23
REFERAT MANAJEMEN PERIOPERATIF PADA PASIEN ANAK DENGAN ASMA Oleh Nama : Qamara Kalehismaningrat NIM : H1A009046 Pembimbing: dr. H. Sulasno, Sp. An

Referat Anestesi Dan Reanimasi (Qamara)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

REFERAT RARA

Citation preview

REFERATMANAJEMEN PERIOPERATIF PADA PASIEN ANAK DENGAN ASMA

OlehNama : Qamara Kalehismaningrat NIM : H1A009046

Pembimbing:dr. H. Sulasno, Sp. An

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN / SMF ANESTESI DAN REAMINASI RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM2013PENDAHULUANAsma adalah penyakit gangguan jalan nafas yang ditandai dengan hipersensitifitas bronkus dan bronkokostriksi dan diakibatkan oleh proses inflamasi kronik, bersifat reversibel dan merupakan salah satu dari penyakit kronis. Sekitar 300 juta orang di seluruh dunia menderta asma, dengan peningkatan prevalensi terutama pada anak-anak dan merupakan penyebab utama morbiditas dari penyakit kronis pada anak-anak. Data dari WHO (World Health Organization), memperkirakan pada tahun 2005 di seluruh dunia terdapat 255.000 penderita meninggal karena asma, sebagian besar atau 80% kematian justru terjadi di negara-negara berkembang 1,2. Asma ditandai dengan gangguan inflamasi kronis pada saluran napas ditandai dengan hyperresponsive saluran napas yang ditandai dengan mengi, sesak napas,dan batuk. Namun, pada anak-anak gejala yang muncul bisa kurang specific 3. Peningkatan perawatan medis dapat menurun kejadian morbiditas dan mortalitas serta komplikasi pada perioperatif pada anak-anak penderita asma yang akan menjalani anestesi dan operasi. Namun demikian bronkospasme masih bisa muncul sebagai komplikasi, dan dibutuhkan perhatian selama perioperatif untuk mencegah efek samping. Tujuan dari penatalaksanaan anaesthesiologic pasien dengan asma yaitu mencegah kejadian yang berpotensi terajadinya bronchospasme intraoperatif dan untuk memastikan adanya aliran udara yang memadai, menghindari obat-obatan dan teknik yang terkait dengan risiko yang berpotensial meningkatkan resistensi paru 1. Penilaian preoperative merupakan kunci utama dalam mendeteksi terjadinya risiko komplikasi pernapasan pada pasien asma. Pada anak penderita asma yang tidak terkontrol secara optimal atau mengalami infeksi saluran pernapasan, operasi elektif harus ditunda, dan dapat dilakukan setelah terapi yang optimal 1.

TINJAUAN PUSTAKADefinisiAsma didefinisikan sebagai suatu penyakit kronis yang menyerang sistem pernapasan berupa konstriksi saluran napas oleh karena obstruksi, hipersensitivitas saluran napas serta peradangan 4. Inflamasi kronik yang terjadi menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk, terutama pada malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan 2.Klasifikasi AsmaBerdasarkan Etiologi 2. a. Ekstrinsik (alergik) Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.a. Intrinsik/idiopatik (non alergik) Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.

Berdasarkan derajat serangannya, asma dibagi menjadi asma ringan, sedang dan berat 5.Parameter Klinis, Fungsi Faal Paru, LaboratoriumRinganSedangBeratAncaman Henti Napas

Sesak (breathless)BerjalanBerbicaraIstirahat

BicaraKalimatPenggal kalimatKata-kata

KesadaranMungkin iritabelBiasanya iritabelBiasanya iritabelKebingungan

Frekuensi napasMeningkat Meningkat> 30 kali permenit

Frekuensi napas pada anak yang sadar :

UsiaFrekuensi napas normal

< 2 bulan< 60/menit

2-12 bulan< 50/menit

1-5 tahun< 40/menit

6-8 tahun< 30/menit

Penggunaan otot bantu respiratorikTidak selalu adaAdaAdaPergerakan paradoks torakabdominal

Wheezing Sedang, sering hanya pada akhir ekspirasiNyaring Sangat nyaringSulit/tidak terdengar

Frekuensi nadi120Bradikardi

Frekuensi nadi anak :

UsiaFrekuensi nadi normal

2-12 bulan< 160/menit

1-2 tahun< 120/menit

2-8 tahun< 110/menit

Pulsus paradoksusTidak ada (< 10 mmHg)Mungkin ada (10-25 mmHg)Biasanya ada (> 25 mmHg)Tidak ada, tanda kelelahan otot respiratorik

PEFR (%nilai dugaan/ %nilai terbaik) Pasca bronkodilator> 80%60-80%< 60% (< 100 L/menit) atau respon < 2 jam

PaO2Normal (biasanya tidak perlu diperiksa)> 60 mmHg< 60 mmHg(kemungkinan sianosis)

PaCO2< 45 mmHg< 45 mmHg> 45 mmHg

SaO2> 95%91-95%< 90%

Selain itu, asma juga diklasifikasikan berdasarkan derajat pengontrolannya menjadi asma terkontrol, terkontrol sebagian, dan asma tidak terkontrol 5.KarakteristikTerkontrolTerkontrol SebagianTidak Terkontrol

Gejala harian 2 kali perminggu> 2 kali perminggu

3 atau lebih dari karakteristik asma terkontrol sebagian terjadi dalam seminggu

Keterbatasan aktivitasTidak adaAda

Gejala asma malam hariTidak adaAda

Kebutuhan akan obat-obatan pelega 2 kali perminggu> 2 kali perminggu

Fungsi paruNormal< 80 %

Patofisiologi dan Patogenesis Asma 21. Bronkokonstriksi pada eksaserbasi akut dari asma terjadi kontraksi sel otot polos bronkial (bronkokonstriksi) terjadi cepat untuk menyempitkan airway pada respon terpaparnya berbagai stimuli termasuk alergen atau iritan alergen menginduksi bronkokonstriksi akut dihasilkan dari rilisnya IgE-dependent dari mediator yang berasal dari sel mast meliputi histamin, tryptase, leukotrine dan prostaglandin yang langsung menyebabkan kontraksi otot polos stimulus lainnya seperti exercise, udara dingin, iritan dapat menyebabkan obstruksi akut airflow2. Airway edema jika penyakit ini menjadi lebih persisten dan inflamasi menjadi lebih progresif. Faktor lain menyebabkan limit airflow lebih lanjut meliputi: edema, inflamasi, hipersekresi mucus dan pembentukan dari plug mucus, sama seperti perubahan struktural meliputi hipertrofi dan hiperplasi dari otot polos airway.3. Hiperresponsive airways respon bronkokonstriksi yang berlebih terhadap berbagai stimuli respon kontraktil terhadap perubahan dengan keterkaitan metakolin mekanisme yang mempengaruhi hiperesponsif adalah multipel dan menyebabkan inflamasi, disfungsi neurologis, dan perubahan struktur, inflamasi ada sebagai faktor utama dalam membedakan derajatnya.4. Airway remodelling terkait dengan kehilangan fungsi paru yang progresif yang tidak dapat dicegah atau reversibel sepenuhnya dengan diterapi meliputi aktivasi dari banyak strutur sel dengan efek perubahan permanen pada airway menyebabkan peningkatan obstruksi airflow dan menurunkan responsif airway dan mengubah pasien menjadi kurang responsif terhadap terapi perubahan struktural menyebabkan penebalan dari sub-basement membran, fibrosis subepitel, hipertrofi dan hiperplasia otot polos airway, proliferasi, dilatasi, hiperplasia dan hipersekresi dari kelenjar mukus. Gejala klinis 2,4 Gejala Klasik : batuk, mengi (wheezing : seperti bunyi pluit pada saat ekspirasi), sesak napas Awal serangan : gejala tidak jelas, seperti dada terasa berat, dan pada asma alergi mungkin disertai pilek atau bersin Awalnya dapat terjadi batuk tanpa sekret kemudian diikuti dengan pengeluarkan sekret baik mukoid maupun purulen Sebagian pasien asma yang gejalanya hanya batuk disertai mengi cought variant ashma Batuk memberat pada malam hari sehingga membangunkan pasien Batuk, sesak dan wheezing terjadi berulang Gejala terjadi / memberat tergantung pada musim

Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak, disertai fase inspirasi yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi, dan diikuti bunyi mengi (wheezing), batuk yang disertai serangn napas yang kumat-kumatan. Pada beberapa penderita asma, keluhan tersebut dapat ringan, sedang atau berat dan sesak napas penderita timbul mendadak, dirasakan makin lama makin meningkat atau tiba-tiba menjadi lebih berat. Wheezing terutama terdengar saat ekspirasi. Berat ringannya wheezing tergantung cepat atau lambatnya aliran udara yang keluar masuk paru. Bila dijumpai obstruksi ringan atau kelelahan otot pernapasan, wheezing akan terdengar lebih lemah atau tidak terdengar sama sekali. Batuk hamper selalu ada, bahkan seringkali diikuti dengan dahak putih berbuih. Selain itu, makin kental dahak, maka keluhan sesak akan semakin berat. Dalam keadaan sesak napas hebat, penderita lebih menyukai posisi duduk membungkuk dengan kedua telapak tangan memegang kedua lutut. Posisi ini didapati juga pada pasien dengan Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Tanda lain yang menyertai sesak napas adalah pernapasan cuping hidung yang sesuai dengan irama pernapasan. Frekuensi pernapasan terlihat meningkat (takipneu), otot Bantu pernapasan ikut aktif, dan penderita tampak gelisah. Pada fase permulaan, sesak napas akan diikuti dengan penurunan PaO2 dan PaCO2, tetapi pH normal atau sedikit naik. Hipoventilasi yang terjadi kemudian akan memperberat sesak napas, karena menyebabkan penurunan PaO2 dan pH serta meningkatkan PaCO2 darah. Selain itu, terjadi kenaikan tekanan darah dan denyut nadi sampai 110-130/menit, karena peningkatan konsentrasi katekolamin dalam darah akibat respons hipoksemia. Diagnosis Asma 3a. Anamnesa Keluhan berupa episode batuk kronik berulang kali, mengi, dada terasa sesak dan kesulitan bernafas yang berulang kali. Asma nokturnal (batuk malam/memburuk pada pagi hari akibat dingin, yang disertai sesak). b. Faktor pencetusDapat berupa iritan (debu dan lain-lain), pendinginan saluran nafas, alergen, dan emosi; sedangkan perangsang (inducer) dapat berupa bahan kimia, infeksi dan alergen . c. Pemeriksaan fisik 1) Sesak nafas (dyspnea) : mengi, nafas cuping hidung pada saat inspirasi (anak), bicara terputus-putus, agitasi, hiperinflasi toraks, lebih suka posisi duduk. 2) Keadaan yang mendukung : eksim, rinitis, hay fever. 3) Tanda-tanda fisik lain yang menunjukkan beratnya asma : sianosis, mengantuk, susah bicara, takikardia dan hiperinflasi toraks. d. Pemeriksaan penunjang Gambaran foto toraks : normal, bronkitis kronik dan/atau emfisema. Gambaran hipersensitivitas, hiperreaktivitas dan penyempitan1) Laboratorium : lgE, lg Rast yang positif.2) Tes alergi kulit : skin prick test.3) Uji provokasi bronkus. Tes faal paru - untuk mengetahui obstruksi dan kepekaan bronkus 1) Tes bronkodilator peningkatan FEV1 > 15% untuk memastikan adanya hipersensitivitas.2) PEFR (Peak Expiratory Flow Rate) dengan menggunakan Peak Flow Meter.PENILAIAN PRA OPERASI DAN EVALUASI FACTOR RESIKO PADA ANAK PENDERITA ASMA Mengontrol hiperreaktivitasbronkus merupakan faktor yang paling penting untuk mencegah efek samping pernafasan pada pasien asma. Jika terjadi kondisi klinis yang buruk pada anak , operasi elektif harus dibatalkan dan dijadwal ulang setelah dilakukan terapi yang optimal 1. Mengidentifikasi infeksi saluran pernafasan , demam, batuk dan pilek, dahak (perubahan warna dan karakteristik). merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan selama evaluation praoperasi. Status gizi juga perlu diperhatikan. Metainy et al. telah mengamati hubungan yang signifikan antara obesitas dan asma dan lebih tinggi terjadinya bronkospasme perioperatif pada anak obesitas , terutama yang menderita asma . Perubahan mekanik paru , inflamasi dan genetik , hormonal atau neurogenic merupakan faktor dalam mekanisme yang dapat mempengaruhi perkembangan asma dan perjalanan klinis pada pasien obesitas. Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus, misalnya : alergi, mual muntah, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang anestesi berikutnya dengan baik1. Selain itu perlu juga dievaluasi waktu atau umur saat onset terjadinya asma, factor pencetus dan riwayat opname saat serangan asma 1,6.Pada pemeriksaan auskultasi harus harus dilakukan untuk mendeteksi suara wheezing. Tanda atau gejala infeksi pernapasan harus terdeteksi dan untuk menyesuaikan tindakan saat operasi harus dilakukan setelah mengevaluasi secara lengkap dari keadaan klinis 1. Tes fungsional paru dengan spirometri mungkin penting untuk dilakukan. Tes fungsional bisa sangat berguna untuk menilai respon terhadap terapi bronkodilatasi pada anak-anak. Force Expiratory volume in 1 second ( FEV1 ) telah dimasukkan sebagai salah satu parameter tingkat kontrol asma. FEV1 normal dikaitkan dengan asma yang terkontrol. Nilai FEV1 normalnya lebih dari 3 L untuk pria dan 2 L untuk wanita. FEV1/FVC normalnya harus > 70%. Namun pemeriksaan ini sulit dilakukan pada anak dibawah 5 tahun untuk mendapatkan estimasi yang valid 1.Tes laboratorium Eosinophilic cationic protein (ECP) adalah penanda aktivasi eosinofil ; pengukuran ECP sebagai indeks keparahan penyakit dan kepatuhan terhadap pengobatan. Scalfaro et al. telah mengukur tingkat ECP dalam serum untuk menemukan hubungan yang mungkin antara derajat keparahan penyakit dan resistensi pernapasan ( Rrs ) setelah intubasi ;namun belum ditemukan korelasi antara riwayat asma atau serum ECP dan respon Rrs setelah endotrakeal intubation. Tes alergi harus dilakukan, jika terdapat riwayat klinis tentang alergi yang positif, pasien harus dirujuk ke allergologist untuk melakukan pra operasi tests. Tes darah untuk IgE spesifik atau skin test dapat dilakukan 1.Medikasi Preoperatif Pasien asma dengan bronkhospasme aktif yang akan dioperasi harus. Oksigen tambahan, agonis 2 aerosol dan glukokortikoid intravena dapat meningkatkan fungsi paru secara dramatis dalam beberapa jam. Gas darah arteri dapat berguna dalam menangani kasus-kasus yang berat. Hipoksemia dan hipokapnia merupakan tipikal penyakit yang sedang dan berat; bahkan hiperkapnia ringan mengindikasikan jebakan udara yang berat dan dapat merupakan tanda ancaman gagal napas. FEV1 yang di bawah 40% dari normal juga menandakan gagal napas 6. Beberapa tingkat sedasi preoperatif diharapkan pada pasien asma yang menjalani pembedahan elektif terutama pada pasien dengan penyakit yang memiliki komponen emosional. Secara umum, benzodiazepin merupakan agen yang paling memuaskan dalam premedikasi. Agen-agen antikolinergik tidak biasa diberikan kecuali terdapat sekresi yang sangat banyak atau jika ketamin digunakan untuk induksi anestesi. Pada dosis intramuskuler yang tipikal, antikolinergik tidak efektif dalam mencegah bronkhospasme refleks setelah intubasi. Penggunaan agen penghambat H2 (seperti simetidin, ranitidin, atau famotidin) secara teoritis bersifat merugikan, karena aktivasi reseptor H2 normalnya menimbulkan bronkhodilatasi; pada keadaan pelepasan histamin, aktivasi H1 yang tidak diantisipasi dengan blokade H2 dapat menyebabkan bronkhokonstriksi 6.Bronkhodilator harus dilanjutkan sampai saat pembedahan; urutan untuk efektivitasnya, yaitu agonis , glukokortikoid inhalasi, penghambat leukotrien, stabilisasi sel mast, teofilin, dan antikolinergik. Pasien-pasien yang mendapatkan terapi glukokortikoid jangka panjang harus diberikan obat suplemen untuk mengkompensasi supresi adrenal. Hidrokortison (50-100 mg preoperatif dan 100 mg setiap 8 jam untuk hari ke 1-3 pascaoperasi, tergantung derajat stres pembedahan) paling umum digunakan 6.Keadaan psikologis dapat mempengaruhi terjadinya kekambuhan serangan akut asma, maka penting untuk menjamin suasana tenang dan menghindari potensi untuk kemungkinan terjadinya peristiwa stres. kehadiran dari orang tua dapat menghindari kecemasan anak. premedikasi dengan midazolam bisa diberikan bila kecemasan tidak dikontrol dengan baik. penggunaan midazolam oral 0,5 mg / kg telah terbukti aman pada anak asma1.PENATALAKSANAAN INTRAOPERATIF Induksi Dan Mantainance Waktu paling kritis untuk pasien asma yang menjalani anestesi adalah selama instrumentasi pada jalan napas. Airway instrumentation telah diketahui merupakan pemicu terjadinya bronchospasme. Stimulasi mekanik secra langsung pada saluran napas selama intubasi endotrakeal dimediasi oleh refleks parasimpatis dan pelepasan substansi P dan neurokinine A sebagai konsekuensi dari stimulasi serat C. Penggunaan masker wajah atau masker laring pada anak dengan asma dianggap lebih dapat diandalkan dari penggunaan intubasi trakea. Namun ketika bronkospasme terjadi , intubasi endotrakeal tampaknya menjadi metode yang lebih handal saat mengamankan saluran napas. Penggunaan lidokain untuk mencegah bronchospam masih kontroversial . Pemberian lidokain intravena menberikan manfaat dalam beberapa kasus tetapi tidak semua studi. Ketika intubasi endotrakeal dilakukan , penggunaan tabung endotrakeal uncuffed tampaknya menjadi pilihan pilihan pertama pada anak-anak , terutama di yang lebih kecil.Agen induksi mana yang dipilih tidak terlalu penting dibandingkan dengan pencapaian anestesi dalam sebelum intubasi dan stimulasi pembedahan. Propofol dan etomidat merupakan pilihan yang sesuai. Ketamin, satu-satunya agen intravena dengan properti bronkhodilator, merupakan pilihan yang bagus untuk pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil. Ketamin sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan kadar teofilin yang tinggi, karena aksi gabungan kedua obat tersebut dapat menimbulkan aktivitas kejang. Halotan dan sevoflurane biasanya memberikan induksi inhalasi yang paling halus dengan bronkhodilatasi pada anak-anak dengan asma. Isoflurane dan desflurane dapat memberikan bronkhodilatasi yang sama tapi normalnya tidak digunakan untuk induksi inhalasi. Ketika digunakan untuk pemeliharaan anestesi, kadar isoflurane dan desflurane ini harus ditingkatkan perlahan-lahan karena kedua obat ini memberikan efek iritasi ringan pada jalan napas 6. Bronkhospasme refleks dapat dikurangi sebelum intubasi dengan pemberian tiopental (1-2 mg/kg) tambahan, memberi ventilasi pasien dengan agen volatil sebesar 2-3 konsentrasi alveolus minimal (minimum alveolar concentration, MAC) selama 5 menit, atau pemberian lidokain (1-2 mg/kg) intravena atau intratrakea. Perhatikan bahwa lidokain intratrakea sendiri dapat menimbulkan bronkhospasme jika digunakan dosis induksi tiopental yang tidak adekuat. Antikolinergik dengan dosis tinggi (atropin 2 mg,atau glikopirolat 1 mg) juga dapat menghambat bronkhospasme refleks tapi menyebabkan takikardia berlebihan. Walaupun suksinilkolin terkadang dapat menginduksi pelepasan histamin yang nyata, suksinilkolin umumnya dapat digunakan secara aman pada sebagian besar pasien asma. Anestesi volatil paling sering digunakan untuk pemeliharaan anestesi karena efek bronkhodilatornya yang kuat 6. Bronkhospasme harus diterapi dengan agonis adrenergik yang diberikan baik dengan aerosol atau penghisap dengan dosis terukur ke dalam lengan inspirasi pada sirkuit pernapasan. Hidrokortison (1,5-2 mg/kg) intravena dapat diberikan, terutama pada pasien dengan riwayat terapi glukokortikoid 6.

PERAWATAN PASCAOPERASIPengembalian dari agen penghambat neuromuskuler dengan agen-agen antikolinesterasi tidak menimbulkan bronkhokonstriksi jika diberikan dengan dosis antikolinergik yang tepat. Ekstubasi dalam (sebelum refleks jalan napas kembali) mencegah munculnya bronkhospasme. Lidokain (1,5-2 mg/kg) bolus atau (1-2 mg/menit) dalam infus dapat membantu mengurangi refleks jalan napas jika sudah muncul 6.Pengendalian rasa sakit pasca operasi memiliki peran penting dalam manajemen pasca-operasi dari anak. Pada pasien anak asma, nyeri yang tidak terkontrol bisa menimbulkan stress dan memprovokasi terjadinya bronkospasme dan komplikasi lainnya . Nyeri harus dicegah atau dikendalikan dengan cepat. Acetaminophen (parasetamol) adalah obat pilihan yang pertama untuk mengobati rasa sakit ringan pasca operasi pada anak- anak. Diklofenak telah terbukti aman pada anak-anak dengan asma pada beberapa studi 1.

KESIMPULANAsma adalah penyakit kronis yang sering terjadi terutama pada anak-anak. Evaluasi yang benar terhadap penyakit dasar adalah titik kunci dari penilaian pra operasi. Setiap faktor risiko yang mungkin terjadi pada komplikasi pernapasan harus dipertimbangkan. Operasi elektif dilakukan berdasarkan kondisi klinis dari anak. Menurut pengaturan klinis , locoregional anestesi dianggap sebagai pilihan untuk anak dengan asma. Pengelolaan airway harus secara hati-hati dan anestesi inhalasi menjadi pilihan pada penderita asma anak pada penggunaan anestesi umum. Pengontrolan nyeri pasca operasi yang memadai dapat mengurangi risiko komplikasi. Manajemen perioperatif yang tepat pada anak dengan asma memiliki peran penting untuk menurunkan risiko dari komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA1. Dones, Francesco, et al. (2012). Update on perioperative management of the child with asthma. Available at: Accessed 26 September 20132. Sundaru, H & Sukamto. (2009). Asma Bronkial. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.(2004). Asma, pedoman diagnosis dan penatalaksaan di Indonesia. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 4. Fauci, et al. (2008). Asthma. In: Fauci et al. Harrisons Principles of Internal Medicine, 17th edition, McGraw-Hill Companies Inc, New York.5. GINA Reports. (2010), Global Strategy for Asthma Management and Prevention. (update 2008 pp 64-65). Available from : www.ginasthma.org. 6. Rahmanto, Didik. (2011). Manejemen Anestesi pada Pasien Asma Bronkiale.Yogyakarta: RS Dr.SARDJITO

2