Upload
kilroy-vincent-sterling
View
41
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
case
Citation preview
BAB I
LAPORAN KASUS
I. Identifikasi
Nama : Ny. MW
Umur : 51 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Sudirman, RT 02, RW 06 kecamatan Lematang. Palembang
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
MRS : 06 Oktober 2010
II. Anamnesis (Autoanamnesis Tanggal 12 Oktober 2010 )
Keluhan Utama
Nyeri perut kanan atas
Riwayat Perjalanan Penyakit
± 2 bulan Sebelum Masuk Rumah Sakit, penderita mengeluh nyeri perut kanan atas
semakin berat, nyeri hilang timbul, nyeri menjalar ke bahu kanan dan punggung
belakang, mual dan muntah (+), demam (+), menggigil (-). Nafsu makan berkurang,
BAK warna teh (+), BAB Berwarna dempul (-), selaput bola mata berwarna
kekuningan (+), gatal-gatal pada kulit (+). Penderita berobat ke RS Bunda,
didiagnosa suspek hepatitis, diberi obat disarankan untuk pemeriksaan USG.
± 1 minggu sebelum masuk rumah sakit os mengeluh nyeri perut kanan atas semakin
berat, nyeri hilang timbul, nyeri menjalar ke bahu kanan dan punggung belakang,
mual dan muntah (+), demam (+), menggigil (-). Nafsu makan berkurang, BAK
warna teh (+), BAB Berwarna dempul (+), penurunan berat badan (+). Os juga
mengeluh selaput bola mata semakin kuning, menyebar ke perut dan seluruh tubuh.
Os lalu berobat ke poli RSMH Palembang.
1
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat sakit hepatitis (-)
- Riwayat transfusi darah (-)
- Riwayat meminum alkohol (-)
- Riwayat trauma tumpul (-)
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.
III.Pemeriksaan Fisik (Tanggal 12 Oktober 2010)
A. Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmhg
Nadi : 80 x/menit
Pernapasan : 18 x/menit
Suhu : 36,7 0C
Kepala : Konjungtiva palbebra pucat -/-, sclera icteric +/+
Pupil : Isokor, refleks cahaya +/+
Leher : Tidak ada kelainan
Dada : Tidak ada kelainan
Abdomen : Lihat status lokalis
Genitalia : Tidak ada kelainan
Anal : Tidak ada kelainan
Ekstremitas atas : Tidak ada kelainan
Ekstremitas bawah : Tidak ada kelainan
B. Status Lokalis
Regio Abdomen
Inspeksi : Datar
2
Palpasi : Lemas, nyeri tekan perut kanan atas (+), murphy’s sign (+), hepar
teraba 2 jari di bawah angulus costae, Lien tidak teraba
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Rectal Toucher (TSA baik, mukosa licin, ampula tidak kolaps, feses (+) warna
dempul.
IV. Pemeriksaan Laboratorium
V. Pemeriksaan Laboratorium (Tanggal 31 Agustus 2010)
Hematologi
Hemoglobin : 12,1 g/dl (14-18 g/dl)
Leukosit : 7.900 /mm3 (5.000-10.000/ mm3)
Differential count : 0/2/3/61/32/2 (0-1/1-3/2-6/50-70/20-40/2-8)
Kimia Klinik
Natrium : 140 mmol/l (135-155 mmol/l)
Kalium : 3,0 mmol/l (3,5-5,5 mmol/l)
Bilirubin direct : 26,36 mg/dl (< 0,25 mg/dl )
Bilirubin indirect : 6,34 mg/dl (0,75 mg/dl)
Bilirubin total : 32,72 mg/dl (0,1-1,0 mg/dl )
Alkaline phospatase : 212 U/l (<115 U/l)
SGOT : 57 U/l (<40 U/l)
SGPT : 44 U/l (<41 U/l)
Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 12 Oktober 2010
Hematologi
Hemoglobin : 10,2 g/dl (14-18 g/dl)
Leukosit : 8.300/mm3 (5.000-10.000/ mm3)
Differential count : 0/3/3/41/45/8 (0-1/1-3/2-6/50-70/20-40/2-8)
3
Kimia Klinik
Natrium : 140 mmol/l (135-155 mmol/l)
Kalium : 3,0 mmol/l (3,5-5,5 mmol/l)
Bilirubin direct : 2,64 mg/dl (< 0,25 mg/dl )
Bilirubin indirect : 3,56 mg/dl (0,75 mg/dl)
Bilirubin total : 6,2 mg/dl (0,1-1,0 mg/dl )
Alkaline phospatase : 91 U/l (<115 U/l)
SGOT : 32 U/l (<40 U/l)
SGPT : 36 U/l (<41 U/l)
Ureum : 20 mg/dl (20-40 mg/dl)
Creatinin : 0,6 mg/dl (),5-1,2 mg/dL)
V. Pemeriksaan Tambahan
Foto thorax (Tanggal 31 Agustus 2010):
Thorax PA,
CTR < 50%besar dan bentuk jantung normal
Trakea di tengah
Mediastinum superior dan corak tidak melebar
Hilus tidak menebal. Corakan bronkovaskular tidak meningkat
Tidak tampak infiltrat
Diafragma licin. Sudut costophrenicus lancip
Tulang dan jaringan lunak baik
Kesan: tak tampak kelainan radiologis pada foto thorax
USG abdomen (Tanggal 10 Mei 2010) :
4
Hasil:
5
Liver:
Membesar ringan, tepi rata, sudut tajam, echoparenchym meningkat halus heterogen.
IHBD/EHBD tak melebar, vena porta baik. Tak tampak nodul, kista dan abses.
Gall Bladder:
Dinding baik, penuh terisi batu múltiple.
Lien, Pankreas, Ren kanan dan kiri, Buli-buli, Adnexa kanan dan kiri dan
uterus normal.
Acites (-), Efusipleura (-), massa intrabdomen(-)
Kesimpulan:
Hepatitis, hepatomegali ringan
Cholelithiasis multiple
Organ abdomen lainnya normal
VI. Diagnosis kerja
Cholelithiasis multiple + Obstruksi jaundice
VII. Diagnosa banding
Kolangitis
Hepatitis
VII. Penatalaksanaan
IVFD.
Analgesik
Antibiotik
Rencana cholesistectomy + Eksplor Common Bile Duct
VIII.Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
III. 1. Anatomi Tractus Billiaris
Vesica felea [felea], dan ductus biliaris extrahepatic.3
Vesica felea atau kandung empedu merupakan kantong berbentuk buah pir yang
berukuran panjang 7-10 cm dengan kapasitas rata-rata 30-50 cc. Organ ini terletak di
fossa inferoposterior hepar, berdekatan dengan ligamentum teres hepatis yang membagi
hepar menjadi lobus dextra dan sinistra. Vesica felea digantung oleh mesenterium ke
bagian posterior hepar dan seluruhnya ditutupi oleh peritoneum (terletak intraperitoneal).
Bagian anterior vesica felea berbatasan dengan dinding anterior abdomen dan permukaan
viseral hepar. Sedangkan bagian posteriornya berbatasan dengan colon transversum dan
duodenum bagian ke 2.1-5
7
Secara anatomis, vesica felea dibagi menjadi 4 area, antara lain fundus, corpus,
collum dan infundibulum. Area fundus merupakan bagian kandung empedu dengan
proporsi otot polos terbanyak dan terletak berhadapan dengan ujung cartilago costae IX
dextra, yaitu tempat menyilangnya margo lateral m.rectus abdominis dextra ke pinggir
costae. Berbeda dengan fundus, area corpus mengandung lebih banyak jaringan elastik
daripada otot polos sehingga bila terjadi sumbatan, vesica felea mampu ber-distensi
sehingga kapasitasnya meningkat mencapai 300 cc. Area collum berbentuk konveks dan
menghubungkan corpus dengan ductus cysticus. Konveksitas collum yang melebar
membentuk infundibulum atau Hartmann’s pouch.3-5
Ductus biliaris dibagi menjadi ductus biliaris intrahepatik dan ekstrahepatik.
Ductus biliaris intrahepatik berawal dari cabang-cabang interlobularis terkecil pada
sistem portal hepar yang merupakan muara cannaliculi biliaris. Ductus interlobularis satu
sama lain pada masing-masing lobus hepar saling bersatu membentuk ductus hepaticus
dextra et sinistra. Empedu dari hepar lobus dextra dialirkan melalui ductus hepaticus
dextra, sedangkan yang berasal dari hepar lobus sinistra, lobus caudatus dan lobus
quadratus dialirkan melalui ductus hepaticus sinistra. Ductus hepaticus dextra et sinistra
merupakan awal ductus biliaris extrahepatik.5, 6
8
Ductus biliaris intrahepatic.7
Ductus biliaris extrahepatik terdiri atas ductus hepaticus dextra et sinistra, ductus
hepaticus communis, ductus cysticus dan ductus choledocus. Ductus hepaticus
communis merupakan pertemuan ductus hepaticus dextra dan ductus hepaticus sinistra.
Panjang ductus hepaticus communis berkisar antara 1-4 cm dengan diameter + 4 mm.
Saluran ini berjalan di depan vena porta dan berada di sebelah kanan a. hepatica. Ductus
cysticus yang berasal dari vesica felea kemudian bersatu dengan ductus hepaticus
communis dan membentuk ductus choledocus. Membrana mucosa ductus cysticus
membentuk lipatan spiral (valvula Heister) yang berfungsi untuk memperkuat dinding
lumen dan menjaga agar lumen tetap terbuka.4-6
Panjang ductus coledochus berkisar antara 7-11 cm dengan diameter lumen + 10
mm. Bagian sepertiga atasnya terletak supraduodenal dan berada di sebelah kanan
a.hepatica, sebelah anterior vena porta serta berjalan turun pada tepi bebas ligamen
hepatoduodenal. Sepertiga tengah ductus coledochus terletak retroduodenal, berjalan
melingkar dibelakang doudenum bagian 1 dan menyimpang di lateral vena porta dan
a.hepatica. Bagian sepertiga terakhir ductus coledochus melingkar di belakang caput
pancreas baru kemudian bermuara ke ampulla Vater pada duodenum bagian ke-2 melalui
struktur otot yang disebut sphincter of Oddi. Otot ini mengatur aliran empedu dan pada
beberapa kasus juga mengatur aliran pancreatic juice ke duodenum. Pada 70% kasus
ditemukan bahwa ductus pancreaticus major (ductus Wirsung) bergabung dengan ductus
coledochus sebelum memasuki ampulla Vater, 20% nya bersatu pada dinding duodenum
bagian ke 2 serta 10% sisanya memasuki duodenum melalui tempat yang berbeda.3-5
Vesica felea diperdarahi oleh a. cystica yang berasal dari a. hepatica dextra.
Pembuluh darah yang disebut terakhir merupakan cabang a. hepatica propria yang berasal
dari a. mesenterica superior. Sedangkan pembuluh balik dari vesica felea adalah v.
cystica yang bermuara ke vena porta. Sejumlah arteri dan vena yang sangat kecil juga
berjalan antar hepar dan vesica biliaris. Aliran limfatik pada vesica felea mengalir ke
nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum vesica biliaris. Selanjutnya vasa
limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang a.hepatica menuju nodi
9
lymphatici coeliacus. Vesica felea di-innervasi oleh serabut syaraf simpatis dan
parasimpatis yang berasal dari plexus coeliacus. Kontraksi vesica felea terjadi sebagai
respon terhadap hormon cholecystokinin yang akan dijelaskan lebih lanjut pada fisiologi
tractus biliaris. 3, 5
III. 2. Fisiologi Tractus Billiaris
Sirkulasi enterohepatik garam empedu7
(Garis tebal yang masuk ke sistem porta menunjukkan aliran garam empedu dari hepar, sedangkan garis putus-putus berasal dari aksi bakteri)
Tiga faktor yang mengatur aliran empedu, yaitu sekresi hepar, kontraksi vesica
felea dan resistensi sphincter of Oddi. Empedu diproduksi sebanyak 500 – 1500 cc / hari
oleh hepar melalui 2 tahap: (1) hepatosit memproduksi empedu kemudian disekresikan ke
canaliculi biliaris yang terletak di antara sel-sel hepar, sekresi awal ini mengandung
sejumlah besar asam empedu, kolesterol, dan zat organik lain; (2) empedu mengalir ke
perifer menuju septa interlobularis hepar, ductus biliaris terminal (intrahepatik), ductus
hepaticus, dan ductus hepaticus communis. Dari sini, empedu dapat langsung disekresi
ke duodenum atau dialihkan untuk ditampung dalam vesica felea. 6, 8
10
Kontraksi vesica felea menyebabkan pengosongan empedu ke dalam duodenum.
Hormon cholecystokinin (CCK) merupakan stimulus fisiologis utama pada kontraksi
vesica felea dan relaksasi sphincter of Oddi postprandial, namun yang memfasilitasi
mekanisme pengosongan vesica felea tetaplah rangsang vagal. Makanan berlemak dan
produk lipolitik di mucosa lumen duodenum merangsang pelepasan CCK ke dalam aliran
darah. Asam amino dan polipeptida sederhana juga mampu merangsang pelepasan CCK,
namun stimulusnya jauh lebih rendah daripada lipid. Karbohidrat malah tidak berperan
dalam pelepasan CCK ke aliran darah.8
Ada tiga faktor yang berperan dalam relaksasi sphincter of Oddi. Pertama, CCK
yang merupakan stimulus fisiologis utama dalam relaksasi sphincter of Oddi, namun efek
ini saja tidak memungkinkan terjadi pengosongan vesica felea secara bermakna. Kedua,
kontraksi ritmik vesica felea yang menghantarkan gerak peristaltik melalui ductus biliaris
extrahepatic ke sphincter of Oddi. Hal ini menyebabkan gelombang awal relaksasi yang
sebagian menghambat sphincter of Oddi mendahului gerak peristaltik, namun faktor ini
juga tidak begitu adekuat dalam mengosongkan vesica felea. Faktor yang ketiga, ketika
gerak peristaltik usus berjalan pada dinding duodenum, fase relaksasi dari tiap serial
gerak peristaltik menyebabkan relaksasi kuat dinding duodenum. Sphincter of Oddi yang
terletak pada dinding duodenum bagian ke-2 akhirnya ikut berrelaksasi kuat sehingga
empedu masuk ke duodenum dalam pancaran yang sinkron dengan fase relaksasi gerak
peristaltik duodenum.6
Empedu yang disekresikan secara terus menerus oleh sel hepatosit normalnya
disimpan dalam vesica felea sampai diperlukan dalam duodenum. Bila tidak ada bahan
makanan yang merangsang sekresi empedu ke dalam duodenum, empedu dapat disimpan
dalam vesica felea karena air, natrium, klorida dan elektrolit lainnya secara terus menerus
diabsorbsi oleh dinding vesica felea. Peristiwa ini memekatkan zat empedu lain termasuk
garam empedu, kolesterol, lesitin dan bilirubun. Kebanyakan absorpsi ini disebabkan
oleh transpor aktif natrium dan absorpsi sekunder ion klorida dan air.
11
Empedu dari hepar
Empedu di vesica felea
(yang sudah dipekatkan)
Air 97, 5 gr/dl 92 gr/dl
Garam empedu 1,1 gr/dl 6 gr/dl
Bilirubin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl
Kolesterol 0,1 gr/dl 0,3-0,9 gr/dl
Asam-asam lemak
0,12 gr/dl 0,3-1,2 gr/dl
Lesitin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl
Ion natrium 145 mEq/liter 130 mEq/liter
Ion kalium 5 mEq/liter 12 mEq/liter
Ion kalsium 5 mEq/liter 23 mEq/liter
Ion klorida 100 mEq/liter 25 mEq/liter
HCO3 28 mEq/liter 10 mEq/liter
Komposisi empedu6
Empedu melakukan 2 fungsi penting; (1) asam empedu dalam cairan empedu
berperan dalam mencerna dan mengabsorpsi lemak melalui dua cara. Cara pertama
adalah dengan membantu mengemulsi partikel lemak kompleks dalam makanan menjadi
partikel yang lebih sederhana sehingga dapat dicerna oleh enzim lipase yang disekresi
pankreas. Cara kedua ialah dengan membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak
menuju dan melalui mukosa intestinal. Fungsi ke (2) empedu berperan sebagai media
untuk mengeluarkan produk buangan seperti bilirubin yang berasal dari penghancuran
hemoglobin dan kelebihan produksi kolesterol oleh hepar.6
III.3. Cholelithiasis
12
III.3.1. Definisi
Cholelithiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan
terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang memiliki
ukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi.
III.3. 2. Klasifikasi
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di
golongkankan atas 3 (tiga) golongan, yaitu:
a) Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol.
b) Batu kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung
kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama.
c) Batu pigmen hitam
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan
kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi.
III.3. 3. Epidemiologi
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang orang
dewasa dan usia lanjut. Angka kejadian di Indonesia di duga tidak berbeda jauh dengan
angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahu 1980-an agaknya berkaitan erat
dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi.
13
III.3. 4. Etiologi/Faktor Resiko
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis adalah stasis cairan
empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu.Adapun penyebab lainnya
seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin dan progstaglandin yang merusak
lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.
Umumnya kolesistitis sangat berhubungan dengan kolelithiasis. Kolesistitis dapat
terjadi sebagai akibat dari jejas kimiawi oleh sumbatan batu empedu yang menjadi
predisposisi terjadinya infeksi atau dapat pula terjadi karena adanya ketidakseimbangan
komposisi empedu seperti tingginya kadar garam empedu atau asam empedu, sehingga
menginduksi terjadinya peradangan akibat jejas kimia. Kolelitiasis dapat terjadi dengan
atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki
seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko
tersebut antara lain:
a. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap
peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang
menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.
Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan
kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung
empedu.
b. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
c. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar
kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu
serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
14
d. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan
dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga.
f. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
g. Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease,
diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
h. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi
untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal.
Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung
empedu.
III.3. 5. Manifestasi Klinis
Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut
bermigrasi menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga gambaran
klinisnya bervariasi dari yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat karena
adanya komplikasi.
Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-kadang disertai kolik
bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang dijalarkan sampai di
daerah subkapula disertai nausea, vomitus dan dyspepsia, flatulen dan lain-lain. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat teraba pembesaran
kandung empedu dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus. Ikterus dijumpai
15
pada 20 % kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila kadar
bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatic.
Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri viseral
ini berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh batu. Dengan
istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu tidak
memperlihatkan inflamasi akut.
Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama antara
30 – 60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium. Nyeri dapat
menjalar ke abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat
menyerupai angina pektoris. Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang
merupakan gejala umum pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis.
Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya
komplikasi yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis
akut, kolesistitis kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder,
ileus batu empedu, abses hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung empedu.
Komplikasi tersebut akan mempersulit penanganannya dan dapat berakibat fatal.
Sebagian besar (90 – 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan keadaan
ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ tersebut.
Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan telah
sering mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini menyebabkan
penebalan dan fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai penyakit lain
seperti koledo kolitiasis, panleneatitis dan kolongitis.
Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus
sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk di dalam
saluran empedu (koledokolitiasis primer). Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat
bervariasi dan sulit diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya
ikterus obstruktif yang nyata.
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa
menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga
timbul pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang
tidak keluar spontan akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat membesar.
16
Gambaran klinis koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruktif,
kolangitis dan pankreatitis.
Gambar 4: Manifestasi klinis yang umum terjadi
III.3. 6. Patofisiologi
III.3. 6.1. Patofisiologi Pembentukan Batu Empedu
Avni Sali tahun 1984 membagi batu empedu berdasarkan komponen yang
terbesar yang terkandung di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pembagian dari Tetsuo
Maki tahun 1995 sebagai berikut:
a) Batu kolesterol dimana paling sedikit 50 % adalah kolesterol. Ini bisa berupa sebagai:
Batu Kolesterol Murni
Batu Kombinasi
Batu Campuran (Mixed Stone)
b) Batu bilirubin dimana garam bilirubin kadarnya paling banyak, kadar kolesterolnya
paling banyak 25 %. Bisa berupa sebagai:
Batu Ca bilirubinat atau batu pigmen calcium
Batu pigmen murni
c) Batu empedu lain yang jarang
Sebagian ahli lain membagi batu empedu menjadi:
Batu Kolesterol
Batu Campuran (Mixed Stone)
Batu Pigmen.
17
Batu Kolesterol
Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase:
a. Fase Supersaturasi
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen
yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu membentuk
micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya dikonsentrasikan
menjadi lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio
kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20
sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio
ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut:
Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan lecithin
jauh lebih banyak.
Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi
supersaturasi.
Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).
Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan tinggi.
Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada gangguan
ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi
enterohepatik).
Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar
chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan batu
kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain menyatakan bahwa
tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.
b. Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu heterogen
bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang lepas pada
peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol sendiri yang
menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu.
c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar
18
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk bisa
berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi kandung empedu
cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah terbentuk akan
dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi kandung empedu lemah, kristal
kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut. Hal
ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus, kehamilan, pada pemberian total
parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal vagotomi, karena pada keadaan
tersebut kontraksi kandung empedu kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari
mukosa kandung empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa keluar.
Batu bilirubin/Batu pigmen
Batu bilirubin dibagi menjadi dua kelompok:
a. Batu Calcium bilirubinat (batu infeksi).
b. Batu pigmen murni (batu non infeksi).
Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase:
a. Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan
eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada
keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin
menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b
glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal cairan
empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja glukuronidase.
b. Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga
oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan bahwa
55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris
lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti batu adalah
dari cacing tambang.
III.3. 6.2. Patofisiologi Umum
19
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan
berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan batu
campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50%
kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung 20-50% kolesterol). Angka 10%
sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana mengandung < 20% kolesterol. Faktor yang
mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah keadaan statis kandung empedu,
pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan konsentrasi kalsium dalam
kandung empedu.
Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang terbentuk di
dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid
membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi
(supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan
berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang yang
terbentuk terbak dalam kandung empedu, kemuadian lama-kelamaan kristal tersubut
bertambah ukuran,beragregasi, melebur dan membetuk batu. Faktor motilitas kandung
empedu, biliary stasis, dan kandungan empedu merupakan predisposisi pembentukan
batu empedu empedu.
III.3.7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis:
a. Asimtomatik
b. Obstruksi duktus sistikus
c. Kolik bilier
d. Kolesistitis akut
Empiema
Perikolesistitis
Perforasi
e. Kolesistitis kronis
Hidrop kandung empedu
Empiema kandung empedu
Fistel kolesistoenterik
20
Ileus batu empedu (gallstone ileus)
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada
dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat
menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sitikus secara
menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel
dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh
alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya
kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding
(dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal
ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis
generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat
kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus
kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang
menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis,
kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya
fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian
tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.
III.3.8. Diagnosis
III.3.8.1. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asintomatis. Keluhan
yang mungkin timbul adalah dispepdia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan
berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium,
kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang
mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam
21
kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul
tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu,
disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri
berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri
menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.
III.3. 8. 2. Pemeriksaan Fisik
Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi,
seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu,
empiema kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri
tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda
Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas
panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan
pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.
Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang
teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang
dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah
berat, akan timbul ikterus klinis.
III.3. 8. 3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.
Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum
akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi
mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali
serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang
setiap setiap kali terjadi serangan akut.
22
b. Pemeriksaan radiologis
Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung
empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat
dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar
atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di
kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura
hepatica.
Gambar 5: Foto rongent pada kolelitiasis
Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik
maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu
yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun
sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi
karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa
23
nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi
biasa.
Gambar 6: Hasil USG pada kolelitiasis
Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena
relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga
dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan
ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan
hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati.
Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung
empedu.
Gambar 7: Hasil kolesistografi pada kolelitiasis
III.3. 9. Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang
hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi
makanan berlemak. Pilihan penatalaksanaak antara lain:
a) Kolesistektomi terbuka
24
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis
simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera
duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan
untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
b) Kolesistektomi laparaskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya
kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah
mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien
dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini
dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di
rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja,
nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah
kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi 6r seperti
cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama
kolesistektomi laparaskopi.
Gambar 8: Tindakan kolesistektomi
c) Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah
angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya
memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian
prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi
25
dan hilangnnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan,
kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien.
d) Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten (metil-
ter-butil-eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan
per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien
tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan
yang tinggi (50% dalam 5 tahun).
e) Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pad
saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah
benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
f) Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping
tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama
untuk pasien yang sakitnya kritis.
26
BAB III
Analisis Kasus
Seorang wanita, 51 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas yang
semakin berat sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan utama tersebut dapat
disebabkan oleh organ yang terletak di sekitar regio hipokondrium kanan, yaitu hepar,
empedu, dan pankreas.
Rasa nyeri pada pasien ini mengarah pada gangguan organ empedu, karena dari
anamnesis pada pasien ini, nyeri bersifat hilang timbul, nyeri menjalar ke bahu kanan dan
punggung belakang, mual dan muntah (+), demam ada, Nyeri yang disebabkan karena
organ pankreas dapat disangkal karena pada pankreatitis akut didapatkan nyeri seperti
ditusuk pada midepigastrium yang menyebar ke punggung dalam waktu beberapa menit
atau jam, dengan rasa nyeri sangat klasik yang bersifat konstan, terus menerus, dan
bersifat datar, dan dari riwayat penyakit dahulu, riwayat meminum alkohol dan trauma
tumpul yang menjadi penyebab pankreatitis akut disangkal.
Pada organ hepar, teraba adanya perbesaran hepar ringan tepi rata dan sudut
tajam, pada pasien abses hepar dan hepatitis didapatkan hepatomegali, dimana pada abses
hepar terdapat hepatomegali dengan permukaan halus, tepi datar, konsistensi lunak, dan
fluktuasi (+), sedangkan hepatitis didapatkan tepi yang runcing. Kemungkinan abses
hepar dapat disingkirkan, sedangkan kemungkinan hepatitis masih ada.
. Dari anamnesis diketahui penderita mendapatkan selaput bola mata menjadi
kekuningan dan BAK Berwarna seperti teh dan dari pemeriksaan laboratoriumn awal(31
Agustus 2010) didapatkan Bilirubin direct: 26,36 mg/dl, Bilirubin indirect: 3,64 mg/dl,
Bilirubin total: 32,7 mg/dl. Penimbunan pigmen dalam tubuh menyebabkan warna
kuning pada jaringan yang dikenal sebagai jaundice atau ikterus. Jaundice biasanya dapat
dideteksi pada sclera kulit atau BAK yang menjadi gelap, bila bilirubin serum mencapai
2-3 mg/100 ml. Bilirubin serum normal adalah 0,2-0,9 mg/100ml. Jaringan permukaan
yang kaya dengan elastin, seperti sclera dan permukaan bawah lidah biasanya pertama
27
kali menjadi kuning. Jaundice dapat disebabkan oleh gangguan prehepatik (pembentukan
bilirubin secara berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin tak terkonyugasi oleh hati),
intrahepatik (mengenai sel hati,kanalikuli,atau kolangiola) atau ekstrahepatik (mengenai
saluran empedu diluar hati).
Ikterik pada sklera ini disebabkan sumbatan saluran empedu sehingga cairan
empedu kembali ke peredaran darah. Ikterik bisa dikarenakan kolelithiasis dan kolangitis.
Namun dari anamnesis dan pemeriksaan fisik lebih mengarah pada kolelithiasis,karena
demam tidak disertai menggigil tidak ditemukan, yang sebagaimana ditentukan dalam
triad Charcot (demam dan menggigil, nyeri perut, dan ikterik yang terus menerus) untuk
mendiagnosa kolangitis. Ikterik juga dapat disebabkan oleh organ hepar, namun dapat
disangkal karena hepatomegali tidak ditemukan, dan SGOT, dan SGPT pasien dalam
batas normal, Dan dari riwayat penyakit dahulu tidak ditemukan riwayat hepatitis dan
transfusi darah, yang dapat menyangkal hepatitis. Riwayat Diare berlendir dengan atau
tanpa darah yang merupakan penyebab dari abses hepar tidak ditemukan.
Dari hasil USG didapatkan, colelitiasis. Untuk mendiagnosis abses hepar
berdasarkan: (1). kriteria Sherlock (1969), ditemukan hepatomegali yang nyeri tekan,
respon baik terhadap obat amebisid, leukositosis, peninggian diafragma kanan, dan
pergerakan rongga dalam hati dan tes hemaglutinasi (+), (2). Kriteria Ramachandran
(1973), bila didapatkan tiga temuan atau lebih dari: hepatomegali yang nyeri, riwayat
disentri, leukositosis, kelainan radiologis, dan respon baik terhadap obat amebisid, (3).
Kriteria Lamont dan Pooler, bila didapatkan tiga temuan atau lebih dari: hepatomegali
yang nyeri, kelainan hematologis, kelainan radiologis, pus amuba, tes serologi (+),
kelainan sidikan hati, dan respon baik terhadap obat amebisid. Kriteria diatas tidak
terpenuhi karena tidak ditemukan hepatomegali, dan pada intraoperatif cholesistectomy
tidak ditemukan adanya abses, sehingga abses hepas dapat disingkirkan.
Penatalaksanaan pasien ini dengan pemberian cairan intravena sebagai nutrisi
parenteral, Analgetik untuk menghilangkan nyeri, dan antibiotik untuk mengobati
septikemia dan mencegah terjadinya gangren, empiema, dan perforasi kandung empedu,
fisitel, abses hati dan peritonitis umum. Dan tindakan bedah cholesistectomy sebagai
golden therapy dari cholelithiasis. Cholesistectomy dilakukan untuk mencegah memiliki
28
serangan nyeri berulang yang lebih parah, atau komplikasi seperti radang pankreas.
Dilakukan eksplore CBD untuk mengetahui penyebab obstruksi jaundice.
Prognosis pada pasien ini bonam, karena telah dilakukan tindakan bedah yang
dapat mencegah kolesistitis rekuren. Setelah Cholesistectomy pasien tetap dapat hidup
normal,makan seperti biasa.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Hunter, John G. Gallblader and The Extrahepatic Billiary System. In Schwartz’s Principles of Surgery. 8th edition. Brudicardi FC et all (eds). The McGraw-Hill Companies. 2004; Chapter 31.
2. Snell, Richard S. Abdomen. In Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jilid 1. Edisi ke-3. Jakarta: EGC. 1997; 217.
3. De Jong W dan R. Sjamsuhidrajat. Saluran Empedu dan Hati dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta: EGC. 2005; 561-593.
4. R. Putz dan R. Pabst. Hati, Hepar; Kandung Empedu, Vesica Biliaris, dan Ductus biliaris. In Sobotta, Atlas Anatomi Manusia Jilid 2. Edisi ke-21. Jakarta: EGC. 2000; 142-149.
5. Guyton, Arthur C dan John E Hall. Hati Sebagai Suatu Organ. In Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta: EGC. 2002; 1028-1031, 1103-1110.
6. Ganong, William F. Regulation of Gastrointestinal Function. In Review of Medical Physiology. 21st edition. The McGraw-Hill Companies. 2003; Section V: Chapter 25 & 26.
7. Linseth G N. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas dalam buku Patofisiologi. Edisi ke-6. Jakarta: EGC. 2006; 472-511
8. Kimura Y et al. Definitions, pathophysiology, and epidemiology of acute cholangitis and cholecystitis: Tokyo Guidelines. In Journal of Hepato-Biliary-Pancreatic Surgery. 2007; 14: 15-26.
9. Ahmed A, Cheung R. Management of gallstones and their complication. American Family Physician. Avaliable from : http://www.aafp.org/afp/20000315/contents.html
30