. Pemeriksaan Laboratorium

V. Pemeriksaan Laboratorium (Tanggal 31 Agustus 2010)

Hematologi

Hemoglobin : 12,1 g/dl (14-18 g/dl)

Leukosit : 7.900 /mm3 (5.000-10.000/ mm3)

Differential count : 0/2/3/61/32/2 (0-1/1-3/2-6/50-70/20-40/2-8)

Kimia Klinik

Natrium : 140 mmol/l (135-155 mmol/l)

Kalium : 3,0 mmol/l (3,5-5,5 mmol/l)

Bilirubin direct : 26,36 mg/dl (< 0,25 mg/dl )

Bilirubin indirect : 6,34 mg/dl (0,75 mg/dl)

Bilirubin total : 32,72 mg/dl (0,1-1,0 mg/dl )

Alkaline phospatase : 212 U/l (<115 U/l)

SGOT : 57 U/l (<40 U/l)

SGPT : 44 U/l (<41 U/l)

Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 12 Oktober 2010

Hematologi

Hemoglobin : 10,2 g/dl (14-18 g/dl)

Leukosit : 8.300/mm3 (5.000-10.000/ mm3)

Differential count : 0/3/3/41/45/8 (0-1/1-3/2-6/50-70/20-40/2-8)

3

Page 4: Case Bedah

Kimia Klinik

Natrium : 140 mmol/l (135-155 mmol/l)

Kalium : 3,0 mmol/l (3,5-5,5 mmol/l)

Bilirubin direct : 2,64 mg/dl (< 0,25 mg/dl )

Bilirubin indirect : 3,56 mg/dl (0,75 mg/dl)

Bilirubin total : 6,2 mg/dl (0,1-1,0 mg/dl )

Alkaline phospatase : 91 U/l (<115 U/l)

SGOT : 32 U/l (<40 U/l)

SGPT : 36 U/l (<41 U/l)

Ureum : 20 mg/dl (20-40 mg/dl)

Creatinin : 0,6 mg/dl (),5-1,2 mg/dL)

V. Pemeriksaan Tambahan

Foto thorax (Tanggal 31 Agustus 2010):

Thorax PA,

CTR < 50%besar dan bentuk jantung normal

Trakea di tengah

Mediastinum superior dan corak tidak melebar

Hilus tidak menebal. Corakan bronkovaskular tidak meningkat

Tidak tampak infiltrat

Diafragma licin. Sudut costophrenicus lancip

Tulang dan jaringan lunak baik

Kesan: tak tampak kelainan radiologis pada foto thorax

USG abdomen (Tanggal 10 Mei 2010) :

4

Page 5: Case Bedah

Hasil:

5

Page 6: Case Bedah

Liver:

Membesar ringan, tepi rata, sudut tajam, echoparenchym meningkat halus heterogen.

IHBD/EHBD tak melebar, vena porta baik. Tak tampak nodul, kista dan abses.

Gall Bladder:

Dinding baik, penuh terisi batu múltiple.

Lien, Pankreas, Ren kanan dan kiri, Buli-buli, Adnexa kanan dan kiri dan

uterus normal.

Acites (-), Efusipleura (-), massa intrabdomen(-)

Kesimpulan:

Hepatitis, hepatomegali ringan

Cholelithiasis multiple

Organ abdomen lainnya normal

VI. Diagnosis kerja

Cholelithiasis multiple + Obstruksi jaundice

VII. Diagnosa banding

Kolangitis

Hepatitis

VII. Penatalaksanaan

IVFD.

Analgesik

Antibiotik

Rencana cholesistectomy + Eksplor Common Bile Duct

VIII.Prognosis

Quo ad vitam : Bonam

Quo ad functionam : Bonam

6

Page 7: Case Bedah

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

III. 1. Anatomi Tractus Billiaris

Vesica felea [felea], dan ductus biliaris extrahepatic.3

Vesica felea atau kandung empedu merupakan kantong berbentuk buah pir yang

berukuran panjang 7-10 cm dengan kapasitas rata-rata 30-50 cc. Organ ini terletak di

fossa inferoposterior hepar, berdekatan dengan ligamentum teres hepatis yang membagi

hepar menjadi lobus dextra dan sinistra. Vesica felea digantung oleh mesenterium ke

bagian posterior hepar dan seluruhnya ditutupi oleh peritoneum (terletak intraperitoneal).

Bagian anterior vesica felea berbatasan dengan dinding anterior abdomen dan permukaan

viseral hepar. Sedangkan bagian posteriornya berbatasan dengan colon transversum dan

duodenum bagian ke 2.1-5

7

Page 8: Case Bedah

Secara anatomis, vesica felea dibagi menjadi 4 area, antara lain fundus, corpus,

collum dan infundibulum. Area fundus merupakan bagian kandung empedu dengan

proporsi otot polos terbanyak dan terletak berhadapan dengan ujung cartilago costae IX

dextra, yaitu tempat menyilangnya margo lateral m.rectus abdominis dextra ke pinggir

costae. Berbeda dengan fundus, area corpus mengandung lebih banyak jaringan elastik

daripada otot polos sehingga bila terjadi sumbatan, vesica felea mampu ber-distensi

sehingga kapasitasnya meningkat mencapai 300 cc. Area collum berbentuk konveks dan

menghubungkan corpus dengan ductus cysticus. Konveksitas collum yang melebar

membentuk infundibulum atau Hartmann’s pouch.3-5

Ductus biliaris dibagi menjadi ductus biliaris intrahepatik dan ekstrahepatik.

Ductus biliaris intrahepatik berawal dari cabang-cabang interlobularis terkecil pada

sistem portal hepar yang merupakan muara cannaliculi biliaris. Ductus interlobularis satu

sama lain pada masing-masing lobus hepar saling bersatu membentuk ductus hepaticus

dextra et sinistra. Empedu dari hepar lobus dextra dialirkan melalui ductus hepaticus

dextra, sedangkan yang berasal dari hepar lobus sinistra, lobus caudatus dan lobus

quadratus dialirkan melalui ductus hepaticus sinistra. Ductus hepaticus dextra et sinistra

merupakan awal ductus biliaris extrahepatik.5, 6

8

Page 9: Case Bedah

Ductus biliaris intrahepatic.7

Ductus biliaris extrahepatik terdiri atas ductus hepaticus dextra et sinistra, ductus

hepaticus communis, ductus cysticus dan ductus choledocus. Ductus hepaticus

communis merupakan pertemuan ductus hepaticus dextra dan ductus hepaticus sinistra.

Panjang ductus hepaticus communis berkisar antara 1-4 cm dengan diameter + 4 mm.

Saluran ini berjalan di depan vena porta dan berada di sebelah kanan a. hepatica. Ductus

cysticus yang berasal dari vesica felea kemudian bersatu dengan ductus hepaticus

communis dan membentuk ductus choledocus. Membrana mucosa ductus cysticus

membentuk lipatan spiral (valvula Heister) yang berfungsi untuk memperkuat dinding

lumen dan menjaga agar lumen tetap terbuka.4-6

Panjang ductus coledochus berkisar antara 7-11 cm dengan diameter lumen + 10

mm. Bagian sepertiga atasnya terletak supraduodenal dan berada di sebelah kanan

a.hepatica, sebelah anterior vena porta serta berjalan turun pada tepi bebas ligamen

hepatoduodenal. Sepertiga tengah ductus coledochus terletak retroduodenal, berjalan

melingkar dibelakang doudenum bagian 1 dan menyimpang di lateral vena porta dan

a.hepatica. Bagian sepertiga terakhir ductus coledochus melingkar di belakang caput

pancreas baru kemudian bermuara ke ampulla Vater pada duodenum bagian ke-2 melalui

struktur otot yang disebut sphincter of Oddi. Otot ini mengatur aliran empedu dan pada

beberapa kasus juga mengatur aliran pancreatic juice ke duodenum. Pada 70% kasus

ditemukan bahwa ductus pancreaticus major (ductus Wirsung) bergabung dengan ductus

coledochus sebelum memasuki ampulla Vater, 20% nya bersatu pada dinding duodenum

bagian ke 2 serta 10% sisanya memasuki duodenum melalui tempat yang berbeda.3-5

Vesica felea diperdarahi oleh a. cystica yang berasal dari a. hepatica dextra.

Pembuluh darah yang disebut terakhir merupakan cabang a. hepatica propria yang berasal

dari a. mesenterica superior. Sedangkan pembuluh balik dari vesica felea adalah v.

cystica yang bermuara ke vena porta. Sejumlah arteri dan vena yang sangat kecil juga

berjalan antar hepar dan vesica biliaris. Aliran limfatik pada vesica felea mengalir ke

nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum vesica biliaris. Selanjutnya vasa

limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang a.hepatica menuju nodi

9

Page 10: Case Bedah

lymphatici coeliacus. Vesica felea di-innervasi oleh serabut syaraf simpatis dan

parasimpatis yang berasal dari plexus coeliacus. Kontraksi vesica felea terjadi sebagai

respon terhadap hormon cholecystokinin yang akan dijelaskan lebih lanjut pada fisiologi

tractus biliaris. 3, 5

III. 2. Fisiologi Tractus Billiaris

Sirkulasi enterohepatik garam empedu7

(Garis tebal yang masuk ke sistem porta menunjukkan aliran garam empedu dari hepar, sedangkan garis putus-putus berasal dari aksi bakteri)

Tiga faktor yang mengatur aliran empedu, yaitu sekresi hepar, kontraksi vesica

felea dan resistensi sphincter of Oddi. Empedu diproduksi sebanyak 500 – 1500 cc / hari

oleh hepar melalui 2 tahap: (1) hepatosit memproduksi empedu kemudian disekresikan ke

canaliculi biliaris yang terletak di antara sel-sel hepar, sekresi awal ini mengandung

sejumlah besar asam empedu, kolesterol, dan zat organik lain; (2) empedu mengalir ke

perifer menuju septa interlobularis hepar, ductus biliaris terminal (intrahepatik), ductus

hepaticus, dan ductus hepaticus communis. Dari sini, empedu dapat langsung disekresi

ke duodenum atau dialihkan untuk ditampung dalam vesica felea. 6, 8

10

Page 11: Case Bedah

Kontraksi vesica felea menyebabkan pengosongan empedu ke dalam duodenum.

Hormon cholecystokinin (CCK) merupakan stimulus fisiologis utama pada kontraksi

vesica felea dan relaksasi sphincter of Oddi postprandial, namun yang memfasilitasi

mekanisme pengosongan vesica felea tetaplah rangsang vagal. Makanan berlemak dan

produk lipolitik di mucosa lumen duodenum merangsang pelepasan CCK ke dalam aliran

darah. Asam amino dan polipeptida sederhana juga mampu merangsang pelepasan CCK,

namun stimulusnya jauh lebih rendah daripada lipid. Karbohidrat malah tidak berperan

dalam pelepasan CCK ke aliran darah.8

Ada tiga faktor yang berperan dalam relaksasi sphincter of Oddi. Pertama, CCK

yang merupakan stimulus fisiologis utama dalam relaksasi sphincter of Oddi, namun efek

ini saja tidak memungkinkan terjadi pengosongan vesica felea secara bermakna. Kedua,

kontraksi ritmik vesica felea yang menghantarkan gerak peristaltik melalui ductus biliaris

extrahepatic ke sphincter of Oddi. Hal ini menyebabkan gelombang awal relaksasi yang

sebagian menghambat sphincter of Oddi mendahului gerak peristaltik, namun faktor ini

juga tidak begitu adekuat dalam mengosongkan vesica felea. Faktor yang ketiga, ketika

gerak peristaltik usus berjalan pada dinding duodenum, fase relaksasi dari tiap serial

gerak peristaltik menyebabkan relaksasi kuat dinding duodenum. Sphincter of Oddi yang

terletak pada dinding duodenum bagian ke-2 akhirnya ikut berrelaksasi kuat sehingga

empedu masuk ke duodenum dalam pancaran yang sinkron dengan fase relaksasi gerak

peristaltik duodenum.6

Empedu yang disekresikan secara terus menerus oleh sel hepatosit normalnya

disimpan dalam vesica felea sampai diperlukan dalam duodenum. Bila tidak ada bahan

makanan yang merangsang sekresi empedu ke dalam duodenum, empedu dapat disimpan

dalam vesica felea karena air, natrium, klorida dan elektrolit lainnya secara terus menerus

diabsorbsi oleh dinding vesica felea. Peristiwa ini memekatkan zat empedu lain termasuk

garam empedu, kolesterol, lesitin dan bilirubun. Kebanyakan absorpsi ini disebabkan

oleh transpor aktif natrium dan absorpsi sekunder ion klorida dan air.

11

Page 12: Case Bedah

Empedu dari hepar

Empedu di vesica felea

(yang sudah dipekatkan)

Air 97, 5 gr/dl 92 gr/dl

Garam empedu 1,1 gr/dl 6 gr/dl

Bilirubin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl

Kolesterol 0,1 gr/dl 0,3-0,9 gr/dl

Asam-asam lemak

0,12 gr/dl 0,3-1,2 gr/dl

Lesitin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl

Ion natrium 145 mEq/liter 130 mEq/liter

Ion kalium 5 mEq/liter 12 mEq/liter

Ion kalsium 5 mEq/liter 23 mEq/liter

Ion klorida 100 mEq/liter 25 mEq/liter

HCO3 28 mEq/liter 10 mEq/liter

Komposisi empedu6

Empedu melakukan 2 fungsi penting; (1) asam empedu dalam cairan empedu

berperan dalam mencerna dan mengabsorpsi lemak melalui dua cara. Cara pertama

adalah dengan membantu mengemulsi partikel lemak kompleks dalam makanan menjadi

partikel yang lebih sederhana sehingga dapat dicerna oleh enzim lipase yang disekresi

pankreas. Cara kedua ialah dengan membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak

menuju dan melalui mukosa intestinal. Fungsi ke (2) empedu berperan sebagai media

untuk mengeluarkan produk buangan seperti bilirubin yang berasal dari penghancuran

hemoglobin dan kelebihan produksi kolesterol oleh hepar.6

III.3. Cholelithiasis

12

Page 13: Case Bedah

III.3.1. Definisi

Cholelithiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan

terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang memiliki

ukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi.

III.3. 2. Klasifikasi

Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di

golongkankan atas 3 (tiga) golongan, yaitu:

a) Batu kolesterol

Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%

kolesterol.

b) Batu kalsium bilirubinan (pigmen coklat)

Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung

kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama.

c) Batu pigmen hitam

Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan

kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi.

III.3. 3. Epidemiologi

Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang orang

dewasa dan usia lanjut. Angka kejadian di Indonesia di duga tidak berbeda jauh dengan

angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahu 1980-an agaknya berkaitan erat

dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi.

13

Page 14: Case Bedah

III.3. 4. Etiologi/Faktor Resiko

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis adalah stasis cairan

empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu.Adapun penyebab lainnya

seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin dan progstaglandin yang merusak

lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.

Umumnya kolesistitis sangat berhubungan dengan kolelithiasis. Kolesistitis dapat

terjadi sebagai akibat dari jejas kimiawi oleh sumbatan batu empedu yang menjadi

predisposisi terjadinya infeksi atau dapat pula terjadi karena adanya ketidakseimbangan

komposisi empedu seperti tingginya kadar garam empedu atau asam empedu, sehingga

menginduksi terjadinya peradangan akibat jejas kimia. Kolelitiasis dapat terjadi dengan

atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki

seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko

tersebut antara lain:

a. Jenis Kelamin

Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan

dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap

peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang

menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.

Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan

kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung

empedu.

b. Usia

Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.

Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis

dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.

c. Berat badan (BMI)

Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi

untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar

kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu

serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu.

14

Page 15: Case Bedah

d. Makanan

Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi

gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan

dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.

e. Riwayat keluarga

Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar

dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga.

f. Aktifitas fisik

Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya

kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit

berkontraksi.

g. Penyakit usus halus

Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease,

diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.

h. Nutrisi intravena jangka lama

Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi

untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal.

Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung

empedu.

III.3. 5. Manifestasi Klinis

Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut

bermigrasi menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga gambaran

klinisnya bervariasi dari yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat karena

adanya komplikasi.

Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-kadang disertai kolik

bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang dijalarkan sampai di

daerah subkapula disertai nausea, vomitus dan dyspepsia, flatulen dan lain-lain. Pada

pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat teraba pembesaran

kandung empedu dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus. Ikterus dijumpai

15

Page 16: Case Bedah

pada 20 % kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila kadar

bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatic.

Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri viseral

ini berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh batu. Dengan

istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu tidak

memperlihatkan inflamasi akut.

Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama antara

30 – 60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium. Nyeri dapat

menjalar ke abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat

menyerupai angina pektoris. Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang

merupakan gejala umum pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis.

Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya

komplikasi yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis

akut, kolesistitis kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder,

ileus batu empedu, abses hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung empedu.

Komplikasi tersebut akan mempersulit penanganannya dan dapat berakibat fatal.

Sebagian besar (90 – 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan keadaan

ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ tersebut. 

Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan telah

sering mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini menyebabkan

penebalan dan fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai penyakit lain

seperti koledo kolitiasis, panleneatitis dan kolongitis. 

Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus

sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk di dalam

saluran empedu (koledokolitiasis primer). Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat

bervariasi dan sulit diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya

ikterus obstruktif yang nyata. 

Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa

menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga

timbul pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang

tidak keluar spontan akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat membesar.

16

Page 17: Case Bedah

Gambaran klinis koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruktif,

kolangitis dan pankreatitis.

Gambar 4: Manifestasi klinis yang umum terjadi

III.3. 6. Patofisiologi

III.3. 6.1. Patofisiologi Pembentukan Batu Empedu

Avni Sali tahun 1984 membagi batu empedu berdasarkan komponen yang

terbesar yang terkandung di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pembagian dari Tetsuo

Maki tahun 1995 sebagai berikut:

a) Batu kolesterol dimana paling sedikit 50 % adalah kolesterol. Ini bisa berupa sebagai:

Batu Kolesterol Murni

Batu Kombinasi

Batu Campuran (Mixed Stone)

b) Batu bilirubin dimana garam bilirubin kadarnya paling banyak, kadar kolesterolnya

paling banyak 25 %. Bisa berupa sebagai:

Batu Ca bilirubinat atau batu pigmen calcium

Batu pigmen murni

c) Batu empedu lain yang jarang

Sebagian ahli lain membagi batu empedu menjadi:

Batu Kolesterol

Batu Campuran (Mixed Stone)

Batu Pigmen.

17

Page 18: Case Bedah

Batu Kolesterol

Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase:

a. Fase Supersaturasi

Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen

yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu membentuk

micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya dikonsentrasikan

menjadi lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio

kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20

sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio

ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan mengendap.

Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut:

Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan lecithin

jauh lebih banyak.

Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi

supersaturasi.

Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).

Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan tinggi.

Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada gangguan

ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi

enterohepatik).

Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar

chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan batu

kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain menyatakan bahwa

tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.

b. Fase Pembentukan inti batu

Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu heterogen

bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang lepas pada

peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol sendiri yang

menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu.

c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar

18

Page 19: Case Bedah

Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk bisa

berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi kandung empedu

cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah terbentuk akan

dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi kandung empedu lemah, kristal

kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut. Hal

ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus, kehamilan, pada pemberian total

parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal vagotomi, karena pada keadaan

tersebut kontraksi kandung empedu kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari

mukosa kandung empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa keluar. 

Batu bilirubin/Batu pigmen

Batu bilirubin dibagi menjadi dua kelompok:

a. Batu Calcium bilirubinat (batu infeksi).

b. Batu pigmen murni (batu non infeksi).

Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase:

a. Saturasi bilirubin

Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan

eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada

keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin

menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b

glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal cairan

empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja glukuronidase.

b. Pembentukan inti batu

Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga

oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan bahwa

55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris

lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti batu adalah

dari cacing tambang.

III.3. 6.2. Patofisiologi Umum

19

Page 20: Case Bedah

Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan

berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan batu

campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50%

kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung 20-50% kolesterol). Angka 10%

sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana mengandung < 20% kolesterol. Faktor yang

mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah keadaan statis kandung empedu,

pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan konsentrasi kalsium dalam

kandung empedu.

Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang terbentuk di

dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid

membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi

(supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan

berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang yang

terbentuk terbak dalam kandung empedu, kemuadian lama-kelamaan kristal tersubut

bertambah ukuran,beragregasi, melebur dan membetuk batu. Faktor motilitas kandung

empedu, biliary stasis, dan kandungan empedu merupakan predisposisi pembentukan

batu empedu empedu.

III.3.7. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis:

a. Asimtomatik

b. Obstruksi duktus sistikus

c. Kolik bilier

d. Kolesistitis akut

Empiema

Perikolesistitis

Perforasi

e. Kolesistitis kronis

Hidrop kandung empedu

Empiema kandung empedu

Fistel kolesistoenterik

20

Page 21: Case Bedah

Ileus batu empedu (gallstone ileus)

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan

mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada

dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat

menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sitikus secara

menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel

dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh

alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel

kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya

kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding

(dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal

ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis

generalisata.

Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat

kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus

kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang

menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis,

kolangiolitis, dan pankretitis.

Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya

fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian

tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.

III.3.8. Diagnosis

III.3.8.1. Anamnesis

Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asintomatis. Keluhan

yang mungkin timbul adalah dispepdia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan

berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium,

kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang

mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam

21

Page 22: Case Bedah

kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul

tiba-tiba.

Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu,

disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri

berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri

menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.

III.3. 8. 2. Pemeriksaan Fisik

Batu kandung empedu

Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi,

seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu,

empiema kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri

tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda

Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas

panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan

pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.

Batu saluran empedu

Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang

teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang

dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah

berat, akan timbul ikterus klinis.

III.3. 8. 3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada

pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.

Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum

akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi

mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali

serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang

setiap setiap kali terjadi serangan akut.

22

Page 23: Case Bedah

b. Pemeriksaan radiologis

Foto polos Abdomen

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya

sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung

empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat

dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar

atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di

kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura

hepatica.

Gambar 5: Foto rongent pada kolelitiasis

Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi

untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik

maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu

yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun

sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi

karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa

23

Page 24: Case Bedah

nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi

biasa.

Gambar 6: Hasil USG pada kolelitiasis

Kolesistografi

Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena

relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga

dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan

ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan

hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati.

Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung

empedu.

Gambar 7: Hasil kolesistografi pada kolelitiasis

III.3. 9. Penatalaksanaan

Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang

hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi

makanan berlemak. Pilihan penatalaksanaak antara lain:

a) Kolesistektomi terbuka

24

Page 25: Case Bedah

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis

simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera

duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan

untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk

kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.

b) Kolesistektomi laparaskopi

Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya

kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah

mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien

dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini

dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di

rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja,

nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah

kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi 6r seperti

cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama

kolesistektomi laparaskopi.

Gambar 8: Tindakan kolesistektomi

c) Disolusi medis

Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah

angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya

memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian

prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi

25

Page 26: Case Bedah

dan hilangnnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan,

kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien.

d) Disolusi kontak

Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten (metil-

ter-butil-eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan

per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien

tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan

yang tinggi (50% dalam 5 tahun).

e) Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)

Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pad

saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah

benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.

f) Kolesistotomi

Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping

tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama

untuk pasien yang sakitnya kritis.

26

Page 27: Case Bedah

BAB III

Analisis Kasus

Seorang wanita, 51 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas yang

semakin berat sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan utama tersebut dapat

disebabkan oleh organ yang terletak di sekitar regio hipokondrium kanan, yaitu hepar,

empedu, dan pankreas.

Rasa nyeri pada pasien ini mengarah pada gangguan organ empedu, karena dari

anamnesis pada pasien ini, nyeri bersifat hilang timbul, nyeri menjalar ke bahu kanan dan

punggung belakang, mual dan muntah (+), demam ada, Nyeri yang disebabkan karena

organ pankreas dapat disangkal karena pada pankreatitis akut didapatkan nyeri seperti

ditusuk pada midepigastrium yang menyebar ke punggung dalam waktu beberapa menit

atau jam, dengan rasa nyeri sangat klasik yang bersifat konstan, terus menerus, dan

bersifat datar, dan dari riwayat penyakit dahulu, riwayat meminum alkohol dan trauma

tumpul yang menjadi penyebab pankreatitis akut disangkal.

Pada organ hepar, teraba adanya perbesaran hepar ringan tepi rata dan sudut

tajam, pada pasien abses hepar dan hepatitis didapatkan hepatomegali, dimana pada abses

hepar terdapat hepatomegali dengan permukaan halus, tepi datar, konsistensi lunak, dan

fluktuasi (+), sedangkan hepatitis didapatkan tepi yang runcing. Kemungkinan abses

hepar dapat disingkirkan, sedangkan kemungkinan hepatitis masih ada.

. Dari anamnesis diketahui penderita mendapatkan selaput bola mata menjadi

kekuningan dan BAK Berwarna seperti teh dan dari pemeriksaan laboratoriumn awal(31

Agustus 2010) didapatkan Bilirubin direct: 26,36 mg/dl, Bilirubin indirect: 3,64 mg/dl,

Bilirubin total: 32,7 mg/dl. Penimbunan  pigmen dalam tubuh menyebabkan warna

kuning pada jaringan yang dikenal sebagai jaundice atau ikterus. Jaundice biasanya dapat

dideteksi pada sclera kulit atau BAK yang menjadi gelap, bila bilirubin serum mencapai

2-3 mg/100 ml. Bilirubin serum normal adalah 0,2-0,9 mg/100ml. Jaringan permukaan

yang kaya dengan elastin, seperti sclera dan permukaan bawah lidah biasanya pertama

27

Page 28: Case Bedah

kali menjadi kuning. Jaundice dapat disebabkan oleh gangguan prehepatik (pembentukan

bilirubin secara berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin tak terkonyugasi oleh hati),

intrahepatik (mengenai sel hati,kanalikuli,atau kolangiola) atau ekstrahepatik (mengenai

saluran empedu diluar hati).

Ikterik pada sklera ini disebabkan sumbatan saluran empedu sehingga cairan

empedu kembali ke peredaran darah. Ikterik bisa dikarenakan kolelithiasis dan kolangitis.

Namun dari anamnesis dan pemeriksaan fisik lebih mengarah pada kolelithiasis,karena

demam tidak disertai menggigil tidak ditemukan, yang sebagaimana ditentukan dalam

triad Charcot (demam dan menggigil, nyeri perut, dan ikterik yang terus menerus) untuk

mendiagnosa kolangitis. Ikterik juga dapat disebabkan oleh organ hepar, namun dapat

disangkal karena hepatomegali tidak ditemukan, dan SGOT, dan SGPT pasien dalam

batas normal, Dan dari riwayat penyakit dahulu tidak ditemukan riwayat hepatitis dan

transfusi darah, yang dapat menyangkal hepatitis. Riwayat Diare berlendir dengan atau

tanpa darah yang merupakan penyebab dari abses hepar tidak ditemukan.

Dari hasil USG didapatkan, colelitiasis. Untuk mendiagnosis abses hepar

berdasarkan: (1). kriteria Sherlock (1969), ditemukan hepatomegali yang nyeri tekan,

respon baik terhadap obat amebisid, leukositosis, peninggian diafragma kanan, dan

pergerakan rongga dalam hati dan tes hemaglutinasi (+), (2). Kriteria Ramachandran

(1973), bila didapatkan tiga temuan atau lebih dari: hepatomegali yang nyeri, riwayat

disentri, leukositosis, kelainan radiologis, dan respon baik terhadap obat amebisid, (3).

Kriteria Lamont dan Pooler, bila didapatkan tiga temuan atau lebih dari: hepatomegali

yang nyeri, kelainan hematologis, kelainan radiologis, pus amuba, tes serologi (+),

kelainan sidikan hati, dan respon baik terhadap obat amebisid. Kriteria diatas tidak

terpenuhi karena tidak ditemukan hepatomegali, dan pada intraoperatif cholesistectomy

tidak ditemukan adanya abses, sehingga abses hepas dapat disingkirkan.

Penatalaksanaan pasien ini dengan pemberian cairan intravena sebagai nutrisi

parenteral, Analgetik untuk menghilangkan nyeri, dan antibiotik untuk mengobati

septikemia dan mencegah terjadinya  gangren, empiema, dan perforasi kandung empedu,

fisitel, abses hati dan peritonitis umum. Dan tindakan bedah cholesistectomy sebagai

golden therapy dari cholelithiasis. Cholesistectomy dilakukan untuk mencegah memiliki

28

Page 29: Case Bedah

serangan nyeri berulang yang lebih parah, atau komplikasi seperti radang pankreas.

Dilakukan eksplore CBD untuk mengetahui penyebab obstruksi jaundice.

Prognosis pada pasien ini bonam, karena telah dilakukan tindakan bedah yang

dapat mencegah kolesistitis rekuren. Setelah Cholesistectomy pasien tetap dapat hidup

normal,makan seperti biasa.

29

Page 30: Case Bedah

DAFTAR PUSTAKA

1. Hunter, John G. Gallblader and The Extrahepatic Billiary System. In Schwartz’s Principles of Surgery. 8th edition. Brudicardi FC et all (eds). The McGraw-Hill Companies. 2004; Chapter 31.

2. Snell, Richard S. Abdomen. In Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jilid 1. Edisi ke-3. Jakarta: EGC. 1997; 217.

3. De Jong W dan R. Sjamsuhidrajat. Saluran Empedu dan Hati dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta: EGC. 2005; 561-593.

4. R. Putz dan R. Pabst. Hati, Hepar; Kandung Empedu, Vesica Biliaris, dan Ductus biliaris. In Sobotta, Atlas Anatomi Manusia Jilid 2. Edisi ke-21. Jakarta: EGC. 2000; 142-149.

5. Guyton, Arthur C dan John E Hall. Hati Sebagai Suatu Organ. In Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta: EGC. 2002; 1028-1031, 1103-1110.

6. Ganong, William F. Regulation of Gastrointestinal Function. In Review of Medical Physiology. 21st edition. The McGraw-Hill Companies. 2003; Section V: Chapter 25 & 26.

7. Linseth G N. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas dalam buku Patofisiologi. Edisi ke-6. Jakarta: EGC. 2006; 472-511

8. Kimura Y et al. Definitions, pathophysiology, and epidemiology of acute cholangitis and cholecystitis: Tokyo Guidelines. In Journal of Hepato-Biliary-Pancreatic Surgery. 2007; 14: 15-26.

9. Ahmed A, Cheung R. Management of gallstones and their complication. American Family Physician. Avaliable from : http://www.aafp.org/afp/20000315/contents.html

30